J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 3, Des 2008: 165-172
PERJANJIAN BUSINESS PROCESS OUTSOURCING (BPO) DALAM RANGKA PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL BUSINESS PROCESS OUTSOURCING (BPO) AGREEMENT CONCER-NING THE UTILIZATION OF SMALL INDUSTRIES
Fifi Junita, Gianto Al Imron1) ABSTRACT
The purpose of this research are analize the legal relationship of Business Process Outsourcing (BPO) agreement and analize the utilization of small industries by the implementation of BPO contract. This research is a normative legal research. The research uses primary legal data and econdary legal data which are analyzed and described qualitatively. Research results show: Firstly, BPO can be catogorized as a service contract. The legal relationship is came about between customer and service provider. As a service contract, the scope of works which is being outsourced should be defined clearly in the contract. Thus, the BPO provider can qualify their responses by maintaining their performance based on contract. In order to protect the customer of BPO provider, there should be a claw back clause in a business process outsourcing contract. This mainly because it can impose liability on the BPO provider to pay back BPO costs to the customer. Secondly, BPO can also be categorized as a strategy of small industries utilization in Indonesia. It is mainly because it can create partnership between BPO providers and customers. In addition, outsourcing strategy can expand and shared service to small industries and supporting industries. However, BPO strategy should be followed by the improvement of skills and Information Technology capabilities among small industries in order to compete with foreign service providers in the global outsourcing era. In addition, there should be some regulations concerning BPO in order to create legal certainty and fairness of BPO practices. Keywords: BPO agreement, the utilization of small industries PENDAHULUAN
Prioritas pembangunan nasional yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, perlu adanya upaya pengembangan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK) sebagai tulang punggung sistem ekonomi kerakyatan dan memperluas partisipasi masyarakat 1)
dalam pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut, outsourcing proses bisnis (Business Process Outsourcing, selanjutnya disebut BPO) merupakan salah satu alternatif. Perkembangan strategi bisnis melalui outsourcing proses bisnis pada akhirnya akan memberikan kesempatan bagi golongan kecil dan menengah untuk berusaha. Hal ini berarti kesempatan untuk menikmati pemerataan di samping menciptakan lapangan kerja. Sebagaimana diketahui, berdasarkan hasil survey Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI),
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
165
Perjanjian BPO dalam Rangka Pengembangan Industri Kecil (Fifi J., Gianto A.I.)
terdapat sekitar 200 konglomerat Indonesia menguasai lebih kurang 80% kehidupan ekonomi dan jumlah uang yang beredar di Indonesia, sedangkan usaha kecil hanya menyumbang 14% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini menunjukkan betapa lemahnya posisi industri kecil di dalam perekonomian Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, strategi pendelegasian melalui BPO dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan pember-dayaan UKMK. Melalui perjanjian BPO, perusahaan berskala besar dapat mendelegasikan operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak ketiga, khususnya UKMK yang kompeten dalam proses bisnis tertentu. Perusahaan yang berskala besar dapat melibatkan beberapa perusahaan industri kecil untuk melakukan proses bisnis tertentu yang bukan merupakan bisnis inti (core business) dalam perusahaan tersebut. Upaya ini diharapkan dapat lebih memperkuat peranan usaha kecil dan menengah dalam sistem perekonomian nasional. Di Indonesia, strategi bisnis pendelegasian (outsourcing) mulai dikenal di berbagai bidang, misalnya: cleaning service, security, maupun jasa akuntan. Namun, perkembangan strategi bisnis ini masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan yang terjadi di India, maupun negara Eropa dan Amerika. Hal ini terbukti dengan masih sedikitnya jumlah service provider (penyedia jasa outsourcing) di Indonesia. Padahal, peningkatan strategi bisnis outsourcing dapat menciptakan pola kemitraan antara pengusaha skala besar dengan industri kecil. Penelitian ini akan meneliti beberapa masalah (a) Bagaimanakah hubungan hukum antara pihak penyedia jasa outsourcing (service provider) dengan pihak pemberi jasa dalam perjanjian BPO?; dan (b) Bagaiamanakah upaya pemberdayaan usaha kecil melalui strategi outsourcing? METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan legal research dalam tataran dogmatik hukum guna memecahkan masalah hukum konkrit (legal problem solving). Legal research ini dilakukan dengan menelusuri sumber-sumber hukum melalui library research. Penelitian ini menggunakan conceptual approach. 166
Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Burgerlijk Wetboek dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Usaha Kecil. Bahan hukum sekunder terdiri atas: kepustakaan, hasil penelitian, jurnal ilmiah, yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui proses inventarisasi dan identifikasi bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara kritis. Untuk selanjutnya diklasifikasi secara logis sistematis sesuai dengan permasalahan yang terumus dan tujuan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut. (1) melakukan inventarisasi hukum positif dan dilakukan inventarisasi terhadap semua ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian BPO dan pemberdayaan usaha kecil; (2) menganalisis peraturan perundangundangan dengan cara menganalisa isinya dalam upaya untuk memperoleh jawaban/ pemecahan terhadap permasalahan; (3) bahan-bahan hukum yang telah diperoleh diolah secara kualitatif dan dianalisa secara deskriptif–analitis melalui kajian kepustakaan dan dokumen untuk menjawab permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Hukum dalam Perjanjian BPO
Timbulnya perjanjian outsourcing di Indonesia sebenarnya ditujukan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya. Dalam rangka penanaman modal asing di Indonesia, pembagian risiko merupakan salah satu alasan strategis dilakukannya strategi outsourcing. Oleh karena itu, biaya-biaya operasional menjadi beban perusahaan Jasa outsourcing. Beberapa bentuk penyedia jasa outsourcing yang mulai populer di Indonesia meliputi: security guard, cleaning service, pembukuan/ keuangan dan teknologi informasi. Karena sebagian pekerjaan didelegasikan pelaksanaannya kepada pihak ketiga, maka dapat mengurangi kebutuhan investasi dana pada fungsifungsi di luar bisnis inti (Everet Partners, 1999: 51).
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 3, Des 2008: 165-172
Perjanjian BPO merupakan perjanjian obligatoir yang bersifat konsensuil, artinya perjanjian ini lahir sejak detik tercapainya kesepakatan di antara para pihak. Unsur kesepakatan merupakan salah satu syarat keabsahan pembentukan perjanjian sebagaimana diatur di dalam pasal 1320 Burgerlijk Wetboek. Meskipun perjanjian outsourcing tidak mensyaratkan untuk dituangkan dalam bentuk tertulis, namun di dalam praktek seringkali dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Pelaksanaan metode outsourcing harus dilandasi dengan perjanjian yang akan mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak, yaitu pihak customer (pengguna jasa) dan pihak penyedia jasa outsourcing (service provider). Pembentukan perjanjian outsourcing memerlukan adanya unsur kepercayaan (trust) terhadap penyedia jasa outsourcing, mengingat hubungan para pihak bukan lagi hubungan keuntungan jangka pendek, tetapi merupakan hubungan yang terintegrasi (Suwondo, Chandra, 2003: 59). Meskipun di dalam Burgerlijk Wetboek tidak diatur secara tertentu tentang perjanjian BPO, namun perjanjian ini mendapat legalitas didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang diatur di dalam Pasal 1320 Jo Pasal 1338 Burgerlijk Wetboek. Berdasarkan asas ini, setiap perjanjian adalah sah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta mengindahkan itikad baik, kelayakan dan kepatutan. Karena merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, maka unsur kesepakatan di dalam perjanjian BPO merupakan hal yang esensial untuk lahirnya perjanjian. Perjanjian ini bukan merupakan perjanjian formil, sehingga tidak disyaratkan adanya formalitas-formalitas tertentu dalam penutupan perjanjian. Louise J. De Rose mendefinisikan outsourcing sebagai gabungan dari produk atau jasa yang saat ini sedang dilakukan atau diproduksi secara internal, tetapi menggunakan sumber-sumber luar dari penyedia jasa di luar perusahaan. Hal ini salah satunya disebabkan adanya keterbatasan kemampuan suatu perusahaan untuk melakukan segala proses bisnisnya secara mandiri, sehingga sebagian proses bisnisnya didelegasikan pelaksanaannya kepada pihak
luar (penyedia jasa outsourcing). Dalam era global dewasa ini, konsep konglomerasi mulai ditinggalkan, beralih ke konsep delegasi atau outsourcing. Konsep outsourcing diperlukan untuk menyiasati manajemen risiko (risk management) dan beban pengendalian, sehingga semua kegiatan bisnis bisa didelegasikan. Pada prinsipnya, perjanjian BPO merupakan suatu bentuk perjanjian outsourcing jasa (services). BPO diartikan sebagai: “The delegation, by the customer, of the operational responsibility for a business process execution and performance within the customer’s environment. Busness Process Outsourcing manage non strategic business processes.” Terdapat beberapa manfaat yang dapat dicapai melalui strategi BPO, diantaranya: reduce cost through fewer capital investments; Improve productivity and operational effieciencies; Allow organizations to focus on their core business; Ensure best practices, skills, specialization and technology; Provide access to scalable operations and on demand resources; Strengthen clients’ competitive position. BPO results in increased customer satisfaction, more efficient operations, access to global capabilities, increased cash flow and faster time to market. Terdapat dua bentuk perjanjian outsourcing jasa, yaitu: (1) perjanjian outsourcing jasa teknologi (Information Technology Outsourcing), yang meliputi: electronic commerce, infrastructure, software, telecommunications dan website development, (2) perjanjian BPO, yang meliputi human resources, finance, security, maupun procurement. Di dalam Information Technology Outsourcing (ITO), yang didelegasikan hanyalah menyangkut aplikasi teknologi informasi kepada pihak ketiga, yaitu penyedia jasa outsourcing. Perjanjian BPO merupakan pendelegasian fungsi bisnis yang non inti, misalnya pendelegasian fungsi HRD (Human Resources Development) kepada pihak ketiga (service provider). Di dalam praktek, pelaksanaan ITO berbeda dengan perjanjian BPO. Di dalam perjanjian ITO, pihak customer (pemakai jasa) menyerahkan semua fungsi information technology kepada pihak penyedia jasa (service provider). Sedangkan di dalam BPO, pihak penyedia jasa harus menyediakan beberapa informasi atau dokumen yang 167
Perjanjian BPO dalam Rangka Pengembangan Industri Kecil (Fifi J., Gianto A.I.)
diperlukan, misalnya outsourcing jasa akuntan yang memerlukan data-data dari pihak pengguna jasa untuk diproses. Melalui metode delegasi (outsourcing), perusahaan dapat menyiasati risiko dan beban pengendalian dengan mendelegasikannya kepada pihak ketiga (service provider) yang lebih kompeten. Perjanjian BPO merupakan dokumen yang terpenting di dalam hubungan hukum outsourcing. Para pihak yang terlibat di dalam perjanjian meliputi: (1) pihak penyedia jasa outsourcing yang disebut juga service provider dan (2) pihak pengguna jasa outsourcing (pihak customer). Pada prinsipnya, perjanjian BPO merupakan salah satu bentuk perjanjian pemberian jasa (service contract) yang jika dikaitkan dengan Pasal 1234 Burgerlijk Wetboek, bentuk prestasinya adalah “berbuat sesuatu.” Di dalam perjanjian BPO, pihak penyedia jasa outsourcing mengikatkan diri untuk memberikan jasa di bidang tertentu kepada pihak pengguna jasa (customer) yang menspesifikasikan ketentuan pengukuran (kinerja) yang telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak. Sedangkan pihak pengguna jasa (customer) mengikatkan diri untuk membayar harga (fee) yang telah diperjanjikan. Jadi, perjanjian ini tergolong suatu perjanjian timbal balik, sehingga masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Tanggung jawab pihak penyedia jasa outsourcing secara hukum dalam BPO utamanya berkenaan dengan kualitas jasa (service quality) yang meliputi: kesesuaian dengan instruksi yang diberikan oleh contract manager dari pihak customer, bertanggung gugat atas adanya wanprestasi (breach of contract) yang meliputi: non completion atau jika ada keterlambatan pelaksanaan kontrak (cause of delay), jika kontrak tidak terlaksana dengan semestinya (di luar keadaan force majeure) dan di luar kesalahan pihak pengguna jasa (customer). Perjanjian BPO sekurang-kurangnya harus memuat beberapa hal pokok, yaitu: ruang lingkup serta definisi dan deskripsi tentang jasa dan/atau produk yang harus diserahkan (scope of the work); hak dan kewajiban masing-masing pihak, sehingga setiap pihak mengetahui apa yang harus 168
dilakukan serta hak yang dapat diperoleh; mengatur tentang jaminan (waranties), keamanan (security) maupun kerahasiaan (confidentiality); memberikan rencana atau jadwal yang akan berlaku dalam pelaksanaan jasa atau pembuatan produk yang telah ditentukan di dalam perjanjian; memberikan prosedur yang jelas bagi para pihak untuk mengontrol segala perubahan prestasi dan menyetujui dampak perubahan tersebut terhadap jangka waktu pelaksanaan dan harga; penentuan service level dan bagaimana sistem pembayaran harga atas prestasi yang telah diterima oleh pihak pengguna jasa (customer); menentukan prosedur untuk penyelesaian sengketa dan penentuan remedies jika pihak penyedia jasa gagal mencapai tingkat pelayanan yang disetujui, termasuk adanya pembatasan tanggung gugat, pemutusan kontrak dan renegotiation; menspesifikasikan kepemilikan dari hak atas kekayaan intelektual, produk, maupun lisensi. Prinsip keterbukaan (disclosure) juga merupakan hal yang esensial di dalam perjanjian BPO, dalam arti pihak penyedia jasa outsourcing maupun pihak pengguna jasa harus memberikan informasi yang cukup dan tepat waktu berkaitan dengan pre kontraktual, pelaksanaan kontrak dan pasca pelaksanaan kontrak. Prinsip disclosure membebankan kewajiban kepada pihak penyedia jasa outsourcing maupun pihak pengguna jasa untuk melakukan keterbukaan berkaitan dengan persyaratan esensial untuk menjalin kerjasama yang diwujudkan dalam bentuk kontrak. Berdsasarkan prinsip disclosure, semua fakta, data dan informasi (statement of facts) dikemukakan secara transparan dan dijamin kebenaran dan keakuratannya oleh masing-masing pihak serta dilandasi dengan itikad baik (good faith). Sehubungan dengan prinsip keterbukaan, pihak penyedia jasa outsourcing maupun pihak pemakai jasa (customer) harus menjamin dengan sebenarnya bahwa: pihak penyedia jasa outsourcing telah memperoleh segala bentuk perizinan yang diperlukan untuk melaksanakan prestasi yang diperjanjikan di dalam kontrak; selama jangka waktu perjanjian, pihak penyedia jasa outsourcing
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 3, Des 2008: 165-172
harus menyediakan tenaga yang berkualitas, mempunyai keahlian (skills) dan berpengalaman serta mampu melaksanakan tugas yang dibebankan. Oleh karena itu, beberapa faktor penting dalam melakukan pemilihan penyedia jasa outsourcing sebelum menandatangani perjanjian outsourcing yaitu: harga, komitmen pada kualitas, ketentuan kontrak yang fleksibel, referensi/reputasi dan kelengkapan sumber daya (staf). Sedangkan bagi pihak customer (pengguna jasa outsourcing) juga harus memberikan jaminan (warrant) dengan sebenarnya bahwa: pihak penerima jasa (customer) telah memperoleh segala bentuk perizinan yang diperlukan bagi pihak penyedia jasa outsourcing untuk melaksanakan prestasi yang telah diperjanjikan; penyediaan materi dan informasi yang layak yang dibutuhkan oleh pihak penyedia jasa outsourcing dalam pelaksanaan perjanjian. Terhadap segala bentuk jaminan (warrant) yang harus diberikan oleh pihak penyedia jasa outsourcing dan pihak penerima jasa, harus pula diimbangi oleh para pihak dengan menerapkan prinsip due care and due diligence, yaitu perlu adanya penelitian yang mendalam tentang kebenaran dan keakuratan pernyataan yang diberikan oleh para pihak. Pihak–pihak yang terlibat dalam kontrak tidak harus percaya begitu saja terhadap keterangan yang diberikan, tetapi juga harus diikuti dengan penerapan prinsip due diligence. Kelalaian untuk menerapkan prinsip due diligence, dapat membebankan para pihak untuk bertanggung gugat secara tanggung renteng (joint liability) jika terjadi kerugian bagi pihak ketiga. Pemberdayaan Usaha Kecil Melalui Strategi BPO
Industri kecil tergolong dalam batasan usaha kecil menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, maka batasan industri kecil didefinisikan sebagai berikut: “Industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta dan
mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rp 1 milyar atau kurang.” Sedangkan industri menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperdagangkan secara komersial, yang mempunyai nilai penjualan per tahun lebih besar dari Rp 1 milyar namun kurang dari Rp 50 milyar. Berdasarkan kriteria tersebut, maka batasan pengertian industri besar adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau badan yang mempunyai nilai penjualan lebih besar dari 50 milyar. Secara umum, industri kecil dan perdagangan kecil menengah sejak tahun 1998 meningkat. Jumlah industri kecil meningkat dengan laju pertumbuhan ratarata 11,1% per tahun, dan industri menengah 6,2% per tahun, sedangkan jumlah dagang kecil melaju rata-rata 5,1% per tahun dan dagang menengah sebesar 3,3% per tahun sampai dengan tahun 2001. Berdasarkan data tersebut, nampak bahwa usaha kecil merupakan salah satu pilar penopang perekonomian nasional, sebagai landasan akar kekuatan ekonomi nasional. Peningkatan dan pemberdayaan kemampuan usaha kecil merupakan salah satu solusi pengentasan kemiskinan dan pemerataan dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Strategi Outsourcing Sebagai Salah Satu Bentuk Pola Kemitraan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, terdapat empat metode pemberdayaan usaha kecil, yaitu penciptaan iklim usaha, pembinan dan pengembangan, pembiayaan dan penjaminan serta kemitraan. Kemitraan dapat dilakukan melalui kerjasama yang disertai dengan pembinaan dan pengembangan, dengan berdasarkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan, serta dapat saling menunjang dengan memperpadukan antara kelebihan dan kekurangan masing-masing pihak sehingga apa yang merupakan kelemahan salah satu pihak dapat ditutup oleh pihak lain, demikian pula sebaliknya. Pola outsourcing dapat pula dikategorikan sebagai salah satu pola kemitraan dalam 169
Perjanjian BPO dalam Rangka Pengembangan Industri Kecil (Fifi J., Gianto A.I.)
rangka pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Melalui strategi bisnis outsourcing, hubungan antara usaha kecil sebagai penyedia jasa dan pengusaha besar sebagai rekan bisnis bukan lagi merupakan hubungan keuntungan jangka pendek, tetapi merupakan suatu hubungan terintegrasi. Melalui pola hubungan outsourcing, maka antara usaha kecil sebagai penyedia jasa dan pihak pengusaha sebagai rekan bisnis mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dari produk yang diinginkan oleh perusahaan. Setiap keuntungan yang diperoleh oleh pihak pengusaha besar juga merupakan suatu keuntungan juga bagi pengusaha kecil sebagai penyedia jasa outsourcing. Masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang sama terhadap keberlangsungan perusahaan. Hal ini tentu saja dapat menumbuhkan rasa saling memiliki (sense of belonging) terhadap perusahaan. Melalui strategi BPO, maka pihak pengusaha kecil sebagai penyedia jasa berada dalam kedudukan yang sama. Pihak penyedia jasa berkedudukan sebagai mitra dari pihak pengusaha besar sebagai pemakai jasa. Hal ini tercermin di dalam pola hubungan antara penyedia jasa outsourcing (service provider) dengan pihak customer yang melibatkan beberapa kategori, diantaranya: komunikasi, fleksibilitas, inovasi, integrity, produktivitas, manajemen hubungan, dan kemampuan teknis. Melalui pola hubungan hukum dalam BPO, dapat dihindari adanya eksploitasi pengusaha besar terhadap pengusaha kecil. Hal ini disebabkan di dalam strategis bisnis tersebut lebih mengutamakan pola hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dan pola hubungan yang terintegrasi di antara pihak pengusaha kecil sebagai penyedia jasa dan pihak pengusaha besar sebagai pemakai jasa. Pihak yang satu tidak berada di bawah kedudukan pihak lain (subordinate), tetapi pihak yang satu merupakan mitra bagi pihak yang lain. Perjanjian BPO merupakan perjanjian jangka panjang, komplek dan hubungan personal. Oleh karena itu, pola hubungan antara pihak penyedia jasa dan pemakai jasa lebih merupakan suatu partnership.
170
Outsourcing Memberikan Peluang Berusaha bagi Usaha Kecil
Salah satu keuntungan outsourcing proses bisnis adalah berkembangnya sektor perusahaan atau industri/jasa skala kecil (home industry). Dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang melakukan outsourcing proses bisnis, maka perusahaanperusahaan industri skala kecil juga akan berkembang, terutama disebabkan adanya beberapa bagian pekerjaan dari perusahaan industri besar akan ditangani oleh perusahaanperusahaan industri kecil. Misalnya, sebuah pabrik pakaian skala besar yang melakukan outsourcing seluruh proses produksinya, maka di dalam strategi pendelegasian tersebut perusahaan tentu saja akan melibatkan beberapa perusahaan industri kecil yang bergerak di bidang pemotongan kain, pengobrasan pakaian, penjahit potongan kain, dll. Melalui strategi ini, maka perusahaan akan lebih dapat berkonsentrasi terhadap usaha inti (core business). Melalui strategi bisnis outsourcing, maka segala kegiatan yang bukan merupakan bisnis inti (non core business) perusahaan tidak akan menjadi beban bagi perusahaan, karena pelaksanaannya didelegasikan kepada pihak eksternal/di luar perusahaan yang lebih berkompeten. Akibatnya, segala sumber yang ada dapat difokuskan pada bisnis inti dan perusahaan lebih dapat berkonsentrasi pada bisnis inti yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing (competitiveness) dengan perusahaan lain yang sejenis. Pada bentuk organisasi bisnis dengan outsourcing, maka bisnis inti (core business) dari suatu perusahaan dikelilingi dan didukung oleh fungsi dan proses yang di outsource bagi perusahaan penyedia jasa outsourcing. Hal ini menunjukkan bahwa segala sumber daya dari suatu perusahaan tidak hanya dilakukan secara insource, tetapi didelegasikan kepada pihak ketiga yang lebih berkompeten. Melalui metode ini, tentu saja akan lebih memperbesar peluang pengusaha kecil untuk mendapat delegasi pekerjaan dari perusahaan berskala besar untuk melakukan sebagian dari produksinya. Industri yang bergerak di bidang meubel rotan di Kabupaten Gresik, sebagai contoh, juga menerapkan strategi bisnis
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 3, Des 2008: 165-172
outsourcing. Dengan menerapkan metode outsourcing, perusahaan meubel rotan dapat lebih memfokuskan diri pada bisnis intinya, yaitu pembuatan meubel. Sedangkan proses bisnis yang non inti, seperti: proses pembersihan rotan diserahkan pengerjaannya kepada industri kecil di lokasi setempat. Melalui strategi ini, maka akan menciptakan pola kemitraan antara industri berskala besar dengan industri kecil. Selain itu juga dapat memberikan peluang bisnis yang lebih luas bagi industri kecil di Kabupaten Gresik untuk turut membangun mitra dengan perusahaan yang berskala besar. Bagi industri meubel, strategi outsourcing dapat meningkatkan konsentrasi perusahaan terhadap bisnis inti, sehingga pada akhirnya juga akan dapat meningkatkan daya saing atas produknya di pasar domestik maupun internasional. Outsourcing sebagai Sarana Pengembangan Industri Kecil Pendukung (Supporting Industries)
Mayoritas industri kecil di Indonesia tergolong industri pendukung (supporting industries). Namun, ketergantungan impor komponen masih sangat besar dan terus meningkat, yaitu nilai impor tahun 1999 sebesar US$3,5 milyar dan tahun 2000 sebesar US$5,5 milyar. Oleh karena itu, salah satu upaya pengembangan industri kecil adalah dengan mengembangkan industri pendukung (supporting industries) dengan fokus UKM, khususnya meliputi cabang-cabang industri: barang modal, komponen permesinan, alat listrik dan elektronika, dan asesoris, dsb, kesemuanya didukung dengan langkah-langkah pengembangan produk UKM (product development), pengembangan kemampuan SDM, pemasyarakatan penggunaan teknologi informasi, pengembangan teknologi mutu, desain dan pengemasan. Sistem outsourcing merupakan salah satu cara untuk lebih memperluas jangkauan pasar dan peluang bisnis bagi Industri kecil untuk memasok kebutuhan industri perakit dalam negeri maupun luar negeri (global outsourcing). Hal ini dimungkinkan mengingat melalui strategi outsourcing, maka perusahaan tidak melaksanakan seluruh produksinya secara internal, tetapi mendelegasikan sebagian
proses produksinya yang bukan merupakan bisnis inti kepada pihak eksternal (penyedia jasa outsourcing) yang lebih berkompeten. Pemberdayaan dan pengembangan industri kecil pendukung melalui strategi outsourcing pada akhirnya akan memperluas penciptaan lapangan kerja dan dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan keterkaitan industri yang luas. Perkembangan industri kecil pendukung yang cukup signifikan di Indonesia harus diikuti dengan pengembangan strategi bisnis outsourcing. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Pada prinsipnya, perjanjian BPO merupakan suatu bentuk perjanjian outsourcing jasa (services), sehingga bentuk prestasi yang utama dari pihak penyedia jasa (service provider) jika dikaitkan dengan Pasal 1234 Burgerlijk Wetboek adalah “melakukan/ berbuat sesuatu”. Hubungan hukum dalam perjanjian ini melibatkan dua pihak, yaitu (1) pihak penyedia jasa dan pihak pengguna jasa. Hakikat perjanjian BPO merupakan pendelegasian proses bisnis tertentu yang bukan merupakan bisnis inti kepada pihak ketiga (penyedia jasa outsoucing). Pemberdayaan industri kecil melalui strategi bisnis outsourcing tercipta melalui tiga hal, yaitu (1) terciptanya pola kemitraan antara industri berskala besar dengan industri kecil, (2) semakin luasnya peluang bisnis bagi industri kecil, dan (2) dapat meningkatkan peran industri pendukung (supporting industries). Namun, strategi bisnis outsourcing harus pula diikuti dengan pningkatan daya saing industri kecil melalui peningkatan kualitas SDM, penggunaan Teknologi Informasi dan fasilitasi pemerintah. Saran
Pertama, dalam membentuk perjanjian BPO hendaknya didasarkan pada prinsip itikad baik dan prinsip keadilan guna terciptanya win win solution yang dapat memberikan kedudukan yang mutual (saling menguntungkan) bagi pihak customer maupun pihak penyedia jasa outsourcing (service provider). Kedua, dalam upaya untuk meningkatkan daya saing industri kecil di era 171
Perjanjian BPO dalam Rangka Pengembangan Industri Kecil (Fifi J., Gianto A.I.)
perdagangan bebas dan globalisasi, maka pemerintah dalam kebijakannya hendaknya diupayakan untuk lebih meningkatkan kualitas SDM industri kecil melalui berbagai bentuk pelatihan, terutama dalam penguasaan di bidang Teknologi Informasi. Ketiga, perlu adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang Perjanjian Outsourcing, khususnya BPO. Dengan adanya pengaturan khusus tentang outsourcing, maka akan dapat memberikan pedoman dalam penyusunan perjanjian BPO dan sebagai sarana perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat di dalam perjanjian BPO. DAFTAR PUSTAKA
Bierce & Kennerson, LP, Outsourcing Law, (online), Available: http://www. outsourcing-law.com/privacy.htm, h. 1, (18 Mei 2005) Fuady, Munir, 2001. Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bakti, Bandung. Morgan, Richard and Kit Burden, 2001. Computer Contracts, Sweet & Maxwell, London. Indrajit, Richardus Eko, 2003. Peran TI dalam Pengembangan Industri Kecil, (online), Available: http://www. ebizzasia.com/0107-2003, (10 September 2005) Junita, Fifi & Gianto Al Imron, 2001. Aspek Yuridis Pemberdayaan Usaha Kecil yang Bergerak di Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya. ____, Fifi & Gianto, Al Imron, 2000. Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Atas Perhigungan Bersama (Conto a Meta) sebagai Upaya Pemberdayaan Usaha Kecil, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya.
172
Linder, Jane C, BPO Big Bang: Turning Theory Into Practice, h. 1, Available: http://www.accenture.com/xdoc/en/ services/afs_research_bpobig.pdf, (online), (5 Oktober 2005). Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002-2004, (online), Available: http: www.dprin.go.id, (11 Agustus 2005). Ristek, 2002, (online), Studi Transfer Teknologi kepada UKM beserta Pengembangan Riset, Available: 202.4615.604/data/berita_detail.asp?jd =224-12k, (10 Oktober 2005). Suwondo, Chandra, 2003. Outsourcing, Implementasi di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta. Sanusi, Bintang & Dahlan, 2000. PokokPokok Hukum Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Bandung. Subekti, R., 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.. ____, 1984. Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cet. iv, Binacipta, Bandung. Samuel, Peter Bendor, 2000, What Exactly BPO?, Outsourcing Journal, (online), h.3, avalaible: http://www.bpooutsouring-journal.com/Jul2000insight.html, (18 Mei 2005) Withers, Steven, BPO, Save Money or Fix Your Process?, 2004. (online), Available: http://www.Zdnet.com.au/insight/b usiness/soa/BPO_save_money_or_fix _your_process_/0,39023749,39156391,0 0.htm. (11 Agustus 2005) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)