PERHATIAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN
Makalah Disampaikan pada Acara Seminar Nasional pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bukittinggi Sumatera Barat pada hari Jum’at, 11 November 2015 bertempat di Kampus STAIN Bukit Tinggi Sumatera Barat
Oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. (Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
JAKARTA 2015
1
PERHATIAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN
A.Pengantar Kajian terhadap Islam dan Budaya sesungguhnya sudah lama dilakukan para ahli, dan karenanya ia merupakan isu lama. Pada waktu itu kajian Islam dan Budaya timbul sebagai reaksi kaum modernis yang menggagas ide-ide modernisasi dan perubahan sosial dan budaya terhadap kaum tradisionalis yang menolak gagasan-gagasan kaum modernis tersebut. Kaum tradisionalis yang umumnya memiliki pandangan Islam yang dikhotomis, normatif, dogmatis dan sempit melihat bahwa Islam adalah agama yang berasal dari Tuhan dan berpedoman kepada wahyu, sedangkan budaya berasal dari manusia yang berdasar pada daya cipta, rasa dan karsanya. Akibatnya kaum tradisionalis tampil menjadi orang salih secara normatif, namun tertinggal dalam kebudayaan dan peradaban. Kaum modernis ingin agar ummat Islam juga maju dalam bidang kebudayaan dan peradaban tanpa harus meninggalkan ajaran agamanya. Inilah antara lain mengapa kaum modernis mengangkat tema kajian Islam dan Budaya. Kini kajian Islam dan Budaya tersebut muncul lagi, namun alasannya bukan karena sikap pro kontra antara modernis dan tradisionalis, Masa tersebut sudah berlalu. Isu Islam dan Budaya ini diangkat kembali mungkin dikarenakan beberapa sebab sebagai berikut. Pertama, bahwa saat ini kebudayaan yang dijadikan blue print (cetak biru) dan cognitive framework (bingkai kerja dan aktivitas masyarakat) oleh ummat Islam bukanlah kebudayaan yang dijiwai nilai-nilai ajaran Islam, melainkan lebih dijiwai nilai-nilai materialistik, hedonistik, kapitalistik, dan transaksional. Nilai-nilai ajaran Islam yang mengedepankan visi transendental, keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan tidak nampak dalam kebudayaan masyarakat Islam. Kedua, bahwa nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan juga belum mampu menggerakan masyarakat untuk menjadi masyarakat yang maju dan beradab. Nilai-nilai ajaran Islam tentang mengutamakan kebersihan, ketertiban, kejujuran, keindahan, kedisiplinan, kepedulian sosial, kerja keras, dan keunggulan misalnya belum nampak dalam kebudayaan yang dianut masyarakat. Nilai-nilai ajaran Islam tentang mengutamakan kebersihan, ketertiban, kejujuran dan lainnya itu justru ditemukan pada orang-orang non-Muslim. Sedangkan orang Islam sendiri tidak mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam tersebut. Ketiga, bahwa saat ini secara formal dan konstitusional, perhatian pemerintah terhadap kebudayaan menunjukan peningkatan. Hal ini misalnya terlihat dari adanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun sungguhpun demikian, kebijakan dan strategi pemerintah untuk membangun kebudayaan tidak jelas arahnya. Jika Koencaraningrat atau Sutan Takdir Ali Syahbana misalnya mengatakan tentang adanya konfigurasi nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat berbeda-beda, misalnya ada masyarakat yang menonjolkan nilai budaya rasional, intelektual, dan ekonomi, seperti 2
masyarakat Barat; atau ada masyarakat yang menonjolkan budaya intelektual, rasional dan seni seperti masyarakat Eropa, atau ada masyarakat yang menonjolkan budaya rasa, emosional dan agama sebagaimana masyarakat Timur Tengah; maka pertanyaannya, adalah nilai-nilai apa yang ingin ditanamkan pada budaya masyarakat Indonesia? Hingga saat ini belum ada jawabannya yang jelas dan tuntas, karena pemerintah belum merumuskan tentang strategi pengembangan kebudayaan masyakat Indonesia. Keempat, bahwa dalam realitanya perhatian pemerintah terhadap masyarakat pencipta kebudayaan masi rendah. Pemerintah dan masyarakat pada umumnya hanya menjadi penikmat kebudayaan, dan pebisnis atau penjual beli kebudayaan. Tidak sedikit orang yang menikmati hasil kebudayaan yang diciptakan para pencipta kebudayaan, dan tidak sedikit pula orang yang memperoleh keuntungan material dari jual beli kebudayaan yang diciptakan para pencipta kebudayaan, namun mereka lupa, bahkan tidak memiliki perhatian dan tanggung jawab sedikitpun kepada orang-orang yang menciptakan kebudayaan, yaitu para budayawan, dan seniman dalam berbagai cabangnya. Mereka nampaknya dibiarkan berjuang sendirian, tanpa bantuan, dan kepedulian hingga akhir hayatnya.1 Dengan merujuk kepada berbagai sumber sekunder yang otoritatif, tulisan ini, secara kritis, objektif, dan komprehensif, berupaya menjelaskan tentang kebudayaan, Islam, hubungan antara keduanya, serta strategi memasukan nilai-nilai Islam ke dalam kebudayaan, sebagaimana yang demikian itu pernah terjadi di Indonesia pada awal Islam masuk ke Indonesia. B.Kebudayaan Kebudayaan berasal dari kata budaya yang mendapatkan awal ke dan akhiran an. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan budaya dengan arti pikiran, dan akal budi. Sedangkan kebudayaan berarti yang mengenai kebudayaan, yang sudah berkembang (beradab dan maju); jiwa yang berkebudayaan misalnya adalah jiwa yang telah berkembang (cerdas, maju), bahawa kebudayaan misalnya yang lain adalah bahasa yang menjadi pendukung (pembawa) kebudayaan.2 Sumber lain mengatakan, bahwa secara harfiah, budaya berasal dari kata budi dan daya (budi daya), atau daya (upaya atau power) dari sebuah 1
Baru-baru ini Indonesia kehilangan seorang budayawan dan seniman yang amat dikenal di kalangan kanak. Ia adalah Pak Suryadi yang dalam film Boneka Si Unyil dikenal dengan nama “Pak Raden.” Ia seorang pencipta dan pengabdi Seni budaya sejati, karena hampir seluruh hidupnya diabdikan untuk seni. Melalui perannya sebagai “Pak Raden” pada film Boneka Si Unyil itu, Pak Raden banyak mengeksplor gagasan dan ide-ide yang amat inspiratiif untuk anak-anak. Latar belakang pendidikannya dari Universitas bergengsi di Indonesia, yaitu Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) telah diabdikan untuk pengembangan seni budaya yang melegenda hingga sekarang. Namun sayang hingga akhir hayatnya hidupnya dalam kesendirian, keciali ditemani oleh kucingkucingnya. Di Indonesia ini masih banyak para pencita budaya yang telah membawa nama harum bangsa, namun luput dari perhatian pemerintah. 2
Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1991), cet. XII, hal. 157
3
budi; kata budaya selanjutnya digunakan sebagai singkatan dari kebudayaan dalam arti yang sama.3 Yaitu identik dengan kata budhi yang berarti kesopan-santunan, atau keramahtamahan. Sumber lain mengatakan, bahwa kebudayaan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris culture, atau al-tsaqafah dalam bahasa Arab yang berarti culture, refinement, education, dan civilization.4 Dari pengertian kebahasaan ini terdapat kesan yang kuat, bahwa kebudayaan terkait dengan produk daya cita (pikiran), rasa (hati nurani), dan karsa (fisikpancaindera) manusia yang bersifat positif, baik, dan mulia. Ketika seseorang disebut sebagai orang yang berbudaya, maka berarti orang tersebut adalah orang yang telah mengembangkan daya cipta, rasa dan karya untuk hal-hal yang positif. Dalam pengertian yang umum digunakan kebudayaan adalah hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia. Hasil daya cipta dapat berupa gagasan, ide, pemikiran, ilmu pengetahuan, konsep dan disain. Sedangkan hasil daya rasa berupa keindahan, kesenian, dan nilai-nilai moral. Sedangkan hasil daya karsa berupa produk-produk fisik, seperti makanan, minuman, pakaian, bangunan dan lain sebagainya. Dengan demikian, kebudayaan atau budaya ada yang bersifat fisik dan nonfisik. Sementara itu terdapat pula aliran yang melihat kebudayaan lebih pada aspek batiniahnya. Sedangkan aspek lahiriyahnya disebut peradaban yang dalam bahasa Arabnya disebut al-hadlarah, dan dalam bahasa Inggrisnya disebut civilization.5 Budaya atau kebudayaan adalah jiwa atau nilai-nilai yang mendasari sesuatu. Dalam konteks ini, kebudayaan diartikan nilai-nilai, ajaran, konsep atau pemikiran yang terpilih secara selektif dan digunakan sebagai referensi atau pegangan dalam menyikapi, menjelaskan dan memahami berbagai fenomena kehidupan. Kebudayaan pada tahap selanjutnya menjadi semacam pranata, atau acuan atau pikiran yang membingkai suatu aktivitas (cognitive framework). Cara kerja dan bertindak seseorang yang berbeda-beda antara satu dan lainnya terjadi, karena nilai budaya yang dijadikan acuan atau bingkai pikirannya tidak sama, sebagai akibat dari nilai budaya yang dianutnya tidak sama. Nilai budaya yang dianut orang Jawa tentang hubungan suami istri misalnya berbeda dengan nilai budaya yang dianut masyarakat Sunda. Itulah 3
Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan, (Jakarta:Gramedia, 1980), hal. 81-82; Lihat pula Zulkifli Anas, Sekolah untuk Kehidupan, Gagasan Awal untuk Berfikir Ulang tentang Sistem Pendidikan, (Jakarta:AMP Press, 2013), hal. 193. 4
Lihat Hans Weher, A Dictionary of Modern Written Arabic (edited) by J. Milton Cowan, (Beirut:Librarie Du Liban, dan London:Macdonald & Evans LTD, 1974), hal. 104. 5
Di kalangan masyarakat pada umumnya tidak dibedakan antara kebudayaan (culture) dan peradaban (civilization). Kebudayaan lebih merujuk pada aspeknya batinnya, pikirannya, konsep atau nilai-nilainya. Sedangkan peradabaan adalah bentuk lahiriyahnya, berupa benda-benda fisik yang merupakan produk dari kebudayaan. Kedua istilah tersebut dapat dibedakan artinya, namun dalam prakteknya sulit dibedakan. Ketika seseorang pergi ke negara maju dan melihat berbagai bangunan pencakar langit, atau berbagai produk teknologi dalam bidang otomotif, elektronik dan lainnya, maka pada saat itu ia sedangka menyaksikan sebuah peradaban masyarakat modern. Namun dalam waktu yang bersamaan orang akan berkata, bahwa berbagai produk teknologi tersebut merupakan buah dari pikiran, konsep, nilai-nilai yang bersifat batin, yaitu nilai kerja keras, ulet, disiplin, kemauan belajar dan meneliti yang tinggi, dan seterusnya yang semuanya itu merupakan nilai-nilai kebudayaan.
4
sebabnya jika seseorang akan membangun sebuah kehidupan rumah tangga maka dengan seseorang yang budayanya berbeda, maka yang terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah melakukan adaptasi budaya atau tukar menukar informasi budaya (inter cultural meeting).6 Proses ini harus dilakukan oleh seseorang sebelum melangsungkan pernikahan. Selanjutnya, karena setiap orang selain dipengaruhi oleh faktor internalnya, juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang datang dari luar. Segala sesuatu yang datang dari luar ini ada yang positif dan yang negatif. Dalam keadaan demikian, maka seseorang yang tinggal di suatu lingkungan yang berbeda dengan lingkungan asalnya, maka ia akan terpengaruh oleh lingkungannya yang baru itu. Seseorang yang berbudaya Jawa yang terikat pada adat istiadat, tradisi, nilai agama, budi pekerti mulia, sopan santun, mengutamakan batin, emosional, bersifat kolektif dan paguyuban, akan bisa berubah ketika ia tinggal bertahun-tahun di Barat yang berbudaya liberal, hedonistik, materialistik, rasional, sekularistik, dan individualistik. Inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah sock culture atau goncangan budaya yang umumnya melanda anak-anak muda yang terjadi di era globalisasi.7 Keadaan ini pada tahap selanjutnya menimbulkan apa yang disebut sebagai ketahanan budaya. Yaitu bahwa sesuatu tahan terhadap sesuatu yang lain yang dihadapinya atau lebih khusus lagi tahan terhadap suatu ancaman tertentu. Dengan demikian, maka perlulah lebih dahulu didefinisikan, apakah hal-hal yang mempunyai potensi untuk menyentuh, atau bahkan mengancam kebudayaan. Dalam kaitan ini Edi Sedyawati mengemukakan ada dua golongan hal yang mempunyai potensi demikian. Pertama, sentuhan terhadap sosok kebudayaan dapat datang dari dorongandorongan perubahan yang datang dari masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri. Sebab dari golongan tersebut bermacam-macam, dapat disebutkan antara lain tantangan dan perubahan yang sifatnya alami, yang sedemikian bermaknanya perubahan tersebut sehingga manusia didorong ke arah suatu keharusan untuk menyesuaikan diri, yaitu dengan mengadakan tindakan-tindakan perubahan. Kedua, dari hal-hal yang mempunyai potensi menyentuh ataupun mengancam kebudayaan adalah pengaruh-pengaruh dari luar kebudayaan bersangkutan. Pengaruh yang demikian disebabkan oleh adanya interaksi antara bangsa. Pada masa lalu, interaksi antara bangsa itu hanya dapat terjadi apabila ada 6
Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I, Hal. 370
7
Globalisasi adalah sebuah istilah yang mengacu kepada sebuah keadaan di mana antara satu bangsa denga bangsa lain di dunia disatukan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam keadaan demikian, terjadilah beberapa dampak sebagai berikut. Pertama, 121terjadinya persaingan yang keras antara satu bangsa denga bangsa lainnya, terutama dalam bidang perdagangan. Kedua, terjadinya pragmentasi politik sebagai akibat dari tuntutan HAM dan demokrasi yang tidak terakomodasi. Ketiga, terjadinya intedependensi yang berakibat pada terjadinya hegemoni yang kuat terhadap yang lemah. Keempat, penggunaan teknologi canggih; dan Kelima, terjadinya penjajahan kebudayaan global yang berakibat pada terjadinya dekadensi moral, terutama pada kalangan remaja. Lihat Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I, Hal. 121-122.
5
pertemuan-pertemuan tatap muka antara orang-orang dari kebangsaan yang berbeda. Namun pada masa kini, berkat kecanggihan teknologi komunikasi, interaksi antara bangsa dapat terjadi tanpa pertemuan tatap muka, melainkan banyak melalui media komunikasi jarak jauh, baik yang bersifat personal maupun impersonal. Hal ini misalnya teejadi pada pengaruh film pada perilaku orang yang menontonnya.8
C.Islam, Kebudayaan dan Peradaban Secara harfiah Islam mengandung arti selamat, aman, damai, patuh, beserah diri dan taat. Orang yang masuk Islam dinamakan muslim. Yaitu orang yang menyatakan dirinya telah taat, menyerahkan dirinya, patuh dan tunduk kepada Allah SWT, dengan tujuan agar memperoleh jaminan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.9 Selain itu ada pula yang berpendapat, bahwa Islam berarti al-Istislam, yakni usaha mencari keselematan atau berserah diri, dan berarti pula al-inqiyad yang berarti mengikatkan diri pada aturan. Pengertian ini sejalan dengan firman Allah SWT. (Tidak demikian), bajkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati. (Q.S. al-Baqarah, 2:112).10 Islam dalam arti beserah diri (Muslim) ini adalah Islam sebagaimana uang dipraktekan oleh Ibrahim, dan keturunan, seperti Ya’kub, Sulaiman, Musa, Isa dan nabi lainnya. (Q.S. alBaqarah, 2:132, Ali Imran, 3:67 dan 84; Yusuf, 12:101, al-Naml, 27:29). Dari segi kebahasaan ini nampak bahwa pengertian Islam terkait erat dengan sikap atau perbuatan yang berbudaya yang baik, yaitu senantiasa menyebarkan kedamaian, keselamatan, kepatuhan dan ketaatan kepada Tuhan. Selanjutnya Islam dalam istilah mengalami pengertian yang lebih luas. Abd al-Rahman al-Nahlawy misalnya mengatakan, Islam adalah aturan Tuhan yang terakhir yang dijadikan sebagai tuntunan yang sempurna dan mencakup semua aspek kehidupan yang diridlai-Nya untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, alam jagat raya, segenap makhluk, urusan dunia dan akhirat, kemsyarakatan, perkawinan, kehakiman, serta mengatur setiap ikatan hyang dibutuhkan manusia sebagi tuntunan yang dibangun atas dasar kepatuhan kepada Allah semata, serta ikhlas beribadah kepada-Nya, serta berpegang teguh kepada segenap yang dibawa oleh Rasulullah SAW.11 Pengertian ini sejalan dengan pendapat Maulana Muhammad Ali yang mengatakan, bahwa Islam adalah agama yang sebenarnya bagi seluruh 8
Lihat Edi Sedyawati, Ke-Indonesiaan dalam Budaya, Buku 2, (Jakarta:Wedatama Widyasastra, 2008), cet. I, hal. 20 9
Lihat Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung:al-Ma;arif, 1977), cet. II, hal. 56.
10
Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, (Mesie: Dar al-Ma’arif, t.th), hal. 2028.
11
Lihat Abd al-Rahman al-Nahlawy, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha, hal. 17.
6
umat mansia. Para nabi adalah yang mengajarkan agama Islam di kalangan berbagai bangsa dan berbagai zaman, dan Nabi Muhammad SAW adalah Nabi agama itu yang terakhir dan paling sempurna.12 Senada dengan itu, Harun Nasution mengatakan, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.13 Pengertian Islam yang mencakup berbagai segi kehidupan ini lebih lanjut ditunjukan oleh Harun Nasution dengan mengemukakan pendapat Abdul Wahhab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo dengan mengemukakan ayat-ayat hukum yang jumlahnya sekitar 5,8 persen dari seluruh ayat al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut berjumlah sekitar 368 ayat yang sebanyak 140 berkaitan dengan urusan ibadat salat, puasa, zakat, haji dan lain-lain, ayat-ayat mengenai hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya sebanyak 70 ayat; ayat-ayat mengenai hidup perdagangan, perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan sebagainya, sebanyak 70 ayat; ayat-ayat yang berkenaan dengan soal kriminal, sebanyak 30 ayat, ayat-ayat mengenai hubungan Islam dan bukan Islam sebanyak 25 ayat, ayat-ayat mengenai soal pengadilan sebanyak 13 ayat, ayat-ayat mengenai hubungan kaya miskin sebanyak 10 ayat, dan ayat-ayat mengenai soal kenegaraan sebanyak 10 ayat.14 Dari jumlah 368 ayat tersebut, terdapat 228 ayat yang mengatur soal hidup kemasyarakatan, yaitu soal kekeluargaan, perdagangan/perekonomian, kriminal, kenegaraan, hubungan antara penganut agama, dan kriminalitas. Semua masalah ini terkait erat dengan masalah kebudayaan. Selanjutnya ayat-ayat tersebut juga bersifat umum. Dalam arti hanya memberi garis-garis besar saja, tanpa perincian. Ini berbeda dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan soal ibadah yang selain jumlahnya lebih besar, juga lebih terperinci. Adanya ayat dalam bidang kebudayaan yang jumlah kecil dan hanya mengatur garis-garis besarnya saja, menurut Harun Nasution adalah, karena masyarakat yang di dalamnya terdapat kebudayaan adalah bersifat dinamais yang senantiasa mengalami perubahan dari zaman ke zaman, dan kalau diatur dengan hukum-hukum yang berjumlah besar lagi terperinci akan mejadi terikat dan tak dapat berkembang sesuai dengan peredaran zaman. Di sinilah terletak hikmahnya, maka ayatayat ahkam mengenai hidup kemasyarakatan dan kebudayaan bersifat kecil dan hanya membawa pedoman-pedoman dasar tanpa perincian, Dengan demikian hanya dasar-dasar inilah yang perlu dan wajib dipegang dalam mengatur hidup kemasyarakatan dan kebudayaan umat di segala tempat dan zaman. Dengan kata lain, dasar-dasar inilah yang tak boleh dirobah, 12
Lihat Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dienul Islam), (Jakarta:PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1980), hal. 1
13
Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, (Jakarta:UI Press, 1979), hal. 14.
14
Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, (Jakarta:UI Press, 1979), hal. 7-8.
7
dan adapun interpretasi, perincian dan pelaksanaannya itu berubah menurut tuntutan zaman.15 Di sekitar dasar-dasar inilah masalaha kemasyarakatan dan kebudayaan berkembang. Ini menunjukan bahwa pengertian Islam dari segi istilah sangat erat hubungannya dengan dasar-dasar dan sifat kebudayaan Islam. Yakni berdasar pada tuntunan Allah, mencakup semua aspek kehidupan manusia, serta bersifat dinamis. Sifat kebudayaan Islam ini juga sejalan dengan karakteristik ajaran Islam yang sesuai dengan fithrah manusia, seimbang antara jasmani dan ruhani, sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, tidak menyusahkan manusia, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis pada penelitian, berorientasi pada masa depan, kesederajatan manusia, keadilan, musyawarah, persaudaraan, dan keterbukaan.16 Hubungan Islam dengan kebudayaan lebih lanjut dapat dilihat dari visi, misi dan tujuan ajaran Islam. Berdasarka petunjuk ajaran Islam sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ambiya ayat 107 adalah memberi rahmat bagi seluruh alam. Dari ayat ini muncullah istilah Islam Rahmatan lil alamin yang secara sederhana berarti memahami al-Qur;an dan Hadis untuk kebaikan manusia, alam dan lingkungan.17 Islam sebagai pembawa rahmat ini tidak hanya untuk ummat Islam sendiri, melainkan bagi seluruh umat manusia di di dunia, sebagaimana hal yang demikian dapat dilihat dalam sejarah Islam pada zaman klasik. Yaitu zaman keemasan Islam (Golden Age) yang berpengaruh besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban Eropa. Beberapa pengamat dan penulis yang jujur berkata, bahwa dunia Eropa dan Barat berhutang budi amat besar kepada dunia Islam. Dalam visi ajaran Islam ini nampak erat hubungannya dengan membangun kebudayaan dan peradaban dunia yang ditujukan untuk kesejahteraan hidup umat manusia. Demikian pula dalam misi ajaran Islam juga terkait erat dengan kebudayaan dan perdabaan. Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, dijumpai bahwa misi ajaran Islam adalah untuk mengeluarkan manusia dari kehidupan yang dzukumat (tanpa norma dan aturan) (Q.S. Ibrahim, 14:1, al-Ahzaab, 33:43, dan al-Hadid, 57:9); memberantas kejahiliyahan (Q.S. al-Fath, 48:26); menyelamatkan kehidupan manusia dari tepi jurang perpecahan dan kehancuran, (Q.S. Ali Imran, 3:103), melakukan pencerahan jiwa dan pikiran, (Q.S. Al-Isra’, 17:82), mewujudkan akhlak mulia (hadis riwayat Bukhari-Muslim), mencegah timbulnya bencana kerusakan di muka bumi, serta mengangkat harkat dan martabat manusia, (Q.S. al-Isra’, 17:70). 18Dari misi ajaran Islam erat kaitannya dengan misi kebudayaan Islam, yaitu memajukan, mencerahkan, dan mengangkat harkat dan martabat manusia. Misi inilah
15
Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, (Jakarta:UI Press, 1979), hal. 9-10.
16
Lihat Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media Group, 2011), cet. I, hal. 49-80.
17
Lihat Fuad Jabali dkk, Islam Rahmatan lil Alamin, (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2011), (ed.), hal. 13
18
Lihat Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media Group, 2011), cet. I, hal. 94-101.
8
yang dibawa dan diperjuangkan oleh Rasulullah SAW sepanjang hidupnya, dan masih nampak pengaruhnya hingga saat ini. Selanjurnya hubungan Islam dengan kebudayaan dan peraadaban juga dapat dilihat dari tujuan ajaran Islam itu sendiri, yaitu (1)memelihara jiwa atau nyawa manusia (hifdz alnafs), agar tidak ada orang yang merenggut, membunuh atau menyakiti manusia, (2)memelihara agama (hifdz al-din), yaitu agar memberikan hak dan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya; (3)memelihara akal (hifdz al-aql), yaitu memberikan hak dan kebebasan manusia untuk mengembangkan pemikiran, gagasan, dan cita-citanya dengan memilih bidang keahlian melalui pendidikan, pengajaran, dan sebagainya; (4)memelihara keturunan (hifdz al-nasl), yaitu memberikan hak dan kebebasan kepada manusia untuk memilih pasangan hidupnya dan mengembangkan keturunannya; dan (5)memelihara harta benda (hifdz al-maal) yaitu memberikan hak dan kebebasan kepada manusia untuk mencari, mengelola dan menggunakan harta benda miliknya.19 Dari lima tujuan ajaran Islam (Maqashid al-Syar’iyah) ini nampak jelas hubungannya dengan aspek-aspek kebudayaan yang harus dikembangkan. Yaitu kebudayaan yang terkait dengan hak-hak asasi manusia yang paling fundamental. Tujuan syari’at Islam yang terkait dengan memelihara jiwa atau hak hidup, terkait erat dengan mengembangkan budaya hidup sehat, yang selanjurnya mendorong dibangunnya balai pengobatan, rumah sakit, pembuatan obat-obatan, pendidikan dokter, keperawatan, ahli gizi, memproduksi bahan makanan dan minuman yang sehat, dan sebagainya. Hal ini semua adalah masalah kebudayaan. Selanjutnya tujuan syari’at Islam yang terkait dengan memelihara akal terkait erat dengan membangun dan mengembangkan tempat peribadatan, seperti masjid, gereja, wihara, sinagog, kelenteng dan sebagainya. Dalam rangka membangun tempat-tempat ibadah ini, terkait erat dengan pengaruh budaya lokal di mana rumah ibadah tersebut dibangun. Dan dalam konteks ini, budaya Islam bersifat amalgam atau hibrida atau “campuran” dari berbagai budaya. Mungkin pembaca akan kaget, bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam bangunan masjid ternyata mendapat pengaruh dari budaya luar. Dalam hubungan ini Nurkholish Madjid mencontohkan tentang bangunan dan arsitektur masjid. Bahwa masjid mulai dari mihrab, kubah sampai menara adalah murni bykan asli arsitektur Islam, karena mihrab dan kubah adalah tiruan dari gereja, dan menara adalah derivasi dari kata manarah yang mempunyai arti tempat api, dan ini adalah adaptasi dari arsitektur Persia, arsitektur kaum Majusi penyembah api. Karena orang Majudi, kaum Zoroaster, memahami Tuhan sebagai zat yang tidak bisa digambarkan, akhirnya mereka simbolkan dengan api. Api adalah substansi yang tidak bisa
19
Lihat al-Syathibi, a-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, al-Juz al-Tsani, (BeirutL Dar al-Rosyad al-Haditsah, hal. 8; Lihat pula Said Hawa, al-Islam, (Jakarta:Gema Insani, 1425 H./2004 M.), cet. I, hal. 278-285.
9
dipegang. Oleh karena itu orang Majusi kerap dianggap menyembah api.20Dalam konteks masjid di Indonesia, dijumpai informasi, bahwa masjid Chenf Hoo, di wilayah Kota Surabaya, bahkan dalam konteks Jawa Timur secara luas, masjid ini dijadikan sebagai simbol asimilasi etnis China dan Islam. Masjid Cheng Hoo Surabaya merupakan masjid bernuansa Muslim Tionghoia yang berlokasi di Jalan Gading, Ketabang, Genteng, Surabaya. Demikian pula Masjid Syuhada yang terletak di daerah Kota Baru. Mesjid pemberian Presiden Soekarno yang dibangun pada tahun 1952 ini dipersembahkan kepada para pejuang kemerdekaan yang bertempur di Yogyakarta. Ini tercermin dari nama masjid Syuhada yang berarti para pahlawan, karenanya masjid ini sangat dipengaruhi oleh nilai budaya nasionalisme yang digagas oleh para founthing Father, seperti Soekarno. Simbol nasionalisme masjid tersebut dapat dilihat pada bantunannya yang terdiri dari 17 anak tangga yang mengingatkan tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia, garupa yang berjumlah sebanyak 8 buah yang menggambarkan bulan delapan, dan kubah pertama yang berjumlah sebanyak empat buah, dan kubah atas sebanyak lima buah yang melambangkan tahun 45.21 Pengaruh budaya lokal terhadap agama nampak dalam tulisan huruf yang terdapat dalam kitab suci yang memakai tulisan bahasa Arab atau dalam bahasa lainnya, serta dengan menggunakan kertas, warna tinta dan cetakan yang semuanya itu merupakan produk budaya. Pakaian yang dikenakan pada saat mengerjakan shalat itu juga berneka ragam bentuknya. Semua itu bentuk budaya yang digunakan dalam rangka menutup aurat yang merupakan ajaran Islam. Demikian pula tujuan ajaran yang terkait dengan memelihara akal (hifdz al-‘aql) erat hubungannya dengan upaya membangun hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan akal pikiran dan kecerdasan, seperti membangun lembaga pendidikan mulai dari tingkat tamankanak, hingga perguruan tinggi, lengkap dengan sarana prasarana, dan lain sebagainya, seperti kurikulum, guru, media pembelajaran, buku, peralatan praktikum dan lain sebagainya. Semua ini merupakan kebudayaan juga. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan tujuan ajaran Islam yang terkait dengan memelihara keturunan (hifdz al-nasl) terkait erat dengan pengembangan pranata perkawinan lengkap dengan upacara adat, kesenian, lembaga keluarga, pola hubungan suami istri, hak dan kewajiban yang semuanya itu merupakan produk ijtihad dan budaya. Dalam pada itu tujuan ajaran Islam yang terkait dengan memelihara harta benda (hifdz al-maal) terkait erat dengan upaya mengembangkan berbagai pranata di bidang perekonomian, seperti perdagangan, perindustrian, pertanian, perikanan, peternakan, jasa
20
Jaenal Aripin, dkk., Kajian Islam Multidisipliner, (Jakarta:Lembaga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2009), cet.I, hal. I. 21
Lihat Laporan Kunjungian Lapangan, (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2013), hal. 45.
10
dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu lahirlah berbagai produk industri, pertanian, dan sebagainya. Semua ini juga termasuk masalah budaya. Dari paparan tersebut di atas, nampak dengan jelas, bahwa dari seluruh dimensi atau aspek ajaran Islam, mulai dari visi, misi, dan tujuannya amat erat kaitannya dengan pengembangan kebudayaan. Hubungan Islam dengan kebudayaan dan peradaban lebih lanjut dapat ditelusuri dari ajaran Islam yang menyuruh setiap orang menggunakan segenap potensi yang dimilikinya sebagai anugerah dari Tuhan. Yaitu potensi fisik, pancaindera, akal dan hati nurani. Penggunaan berbagai potensi yang dapat melahirkan kebudayaan ini sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dengan demikian menciptakan kebudayaan atau melakukan rekayasa dan inovasi dalam bidang kebudayaan adalah merupakan salah satu perintah Tuhan. Hal ini misalnya dapat dipahami serangkaian firman Allah sebagai berikut: “Dan Allah yang mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl, 16:78); “Dan sungguh, akan kami isi neraka Jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Q.S. al-A’raf, 7:179); “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (Q.S. Ali Imran, 3:190-191). Dari ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an sebagaimana tersebut di atas, paling kurang dapat diketahui tentang tiga hal yang berkaitan dengan pengembangan kebudayaan yang Islami sebagai berikut. Pertama, terkait dengan alat untuk mengembangkan kebudayaan, yaitu fisik, pancaindera, akal dan hati nurani. Dengan fisik, pancaindera dan akal, seseorang dapat melakukan riset di laboratorium dan riset lapangan yang menghasilkan ilmu-ilmu murni dalam bidang sains, seperti kimia, fisika, dan biologim menghasilkan ilmu-ilmu murni dalam bidang ilmu sosial, seperti sosiologi, sejarah, dan antropologi; dan dengan akal pikiran dapat dikembangkan pula filsafat atau ilmu-ilmu humaniora; dan dengan hati nurani dapat dikembangkan ilmu tasawuf. Ilmu-ilmu murni dalam bidang sains tersebut selanjutnya dipadukan dengan ilmu teknik yang menghasilkan teknologi. Sains dan teknologi tersebut merupakan kebuadayaan. Demikian pula dari ilmu-ilmu sosial akan dihasilkan terapannya dalam bidang politik, pendidikan dan sebagainya yang menghasilkan pula kebudayaan. Dan dari hasil akal pikiran dan hati nurani menimbulkan filsafat, tasawuf, seni, dan berbagai 11
cabangnya yang juga merupakan kebudayaan. Kedua, terkait dengan kedudukan atau hukum menggunakan pancaindera, akal dan hati nurani tersebut, yaitu wajib. Orang yang tidak menggunakan pancaindera, akal dan hati nuraninya dianggap sebagai orang yang lalai yang diancam dengan siksaan pedih di akhirat nanti. Ketiga, terkait dengan objek yang dijadikan bahan untuk menciptakan budaya, yaitu segala ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi, seperti flora, fauna, planit, dan sebagainya.
D.Kesaling Terpengaruhan antara Islam dengan Kebudayaan dan Peradaban Sebagai sebuah kenyataan sejarah, bahwa antara agama dan kebudayaan saling mempengaruhi karena pada keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai dan simbol agar manusia dapat hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama membutuhkan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama dalam arti syari’at yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Hadis adalah sesuatu yang final, universal, abadi dan tidak mengenal perubahan. Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Namun agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang, namun terbatas hanya pada pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.22 Agama misalnya memerintahkan untuk memelihata jiwa, akal, agam, keturunan dan harta benda, namun untuk memelihara semua hal yang menjadi tujuan agama sebagaimana telah dibahas di atas ternyata sangat membutuhkan kebudayaan. Demikian pula perintah-perintah agama dalam ibadah juga membutuhkan kebudayaan. Seseorang yang akan mengerjakan shalat butuh, air, tempat, pakaian dan sebagainya yang merupakan produk kebudayaan. Seseorang yang akan mengerkana ibadah haji ke Mekkah selain membutuhkan alat transportasi seperti pesawat terbang, juga membutuhkan kelengkapan lainnya, seperti pakaian, koper, peralatan kesehatan, pedoman pelaksanaan, dan sebagainya yang merupakan produk kebudayaan. Selanjutnya diketahui, bahwa Islam sebagai ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis merupakan suatu kesatuan ajaran yang utuh, holistik dan bersifat universal melampaui batas-batas area suatu wilayah yang diyakini pemeluk-pemeluknya sebagai pedoman hidup. Namun ketika agama ini diturunkan kepada manusia dan bersentuhan dengan aneka budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat luas yang berbeda dari satu bangsa dengan bangsa lain, dari satu wilayah ke wilayah lainnya, maka dari sini suatu agama dituntut fleksibelitas dan kedinamisannya dalam merespon tantangan yang demikian ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu di atas. 22
Lihat Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung:Mizan, 2011) hal. 196.
12
Dengan demikian, dalam rangka menjalin hubungan dan kesaling terpengaruhan ini adalah, bahwa dari satu segi agama mendorong seseorang agar mengembangkan kebudayaan, namun kebudayaan yang dikembangkan itu tidak boleh bertentangan dengan prinsip ajaran Islam tentang keimanan, ibadah dan akhlak. Sedangkan pada sisi lain bahwa dalam menerima pengaruh budaya dari lingkungan tersebut, budaya Islam hanya menerima pada dimensi lahiriyah atau bentuknya yang bersifat non ibadah, atau yang belum diatur tata cara dan ketentuannya secara teknis dalam al-Qur;an dan al-hadis; sedangkan pada dimensi ajaran, filosofi dan batiniyahnya tidak boleh keluar dari ketentuan ajaran Islam. Misalnya kebudayaan ajaran Islam tentang berpakaian. Aspek ajarannya yang tidak boleh dirubah adalah ajaran menutup auratnya, sedangkan bentuk dan model pakaiannya dapat disesuaikan secara fleksibel dengan keadaan lingkungan. Jadi yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengadaptasikan konsep-konsep ajaran universal Islam dengan nilai-nilai dan kebudayaan kolal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam kaitan ini menarik jika diberikan contoh tentang penerapan ajaran akhlak dalam Islam yang bersifat universal. Memuliakan kedua orang tua adalah ajaran akhlak Islam. Sedangkan praktek dan tata cara memuliakan kedua orang tua tersebut diatur dalam tatakrama, etika, sopan santun, dan adab yang sifatnya teknis dan dipengaruhi oleh kearifan lokal. Untuk itu dapat dijumpai tentang aneka ragam atau variasi dalam memuliakan kedua orang tua sebagaimana yang dijumpai pada masyarakat Indonesia. Demikian pula pengambilan-pengambilan keputusan hukum dalam Islam harus selalu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan konteks lokal dan masyarakat.23 Dari sini ada semacam model kebersilaman yang harus diterapkan, yaitu sejenis Islam yang diracik dari proses dialog antara Islam dan realitas, Islam dan budaya. Proses interaksi dan kesaling terpengaruhan antara Islam dan budaya bukanlah memposisikan slam sebagai seorang diktator yang boleh memaksakan hukum-hukumnya melainkan laksana seorang sahabat yang respek pada kultur lokal di mana Islam itu bertempat. Jika model interaki seperti ini yang dipraktekkan, dan meminjaum istilah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) maka tidak akan ada Islam yang tidak bersifat lokal, atau Islam yang tidak pribumi, bahkan Islam pada zaman nabi sekalipun. Yang kemudian terjadi adalah hibriditas budaya dalam tubuh Islam. Islam, di manapun dia berada adalah Islam yang lahir dari proses pergumulan dengan tradisi budaya masyarakat pemeluknya. Islam pada zaman Nabi Muhammad sebagaimana yang dibaca dalam sejarah, penyebaran awalnya adalah di kota Makkah yang notabenen berbahasa dan berbudaya Arab. Terjadilah semacam interaksi dan kesaling mempengaruhi antara Islam dengan budaya setempat, dalam hal ini budaya Arab. Hasil interaksi antara keduanya menghasilkan suatu sintesa atau produk yang berupa Islam Arab yang tentunya sangat bersifat partikular. Jika demikian halnya, maka Islam Arab tidak dapat diuniversalkan atau digunakan sepenuhnya di seluruh wilayah di dunia. Yang harus dilakukan kemudian adalah kita harus berani mengatakan, 23
Lihat Abd. Muqsith Ghozali dan Musoffa Basyir Rasyad, “Islam Pribumi Mencari Model Keber-Islaman Ala Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat, (ed), Menjadi Indonesia, (Bandung:Mizan, 2006), hal. 658.
13
bahwa model keberislaman seseorang adalah bervariasi, salah satunya adalah Islam dalam budaya Arab. Adanya akulturasi, intearksi dan kesaling pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui dalam suatu kaidah ilmu ushul fiqih sebagaimana tercermin dalam kaidah “al-adat muhakkamah” (produk budaya dapat dijadikan sumber hukum).24 Karenanya unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dalam ilmu ushul fikih, budaya lokal dalam bentuk kebudayaan itu disebut “al-‘urf”. Karena “al-urf” mengandung unsur yang salah dan yang benar sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang muslim harus melihatnya secara kritis da tidak dibenarkan sikap yang hanya membenarkan semata, dan juga tidak dibenarkan sikap yang menentang tanpa memberikan argumentasi yang logis, baik secara naqli (al-Qur’an dan al-Sunnah), maupun secara aqli. Adapun wahyu itu sendiri, dalam hal ini kalamullah (al-Qur’an) selain bersifat nonhistoris juga ada yang bersifat historis. Dalam arti proses turunnya wahyu itu tidak terlepas dari konteks pada saat wahyu tersebut diturunkan, dalam hal ini budaya Timur Tengah, atau budaya Arab. Jika dilihat secara parsial memang akan salah jika mengatakan bahwa wahyu itu bersifat historis, karena budaya yang bersumber dari akar historis tidak akan bisa bersinergi dengan sebuah wahyu yang bersifat non-historis yaitu Allah SWT. Namun jika dianalisia secara struktural-kebudayaan pendapat semacam itu sangatlah absurd. Sumber wahyu memang “non historis,” tetapi ketika Allah hendak berbicara dengan manusia melalui Rasul-Nya, maka Allah SWT menggunakan sebuah piranti yang “historis” untuk menyampaikan pesan ajaran al-Qur’an tersebut kepada manusia. Piranti tersebut adalah bahasa Arab yang biasa digunakan oleh masyarakat Arab, walaupun tidak sepenuhnya sama dengan bahasa al-Qur’an. Itulah sebabnya, mengapa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, karena pada saat proses turunnya wahyu yang bersifat gradual tersebut terjadi semacam dialektika antara wahyu dengan konteks tidak bisa diabadikan begitu saja. Bagaimana mungkin Allah yang “non historis”: dapat berbicara dengan manusia yang “historis” tanpa melalui piranti kultural yang juga semestinya historis, dalam hal ini bahasa Arab.25 Pemahaman terhadap proses pewahyuan seperti ini sangatlah penting agar tidak terjebak terhadap pemahaman yang lebih bersifat artifisial dan paliatif dan kemudian meninggalkan substansi dari ajaran agama itu sendiri. 24
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1992), hal. 550.
25
Muhammad Ainur Rifqi, “Mempertegas Hibriditas Budaya dalam Islam,” dalam Jaenal Arifin, dkk, Kajian Islam Multidisipliner, (Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan UIN Jakarta Press UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2009), cet. I, hal. 80.
14
Dari paparan tersebut di atas, terlihat sebuah proses interaksi antara Islam dan kebudayaan yang sifatnya saling mempengaruhi dan saling mewarnai dengan ketentuan bahwa dalam proses interaksi tersebut nilai ajaran Islam yang bersifat unversal sama sekali tidak dikorbankan, bahkan dengan efektif dapat diimplementasikan, sedangkan nilai-nilai budaya yang sesuai dapat diakomodasi dalam bentuk praktek ajaran agama, dan nilai-nilai budaya yang tidak sesuai agar dirubah atau dibuah secara bertahap.
D. Kontaminasi Kebudayaan dan Peradaban Islam Menyedihkan. Banyak orang yang secara gegabah mengasumsikan baha sejumlah praktek kebudayaan terburuk di wilayah yang disebut sebagai negara-negara Muslim di dunia ketiga merupakan manipesrasi Islam. Di isinm yang dimaksudkan adalah hal-hal yang mengerikan seperti apa yang disebut sebagai “pembunuhan demi kehormatan”, penindasan peremouan, mutilasi kelamin perempuan, pembunuhan terhadap warga sipil yang tidak ikut perang, dan lain-lain. Semua praktik itu sama sekali tidak mewakili budaya Islam. Semua praktik itu bukanlah cerminan budaya Islam. Sama halnya dengan bila kita menyaksikan meluasnya praktik penjualan remaja-remaja perempuan dalam rantai perbudakan kulit putih di sejumlah wilayah Katolik di Amerika Selatan yang dikatakan sebagai representasi Katolik Roma yang sah. Dalam semua agama, sangat penting membedakan agama dari milie kebudayaan tempat agama tersebut didirikan.26 Kontaminasi budaya Islam ini masih terus berlanjut dilakukan oleh sebagian orientalis Barat yang punya niat buruk terhadap Islam. Karena itu, perlu ada suatu upaya yang secara khusus menjaga, memelihara dan melestarikan kebudayaan Islam, termasuk membersihkan pandangan negatif masyarakat Barat terhadap kebudayaan Islam.
E.Praktek Kebudayaan dan Peradaban Islam di Indonesia Praktek Kebudayaan Islam di Indonesia antara lain dapat ditelusuri pada sejumlah tradisi yang berkembangan di berbagai daerah di Indonesia, yaitu pada Masyarakat Minangkabau, Budaya Melayu, dan Kalimantan. Pada masyarakat Minangkabau dijumpai informasi bahwa setelah Raja Pagaruyung yang bernama Ananggawarman meninggal dunia (1376), maka digantikan oleh Sultan Bakilap Alam, yang telah menganut agama Islam. Setelah itu perkembangan agama Islam amat pesat di tengah-tengah masyarakat dan di dalam struktur kepemimpinan, baik kepemimpinan formal maupun non-formal. Dalam kepemimpinan formal, di dalam Kerajaan Pagaruyung dibentuk Pimpinan Tigo Selo, yang terdiridari Rajka Alam di Pagaruyung, Rajo Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpus Kudus. Yang menarik di sini adanya Raja Ibadat, yang khusus mengurusi soal agama Islam di dalam wilayah Kerajaan Pagaruyung. 26
Dirkss, Jerald F, Abrahamic Faiths Titik Temu dan Titik Seru antara Islam, Kristen dan Yahudi, (Jakarta:Serambi Ilmu Semestam 2006), cet. I. Hal 41
15
Artinya, kerajaan Pagaruyung telah memasukan agama Islam sebagai salah satu bagian dari tugas pemerintahannya di bawah pimpinan Raja Ibadat.27 Selanjutnya dalam kepemimpinan non-formal masyarakat Minangkabau, agama Ilam juga mendapat tempat yang tak dapat dipisahkan degan unsur pimpinan yang lainnya. Padahal sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, yang menjadi pimpinan dalam masyarakat adalah penghulu atau ninik mamak. Kemudian setelah agama Islam berkembang dalam masyarakat, unsur ulama (ahli agama Islam) masuk ke dalam salah satu unsur pimpinan yang penting, lebih-lebih setelah peristiwa Sumpah Satie Bukik Marapalan, yang melahirkan kesepakatan bersama antara penghulu/ninik mamak dengan ulama, yang berbunyi adat ba sandi syara, syara basandi Kitabullah.28 Selanjutnya unsur Islam dalam budaya Melayu dapat dilihat dari ciri khas orang Melayu yang antara lain kelonggaran dalam struktur misalnya. Sikap toleransi dan akomodatif adalah fi antara bukti yang menandai struktur sosial orang Melayu yang longgar. Hal ini tercermin dari banyaknya pendatang dari ras lain yang hidup di daerah Melayu, dengan kulturnya masingmasing yang jelas berbeda dengan kultur Melayu. Ciri khas orang Melayu lainnya adalh agama Islam sebagai pedoman utama dalam kehidupannya. Agama Islam sebagai pedoman hidup orang Melayu tergambar melalui pepatah petitih mereka, yakni adat bersandikan syara, syara bersandikan kitabullah. Pepatah ini menunjukkan bahwa pondasi dasar orang Melayu dalam bersikap, bertutur kata, dan bertingkah laku adalah agama Islam. Pondasi paling dasar inilah yang membentuk jati diri orang Melayu, sehingga sebagaimana disebutkan di atas, yang dimaksud dengan orang Melayu adalah orang yang (1)beragama Islam, (2)berbahasa Melayu, dan (3)beradat istiadat Melayu. Tanpa ketiga unsur atau salah satu dari ketiga unsur ini, maka seseorang belumlah dapat disebut orang Melayu.29 Selanjutnya Islam dalam budaya masyarakat Kalimantan antara lain terlihat dalam sikapnya yang toleran dengan berbagai budaya yang berkembang. Lebih-lebih bilamana budaya tersebut hanya menyangkut atau terkait dengan adat istiadat semata. Islam sedikit agak keras terhadap hal-hal yang terkait dengan keimanan, karena adanya kekhawatiran akan menjadi syirik, misalnya terhadap perilaku sesajen dalam berbagai upacara adat seperti adat mapanretassi,yaitu meletakkan kembang di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat.30 27
Maidir Harun Dt. Sinaro, “Islam dalam Budaya Minangkabau,” dalam Komaruddin Hidayat dan Achmad Gaus AF, Menjadi Indonesia 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung:Mizan, 2006), cet. I, hal. 209. 28
Maidir Harun Dt. Sinaro, “Islam dalam Budaya Minangkabau,” dalam Komaruddin Hidayat dan Achmad Gaus AF, Menjadi Indonesia 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung:Mizan, 2006), cet. I, hal. 210. 29
Lihat H.M. Nazir, “Islam dan Budaya Melayu Sinergi yang Mengukuhkan KeIndonesiaan,” dalam Komaruddin Hidayat dan Achmad Gaus AF, Menjadi Indonesia 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung:Mizan, 2006), cet. I, hal. 231. 30
Kamrani Buseri, Humaidy dan Ahmad Juhaidi, “Islam dan Keragaman Budaya Lokal di Kalimantan,” dalam Komaruddin Hidayat dan Achmad Gaus AF, Menjadi Indonesia 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung:Mizan, 2006), cet. I, hal. 267.
16
Budaya Islam juga nampak dalam budaya masyarakat Jawa. Selain memiliki budaya yang kurang baik, orang Jawa juga mempunyai nilai-nilai budaya yang baik, seperti budaya damai dan toleransi. Dalam Serat Negarakertagama karya Empu Prapanca dijelaskan, bahwa orang Jawa telah lama memegang tegus prinsip dunia damai. Orang Jawa gemar melakukan kebaikan terhadap sesama (tetangga). Dalam karya tersebut dinyatakan, masihi samasta bhuwana, yang artinya orang jawa selalu berbuat mengasisi seluruh dunia. Manipestasi dari konsep ini diwujudkan dalam konteks mistik berupa ungkapan memayu hayuning bawana. Artinya orang Jawa ingin selalu menjaga ketenteraman, kesejahteraan, dan kesimbangan dunia. Doktrin budi luhur orang Jawa ini selalu mengendalikan watak orang Jawa agar berbuat baik terhadap sesama manusia.31 Nilai-nilai yang baik yang dimiliki orang Jawa sangat erat dengan ajaran al-tasamuh (toleransi) dalam Islam, al-ta’awwun (tolong menolon), dan al-ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam. I.Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan cacatan penutup sebagai kesimpulan sebagai berikut. Pertama, Islam sebagai agama yang paling sempurna bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam jagat raya. Hal ini antara lain terlihat dalam visi, misi dan tujuan ajaran Islam yang pada intinya mengangkat harkat dan martabat manusia serta segenap makhluk lainnya, kecuali syaithan, Iblis atau orang-orang yang memang mengingkarinya. Kedua, bahwa seluruh aspek ajaran Islam sangat berkaitan erat dengan masalah kebudayaan. Jika pada aspek akidah, ibadah dan akhlak, unsur budayanya hanya yang mengatur aspek lahiriyahnya saja, sedangkan pada aspek lainnya ajaran Islam sangat erat hubungannya dengan masalah lahiriyah dan batiniyah kebudayaan. Ketiga, hubungan Islam dengan kebudayaan antara lain terlihat pada perintah ajaran Islam agar memanfaatkan potensi fisik, panca indera, akal dan hati nurani dalam memanfaatkan segenap karunia Allah SWT, melakukan perjalan di muka, melakukan eksplorasi pengetahuan, pengalaman dan sebagainya, sehingga terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat. Keempat, terdapat hubungan saling mempengaruhi antara ajaran Islam dengan kebudayaan. Dari satu sisi ajaran Islam memotivasi dan menjiwai sebuah kebudayaan, sedangkan pada sisi lain, produk kebudayaan menopang pelaksanaan ajaran Islam. Namun dalam hubungan ini, ajaran Islam harus mewarnai kebudayaan dan bukan sebaliknya.
31
Lihat Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Orang Jawa, Menggali Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen, (Yogyakarta:Cakrawala, 2012), cet. C, halaman 39
17
Kelima, pengaruh nilai-nilai ajaran Islam dalam kebudayaan antara lain terlihat pada adat istiadat, pepatah dan petitih, bangunan rumah ibadah, masjid, kesenian, bahasa, pola hubungan antara sesama manusia, makanan, minuman dan lain sebagainya. Pengaruh nilai ajaran Islam pada kebudayaan tersebut antara lain terdapat pada masyarakat Minangkabau, Melayu, Kalimantan, Jawa, bahkan di sebagian besar wilayah di Indonesia.
18
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta:Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta:Rajawali, 1983), cet. I. Ainur Rifqi, Muhammad, “Mempertegas Hibriditas Budaya dalam Islam,” dalam Jaenal Arifin, dkk, Kajian Islam Multidisipliner, (Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan UIN Jakarta Press UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2009), cet. I. Aripin, Jaenal, dkk, Kajian Islam Multidisipliner, , (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), cet. I. Al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar alFkr, 1407 H./1987 M). Endraswara, Suwardi, Falsafah Hidup Jawa Menggali Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen, (Yogyakarta:Cakrawala, 20120, cet. V. Dirks, Jerald F, Abrahamic Faiths Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen dan Yahudi, (Jakarta:Serambi, 2006), cet. I. Hanafi, Muchlis, Toleransi dan Hubungan antar Umat Beragama dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal, 2014), cet. I. --------, Moderasi Islam, Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, (Jakarta:Ikatan Alumni AlQur’an Pusat Studi Al-Qur;an, 2013), cet. I. Hawa, Said, Islam, (terj.) Abdul Hayyie al-Kattani, dari judul asli al-Islam, (Jakarta:Gema Insani, 1414 H./1993 M.) Hidayat, Komaruddin, dan Ahmad Gaus AF, Menjadi Indonesia 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung:Mizan, 2006), cet. I. Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralitas Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, ( (Jakarta:Gema Insani, 1999), cet. I. Issawi, Charles, Filsafat Islam tentang Sejarah, Pilihan dari Muqaddiman Ibn Khaldun, (Jakarta:Tintamas, 1976). Ismail, Faisal, Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, (Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), cet. I. 19
Jabali, Fu’ad, dkk. (ed.), Islam Rahmatan Lil Alamin, (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2011), cet. I. Jerald F, Dirks, Abrahamic Faiths Titik Temu dan Titik Seru antara Islam, Kristen dan Yahudi, (Jakarta:Serambi Ilmu Semestam 2006), cet. I. Hal 41 Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1992), cet. III. Ibn Mandzur, Ibn, Lisan al-Arab, (Mesie: Dar al-Ma’arif, t.th), hal. 2028. Muqsith Ghozali, Abd., dan Musoffa Basyir Rasyad, “Islam Pribumi Mencari Model KeberIslaman Ala Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat, (ed), Menjadi Indonesia, (Bandung:Mizan, 2006). al-Nahlawy, Abd al-Rahman, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha, (Mesir: Dar alMa’arif, 1982), cet. I. Nata, Abuddin, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media, 2011), cet. I. ------------, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I dan II, (Jakarta:UI Press, 1979), cet. I. Poerwadarmina, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1991), cet. XII. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung:Mizan, 2011). Razak, Nasruddin, Dienul Islam, (Bandung:Al-Ma’arif, 1977), cet. I. Sedyawati, Edi, Ke-Indonesiaan dalam Budaya, (Jakarta:Wedatama Widta Sastra, 2008), cet. I. Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:Mizan, 1418 M./1998), cet. III. Al-Syathibi, Abi Ishaq Ibrahim al-Khaimiy al-Fursathy, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, alMujallid al-Tsani, (BeirutL Dar al-Rasyad al-Haditsah, tp.th.), Umar, Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran, (Jakarta:Rahmat Alam Semesta, Center, 2008), cet. I.
20
21