PERILAKU LUTUNG JAWA Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) PADA FRAGMEN HABITAT TERISOLASI DI TWA GUNUNG PANCAR
EKO SULISTYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2013 Eko Sulistyadi NIM E351100141
RINGKASAN
EKO SULISTYADI. Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan IBNU MARYANTO. Lutung jawa merupakan satwa primata yang terancam punah. Degradasi habitat sebagai ancaman utama menyebabkan banyak populasi lutung jawa hidup pada fragmen habitat yang terisolasi. Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas harian lutung jawa di TWA sebagai bentuk adaptasi pada fragmen habitat yang terisolasi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2012 menggunakan metode focal animal sampling. Analisis vegetasi dilakukan dengan point centered quarter method pada 40 plot sampling yang ditentukan berdasarkan titik perjumpaan lutung jawa. Hasil kajian menunjukkan terdapat tiga tipe tutupan lahan yang digunakan oleh lutung jawa yaitu hutan alam, peralihan hutan-kebun dan kebun. Aktivitas dominan lutung jawa dijumpai pada peralihan hutan-kebun (48.19%). Proporsi aktivitas tertinggi berturut-turut adalah istirahat (33.65%), makan (30.68%), bergerak/berpindah (27.08%) dan aktivitas sosial (8.60%). Berdasarkan uji chi square diketahui frekuensi perjumpaan lutung jawa menunjukkan pola sebaran yang berbeda pada setiap variabel lingkungan kecuali pada kategori waktu aktivitas, sedangkan frekuensi tiap jenis aktivitas menunjukkan pola distribusi yang relatif sama pada setiap variabel lingkungan. Durasi aktivitas lutung betina dewasa menunjukkan pola sebaran yang berbeda pada variabel waktu aktivitas, jarak dari kebun, jarak dari jalan dan tutupan lahan, sedangkan durasi aktivitas lutung jantan dewasa hanya berhubungan dengan variabel waktu aktivitas. Analisis CCA menunjukkan adanya variasi hubungan aktivitas harian terhadap faktor-faktor lingkungan. Analisis PCA menunjukkan adanya hubungan antara beberapa vegetasi dominan terhadap aktivitas harian dengan nilai total inertia akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.46 dan total variasi yang dapat dijelaskan pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 86.43%, 7.90% dan 4.20%. Kata kunci: aktivitas harian, fragmentasi, isolasi habitat, Trachypithecus auratus
SUMMARY
EKO SULISTYADI. The Behavior of Javan Langur Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) on Isolated Habitat Fragment in TWA Gunung Pancar. Under supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and IBNU MARYANTO. Javan langur is protected spesies of primates that highly threatened. Habitat degradation as a major threat causes a lot of javan langur populations living in isolated habitat fragments. The study aims to assess the daily activities of javan langur in isolated habitat fragments in the TWA Gunung Pancar as a form of adaptation to an isolated habitat fragments. The research was conducted in MayJune 2012 by using focal animal sampling method. Vegetation analysis was performed by point-centered quarter method for 40 sampling plot determined by encounter point of javan langur. The results showed that there were three major land cover types used by the Javan langur which are forest, transitional forest-plantation and plantation. The dominant activity found in transitional forest-plantation (48.19%). The proportion of aech activity is resting (33.65%), eating (30.68%), moving (27.08%) and social activities (8.60%). Based on chi square test known that the encounter of frequency showed a different distribution pattern in each environment variable, except in the category of time activity, while the frequency of each activity showed the same distribution pattern in each environment variable. The duration activity of adult female showed a different pattern of distribution in the time activities variabel, the distance from the cultivation, the distance from the road and land cover variabel, while the duration of activity of adult male only corelated with time activity variable. CCA analysis showed the variation trend of the daily activities related to environmental factors. PCA analysis showed a trend of association between some of the dominant vegetation with daily activities for a total eigenvalue of 3.46 and a total variation described in component 1, component 2 and component 3 is 86.43%, 7.90% and 4.20%. Keywords: daily activity, fragmentation, habitat isolation, Trachypithecus auratus
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERILAKU LUTUNG JAWA Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) PADA FRAGMEN HABITAT TERISOLASI DI TWA GUNUNG PANCAR
EKO SULISTYADI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Nyoto Santoso, MS
Judul Tesis : Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar Nama : Eko Sulistyadi NIM : E351100141
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi Ketua
Prof (Riset) Dr Ibnu Maryanto Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 23 Januari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan Berkah, Rahmat dan Hidayah-Nya maka tesis yang berjudul “Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar” dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Master Sains Program Pascasarjana IPB. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Prof. (Riset) Dr. Ibnu Maryanto selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, pertimbangan dan saran selama masa penelitian sampai tersusunnya tesis ini. Penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi selama penelitian dan penyusunan tesis ini, diantaranya Bapak/Ibu dosen Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Teman-teman KVT, MEJ dan KKH, Sekretariat Pascasarjana Prodi KVT serta Mang Uci dan Ige yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan. Tak lupa anak, istri dan keluarga yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2013 Eko Sulistyadi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Lutung Jawa Komponen Habitat Deforestasi, Degradasi dan Fragmentasi Hutan 3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Kawasan Luas dan Letak Topografi Iklim Hidrologi Geofisik Flora Fauna Sosial Ekonomi 4 METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Tahapan Penelitian Data yang Diperlukan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
ix x xi 1 1 2 3 3 3 5 5 10 11 12 12 12 13 13 13 13 13 14 14 15 15 15 16 16 17 18 19 19 45 56 56 56 57 65 76
DAFTAR TABEL
1 Jenis data dan metode pengumpulannya 2 Struktur kelompok lutung jawa di Gunung Pancar 3 Durasi aktivitas lutung janta dan betina pada berbagai kategori selang waktu 4 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori selang waktu 5 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori strata pohon 6 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori strata pohon 7 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori tutupan lahan 8 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori tutupan lahan 9 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori kemiringan lereng 10 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori kemiringan lereng 11 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori ketinggian tempat 12 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori ketinggian tempat 13 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari jalan 14 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari jalan 15 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari kebun 16 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari kebun 17 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori diameter pohon 18 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori diameter pohon 19 Hasil uji chi square frekuensi perjumpaan lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan 20 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas lutung betina pada berbagai variabel lingkungan 21 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas lutung jantan pada berbagai variabel lingkungan 22 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas total pada berbagai variabel lingkungan 23 Hasil Uji chi square durasi aktivitas lutung betina dewasa pada tiap variabel lingkungan
16 19 22 22 23 24 25 25 26 27 28 28 29 30 31 32 32 33 34 34 35 35 36
24 Hasil Uji chi square durasi aktivitas lutung jantan dewasa pada tiap variabel lingkungan 25 Hasil uji chi square durasi aktivitas total pada tiap variabel lingkungan 26 Daftar jenis vegetasi dengan nilai INP tertinggi di sekitar habitat lutung jawa di Gunung Pancar
36 36 39
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian Citra Satelite Lokasi Penelitian (Google Earth 2009) Tipe habitat lutung jawa di TWA Gunung Pancar Durasi aktivitas harian lutung jawa Durasi aktivitas lutung jantan dan betina Durasi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu Durasi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon Durasi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan Durasi aktivitas total pada berbegai kategori kemiringan lereng Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori kemiringan lereng Durasi aktivitas total pada berbagai kategori ketinggian tempat Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori ketinggian tempat Durasi tiap jenis aktivitas pada berbagai selang jarak dari jalan Frekuensi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari jalan Durasi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari kebun Frekuensi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari kebun Durasi aktivitas total pada berbagai kategori diameter pohon Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori diameter pohon Hubungan aktivitas lutung betina dewasa dengan variabel lingkungan Hubungan aktivitas lutung jantan dewasa dengan variabel lingkungan Hubungan aktivitas total dengan variabel lingkungan Aktivitas manusia di area lereng Gunung Pancar Aktivitas lutung jawa pada beberapa spesies vegetasi Hubungan aktivitas lutung betina dengan spesies vegetasi (komp 1&2) Hubungan aktivitas lutung betina dengan spesies vegetasi (komp 1&3) Hubungan aktivitas lutung jantan dengan spesies vegetasi (komp 1&2) Hubungan aktivitas lutung jantan dengan spesies vegetasi (komp 1&3) Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi (komp 1 & 2) Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi (komp 1 & 3) Aktivitas lutung jawa pada area lereng Bekas tebangan pohon di hutan alam
4 15 20 21 21 21 22 23 24 24 25 26 27 27 28 29 30 31 31 32 33 37 38 39 40 41 42 42 43 43 44 45 50 54
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan uji chi square frekuensi perjumpaan lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan 2 Hasil penghitungan chi square frekuensi aktivitas lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan 3 Hasil penghitungan chi square durasi aktivitas lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan 4 Daftar jenis vegetasi pada habitat lutung jawa di Gunung Pancar 5 Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh lutung jawa untuk beraktivitas 6 Jenis-jenis tumbuhan pakan potensial lutung jawa 7 Klasifikasi kemiringan lereng di TWA Gunung Pancar
65 67 69 71 73 74 75
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Hutan tropis merupakan habitat bagi sebagian besar jenis primata (Mittermeier & Cheney 1987, Chapman et al. 2006). Sebagai habitat penting bagi primata, hutan tropis menghadapi tekanan yang besar akibat dari kerusakan habitat dan kegiatan perburuan (Mittermeier & Cheney 1987). Kedua faktor ini merupakan ancaman utama yang menyebabkan penurunan populasi primata. Degradasi dan fragmentasi habitat secara langsung akan berdampak pada penurunan sumber daya lingkungan, isolasi yang lebih besar terhadap populasi serta semakin intensifnya efek tepi terhadap populasi primata. Tercatat satu dari empat jenis primata saat ini terancam punah sebagai akibat dari hilangnya habitat (Mittermeier 1996, IUCN 2011). Lutung jawa (Trachypithecus auratus) termasuk satwa primata yang dilindungi perundangan RI berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 733/Kpts-II/1999 serta masuk dalam kategori Vulnerable A2cd (IUCN 2011) dan Appendix II CITES. Diperkirakan penurunan populasi lutung jawa lebih dari 30% dalam kurun waktu 10 tahun atau tiga generasi terakhir yang diakibatkan penurunan kuantitas maupun kualitas habitat serta potensi eksploitasi yang tinggi. Kerusakan habitat akibat degradasi dan konversi hutan menjadi areal pemanfaatan menyebabkan habitat lutung jawa menjadi terfragmentasi dan bahkan terisolasi akibat tidak adanya koridor antar populasi. Cowlishaw & Dunbar (2000) serta Marsh (2003) menyatakan bahwa beberapa spesies primata yang terancam punah saat ini hidup di habitat hutan yang terfragmentasi. Kegagalan adaptasi terhadap perubahan lingkungan akan membawa spesies tertentu kepada kepunahan (Isabirye-Basuta & Jeremiah 2008, Sharkley 1996, Newsome et al. 2005). Kondisi tersebut diperburuk dengan perburuan dan perdagangan satwa primata secara ilegal. Malone (2003) mencatat adanya perdagangan satwa primata di Jawa dan Bali dimana salah satunya adalah lutung jawa. Melihat statusnya yang cukup mengkhawatirkan maka sudah sewajarnya jika lutung jawa menjadi prioritas konservasi satwa di Indonesia. Gunung Pancar merupakan salah satu habitat lutung jawa (Nijman 2000). Kawasan ini berbatasan langsung dengan permukiman penduduk serta bersentuhan langsung dengan kegiatan pariwisata, perdagangan maupun pertanian. Sebagian besar aktivitas pertanian memanfaatkan areal di sekitar hutan lindung sehingga menyebabkan habitat lutung jawa di kawasan ini terfragmentasi dan terisolasi. Kondisi ini dapat digambarkan dengan data yang diungkapkan FWI (2009) bahwa di Jawa tutupan hutan tinggal 1.02% dengan deforestasi yang terjadi di hutan lindung sebesar 3.07 juta ha (11.77%) dan di kawasan konservasi sebesar 2.15 juta ha (12.82%). Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa degradasai dan fragmentasi habitat ternyata masih saja terus terjadi meskipun laju deforestasi relatif menurun. Hal inilah yang menjadi masalah serius bagi upaya konservasi lutung jawa. Fakta terakhir menunjukkan bahwa di sekitar kawasan Gunung Pancar akan dibangun proyek Sentul Nirwana, sebuah kawasan mega residensial seluas 12 ribu hektar yang nantinya akan mengelilingi dan bahkan
2 menggusur eksistensi TWA Gunung Pancar. Tekanan yang sedemikian tinggi terhadap habitat lutung jawa di Gunung Pancar memunculkan kekhawatiran akan kelestarian satwa ini di masa depan. Kondisi inilah yang memicu munculnya gagasan dasar untuk melakukan studi mengenai lutung jawa yang ada di Gunung Pancar sebagai salah satu wujud upaya konservasi keanekaragaman hayati. Penelusuran pustaka menunjukkan bahwa beberapa studi tentang lutung jawa telah dilakukan meliputi aspek populasi dan distribusinya (Nijman & van Balen 1998, Nijman 2000, Megantara 2004); habitat (Febriyanti 2008, Subarkah dkk. 2011) dan perilaku (Nursal 2001, Prilyanto 2008, Wirdateti 2009). Namun demikian sebagian besar kajian lebih banyak berfokus pada kawasan hutan yang masih relatif baik, sedangkan kajian pada kondisi habitat yang kurang ideal masih relatif jarang dilakukan. Permasalahan ini sangat terkait dengan kondisi yang berkembang sekarang ini bahwa populasi lutung jawa banyak hidup pada kantung-kantung habitat yang terfragmentasi dan terisolasi. Dengan demikian pengungkapan informasi mengenai aspek-aspek bioekologi lutung jawa pada kondisi habitat dan populasi yang kurang ideal merupakan salah satu langkah penting dalam upaya konservasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gibbons & Harcourt (2009) yang menyatakan bahwa studi mengenai berbagai aspek bioekologi dasar pada populasi primata yang hidup di fragmen habitat yang terisolasi merupakan kontribusi yang penting bagi upaya konservasi primata.
Perumusan Masalah Kondisi hutan alam yang merupakan habitat bagi satwa liar semakin terdesak oleh pertumbuhan populasi manusia. Banyak kawasan hutan dikonversi menjadi permukiman, lahan pertanian dan area penggunaan intensif dengan tidak memperhatikan aspek ekologis dan kelestarian lingkungan. Rendahnya kesadaran akan pentingnya hutan sebagai penyeimbang dalam kompleksitas ekosistem merupakan salah satu penyebabnya. Degradasi dan fragmentasi hutan berimplikasi terhadap menurunnya sumber daya lingkungan, meningkatnya efek isolasi serta bertambah intensifnya pengaruh efek tepi sehingga menjadi ancaman serius bagi kelestarian populasi lutung jawa. FWI (2009) mencatat bahwa saat ini laju degradasi dan fragmentasi habitat hutan di Jawa masih terus terjadi. Kondisi ini menyebabkan banyak populasi lutung jawa terisolasi dalam kantung-kantung habitat yang tersebar dan terpisah satu sama lain. Cowlishaw & Dunbar (2000) serta Marsh (2003) menyatakan bahwa beberapa spesies primata yang terancam punah saat ini hidup di habitat hutan yang terfragmentasi. Semakin tingginya angka kehilangan habitat yang berpotensi pada kepunahan populasi lutung jawa mendorong untuk segera dilakukan upaya penyelamatan. Salah satu informasi penting yang diperlukan sebagai dasar pengelolaan habitat dan populasi adalah data mengenai bioekologi dasar, salah satunya adalah mengenai perilaku. Kajian mengenai perilaku diharapkan dapat menjelaskan mekanisme adaptasi lutung jawa terhadap kondisi fragmen habitat yang terisolasi.
3 Studi mengenai perilaku lutung jawa di Gunung Pancar belum pernah dilakukan sebelumnya. Kajian terhadap perilaku lutung jawa pada fragmen habitat yang terisolasi akan memberikan informasi terkait faktor-faktor lingkungan (biologi dan fisik) yang penting bagi kelangsungan hidup populasi lutung jawa. Pengetahuan mengenai dampak fragmentasi dan hilangnya habitat terhadap populasi satwa liar merupakan informasi yang sangat berharga bagi upaya konservasi dan restorasi (Gorresen & Willig 2004).
Tujuan Penelitian Beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain: 1. Menentukan pola distribusi aktivitas harian lutung jawa pada fragmen habitat yang terisolasi. 2. Mengidentifikasi variabel lingkungan (biotik dan fisik) yang berpengaruh terhadap aktivitas harian lutung jawa pada fragmen habitat yang terisolasi. 3. Menentukan hubungan antara aktivitas harian lutung jawa dengan keberadaan spesies vegetasi pada fragmen habitat yang terisolasi.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi dasar mengenai pola distribusi aktivitas, faktor lingkungan penting yang berpengaruh terhadap aktivitas lutung jawa serta asosiasi aktivitas lutung jawa dengan spesies vegetasi pada fragmen habitat yang terisolasi. Data tersebut diharapkan dapat berkontribusi terhadap upaya konservasi dan pengelolaan lutung jawa di TWA Gunung Pancar serta kawasan dengan habitat yang terfragmentasi dan terisolasi.
Kerangka Pemikiran Degradasi dan fragmentasi habitat menyebabkan banyak populasi lutung jawa hidup dalam fragmen habitat yang terisolasi. Implikasi dari kondisi ini adalah menurunnya sumber daya, meningkatnya efek isolasi serta semakin intensifnya efek tepi yang berdampak terhadap terganggunya populasi lutung jawa jawa. Kondisi ini memaksa lutung jawa untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik dan biotik agar dapat bertahan hidup. Beberapa aspek penting terkait perilaku lutung jawa antara lain distribusi aktivitas harian, faktor lingkungan penting yang berpengaruh terhadap aktivitas harian serta asosiasi antara jenis vegetasi dengan aktivitas harian lutung jawa. Informasi mengenai keberhasilan adaptasi terkait beberapa aspek kajian tersebut diharapkan menjadi kontribusi penting bagi upaya konservasi lutung jawa. Bagan kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
4
Populasi Lutung Jawa
Habitat
Fragmen Habitat Terisolasi
Kondisi Habitat Baik
Populasi Terganggu
Populasi Lestari
Faktor Biotik (Vegetasi)
-
Faktor Fisik Elevasi Slope Tutupan Lahan Jarak dari Jalan Jarak dari Kebun
Adaptasi
Distribusi Aktivitas Harian
Berhasil (Lestari)
Penggunaan faktor lingkungan (fisik dan biologi)
Asosiasi Aktivitas & Vegetasi
Gagal (Punah)
Konservasi
Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lutung Jawa Morfologi Beberapa peneliti membagi lutung jawa menjadi subspesies tertentu berdasarkan ciri morfologi dan distribusinya. Brandon-Jones (1995, 2004) dan Weitzel (1985) menyatakan bahwa terdapat dua subspesies Trachypithecus auratus di Jawa yaitu T. auratus auratus dan T. auratus mauritius. Supriatna (2000) menambahkan satu subspesies yaitu T. auratus cristatus. Secara morfologis lutung jawa memiliki panjang tubuh rata-rata dari ujung kepala sampai tungging 517 mm dan panjang ekornya 742 mm dengan berat tubuh rata-rata 6.3 kg (Written 1982 diacu dalam Bismark 1993). Rowe (1996) mencatat rata-rata bobot tubuh lutung jawa berkisar ± 7 kg dengan panjang tubuh berkisar 44-65 cm dan panjang ekor 61-87 cm. Warna rambut dominan hitam diselingi dengan warna keperak-perakan dengan bagian ventral berwarna kelabu pucat dengan jambul yang menyembul di kepala. Anak lutung yang baru lahir berwarna kuning jingga tidak berjambul dan warnanya akan berubah semakin gelap menjadi hitam kelabu seiring pertumbuhan usianya (Rowe 1996). Pada betina terdapat bercak kuning di sekitar organ genitanya (Brandon-Jones 1995). Jenis primata arboreal ini memiliki bentuk ibu jari yang besar dengan telapak tangan berupa segitiga dan datar yang merupakan bentuk adaptasi lutung untuk dapat hidup di pohon (arboreal). Lutung jawa berjalan, berlari dan bergerak secara horizontal dan kontinyu menggunakan keempat tungkainya (quadrupedally) (Fleagle 1978, Rowe 1996). Formula gigi lutung jawa adalah 2:1:2:3 di kedua rahangnya (Ankel-Simons 2000) serta memiliki lambung sacculated yang membantu pencernaan sellulosa (Kool 1993, Nijman 2000, Primate Info Net 2007, Richardson 2005) serta memiliki kelenjar ludah yang besar untuk membantu memecah makanan. Habitat dan Persebaran Lutung jawa adalah primata endemik Indonesia yang hanya dapat ditemukan di Jawa, Bali, Lombok, Pulau Sempu dan Nusa Barung (IUCN 2011), dengan populasi di Lombok diindikasikan merupakan introduksi (Groves 2001). Populasi lutung jawa dapat ditemukan baik di hutan pedalaman Indonesia bagian barat demikian juga di kawasan pantai di bagian selatan (Nijman & Supriatna, 2008, Nijman 2000, Richardson 2005). Berbagai tipe habitat tercatat menjadi habitat lutung jawa seperti hutan mangrove, hutan pesisir, hutan rawa air tawar; hutan dataran rendah dan perbukitan yang selalu basah, hutan kerangas, hutan gugur dan hutan pegunungan sampai ketinggian 3500 m dpl, serta di beberapa hutan tanaman Jati Tectona grandis, Rasamala Altingia excelsa dan Akasia Acacia spp (Nijman 2000, Richardson 2005, Nijman & Supriatna 2008, Primate Info Net 2007). Lutung jawa juga tercatat menghuni kawasan dalam maupun tepi hutan
6 hujan (Nijman & van Balen 1998, Gurmaya et al. 1994). Kool (1986) menyatakan bahwa di CA Pangandaran lutung jawa hidup di hutan dataran rendah campuran dan hutan tanaman sekunder seperti Tectonia grandis, Swietenia macrophylla, dan tegakan Acacia auriculiformis. Nijman (2000) telah mencatat sebanyak 42 titik distribusi lutung jawa di Jawa, Bali dan Lombok salah satunya adalah di Gunung Pancar. Di Jawa Timur, populasi-populasi tertentu memiliki dua tipe morfologi (dimorfis) yaitu jenis yang berwarna hitam (melanic) yang lebih umum dan jenis yang berwarna kuning (erythristic) yang ditemukan di bagian paling timur Jawa dengan batasnya Gunung Penanggungan dan sekitar Mojokerto ke arah selatan melalui Wonosalam dan Blitar menuju Pegunungan Kidul (Nijman 2000). Brandon-Jones (1995) menyatakan persebaran subspesies T. auratus auratus meliputi Jawa sebelah timur, Bali, Lombok, Palau Sempu and Nusa Barung. Subspesies ini memiliki dua bentuk morfologi dimana jenis yang berwarna merah tersebar secara terbatas antara Blitar, Ijen, dan Pugeran (Groves 2001). Morfologi yang lebih umum berwarna hitam dan ditemukan di Jawa sebelah timur menuju ke barat sampai Gunung Ujungtebu (Brandon-Jones 1995). Groves (2001) mencatat persebaran T. auratus mauritius terbatas di Jawa Barat menuju ke utara sampai Jakarta termasuk Bogor, Cisalak, dan Jasinga, Ujung Kulon dan Cikaso/Ciwangi. Lutung jawa tercatat juga ditemukan di Gunung Prahu (Nijman & van Balen 1998); Taman Nasional Ujung Kulon (Gurmaya et al. 1994); Pegunungan Dieng (Nijman & van Balen 1998) dan Gunung Pancar (Nijman 2000). Profauna (2010) mencatat bahwa di Tahura R Soerjo ditemukan 11 kelompok lutung jawa dengan total individu sebanyak 80 ekor. Distribusi lutung jawa relatif luas dan merata dengan habitat yang beragam sesuai dengan kondisi topografi. Tercatat lutung jawa ditemukan mulai dari habitat hutan primer sampai pada habitat terbuka. Kondisi habitat lutung jawa saat ini sudah sangat berkurang akibat desakan kebutuhan manusia yang semakin tinggi akan lahan. Sebagian besar hutan dataran rendah khususnya di Jawa bisa dikatakan telah habis dan hanya tersisa sebagian kecil pada kantong-kantong kawasan konservasi sehingga mengakibatkan banyak populasi lutung jawa hidup pada habitat hutan pegunungan sampai dataran tinggi sebagai implikasi hilangnya hutan dataran rendah. Hutan pegunungan dataran rendah sampai hutan tropis pegunungan tinggi ternyata juga tidak lepas dari tekanan aktivitas manusia. Pada level tertentu gangguan hanya bersifat temporer, namun pada kondisi yang sudah sangat parah konversi hutan menjadi areal penggunaan lain tidak bisa lagi dihindarkan. Gunung Pancar adalah salah satu potret kondisi hutan pegunungan dataran rendah terganggu yang masih tersisa di kawasan Bogor. Status kawasan yang merupakan taman wisata alam merupakan salah satu alasan mengapa sampai saat ini Gunung Pancar masih memiliki hutan alam walaupun dengan kondisi yang amat memprihatinkan. Fragmen-fragmen habitat yang tersebar merata di seluruh Indonesia khususnya di Pulau Jawa telah membentuk populasi-populasi kecil yang terpisah satu sama lain (metapopulasi) sehingga mengakibatkan resiko ancaman kepunahan semakin tinggi. Faktor pemanfaatan secara ilegal melalui mekanisme perburuan dan perdagangan liar menjadi ancaman serius kelestarian lutung jawa
7 saat ini. Belum lagi faktor internal seperti degradasi genetik yang lazim terjadi pada populasi yang kecil akan semakin mengancam kelestarian lutung jawa. Struktur Kelompok Lutung jawa adalah primata yang hidup berkelompok dan bersifat diurnal serta arboreal dengan sebagian besar aktivitas dihabiskan diatas pohon (Lekagul & McNeely 1977). Kartikasari (1982) menyatakan bahwa dalam satu kelompok lutung jawa rata-rata terdiri dari 10 individu dengan satu jantan, beberapa betina dewasa, anak dan bayi. Menurut Medway (1970) lutung jawa berkelompok dengan anggota 6–23 ekor, dengan 1 ekor jantan dewasa sebagai pemimpin. Cannon (2009) juga menyatakan dalam satu kelompok lutung jawa biasanya terdiri dari 1-2 jantan dengan 5-6 betina, ukuran kelompok bisa mencapai 23 individu dengan tetap 1-2 jantan dalam kelompok. Jumlah betina dalam kelompok lebih dominan dibanding jantan, hal ini terkait dengan sistem perkawinan poligami dimana satu jantan akan mengawini banyak betina dalam kelompoknya. Jantan muda biasanya akan terpisah dengan kelompoknya dan membentuk kelompok dengan para jantan muda lainnya. Ukuran kelompok dipengaruhi oleh faktor iklim dan musim (Cannon 2009). Pada musim kering yang panjang ukuran kelompok biasanya akan lebih besar, hal ini terkit dengan ketersediaan sumber daya pakan. Watanabe et al. (1996) mencatat bahwa populasi lutung jawa di Cagar Alam Pangandaran membentuk kelompok kecil yang padat dan cenderung menghindari perkebunan jati. Hasil penelitian Megantara (2004) menunjukkan bahwa secara umum penyebaran lutung di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran tidak merata, di Taman Wisata lebih mengelompok daripada yang terdapat di Cagar Alam. Tercatat masing-masing 7 kelompok lutung jawa di Taman Wisata dan Cagar Alam dengan kepadatan kelompok 18-26 kel/km2 dan 3.5 kel/km2. Beberapa studi mencatat kepadatan rata-rata berkisar 7.9 – 8.8 kelompok/km2 dengan estimasi individu 114 – 147.9 individu/km2 (Meijaard & Nijman komunikasi pers dalam IUCN 2011). Rata-rata lutung jawa dapat hidup selama kira-kira 20 tahun (Delson 2008). Reproduksi Pola reproduksi lutung jawa adalah poligami dimana jantan dominan akan mengawini beberapa betina dalam kelompoknya. Betina akan memulai masa bereproduksi pada umur 3-4 tahun dan dapat melahirkan satu anak dalam setahun. Reproduksi dan kelahiran dapat terjadi sepanjang tahun (Cannon 2009). Pola pengasuhan anak dilakukan oleh betina dalam kelompok secara bersama-sama (allomothering) (Bristol Zoo Gardens 2009, Nijman 2000, Primate Info Net 2007). Dalam masa mengasuh anak betina akan bersifat agresif terhadap betina dari kelompok lain (Kool 1991, Nijman and Supriatna 2008, Nijman 2000, Primate Info Net 2007, Richardson 2005). Bayi lutung akan tumbuh dengan cepat dan mandiri pada usia 1 tahun (Cannon 2009).
8 Perilaku Perilaku satwa dapat dikategorikan dalam beberapa kategori sesuai dengan fungsinya meliputi perilaku pemeliharaan, perilaku makan, orientasi dan navigasi dan beberapa perilaku sosial baik interspesifik maupun intraspesifik yang lazim disebut sosiobiologi (Slater 1990 diacu dalam Setiawan 1996). Perilaku harian dibagi ke dalam empat kategori yaitu perilaku istirahat (resting), makan (feeding), perilaku bergerak (moving) (Chiver & Raemakers 1980) serta aktivitas sosial (social activities) (Chalmers 1980). Aktivitas berpindah (moving) meliputi berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon (Betrand 1969). Aktivitas yang termasuk dalam aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Aktivitas istirahat meliputi istirahat, self-grooming dan tidur. Aktivitas sosial meliputi social grooming, kawin, bermain, dan berkelahi. Biorithme harian lutung jawa relatif tetap, kecuali jika ada perubahan yang signifikan terkait pakan maupun cuaca. Ambarwati (1999) mencatat bahwa aktivitas lutung jawa dimulai pada pukul 05.30 sampai 17.30 dengan persentase 49% istirahat, 23% makan, 22% berjalan, 10% tidur dan 3% bersuara. Aktivitas lutung jawa juga dipengaruhi oleh suhu (Nadler et al 2002) dimana pada suhu kurang dari 10oC lutung cenderung bergerak cepat, makan dengan cepat kemudian berpindah ke tempat yang kering seperti semak belukar, sedangkan pada suhu 1030oC lutung lebih suka berkumpul bersama di bawah naungan pohon untuk istirahat dan makan. Salah satu jenis aktivitas yang cukup penting adalah makan. Ada beberapa cara yang dilakukan lutung dalam memperoleh makanannya. Biasanya lutung akan langsung makan dengan mulutnya jika makanannya adalah pucuk daun; jika berupa ranting atau tangkai daun maka lutung biasanya akan meraihnya lebih dahulu dengan tungkainya baru kemudian dimasukkan ke dalam mulut; untuk jenis buah biasanya lutung akan memetiknya baru kemudian dimakannya. Persentase aktivitas makan lutung sebesar 10.49 % dari aktivitas total dengan aktivitas tertinggi pada pukul 08.00 sebesar 4.38 % (Pratiwi 2008). Zainal (2008) mengungkapkan bahwa perilaku lutung jawa baik di penangkaran maupun di habitat alami relatif sama dengan aktivitas makan tertinggi berupa daun (58.68% di penangkaran dan 98% di habitat alami), aktivitas bergerak tertinggi adalah berjalan (43.49% dan 46.47%), aktivitas istirahat tertinggi adalah duduk (86.48% dan 99.69%), aktivitas sosial tertinggi adalah bersuara (33.51% dan 78.17%), dan penggunaan strata tertinggi adalah strata tengah (49.22%) untuk di penangkaran dan strata atas (43.11%) di habitat alami. Hal ini menunjukkan adanya adaptasi yang berbeda untuk kondisi habitat yang berbeda. Bentuk komunikasi pada lutung jawa biasanya menggunakan kontak suara, fisik maupun visual. Mereka menggunakan komunikasi suara saat terjadi ancaman, biasanya jantan dewasa mengeluarkan suara peringatan jika ada ancaman yang mendekati kelompoknya (Cannon 2009). Wilayah Jelajah Wilayah jelajah lutung jawa berkisar antara 20-30 ha dan akan cenderung lebih luas di wilayah pulau Jawa dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia.
9 Nijman & Supriatna (2008) mencatat kepadatan populasi lutung jawa 23 ind/km2 di Pegunungan Dieng. Luas wilayah jelajah lutung di Taman Wisata Alam Pangandaran (TWAP) (Brotoisworo & Dirgayusa 1991, Megantara & Dirgayusa 1992) adalah seluas 4.7–8.8 ha, sedangkan menurut Husodo & Megantara (2002) luas wilayah jelajah lutung di TWAP sebesar 2.78–6.67 ha atau rata-rata 3.46 ha. Hendratmoko (2009) mencatat rata-rata daerah jelajah lutung jawa di Cagar Alam Pangandaran seluas 10.07 ha. Djuwantoko (1994) menyatakan bahwa di kawasan hutan jati Jawa Tengah daerah jelajah lutung jawa sebesar 32-43 ha. Selanjutnya Susetyo (2004) menjelaskan bahwa kepadatan populasi lutung di Taman Nasional Alas Purwo adalah 50 ekor per km2. Pergerakan harian lutung jawa dapat mencapai 500-1300 m (Supriatna 2000). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa luas wilayah jelajah lutung jawa bersifat dinamis sesuai dengan kondisi habitat. Pakan Menurut Written (1982) diacu dalam Bismark (1993) meyebutkan lutung merupakan pemakan daun dengan komposisi pakan berupa daun 50%, buah 32% dan 13% sisanya berupa bagian tumbuhan lain dan serangga. Supriatna & Hendras (2000) mencatat terdapat 66 jenis tumbuhan sumber pakan lutung dimana 50% dimanfaatkan daunnya, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga. Lutung jawa lebih memilih daun yang tinggi protein dan rendah serat (Cannon 2009). Pemilihan jenis dan bagian pakan tersebut diduga menyebabkan lutung sering buang air besar dan buang air kecil serta banyak beristirahat (tidur). Hal ini didukung oleh Kay (1984) yang menyatakan bahwa satwa bertubuh kecil yang membutuhkan energi tinggi biasanya lebih banyak makan serangga, sedangkan satwa bertubuh besar yang tidak memerlukan energi tinggi cenderung memakan dedaunan. Pakan lutung terdiri dari dedaunan baik muda atau tua, buah-buahan baik matang ataupun mentah, bunga, kuncup bunga, dan larva serangga (Kool 1993) dan menyukai daun yang masih muda atau berupa pucuk (Pratiwi 2008, Kurniawaty 2009). Iskandar (2003) juga menyatakan bahwa lutung memanfaatkan buah kedawung sebagai salah satu sumber pakan. Menurut Kool (1992, 1993) separuh pakan lutung jawa terdiri atas dedaunan berprotein tinggi. Daun yang dipilih untuk dikonsumsi yaitu mempunyai kandungan serat rendah dan mudah dicerna. Pucuk daun jati (Tectona grandis) merupakan sumber pakan penting apabila jumlah pakan langka. Buah-buahan juga dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool 1992). Menurut Goltenboth (1976) dan Davies et al. (1988) kadar tanin ini berguna untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Kool (1993) dalam Hendratmoko (2009) menyatakan bahwa pakan lutung di CAP 27–37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5–27% buah-buahan mentah dan 10–12% buah masak dengan tumbuhan penting sumber pakan meliputi Ficus sinuata, Ficus sumatrana dan Vitex pinnata. Kurniawan & Herna (2005) mencatat bahwa lembayungan (Turpinia sp), pasang (Quercus sp), sapen (Engehaidia spicata) dan tutup (Homalanthus sp) merupakan jenis tumbuhan pakan lutung jawa di SM Dataran Tinggi Hyang, Malang.
10 Dalam memanfaatkan sumber daya pakan, kelompok yang berbeda dapat berbagi tanpa adanya konfrontasi yang signifikan. Jantan dewasa memiliki proporsi makan yang lebih sedikit dibandingkan betina dan anak-anak (Kool 1993, Primate Info Net 2007, Richardson 2005). Status Perlindungan Lutung jawa merupakan satwa primata yang dilindungi di Indonesia berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 733/Kpts-II/1999 tentang penetapan lutung jawa (T. auratus) sebagai satwa yang dilindungi. Dasar penetapan ini adalah mengingat terjadinya penurunan populasi yang cukup drastis di alam sehingga jika tidak dilakukan perlindungan maka jenis satwa ini akan punah. Selain itu lutung jawa termasuk dalam kategori vulnerable A2dc dimana populasi diidikasikan menurun 30% sepanjang 30 tahun (3 generasi) dan beresiko punah jika tidak dilakukan penanganan (IUCN 2011). CITES juga memasukkan lutung jawa dalam kategori Appendix II. Ancaman utama kelestarian lutung jawa adalah hilangnya habitat serta degradasi habitat terkait aktivitas pertanian dan permukiman (IUCN 2011), selain itu perburuan dan perdagangan ilegal juga menjadi ancaman serius. Tercatat setidaknya 2500 ekor lutung jawa diburu dan diperdagangkan setiap tahun untuk kebutuhan konsumsi (Anonim 2010). Predator alami lutung jawa adalah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) and macan tutul (Primate Info Net 2007, Richardson 2005). Lebih jauh IUCN (2011) mencatat beberapa faktor yang mengancam populasi alami lutung jawa seperti permukiman dan pembangunan komersil, perkembangan daerah urban, kegiatan pertanian, penggunaan sumber daya alam, pemanenan hasil hutan non kayu, perburuan satwa serta pemanfaatan lutung jawa dengan tujuan khusus.
Komponen Habitat Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri atas tanah, topografi dan iklim serta komponen biotik yang terdiri atas tumbuhan dan satwa (Bailey 1984). Primata merupakan satwa arboreal yang sangat tergantung dengan keberadaan vegetasi. Selain itu beberapa faktor fisik dan biologi juga berpengaruh terhadap kelimpahan maupun distribusi satwa primata. Komponen fisik yang sangat penting bagi kehidupan satwa adalah air. Satwa liar mendapatkan air dari berbagai sumber yaitu air bebas yang tersedia (danau, sungai, kolam atau irigasi), air yang terkandung pada beberapa bagian vegetasi, embun dan air yang dihasilkan dari proses metabolisme. Embun yang menempel di daun dan air yang mengenang pada batang-batang pohon dimanfaatkan oleh berbagai jenis burung dan primata untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Bailey 1984). Faktor topografi juga diketahui berpengaruh terhadap penyebaran tumbuhan dan satwa. Komponen fisik lingkungan penyusun topografi terdiri dari ketinggian tempat (elevasi), tingkat kemerengan lereng (slope) dan arah kemiringan lereng (aspect).
11 Ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis spesies tumbuhan dan satwa. Terdapat zona-zona vegetasi menurut ketinggian yang masing-masing zona terbentuk karena adanya perbedaan kondisi iklim pada ketinggian yang berbeda. Pada masing-masing zona biasanya memiliki perbedaan spesies yang dominan. Ketinggian tempat dapat memepengaruhi keberadaan sumber pakan. Semakin tinggi suatu tempat menyebabkan semakin sedikit keanekaragaman jenis tumbuhan sehingga variasi dalam memilih sumber pakan menjadi terbatas (Primack et al. 1998). Komponen biotik merupakan komponen utama dalam suatu habitat. Pemilihan habitat oleh satwaliar sangat ditentukan pada sejauh mana komponenkomponen tersebut dapat menyediakan kebutuhannya akan pakan, tempat berlindung, tidur dan melakukan reproduksi. Faktor lain yang mempengaruhi keberadaan tumbuhan pakan adalah cuaca, produktifitas tumbuhan pakan dan ketahanan tumbuhan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh herbivora (Bailey 1984).
Deforestasi, Degradasi dan Fragmentasi Hutan Belum optimalnya pengelolaan kawasan hutan dalam rangka pelestarian, pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya hutan salah satunya disebabkan oleh tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan. Tapal batas hutan juga belum dibenahi dengan baik sehingga menimbulkan ancaman pada pengelolaan kawasan hutan terutama di kawasan konservasi. Ketidakjelasan kawasan hutan juga memicu terjadinya tumpang tindih kawasan hutan dengan kegiatan sektor lain serta alih fungsi kawasan hutan untuk penggunaan lain di luar kehutanan yang tidak terkendali. Hal inilah yang memicu tingginya deforestasi, degradasi dan fragmentasi hutan di Indonesia (BAPPENAS 2010). Dalam lima tahun terakhir ini, laju deforestasi telah mencapai sekitar 1 juta ha per tahun. Hutan yang sudah mengalami degradasi adalah kawasan hutan yang mengalami penurunan kualitas ekosistem hutan, dari hutan primer ke hutan sekunder, dari hutan sekunder menjadi semak belukar dan alang-alang yang mencapai lebih dari 50 juta hektar. Laju deforestasi yang cukup tinggi dan degradasi hutan yang terus meluas tersebut merupakan penyebab meningkatnya luas lahan kritis. Luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia mencapai 30,19 juta ha yang tersebar di 472 Daerah Aliran Sungai (BAPPENAS 2010). Permasalahan lain yang menyebabkan kerusakan kawasan hutan adalah kejadian kebakaran hutan dan tekanan demografi. Faktor terakhir merupakan pangkal permasalahan dimana pertumbuhan penduduk dengan segala kebutuhannya secara langsung menekan sumber daya hutan beserta kekayaan hayati di dalamnya. Saat ini setidaknya 27.3 juta ha kawasan konservasi dan 31.60 juta ha hutan lindung mengalami tekanan oleh masyarakat sehingga dikhawatirkan mengganggu fungsi dan perannya sebagai penyangga kehidupan. Tekanan demografi kepada kawasan konservasi menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat satwa yang berdampak pada menurunnya atau terancam punahnya populasi tanaman dan satwa. Luas kawasan konservasi yang dirambah saat ini
12 mencapai 460 ribu hektar, sehingga beberapa habitat endangerad spesies mengalami ancaman kepunahan (BAPPENAS 2010). Permasalahan deforestasi, degradasi dan fragmentasi habitat yang tidak pernah mendapat penyelesaian yang tuntas menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia. Ilustrasi yang telah disampaikan di atas memberikan gambaran betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya pendekatan holistik dan menyeluruh sehingga diperoleh solusi yang komprehensif terkait upaya konservasi di Indonesia.
3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Kawasan Pada awalnya Gunung Pancar merupakan bagian kelompok Hutan Gunung Hambalang seluas 6695.32 hektar yang berfungsi sebagai hutan produksi. Seiring waktu, kawasan ini berubah fungsi menjadi taman wisata alam dan disahkan oleh Menteri Pertanian tanggal 23 Maret 1976 dan pengelolaannya diserahkan kepada Perhutani. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar sebagai salah satu kawasan pelestarian alam ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 156/Kpts-II/1988 tanggal 21 Maret 1988 seluas 447.5 hektar. Sebagai kawasan dengan fungsi pendidikan, penelitian dan sarana rekreasi maka berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 54/Kpts-II/1993 tanggal 8 Februari 1993 pengusahaan kawasan tersebut dipercayakan kepada PT Wana Wisata Indah (WWI) yang diberikan hak Pengusahaan Pariwisata Alam di areal kawasan seluas 447.5 hektar. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan taman wisata alam, kawasan ini sudah dikenal dengan pemandian air panasnya yang dikelola oleh masyarakat. Pemandian air panas ini sudah ada sejak tahun 1950, lalu pada tahun 1983 masyarakat membuat kolam pemandian dan tahun 1990 dibangun pemandian air panas tersebut untuk umum.
Luas dan Letak Luas kawasan TWA Gunung Pancar berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 156/Kpts-II/1988 tgl 21 Maret 1988 adalah seluas 447.5 ha. Secara geografis kawasan ini terletak antara 106°52’ - 106°54’ BT dan 6°34’ -6°36’ LS, sedangkan secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Sebelah utara berbatasan dengan Kampung Leuwigoong; sebelah timur berbatasan dengan Kampung Cimandala; sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Cibingbin dan Desa Bojong Koneng serta sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Karang Tengah.
13 Topografi Gunung Pancar merupakan kawasan bukit yang terletak pada ketinggian 300-800 m dpl dengan topografi mulai dari landai, bergelombang sampai terjal dengan kemiringan berkisar antara 15-80%. Banyak areal di lereng Gunung Pancar yang rawan longsor akibat kemiringannya yang sangat curam.
Iklim Menurut Schmidt dan Ferguson, kawasan TWA Gunung Pancar termasuk ke dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 3.000-4.500 mm/thn. Jumlah hari hujan per tahun berkisar antara 150-250 hari. Suhu udara rata-rata 24°C pada malam hari dan suhu tertinggi 33°C pada siang hari dengan kelembaban udara rata-rata 58-82%.
Hidrologi Sungai-sungai yang mengalir disekitar kawasan TWA Gunung Pancar antara lain sungai Citeureup, sungai Cibingin dan sungai Ciherang yang merupakan sungai dengan debit terbesar yang mengalir ke arah utara dan bermuara di laut Jawa. Di samping itu, terdapat sumber air panas dengan suhu yang bisa mencapai 70O C yang berasal dari proses geothermal di Gunung Pancar.
Geofisik Bahan induk pembentuk tanah di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Pancar merupakan tuf volkan intermedier yang berasal dari aliran lava gunung tua. Jenis tanah yang mendominasi kawasan ini adalah Latosol coklat dengan solum dalam (>100 cm). Struktur tanah remah sampai gumpal remah dengan tekstur halus, permeabilitas dan drainase sedang sampai cepat. Kepadatan berkisar antara 1.00 –1.39/cc dengan porositas antara 50 – 60%. Kesuburan tanah rendah sampai sedang dengan pH tanah masam.
Flora TWA Gunung Pancar terdiri dari hutan alam pegunungan dataran rendah, hutan tanaman dan semak belukar. Tipe vegetasi hutan alam terletak di lereng sampai puncak Gunung Pancar seluas 15 hektar dengan jenis vegetasi antara lain
14 rasamala (Altingia excelsa), huru (Quercus sp.), beringin (Ficus benjamina), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea), jamuju (Podocarpus imbricatus), rotan (Calamus sp.) dan jenis-jenis liana. Selain itu terdapat pula tumbuhan epifit yang menempel pada pohon besar seperti anggrek (Dendrobium sp.), paku sarang burung (Asplenium nidus), dan paku tanduk rusa (Platicerium coronarium). Tipe vegetasi hutan tanaman menempati sebagian besar kawasan ini seluas ± 160 ha. Jenis tanamannya antara lain pinus (Pinus merkusii), sengon (Albizia falcataria), kayu afrika (Maesopsis eminii) dan meranti (Shorea sp.) yang ditanam pada tahun 1982/1983. Jenis tanaman lainnya adalah tanaman budidaya masyarakat seperti singkong dan pisang (Musa sp). Tumbuhan semak belukar terdiri dari jenis kirinyuh (Eupatorium inulifolium), harendong (Melastoma affine), jarong (Achyranthes aspera), saliara (Lantana camara), alang-alang (Imperata cylindrica) dan lain-lain. Hasil eksplorasi yng dilakukan oleh Roemantyo (2009) terhadap seluruh vegetasi di kawasan gunung Pancar diperoleh data 112 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 44 suku dan 91 marga. Dari pengamatan yang dilakukan tercatat bahwa ada sekitar 79 jenis tumbuh di kawasan perbatasan hutan dan kebun dimana di antaranya berupa jenis-jenis yang ditanam, sedangkan yang tercatat terdapat dikawasan hutan ada 80 jenis yang tumbuh di kawasan hutan lindung Gunung Pancar.
Fauna Satwa yang pernah tercatat hidup di kawasan Gunung Pancar antara lain owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), jelarang (Ratufa bicolor), babi hutan (Sus scrofa) dan jenis-jenis burung seperti elang bondol (Haliastus indus), kutilang (Pycnonotus aurigaster), ayam hutan merah (Galus galus varius), jalak putih (Sturnus melanopterus) dan srigunting (Dicrurus paradiseus). Namun demikian, saat ini beberapa jenis sudah sulit untuk ditemui terutama jenis yang dilindungi.
Kegiatan Sosial Ekonomi Dalam pengembangan kepariwisataan yang berwawasan lingkungan serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, PT. Wana Wisata Indah diberikan hak pengusahaan pariwisata alam di TWA Gunung Pancar dengan SK Menteri Kehutanan No. 54/Kpts-II/1993 tgl 8 Februari 1993. TWA Gunung Pancar memiliki obyek dan daya tarik wisata yang cukup banyak meliputi pemandian air panas, makam keramat, pergelaran kesenian tradisional daerah, oleh raga sepeda gunung, dan lintas alam. Sarana prasarana wisata di TWA Gunung Pancar diantaranya pusat informasi, pondok kerja, sarana olah raga, camping ground, tempat bermain anak, sarana pemandian air panas, shelter, fasilitas penginapan dan ruang pertemuan.
15
4 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan (Mei – Juni 2012) di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Lokasi studi secara administratif terletak di wilayah Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Secara astronomis berada pada koordinat 106O 52’ – 106O 54’ BT dan 06o 34’ – 06O 36’ LS (Gambar 2). Karakteristik lokasi studi adalah hutan pegunungan dataran rendah dengan kondisi terfragmentasi dan terisolasi.
Gambar 2 Citra Satelite Lokasi Penelitian (Google Earth 2009) Penelitian mencakup kawasan TWA Gunung Pancar seluas 143.1 ha yang meliputi tiga tipe habitat yaitu hutan alam terdegradasi seluas 20.5 ha; peralihan hutan-kebun seluas 32.3 ha dan kebun seluas 90.3 ha.
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi binokuter Nikon dengan perbesaran 8-15 kali untuk pengamatan populasi dan aktivitas harian lutung jawa, peta/citra satelit TWA Gunung Pancar, GPS Garmin eTrex Vista H untuk merekam data koordinat perjumpaan lutung jawa, kamera, stopwatch, kompas, clinometer untuk pengukuran kemiringan lereng, lembar data dan alat tulis. Meteran rol untuk pengukuran diameter batang, kantung plastik, kertas
16 koran, gunting/golok, label gantung dan alkohol 70% untuk pembuatan voucher herbarium. Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan data antara lain ArcView 3.3 untuk pengolahan data spasial, Microsoft Excel 2007 untuk pencatatan dan tabulasi data, software Paleontological Statistics (PAST) versi 2.13 untuk analisis Principal Component Analysis (PCA) dan software Canoco versi 4.5 untuk analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA).
Tahapan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap meliputi: (1) survey awal dan studi literatur, (2) pengamatan lutung jawa sesuai dengan parameter data yang dibutuhkan, (3) pengambilan data vegetasi (4) pengolahan dan analisis data.
Data yang Diperlukan Data yang diperlukan dan metode pengumpulannya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulannya No 1
Variabel/peubah Populasi (jumlah individu)
2
Aktivitas harian
3
Data vegetasi
4 5 6
Tutupan lahan Kemiringan lahan/kelerengan Ketinggian tempat
7
Jarak dari jalan
8
Jarak dari kebun/areal pertanian
Metode Observasi lapangan dengan metode line transect method (Struhsaker 1981) Observasi lapangan dengan metode focal animal sampling (Lehner 1976). Analisis vegetasi dengan Point-Centered Quarter Method(Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974) Analisis spasial dan pengecekan lapangan Analisis Spasial (DEM) dan juga pengukuran di lapangan menggunakan clinometer. Analisis spasial (DEM) serta pengukuran di lapangan menggunakan GPS Analisis spasial peta RBI dan pengecekan lapangan Analisis spasial peta RBI dan pengecekan lapangan
Metode Pengumpulan Data Populasi Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) Pengamatan populasi lutung jawa dilakukan dengan menggunakan metode jalur (line transect method) (Struhsaker 1981, Subcommittee on Conservation of
17 Natural Population 1981). Pengamatan populasi lutung jawa dilaksanakan setiap dua minggu, hasil perjumpaan selama pengamatan dirata-ratakan untuk mendapatkan perkiraan jumlah populasi lutung jawa. Kepadatan populasi diperoleh dengan membandingan jumlah populasi per satuan luas area survei. Jalur pengamatan mengikuti punggung bukit memanjang dari arah utara ke selatan dengan panjang kurang lebih 700 meter. Jalur pengamatan memotong kontur topografi dan melewati tipe-tipe habitat yang ada di Gunung Pancar. Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00 – 09.00 serta pukul 15.00 – 18.00. Pengamatan dilakukan dengan cara bergerak perlahan sepanjang jalur pengamatan untuk mendeteksi keberadaan lutung jawa. Pada titik-titik tertentu pengamat berhenti untuk mengamati sekeliling. Ketika ada kelompok lutung jawa yang terdeteksi maka dilakukan pencatatan lokasi perjumpaannya menggunakan GPS. Selajutnya dilakukan pencatatan data populasi meliputi jumlah individu, jenis kelamin, dan kelas umur. Aktivitas Harian Pengamatan aktivitas harian dilakukan dengan metode focal animal sampling (Lehner 1976) dimana pengamat mengikuti pergerakan lutung jawa sepanjang hari (Martin & Bateson 1986) mulai dari pukul 06.00-18.00. Unit contoh pengamatan adalah individu lutung jantan dan betina dewasa. Data yang dikumpulkan meliputi identitas satwa, jenis perilaku harian, lama aktivitas (durasi), dan peubah vegetasi. Jenis perilaku harian meliputi istirahat (resting), makan (feeding), perilaku bergerak (moving) (Chiver & Raemakers 1980) serta aktivitas sosial (social activities) (Chalmers 1980). Aktivitas bergerak (moving) meliputi berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon. Aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Aktivitas istirahat meliputi diam, self-grooming dan tidur. Aktivitas sosial meliputi social grooming, kawin, bermain, dan berkelahi. Data Lingkungan 1. Data Vegetasi (Biotik) Pengambilan data vegetasi untuk keperluan analisis vegetasi dilaksanakan dengan Point-Centered Quarter Method (PCQR) (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974) berdasarkan titik perjumpaan dengan lutung jawa. Metode ini merupakan metode tanpa petak contoh (plotless) dimana sangat baik untuk menduga komunitas yang berbentuk pohon dan tiang. Titik pusat kuadran ditentukan berdasarkan vegetasi/titik perjumpaan lutung jawa. Pada tiap kuadran dilakukan pengukuran jarak pohon dan tiang dengan titik pusat kuadran serta pengukuran diameter pohon setinggi dada (130 cm) atau sekitar 50 cm di atas akar papan (banir). Selanjutnya pada setiap kuadran dilakukan pengukuran terhadap satu pohon dan satu tiang yang jaraknya paling dekat ke titik pengamatan (Mitchel 2007). Metode ini dianggap tepat dimana menghasilkan nilai kerapatan yang akurat (Dahdouh-Guebas et al. 2006) dan memungkinkan pengukuran secara cepat dan efisien.
18 2. Data Fisik Data fisik yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi tutupan lahan, kemiringan lahan, ketinggian tempat, jarak dari jalan dan jarak dari kebun. Variabel kemiringan lahan diperoleh dengan melakukan analisis DEM dan pengecekan lapangan dengan menggunakan clinometer. Ketinggian tempat diperoleh dari analisis peta kontur dan hasil penandaan dengan GPS. Tipe tutupan lahan diidentifikasi berdasarkan analisis peta tutupan lahan dan pengecekan lapangan, sedangkan variabel jarak dari jalan dan jarak dari kebun diperoleh dengan melakukan identifikasi peta RBI dan pengeplotan koordinat GPS hasil pengecekan lapangan. Analisis dan identifikasi spasial dilakukan dengan bantuan software ArcView 3.3.
Metode Analisis Data Distribusi Aktivitas Distribusi aktivitas lutung jawa ditentukan dengan analisis statistik deskriptif kuantitatif dan uji chi square (χ2). Analisis deskriptif kuantitatif dilakukan untuk menggambarkan pengelompokan data beserta kecenderungankecenderungannya yang disajikan melalui gambar, grafik dan tabel. Analisis chi square dilakukan untuk menentukan bentuk pola sebaran aktivitas harian lutung jawa sehingga dapat diketahui distribusi aktivitas lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan. Interpretasi hasil uji chi square (χ2) dilakukan dengan membandingkan nilai χ2 hitung dan χ2 tabel (db; α). Jika nilai χ2 > χ2 (db; α) maka dinyatakan terdapat perbedaan pola sebaran aktivitas pada variabel lingkungan yang diuji, sedangkan jika χ2 < χ2 (db; α) maka dinyatakan tidak terdapat perbedaan pola sebaran aktivias pada variabel lingkungan yang diuji atau dapat dikatakan pola sebarannya relatif seragam. Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Aktivitas Harian Analisis hubungan antara aktivitas harian dengan faktor lingkungan (biotik dan fisik) dilakukan dengan Canonical correspondence analysis (CCA) dengan cara memasukkan set data aktivitas harian yang akan dihubungkan dengan set data variabel lingkungan menggunakan software Canoco 4.5. Standarisasi dan transformasi data dilakukan dengan akar (x+0.5) mengingat banyak data yang bernilai “0” pada sebaran data keseluruhan. Pengujian statistik hipotesis pengaruh faktor lingkungan terhadap aktivitas harian lutung jawa dihitung dengan Monte Carlo permutation test. Hubungan Aktivitas Harian dengan Jenis Vegetasi Analisis PCA digunakan untuk melihat jenis-jenis vegetasi yang berpengaruh terhadap distribusi aktivitas lutung jawa. Principal Component
19 Analysis (PCA) merupakan salah satu bentuk analisa multivariate yang berguna untuk mengelompokkan variable-variabel dan menentukan kontribusi dari masing-masing variabel tersebut terhadap suatu variabel bebas yang ingin diuji. Prosedur PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component. Setelah beberapa komponen hasil PCA yang bebas multikolinearitas diperoleh, maka komponenkomponen tersebut menjadi variabel bebas baru yang akan diregresikan atau dianalisa pengaruhnya terhadap variabel tak bebas (Y) dengan menggunakan analisis regresi. Analisis PCA dilakukan dengan alat bantu software Paleontological Statistics (PAST) versi 2.13. Standarisasi dan transformasi data dilakukan dengan akar (x+0.5) mengingat banyak data yang bernilai “0” dalam sebaran data keseluruhan.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Populasi Lutung Jawa Hasil pengamatan populasi menunjukkan ada dua kelompok lutung jawa di TWA Gunung Pancar dengan perkiraan populasi 20 individu. Kelompok pertama terdiri dari 9 individu yang dijumpai pada lokasi lereng sebelah timur dengan kondisi habitat peralihan hutan-kebun. Kelompok kedua terdiri dari 11 individu dan dijumpai di lereng sebelah utara dengan kondisi habitat hutan terdegradasi yang berbatasan dengan kebun. Medway (1970), Kartikasari (1982) dan Cannon (2009) menyatakan lutung jawa hidup berkelompok dengan anggota 6-23 ekor dengan satu jantan pemimpin, beberapa betina dewasa, anak dan bayi. Struktur kelompok lutung jawa disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Struktur kelompok lutung jawa di Gunung Pancar (individu) Kel A B
Jantan dws 1 1
Struktur Kelompok Betina dws Remaja 3 4 4 4
Anak 1 1
Bayi 0 1
Habitat HA, Prlhn H-K, K HA, Prlhn H-K, K
Keterangan : HA = Hutan Alam; Prlhn H-K = Peralihan Hutan-Kebun; K = Kebun
Penaksiran kepadatan populasi berdasarkan cakupan area pengamatan seluas kurang lebih 143 hektar menunjukkan nilai kepadatan yang rendah yaitu 0,14 individu/hektar. Teridentifikasi tiga tipe habitat yang digunakan lutung jawa yaitu
20 hutan alam terdegradasi, peralihan hutan-kebun dan kebun/lahan pertanian (Gambar 3). Komposisi jenis vegetasi dihabitat lutung jawa merupakan campuran antara vegetasi hutan dengan tanaman introduksi. Vegetasi dominan yang dijumpai antara lain pasang (Quercus argentea), pasang renjung (Lithocarpus elegans), kiara (Ficus spp), ki haji (Dysoxylum macrocarpum), ki cau (Pisonia umbelliflora) dan kemang (Mangifera caesia). Dari dua kelompok lutung jawa yang dijumpai, kelompok dua dipilih sebagai objek pengamatan aktivitas harian karena memiliki komposisi kelompok yang lebih lengkap. Pengamatan aktivitas harian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode focal animal sampling (Lehner 1979).
a
b
Gambar 3
c
Tipe habitat lutung jawa di TWA Gunung Pancar. (a) Hutan terdegradasi; (b) Peralihan hutan kebun; (c) Kebun.
Distribusi Aktivitas Harian Lutung Jawa 1. Alokasi Waktu Aktivitas Harian Data aktivitas harian yang dikumpulkan meliputi frekuensi perjumpaan dan lama waktu (durasi) aktivitas pada berbagai variabel lingkungan (biotik dan fisik). Durasi aktivitas total menunjukkan proporsi aktivitas lutung jawa berturut-turut adalah istirahat (33.65%), makan (30.68%), gerak (27.08%) dan sosial (8.60%) (Gambar 4).
21 Persentase aktivitas istirahat tercatat paling tinggi (33.65%), sedangkan aktivitas sosial merupakan yang terendah (8.60%). Pola yang berbeda dijumpai pada lutung jantan dan betina dewasa dimana jantan lebih banyak diam/istirahat (34.45%), sedangkan betina lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk makan (Gambar 5). Sepanjang rentang waktu aktivitas hariannya tercatat lutung jawa lebih dominan beraktivitas pada pagi hari, terutama aktivitas makan (54.73%) dan sosial (52.56%) (Gambar 6).
Durasi
40%
30.68%
30%
33.65% 27.08%
20%
8.60%
10% 0% makan
gerak
sosial
istirahat
Aktivitas
Gambar 4 Durasi aktivitas harian lutung jawa
Durasi
40% 30%
34.82%
32.91% 34.45%
29.88%
26.22% 24.47%
20%
7.80% 9.45%
10% 0% makan
gerak
sosial Aktivitas Betina Jantan
istirahat
Durasi
Gambar 5 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Makan
Gerak 06.00-09.59
Sosial Aktivitas 10.00-13.59
Istirahat
14.00-18.00
Gambar 6 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu
22 Aktivitas bergerak relatif merata sepanjang hari dengan durasi tertinggi tercatat pada siang hari (36.23%). Aktivitas istirahat mempunyai tren meningkat dari pagi (25.44%) menuju sore hari (38.43%). Kecenderungan penurunan durasi dijumpai pada aktivitas sosial dan makan (Gambar 5). Durasi aktivitas lutung jantan dan betina dewasa memiliki pola yang relatif sama dimana aktivitas makan dan sosial cenderung tinggi pada pagi hari, sedangkan aktivitas bergerak lebih dominan pada siang hari (Tabel 3). Tabel 3 Durasi aktivitas lutung janta dan betina pada berbagai kategori selang waktu Waktu 06.00-09.59 10.00-13.59 14.00-18.00
Makan
Betina (%) Gerak Sosial
56.21 25.87 17.92
35.07 36.23 28.70
54.55 26.36 19.09
Istirahat
Makan
25.43 35.56 39.01
52.62 28.49 18.90
Jantan (%) Gerak Sosial 34.95 36.22 28.83
Istirahat
50.81 29.84 19.35
25.44 36.73 37.83
Frekuensi
Berbeda dengan pola durasi aktivitas, frekuensi aktivitas terlihat menurun mulai dari pagi menuju sore hari. Perbedaan yang cukup menonjol terlihat dari tingginya frekuensi istirahat pada pagi hari (37.97%) (Gambar 7) dibandingkan dengan durasinya yang rendah (25.44%) (Gambar 6).
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% makan
gerak 06.00-09.59
sosial Aktivitas 10.00-13.59
istirahat
14.00-18.00
Gambar 7 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu Pola yang sama dijumpai pada lutung jatan dan betina terkait penurunan frekuensi aktivitas makan, gerak dan istirahat pada pagi sampai sore hari. Aktivitas istirahat relatif rendah pada siang hari dibandingkan dengan pagi dan sore hari (Tabel 4). Tabel 4 Waktu 06.00-09.59 10.00-13.59 14.00-18.00
Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori selang waktu Makan
Betina (%) Gerak Sosial
41.33 32.00 26.67
37.18 33.33 29.49
50.00 29.63 20.37
Istirahat
Makan
Jantan (%) Gerak Sosial
37.97 30.38 31.65
41.33 32.00 26.67
37.18 33.33 29.49
50.00 29.63 20.37
Istirahat 37.97 30.38 31.65
23 2. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Stratum Pohon
0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
Stratum A (>30m) Stratum B (2030m)
Stratum C (420m)
0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
80.72% 80.60% 81.62% 85.59% 17.84% 17.37% 17.52% 13.76%
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
1.44% 2.04% 0.85% 0.66%
Durasi
Soerianegara & Indrawan (1998) membagi komposisi vegetasi hutan tropis menjadi lima stratum berdasarkan ketinggian pohon. Berdasarkan kategori tersebut diketahui durasi aktivitas lutung jawa sangat dominan pada stratum C dengan persentase aktivitas tertinggi adalah istirahat (85.59%). Stratum A dan stratum B hanya sedikit dimanfaatkan oleh lutung jawa terutama terkait dengan aktivitas makan dan bergerak (Gambar 8).
Stratum D (1-4m) Stratum E (0-1m)
Stratum Vegetasi makan
gerak
sosial
istirahat
Gambar 8 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon Lutung jantan dan betina dewasa lebih banyak beristirahat pada kategori pohon dengan rentang ketinggian 4-20 m (stratum C). Pada stratum B lutung jantan lebih banyak bergerak (19.35%), sedangkan betina lebih banyak makan (18.33%) (Tabel 5). Tabel 5 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori strata pohon Stratum Pohon Stratum A (>30m) Stratum B (20-30m) Stratum C (4-20m) Stratum D (1-4m) Stratum E (0-1m)
Makan 1.43 18.33 80.24 0.00 0.00
Betina (%) Gerak Sosial 1.74 0.91 16.23 15.45 82.03 83.64 0.00 0.00 0.00 0.00
Istirahat 0.65 14.01 85.34 0.00 0.00
Makan 1.45 17.15 81.40 0.00 0.00
Jantan (%) Gerak Sosial 2.30 0.81 18.37 19.35 79.34 79.84 0.00 0.00 0.00 0.00
Istirahat 0.66 13.50 85.84 0.00 0.00
Frekuensi aktivitas menunjukkan pola yang sama dengan durasi aktivitas dengan persentase tertinggi pada strstum C (Gambar 9). Pola serupa juga dijumpai pada lutung jantan dan betina dewasa. Aktivitas bergerak memiliki persentase yang cukup tinggi pada stratum B baik pada lutung jantan maupun betina dengan persentase 19.33% (Tabel 6).
Stratum A (>30m)
0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
1.33% 1.28% 1.85% 1.27%
Frekuensi
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
17.33% 19.23% 18.52% 16.46%
81.33% 79.49% 79.63% 82.28%
24
Stratum B (20- Stratum C (4- Stratum D (130m) 20m) 4m) Stratum Vegetasi makan
gerak
sosial
Stratum E (01m)
istirahat
Gambar 9 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon Tabel 6
Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori stratum pohon
Stratum Pohon
Makan
Stratum A (>30m) Stratum B (20-30m) Stratum C (4-20m) Stratum D (1-4m) Stratum E (0-1m)
1.33 17.33 81.33 0.00 0.00
Betina (%) Gerak Sosial 1.28 19.23 79.49 0.00 0.00
1.85 18.52 79.63 0.00 0.00
Istirahat
Makan
1.27 16.46 82.28 0.00 0.00
1.33 17.33 81.33 0.00 0.00
Jantan (%) Gerak Sosial 1.28 19.23 79.49 0.00 0.00
Istirahat
1.85 18.52 79.63 0.00 0.00
1.27 16.46 82.28 0.00 0.00
3. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Tutupan Lahan
makan
gerak
sosial
12.34%
46.18%
41.48%
47.86% 14.53%
12.21%
37.61%
44.91%
42.88%
15.21%
48.50%
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
36.29%
Durasi
Durasi aktvitas tertinggi dijumpai pada habitat peralihan hutan-kebun, diikuti oleh habitat hutan terdegradasi dan habitat kebun (Gambar 10). Perbedaan pola durasi aktivitas dijumpai pada lutung jantan dan betina. Tercatat durasi aktivitas istirahat lutung jantan paling tinggi pada habitat hutan alam terdegradasi (55.81%), sedangkan pada lutung betina aktivitas makan adalah yang paling dominan (48.47%) (Tabel 7).
istirahat
Aktivitas hutan alam
batas hutan kebun
kebun
Gambar 10 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan
25 Tabel 7 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori tutupan lahan Tutupan Lahan
Makan
Hutan alam Peralihan hutan-kebun Kebun
32.38 48.47 19.14
Betina (%) Gerak Sosial 42.03 45.51 12.46
11.88 10.18 3.87
Istirahat
Makan
37.88 47.05 9.57
41.86 48.55 9.59
Jantan (%) Gerak Sosial 49.71 50.58 13.66
Istirahat
13.66 18.02 4.36
56.40 55.81 19.19
48.19%
39.76%
46.58%
39.73%
47.56%
40.24%
12.05%
20%
12.20%
30%
13.70%
40% 12.20%
Frekuensi
50%
47.56%
60%
40.24%
Grafik aktivitas total (Gambar 11) menunjukkan setiap jenis aktivitas dominan dijumpai pada habitat peralihan hutan-kebun dengan persentase berkisar antara 46.58 – 48.19%. Pola serupa juga dijumpai pada lutung jantan maupun lutung betina. Lutung jantan lebih banyak istirahat (48.10%), sedangkan betina banyak beraktivitas sosial (50.00%) (Tabel 8).
10% 0% makan
gerak
sosial
istirahat
Aktivitas hutan alam
batas hutan kebun
kebun
Gambar 11 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan Tabel 8
Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori tutupan lahan
Tutupan Lahan Hutan alam Peralihan hutan-kebun Kebun
Makan 38.67 48.00 13.33
Betina (%) Gerak Sosial 39.74 47.44 12.82
33.33 50.00 16.67
Istirahat
Makan
39.24 48.10 12.66
40.00 46.67 13.33
Jantan (%) Gerak Sosial 41.03 46.15 12.82
40.74 42.59 16.67
Istirahat 39.24 48.10 12.66
4. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Kemiringan Lereng Kemiringan lereng merupakan salah satu komponen penyusun topografi habitat yang berpengaruh terhadap kehidupan satwaliar yang ada didalamnya. Kemiringan lereng dikelompokkan menjadi lima kategori berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 yaitu datar (0-8%), landai (8-15%), bergelombang
26
0-8
8-15
15-25
25-40
18.08% 16.15% 18.80% 14.08%
20.72% 27.27% 20.94% 24.56%
47.90% 43.42% 48.29% 49.67% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
13.29% 13.16% 11.97% 11.68%
Durasi
(15-25%), curam (25-40%) dan sangat curam (> 40%). Proporsi luas dari tiap kategori disajikan pada Lampiran 7. Kemiringan lereng yang bergelombang/agak curam diketahui lebih disukai oleh lutung jawa dibandingkan area yang landai. Durasi aktivitas tertinggi adalah istirahat yang dijumpai pada kemiringan lereng bergelombang (49.67%) (Gambar 12).
>40
Kemiringan lereng (%) Makan
Gerak
Sosial
Istirahat
Gambar 12 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori kemiringan lereng Lutung jantan dan betina tercatat dominan beraktivitas pada area dengan kemiringan lereng bergelombang. Tercatat durasi aktivitas istirahat memiliki proporsi yang tinggi, pada betina sebesar 51.29% dan pada jantan 48.01% (Tabel 9). Tabel 9
Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori kemiringan lereng
Kemiringan Lereng 0-8 (datar) 8-15 (landai) 15-25 (bergelombang) 25-40 (curam) >40 (sangat curam)
Makan 10.39 0.00 47.66 21.38 20.57
Betina (%) Gerak Sosial 10.43 9.09 0.00 0.00 44.35 48.18 28.70 25.45 16.52 17.27
Istirahat 11.42 0.00 51.29 25.22 12.07
Makan 17.44 0.00 48.26 19.77 14.53
Jantan (%) Gerak Sosial 15.56 14.52 0.00 0.00 42.60 48.39 26.02 16.94 15.82 20.16
Istirahat 11.95 0.00 48.01 23.89 16.15
Frekuensi aktivitas lutung jawa memiliki pola yang serupa dengan durasi aktivitas pada variabel kemiringan lereng. Frekuensi aktivitas relatif tinggi pada area dengan kemiringan lereng yang bergelombang sampai curam dibandingkan area yang datar/landai dengan persentase aktivitas tertinggi adalah istirahat sebesar 47.59% (Gambar 13)
0-8
8-15
15-25
14.81% 14.46% 16.90% 14.46%
24.69% 25.30% 22.54% 25.30%
45.68% 45.78% 47.89% 45.78% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
14.81% 14.46% 12.68% 14.46%
Frekuensi
27
25-40
>40
Kemiringan Lereng (%) Makan
Gerak
Sosial
Istirahat
Gambar 13 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori kemiringan lereng Pada kategori kemiringan lereng bergelombang, lutung jantan lebih banyak beristirahat (45.57%) sedangkan lutung betina banyak beraktivitas sosial (51.85%). Data frekuensi yang lebih lengkap disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori kemiringan lereng Kemiringan Lereng 0-8 (datar) 8-15 (landai) 15-25 (bergelombang) 25-40 (curam) >40 (sangat curam)
Makan 14.67 0.00 46.67 22.67 16.00
Betina (%) Gerak Sosial 14.10 0.00 46.15 24.36 15.38
Jantan (%) Gerak Sosial
Istirahat
Makan
15.19 0.00 45.57 24.05 15.19
16.00 0.00 44.00 24.00 16.00
11.11 0.00 51.85 20.37 16.67
15.38 0.00 43.59 25.64 15.38
16.67 0.00 44.44 20.37 18.52
Istirahat 15.19 0.00 45.57 24.05 15.19
5. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Ketinggian Tempat
751-800
29.82% 30.53% 29.06% 31.77%
701-750
801-850
19.40% 19.67% 17.95% 14.30%
651-700
24.67% 23.07% 24.79% 25.98%
600-650
22.04% 22.39% 23.93% 24.13%
1.68% 2.31% 1.71% 1.86%
40% 30% 20% 10% 0%
2.40% 2.04% 2.56% 1.97%
Durasi
Ketinggian tempat merupakan salah satu faktor topografi yang berpengaruh terhadap distribusi dan kelimpahan vegetasi dan satwa. Gambar 14 menunjukkan bahwa aktivitas lutung jawa banyak dijumpai pada rentang ketinggian 700-850 m dpl dengan intensitas tertinggi pada rentang ketingian 800-850 m dpl (29.06%31.77%). Durasi aktivitas terendah dijumpai pada rentang ketinggian 600-700 m dpl (1.71% - 2.56%) (Gambar 14).
851-900
Ketinggian Tempat (m dpl) Makan
Gerak
Sosial
Istirahat
Gambar 14 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori ketinggian tempat
28 Pada rentang ketinggian 801-850 m dpl diketahui durasi aktivitas makan sangat dominan pada lutung jantan (35.76%), sebaliknya paling rendah pada lutung betina (25.66%) (Tabel 11). Tabel 11 Elevasi 600-650 651-700 701-750 751-800 801-850 851-900
Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori ketinggian tempat Makan 1.83 1.43 21.38 28.31 25.66 21.38
Betina (%) Gerak Sosial 0.87 1.74 20.58 26.09 29.86 20.87
2.73 0.91 18.18 28.18 31.82 18.18
Istirahat
Makan
2.80 1.51 21.12 30.17 28.88 15.52
3.20 2.03 22.97 19.48 35.76 16.57
Jantan (%) Gerak Sosial 3.06 2.81 23.98 20.41 31.12 18.62
2.42 2.42 29.03 21.77 26.61 17.74
Istirahat 1.11 2.21 27.21 21.68 34.73 13.05
600-650
651-700
701-750
751-800
801-850
18.52% 18.29% 17.11% 18.07%
27.16% 28.05% 27.63% 27.71%
23.46% 23.17% 22.37% 24.10%
25.93% 25.61% 27.63% 25.30%
2.47% 2.44% 2.63% 2.41%
30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
2.47% 2.44% 2.63% 2.41%
Frekuensi
Frekuensi aktivitas lutung jawa cukup tinggi pada rentang ketinggian tempat 700-900 m dpl dengan persentase dominan tercatat pada rentang ketinggian 801850 m dpl. Frekuensi terendah dijumpai pada rentang ketinggian 600-700 (Gambar 15)
851-900
Ketinggian Tempat (m dpl) makan gerak sosial istirahat
Gambar 15 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori ketinggian tempat Proporsi aktivitas istirahat cukup tinggi pada lutung betina (26.58%) maupun pada lutung jantan (27.85%) (Tabel 12). Tabel 12 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori ketinggian tempat Elevasi 600-650 651-700 701-750 751-800 801-850 851-900
Makan 1.33 2.67 25.33 25.33 25.33 20.00
Betina (%) Gerak Sosial 1.28 2.56 26.92 23.08 28.21 17.95
1.85 1.85 25.93 25.93 25.93 18.52
Istirahat
Makan
2.53 2.53 24.05 25.32 26.58 18.99
2.67 2.67 28.00 21.33 28.00 17.33
Jantan (%) Gerak Sosial 2.56 2.56 26.92 20.51 28.21 19.23
3.70 1.85 33.33 18.52 22.22 20.37
Istirahat 2.53 2.53 26.58 24.05 27.85 16.46
29 6. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Jarak dari Jalan
0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
2.28% 1.76% 1.28% 0.87%
51-100
1.80% 2.31% 3.85% 2.62%
0-50
7.43% 4.75% 6.84% 4.69%
80.12% 78.15% 79.49% 82.97%
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
8.38% 13.03% 8.55% 8.84%
Durasi
Tingkat gangguan pada satwa liar dapat diukur melalui variabel yang mencerminkan intensitas aktivitas manusia, salah satunya adalah jarak dari jalan. Hasil pengamatan menunjukkan lutung jawa dominan beraktivitas pada area di sekitar jalan pada kisaran jarak 0-50 meter dengan aktivitas paling dominan adalah istirahat (82.97%) (Gambar 16).
101-150
151-200
201-250
251-300
301-350
Jarak dari Jalan (m) makan
gerak
sosial
istirahat
Gambar 16 Durasi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari jalan Lutung betina relatif lebih banyak beristirahat (84.48%), sedangkan jantan lebih banyak makan (82.27%) pada area yang dekat dengan jalan. Durasi aktivitas lutung jantan dan lutung betina disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari jalan Jarak dari Jalan (m) 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350
Makan 78.62 7.74 9.16 1.63 0.00 0.00 2.85
Betina (%) Gerak Sosial 79.13 81.82 13.04 7.27 4.93 3.64 1.74 5.45 0.00 0.00 0.00 0.00 1.16 1.82
Istirahat 84.48 8.19 3.23 3.02 0.00 0.00 1.08
Makan 82.27 9.30 4.94 2.03 0.00 0.00 1.45
Jantan (%) Gerak Sosial 77.30 77.42 13.01 9.68 4.59 9.68 2.81 2.42 0.00 0.00 0.00 0.00 2.30 0.81
Istirahat 81.42 9.51 6.19 2.21 0.00 0.00 0.66
Durasi aktivitas dominan pada lutung jantan dan betina dijumpai pada rentang jarak 0-50 meter dari jalan dengan persentase tertinggi adalah istirahat
30
2.41% 2.44% 2.82%
0.00% 0.00% 0.00%
0.00% 0.00% 0.00%
1.20% 1.22% 1.41%
0-50
4.82% 4.88% 5.63%
81.93% 81.71% 81.69% 81.93%
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
9.64% 9.76% 8.45%
Frekuensi
(84.48%) dan makan (82.27%) (Tabel 13). Frekuensi aktivitas menunjukkan pola yang sama dengan durasi aktivitas dimana persentase aktivitas tertinggi dijumpai pada area yang dekat dengan jalan (0-50 meter) (Gambar 17).
51-100
101-150
151-200
201-250
251-300
301-350
Jarak dari jalan (m) makan
gerak
sosial
istirahat
Gambar 17 Frekuensi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari jalan Lutung jantan maupun betina tercatat sering dijumpai pada area yang berdekatan dengan jalan dengan frekuensi tertinggi pada selang jarak 0-50 meter dari jalan. Lutung betina tercatat lebih sering bergerak (82.05%) dan lutung jantan lebih sering beristirahat (81.01%) (Tabel 14). Tabel 14 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari jalan Jarak dari Jalan (m) 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350
Makan 80.00 10.67 5.33 2.67 0.00 0.00 1.33
Betina (%) Gerak Sosial 82.05 8.97 5.13 2.56 0.00 0.00 1.28
81.48 7.41 5.56 3.70 0.00 0.00 1.85
Istirahat
Makan
81.01 10.13 5.06 2.53 0.00 0.00 1.27
80.00 10.67 5.33 2.67 0.00 0.00 1.33
Jantan (%) Gerak Sosial 80.77 10.26 5.13 2.56 0.00 0.00 1.28
79.63 9.26 7.41 1.85 0.00 0.00 1.85
Istirahat 81.01 10.13 5.06 2.53 0.00 0.00 1.27
7. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Jarak dari Kebun Seperti halnya variabel jarak dari jalan, variabel jarak dari kebun juga mencerminkan tingkat gangguan terhadap satwa sebagai akibat pengaruh aktivitas manusia. Durasi aktivitas tinggi pada area yang dekat dengan kebun dan cenderung menurun seiring dengan peningkatan jarak dari kebun (Gambar 18).
10.66% 7.60% 8.55% 7.31%
101-150
istirahat 10.06% 11.94% 8.12% 8.19%
51-100
sosial 13.89% 15.47% 15.81% 14.96%
0-50
gerak 19.40% 18.45% 20.94% 21.51%
31.74% 32.70% 31.62% 33.08%
35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
makan 14.25% 13.84% 14.96% 14.96%
Durasi
31
151-200
201-250
251-300
Jarak dari Kebun (m)
Gambar 18 Durasi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari kebun Durasi aktivitas lutung jawa relatif tinggi pada rentang jarak 0-200 meter dari kebun dengan durasi tertinggi pada jarak 0-50 meter dari kebun. Pada rentang jarak 0-50 meter aktivitas bergerak paling dominan dilakukan lutung jantan (38.27%), sedangkan aktivitas makan tercatat paling tinggi pada lutung betina (31.98%) (Tabel 15). Tabel 15 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari kebun Jarak dari Kebun (m) 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300
Makan 31.98 16.50 17.31 12.83 7.74 13.65
Betina (%) Gerak Sosial 26.38 19.13 20.00 13.62 13.04 7.83
29.09 16.36 22.73 13.64 7.27 10.91
Istirahat
Makan
30.60 19.18 22.20 12.50 8.19 7.33
31.40 11.05 22.38 15.41 13.37 6.40
Jantan (%) Gerak Sosial 38.27 9.18 17.09 17.09 10.97 7.40
33.87 13.71 19.35 17.74 8.87 6.45
Istirahat 35.62 10.62 20.80 17.48 8.19 7.30
makan
14.46% 15.79% 13.16% 14.46%
19.28% 21.05% 17.11% 19.28%
101-150 151-200 Jarak dari Kebun (m) gerak sosial
8.43% 9.21% 7.89% 8.43%
51-100
9.64% 10.53% 10.53% 9.64%
0-50
12.05% 13.16% 13.16% 12.05%
50% 40% 30% 20% 10% 0%
36.14% 39.47% 38.16% 36.14%
Frekuensi
Frekuensi aktivitas pada berbagai selang jarak dari kebun telihat memiliki pola yang hampir sama dengan durasi aktivitas. Frekuensi tertinggi dijumpai pada rentang jarak 0-50 meter dengan persentase tertinggi adalah bergerak (39.47%) (Gambar 19).
201-250
251-300
istirahat
Gambar 19 Frekuensi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari kebun
32 Lutung betina dominan beraktivitas sosial (37.04%) dan makan (36.00%), sedangkan aktivitas bergerak lebih dominan pada lutung jantan (38.46%). Aktivitas lebih banyak dijumpai pada jarak yang dekat dengan kebun terutama pada rentang jarak 0-50 meter (Tabel 16). Tabel 16 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari kebun Jarak dari Kebun (m) 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300
Betina (%) Gerak Sosial
Makan 36.00 12.00 21.33 10.67 10.67 9.33
35.90 11.54 20.51 14.10 8.97 8.97
Istirahat
Makan
35.44 12.66 20.25 12.66 10.13 8.86
36.00 12.00 16.00 16.00 10.67 9.33
37.04 12.96 20.37 11.11 7.41 11.11
Jantan (%) Gerak Sosial 38.46 10.26 17.95 14.10 10.26 8.97
Istirahat
37.04 11.11 14.81 18.52 11.11 7.41
35.44 12.66 17.72 15.19 10.13 8.86
8. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Diameter Pohon
4.34%
3.42%
4.59%
95.41%
96.58%
95.66%
95.81%
120% 100% 80% 60% 40% 20% 0%
4.19%
Durasi
Durasi aktivitas lutung jawa diketahui sangat dominan pada kategori diameter > 20 cm. Hal ini menunjukkan bahwa lutung jawa lebih banyak beraktivitas pada vegetasi dengan profil habitus berupa pohon (Gambar 20).
makan
gerak
sosial
istirahat
Diameter Pohon (cm) < 10 cm
10.-20 cm
> 20 cm
Gambar 20 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori diameter pohon Durasi aktivitas dominan pada lutung jantan maupun betina dijumpai pada kategori diameter pohon > 20 cm. Betina lebih banyak bergerak (97.39%), sedangkan jantan lebih banyak bersosialisasi (96.77%) (Tabel 17). Tabel 17 Diameter (m) < 10 cm 10.-20 cm > 20 cm
Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori diameter pohon Makan 0.00 3.26 96.74
Betina (%) Gerak Sosial 0.00 0.00 2.61 3.64 97.39 96.36
Istirahat 0.00 4.31 95.69
Makan 0.00 5.52 94.48
Jantan (%) Gerak Sosial 0.00 0.00 5.87 3.23 94.13 96.77
Istirahat 0.00 4.87 95.13
33
< 10 cm
95.18% 4.82%
4.05%
4.88%
makan
95.95%
95.12%
95.06%
120% 100% 80% 60% 40% 20% 0%
4.94%
Frekuensi
Frekuensi aktivitas dominan dijumpai pada kategori diameter lebih dari 20 cm dengan sebaran tiap jenis aktivitas yang cenderung merata. Frekuensi tertinggi adalah aktivitas sosial dengan persentase sebesar 95.95% (Gambar 21).
gerak sosial Diameter Pohon (cm) 10.-20 cm > 20 cm
istirahat
Gambar 21 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori diameter pohon Sebaran frekuensi aktivitas pada lutung jantan dan betina hampir sama dengan proporsi aktivitas tertinggi dijumpai pada kategori diameter > 20 cm. Kategori diameter pohon 10-20 cm hanya sedikit digunakan oleh lutung jawa dengan proporsi aktivitas berkisar antara 3.70% - 5.33% (Tabel 18). Tabel 18 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori diameter pohon Diameter (m) < 10 cm 10-20 cm > 20 cm
Makan 0.00 4.00 96.00
Betina (%) Gerak Sosial 0.00 3.85 96.15
0.00 3.70 96.30
Istirahat
Makan
0.00 5.06 94.94
0.00 5.33 94.67
Jantan (%) Gerak Sosial 0.00 5.13 94.87
0.00 3.70 96.30
Istirahat 0.00 5.06 94.94
9. Analisis Sebaran Aktivitas Lutung Jawa pada Berbagai Variabel Lingkungan Uji chi square dilakukan pada tiga kelompok kategori yaitu analisis chi square frekuensi perjumpaan lutung jawa pada tiap variabel lingkungan; analisis chi square frekuensi aktivitas lutung jawa pada tiap variabel lingkungan dan analisis chi square durasi aktivitas pada tiap variabel lingkungan. a) Frekuensi Perjumpaan Lutung Jawa pada Tiap Variabel Lingkungan Analisis chi Square frekuensi perjumpaan lutung jawa dilakukan pada tujuh variabel lingkungan (biotik dan fisik) meliputi kategori waktu aktivitas, tinggi pohon, diameter pohon, ketinggian tempat, kemiringan lereng, jarak dari kebun, jarak dari jalan, dan tutupan lahan (Tabel 19).
34 Tabel 19 Hasil uji chi square frekuensi perjumpaan lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan (fisik dan biotik) Variabel Waktu aktivitas Ketinggian pohon Diameter pohon Ketinggian tempat Kemiringan lereng Jarak dari kebun Jarak dari jalan Tutupan lahan
Nilai χ2 hitung 0.60 201.04* 143.16* 32.88* 47.90* 26.37* 314.14* 17.81*
Nilai χ2 tabel (db; α) 5.99 9.49 5.99 11.07 12.59 11.07 12.59 5.99
*Menunjukkan hubungan yang signifikan
Sebaran frekuensi perjumpaan pada tiap variabel lingkungan menunjukkan adanya pola yang berbeda kecuali pada variabel waktu aktivitas. Terlihat sebagian besar nilai χ2 > χ2(db; α) sehingga dapat dikatakan adanya pola frekuensi aktivitas yang tidak sama pada tiap variabel lingkungan. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara frekuensi perjumpaan lutung jawa dengan tiap variabel lingkungan di Gunung Pancar kecuali variabel kategori waktu aktivitas. Hasil perhitungan lebih lengkap disajikan pada Lampiran 1. b) Frekuensi Aktivitas Lutung Jawa pada Tiap Variabel Lingkungan Hasil uji chi square frekuensi aktivitas lutung betina, lutung jantan dan aktivitas total menunjukkan pola sebaran yang homogen pada tiap variabel lingkungan (fisik dan biotik) yang ditunjukkan dengan nilai χ2 < χ2 (db; α) (Tabel 20, Tabel 21 dan Tabel 22). Tabel 20 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas lutung betina pada berbagai variabel lingkungan (fisik dan biotik) Durasi Aktivitas Lutung Betina Variabel χ2 χ2 (db; α) Waktu aktivitas 3.32 12.59 Ketinggian pohon 0.34 21.03 Diameter pohon 0.21 12.59 Ketinggian tempat 1.04 24.10 Kemiringan lereng 1.06 28.87 Jarak dari kebun 1.18 24.10 Jarak dari jalan 0.75 28.87 Tutupan lahan 0.92 12.59 *Menunjukkan hubungan yang signifikan
35 Tabel 21 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas lutung jantan pada berbagai variabel lingkungan (fisik dan biotik) Durasi Aktivitas Lutung Jantan Variabel χ2 χ2 (db; α) Waktu aktivitas 3.32 12.59 Ketinggian pohon 0.34 21.03 Diameter pohon 0.21 12.59 Ketinggian tempat 2.31 24.10 Kemiringan lereng 0.74 28.87 Jarak dari kebun 1.19 24.10 Jarak dari jalan 0.67 28.87 Tutupan lahan 0.72 12.59 *Menunjukkan hubungan yang signifikan
Tabel 22 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas total pada berbagai variabel lingkungan (fisik dan biotik) Durasi Aktivitas Total Variabel 2 χ χ2 (db; α) Waktu aktivitas 6.64 12.59 Ketinggian pohon 0.34 21.03 Diameter pohon 0.09 12.59 Ketinggian tempat 0.23 24.10 Kemiringan lereng 0.56 28.87 Jarak dari kebun 0.41 24.10 Jarak dari jalan 0.21 28.87 Tutupan lahan 0.13 12.59 *Menunjukkan hubungan yang signifikan
Pola frekuensi aktivitas yang homogen menunjukkan tidak adanya pengaruh rentang taraf pada tiap variabel lingkungan terhadap tingat keseringan suatu jenis aktivitas dilakukan. c) Durasi Aktivitas Lutung Jawa pada Tiap Variabel Lingkungan Durasi aktivitas lutung betina memiliki pola sebaran yang berbeda pada variabel waktu aktivitas, jarak dari kebun, jarak dari jalan dan tutupan lahan (Tabel 23), sedangkan durasi aktivitas lutung jantan hanya memiliki pola sebaran yang berbeda pada variabel waktu aktivitas (Tabel 24) dan durasi aktivitas total memiliki pola sebaran yang berbeda pada variabel waktu aktivitas dan jarak dari jalan (Tabel 25).
36 Tabel 23 Hasil uji chi square durasi aktivitas lutung betina dewasa pada tiap variabel lingkungan Durasi Aktivitas Lutung Betina Variabel χ2 χ2 (db; α) Waktu aktivitas 115.64* 12.59 Ketinggian pohon 5.87 21.03 Diameter pohon 1.81 12.59 Ketinggian tempat 13.25 24.10 Kemiringan lereng 17.53 28.87 Jarak dari kebun 26.48* 24.10 Jarak dari jalan 37.26* 28.87 Tutupan lahan 16.01* 12.59 *Menunjukkan hubungan yang signifikan
Tabel 24. Hasil uji chi square durasi aktivitas lutung jantan dewasa pada tiap variabel lingkungan Durasi Aktivitas Lutung Jantan Variabel χ2 χ2 (db; α) Waktu aktivitas 78.57* 12.59 Ketinggian pohon 9.64 21.03 Diameter pohon 1.51 12.59 Ketinggian tempat 15.81 24.10 Kemiringan lereng 13.21 28.87 Jarak dari kebun 13.71 24.10 Jarak dari jalan 13.85 28.87 Tutupan lahan 6.31 12.59 *Menunjukkan hubungan yang signifikan
Tabel 25. Hasil uji chi square durasi aktivitas total pada tiap variabel lingkungan Durasi Aktivitas Total Variabel χ2 χ2 (db; α) Waktu aktivitas 195.31* 12.59 Ketinggian pohon 13.85 21.03 Diameter pohon 0.65 12.59 Ketinggian tempat 13.73 24.10 Kemiringan lereng 18.14 28.87 Jarak dari kebun 17.16 24.10 Jarak dari jalan 28.91* 28.87 Tutupan lahan 5.03 12.59 *Menunjukkan hubungan yang signifikan
37 Hasil uji chi square menunjukkan bahwa pola sebaran durasi aktivitas tidak merata pada tiap kategori variabel waktu aktivitas sehingga dapat dikatakan terdapat kecenderungan pemilihan waktu aktivitas pada lutung jawa. Pola ini dapat dijumpai pada durasi aktivitas lutung betina (χ2 = 115.64), lutung jantan (χ2 = 78.57) dan durasi aktivitas total dengan nilai χ2 = 195.31 pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji chi square durasi aktivitas pada klasifikasi jarak dari kebun dan klasifikasi tutupan lahan menunjukkan hubungan nyata dengan durasi aktivitas lutung betina dengan nilai χ2 sebesar 26.48 dan 16.01. Variabel jarak dari jalan berhubungan dengan aktivitas lutung betina dan aktivitas total dengan nilai χ2 sebesar 37.26 dan 28.91. Nilai hasil uji chi square yang lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3. Hubungan Aktivitas Harian dengan Variabel Lingkungan 1. Aktivitas Lutung Betina pada Berbagai Variabel Lingkungan
Elevation
Betina istirahat
Tinggi pohon
0.6
Berdasarkan analisis CCA aktivitas lutung betina dewasa pada berbagai variabel lingkungan diketahui total inertia akar ciri (eigenvalue) sebesar 0.074. Axis 1 menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap aktivitas pada individu betina adalah diameter pohon dan jarak dari jalan dengan nilai score matriks sebesar 0.24 dan 0.12. Axis 2 menunjukkan variabel yang paling berpengaruh adalah jarak dari jalan dan tutupan lahan dengan nilai score matriks sebesar 0.06 dan 0.03. Variasi yang dapat dijelaskan pada axis1 dan axis 2 sebesar 73.8% dan 19.7% (Gambar 22).
Betina_gerak Jarak jalan Tutupan lahan
Betina sosial
-0.4
Jarak kebun
Diameter
Betina_makan
Slope
-1.0
1.0 Axis 1
Gambar 22 Hubungan aktivitas lutung betina dewasa dengan variabel lingkungan Berdasarkan Grafik CCA (Gambar 22) diketahui bahwa aktivitas makan pada lutung betina dipengaruhi oleh faktor jarak kebun dan diameter pohon. Variabel kemiringan lereng (slope) berhubungan dengan aktivitas istirahat,
38 sedangkan aktivitas sosial sangat terkait dengan variabel jarak dari kebun, kemiringan lereng dan diameter pohon. 2. Aktivitas Lutung Jantan pada Berbagai Variabel Lingkungan
0.6
Berdasarkan analisis CCA aktivitas lutung jantan dewasa pada berbagai variabel lingkungan diketahui total inertia akar ciri (eigenvalue) sebesar 0.075. Variabel yang paling berpengaruh pada axis 1 adalah diameter pohon dan tutupan lahan dengan nilai score matriks 0.22 dan 0.09. Pada axis 2 variabel yang paling berpengaruh adalah jarak kebun dengan nilai score matriks 0.09. Variasi yang dapat dijelaskan pada axis 1 dan axis 2 adalah 66.5% dan 23.5% (Gambar 23).
Jarak kebun
Jantan_makan
Jantan_sosial Jantan_istirahat
Tutupan lahan
Elevation Slope
-0.8
Tinggi pohon
Diameter
Jarak jalan
Jantan_gerak
-1.0
1.0 Axis 1
Gambar 23 Hubungan aktivitas lutung jantan dewasa dengan variabel lingkungan Gambar 23 menunjukkan bahwa aktivitas bergerak pada lutung jantan dipengaruhi oleh variabel ketinggian tempat dan jarak dari jalan. Aktivitas makan terkait dengan variabel jarak kebun dan tutupan lahan, aktivitas sosial berhubungan dengan variabel kemiringan lereng (slope) dan jarak dari kebun, sedangkan aktivitas istirahat tidak berhubungan secara langsung dengan variabel lingkungan yang ada. 3. Aktivitas Total pada Berbagai Variabel Lingkungan Analisis CCA aktivitas total pada berbagai variabel lingkungan diketahui total inertia akar ciri (eigenvalue) sebesar 0.090. Total variasi yang dapat dijelaskan pada axis 1, axis 2 dan axis 3 masing-masing adalah 69.6%, 23.6% dan 6.5%. Berdasarkan score matriks pada axis 1 diketahui variabel yang paling berpengaruh adalah diameter pohon dan jarak dari jalan dengan score 0.23 dan 0.09. Pada axis 2 diketahui variabel yang berpengaruh adalah tinggi pohon dan jarak dari jalan dengan score 0.06 dan 0.05 (Gambar 24).
0.8
39
Elevation
Gerak
Tinggi pohon
Jarak jalan Tutupan lahan Diameter
Slope
Istirahat Sosial Jarak kebun
-0.6
Makan
-1.0
1.0 Axis 1
Gambar 24 Hubungan aktivitas total dengan variabel lingkungan Gambar 24 menunjukkan bahwa aktivitas bergerak berhubungan dengan variabel lingkungan seperti jarak jalan, tutupan lahan, ketinggian tempat (elevasi) dan diameter pohon. Aktivitas istirahat dan sosial paling dekat berhubungan dengan variabel kemiringan lereng (slope), sedangkan aktivitas makan sedikit dipengaruhi oleh faktor jarak kebun dan diameter pohon. Hubungan Aktivitas Harian dengan Spesies Vegetasi 1. Struktur dan Komposisi Vegetasi Analisis vegetasi menggunakan point centered quarter method menunjukkan ada 55 jenis vegetasi yang tercatat di sekitar habitat yang digunakan oleh lutung jawa dengan nilai INP tertinggi 24.23 (Quercus argentea) dan nilai INP terendah 1.19 (Arthocarpus elasticus & Dendrocnide stimulans). Daftar sepuluh jenis vegetasi dengan INP tertinggi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Daftar jenis vegetasi dengan nilai INP tertinggi di sekitar habitat lutung jawa di Gunung Pancar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama ilmiah Quercus argentea Dysoxylum macrocarpum Xerospermum noronhianum Pisonia ubelliflora Lithocarpus elegans Maesopsis eminii Ficus punctata Ficus elastica Phoebe excelsa Quercus javensis
RD (%) 10.5 6.5 6.5 5.5 5.5 5 4 2 3.5 3
RC (%) 7.63 8.89 7.46 5.87 4.36 2.58 6.37 7.46 4.12 5.18
FR (%) 6.1 6.71 5.49 5.49 4.88 6.1 2.44 2.44 4.27 3.66
RD: Relative density; RC: Relative cover; INP: Indeks Nilai Penting / Important Value Indeks
INP 24.23 22.09 19.45 16.86 14.74 13.68 12.81 11.9 11.89 11.84
40 Jenis-jenis pohon hutan yang penting antara lain adalah dari suku Fagaceae (Lithocarpus, Quercus) Lauraceae (Litsea, Phoebe), Meliaceae (Dysoxylum) dan Moraceae (Artocarpus, Ficus). Aktivitas manusia menjadi faktor utama yang mempengaruhi perubahan habitat hutan di Gunung Pancar. Kegiatan pertanian dan ekspoitasi sumberdaya hutan yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan kuntitas dan kualitas habitat lutung jawa. Efek kumulatif dari aktivitas manusia nampak pada kondisi habitat hutan yang sudah terfragmentasi dan terisolasi pada saat ini. Ditemukannya jenis-jenis introduksi seperti kayu afrika (M. eminii) dan mindi (A. indica) juga mengindikasikan tingginya aktifitas manusia di gunung Pancar. Pada area peralihan hutan-kebun banyak dijumpai jenis-jenis tanaman budidaya seperti pisang buah (Musa acuminata), kopi (Coffea robusta), nangka (Artocarpus heterophyllus) dan durian (Durio zibethinus). Pemanfaatan lereng pinggiran hutan untuk kegiatan pertanian sangat mengkhawatirkan mengingat masih dimanfaatkannya lahan dengan kemiringan lebih dari 45% (Gambar 25). Daftar jenis vegetasi hasil inventarisasi beserta nilai INP nya dapat dilihat pada Lampiran 4.
a
Gambar 25
b
Aktivitas manusia di area lereng Gunung Pancar. (a) Aktivitas pertanian masyarakat; (b) Lereng yang longsor di area kebun kopi.
2. Vegetasi yang Dimanfaatkan oleh Lutung Jawa Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan tercatat sebanyak 25 jenis vegetasi dimanfaatkan oleh lutung jawa untuk beraktivitas. Beberapa jenis vegetasi yang yang banyak dimanfaatkan oleh lutung jawa antara lain L. elegans, Q. argentea, G. arborescens, A. indica dan M. eminii. Analisis vegetasi juga menunjukkan bahwa jenis-jenis vegetasi yang dimanfaatkan oleh lutung jawa sebagian besar merupakan jenis yang cukup dominan di habitat lutung jawa di Gunung Pancar. Kondisi ini diperkirakan menjadi salah satu faktor yang mendukung eksistensi lutung jawa di Gunung Pancar. Daftar jenis vegetasi yang dimanfaatkan oleh lutung jawa di Gunung Pancar disajikan pada Lampiran 5.
41
a
b
Gambar 26 Aktivitas lutung jawa pada beberapa spesies vegetasi. (a) Lutung betina sedang beristirahat sambil menjaga bayi di pohon mindi (A. indica); (b) Lutung jantan sedang beristirahat di cabang pohon ki pare (G. arborescens). Pakan merupakan salah satu faktor dominan yang menentukan kelestarian suatu jenis satwa di habitatnya. Dari 25 jenis vegetasi yang dimanfaatkan, 22 jenis vegetasi diantaranya merupakan pakan potensial bagi lutung jawa di Gunung Pancar. Data ini diperoleh berdasarkan pengamatan di lapangan maupun data sekunder yang berhasil dikumpulkan. Beberapa jenis vegetasi teridentifikasi secara langsung dimakan oleh lutung jawa seperti Q. argentea, L elegans, M. eminii, A. Indica dan G. arborescens. Beberapa jenis vegetasi pakan memiliki INP yang tinggi yaitu Q. argentea (29.38%), D. macrocarpum (22.42%), L. elegans (14.89%) dan M. eminii (13.75%) (Lampiran 4). Q. argentea merupakan jenis pohon pakan yang paling banyak tumbuh di kawasan Gunung Pancar dengan densitas relatif 10.05% dan dominansi relatif 7.63%. Struktur pohonnya yang tinggi dengan cabang dan daun yang rimbun serta ketersediaan daun muda sepanjang tahun merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan pohon pasang sebagai pakan lutung jawa. Daftar jenis vegetasi yang potensial sebagai pakan lutung jawa di Gunung Pancar disajikan pada Lampiran 6. 3. Hubungan Aktivitas dengan Spesies Vegetasi a) Hubungan Aktivitas Individu Betina dengan Spesies Vegetasi Analisis PCA aktivitas lutung betina dewasa pada berbagai spesies vegetasi menunjukkan total akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.47. Total variasi yang dapat dijelaskan pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 86.65%, 8.00% dan 3.83%. Berdasarkan komponen 1 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah P. umbelliflora, L. elegans, G. arborescens, dengan PCA score berturut-turut 5.84, 4.62 dan 2.26. Pada komponen 2 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah Q. argentea, F. punctata dan L. sundaicus dengan nilai PCA score berturut-turut 1.35, 0.95 dan 0.94. Jenis vegetasi yang paling berpengaruh berdasarkan komponen 3 adalah X. noronhianum, A. indica dan P. edule dengan nilai PCA score masing-masing sebesar 0.96, 0.78 dan 0.62.
42
Ls Ai Sn
Komponen 2
Cj Fe -1,6 Sr Ce
Na
Pe
betina_sosial
Cg 0,6
betina_makan Me
Pex 0,3 Fe
Pu
Am Mc -0,8
0,8
Qj -0,3 Dm Xn -0,6 -0,9
Es
Le
Fp
1,6
betina_istirahat
2,4
3,2
4
4,8
Ga
Bj betina_gerak
-1,2 Qa
-1,5 -1,8
Komponen 1
Gambar 27 Hubungan aktivitas lutung betina dewasa dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 2. Berdasarkan Gambar 27 diketahui bahwa aktivitas makan dan sosial pada lutung betina dewasa berhubungan dengan keberadaan vegetasi M. eminii dan L. elegans, sedangkan pada aktivitas istirahat berhubungan dengan keberadaan vegetasi G. arborescens dan pada aktivitas bergerak terkait dengan keberadaan vegetasi Q. argentea, F. punctata. Hubungan aktivitas betina dengan speseis vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3 disajikan pada Gambar 28.
Xn 0,8
betina_makan
0,6 Le
Komponen 3
0,4
Bj betina_gerak Me
Sn Sr Fe Cj -1,6 Ce
Ls 0,2Qj Na Am Mc -0,8
Pex Fp Cg -0,2
0,8
1,6
2,4
Fe -0,4
Es
3,2
4
4,8
Qa
Pu
Dm -0,6
Pe Ai
betina_sosial betina_istirahat
Ga
-0,8 Komponen 1
Gambar 28 Hubungan aktivitas lutung betina dewasa dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3.
43 Aktivitas istirahat pada lutung betina dipengaruhi oleh keberadaan G. arborescens, sedangkan aktivitas makan berhubungan dengan keberadaan vegetasi M. eminii. b) Hubungan Aktivitas Individu Jantan dengan Spesies Vegetasi Analisis PCA aktivitas lutung jantan dewasa pada berbagai spesies vegetasi menunjukkan total akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.33. Total variasi yang dapat dijelaskan pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 83.32%, 8.08% dan 6.68%. Grafik PCA berdasarkan komponen 1 dan 2 disajikan pada Gambar 29, dan berdasarkan komponen 1 dan 3 disajikan pada Gambar 30.
1,6 1,2
jantan_sosial
Pex
Komponen 2
0,8 Ai Ls Na Pe Fe Am -1,6 Sr -0,8 Fe Dm Mc
CjSn Ce
Le
Cg 0,4 Me jantan_makan 0,8 -0,4
3,2
4
4,8
Pu
Xn
Qj
Es
1,6 2,4 jantan_istirahat Ga
-0,8 -1,2
Bj
Fp jantan_gerak Qa
-1,6 -2 Komponen 1
Gambar 29 Hubungan aktivitas lutung jantan dewasa dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 2.
Xn
1,8
jantan_makan
1,5 1,2
Komponen 3
0,9 Ls
0,6 0,3 Cg
Bj
Cj Fe -1,6 Sn Ce
Mc -0,8 Fe AiAm -0,3
Qj
Me Pex
Sr Na
0,8
Qa
1,6
Ga
2,4
jantan_gerak
3,2
4
4,8 Le
Fp Pe Es
Dm -0,6 -0,9
jantan_istirahat jantan_sosial
Pu
Komponen 1
Gambar 30 Hubungan aktivitas lutung jantan dewasa dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3.
44 Berdasarkan komponen 1 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah P. umbelliflora, L. elegans, G. arborescens, dengan PCA score berturut-turut 5.37, 4.63 dan 2.08. Pada komponen 2 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah Q. argentea, P. excelsa dan B. javanica dengan nilai PCA score berturut-turut 1.35, 1.09 dan 0.99. Jenis vegetasi yang paling berpengaruh berdasarkan komponen 3 adalah X. noronhianum, E. subumbrans dan L. sundaicus dengan nilai PCA score masing-masing 1.92, 0.85 dan 0.61. Hubungan aktivitas lutung jantan dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3 disajikan pada Gambar 30. Berdasarkan Gambar 29 dan 30 diketahui bahwa aktivitas makan jantan dewasa dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi M. eminii, L. elegans dan P. excelsa sedangkan aktivitas sosial sangat terkait dengan keberadaan vegetasi P. excelsa. Aktivitas istirahat berhubungan dengan keberadaan vegetasi G. arborescens dan X. noronhianum, dan aktivitas bergerak sangat terkait dengan keberadaan vegetasi Q. argentea, B. javanica dan F. punctata. c) Hubungan Aktivitas Total dengan Spesies Vegetasi Analisis PCA pada aktivitas total berdasarkan matriks korelasi menunjukkan total inertia akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.46. Total variasi yang dapat dijelaskan pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 86.43%, 7.90% dan 4.20%. Hubungan aktivitas total lutung jantan dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 2 disajikan pada Gambar 31, sedangkan berdasarkan komponen 1 dan 3 disajikan pada Gambar 32.
Pex
sosial
LsCg 0,6
Komponen 2
Sn Cj
Le makan
Ai 0,3 Fe Pe Am -0,8Mc -0,3 QjXn Dm
Me
Na
Ce -1,6 FeSr
Pu 0,8
1,6
istirahat
2,4
3,2
4
4,8
Ga
-0,6 Es
-0,9
Bj Fp
gerak
-1,2 -1,5
Qa
-1,8
Komponen 1
Gambar 31
Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 2.
Berdasarkan komponen 1 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah P. umbelliflora, L. elegans dan G. arborescens dengan nilai PCA score berturut-turut 5.67, 4.72 dan 2.15. Pada komponen 2 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah Q. argentea, F. punctata dan B. javanica dengan nilai PCA score berturutturut 1.36, 0.96 dan 0.92. Jenis vegetasi yang paling berpengaruh berdasarkan
45 komponen 3 adalah X. noronhianum, P. edule dan A. indica dengan nilai PCA score masing-masing 1.34, 0.58 dan 0.55.
1,8 1,5 Xn
1,2
makan
Komponen 3
0,9 0,6 Bj
Ls 0,3 FeSr CjSn -1,6 Ce
Na Mc -0,8 Am
Cg
Me Qj
gerak
Pex Fp
0,8
Le
Qa
1,6
Fe-0,3 AiEs Dm -0,6 Pe
2,4
3,2
4
4,8
Ga Pu istirahat sosial
-0,9 Komponen 1
Gambar 32
Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3.
Berdasarkan Gambar 31 dan 32 diketahui bahwa aktivitas makan dan sosial dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi L. elegans dan M. eminii. Aktivitas istirahat berhubungan dengan keberadaan vegetasi G. arborescens, sedangkan aktivitas istirahat terkait dengan keberadaan vegetasi Q. argentea, F. punctata dan B. javanica.
Pembahasan Populasi Lutung Jawa Populasi lutung jawa di Gunung Pancar relatif kecil dibandingkan dengan beberapa habitat yang lain. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kelompok lutung jawa biasanya terdiri dari 6-23 ekor dengan satu jantan pemimpin, beberapa betina dewasa, anak dan bayi (Medway 1970, Kartikasari 1982, Cannon 2009). Kondisi habitat hutan yang terfragmentasi dan terisolasi serta tingginya faktor gangguan aktivitas manusia menjadi faktor utama yang diduga berpengaruh terhadap ukuran populasi lutung jawa di Gunung Pancar. Laurence (2000) menyatakan bahwa fragmentasi habitat hutan berimplikasi terhadap perubahan dinamikla hutan, struktur, komposisi dan mikroklimat serta menekan keanekeragaman hayati, selain itu perburuan ilegal berhubungan langsung terhadap meningkatnya tekanan pada fragmen habitat.
46 Perubahan komposisi habitat akan berdampak pada bergesernya dinamika faktor fisik dan biotik, sehingga akan berimbas pada ketersediaan air, cover dan pakan yang merupakan komponen utama habitat. Cannon (2009) menyatakan ukuran kelompok dipengaruhi oleh faktor iklim dan musim yang implikasinya terkait dengan ketersediaan pakan. Pada kasus seperti Gunung Pancar dimana kondisi iklim dan mikroklimat relatif basah, maka regenerasi vegetasi untuk tumbuh dan berkembang dapat berlangsung dengan baik sehingga memungkinkan ketersediaan daun (pakan) sepanjang waktu. Namun demikian tingginya gangguan aktivitas manusia terhadap habitat menyebabkan regenerasi vegetasi menjadi terganggu. Aktivitas pertanian dan penebangan kayu yang cukup intensif serta berkurangnya populasi satwa pemancar biji merupakan faktor ancaman yang utama. Di Tahura R. Soerjo tercatat ancaman utama keletarian lutung jawa adalah perambahan hutan, kebekaran hutan serta aktivitas perburuan liar yang cukup tinggi (Profauna 2011). Hilangnya sebagian besar vegetasi di Gunung Pancar menjadi ancaman serius bagi eksistensi populasi lutung jawa yang merupakan satwa pemakan daun (folifora) (Bismark 1993). Ukuran kelompok yang kecil merupakan salah satu bentuk strategi dalam menghadapi kondisi habitat yang kurang mendukung. Densitas populasi adalah parameter yang dapat digunakan untuk menduga ukuran populasi pada suatu area tertentu. Beberapa metode pengukuran populasi primata sangat tergantung dari kondisi habitat dan karakteristik satwa yang diamati (Tobing ISL 2008). Diketahui kepadatan populasi lutung jawa di Gunung Pancar sangat rendah (0.14 ind/ha) jika dibandingkan dengan lokasi lain. Penelitian Megantara (2004) di TWA Pangandaran menunjukkan kepadatan kelompok lutung jawa berkisar antara 18-26 kel/km2. Di TN Alas Purwo tercatat kepadatan lutung jawa 50 ind/km2 (Susetyo 2004); 88-158 ind/km2 (Purnomo 2003). Beberapa studi lain juga mencatat kepadatan rata-rata berkisar 7.9 – 8.8 kelompok/km2 dengan estimasi 114 – 147.9 individu/km2 (Meijaard & Nijman diacu dalam IUCN 2012). Densitas jenis-jenis mamalia yang bergantung pada keberadaan hutan biasanya akan berubah ketika terjadi isolasi dan perubahan habitat akibat aktivitas manusia (Ickes et al. 2005). Tekanan isolasi habitat menyebabkan populasi tidak dapat berkembang dengan baik akibat menurunya sumberdaya, kemampuan reproduksi serta hilangnya diversitas genetik (Bailey 2007). Efek ganda dari faktor internal (degradasi genetik) dan faktor eksternal (degradasi lingkungan) dapat menyebabkan populasi lutung jawa menjadi stagnan bahkan cenderung menurun. Megantara (2004) menyatakan bahwa populasi lutung jawa di Taman Wisata Pangandaran mengalami penurunan dari 158 ekor menjadi 130 ekor mulai tahun 1979 sampai 2003 yang diperkirakan sebagai akibat degradasi habitat. Harcourt & Gibbons (2009) menyatakan bahwa ada sebagian jenis primata yang tetap dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada fragmen habitat yang terbatas yaitu spesies yang memiliki bobot tubuh kecil atau jenis yang bersifat komensal dan tersebar luas. Lutung jawa dengan distribusi populasi yang terpencar di Jawa, Bali dan Lombok (Richardson 2005, Nijman & Supriatna, 2008) diperkirakan banyak hidup pada fragmen-fragmen habitat yang tersisa sehingga sangat rentan terhadap kepunahan (Nijman 2000). Pada kondisi habitat yang terbatas, diperkirakan ketersediaan pakan menjadi faktor utama yang mempengaruhi keberadaan populasi lutung jawa. Harcourt & Gibbons (2009)
47 menyatakan bahwa dari banyak variabel demografi dan lingkungan, hanya variabel pakan yang memberikan pengaruh signifikan terhadap keberadaan populasi primata. Laurence & Laurence (1999) menyatakan bahwa sisa-sisa fragmen hutan masih dapat menjadi kantung habitat atau koridor bagi satwa arboreal. Terkait dengan pendapat tersebut Cardilo et al.(2006) menyatakan bahwa fokus perhatian konservasi seharusnya tidak hanya pada hotspot biodiversity, namun juga harus diarahkan pada kawasan dengan tingkat gangguan yang tinggi sehingga dapat meminimalisir resiko kepunahan di masa depan. Gunung Pancar sebagai fragmen habitat penting bagi banyak satwaliar di sekitar kawasan hendaknya mendapatkan perhatian serius dalam kaitannya dengan upaya konservasi satwaliar di Indonesia. Distribusi Aktivitas Harian Lutung Jawa Distribusi aktivitas harian lutung jawa menunjukkan variasi yang beragam pada tiap variabel lingkungan (fisik dan biotik). Secara umum proporsi aktivitas lutung jawa di Gunung Pancar adalah istirahat (33.65%), makan (30.68%), bergerak (27.08%) dan aktivitas sosial (8.60%). Hasil ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya. Ambarwati (1999) menyatakan di TN Baluran persentase aktivitas lutung jawa adalah istirahat sebesar 49%, makan 23%, berjalan 22%, tidur 10% dan bersuara 3%. Prilyanto (2005) juga mencatat proporsi aktivitas lutung jawa di RPH Claket Mojokerto berturut-turut adalah resting, moving, feeding, grooming, playing dan aggressive. Alokasi waktu aktivitas dominan pada pagi hari dengan proporsi aktivitas tertinggi adalah makan. Kondisi suhu dan kelembaban yang relatif tinggi pada pagi hari (10-30o C) menyebabkan lutung jawa memilih berkumpul untuk makan di bawah naungan pohon (Nadler et al. 2002). Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persentase durasi aktivitas istirahat dan makan pada lutung betina dewasa (50.66% & 58.80%). Pada siang hari lutung jawa lebih banyak bergerak dan istirahat. Aktivitas ini terkait dengan upaya mencari sumber pakan serta kegiatan orientasi dalam daerah jelajah. Prayogo (2006) menyatakan bahwa kegiatan istirahat pada primata termasuk lutung umumnya dipengaruhi oleh tingkat suhu dan kelembaban. Suhu yang relatif tinggi pada siang hari menyebabkan lutung jawa banyak beristirahat dengan cara berteduh di bawah kerimbunan tajuk pohon. Sebaran frekuensi tiap jenis aktivitas lutung jawa menunjukkan pola yang seragam, hal ini disebabkan lutung jawa beraktivitas hampir sepanjang hari dengan intensitas yang relatif merata, khususnya aktivitas bergerak dan makan. Hasil pengamatan menunjukkan lutung jawa selalu tercatat beraktivitas makan dan bergerak baik pada pagi, saing maupun sore hari. Distribusi aktivitas harian pada variabel stratum pohon dominan dijumpai pada stratum C dengan rentang tinggi pohon 4 – 20 meter. Struktur dan komposisi masyarakat vegetasi di Gunung Pancar diduga berpengaruh terhadap pola ini. Diketahui populasi vegetasi di habitat lutung jawa didominasi oleh vegetasi pada stratum C dengan persentase 80.50%. Pola distribusi ini relatif berbeda dengan beberapa lokasi lain. Zainal (2008) mengungkapkan bahwa penggunaan stratum tertinggi pada lutung jawa adalah stratum tengah (49.22%) untuk di penangkaran dan stratum atas (43.11%) di habitat alami. Selanjutnya Subarkah dkk. (2011)
48 juga menyebutkan bahwa lutung dalam aktivitasnya 50.53% menggunakan wilayah puncak kanopi tumbuhan, 41.99% menggunakan kanopi tumbuhan bagian tengah dan hanya 2.49% yang menggunakan kanopi bawah. Perbedaan pola penggunaan stratum pohon diperkirakan dipengaruhi oleh kondisi hutan Gunung Pancar yang relatif terganggu. Pada hutan terganggu kerapatan/densitas vegetasi menjadi berkurang sehingga stratum tajuk bagian tengah menjadi lebih dominan. Hal ini berimplikasi kepada tingginya durasi aktivitas pada stratum tajuk bagian tengah (stratum C). Pola sebaran aktivitas pada peralihan hutan-kebun dodiminasi pada area peralihan hutan-kebun (46.69%), sedangkan pada habitat hutan hanya tercatat sebesar 39.93%. Diversitas vegetasi diperkirakan mempengaruhi pola sebaran yang demikian. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa kekayaan jenis vegetasi pada peralihan hutan-kebun paling tinggi (40.13%) dibandingkan dengan hutan alam (31.91%) dan kebun (27.66%). Diversitas vegetasi pada suatu tipe habitat tertentu biasanya berbanding lurus dengan potensi ketersediaan pakan. Berdasarkan variabel kemiringan lereng (slope) diketahui bahwa sebaran aktivitas lutung jawa dominan pada kelerengan yang agak curam/bergelombang. Diduga pemilihan ini terkait dengan strategi dalam mendeteksi dan menghindari gangguan serta ancaman predator pada saat siang hari termasuk kehadiran manusia. Beberapa studi terhadap owa jawa menunjukkan tingkat kesesuaian habitat yang tinggi pada tempat dengan kemiringan lereng yang bergelombang hingga sangat curam (Dewi 2005 dan Berliana 2009). Terkait dengan faktor fisik lingkungan, Bailey (1984) menyatakan bahwa selain vegetasi, faktor fisik alami seperti sungai besar, jurang, tebing yang terjal dan kemiringan lereng juga mungkin sangat berpengaruh bagi satwa liar. Distribusi frekuensi perjumpaan pada variabel ketinggian tempat paling dominan pada rentang ketinggian 801-850 m dpl. Pola ini diduga terkait dengan kondisi topografi Gunung Pancar dimana pada rentang ketinggian tersebut merupakan lokasi keberadaan habitat hutan alam dan habitat peralihan hutankebun dengan komposisi vetegasi yang paling dominan. Changcheng et al. (2007) mengungkapkan bahwa vegetasi pada habitat mempengaruhi perilaku dan daya hidup satwa primata, bukan hanya sekedar tempat untuk bermain dan didiami tetapi juga sebagai sumber pakan utamanya. Beberapa penelitian menunjukan bahwa komposisi dan struktur vegetasi pada habitat mempunyai hubungan dengan biomasa, distribusi waktu makan dan preferensi habitat primata. Tingginya frekuensi perjumpaan lutung jawa pada area yang dekat dengan jalan dan kebun diduga terkait dengan keberadaan vegetasi cover dan pakan. Pada area yang terbuka biasanya akan banyak ditumbuhi jenis-jenis vegetasi muda yang menyediakan banyak daun muda sebagai sumber pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Morrison et al. (2006) yang menyatakan bahwa ketertarikan berbagai spesies pada area sepanjang batas antara hutan dan area terbuka biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitarnya, diduga terkait dengan keberadaan sumber pakan. Pada beberapa kali perjumpaan selama observasi tercatat lutung jawa selalu menghindar setiap mendeteksi adanya aktivitas manusia di sekitarnya, namun demikian faktor ketersediaan vegetasi pakan yang cukup banyak di sepanjang jalur jalan dan kebun membuat frekuensi aktivitas lutung jawa menjadi tinggi.
49 Pola sebaran aktivitas berdasarkan variabel diameter pohon menunjukkan pengelompokkan pada kategori diameter pohon > 20 cm. Kecenderungan ini diduga terkait dengan ukuran profil pohon yang berimplikasi terhadap ketersediaan pakan dan faktor perlindungan. Matsuda et al. (2011) menyatakan bahwa satwaliar memilih suatu habitat yang optimal disebabkan kemampuan habitat menyediakan pakan dan aman dari predator, di samping faktor lainnya seperti cuaca dan sistem sosial yang kadang kala juga turut mempengaruhi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel diameter dan tinggi pohon memiliki kontribusi yang penting terhadap ketersediaan pakan dan tempat berlindung bagi kelompok lutung jawa. Sebaran frekuensi perjumpaan lutung jawa berbeda pada setiap variabel lingkungan kecuali waktu aktivitas. Pada kategori frekuensi aktivitas, pola sebarannya relatif homogen pada setiap variabel lingkungan. Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum aktivitas lutung jawa mengelompok berdasarkan pemilihan rentang tertentu pada setiap variabel lingkungan, namun demikian frekuensi tiap jenis aktivitas cenderung merata pada tiap rentang variabel lingkungan tersebut. Durasi aktivitas menunujukkan pola sebaran yang berbeda pada beberapa variabel lingkungan. Tercatat durasi aktivitas relatif berbeda pada berbagai kategori variabel waktu aktivitas, jarak dari jalan, jarak dari kebun dan tutupan lahan. Hal ini mengindikasikan adanya preferensi aktivitas tertentu pada tiap variabel tersebut. Sebagai contoh durasi aktivitas makan cedenrung tinggi pada pagi hari karena terkait dengan tingkat kesegaran pakan. Hubungan Aktivitas Harian dengan Variabel Lingkungan Hubungan keterkaitan antara fragmentasi habitat, eksistensi spesies serta struktur komunitas merupakan fokus yang sangat penting dalam kajian ekologi dan biologi konservasi (Laurence & Bierregaard 1997). Terkait dengan hal tersebut maka kajian hubungan antara aktivitas harian dengan berbagai variabel lingkungan merupakan pengungkapan informasi yang penting bagi upaya konservasi. Hasil pengujian Cannonical Corespondence Analysis menunjukkan keterkaitan yang tinggi pada beberapa variabel lingkungan terhadap aktivitas harian lutung jawa, diantaranya variabel diameter pohon, variabel stratum tinggi pohon, variabel jarak dari jalan dan kebun serta variabel tutupan lahan. Variabel diameter pohon dan stratum tinggi pohon sangat terkait dengan bentuk dan ukuran pohon yang berimplikasi terhadap ketersediaan pakan dan faktor perlindungan (cover). Beberapa studi menunjukkan bahwa ukuran pohon adalah indikator dari ketersediaan pakan primata (Chapman et al.1992) yang dapat diukur dengan pendekatan diameter setinggi dada atau secara sederhana dengan mengkuantifikasi sejumlah pohon yang berukuran besar (Arroyo-Rodríguez et al. 2007, Wieczkowski 2004). Penelitian Febriyanti (2008) di TN Bromo Tengger menyebutkan bahwa pohon cover (tempat berlindung) lutung jawa memiliki diameter rata-rata 53.56 cm. Nursal (2001) juga menunjukan bahwa kelompok lutung jawa di TNGGP paling sering mengunakan pohon dengan diameter 20-30 cm, sedangkan pada kelompok owa jawa banyak mengunakan pohon dengan ukuran diameter berkisar antara 26-36 cm (Iskandar 2007). Hasil-hasil penelitian
50 tersebut mendukung data observasi di Gunung Pancar dimana lutung jawa lebih dominan beraktivitas pada vegetasi dengan diameter lebih dari 20 cm. Tingginya aktivitas lutung jawa pada kategori stratum C dengan rentang ketinggian pohon 4 – 20 meter terkait dengan struktur dan komposisi vegetasi di Gunung Pancar. Diketahui struktur dan komposisi vegetasi di Gunung Pancar berturut-turut adalah stratum A (5%), stratum B (14.5%), stratum C (80.5 %), stratum D (0%) dan stratum E (0%). Adanya perbedaan tinggi dari jenis tumbuhan menurut umur maupun jenis dan sifat tumbuhnya menciptakan stratifikasi hutan seperti adanya bentuk dan tipe tajuk. Keadaan struktur hutan ini berpengaruh pada ketersediaan makanan primata sesuai dengan relung ekologinya, seperti terlihat pada ketinggian tempat masing-masing primata di pohon (Oates 1977 diacu dalam Bismark, 1983). Tingginya aktivitas pada stratum C juga terkait dengan faktor ketersediaan pakan. Menurut Vickery (1984) pada stratum C vegetasi berasosiasi dengan berbagai jenis epifit, tumbuhan memanjat dan parasit sehingga menambah diversitas pakan yang tersedia. Analisis vegetasi menunjukkan rata-rata tinggi pohon di Gunung Pancar adalah 16.18 meter dengan habitus berupa pohon muda dengan regenerasi daun muda yang cukup tinggi sehingga potensial sebagai sumber pakan. Febriyanti (2008) juga menyatakan bahwa pohon yang digunakan sebagai cover lutung jawa di TN Bromo Tengger memiliki ketinggian rata-rata 19.16 m. Subarkah dkk. (2011) menyatakan bahwa penggunaan stratum tajuk pada lutung jawa berkaitan dengan ketinggian dan kerapatan tajuk serta kekayaan jenis vegetasi yang berfungsi antara lain sebagai sumber pakan, tempat berlindung dan tempat beraktivitas. Variabel kemiringan lereng (slope) berhubungan erat dengan aktivitas lutung jawa karena terkait dengan faktor keamanan dan perlindungan. Pohon yang berada di kemiringan lereng yang curam diduga sangat membantu lutung jawa dalam mendeteksi dan menghindari gangguan serta ancaman dari predator saat siang hari. Bailey & Provenza (2008) menyatakan bahwa faktor abiotik seperti kemiringan lahan dan ketinggian tempat selain merupakan hambatan bagi beberapa jenis satwa juga dapat menjadi faktor penting yang menyediakan perlindungan dan keamanan terutama bagi satwa primata arborteal (Gambar 32).
a
b
Gambar 33 Aktivitas lutung jawa pada area lereng Gunung Pancar. (a) Lutung betina beristirahat di cabang pohon mindi (A. indica) yang berada di sisi lereng yang curam pada siang hari; (b) Lutung jantan berdiam di cabang pohon ki haji (D. macrocarpum) sambil mengamati sekeliling untuk memastikan keamanan kelompoknya.
51 Variabel tutupan lahan berkaitan erat dengan kerapatan vegetasi dimana tingkat tutupan tajuk akan sangat mempengaruhi koneksi antar tajuk pohon sehingga memudahkan pergerakan lutung jawa dari satu pohon ke pohon lainnya. Arroyo-Rodríguez et al. (2007) berpendapat bahwa kesinambungan dari kanopi pohon sangat penting terutama untuk sejumlah spesies primata yang amat jarang turun ke tanah dan hidup dalam kanopi hutan yang berdekatan. Habitat peralihan hutan-kebun selain menyediakan koneksi tajuk yang mendukung pergerakan lutung jawa, juga menyediakan sumberdaya pakan yang lebih beragam. Diketahui pada kawasan peralihan sering ditumbuhi jenis-jenis vegetasi buah baik yang tumbuh secara alami maupun ditanam oleh penduduk sekitar. Aktivitas bergerak cenderung dipengaruhi oleh variabel ketinggian tempat dan jarak dari jalan. Aktivitas makan relatif berhubungan dengan variabel jarak dari kebun dan tutupan lahan, sedangkan aktivitas sosial dan istirahat tidak terlalu terpengaruh oleh berbagai variabel lingkungan. Hubungan Aktivitas Harian dengan Spesies Vegetasi Sudah banyak diungkapkan bahwa keberadaan vegetasi berhubungan dengan ketersediaan pakan serta terkait dengan pola aktivitas dan home range primata (Bismark 1983). Adanya keragaman struktur fisik tumbuhan dan keragaman jenisnya baik secara terpisah atau bersama-sama akan menyediakan berbagai relung yang potensial dalam sebaran satwa. Hubungan antara aktivitas harian dengan berbagai jenis vegetasi secara umum dipengaruhi oleh kebutuhan pakan dan cover yaitu tempat beraktivitas dan berlindung. Terdapat hubungan antara tiap jenis aktivitas dengan spesies vegetasi tertentu. Terdapat variasi hubungan yang berbeda antara jenis aktivitas lutung jawa dengan keberadaan spesies vegetasi di habitatnya. Aktivitas makan berhubungan dengan keberadaan vegetasi M. eminii dan L. elegans, aktivitas istirahat berhubungan dengan keberadaan vegetasi G. arborescens, aktivitas bergerak terkait dengan keberadaan vegetasi Q. argentea, F. punctata dan aktivitas sosial berhubungan dengan keberadaan vegetasi P. excelsa. Hubungan aktivitas makan dengan M. eminii dan L. elegans sangatlah logis mengingat kedua spesies vegetasi tersebut merupakan jenis vegetasi pakan yang disukai oleh lutung jawa. Kelimpahan vegetasi tersebut di habitat lutung jawa relatif tinggi ditunjukkan dengan INP sebesar 13.68% dan 14.74%. G. arborescens terkait dengan aktivitas istirahat karena spesies vegetasi tersebut merupakan salah satu jenis vegetasi pakan dimana lutunkjawa sering mempergunakannya untuk istirahat dan tidur di siang hari. Tercatat G. arborescens banyak tumbuh pada area di sekitar tepi lereng sehingga sangat mendukung sebagai tempat beristirahat karena relatif terlindung aman sulit dijangkau. Spesies Q. argentea, F. punctata terkait dengan aktivitas bergerak karena kedua jenis vegetasi tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang relatif besar sehingga menyediakan tajuk yang lebar yang terhubung dari satu pohon ke pohon yang lain. Kondisi ini menyediakan jalur pergerakan yang memudahkan bagi kelompok lutung jawa untuk berpindah di dalam area jelajahnya, selain itu tajuk yang rimbun juga menyediakan perlindungan yang baik terhadap gangguan dan predator.
52 Aktivitas sosial terkait dengan P. excelsa karena jenis vegetasi tersebut menyediakan tajuk yang rimbun dan lebar sehingga sangat disukai oleh kelompok lutung jawa untuk beristirahat dan malakukan interaksi sosial diantara anggota kelompok. Tercatat pada spesies P. excelsa anak-anak lutung jawa sering terlihat berkejaran. Hasil kajian menunjukkan adanya keterkaitan antara berbagai variabel biotik dan fisik terhadap aktivitas harian lutung jawa. Terkait dengan variabel biotik O’ Brien et al.(1995) menyatakan adanya hubungan yang kuat antara diameter pohon dengan tinggi, bentuk kanopi dan usia dari beberapa spesies pohon. Pada kelompok primata, kuantitas dan kualitas vegetasi penyusun habitat menjadi penting mengingat perilaku yang bersifat sedenter (Kappeler 1984) dan sangat kuat dalam mempertahankan teritori (Cheyne 2008). Sifat yang demikian menyebabkan kerusakan habitat sangat mengancam kelestarian satwa primata termasuk lutung jawa. Implikasi Manajemen dan Konservasi Lutung Jawa Deforestasi, degradasi hutan, dan perburuan memberikan dampak yang semakin meningkat dan mengancam berbagai spesies satwa liar di Indonesia. Berbagai macam upaya telah dikerahkan untuk mengatasi permasalahan ini, antara lain melalui penegakan perangkat peraturan dan perundangan serta kesepakatan internasional mengenai hidupan liar. Namun demikian pencapaian tujuan konservasi masih menghadapi berbagai tantangan. Masalah ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa upaya konservasi masih berfokus pada kawasan lindung yang memiliki hutan dengan kondisi utuh. Disisi lain kita harus mengakui bahwa hutan yang telah terdegradasi juga merupakan komponen penting bagi pendekatan konservasi secara menyeluruh di tingkat bentang alam (Meijaard 2006). Habitat lutung jawa di TWA Gunung Pancar mengalami degradasi dan fragmentasi yang cukup parah sehingga menyebabkan terjadinya isolasi. Laurence et al. 2000 menyatakan bahwa fragmentasi habitat hutan berimplikasi terhadap perubahan dinamika hutan, struktur, komposisi dan mikroklimat. Kondisi ini tentunya berpengaruh kepada respon lutung jawa dalam memanfaatkan sumberdaya. Kompleksitas hubungan antara aktivitas lutung jawa dengan berbagai variabel lingkungan membentuk karakteristik khas yang berimplikasi kepada upaya pengelolaan dan konservasinya. Tabareli (2005) menyatakan ada enam pedoman dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kawasan terfragmentasi yaitu (1) diperlukannya tindakan perlindungan sebagai bagian dari aktivitas pembangunan; (2) dilakukan upaya untuk meminimalisir fragmentasi hutan dan area disekitarnya; (3) pengelolaan pada area tepi fragmen hutan, (4) perlindungan hutan di sepanjang aliran sungai; (5) pengawasan terhadap penggunaan api dan bahan kimia berbahaya di sekitar fragmen hutan, dan (6) peningkatan upaya reboisasi pada area kritis dan terbuka. Pengelolaan dan konservasi lutung jawa di TWA Gunung Pancar secara umum dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu dari sudut pandang objek pengelolaan dan subjek pengelolaan. Dalam kerangka objek pengelolaan, fokus perhatian ditujukan pada pemeliharaan populasi dan habitat lutung jawa, sedangkan dalam kerangka subjek pengelolaan lebih ditekankan pada sinergitas
53 dan kerjasama antar pihak terkait yang meliputi pengelola kawasan, penduduk sekitar kawasan serta para akademisi/peneliti dan pakar biologi. Implementasi yang baik antara pengelolaan populasi, habitat serta aspek sosial dan kelembagaan tersebut merupakan kunci utama keberhasilan upaya konservasi lutung jawa. Hasil penelitian menunjukkan dua kelompok lutung jawa masih dapat dijumpai pada habitat hutan alam terdegradasi, peralihan hutan-kebun serta habitat kebun di TWA Gunung Pancar. Data ini menunjukkan status terkini keberadaan lutung jawa setelah Nijman (2000) mencatat keberadaannya di Gunung Pancar. Eksistensi lutung jawa di TWA Gunung Pancar mengindikasikan keberhasilan adaptasi pada fragmen habitat yang terisolasi. Data ini diperkuat oleh pernyataan Subarkah dkk. (2011) bahwa lutung jawa di Coban Trisula dapat beradaptasi dengan kondisi fragmen habitat yang terbuka. Informasi tersebut diharapkan dapat mendorong upaya konservasi pada kawasan dengan potensi ancaman yang tinggi sehingga meminimalisir resiko kepunahan di masa depan (Cardillo 2006). Berdasarkan aspek populasi diketahui struktur koloni lutung jawa di Gunung Pancar memiliki proporsi yang cukup lengkap dimana dalam satu kelompok dijumpai adanya jantan dewasa, betina dewasa, beberapa remaja, anak dan bayi. Data ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan kelompok lutung jawa biasanya terdiri dari 6-23 individu dengan satu atau dua jantan, beberapa betina, anak dan bayi (Kartikasari 1982, Medway 1970, Cannon 2009). Struktur kelompok yang lengkap menunjukkan bahwa aktivitas reproduksi lutung jawa di Gunung Pancar masih dapat berlangsung dengan dukungan sumberdaya yang tersedia. Potensi reproduksi tersebut dapat dioptimalkan dengan melakukan pemeliharaan komunitas vegetasi sebagai bagian dari upaya menyediakan cover dan sumber pakan. Pengawasan dan pencegahan terhadap potensi gangguan khususnya akibat aktivitas manusia juga perlu diperketat untuk menciptakan kondisi habitat yang kondusif bagi berlangsungnya proses reproduksi. Perlu diingat bahwa efek antropogenik seringkali mengancam kelestarian satwaliar, terlebih pada kondisi fragmen habitat yang terbatas (Michalski 2005). Kepadatan kelompok lutung jawa di Gunung Pancar relatif rendah (0.14 ind/ha), diduga dipengaruhi oleh luasan fragmen habitat yang terbatas (143 ha). Hasil yang sama dikemukakan oleh Soebarkah (2011) yang mencatat kepadatan lutung jawa pada area terfragmentasi di Coban Trisula TNBTS adalah sebesar 0.6 ind/ha. Michalski (2005) menyatakan bahwa pengaruh ukuran fragmen habitat memberikan tekanan yang besar terhadap populasi satwaliar karena fragmentasi menciptakan populasi kecil yang rentan terhadap bencana, degradasi genetik, variasi demografik dan fluktuasi lingkungan (Morison et al. 2006). Keberadaaan celah akibat fragmentasi habitat mempengaruhi pergerakan dan akses terhadap sumberdaya (Kareiva 1987) sehingga berpengaruh terhadap kepadatan populasi. Upaya pengelolaan terhadap populasi dengan kepadatan rendah dapat dilakukan dengan merehabilitasi kondisi habitat khususnya dengan penanaman kembali vegetasi hutan asli. Pemeliharaan populasi melalui introduksi mungkin dapat dilakukan untuk meningkatkan kepadatan populasi lutung jawa, namun mengingat luasan fragmen habitat yang sangat terbatas kemungkinan paling baik adalah dengan rehabilitasi dan optimalisasi fungsi habitat. Implikasi pengelolaan habitat sangat terkait dengan kondisi berbagai variabel lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan diameter pohon merupakan
54 variabel yang paling berpengaruh terhadap aktivitas lutung jawa. Aktivitas dominan dijumpai pada diameter pohon > 20 cm yang mengindikasikan pentingnya keberadaan jenis-jenis pohon dengan ukuran relatif besar. Diameter pohon sangat terkait dengan tinggi pohon dan berhubungan langsung dengan ketersediaan pakan serta tempat berlindung (Changceng 2007). Chapman et al. (1992) juga menyatakan bahwa ukuran pohon adalah indikator dari ketersediaan pakan primata dan dapat diukur menggunakan diameter pohon setinggi dada. Terkait dengan variabel tersebut maka implikasi pengelolaan yang perlu dilakukan adalah memelihara keseimbangan struktur dan komposisi vegetasi di habitat lutung jawa. Mengingat tingkat degradasi habitat yang relatif tinggi di Gunung Pancar, maka rehabilitasi habitat yang perlu dilakukan dengan cara penanaman kembali jenis-jenis vegetasi hutan, selain itu perawatan untuk membantu regenerasi alami juga perlu dilakukan. Upaya ini perlu diperkuat dengan pengawasan dan pencegahan terhadap penebangan liar (Gambar 32).
Gambar 34 Bekas tebangan pohon di hutan alam Lutung jawa banyak dijumpai beristirahat pada area dengan kemiringan lereng yang bergelombang hingga curam, diduga terkait dengan faktor keamanan dan perlindungan. Lereng yang curam relatif sulit untuk dijangkau oleh predator dan pengganggu sehingga sangat sesuai untuk beristirahat. Mengingat pentingnya keberadaan area lereng, maka upaya pemeliharaan terhadap keberadaan vegetasi pada area lereng merupakan prioritas yang harus segera dilakukan. Keberadaan vegetasi selain menyediakan tempat beraktivitas dan berlindung bagi lutung jawa juga sekaligus menyediakan pakan (Changceng 2007) serta mencegah terjadinya erosi/longsor. Langkah pengawasan dan pencegahan terhadap aktivitas perburuan liar juga perlu dilakukan untuk mengoptimalkan perlindungan terhadap lutung jawa. Laurent (2000) menyatakan bahwa faktor perburuan ilegal berhubungan langsung terhadap meningkatnya tekanan pada fragmen habitat. Perburuan menjadi ancaman serius bagi populasi lutung jawa mengingat perdagangan ilegal terhadap satwa primata ini masih cukup tinggi di Pulau Jawa (Profauna 2011). Pemulihan kawasan pinggiran hutan merupakan langkah pengelolaan yang harus dilakukan sebagai implikasi dari kondisi habitat lutung jawa yang terdegradasi. Gunawan dkk. (2010) menyatakan bahwa pada skala fragmen hutan, hilangnya vegetasi dan fragmentasi dapat berpengaruh luas terhadap daya hidup populasi, interaksi ekologi dan keanekaragaman hayati sehingga ancaman
55 kepunahan populasi meningkat sebagai imbas dari efek demografi, lingkungan dan genetik. Menurut Gunawan (2007) rehabilitasi kawasan hutan terdegradasi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain (1) proses suksesi alam dimana kawasan disterilkan dari gangguan aktivitas manusia sehingga proses regenerasi dapat terjadi secara alami sampai mencapai kondisi klimaks; (2) penanaman areal yang terbuka dengan vegetasi alami yang mendukung ketersediaan pakan serta tempat berlindung; dan (3) membantu proses regenerasi vegetasi alami dengan melakukan penyiangan terhadap gulma dan tumbuhan pengganggu. Terkait tingginya aktivitas pertanian di sekitar habitat lutung jawa di Gunung Pancar, maka diperlukan strategi pengelolaan yang berbasis pada partisipasi masyarakat, salah satunya adalah sistem agroforestri (Gunawan 2007). Dalam sistem agroforestri petani diwajibkan menanam tumbuhan hutan pada areal pertaniannya. Argoforestri secara umum memberikan tiga keuntungan utama yaitu terpulihkannya kawasan hutan yang telah dikonversi, terjaganya fungsi hidrologi kawasan sebagai penyedia air bersih untuk daerah sekitar serta terjaminnya kelangsungan hidup para petani dari hasil panen. Bentuk-bentuk insentif dapat diberikan kepada petani untuk mendorong upaya ini antara lain melalui penyediaan bibit, pupuk, perpanjangan kontrak garapan serta bantuan usaha. Dalam kerangka subjek pengelolaan, upaya membangun komunikasi dan kerjasama yang lebih baik antar pihak terkait merupakan langkah yang harus segera ditempuh sehingga diperoleh kesepahaman bersama yang melandasi upaya pengelolaan yang lebih terintegrasi. Penyelarasan peraturan dengan implementasi di lapangan yang melibatkan masyarakat hendaknya terus dikembangkan dengan dukungan dari para pakar biologi sehingga dapat dicapai tujuan akhir secara birokratis sekaligus bermanfaat bagi kepentingan konservasi (Meijaard 2006). Salah satu faktor penting dalam aspek sosial kelembagaan untuk mendukung upaya konservasi lutung jawa pada fragmen habitat yang terisolasi khususnya di TWA Gunung Pancar adalah dengan pengembangkan partisipasi masyarakat setempat. Pendekatan kebijakan yang sifatnya sentralistik perlu direvisi dengan metode yang lebih kolaboratif dan melibatkan peran langsung warga. Secara teknis perlu dibentuk kelompok-kelompok masyarakat di sekitar kawasan sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan dan penjagaan kelestarian sumber daya alam. Pola pengelolaan yang demikian memberikan dua keuntungan yaitu tetap terjaganya sumber daya alam dan lingkungan sekaligus terberdayakannya masyarakat sekitar kawasan sehingga kehidupan sosial ekonomi masyarakat juga meningkat. Dengan model partisipatif dan kolaboratif, tentunya beban pengawasan oleh pemerintah akan berkurang karena pengawasan dan penjagaan kawasan secara otomatis dijalankan oleh masyarakat. Dengan model kerjasama tersebut, peran pemerintah dapat dikurangi secara signifikan, sehingga sumber daya aparatur yang ada dapat dimanfaatkan secara lebih produktif untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan. Ini berarti pula bahwa kebijakan Pemerintah lebih mampu “memanusiakan” kelompok-kelompok marginal masyarakat yang berada di sekitar sumber daya alam tersebut. Pada saat yang bersamaan, upaya ini juga dapat menumbuhkan rasa saling percaya (trust) diantara masyarakat dengan pemerintah, sekaligus mengembangkan jaringan kerja (network) yang harmonis serta meningkatkan kehidupan sosial ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan yang partisipatif dan memperhatikan norma-norma sosial budaya yang berlaku pada masyarakat akan
56 mengantarkan pada menguatnya kepedulian dan kontrol sosial masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan (Meijaard 2006).
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1.
2.
3.
Lutung jawa di TWA Gunung Pancar dominan beraktivitas pada pagi hari terutama di habitat peralihan hutan-kebun dengan lebih banyak memanfaatkan stratum tajuk pohon kategori C yang memiliki rentang ketinggian pohon 4-12 meter. Variabel diameter pohon memiliki pengaruh paling besar terhadap aktivitas lutung jawa di TWA Gunung Pancar. Pengaruh variabel lingkungan pada tiap jenis aktivitas memiliki kecenderungan yang bervariasi. Aktivitas makan cenderung dipengaruhi oleh variabel jarak dari kebun dan variabel diameter pohon. Aktivitas istirahat berhubungan dengan variabel slope (kemiringan lereng), sedangkan aktivitas sosial sangat terkait dengan variabel jarak kebun. Aktivitas harian lutung jawa berhubungan dengan jenis vegetasi tertentu. Aktivitas makan berhubungan paling dekat dengan keberadaan vegetasi M. eminii, aktivitas bergerak berhubungan dengan Q. argentea, aktivitas istirahat dengan keberadaan G. arborescens dan aktivitas sosial terkait dengan keberadaan vegetasi P. excelsa.
Saran Pada kondisi habitat yang terfragmentasi, ketersediaan pakan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup lutung jawa. Terkait dengan hal tersebut maka perlu dilakukan studi lanjut mengenai daya dukung habitat di Gunung Pancar sebagai bagian dari upaya konservasi dan pengelolaan lutung jawa.
57
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Ambarwati R. 1999. Studi perbandingan perilaku lutung hitam (Trachypithecus auratus) di kebun binatang dan taman nasional baluran [skripsi]. Surabaya (ID): Jurusan Biologi FMIPA Universitas Airlangga. Ankel-Simons F. 2000. Primate Anatomy. San Diego (AS): Academic Press. Arroyo-Rodriguez V, Mandujano S, Malvido JB, Fanton CC. 2007. The influence of large tree density on howler monkey (Alouatta palliata mexicana) presence in very small rain forest fragments. Biotropica 39(6):760-766. Arroyo-Rodríguez V, Mandujano S. 2009. Conceptualization and measurement of habitat fragmentation from the primates perspective. Int J Primatol. 30:497– 514. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Lampiran Perpres RI No 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. Colorado (US): Colorado State University. Bailey S. 2007. Increasing connectivity in fragmented landscapes: an investigation of evidence for biodiversity gain in woodlands. Forest Ecol Manag. 238:7–23. Berliana K. 2009. Pemetaan kesesuaian habitat owa jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Cagar Alam Gunung Tilu Kabupaten Bandung dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Betrand M. 1969. The Behavioral Repertoir of Stumptail Macaque. Switzerland: Karger Basel. Bismark M. 1993. Ekologi Makan Primata. Yogyakarta (ID): Program Studi Pengelolaan Satwa Liar PascaSarjana Universitas Gadjah Mada. [BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jabar. 2011 [internet]. [diunduh 19 Desember 2012]. Tersedia pada: http://dishut.jabarprov.go.id. Brandon-Jones D. 1995. A revision of the asian pied leaf-monkeys (Mammalia: Cercopithecidae: Superspecies Semnopithecus auratus), with a description of a new subspecies. Raff Bull Zool. 43:3-43. Brandon-Jones D, Eudey AA, Geissmann T, Groves CP, Melnick DJ, Morales JC, Shekelle M, Stewart CB. 2004. Asian primates clasiffication. Inter J Primatol 25(1) [internet]. [diunduh 22 Januari 2012]. Tersedia pada: http://www.gibons.dc/main/paper/pdf-files/2004asianprimates.pdf. Bristol Zoo Gardens. 2009. "Javan Langur" (On-line). Bristol Zoo Gardens [internet]. [diunduh 19 Oktober 2012]. Tersedia pada: http://www.bristolzoo.org.uk/learning/animals/mammals/langur. Brotoisworo E, Dirgayusa IWA. 1991. Ranging and feeding behavior of Presbytis cristata in the Pangandaran Nature Reserve, West Java, Indonesia. In: Ehara
58 A, Kimura T, Takenaka O, Iwamoto M (ed). Primatol Tod. Amsterdam: Elsevier Sci. Cannon W, Vos A. 2009. "Trachypithecus auratus" (On-line), animal diversity web [internet]. [diunduh 24 Februari 2012]. Tersedia pada: http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Trachypit hecus_auratus.html. Cardillo M, Mace GM, Gittleman JL, Purvis A. 2006. Latent extinction risk and the future battlegrounds of mammal conservation. USA: The National Academy of Sciences of the USA. Chalmers JS. 1980. Social Behaviour in Primates. Baltimore (US): University Park Press p 61-62. Changcheng T, Xuelong, Hua J, Pengfei P, Shoubiao F. 2007. Tree species diversity and structure characters in the habitats of Black-Crested Gibbons (Nomascus concolor). Acta Ecol Sin. 27(10):4002-4010. Chapman CA, Chapman MJ, Eeley HAC. 2006. What hope for African Primate Diversity?. Afr J Ecol. 44:116-133. Cheyne SM. 2006. Wildlife reintroduction: considerations of habitat quality at the release site. BMC Ecol. 6(5).doi:10.1186/1472-6785-6-5. Cheyne SM, Chivers DJ, Sugardjito J. 2008. Biology and behaviour of reintroduced gibbons. Biol Cons. 17:1741–1751. Chiver DJ, Raemakers JJ. 1980. Malayan Forest Primates. New York: Plenum Press. Cowlishaw G, Dunbar R. 2000. Primate Conservation Biology. Chicago (US): The University of Chicago Press. Dahdouh-Guebas, Koedam N. 2006. Empirical estimate of the reliability of the use of the pointcentred quarter method (PCQM): solutions to ambiguous field situations and description of the PCQM + protocol. Forest Ecol Manag. 228(1-3):1-18. Davies AG, Bennett EL, Waterman PG. 1988. Food selection by two southeast asian colibine monkey in relation to plant chemistry. Biol J Linnean Soc. 34:33-56. Delson E. 2008. "Monkey" (On-line). Mcgraw-Hill's Access Science: Encyclopedia of Science and Technology Online [internet]. [diunduh 19 September 2012]. Tersedia pada: http://www. accessscience.com/ content.aspx?id=432900#S2. Dewi H. 2005. Tingkat kesesuaian habitat owa jawa (Hylobathes moloch Audebert 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Djuwantoko. 1994. Habitat and conservation of ebony leaf monkey in deciduous forests (teak), in central Java [abstract]. XVth Congress of the International Primatological Society. Bali. Dumbois DM, Ellenberg H. 1974. Aims and Method of Vegetation Ecology. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley & Sons xx + 547 p. Eudey AA. 1995. Southeast Asian Primate Trade Routes. Primate Report 41:3342.
59 Febriyanti NS. 2008. Studi karakteristik cover lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di Blok Ireng-Ireng Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB. Fleagle JG. 1978. Locomotion, pasture and habitat utilization in two sympatric leaf monkey (P. obscura and P. Melalophos). Conference of Arboreal Folifores. Fort Royal Virginia. [FWI] Forest Watch Indonesia. 2009. Potret keadaan hutan Indonesia periode 2000-2009 [internet]. [diunduh 25 Oktober 2012]. Tersedia pada: http://www.fwi.or.id. Geissmann, T. 2003. The Gibbons (Hylobtidae): An Introduction. Vergleichende Primatologie. Heidelberg & New York: Springer Verlag ISBN 3-54043645-6. Geissmann. T, Nijman V. 2006. Calling in wild silvery gibbons (Hylobates moloch) in Java (Indonesia): behavior, phylogeny, and conservation. Am J Primatol. 68:1-19. Gibbons MA, Harcourt AH. 2009. Biological correlates of extinction and persistence of primates in small forest fragments: a global analysis. Trop Conserv Sci. 2(4):388-403. Goltenboth R. 1976. Non human primates (apes, monkeys and prosimians). in The Handbook of Zoo Medicine. (translation) eds. Klos HG, Lang EM. New York (US): Van Nostrand Reinhold. Gorresen PM, Willig MR. 2004. Landscape responses of bat on habitat fragmentation in altantic forest of paraguay. J Mammal. 85(4):688 – 697. Grey GW, Deneke FJ. 1978. Urban forestry. Canada: Wiley 297 p. Groves CP. 2001. Primate Taxonomy. Washington DC (US): Smithsonian Institute Press. Gunawan H, Prasetyo LB, Mardiastuti A, Kartono AP. 2010. Fragmentasi hutan alam lahan kering di provinsi Jawa tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7(1):75-91. Gunawan H. 2007. Kondisi vegetasi hutan pinggiran dan implikasi pengelolaannya di Taman Nasional Gunung Ciremai. Info Hutan 4(5):451462. Gurmaya KJ, Adiputra IMW, Saryatiman AB, Danardono SN, Sibuea TTH. 1994. A preliminary study on ecology and conservation of the java primates in Ujung Kulon National Park, West Java, Indonesia. In: Thierry B, Anderson JR, Roeder JJ, Herrenschmidt N (ed). Current Primatology. Strasbourg (FR): Universite Louis Pasteur. Hendratmoko Y. 2009. Studi kohabitasi monyet ekor panjang dengan lutung di CA Pangandaran [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana IPB. Husodo T, Megantara EN. 2002. Distribusi dan daerah jelajah lutung di TWA Pangandaran. Jurnal Biotika 1(1):34-45. Ickes K, Paciorek CJ, Thomas SC. 2005. Impacts of nest construction by native pigs (sus scrofa) on lowland malaysian rain forest saplings. Ecology 86(6):1540–1547.
60 [IUCN] International Union for Conservation of the Nature and Natural Resources. 2012. IUCN Red List of Threatened Species [internet]. [diunduh 15 Des 2012]. Tersedian pada: http://www.iucn.redlist.org. Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Isabirye B, Gilbert M, Jeremiah SL. 2008. Primate population and their interaction with changing habitat. Int J Primatol. 18th. Iskandar S. 2003. Interaksi lutung (Trachypithecus auratus) dengan kedawung (Parkia timoriana) ditinjau dari perilaku makannya [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Iskandar. 2007. Habitat dan populasi owa jawa (Hylobates moloch, Audebert 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat [desertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Kappeler M. 1984. The Gibbon in Java. In Preuschoft H, Chivers DJ, Brockelman WY, Creel N. The Lesser Apes Evolutionary and Behavioral Biology. Edinburgh (SL): Edinburgh University Press. Kareiva P. 1987. Habitat fragmentation and the stability of predator prey interactions. Nature 326:388-390. Kartikasari SN. 1982. Studi Populasi dan perilaku lutung P. cristata di Taman Nasional Baluran Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Kay R. 1984. On the use of anatomical features to infer foraging behaviour on extinct primates. In: Rodmanand P (ed). Adaptation for Foraging in Nonhuman Primates: contribution to an organismal biology of prosimian, monkeys and apes. New York (US): Columbia Univ. Press p 21. Kool KM. 1986. Ranging and feeding behaviour of the silver-leaf monkey P. cristata at Pangandaran, Jawa Barat, Indonesia [abstract]. Primate Report (14):244. Kool KM. 1991. Behavioural ecology of the silver leaf monkey, Trachypithecus auratus sondaicus, in The Pangandaran Nature Reserve, West Java, Indonesia [abstract]. Primate Eye (44):19-20. Kool KM. 1992. Food selection by the silver leaf monkey (Trachypithecus auratus sondaicus) in relation to plant chemistry. Pecologia (90):527-533. Kool KM. 1993. The diet and feeding behavior of the silver leaf monkey (Trachypithecus auratus sondaicus) in Indonesia. Int J Primatol. 14(5):667700. Krebs JC. 1978. Ecological Methodology. New York (US): Harper & Row Publisher. Kurniawan I, Herna. 2005. Survei habitat (blok hutan danau taman hidup) SM Dataran Tinggi Hyang dalam rangka mencari alternatif tempat pelepasliaran satwa [laporan penelitian]. Malang (ID): PPS Petungsewu dengan bantuan Gibbon Foundation. Kurniawaty ND. 2009. Pendugaan kebutuhan nutrien dan kecernaan pakan pada lutung kelabu (Trachypithecus cristatus Raffles 1812) di Pusat
61 Penyelamatan Satwa Gadog-Ciawi Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB. Laurence SG, Laurence WF. 1999. Tropical wildlife corridors: use of linear rainforest remnants by arboreal mammals. Biological Conservation 91:231239. Laurence WF, Vasconcelos HL, Lovejoy TE. 2000. Forest loss and fragmentation in the Amazon: implications for wildlife conservation. Oryx 34(1). Lehner PN. 1976. Handbook of Ethological Methods. New York & London: Garlang STPM Press 395 p. Lekagul B, McNeely J. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok (Thai): The Assosiation for The Conservation of Wildlife. Lim BH, Sasekumar A. 1979. A preliminary study on the feeding biology of mangrove forest primates, Kuala Selangor. Malayan Nat J. 83:105112 (SCOPUS-Cited Publication). Malone MN, Fuentes A, Purnama AR, Putra IMWA. 2003. Displaced hylobatids: biological, cultural, and economic aspects of the primate trade in Jawa and Bali, Indonesia. Trop Biodiv. 8(1): 41- 49. Marsh LK. 2003. Primates in Fragments: Ecology and Conservation. New York (US): Kluwer Academic/Plenum Publishers. Martin P and P Bateson. 1986. Measuring Behaviour An Introductory Giude. London (UK): Cambridge Univ. Press. Medway L. 1970. The monkey of sundaland: ecology and systematic of the cercopithecids of a humid equatorial environment. In Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates: Morphology, Ecology and Behaviour of Nonhuman Primate. London (UK): Academic Press. Megantara EN, Dirgayusa IWA. 1992. Tingkah laku sosial lutung (Trachypothecus auratus sondaicus) di TWA/CA Pangandaran, Jawa Barat. Bandung (ID): Universitas Padjajaran Bandung. Megantara EN. 2004. Penyebaran dan populasi lutung (Trachypithecus auratus sondaicus) di Cagar Alam/Taman Wisata Pangandaran. Jurnal Bionatura (6)3:260 – 271. Meijaard E, Sheil D, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T, Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, Soehartono T, Stanley S, Gunawan T, O’Brien T. 2006. Hutan pasca pemanenan: melindungi satwa liar dalam kegiatan hutan produksi di Kalimantan. Bogor (ID): CIFOR 384 p. ISBN 979-24-4657-5. Michalski F, Perez CA. 2005. Anthropogenic determinants of primate and carnivore local extinctions in a fragmented forest landscape of southern Amazonia. Biol Cons. 124:383–396. Mitchell K. 2007. Quantitative analysis by the Point-Centered Quarter Method Department of Mathematics and Computer Science. New York (US): Hobart and William Smith Colleges Geneva. Mittermeier RA, Cheney DL. 1987. Conservation of primates and their habitat. In Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham RW, Struhsaker TT (eds.). Primate Societies. Chicago (US): Chicago University Press p 475-490.
62 Mittermeier RA. 1996. Introduction. In: Rowe N (ed.), The Pictorial Guide to The Living Primates vol 1. East Hampton New York (US): Pogonias Press. Morrison ML, Marcot BG, Mannan RW. 2006. Wildlife-habitat relationships: Concepts and applications. 3rd Edition. Washington (US): Island Press 493 p. Nadler T, Momberg F, Dang NX, Lormee N. 2002. Leaf monkeys. Vietnam Primates Conservation Review-Part 2 [internet]. [diunduh pada 22 Januari 2013] Tersedia pada: http://www.fauna-flora.org. Neu CW, Byers CR, Peek JM. 1974. A technique for analysis of utilizationavailability data. The Journal of Wildlife Management (38)3:541-545. Nevo A, Garcia L. 1996. Spatial optimization of wildlife habitat. Ecol Model. 91: 271-281. Newsome D, Ross D, Susan M. 2005. Wildlife tourism: aspects of tourism. Clevedon Buffalo Toronto (US): Channel View Publications 152 p. Nijman V. 1995. Remarks on the occurrence of gibbons in Central Java. Primate Cons. 16:66–67. Nijman V, Sözer R. 1995. Recent observations of the grizzled leaf monkey (Presbytis Comata) and an extension of the range of the javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java. Trop Biodiv. 3:45–48. Nijman V, van Balen. 1998. A faunal survey of The Dieng Mountains, Central Java, Indonesia: distribution and conservation of endemic primate taxa. Oryx 32(2):145-156. Nijman V. 2000. Geographic distribution of ebony leaf monkey Trachypithecus auratus (E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) (Mammalia: Primates: Cercopithecidae). Contr. Zool. 69(3):157-177. Nijman, V. 2004. Conservation of the javan gibbon (Hylobates Moloch): population estimates, local extinctions, and conservation priorities. Raff Bull Zool. 52(1): 271-280. Nijman V. 2006. In-situ and ex-situ status of the javan gibbon and the role of zoos in conservation of the species. Contr Zool. 75(3/4):161-168. Nijman V, Supriatna J. 2008. Trachypithecus auratus. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 3.1 [internet]. [diunduh 24 Februari 2012]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org. Nursal WI. 2001. Aktivitas harian lutung jawa di POS Selabintana TNGGP Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB. O'Brien ST, Hubbell SP, Spiro, Peter, Condit, Richard, Foster, Robin B. 1995. Diameter, height, crown, and age relationship in eight neotropical tree species. Ecology (76)6:1926-1939. Pratiwi AN. 2008. Aktivitas pola makan dan pemilihan pakan pada lutung kelabu betina (Trachypithecus cristatus, raffles 1812) di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog Ciawi – Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB. Prilyanto NC. 2008. Perilaku harian lutung jawa (Trachypithecus auratus, Geoffroy 1812) di Resor Pemangku Hutan Claket, Mojokerto. Surabaya
63 (ID): Intertide Ecological Community-Laboratoriom of Ecology Department of Biology – ITS. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Primate Info Net. 2007. "Javan langur (Trachypithecus auratus)" (On-line). primate fact sheets [internet]. [diunduh 19 Oktober 2012] Tersedia pada: http: //www.theprimata. com/trachypithecus_auratus. html. Profauna. 2010. Profauna press release 26 Novenber 2010 [internet]. [diunduh 12 Februari 2012]. Tersedia pada: http://www.profauna. org. Profauna. 2011. Mencegah perburuan lutung jawa di Tahura R. Soerjo. Suara Satwa Media Informasi Profauna Indonesia Vol XV (1) Januari-Maret 2011. Purnomo E. 2003. Distribusi dan struktur populasi lutung budeng (Trachipithecus auratus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di zona pemanfaatan Taman Nasional Alas Purwo [internet]. [diunduh 12 Februari 2012]. Tersedia pada: http://www.tnap.go.id/ penaksiran/poluasi lutung budeng di TNAP.pdf. Suryatna R. 1995. Meteorologi dan Klimatologi. Bandung: Angkasa. Rebecca M, Mike AW, Shayne J. 2000. Using landsat TM imagery to estimate LAI in a eucalyptus plantation. Reichard U. 1998. Sleeping sites, sleeping places, and presleep behavior of gibbons (Hylobates lar). Am J Primatol. 46:35–62. Richardson M. 2005. "Javan langur (Trachypithecus auratus)" (On-line). Arkive: images of life on earth [internet]. [diunduh 19 Oktober 2012]. Tersedia pada: http://www.arkive.org/javan-langur/trachypithecus-auratus/info.html. Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. East Hampton, New York (US): Pogonias Press. Setiawan K. 1996. Interaksi antara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung (Presbytis cristata) di TN Baluran. FMIPA [skripsi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya. Sharckley M. 1996. Wildlife Tourism. London, Boston, Singapore, Tokyo: [ITP] International Thomson Business Press An International Publishing Company p299. Sinclair ARE, Fryxell JM, Caughley G. 2006. Wildlife ECOLOGY, Conservationand Management. Second Edition. ISBN-13:978-1-40510737-2. Oxford (US): Blackwell Publishing Ltd. Smiet AC. 1992. Forest ecology on Java: humam impact and vegetation of montane forest. J Trop Ecol. 8:129-152. Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan-Fakultas Kehutanan IPB. Strukhsaker TT. 1981. Census methods for estimating densities. In: Subcommittee on Conservation of Natural Population, Committee on Nonhuman Primates, Division of Biological Sciences, Assembly of Life Sciences & National Research Council (eds) Techniques For The Study Of Primate Population Ecology. Washington: Nation Academy Press p 36-80.
64 Subarkah MH, Wawandono NB, Pudyatmoko S, Subeno, Nurvianto S, Budiman A. 2011. Javan leaf monkey (Trachypithecus auratus) movement in a fragmented habitat, at Bromo Tengger Semeru National Park, East Java, Indonesia. Jurnal Biologi Indonesia 7(2):213-220. Subcommittee on Conservation of Natural Population. 1981. Techniques For the Study of Primate Population Ecology. Washington DC (US): National Academic Press. Subekti K, Maryanto I, Iskandar E. 2001. Populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di pinggir sungai di Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung dalam Prosiding Seminar Primatologi Indonesia 2000: Konservasi Satwa Primata: Tinjauan Ekologi, Sosial Ekonomi dan Medis dalam Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yogyakarta (ID): Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan UGM. Supranto. 2004. Analisis Multivariat, Arti dan Interpretasi. Jakarta (ID): PT Rineka Cipta. Supriatna J, Tilson R, Gurmaya KJ, Manansang J, Wardojo W, Sriyanto A, Teare A, Castle K, Seal U (eds). 1994. Javan gibbon and Javan langur: population and habitat viability analysis report. Apple Valley, Minnesota (US): UCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group p 1-102. Supriyatna J, Hendras EW. 2000. Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Supriatna J. 2006. Conservation programs for the endangered javan gibbon (Hylobates moloch). Primate Cons. 21:155–162. Susetyo B. 2004. Penaksiran populasi lutung budeng (Trachypithecus auratus) di Resor Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur [internet]. [diunduh 12 Februari 2012]. Tersedia pada: http://www.tnap.go.id/ penaksiran/poluasi lutung budeng di TNAP.pdf. Tobing ISL. 2008. Teknik estimasi ukuran populasi suatu spesies primata. Vis Vitalis Jurnal Ilmiah Biologi 1 (1). Watanabe K, Mitani M, Arakane T, Gurmaya KJ, Dirgayusa IWA, Megantara EN, Brotoisworo E. 1996. Population changes of Presbytis auratus and Macaca fascicularis in the Pangandaran Nature Reserve, west Java, Indonesia. Primate Research 12:271. Weitzel V, Groves CP. 1985. The nomenclature and taxonomy of the colobine monkeys of Java. Int J Primatol. 6(4):399-409. Wieczkowski J. 2004. Ecological correlates of abundance in the tana mangabey (Cercocebus galeritus). Am J Primatol. 63:125–138. Wirdateti, Pratiwi AN, Diapari D, Tjakradidjaja AS. 2009. Perilaku harian lutung (Trachypithecus cristatus, Raffles 1812) di penangkaran Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi-Bogor. Zoo Indonesia 18(1):33-40. Zainal FD. 2008. Perbandingan aktivitas harian lutung jawa di Pusat Pelestarian Satwa (PPS) Petungsewu dan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang [skripsi]. Malang (ID): Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Malang.
65 Lampiran 1 Perhitungan uji chi square frekuensi perjumpaan lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan 1. Chi square frekuensi perjumpaan pada klasifikasi waktu aktivitas Waktu 06.00-09.59 10.00-13.59 14.00-18.00
F 31 26 26
f (har) 27.67 27.67 27.67
f-f(har) 3.33 -1.67 -1.67
f-f(har)2 11.11 2.78 2.78 χ2 χ2 (6; 0.05)
f-f(har)2/f(har 0.40 0.10 0.10 0.60 12.59
2. Chi square frekuensi perjumpaan pada klasifikasi strata tinggi pohon Stratum pohon Stratum A (>30m) Stratum B (20-30m) Stratum C (4-20m) Stratum D (1-4m) Stratum E (0-1m)
F 1 15 67 0 0
f (har) 16.6 16.6 16.6 16.6 16.6
f-f(har) -15.6 -1.6 50.4 -16.6 -16.6
f-f(har)2 243.36 2.56 2540.16 275.56 275.56 χ2 χ2 (12; 0.05)
f-f(har)2/f(har 14.66024 0.154217 153.0217 16.6 16.6 201.04 21.03
3. Chi square frekuensi perjumpaan pada klasifikasi diameter pohon Diameter < 10 cm 10.-20 cm > 20 cm
F 0 4 79
f (har) 27.67 27.67 27.67
f-f(har) -27.67 -23.67 51.33
f-f(har)2 765.44 560.11 2635.1 χ2 χ2 (6; 0.05)
f-f(har)2/f(har 27.67 20.24 95.24 143.16 12.59
4. Chi square frekuensi perjumpaan pada klasifikasi ketinggian tempat Elevasi 600-650 651-700 701-750 751-800 801-850 851-900
F 2 2 21 20 23 15
f (har) 13.83 13.83 13.83 13.83 13.83 13.83
f-f(har) -11.83 -11.83 7.17 6.17 9.17 1.17
f-f(har)2 140.03 140.03 51.36 38.03 84.03 1.36 χ2 χ2 (15; 0.05)
f-f(har)2/f(har 10.12 10.12 3.713 2.75 6.07 0.10 32.88 24.10
66 Lampiran 1 lanjutan 5. Chi square frekuensi perjumpaan pada klasifikasi kemiringan lereng Slope (%) 0-8 (datar) 8-15 (landai) 15-25 (bergelombang) 25-40 (curam) >40 (sangat curam)
F 12 0 38 21 12
f (har) 16.6 16.6 16.6 16.6 16.6
f-f(har) -4.6 -16.6 21.4 4.4 -4.6
f-f(har)2 21.16 275.56 457.96 19.36 21.16 χ2 χ2 (12; 0.05)
f-f(har)2/f(har 1.27 16.60 27.59 1.17 1.27 47.90 28.87
6. Chi square frekuensi perjumpaan pada klasifikasi jarak dari kebun Jarak dari kebun 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300
F 30 10 16 12 8 7
f (har) 13.83 13.83 13.83 13.83 13.83 13.83
f-f(har) 16.17 -3.83 2.17 -1.83 -5.83 -6.83
f-f(har)2 261.36 14.69 4.69 3.36 34.03 46.69 χ2 χ2 (15; 0.05)
f-f(har)2/f(har 18.89 1.06 0.34 0.24 2.46 3.38 26.37 24.99
7. Chi square frekuensi perjumpaan pada klasifikasi jarak dari jalan Jarak dari jalan 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350
F 68 8 4 2 0 0 1
f (har) 11.86 11.86 11.86 11.86 11.86 11.86 11.86
f-f(har) 56.14 -3.86 -7.86 -9.86 -11.86 -11.86 -10.86
f-f(har)2 3152.02 14.88 61.73 97.16 140.59 140.59 117.88 χ2 χ2 (18; 0.05)
f-f(har)2/f(har 265.83 1.25 5.21 8.19 11.86 11.86 9.94 314.14 28.87
8. Chi square frekuensi perjumpaan pada klasifikasi jarak dari jalan Tutupan lahan hutan alam peralihan hutan kebun kebun
F 33 40 10
f (har) 27.67 27.67 27.67
f-f(har) 5.33 12.33 -17.67
f-f(har)2 28.44 152.11 312.11 χ2 χ2 (6; 0.05)
f-f(har)2/f(har 1.03 5.50 11.28 17.81 12.59
67 Lampiran 2 Hasil penghitungan chi square frekuensi aktivitas lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan 1. Chi square frekuensi aktivitas pada kategori waktu aktivitas Waktu 06.00-09.59 10.00-13.59 14.00-18.00 χ2 χ2 (6; 0.05)
Betina 1.53 0.18 1.61 3.32
Jantan 1.53 0.18 1.61 3.32
Total 3.05 0.36 3.23 6.64
12.59
12.59
12.59
2. Chi square frekuensi aktivitas pada klasifikasi tinggi pohon Stratum pohon Stratum A (>30m) Stratum B (20-30m) Stratum C (4-20m) Stratum D (1-4m) Stratum E (0-1m) χ2 χ2 (12; 0.05)
Betina 0.10 0.19 0.05 0 0 0.34 21.03
Jantan 0.10 0.19 0.05 0 0 0.34 21.03
Total 0.10 0.19 0.05 0 0 0.34 21.03
3. Chi square frekuensi aktivitas pada klasifikasi diameter pohon Diameter < 10 cm 10.-20 cm > 20 cm χ2 χ2 (6; 0.05)
Betina 0 0.20 0.01 0.21
Jantan 0 0.20 0.01 0.21
Total 0 0.08 0.00 0.09
12.59
12.59
12.59
4. Chi square frekuensi aktivitas pada klasifikasi ketinggian tempat (elevasi) Elevasi 600-650 651-700 701-750 751-800 801-850 851-900 χ2 χ2 (15; 0.05)
Betina 0.45 0.10 0.13 0.14 0.13 0.09 1.04
Jantan 0.20 0.10 0.62 0.50 0.55 0.35 2.31
Total 0.01 0.01 0.10 0.05 0.01 0.05 0.23
24.99
24.99
24.99
68 Lampiran 2 lanjutan 5. Chi square frekuensi aktivitas pada klasifikasi kemiringan lereng (slope) Slope (%) 0-8 (datar) 8-15 (landai) 15-25 (bergelombang) 25-40 (curam) >40 (sangat curam) χ2 χ2 (12; 0.05)
Betina 0.43 0.00 0.31 0.26 0.05 1.06 28.87
Jantan 0.05 0.00 0.04 0.38 0.26 0.74 28.87
Total 0.15 0.00 0.05 0.16 0.20 0.56 28.87
6. Chi square frekuensi aktivitas pada klasifikasi jarak dari kebun Jarak dari kebun 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 χ2 χ2 (15; 0.05)
Betina 0.02 0.07 0.03 0.44 0.41 0.21 1.18
Jantan 0.11 0.22 0.26 0.42 0.04 0.15 1.19
Total 0.06 0.06 0.15 0.07 0.05 0.02 0.41
24.99
24.99
24.99
7. Chi square frekuensi aktivitas pada klasifikasi jarak dari jalan Jarak dari jalan 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350 χ2 χ2 (18; 0.05)
Betina 0.02 0.41 0.02 0.20 0 0 0.10 0.75
Jantan 0.01 0.06 0.40 0.10 0 0 0.10 0.67
Total 0.00 0.09 0.07 0.03 0 0 0.02 0.21
28.87
28.87
28.87
8. Chi square frekuensi aktivitas pada klasifikasi tutupan lahan Tutupan lahan hutan alam peralihan hutan kebun kebun χ2 χ2 (6; 0.05)
Betina 0.41 0.05 0.46 0.92
Jantan 0.04 0.22 0.46 0.72
Total 0.01 0.02 0.11 0.13
12.59
12.59
12.59
69 Lampiran 3 Hasil penghitungan chi square durasi aktivitas lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan 1. Chi square durasi aktivitas pada kategori waktu aktivitas Waktu 06.00-09.59 10.00-13.59 14.00-18.00 χ2 χ2 (6; 0.05)
Betina 63.35 10.70 41.59 115.64 12.59
Jantan 44.629 5.28 28.67 78.57 12.59
Total 109.19 16.03 70.09 195.31 12.59
2. Chi square durasi aktivitas pada klasifikasi tinggi pohon Stratum pohon Stratum A (>30m) Stratum B (20-30m) Stratum C (4-20m) Stratum D (1-4m) Stratum E (0-1m) χ2 χ2 (12; 0.05)
Betina 2.29 2.79 0.78 0 0 5.87 21.03
Jantan 4.40 4.01 1.23 0 0 9.64 21.03
Total 6.549 5.59 1.73 0 0 13.85 21.03
3. Chi square durasi aktivitas pada klasifikasi diameter pohon Diameter < 10 cm 10.-20 cm > 20 cm χ2 χ2 (6; 0.05)
Betina 0 1.75 0.06 1.81 12.59
Jantan 0 1.43 0.08 1.51 12.59
Total 0 0.62 0.03 0.65 12.59
4. Chi square durasi aktivitas pada klasifikasi ketinggian tempat (elevasi) Elevasi 600-650 651-700 701-750 751-800 801-850 851-900 χ2 χ2 (15; 0.05)
Betina 4.08 0.41 0.47 1.17 2.04 5.08 13.25 24.99
Jantan 4.85 0.53 2.35 0.54 3.13 4.42 15.81 24.99
Total 0.60 0.91 1.05 1.41 0.76 9.00 13.73 24.99
70 Lampiran 3 lanjutan 5. Chi square durasi aktivitas pada klasifikasi kemiringan lereng (slope) Slope (%) 0-8 (datar) 8-15 (landai) 15-25 (bergelombang) 25-40 (curam) >40 (sangat curam) χ2 χ2 (12; 0.05)
Betina 0.56 0.00 2.01 4.48 10.47 17.53 21.03
Jantan 4.29 0.00 1.83 5.28 1.82 13.21 21.03
Total 1.19 0.00 3.55 8.09 5.31 18.14 21.03
6. Chi square durasi aktivitas pada klasifikasi jarak dari kebun Jarak dari kebun 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 χ2 χ2 (15; 0.05)
Betina 2.24 1.38 3.30 0.24 7.68 11.64 26.48 24.99
Jantan 2.55 1.94 2.81 0.60 5.43 0.38 13.71 24.99
Total 0.31 0.42 2.18 0.86 6.63 6.78 17.16 24.99
7. Chi square durasi aktivitas pada klasifikasi jarak dari jalan Jarak dari jalan 0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350 χ2 χ2 (18; 0.05)
Betina 1.20 7.66 16.35 6.82 0 0 5.22 37.26 28.87
Jantan 0.79 3.32 4.81 0.53 0 0 4.40 13.85 28.87
Total 1.24 10.76 7.64 3.53 0 0 5.74 28.91 28.87
8. Chi square durasi aktivitas pada klasifikasi tutupan lahan Tutupan lahan hutan alam peralihan hutan kebun kebun χ2 χ2 (6; 0.05)
Betina 6.10 0.93 15.084 16.01 12.59
Jantan 0.78 2.27 4.04 6.31 12.59
Total 5.25 1.21 3.82 5.03 12.59
71 Lampiran 4 Daftar jenis vegetasi pada habitat lutung jawa di Gunung Pancar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Daerah
Spesies
pasang ki haji ki rambutan ki cau pasang renjung kayu afrika kiara kiara kebo ki kemang pasang besi putat gadog muncang/kemiri Mindi kiara pereng anggrit picung ki bonteng ki kemang ki kadu pasang binong balik angin huru payung nangka ki pare ki putat munut kopinango dadap randu saninten ki acret huru besi mangga pari duren randu hutan manggu gunung ki sireum ki ketan sp.a hamerang
Quercus argentea Dysoxylum macrocarpum Xerospermum noronhianum Pisonia ubelliflora Lithocarpus elegans Maesopsis eminii Ficus punctata Ficus elastica Phoebe excelsa Quercus javensis Planchonia vallida Bischofia javanica Aleurites moluccana Azadirachta indica Ficus globosa Adina polycephala Pangium edule Casearia grewiaefolia Mangifera caesia Fagraea elliptica Lithocarpus sundaicus Tetrameles nudiflora Mallotus paniculatus Actinodaphne procera Artocarpus heterophyllus Glochidion arborescens Chydenanthus excelsus Dysoxylum densiflorum Erythryna subumbrans Ceiba pentandra Castanopsis javanica Dysoxyllum parasiticum Litsea chinensis Mangifera indica Durio zibethinus Neesia altissima Garcinia dulcis Syzygium rostratum Saurauia nudiflora Ardisia macrophylla Croton argyratus
RD (%) 10.5 6.5 6.5 5.5 5.5 5 4 2 3.5 3 4 2 3 3 1 2.5 2.5 2 2 2 1 1.5 1.5 1 1.5 1.5 1 1 1.5 1.5 1 1 0.5 1 1 0.5 0.5 1 0.5 0.5 0.5
RC (%) 7.63 8.89 7.46 5.87 4.36 2.58 6.37 7.46 4.12 5.18 1.19 3.18 1.42 0.68 3.86 1.1 1.36 1.63 1.45 1.17 2.55 1.24 0.92 1.76 0.58 1.17 1.13 1.12 0.58 0.45 0.47 0.46 1.5 0.36 0.27 1.22 1.22 0.48 0.85 0.85 0.54
FR (%) 6.1 6.71 5.49 5.49 4.88 6.1 2.44 2.44 4.27 3.66 2.44 1.83 2.44 3.05 1.22 2.44 1.83 1.83 1.83 1.83 1.22 1.83 1.83 1.22 1.83 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 0.61 1.22 1.22 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61
INP 24.23 22.09 19.45 16.86 14.74 13.68 12.81 11.9 11.89 11.84 7.62 7.01 6.86 6.73 6.08 6.04 5.69 5.46 5.28 5 4.77 4.57 4.25 3.98 3.91 3.89 3.35 3.34 3.3 3.17 2.69 2.67 2.61 2.58 2.49 2.33 2.33 2.09 1.96 1.96 1.65
72 Lampiran 4 lanjutan No
Nama Daerah
Marga
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
bisoro ki lumlum ki capi pinus harambai bayur ki lumlum kanyere ki bonteng kupa kondang nangsi tereup pulus
Ficus hirta Mastixia trichotoma Sandoricum koetjape Pinus merkusii Baccaurea racemosa Pterospermum javanicum Talauma elegans Bridelia monoica Ficus virens Syzygium polycephala Ficus variegata Villebrunea rubescens Artocarpus elasticus Dendrocnide stimulans
Keterangan:
RD RC FR INP
: Relative density : Relative cover / Relative dominansi : Frekuensi Relatif : Indeks Nilai Penting
RD (%) 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
RC (%) 0.46 0.4 0.29 0.25 0.24 0.24 0.24 0.18 0.16 0.15 0.14 0.11 0.08 0.08
FR (%) 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61
INP 1.56 1.51 1.4 1.36 1.35 1.35 1.35 1.29 1.27 1.26 1.25 1.22 1.19 1.19
73 Lampiran 5 Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh lutung jawa untuk beraktivitas No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Spesies Lithocarpus elegans Pisonia umbelliflora Maesopsis eminii Xerospermum noronhianum Glochidion arborescens Phoebe excelsa Lithocarpus sundaicus Casearia grewiaefolia Bischofia javanica Quercus argentea Quercus javensis Ficus punctata Mangifera caesia Neesia altissima Aleurites moluccana Saurauia nudiflora Syzygium rostratum Azadirachta indica Castanopsis javanica Dysoxylum macrocarpum Fagraea elliptica Ficus elastica Pangium edule Chydenanthus excelsus Erythryna subumbrans
Nama daerah pasang renjung ki cau kayu afrika ki rambutan ki pare huru benyeur pasang ki bonteng gadog pasang pasang beusi kiara ki kemang Randu hutan muncang/kemiri ki ketan ki sireum mindi saninten ki haji ki kadu kiara kebo picung putat dadap
74 Lampiran 6 Jenis-jenis tumbuhan pakan potensial lutung jawa Famili Lauraceae Moraceae Moraceae Meliaceae Euphorbiaceae Fagaceae Meliaceae Moraceae Moraceae Moraceae Crusiaceae Euphorbiaceae Fagaceae Fagaceae Lauraceae Rhamnaceae Anacardiaceae Fagaceae Myrtaceae Myrtaceae Urticaceae Fagaceae
Genus Actinodaphne procera Artocarpus heterophyllus Artocarpus elasticus Azadirachta indica Bischofia javanica Castanopsis javanica Dysoxylum macrocarpum Ficus punctata Ficus globosa Ficus variegata Garcinia dulcis Glochidion arborescens Lithocarpus sundaicus Lithocarpus elegans Litsea chinensis Maesopsis eminii Mangifera caesia Quercus javensis Syzygium rostratum Syzygium polycephala Villebrunea rubescens Quercus argentea
Nama lokal huru payung cempedak/nangka tereup mindi gadog saninten ki haji kiara kiara pereng kondang manggu gunung ki pare pasang pasang renjung huru besi kayu afrika ki kemang pasang besi ki sireum kupa nangsi pasang
75 Lampiran 7 Klasifikasi kemiringan lereng di TWA Gunung Pancar Luas (ha) Kelas Kemiringan Lereng 0-8% (datar) 8-15% (landai) 15-25% (bergelombang) 25-40% (curam) >40% (sangat curam) Luas Total
Peralihan hutankebun 0.30 0 8.95 6.75 16.30 32.30
Hutan alam
Kebun
2.29 0 1.90 3.22 13.11 20.52
2.14 0 16.05 45.66 26.45 90.30
76
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 25 Juli 1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kebumen dan pada tahun yang sama menempuh pendidikan sarjana di Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta dan lulus pada tahun 2008. Selepas lulus pendidikan sarjana, penulis bekerja di Pusat Penelitian Biologi LIPI sejak tahun 2008 sebagai staf peneliti dengan bidang keahlian ekologi satwa. Pada tahun 2010 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada jenjang S2 di Program Studi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana IPB.