Perilaku Informasi, Semesta Pengetahuan Oleh: Putu Laxman Pendit www.iperpin.wordpress.com Perilaku manusia tak lekang dari semesta yang menghidupinya. Bagi profesor TD Wilson, kalimat ini berlaku mutlak dalam upaya mempelajari perilaku informasi (information behavior). Inti dari pendapat Wilson pada masa awal upayanya mengembangkan teori tentang perilaku informasi ini dapat dilihat dalam bentuk gambar berikut:
Gambar tersebut merupakan adaptasi dari artikel Wilson, “On user studies and information needs” yang termuat di Journal of Documentation vol. 35 no. 1 tahun 1981. Di model tersebut terlihat ada tiga faktor yang dianggap penting untuk menjelaskan fenomena kebiasaan menemukan informasi (information seeking), yaitu konteks kehidupan pencari informasi, sistem informasi yang digunakannya, dan sumberdaya informasi yang mengandung berbagai informasi yang diperlukan. Ketiga aspek ini berada di dalam apa yang dinamakan “semesta pengetahuan”. Wilson juga menekankan bahwa “sistem” dalam model di atas dapat berupa sistem yang sepenuhnya hastawi (manual), atau yang sepenuhnya berbantuan mesin (komputer), atau sistem yang digunakan sendiri secara mandiri oleh pencari, atau dapat pula berupa sistem yang menyediakan bantuan perantara alias mediator.
Jelaslah bahwa “user” (pemakai/pengguna) sebagai objek penelitian perilaku informasi perlu selalu
diletakkan
dalam
konteks
sosialnya.
Wilson
(2000)
memperjelas
konsep
“pemakai/pengguna” ini dalam 5 sub-konsep berikut: 1. Pemakai sebagai komunikator yang memakai sumberdaya informasi pribadi maupun organisasinya, dan menggunakan sumberdaya ini dalam berkomunikasi dengan sesama. Dalam hal ini, maka pemakai dapat ditinjau dari aspek psikologi sosial dan komunikasi pada umumnya; 2. Lalu orang ini berupaya menemukan informasi (information-seeker); di sini dia menjadi komunikator tetapi dalam proses yang lebih spesifik berupa pencarian dan penemuan informasi, berkaitan dengan sebuah kegiatan komunikasi yang terpisah dari kegiatan komunikasi umum, melibatkan tidak saja komunikasi inter-personal, melainkan juga: 3. pemakaian sistem informasi formal, yang merupakan keseluruhan dari peralatan, produk, atau sistem yang secara khusus diciptakan untuk menyimpan, memelihara, menemukan kembali, atau mengemas-ulang informasi. Termasuk di sini adalah perpustakaan, berbagai institusi jasa informasi, jurnal dan pangkalan-data terpasang, berkas rekod organisasi, sistem arsip, dan sebagainya. Seringkali, kajian tentang pemakai berkonsentrasi pada satu aspek ini saja, yaitu aspek interaksi antara manusia dan sistem; padahal seseorang juga dapat bertindak sebagai: 4. seorang penerima jasa informasi (recipient) , sebab tidak semua sistem informasi bersifat pasif. Sebagian besar sistem informasi secara aktif menawarkan jasa mereka, misalnya dalam bentuk jasa kesiagaan informasi (current awareness). Berbagai upaya promosi informasi melalui media massa juga dianggap oleh Wilson sebagai contoh sifat aktif dari sistem informasi; 5. sehingga akhirnya seseorang adalah pengguna dari informasi yang tersedia di dalam sistem informasi. Wilson mengritik kajian perilaku informasi yang mengabaikan aspek penggunaan atau pemanfaatan informasi yang sudah ditemukan atau disediakan oleh sebuah sistem informasi. Dengan memakai konsep “pemakai/pengguna” seperti di atas, maka Wilson meletakkan keseluruhan perilaku informasi dalam konteks sosial dan komunikasi yang lebih luas daripada sekadar interaksi antara manusia dan sistem informasi. Pada saat yang sama, Wilson juga
meletakkan perilaku informasi sebagai bentuk komunikasi yang lebih spesifik, berbeda dari komunikasi pada umumnya, untuk tujuan-tujuan tertentu dan melibatkan pemakaian sebuah sistem yang secara khusus (atau dalam istilah Wilson, “formal”) untuk keperluan itu. Hasil akhir dari proses kegiatan yang melibatkan perilaku inter-personal maupun interaksi manusia-sistem ini kemudian menimbulkan nilai kemanfaatan atau kegunaan. Konsep “pemakai/pengguna” yang luas inilah yang kemudian melahirkan model penjabaran perilaku informasi lebih lanjut, yaitu sebagaimana terlihat di gambar berikut:
Di gambar terlihat bahwa perilaku informasi dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi yang berkaitan dengan kebutuhan fisiologis, akfektif, maupun kognitif. Pada gilirannya, kebutuhan ini terkait pula dengan peran seseorang dalam pekerjaan atau kegiatan, dan oleh tingkat kompetensi seseorang sebagaimana diharapkan oleh lingkungannya. Wilson merasa peru menegaskan bahwa lingkungan manusia dapat terdiri dari lingkungan kerja, sosio-kultural, politik, ekonomi, selain tentu saja lingkungan fisik. Sewaktu seseorang terdorong untuk mencari informasi, semua faktor di atas akan menentukan bagaimana sesungguhnnya seseorang berperilaku mencari informasi. Selain itu, ada faktor rintangan yang juga akan menentukan bagaimana akhirnya seseorang bertindak-tanduk dalam lingkungan sebuah sistem informasi.
Secara lebih rinci, Wilson bahkan mengusulkan sebuah model yang cukup komprehensif, seperti terlihat di bawah ini:
Di dalam gambar terakhir ini, jelaslah Wilson menanggap bahwa perilaku informasi merupakan proses melingkar yang langsung berkaitan dengan pengolahan dan pemanfaatan informasi dalam konteks kehidupan seseorang. Terlihat pula bahwa kebutuhan akan informasi tidak langsung berubah menjadi perilaku mencari informasi, melainkan harus dipicu terlebih dahulu oleh pemahaman seseorang tentang tekanan dan persoalan dalam hidupnya (Wilson menggunakan istilah “teori” untuk hal ini, walaupun yang dimaksud adalah pengetahuan pribadi seseorang tentang dunianya). Kemudian, setelah kebutuhan informasi berubah menjadi aktivitas mencari informasi, ada beberapa hal yang mempengaruhi perilaku tersebut, yaitu: 1. Kondisi psikologis seseorang. Cukup masuk akal, bahwa seseorang yang sedang risau dan bertampang memble akan memperlihatkan perilaku informasi yang berbeda dibandingkan dengan seseorang yang sedang gembira dan berwajah sumringah.
2. Demografis, dalam arti luas menyangkut kondisi sosial-budaya seseorang sebagai bagian dari masyarakat tempat ia hidup dan berkegiatan. Kita dapat menduga bahwa “kelas sosial” juga dapat mempengaruhi perilaku informasi seseorang, walau mungkin pengaruh tersebut lebih banyak ditentukan oleh akses seseorang ke media perantara. Perilaku seseorang dari kelompok masyarakat yang tak memiliki akses ke Internet pastilah berbeda dari orang yang hidup dalam fasilitas teknologi melimpah. 3. Peran seseorang di masyarakatnya, khususnya dalam hubungan interpersonal, ikut mempengaruhi perilaku informasi. Misalnya, peran “menggurui” yang ada di kalangan dosen akan menyebabkan perilaku informasi berbeda dibandingkan perilaku mahasiswa yang lebih banyak berperan sebagai “pelajar”. Jika kedua orang ini berhadapan dengan pustakawan, peran-peran mereka akan ikut mempengaruhi cara mereka bertanya, bersikap, dan bertindak dalam kegiatan mencari informasi. 4. Lingkungan, dalam hal ini adalah lingkungan terdekat maupun lingkungan yang lebih luas, sebagaimana terlihat di gambar sebelumnya ketika Wilson berbicara tentang perilaku orang perorangan. 5. Karakteristik sumber informasi, atau mungkin lebih spesifik: karakter media yang akan digunakan dalam mencari dan menemukan informasi. Berkaitan dengan butir 2 di atas, orang-orang yang terbiasa dengan media elektronik dan datang dari strata sosial atas pastilah menunjukkan perilaku informasi berbeda dibandingkan mereka yang sangat jarang terpapar media elektronik, baik karena keterbatasan ekonomi maupun karena kondisi sosial-budaya. Kelima faktor di atas, menurut Wilson, akan sangat mempengaruhi bagaimana akhirnya seseorang mewujudkan kebutuhan informasi dalam bentuk perilaku informasi. Selain itu, ada faktor lain yang akan ikut menentukan aktivitas pencarian dan penemuan informasi seseorang, yaitu pandangan seseorang tentang risiko dan imbalan yang kelak akan dihadapinya jika ia benar-benar melakukan pencarian informasi. Di tahap ini, seseorang menimbang-nimbang, apakah perilakunya perlu disesuaikan atau diselaraskan dengan kondisi yang ia hadapi. Misalnya, untuk contoh kasar saja, seorang ilmuwan kondang yang merasa akan terlihat “bodoh” di hadapan pustakawan, mungkin akan berperilaku berbeda dibandingkan seorang dosen yang cuek dalam hal citranya di mata pustakawan. Si ilmuwan mungkin berpikir
bahwa bertanya secara langsung kepada pustakawan akan berisiko menurunkan gengsinya, sementara si dosen mungkin tak peduli pada risiko itu sebab ia berkonsentasi pada “imbalan” yang akan diperolehnya dari pustakawan. Pada akhirnya, di dalam model Wilson terlihat bahwa berbagai perilaku informasi (mulai dari yang hanya berupa “perhatian pasif”, misalnya dalam bentuk observasi dan browsing serampangan, sampai pencarian yang berkelanjutan) bukanlah wujud langsung dari kebutuhan informasi seseorang. Terlalu sederhana jika kita menganggap bahwa seseorang yang datang ke perpustakaan mempunyai kebutuhan yang pasti dan mutlak. Ada berlapis-lapis faktor yang mengantarai “kebutuhan” dan “perilaku”. Jika Anda ingin meneliti perilaku informasi, lapisan-lapisan itulah yang harus ada kentarai satu per satu. Bacaan: Wilson, T.D. (1999), “Models in information behaviour research” dalam Journal of Documentation, vol 55 no. 33, hal. 259 – 270. Wilson, T.D. (2000) “Recent trends in user studies: action research and qualitative methods” dalam Information Research, vol. 5, no. 3 Diturunkan dari : http://informationr.net/ir/53paper76.html