PERILAKU BIAS GENDER MAHASISWI PENGIKUT KELOMPOK ISLAM RADIKAL Sjafiatul Mardliyah Agus Afandi* Abstract Radical Islamic groups exist in a number of higher educational institu- tions. Some examples are Jama 'ah Tarbiyah with its KAMMI group, Hizb al- Tahrir (HTI), Jama ’ah Tabligh, and NII. Each of these groups tend to apply a textual, rigid, literal interpretation of Islam, refusing a hermeneutic inter- pretation, and is against differences. This results in the marginalization of women, despite the fact the the majority of their members are women. Some gender-biased attitudes are shown, among others: refusing women to be lead- ers, accepting polygamy and to be part of it, limiting women in public sphere, limiting relationships between opposite sexes, which results in sirri marriage phenomenon, and accepting physical punishment by a husband according to the Qur ’anic text so long as the procedures have been fulfilled. The above gender-biased attitudes imply that the members accept the doctrine that Islam is an absolute and unquestionable teaching. Thus, Islam must be thoroughly implemented (kaffah) in daily life, from family up to national level. This is the rationale of the importance of establishing an Islamic nation (khilafah Islamiyah). Key yvords: gender bias, radical Islam. A. Pendahuluan Selama ini pemahaman agama menjadi salah satu penyebab bias gender. Peminggiran kaum perempuan selain diakibatkan karena aspek konstruksi sosial juga oleh agama yang menjadi bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Ketundukan kepada ajaran agama, yang dianggap sebagai kebenaran mutlak, menciptakan pemahaman diri yang pasrah terhadap agama tersebut tanpa mempertimbangkan benar dan salahnya pemahamannya terhadap ajaran tersebut, tanpa memikirkan adil dan tidaknya implikasi pemahaman ajaran tersebut pada diri manusia, khususnya posisi kaum perempuan di hadapan laki-laki (Wajidi, 1993 : 1213)
* Dra. Sjafiatul Mardliyah dan Drs. Agus Afandi staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
97
Sjafiatul Mardliyah dan Agus AJ'andi, Perilaku Bias Gender Mahasiswi Pengikut Kelompok Islam Radikal
Kaum perempuan muslim (Muslimah) merupakan salah satu dari sekian pengikut agama di dunia yang terkena imbas ketidak adilan pemahaman posisi gender mereka. Pada hal dalam ajaran agama Islam, jika ditinjau secara adil dan mendalam, tidak ada ajaran yang meminggirkan kaum perempuan, bahkan perempuan diposisikan pada posisi yang tinggi (Umar, 1999:8-9). Islam mengajarkan persamaan hak dan kewajiban, derajat dan kedudukan di hadapan Tuhan bagi semua manusia. Islam membedakan tinggi rendahnya derajat dari kualitas amal, perilaku dan ketaqwaan manusia (Al-Qur‟an, 49 : 11). Meskipun demikian masih banyak pengikut Islam yang memiliki pemahaman yang cenderung bias gender, walaupun ketidak adilan pemahaman itu menimpa diri kaum perempuan sebagai pengikutnya. Tipe pemeluk Islam yang demikian ini adalah perempuan-perempuan pengikut kelompok Islam radikal. Kondisi apapun yang membawanya pada peminggiran secara politik, pembelengguan akses publik, ketidaksejajaran dalam hak dan kewajiban, serta posisi dirinya yang menjadi subordinat laki-laki adalah diyakini sebagai kodrat dan tidak boleh dibantah. Penerimaan pemahaman yang demikian adalah sebagai bentuk pengabdian dan balasannya adalah surga. Penolakan atau pembantahan terhadap pemahaman yang tidak adil ini adalah pengkhianatan dan dosa. Dalam penelitian Afandi ditemukan adanya kelompok Islam radikal yang berkembang pada perguruan tinggi negeri di Surabaya, baik Universitas Negeri Surabaya, Universityas Airlangga, maupun Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Di antara kelompok Islam Radikal yang berkembang itu adalah Hizb Tahrir, Jama’ah Tarbiyah, Jama’ah Salafi, Jama’ah Tabligh, dan Jama’ah Negara Islam Indonesia (NII). Masing-masing kelompok Islam radikal ini memiliki kesamaan pemahaman dalam masalah Ideologi, politik, bahkan sosial budaya. Hanya saja mereka memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada hal-hal tertentu. Tentang masalah posisi kaum perempuan, khususnya dalam akses politik dan publik, mereka memiliki kesamaan pandang, bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, tidak boleh memperoleh akses publik yang berlebihan, dan perempuan harus menutup aurat secara disiplin (jubah) dan tidak boleh keluar rumah tanpa muhrim (orang yang menemani, baik sesama wanita atau saudara kandungnya) (Afandi, 2004:25) Dalam ajaran Islam, yang sumber utamanya al-Qur‟an, menyebutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dari zat yang satu (al-Qur‟an, 4: 1; 7: 189; 16:72; dan 42: 11), Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dimataAllah(al-Qur‟an,3:195; 16: 97; 4: 124; 9: 71; dan 4: 32). Perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. sebagai pembawa ajaran Islam juga menunjukkan bahwa dalam revolusi sosial yang dilangsungkannya adalah pemberian harkat dan martabat kemanusiaan kepada kaum perempuan. Akan tetapi masih saj a cara pandang kaum muslimah banyak yang berideologi patriarki, menikmati peminggiran dan
pengebirian hak-haknya yang dilakukan oleh struktur sosial dan kultur masyarakat, meskipun mereka telah berpendidikan tinggi dan bergumul pada kehidupan modem (Engineer, 2003:37-39). Cara pandang mahasiswi muslim yang cenderung bias gender barangkali banyak faktor yang mempengaruhi. Di antara faktor itu adalah bahan bacaan buku-buku keIslaman yang diminatinya. Dalam penelitian Wardah Hafidz tentang buku-buku Islam yang membahas posisi perempuan menurut ajaran Islam, buku tersebut beredar di Indonesia, khususnya di kalangan terpelajar kampus dan banyak diminati oleh kaum muda muslim (terutama muslimah), menyimpulkan bahwa buku-buku tersebut baik secara implisit maupun eksplisit cenderung bias gender. Kesimpulan ini didasarkan atas data-data yang menyebutkan bahwa buku itu berisi: (1) pemisah domain atau segregasi ruang bagi perempuan dan laki-laki, perempuan ditempatkan pada sektor domestik atau rumah tangga, sedangkan laki-laki menempati sektor publik. (2) pembagian kerja yang cenderung mensubordinasikan perempuan atas laki-laki. (3) hak-hak ekonomi dan sosial laki-laki cenderung lebih dibanding perempuan. Dari ketiga simpulan tersebut menunjukkan bahwa buku-buku Islam yang beredar di kalangan kampus khususnya yang membahas tentang posisi perempuan cenderung bersifat bias gender dan memposisikan perempuan pada kondisi yang tidak adil dan tidak sejajar dengan lakilaki (Rahmat, 2001). Faktor lain yang berpengaruh pada pandangan bias gender mahasiswi pengikut Islam radikal adalah faktor doktrin ajaran kelompok radikal yang diikutinya. Landasan normatif kelompok mahasiswa Islam radikal adalah pandangan bahwa Islam adalah ajaran yang kajfah (lengkap) dan sempurna (al-Qur‟an, 4: 3). Al- Qur‟an adalah kitab suci yang tidak boleh dicampuri dengan pikiran-pikiran manusia yang terbatas kemampuannya. Oleh sebab itu aturan yang ada dalam ajaran Islam merupakan aturan yang sempurna dan baku tidak boleh ada perubahan-perubahan penafsiran dan pemahaman. Ketentuan tentang perempuan sekalipun yang ada dalam nas h (teks) ajaran Islam adalah kebenaran yang tidak boleh diotak-atik lagi. Oleh sebab itu, usahausaha untuk melakukan penafsiran-penafsiran kembali terhadap teks al-Qur‟an yang selama ini sudah difahami secara baku dianggap akan membawa keluar dari Islam. Hal ini tidak dibenarkan dalam pandangan kelompok Islam radikal (Afandi, 2004: ). Penelitian tentang gender memang bukan hal yang baru, tetapi kiranya penelitian ini tetap menarik, apalagi terkait dengan perempuan kelompok Islam radikal. Hal ini menarik karena seiring dengan tuntutan hak politik perempuan semakin terpenuhi, seperti kuota 30 % bagi perempuan untuk menduduki parlemen dalam pemilu 2004 sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu tahun 2003. Demikian pula tuntutan peran serta perempuan dalam berbagai ruang publik semakin meluas, tidak terkecuali peran perempuan muslim.
99
Sjafiatul Mardliyah dan Agus AJ'andi, Perilaku Bias Gender Mahasiswi Pengikut Kelompok Islam Radikal
Dalam penelitian ini akan dibahas beberapa permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pandangan teologis mahasiswi pengikut kelompok Islam radikal terhadap posisi perempuan ? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pandangan mahasiswi pengikut kelompok Islam radikal terhadap posisi perempuan ? 3. Bagaimanakah latar sosial keagamaan mahasiswi pengikut kelompok Islam radikal ? 4. Bagimanakah implikasi perilaku mahasiswi pengikut kelompok Islam radikal dari pandangannya tentang posisi perempuan ? Penelitian ini meliputi dua ruang lingkup yaitu pemahaman gender perspektif Islam yang adil dan benar, dan pemahaman gender perspektif Islam yang bias. Dari dua ruang lingkup ini, berkembang pada wacana dan sikap subyek penelitian. Wacana dan sikap dari pemahaman gender yang adil dan wacana serta sikap dari pemahaman gender yang bias. Penelitian ini bersifat diskriptif analilik. Untuk mendapatkan gambaran mengenai permasalahan dalam penelitian, lokasi penelitian ditetapkan di Universitas Negeri Surabaya. Hal ini dilakukan karena di Unesa terdapat kelompok Islam radikal yang diikuti oleh kebanyakan mahasiswi. Di antaranya adalah Hisbuth Tahrir, Jama‟ah Tarbiyah, Jama‟ah Salafi, Jama‟ah Tabligh, dan Negara Islam Indonesia. Subyek penelitian ditentukan secara purposive sampling. Peneliti menentukan pilihan informan mahasiswi Unesa yang mengikuti kelompok Islam radikal. Cara memperoleh informan kunci dan informan pendukung penelitian menggunakan teknik snowball sampling. Hal ini dilakukan karena rata-rata pengikut kelompok Islam radikal khususnya perempuan bersikap eksklusif. Oleh sebab itu, teknik triangulasi menjadi bagian proses dalam menvalidasi data penelitian ini. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara yang mendalam (indepth interview) dengan informan. Observasi dilakukan dengan mengikuti metode observer berperan aktif yaitu peneliti memainkan peranan yang dimungkinkan dalam suatu kondisi subyek yang diamati. Keberadaan peneliti diketahui oleh subyek yang diteliti, tetapi peneliti dianggap sebagai bagian dari mereka dan kehadirannya tidak mengganggu atau mempengaruhi sifat karakteristiknya (Sutopo, 2002: 168). Analisis data dalam kegiatan penelitian ini terdiri dari tiga komponen pokok yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan berikut verifikasinya. Proses analisis dengan tiga komponen analisis tersebut saling jalin menjalin dan dilakukan secara terus menerus dalam proses pelaksanaan pengumpulan data, dengan mengikuti model analisis jalinan. B. Pembahasan 1. Eksistensi kelompok keagamaan (Islam) di Universitas Negeri Surabaya
Kelompok keagamaan Islam yang berkembang di Kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa), sebagai lahan da‟wah bagi kelompok-kelompok Islam, bervariasi. Di samping ada kelompok yang bersifat gerakan kemahasiswaan seperti HMI, PMII, IMM dan IPNU, ada juga kelompok seperti Jama‟ah Tarbiyah, Hizb al-Tahrir, Islam Indonesia (NII), Jama‟ah Salafi, dan Jama‟ah Tabligh. Masing- masing kelompok ini memiliki karakter, doktrin, dan pola gerakan yang berbeda- beda. Meskipun masingmasing juga ada titik-titik kesamaan, baik dalam karakter, doktrin, maupun pola gerakan. a. Jama’ah Tarbiyah Jama‟ah Tarbiyah merupakan embrio gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia(KAMMI), yang kemudian melahirkan Partai Keadilan (PK) dan berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kelompok Jama‟ah tarbiyah dan KAMMI merupakan kelompok yang nampak secara kasat mata dan mudah dikenali di lingkungan kampus. Eksistensi Jama‟ah Tarbiyah dan KAMMI ini kelihatan mapan di Unesa. Kelompok ini selalu bersaing dengan kelompok Hizb al-Tahrir dalam merebut anggota dan merebut posisi-posisi strategis di kepengurusan organisasi kemahasiswaan intra kampus (Senat mahasiswa: Badan Eksekutif Mahasiswa, Dewan Legislatif Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa jurusan) demikian pula Unit Kegiatan Kerokhanian Islam (UKKI). Akan tetapi, kelompok KAMMI lebih banyak menguasai dibanding dengan Hizb Tahrir dan kelompok lainnya. Mereka memanfaatkan organisasi intra kampus untuk mengembangkan organsiasi kelompoknya, sehingga organisasi intra kampus menjadi ajang persaingan, meskipun kadang persaingan dilakukan secara tidak sehat. Kelompok ini membentuk organisasi mahasiswa ekstra kampus sebagai bayangan gerakan di kampus yang bernama FORMUSA (Forum Ukhuwah Mahasiswa Unesa). b. Hizb al-Tahrir Hizb al-Tahrir merupakan kelompok keagamaan yang dapat dilihat secara mudah di lingkungan mahasiswa, karena mereka juga bersifat terbuka dan simbolistik. Diskusi-diskusi terbuka tentang politik, negara Islam, dan khilafah sering diselenggarakan oleh mereka. Tokoh-tokoh pergerakannya juga selalu menunjukkan diri sebagai seorang pejuang berdirinya negara Islam dalam bentuk sistem khilafah. Simbol-simbol kelompok ini mudah diketahui, karena mereka sering menampilkan tulisan-tulisan dalam bentuk bullctin dan edaran. Buletin yang pernah terbit adalah alIhtikam, kemudian diganti dengan bulletin al-Islam. Materi yang disajikan dalam buletin-buliten ini selalu berorientasi pada politik, yaitu propaganda berdirinya negara Islam dalam bentuk Khilaf ah Islamiyah. Sebagaimana Jama 'ah Tarbiyah, kelompok ini juga menjadikan organisasi mahasiswa intra kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM), Himpunan Mahasiswa Jurusan, dan Unit Kegiatan Kerokhanian Islam (UKKI) sebagai lahan rebutan untuk
Sjafiatul Mardliyah dan Agus AJ'andi, Perilaku Bias Gender Mahasiswi Pengikut Kelompok Islam Radikal
memperoleh anggota. Kelompok ini juga membentuk organisasi mahasiswa ekstra kampus sebagai wadah bayangan yaitu Gerakan Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan) dan Forum Ukhuwah Mahasiswa Islam (FUMI). 'f i
%
.
; i j' .
,1
B'
c. Negara Islam Indonesia (NII) Negara Islam Indonesia (NII) merupakan kelompok yang juga berkembang di Unesa. Akan tetapi, tidak sebagaimana kelompok lain, NII bersifat terselubung, bawah tanah, dan tidak mudah dikenali. Kelompok ini bersifat tertutup, hanya berbicara dengan orang-orang sekelompoknya dan sasaran mahasiswa yang akan direkrut menjadi anggota saja. Pendekatan yang digunakan dalam merekrut adalah dengan pendekatan personal, halus, dan tidak kenal lelah. Sehingga anggota mereka setahap demi setahap bertambah, walaupun tidak jarang bagi mereka yang tidak mampu direkrut kemudian buka mulut kepada orang lain. Salah satu ungkapan yang disampaikan adalah bahwa orang yang tidak sekelompok dengan mereka adalah belum taslim (belum Islam), maka harus di-taslim. Setelah taslim mereka baru dikatakan sebagai orang yang sudah berhijrah. Adapun orang yang berhijrah harus menggunakan biaya, atau disebut dengan “uang hijrah”. Uang hijrah ini digunakan untuk organisasi, dengan besaran berkisar antara satu s/d dua juta rupiah. Demikian pula mereka harus membayar uang iuran wajib bulanan sebagai kewajiban anggota NII. Jika tidak mampu maka dianggap tidak loyal dan dikeluarkan dari anggota dengan predikat “murtad”. d. Jama’ah Tabligh Jama‟ah Tabligh adalah kelompok yang aktifitasnya kebanyakan di luar perguruan tinggi, tetapi anggotanya juga terdiri dari mahasiswa. Pusat kegiatan Jama‟ah tabligh Surabaya adalah di Masjid al-Hidayah Jl. Ikan Gurami Perak Surabaya Utara. Adapun ciri-ciri kelompok ini dapat di lihat di Kampus jika mahasiswa selalu menggunakan celana tinggi di atas mata kaki, berjenggot, dan memotong kumis. Kadang dapat dilihat dari pakaian gamis atau baju koko sederhana, dilengkapi dengan surban di kepala, akan tetapi kalau di kampus sorban ini tidak dipakai, hanya ketika salat di Masjid atau sedang melaksanakan huruj atau jaulah. Untuk mahasiswa putri nampak kelihatan j ika memakai cadar. Akan tetqpi, pemakai cadar ini, kadang bukan pengikut Jamaah Tabligh, tetapi pengikut Jawa 'ah Salafi pimpinan Ustd. Ja‟far Umar Thalib. Namun demikian di Unesa pengikut jama‟ah Salafi ini tidak banyak, setahu peneliti pengikut kelompok ini banyak berkembang di ITS dan Unair.
JuLJi
C. Perspektif Kelompok Islam Radikal terhadap Posisi Perempuan 1. Pemahaman Kelompok Islam Radikal terhadap Posisi Perempuan Pemahaman kelompok Islam radikal tentang masalah perempuan, dapat dikatakan sebagai pemahaman yang cenderung bias gender. Di antara pemikiranpemikiran yang bias gender, meskipun bersumberkan dari kitab suci al-Qur‟an maupun al-Hadith dapat dilihat dalam beberapa masalah: a. Posisi perempuan sebagai bagian dari laki-laki, b, Larangan perempuan menjadi pemimpin (partisipasi politik), c, Perempuan harus dibatasi hak publiknya karena akan menimbulkkan fitnah, dan d, Perempuan akalnya lebih lemah dibanding laki-laki. Pemahaman yang bias tersebut dikarenakan ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, yaitu a. Metodologi Pemahaman Teks Ayat maupun Hadith. Penafsiran yang digunakan oleh kelompok radikal adalah tekstual literalis. Oleh karena itu, apa yang terdapat dalam teks harus difahami sesuai yang ada dalam teks tersebut secara tersurat, tanpa memahami apa yang tersirat. Pemahaman tekstualis ini cenderung menolak pemahaman-pemahaman yang bersifat logis dan kontekstual. Mereka menolak menggunakan pemahaman sejarah, yakni kapan, mengapa, dan dalam kondisi bagaimana setting kultur serta tradisi yang berkembang pada masa ayat tersebut diturunkan (asbab al-nuzul). Kalaupun mereka menerima penjelasan kapan, dimana, dan peristiwa apa yang melatarbelakanginya turunnya ayat, tetap saja pemahamannya bersifat teks. Peristiwa yang terjadi ketika ayat turun dipahami hanya sebagai latar setting yang harus juga diduplikasi ke dalam kehidupan kapanpun, termasuk di zaman modern sekarang ini. Ayat tidak boleh ditafsiri secara berlebihan apalagi jauh dari teks itu sendiri. Tidak ada kritik terhadap pemahaman-pemahaman sebelumnya yang dihasilkan oleh ulama‟-ulama‟ ahli tafsir. Yang mereka lakukan hanyalah memahami teks ayat itu, dan-mengesampingkan pemahaman sebelumnya selama ini. Hal ini tercermin dalam pemahaman tentang surat al-nisa‟ ayat 34. laki- laki sebagai pemimpin dan pelindung perempuan. Ayat ini dipahami oleh kelompok Islam radikal sebagai ayat yang melarang perempuan menjadi pemimpin. Hanya laki-laki saja yang berhak menjadi pemimpin. Dikuatkan dengan hadith yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang berarti bahwa tidak akan bahagia suatu kaum jika dipimpin oleh perempuan. Ayat dan hadith tersebut tidak difahami secara metodologis. Mereka hanya menerima apa adanya sccara teks bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan, dan tidak akan bahagia sebuah kemunitas mayarakat yang dipimpin perempuan. Tanpa memahami mengapa ayat dan hadit itu muncul, kapan dan dalam peristiwa apa munculnya ayat dan hadith itu?
103
Sjafiatul Mardliyah dan Agus AJ'andi, Perilaku Bias Gender Mahasiswi Pengikut Kelompok Islam Radikal
Penolakan faham pluralitas inilah karakter khas dari kaum radikal. Jika ditelaah secara mendalam, pada dasarnya perbedaan pendapat tidak bisa dihindari. Hal ini karena Tuhan sendiri telah menciptakan manusia secara plural, baik dari sisi fisik maupun pemikiran. Suatu masalah tidak akan terlepas dari persepsi banyak orang dengan berbagai latar belakang pengalaman, ilmu, pemkiran, dan motif. Oleh sebab itu sikap seseorang yang menolak perbedan pendapat atau pluralitas pemahaman, justru bertentanagan dengan ajaran Islam itu sendiri. d. Penerapan ajaran secara total (kaffah). Syari ‟at Islam dipandang oleh pengikut Islam radikal sebagai ajaran lengkap dan absolut kebenaran. Oleh sebab itu, ajaran Islam harus diterapkan sebagai ajaran yang tidak diragukan lagi dalam seluruh aspek kehidupan secara sempurna {kaffah). Persoalan-persoalan kehidupan umat Islam selama ini akibat tidak lagi menerapkan ajaran Islam dalam kehidupannya secara kaffah. Bagi mereka dengan diterapankannya syari‟at Islam dalam realitas kehidupan secara kaffah maka akan tercipta tatanan harmonis yang disebut sebagai baldatun toyyibatun warobbun ghofur (negeri indah yang diampuni oleh Tuhannya). Bagi kelompok radikal penerapan Islam secara kaffah ini menjadi dasar utama masuk ke wilayah politik. Artinya, untuk menerapkan Islam secara kaffah diperlukan institusi negara sebagai pelaksana bahkan pemaksa terhadap ajaran- ajaran Islam bagi penduduk warga bangsa. Maka negara harus berbentuk negara Islam (Khilafah Islamiyah). Negara harus dipimpin oleh seorang laki-laki sebagai seorang Khalifah. Dengan dilaksanakannya syari‟at Islam oleh negara, maka seluruh hukum Islam akan terealisasi. Seperti hukum pidana Islam (hudud) dan hukum perdata Islam. Dengan demikian harapan mereka dengan diterapkannya syari‟at Islam dalam hukum negara dan dibentuknya negara Islam, maka tatanan harmonis itu akan tercapai. Namun demikian, ketika sebuah negara menerapkan sistem politik syari‟ah, maka mau tidak mau semua hak harus didasarkan pada sistem syari‟ah. Menurut sistem ini, fungsi seorang perempuan (istri) harus hidup di bawah regulasi syari‟ah yang biasanya perempuan (istri) harus tetap di dalam rumah, wajib memakai hijab, taat kepada suami dan lain sebagainya. Mereka yang tidak mau hidup seperti aturan itu, maka mereka akan mendapatkan sanksi hukum atau mereka harus meninggalkan negaranya meskipun hak untuk hidup di negara sendiri adalah bagian dari hak dasar manusia. Dari pemahaman kelompok radikal yang demikian ini, maka akan muncul banyak bias gender sebagai imbas dari politikisasi ajaran Islam dalam institusi negara. Tidak ada pilihan lain sebagai alternatif untuk memberikan ruang bagi keadilan perempuan. Hal ini karena dalam syari‟at Islam versi pemahaman kelompok radikal masih sangat meminggirkan perempuan. Seperti hak menjadi
pemimpin dan masuk pada ruang ruang publik yang lebih luas jelas akan terbatasi. Demikian pula banyak aturan-aturan yang cenderung lebih membatasi perempuan. Seperti dalam berpakaian, berekspresi, dan mengakses ke wilayah yang lebih luas. 2. Perilaku Kelompok Islam Radikal Dalam Masalah Perempuan Dari latar belakang pola pemahaman kelompok radikal di atas, maka memuculkan pola perilaku yang terkait dengan masalah pemimpin perempuan, poligami, akses ke ruang publik, hubungan laki-laki dengan perempuan, dan masalah kekerasan dalam rumah tangga. Masalah-masalah tersebut terurai dalam penjelasan berikut ini. a. Pemimpin Perempuan Hampir semua informan mengakui dan meyakini bahwa ajaran Islam adalah mutlak termasuk pemahamannya yang tekstual. Oleh sebab itu, bagi mereka pemimpin perempuan jelas dilarang karena dasarnya jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Mereka sangat hafal dengan teks surat al-Nisa‟ ayat 34, “laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung perempuan”,\. Bagi mereka ayat ini tidak boleh ditafsiri macam-macam, artinya usaha untuk mencoba menafsiri secara kontekstual sesuai dengan zaman ketika ayat turun dianggap tindakan yang justru menyimpangkan makna ayat itu sendiri. Mereka juga sangat meyakini bahwa tidak akan bahagia suatu kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan. Sebagaimana hadith riwayat Abu Bakrah. Oleh sebab itu bagi mereka bahwa jelas-jelas larangan perempuan menjadi pemimpin negara tidak dapat dibantah, mengingkarinya berarti mengingkari ajaran Islam. Pemahaman demikian ini dikuatkan juga oleh argumentasi bahwa laki-laki memeliki kelebihan satu tingkat diatas perempuan. Sebagaimana dalam surat alBaqarah ayat 228 “laki-laki memiliki kelebihan satu tingkat dari istrinya Dengan keyakinan seperti tersebut, maka perilaku mereka selalu menjunj ung tinggi harkat dan martabat laki-laki, sebaliknya menganggap lebih rendah kepada mereka sendiri sebagai perempuan. Hal ini diyakini mereka sebagai takdir (kodrat). Mereka dalam aktifitasnya selalu menggantungkan kepada laki-laki. Tidak pernah berusaha mandiri tanpa lakilaki. Seperti dalam berorganisasi, mereka tidak pernah memilih perempuan menjadi ketua. Dalam sebuah kegiatan atau kepanitiaan laki-laki selalu menjadi ketuanya, kecuali kalau dalam lingkup kegiatan intern perempaun sendiri. Kalau dibantah argumentasinya tentang bahwa mengapa perempuan tidak boleh memimpin padahal perempuan memiliki kemampuan. Mereka selalu menjawab bahwa perempuan tetap dibawah derajat laki-laki, karena memang dalam surat al-Baqarah ayat 228 berbunyi demikian. Kalau perempuan tetap ngotot memimpin berarti dia telah keluar dari ketentuan ajaran Islam. Karena memang kodratnya perempuan dipimpin, ya terima sajalah tidak perlu ngotot, kata mereka.
107
Sjafiatul Mardliyah dan Agus AJ'andi, Perilaku Bias Gender Mahasiswi Pengikut Kelompok Islam Radikal
Bagi mahasiswi aktifis kelompok radikal anggapan perempuan pemikiarannya lemah diakui. Mereka berpendapat bahwa hadith Nabi saw. yang mengatakan bahwa perempuan ingatan lemah memang benar, karena perempuan lebih menonjokan perasaannya daripada rasionya. Demikian pula hal ini dikuatkan oleh argumentasi alQur‟an surat al-Baqarah ayat 282: laki-laki menjadi saksi yang efektif",yang berarti bahwa laki-laki memeliki kekuatan duakali lipayt dibanding perempuan. Sebab dalam kesaksian di pengadilan Islam, laki-laki satu sebanding dengan perempuan dua. Argumen lainnya dalam surat al-Nisa‟ ayat 11: “laki-laki memperoleh warisan lebih banyak”, yang berarti bahwa laki-laki memiliki hak yang lebih besar daripada perempuan. Ketika dibantah dengan fakta bahwa banyak perempuan berprestasi mengalahkan laki-laki dalam bidang kreatifitas berfikir. Mereka juga tetap menolaknya, sebab pendapatnya mengatakan bahwa hadith Nabi Saw. dan al-Qur‟an tidak akan dapat disalahkan. Ketika ditunjukkan realitas pemimpin perempuan dalam komunitas terbatas seperti menjadi kepala sekolah, kepala desa, bupati, bahkan presiden. Mereka menjawab bahwa kalau dalam komunitas terbatas diperbolehkan. Hal ini karena perempuan memiliki keterbatasan-keterbatasan. Demikian pula perempuan memiliki tanggungjawab sebagai ibu rumah tangga dan istri. Kalau seorang perempuan harus mengurus masyarakat seperti presiden jelas tidak akan mampu, karena keterbatasan dirinya. Akan tetapi, kalau sekedar mengurus sekolah, atau kelurahan bagi mereka masih ditolerir, dengan syarat tetap bertanggungjawab terhadap kuwajiban domestiknya. Namun demikian dalam lingkup rumah tangga, bagaimanapun kondisinya perempuan harus taat suami, harus mau dipimpin suami, dan tidak boleh mengambil peran suami menjadi pemimpin. Laki-laki yang memiliki peran memutuskan, sedangkan perempuan hanya pemberi saran. Meskipun kemampuan SDM yg dimiliki suami dan istri sama, dan bahkan penghasilan istri lebih tinggi daripada suami, maka kedudukan sebagai seorang pemimpin tetap ada pada laki-laki. Jika pada suatu saat suami tidak bekerjadan seorang istri bekerja, maka suami hanya membantu sebagian tugas istri, seperti mencuci atau yg lain. Tetapi bukan berarti segala urusan rumah tangga dikerjakan oleh suami dan istri hanya memerintah. Hal demikian ini mereka contohkan sebagaimana Nabi Muhammad dan Siti Khadijah, yang lebih kaya dibandingkan dengan suami. Tetapi pemimpin dalam keluarga tetaplah Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya penghasilan tidak menentukan kepemimpinan dalam rumah tangga. Bagi mereka yang terpenting bukan berbicara pemimpin laki-laki atau perempuan, tetapi yang terpentying adalah merubah negara ini menjadi negara Islam. Syari‟at Islam harus menjadi dasar dan pedoman negara. Sehingga dengan demikian peran masing-masing laki-laki dan perempuan batasannya jelas. Kalau negara sudah berlandaskan syari‟at Islam jelas tidak akan ada perempuan
mengajukan diri sebagai presiden. Karena negara ini negara sekuler, ya siapa saja boleh mencalonkan diri. Ketika dibantah terhadap fakta adanya presiden perempaun, seperti Bcnazir Buttho (Pakistan), dan Khalida Zia (Bangladesh), serta sejarah lama seperti mulai dari Ratus Bilqis sampai Cut Nya‟ Din. Apalagi ditunjukkan di negara-negara non Islam banyak presiden dan perdana mentri perempuan, seperti Margart Thecer (Inggris), Qorizon Aquino. Mereka menjawab bahwa hal itu keluar tatanan sistem Islam. Kalau sistem Islam perempuan tidak boleh menjadi presiden. Bagi mereka pemimpin perempuan diperbolehkan dengan syarat kondisi darurat. Yaitu tidak ada laki-laki yang lebih sholeh, lebih bertanggung jawab, dan lebih mampu menjadi seorang pemimpin dari pada wanita tersebut. Akan tetapi, jika ada laki-laki yang sama kwalitasnya dengan perempuan, maka yang menjadi pemimpin haruslah laki-laki. b. Poligami Bagi aktifis kelompok radikal, poligami adalah ajaran Islam dan sunnah rasul. Oleh sebab itu, bagi siapa saja yang menolak ajaran Islam baik dari al-Qur‟an maupun sunnah rasul, diangap telah keluar dari Islam. Mereka sangat hafal dengan dasar poligami yaitu dalam surat Al-Nisaa‟ayat 3, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah wznita-wanita (llain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang sajaa, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya ”. Bagi aktifis kelompok Islam radikal bersikap menerima poligami adalah langkah yang tepat. Apalagi zaman sekarang yang jumlah sek rasio laki-laki dan perempuan lebih tingi perempuan. 1 banding 2 atau 3 di beberapa wilayah. Oleh sebab itu dengan poligami sebagai jalan satu-satunya menyelesaikan persoalan banyaknya perempuan yang belum menikah. Bagi kelompok radikal poligami dipandang sebagai anjuran, khususnya kepada perempuan-perempuan yang termasuk golongannya sendiri, dan bersifat darurat. Poligami dilakukan tidak berdasarkan nafsu, melainkan dengan syarat-syarat tertentu. Seperti alasan dakwah, berlaku adil, dan tujuan menolong sesama aktifis. Banyaknya aktifis yang umurnya sudah tua dan belum memiliki suami hendaknya mereka mau dimadu, sebagai bagian untuk menyelesaikan persoalan sosial. Mereka sekiranya dimadupun mereka akan menerima dengan ikhlas. Perempuan yang dimadu harus ‟dianggap‟ ikhlas dan rela jika suami-suami mereka melakukan poligami. Sementara pihak laki-laki beranggapan bahwa perempuan- perempuan yang belum menikah sepatutnya segera dinikahkan saja karena anggapan ‟kalau terlambat menikah sekarang, siapa yang nanti mau menikahinya‟.
109
Sjafiatul Mardliyah dan Agus AJ'andi, Perilaku Bias Gender Mahasiswi Pengikut Kelompok Islam Radikal
Adapun masalah syarat keadilan yang tidak mungkin dipenuhi oleh beberapa pendapat. Mereka mengatakan bahwa konsel keadilan yang dimaksud dalam alqur‟an surat al-nisa ayat 3 itu adalah keadilan lahiriyah (materiil), bukan keadilan yang bersifat batiniyah (immatcriil). Seperti masalah nafkah dan kebutuhan lainnnya yang bersifat lahiriyah harus bersikap adil. Akan tertapi, kalau masalah kasih sayang dan rasa cinta, tidak dituntut keadilan. Hal ini sebagaimana Nabi Saw. yang secara batiniyah tetap mencintai khadijah daripada istri-istrinya yang lain. Namun demikian dalam masalah poligami awards mereka tidak setuju. Hal ini karena poligami awards dianggap hanya meniru kebiasaan barat atau masa jahiliyah. Karena tujuan menikah lebih dari satu bukan untuk mencari kebanggaan duniawi, tetapi semata-mata melaksanakan ajaran al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Ketika ditanya tentang poligami orang yang tidak memiliki kemampuan secara materiil. Mereka menjawab bahwa kemampuan itu tidak bisa diukur dengan kasat mata. Oleh karenanya, selama orang merasa mampu sah-sah saja berpoligami. c. Masalah akses ke ruang publik Bagi kelompok Islam radikal perempuan memang dibatasi untuk melakukan akses ke ruang publik. Hal ini karena perempuan memiliki tugas yang sangat mulia, yaitu menjadi ibu rumah tangga. Bagi mereka mendidik dan merawat anak untuk menciptakan generasi mendatang yang berkualitas adalah tugas berat dan mulia dibanding harus bekerja di luar. Oleh sebab itu, kalaupun perempuan menjadi wanita karir, maka dia tidak boleh keluar dari batas kewajaran. Seperti keluar meninggalkan anak dan suami sampai ber-jam-jam bahkan berhari-hari. Demikian pula dalam hal ini, aspek syari‟ah terkait dengan aurat dan perlindungan perempuan muslimah harus diterapkan jika perempuan ke luar rumah. Seperti harus ada muhrimnya, tidak menunjukkan pakaian yang menyolok, memakai parfum, berhias, dan hal-hal lain mengundang fitnah. Akses ke luar rumah, menurut mereka sebenarnya bersifat darurat. Hal ini karena kalau ke luar rumah seperti belanja, atau bekerja merupakan kewajiban laki-laki. Demikian pula aspek keamanan perempuan yang keluar rumah sangat rentan terhadap gangguan. Bahkan shalat berjama‟ah saja menurut hadith nabi saw. perempuan sebaiknya shalat di rumah. Oleh sebab itu. syari‟at Islam yang membatasi perempuan ke luar rumah merupakan syari‟at Islam yang bertujuan melindungi perempuan itu sendiri. Ketika dibantah, bahwa aspek keamanan dan lingkungan tidak akan mengganggu perempuan atau terjamin, apakah perempuan keluar rumah untuk urusan publik dan shalat berjama‟ah masih dilarang. Mereka menjawab bahwa, dengan keamanan yang tejamin pun tidak berarti hukum itu berubah. Hal ini
karena ajaran Islam mengandung hikmah-hikmah yang tersembunyi, yang tidak diketahui manusia. Kalau ditanya apakah hal itu tidak menjadikan perempuan terpasung, karena harus selalu di rumah, tidak boleh berkarya di luar rumah, dan shalat berjama‟ah pun harus di rumah. Mereka menjawab bahwa sekali-kali syari‟at tidak usah dibantah dan direkayasa. Karena Allah akan mengazab kaum yang selalu membantah dan merekayasa hukum-hukumNya. d. Masalah hubungan laki-laki dengan perempuan Hubungan laki-laki dan perempuan akhir-akhir ini menurut kelompok Islam Radikal sudah melampaui batas. Laki-laki dan perempuan sudah tidak memikirkan batas ruang, tempat duduk, bahkan mereka terbiasa berpegang-pegang tangan dan berpacaran. Oleh sebab itu, syari‟at Islam harus diwujudkan dalam kehidupan seharihari terkait dengan hubungan laki-laki dan perempuan ini. Jika dalam suatu forum bersama, hendaknya kaum laki-laki disendirikan dengan kaum perempuan dan diberi batas (hijab) tabir. Dengan demikian masing-masing tidak saling pandang yang akan menimbulkan fitnah. Demikian pula laki-laki tidak boleh melakukan kunjungan atau bepergian bersma perempuan berduaan, karena akan mengundang syetan. Jika harus bepergian bersama, seharusnya harus bersama muhrim dan lebih dari dua orang. Mereka harus saling mengontrol, dan tujuan bepergian bukan untuk maksiat. Bagi mereka hubungan laki-laki baru boleh sah jika telah diikat dengan tali pernikahan yang sah. Bagi mereka lebih baik menikah dini daripada melakukan maksiat. Oleh sebab itu pernikahan harus secepatnya dilakukan bagi oleh yang memilki keinginan untuk menikah meskipun kondisinya masih kuliah sekalipun. Urusan risqi sudah dijamin oleh Allah. Perilaku menikah di bawah tangan (sirri) memang marak di kalangan intern aktifis kelompok Islam radikal. Hal ini terjadi akrena dalam pandangan mereka berpacaran itu dosa, sedangkan mereka melihat kodisi hubungan laki-laki dan perempuan yang bebas rasanya tidak kuat. Oleh karena itu jalan keluar satu- satunya adalah menikah. Meskipun rata-rata mereka menikah tanpa sepengetahuan orangtua dan secara tidak formal melalui KUA. Masalah pernikahan sirri ini memang banyak menimbulkan masalah bagi kalangan aktifis radikal. Hal ini terkait dengan kesiapan mental dan materi, karena mereka masih kuliah. Banyak di kalangan aktifis yang prestasi kuliahnya jatuh karena sibuk dengan urusan kelompok keagamaannya dan sebagian juga telah menikah dan hidup satu rumah. Akibat ditimbulkan bagi mereka adalah terganggu sekali kuliahnya. Balikan ada sebagian yang kuliahnya sampai tidak selesai atau drop out. Pandangan bahwa kelompok Islam radikal sebagai agen nikah sirri sepenuhnya tidak dapat dibantah. Hal ini karena memang faktanya demikian.
111
Sjafiatul Mardliyah dan Agus AJ'andi, Perilaku Bias Gender Mahasiswi Pengikut Kelompok Islam Radikal
Beberapa aktifis yang sudah masuk semester-semester akhir mereka sudah memperoleh peluang untuk menikah. Sebab merasa sudah senior, seolah memiliki hak untuk memilih aktifus-aktifuis mahasiswi yang yunior. Akan tertapi tidak seluruhnya aktifis Islam radikal melakukan pernikahan sirri. Mereka juga banyak yang menunggu kuliah selesai baru menikah. Karena pernikahan dilakukan ketika masih kuliah, dalam kondisi serba tidak siap, maka rata-rata rumah tangga aktifis kelompok ini cenderung compang-camping hidupnya. Mereka kadang meninggalkan kelompoknya setelah kondisi hidupnya demikian. Tetapi juga ada yang berbisnis menggunakan lembaga kelompoknya. Seperti membuka lembaga kursus, toko, sales, dan pelayanan aqiqah-qurban, serta pekerjaan lainnya. Pada dasarnya nikah sirri, akibatnya memang ketidaksispan kondisi keluarga yang dibangun ketika menikah masih mahasiswa. Yang menjadi korban adalah kaum perempuan aktifis ini. Mereka harus menanggung hidup serba kekuarangan. sementara harus merawat anak-anaknya lebih dari dua atau tiga orang. Karena biasanya aktifis menolak melakukan Keluarga Berencana (KB), maka anak-anaknya aktifis jumlahnya banyak. e. Masalah kekerasan dalam rumah tangga Bagi kelompok Islam radikal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah bukan ajaran Islam. Hal ini ditunjukkan oleh tradisi Nabi yang selalu menyayangi anak-anak dan istri-istrinya. Akan tetapi ketika ditanya tentang peluang adanya KDRT dalam surat al-Nisa‟ ayat 34: “Apabila kalian khawatir jikalau istri- istri kalian membangkang, hendaklah menasehatinya mereka dan meninggalkan untuk tidak tidur dengan mereka dan pukullah Mereka menjawab bahwa al-Qur‟an tetap harus difahami sebagai kebenaran. Memukul istri tetap diperbolehkan sengan syarat proses sebelumnya sudah dilampaui. Seperti menasehati dengan baik, dan berpisah ranjang. Akan tetapi, jika proses itu tidak berhasil selama beberapa kali, maka suami boleh memukul. Pukulan suami hanya boleh dengan syarat tidak meninggalkan rasa sakit. Jika dikaitkan dengan UU KDRT, apakah ajaran Islam bertentangan dengan UU tersebut. Hal ini karena ayat tersebut mengandung unsur kekerassan dalam rumah tangga. Jawabannya menunjukkan bahwa pukulan dalam ayat terscbuttidak termasuk dalam aktegori pelanggaran UU„KDRT. Dalam UU KDRT pemukulan bersifat menyakiti dan berulang-ulang serta ada bekas ditimbukkannya. Sedang dalam ajaran Islam memukul Istri hanya diperbolehkan dengan proses yang dialui, sekaligus tidak menyakiti dan menimbulkan bekas. Ketika ditanya, pukulan yang tdiak meninggalkan rasa sakit apakah akan menimbulkan efek jera dan merubah perilakunya. Jawaban mereka bahwa pukulan itu semata-mata untuk mendidik, sehingga tidak boleh memukul dengan rasa sakit. Mendidik bukan berarti menyakiti, tetapi merubah perilaku. Ketika dibantah, bahwa
peluang menyakiti kan tetap ada. Jawabannya memang iya, tetapi lagi-lagi firman Allah tidak boleh dibantah. C. Kesimpulan dan Saran Kelompok keagamaan Islam radikal di Perguruan Tinggi merupakan realitas yang tak terbantahkan keberadaannya. Mulai dari kelompok Jama‟ah Tarbiyah yang diimplematasikan dalam kelompok KAMMI, kelompok Hizb al-Tahrir (HTI), Jama‟ah tabligh, sampai Negara Islam Indonesia (NII). Mayoritas aktifis kelompok ini adalah perempuan (mahasiswi). Padahal pemahaman dan pemikiran kelompok Islam radikal bersifat meminggirkan perempuan, imbasnya adalah perilaku-perilaku aktifis kelompok Islam radikal cenmdemng bias gender. Diantara perilaku bias gender yang ditampakkan adalah sikap yang menolak perempuan sebagai pemimpin, menerima poligami bahkan siap dipoligami, berperilaku membatasi diri dalam ruang publik, berperilaku membatasi hubungan dengan laki-laki sehingga berkembang nikah sirri (di bawah tangn), dan menerima perilaku suami memukul istri sesuai dengan teks al-Qur‟an dengan syarat-syarat telah sesuai proses prosedur. Perilaku-perilaku bias gender tersebut disebabkan oleh karena memang pemahaman yang diterima dari doktrin kelompoknya. Diantaranya doktrin itu adalah Islam adalah ajaran absolut dan tak terbantahkan, sehingga apapun yang ada dalam alQur‟an dan hadith harus diterima. Islam harus diterapkan secara kaffah (total) dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam instutisi negara. Sehingga bagi mereka berdirinya negara Islam (khilafah Islamiyah) adalah suatu keniscayaan. Latarbelakang lain juga disebabkan karena metodologi pemahaman Islam yang digunakan adalah bersifat tekstualis dan literalis. Menolak tafsir yang dikaitkan dengan kenteks budaya dan tradisi dimasa ayat dan hadith itu turun dan menolak tafsir yang bersifat hermiunetik. Demikian pula mereka menolak adanya pluralias pemahaman Islam. Baginya Islam hanya satu, maka pendapat yang benar hanya satu, yaitu pendapat mereka sendiri. Latar sosial keagamaan pengikut kelompok radikal pada dasarnya adalah sekuler modern. Artinya pada awalnya mereka tidak memahami Islam secara keilmuan. Mereka rata-rata sekolah di SMA umum, kemudian setelah di PT mengikuti kelompokkelompok keagamaan radikal. Dampak yang ditimbulkan adalah sikap dan perilaku keagamaan yang cenderung bias gender, sehingga berakibat pada penolakan pada polapola pemahaman yang berusaha melakukan penafsiran keadilan gender. Dengan simpulan hasil penelitian yang demikian, maka saran penulis agar pembelajaran agama Islam diarahkan pada usaha untuk menciptakan pemahaman yang moderat. Hal ini karena perilaku agama pada dasarnya dipengaruhi oleh
113
Sjafiatul Mardliyah dan Agus AJ'andi, Perilaku Bias Gender Mahasiswi Pengikut Kelompok Islam Radikal
pemahaman seseorang. Adapun pemahaman ditentukan oleh motode dan kompetensi pengajar. Metode pemahaman Islam yang ilmiyah dengan menghindarikan pendekatan yang bersifat doktrinal dan normatif akan memberikan ruang kritik dan kritis. Dengan demikian hasil pemahaman tidak dianggap sebagai hal absolut yang berakibat pada tindakan radikal, sebab yang absolut hanyalah pemilik wahyu itu sendiri sedang pemahaman manusia bersifat relatif. Daftar Pustaka Al-Qur‟an dan Terjemahannya Afandi, Agus. 2004. Studi tentang Pemahaman Keagamaan Kelompok Islam Radikal. Surabaya: Lembaga penelitian Universitas negeri Surabaya. Enginecr, Asghar Ali. 2003. Pembebasan Perempuan. Yogyakarta: LKiS. Rahmat, Andi dan Muhammad Najib. 2001. Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus. Surakarta: Paramedia. Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Wajidi, Farid. 1993. Perempuan dan Agama: Sumbangan Riffat Hasan, dalam Fauzie Ridjal (ed), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta : Tiara Wacana.