PERILAKU DAN KARAKTERISTIK HABITAT POTENSIAL NYAMUK Anopheles spp. DI DESA RIAU KECAMATAN RIAU SILIP KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG
SUWARDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perilaku dan Karakteristik Habitat Potensial Nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Februari 2012
Suwardi NRP. B252090021
ABSTRACT
SUWARDI. The Behaviour and characteristics potential of habitat of mosquitoes Anopheles spp. in Riau Village Riau Silip Subdistrict Bangka District Bangka Belitung Province. Under direction of SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI.
Malaria is one of public health problem in Indonesia. The research was carried out to explore the diversity, density and the behavior of Anopheles as malaria vector, including mapping and measuring characteristics of larval potential habitat in Riau Village, Riau Silip Subdistrict, Bangka District. The studies were done from February to May 2011. The Anopheles mosquitoes were collected indoor and outdoor by human landing collection in the evening starting from 6 pm to 6 am. The characteristics of potential habitat and coordinates were measured based on larval collection sites. The result showed that there were four Anopheles spesies i.e. An. letifer, An. barbirostris, An. nigerrimus, and An. indefinitus. The man hour density of mosquitoes indoor and outdoor for An. letifer were 0,12 and 0,13, An. barbirostris 0,06 and 0,04, An. indefinitus 0,02 only at outdoor, and An. nigerrimus was not found biting. The biting activity was peak indoor and outdoor at 7-8 pm and 10-11 pm for An. letifer, and An. barbirostris at 9-10 pm and 11-12 pm. There were seven types of potential habitats i.e. ditches, pool, swamps, former mining pond, wells, and ground hole, however only one larva of An. letifer was found in a pool. The habitat characteristics of An. letifer larva were found at water temperature 24ºC, pH 6.0 to 6.1, salinity 0‰, turbidity 6 NTU, mud bottom habitat, no water plants, and there was tadpoles as predator.
Keywords: Anopheles, diversity of mosquitoe, mosquitoe behavior, mosquitoe larvae habitats
RINGKASAN
SUWARDI. Perilaku dan Karakteristik Habitat Potensial Nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UPIK KESUMAWATI HADI.
Desa Riau merupakan daerah endemis malaria dengan API pada tahun 2010 sebesar 7,37‰. Desa Riau memiliki kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik, pengetahuan masyarakat tentang kesehatan lingkungan yang masih rendah, dan banyaknya genangan air. Terbentuknya kolam akibat penggalian timah (kolong) merupakan tempat perindukan potensial nyamuk vektor malaria. Infomasi tentang perilaku dan karakteristik habitat potensial nyamuk Anopheles sangat penting dipelajari untuk menentukan strategi pemberantasan malaria. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari bagaimana perilaku dan karakteristik habitat potensial nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, yang terdiri atas empat dusun, yaitu Dusun Riau, Dusun Simpang Lumut, Dusun Sinar Gunung, dan Dusun Tirus. Penelitian dilaksanakan selama empat bulan, mulai dari bulan Februari-Mei 2011. Metode penelitian terdiri atas penangkapan nyamuk dewasa dengan umpan orang pada malam hari selama 12 jam (Pukul 18.00-06.00 WIB) dengan frekuensi setiap satu minggu sekali selama empat bulan. Larva dikoleksi menggunakan cidukan plastik dengan volume 300 ml pada setiap habitat potensial. Karakteristik habitat potensial yang diamati meliputi jenis habitat, suhu air, salinitas air, derajat keasaman (pH) air, kekeruhan air, dasar habitat, tanaman air, keberadaan predator dan pengambilan titik koordinat untuk pemetaan jenis habitat larva Anopheles spp. dengan menggunakan alat GPS Garmin 60. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data kasus penyakit malaria dan curah hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada empat jenis spesies Anopheles spp., yaitu An. letifer, An. barbirostris, An. nigerrimus dan An. indefinitus. Nyamuk yang paling dominan adalah An. letifer dan lebih banyak ditemukan di luar rumah dengan kelimpahan nisbi 42,65%. Urutan kedua adalah An. barbirostris di dalam rumah dengan kelimpahan nisbi 8,82%, sedangkan yang terendah An. nigerrimus dan An. indefinitus dengan angka kelimpahan nisbi masing-masing 1,47%. Nyamuk An. letifer cenderung mengisap darah di luar rumah (eksofagik) yang terlihat dari angka MHD di luar rumah lebih tinggi daripada di dalam rumah, terutama di bulan April ( 0,31 nyamuk/orang/jam). Perilaku An. letifer mencari tempat istirahat cenderung di luar rumah (eksofilik) yang terlihat dari angka MHD tertinggi di luar rumah (0,08 nyamuk/orang/jam) daripada di dalam rumah (0,04 nyamuk/orang/jam). Nyamuk An. barbirostris mengisap darah cenderung di dalam rumah (endofagik) dengan MHD tertinggi di dalam rumah pada bulan Februari dan Maret (0,06 nyamuk/orang/jam), sedangkan nyamuk An. barbirostris istirahat tidak ada yang ditemukan. An. nigerrimus hanya ditemukan di dalam rumah satu kali dengan MHD di dalam rumah (0,02 nyamuk/orang/jam), maka belum dapat disimpulkan perilaku nyamuk ini. An. indefinitus tidak ada yang ditemukan selama penelitian.
Fluktuasi aktivitas mengisap darah hanya terlihat pada An. letifer dan An. barbirostris. Di dalam rumah, aktivitas mengisap darah An. letifer mulai pukul 18.00-06.00 WIB dan puncaknya pada pukul 19.00-21.00 WIB. Nyamuk An. barbirostris menunjukan aktivitas mengisap darah mulai pukul 19.00-01.00 WIB puncaknya pada pukul 21.00-22.00 WIB. Aktivitas mengisap darah An. letifer di luar rumah mulai pukul 18.00-19.00 WIB dengan puncak mengisap darah pukul 22.00-23.00 WIB. Adapun aktivitas mengisap darah An. berbirostris di luar rumah terjadi pada pukul 21.00-01.00 WIB dan puncaknyapada pukul 23.00- 24.00 WIB. Hubungan kepadatan (MBR) An. letifer dengan kasus malaria (MoPI) di Desa Riau tidak cukup erat (r = -0,57). Begitu pula indeks curah hujan kurang mempengaruhi kepadatan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tidak erat (r = 0,47) dan nilai koefisien determinasi (R² = 0,22) artinya pengaruh indeks curah hujan terhadap kepadatan nyamuk Anopheles spp. hanya sebesar 22%. Habitat potensial larva Anopheles spp. yang ditemukan adalah sebanyak 24 habitat terdiri atas tujuh jenis, yaitu parit, kubangan, rawa-rawa, sumur, kolong, kobakan, dan kolam. Larva Anopheles hanya ditemukan pada habitat kubangan dengan kepadatan 0,01 larva/cidukan, sedangkan 23 habitat tidak ditemukan larva Anopheles spp. Karakteristik habitat larva Anopheles yang ditemukan adalah suhu air 24°C, pH 5-7,3, salinitas 0‰, kekeruhan 2-35 NTU, kedalaman 5-2510 cm, dasar habitat lumpur, predator berudu. Saran dalam penelitian antara lain perlu pengamatan yang longitudinal mengingat penularan malaria di Desa Riau sangat potensial karena ditemukannya nyamuk dan habitat potensial Anopheles spp.
Kata kunci : Anopheles, keragaman nyamuk Anopheles spp,. perilaku nyamuk Anopheles spp., habitat potensial larva Anopheles spp.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Tesis Nama NRP
: Perilaku dan Karakteristik Habitat Potensial Nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung : Suwardi : B252090021
Disetujui
Komisi Pembimbing
DR. drh. Susi Soviana, M.Si Ketua
drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D
Tanggal Ujian : 15 Desember 2011
DR. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Lulus :..........................
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya jualah tesis ini dapat penulis selesaikan. Tesis ini selesai tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dan dorongan dari semua pihak. Untuk itu penulis pada kesemapatan ini secara khusus menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Ibu Susi Soviana selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Upik Kesumawati Hadi yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan ditengah kesibukan tugasnya sehari-hari hingga selesainya penulisan tesis ini. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar di Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan yang telah memberikan Ilmu Pengetahuan selama penulis menuntut ilmu di Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB, dan tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh staf dan Pegawai laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung yang telah memberikan izin tugas belajar dan membantu biaya pendidikan selama penulis menempuh pendidikan pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kepala Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka beserta seluruh staf dan jajarannya, dan juga kepada karang taruna Desa Riau yang telah ikut membantu selama pelaksanaan penelitian. Di samping itu ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada isteri tercinta Kartika, anak-anak tercinta Muhammad Za’im Ramadhan, Muhammad Habib, dan Halilah Nur Fauziah, serta ibu dan keluarga yang senantiasa memberikan dorongan moril, serta pengertiannya sehingga penelitian dan tesis ini dapat selesai. Akhirnya penulis mengharapkan agar tesis ini dapat bermanfaat bagi kita dalam mengemban dan melaksanakan tugas kemasyarakatan.
Bogor, Februari 2012
Suwardi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Juni 1968 di Sungailiat Bangka. Lahir sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara dengan orangtua Bapak Midin Sono dan Ibu Amron. Pada tahun 1975 penulis masuk Sekolah Dasar di Kecamatan Pemali Sungailiat Bangka, kemudian Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Sungailiat Bangka dan lulus tahun 1984, selanjutnya masuk Sekolah Perawat Kesehatan Depkes Palembang di Sungailiat dan lulus tahun 1988, kemudian melanjutkan ke Akademi Keperawatan Depkes Palembang lulus tahun 1995. Pada 1989 penulis mulai bekerja di Puskesmas Toboali, kemudian Rumah Sakit Umum Daerah Sungailiat, selanjutnya pindah ke Puskesmas Pemali pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka pada tahun 1998. Pada tanggal 23 Maret 1997 menikah dengan Kartika dan telah dikarunia tiga orang anak. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2007 penulis mendapat izin belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat (STIKES) Abdi Nusa Pangkalpinang Bangka. Tahun 2009 melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Parasitologi dan Entomologi Kesehatan di Institut Pertanian Bogor, dan dibiayai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL......................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xvii
1
PENDAHULUAN ………………………………………........... .... ..1
2
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………... ...4 2.1 Keragaman Nyamuk Anopheles spp........................................... 4 2.2 Perilaku Nyamuk Anopheles spp. ..............................................6 2.3 Karakteristik Habitat larva Anopheles spp……………………... 2.3.1 Jenis Habitat ………………………………………… ....8 2.3.2 Suhu Air..................................................................... ..9 2.3.3 Salinitas air ................................................................ ..10 2.3.4 pH air ......................................................................... ..10 2.3.5 Kekeruhan Air ............................................................ ..11 2.3.6 Kedalaman Air ..............................................................12 2.3.7 Dasar Habitat ............................................................. ..13 2.3.8 Tanaman Air .............................................................. ..14 2.3.9 Keberadaan Predator .................................................. ..15 2.4 Curah Hujan .......................................................................... ..15
7
3
BAHAN DAN METODA .............................................................. ..17 3.1 Lokasi Penelitian ................................................................... ..17 3.2 Waktu Penelitian ................................................................... ..18 3.3 Metode Penelitian .................................................................. ..18 3.3.1 Penangkapan Nyamuk Anopheles spp ....................... ..19 3.3.2 Identifikasi Nyamuk Anopheles spp .......................... ..20 3.3.3 Pengumpulan Larva Dan Karakteristik Habitat ......... ..20 3.3.3.1 Pengumpulan Larva........................................ 20 3.3.3.2 Pengukuran Karateristik Habitat Larva Anopheles spp............................................. .21 3.3.3.3 Pemetaan Habitat Larva Anopheles spp...... .. 22 3.3.4 Pengumpulan Data Sekunder .................................... ..23 3.4 Analisis Data…. .................................................................... ..23 3.4.1 Kepadatan dan Perilaku Nyamuk Anopheles spp ........ ..23 3.4.2 Kelimpahan Nisbi Nyamuk Anopheles spp ................. ..24 3.4.3 Frekwensi Tertangkap Nyamuk Anopheles spp .......... ..24 3.4.4 Dominansi Spesies ..................................................... ..24 3.4.5 Karakteristik Habitat larva Anopheles spp .................. ..25 3.4.6 Titik Koordinat Habitat Potensial Larva Anopheles spp. Malaria ..................................................................... ..25
3.4.7 Hubungan Kepadatan Anopheles spp. Dengan Kasus Malaria.................................... ................................... ..25 3.4.8 Hubungan Kepadatan Anopheles spp. Dengan ICH .... ..25
4
HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 26 4.1 Keragaman Nyamuk Anopheles spp. ..........................................26 4.2 Perilaku Mengisap Darah Nyamuk Anopheles spp..................... 32 4.3 Perilaku Istirahat Nyamuk Anopheles spp.................................. 34 4.4 Hubungan MBR Anopheles spp. Dengan Kasus Malaria........... 35 4.5 Hubungan MBR Anopheles spp. Dengan ICH.. ...................... ..38 4.6 Aktivitas Mengisap Darah Pada Malam Hari. ........................ ..40 4.7 Karakteristik Habitat Larva Anopheles spp................................ 43 4.7.1 Jenis Habitat Potensial ....................................................43 4.7.2 Pengukuran Karakteristik Fisik, Kimia, dan Biologi Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp................................................................. 52 4.7.3 Pemetaan Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp.................... ........................................ ..56
5
SIMPULAN DAN SARAN................................................................ .60 5.1 Simpulan..................................................................................... 60 5.2 Saran........................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 61
LAMPIRAN................................................................................................. .67
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Keragaman jenis, kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominansi spesies Anopheles spp. yang tertangkap dengan umpan orang dan istirahat di Desa Riau, Februari-Mei 2011............................................. 29
2
Rataan kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang mengisap darah per Orang per jam (man hour density) di Desa Riau, Februari-Mei 2011....
3
Rataan kepadatan nyamuk Anopheles spp. istirahat per orang per jam (man hour density) di Desa Riau, Februari-Mei 2011................... 34
4
Data kasus penyakit malaria di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.................................................................................. 36
5
Rataan kepadatan nyamuk Anopheles spp. mengisap darah orang per malam (MBR) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011........................................................................................................ 37
6
Jenis habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau, Februari-Mei 2011............................................................... 44
7
Karaktersitik habitat perkembangbiakan An. letifer di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011............................................. 52
9
Titik koordinat habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau, Februari-Mei 2011........................ 58
32
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Lokasi penelitian di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011................................................................ 17
2
Metode penangkapan nyamuk dengan umpan orang di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011......................................... 19
3
Penangkapan nyamuk istirahat di dalam dan di luar rumah di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011............................... 20
4
An. letifer (a) palpi, (b) ujung abdomen, (c) tarsi belakang ...............27
5
An. barbirostris (a) palpi, (b) ujung abdomen, (c) sayap.................. 27
6
An. nigerrimus (a) tarsi, (b) sayap..................................................... 28
7
An. indefinitus (a) probosis, (b) palpi................................................. 28
8
Hubungan angka kesakitan malaria bulanan (MoPI) dengan kepadatan nyamuk An. letifer (MBR) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011.................................. 37
9
Hubungan indeks curah hujan (mm/bulan) dengan kepadatan nyamuk Anopheles spp. (MBR) di Desa Riau, Kecataman Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011.................................. 39
10
Rata-rata kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap dengan umpan orang di dalam rumah per orang per jam di Desa Riau, Februari-Mei 2011................................................................... 40
11
Rata-rata kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap dengan umpan orang di luar rumah per orang per jam di Desa Riau, Februari-Mei 2011.............................................................................. 42
12
Parit merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.................................................................................................... 45
13
Kubangan merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.............................................................................. 46
14
Rawa-rawa merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.............................................................................. 47
15
Sumur merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.............................................................................. 48
16
Kolong merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.............................................................................. 49
17
Kobakan merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.............................................................................. 50
18
Kolam merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.............................................................................. 51
19
Titik koordinat habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011................................................................ 57
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Karakteristik habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011..................................................................... 67
2
Angka dominansi nyamuk Anopheles spp. tertangkap dengan umpan orang dan istirahat di dalam dan di luar rumah di Desa Riau, Februari-Mei 2011................................... 68
3
Jumlah hari hujan, curah hujan, dan indeks curah hujan per minggu di Desa Riau,Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011..................................................................... 69
3
Hasil uji korelasi pearson (pearson correlation) antara indeks curah hujan (ICH) dengan kepadatan nyamuk Anopheles spp. (MBR) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011........................... 70
4
Hasil uji korelasi pearson (pearson correlation) antara kepadatan nyamuk An. letifer (MBR) dengan angka kesakitan malaria bulanan (MoPI) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011............................ 71
1 PENDAHULUAN
Malaria di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat mempengaruhi angka kematian dan angka kesakitan bayi, anak balita dan ibu melahirkan serta dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja. Penduduk Indonesia yang tinggal di daerah berisiko tertular malaria diperkirakan 70 %. Dari 484 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 338 kabupaten/kota merupakan wilayah endemis malaria (Ditjen PP&PL 2009). Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah endemis malaria yang tersebar di tujuh kabupaten dan kota dengan tingkat endemisitas 50 kasus per seribu penduduk. Setiap kabupaten dan kota mempunyai geografis yang hampir sama dalam hal tempat perindukan nyamuk penular malaria (Anopheles), seperti kolam-kolam (kolong) bekas galian timah, rawa-rawa, cekungan batuan di daerah perbukitan, dan air tergenang di pinggir pantai. Kasus malaria dihitung berdasarkan annual malaria incidence (AMI) dan annual parasite incidence (API). AMI adalah kasus malaria berdasarkan gejala klinis selama satu tahun di suatu wilayah per 1000 penduduk, sedangkan API adalah kasus malaria positif Plasmodium malaria berdasarkan pemeriksaan ulasan darah penderita selama satu tahun di suatu wilayah per 1000 penduduk (Ditjen PP&PL 2009). Kasus malaria di Provinsi Bangka Belitung berdasarkan AMI pada tahun 2008-2010 dilaporkan berturut-turut mengalami peningkatan dan penurunan, yaitu 54,73‰, 58,4‰, dan 50,89‰, sedangkan kasus malaria yang ditemukan berdasarkan API tahun 2008- 2010 mengalami penurunan, yaitu 9,6‰, 8,5‰, dan 4,7‰ (Dinkes Prov. Bangka Belitung 2011). Kasus penyakit malaria berdasarkan AMI di Kabupaten Bangka dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami naik turun, yaitu 20,1 ‰, 51,7‰, dan 21,66‰, sedangkan kasus malaria berdasarkan API mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010, yaitu 9,31‰, 4,01‰, dan 1,71‰ 2010 (Dinkes Kabupaten Bangka 2011). Kecamatan Riau Silip merupakan bagian wilayah dari Kabupaten Bangka yang memiliki AMI dari tahun 2008 sampai 2010 berturut-turut yaitu 14,5 ‰, 48,09 ‰, 27,26‰, sedangkan kasus malaria berdasarkan API dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami naik turun. API tahun 2008-2010 tiga tahun terakhir secara berturut-turut yaitu 6,39 ‰, 9,51‰, 4.00‰ (Puskesmas Riau Silip 2011).
Desa Riau termasuk satu di antara desa yang ada di Kecamatan Riau Silip, dan kasus malaria menurut AMI terjadi peningkatan yang sangat signifikan dari tahun 2007 sampai dengan 2010, yaitu 15,22 ‰, 41,01 ‰, 86,36 ‰, dan 99,34‰, sedangkan kasus positif malaria berdasarkan API terjadi peningkatan dan penurunan dari tahun 2008 sampai dengan 2010, yaitu 9,86 ‰, 21,29 ‰, 7,37‰. Walaupun API mengalami penurunan, tetapi pada tahun 2009 mengalami peningkatan kasus yang cukup signifikan (PKM Riau Silip 2011). Jenis-jenis nyamuk Anopheles spp. yang telah di konfirmasi sebagai vektor menularkan penyakit malaria berdasarkan provinsi antara lain di Sumatera Utara ditemukan An. sundaicus, An. letifer, An. maculatus, An. kochi, dan An. tesselatus, kemudian di Riau ditemukan An. sundaicus, sumatera Selatan (An. letifer), Bengkulu (An. subpictus), Lampung (An. sundaicus), DKI (An. sundaicus), Jawa Barat (An. sundaicus dan An. subpictus), NTB (An. aconitus, An. sundaicus, An. subpictus, An. maculatus, dan An. balabacencis), Kalimantan Selatan dan Timur (An. balabacencis), Sulawesi Utara dan Gorontalo (An. minimus), Maluku (An. farauti) dan Papua Barat (An. punctulatus) (Ditjen PP&PL 2007). Nyamuk Anopheles dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu telur, larva (jentik), pupa dan dewasa. Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya (hewan akuatik) sedangkan nyamuk dewasa di darat (terestrial). Nyamuk merupakan serangga yang sangat sukses memanfaatkan air lingkungan, termasuk air alami dan air sumber buatan yang sifatnya permanen maupun temporer. Nyamuk dapat memanfaatkan berbagai habitat yaitu danau, aliran air, kolam, air payau, bendungan, saluran irigasi, air bebatuan, selokan, dan lain-lain yang dapat berperan sebagai tempat bertelur dan tempat perkembangan larvanya. Aktivitas mengisap darah nyamuk Anopheles malam hari (nocturnal) (Hadi & Koesharto 2006). Penularan penyakit malaria di Pulau Bangka disebabkan oleh adanya keragaman nyamuk Anopheles spp. dan habitat potensial larva nyamuk Anopheles spp. Hal ini telah dilakukan penelitian di beberapa tempat, seperti di Kolong Ijo, Desa Bacang, Kotamadya Pangkalpinang, ditemukan An. philippinensis, An. peditaeniatus, An. nigerrimus, dan An. barbirostris dari pemeliharaan larva,
sedangkan dari penangkapan nyamuk dewasa malam hari ditemukan An. peditaeniatus dan An. nigerrimus (Qomariah 2004). Begitu pula di Desa Air Duren ditemukan An. subpictus, An. letifer, An. philippinensis, An. karwari, An. kochi, dan An. vagus, sedangkan di Kecamatan Sungailiat ditemukan dua spesies yaitu An. letifer dan An. sundaicus (Dinkes Kab. Bangka 2010). Faktor lingkungan baik biologi, fisik dan perilaku sosial masyarakat ikut menunjang terjadinya penularan penyakit malaria. Desa Riau memiliki kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik, pengetahuan masyarakat tentang kesehatan lingkungan yang masih rendah, banyaknya genangan air dan terbentuknya kolam akibat penggalian timah (kolong) merupakan tempat perindukan potensial nyamuk vektor malaria. Keterbatasan informasi mengenai faktor-faktor risiko kejadian malaria, bioekologi nyamuk Anopheles dan lingkungan daerah endemis malaria menyebabkan belum diperoleh cara yang spesifik dan efisien dalam pengendalian malaria. Penentuan strategi pemberantasan malaria memerlukan data entomologi dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian malaria (Sitorus 2005). Infomasi tentang perilaku dan karakteristik habitat potensial nyamuk Anopheles sangat penting dipelajari dalam menentukan strategi pemberantasan malaria. Desa yang ada di Kabupaten Bangka belum dilakukan penelitian entomologi, termasuk Desa Riau Kecamatan Riau Silip. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari bagaimana perilaku nyamuk Anopheles spp. mencari darah, perilaku mencari tempat istirahat, dan karakteristik habitat potensial nyamuk Anopheles spp. yang terdiri atas jenis habitat, suhu air, salinitas air, derajat keasaman (pH) air, kekeruhan air, dasar habitat, tanaman air, keberadaan predator dan pengambilan titik koordinat untuk pemetaan jenis habitat larva Anopheles spp. dengan menggunakan global positioning system (GPS) Garmin 60. Tujuan penelitian adalah (1) mengidentifikasi keragaman
nyamuk
Anopheles spp., (2) menganalisis perilaku nyamuk Anopheles spp., dan (3) menganalisis pemetaan dan karakteristik habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp.
Manfaat penelitian dapat dijadikan sebagai data dasar dan informasi ilmiah, sehingga pengendalian vektor malaria di Pulau Bangka dapat dikelola dengan baik.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keragaman Nyamuk Anopheles spp. Insekta atau serangga merupakan spesies hewan yang jumlahnya paling dominan di antara spesies hewan lainnya dalm filum Arthropoda. Nyamuk termasuk kelas Insekta, ordo Diptera, famili Culicidae, dengan subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes, Culex, Mansonia, Armigeres) dan Anophelinae (Anopeheles). Di seluruh dunia, dilaporkan terdapat sekitar 3100 spesies dari genus nyamuk. Nyamuk di Indonesia terdiri atas 457 spesies, diantaranya 80 spesies Anopheles, 125 Aedes, 82 Culex, 8 Mansonia, sedangkan sisanya tidak termasuk begitu mengganggu (O’Connor & Sopa 1981 dalam Hadi & Koesharto 2006). Wilayah penyebaran nyamuk Anopheles spp. di Pulau Bangka berdasarkan zoogeographic termasuk fauna Oriental, begitu juga Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, dan sebagian Pulau Sulawesi (Rao 1981). Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka (2010) melaporkan bahwa jenis-jenis nyamuk Anopheles spp. di Desa Air Duren Kecamatan Pemali ditemukan An. subpictus, An. letifer, An. philippinensis, An. karwari, An. kochi, dan An. vagus, dan di Kecamatan Sungailiat adalah An. letifer dan An. sundaicus. Adapun di Kelurahan Bacang, Kotamadya Pangkalpinang ditemukan An. peditaeniatus dan An. nigerrimus, An. philippinensis, dan An. barbirostris (Qomariah 2004). Nyamuk Anopheles spp. yang ada di Pulau Sumatera menunjukkan keragaman yang tidak jauh berbeda dengan nyamuk Anopheles spp. yang ada di pulau-pulau yang masuk wilayah fauna oriental. Di Desa Segara Kembang Kecamatan Lengkiti, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan ditemukan tujuh spesies yaitu An. aconitus, An. annularis, An. kochi, An. schuefneri, An. vagus, An. barbirostris dan An. nigerrimus (U’din 2005). Selanjutnya, di Kecamatan Padangcermin Kabupaten Pesawaran ditemukan sembilan spesies nyamuk Anopheles, yaitu An. sundaicus, An. subpictus, An. vagus, An. kochi, An. aconitus, An. barbirostris, An. indefinitus, An. maculatus, dan An. tessellates. Sementara itu, Suwito (2010) melaporkan bahwa Anopheles di Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan terdapat keragaman yang sama
dengan nyamuk Anopheles spp. di Kecamatan Padangcermin, tetapi terdapat tiga spesies yang berbeda yaitu An. annularis, An. minimus, dan An. indefinitus. Adapun di Desa Pondok Meja, Muaro Jambi, Jambi ditemukan jenis-jenis nyamuk Anopheles spp. yang beragam, yaitu An. barbirostris, An. vagus, An. nigerrimus, An. aconitus, An. kochi, An. tesselatus, An. indefinitus, An. umbrosus, An. schueffneri dan An. peditaeniatus (Maloha 2005). Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Pulau Jawa menunjukkan keragaman yang tidak jauh berbeda dengan di Pulau Bangka dan Pulau Sumatera. Mardiana (2001) menyatakan bahwa nyamuk Anopheles spp. di Kabupaten Banyuwangi, jawa Timur ditemukan cukup beragam, yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. subpictus, An. flavirostris, An. barbirostris, An. annularis dan An. indefinitus, sedangkan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur ditemukan lebih beragam, yaitu selain nyamuk yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi ditemukan juga An. maculatus, An. aconitus, An. tessellates dan An. kochi. Sementara Aprianto (2002) melaporkan bahwa nyamuk Anopheles spp. di Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta kurang beragam, yaitu An. maculatus, An. balabacensis, An. vagus, An. annularis. Selanjutnya, di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo Jawa Tengah terdiri atas sepuluh spesies, yaitu An. aconitus, An. flavirostris, An. vagus, An. kochi, An. annularis, An. balabacensis, An. barbirostris, An. minimus, An. maculatus, An. subpictus, dan yang paling dominan adalah An. aconitus (Noor 2002). Nyamuk Anopheles spp. yang ada di Nusa Tenggara Timur juga menunjukkan keragaman yang tidak jauh berbeda dengan nyamuk yang masuk fauna oriental seperti di Pulau Bangka, Pulau Sumatera, dan Pulau Jawa. Rahmawati (2010) melaporkan bahwa di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, An. barbirostris ditemukan lebih dominan baik di dalam rumah maupun di luar rumah (54,60% dan 51,14%), kemudian An. subpictus (3,34% dan 3,20%), An. indefinitus (9,09% dan 22,73%), sedangkan jenis lainnya adalah An. annularis ( 24,68% dan 25,97%).
2.2 Perilaku Nyamuk Anopheles spp Nyamuk Anopheles yang aktif mengisap darah adalah yang betina karena darah diperlukan untuk perkembangan telurnya. Nyamuk Anopheles apabila aktif mencari darah maka akan berkeliling sampai ditemukan rangsangan dari inang yang cocok. Nyamuk Anopheles mencari darah berdasarkan inangnya dibedakan atas kesukaan mengisap darah hewan (zoofilik), darah manusia (antropofilik) dan kedua-duanya baik darah hewan maupun darah manusia (zooantropofilik). Berdasarkan tempat nyamuk mencari darah inangnya dibedakan atas endofagik dan eksofagik, yakni mengisap darah di dalam dan di luar rumah, sedangkan berdasarkan tempat istirahat dibedakan endofilik dan eksofilik. Hadi & Koesharto (2006) menyatakan bahwa beberapa spesies nyamuk memasuki rumah untuk mencari makan (endofagik) dan istirahat di dalam rumah (endofilik), dan ada beberapa spesies masuk rumah hanya untuk makan (endofagik) dan menghabiskan waktu istirahatnya di luar rumah (eksofilik); ada pula yang mengisap darah di luar rumah (eksofagik) dan istirahat di luar rumah (eksofilik). Daerah yang disenangi nyamuk adalah suatu daerah yang tersedia tempat untuk beristirahat, adanya inang yang disukai, dan tempat untuk berkembangbiak (Ditjen PP&PL 2007). Pertumbuhan dan perkembangan populasi nyamuk pada habitatnya sangat dipengaruhi ketersediaan sumber pakan (darah) serta lingkungan yang sesuai, seperti suhu udara, kelembaban udara yang cocok, tersedia tempat-tempat berkembangbiak dan tempat istirahat. Untuk kepentingan pengendalian vektor, perilaku nyamuk Anopheles mengisap darah berdasarkan tempat perlu diketahui, demikian pula dengan waktu puncak aktif mengisap darah pada waktu malam hari. Kepadatan vektor, intensitas kontak antara manusia dan vektor merupakan salah satu faktor penting dalam penularan malaria. Apabila suatu spesies Anopheles memiliki kemampuan bertahan hidup terhadap infeksi Plasmodium, masa hidup yang lebih panjang, dan lebih bersifat antropofilik maka akan terjadi penularan malaria (Rao 1981). Nyamuk Anopheles spp. pada suatu tempat menunjukkan perilaku yang berbeda-beda. Juliawaty (2008) melaporkan bahwa perilaku nyamuk An. letifer yang ada di sekitar Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, cenderung bersifat
antropofilik dan eksofagik, sedangkan mencari tempat istirahat cenderung bersifat eksofilik. Mahmud (2002) melaporkan bahwa perilaku mencari darah An. balabacensis di desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta cenderung bersifat eksofagik, dan mencari tempat istirahat cenderung eksofilik. Wardana (2010) menyatakan hal yang sama tentang perilaku An. balabacensis di Desa Lembah Sari, Kecamatan Batu layar, Kabupaten Lombok Barat, yaitu cenderung bersifat eksofagik, selama empat bulan penangkapan ditemukan lebih banyak mengisap darah orang di luar rumah daripada di dalam rumah, di dalam rumah hanya ditemukan pada bulan Juni dengan kepadatan rata-rata 0,17 ekor/bulan, sedangkan di luar rumah ditemukan setiap bulan dengan kepadatan rata-rata 3,67 ekor/bulan. Effendi (2002) melaporkan bahwa An. balabacensis yang ditemukan di Daerah Kokap Kulonprogo, DI Yogyakarta cenderung bersifat endofagik. Suwito (2010) menyatakan bahwa perilaku An. barbirostris yang ada di Kecamatan Rajabasa dan Kecamatan Padangcermin Lampung Selatan cenderung bersifat eksofagik, begitu juga di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah (Jastal 2005) dan di Desa Segara Kembang, Kecamatan Lengkiti, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan (U’din 2005). Salam (2005) menyatakan bahwa An. kochi di Desa Alat Hantakan, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan cenderung bersifat eksofagik , hal yang sama di Kecamatan Rajabasa dan Kecamatan Padangcermin, Lampung Selatan (Suwito 2005).
2.3 Karakteristik Habitat Larva Anopheles spp. Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup dan berkembangbiak (Odum 1993). Nyamuk betina biasanya memilih tipe air tertentu untuk meletakan telurnya di permukaan air. Larva nyamuk Anopheles spp. ditemukan pada berbagai habitat, tetapi setiap habitat memiliki sifat umum dalam menyediakan makanan, terutama terdiri atas mikroorganisme dan bahan organik. Sumber makanan pradewasa nyamuk pada setiap habitat berbeda pada lokasi yang berbeda. Permukaan air kaya akan bahan organik dan mikroorganisme sebagai
sumber pakan larva nyamuk Anopheles spp. untuk mempertahankan hidupnya (Clement 2000). Larva Anopheles ditemukan berkembangbiak pada berbagai habitat air tawar kecuali air yang terkontaminasi air limbah atau limbah pabrik bahan kimia. Meskipun tidak ada larva Anopheles yang ditemukan dalam air laut murni, tetapi ada beberapa spesies yang dapat berkembang biak di air payau di danau dan anak sungai yang terhubung dengan laut (Rao 1981). Perkembangan larva nyamuk di dalam suatu habitat dipengaruhi oleh suhu air, pH air, kedalaman, kekeruhan, salinitas, cahaya, aliran air, dasar air, plankton dan predator. Larva Anopheles dapat hidup dengan karakteristik habitat yang bervariasi, dan hal ini terlihat pada informasi dari beberapa hasil penelitian. Chadijah (2005) melaporkan bahwa larva An. barbirostris, An. nigerrimus, An. kochi, dan An. tesselatus di Desa Tongoa, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah dapat hidup dan berkembang pada pH 6,5-7, kekeruhan 2,1-21 NTU. Sembiring (2005) melaporkan bahwa larva Anopheles spp. di Daerah Pasang Surut Asahan Sumatera Selatan, dapat hidup dan berkembang pada pH 7,90-8,45 dan kekeruhan 10-14 NTU. Sementara itu, di Dusun Mataram, Lengkong, Kabupaten Sukabumi, larva Anopheles dapat hidup dan berkembang dengan kekeruhan air 70-150 NTU (Saleh 2002).
2.3.1 Jenis Habitat Clement (2000) menyatakan bahwa larva nyamuk terdapat pada berbagai habitat, hal yang sama diyatakan Hadi dan Koesharto (2006) bahwa larva nyamuk ditemukan pada berbagai jenis habitat, seperti danau, aliran air, kolam, air payau, bendungan, saluran irigasi, air bebatuan, selokan dan lain-lain. Rueda et al. (2007) melaporkan bahwa larva Anopheles spp. dapat hidup dan berkembang pada habitat kolam, sungai, lubang di tanah, rawa-rawa, sawah, irigasi, saluran air di pinggir jalan, batu karang, pinggiran sungai, sumur, dan air drum. Kolong merupakan salah satu jenis habitat bekas penggalian timah yang Banyak ditemukan di Pulau Bangka. Qomariah (2004) menemukan An. philippinensis, An. peditaeniatus, An. nigerrimus, dan An. barbirostris pada Kolong Ijo, Kecamatan Bacang, Kotamadya Pangkalpinang, Provinsi Bangka
Belitung, sedangkan di Desa Air Duren Kecamatan Pemali, Kabupaten Bangka, ditemukan larva Anopheles spp. pada kubangan, parit dan rawa-rawa (Dinkes Kab. Bangka 2007). Jenis habitat potensial larva Anopheles spp. yang terdapat di Kecamatan Rajabasa dan Pesawaran Lampung Selatan sangat beragam, yaitu tambak terbengkalai, bak benur terbengkalai, kolam, lagun, rawa-rawa, parit, sungai, sawah, saluran irigasi, sumur, kubangan, dan kobakan (Suwito 2010). Nyamuk An. barbirostris dan An. sundaicus di daerah pantai Banyuwangi, Jawa Timur, dapat hidup dan berkembang pada habitat lagun, kobakan dan mata air (Sinta et al. 2003). An. maculatus, An. balabacensis dan An. vagus ditemukan pada habitat sungai dan mata air di Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (Santoso 2002). Jenis habitat An. albimanus di Artibonite Valley, Haiti, ditemukan pada persawahan, kolam di tanah, kobakan, dan selokan (Caillouet et al. 2008). Larva Anopheles spp. di Dar es Salam, Tanzania, ditemukan pada habitat rawa-rawa (Sattler et al. 2005).
2.3.2 Suhu Air Pengaruh suhu terhadap laju pertumbuhan dan perkembangan larva nyamuk telah menjadi subjek penelitian hingga saat ini (Clement 2000). Hasil penelitian dari beberapa tempat menunjukkan bahwa larva Anopheles spp. dapat tumbuh dan berkembang pada suhu yang bervariasi. Markovich menemukan An. claviger berkembang di kolam teduh dengan suhu berkisar antara 8°C-16°C, spesies ini juga ditemukan di kolam padang rumput pada suhu 20°C-30°C (Russel et al. 1963). Suhu air habitat merupakan bagian penting bagi perkembangan larva (Rao 1981). Larva Anopheles spp. yang ditemukan di Desa Doro, Halmahera Selatan dapat hidup dan berkembang dengan rataan suhu 25°C-28°C. Nyamuk An. farauti ditemukan pada habitat dengan suhu 25°C-30°C, larva An. Vagus dan An. punctulatus pada suhu 25°C-28°C, An. kochi pada suhu 26°C-28°C, dan An. minimus pada suhu 25°C-26°C (Mulyadi 2010). Larva An. maculatus dan An. balabacensis yang terdapat di Desa Hargotrito, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, DIY ditemukan pada sungai dengan suhu 24,12°C-25,80°C, dan
pada mata air dengan suhu 24,10°C-26,20°C (Santoso 2002). Larva An. subpictus di Pulau Pari dan Pulau Tidung dapat hidup dan berkembang pada suhu 27°C (Ariati et al. 2007). Suwito (2010) melaporkan bahwa larva An. sundaicus ditemukan pada air bersuhu 26°C, An. barbirostris (27°C), An. indefinites dan An. subpictus (29°C). Larva Anopheles spp. yang ditemukan dari peneliti-peneliti tersebut menunjukkan suhu batas normal yaitu antara 24,10°C-29°C.
2.3.3 Salinitas Pengaruh salinitas terhadap kelarutan oksigen dalam air berbanding terbalik, semakin tinggi salinitas semakin rendah kadar oksigen terlarut. Air tawar mempunyai salinitas kurang dari 0,5‰ (Kordi & Tancung 2007 dalam Mulyadi 2010). Larva Anopheles spp. dapat hidup dan berkembang dengan salinitas yang bervariasi pada berbagai habitat. Mulyadi (2010) melaporkan penemuan larva An. punctulatus, An. vagus, An. kochi dan An. minimus di Desa Doro, Halmahera Selatan, Maluku Utara pada air tawar dengan salinitas 0‰, sedangkan An. farauti ditemukan pada air tawar maupun air payau dengan salinitas berkisar antara 0- 7‰. Ariati et al. (2007) melaporkan bahwa larva An. subpictus di enam pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu dapat hidup dan berkembang pada kolam rendaman rumput laut dengan salinitas 9 ‰ dan pada sumur dangkal dengan salinitas 0-5‰. Sementara melaporkan bahwa larva An. sundaicus di daerah pasang surut Asahan Sumatera Utara, ditemukan pada alur sungai dengan salinitas rata-rata 1,6 ‰- 2,55‰ per bulan (Sembiring 2005). Adapun larva An. sundaicus di Muara Sungai Senggigi dapat hidup dan berkembang dengan salinitas 0,33‰, pada Laguna Kerandangan dengan salinitas 0,80‰, dan Muara Sungai Mangsit dengan salinitas 0,57‰ (Sulistio 2010). Selanjutnya larva An. Sundaicus di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan ditemukan pada bak benur terbengkalai pada kisaran salinitas 0- 9 ‰ (Suwito 2010).
2.3.4 pH Air Nilai pH atau derajat keasaman air merupakan salah satu sifat kimia air yang penting karena nilai pH menunjukan keseimbangan asam dan basa air tersebut.
Air alami pada umunya mempunyai pH yang bersifat netral, tidak bersifat asam atau basa, pH netral antara 6-9. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa larva Anopheles spp. hidup dan berkembang pada kisaran pH normal. Bowolaksono (2001) menyatakan bahwa pH 5 sampai dengan pH 9 merupakan faktor pembatas perkembangan larva An. farauti yang berasal dari Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Pada pH 6 larva An. farauti mampu berkembang menjadi imago dalam kondisi laboratorium. Sementara itu, larva Anopheles di Desa Hargotirto dapat hidup pada pH air 6,78-7,12, dan di mata air pada pH 6,70-7,20 (Santoso 2002). Selanjutnya, Ariati et al. (2007) melaporkan bahwa di enam pulau, Kabupaten Kepulauan Seribu, larva An. subpictus dapat hidup didalam kolam perendaman rumput laut di Pulau Pari dan sumur dangkal di Pulau Tidung dengan pH 7. Beberapa jenis larva nyamuk Anopheles mampu hidup dalam konsentrasi alkali yang tinggi dan kondisi air yang asam. Larva An. culicifacies mampu hidup pada kisaran pH 5,4-9,8 dan larva nyamuk An. plumbeus pada pH 4,4 hingga 9,3 (Clement 1992).
2.3.5 Kekeruhan Air Kekeruhan biasanya disebabkan oleh zat padat tersuspensi, baik yang bersifat anorganik maupun organik. Zat anorganik biasanya berasal dari proses pelapukan batuan atau logam, sedangkan organik berasal dari proses pelapukan tanaman atau hewan. Pada dasarnya zat organik juga merupakan makanan bagi bakteri atau mikroorganisme
yang ada dalam air dan mendukung
perkembangbiakannya sehingga menambah kekeruhan air (Sutriati & Brahmana 2007). Larva An. sundaicus di daerah pasang surut Asahan Sumatera Utara lebih banyak ditemukan pada habitat air keruh dengan rerata 10 NTU, sedangkan pada kekeruhan 14 NTU tidak ada larva An. sundaicus yang tertangkap, tetapi pada kekeruhan 24-25 NTU dimana dasar kolam tidak terlihat dengan jelas, rerata An. sundaicus yang tertangkap 14,5 ekor/cidukan, begitu juga pada kekeruhan 4-5 NTU, An. sundaicus yang tertangkap berfluktuasi (Sembiring 2005). Larva An. indefinitus dan An. balabacensis di Desa Hargotirto ditemukan dengan kekeruhan 5,31 NTU pada sungai dan 5,11 NTU pada mata air (Santoso 2002).
Chadijah (2005) melaporkan di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah ditemukan larva An. barbirostris, An. nigerrimus, An. kochi, An. tesselatus pada habitat kolam dengan naungan dengan tingkat kekeruhan 4,1, 5,7 dan 8 NTU, sedangkan pada tingkat kekeruhan 15,6 NTU tidak ditemukan larva Anopheles spp., namun larva An. barbirostris, An. nigerrimus, An. kochi, An. tesselatus ditemukan pada habitat kolam tanpa naungan pada tingkat kekeruhan 6 NTU.
2.3.6 Kedalaman Air Kedalaman air mempengaruhi tingkat penetrasi cahaya matahari yang dibutuhkan oleh fitoplankton untuk proses fotosintesis. Pada perairan dangkal penetrasi cahaya lebih optimum sehingga tingkat produktivitas perairan dangkal lebih baik daripada perairan yang lebih dalam (Odum 1993). Larva Anopheles spp. sering ditemukan pada habitat perairan dangkal. Mulyadi (2010) melaporkan bahwa Larva Anopheles spp. di Desa Doro, Halmahera Selatan, Maluku Utara pada umumnya ditemukan pada tipe perairan dangkal dengan kisaran kedalaman air yang menyolok, An. punctulatus dan An. minimus ditemukan pada kedalaman habitat berkisar antara 2-20 cm, An. vagus pada kedalaman 5-80 cm, An. kochi pada kedalaman 5-10 cm, sedangkan kedalaman habitat An. farauti berkisar antara 5-120 cm. Sementara itu, Setyaningrum et al. (2007) melaporkan bahwa larva Anopheles spp. di Desa Way Muli, Lampung Selatan ditemukan pada kedalaman 15 cm pada habitat selokan air mengalir, 100 cm pada rawa-rawa, dan 25 cm pada selokan air tergenang. Selanjutnya, An. tesselatus di Kecamatan Padangcermin dan An. indefinitus di Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan ditemukan pada kedalaman air relatif dangkal yaitu 5 cm dan 10 cm (Suwito 2010). Keadaan yang tidak jauh berbeda di Desa Dulanpokpok, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, larva An. punctulatus ditemukan pada habitat potensial cekungan batu 5 cm, kolam kangkung 50 cm, bekas galian batu 30 cm, dan bekas tapak roda mobil 10 cm (Suprapto 2010). Larva Anopheles spp. di Brazil ditemukan dengan kedalaman habitat antara 30-70 cm. Sementara larva An. albimanus di Buena Vista ditemukan dengan kedalaman air 30-50 cm, larva An. vestitipennis dan larva An. darlingi dengan kedalaman 30-70 cm (Grieco et al. 2007). Adapun larva An. subpictus yang
terdapat di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, ditemukan pada kedalaman 50-100 cm pada kolam rendaman rumput laut, 30-70 cm pada sumur dangkal, sedangkan di Pulau Tidung ditemukan pada sumur dengan kedalaman 50-150 cm (Ariati et al. 2007). Hal yang tidak jauh berbeda larva An. sundaicus di Daerah Pasang Surut Asahan, Sumatera Selatan ditemukan pada kedalaman habitat 70-75 cm (Sembiring 2005).
2.3.7 Dasar Habitat Larva Anopheles spp. di daerah pasang surut Asahan Sumatera Utara, ditemukan pada rawa-rawa yang dasarnya terdiri atas tanah keras dan liat sehingga terjadinya kekeruhan sangat kecil meskipun air
pasang (Sembiring
2005). Suwito (2010) melaporkan bahwa larva Anopheles spp. di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin ditemukan pada dasar habitat lumpur, begitu pula di Desa Way Muli, Lampung Selatan (Setyaningrum et al. 2007). An. farauti, An. punctulatus, An. vagus, dan An. kochi di Desa Doro Halmahera Selatan Maluku Utara, ditemukan pada perairan berdasar lumpur, meskipun keempat spesies nyamuk Anopheles tersebut ditemukan juga pada dasar pasir dan kerikil, sedangkan An. minimus hanya terdapat pada habitat dengan dasar pasir dan kerikil (Mulyadi 2010). An. punctulatus di Desa Dulanpokpok, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, ditemukan pada habitat berdasar lumpur (Suprapto 2010). Namun, di Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, An. maculatus lebih menyukai habitat dengan dasar batu dan tanah, sedangkan An. balabacensis lebih menyukai habitat dengan dasar batu dibandingkan dasar habitat pasir dan tanah (Santoso 2002). Nyamuk Anopheles spp. sering ditemukan pada habitat lumpur, kemungkinan disebabkan pada perairan dengan dasar lumpur banyak terdapat tumbuhan air, seperti ganggang, lumut, rumput, teratai, kangkung, lompong, dan pakis. Dasar habitat tidak berpengaruh langsung terhadap larva Anopheles, karena lumpur, tanah liat, pasir mengendap pada bagian dasar habitat, sedangkan larva Anopheles berada di atas permukaan air atau berlindung di balik tanaman air.
Partikel lumpur akan berpengaruh terhadap kejernihan air apabila terjadi pergerakan pada badan air.
2.3.8 Tanaman Air Larva Anopheles spp. memanfaatkan tanaman di atas permukaan air sebagai tempat meletakkan telur dan berlindung dari predator (Depkes 2007). Larva nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan ditemukan pada habitat perairan yang di sekitarnya terdapat tumbuhan berkayu, dan pada selokan air mengalir yang terdapat satu jenis tumbuhan yaitu bandotan (Ageratum conizoides) (Setyaningrum et al. 2002). Habitat larva Anopheles spp. yang ada di Desa Doro, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara terdapat tanaman air, yaitu ganggang dan tanaman bakau (Mulyadi 2010). Hal yang sama di Desa Senggigi Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat ditemukan larva nyamuk Anopheles berkumpul pada tempat yang tertutup tanaman air yang mengapung seperti ganggang, sampah yang terapung, dan pinggiran habitat yang berumput (Sulistio 2010). Suwito (2010) melaporkan bahwa larva Anopheles spp. di kecamatan Rajabasa ditemukan pada perairan yang ada maupun tidak ada gulma air, yaitu An. sundaicus, An. subpictus, An. vagus, An. kochi, An. annularis, An. aconitus dan An. barbirostris, sementara larva An. tesselatus hanya ditemukan pada perairan tidak terdapat gulma, sedangkan An. indefinitus dan An. minimus hanya ditemukan pada perairan yang terdapat gulma. Di Kecamatan Padangcermin hanya larva An. indefinitus dan An. tesselatus yang ditemukan pada perairan yang terdapat gulma, selebihnya An. sundaicus, An. subpictus, An. vagus, An. kochi, An. maculatus, An. aconitus, An. barbirostris pada perairan yang tidak terdapat gulma. Larva An. maculatus di Desa Hargotirto, Kulonprogo, DIY selain ditemukan pada perairan yang terdapat naungan, juga ditemukan juga pada perairan yang tidak terdapat naungan (Santoso 2002). Larva An. sundaicus di Daerah Pasang Surut Asahan Sumatera Utara ditemukan pada habitat kolam yang terdapat tumbuhan bentogajah dan batang kayu yang membusuk (Sembiring 2005).
2.3.9 Keberadaan Predator Predator merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan larva nyamuk di suatu habitat. Predator memiliki peranan yang penting dalam menyeimbangkan kepadatan larva nyamuk untuk mencegah terjadinya ledakan populasi. Larva nyamuk Anopheles spp. biasanya tidak banyak ditemukan di tempat-tempat yang terdapat binatang air terutama hewan predator. Sembiring (2005) melaporkan bahwa di Pantai Asahan Sumatera Utara terdapat ikan-ikan kecil pada habitat larva An. sundaicus yang diduga sebagai predator. Chadijah (2005) menyatakan bahwa predator nyamuk Anopheles spp. yang ada di Desa Tongoa, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, ditemukan pada tiga habitat yang berbeda-beda. Habitat kolam dengan naungan ditemukan ikan kepala timah (Aplocheilus panchax) dan capung (Libellula sp.), habitat kolam tanpa naungan ditemukan berudu/kecebong, sedangkan pada habitat genangan air tanpa naungan yang tidak permanen tidak ditemukan predator pada setiap pengambilan sampel.
2.4 Curah Hujan Faktor lingkungan fisik berupa iklim makro dan mikro (cuaca) berpengaruh terhadap perkembangbiakan, pertumbuhan, umur, dan distribusi vektor malaria. Curah hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan larva Anopheles spp. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan bersihnya tempat perkembangbiakan vektor karena larvanya hanyut dan mati. Curah hujan yang sedang dengan jangka waktu lama akan memperbesar kesempatan nyamuk berkembangbiak secara optimal (Ditjen PP&PL 2007). Hasil penelitian dari beberapa tempat menunjukan bahwa curah hujan kurang mempengaruhi perkembangbiakan larva Anopheles spp. Hasil penelitian Effendi (2002) di Desa Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan 44,9% rata-rata kepadatan nyamuk Anopheles yang tertangkap dipengaruhi oleh keadaan curah hujan, sedangkan sisanya sebesar 55,1% dipengaruhi oleh faktor lain. Dari hasil penelitian Chadijah (2005) di Desa Tongoa, Sulawesi Tengah,
indeks curah hujan (ICH) dari bulan April-Juli 2004 sekitar 48,55-112,35 mm. Pada habitat kolam dengan naungan ditemukan larva An. barbirostris, An. nigerrimus, An. kochi, dan An. tesselatus pada semua kisaran ICH, habitat kolam tanpa naungan ditemukan larva Anopheles yang sama pada ICH 80,8 ml, sedangkan habitat genangan air tanpa naungan yang bersifat tidak permanen ditemukan Anopheles yang sama pada ICH terendah yaitu 48,52 ml. Udin (2005) melaporkan bahwa di Desa Segara Kembang, Sumatera Selatan, pada curah hujan 208 mm ditemukan gigitan nyamuk paling tinggi adalah An. aconitus terjadi pada bulan Februari dan Maret 2004 dengan angka gigitan yang sama (0,61 ekor/orang/malam), kemudian pada bulan Juli curah
hujan mengalami
peningkatan dan tertinggi selama penelitian (209 mm), tetapi tidak diikuti kecenderungan meningkatnya angka gigitan An. conitus (0,11 ekor/orang/malam). Sementara di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah, populasi larva nyamuk Anopheles lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan padi dimana saat padi membutuhkan air, kepadatan nyamuk juga meningkat dan pada saat musim panen atau mengolah sawah, kepadatan nyamuk juga menurun (Jastal 2005). Selanjutnya Suprapto (2010) melaporkan bahwa hubungan indeks curah hujan dengan kepadatan An. punctulatus di Desa Dulanpokpok, Kabupaten Fakfak, Porovinsi Papua Barat, menunjukkan ada kecenderungan
meningkat pada saat ICH
menurun. Saat ICH tertingi pada bulan Juli (486,5 mm), pada saat itu rataan kepadatan An. punctulatus berada pada posisi terendah (0,59 ekor/orang/malam), sedangkan ICH terendah pada bulan Agustus (245,2 mm), rataan kepadatan An. punctulatus (3,17 ekor/orang/malam) dan merupakan kepadatan tertinggi selama empat bulan. Adapun curah hujan di daerah pantai pasang surut Asahan Sumatera Utara tidak mempengaruhi kepadatan larva Anopheles, pada saat curah hujan terendah di bulan Mei (14 mm) larva tertangkap rata-rata 2,5 larva/cidukan, sedangkan saat curah hujan tinggi (192 mm) di bulan Juli, tidak ada larva yang tertangkap. Bila dilihat bulan Maret dan Februari, dengan curah hujan masing- masing 85 mm dan 52 mm, larva tertangkap juga rendah yaitu masing-masing 4,5 larva/cidukan dan 2,75 larva/cidukan (Sembiring 2005).
3 BAHAN DAN METODE
3. 1
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten
Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Gambar 1). Secara geografis desa ini terletak di wilayah bagian utara Pulau Bangka. Secara administratif Desa Riau termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, dan terdiri atas empat dusun, yaitu Dusun Riau, Dusun Simpang Lumut, Dusun Sinar Gunung, dan Dusun Tirus. Luas wilayah Desa Riau 51.720 km² dengan batas wilayah Desa Riau sebagai berikut : Sebelah barat
: Desa Berbura
Sebelah timur
: Desa Gunung Muda
Sebelah utara
: Desa Riding panjang
Sebelah selatan
: Desa Silip.
Lokasi Penelitian
Kec.Riau Silip
Gambar 1 Lokasi penelitian di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung
Penduduk Desa Riau berjumlah 2.577 jiwa. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai buruh tambang timah inkonvensional, petani, pedagang, dan sebagian kecil pegawai negeri sipil. Letak Desa Riau sekitar 40 km dari ibukota kabupaten, dan termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Riau Silip. Berdasarkan data dari Puskesmas Riau Silip tahun 2010, Desa Riau merupakan daerah endemis malaria.
3. 2
Waktu Penelitian Penangkapan nyamuk dilakukan selama empat bulan, sejak Februari
hingga Mei 2011 pada malam hari selama 12 jam (18.00-06.00 WIB) dengan frekuensi setiap satu minggu sekali. Sehingga total penangkapan sebanyak 16 kali, dimulai pada minggu kedua bulan Februari sampai dengan minggu ketiga bulan Mei 2011. Desa Riau terdiri atas empat dusun, dan tiap dusun dipilih tiga rumah sebagai tempat dilakukannya penangkapan dengan frekuensi satu bulan sekali selama empat bulan (Februari-Mei 2011). Dari hasil penangkapan nyamuk kemudian dilakukan identifikasi keragaman nyamuk Anopheles spp, analisis kepadatan nyamuk Anopheles spp., analisis perilaku nyamuk Anopheles spp., pengukuran karakteristik habitat dan penandaan titik koordinat habitat larva Anopheles spp. menggunakan global positioning system (GPS) Garmin 60. Pengukuran GPS dilakukan selama empat bulan dengan frekuensi satu bulan sekali, dan dilakukan pada siang hari dari pukul 07.00-12.00 WIB.
3. 3
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif non eksperimental, yang
terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu : 1) Penangkapan nyamuk Anopheles spp., 2) Identifikasi nyamuk Anopheles spp., 3) Pengumpulan larva nyamuk Anopheles spp., 4) Pengukuran karakteristik dan pengamatan karakteristik
habitat
perkembangbiakan larva Anopheles spp., 5) Penandaan titik koordinat sebaran habitat larva Anopheles spp., dan 6) Pengumpulan data pendukung.
3.3.1 Penangkapan nyamuk Anopheles spp. Penangkapan nyamuk dewasa malam hari dilakukan dengan menggunakan metode menangkap nyamuk yang hinggap dengan umpan manusia (human landing collection) dan nyamuk istirahat (resting collection) di dalam dan di luar rumah (WHO 2003). Pemilihan tiga rumah di tiap dusun berdasarkan pada ada tidaknya habitat potensial Anopheles spp. dan adanya penghuni rumah yang positif Plasmodium berdasarkan hasil pemeriksaan ulas darah oleh petugas kesehatan. Penangkapan nyamuk istirahat dilakukan terhadap nyamuk-nyamuk yang hinggap di dinding dan di sekitar rumah baik di dalam dan di luar rumah. Jumlah kolektor (penangkap nyamuk) enam orang, pada setiap rumah rumah ditempatkan satu kolektor di dalam rumah dan satu kolektor di luar rumah. Waktu penangkapan dilakukan pada malam hari selama 12 jam dari pukul 18.00-06.00 WIB. Setiap jam penangkapan terdiri atas 40 menit digunakan untuk menangkap nyamuk yang hinggap di badan, 10 menit menangkap nyamuk yang istirahat di dalam rumah dan di luar rumah, dan 10 menit untuk istirahat kolektor. Kolektor sebagai umpan duduk di dalam (Gambar 2) atau di luar rumah (Gambar 3) di tempat penghuni rumah biasa duduk-duduk santai, celana digulung sampai lutut, bila ada nyamuk yang hinggap atau siap mengisap darah, ditangkap dengan menggunakan aspirator. Nyamuk yang tertangkap dimasukan dalam gelas kertas (paper cup) yang terpisah setiap jamnya
Gambar 2 Metode penangkapan nyamuk dengan umpan orang di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
A
B
Gambar 3 Penangkapan nyamuk istirahat di dalam (A) dan di luar rumah (B) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
3.3.2 Identifikasi Nyamuk Anopheles spp. Nyamuk dewasa yang tertangkap dengan umpan orang malam hari dan nyamuk istirahat, serta nyamuk yang berasal dari hasil pemeliharaan (rearing) larva yang ditemukan pada habitat, dimatikan dengan kloroform, kemudian diidentifikasi di bawah mikroskop stereo. Identifikasi berdasarkan panduan buku: Kunci Bergambar Nyamuk Anopheles di Sumatera-Kalimantan (Ditjen PP&PL 2000).
3.3.3 Pengumpulan Larva Dan Karakteristik Habitat Survei larva terdiri atas pengumpulan larva, pengukuran karakteristik dan penandaan titik koordinat habitat potensial larva Anopheles spp.
3.3.3.1 Pengumpulan Larva Larva dikumpulkan menggunakan cidukan plastik dengan volume 300 cc. Pencidukan larva dilakukan oleh dua orang dengan frekuensi lima kali per orang untuk setiap habitat. Pencidukan dilakukan di pinggir dan di tengah habitat perkembangbiakan secara merata bila habitat tidak luas. Larva Anopheles spp. yang tertangkap dipelihara, diberi makan serbuk hati, dan diidentifikasi setelah menjadi nyamuk dewasa.
3.3.3.2 Pengukuran Karakteristik Habitat Anopheles spp. Karakteristik habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diperoleh dengan melakukan pengukuran terhadap jenis habitat, suhu air, salinitas air, pH air, kekeruhan air, kedalaman habitat, dasar habitat, keberadaan tanaman air dan predator.
a. Suhu Air Pengukuran suhu air menggunakan termometer air raksa, dengan cara mencelupkan termometer kedalam sampel air selama lebih kurang 5 menit. Pembacaan hasil pengukuran dengan melihat batas kenaikan air raksa pada skala pengukuran yang tertera pada termometer.
b. Salinitas Air Pengukuran salinitas air menggunakan hand refractometer. Kisaran salinitas yang dapat terukur 0-25 g/100 gr sodium chloride. Teknik pengukuran dengan cara mengoleskan sampel air pada kaca bidik dan pembacaan hasil pengukuran dengan melihat level beda warna yang terbentuk pada skala ukur. Salinitas dinyatakan dalam satuan ‰.
c. pH Air pH air diukur dengan menggunakan pH meter digital kisaran pH 0-14. Alat ini dicelupkan pada sampel air kemudian akan terbaca hasilnya.
d. Kekeruhan Air Pengukuran kekeruhan air dilakukan di Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka dengan menggunakan alat ukur natelson turbidity unit (NTU). Dengan menggunakan cidukan, air dari masing-masing habitat diambil dan dimasukan ke dalam botol volume 500 ml, kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Air yang telah diambil diisi pada tabung turbidimeter, kemudian dimasukan pada alat turbidimeter dan dibaca hasilnya.
e. Kedalaman Air Kedalaman habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diukur menggunakan alat meteran, dengan satuan sentimeter (cm). Kedalaman habitat adalah jarak antara permukaan air dengan dasar habitat. Pengukuran dilakukan dengan memasukan meteran kayu sampai menyentuh dasar habitat, kemudian batas permukaan air pada meteran dicatat untuk melihat kedalaman habitat. Pengukuran dilakukan di bagian pinggir habitat dan bagian tengah habitat, tetapi pada habitat yang luas dan dalam hanya dilakukan di bagian pinggirnya saja.
f.
Dasar Habitat Dasar habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. diukur
dengan cara mengambil contoh dasar air dengan menggunakan cidukan atau melalui pengamatan visual bila genangan air jernih, kemudian jenis habitat diklasifikasi menjadi dasar habitat berupa lumpur, pasir, kerikil, dan lain-lain.
g. Tanaman Air Tumbuhan pada habitat larva Anopheles spp. dikategorikan atas ada tidaknya tanaman air. Pengamatan terhadap tumbuhan air dilakukan secara visual meliputi jenis alga, lumut, dan tanaman pada permukaan air seperti ganggang, rumput, teratai, yang dapat menjadi tempat bernaung larva Anopheles spp.
h. Keberadaan Predator Penangkapan predator larva pada habitat Anopheles spp. menggunakan cidukan (dipper), kemudian diidentifikasi jenisnya. Keberadaan predator larva pada setiap habitat dicatat menurut jenisnya berupa ikan, berudu, larva capung, udang, atau tidak ada predator.
3.3.3.3 Pemetaan Habitat Larva Anopheles spp. Penandaan titik koordinat habitat larva nyamuk Anopheles spp. menggunakan alat GPS (geografical positioning system) Garmin 60. Titik koordinat larva Anopheles spp. diambil berdasarkan keberadaan larva pada habitat perkembangbiakan. Proses pemasukan data GPS dengan cara diketik pada
Microsoft Excel, kemudian dimasukan ke dalam program ArcView 3.3 (PPLH-IPB 2008).
3.3.4
Pengumpulan Data Sekunder
3.3.4.1 Pengumpulan Data Cuaca Data cuaca diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pangkalpinang Bangka dan merupakan satu-satunya yang ada di Provinsi Bangka Belitung. Stasiun pengamatan ini terletak di Lapangan Udara Depati Amir Pangkalpinang, dan berjarak sekitar 70 Km dari tempat penelitian. Data cuaca yang diambil adalah data curah hujan sejak Februari-Mei 2011.
3.3.4.2 Pengumpulan Data Kasus Penyakit Malaria Data kasus penyakit malaria diperoleh dari Puskesmas yang ada di wilayah Kecamatan Riau Silip, yaitu Puskesmas Riau Silip. Data kasus malaria diambil sejak Februari sampai Mei 2011.
3.4
Analisis Data
3.4.1 Kepadatan dan Perilaku Nyamuk Anopheles spp . Kepadatan nyamuk menggigit orang dinyatakan dalam satuan jumlah nyamuk yang tertangkap per orang per jam yang dikenal sebagai man hour density (MHD) (Depkes 2003). Nilai MHD dirumuskan sebagai berikut :
MHD =
∑ Anopheles spesies tertentu yang tertangkap melalui umpan orang dalam sekali penangkapan 40/60 x 12 jam x ∑ umpan orang
Adapun kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang hinggap di badan per orang per malam dihitung berdasarkan nilai man biting rate (MBR). Nilai MBR dihitung berdasarkan jumlah nyamuk yang hinggap di badan per malam dibagi jumlah penangkap dikali waktu penangkapan.
MBR
=
∑ Anopheles spesies tertentu yang tertangkap melalui umpan orang ∑ malam X ∑ umpan orang
Keterangan : MHD = Man hour density ( Jumlah Anopheles hinggap di badan per orang per jam) MBR = Man biting rate ( Jumlah Anopheles hinggap di badan per orang per malam )
Fluktuasi MHD ditampilkan dalam bentuk grafik selama 12 jam (18.00- 06.00), di dalam dan di luar rumah. Rata-rata MBR setiap bulan di tampilkan dalam bentuk tabel.
3.4.2 Kelimpahan Nisbi. Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu nyamuk Anopheles spesies tertentu terhadap total jumlah spesies nyamuk yang diperoleh, dan dinyatakan dalam persen.
∑ individu nyamuk Anopheles spesies tertentu Kelimpahan Nisbi =
X 100% Total jumlah spesies nyamuk yang diperoleh
3.4.3 Frekuensi Nyamuk Tertangkap Frekuensi nyamuk tertangkap dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah penangkapan diperolehnya Anopheles spesies tertentu terhadap jumlah total penangkapan
∑ penangkapan diperolehnya Anopheles spesies tertentu Frekuensi = ∑ total penangkapan
3.4.4 Dominansi Spesies (%) Angka dominansi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi nyamuk tertangkap spesies tersebut dalam satu waktu penangkapan (Sigit 1968).
Dominansi Spesies = Kelimpahan nisbi x Frekuensi tertangkap
3.4.5 Karakteristik Habitat larva Anopheles spp. Data karakteristik habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan grafik. Pengukuran kepadatan larva Anopheles spp. dalam setiap jenis habitat dihitung dengan cara menjumlahkan larva Anopheles spp. dibagi banyaknya cidukan.
∑ larva Anopheles yang didapat
Kepadatan larva = (dalam setiap jenis habitat)
∑ cidukan
3.4.6 Titik Koordinat Habitat Larva Anopheles spp. Data titik koordinat habitat larva Anopheles spp. yang di ambil dari lapangan dimasukan ke dalam program excel, kemudian digabungkan atau ditumpangkan (overlay) dengan peta batasan-batasan administrasi Kecamatan Riau Silip. Pemetaan habitat larva Anopheles spp. diolah menggunakan perangkat lunak (soft ware) Arc View 3.3.
3.4.7 Hubungan MBR Anopheles spp. Dengan Kasus Malaria Fluktuasi data kasus malaria ditampilkan selama empat bulan dalam bentuk grafik, kemudian data tersebut dihubungkan terhadap nilai MBR setiap bulan, kemudian di uji dengan menggunakan uji korelasi.
3.4.8 Hubungan MBR Anopheles spp. Dengan ICH Data Indeks Curah Hujan (ICH) selama empat bulan (Februari-Mei 2011) dalam bentuk grafik, kemudian dihubungkan terhadap kepadatan nyamuk (MBR), dianalisis dengan pearson correlation menggunakan program computer SPSS versi 13.0. Indeks curah hujan ( ICH) dihitung berdasarkan rumus matematik :
∑ curah hujan (mm) per bulan X ∑ hari hujan per bulan ICH = ∑ hari (dalam satu bulan) 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Keragaman Nyamuk Anopheles spp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis nyamuk Anopheles di Desa
Riau Kecamatan Riau Silip terdiri atas empat spesies, yaitu An. letifer (Gambar 4), An. barbirostris (Gambar 5), An. nigerrimus (Gambar 6), dan An. indefinitus (Gambar 7). Di antara empat spesies tersebut terdapat An. letifer yang telah dikonfirmasi sebagai vektor di pulau Bangka (Boesri 2007). Nyamuk An. letifer mempunyai ciri khas pada palpi tanpa gelang-gelang pucat (a), bagian sternit abdomen segmen ke tujuh tanpa sikat yang terdiri atas sisik gelap (b), dan tarsi kaki belakang dengan gelang pucat terutama pada pangkalnya (c) (Gambar 4). An. barbirostris mempunyai ciri khas palpi seluruhnya gelap (a), ruas abdomen ke tujuh terdapat sisik/sikat gelap (b), pada costa dan urat I dari sayap terdapat tiga atau kurang noda-noda pucat (c) (Gambar 5). An. nigerrimus mempunyai ciri khas gelang-gelang tarsi kaki belakang sedang, gelang pucat pada ruas 3-4 sama panjangnya dengan atau kurang dari ruas 5 (a), pada sayap terdapat tanda gelap preapical urat satu tanpa sisik-sisik pucat atau kalau ada sedikit (b) (Gambar 6). An. indefinitus mempunyai ciri khas pada probosis gelap seluruhnya (a), gelang pucat di ujung palpi panjangnya dua kali dari panjang gelang gelap dibawahnya (b), gelang pucat subapical palpus panjangnya ½ atau lebih dari panjang gelang subapical (b1) (Gambar 7). Nyamuk An. letifer merupakan jenis nyamuk Anopheles yang terbanyak jumlahnya dalam penelitian ini, dan ditemukan secara teratur pada setiap penangkapan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah, sedangkan An. nigerrimus dan An. indefinitus hanya ditemukan satu kali pada penangkapan Maret dan April 2011. Nyamuk An. letifer lebih banyak menyebar di luar rumah, hal ini dapat dilihat dari kelimpahan nisbi dan frekuensi tertangkap dengan umpan orang dan istirahat.
2 b
a
c b
a c
Gambar 4 An. letifer (a) palpi, (b) ujung abdomen, (c) tarsi belakang a
b c
a
b
c
Gambar 5 An. barbirostris (a) palpi, (b) ujung abdomen, (c) sayap
3 b
a
a b
Gambar 6 An. nigerrimus (a) tarsi, (b) sayap
b
a
a b
b1
Gambar 7 An. indefinitus (a) probosis, (b) palpi
Kelimpahan nisbi nyamuk An. letifer di luar rumah (42,65%) dengan frekuensi (0,88). An. barbirostris merupakan jumlah nyamuk terbanyak kedua setelah An. letifer, dengan kelimpahan nisbi dan frekuensi tertangkap di dalam rumah dan di luar rumah tidak jauh berbeda. Kelimpahan nisbi di dalam rumah (8,82%) dengan frekuensi (0,31), dan yang di luar rumah (7,35%) dengan frekuensi (0,56). Nyamuk Anopheles yang sedikit jumlahnya tertangkap adalah
4
An. indefinitus dan An. nigerrimus, masing-masing ditemukan satu ekor dengan kelimpahan nisbi (1,47%) di dalam dan di luar rumah (Tabel 1). Berdasarkan nilai dominansi ternyata yang tertinggi adalah An. letifer di luar rumah (37,32%), kemudian An. barbirostris di luar rumah (4,14%), sedangkan An. nigerrimus dan An. indefinitus hanya di temukan satu kali yaitu di dalam rumah dan di luar rumah dengan nilai dominansi masing-masing (0,09%). Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan beberapa pengamatan yang telah dilakukan di pulau Bangka dan pulau yang terdekat, ditemukan keragaman spesies Anopheles yang sama, hal ini dapat disebabkan faktor lingkungan dan habitat yang tidak jauh berbeda. Hasil pengamatan beberapa tempat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ditemukan nyamuk An. letifer di Desa Air Duren Kecamatan Pemali, Kecamatan Gunung Muda, Kecamatan Bakam, Kecamatan Jebus, dan Kecamatan Mentok. Nyamuk An. barbirostis ditemukan di Kecamatan Gunung Muda dan Kecamatan Bakam. Selanjutnya An. nigerrimus ditemukan di Kecamatan Jebus dan Kotamadya Pangkalpinang, sedangkan An. indefinitus baru ditemukan di Kecamatan Pemali. Pulau yang berdekatan dengan Pulau Bangka adalah Pulau Lepar dan Pulau Pongok. Pengamatan nyamuk di Pulau Pongok belum pernah dilakukan, sedangkan hasil survei di Pulau Lepar ditemukan An. letifer dan An. nigerrimus. Di beberapa kecamatan yang ada di Pulau Bangka belum pernah dilakukan penelitian entomologi, termasuk Desa Riau Kecamatan Riau Silip (Dinkes Kab. Bangka 2010).
Tabel 1
Keragaman jenis, kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominansi spesies Anopheles yang tertangkap dengan umpan orang dan istirahat di Desa Riau, Februari-Mei 2011. Di dalam Di luar
Spesies Anopheles
KN (%) Frek Dom (%) KN (%) Frek Dom (%)
An. letifer
38,24
0,69
26,29
42,65
0,88
37,32
An. barbirostris
8,82
0,31
2,76
7,35
0,56
4,14
An. nigerrimus
1,47
0,06
0,09
0,00
0,00
0,00
An. indefinitus
0,00
0,00
0,00
1,47
0,06
0,09
Keterangan : KN = Kelimpahan Nisbi, Frek= Frekwensi, Dom = Dominansi
5 Hadi et al. (2008) melaporkan bahwa di Kampung Matras Kecamatan
Sungailiat ditemukan An. letifer dan An. nigerrimus, begitu pula di Kelurahan Bacang Kotamadya Pangkalpinang, ditemukan satu spesies yang sama yaitu An. nigerrimus, dan satu spesies yang berbeda yaitu An. barbirostris (Qomariah 2004). Nyamuk Anopheles spp. yang terdapat di Pulau Sumatera memiliki keragaman yang tidak jauh berbeda dengan nyamuk Anopheles yang ada di Desa Riau. Sitorus (2005) melaporkan di Desa Tegal Rejo, Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan ditemukan jumlah An. letifer (3,99%) lebih dominan daripada nyamuk An. barbirostris (0,64%), dan An. nigerrimus (1,80%). Begitu pula di Desa Segara Kembang Kecamatan Lengkiti, Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan ditemukan An. barbirostris dan An. nigerrimus (U’din 2005). Selanjutnya dilaporkan bahwa di Desa Pondok Meja, Muaro Duo, Jambi, selain ditemukan An. barbirostris dan An. nigerrimus ditemukan juga An. indefinitus. Nyamuk Anopheles yang paling dominan ditemukan adalah An. barbirostris dengan angka dominansi tertingi di luar rumah (10,18%), sedangkan yang terendah adalah An. tesselatus dengan nilai dominansi di luar rumah (0,01%) (Maloha 2005). Rahmawati (2010) melaporkan bahwa nyamuk Anopheles di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur ditemukan An. barbirostris lebih banyak dengan metode umpan orang dalam rumah (30,61%) daripada di luar rumah (27,52%), jumlah An. nigerrimus lebih banyak ditemukan di luar rumah (23,49%) daripada di dalam rumah (18,37%),
An.
indefinitus tidak ada yang ditemukan dengan umpan orang. Sementara An. barbirostris yang ada di Kecamatan Padangcermin Kabupaten Pesawaran merupakan spesies yang sama ditemukan Maloha di Muaro Duo Jambi, dan ditemukan lebih banyak di luar rumah (70,42%) daripada di dalam rumah (29,58%), hal yang sama ditemukan di Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan, An. barbirostris lebih banyak di luar rumah (61,73%) daripada di dalam rumah (3,94%). Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan Safitri (2009) di Kecamatan Padang Cermin Lampung Selatan terdapat jenis nyamuk yang sama
6
ditemukan ditempat yang sama, yaitu An. barbirostris dan An. indefinitus (Suwito 2010). Nyamuk Anopheles yang paling sedikit ditemukan ada dua jenis yaitu An. nigerrimus dan An. indefinitus. Boesri (2005) melaporkan bahwa nyamuk An. nigerrimus telah dikonfirmasi sebagai vektor di Sumatera Selatan, dan tidak mempunyai pilihan tertentu tentang sumber darah yang diperlukan, artinya dapat mengisap darah manusia atau hewan. Nyamuk An. indefinitus selama penelitian ditemukan hanya satu ekor dengan umpan orang di luar rumah, kemungkinan besar nyamuk ini memang jarang mengisap darah manusia. Rahmawati (2010) melaporkan di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur ditemukan An. indefinitus lebih banyak ditemukan dengan perangkap hewan (62,5%) daripada dengan umpan orang dalam rumah (9,09%) dan luar rumah (22,73%). Maloha (2005) melaporkan bahwa An. indefinitus di Desa Pondok Meja, Muaro Duo, Jambi lebih banyak ditemukan pada perangkap cahaya dengan kelimpahan nisbi 1,47% dan umpan hewan dengan kelimpahan nisbi 2,50%, sedangkan dengan umpan orang tidak ada nyamuk yang tertangkap. Garjito et al. (2002) melaporkan hal sama bahwa An. indefinitus lebih banyak ditemukan pada umpan hewan dengan kelimpahan nisbi 22,70% dibandingkan umpan orang dalam rumah (19,77%) dan umpan orang di luar rumah (21,05%). Keragaman dari Anopheles yang diuraikan di atas merupakan ciri dan kemampuan dari beberapa spesies Anopheles dapat berkembangbiak pada tempat yang berbeda tergantung pada karakteristik habitatnya. Hal ini menggambarkan adaptasi yang spesifik dari berbagai spesies Anopheles untuk berkembangbiak. Nyamuk Anopheles spp. yang paling sering tertangkap baik dengan umpan orang maupun istirahat di Desa Riau adalah An. letifer dibandingkan dengan spesies lainnya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kubangan di tempat teduh, agak gelap, dan air tawar merupakan habitat yang disenangi An. letifer. Nyamuk An. letifer di Pulau Bangka ditemukan di beberapa tempat, dan telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Bangka (Boesri 2007).
7
4.2
Perilaku Mengisap Darah Nyamuk Anopheles spp. Nyamuk An. letifer ditemukan dengan kepadatan tertinggi dibandingkan
dengan nyamuk Anopheles lainnya. Rata-rata kepadatan nyamuk di dalam rumah dan di luar rumah tidak berbeda secara signifikan, di dalam rumah 0,12 nyamuk/orang/jam, sedangkan di luar rumah 0,13 nyamuk/orang/jam (Tabel 3). An. letifer ditemukan paling padat pada bulan April di luar rumah (0,31 nyamuk/orang/jam). Kepadatan An. letifer pada bulan ini disebabkan indeks curah hujan yang tinggi pada minggu kedua (112,43 mm) sehingga banyak habitat yang tidak menyusut dan kering. Dari Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku nyamuk An. letifer mencari darah cenderung bersifat eksofagik. Nyamuk Anopheles yang ditemukan selain An. letifer adalah An. barbirostris. Rata-rata kepadatan nyamuk An. barbirostris di dalam dan di luar rumah menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, kepadatan di dalam rumah 0,03 nyamuk/orang/jam, sedangkan di luar rumah 0,02 nyamuk/orang/jam. Hal ini belum dapat menyimpulkan perilaku mengisap darah An. barbirostris. Namun demikian, kepadatan An. barbirostris pada bulan
Februari dan Maret
menunjukkan lebih tinggi di dalam rumah (0,06 nyamuk/orang/jam) daripada di luar rumah (0,04 nyamuk/orang/jam), maka dapat disimpulkan bahwa perilaku An. barbirostris mencari darah cenderung bersifat endofagik. Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Desa Riau, terdapat kesamaan dan perbedaan perilaku mengisap darah di beberapa tempat. Juliawaty (2008) melaporkan bahwa An. letifer di Palangka Raya, Kalimantan Tengah paling banyak ditemukan di dalam maupun di luar rumah pada bulan Februari, dan perilaku mengisap darah cenderung bersifat eksofagik dan antropofilik.
Tabel 2 Rataan kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang mengisap darah per orang per jam (Man Hour density) di Desa Riau, Februari-Mei 2011. Spesies
Februari Maret April Mei Rata-rata
Anopheles
UD UL UD UL UD UL UD UL UD UL
An. letifer
0.04
0.02
0.19
0.13 0.23 0.31 0.04
An.barbirostris
0.06
0.04
0.06
0.04
0
0
An.nigerrimus
0
0
0
0
0
An.indefinitus
0
0
0
0.02
0
0.06
0.12
0.13
0
0
0.03
0.02
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.005
Keterangan : UD= Umpan orang dalam rumah, UL= Umpan orang luar rumah
8
Noor (2002) melaporkan bahwa An. barbirostris di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah cenderung bersifat endofagik karena lebih banyak mengisap darah orang di dalam rumah (0,036 nyamuk/orang/jam) daripada di luar rumah (0,015 nyamuk/orang/jam). Hal yang berbeda ditemukan di Kecamatan Lengkong, Sukabumi, bahwa An. barbirostris cenderung bersifat eksofagik karena lebih banyak ditemukan mengisap darah di luar rumah (21,67 nyamuk/orang/jam) daripada di dalam rumah (6,50 nyamuk/orang/jam) (Munif et al. 2007). Hal yang sama ditemukan di Desa Alat Hantakan Kalimantan Selatan, bahwa An. barbirostris cenderung bersifat eksofagik karena lebih banyak mengisap darah di luar rumah (0,34 nyamuk/orang/jam) daripada di dalam rumah (0,07 nyamuk/orang/jam) (Salam 2005). Perilaku An. nigerrimus mengisap darah tidak dapat diketahui karena selama penangkapan tidak ada yang ditemukan, baik yang di dalam rumah maupun di luar rumah. Namun demikian, informasi mengenai perilaku mengisap darah An. nigerrimus dari hasil penelitian yang telah dilakukan di tempat lain perlu diketahui. Jastal (2005) menyatakan bahwa An. nigerrimus di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah cenderung bersifat eksofagik karena lebih banyak ditemukan di luar rumah (8,6 nyamuk/orang/jam) daripada di dalam rumah (5,1 nyamuk/orang/jam), dan An. nigerrimus cenderung menunjukkan perilaku zoofilik daripada antropofilik, karena dari hasil penangkapan nyamuk dewasa lebih banyak ditemukan mengisap darah hewan (112 nyamuk/bulan) daripada darah manusia (6,85 nyamuk/bulan). Nyamuk An. indefinitus di Desa Riau ditemukan hanya satu kali pada bulan Maret dan menggigit di luar rumah (0,02 nyamuk/orang/jam). Hasil penelitian ini belum dapat disimpulkan bahwa An. indefinitus lebih padat di luar rumah dan bersifat eksofagik, karena nyamuk ini hanya ditemukan satu ekor. Kemungkinan nyamuk An. indefinitus jarang menggigit orang, seperti yang ditemukan di Desa Lufileo Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, bahwa An. indefinitus merupakan spesies yang
jarang ditemukan menggigit
orang
(Rahmawati 2010). Hal yang sama ditemukan di di Desa Pondok Meja, Muaro Duo, Jambi bahwa An. indefinitus tidak ditemukan dengan menggunakan umpan
9
orang, dan
hanya ditemukan dengan perangkap cahaya dan umpan hewan
(Maloha 2005). Namun, kemungkinan juga An. indefinitus cenderung bersifat eksofagik karena di Desa Cikarawang Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ditemukan An. indefinitus cenderung bersifat eksofagik (Hasan 2006).
4.3
Perilaku Istirahat Nyamuk Anopheles spp. Gambaran nyamuk Anopheles spp. yang istirahat per orang per jam di
Desa Riau, Kecamatan Riau Silip disajikan pada Tabel 3. An. letifer yang tertangkap istirahat di dalam dan di luar rumah mulai ditemukan pada bulan Maret dengan kepadatan 0,16 dan 0,08 nyamuk/orang/jam, dengan kepadatan tertinggi terjadi pada bulan April di luar rumah (0,24 nyamuk/orang/jam). Rata-rata kepadatan An. letifer lebih padat di luar rumah (0,08 nyamuk/orang/jam) daripada di dalam rumah (0,04 nyamuk/orang/jam). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan nyamuk An. Letifer mencari tempat istirahat cenderung bersifat eksofilik. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang ditemukan di sekitar Pusat Reintroduksi orangutan Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, karena perilaku istirahat An. letifer cenderung bersifat endofilik (Juliawaty 2005). Jenis nyamuk lain yang ditemukan pada saat istirahat adalah An. nigerrimus walaupun dalam jumlah yang sedikit, bahkan pada bulan Februari dan bulan Maret tidak ditemukan. Pada bulan April baru ditemukan di dalam rumah satu kali dengan kepadatan 0,08 nyamuk/orang/jam, pada bulan Mei tidak ditemukan lagi, maka belum dapat disimpulkan perilaku istirahat nyamuk ini.
Tabel 3 Rataan kepadatan nyamuk Anopheles spp. istirahat di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Spesies
Februari Maret April Mei Rata-rata
Anopheles
Dd Dl Dd Dl Dd Dl Dd Dl Dd Dl
An. letifer
0
0
0,16
0,08
0
0,24
0
0
0.04
0.08
An. barbirostris
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
An. nigerrimus
0
0
0
0
0,08
0
0
0
0.02
0
An. indefinitus
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Keterangan : Dd=Dinding Dalam, Dl=Dinding Luar
10
Walaupun demikian, dari hasil penelitian ditempat lain dapat diketahui bahwa An. nigerrimus mencari tempat istirahat cenderung eksofilik, seperti yang ditemukan di Desa Pondok Meja, Jambi Luar Kota, Muaro Jambi, Jambi, dapat diketahui bahwa nyamuk ini cenderung bersifat eksofilik (Maloha 2005). An. barbirostris dan An. indefinitus tidak diketahui perilaku istirahatnya karena dari penangkapan nyamuk istirahat tidak ditemukan selama empat bulan di dalam dan di luar rumah. Namun, dari hasil penelitian Rianti (2002) di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dapat diketahui bahwa perilaku An. barbirostris mencari tempat istirahat cenderung bersifat eksofilik. An. barbirostris, An. nigerrimus, dan An. indefinitus selama penangkapan nyamuk istirahat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, bahkan ada yang tidak ditemukan, maka untuk dapat menyimpulkan nyamuk di Desa Riau bersifat endofagik atau eksofagik, endofilik atau eksofilik perlu dilakukan penelitian yang lebih lama.
4.4
Hubungan MBR Anopheles spp. Dengan Kasus Malaria Data angka kesakitan malaria dari Puskesmas Riau Silip, Kabupaten
Bangka dari Bulan Februari sampai Mei 2011 di ambil berdasarkan MoMI (monthly malaria incidence) dan MoPI (monthly parasite incidence). Pengertian MoMI adalah angka kesakitan malaria berdasarkan gejala klinis per 1000 penduduk dalam satu bulan dan di satu lokasi yang sama yang dinyatakan dalam ‰ (permil). MoPI adalah berdasarkan angka yang diperoleh dari sediaan ulas darah yang positif mengandung Plasmodium dalam satu bulan di satu wilayah dibandingkan terhadap jumlah penduduk berisiko pada bulan yang sama, dan dinyatakan dalam ‰ (permil) (Ditjen PP&PL 2009). Kasus penyakit malaria di Desa Riau Kecamatan Riau Silip berdasarkan MoMI dari bulan Februari hingga April 2011 berturut-turut adalah 4,26‰, 6,17‰, 6,75‰, dan 6,05‰. Berdasarkan MoPI tidak ada kasus penyakit malaria yang ditemukan hingga bulan April, kemudian pada bulan Mei baru ditemukan dua kasus (Tabel 4).
11
Tabel 4
Data kasus penyakit malaria di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Bulan
MK
MoMI (‰)
Februari
12
4,26
Positif Jml 5-9 0-11 1-4 10-14 > 15 bln thn Thn Thn Thn L P L P L P L P L P L P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Maret
11
6,17
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
April
19
6,75
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Mei
14
6,05
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
2
0 14,28
MoPI (‰) 0
Keterangan: MK= Malaria klinis, MOMI =Data kasus malaria dengan gejala klinis perbulan (‰) MOPI =Data kasus malaria dengan pemeriksaan mikroskopis perbulan (‰).
Angka kesakitan malaria klinis berdasarkan MoMI
mengalami
peningkatan dari bulan Februari (4,26‰) menjadi (6,17‰) kemudian meningkat (6,75‰) di bulan April, dan kembali turun pada Bulan Mei (6,05‰). Kasus penyakit positif malaria dengan pemeriksaan mikroskop (MoPI) ditemukan bulan Mei pada anak-anak usia 6,3 tahun dan remaja usia 14,7 tahun disaat kepadatan An. letifer menurun (0,05 nyamuk/orang/malam). Malaria terjadi sebagai interaksi antara penderita, parasit Plasmodium, lingkungan dan adanya vektor (nyamuk Anopheles spp.). Hasil pemeriksaan mikroskopis selama tiga bulan penelitian (Februari-Mei 2011) terhadap penderita demam tidak ditemukan Plasmodium positif. Penderita malaria dengan positif Plasmodium baru ditemukan dua orang pada bulan Mei, yaitu Plasmodium falcifarum dan Plasmodium tertiana. Jenis nyamuk yang diduga sebagai vektor malaria di Desa Riau adalah An. letifer bila dilihat dari kepadatannya yang diukur dengan angka MBR (Tabel 5). Hubungan antara kasus malaria selama empat bulan (MoPI) dengan kepadatan MBR An. letifer selama empat bulan di sajikan pada Gambar 8. Hubungan kepadatan An. letifer dengan angka kesakitan malaria menunjukan grafik yang berbanding terbalik. Pada saat kepadatan An. letifer meningkat pada bulan Februari-April, maka kasus penyakit berdasarkan MoPI tidak ada yang ditemukan. Tetapi ketika kepadatan nyamuk menurun (0,02 nyamuk/orang/jam) pada bulan Mei, maka kasus penyakit malaria dengan pemeriksaan laboratorium baru ditemukan (14,28‰).
12
Tabel 5 Rataan kepadatan nyamuk Anopheles spp. mengisap darah orang per malam (MBR) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
An. nigerrimus An. indefinitus UOD UOL UOD UOL
Rataan MBR
UOD
UOL
UOD
UOL
Februari
0,02
0,01
0,03
0,02
0
0
0
0
0,02
Maret
0,09
0,06
0,02
0
0
0
0
0,01
0,05
April
0,11
0,16
0
0
0
0
0
0
0,07
Mei
0,02
0,03
0
0
0
0
0
0
0,01
0
0,01
0,15
16 14
0,1
12
0,08
10
0,06
8
0,04
6 4
0,02
2
0 An.letifer MoPI
Gambar 8
AngkaMoPI
KepadatannyamukAn.letifer (nyamuk/orang/malam)
Rataan 0,06 0,07 0,01 0,005 0 0 MBR Keterangan : UOD=Umpan Orang dalam, UOL=Umpan Orang Luar Rataan MBR (/orang/malam) 0,12
Februari
Maret
April
Mei
0,02
0,09
0,11
0,02
0
0
0
14,28
0
Hubungan angka kesakitan malaria bulanan (MoPI) dengan kepadatan nyamuk An. letifer (MBR) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011
Hasil perhitungan korelasi pearson antara kepadatan (MBR) An. letifer dengan kasus malaria berdasarkan MoPI pada bulan Februari-Mei 2011 diperoleh nilai r = -0,57, hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang tidak cukup erat antara kepadatan nyamuk An. letifer dengan kasus malaria. Oleh karenanya kasus malaria di Desa Riau belum tentu disebabkan oleh An. letifer walaupun telah dikonfirmasi sebagai vektor penularan malaria di Bangka (Boesri 2007).
13
Jarak antara kepadatan tertinggi An. letifer mengisap darah pada bulan April dengan munculnya kasus malaria pada bulan Mei menunjukkan masa inkubasi intrinsik dari penyakit malaria. Masa inkubasi intrinsik adalah mulai masuknya sporozoit kedalam tubuh manusia hingga timbul gejala demam, yaitu selama 8-37 hari (Muklis 2011).
4.5
Hubungan MBR Nyamuk Anopheles spp. Dengan ICH Curah hujan di Desa Riau Kecamatan Riau Silip bulan (Februari-Mei)
berkisar antara 43,7-157,4 mm/bulan, dan pada bulan April curah hujan tertinggi mencapai 157,4 mm/bulan dan mengalami penurunan pada bulan Mei menjadi 154,2 mm/bulan hingga 39,4 mm/bulan. Jumlah hari hujan pada bulan Februari, Maret, April dan Mei masing-masing adalah 15 hari hujan, 23 hari hujan, 20 hari hujan dan 19 hari hujan. Jumlah indeks curah hujan dari bulan Februari-Mei 2011 mengalami fluktuasi, pada bulan Februari (166 mm/bulan), kemudian naik (169,5 mm/bulan) selanjutnya naik lagi (249,3 mm/bulan), dan pada bulan Mei turun (210,8 mm/bulan) (BMKG Pangkalpinang, 2011). Selama penelitian berlangsung (Februari-Mei 2011) keadaan indeks curah hujan dari awal sampai akhir penelitian sangat fluktuatif . Indeks curah hujan tertinggi terjadi pada minggu ke sepuluh penangkapan (112,43 mm/bulan) dan terendah pada minggu ke limabelas (16,89 mm/bulan) (Lampiran 2). Indeks curah
hujan sangat
mempengaruhi keberadaan
habitat
perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles. Indeks curah hujan mempengaruhi kepadatan nyamuk An. Letifer dan An. Barbirostris yang diduga dapat menularkan penyakit malaria di Desa Riau. Selama penelitian berlangsung (Februari-Mei 2011) keadaan indeks curah hujan sangat fluktuatif, demikian juga kepadatan nyamuk Anopheles spp. (Gambar 9). Indeks curah hujan pada bulan Februari menurun (166 mm/bulan) maka kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan mengisap darah orang juga menurun (0,02 nyamuk/orang/jam). Demikian pula pada bulan Maret, indeks curah hujan (169,53 mm/bulan) tidak jauh berbeda dengan bulan Februari, maka kepadatan nyamuk Anopheles spp. ikut naik (0,05 nyamuk/orang/jam).
0,1 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0
300 250 200 150 100 50
Februari Maret April Mei
Indekcurahhujan(mm)
MBR(/orang/malam)
14
0
ICH
166,02
169,53
249,34
210,78
MBR
0,02
0,05
0,07
0,01
Gambar 9 Hubungan indeks curah hujan (mm/bulan) dengan kepadatan nyamuk Anopheles spp. (MBR) di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011.
Kepadatan nyamuk Anopheles spp. ditemukan paling tinggi pada bulan Maret dan April (0,05 dan 0,07 /orang/malam), sedangkan pada bulan Mei indeks curah hujan menurun diiringi menurunnya kepadatan nyamuk Anopheles spp. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukan hubungan yang tidak erat (r = 0,47)), dan didapatkan nilai koefisien determinasi (R² = 0,22), artinya pengaruh indeks curah hujan terhadap kepadatan nyamuk Anopheles yang ada di Desa Riau hanya sebesar 22%. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Rahmawati (2010) di Desa Lifuleo, hubungan antara curah hujan dengan kepadatan Anopheles berbanding lurus, artinya curah hujan tinggi diikuti meningkatnya kepadatan nyamuk Anopheles spp. Sementara di Kabupaten Rajabasa dan Pesawaran Lampung Selatan dilaporkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara indeks curah hujan dengan jumlah An. sundaicus hinggap di badan per orang per malam (Suwito 2010). Keadaan yang berbeda terjadi di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah, curah hujan kurang mempengaruhi angka kepadatan An. barbirostris dan An. nigerrimus,tetapi kepadatan nyamuk Anopheles dipengaruhi oleh pertumbuhan padi, dimana pada saat padi membutuhkan air, kepadatan
15
nyamuk juga meningkat dan saat musim panen atau mengolah sawah, kepadatan nyamuk juga menurun (Jastal 2005).
4.6
Aktivitas Mengisap Darah Pada Malam Hari Nyamuk Anopheles mempunyai aktivitas mengisap darah pada malam hari
(nokturnal) dan mempunyai fluktuasi aktivitas mengisap darah pada jam-jam tertentu. Nyamuk Anopheles spp. yang berhasil ditangkap dengan umpan orang setiap jam selama 12 jam menunjukan fluktuasi aktivitas mengisap darah nyamuk An. letifer dan An. barbirostris, karena kedua spesies nyamuk merupakan yang paling sering ditemukan selama penangkapan mulai bulan Februari hingga Mei 2011 (Gambar 10 dan 11). Di dalam rumah, aktivitas mengisap darah An. letifer menunjukkan fluktuasi secara teratur, dan mengisap darah sepanjang malam, mulai mengisap darah pukul 18.00 hingga 06.00 WIB. Puncak kepadatan mengisap darah An. letifer terjadi pada pukul 19.00-20.00 WIB di saat orang berkumpul di ruang keluarga. Aktivitas mengisap darah di dalam rumah terjadi lagi pada waktu orang sedang istirahat tidur (24.00-02.00 WIB).
KepadatannyamukAnopheles (nyamuk/orang/jam)
0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
An.letifer An.barbirostris
18- 19- 20- 21- 22- 19 20 21 22 23 0,02
0
0,06
0
0
0
0
23- 24
24- 01
01- 02
02- 03
0,17 0,06 0,06 0,02 0
0,02 0,02 0,04 0,02 0
0
03- 04
04- 05
05- 06
0,04 0,06 0,02 0
0
0
An.indefinitus 0 0 0 0 0 0 0 0,02 0 0 0 0 Gambar 10 Rata-rata kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap
dengan umpan orang dalam rumah per orang per jam di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.
16 Nyamuk An. barbirostris mulai aktif mengisap darah di dalam rumah
mulai pukul 19.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB, dan puncak mengisap darah terjadi lagi pada pukul 21.00-22.00 WIB, pada waktu penduduk sudah istirahat tidur. Selama penelitian nyamuk An. indefinitus hanya ditemukan satu kali pada pukul 01.00-02.00 WIB, sedangkan nyamuk An. nigerrimus tidak ada yang ditemukan. Aktivitas mengisap darah An. letifer di Desa Riau menunjukkan persamaan waktu mengisap darah pada beberapa tempat. Friaraiyatini et al. (2006) melaporkan bahwa A. letifer di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, jawa Tengah, aktivitas mengisap darah mulai pukul 18.00 WIB, dan puncaknya pada pukul 22.00WIB. Keadaan yang tidak jauh berbeda di Kampung Bongor, Grik yang terletak di bagian timur barat Hulu Perak, Malaysia, bahwa aktivitas mengisap darah An. letifer sejam selepas senja dan meningkat setelah dua jam (Yee 2008). An. letifer di Desa Alat Hantakan, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan ditemukan di dalam rumah dengan aktivitas mengisap darah sepanjang malam dari pukul 18.00 hingga pukul 06.00 pagi (Salam 2005). Nyamuk Anopheles yang menunjukkan aktivitas mengisap darah di dalam rumah selain An. letifer adalah A. barbirostris, dan ditemukan mengisap darah sepanjang malam. Hal ini tidak berbeda dengan aktivitas mengisap darah An. barbirostris di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah, ditemukan sepanjang malam dari pukul 18.00-06.00 baik di dalam maupun di luar rumah, dan puncak kepadatan mengisap darah di dalam rumah terjadi pada pukul 22.00- 24.00 (Jastal 2005). Nyamuk An. indefinitus tidak menampakan fluktuasi aktivitas mengisap darah karena nyamuk yang tertangkap hanya satu ekor di dalam rumah selama empat bulan penangkapan (Tabel 2). Hasil penelitian di tempat lain merupakan informasi yang dapat menjelaskan perilaku aktivitas mengisap darah nyamuk An. nigerrimus. Jastal (2005) menyatakan bahwa aktivitas mengisap darah An. nigerrimus berfluktuasi dari pukul 18.00-06.00, dan puncak mengisap darah di dalam rumah pada pukul 22.00-24.00. Di Sulawesi Tengah nyamuk ini belum dikonfirmasi sebagai vektor penyakit malaria.
17 0,09 KepadatannyamukAnopheles (nyamuk/orang/jam)
0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0
An.letifer
18‐ 19‐ 20‐ 21‐ 22‐ 23‐ 24‐ 01‐ 02‐ 03‐ 04‐ 05‐ 19 20 21 22 23 24 01 02 03 04 05 06 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
An.barbirostris 0
Gambar 11
0
0,0 0,0
0
0,0
0
0
0
0
0,0
0
Rata-rata kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap dengan umpan orang luar rumah pada jam 18.00-06.00 WIB di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Di luar rumah, aktivitas mengisap darah nyamuk An. letifer di Desa Riau mulai menjelang senja (18.00-19.00 WIB), pada waktu orang berkumpul di teras rumah. Kebiasaan masyarakat di desa Riau setelah sholat atau setelah makan malam duduk santai di teras rumah. Puncak mengisap darah di luar rumah pada waktu menjelang malam (22.00-23.00 WIB), dan aktivitas mengisap darah mulai menurun menjelang pagi. Kemudian aktivitas mengisap darah An. barbirostris mulai di luar rumah menjelang malam dan berakhir tengah malam, yaitu dari pukul 21.00 sampai 01.00 WIB, dan puncak mengisap darah pada pukul 23.00- 24.00 WIB (Gambar 6). Aktivitas nyamuk Anopheles spp. mengisap darah menunjukkan waktu dan puncak mengisap darah yang bervariasi pada beberapa tempat. Jastal (2005) melaporkan bahwa aktiviats mengisap darah An. barbirostris di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah dari pukul 18.00-06.00 WITA dengan puncak kepadatan mengisap darah di luar rumah terjadi pada pukul 22.00-24.00 WITA. Sementara di Desa Segara kembang, Kecamatan Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, ditemukan An. barbirostris mulai mengisap darah di luar rumah mulai pukul 18.00-20.00 WIB, dan puncak mengisap darah terjadi pada pukul 24.00-02.00 WIB (U’din 2005). Selanjutnya di Kecamatan Lengkong, Sukabumi
18
ditemukan An. Barbirostris mengisap darah sepanjang malam, dan terdapat dua kali puncak mengisap darah, yaitu pukul 19.00-20.00 dan pukul 02.00-03.00 WIB (Munif et al. 2007). Fluktuasi aktivitas mengisap darah nyamuk Anopheles di Desa Riau menunjukan perbedaan puncak mengisap darah, hal ini dapat di pengaruhi iklim, seperti angin dan curah hujan. Dari beberapa kali penangkapan yang dilakukan tidak ada terasa angin pada waktu menjelang malam, tetapi pada waktu menjelang tengah malam hingga menjelang fajar terasa angin semilir. Kemudian curah hujan selama empat bulan termasuk tinggi karena hampir setiap hari hujan. Munif et al. (2007) menyatakan bahwa puncak aktivitas mengisap darah nyamuk Anopheles pertama kali sebelum tengah malam dan menjelang pagi, keadaan ini dapat berubah karena adanya pengaruh suhu, kelembaban udara dan angin yang dapat menyebabkan bertambah dan berkurangnya kehadiran nyamuk di suatu tempat.
4.7
Karakteristik Habitat Larva Anopheles spp.
4.7.1 Jenis Habitat Potensial Jenis habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. yang di temukan di Desa Riau Kecamatan Riau Silip sebanyak 24 titik yang terdiri dari 7 jenis habitat (Tabel 6), dan tersebar di empat dusun, yaitu sembilan titik di Dusun Riau, lima titik di Dusun Simpang Lumut, Empat titik di Dusun Sinar Gunung, dan enam titik di Dusun Tirus (Tabel 7). Selama pengamatan empat bulan, hanya satu habitat potensial yang positif ditemukan larva Anopheles dengan kepadatan 0,01 larva/cidukan, sedangkan 23 habitat tidak ditemukan larva Anopheles spp. Keberadaan predator pada suatu habitat dapat mengurangi populasi nyamuk. Predator yang ditemukan pada sebagian habitat terdiri atas berudu dan ikan, maka hal ini merupakan salah satu penyebab sulitnya menemukan larva Anopheles spp. Juliawati (2008) melaporkan di sekitar pusat
Reintroduksi orangutan nyaru Menteng, Palangkaraya,
Kalimantan Tengah tidak ditemukan larva Anopheles spp. dari 13 titik pengamatan habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp.
19
Tabel 6
Jenis habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Jenis Habitat
Jumlah
Habitat
Kepadatan Persentase
Positif
(larva/cidukan)
Parit
7
0
0
29.17
Kubangan
8
1
0,01
33.33
Rawa-rawa
1
0
0
4.17
Sumur
2
0
0
8.33
Kolong
3
0
0
25
Kubakan
2
0
0
8.33
Kolam
1
0
0
4.17
Jumlah
24
0
0,01
100
Larva Anopheles yang ditemukan pada habitat kubangan di Dusun Tirus, kemudian di pelihara, dan setelah menjadi nyamuk Anopheles dewasa di identifikasi dengan kunci identifikasi nyamuk dewasa Sumatera dan Kalimantan oleh O’Connor dan Soepanto (Ditjen PP & PL 2000). Hasil identifikasi menunjukan bahwa larva yang ditemukan adalah nyamuk An. letifer. Jenis-jenis habitat yang ditemukan di Desa Riau dari bulan Februari hingga Mei 2011 dapat dijelaskan sebagai berikut :
4.7.1.1 Parit Parit merupakan lahan basah buatan berupa perairan mengalir. Selain istilah parit, istilah selokan juga kadang digunakan untuk menyebut perairan mengalir buatan berukuran kecil (Puspita et al. 2005). Pengamatan larva selama empat bulan tidak ditemukan larva Anopheles. Pengukuran karakteristik habitat didapatkan kisaran suhu 27-28ºC, pH 6,9-7,1, salinitas 0‰, kekeruhan 6-12 NTU, dasar parit berupa lumpur dan pasir, kedalaman parit mencapai 5-20 cm, tidak terdapat tanaman air, terdapat berudu dan ikan yang berpotensi sebagai predator larva nyamuk (Gambar 12). Parit merupakan habitat potensial larva Anopheles spp. seperti di Desa Doro Kabupaten Maluku Selatan ditemukan An. farauti, An. punctulatus, dan An. vagus (Mulyadi 2010).
20 a) Parit 1 d) Parit 4
b) Parit 2
e) Parit 5
c) Parit 3
f) Parit 6
g) Parit 7
Gambar 12 Parit merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Di Kecamatan Padangcermin dan Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan, parit merupakan habitat nyamuk Anopheles spp. (Suwito 2010), demikian juga di lembah Artibonite Haiti (Caillouet et al. 2007).
4.7.1.2 Kubangan Kubangan adalah lekukan pada daratan yang berisi air bercampur lumpur (Poerwadarminta 2006).
21 a) Kubangan 1 d) Kubangan 4
b) Kubangan 2
e) Kubangan 5
g) Kubangan 7
c) Kubangan 3
f) Kubangan 6
h) Kubangan 8
Gambar 13 Kubangan merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Kubangan yang ditemukan sebanyak 8 habitat, dan hanya satu habitat yang positif dengan kepadatan 0,01 larva/cidukan. Karakteristik habitat yang diamati pH 6,0-6,7, suhu 24-27ºC, salinitas 0‰, kekeruhan 6-41 NTU, dasar habitat lumpur, kedalaman 5-27 cm, tidak terdapat tanaman air, dan terdapat ikan kepala timah dan berudu (Gambar 13). Sekitar kubangan terdapat tanaman peneduh, karena
tumbuhan yang ada ditempat perindukan nyamuk merupakan tempat
berlindung bagi larva, dan dapat dijadikan nyamuk dewasa sebagai naungan Russel et al. (1963).
22
Habitat yang disenangi larva Anopheles spp. bervariasi, seperti di Desa Doro ditemukan An. farauti dan An. vagus pada habitat kubangan (Mulyadi 2010). Begitu pula An. vagus dan An. barbirostris ditemukan di Rajabasa dan Padangcermin, Lampung Selatan pada habitat kubangan (Suwito 2010).
4.7.1.3 Rawa-rawa Rawa-rawa adalah tanah rendah yang selalu tergenang air karena tidak ada pelepasan air (drainase) (Click 2011). Rawa-rawa di Desa Riau merupakan genangan air yang luas dan terdapat vegetasi seperti rumput air, kerapatan rumput air yang tinggi, dan tidak mengalir (Gambar 14). Karakteristik habitat terdiri atas pH 6,3-6,4, suhu 28ºC, salinitas 0‰, kekeruhan 6-14 NTU, kedalaman air pada bagian pinggir 12-15 cm, dasar habitat tanah liat, terdapat tanaman rumput, dan ditemukan ikan. Larva Anopheles tidak ditemukan, tetapi habitat rawa-rawa merupakan habitat potensial tempat perkembangbiakan larva Anopheles spp. (Gambar 14). Mulyadi (2010) melaporkan bahwa An. farauti di desa Doro ditemukan pada rawa-rawa. Sementara nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Kecamatan Rajabasa lampung selatan dan Kecamatan Padangcermin Pesawaran pada rawa-rawa lebih beragam.
Gambar 14 Rawa-rawa merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
23
Di Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan ditemukan An. sundaicus, An. barbirostris, An. subpictus, An. vagus, dan An. aconitus, sedangkan di Kecamatan Padangcermin Pesawaran ditemukan An. sundaicus, An. vagus, dan An. subpictus (Suwito 2010). Demikian juga larva Anopheles spp. di Kenya ditemukan pada rawa-rawa (Mwangangi et al. 2007).
4.7.1.4 Sumur
Sumur adalah lubang yang sengaja dibuat menembus lapisan tanah untuk memperoleh air, minyak, atau gas (Poerwadarminta, 2006). Sumur yang ditemukan di Desa Riau tidak digunakan/dimanfaatkan lagi, sumur pertama terletak di areal perkebunan dan dibawah pohon jambu, maka banyak jambu dan ranting busuk di dalam sumur, sedangkan sumur kedua terletak di areal terbuka dan di kelilingi tanaman rumput (Gambar 15). Air sumur bersuhu 24-25ºC, salinitas 0‰, pH 5,4-6,1, kekeruhan 2 NTU, dasar sumur berupa tanah liat dan pasir, kedalaman 2-2,5 meter, tidak terdapat tanaman air, dan terdapat ikan. Larva Anopheles spp. tidak ditemukan, namun merupakan habitat potensial karena sudah tidak digunakan/dimanfaatkan lagi (Gambar 15). a) Sumur 1 b) Sumur 2 Gambar 15 Sumur merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei
2011
24
Mulyadi (2010) menyatakan bahwa larva An. farauti di Desa Doro Halmahera Selatan ditemukan pada sumur yang sudah tidak digunakan lagi dengan kepadatan rata-rata 1,7 larva/cidukan, terdapat ganggang hijau, kedalaman 80-120 cm, dasar pasir dan dinding terbuat dari semen. Sementara itu, Suwito (2010) melaporkan bahwa An. sundaicus, An. annularis, An. vagus, dan An. kochi di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin dapat hidup dan berkembang di dalam sumur.
4.7.1.5 Kolong
Kolam/danau bekas penambangan (dikenal dengan sebutan kolong) adalah perairan/badan air yang terbentuk dari lahan bekas penambangan bahan galian (Wardoyo dan Ismail 1998 dalam Puspita et al. 2005). Gambar pertama dan kedua bekas tambang timah yang sudah lama sehingga banyak di tumbuhi semak belukar di sekelilingnya, dan gambar kolong tiga merupakan kolong yang baru di tinggalkan sehingga masih meninggalkan warna air keruh berwarna putih (Gambar 16). Kolong berisi air dengan pH 6,4-7,3, suhu 26-27ºC, salinitas 0‰, kekeruhan 10-17 NTU, dasar kolong berupa lumpur dan pasir, kedalaman air dapat mencapai 10 meter, terdapat tanaman rumput, juga terdapat ikan dan berudu. Dari tiga kolong yang diamati tidak ditemukan larva Anopheles. a) Kolong 1
Gambar 16
b) Kolong 2
c) Kolong 3
Kolong merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
25 Qomariah (2004) melaporkan bahwa An. philippinensis, An. peditaeniatus,
An. barbirostris dan An. nigerrimus ditemukan dari pencidukan larva pada Kolong Ijo, Kelurahan Bacang, Kotamadya Pangkalpinang.
4.7.1.6 Kobakan
Kobakan adalah lubang kecil di tanah yang berisi air sehabis hujan (Poerwadarminta, 2006). Kobakan di Desa Riau merupakan lobang kecil/lekuk pada tanah berukuran sempit (kurang dari 1 m ²), hanya berisi air pada waktu hujan dan tidak permanen (Gambar 17). Selama pengamatan tidak ada ditemukan larva Anopheles spp. Hal ini kemungkinan disebabkan air kobakan berwarna merah keruh, dan pada kobakan kedua terdapat predator berudu. Habitat kobakan di Desa Riau tidak ditemukan larva Anopheles. Kobakan terletak pada areal terbuka dengan kedalaman 6-8 cm, suhu 27°C, pH 5-6,6, salinitas 0‰, dasar kobakan berupa pasir, kekeruhan 2-14 NTU, tidak terdapat tanaman air, dan terdapat berudu. Larva Anopheles spp. di beberapa tempat ditemukan di air jernih dan keruh (Gambar 17). Larva An. sundaicus, An. barbirostris dan An.vagus di Daerah pantai Banyuwangi, Jawa Timur ditemukan pada air keruh dengan kedalaman air 50 cm, dan larva An. barbirostris dan An. sundaicus terdapat pada habitat kobakan (Shinta et al. 2003). a) Kobakan 1
Gambar 17
b) Kobakan 2
Kobakan merupakan habitat potensial perkembangbiakann nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
26
Adapun larva An. farauti, An. punctulatus, An. vagus dan An. kochi di Desa Doro, Halmahera Selatan, Maluku Utara, ditemukan pada kobakan dengan kedalaman berkisar antara 5-10 Cm, air tidak mengalir, warna air jernih dan keruh (Mulyadi 2010).
4.7.1.8 Kolam Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah tertentu sehingga dapat dipergunakan pemeliharaan ikan dan hewan air lainnya (Susanto 1992 di dalam Puspita et al. 2005). Kolam terdapat di depan rumah penduduk dengan jarak sekitar 300 meter, jarang dibersihkan dan di dalamnya terdapat berudu. Pada kolam seluas 1m² terdapat tanaman teratai, pH air berkisar antara 6,2-6,4, suhu 25-27ºC, salinitas 0‰, kekeruhan 22-23 NTU, dasar kolam berupa tanah dan pasir, kedalaman 10- 12 cm, terdapat berudu (Gambar 18). Larva Anopheles spp. tidak ditemukan larva Anopheles selama empat bulan (Februari-Mei 2011) (Gambar 18). Sitorus (2005) melaporkan bahwa larva An. barbirostris yang didapat selama penelitian (April 2004-Desember 2005) di Desa Tegal Rejo, Kecamatan Belitang, Kabupaten OKU, ditemukan pada kolam dengan kepadatan 0,045 larva/cidukan. Larva Anopheles spp. di Kenya juga ditemukan pada tipe habitat kolam (Mwangangi et al. 2007). Habitat larva Anopheles yang ditemukan di Korea Selatan ada 51 buah yang dikelompokkan dalam 12 tipe habitat, pada habitat kolam yang berjumlah lima buah ditemukan larva 10% di Provinsi Chungcheongnam dan Jeju Korea Selatan (Rueda et al. 2006).
Gambar 18 Kolam merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
27
4.7.2 Pengukuran Karakteristik Fisik, Kimia dan Biologi Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. Pengukuran karakteristik habitat potensial perkembangbiakan Anopheles dilakukan satu bulan sekali, sehingga didapatkan data yang jelas tentang karakteristik habitat larva dan habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. (Lampiran 1). Selama pengamatan ditemukan larva Anopheles hanya pada satu habitat yaitu habitat kubangan. Sedangkan 23 titik habitat yang dilakukan pengamatan selama empat bulan tidak ditemukan larva Anopheles spp. Hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi, seperti adanya predator, tambang timah rakyat yang masih aktif, dan curah hujan. Hasil pengukuran karakteristik habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles yang potisif disajikan pada Tabel 7.
4.7.2.1 Suhu Air Suhu air habitat perkembangbiakan An. letifer dari bulan Februari sampai Mei tidak mengalami perubahan (24⁰C), dan suhu ini masih dalam batas suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp., yaitu 23⁰C-27⁰C (WHO 1982 di dalam Mulyadi 2010). Beberapa tempat menunjukan larva Anopheles spp. dapat hidup dan berkembangbiak pada suhu yang bervariasi. Larva Anopheles spp. yang ditemukan di Dusun Mataram Lengkong Kabupaten Sukabumi menunjukan kisaran suhu optimal air di ketiga kolam antara 22,9⁰C sampai dengan 31,2⁰C (Saleh 2002). Suhu habitat larva Anopheles spp. yang ditemukan di Desa Way Muli Kecamatan Rajabasa lebih tinggi, yaitu 33,5°C (Setyaningrum 2007).
Tabel
7
Karakteristik habitat potensial perkembangbiakan An. letifer di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Bulan
pH
Februari Maret April Mei
6,1 6,1 6,1 6,0
Suhu (°C) 24 24 24 24
Sal. (‰) 0 0 0 0
keruh (NTU) 6 6 6 6
Dasar Habitat lumpur lumpur lumpur lumpur
Keterangan : Sal=Salinitas, Keruh=Kekeruhan, Kdl=Kedalaman
Kdl (Cm) 20 25 22 13
Tanaman Air Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Predator Berudu Berudu Berudu Berudu
28
4.7.2.2 pH Air Air alami pada umumnya mempunyai pH yang bersifat netral, tidak bersifat asam atau basa (pH netral antara 6-9). Pengukuran karakteristik habitat larva An. letifer dari bulan Februari-Mei masih dalam batas normal, yaitu 6,0-6,1. Pada bulan Februari pH air 6,1 tetapi tidak ditemukan larva Anopheles spp. Kemudian bulan Maret pH air 6,1 ditemukan An. letifer dengan kepadatan 0,01 larva/cidukan. Selanjutnya bulan April-Mei pH air 6,1 dan 6,0 tidak ditemukan larva Anopheles spp. pH air di beberapa tempat menunujukan kisaran pH air yang netral, seperti larva Anopheles di Desa Doro Halmahera Selatan Maluku Utara ditemukan pada pH air yang yang netral 6,8-7,1 (Mulyadi 2010). Demikian juga di Desa Hargotirto, Kabupaten Kulonprogo ditemukan larva Anopheles pada pH yang netral pada sungai berkisar antara 6,78-7,12, sedangkan pada pada mata air berkisar antara 6,70-7,24 (Santoso 2005).
4.7.2.3 Salinitas Larva An. letifer ditemukan pada habitat kubangan dengan salinitas 0‰. Secara geografis Desa Riau letaknya jauh dari laut, maka air di Desa Riau tidak mengandung kadar garam. Habitat potensial yang ditemukan semuanya dengan salinitas 0‰. Larva Anopheles spp. pada suatu tempat dapat hidup dan berkembangbiak pada salinitas yang bervariasi. Hasil ini sama dengan penelitian Setyaningrum (2007) di Desa Way Muli Lampung Selatan ditemukan larva Anopheles di selokan air mengalir dengan salinitas 0‰, begitu juga di rawa-rawa dan selokan air tergenang. Berbeda dengan yang ditemukan Suwito (2010) di Kecamatan Padangcermin, larva Anopheles hidup pada salinitas 0-34‰, tetapi larva Anopheles di Rajabasa Lampung Selatan ditemukan dengan salinitas lebih rendah, yaitu salinitas 0-5‰.
4.7.2.4 Kekeruhan Kekeruhan biasanya disebabkan oleh zat pada tersuspensi, baik yang bersifat organik maupun anorganik. Pada dasarnya zat organik merupakan makanan bagi bakteri atau mikroorganisme yang ada dalam air dan mendukung perkembangbiakannya. Larva nyamuk An. letifer ditemukan pada habitat air
29
jernih dengan kekeruhan 6 NTU (natelson turbidity units). Larva Anopheles spp. bukan hanya dapat hidup dan berkembangbiak di air yang jernih, di beberapa tempat larva Anopheles spp. dapat hidup dan berkembangbiak di air yang keruh bahkan sangat keruh, seperti larva nyamuk Anopheles di Dusun Mataram Lengkong Kabupaten Sukabumi menunjukkan kisaran kekeruhan air yang disukai larva Anopheles 70-150 NTU (Saleh 2002).
4.7.2.5 Dasar Habitat Dasar habitat larva An. letifer adalah lumpur. Pada habitat dengan dasar pasir dan tanah liat tidak ditemukan larva, seperti rawa-rawa, kolong, dan sumur. Dasar habitat larva Anopheles di beberapa tempat menunjukkan kesamaan. Larva Anopheles spp. di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin sebagian besar ditemukan pada perairan dengan dasar lumpur (Suwito, 2010), hal yang sama ditemukan di Desa Doro Halmahera Selatan (Mulyadi 2010) dan di Desa Way Muli Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan (Setyaningrum 2007).
4.7.2.6 Kedalaman Larva An. letifer yang ditemukan pada habitat tipe dangkal dan tidak permanen karena air habitat akan kering bila tidak hujan satu minggu. Kedalaman air selama empat bulan berfluktuasi karena curah hujan dari bulan Februari hingga April 2011 berfluktuasi. Larva An. letifer ditemukan pada bulan Maret dengan kedalaman air 25 cm. Walaupun An. letifer hanya ditemukan pada satu habitat dengan kedalaman 25 cm, namun di beberapa tempat nyamuk Anopheles spp. dapat bertahan hidup dan berkembang dengan kedalaman air yang berbeda-beda. Grieco et al. (2007) menyatakan bahwa larva Anopheles ditemukan pada air dengan kedalaman 30-50 cm. Setyaningrum et al. (2007) melaporkan bahwa larva Anopheles spp. di Desa Way Muli, Lampung Selatan ditemukan pada kedalaman 15 cm pada habitat selokan air mengalir, 100 cm pada rawa-rawa, dan 25 cm pada selokan air tergenang. Sementara itu, di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran, Lampung Selatan ditemukan pada kedalaman air yang bervariasi, An. tesselatus (5 cm), An. maculatus (50-150 cm), An. indefinitus (20-150 cm), An. aconitus (10-15 cm) dan An. subpictus (20-200 cm), adapun di Kecamatan Rajabasa
30 ditemukan An. tesselatus (100-200 cm), An. indefinitus (10 cm), An. aconitus (10-
200 cm) dan An. subpictus (10-200 cm) (Suwito 2010). Selanjutnya, di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, ditemukan larva An. subpictus pada kedalaman 50- 100 cm pada kolam rendaman rumput laut, 30-70 cm pada sumur dangkal, sedangkan di Pulau Tidung ditemukan pada sumur dengan kedalaman 50-150 cm (Ariati et al. 2007). Adapun di Daerah Pasang Surut Asahan, Sumatera Selatan ditemukan larva An. sundaicus pada kedalaman habitat 70-75 cm (Sembiring 2005).
4.7.2.7 Tanaman Air Tanaman air dapat mempengaruhi keberadaan larva Anopheles spp. pada suatu tempat. Larva An. letifer yang ditemukan pada habitat kubangan tidak terdapat tanaman air pada permukaan air. Di sekitar habitat terdapat pohon yang dapat berguna sebagai naungan. Walaupun di Desa Riau hanya ditemukan satu habitat yang positif selama penelitian, tetapi ada kemungkinan nyamuk Anopheles spp. dapat berkembangbiak pada habitat potensial, karena larva Anopheles spp. menyukai habitat dengan tanaman air atau tidak ada tanaman air. Lee et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa spesies nyamuk Anopheles menyukai air yang teduh, tetapi ada juga yang menyenangi habitat air yang terkena matahari langsung, dan yang lainnya menyukai habitat air yang ada tanaman air. Umumnya larva Anopheles lebih menyukai air bersih dan tidak terpolusi. Sitorus (2005) melaporkan bahwa jenis-jenis tanaman air yang ditemukan dari seluruh habitat nyamuk Anopheles spp. di Desa Tegal Rejo, kecamatan Belitang, Kabupaten OKI, yaitu eceng gondok, kangkung dan rumput, sedangkan di persawahan ditumbuhi tanaman padi. Adapun di Desa Doro, Halmahera Selatan, ditemukan tanaman air berupa ganggang hampir pada seluruh habitat larva Anopheles spp. (Mulyadi 2010)
4.7.2.8 Predator Jenis predator yang ditemukan pada habitat hanya anak katak (berudu) dan dalam jumlah yang cukup banyak. Hal yang sama di Desa Doro Halmahera Selatan ditemukan predator berudu pada habitat parit, kobakan, kubangan,
31
kolam,sumur, kali, dan rawa-rawa, selain itu ditemukan ikan dan larva capung (Mulyadi 2010). Adapun di Pantai Asahan Sumatera Utara terdapat ikan-ikan kecil pada habitat larva An. sundaicus yang diduga sebagai predator (Sembiring 2005). Sementara predator nyamuk Anopheles yang ada di Desa Tongoa, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, ditemukan pada tiga habitat berbeda-beda. Habitat kolam dengan naungan ditemukan ikan kepala timah (Aplocheilus panchax) dan larva capung (Libellula sp.). Habitat kolam tanpa naungan ditemukan berudu (Chadijah 2005).
4.7.3 Pemetaan Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. Pemetaan habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. terletak di Desa Riau dengan luas wilayah desa 51.720 Km². Desa Riau terdiri atas empat dusun, dan keadaan tanahnya merupakan dataran rendah dan beriklim tropis tipe A (BPS & BPPD Kab. Bangka 2010). Pengukuran karakteristik habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. dilakukan pada setiap dusun dengan titik koordinat secara UTM 48 (universal transfer mercarator) terletak antara 598144 BT-593063 BT dan 9802730 LS-9802853 LS dengan ketinggian antara 10-35 di atas permukaan laut (Gambar 19). Gambar 19 menunjukan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles tersebar dari Dusun Riau hingga Dusun Tirus. Habitat yang ditemukan sebanyak 24 habitat, dan habitat negatif yang ditemukan sebanyak 23 habitat (Titik hitam), sedangkan habitat positif hanya satu habitat (Titik Merah). Habitat terbanyak adalah kubangan (33,33%) dan menyebar pada empat dusun, sedangkan jumlah habitat yang sedikit adalah rawa-rawa (4,17%) terletak di Dusun Riau, dan kolam (4,17%) terletak di Dusun Tirus. Letak habitat potensial dekat dengan pemukiman penduduk sekitar 300 meter, tambang timah yang masih aktif dan yang sudah tidak aktif lagi sehingga banyak air yang tercemar limbah bahan bakar, kemudian di sekitar habitat masih banyak semak belukar, hutan, dan daerah ladang luas yang belum dimanfaatkan.
ar 19 Titik habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011
33
Tabel 8 Titik koordinat habitat potensial perkembangbiakan Anopheles spp. di Desa Riau, Februari-Mei 2011
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
GPS Bujur Lintang 598144 9809207 597942 9808824 597961 9808753 597943 9808635 597523 9808453 595397 9807532 595081 9806803 594982 9806632 594908 9806579 594915 9806539 593063 9806579 594569 9804352 594908 9803554 594943 9803554 594866 9802908 594799 9802587 594758 9802492 594725 9802495 594181 9803257 593921 9802968 593742 9802713 593611 9802736 593096 9802853 593063 9802730
JH Parit 1 Kubangan 1 Rawa-rawa 1 Sumur 1 Parit 2 Parit 3 kubangan 2 Kubangan 8 Kubakan 1 Parit 4 Parit 5 Kolong 1 Kubangan 3 Parit 6 Kolong 2 Kubangan 4 Parit 7 Kolong 3 Kubangan 5 Sumur2 Kubangan 7 Kolam Kubangan 6 Kubakan 2
Kpd (L/C) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0
K
Dusun
35 21 19 21 16 10 23 17 34 21 22 21 17 22 31 28 10 28 16 10 24 10 21 22
Riau Riau Riau Riau Riau Riau Riau Riau Riau Simpang Lumut Simpang Lumut Simpang Lumut Simpang Lumut Simpang Lumut Sinar Gunung Sinar Gunung Sinar Gunung Sinar Gunung Tirus Tirus Tirus Tirus Tirus Tirus Keterangan : JH= Jenis Habitat, Kpd= kepadatan, LC = Larva/Cidukan, K=Ketinggian Sumber : Penandaan titik dengan GPS Garmin 6.0
Habitat potensial larva An. Letifer yang ditemukan di dusun Tirus letaknya tidak jauh dari pemukiman penduduk sekitar 200 meter, disekitarnya terdapat daerah yang belum di manfaatkan, masih banyak terdapat semak belukar yang dapat digunakan nyamuk sebagai tempat untuk istirahat, tambang timah masih aktif (tambang inkonvensional) yang biasa di sebut TI oleh masyarakat Bangka dan masih banyak
34
terdapat di Desa Riau. Keadaan lingkungan yang mendukung dan adanya habitat yang sesuai dengan An. Letifer, maka berpotensi akan meningkatkan populasi nyamuk. Penularan penyakit malaria tidak lepas dari peranan nyamuk Anopheles spp. sebagai vektor. Habitat yang ditemukan di Desa Riau merupakan habitat yang sangat potensial sebagai tempat perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles spp. dengan ditemukannya nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap dengan umpan orang dan istirahat, yaitu An. letifer, An. barbirostris, An. nigerrimus, dan An. indefinitus. Nyamuk ini menyukai air tenang, bersih, dan terdapat semak belukar sebagai tempat nyamuk istirahat. Penyebaran nyamuk berdasarkan jarak terbang nyamuk Anopheles yaitu berkisar 0,5-2,5 Km, dan bila ada angin dapat mencapai 5 Km, maka penyebaran nyamuk dari titk positif dapat mencapai titik 19 dan dapat mencapai perbatasan Dusun Tirus dan Dusun Sinar Gunung. Pergerakan nyamuk dari tempat berkembangbiak ke tempat istirahat, lalu ke tempat hospes, dan selanjutnya ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk (Ditjen. PP&PL 2007). Fenomena ini dapat diperkirakan penyebaran
An.
letifer dapat mencapai perbatasan antara dusun Tirus dan dusun Sinar Gunung yang berjarak sekitar 2 km. Habitat potensial terletak dekat dengan permukiman penduduk, hal ini merupakan faktor yang sangat penting terjadinya penularan malaria (Vas Dev et al. 2004), sesuai dengan penelitian Erdinal et al. (2006) bahwa kasus malaria yang ditemukan di Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Kabupaten Kampar, jarak antara permukiman dengan habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles berjarak kurang dari 2 km. Desa Riau mempunyai kondisi geografis dan demografis yang menunjang sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles, seperti permukiman penduduk yang berdekatan dengan kolong, rawa-rawa, semak belukar, dan pohon-pohon yang sebagian memungkinkan tempat beristirahat nyamuk Anopheles spp. Rumah penduduk yang sebagian besar terletak dekat dengan habitat potensial, jarak antar rumah yang tidak terlalu rapat, juga di sekitar rumah dikelilingi semak belukar dan ladang yang belum digunakan merupakan tempat yang disukai nyamuk Anopheles spp. untuk beristirahat.
35
Aktivitas penduduk yang suka berkumpul di luar rumah dan tinggal di pondok tempat dilakukan penambangan timah (tambang inkonvensional), keadaan ini merupakan kondisi yang sangat memudahkan nyamuk Anopheles spp. hinggap dan mengisap darah manusia.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Keragaman Nyamuk Anopheles spp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis nyamuk Anopheles di Desa
Riau Kecamatan Riau Silip terdiri atas empat spesies, yaitu An. letifer (Gambar 4), An. barbirostris (Gambar 5), An. nigerrimus (Gambar 6), dan An. indefinitus (Gambar 7). Di antara empat spesies tersebut terdapat An. letifer yang telah dikonfirmasi sebagai vektor di pulau Bangka (Boesri 2007). Nyamuk An. letifer mempunyai ciri khas pada palpi tanpa gelang-gelang pucat (a), bagian sternit abdomen segmen ke tujuh tanpa sikat yang terdiri atas sisik gelap (b), dan tarsi kaki belakang dengan gelang pucat terutama pada pangkalnya (c) (Gambar 4). An. barbirostris mempunyai ciri khas palpi seluruhnya gelap (a), ruas abdomen ke tujuh terdapat sisik/sikat gelap (b), pada costa dan urat I dari sayap terdapat tiga atau kurang noda-noda pucat (c) (Gambar 5). An. nigerrimus mempunyai ciri khas gelang-gelang tarsi kaki belakang sedang, gelang pucat pada ruas 3-4 sama panjangnya dengan atau kurang dari ruas 5 (a), pada sayap terdapat tanda gelap preapical urat satu tanpa sisik-sisik pucat atau kalau ada sedikit (b) (Gambar 6). An. indefinitus mempunyai ciri khas pada probosis gelap seluruhnya (a), gelang pucat di ujung palpi panjangnya dua kali dari panjang gelang gelap dibawahnya (b), gelang pucat subapical palpus panjangnya ½ atau lebih dari panjang gelang subapical (b1) (Gambar 7). Nyamuk An. letifer merupakan jenis nyamuk Anopheles yang terbanyak jumlahnya dalam penelitian ini, dan ditemukan secara teratur pada setiap penangkapan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah, sedangkan An. nigerrimus dan An. indefinitus hanya ditemukan satu kali pada penangkapan Maret dan April 2011. Nyamuk An. letifer lebih banyak menyebar di luar rumah, hal ini dapat dilihat dari kelimpahan nisbi dan frekuensi tertangkap dengan umpan orang dan istirahat.
2 b
a
c b
a c
Gambar 4 An. letifer (a) palpi, (b) ujung abdomen, (c) tarsi belakang a
b c
a
b
c
Gambar 5 An. barbirostris (a) palpi, (b) ujung abdomen, (c) sayap
3 b
a
a b
Gambar 6 An. nigerrimus (a) tarsi, (b) sayap
b
a
a b
b1
Gambar 7 An. indefinitus (a) probosis, (b) palpi
Kelimpahan nisbi nyamuk An. letifer di luar rumah (42,65%) dengan frekuensi (0,88). An. barbirostris merupakan jumlah nyamuk terbanyak kedua setelah An. letifer, dengan kelimpahan nisbi dan frekuensi tertangkap di dalam rumah dan di luar rumah tidak jauh berbeda. Kelimpahan nisbi di dalam rumah (8,82%) dengan frekuensi (0,31), dan yang di luar rumah (7,35%) dengan frekuensi (0,56). Nyamuk Anopheles yang sedikit jumlahnya tertangkap adalah
4
An. indefinitus dan An. nigerrimus, masing-masing ditemukan satu ekor dengan kelimpahan nisbi (1,47%) di dalam dan di luar rumah (Tabel 1). Berdasarkan nilai dominansi ternyata yang tertinggi adalah An. letifer di luar rumah (37,32%), kemudian An. barbirostris di luar rumah (4,14%), sedangkan An. nigerrimus dan An. indefinitus hanya di temukan satu kali yaitu di dalam rumah dan di luar rumah dengan nilai dominansi masing-masing (0,09%). Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan beberapa pengamatan yang telah dilakukan di pulau Bangka dan pulau yang terdekat, ditemukan keragaman spesies Anopheles yang sama, hal ini dapat disebabkan faktor lingkungan dan habitat yang tidak jauh berbeda. Hasil pengamatan beberapa tempat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ditemukan nyamuk An. letifer di Desa Air Duren Kecamatan Pemali, Kecamatan Gunung Muda, Kecamatan Bakam, Kecamatan Jebus, dan Kecamatan Mentok. Nyamuk An. barbirostis ditemukan di Kecamatan Gunung Muda dan Kecamatan Bakam. Selanjutnya An. nigerrimus ditemukan di Kecamatan Jebus dan Kotamadya Pangkalpinang, sedangkan An. indefinitus baru ditemukan di Kecamatan Pemali. Pulau yang berdekatan dengan Pulau Bangka adalah Pulau Lepar dan Pulau Pongok. Pengamatan nyamuk di Pulau Pongok belum pernah dilakukan, sedangkan hasil survei di Pulau Lepar ditemukan An. letifer dan An. nigerrimus. Di beberapa kecamatan yang ada di Pulau Bangka belum pernah dilakukan penelitian entomologi, termasuk Desa Riau Kecamatan Riau Silip (Dinkes Kab. Bangka 2010).
Tabel 1
Keragaman jenis, kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominansi spesies Anopheles yang tertangkap dengan umpan orang dan istirahat di Desa Riau, Februari-Mei 2011. Di dalam Di luar
Spesies Anopheles
KN (%) Frek Dom (%) KN (%) Frek Dom (%)
An. letifer
38,24
0,69
26,29
42,65
0,88
37,32
An. barbirostris
8,82
0,31
2,76
7,35
0,56
4,14
An. nigerrimus
1,47
0,06
0,09
0,00
0,00
0,00
An. indefinitus
0,00
0,00
0,00
1,47
0,06
0,09
Keterangan : KN = Kelimpahan Nisbi, Frek= Frekwensi, Dom = Dominansi
5 Hadi et al. (2008) melaporkan bahwa di Kampung Matras Kecamatan
Sungailiat ditemukan An. letifer dan An. nigerrimus, begitu pula di Kelurahan Bacang Kotamadya Pangkalpinang, ditemukan satu spesies yang sama yaitu An. nigerrimus, dan satu spesies yang berbeda yaitu An. barbirostris (Qomariah 2004). Nyamuk Anopheles spp. yang terdapat di Pulau Sumatera memiliki keragaman yang tidak jauh berbeda dengan nyamuk Anopheles yang ada di Desa Riau. Sitorus (2005) melaporkan di Desa Tegal Rejo, Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan ditemukan jumlah An. letifer (3,99%) lebih dominan daripada nyamuk An. barbirostris (0,64%), dan An. nigerrimus (1,80%). Begitu pula di Desa Segara Kembang Kecamatan Lengkiti, Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan ditemukan An. barbirostris dan An. nigerrimus (U’din 2005). Selanjutnya dilaporkan bahwa di Desa Pondok Meja, Muaro Duo, Jambi, selain ditemukan An. barbirostris dan An. nigerrimus ditemukan juga An. indefinitus. Nyamuk Anopheles yang paling dominan ditemukan adalah An. barbirostris dengan angka dominansi tertingi di luar rumah (10,18%), sedangkan yang terendah adalah An. tesselatus dengan nilai dominansi di luar rumah (0,01%) (Maloha 2005). Rahmawati (2010) melaporkan bahwa nyamuk Anopheles di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur ditemukan An. barbirostris lebih banyak dengan metode umpan orang dalam rumah (30,61%) daripada di luar rumah (27,52%), jumlah An. nigerrimus lebih banyak ditemukan di luar rumah (23,49%) daripada di dalam rumah (18,37%),
An.
indefinitus tidak ada yang ditemukan dengan umpan orang. Sementara An. barbirostris yang ada di Kecamatan Padangcermin Kabupaten Pesawaran merupakan spesies yang sama ditemukan Maloha di Muaro Duo Jambi, dan ditemukan lebih banyak di luar rumah (70,42%) daripada di dalam rumah (29,58%), hal yang sama ditemukan di Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan, An. barbirostris lebih banyak di luar rumah (61,73%) daripada di dalam rumah (3,94%). Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan Safitri (2009) di Kecamatan Padang Cermin Lampung Selatan terdapat jenis nyamuk yang sama
6
ditemukan ditempat yang sama, yaitu An. barbirostris dan An. indefinitus (Suwito 2010). Nyamuk Anopheles yang paling sedikit ditemukan ada dua jenis yaitu An. nigerrimus dan An. indefinitus. Boesri (2005) melaporkan bahwa nyamuk An. nigerrimus telah dikonfirmasi sebagai vektor di Sumatera Selatan, dan tidak mempunyai pilihan tertentu tentang sumber darah yang diperlukan, artinya dapat mengisap darah manusia atau hewan. Nyamuk An. indefinitus selama penelitian ditemukan hanya satu ekor dengan umpan orang di luar rumah, kemungkinan besar nyamuk ini memang jarang mengisap darah manusia. Rahmawati (2010) melaporkan di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur ditemukan An. indefinitus lebih banyak ditemukan dengan perangkap hewan (62,5%) daripada dengan umpan orang dalam rumah (9,09%) dan luar rumah (22,73%). Maloha (2005) melaporkan bahwa An. indefinitus di Desa Pondok Meja, Muaro Duo, Jambi lebih banyak ditemukan pada perangkap cahaya dengan kelimpahan nisbi 1,47% dan umpan hewan dengan kelimpahan nisbi 2,50%, sedangkan dengan umpan orang tidak ada nyamuk yang tertangkap. Garjito et al. (2002) melaporkan hal sama bahwa An. indefinitus lebih banyak ditemukan pada umpan hewan dengan kelimpahan nisbi 22,70% dibandingkan umpan orang dalam rumah (19,77%) dan umpan orang di luar rumah (21,05%). Keragaman dari Anopheles yang diuraikan di atas merupakan ciri dan kemampuan dari beberapa spesies Anopheles dapat berkembangbiak pada tempat yang berbeda tergantung pada karakteristik habitatnya. Hal ini menggambarkan adaptasi yang spesifik dari berbagai spesies Anopheles untuk berkembangbiak. Nyamuk Anopheles spp. yang paling sering tertangkap baik dengan umpan orang maupun istirahat di Desa Riau adalah An. letifer dibandingkan dengan spesies lainnya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kubangan di tempat teduh, agak gelap, dan air tawar merupakan habitat yang disenangi An. letifer. Nyamuk An. letifer di Pulau Bangka ditemukan di beberapa tempat, dan telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Bangka (Boesri 2007).
7
4.2
Perilaku Mengisap Darah Nyamuk Anopheles spp. Nyamuk An. letifer ditemukan dengan kepadatan tertinggi dibandingkan
dengan nyamuk Anopheles lainnya. Rata-rata kepadatan nyamuk di dalam rumah dan di luar rumah tidak berbeda secara signifikan, di dalam rumah 0,12 nyamuk/orang/jam, sedangkan di luar rumah 0,13 nyamuk/orang/jam (Tabel 3). An. letifer ditemukan paling padat pada bulan April di luar rumah (0,31 nyamuk/orang/jam). Kepadatan An. letifer pada bulan ini disebabkan indeks curah hujan yang tinggi pada minggu kedua (112,43 mm) sehingga banyak habitat yang tidak menyusut dan kering. Dari Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku nyamuk An. letifer mencari darah cenderung bersifat eksofagik. Nyamuk Anopheles yang ditemukan selain An. letifer adalah An. barbirostris. Rata-rata kepadatan nyamuk An. barbirostris di dalam dan di luar rumah menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, kepadatan di dalam rumah 0,03 nyamuk/orang/jam, sedangkan di luar rumah 0,02 nyamuk/orang/jam. Hal ini belum dapat menyimpulkan perilaku mengisap darah An. barbirostris. Namun demikian, kepadatan An. barbirostris pada bulan
Februari dan Maret
menunjukkan lebih tinggi di dalam rumah (0,06 nyamuk/orang/jam) daripada di luar rumah (0,04 nyamuk/orang/jam), maka dapat disimpulkan bahwa perilaku An. barbirostris mencari darah cenderung bersifat endofagik. Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Desa Riau, terdapat kesamaan dan perbedaan perilaku mengisap darah di beberapa tempat. Juliawaty (2008) melaporkan bahwa An. letifer di Palangka Raya, Kalimantan Tengah paling banyak ditemukan di dalam maupun di luar rumah pada bulan Februari, dan perilaku mengisap darah cenderung bersifat eksofagik dan antropofilik.
Tabel 2 Rataan kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang mengisap darah per orang per jam (Man Hour density) di Desa Riau, Februari-Mei 2011. Spesies
Februari Maret April Mei Rata-rata
Anopheles
UD UL UD UL UD UL UD UL UD UL
An. letifer
0.04
0.02
0.19
0.13 0.23 0.31 0.04
An.barbirostris
0.06
0.04
0.06
0.04
0
0
An.nigerrimus
0
0
0
0
0
An.indefinitus
0
0
0
0.02
0
0.06
0.12
0.13
0
0
0.03
0.02
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.005
Keterangan : UD= Umpan orang dalam rumah, UL= Umpan orang luar rumah
8
Noor (2002) melaporkan bahwa An. barbirostris di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah cenderung bersifat endofagik karena lebih banyak mengisap darah orang di dalam rumah (0,036 nyamuk/orang/jam) daripada di luar rumah (0,015 nyamuk/orang/jam). Hal yang berbeda ditemukan di Kecamatan Lengkong, Sukabumi, bahwa An. barbirostris cenderung bersifat eksofagik karena lebih banyak ditemukan mengisap darah di luar rumah (21,67 nyamuk/orang/jam) daripada di dalam rumah (6,50 nyamuk/orang/jam) (Munif et al. 2007). Hal yang sama ditemukan di Desa Alat Hantakan Kalimantan Selatan, bahwa An. barbirostris cenderung bersifat eksofagik karena lebih banyak mengisap darah di luar rumah (0,34 nyamuk/orang/jam) daripada di dalam rumah (0,07 nyamuk/orang/jam) (Salam 2005). Perilaku An. nigerrimus mengisap darah tidak dapat diketahui karena selama penangkapan tidak ada yang ditemukan, baik yang di dalam rumah maupun di luar rumah. Namun demikian, informasi mengenai perilaku mengisap darah An. nigerrimus dari hasil penelitian yang telah dilakukan di tempat lain perlu diketahui. Jastal (2005) menyatakan bahwa An. nigerrimus di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah cenderung bersifat eksofagik karena lebih banyak ditemukan di luar rumah (8,6 nyamuk/orang/jam) daripada di dalam rumah (5,1 nyamuk/orang/jam), dan An. nigerrimus cenderung menunjukkan perilaku zoofilik daripada antropofilik, karena dari hasil penangkapan nyamuk dewasa lebih banyak ditemukan mengisap darah hewan (112 nyamuk/bulan) daripada darah manusia (6,85 nyamuk/bulan). Nyamuk An. indefinitus di Desa Riau ditemukan hanya satu kali pada bulan Maret dan menggigit di luar rumah (0,02 nyamuk/orang/jam). Hasil penelitian ini belum dapat disimpulkan bahwa An. indefinitus lebih padat di luar rumah dan bersifat eksofagik, karena nyamuk ini hanya ditemukan satu ekor. Kemungkinan nyamuk An. indefinitus jarang menggigit orang, seperti yang ditemukan di Desa Lufileo Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, bahwa An. indefinitus merupakan spesies yang
jarang ditemukan menggigit
orang
(Rahmawati 2010). Hal yang sama ditemukan di di Desa Pondok Meja, Muaro Duo, Jambi bahwa An. indefinitus tidak ditemukan dengan menggunakan umpan
9
orang, dan
hanya ditemukan dengan perangkap cahaya dan umpan hewan
(Maloha 2005). Namun, kemungkinan juga An. indefinitus cenderung bersifat eksofagik karena di Desa Cikarawang Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ditemukan An. indefinitus cenderung bersifat eksofagik (Hasan 2006).
4.3
Perilaku Istirahat Nyamuk Anopheles spp. Gambaran nyamuk Anopheles spp. yang istirahat per orang per jam di
Desa Riau, Kecamatan Riau Silip disajikan pada Tabel 3. An. letifer yang tertangkap istirahat di dalam dan di luar rumah mulai ditemukan pada bulan Maret dengan kepadatan 0,16 dan 0,08 nyamuk/orang/jam, dengan kepadatan tertinggi terjadi pada bulan April di luar rumah (0,24 nyamuk/orang/jam). Rata-rata kepadatan An. letifer lebih padat di luar rumah (0,08 nyamuk/orang/jam) daripada di dalam rumah (0,04 nyamuk/orang/jam). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan nyamuk An. Letifer mencari tempat istirahat cenderung bersifat eksofilik. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang ditemukan di sekitar Pusat Reintroduksi orangutan Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, karena perilaku istirahat An. letifer cenderung bersifat endofilik (Juliawaty 2005). Jenis nyamuk lain yang ditemukan pada saat istirahat adalah An. nigerrimus walaupun dalam jumlah yang sedikit, bahkan pada bulan Februari dan bulan Maret tidak ditemukan. Pada bulan April baru ditemukan di dalam rumah satu kali dengan kepadatan 0,08 nyamuk/orang/jam, pada bulan Mei tidak ditemukan lagi, maka belum dapat disimpulkan perilaku istirahat nyamuk ini.
Tabel 3 Rataan kepadatan nyamuk Anopheles spp. istirahat di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Spesies
Februari Maret April Mei Rata-rata
Anopheles
Dd Dl Dd Dl Dd Dl Dd Dl Dd Dl
An. letifer
0
0
0,16
0,08
0
0,24
0
0
0.04
0.08
An. barbirostris
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
An. nigerrimus
0
0
0
0
0,08
0
0
0
0.02
0
An. indefinitus
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Keterangan : Dd=Dinding Dalam, Dl=Dinding Luar
10
Walaupun demikian, dari hasil penelitian ditempat lain dapat diketahui bahwa An. nigerrimus mencari tempat istirahat cenderung eksofilik, seperti yang ditemukan di Desa Pondok Meja, Jambi Luar Kota, Muaro Jambi, Jambi, dapat diketahui bahwa nyamuk ini cenderung bersifat eksofilik (Maloha 2005). An. barbirostris dan An. indefinitus tidak diketahui perilaku istirahatnya karena dari penangkapan nyamuk istirahat tidak ditemukan selama empat bulan di dalam dan di luar rumah. Namun, dari hasil penelitian Rianti (2002) di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dapat diketahui bahwa perilaku An. barbirostris mencari tempat istirahat cenderung bersifat eksofilik. An. barbirostris, An. nigerrimus, dan An. indefinitus selama penangkapan nyamuk istirahat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, bahkan ada yang tidak ditemukan, maka untuk dapat menyimpulkan nyamuk di Desa Riau bersifat endofagik atau eksofagik, endofilik atau eksofilik perlu dilakukan penelitian yang lebih lama.
4.4
Hubungan MBR Anopheles spp. Dengan Kasus Malaria Data angka kesakitan malaria dari Puskesmas Riau Silip, Kabupaten
Bangka dari Bulan Februari sampai Mei 2011 di ambil berdasarkan MoMI (monthly malaria incidence) dan MoPI (monthly parasite incidence). Pengertian MoMI adalah angka kesakitan malaria berdasarkan gejala klinis per 1000 penduduk dalam satu bulan dan di satu lokasi yang sama yang dinyatakan dalam ‰ (permil). MoPI adalah berdasarkan angka yang diperoleh dari sediaan ulas darah yang positif mengandung Plasmodium dalam satu bulan di satu wilayah dibandingkan terhadap jumlah penduduk berisiko pada bulan yang sama, dan dinyatakan dalam ‰ (permil) (Ditjen PP&PL 2009). Kasus penyakit malaria di Desa Riau Kecamatan Riau Silip berdasarkan MoMI dari bulan Februari hingga April 2011 berturut-turut adalah 4,26‰, 6,17‰, 6,75‰, dan 6,05‰. Berdasarkan MoPI tidak ada kasus penyakit malaria yang ditemukan hingga bulan April, kemudian pada bulan Mei baru ditemukan dua kasus (Tabel 4).
11
Tabel 4
Data kasus penyakit malaria di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Bulan
MK
MoMI (‰)
Februari
12
4,26
Positif Jml 5-9 0-11 1-4 10-14 > 15 bln thn Thn Thn Thn L P L P L P L P L P L P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Maret
11
6,17
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
April
19
6,75
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Mei
14
6,05
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
2
0 14,28
MoPI (‰) 0
Keterangan: MK= Malaria klinis, MOMI =Data kasus malaria dengan gejala klinis perbulan (‰) MOPI =Data kasus malaria dengan pemeriksaan mikroskopis perbulan (‰).
Angka kesakitan malaria klinis berdasarkan MoMI
mengalami
peningkatan dari bulan Februari (4,26‰) menjadi (6,17‰) kemudian meningkat (6,75‰) di bulan April, dan kembali turun pada Bulan Mei (6,05‰). Kasus penyakit positif malaria dengan pemeriksaan mikroskop (MoPI) ditemukan bulan Mei pada anak-anak usia 6,3 tahun dan remaja usia 14,7 tahun disaat kepadatan An. letifer menurun (0,05 nyamuk/orang/malam). Malaria terjadi sebagai interaksi antara penderita, parasit Plasmodium, lingkungan dan adanya vektor (nyamuk Anopheles spp.). Hasil pemeriksaan mikroskopis selama tiga bulan penelitian (Februari-Mei 2011) terhadap penderita demam tidak ditemukan Plasmodium positif. Penderita malaria dengan positif Plasmodium baru ditemukan dua orang pada bulan Mei, yaitu Plasmodium falcifarum dan Plasmodium tertiana. Jenis nyamuk yang diduga sebagai vektor malaria di Desa Riau adalah An. letifer bila dilihat dari kepadatannya yang diukur dengan angka MBR (Tabel 5). Hubungan antara kasus malaria selama empat bulan (MoPI) dengan kepadatan MBR An. letifer selama empat bulan di sajikan pada Gambar 8. Hubungan kepadatan An. letifer dengan angka kesakitan malaria menunjukan grafik yang berbanding terbalik. Pada saat kepadatan An. letifer meningkat pada bulan Februari-April, maka kasus penyakit berdasarkan MoPI tidak ada yang ditemukan. Tetapi ketika kepadatan nyamuk menurun (0,02 nyamuk/orang/jam) pada bulan Mei, maka kasus penyakit malaria dengan pemeriksaan laboratorium baru ditemukan (14,28‰).
12
Tabel 5 Rataan kepadatan nyamuk Anopheles spp. mengisap darah orang per malam (MBR) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
An. nigerrimus An. indefinitus UOD UOL UOD UOL
Rataan MBR
UOD
UOL
UOD
UOL
Februari
0,02
0,01
0,03
0,02
0
0
0
0
0,02
Maret
0,09
0,06
0,02
0
0
0
0
0,01
0,05
April
0,11
0,16
0
0
0
0
0
0
0,07
Mei
0,02
0,03
0
0
0
0
0
0
0,01
0
0,01
0,15
16 14
0,1
12
0,08
10
0,06
8
0,04
6 4
0,02
2
0 An.letifer MoPI
Gambar 8
AngkaMoPI
KepadatannyamukAn.letifer (nyamuk/orang/malam)
Rataan 0,06 0,07 0,01 0,005 0 0 MBR Keterangan : UOD=Umpan Orang dalam, UOL=Umpan Orang Luar Rataan MBR (/orang/malam) 0,12
Februari
Maret
April
Mei
0,02
0,09
0,11
0,02
0
0
0
14,28
0
Hubungan angka kesakitan malaria bulanan (MoPI) dengan kepadatan nyamuk An. letifer (MBR) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011
Hasil perhitungan korelasi pearson antara kepadatan (MBR) An. letifer dengan kasus malaria berdasarkan MoPI pada bulan Februari-Mei 2011 diperoleh nilai r = -0,57, hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang tidak cukup erat antara kepadatan nyamuk An. letifer dengan kasus malaria. Oleh karenanya kasus malaria di Desa Riau belum tentu disebabkan oleh An. letifer walaupun telah dikonfirmasi sebagai vektor penularan malaria di Bangka (Boesri 2007).
13
Jarak antara kepadatan tertinggi An. letifer mengisap darah pada bulan April dengan munculnya kasus malaria pada bulan Mei menunjukkan masa inkubasi intrinsik dari penyakit malaria. Masa inkubasi intrinsik adalah mulai masuknya sporozoit kedalam tubuh manusia hingga timbul gejala demam, yaitu selama 8-37 hari (Muklis 2011).
4.5
Hubungan MBR Nyamuk Anopheles spp. Dengan ICH Curah hujan di Desa Riau Kecamatan Riau Silip bulan (Februari-Mei)
berkisar antara 43,7-157,4 mm/bulan, dan pada bulan April curah hujan tertinggi mencapai 157,4 mm/bulan dan mengalami penurunan pada bulan Mei menjadi 154,2 mm/bulan hingga 39,4 mm/bulan. Jumlah hari hujan pada bulan Februari, Maret, April dan Mei masing-masing adalah 15 hari hujan, 23 hari hujan, 20 hari hujan dan 19 hari hujan. Jumlah indeks curah hujan dari bulan Februari-Mei 2011 mengalami fluktuasi, pada bulan Februari (166 mm/bulan), kemudian naik (169,5 mm/bulan) selanjutnya naik lagi (249,3 mm/bulan), dan pada bulan Mei turun (210,8 mm/bulan) (BMKG Pangkalpinang, 2011). Selama penelitian berlangsung (Februari-Mei 2011) keadaan indeks curah hujan dari awal sampai akhir penelitian sangat fluktuatif . Indeks curah hujan tertinggi terjadi pada minggu ke sepuluh penangkapan (112,43 mm/bulan) dan terendah pada minggu ke limabelas (16,89 mm/bulan) (Lampiran 2). Indeks curah
hujan sangat
mempengaruhi keberadaan
habitat
perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles. Indeks curah hujan mempengaruhi kepadatan nyamuk An. Letifer dan An. Barbirostris yang diduga dapat menularkan penyakit malaria di Desa Riau. Selama penelitian berlangsung (Februari-Mei 2011) keadaan indeks curah hujan sangat fluktuatif, demikian juga kepadatan nyamuk Anopheles spp. (Gambar 9). Indeks curah hujan pada bulan Februari menurun (166 mm/bulan) maka kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan mengisap darah orang juga menurun (0,02 nyamuk/orang/jam). Demikian pula pada bulan Maret, indeks curah hujan (169,53 mm/bulan) tidak jauh berbeda dengan bulan Februari, maka kepadatan nyamuk Anopheles spp. ikut naik (0,05 nyamuk/orang/jam).
0,1 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0
300 250 200 150 100 50
Februari Maret April Mei
Indekcurahhujan(mm)
MBR(/orang/malam)
14
0
ICH
166,02
169,53
249,34
210,78
MBR
0,02
0,05
0,07
0,01
Gambar 9 Hubungan indeks curah hujan (mm/bulan) dengan kepadatan nyamuk Anopheles spp. (MBR) di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011.
Kepadatan nyamuk Anopheles spp. ditemukan paling tinggi pada bulan Maret dan April (0,05 dan 0,07 /orang/malam), sedangkan pada bulan Mei indeks curah hujan menurun diiringi menurunnya kepadatan nyamuk Anopheles spp. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukan hubungan yang tidak erat (r = 0,47)), dan didapatkan nilai koefisien determinasi (R² = 0,22), artinya pengaruh indeks curah hujan terhadap kepadatan nyamuk Anopheles yang ada di Desa Riau hanya sebesar 22%. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Rahmawati (2010) di Desa Lifuleo, hubungan antara curah hujan dengan kepadatan Anopheles berbanding lurus, artinya curah hujan tinggi diikuti meningkatnya kepadatan nyamuk Anopheles spp. Sementara di Kabupaten Rajabasa dan Pesawaran Lampung Selatan dilaporkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara indeks curah hujan dengan jumlah An. sundaicus hinggap di badan per orang per malam (Suwito 2010). Keadaan yang berbeda terjadi di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah, curah hujan kurang mempengaruhi angka kepadatan An. barbirostris dan An. nigerrimus,tetapi kepadatan nyamuk Anopheles dipengaruhi oleh pertumbuhan padi, dimana pada saat padi membutuhkan air, kepadatan
15
nyamuk juga meningkat dan saat musim panen atau mengolah sawah, kepadatan nyamuk juga menurun (Jastal 2005).
4.6
Aktivitas Mengisap Darah Pada Malam Hari Nyamuk Anopheles mempunyai aktivitas mengisap darah pada malam hari
(nokturnal) dan mempunyai fluktuasi aktivitas mengisap darah pada jam-jam tertentu. Nyamuk Anopheles spp. yang berhasil ditangkap dengan umpan orang setiap jam selama 12 jam menunjukan fluktuasi aktivitas mengisap darah nyamuk An. letifer dan An. barbirostris, karena kedua spesies nyamuk merupakan yang paling sering ditemukan selama penangkapan mulai bulan Februari hingga Mei 2011 (Gambar 10 dan 11). Di dalam rumah, aktivitas mengisap darah An. letifer menunjukkan fluktuasi secara teratur, dan mengisap darah sepanjang malam, mulai mengisap darah pukul 18.00 hingga 06.00 WIB. Puncak kepadatan mengisap darah An. letifer terjadi pada pukul 19.00-20.00 WIB di saat orang berkumpul di ruang keluarga. Aktivitas mengisap darah di dalam rumah terjadi lagi pada waktu orang sedang istirahat tidur (24.00-02.00 WIB).
KepadatannyamukAnopheles (nyamuk/orang/jam)
0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
An.letifer An.barbirostris
18- 19- 20- 21- 22- 19 20 21 22 23 0,02
0
0,06
0
0
0
0
23- 24
24- 01
01- 02
02- 03
0,17 0,06 0,06 0,02 0
0,02 0,02 0,04 0,02 0
0
03- 04
04- 05
05- 06
0,04 0,06 0,02 0
0
0
An.indefinitus 0 0 0 0 0 0 0 0,02 0 0 0 0 Gambar 10 Rata-rata kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap
dengan umpan orang dalam rumah per orang per jam di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011.
16 Nyamuk An. barbirostris mulai aktif mengisap darah di dalam rumah
mulai pukul 19.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB, dan puncak mengisap darah terjadi lagi pada pukul 21.00-22.00 WIB, pada waktu penduduk sudah istirahat tidur. Selama penelitian nyamuk An. indefinitus hanya ditemukan satu kali pada pukul 01.00-02.00 WIB, sedangkan nyamuk An. nigerrimus tidak ada yang ditemukan. Aktivitas mengisap darah An. letifer di Desa Riau menunjukkan persamaan waktu mengisap darah pada beberapa tempat. Friaraiyatini et al. (2006) melaporkan bahwa A. letifer di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, jawa Tengah, aktivitas mengisap darah mulai pukul 18.00 WIB, dan puncaknya pada pukul 22.00WIB. Keadaan yang tidak jauh berbeda di Kampung Bongor, Grik yang terletak di bagian timur barat Hulu Perak, Malaysia, bahwa aktivitas mengisap darah An. letifer sejam selepas senja dan meningkat setelah dua jam (Yee 2008). An. letifer di Desa Alat Hantakan, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan ditemukan di dalam rumah dengan aktivitas mengisap darah sepanjang malam dari pukul 18.00 hingga pukul 06.00 pagi (Salam 2005). Nyamuk Anopheles yang menunjukkan aktivitas mengisap darah di dalam rumah selain An. letifer adalah A. barbirostris, dan ditemukan mengisap darah sepanjang malam. Hal ini tidak berbeda dengan aktivitas mengisap darah An. barbirostris di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah, ditemukan sepanjang malam dari pukul 18.00-06.00 baik di dalam maupun di luar rumah, dan puncak kepadatan mengisap darah di dalam rumah terjadi pada pukul 22.00- 24.00 (Jastal 2005). Nyamuk An. indefinitus tidak menampakan fluktuasi aktivitas mengisap darah karena nyamuk yang tertangkap hanya satu ekor di dalam rumah selama empat bulan penangkapan (Tabel 2). Hasil penelitian di tempat lain merupakan informasi yang dapat menjelaskan perilaku aktivitas mengisap darah nyamuk An. nigerrimus. Jastal (2005) menyatakan bahwa aktivitas mengisap darah An. nigerrimus berfluktuasi dari pukul 18.00-06.00, dan puncak mengisap darah di dalam rumah pada pukul 22.00-24.00. Di Sulawesi Tengah nyamuk ini belum dikonfirmasi sebagai vektor penyakit malaria.
17 0,09 KepadatannyamukAnopheles (nyamuk/orang/jam)
0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0
An.letifer
18‐ 19‐ 20‐ 21‐ 22‐ 23‐ 24‐ 01‐ 02‐ 03‐ 04‐ 05‐ 19 20 21 22 23 24 01 02 03 04 05 06 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
An.barbirostris 0
Gambar 11
0
0,0 0,0
0
0,0
0
0
0
0
0,0
0
Rata-rata kepadatan nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap dengan umpan orang luar rumah pada jam 18.00-06.00 WIB di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Di luar rumah, aktivitas mengisap darah nyamuk An. letifer di Desa Riau mulai menjelang senja (18.00-19.00 WIB), pada waktu orang berkumpul di teras rumah. Kebiasaan masyarakat di desa Riau setelah sholat atau setelah makan malam duduk santai di teras rumah. Puncak mengisap darah di luar rumah pada waktu menjelang malam (22.00-23.00 WIB), dan aktivitas mengisap darah mulai menurun menjelang pagi. Kemudian aktivitas mengisap darah An. barbirostris mulai di luar rumah menjelang malam dan berakhir tengah malam, yaitu dari pukul 21.00 sampai 01.00 WIB, dan puncak mengisap darah pada pukul 23.00- 24.00 WIB (Gambar 6). Aktivitas nyamuk Anopheles spp. mengisap darah menunjukkan waktu dan puncak mengisap darah yang bervariasi pada beberapa tempat. Jastal (2005) melaporkan bahwa aktiviats mengisap darah An. barbirostris di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah dari pukul 18.00-06.00 WITA dengan puncak kepadatan mengisap darah di luar rumah terjadi pada pukul 22.00-24.00 WITA. Sementara di Desa Segara kembang, Kecamatan Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, ditemukan An. barbirostris mulai mengisap darah di luar rumah mulai pukul 18.00-20.00 WIB, dan puncak mengisap darah terjadi pada pukul 24.00-02.00 WIB (U’din 2005). Selanjutnya di Kecamatan Lengkong, Sukabumi
18
ditemukan An. Barbirostris mengisap darah sepanjang malam, dan terdapat dua kali puncak mengisap darah, yaitu pukul 19.00-20.00 dan pukul 02.00-03.00 WIB (Munif et al. 2007). Fluktuasi aktivitas mengisap darah nyamuk Anopheles di Desa Riau menunjukan perbedaan puncak mengisap darah, hal ini dapat di pengaruhi iklim, seperti angin dan curah hujan. Dari beberapa kali penangkapan yang dilakukan tidak ada terasa angin pada waktu menjelang malam, tetapi pada waktu menjelang tengah malam hingga menjelang fajar terasa angin semilir. Kemudian curah hujan selama empat bulan termasuk tinggi karena hampir setiap hari hujan. Munif et al. (2007) menyatakan bahwa puncak aktivitas mengisap darah nyamuk Anopheles pertama kali sebelum tengah malam dan menjelang pagi, keadaan ini dapat berubah karena adanya pengaruh suhu, kelembaban udara dan angin yang dapat menyebabkan bertambah dan berkurangnya kehadiran nyamuk di suatu tempat.
4.7
Karakteristik Habitat Larva Anopheles spp.
4.7.1 Jenis Habitat Potensial Jenis habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. yang di temukan di Desa Riau Kecamatan Riau Silip sebanyak 24 titik yang terdiri dari 7 jenis habitat (Tabel 6), dan tersebar di empat dusun, yaitu sembilan titik di Dusun Riau, lima titik di Dusun Simpang Lumut, Empat titik di Dusun Sinar Gunung, dan enam titik di Dusun Tirus (Tabel 7). Selama pengamatan empat bulan, hanya satu habitat potensial yang positif ditemukan larva Anopheles dengan kepadatan 0,01 larva/cidukan, sedangkan 23 habitat tidak ditemukan larva Anopheles spp. Keberadaan predator pada suatu habitat dapat mengurangi populasi nyamuk. Predator yang ditemukan pada sebagian habitat terdiri atas berudu dan ikan, maka hal ini merupakan salah satu penyebab sulitnya menemukan larva Anopheles spp. Juliawati (2008) melaporkan di sekitar pusat
Reintroduksi orangutan nyaru Menteng, Palangkaraya,
Kalimantan Tengah tidak ditemukan larva Anopheles spp. dari 13 titik pengamatan habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp.
19
Tabel 6
Jenis habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Jenis Habitat
Jumlah
Habitat
Kepadatan Persentase
Positif
(larva/cidukan)
Parit
7
0
0
29.17
Kubangan
8
1
0,01
33.33
Rawa-rawa
1
0
0
4.17
Sumur
2
0
0
8.33
Kolong
3
0
0
25
Kubakan
2
0
0
8.33
Kolam
1
0
0
4.17
Jumlah
24
0
0,01
100
Larva Anopheles yang ditemukan pada habitat kubangan di Dusun Tirus, kemudian di pelihara, dan setelah menjadi nyamuk Anopheles dewasa di identifikasi dengan kunci identifikasi nyamuk dewasa Sumatera dan Kalimantan oleh O’Connor dan Soepanto (Ditjen PP & PL 2000). Hasil identifikasi menunjukan bahwa larva yang ditemukan adalah nyamuk An. letifer. Jenis-jenis habitat yang ditemukan di Desa Riau dari bulan Februari hingga Mei 2011 dapat dijelaskan sebagai berikut :
4.7.1.1 Parit Parit merupakan lahan basah buatan berupa perairan mengalir. Selain istilah parit, istilah selokan juga kadang digunakan untuk menyebut perairan mengalir buatan berukuran kecil (Puspita et al. 2005). Pengamatan larva selama empat bulan tidak ditemukan larva Anopheles. Pengukuran karakteristik habitat didapatkan kisaran suhu 27-28ºC, pH 6,9-7,1, salinitas 0‰, kekeruhan 6-12 NTU, dasar parit berupa lumpur dan pasir, kedalaman parit mencapai 5-20 cm, tidak terdapat tanaman air, terdapat berudu dan ikan yang berpotensi sebagai predator larva nyamuk (Gambar 12). Parit merupakan habitat potensial larva Anopheles spp. seperti di Desa Doro Kabupaten Maluku Selatan ditemukan An. farauti, An. punctulatus, dan An. vagus (Mulyadi 2010).
20 a) Parit 1 d) Parit 4
b) Parit 2
e) Parit 5
c) Parit 3
f) Parit 6
g) Parit 7
Gambar 12 Parit merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Di Kecamatan Padangcermin dan Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan, parit merupakan habitat nyamuk Anopheles spp. (Suwito 2010), demikian juga di lembah Artibonite Haiti (Caillouet et al. 2007).
4.7.1.2 Kubangan Kubangan adalah lekukan pada daratan yang berisi air bercampur lumpur (Poerwadarminta 2006).
21 a) Kubangan 1 d) Kubangan 4
b) Kubangan 2
e) Kubangan 5
g) Kubangan 7
c) Kubangan 3
f) Kubangan 6
h) Kubangan 8
Gambar 13 Kubangan merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Kubangan yang ditemukan sebanyak 8 habitat, dan hanya satu habitat yang positif dengan kepadatan 0,01 larva/cidukan. Karakteristik habitat yang diamati pH 6,0-6,7, suhu 24-27ºC, salinitas 0‰, kekeruhan 6-41 NTU, dasar habitat lumpur, kedalaman 5-27 cm, tidak terdapat tanaman air, dan terdapat ikan kepala timah dan berudu (Gambar 13). Sekitar kubangan terdapat tanaman peneduh, karena
tumbuhan yang ada ditempat perindukan nyamuk merupakan tempat
berlindung bagi larva, dan dapat dijadikan nyamuk dewasa sebagai naungan Russel et al. (1963).
22
Habitat yang disenangi larva Anopheles spp. bervariasi, seperti di Desa Doro ditemukan An. farauti dan An. vagus pada habitat kubangan (Mulyadi 2010). Begitu pula An. vagus dan An. barbirostris ditemukan di Rajabasa dan Padangcermin, Lampung Selatan pada habitat kubangan (Suwito 2010).
4.7.1.3 Rawa-rawa Rawa-rawa adalah tanah rendah yang selalu tergenang air karena tidak ada pelepasan air (drainase) (Click 2011). Rawa-rawa di Desa Riau merupakan genangan air yang luas dan terdapat vegetasi seperti rumput air, kerapatan rumput air yang tinggi, dan tidak mengalir (Gambar 14). Karakteristik habitat terdiri atas pH 6,3-6,4, suhu 28ºC, salinitas 0‰, kekeruhan 6-14 NTU, kedalaman air pada bagian pinggir 12-15 cm, dasar habitat tanah liat, terdapat tanaman rumput, dan ditemukan ikan. Larva Anopheles tidak ditemukan, tetapi habitat rawa-rawa merupakan habitat potensial tempat perkembangbiakan larva Anopheles spp. (Gambar 14). Mulyadi (2010) melaporkan bahwa An. farauti di desa Doro ditemukan pada rawa-rawa. Sementara nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Kecamatan Rajabasa lampung selatan dan Kecamatan Padangcermin Pesawaran pada rawa-rawa lebih beragam.
Gambar 14 Rawa-rawa merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
23
Di Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan ditemukan An. sundaicus, An. barbirostris, An. subpictus, An. vagus, dan An. aconitus, sedangkan di Kecamatan Padangcermin Pesawaran ditemukan An. sundaicus, An. vagus, dan An. subpictus (Suwito 2010). Demikian juga larva Anopheles spp. di Kenya ditemukan pada rawa-rawa (Mwangangi et al. 2007).
4.7.1.4 Sumur
Sumur adalah lubang yang sengaja dibuat menembus lapisan tanah untuk memperoleh air, minyak, atau gas (Poerwadarminta, 2006). Sumur yang ditemukan di Desa Riau tidak digunakan/dimanfaatkan lagi, sumur pertama terletak di areal perkebunan dan dibawah pohon jambu, maka banyak jambu dan ranting busuk di dalam sumur, sedangkan sumur kedua terletak di areal terbuka dan di kelilingi tanaman rumput (Gambar 15). Air sumur bersuhu 24-25ºC, salinitas 0‰, pH 5,4-6,1, kekeruhan 2 NTU, dasar sumur berupa tanah liat dan pasir, kedalaman 2-2,5 meter, tidak terdapat tanaman air, dan terdapat ikan. Larva Anopheles spp. tidak ditemukan, namun merupakan habitat potensial karena sudah tidak digunakan/dimanfaatkan lagi (Gambar 15). a) Sumur 1 b) Sumur 2 Gambar 15 Sumur merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei
2011
24
Mulyadi (2010) menyatakan bahwa larva An. farauti di Desa Doro Halmahera Selatan ditemukan pada sumur yang sudah tidak digunakan lagi dengan kepadatan rata-rata 1,7 larva/cidukan, terdapat ganggang hijau, kedalaman 80-120 cm, dasar pasir dan dinding terbuat dari semen. Sementara itu, Suwito (2010) melaporkan bahwa An. sundaicus, An. annularis, An. vagus, dan An. kochi di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin dapat hidup dan berkembang di dalam sumur.
4.7.1.5 Kolong
Kolam/danau bekas penambangan (dikenal dengan sebutan kolong) adalah perairan/badan air yang terbentuk dari lahan bekas penambangan bahan galian (Wardoyo dan Ismail 1998 dalam Puspita et al. 2005). Gambar pertama dan kedua bekas tambang timah yang sudah lama sehingga banyak di tumbuhi semak belukar di sekelilingnya, dan gambar kolong tiga merupakan kolong yang baru di tinggalkan sehingga masih meninggalkan warna air keruh berwarna putih (Gambar 16). Kolong berisi air dengan pH 6,4-7,3, suhu 26-27ºC, salinitas 0‰, kekeruhan 10-17 NTU, dasar kolong berupa lumpur dan pasir, kedalaman air dapat mencapai 10 meter, terdapat tanaman rumput, juga terdapat ikan dan berudu. Dari tiga kolong yang diamati tidak ditemukan larva Anopheles. a) Kolong 1
Gambar 16
b) Kolong 2
c) Kolong 3
Kolong merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
25 Qomariah (2004) melaporkan bahwa An. philippinensis, An. peditaeniatus,
An. barbirostris dan An. nigerrimus ditemukan dari pencidukan larva pada Kolong Ijo, Kelurahan Bacang, Kotamadya Pangkalpinang.
4.7.1.6 Kobakan
Kobakan adalah lubang kecil di tanah yang berisi air sehabis hujan (Poerwadarminta, 2006). Kobakan di Desa Riau merupakan lobang kecil/lekuk pada tanah berukuran sempit (kurang dari 1 m ²), hanya berisi air pada waktu hujan dan tidak permanen (Gambar 17). Selama pengamatan tidak ada ditemukan larva Anopheles spp. Hal ini kemungkinan disebabkan air kobakan berwarna merah keruh, dan pada kobakan kedua terdapat predator berudu. Habitat kobakan di Desa Riau tidak ditemukan larva Anopheles. Kobakan terletak pada areal terbuka dengan kedalaman 6-8 cm, suhu 27°C, pH 5-6,6, salinitas 0‰, dasar kobakan berupa pasir, kekeruhan 2-14 NTU, tidak terdapat tanaman air, dan terdapat berudu. Larva Anopheles spp. di beberapa tempat ditemukan di air jernih dan keruh (Gambar 17). Larva An. sundaicus, An. barbirostris dan An.vagus di Daerah pantai Banyuwangi, Jawa Timur ditemukan pada air keruh dengan kedalaman air 50 cm, dan larva An. barbirostris dan An. sundaicus terdapat pada habitat kobakan (Shinta et al. 2003). a) Kobakan 1
Gambar 17
b) Kobakan 2
Kobakan merupakan habitat potensial perkembangbiakann nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
26
Adapun larva An. farauti, An. punctulatus, An. vagus dan An. kochi di Desa Doro, Halmahera Selatan, Maluku Utara, ditemukan pada kobakan dengan kedalaman berkisar antara 5-10 Cm, air tidak mengalir, warna air jernih dan keruh (Mulyadi 2010).
4.7.1.8 Kolam Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah tertentu sehingga dapat dipergunakan pemeliharaan ikan dan hewan air lainnya (Susanto 1992 di dalam Puspita et al. 2005). Kolam terdapat di depan rumah penduduk dengan jarak sekitar 300 meter, jarang dibersihkan dan di dalamnya terdapat berudu. Pada kolam seluas 1m² terdapat tanaman teratai, pH air berkisar antara 6,2-6,4, suhu 25-27ºC, salinitas 0‰, kekeruhan 22-23 NTU, dasar kolam berupa tanah dan pasir, kedalaman 10- 12 cm, terdapat berudu (Gambar 18). Larva Anopheles spp. tidak ditemukan larva Anopheles selama empat bulan (Februari-Mei 2011) (Gambar 18). Sitorus (2005) melaporkan bahwa larva An. barbirostris yang didapat selama penelitian (April 2004-Desember 2005) di Desa Tegal Rejo, Kecamatan Belitang, Kabupaten OKU, ditemukan pada kolam dengan kepadatan 0,045 larva/cidukan. Larva Anopheles spp. di Kenya juga ditemukan pada tipe habitat kolam (Mwangangi et al. 2007). Habitat larva Anopheles yang ditemukan di Korea Selatan ada 51 buah yang dikelompokkan dalam 12 tipe habitat, pada habitat kolam yang berjumlah lima buah ditemukan larva 10% di Provinsi Chungcheongnam dan Jeju Korea Selatan (Rueda et al. 2006).
Gambar 18 Kolam merupakan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
27
4.7.2 Pengukuran Karakteristik Fisik, Kimia dan Biologi Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. Pengukuran karakteristik habitat potensial perkembangbiakan Anopheles dilakukan satu bulan sekali, sehingga didapatkan data yang jelas tentang karakteristik habitat larva dan habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. (Lampiran 1). Selama pengamatan ditemukan larva Anopheles hanya pada satu habitat yaitu habitat kubangan. Sedangkan 23 titik habitat yang dilakukan pengamatan selama empat bulan tidak ditemukan larva Anopheles spp. Hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi, seperti adanya predator, tambang timah rakyat yang masih aktif, dan curah hujan. Hasil pengukuran karakteristik habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles yang potisif disajikan pada Tabel 7.
4.7.2.1 Suhu Air Suhu air habitat perkembangbiakan An. letifer dari bulan Februari sampai Mei tidak mengalami perubahan (24⁰C), dan suhu ini masih dalam batas suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp., yaitu 23⁰C-27⁰C (WHO 1982 di dalam Mulyadi 2010). Beberapa tempat menunjukan larva Anopheles spp. dapat hidup dan berkembangbiak pada suhu yang bervariasi. Larva Anopheles spp. yang ditemukan di Dusun Mataram Lengkong Kabupaten Sukabumi menunjukan kisaran suhu optimal air di ketiga kolam antara 22,9⁰C sampai dengan 31,2⁰C (Saleh 2002). Suhu habitat larva Anopheles spp. yang ditemukan di Desa Way Muli Kecamatan Rajabasa lebih tinggi, yaitu 33,5°C (Setyaningrum 2007).
Tabel
7
Karakteristik habitat potensial perkembangbiakan An. letifer di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Bulan
pH
Februari Maret April Mei
6,1 6,1 6,1 6,0
Suhu (°C) 24 24 24 24
Sal. (‰) 0 0 0 0
keruh (NTU) 6 6 6 6
Dasar Habitat lumpur lumpur lumpur lumpur
Keterangan : Sal=Salinitas, Keruh=Kekeruhan, Kdl=Kedalaman
Kdl (Cm) 20 25 22 13
Tanaman Air Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Predator Berudu Berudu Berudu Berudu
28
4.7.2.2 pH Air Air alami pada umumnya mempunyai pH yang bersifat netral, tidak bersifat asam atau basa (pH netral antara 6-9). Pengukuran karakteristik habitat larva An. letifer dari bulan Februari-Mei masih dalam batas normal, yaitu 6,0-6,1. Pada bulan Februari pH air 6,1 tetapi tidak ditemukan larva Anopheles spp. Kemudian bulan Maret pH air 6,1 ditemukan An. letifer dengan kepadatan 0,01 larva/cidukan. Selanjutnya bulan April-Mei pH air 6,1 dan 6,0 tidak ditemukan larva Anopheles spp. pH air di beberapa tempat menunujukan kisaran pH air yang netral, seperti larva Anopheles di Desa Doro Halmahera Selatan Maluku Utara ditemukan pada pH air yang yang netral 6,8-7,1 (Mulyadi 2010). Demikian juga di Desa Hargotirto, Kabupaten Kulonprogo ditemukan larva Anopheles pada pH yang netral pada sungai berkisar antara 6,78-7,12, sedangkan pada pada mata air berkisar antara 6,70-7,24 (Santoso 2005).
4.7.2.3 Salinitas Larva An. letifer ditemukan pada habitat kubangan dengan salinitas 0‰. Secara geografis Desa Riau letaknya jauh dari laut, maka air di Desa Riau tidak mengandung kadar garam. Habitat potensial yang ditemukan semuanya dengan salinitas 0‰. Larva Anopheles spp. pada suatu tempat dapat hidup dan berkembangbiak pada salinitas yang bervariasi. Hasil ini sama dengan penelitian Setyaningrum (2007) di Desa Way Muli Lampung Selatan ditemukan larva Anopheles di selokan air mengalir dengan salinitas 0‰, begitu juga di rawa-rawa dan selokan air tergenang. Berbeda dengan yang ditemukan Suwito (2010) di Kecamatan Padangcermin, larva Anopheles hidup pada salinitas 0-34‰, tetapi larva Anopheles di Rajabasa Lampung Selatan ditemukan dengan salinitas lebih rendah, yaitu salinitas 0-5‰.
4.7.2.4 Kekeruhan Kekeruhan biasanya disebabkan oleh zat pada tersuspensi, baik yang bersifat organik maupun anorganik. Pada dasarnya zat organik merupakan makanan bagi bakteri atau mikroorganisme yang ada dalam air dan mendukung perkembangbiakannya. Larva nyamuk An. letifer ditemukan pada habitat air
29
jernih dengan kekeruhan 6 NTU (natelson turbidity units). Larva Anopheles spp. bukan hanya dapat hidup dan berkembangbiak di air yang jernih, di beberapa tempat larva Anopheles spp. dapat hidup dan berkembangbiak di air yang keruh bahkan sangat keruh, seperti larva nyamuk Anopheles di Dusun Mataram Lengkong Kabupaten Sukabumi menunjukkan kisaran kekeruhan air yang disukai larva Anopheles 70-150 NTU (Saleh 2002).
4.7.2.5 Dasar Habitat Dasar habitat larva An. letifer adalah lumpur. Pada habitat dengan dasar pasir dan tanah liat tidak ditemukan larva, seperti rawa-rawa, kolong, dan sumur. Dasar habitat larva Anopheles di beberapa tempat menunjukkan kesamaan. Larva Anopheles spp. di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin sebagian besar ditemukan pada perairan dengan dasar lumpur (Suwito, 2010), hal yang sama ditemukan di Desa Doro Halmahera Selatan (Mulyadi 2010) dan di Desa Way Muli Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan (Setyaningrum 2007).
4.7.2.6 Kedalaman Larva An. letifer yang ditemukan pada habitat tipe dangkal dan tidak permanen karena air habitat akan kering bila tidak hujan satu minggu. Kedalaman air selama empat bulan berfluktuasi karena curah hujan dari bulan Februari hingga April 2011 berfluktuasi. Larva An. letifer ditemukan pada bulan Maret dengan kedalaman air 25 cm. Walaupun An. letifer hanya ditemukan pada satu habitat dengan kedalaman 25 cm, namun di beberapa tempat nyamuk Anopheles spp. dapat bertahan hidup dan berkembang dengan kedalaman air yang berbeda-beda. Grieco et al. (2007) menyatakan bahwa larva Anopheles ditemukan pada air dengan kedalaman 30-50 cm. Setyaningrum et al. (2007) melaporkan bahwa larva Anopheles spp. di Desa Way Muli, Lampung Selatan ditemukan pada kedalaman 15 cm pada habitat selokan air mengalir, 100 cm pada rawa-rawa, dan 25 cm pada selokan air tergenang. Sementara itu, di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran, Lampung Selatan ditemukan pada kedalaman air yang bervariasi, An. tesselatus (5 cm), An. maculatus (50-150 cm), An. indefinitus (20-150 cm), An. aconitus (10-15 cm) dan An. subpictus (20-200 cm), adapun di Kecamatan Rajabasa
30 ditemukan An. tesselatus (100-200 cm), An. indefinitus (10 cm), An. aconitus (10-
200 cm) dan An. subpictus (10-200 cm) (Suwito 2010). Selanjutnya, di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, ditemukan larva An. subpictus pada kedalaman 50- 100 cm pada kolam rendaman rumput laut, 30-70 cm pada sumur dangkal, sedangkan di Pulau Tidung ditemukan pada sumur dengan kedalaman 50-150 cm (Ariati et al. 2007). Adapun di Daerah Pasang Surut Asahan, Sumatera Selatan ditemukan larva An. sundaicus pada kedalaman habitat 70-75 cm (Sembiring 2005).
4.7.2.7 Tanaman Air Tanaman air dapat mempengaruhi keberadaan larva Anopheles spp. pada suatu tempat. Larva An. letifer yang ditemukan pada habitat kubangan tidak terdapat tanaman air pada permukaan air. Di sekitar habitat terdapat pohon yang dapat berguna sebagai naungan. Walaupun di Desa Riau hanya ditemukan satu habitat yang positif selama penelitian, tetapi ada kemungkinan nyamuk Anopheles spp. dapat berkembangbiak pada habitat potensial, karena larva Anopheles spp. menyukai habitat dengan tanaman air atau tidak ada tanaman air. Lee et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa spesies nyamuk Anopheles menyukai air yang teduh, tetapi ada juga yang menyenangi habitat air yang terkena matahari langsung, dan yang lainnya menyukai habitat air yang ada tanaman air. Umumnya larva Anopheles lebih menyukai air bersih dan tidak terpolusi. Sitorus (2005) melaporkan bahwa jenis-jenis tanaman air yang ditemukan dari seluruh habitat nyamuk Anopheles spp. di Desa Tegal Rejo, kecamatan Belitang, Kabupaten OKI, yaitu eceng gondok, kangkung dan rumput, sedangkan di persawahan ditumbuhi tanaman padi. Adapun di Desa Doro, Halmahera Selatan, ditemukan tanaman air berupa ganggang hampir pada seluruh habitat larva Anopheles spp. (Mulyadi 2010)
4.7.2.8 Predator Jenis predator yang ditemukan pada habitat hanya anak katak (berudu) dan dalam jumlah yang cukup banyak. Hal yang sama di Desa Doro Halmahera Selatan ditemukan predator berudu pada habitat parit, kobakan, kubangan,
31
kolam,sumur, kali, dan rawa-rawa, selain itu ditemukan ikan dan larva capung (Mulyadi 2010). Adapun di Pantai Asahan Sumatera Utara terdapat ikan-ikan kecil pada habitat larva An. sundaicus yang diduga sebagai predator (Sembiring 2005). Sementara predator nyamuk Anopheles yang ada di Desa Tongoa, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, ditemukan pada tiga habitat berbeda-beda. Habitat kolam dengan naungan ditemukan ikan kepala timah (Aplocheilus panchax) dan larva capung (Libellula sp.). Habitat kolam tanpa naungan ditemukan berudu (Chadijah 2005).
4.7.3 Pemetaan Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. Pemetaan habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. terletak di Desa Riau dengan luas wilayah desa 51.720 Km². Desa Riau terdiri atas empat dusun, dan keadaan tanahnya merupakan dataran rendah dan beriklim tropis tipe A (BPS & BPPD Kab. Bangka 2010). Pengukuran karakteristik habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. dilakukan pada setiap dusun dengan titik koordinat secara UTM 48 (universal transfer mercarator) terletak antara 598144 BT-593063 BT dan 9802730 LS-9802853 LS dengan ketinggian antara 10-35 di atas permukaan laut (Gambar 19). Gambar 19 menunjukan habitat potensial perkembangbiakan nyamuk Anopheles tersebar dari Dusun Riau hingga Dusun Tirus. Habitat yang ditemukan sebanyak 24 habitat, dan habitat negatif yang ditemukan sebanyak 23 habitat (Titik hitam), sedangkan habitat positif hanya satu habitat (Titik Merah). Habitat terbanyak adalah kubangan (33,33%) dan menyebar pada empat dusun, sedangkan jumlah habitat yang sedikit adalah rawa-rawa (4,17%) terletak di Dusun Riau, dan kolam (4,17%) terletak di Dusun Tirus. Letak habitat potensial dekat dengan pemukiman penduduk sekitar 300 meter, tambang timah yang masih aktif dan yang sudah tidak aktif lagi sehingga banyak air yang tercemar limbah bahan bakar, kemudian di sekitar habitat masih banyak semak belukar, hutan, dan daerah ladang luas yang belum dimanfaatkan.
ar 19 Titik habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011
33
Tabel 8 Titik koordinat habitat potensial perkembangbiakan Anopheles spp. di Desa Riau, Februari-Mei 2011
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
GPS Bujur Lintang 598144 9809207 597942 9808824 597961 9808753 597943 9808635 597523 9808453 595397 9807532 595081 9806803 594982 9806632 594908 9806579 594915 9806539 593063 9806579 594569 9804352 594908 9803554 594943 9803554 594866 9802908 594799 9802587 594758 9802492 594725 9802495 594181 9803257 593921 9802968 593742 9802713 593611 9802736 593096 9802853 593063 9802730
JH Parit 1 Kubangan 1 Rawa-rawa 1 Sumur 1 Parit 2 Parit 3 kubangan 2 Kubangan 8 Kubakan 1 Parit 4 Parit 5 Kolong 1 Kubangan 3 Parit 6 Kolong 2 Kubangan 4 Parit 7 Kolong 3 Kubangan 5 Sumur2 Kubangan 7 Kolam Kubangan 6 Kubakan 2
Kpd (L/C) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0
K
Dusun
35 21 19 21 16 10 23 17 34 21 22 21 17 22 31 28 10 28 16 10 24 10 21 22
Riau Riau Riau Riau Riau Riau Riau Riau Riau Simpang Lumut Simpang Lumut Simpang Lumut Simpang Lumut Simpang Lumut Sinar Gunung Sinar Gunung Sinar Gunung Sinar Gunung Tirus Tirus Tirus Tirus Tirus Tirus Keterangan : JH= Jenis Habitat, Kpd= kepadatan, LC = Larva/Cidukan, K=Ketinggian Sumber : Penandaan titik dengan GPS Garmin 6.0
Habitat potensial larva An. Letifer yang ditemukan di dusun Tirus letaknya tidak jauh dari pemukiman penduduk sekitar 200 meter, disekitarnya terdapat daerah yang belum di manfaatkan, masih banyak terdapat semak belukar yang dapat digunakan nyamuk sebagai tempat untuk istirahat, tambang timah masih aktif (tambang inkonvensional) yang biasa di sebut TI oleh masyarakat Bangka dan masih banyak
34
terdapat di Desa Riau. Keadaan lingkungan yang mendukung dan adanya habitat yang sesuai dengan An. Letifer, maka berpotensi akan meningkatkan populasi nyamuk. Penularan penyakit malaria tidak lepas dari peranan nyamuk Anopheles spp. sebagai vektor. Habitat yang ditemukan di Desa Riau merupakan habitat yang sangat potensial sebagai tempat perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles spp. dengan ditemukannya nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap dengan umpan orang dan istirahat, yaitu An. letifer, An. barbirostris, An. nigerrimus, dan An. indefinitus. Nyamuk ini menyukai air tenang, bersih, dan terdapat semak belukar sebagai tempat nyamuk istirahat. Penyebaran nyamuk berdasarkan jarak terbang nyamuk Anopheles yaitu berkisar 0,5-2,5 Km, dan bila ada angin dapat mencapai 5 Km, maka penyebaran nyamuk dari titk positif dapat mencapai titik 19 dan dapat mencapai perbatasan Dusun Tirus dan Dusun Sinar Gunung. Pergerakan nyamuk dari tempat berkembangbiak ke tempat istirahat, lalu ke tempat hospes, dan selanjutnya ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk (Ditjen. PP&PL 2007). Fenomena ini dapat diperkirakan penyebaran
An.
letifer dapat mencapai perbatasan antara dusun Tirus dan dusun Sinar Gunung yang berjarak sekitar 2 km. Habitat potensial terletak dekat dengan permukiman penduduk, hal ini merupakan faktor yang sangat penting terjadinya penularan malaria (Vas Dev et al. 2004), sesuai dengan penelitian Erdinal et al. (2006) bahwa kasus malaria yang ditemukan di Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Kabupaten Kampar, jarak antara permukiman dengan habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles berjarak kurang dari 2 km. Desa Riau mempunyai kondisi geografis dan demografis yang menunjang sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles, seperti permukiman penduduk yang berdekatan dengan kolong, rawa-rawa, semak belukar, dan pohon-pohon yang sebagian memungkinkan tempat beristirahat nyamuk Anopheles spp. Rumah penduduk yang sebagian besar terletak dekat dengan habitat potensial, jarak antar rumah yang tidak terlalu rapat, juga di sekitar rumah dikelilingi semak belukar dan ladang yang belum digunakan merupakan tempat yang disukai nyamuk Anopheles spp. untuk beristirahat.
35
Aktivitas penduduk yang suka berkumpul di luar rumah dan tinggal di pondok tempat dilakukan penambangan timah (tambang inkonvensional), keadaan ini merupakan kondisi yang sangat memudahkan nyamuk Anopheles spp. hinggap dan mengisap darah manusia.
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan 1
Keragaman nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan ada empat jenis, yaitu An. letifer (80,88%), An. barbirostris (16,18%), An. nigerrimus (1,47%), dan An. indefinitus (1,47%).
2
Nyamuk An. letifer yang ditemukan cenderung mengisap darah di luar rumah (eksofagik) dan istirahat cenderung di luar rumah (eksofilik). Puncak aktivitas mengisap darah di dalam rumah terjadi pada pukul 19.00-20.00WIB, sedangkan di luar rumah pada pukul 22.00-23.00 WIB. An. barbirostris cenderung bersifat endofagik, dengan puncak aktivitas mengisap darah di dalam rumah pada pukul 21.00-22.00 WIB, dan di luar rumah pada pukul 23.00-24.00 WIB.
3
Habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau ditemukan 24 habitat, satu habitat yang positif yaitu kubangan, sedangkan 23 habitat merupakan habitat potensial, dan dikelompokan dalam tujuh jenis habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. yaitu kolong, rawa-rawa, kubangan, parit, sumur, kolam, kobakan.
5.2 Saran 1 Mengingat penularan malaria di Desa Riau sangat potensial dengan adanya ditemukan nyamuk Anopheles spp. sebagai vektor malaria, maka perlu penelitian yang longitudinal selama 1 tahun. 2
Mengingat habitat larva positif hanya satu, sedangkan habitat potensial yang ditemukan cukup banyak, maka perlu adanya pengamatan habitat yang lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Andiyatu. 2005. Fauna nyamuk (Diptera: Culicidae) di wilayah kampus IPB Darmaga dan sekitarnya serta potensinya sebagai penular penyakit. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Aprianto A. 2002. Studi perilaku menggigit nyamuk Anopheles di Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ariati J, Sukowati S, Andri H. 2007. Habitat nyamuk Anopheles subpictus di enam pulau, Kepulauan Seribu. J Ekol Kes 6(1): 511-517.
Barodji, Boewono TD, Sumardi. 2007. Fauna nyamuk, konfirmasi vektor dan beberapa aspek bionomik vektor malaria di daerah endemis malaria Kabupaten Pekalongan. J Ekol Kes 6(1): 549-559.
Boesri H. 2007. Standar Penangkapan Vektor Dalam Rangka Penelitian Penularan Malaria Di Indonesia. Kemas 3:1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit. Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan.
Bowolaksono A. 2001. Pengaruh pH terhadap perkembangan nyamuk Anopheles farauti Lav. di dalam kondisi laboratorium. Maj. Parasitol. Ind. 14(1): 6-11.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Bangka Dalam Angka. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka Dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka.
Caillouet K.A, Keating J, Eisele TP. 2008. Characterization of Aquatic Mosquito Habitat, Natural Enemis, and Immature Mosquitoes in the Artibonite Valley, Haiti. J Vect Ecol. 33(1): 191-198.
Chadijah S. 2005. Karakteristik habitat larva nyamuk Anopheles barbirostris van der Wulp di Desa Tongoa Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Clement AN. 2000. Mosquitoes. Vol.1. Development, Nutrition and Production. New York: CABI Publising.
Clement AN. 2000. The BiologyMosquitoes. Vol.1. London. CABI Publising.
Click S. 2011. Pengertian Rawa Sebagai Bagian Hidrosfer Struktur Lapisan Bumi. http://www.g-excess.com/4999/
[Dinkes Kab.Bangka] Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka. 2009. Laporan Penemuan Penderita Malaria. Sungailiat, Bangka.
[Dinkes Prov. Babel] Dinas Kesehatan Provinsi Bangka Belitung. 2009. Laporan Penemuan Penderita Malaria. Pangkalpinang. Babel.
[Ditjen PP&PL] Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan. 2007. Ekologi dan aspek perilaku vektor. Jakarta: Subdit P2B2.
[Ditjen PP&PL] Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan. 2009. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria Di Indonesia. Jakarta : Subdit Malaria, P2B2.
[Ditjen PP&PL] Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan. 2009. Pedoman Surveilans Malaria. Jakarta : Subdit Malaria, P2B2.
[Ditjen PP&PL] Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengendalian Lingkungan. 2007. Pedoman vektor malaria di Indonesia. Jakarta: Subdit P2B2.
[Ditjen PPM&PL] Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengendalian Lingkungan. 2003. Modul entomologi malaria. Jakarta: Subdit P2B2.
Effendi A. 2002. Studi komunitas nyamuk Anopheles di Desa Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Friaraiyatini, Soedjajadi K, Ririh Y. 2006. Pengaruh lingkungan dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Malaria di Kabupaten Barito Selatan Provinsi Kalimantan tengah. J Kes Link. 2:2:121-128.
Garjito TA, Jastal, Wijaya Y, Lili, Chadijah S, Erlan A, Rosmini, Samarang, Udin Y, Labatjo Y. 2004. Studi Bioekologi Nyamuk Anopheles di Wilayah Pantai Kabupaten Parigi-Moutong, Sulawesi tengah. Bul Penel Kesehatan 32:2. 49-61.
Grieco JP, Rejmankova E, Achee NL, Klein CN, Andre R, dan Roberts D. 2007. Habitat Suitability for Three Spesies of Anopheles Mosquitoes: Larval Growth and Survival in Reciprocal Placement Experiments. J Vect Eco. 32(2): 176-187.
Hadi UK, FX. Koesharto. 2006. Nyamuk. Di dalam: Sigit HS, Upik KH. Editor. Hama Permukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. UKPHP FKH-IPB. Bogor. hal.23-51.
Hadi UK, Kooesharto FX, Gunandini DJ,Soviana S, Sudarnika E. 2008. Laporan Akhir Study Efikasi Kelambu Olyset® di Kabupaten Bangka. PEK. Dep.Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. FKH. Institut Pertanian Bogor.
Hasan M. 2006. Efek Paparan Insektisida Deltametrin Pada Kerbau Terhadap Angka Gigitan Nyamuk Anopheles vagus Pada Manusia. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Jastal. 2005. Perilaku nyamuk Anopheles menghisap darah di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Juliawati R. 2008. Studi Perilaku Anopheles dan Kaitannya Dengan Epidemiologi Malaria di Sekitar Pusat Reintroduksi Orang Utan, Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Mahmud. 2002. Studi Perilaku Beristirahat Nyamuk Anopheles Maculatus (Theobald) dan Balabacensis (Baisas) di Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Maloha MM. 2005. Fauna Nyamuk Anopheles di Desa Pondok Meja, Jambi Luar Kota, Muaro Jambi, Jambi. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Mardiana, Shinta, Wigati, Enny WL, Sukijo. 2002. Berbagai jenis nyamuk Anopheles dan tempat perindukannya yang ditemukan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. [Artikel]. Med Litbang Kes 12(4):30-36.
Mardiana. 2001. Penelitian Bioekologi Vektor di Daerah Pantai dan Pedalaman di Jawa Timur. [Abstrak]. Laporan Penelitian. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes. http://digilib.litbang.depkes.go.id
Muhlis HM. 2011. Parasitologi Untuk Keperawatan. di unduh tanggal 2 Desember 2011. http://books.google.co.id/books?isbn=9794489719.
Mulyadi. 2010. Distribusi spatial dan karakteristik habitat perkembangbiakan Anopheles spp. serta peranannya dalam penularan malaria di Desa Doro Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Munif A, Rusmiarto S, Aryati Y, Andri SH, Stoops AC. 2008. Konfirmasi status Anopheles vagus sebagai vektor pendamping saat kejadian luar biasa malaria di Kabupaten Sukabumi Indonesia. J Ekol Kes 7(1): 689-696.
Munif A, Sudomo M, Soekirno. 2007. Bionomi Anopheles spp. Di Daerah Endemis Malaria Kecamatan Lengkong, Sukabumi. Bul Penel Kes 35(2): 57-80.
Mwangangi JM, Mbogo CM, Muturi EJ,Nzovu JG, Githure JI, Yan G, Minakawa N, Novak R, & Beier JC. 2007. Spatial distribution and habitat characterisation of Anopheles larvae along the Kenyan Coast. J Vect Borne 4:44-51.
Noor E. 2002. Studi Komunitas Nyamuk Anopheles Di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
O’Connor CT, Soepanto A. 1999. Kunci bergambar untuk Anopheles betina di Indonesia, Ditjen P2M & PL Depkes RI. Jakarta.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. Edisi ke-3. Yogyakarta: Gama Press. 695 hal.
[PKM] Puskesmas Riau Silip. 2011. Laporan Bulanan Malaria. Bangka. Babel
[PPLH-IPB]. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Institut Pertanian Bogor. Modul A. 2008. Input data GPS (Geografical Positioning System). Bogor: PPLH- IPB.
Prahasta E. 2007. Sistem Informasi Geografis : Tutorial ArcView. Bandung: Informatika.
Puspita L, Ratnawaty E, Suryadiputra INN, Meutia AA. 2005. Lahan basah buatan di Indonesia.
Qomariah M. 2004. Survei nyamuk Anopheles yang berpotensi sebagai vektor malaria di bekas penggalian timah kolong ijo Kelurahan Bacang Kota Pangkapinang. [Abstrak]. [Skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/5907/1/2314.pdf.
Rahmawati E. 2009. Keragaman jenis, perilaku dan habitat Anopheles spp. Di Desa Lifuleo Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rao TR. 1981. The Anophelines of India. Indian Council of Medical Research. Pub. New Delhi.
Rianti F. 2002. Studi perilaku beristirahat nyamuk Anopheles spp. di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rueda ML, Kim CH, Klein AT, Pecor EJ, Li C, Sithiprasasna R, Debboun M, Wilkerson CR. 2006. Distribution and larval habitat characteristic of Anopheles Hyrcanus Group and related mosquito species (Dipptera: Culicidae) in South Korea. J Vect Ecol. 31(1): 199-206.
Russel PF, West LS, Manwell RD, MacDonald G. 1963. Practical Malariology. London: Oxford University Press. 750 hal.
Safitri A. 2009. Karaktersitik Habitat dan Beberapa Aspek Perilaku Nyamuk Anopheles sundaicus di Kecamatan Padangcermin, Lampung Selatan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Salam A. 2005. Komunitas Nyamuk Anopheles di Desa Alat Hantakan, kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saleh DS. 2002. Studi Habitat Anopheles nigerrimus giles dan Epidemiologi Malaria di Desa Lengkong, Kabupaten Sukabumi. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santoso B. 2002. Studi karakteristik habitat larva nyamuk Anopheles maculatus Theobald dan Anopheles Balabacensis Baisas serta beberapa faktor yang mempengaruhi populasi larva di desa Hargotirto, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, DIY. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertaniaqn Bogor.
Saputra E. 2011. Pengaruh Lingkungan Terhadap Nyamuk Anopheles Pada Proses Transmisi Malaria. J urip http://uripsantoso.wordpress.com/2011/01/13.
Sattler MA, Mtasiwa D, Kiama M, Premji Z, Tanner M, Killeen GF, Lengeler C. 2005. Habitat characterization and spatial distribution of Anopheles sp. Mosquito larvae in Dar es Salaam (Tanzania) during an extended dry period. Mal. J 4:4doi:10.1186/1475-2875-4-4.
Sembiring JUT. 2005. Karakteristik habitat larva Anopheles sundaicus (Rodenwald) (Diptera: Culicidae) di daerah pasang surut Asahan Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Setyaningrum E, Murwani S, Rosa E, Andananta K. 2007. Studi ekologi perindukan nyamuk vektor malaria di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan. Prosiding seminar hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Lampung: Universitas Lampung. Hal:292-299.
Shinta, Sukowati S, Mardiana. 2003. Komposisi spesies dan dominasi nyamuk Anopheles di daerah pantai Banyuwangi, Jawa Timur. [Artikel]. Med Litbang Kes 9(3).
Sitorus H. 2005. Studi Longitudinal Bionomik Suspect/Vektor Malaria di Desa Tegal Rejo Kecamatan Belitang Kabupaten Oku Timur Tahun 2005 (Tahap II). Loka Litbang P2B2 Baturaja.
Sutriati A & Brahmana SS. 2007. Penelitian kwalitas air irigasi pada beberapa sungai di Jawa Barat. Bul Pusair 16(47). Dept. PU. Balitbang PP & PSDA.
Sulistio I. 2010. Karakteristik habitat larva Anopheles sundaicus kaitannya dengan kasus malaria di lokasi wisata desa Senggigi Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suprapto G. 2010. Perilaku Nyamuk Anopheles punctulatus Donitz dan Kaitannya Dengan Epidemiologi Malaria di Desa Dulanpokpok Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suwito 2010, Bioekologi Nyamuk Anopheles Di Kabupaten Lampung Selatan Dan Pesawaran : Distribusi Spasial, Keragaman, karakteristik Habitat dan Kepadatan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
U’din. 2005. Studi perilaku menghisap darah, Anopheles spp. di Desa Segara Kembang Kecamatan Lengkiti Kabupaten Ogankomering Ulu (OKU) Sumatera Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wardana A. 2010. Studi perilaku menggigit nyamuk Anopheles balabacensis dan kaitannya dengan epidemiologi malaria di Desa Lembah Sari Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[WHO]. World Health Organization. 2003. Malaria entomology and vector control. Learner’s guide. WHO/CDS/CPE/SM/2002.18.Rev.1.Part I.pdf.
Yee HL. 2008. Bionomik of Anopheles in Grik,Hulu Perak and Insecticide Susceptibility of Two Anopheles Spesies From Two Locations in Malaysia. [Abstrak]. [Tesis]. Malaysia: Universitas Sains Malaysia.
an 1 Karakteristik habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
(°C)
0
Riau
6,3
27-28
0
8
lumpur
7-8
0
Berud
n 1
0
Riau
6,6
28
0
7
pasir
10-13
0
Ikan kepala
wa 1
0
Riau
6,3-6,4
28
0
12-14
Tanah liat
12-15
Rumput
Ikan
1
0
Riau
5,4-5,6
25
0
2
2
0
Riau
6,2
25
0
8
Tanah liat, pasir lumpur
2500-2510 6-8
0 0
Ikan 0
0
Riau
6,3
25
0
8
pasir
12-15
Rumput
0
n 2
0
Riau
6,0-6,3
27
0
23-24
Tanah liat
5-8
Rumput
0
n 8
0
Riau
6,3
25-26
0
12
lumpur
12
0
0
n 1
0
Riau
6,6
27
0
2
Tanah liat
8
Rumput
0
4
0
Simp.Lumut
6,3-6,5
25-28
0
10-12
Tanah liat
9-11
Rumput
5
Kepadatan
Dasar Habitat
bitat
Kekeruhan (NTU)
Salinitas (‰)
Kedalaman (Cm)
Tanaman Air
Predator
Berud
0
Simp.Lumut
6,3-6,6
26-27
0
4-5
Lumpur
25-27
0
1
0
Simp.Lumut
6,5-6,9
27
0
10-12
Lumpur
14-16
Rumput
Ikan dan b
n 3
0
Simp.Lumut
6,3-6,7
24-27
0
23-25
Lumpur
25-27
Rumput
Ikan
0
Simp.Lumut
6,1-6,3
27
0
6-7
Tanah liat
10
Rumput
Berud
6
Berud
2
0
S.Gunung
7,1-7,3
26-28
0
8-10
lumpur
18-21
0
Ikan
n 4
0
S.Gunung
6,1-6,7
26
0
33-35
lumpur
21-24
0
Berud
0
S.Gunung
6,3
25
0
7-8
Pasir
8-10
0
0
0
S.Gunung
6,4
26
0
17
Pasir
11
Rumput
0
n 5
0
Tirus
6,2-6,4
27
0
57
lumpur
18
Rumput,teratai
n 6
0,01
Tirus
6,0-6,1
24
0
6
lumpur
18-25
0
n 7
0
Tirus
6,1-6,6
24-27
0
41
lumpur
15-20
Talas, rumput
0
Tirus
6,2-6,4
25-27
0
22-23
lumpur
10-12
Teratai
2
0
Tirus
5,4-6,1
24-25
0
2
Tanah liat
2000
0
n 2
0
Tirus
5,-6,2
27
0
14
Lumpur
6
0
7 3
m
0
Berud 0
Berud 0
Berud
Lampiran 2
Angka dominansi nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap dengan umpan orang dan istirahat di dalam dan luar rumah di Desa Riau, Februari-Mei 2011 45 40
AngkaDominansi
35 30 25 20 15 10 5 0 Dalam Rumah Luar Rumah
A.letifer 40 41,94
A.barbirostris 2,6 1,61
A.nigerrimus 0 0
A.indefinitus 0 0,06
A.barbirostris 0 0,18
A.nigerrimus 0,29 0
A.indefinitus 0 0
20
AngkaDominansi
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Dalam Rumah Luar Rumah
A.letifer 11,14 19,09
Lampiran 3
Jumlah hari hujan, curah hujan dan indeks curah hujan per minggu di Desa Riau Kecamatan Riau Silip, Februari-Mei 2011
Bulan
Minggu
Jumlah Hari
Hari Hujan
Februari
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
7 7 7 7 7 7 7 10 7 7 7 9 7 7 7 10 120
5 2 5 3 6 6 4 7 5 5 4 7 4 4 3 8 78
Maret
April
Mei
Total
Curah Hujan Indeks
(mm) Curah Hujan 82.8 59.14 73.6 21.03 109.8 78.43 43.7 18.73 45.2 38.74 50.4 43.2 36.1 20.63 96.8 67.76 45.9 32.79 157.4 112.43 51.1 29.1 101.8 79.18 77.2 44.11 154.2 88.11 39.4 16.89 73.1 58.48 1238.5 808.75
Lampiran 4
Hasil uji korelasi (Pearson correlation) antara indeks curah hujan (ICH) dengan kepadatan nyamuk Anopheles spp. (MBR) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011 Correlations
ICH
Pearson Correlation
.469
4
4
Pearson Correlation
.469
1
Sig. (2-tailed)
.531
N
1
1
MBR
.531
N
Model
Sig. (2-tailed)
MBR
ICH
4
R a
.469
4
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.220
-.171
.02979
Lampiran 5
Hasil uji korelasi (Pearson correlation) antara kepadatan nyamuk A.letifer (MBR) dengan angka kesakitan malaria (MoPI) di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Februari-Mei 2011 Correlations
A.letifer
Pearson Correlation
-.569
4
4
Pearson Correlation
-.569
1
Sig. (2-tailed)
.431
N
1
MoPI
.431
N
Model
1
Sig. (2-tailed)
MoPI
A.letifer
4
R
a
.569
4
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.323
-.015
7.19389