PERGULATAN WACANA DALAM PENGEMBANGAN MUSIK TRADISI DI ERA GLOBALISASI1 Oleh: I Gede Arya Sugiartha Institut Seni Indonesia (ISI Denpasar)
PENDAHULUAN Pada era globalisasi ini seni sering dijadikan sarana atau “kendaraan tumpangan” untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Seni akhirnya sering menjadi “medan pertempuran” makna antara fakta dan fiksi, tradisi dan modern, fungsional dan presentasi estetis, ritual dan tontonan, serta sakral dan profan.. Hal ini tentu menjadikan bertambah kompleksnya fenomena seni sehingga upaya untuk menemukan medan makna menjadi semakin tak terbatas. Di Bali, implikasi yang dapat dikenali adalah munculnya berbagai fenomena, salah satunya yang ingin saya jadikan studi kasus kali ini adalah pergulatan wacana dalam penciptaan musik-musik Bali garapan baru. Pertanyaan sederhana yang sering muncul adalah mengapa kita membuat musik baru yang aneh-aneh, susah dipahami, dan tidak mampu dicerna, padahal kita telah memiliki musik tradisi yang adiluhung dan fungsional. Mengomentari pertanyaan sederhana ini muncul dua pandangan dikotomis. Pertama, pandangan bahwa seseorang menekuni musik baru khususnya eksperimental adalah karena memiliki orientasi baru dan daya kreatif tinggi sehingga karya-karyanya dianggap telah mampu menembus batasan-batasan seni konvensional. Mereka ini adalah para seniman yang selalu mencari alternatif-alternatif baru dalam mengembangkan musik tradisi. Kedua, pandangan sebaliknya yang justru berupa sindiran, yaitu para penggiat musik eksperimental adalah para seniman yang “dicurigai” karena tidak menguasai musik tradisi baik teknik maupun musikal, mereka beralih ke musik-musik aneh agar bisa membungkus kelemahannya dengan jargon kebebasan dan keleluasaan dalam berekspresi. Pergulatan wacana ini kendatipun terkesan sederhana dan cenderung hanya dianggap sebagai bahan “obrolan di warung kopi”, namun memberikan signal bahwa ada sesuatu yang perlu dipahami bersama tentang dunia pengembangan musik tradisional Bali dewasa ini. Salah satu contoh nyata dari dampak terjadinya pergulatan wacana adalah menurunnya apresiasi masyarakat terhadap karya-karya tabuh kreasi baru Gong Kebyar setidaknya selama satu dekade belakangan ini (2004-2014). Karya-karya baru Gong Kebyar sebelumnya sangat diminati masyarakat, pertunjukannya selalu dibanjiri penonton, kaset-kaset rekamannya selalu habis terjual. Mulai awal dekade 2000-an terjadi penurunan apresiasi karena masyarakat merasa susah menikmati keindahan karya-karya baru Gong
1
Makalah disampaikan sebagai keynote speacker pada acara Seminar Nasional di Istitus Seni Budaya Indonesia Bandung, 19 Maret 2015.
1
Kebyar. Kebetulan saya sempat wawancara dengan Direktur perusahaan rekaman Bali Record, yaitu Pak Riki (Wawancara, 5 Agustus 2011), beliau menyatakan sebagai berikut. “Sudah lebih dari lima tahun saya tidak pernah merekam lagu-lagu Festival Gong Kebyar. Penyebabnya adalah tidak laku, sangat jarang yang membeli kasetnya, lagu-lagu sekarang tidak dimengerti oleh masyarakat, celolat-celolet tidak bisa orang menikmatinya. Saya ini kan pebisnis, selain suka mendengarkan musik juga perlu mencari untung. Kalau dihitung-hitung sekarang rugi merekam Gong Kebyar.”
Ungkapan ini cukup membuat kita terpanggil. Permasalahannya bukan karena Pak Riki yang mungkin dianggap kurang paham estetika kekinian, akan tetapi inilah penilaian jujur seorang penikmat dan pebisnis seni. Ungkapannya dapat dianggap mewakili masyarakat berdasarkan data kuantitatif yang disodorkan, yaitu kaset rekaman tidak laku dijual. Lantas sebagai seorang pengkaji seni tentu kita tidak cukup berkata “masalah tidak lakunya kaset bukan urusan seniman”. Fakta yang diberikan Pak Riki harus dikaji sebagai titik tolak untuk menelusuri karya-karya baru Gong Kebyar secara lebih komprehensif. Tidak lakunya kaset memang bukan urusan seniman, akan tetapi itu adalah sebuah tanda yang tentu di dalamnya terdapat makna. Mencermati fenomena ini cukup membuat kita merasa terpanggil untuk mencari tahu kemudian menjelaskan kepada masyarakat. Adalah tugas para akademisi seni untuk mampu menjawab apa yang melatarbelakangi para seniman muda kita khususnya penggiat musik eksperimental selalu berjuang menuntut “hak hidup” dan berdampingan dengan keperkasaan musik tradisi. Di sisi lain, kenapa sebagian masyarakat merasakan kehadiran musik-musik baru yang “ngontemporer” justru kurang memberi manfaat bagi perkembangan musik tradisi juga perlu dicari jawabannya. Kita perlu membuka ruang dialog yang lebih intens, saling menjelaskan guna saling memahami tentang munculnya berbagai konsep baru dalam pengembangan musik tradisi. PEMBAHASAN Orientasi Penciptaan Musik Kreasi Baru Musik kreasi baru bagi seniman dan masyarakat Bali dipahami sebagai bentukbentuk musik yang diciptakan baru, namun masih kuat mengikuti aturan-aturan instrumentasi dan musikalitas musik tradisi. Cara memperlakukan pola-pola tradisi adalah dengan memberi inovasi terhadap beberapa hal yang dianggap “telah biasa” untuk melahirkan musik yang bernuansa baru. Perubahan yang dilakukan tidak bersifat revolusioner, tetapi lebih mempertahankan stabilitas. Orentasi penciptaan musik tradisional Bali sedikitnya ada tiga, yaitu pelestarian tradisi, keseimbangan, dan lango. Pelestarian tradisi adalah sebuah narasi besar yang bertujuan sangat mulia, yaitu menjadikan tradisi tetap aktual karena tradisi dipandang banyak mengandung nilai yang berguna bagi kesejahteraan umat manusia. Tradisi dipandang sebagai spirit budaya yang tak akan pernah terbunuh, karena ia selalu tumbuh dalam suatu proses yang terus menerus dalam bentuk konvensi, transformasi, dan inovasi (Harjana: 2004:64). Bagi seniman musik Bali, upaya melestarikan musik tradisional adalah bagian dari pengabdian atau ngayah
2
yang dipahami sebagai bekerja untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu Sang Pencipta dan masyarakat. Mencipta musik untuk ritual di Pura, menghibur masyarakat, atau membantu pemerintah dalam menjalankan program-program pembangunan adalah salah satu bentuk pengabdian sekaligus melestarikan musik tradisi. Selain pelestarian tradisi, orientasi penciptaan musik tradisional Bali juga dapat diamati dari konsep keseimbangan yang dianut oleh seniman dalam berkarya. Dalam lontar Prakempa disebutkan seniman musik Bali yang kreativitasnya juga menganut konsep keseimbangan setidaknya dalam tiga dimensi. Pertama, keseimbangan berdimensi tunggal mempercayai ada kekuatan tunggal yang maha besar dan mampu menyatukan keragaman menjadi sesuatu yang utuh. Kaitannya dengan musikalitas musik Bali, tercermin dari adanya instrumen-instrumen finalis dalam setiap ansamble gamelan Bali. Instrumen finalis adalah kekuatan tunggal yang menandai setiap akhir sebuah frase atau kalimat lagu. Tanpa adanya kekuatan tunggal yang memberikan tekanan awal dan akhir, rasa musikal musik Bali dianggap kurang sempurna. Kedua, keseimbangan berdimensi dualitas mengandung makna ada dua hal yang berlawanan namun harus dipadukan. Sebagai contoh instrumen kendang haruslah berpasangan secara diametral (lanang-wadon) yang saling melengkapi, instrumen seperti gangsa, kantil, dan reyong memainkan teknik interlocking part dengan pola polos (on beat) dan sangsih (of-beat), demikian halnya dengan instrumen-instrumen seperti penyacah, jublag, jegogan, gangsa, dan kantil memiliki nada pengumbang (lebih rendah) dan pengisep (lebih tinggi), bertujuan mendapatkan suara yang bergetar dan bergema (pelayangan) ketika dipukul bersamaan. Ketiga, keseimbangan berdimensi tiga tercermin dari struktur musik tradisional Bali yang terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu pengawit, pengawak, dan pengecet. Struktur ini berpedoman pada konsep tri angga, yaitu tiga bagian utama tubuh manusia seperti kepala, badan, dan kaki. Pengawit ibarat kepala dimana wajah berada pada lokasi ini dan dalam musik Bali bagian awal ini ditandai dengan introduksi untuk mengetahui jati diri sebuah lagu. Pengawak ibarat badan (main body), yaitu bagian utama tubuh yang didalamnya terdapat organ-organ vital. Dalam struktur musik Bali pada pengawak inilah bagian yang paling pokok, biasanya kalimat lagu lebih panjang. Pengecet ibarat kaki manusia yang dapat bergerak lincah dan dinamis, dalam musik Bali bagian pengecet selalu dikemas lebih lincah, penuh dinamika sebelum mengakhiri sebuah lagu. Orientasi selanjutnya yang juga merupakan ciri musik tradisional adalah lango yang artinya keindahan. Lango mencakup pandangan bahwa sebuah karya musik harus dapat memberikan kenikmatan baik secara ilmiawi maupun falsafi kepada penontonnya. Menurut falsafah Prakempa, bunyi (suara) diciptakan oleh Bhagawan Wiswakarma dan mengambil ide dari bunyi delapan penjuru dunia yang sumbernya berada di dasar bumi. Suara-suara itu dibentuk menjadi sepuluh nada, yaitu lima nada yang disebut laras pelog dan lima nada yang disebut laras selendro. Nada-nada gamelan Bali juga dianggap memiliki watak atau karakter yang dapat mempengaruhi suasana hati. Sebagai contoh, nada deng memiliki karakter magis, nada ding memiliki karakter romantis, nada dung memiliki karakter manis dan lembut, nada dong memiliki karakter lucu, nada dang
3
memiliki karakter lincah dan dinamis. Dengan berpedoman pada konsep ini, jika komposer ingin membuat lagu-lagu yang bernuansa lembut dan manis maka permainan melodi akan lebih didominasi dan diakhiri dengan dung. Demikian halnya jika ingin membuat lagu yang berkarakter magis, seram, maka permainan melodi didominasi dan diakhiri dengan nada deng. Orientasi Penciptaan Musik Eksperimental Jika orientasi penciptaan musik kreasi baru lebih berorientasi pada inovasi atau perubahan bertahap, maka penciptaan musik eksperimental Bali lebih berorientasi pada semangat dan tekad untuk mengembangkan tradisi secara lebih radikal. Para penggiat musik eksperimental sadar bahwa musik tradisional Bali harus berkembang baik dari segi konsep atau ide, bentuk, maupun tata penyajiannya agar mengkuti perkembangan zaman. Tuntutan zaman dan selera budaya masa kini dipandang tidak mampu terwadahi oleh konsep-konsep dan teori-teori klasik yang bersifat “kaku”, terutama yang selalu mematok pemahaman budaya “harus ini” dan “harus itu”. Para komposer musik eksperimental menggunakan cara kerja dekonstruktif, yaitu menolak tradisi berfikir strukturalis dan oposisi biner dalam berkreativitas. Sebagaimana halnya dalam penciptaan musik tradisional, kelahiran musik eksperimental Bali juga dilandasi oleh beberapa orientasi pemikiran dan cara pandang. Meminjam prinsip-prinsip dalam etnomusikologi sebagaimana yang dipaparkan oleh Santosa (2009:2-3), bahwa dalam memandang sebuah musik harus dipahami tiga prinsip, yaitu relativitas, pluralitas, dan identitas. Pertama relativitas, para penggiat musik eksperimental Bali berpandangan bahwa kehidupan musik bervariasi atau beragam baik bentuk, penyajian, maupun nilai-nilai budaya yang dikandung. Oleh sebab itu mereka menghindari penilaian sebuah karya musik dengan indikator-indikator seperti jelek, bagus, atau peringkat, karena semuanya memiliki konsep, bentuk, dan cara penyajian yang khas. Musik tradisi yang telah memiliki konsep, bentuk, dan penyajian yang mapan hendaknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang dikotomis dengan musik eksperimental termasuk yang “mendobrak” aturan serta konsepkonsep musik tradisi. Musik eksperimental hendaknya dipandang sebagai perkembangan dari musik tradisi guna menawarkan nuansa lain yang tentu dapat memperkaya cakrawala dunia musik. Kedua pluralitas, para seniman eksperimental memandang keragaman baik fisik, musikalitas, dan penyajian adalah modal yang handal untuk melahirkan komposisi musik yang kreatif. Hal ini sesuai dengan pandangan Beardsley (Djelantik, 1992:66) yang menyatakan salah satu hal yang dapat menambah kualitas estetik karya seni adalah kompleksitas atau keragaman. Dalam hal instrumentasi misalnya, seorang komposer musik eksperimental mengeksplorasi tidak hanya alat-alat musik tradisional etniknya sendiri melainkan juga lintas etnik, bahkan menciptakan alat-alat musik baru atau menggunakan alat-alat keseharian untuk mendukung gagasannya. Dari segi musikal, komposer musik eksperimental juga menggunakan tangga nada dari musik-musik lainnya seperti Mandarin, diatonis, India, atau menciptakan tangga nada baru. Ditambah dengan permainan ritme dan dinamika yang juga lintas etnik menjadikan musik eksperimental bernuansa sangat plural.
4
Ketiga identitas, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah sebuah karya musik tentu menginginkan adanya identitas baik sifatnya pribadi sang komposer maupun identitas sebuah etnik tertentu. Pencarian identitas selalu menjadi pertimbangan yang cukup penting bagi sang komposer, karena dengan identitas mereka dapat menunjukkan jati dirinya lebih aktual sebagai seorang komposer. Dari sekian banyak komposer musik Bali, ada tiga komposer, yaitu I Nyoman Windha, I Gede Yudana, dan Sang Nyoman Arsa Wijaya sangat kental dengan identitas pribadinya masing-masing. I Nyoman Windha, karyakaryanya memiliki ciri khas pada kekuatan permainan melodi. Windha sangat piawai mengolah melodi, bermain nada-nada fungsional, dan menemukan model-model melodi baru. I Gede Yudana suka bermain ritme. Kesukaan Yudana berinteraksi dengan komposer-komposer musik Barat menjadikan ia selalu mencoba memasukkan pola-pola permainan seperti canon, call and respon, counterpoint ke dalam karya-karyanya. Berbeda dengan Windha dan Yudana, Sang Nyoman Arsawijaya terkenal dengan “si petualang sejati”. Arsawijaya suka dengan sesuatu yang aneh, tidak biasa, eksentrik, kendatipun banyak karya-karyanya tidak dapat dicerna oleh penikmat. Namun demikian iapun tidak peduli, pencarian itulah yang memberikan ia kenikmatan dalam berkarya dan hal itulah identitasnya. PENUTUP Kelahiran musik Bali garapan baru setidaknya selama satu dekade terakhir ini memunculkan pergulatan wacana diantara mereka yang lebih menginginkan perubahan bertahap dengan mereka yang menginginkan perubahan radikal. Para penggiat musik yang berorientasi perubahan bertahap berpandangan bahwa perlu mempertahankan suatu keseimbangan dinamik dalam sistem musikal. Konsep pembaharuan yang ditawarkan adalah lentur dalam variasinya. Leonard P. Meyer menyebut hal ini dengan suatu “keadaan mantap” (steady state) dan menjelaskan tipe perubahan seperti ini lebih mempertahankan stabilitas dari pada originalitas yang radikal. Struktur tidak perlu dibongkar, melainkan lebih pada variasi, bertujuan agar penikmat dapat segera mencerna karya-karya tersebut. Namun bagi komposer berorientasi perubahan radikal justru sebaliknya, pembongkaran struktur itu perlu agar menghasilkan sesuatu yang baru. Jika struktur dipertahankan hanya akan melahirkan musik yang monoton (begitu-begitu saja) dan tentu hal demikian dianggap kurang kreatif. Apakah yang mendorong perjuangan para penggiat perubahan radikal, tiada lain adalah semangat pembaharuan, ekspresi jiwa, motif berprestasi dan aktualisasi diri. Ciri-ciri manusia seperti ini dijelaskan oleh Kahl sebagai orang yang kreatif kendatipun terkadang bersifat individualis. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, Jiwa. 1993. “Seni Kontemporer” dalam Brosur Festival Seni masa Kini, Denpasar: yayasan Walter Spies. Bandem, I Made. 1986. Prakempa, Sebuah Lontar Gamelan Bali, Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia.
5
Dickie, George. 1979. Aesthetics, Indiana Polis: Pegasus, Bobbs-Meril Education Publishing. Djelantik, A.A.M. 1992. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid II, Falsafah Keindahan dan Kesenian, Denpasar: SekolahTinggi Seni Indonesia. Harjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini, Jakarta: The Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. ______. 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: SInar Harapan. Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer, Yogyakarta: Gadjah mada University Press. Mack, Dieter. 2004. Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, Bandung: ARTI. Meyer, Leonard P. 1970. Music, The Arts, and Ideas, Chicago, London: University of Chicago Press. Sachari, Agus. 2002. Estetika, Makna, dan Daya, Bandung: Penerbit ITB. Santosa. 2009. “Etnomusikologi Dalam Pembentukan Peradaban Manusia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta.
6
NILAI - NILAI LUHUR DALAM SENI PERTUNJUKAN TRADISI JAWA2 Oleh: Sri Rochana Widyastutieningrum Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
PENDAHULUAN Indonesia mempunyai kebudayaan yang sangat kaya, yang bersifat multikultural dan multilingual. Indonesia memiliki keragaman seni pertunjukan tradisi dan berkembang dengan subur pada lingkungan budayanya. Keragaman kebudayaan yang dimiliki disatukan dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang dimaknai berbeda-beda tetapi tetap satu kebudayaan Indonesia. Perkembangan kebudayaan Indonesia mengalami perubahan yang cepat sebagai akibat adanya globalisasi. Perubahan itu berakibat pula pada bergesernya budaya yang berlaku dalam masyarakat. Hal itu, juga berdampak pada hilangnya budaya di berbagai daerah. Pergeseran dan hilangnya budaya itu berakibat pada perubahan perilaku dan kehidupan masyarakat. Terkait dengan masalah pergeseran budaya itu, Edi Sedyawati berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia kini cenderung kurang dikenal oleh khalayak ramai, termasuk oleh para kaum mudanya, karena tersaingi oleh budaya popular, warisan budaya tradisional terdesak ke pinggir dalam wacana dan exposure media massa, interaksi budaya antar etnik kurang mendapat fasilitasi maupun exposure. (Sedyawati, 2014: 71). Seni pertunjukan yang berkembang di Indonesia sangat kaya, termasuk terkaya di Asia Tenggara. Namun kehidupan seni pertunjukan tradisi (seni tradisi) sekarang ini telah tergusur oleh hadirnya berbagai seni pertunjukan dari Barat dan negara lain yang dirasakan lebih menarik. Tergusur atau tergesernya seni tradisi itu berakibat pada semakin berkurangnya keragaman seni tradisi Nusantara. Apalagi anak-anak dan generasi muda sudah tidak mengapresiasi dan mengenal berbagai bentuk seni tradisi. Mereka lebih mengenal seni modern dan kontemporer, dan mereka enggan untuk mempelajari, mewarisi, menjaga dan mengembangkan seni tradisi. Hal ini diperparah dengan kurang adanya dukungan dari masyarakat dan pemerintah dalam pengembangan seni tradisi. Seni tradisi sebagai bagian dari kekayaan warisan kebudayaan memiliki peran penting dalam mentransformasikan unsur-unsur kebudayaan dari generasi ke generasi, guna memelihara identitas dan melawan pengaruh westernisasi yang semakin gencar menyelimuti segala aspek kehidupan masyarakat. Terkait dengan semakin kuatnya pengaruh budaya luar yang berakibat pada semakin ditinggalkannya seni tradisi, maka pelestarian dan pengembangan seni tradisi perlu dilakukan secara sistematis, dengan tujuan 2
Makalah dipresentasikan pada “Seminar Nasional dengan tema Nilai dan Makna Seni: Tradisional, Industri Kreatif, dan Budaya Urban di Era Globalisasi “ pada tanggal 19 Maret 2015 di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
7
tetap mempertahankan dan menjaga keragaman kekayaan budaya Nusantara. Hal itu penting sebagai ekspresi, jati diri, dan identitas masyarakat pendukungnya. PEMBAHASAN Seni Tradisi dan Fungsinya dalam Kehidupan Masyarakat Seni tradisi di Jawa, dikelompokkan menjadi dua, yaitu seni tradisi keraton dan seni tradisi rakyat. Kedua kelompok seni tradisi ini berkembang di lingkungan budayanya masing-masing. Seni tradisi keraton dikembangkan secara terus menerus di dalam maupun di luar keraton atau di kota, sedangkan itu, seni tradisi rakyat berkembang di daerah-daerah atau di desa-desa. Seni tradisi keraton yang dikembangkan di luar keraton di antaranya : seni karawitan, tari, teater, sastra, dan pedalangan. Seni ini dikembangkan oleh para empu seni dengan menciptakan beragam karya seni. Dalam perkembangannya seni tradisi itu menyebar lebih luas, sehingga ragam dan jenis yang ada semakin kaya. Upaya yang lain adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan formal, baik di tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun Perguruan Tinggi , seperti Institut Seni Indonesia (ISI). Sementara itu, seni tradisi rakyat berkembang di berbagai daerah, di antaranya : Magelang, Wonosobo, Blora, Rembang, Pati, Banyuwangi, Surabaya, Malang, Bandung, Subang, Cirebon dan daerah-daerah lain di Jawa. Bentuk seni tradisi rakyat yang berkembang di berbagai daerah ini mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Seni tradisi rakyat yang berkembang di berbagai daerah ini, di antaranya: tari rakyat, teater rakyat, wayang, dan sebagainya. Seni tradisi rakyat semakin berkembang pula sebagai bagian budaya masyarakat yang berubah dan berkembang sesuai dengan kreativitas para pendukungnya. Sebagai contoh: di Magelang terdapat berbagai seni tradisi rakyat, di antaranya: Soreng, Kubrosiswo, Gatholoco, Jalantur, Lengger, Topeng Hitam, Solawatan, dan Jaranan atau Kuda Kepang, di Blora berkembang Tayub, Barongan, Kentrung, Ketoprak, dan Jathilan. Seni tradisi ini tetap berkembang dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, karena memiliki fungsi yang penting. Menurut S.D. Humardani, fungsi seni dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Dalam fungsi primer, seni berfungsi sebagai sarana penghayatan yang dapat memperkaya pengalaman jiwa bagi penghayat atau penikmat. Sementara itu, dalam fungsi sekunder, seni berfungsi sebagai hiburan, sarana ritual, sarana propaganda dan fungsi yang lain. Dalam realitanya sekarang ini, fungsi seni tradisi didominasi sebagai hiburan, terutama sebagai suguhan atau kemasan wisata. Untuk keperluan itu, berbagai bentuk seni tradisi telah digarap untuk disajikan sebagai suguhan pariwisata atau pertunjukan komersial lainnya. Seni pertunjukan wisata ini berkembang cukup pesat seiring dengan perkembangan pariwisata di Jawa. Sementara itu, keberadaan seni tradisi dalam acara hajatan atau pesta pernikahan yang diselenggarakan oleh masyarakat telah tergeser oleh adanya penyajian musik yang menghadirkan organ tunggal atau musik campursari. Hal ini berdampak pada tergesernya
8
seni tradisi, seperti : wayang kulit, tari, karawitan, atau wayang orang. Pergeseran itu disebabkan oleh masyarakat cenderung memilih bentuk pertunjukan yang biayanya relatif lebih murah. Lebih memprihatinkan lagi, generasi muda sudah banyak yang tidak kenal dengan seni pertunjukan tradisi, mereka lebih tertarik pada berbagai seni populer yang berkembang saat ini, dan lebih bangga dengan berbagai bentuk seni yang mendapat pengaruh dari negara lain. Nilai Luhur dan Kearifan Lokal Dalam seni tradisi melekat nilai-nilai luhur atau kearifan lokal (local wisdom) yang bermanfaat sebagai pedoman hidup dan pedoman dalam bermasyarakat. Kearifan lokal mengandung kebijaksanaan dan bentuknya ditentukan oleh lingkungan budaya masyarakat masing-masing. Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, di antaranya: kegotongroyongan, keselarasan, keharmonisan, persatuan, kebersamaan, keadilan, tenggangrasa, dan sopan santun. Kearifan lokal itu dihayati dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat secara bersinambungan. Kearifan lokal yang terus menerus ditumbuhkembangkan dan diterapkan dalam kehidupan menjadikan martabat dan peradaban bangsa meningkat menuju kesempurnaan. Seni tradisi itu mempunyai nilai-nilai luhur yang semestinya tetap hidup dan berkembang di tengah kehidupan masyarakat, karena dapat memperkaya pengalaman hidup, di antaranya pengalaman religius, pengalaman sosial, dan pengalaman estetis (keindahan). Seni tradisi mengandung nilai-nilai luhur yang dapat membangun karakter atau jiwa generasi muda, sehingga mempunyai karakter yang arif bijaksana. Nilai-nilai luhur itu sering pula disebut nilai adiluhung yaitu nilai yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Nilai adiluhung berarti indah dan tinggi. Kata ini merupakan rangkaian dari adi yang berarti linuwih, melebihi segalanya, dan luhung berarti luhur, tinggi, dan melebihi yang lain, dan bermakna (Widyastutieningrum, 2011:73). Nilai adiluhung tidak sekedar masalah estetik, tetapi lebih dari itu, mengandung nilai-nilai filosofis, religius, edukatif, ritual, dan yang menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Adiluhung dikaitkan dengan masalah-masalah yang luhur, bahkan dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan besar di alam semesta dalam memuja para dewa.Maka karya seni yang adiluhung itu diciptakan oleh dewa atau manusia yang dibuat terampil oleh dewa, sehingga dapat menciptakan sesuatu. Nilai-nilai luhur itu terkait dengan nilai kemanusiaan yang dihadapi oleh manusia, di antaranya : nilai kebenaran, kesetiaan, kejujuran, kepedulian, perjuangan, pengorbanan, kebersamaaan, keharmonisan, kepahlawanan, kasih sayang, cinta kasih, dan keadilan. Dalam seni tradisi, nilai-nilai itu dikemas sedemikian halus, sehingga dapat diterima dengan mudah dan tidak terkesan menggurui para penghayatnya. Nilai yang juga melekat pada seni pertunjukan adalah nilai estetik yang menyangkut nilai keindahan dalam karya seninya.Nilai lain yang selalu terkait dengan kehadiran seni tradisi adalah nilai budaya, nilai sosial, nilai ekonomi, dapat pula nilai sejarah.
9
Dalam seni tradisi, diungkapkan pengalaman hidup yang wigati dari senimannya, melalui bentuk karya seni yang dihayati penonton atau masyarakat. Ide yang digarap selalu berpijak pada pengalaman hidup yang bermakna dan mampu diserap oleh seniman. Melalui medium seni tradisi, nilai-nilai yang bermakna itu diungkapkan. Sebagai contoh dalam tari tradisi terdapat berbagai bentuk tari bedhaya yang mempunyai nilai estetik tinggi, nilai filosofis, dan nilai religius, di antaranya : tari Bedhaya Anglir Mendung, Bedhaya Duradasih, Bedhaya Kadhuk Manis, Bedhaya Lala. Contoh lain pada pertunjukan pakeliran atau wayang kulit yang berpijak pada cerita Mahabarata dan Ramayana mengungkapkan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan yang penuh dengan nilai estetika, etika, dan filosofis. Pertunjukan wayang kulit yang mempunyai banyak makna dan pesan bagi penikmatnya itu, maka wayang kulit menjadi tatanan, tontonan, dan tuntunan. Oleh karenanya, Wayang menjadi warisan budaya dunia yang diakui UNESCO. Pelestarian dan Pengembangan Seni Tradisi Pengembangan seni tradisi pada dasarnya dilakukan dengan pembinaan, revitalisasi, dan pendidikan. Usaha-usaha yang dilakukan dalam kaitannya dengan warisan budaya yang diperoleh melalui proses sejarah, ataupun karya-karya aktual yang lebih bersifat menjawab tantangan-tantangan masa kini. Di samping itu, usaha-usaha pembinaan budaya dapat berkenaan dengan karya-karya budaya yang “tangible” (wadag, dapat diraba) maupun yang “intangible” (tak dapat diraba, berupa wujud-wujud yang berlalu dalam waktu atau bersifat non-material, berupa konsep dan gagasan). Pengembangan seni tradisi di Jawa dilakukan oleh masyarakat luas yang merasa memiliki, dilandasi oleh kesadaran untuk menjadikan budaya sebagai bagian dari identitas, jatidiri, dan ekspresi serta untuk pengkayaan budaya daerah. Kesadaran bahwa seni tradisi sebagai bagian dari kebudayaan yang mengandung karakter bangsa dan nilai-nilai luhur. Pengembangan seni tradisi melalui revitalisasi dilakukan dengan melaksanakan programprogram yang terarah dan berkesinambungan, di antaranya: rekonstruksi, dan reaktualisasi. Di samping itu, juga mendorong penciptaan seni tradisi baru yang menekankan pada inovasi dan tuntutan industri kreatif. Pengembangan itu dapat mewujudkan kehidupan seni tradisi yang beragam, variatif, memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan masyarakat yang memberikan pengalaman hidup yang kaya, dan menghasilkan masyarakat yang arif bijaksana. Selain itu, dapat pula menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Revitalisasi seni tradisi mampu menguatkan kembali potensi dan kontribusi seni tradisi dalam kontek kebudayaan nasional. Nilai-nilai luhur dalam seni tradisi menjadi identitas bangsa Indonesia. Pengembangan budaya yang secara terus menerus dilakukan mendukung keberlangsungan kehidupan budaya, yang berpengaruh pada pembentukan karakter, identitas, dan integritas bangsa Indonesia. Hal itu menjadi salah satu faktor yang menentukan kekuatan dan ketahanan budaya dan ketahanan nasional. Menurut Sedyawati, ketahanan budaya diartikan sebagai kemampuan sebuah kebudayaan untuk mempertahankan jati dirinya, tidak dengan menolak semua unsur asing, melainkan dengan
10
menyaring, memilih, dan jika perlu memodifikasi unsur-unsur budaya luar itu, sedemikian rupa sehingga tetap sesuai dengan karakter dan citra bangsa (Sedyawati, 2014:79) Untuk menghadapi pengaruh budaya asing itu, diperlukan kreativitas atau daya kreatif dan kritis untuk menanggapi segala pengaruh dalam kehidupan. Kreativitas itu pada dasarnya terdapat pada semua masyarakat, baik yang konservatif maupun progresif. Pada kenyataannya, budaya Indonesia selalu berubah sesuai dengan zamannya. Dalam pengembangan seni tradisi, peran lembaga pendidikan tinggi seni tradisi sangat penting. Pendidikan tinggi seni di Indonesia terdiri atas 9 PTS, yaitu : Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ISI Denpasar, ISI Surakarta, ISI Padangpanjang, ISBI Bandung, ISBI Aceh, ISBI Papua, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan Sekolah Tinggi Seni Wilwatikta (STKW) Surabaya. Pendidikan tinggi itu diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik dan mencetak lulusan yang bergelar sarjana dengan profil sebagai pengrawit, komposer, dalang, penyusun naskah pedalangan, koreografer, penari, etnomusikolog, sutradara, aktor teater, dan peneliti seni. Pendidikan Tinggi Seni dituntut meregenerasi seniman tradisi, namun peran ini dinilai kurang berkembang atau belum berhasil mendorong regenerasi seniman karena pengajarannya cenderung dikerdilkan menjadi ketrampilan yang formal dan seragam. Menurut Sardono W Kusumo, program studi tradisi di beberapa perguruan tinggi kurang diminati karena mengajarkan ilmu, rasionalitas, dan norma standar yang diseragamkan. Padahal seni memberikan keleluasaan bagi subyektivitas dan memiliki keunikan tersendiri. Sekarang seni sekedar ditempelkan pada ilmu keguruan atau sekolah kejuruan seperti institut atau sekolah teknik yang lain. Seni dianggap sebagai sebuah keterampilan saja (Kompas, 5 Maret 2015). Penilaian tersebut perlu mendapat perhatian bagi seluruh lembaga pendidikan tinggi seni, untuk mengevaluasi program pendidikan yang berlaku. Pendidikan seni tradisi semestinya mempertajam mahasiswa agar peka dengan seni dengan benar-benar menari, menabuh gamelan, serta menyanyikan tembang, drama, dan sastra daerah. Apabila pendidikan tinggi seni dikerdilkan menjadi keterampilan, maka akan sulit memunculkan seniman-seniman yang handal. Untuk menghasilkan seniman-seniman yang handal bukan sesuatu yang mudah bagi lembaga pendidikan tinggi. Banyak aspek yang menghambat, di antaranya: dosen yang mempunyai kemampuan kesenimanan atau penciptaan karya seni semakin terbatas, mahasiswa yang mempunyai bakat seni semakin kecil, sarana dan prasarana yang masih terbatas, juga kurikulum serta metode pembelajaran yang sering berubah. Di samping itu, hambatan juga disebabkan oleh tidak adanya sekolah menengah seni yang mendidik seni sebagai dasar melanjutkan pada pendidikan tinggi seni. Hambatan juga terjadi pada tidak adanya dukungan masyarakat atau kehidupan lingkungan yang mendukung kondusivitas seni tradisi. Apabila hasil pendidikan seni tradisi sekarang ini lebih mengarah pada kemampuan kesenimanan yang handal, disertai kesadaran kompleksitas dalam seni, maka segala kekurangan atau hambatan tersebut di atas perlu dicarikan solusi atau penyelesaiannya. Untuk menghasilkan lulusan yang baik dan handal, perlu sinergitas dalam proses pendidikan seni. Pendidikan tinggi seni perlu didukung berbagai instansi atau
11
lembaga lain yang mengarahkan pada tercapainya tujuan melahirkan seniman-seniman yang handal. PENUTUP Pelestarian dan pengembangan seni tradisi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah revitalisasi seni tradisi. Kebudayaan yang kuat digunakan untuk mendidik generasi muda terhadap nilai-nilai luhur dan sekaligus menangkal dan atau memfilter budaya-budaya asing yang mempengaruhi budaya Indonesia. Selain itu, juga diharapkan mampu menangkal pengaruh-pengaruh negatif dan mampu mengolah kebudayaan asing sesuai dengan watak dan kemampuan sendiri. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan seni tradisi adalah meregenerasi pelaku seni tradisi melalui pendidikan yang sistematis. Pelaku seni tradisi sangat penting dalam keberlangsungan seni tradisi. Dalam hal ini, Pendidikan Tinggi Seni menjadi garda depan atau ujung tombak dalam pelestarian dan pengembangan seni tradisi. Industri kreatif sangat penting dalam pengembangan seni tradisi, meskipun dalam hal ini tidak berupaya menyeragamkan bentuk dan jenis seni itu, tetapi tetap berupaya agar ada keragaman dalam seni dapat memperkaya keragaman seni tradisi. Implementasi kebudayaan dalam kehidupan masyarakat diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat, menciptakan keharmonisan, dan mampu menjamin hubungan yang serasi antar masyarakat dan pemerintah. Selain itu, pengembangan seni tradisi yang berbasis kearifan lokal dan nilai-nilai luhur dapat meningkatkan daya saing bangsa. DAFTAR PUSTAKA Ahimsa Putra, Heddy Shri. “Revitalisasi Kearifan Lokal dan Jatidiri Bangsa” dalam Bacaan Budaya Bende. Vol VI No.2 Juni 2011. Hrs/ Zak/ Abk/Eln/Naw. “Seni Terkerdilkan Menjadi Keterampilan” dalam Kompas, 5 Maret 2015 Rahyono, FX, Dr. “Kearifan Budaya yang Mencerdaskan” dalam Bacaan Budaya Bende. Vol.VI No.2 Juni 2011. Sedyawati, Edi. 2014. Kebudayaan di Nusantara: Dari Keris, Tor-Tor sampai Industri Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. ________________, “Tradisi sebagai Potensi Lokal dalam Memperkuat Identitas Budaya Bangsa” dalam Bacaan Budaya Bende, Vol VI No,2, Juni 2011. Soedarsono, Nani. “Pembudayaan Pancasila Melalui Kearifan Lokal” dalam Bacaan Budaya Bende, Vol VI No,2, Juni 2011.
12
Widyastutieningrum, Sri Rochana. 2011. Sejarah Tari Gambyong: Seni Rakyat menuju Istana. Surakarta: ISI Press. ________________, 2012. Revitalisasi Tari Gaya Surakarta, Surakarta: ISI Press bekerjasama dengan Pascasarjana ISI Surakarta. Zak/Rwn/ Hrs/Ays. “Fasilitas ISI belum Memadai” dalam Kompas, 4 Maret 2015.
13
PENGGUNAAN PEWARNA NABATI PADA BATIK TRADISIONAL Djuniwarti, Ari Winarno² ²Progtam Studi Seni Rupa, Kriya Seni Institut Seni Budaya Indonesia Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung
Abstrak Di Jawa, penggunaan pewarna nabati (Vegetable Dyes) pada batik telah dimulai sejak zaman Tarumanegara. Awal abad ke-19, penggunaan pewarna nabati mulai tergeser oleh kehadiran pewarna sintetis yang menawarkan kepraktisan. Walaupun demikian, pewarna nabati masih digunakan pada sebagian kecil batik tradisional. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini ingin mengungkap hal ilwal pewarna nabati pada kain batik tradisional. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui jenis bahan pewarna nabati, proses produksi, formula, dan proses aplikasinya pada kain batik tradisional pada masa lalu dan masih tetap digunakan hingga sekarang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan. Penelitian ini berhasil menghimpun 49 jenis pewarna nabati pada batik tradisional baik sebagai pewarna utama (23 jenis) maupun pewarna pendukung (26 jenis). Bagian tumbuhan yang mengandung zat pewarna dan penyamak terbanyak berbeda-beda pada setiap jenisnya. Proses ekstraksi dilakukan dengan perebusan bagian tumbuhan yang mengandung zat pewarna dan penyamak terbesar, sedangkan pembusukan (fermentasi) diberlakukan pada tumbuhan tarum. Aplikasi ekstraksi menghasilkan keragaman warna pada batik tradisional yang tersebar di Jawa. Keragaman warna tersebut dipengaruhi oleh jenis, formula, pelarut, formulasi bahan pengunci warna dan proses aplikasinya pada kain batik. Kata Kunci: proses pembuatan, aplikasi, pewarna nabati
menyebutkan bahwa vegetable dyes are colouring agents originating from plant. Di Jawa, penggunaan pewarna nabati untuk mewarnai batik telah dilakukan sejak zaman Tarumanegara (Kusrianto, 2013). Sejak zaman pemerintahan Sultan Agung Mataram (1613-1645 M), sehelai kain batik mulai diwarnai dengan lebih dari satu warna, seperti yang tampak pada batik sekaran. Warna yang digunakan pada batik sekaran antara lain kuning, jingga, merah, hijau, biru, ungu, dan hitam. Warna-warna tersebut merupakan warna yang dihasilkan
PENDAHULUAN Istilah pewarna nabati (vegetable dye) nampak belum umum di masyarakat. Masyarakat lebih mengenalnya dengan istilah pewarna alam. Sementara itu, pewarna alam yang digunakan untuk pewarna tekstil dapat berasal dari tumbuhan, hewan, dan bahan mineral. Nampaknya istilah pewarna nabati lebih tepat untuk menggambarkan jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahanpewarna. Peristilahan pewarna nabati (vegetable dye) merujuk pada Lemmens and Soetjipto (1992) yang
14
dari tumbuh-tumbuhan (Honggopuro, 2002:13-20). Menurut Lemmens and Soetjipto (1992:26), penurunan penggunaan pewarna nabati dimulai sejak abad ke-20. Salah satu penyebabnya adalah munculnya pewarna sintetis yang menawarkan kepraktisan dalam penggunaannya (Susanto, 1980). Kepraktisan ini juga yang menyebabkan sebagian pengrajin batik tradisional meninggalkan pewarna nabati. Akibatnya pewarna nabati mulai dilupakan bahkan sebagian besar generasi muda tidak mengetahuinya. Dari fenomena diatas, dapat ditarik permasalahan berikut tumbuhan dan bagian mana yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna nabati, bagaimana proses pengolahan, formula, dan aplikasi penggunaan bahan pewarna nabati tersebut pada batik tradisional. Penelitian ini dimaksud untuk mendokumentasikan pewarna nabati pada batik tradisional yang semakin hari semakin ditinggalkan.
sedangkan yang dimaksud dengan tumbuhan pendukung adalah kelompok tumbuhan yang menimbulkan warna, memperkuat ketahanan zat pewarna atau sebagai bahan pengunci warna utama (Susanto, 1980). Bahan pewarna tersebut dapat ditemukan pada bagian akar, kayu, kulit kayu, buah, kulit buah, biji, kulit biji, dan bunga dari suatu jenis tumbuhan, namun tidak semua bagian tumbuhan tersebut mempunyai kandungan pewarna dan penyamak yang sama banyak. Dengan mengacu pada istilah tradisional, maka yang dimaksud dengan batik tradisional adalah proses pembuatan batik yang dilakukan dengan mengikuti tata cara yang dilakukan oleh generasigenerasi sebelumnya. Adapun proses pembuatan batik tradisional diawali dengan penyiapan kain, mola, dan mbatik. Proses selanjutnya adalah pewarnaan. Ada dua proses pewarnaan yang umum dilakukan pada batik tradisional, yaitu cara colet dan cara pencelupan. Cara coletan dilakukan dengan mewarnai sebagian motif batikan dengan larutan pewarna dengan menggunakan jedul – gulungan kain mori atau saat ini dapat diganti dengan kuas. Cara pencelupan dilakukan dengan mencelupkan batikan pada larutan pewarna berulang kali sampai mendapatkan warna yang diinginkan. Pewarnaan pada batik tradisional banyak warna misalnya biru dan soga dimulai mewarna nila (medel), menghilangkan sebagian malam (ngurik), menutup bidang yang telah diwarnai (mopok), mewarnai coklat (nyogo) atau warna lain. Pewarnaan biasanya dilakukan berulangulang.
PEMBAHASAN Pewarna nabati pada batik tradisional Dari penelitian ini berhasil dikumpulkan 49 (empat puluh sembilan) jenis tumbuhan pewarna nabati. Ke-49 tumbuhan tersebut, dikelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama merupakan tumbuhan pewarna utama terdiri dari 23 (dua puluh tiga) jenis dan kelompok kedua merupakan tumbuhan pendukung pewarna utama terdiri dari 26 (dua puluh enam) jenis. Adapun yang dimaksud dengan tumbuhan pewarna utama adalah tumbuhan yang dapat mempunyai kadar zat pewarna dan zat penyamak yang tinggi (tabel 1),
15
Selanjutnya, setelah mendapatkan warna yang diinginkan dilakukan sarenan - proses penguncian warna dengan larutan tertentu. Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk mengunci dan menghidupkan warna. Selain itu, sarenan digunakan untuk mempertahankan warna dari gosokan, keringat, dan alkali (Susanto, 1980). Setelah itu, dilakukan proses menghilangkan malam (ngolorod). Batik tradisional yang menggunakan pewarna nabati tersebar di banyak daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, Cirebonan, Indramayu, Tasikmalaya, Pekalongan, Semarang, Kedu, Pacitan, Madiun, Gresik, Madura, dan Bali. Warna batik tradisional adalah khas untuk daerahnya. Keragaman warna tersebut dipengaruhi oleh jenis pewarna nabati, formula jenis pewarna nabati, pelarut pewarna nabati, formulasi bahan pengunci warna dan proses aplikasinya pada kain batik.
tersebut dipengaruhi oleh jenis pewarna nabati, formula jenis pewarna nabati, pelarut pewarna nabati, formulasi bahan pengunci warna dan proses aplikasinya pada kain batik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui jenis pewarna nabati yang digunakan pada batik modern. DAFTAR PUSTAKA Honggopuro, KRT. Kalinggo. 2002. Batik sebagai Busana dalam Tatanan dan Tuntunan. Surakarta : Yayasan Peduli Keraton Surakarta Hadiningrat. Hamzuri. 1981. Batik Klasik. Jakarta : Djambatan. Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik. Bandung : Kiblat. Hasanudin, M. dkk. 2001. Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya pada Produk Batik dan Tekstil Kerajinan (Contohcontoh Warna). Yogyakarta : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik Proyek Pengembangan dan Pelayanan Teknologi Industri Kerajinan dan Batik.
PENUTUP Penelitian ini berhasil menghimpun 49 (empat puluh sembilan) jenis pewarna nabati pada batik tradisional baik sebagai pewarna utama (23 jenis) maupun pewarna pendukung (26 jenis). Bergantung jenis tumbuhannya, kandungan zat pewarna dan penyamak terbanyak ditemukan pada tatal (kulit) akar, tatal batang, bagian dalam batang daun, kulit buah, buah, kulit biji, biji, bunga dan serbuk sari. Proses pengambilan zat pewarna dan penyamak (ekstraksi) dilakukan dengan perebusan dan pembusukan (fermentasi). Aplikasi ekstraksi menghasilkan keragaman warna pada batik tradisional yang tersebar di Jawa. Keragaman warna
Heringa, Rens. 1996. Fabric of Enchantment Batik from the North Coast of Java. Los Angelos : The Los Angelos County Museum of Art. Kun Lestari dan H. Suprapto. 2000. Natural Dyes in Indonesia. Yogyakarta : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Kusrianto, Adi. 2013. Batik Filosofi, Motif dan Kegunaan. Yogyakarta : Andi.
16
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Lemmans, R.H.M.J. and WulijarniSoetjipto, N. 1992. Plant Resourses of South-Easth Asia No. 3 Dye and Tannin-producing Plants. Bogor Indonesia : Prosea. Majlis, Brigitte Khan. 2000. Javanese Batik : An Introduction. Dalam Batik From The Courts of Java and Sumatra. Rudolf G. Smend Collection. Singapura : Periplus. Nastiti, T. Surti. 2003. Pasar di Jawa : Masa Mataram Kuna Abad VIII – XI Masehi. Jakarta : Pustaka Jaya. Sumarsono, H. dkk. 2013. Benang Raja menyimpulkan Keelokan Batik Pesisir. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Suprapto, Hendri. 2000. Penggunaan Zat Pewarna Alami untuk Batik.Yogyakarta : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Susanto, Sewan. 2000. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta : Balai Penenlitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Wardah dan F.M. Setyowati. 1999. Keanekaragaman Tumbuhan Penghasil Warna Alami di Beberapa Daerah di Indonesia. Bogor : Balitbang Botani Puslitbang Biologi LIPI. Makalah seminar "Bangkitnya Warna-warna Alam" 3-4 Maret 1999 di Yogyakarta. Vincent J.H. Houben, 2002, Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, Yogyakarta : Bentang Budaya
17
Lampiran: Tabel 1 Pewarna nabati utama pada batik tradisional
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Pewarna Nabati dan bagian tumbuhan yang digunakan Umbi kunyit (Curcuma domestica Val.) Umbi temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) Kulit akar Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Kulit kayu jambal (Peltophorum pterocarpum (DC) Backer ex K Heyne) Hati kayu, kulit kayu tegeran (Maclura cochinchinensis (Lour.) Corner) Kulit kayu tingi (Ceriops tagal (Perr.) C.B. Robin) Kulit kayu mangga (Mangifera indica L.) Kulit kayu nangka (Artocarpus heterophyllus L.) Kulit kayu soga kenet Kulit kayu tarisi (Albizia lebbeckoides (D.C) Benth.) Kulit kayu mundu (Garcinia mangostrana L.) Bagian dalam batang jirek (Symplocos fasciculata Zoll.) Kayu laban (Vitex pubescens Vahl.) Kayu secang (Caesalpinia sappan L.)
Warna yang dihasilkan Kuning Kuning tua Merah Merah sawo Kuning Hitam Hijau Kuning kehijauan Kecoklatan Merah kecoklatan Coklat Kuning
Kecoklatan Merah Daun tarum (Indigofera tinctoria Hook. F., Biru, nila Indigofera arrecta, Indigofera guatemalensis, Indigofera sumatrana) Daun & batang muda gambir (Uncaria gambir Hitam (Hunter) Roxb.) Daun gebang (Corypha utan Lamk.) Merah Daun jambu batu (Psidium guajava L.) Hijau kecoklatan Daun kacang roay (Phaseolus spp.) Hijau Daun kacang genjah (Phaseolus spp.) Hijau Buah pinang (Areca cathecu L.) Merah anggur – merah tua Buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) Hijau Biji kasumba (Bixa orellana L.) Jingga
Sumber : Disarikan dari Susanto (1980), Hamzuri (1981), Lemmens and Soetjipto (1992), Hanggoropuro (2002)
18
PENERAPAN BENTUK ARSITEKTUR TRADISIONAL SUNDA PADA ARSITEKTUR RUMAH TINGGAL MASA KINI Savitriˡ, Nani Sriwardani² Program Studi Seni Rupa, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Jalan Buah Batu 212 Bandung
Abstract This research is conducted in order to conserve Sundanese culture through architecture. To conserve Sundanese culture in daily lives is now a government programme, in order to enhance local identity in the city of Bandung. In architectural field this can also applied by designing building with Sundanese form and concept. Nowadays, the face of traditional Sundanese architecture is not as populer as it was before. We can find the implementation of traditional Sundanese architecture on some commercial buildings such as restaurants, resorts, museum, etc. In those buildings, it is still not clear whether there are prior study about the philosophical meaning and concept or it is only an accessory on the façade. Both ways are applicable, depend on the building’s function and location. To support this research in conserving Sundanese architecture, there are some fundamental data that have to be collected. First is to collected data about characteristics of traditional Sundanese architecture. Afterward, select and analyze the elements of traditional Sundanese architecture that are applicable in the design of a house. Finally, how the design forms of Sundanese traditional house implemented in house nowadays. Short term purpose of the research is to collected data about architectural elements in Sundanese housing, in order to selected the fundamental exterior form that can be applied into house nowadays. For long term goals, hopefully this research can be one of effort towards conserving local identity and Sundanese culture. The research outcome is an analysis about Sundanse exterior forms. With this analysis as guidelines, a test is conducted in order to design a house with Sundanese exterior forms. Keywords: Sundanese Traditional Architectural Forms, Sundanese Culture, Residential Nowadays.
PENDAHULUAN Bandung merupakan kota yang memiliki akar kebudayaan Sunda. Pemerintah telah berupaya untuk melestarikan kebudayaan lokal, baik dalam wujud arsitektur, busana dan bahasa. Untuk memperkuat nuansa Sunda di kota Bandung, belum lama ini walikota Bandung Ridwan Kamil mengadakan Rebo Sunda dimana PNS (Pegawai Negeri Sipil), pelajar dan masyarakat umum dianjurkan untuk
menggunakan pakaian adat Sunda (berupa Ikat untuk laki-laki dan karembong untuk perempuan), serta anjuran untuk menggunakan bahasa Sunda setiap hari Rabu. Pada taraf nasional, pemerintah Indonesia pada era Orde Baru (1966-1998) juga “menganjurkan” supaya bangunanbangunan pemerintahan dibangun dengan ciri-ciri kedaerahan. Anjuran ini diasosiakan untuk merancang bangunanbangunan beton modern yang memiliki
19
atap-atap menyerupai rumah-rumah adat. (Sopandi, 78). Rumah tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan rumah juga terus meningkat. Salah satu bisnis perumahan yang sedang populer di kota Bandung adalah perumahan dengan bentuk rumah tipikal dan jumlah jumlah terbatas di lahan yang kecil. Hal ini mengakibatkan terbentuk cluster-cluster perumahan kecil di kota Bandung. Namun pertambahan jumlah rumah ini tidak diimbangi dengan adanya penambahan bentuk desain yang mencerminkan karakter kebudayaan Sunda. Penerapan ornamen sunda pada bangunan biasanya digunakan oleh restoran sunda atau rumah peristirahatan. Namun masih belum diketahui apakah terdapat proses riset terlebih dahulu sebelum mendesain bangunan-bangunan tersebut. Menurut YB. Mangunwijaya “Arsitektur yang baik juga tidak harus mengikuti mode mutakhir, gaya yang sedang laku dan sebagainya… Maka salah satu pengenal kemuliaan bahasa, juga bahasa arsitektur adalah kejujurannya, kewajarannya, atau seperti yang dinasihatkan oleh ahli pikir Thomas dari Aquinas: “Pulchrum splendor est veritatis” (keindahan adalah pancaran kebenaran)“ (Mangunwijaya, 20)
perkembangan kondisi kehidupan. Bentuk arsitektur masyarakat Sunda yang otentik dan abadi tidak ada. Konsep bentuk arsitektur Sunda selalu adaptif terhadap perubahan budaya dan kehidupan masyarakatnya. ‘Purisme Kesundaan’ atau keyakinan adanya budaya atau arsitektur Sunda otentik dan harus dijaga keasliannya merupakan mitos yang harus dipertanyakan relevansinya. (Salura, 3). Arsitektur Rumah Sunda Umumnya bangunan dan rumah masyarakat Sunda menggunakan bahan yang mudah musnah oleh waktu, sehingga tidak banyak peninggalan fisik bangunan asli yang dapat dijadikan contoh bagi generasi berikut. Yang masih tertinggal adalah tradisi yang diteruskan melalui tukang-tukang dan kebiasaan yang diperkuat oleh sistem kepercayaan mereka. Material dasar yang dahulu umum digunakan pada rumah di kampung masyarakat Sunda adalah bambu dan kayu untuk tiang konstruksi, anyaman bilik bambu untuk dinding, dan penutup atap daun hateup yang kemudian dilapisi ijuk. Seiring zaman masyarakat Sunda telah menggunakan batu bata untuk dinding, serta genteng tanah liat untuk tutup atap (Salura,23) Rumah tradional suku sunda memiliki konsep arsitektur natural atau kembali ke alam yang menempatkan unsur alam sebagai konsep dasar pada arsitekturnya. Konsep rumah panggung pada masyarakat sunda juga merupakan adaptasi dari komsologi sunda yang membagi jagat raya dalam tiga tingkatan berikut ini (Anwar,15)
PEMBAHASAN Faktor yang Mempengaruhi Arsitektur Rumah Sunda Menurut Purnama Salura, arsitektur masyarakat Sunda senantiasa mengalami perubahan sesuai
20
Buana nyungcung, yaitu tempat para dewa Buana panca tengah, yaitu tempat manusia dan mahluk lainnya Buana larang, tempat orang yang sudah meninggal Analisa Bentuk Arsitektur Sunda Konsep rumah panggung pada masyarakat Sunda merupakan adaptasi dari kosmologi Sunda yang membagi jagat raya dalam tiga tingkatan berikut ini: Buana nyungcung, yaitu tempat para dewa Buana panca tengah, yaitu tempat manusia dan mahluk lainnya, Buana larang, tempat orang yang sudah meninggal. Sedangkan kerangka rumah tradisional Sunda sendiri disebut rangkay. Rangkay terdiri dari tiga bagian. Bagian atas disebut hateup (atap) dan suhunan (bubungan), bagian tengah disebut rangka atau badan, dan bagian bawah disebut salasar (lantai). Analisa bentuk arsitektur Sunda
21
PENUTUP Perkembangan zaman yang diikuti kemajuan teknologi membuat kebudayaan suatu daerah menjadi berubah. Salah satu elemen budaya yang mengalami perubahan akibat perkembangan zaman adalah arsitektur. Arsitektur Sunda pun mengalami perubahan dan perkembangan pada beberapa aspek, seperti konsep arsitektur, bentuk bangunan, gaya bangunan, sistem konstruksi dan juga teknologi bahan. Perkembangan ini mempengaruhi masyarakat Sunda dalam membangun tempat tinggal sehingga rumah tradisional berubah menjadi rumah modern yang menerapkan prinsipprinsip rumah tradional Sunda secara parsial. Rumah tradisional suku Sunda memiliki konsep arsitektur natural atau kembali ke alam yang menempatkan unsur alam sebagai konsep dasar pada arsitekturnya. Konsep rumah panggung pada masyarakat sunda juga merupakan adaptasi dari komsologi sunda yang membagi jagat raya dalam tiga tingkatan
Penerapan Arsitektur Sunda pada Rumah Tinggal
22
berikut ini: Buana nyungcung, yaitu tempat para dewa Buana panca tengah, yaitu tempat manusia dan mahluk lainnya, Buana larang, tempat orang yang sudah meninggal. Walaupun tidak dapat sepenuhnya mengadaptasi arsitektur tradisional Sunda, namun pada penelitian ini dilakukan upaya untuk dapat menerapkan bentuk dasar arsitektur Sunda tersebut ke dalam rumah tinggal masa kini. Pada saat ini sudah banyak penerapan konsep desain Sunda pada bangunan masa kini, terutama pada bangunan komersial seperti rumah makan atau tempat peristirahatan. Pada rumah tinggal, penerapan konsep arsitektur Sunda belum banyak diterapkan. Diharapkan dengan adanya upaya pelestarian arsitektur Sunda ini akan semakin banyak bangunan rumah tinggal dengan bentuk dan kebutuhan yang selaras dengan masyarakat dan wilayah tempatnya berada.
Tri
Harso Karyono. 2010, Green Architecture – Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada..
Y.B. Mangunwijaya.,2013, Wastu Citra – Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-sendi Filsafatnya beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta.: PT Gramedia Pustaka Utama. Seminar Purnama Salura dan Rivani Chandra. Spirit Sunda dalam Arsitektur Modern. Konferensi Internasional Budaya Sunda II. Revitalisasi Budaya Sunda: Peluang dan Tantangan dalam Dunia Global. Jakarta. 2011. Website Data Kampung Adat di Jawa Barat. http://www.disparbud.jabarprov.go.i d/wisata/fupload/Data%20Kampung %20Adat%20di%20Jawa%20Barat. pdf
DAFTAR PUSTAKA Rumah Tradisional http://anjjabar.go.id/rumahtradisional http://fpelamonia.blogspot.com/2010/01/pe rkembangan-arsitektur-padarumah.html http://ritalaksmitasari.wordpress.co m/category/arsitektur/ http://perpustakaan.upi.edu/index.ph p?option=com_content&view=articl e&id=110: rumah-tradisionalsunda&catid=41:umum
Buku Hendi Anwar dan Hafizh. A. Nugraha.,2013, Rumah Etnik Sunda. Depok: Griya Kreasi (Penebar Swadaya Grup). Purnama Salura., 2008, Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Bandung: PT. Cipta Sastra Salura. Setiadi Sopandi.,2013, Sejarah Arsitektur – Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
23
Data Survey Lapangan Data Hasil Survei dan Pendataan Kampung Dukuh. Arsitektur Hijau UNPAR dan Yahintara. Bandung. 2011. Data Hasil Survei dan Pendataan Kampung Dukuh. Arsitektur Hijau UNPAR dan Yahintara. Bandung. 2012. Data Hasil Survei dan Pendataan Kampung Dukuh. Arsitektur Hijau UNPAR dan Yahintara. Bandung. 2014.
24
APROPRIASI MEDIUM WAYANG Transformasi Bentuk dan Visual Wayang Golek pada Karakter Komik Dida Ibrahim Abdurrahmanˡ, Joko Dwi Avianto² Jurusan Seni Rupa, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jalan Buahbatu No. 212 Bandung e-mail:
[email protected]
Abstrak Produk-produk seni yang berada dalam sebuah wilayah kebudayaan terus mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Fenomena perubahan tidak dapat dihindari, dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran (ilmu pengetahuan) dalam sebuah peradaban, termasuk pemahaman terhadap ideologi dan agama, sehingga menggeser kebudayaan sebelumnya, tidak sedikit pula yang dipertahankan, dan cukup banyak pula yang mengalami perubahan, pengembangan, dan modifikasi. Pemikiran posmodern dengan mengusung konsep-konsep dekonstruksi mencoba menawarkan jalan keluar dari stagnasi produk kebudayaan yang dirasa ajeg serta syarat akan ketabuan dan seolah tak terbantahkan. Proses pendekontruksian tidak begitu saja direspon sebagai sebuah pengayaan, bagaimanapun jejak-jejak historis yang melekat pada setiap subjek dan objek tetap bisa ditelusuri. Dalam perspektif yang berbeda, terkait dengan penelitian ini, posisi sebuah produk kebudayaan, dalam hal ini Wayang Golek akan diposisikan sebagi medium dan representasi, sehingga tidak terjebak pada konvensi-konvensi tradisi yang telah melekat, selanjutnya memungkinkan untuk dikembangkan menjadi beragam produk kebudayaan tanpa harus kehilangan makna dan nilai dalam sebuah konsep kebudayaan secara utuh. Kata Kunci: Apropriasi, Wayang Golek, Karakter Komik
PENDAHULUAN Beragam kajian dan penelitian yang diambil dari berbagai perspektif dan sudut pandang ranah keilmuan masih menjadi subjek penelitian yang tidak pernah habis. Secara teknis, Wayang Kulit terbentuk dari sebuah proyeksi yang dihasilkan dari pancaran cahaya yang menyentuh objek tertentu sehingga menghasilkan bentuk representasinya dalam bentuk siluet/ bayangan (shadow). Saat ini, pengambilan istilah Wayang seakan memiliki ‘resiko’
tersendiri. Kemapanan dan konvensi bentuk yang sudah dimilikinya menjadi ‘sulit’ untuk selaras dengan perkembangan jaman. Tentunya upayaupaya untuk terus bisa dinikmati pernah dilakukan oleh beberapa Dalang (pemain), seperti Wayang Karet yang diinovasi oleh Asep Sunandar Sunarya dan produksi kisah dan latar yang lebih populer yang dilakukan oleh Dalangdalang muda saat ini dengan tetap mempertahankan bentuk dan visual tradisinya. Pada perkembangan seni
25
kontemporer, upaya ‘dekontruksi’ Wayang-pun kerap dilakukan oleh beberapa seniman, seperti Wayang Montekar, Wayang Bocor, Wayang Tavip, Wayang Cyber, dan masih banyak lagi produksi serupa dengan ragam bentuk yang khas. Apapun bentuknya, bagaimanapun metodenya, Wayang dipahami sebagai bentuk representasi.
Pada bentuk yang lain, Wayang Beber disinyalir sebagai runutan sejarah panjang perkembangan Komik dan Cergam di Indonesia, karena secara bentuk dan kisahnya dipresentasikan pada bidang dua dimensional. Transformasi media kisah-kisah pewayangan ke dalam komik maupun ilustrasi pada dasarnya bukanlah barang yang baru. Seperti yang telah menjadi bagian sejarah panjang komik di Indonesia, tokoh Jan Mintaraga, seorang komikus tahun 80-an telah membuat komik berkisah Ramayana. Komik tersebut dibuat dengan gaya kartun realis dengan tampakan visual seperti Wayang Orang. Tentunya, apa yang dilakukan oleh Jan Mintaraga tersebut adalah dalam rangka melahirkan komik-komik berkarakter Indonesia.
Gambar 1. Wayang Cyber Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2. Wayang Tavip Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 3. Cover Komik Seri Ramayana Karya Jan Mintaraga Sumber: http://www.sastrokomik.com/2013/12/janmintaraga-ramayana-no-5.html
Secara historis, Wayang Golek merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sarat akan karakter visual. Pada setiap kisah yang dibawakan, telah mengkategorikan beberapa wujud serta peran yang sangat khas, sehingga menjadikan pertunjukan ini terasa sangat nyata, meski disajikan sebagai bentuk representasi simbol boneka kayu.
Sebagai sebuah produk, Manga Jepang telah berhasil mengangkat khazanah kebudayaan lokalnya, meski pada awalnya mereka mengadopsi karakteristik komik dan film-film katun asal Amerika. Beberapa di antaranya
26
komik ‘Speed Racer’ atau ‘Mach GoGoGo’ (1958) karya Tatsuo Yoshida dan ‘Mighty Atom’ atau ‘Astro Boy’ (1952) karya Osamu Tezuka yang pada tahun 2008-2009 berhasil diproduksi ulang oleh Hollywood. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan serial Manga ‘Doraemon’ (1969) karya Fujiko Fujio masih bisa bertahan dan dinikmati oleh 3 generasi. Komik ‘Gundala Putera Petir’ (1969) karya Hasmi merupakan salah satu komik legendaris Indonesia yang berupaya mengolah budaya lokal. Kisahkisah dan bentuk-bentuk kekayaan visual legenda Indonesia, termasuk dalam pewayangan pada dasarnya bisa menjadi kekuatan karakteristik komikus kita dalam menciptakan kekhasan yang kental dengan ke-‘lokal’-annya. Hanya saja, konvensi yang melekat pada produk tradisi tersebut seolah memiliki ketabuan untuk dikembangkan. Praktek apropriasi dalam aktifitas seni rupa kontemporer dunia menjadi peluang dalam pengolahan kekayaan budaya lokal kita untuk bisa dikembangkan lebih lanjut, tanpa harus kehilangan sumbernya. Karena pada dasarnya praktek kekaryaan seni rupa seperti ini mengarah pada peminjaman simbol yang telah ada.
Wayang Golek tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Wayang Kulit. Menurut penjelasan Dr. Th. Pigeaud, bahwa salah seorang bupati Sumedang mendapat gagasan untuk membuat Wayang Golek yang bentuknya meniru Wayang Kulit, meskipun sebenarnya beberapa pengaruh warisan budaya Hindu masih bertahan di beberapa tempat di Jawa Barat sebagai bekas wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran. Pakem dan jalan cerita Wayang Golek sesuai dengan versi Wayang Kulit Jawa, terutama kisah Wayang Purwa (Ramayana dan Mahabharata), meskipun terdapat beberapa perbedaan, misalnya dalam penamaan tokoh-tokoh punakawan yang dikenal dalam versi Sunda-nya. Adapun kesenian wayang kayu berbahasa Jawa saat ini dapat dijumpai bentuk kontemporernya sebagai Wayang Menak di wilayah Kudus dan Wayang Cepak3 di wilayah Cirebon, meski popularitasnya tidak sebesar Wayang Golek di wilayah Priangan. Menurut C. M. Pleyte, bahwa masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal Wayang pada tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi dalam Prasasti Batu Tulis. Pada abad 16 dalam naskah Ceritera Parahyangan juga disebutkan berulang-ulang kata-kata Sang Pandawa Ring/ Kuningan. Menurut Salmun (1986), pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat Wayang dari kayu yang kemudian disebut Wayang Golek yang
WAYANG GOLEK A. Sejarah Wayang Golek Istilah Golek dapat merujuk kepada dua makna, sebagai kata kerja kata Golek bermakna 'mencari', sebagai kata benda Golek bermakna boneka kayu. Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran
3
Konon, Wayang Golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati 1540-1650) dengan lakon cerita Panji. Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai Wayang Golek Papak atau Wayang Cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) Wayang Cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam.
27
dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke16 Sunan Kudus4 membuat bangun 'Wayang Purwo', bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai Wayang Golek.
b.
B.
Bentuk, Tokoh, dan Karakter Wayang Golek Media utama pergelaran Wayang Golek adalah boneka yang terbuat dari kayu (umumnya jenis kayu yang ringan), ditatah/ diukir, dicat, diberi busana dan karakter sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan. Boneka kayu yang menyerupai manusia dengan stilasi disana-sini itu disebut juga Wayang Golek, dengan demikian nama benda peraga dan nama jenis pertunjukannya itu sendiri sama yakni Wayang Golek.
c.
d.
1.
Bentuk Wayang Golek Bentuk/ badan Wayang Golek dapat dipisah-pisah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu bagian kepala beserta leher, tangan, dan badan. Adapun bentuk badan raut wajah, pakaian, hiasan, disesuaikan dengan karakter dan kedudukan tokoh wayang yang bersangkutan. Bagaimana Wayang Golek itu divisualisasikan dalam bentuk atau raut, secara garis besar dikelompokkan dalam empat golongan utama yaitu: a. Satria. Bentuk tubuh golek golongan satria ini menggambarkan keluwesan, ketenangan dan kelemah-lembutan, dengan tetap
2.
tidak menghilangkan unsur kegagahan dan kecerdasannya. Golongan ini memiliki bentuk mata sipit, alis tipis, dan hidung cenderung kecil dan tidak memiliki kumis. Tokohnya seperti Rama, Samiaji, Nakula, Sadewa. Ponggawa. Golongan golek ini digambarkan sebagai tentara yang ditampilkan dengan bentuk tubuh yang tegap, tegas, dengan mata besar, alis tebal, berkumis, hidung mancung. Tokoh-tokohnya antara lain Gatotkaca, Bima, Duryodana. Buta. Buta atau disebut juga raksasa memiliki bentuk tubuh tinggi besar, mata melotot, alis tebal, hidung besar dan bertaring atas bawah. Tokoh golongan ini yang terkenal adalah Rahwana. Panakawan. Golongan golek ini digambarkan sebagai tokoh yang kocak dan jenaka. Banyak golek ciptaan baru yang digolongkan dalam golek panakawan.
Tokoh Wayang Golek Daya tarik Wayang Golek adalah bentuknya yang tidak monoton, dirancang sedemikian rupa, sehingga termotivasi untuk berkreasi dan bisa menciptakan aneka tampilan yang terlihat antik dan natural. Berdasarkan kisahnya, penokohan Wayang Golek Purwa terbagi menjadi dua bagian utama: a. Kisah Mahabharata. Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik antara dua kubu, yaitu para Pandawa dengan sepupu mereka, Kurawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah Negara Astina. Kubu Pandawa terdiri dari lima
4
Menurut legenda yang berkembang, Sunan Kudus menggunakan bentuk Wayang Golek awal ini untuk menyebarkan Islam di masyarakat.
28
b.
Playing Games) yang sangat kental dengan konsep karakternya. Melalui pendekatan tersebut, penelitian ini mencoba menguji kembali hasil penelitian tersebut ke dalam kasus yang berbeda.
tokoh, karena itulah sering disebut Pandawa lima. Para Pandawa itu adalah: (1) Yudistira; (2) Bima; (3) Arjuna; (4) Nakula; dan (5) Sadewa. Kubu Kurawa merupakan kelompok antagonis dalam cerita Mahabharata. Jumlah mereka ada seratus, tetapi dua karakter utama yang menjadi tokohnya: (1) Duryodana; (2) Dursasana. Kisah Ramayana. Cerita Ramayana adalah sebuah cerita kepahlawanan. Tokoh utamanya, Rama, seorang pewaris tahta Kerajaan Kosala. Dalam kisah ini terdiri dari beberapa kelompok: (1) Kelompok Buta: Brajamusti, Cakil, Kumbakarna, Arimbi, Rahwana, Arimbaka, Arimba, Braja Denta, Braja Lamatan, Pancat Nyana, Betara Kala; (2) Kelompok Panakawan: Cepot, Dawala/ Petruk, Durna, Gareng, Semar Badranaya; (3) Kelompok Ponggawa: Antareja, Bima, Duryudana, Gatotkaca, Jakatawang, Karna, Seta; (4) Kelompok Kurawa: Satyaki, Tirtanata, Ugrasena; (5) Kelompok Satria: Arjuna, Bambang Sumantri, Destarata, Lesmana, Nakula, Pandu Dewanata, Rama, Sadewa, Sinta, Yudhistira, Bambang Irawan, Dewi Subadra, Abimanyu, Parikesit, Wisanggeni, Drupadi, Kunti Talibroto.
A. Arketipe dan Identitas Karakter Arketipe secara umum mengomunikasikan apa keinginan terdalam dan terdasar dari individu dan dasar motivasi apa yang membuat individu tersebut melakukan sesuatu, juga menggambarkan tujuan dan maksud dari hidup seseorang. Rujukan arketipe ini merupakan upaya untuk menemukan ranah identitasnya, dipengaruhi oleh: 1. Tema dan Narasi/ Jalan Cerita (referenciality), menunjuk pada penentuan konsep realitasnya. Meliputi konstruksi budaya, seting lingkungan, dan sejarah. 2. Perwujudan Visual (canocity and breach). Merepresentasikan struktur tema, pengarakteran, motivasi, dan ekspresi. 3. Sifat Dasar (idem-identity). Perluasan fenomena naluri, bakat, dan insting, sebuah kompleksitas yang dinyatakan dalam pengalaman dan perilaku karakter. 4. Spesifikasi Keahlian (ipse-identity), konsep identitas yang terus berubah dan berkembang meski tetap memiliki dasar yang sama (idem), setiap tindakan saling berelasi dengan tindakan yang lain.
PERANCANGAN KARAKTER BERDASARKAN KISAH Pada tahun 2009, peneliti menggunakan tiga ranah teori dalam membedah pembentukan karakter dalam permainan digital berbasis RPG (Role
B.
Identitas Naratif dan Entitas Karakter Melalui pemahaman ranah identitas naratif, eksistensi karakter ditentukan
29
oleh kisah dan pola, semakin banyak pengalaman, semakin banyak pula orang mengenalnya, dan semakin penting pula posisinya. 1. Historis (intensional state), karakter dianggap memiliki keyakinankeyakinan (beliefs), hasrat-hasrat, teori-teori, nilai-nilai, dan sebagainya. 2. Kemampuan dan Keahlian (normativeness), klaim tentang bagaimana seharusnya seseorang betindak. 3. Posisi Sosial (hermeneutic composability), peran karakter dalam serangkaian peristiwa membentuk cerita. Eksistensi karakter dipengaruhi oleh perannya dalam lingkungan. 4. Sikap dan Perilaku (naluri, bakat, insting), relasi konflik dan perjalanan kisah secara menyeluruh dan ikonografinya secara personal.
1.
Ruang dan Waktu (narrative diachronicity), naratif mengambil tempat dan waktu tertentu. 2. Biografi (narrative accrual), merupakan hasil akumulatif dari beberapa cerita. Satu cerita baru menambah dan melengkapi cerita sebelumnya. Peran (context sensitivity and negotiability), menyaratkan adanya negosiasi peran antara pemilik cerita, teks dan pembaca, termasuk peralihan dari sebuah konteks ke naratif, serta ideide penundaan ketidakpercayaan atau keraguan terhadap jalannya cerita. KARAKTER DAN PENOKOHANNYA DALAM KISAH Istilah karakter yang dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dari orang yang lain: tabiat; watak. Berkarakter berarti mempunyai tabiat, kepribadian, berwatak. Kita adalah ketika ‘bergerak’, dengan kata lain kepribadian (personalities), dan kepribadian dibentuk dari apa yang dikehendaki/ dipikirkan, latarbelakang, dan pengalaman. Karenanya, kepribadian menjadi sangat unik dan membedakan. (Hedpeth & Misal: 4, 2006). Karakter bisa digambarkan sebagai sifat manusia, mempunyai banyak sifat, seperti: Pemarah, Sabar, Ceria, Pemaaf. Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Dari rujukan tersebut, karakter selalu merujuk pada pola kekhasan yang saling membedakan satu sama lain, selalu menunjuk pada ciri yang identik dengan objeknya. Penggambarannya menunjuk
Dari pendekatan ini, terbagi ke dalam dua konsep, pertama membangun konsep realitas yang dibangun melalui landasan historis dan konvensi/ aturan. Kedua, pembentukan ikon yang dilandasi oleh identitas personal dan identitas sosial. Melalui mekanisme ini, terbentuklah realitas karakter yang aktual, eksistensi yang valid. C. Simulakra dan Realitas Pekerjan (kategorikal), Hubungan antara kategori dengan objeknya menentukan jenis objeknya, termasuk atribut, karakteristik, ciri-ciri, dan keterhubungannya dengan objek lain. Perwujudan karakter telah merepresentasikan motivasi, dan hasrat.
30
pada kualitas kepribadian, perwujudan, peristiwa, maupun tempat. Dalam sebuah Cerita, terdapat kumpulan entitas yang direpresentasikan secara simbolik, terkonstruksi dari beberapa karakter yang berada di dalam ruang dan waktu tertentu. Beberapa tokoh dalam cerita, legenda, mitos yang kita kenali, dikonsumsi sebagai ruang motivasi, transformasi informasi/ pendidikan dan nilai-nilai budaya. Kekhasan tergantung identifikasinya, sehingga memiliki ciri yang spesifik (ikonik), merujuk pada objeknya sebagai sosok. Dalam penelitian ini karakter yang dimaksud merujuk pada konsep penokohannya. Bentuk-bentuk apropriasi, yang dipandang dari kecenderungan praktik kerja seni rupa kontemporer telah cukup banyak berkembang dalam berbagai karya seni dan desain. Pola ini mengambil serta mengembangkan kekayaan kebudayaan yang muncul dibelahan dunia. Kisah-kisah, Cerita, Legenda, dan Mitologi setiap peradaban menjadi referensi historik yang saling terkait (Hypertext) meski terlihat baru. Seperti yang telah diproduksi dalam Manga Jepang Dragon Ball, Novel Journey to The West, dan Kisah Epik Ramayana dalam Wayang Golek memiliki relasi yang saling mempengaruhi. Meski tidak memiliki kaitan secara langsung, disinyalir karakter Sun Gokong (red. Indonesia) atau Sun Wukong (red.Tiongkok) mengambil karakter Hanoman dalam kisah Ramayana. Hanoman maupun Sun Gokong merupakan satu karakter dengan wujud monyet yang memiliki kesaktian. Tokoh utama dalam manga Dragon Ball, Son
Goku memiliki kesamaan karakter pada kisah Sun Gokong. Meski memiliki karakter wujud manusia, terceritakan Goku sebagai makhluk luar bumi yang juga memiliki ekor seperti Monyet dan Tongkat Sakti yang bisa memanjang seperti Gokong, juga memiliki kemampuan mengendarai awan. Dari sisi ceritanya juga, Dragon Ball memiliki kesamaan alur, meski dikemas dengan konflik yang berbeda. Sebagai perwujudan yang utuh, pembuatan karakter digagas melalui pendekatan kultural. Pendekatan ini mempengaruhi juga konsep perwujudan karakter serta tema dan jalan cerita secara keseluruhan. Tema, jalan cerita dan perwujudan karakter telah membangun realitasnya, sebuah kesatuan yang utuh. Proses ini merupakan sebuah mekanisme pembentukan identitas personal karakter. Membangun perwujudan karakter melalui identifikasi ikonografi yang mempresentasikan kemiripan dengan objeknya, keidentikan karakternya. Pada (bagan 1) bisa dilihat, bahwa dalam beberapa proses perancangan konsep visual/ estetika karakter sangat kental dengan rujukan kultur baik secara tema maupun perwujudanya. Sebagai sebuah pendekatan konsep, beberapa informasi dikumpulkan menjadi data yang menjadi rujukan dalam berbagai pertimbangan visual. Bentuk-bentuk rujukan seperti ini bisa kita lihat dalam berbagai kisah yang dewasa ini kita konsumsi, salah satunya adalah pengkategorian karakter dalam film Trilogi (2001) yang diambil dari Novel yang sama karya J. R. R. Tolkien (1954)
31
The Lord of The Ring yang masih kuat mengambil mitologi Eropa.
naluri, bakat, dan insting, sebuah kompleksitas yang dinyatakan dalam pengalaman dan perilaku karakter.; (4) Spesifikasi Keahlian (ipse-identity), konsep identitas yang terus berubah dan berkembang meski tetap memiliki dasar yang sama (idem), setiap tindakan saling berelasi dengan tindakan yang lain. Dalam rujukan premis Identitas Naratif, karakter merupakan objek yang harusnya valid, eksistensinya ditentukan oleh pola kisahnya, semakin banyak ‘pengalaman’ semakin penting pula perannya. Proses pembuatan validitas eksistensi karakter terbentuk dari bangunan arketipe, sehingga sebuah karakter tersebut memiliki; (1) Nilai Historis (intensional state), memiliki keyakinan-keyakinan (beliefs), hasrathasrat, teori-teori, nilai-nilai, dan sebagainya.; (2) Kemampuan dan Keahlian (normativeness), klaim tentang bagaimana seharusnya seseorang betindak.; (3) Posisi Sosial (hermeneutic composability), peran karakter dalam serangkaian peristiwa membentuk cerita, eksistensi karakter dipengaruhi oleh perannya dalam lingkungan.; (5) Sikap dan Perilaku (naluri, bakat, insting), relasi konflik dan perjalanan kisah secara menyeluruh dan ikonografinya secara personal. Pada (bagan 3), bisa terlihat, dari pendekatan wujud karakter, terbentuklah sebuah identitas personal, selanjutnya akan menjadi identitas sosial, sehingga dirinya menjadi sebuah ikon. Konsep realitasnya dibangun melalui landasan historis dan konvensi/ aturan, sehingga karakter yang telah terbentuk menjadi aktual, eksistensi yang valid.
Gambar 7. Pengarakteran ras dalam trilogi film LOTR: Fellowship of The Ring, (Ki-Kn Blk) Human (Aragorn), Human-Wizards (Gandalf), Elf (Legolas), Human (Boromir) dan (Ki-Kn Dpn) empat orang Halfling (Hobbits: Sam, Frodo, Merry, Pippin) dan seorang Dwarf (Gimli) Sumber: Dida Ibrahim A. (2009)
Seperti yang pernah dikembangkan dalam penelitian sebelumnya (2009) oleh penulis, Arketipe sebagai pendeketam teori meliputi pokok-pokok psikologis sebagai alat pembagi sifat-sifat alami berbagai jenis motivasi dasar dari karakter. Karakter merupakan sosok yang dianggap memiliki motivasi dan kehendak untuk melakukan sesuatu. Rujukan ini dilakukan untuk menemukan ranah identitasnya, sebagai konsep karakter yang memiliki peran. Proses pembentukan karakter berdasar rujukan arketipe ini bisa dilihat pada (bagan 2) dengan tahapan berikut; (1) Secara Jalan Cerita (referenciality), dia menunjuk pada konstruksi budaya, seting lingkungan, dan sejarah.; (2) Perwujudan Visual (canocity and breach) merepresentasikan struktur tema, pengarakteran, motivasi, dan ekspresi.; (3) Sifat Dasar (idem-identity), identitas yang berasal dari perluasan fenomena
32
Dalam konsep pembuatan karakter berbasis cerita, dia dibebani oleh konsep keseluruhan jalan cerita yang terkonstruksi. Dalam konsep simulakra; (1) Ruang dan Waktu (narrative diachronicity) secara naratif telah mengambil tempat dan waktu tertentu.; (2) Biografi (narrative accrual), merupakan hasil akumulatif dari beberapa cerita. Satu cerita baru menambah dan melengkapi cerita sebelumnya.; (3) Peran (context sensitivity and negotiability), menyaratkan adanya negosiasi peran antara pemilik cerita, teks dan pembaca, termasuk peralihan dari sebuah konteks ke naratif, serta ide-ide penundaan ketidakpercayaan atau keraguan terhadap jalannya cerita.; (4) Pekerjan (kategorikal), Hubungan antara kategori dengan objeknya menentukan jenis objeknya, termasuk atribut, karakteristik, ciri-ciri, dan keterhubungannya dengan objek lain. Perwujudan karakter telah merepresentasikan motivasi, dan hasrat (Bagan 4). Melalui pendekatan dan rujukan teori arketipe, identitas naratif, dan simulakra, secara praktis, proses perancangan sebuah karakter yang muncul dalam sebuah kisah bisa kita liat pada bagan 5. Pada relasi bagan tersebut, sebuah karakter bisa ditelusuri jejakjejaknya secara visual. Kumpulan referensi karakter, kisah, dan lingkungan beserta dengan karakteristiknya menjadi rumusan data yang diapropriasi, terurai ke dalam kelompok-kelompok data baru ke dalam kategori-kategori yang telah ditentukan/ dirancang sehingga terbentuk karakter baru yang memiliki watak, peran, serta ruang dan waktu yang
ditempatinya. Karakter tersebut menjadi sebuah sekumpulan teks yang terhubung dengan asal-usulnya (hypertext), baik dalam cerita dimana karakter tersebut dihadirkan sebagai penjelas peran dan posisinya, juga terhubung dengan jejakjejak dari kumpulan teks referensinya. Metode ini juga sekaligus membuka kemungkinan bentuk-bentuk baru tanpa ‘melanggar’ konvensi yang sudah mapan, karena dalam beberapa kasus, pengolahan materi-materi tradisi seolah memiliki ‘tabu’ membatasi ruang geraknya dalam menemukan kebaruanya. Dalam pengelompokan karakter Wayak Golek Purwa5 bisa dilihat beberapa rincian bentuk khas yang sudah menjadi konvensinya (sampling). Data sampling yang telah terkumpul akan menjadi referensi visual yang akan dikembangkan pada karakter tertentu, disesuaikan dengan gagasan yang masih memiliki keidentikan dengan karakter yang ada pada Wayang Golek tersebut.
Gambar 8. Pandawa 5 (Kr-Kn. Nakula, Bima, Yudhistira, Arjuna, Sadewa), Karya Rhyan Prastian Sumber: Dokumentasi Peneliti
PENUTUP Sebagai bagian dari upaya apropriasi bentuk, pengkategorian dan karakteristik yang melekat pada Wayang 5
Lihat pembahasan Bentuk, Tokoh, dan Karakter Wayang Golek.
33
Golek dikembangkan secara tunggal, masih terkait dengan kisah orisinalnya, akan tetapi tidak terlepas dari konvensinya. Dipresentasikan dalam bentuk kartun realis dan belum masuk pada konsep kisah yang utuh, sehingga karakter yang telah dibuat tersebut tidak memiliki konsep ruang dan waktu di mana karakter tersebut berada. Untuk menjadikan karakter tersebut menjadi bagian dari gagasan yang utuh, masih perlu mempertimbangkan konsep lingkungan (environment) dan kemungkinan pengembangan kisahnya.
Takwin, Bagus, 2007, Psikologi Naratif: Membaca Manusia Sebagai Kisah, Yogyakarta: Jalasutra, Sumber PDF: Abdurrahman, Dida Ibrahim, 2009, Studi Karakter Pada Game Simulasi Kategori Role Playing Games: Studi Kasus Terhadap Konsep Karakter Pada Neverwinter Nights, FSRDITB, Blatner, Adam, M.D., 2004, The Relevance Of The Concept Of "Archetype", University of Louisville School of Medicine, http : / / www . blatner . com / adam /papers.html
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Website: http://yhoenyulia.blogspot.com/2012/09/peneli tian-deskriptif-daneksplanatif.html
Sumber Buku: Aldin, Alfathri, 2006, Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif, Yogyakarta: Jalasutra, Atja & Saleh Danasasmita. 1982. Siksa Kanda Ng Karesian, Musium Negeri Jawa Barat. Bandung, Salmun, M.A. 1961. Padalangan. Jakarta : Dinas Penerbitan Balai Pustaka
http://harivernandez.blogspot.com/2012/ 11/sejarah-wayang-golek.html
Audifax,2005, Mite Harry Potter: Psikosemiotika dan Misteri Simbol Di Balik Kisah Harry Potter, Yogyakarta: Jalasutra,
http://uunhalimah.blogspot.com/2008/06/wayanggolek-jawa-barat.html
http://zhanschepotz.blogspot.com/2010/1 0/pengetahuan-tentang-wayanggolek.html
http://www.senawangi.org/index.php?opt ion=com_content&view=article&i d=100&Itemid=216&lang=id
Baudrillard, Jean, 1994, Simulacra and Simulation, Michigan,
http://www.wayangbocor.com/?lang=id
Hedgpeth, Kevin; Missal Stephen, 2006, Exploring Character Design, Thomson Delmar Learning, Piliang, Yasraf Amir, 2004 Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra. Synnott, Anthony,2007, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, Yogyakarta: Jalasutra,
http://www.bluefame.com/topic/187229wayang-asliindonesia/page__st__20 www.museumwayang.com https://dwihimura.wordpress.com/categor y/depkominfo/ http://wayanggolek.info/page/5
34
LAMPIRAN
Gambar 4. Karakter Son Goku dalam Kisah Komik Jepang “Dragon Ball” Sumber: http://xyelkiltrox.deviantart.co m/ art/Son-Goku-Definitivo404239475
Gambar 5. Karakter Sun Gokong (Sun Wukong) dalam Novel Cina “Hsi Yu Chi” Sumber: http://desmond.imageshack.us/ Himg31/scaled.php?server=31&filenam e= tongbiyuanhou.png&res=medium
Gambar 6. Karakter Hanoman dalam Kisah Wayang Golek “Ramayana” Sumber: https://wayang.files. wordpress.com/2010/08/hanoma n-2.jpg
Bagan 1. Pembuatan konsep visual/ estetika karakter Sumber: Dida Ibrahim A. (2009)
Bagan 2. Proses Pembuatan Arketipe Karakter Sumber: Dida Ibrahim A. (2009)
35
Bagan 3. Proses Pembuatan Validitas Eksistensi Karakter Sumber: Dida Ibrahim A. (2009)
Bagan 4. Proses Simulakra dalam Penyiasatan Logika Realitas Sumber: Dida Ibrahim A. (2009)
Bagan 5. Proses Apropriasi Karakter Sumber: Dida Ibrahim A. (2014), Gatot Kaca (Rhyan Prastian, 2013)
36
PERANCANGAN MOTIF BATIK INDRAMAYUAN Didik Desantoˡ, Khoirul Mustakhim² Program studi Kriya Seni, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung
Abstrak Oncom Merah dan oncom hitam adalah makanan olahan khas Jawa Barat. Makanan ini adalah produk fermentasi yang dilakukan oleh sejenis kapang. Kapang tersebut dalam biological name disebut neurospora sitophila dan rhizopus oligosporus. Kedua jamur tersebut punya daya tarik eksotik jika dilihat melalui miskroskop, guratan-guratan dalam spora neurospora sitophila mirip isen-isen pengisi dalam sebuah motif. Sporangiophore yang mirip sulur-suluran, serta sporangium mirip bunga-ngaan yang ada pada rhizopus oligosporus mempunyai kemiripan sering kita dijumpai dalam unsur-unsur ornamen. Pengaplikasian kedua jasad renik kedalam unsur batik merupakan salah satu usaha kreasi untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan demikian akan memperkaya khazanah motif batik Indramayu dari beragam motif batik yang sudah ada. Penggunaan langgam batik Indramayu dimaksudkan sebagai wadah stilisasi ritmik. Ini dimungkinkan batik Indramayu lebih dinamis dan terbuka dalam menerima pengaruh (open Influence) di banding dengan motif batik dari daerah lain. Kata kunci:Aplikasi, Batik Indramayu, Spora
umumnya tergolong Zygomycete, Ascomycetes, dan Deuteromycetes, pada umumnya menjadi saprob, tetapi banyak pula yang menjadi parasit tanaman (Ibid, 2003 : 205). Kapang ini banyak dijumpai di dalam produk makanan yang sudah di fermentasi salah satunya adalah oncom. Produk makanan yang popular di Jawa Barat. Ontjom is prepared in Indonesian by fermenting peanut (ground nut) press cake with neorospora sitophila (Beuchat, 1975 :195). Red Head (1989:16), menambahkan , “Indonesian Oncom is made by fermenty dehuled partially cooked soybean cotycedont with mould, generally of the genus Rhizopus. Oncom yang kerap dijumpai ada dua jenis oncom merah dan oncom hitam. Oncom merah didegradasi oleh kepang oncom Neurospora sitophila
PENDAHULUAN Looking for something new itulah sepenggal lagu dari grup musik legendaris Deep Purple yang mengilhami penulis untuk melalukakan sedikit terobosan dalam memberikan warna baru dalam dunia batik terutama dalam corak hiasnya. Memanfaatkan ilmu dari disiplin ilmu yan berbeda (untilizing two different disciplines) yang akan coba penulis kaji kali ini adalah ilmu bidang biologi dan ilmu bidang seni. Mirkrobiologi adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mendalami seluk beluk kehidupan mikrob, terutama bakteri, kapang, kharmir, protozoa dan virus (Mien, 2003 : 207). Salah satu kehidupan mikrob yang akan di kupas adalah kapang. Kapang (mould) jamur renik dengan miselium dan spora jelas,
37
sedangkan oncom hitam didegradasi oleh kapang tempe Rhizopus Oligoporus (Astana, 2009 : 21). Oncom merah biasanya terbuat dari bungkil tahu, yaitu kedelai yang sudah diambil proteinnya dalam pembuatan tahu, sedangkan oncom hitam biasanya terbuat dari bungkil kacang tanah yang kadang dicampur dengan ampas singkong Batik adalah salah satu produk seni dari Jawa yang sudah dikenal ratusan tahun yg lalu. Batik is cloth that has been designed with hot wax and dye. Both the name and the method originated on the island of Java (Mary Reis, 1973:13). Pembuatan batik di Indonesia menunjukkan spectrum ungkapan seni yang amat beragam. Sebagai kain yang sejak dulu menjadi salah satu ungkapan budaya yang terpenting dalam masyarakat Jawa terutama dalam konteks adati (busana serta perangkat pendukung upacara), batik dewasa ini telah berkembang meluas ke dalam berbagai sector kebutuhan tekstil lainnya. (Anas, 2008 : 20) Sementara tetap bertahan sebagai sebuah seni, symbol dan komponen tradisi Jawa, Batik juga menjadi komoditas dalam bentuk bahan dasar untuk beraneka ragam kebutuhan masa kini seperti fahion, elemen pelengkap interior dan lain-lain. Ia diusahakan tampil mengikuti perkembangan mode, dibuat dengan aneka bahan dasar. Selama lebih dari 150 tahun terakhir, produksi batik terlibat dengan berbagai perkembangan gagasan, baik pada aspek estetik, teknologi maupun fungsionalnya. Eksistensinya juga tidak hanya terbatas sebagai sebuah entitas
local, tetapi juga merambah keruang kehidupan para pendatang. Bangsa Arab, Cina dan Belanda ikut menjadikan sebagai produk budaya dalam gayanya masing-masing. Kesemuanya menunjukkan suatu tradisi dan sebuah produk kebudayaan Indonesia yang tidak statis, melainkan senantiasa berada dalam dinamika sesuai dengan perkembangan lingkungan dan semangat zaman, sebagai konstruk dari integrasi tradisi dengan modernitas Batik Indramayu termasuk jenis batik pesisir jika dilihat dari jenis-jenis pola yang ada, Mayoritas motif batik yang digunakan di Indramayu hadir dalam kegiatan penangkapan ikan di laut. Motif batik di Indramayu banyak terdapat pengaruh besar dari gambar atau motif kaligrafi dari Arab, Cina atau daerah dari Jawa lainnya. Motif batik Indramayu disusun sangat dinamis, dan ritmis. Ciri yang menonjol pada batiknya adalah flora dan fauna yang diungkap secara datar, banyak bentuk lengkung dan garis yang meruncing, berlatar gelap dan banyak titik serta isen-isen Sedikit uraian tersebut mengispirasi penulis berkeinginan untuk bereksperimen mempadukan dua kutub tadi seni dan biologi kedalam bentuk motif batik dengan langgam Batik Indramayu. Batik Indramayu di maksud penulis karena strukturnya yang dinamis, ritmis dan sangat terbuka bagi pengembangan motif selanjutnya sedangkan oncom merupakan makanan khas Jawa Barat dipilih untuk mewakili muatan lokal perlu untuk diangkat meskipun visual yang ditampilkan hasil dari ilustrasi mikroskopik
38
Rhizopus Oligosporus atau oncom hitam biasanya dibuat dari bungkil kacang tanah yang kadang kala dicampur ampas singkong. Bungkil kacang tanah merupakan residu yang berasal dari kacang tanah yang sudah diambil minyaknya. Meskipun keduanya masuk dalam katagori limbah, tapi nilai gizinya masih cukup tinggi. Secara umum diketahui bahwa oncom merupakan produk olahan yang menggunakan proses fermentsi. Fermentasi adalah suatu proses metabolisme yang menghasilkan produkproduk pecahan baru dan substrat organik karena adanya aktivitas atau kegiatan mikroba. Dalam proses fermentasi melibatkan salah satu jenis kapang yaitu Rhizopus oligosporus. Rice-grouwn Rhizophus oligosporus Inoculum for tempeh or ontjom fermentation (Simon, 1974: 347) Dengan bantuan kapang ini biji kedelai mulai terlihat dipenuhi oleh serat-serat putih. Dalam waktu beberapa hari akan terlihat perubahan yang terjadi pada kedelai baik secara fisik maupun aroma dan rasanya. Proses pembentukan serat-serat putih itu akan timbul ketika kedelai di kondisikan pada suhu tertentu. Biasanya dalam praktiknya kedelai yang telah diberi ragi dibungkus menggunakan daun pisang ataupun plastik untuk mengkondisikan dalam suhu tertentu agar Rhizopus oligosporus dapat berkembang dengan optimal. Dengan kondisi ini diharapkan dapat diperoleh oncom dengan keriteria baik. Rhizopus oligosporus merupakan kapang dari filum zigomycota yang banyak menghasilkan enzim protease.
PEMBAHASAN DAN HASIL Rhizopus oligosporus Koloni berwarna abu-abu kecoklatan, dan mencapai tinggi 1 mm. Sporangiofor dapat tunggal atau berkelompok dengan berwarna subhialin hingga kecoklatan, muncul berlawanan arah dengan rhizoid yang sangat pendek, berdinding halus atau agak kasar, panjang hingga 1000 µm. Sporangia berbentuk bulat, berwarna hitam kecoklatan pada saat matang. Kolumela berbentuk bulat hingga semi bulat dengan bentuk apofise menyerupai corong. Sporangiospora berbentuk bulat, elip atau tidak teratur memiliki panjang 7 sampai 10 (24) mm, membentuk masa berwarna kecoklatan, bila tunggal berwarna subhialin, dan dinding halus. Khlamidospora banyak, dapat tunggal atau membentuk rantai pendek, tidak berwarna mengandung butir-butir granular, terdapat pada daerah hifa dan sporangiofor, berbentuk bulat, elip atau silindris, dan berukuran 7 sampai 30 µm. Spesies ini memiliki suhu pertumbuhan optimum 30 hingga 35 derajat Celsius.(Ganjar, 200:102) Rhizopus merupakan genus dari kelas Chycomcetes yang memiliki kemampuan menghasilkan spora seksual zygospora dan spora aseksual sporanglospora. Kemunculan spora (sporulasi) tersebut menyebabkan tempe atau oncom menghitam. Warna hitam itu terjadi setelah beberapa hari didiamkan dan akhirnya membusuk. (Sarwono, 2002:33). Cygomycetes merupakan jamur yang membentuk miselium tak bersekat. Salah satu jamur dari kelas chycomcetes adala kapang Rhizopus Oligosporus.
39
Rhizopus olisgosporus merupakan kapang pemecah protein dan lemak yang paling baik, (Sarwono, Ibid). Rhizopus olisgosporus banyak ditemui di tanah, buah, dan sayuran yang membusuk serta roti yang sudah kedaluwarsa.
Rowland, (200 : 270 ) menanbahkan, In the term of habitat, Neospora occurs must commonly in tropical and semi tropical areas, originating in burned subtrates, with the exception of Neuro Sitophila. Mengenai proses pembuatannya Read Head, (1989 : 22-23) memberikan penjelasan sebagai berikut “The residue is washed two or tree times in cold water and than drained through cheese cloth, it is pressed to remove excess liguid, cooked by steaming, and inoculated with an oncom mould ragi containing neurospora sitophila, the paste is pressed into bamboo frames, covered with banana leaves an incubated in the dark at 20-30 C for twenty four hours : The final product resemble tempe but is coloured orange. The proximate composition of oncom tahu”
Neurospora Sitophila Nama Neoruspora Sitophila berasal dari kata neuron (sel saraf) karena guratan-guratan pada sporanya menyerupai bentuk akson. sitos (makanan) dan philos (menyukai). Sebelum diketahui perkembangbiakan secara seksualnya, jamur ini masuk ke dalam kelompok Deuteromycota, tetapi setelah diketahui fase seksualnya (teleomorph), yaitu dengan pembentukan askus, maka jamur ini masuk kedalam golongan Ascomycota. Jamur merupakan merupakan tumbuhan tingkat rendah yang tak berklorofil sehingga tidak mampu membentuk makanan sendiri. Dalam sistem mata rantai makanan, jamur merukan makhluk konsumen. Untuk itu kehidupan jamur sangat tergantung pada substrat yang dapat menyediakan karbonhidrat, protein, vitamin dan senyawa kimia lainnya. Jamur menyerap menyerap zat makanan ini dari lingkungan hidupnya melalui system hifa dan miselium (Sarwono, 2009:32) Jamur neurospora ini berwarna jingga dan sering tumbuh ditempattempat yang baru dibakar dan pertumbuhannya amat cepat tetapi askosporanya membutuhkan perlakuan khusus, temperature dan kondisi lingkungan yang tepat untuk tumbuh sebagaimana dilakukan jamur sejenis lainnya.
Batik Indramayuan Letak geografisnya yang ada di daerah pesisir sangat berpengaruh pada beragam jenis pola yang ada. Posisinya yang berada di pesisir itu membuat batik Indramayu mengangkat motif flora dan fauna serta lingkungan laut. Sebagian besar motif digambarkan secara datar dan menggunakan banyak garis-garis yang meruncing. Hal senada juga dikemukakan oleh .. Ragam hias batik yang dikerjakan di desa nelayan sangat dipengaruhi oleh flora dan fauna sekitarnya, seperti Jarot Asem (buah asem Jawa) dan Dara Kipu. Ada juga yang dipengaruhi oleh alam laut seperti ganggang, Urang Ayu, Iwak Entong dan Sawat Ginting. Instead of the stylized adaption used in classical batik flower
40
and plant are in lifelike drawn and result of the coatstal manner location in the fregmet appearance of a fist and other sea animal. (Roojen, 1994:82). Secara historis keberadaan batik Indramayu diperkirakan mulai pada masa kerajaan Islam Demak (1527-1650) yang pada waktu itu banyak perajin batik dari Lasem hijrah ke Demak yang berlatar belakang politik dan Ekonomi (Suftiyaningsih, 2008 : 16) Batik indramayu sering disebut batik Dermayon dan banyak bertutur tentang kekayaan lautan setempat. Dominan adalah corak-corak ceria berbentuk udang, cumi, tumbuhan laut dan kapal, sebagaimana tampak pada batik, Iwak entong, Karang Gurdo, dan Bunga karang, Pengaruh Cina terlihat pada motif liong, motif Lokcan serta bunga-bungaan yang umum menghias keramik klasik Cina. (Ani, 2010:39) Batik Indramayu kerap memiliki latar berwarna muda seperti adanya pengaruh pelenturan dari keseluruhan warna motif batik. Penyusunan motif Indramayu disusun sangat dinamis, ritmis dan gaya perpaduan ragam hias Cina (Hasanudin, 2001 : 157). Pendapat lain dikemukakan pula oleh Azyu (2008 : 623) Ciri khas batik Indramayu adalah motif kapal dan laut, yang bercerita tentangseorang istri yang ditinggal melaut oleh suaminya yang tak kunjung dating. Akhirnya sang istri membuat batik dengan motif sekitar laut: seperti: kapal jarring, dan tumbuhtumbuhan laut. Warnanya lebih natural atau sesuai dengan warna laut dan alam sekitar, seperti biru langit dan biru laut. Desain tersebut melukiskan kodisi emosinya yang gundah gulana, dilanda
perasaan rindu akan kehadiran sang belahan jiwa. Demikian sebagian contoh kisah dibalik kain batik yang kerap merupakan wahana ekspresi jiwa seorang pembatik HASIL
Bentuk pertama dari aplikasinya adalah memadukan antara gambar ilustrasi miskrokspik dari rhizopus dengan motif iwak entong. Motif Iwak entong adalah nama sejenis ikan yang sering ditangkap oleh para nelayan. Selain ikan entong ada beberapa hewan laut yang mengisi komposisi motifnya diantaranya, udang, cumi, kepiting, uburubur dan lain-lain.
Gb 1. Aplikasi Jamur Rhizopus pada Motif Iwak Entong
Bentuk kedua adalah aplikasi jamur neurospora sitophila pada motif lokcan (bahasa Cina: Lok = biru, can = sutra), motif utama lokcan adalah stilisasi dari dari burung Hong atau Phoenix, kadang diselingi dengan burung kecil seperti wallet serta aksen flora dan fauna sebagai unsur harmoni
41
DAFTAR PUSTAKA Ani Yudhoyono, 2010, Batikku: Pengabdian Cinta tak Berkata, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Davis. Rowland, 2000, Neurospora: Contribution of a model Organism, Oxford : Oxford University Press Gb. 2. Aplikasi Jamur Neuros pada Motif Lokcan
Made Astawan, 2009, Sehat dengan Hidangan Kacang-kacangan, Jakarta : Penebar Swasembada
PENUTUP Uraian di muka telah menunjukkan bahwa penggalianpenggalian dari unsure-unsur budaya local yang terkandung dalam makanan khas tradisional yaitu oncom untuk dapat diangkat menjadi sumber inspirasi, meskipun ujud dari topic yang diangkat tidak langsung biasa dilihat dengan mata telanjang. Melalui gambar-gambar ilustrasi miskrokospik nampaklah betapa estetiknya spora-spora tersebut. Sulursulur(sporangiofor), serta akar-akar(hifa rizoid) dan bunga spora(sporangium) pada rhizopus. Begitu pula eksotiknya guratan-guran pada neurospora menjadikan spora oncom ini mempunyai ciri dan karakter yang luar biasa Langgam batik Indramayu dinilai dari motifnya sangatlah tepat sebagai ungkapan aplikasi ritmis karena motif ini dinilai sangat terbuka, adaptif sehingga pemberian motif-motif atau unsur-unsur yang baru seperti spora oncom bukanlah hal yang perlu diperdebatkan justru akan menambah nuansa-nuansa baru bagi pengkayaan khazanah dan perkembanagn batik Indramayu itu sendiri
Mien A Rifai, 2003, Kamus Biologi, Jakarta: Balai Pustaka Indrawati Ganjar, 2000, Pengenalan Kepang Tropik Umum, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Red Head. J.MS.,, 1989, Utilization of Tropical Food: Tropical. Oil. Seeds, Paper FOA Food and Nutrion Reis. Mary,1973, Batik and Tie Dye Techniques, New York : Dover Publication Inc. Rusmin. Simon, 1974, Rice Grown Rhizopus Oligoporus Inoculum for Tempeh Fermentation, dalam Jurnal Applied Microbiology, volume 28 September 1974 Sarwono. Bambang, 2009, Usaha membuat Tempe dan Oncom, Jakarta : Penebar Swadaya. Suftiyaningsih 2008, Batik Tatar Sunda, Bandung: CV. Kandi Makarya
42
CAT LUKIS ALAM (NATURAL PIGMENT): RELASI ANTARA KENYATAAN ALAM, SENIMAN (KREATOR) DAN PROSES KREATIF Zaenudin Ramli¹; Teten Rohandi² Program Studi Seni Rupa Murni, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung
Abstrak Praktek seni lukis modern dalam penggunaan mediumnya lebih mengedepankan cat minyak (oil canvas) dan cat akrilik (acrylic). Nilai dan makna tersebut secara konsep telah menjadi arus utama dan menghiasi dalam sejarah seni lukis modern Barat, termasuk adaptasinya dalam praktek seni lukis modern dan kontemporer Indonesia. Di sisi lain kita bisa menyimak, bahwa penggunaan cat minyak (oil) dan akrilik (acrylic) yang sering disebut jenis cat polimer sintetik. Dalam prakteknya secara kimiawi mengakibatkan efek samping terhadap kesehatan dan kerusakan lingkungan. Penelitian yang berjudul: Proses Kreatif Pada Cat Lukis Alam (Natural Pigment) Sebagai Medium Alternatif pada Model Praktik Studio Seni Lukis berupaya membuat model alternatif dengan memaksimalkan cat lukis alam (natural pigment) sebagai medium yang sarat akan nilai-nilai tradisi dan kelokalan. Model penelitian ini bertujuan untuk memaksimalkan kerja praktek studio seni lukis khususnya yang terjadi di jurusan seni murni di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Kata kunci: seni lukis modern, oil canvas, acrylic dan cat lukis alam (natural pigment)
PENDAHULUAN Pengaruh seni lukis modern Barat secara tidak langsung turut mempengaruhi perkembangan seni lukis modern Indonesia. Salah satu karakter yang mencolok dari seni lukis modern Barat yakni penggunaan medium seperti oil canvas dan acrylic. Kenyatannya di Indonesia para pelukis lebih banyak menggunakan medium cat lukis yang menggunakan bahan dasar polimer sintetik. Di sisi lain penggunaan bahan dasar polimer sintetik mengakibatkan ekses kerusakan lingkungan dan kesehatan bagi para pelukis. Berbagai cat yang digunakan dalam melukis seperti cair air, tinta, cat akrilik dan cat minyak. Cat adalah sebuah produk yang berbentuk
cairan maupun bubuk yang di dalamnya terdapat zat-zat pewarna, dan apabila diaplikasikan di atas permukaan sebuah benda akan membentuk suatu lapisan yang memiliki fungsi sebagai pelindung, dekorasi atau fungsi khusus yang dibutuhkan secara teknis (Wanda Listiani: 2012). Hal ini mengingat bahwa cat berbasis air lebih ramah lingkungan daripada cat yang berbasis minyak. Pada awal mulanya cat berbasis air hanya digunakan untuk cat lukis, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan menjadikan cat berbasis air dapat juga digunakan untuk cat tembok, cat kayu, cat mobil dan cat besi. Komponen utama dalam sebuah cat adalah perekat (binder), pigmen, pelarut (solvent) dan bahan tambahan (additive).
43
Mutu dari cat yang dihasilkan ditentukan dari pemilihan komponen – komponen cat, seperti perekat dan bahan tambahan yang tepat, sehingga dihasilkan cat yang bermutu baik. Oleh karena itu, perlu dikembangkan cat yang lebih ramah lingkungan dan tidak memiliki efek samping terhadap kesehatan.
relevan dalam kegunaannya bagi manusia saja. Alam sebagai properti, menjadi penyebab mengapa kewajiban manusia tidak mengikat kepada alam. Manusia masih menganggap bahwa sebagai spesies, homo sapiens dipandang sebagai penguasa yang mendominasi alam. Alam bukan hanya lingkungan tempat tinggal dari manusia. Melalui pendekatan fenomenologi kita menyadari bahwa alam terkait sebagai kesatuan entitas yang membentuk kesadaran subjek (Husserl: 1970). Fenomenologi lingkungan melihat alam sebagai subjek yang berintensional, dari perspektif ini manusia berkedudukan untuk menyibak kebenaran dari alam, dan bagaimana kebenaran tersebut berdampak pada penyibakkan dirinya tidak lagi sebagai subjek tetapi sebagai Dasein, atau subjek yang mengada (Heidegger: 1973). Metode fenomenologi Heidegger melihat bahwa manusia dengan dunianya adalah relasi yang tidak dapat dipisahkan. Kata In Der Welt Sein, atau Pengada-di-dalam-Dunia mengisyaratkan bahwa ada kesatuan fenomena yang hanya dapat dipahami dalam kerangka relasional subjek dengan dunia. Pengertian subjek dari ide Heidegger tentang Dasein menjadi teraksentuasi disaat ia dimasukkan ke dalam kerangka dunia, begitu pula dengan dunia atau alam, manusia dapat memahami lebih dalam apa makna keberadaan dunia baginya. Dasein adalah subjek yang secara sadar menentukan eksistensinya di dunia (Heidegger: 1973). Manusia hidup di dunianya tidak seperti entitas-entitas lainnya yang bertempat secara pasif di dunia, manusia mengerti di mana ia
PEMBAHASAN Relasi Ontologis Alam dan Seniman (Kreator) Pada kenyataannya manusia kerap mendominasi dan mengeksploitasi alam. Eksploitasi ini dianggap lumrah karena beberapa alasan, salah satunya adalah kemampuan rasional manusia. Rasionalisasi menyebabkan manusia memiliki justifikasi untuk menyedot segala sumber daya alam (LG Saraswati Putri, 2013: 229). Ada beberapa penyebab alasan kenapa alam dinilai oleh manusia bisa didomiansi dan dijadikan eksploitasi: 1. Alam sebagai suatu entitas nonrasional Seperti halnya dalam pandangan antroposentrik (Barat) yang menyatakan bahwa alam hanya berharga dalam konteks kegunaannya terhadap kesejahteraan manusia. Seorang penggagas ekologi bernama Aldo Leopold tahun 1994 menyatakan bahwa konsep konservasi seringkali digiatkan hanya dikarenakan kepentingan dan keuntungan manusia semata. 2. Alam sebagai properti Alam dianggap tidak memiliki nilai intrinsik, ia hanya menjadi
44
sekarang berada. Manusia tidak dapat dipisahkan dari dunianya.
mampu menghasilkan produk baru. Pola pikir yang demikian dapat dikatagorikan sebagai cara berpikir lateral (Bono: 1989). Pola berpikir secara lateral umumnya dapat diartikan sebagai suatu sikap atau suatu cara yang menggunakan pikiran yang efektif, namun menghasilkan gagasan optimal. Melalui metode berfikir, memori pola pikir manusia diajak untuk selalu mencari alternatif-alternatif guna membuka solusi, sebab berpikir lateral berhubungan dengan pengalaman, kreativitas, dan humor. Ke-empat proses tersebut (berpikir lateral, pengalaman, kreatifitas, dan humor) mempunyai basis yang sama, akan tetapi, bila pemahaman, kreativitas, dan humor, maka berpikir lateral adalah sesuatu proses yang lebih disengaja. Proses berpikir seperti ini sama definitifnya dengan menggunakan pikiran atau berpikir logis-tetapi dengan cara yang berbeda (Bono,1989;9). Proses kreatif seni berpikir lateral bukan suatu sistem baru yang timbul secara tiba-tiba seperti permainan sulap (magic), tetapi merupakan suatu cara dalam menggunakan pikiran. Berpikir lateral adalah suatu sikap atau pendirian berpikir. Pada prinsipnya, berpikir lateral merupakan cara khusus untuk melihat dan menentukan satu iantara banyak kemungkinan pilihan alternatif lain. Berpikir lateral berhubungan dengan sikap untuk menentukan satu diantara sekian banyak alternatif dengan cara membangun dan menyusun kembali berbagai informasi yang ada. Bepikir lateral lebih mengarah pada gerakan kesamping guna mengembangkan polapola alternatif. Dengan cara yang demikian, dimungkinkan untuk diperoleh
Proses Kreatifitas Seni & Berpikir Lateral melalui Cat Lukis Alam (Natural Pigment) Dalam proses menuju penciptaan karya seni banyak dilakukan kreator yang menentukan pendekatan ide gagasannya, misalnya dengan coretan pada lembaran kertas atau mencoba menyimpulkan dan menambah bila merasa kurang, ada juga yang langsung menuangkan ide pikiran untuk menentukan hasil karyanya. Dari berbagai aktivitas yang dilakukan tersebut adalah bertujuan untuk mengumpulkan data-data informasi yang diharapkan dapat mendukung suatu pemecahan. Aktivitas kerja pola pikir manusia merupakan elemen informasi yang di terima oleh panca indera kemudian diolah hingga menimbulkan interpretasi. Pola pikir yang selama ini dicanangkan pada proses kreatif dalam berkarya seni (khususnya seni rupa), sering menjadi hambatan dalam melakukan hal-hal yang baru. Artinya, proses penciptaan karya seni seringkali dibebani oleh suatu defenisi atau sistimatika yang vertikal (tradisional) (Sardjono: 2006). Dengan demikian sehingga karya seni yang diproduksi hanya sekedar mengubah bentuk bentuk tanpa membongkar dan membangun kembali secara konseptual. Gagasan baru penting untuk penciptaan karya-karya secara optimal yang dapat berupa keberanian mengubah tatanan lama, yaitu mengolah bentuk lama untuk mengembangkan kreatif, sehingga
45
pola-pola sebanyak mungkin, sehingga dapat ditentukan suatu pendekatan yang paling memberi harapan serta menguntungkan. Tujuan utama berpikir lateral adalah memandang sesuatu dengan cara yang berbeda, yaitu dengan cara membangun dan menyusun kembali pola yang lama guna menghasilkan pola yang baru, yaitu dengan cara membongkar pola lama kemudian menyusun kembali dan membangun bentuk-bentuk yang baru. Perbedaan yang paling mendasar antara pola pikir tradisional dan pola berpikir lateral adalah, bahwa pola berpikir lateral vertikal bersifat selektif, sedangkan pola berpikir lateral bersifat generatif. Berpikir vertikal berkaitan dengan pembuktian atau pengembangan pola konsepsi, sedangkan berpikir lateral berkaitan dengan pembangunan kembali pola seperti itu (pemahaman) dan pembangkitan sesuatu yang baru (kreatif). Berpikir lateral dan berpikir vertikal saling mengisi, dan keduanya diperlukan keterampilan (Bono, 1991;14). Dalam bahasa visual kaitannya dengan cara berpikir lateral akan memperoleh bentuk dan bangunan yang baru disamping makna yang universal. Pengertian universal adalah menyangkut bagaimana seorang audien menginterpretasikan suatu karya seni. Hal ini tergantung dari masing-masing pengamat sehubungan dengan kemampuan potensi dalam menangkap makna yang terkandung dalam setiap bentuk karya seni, namun demikian penting sebuah visi dan misi dalam setiap produk karya yang tujuannya adalah tercapainya suatu interpretasi. Sebab
setiap penikmat karya mempunyai kemampuan persepsi yang berbeda. Bahasa visual, seperti halnya bahasa sastra, dimana seorang komunikan menyampaikan ide gagasannya kepada audien melalui simbol-simbol atau unsur-unsur seni rupa yang bertujuan agar khalayak (audien) yang melihat dapat memahami dan terpengaruh. Bahasa visual merupakan simbol-simbol bahasa yang berupa gambar dan bertujuan untuk menyampaikan ide gagasan kepada khalayak. Maksud dan tujuan bahasa gambar adalah agar dalam proses komunikasi terjadi suatu hubungan antara komunikan dengan khalayak. Adapun bahasa gambar secara visual dapat dikatagorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu: Representationally, Symbolically, dan Abstractly (Dondis,1974:65). Tujuan utama diterimanya gagasan tersebut oleh pengamat adalah mudah diingat dan teraturnya penyimpanan dalam setiap memori pengamat. Untuk mencapai hal tersebut sangat penting adanya suatu pemahaman tentang prinsip-prinsip berkarya seni, yaitu: sesuatu yang mudah bergerak untuk memberi bentuk perhatian, memberi suasana lingkungan, kepekaan terhadap benda-benda yang mempunyai permukaan (teksture), jenaka, imaginasi, nomor yang ditentukan dengan jumlah angka-angka, memberi hubungan yang melekat, perbedaan warna pada tekanan permukaan, tatanan atau susunan yang rapi dan mudah didingat, perbuatan baik atau bersifat positif, dan mempunyai daya rangsang yang berlebihan.
46
Listiani, Wanda. 2012. Eksperimen cat lukis diatas kertas daluang dari ekstrak warna hijau pada famili daun suji dan pandan : studi awal material fine art berbasis muatan lokal, Penelitian Muatan Lokal, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.
PENUTUP Kesimpulan Aspek kesadaran seniman (kreator) yang mempunyai kesadaran dasein di alam serta hubungannya dengan proses kreatif yang ditunjukkan upaya berpikir lateral sangatlah dibutuhkan. Upaya ini menghubungkan bagaimana seniman mempunyai kepedulian lingkungan terhadap alam tanpa harus kehilangan kreatifitasnya. Dalam praktik seni lukis pada umumnya, yang memakai cat minyak dan cat akrilik yang tidak lain dapat menyebabkan kerusakan lingkungan alam dan kesehatan. Perlu upaya memakai kemungkinan alternatif dengan memakai cat lukis yang tidak menyebabkan aman pada lingkungan, yaitu dengan memakai medium cat lukis alam (natural pigment). Peneliti menggunakan sekaligus mengaplikasikan cat lukis alam (natural pigment) pada proses kreatif berkarya seni lukis, khususnya dalam perkuliahan studio lukis di jurusan seni murni, STSI Bandung. Dalam perjalanan prosesnya peneliti telah melihat penggunaan cat lukis alam mempunyai keunggulan sebagai berikut: Pertama, aman terhadap lingkungan (humanisasi), kedua unsur kimiawi tidak ada, serta mempunyai karakter artistik yang khas yang bisa memberikan alternatif pada proses kreatif dan berpikir lateral.
Permadi, Tedi. 2012. Penelusuran Pemanfaatan Daluang di Nusantara. Seminar Pemanfaatan Daluang sebagai Bahan Pembuatan Ulantaga, 16 Mei 2012, Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram, Bali. Putri, Saraswati. 2013. Dimensi Ontologis Relasi Manusia dan Alam, Sinopsis Disertasi Program Pascasarjana Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Upe, Ambo dan Damsid. 2010. Asasasas Multiple Resesearches : Dari Norman K. Denzin hingga John W. Creswell dan Penerapannya, Yogyakarta : Tiara Wacana.
DAFTAR PUSTAKA Heidegger, Martin. 1973. Being and Time, UK: Oxford Basil Blackwell. Husserl, Edmund. 2012. Ideas, Great Britain: Routledge Classic.
47
PAIBUAN DALAM RITUAL SANGHYANG SRI Asep Jatnika Program Studi Seni Tari, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah batu no 212 Bandung
Abstrak Paibuan bagi masyarakat Cikubang mempunyai peran yang sentral dalam ritual. Paibuan berasal dari kata ibu yang dijadikan sebagai panutan, mengandung arti seorang wanita yang dipercayai masyarakat Cikubang untuk memimpin Ritual Sanghyang Sri. Paibuan sebagai orang yang dituakan karena mempunyai peran ganda, dalam satu sisi dia sebagai pemimpin ritual disisi lain sebagai shaman / dukun, jadi yang dipercaya sebagai Paibuan adalah orang yang mampu menguasai yang hubungannya dengan dunia spiritual. Sanghyang Sri dipercaya masyarakat sebagai dewi kesuburan, Padi sebagai simbol yang harus dihormati dan dipupusti, karena dianggap sebagai sumber dari segala kehidupan yang akan membawa berkah keselamatan, kesehatan, rejeki yang melimpah, serta kesuburan. Ritual mapag Sanghyang Sri di masyarakat Cikubang, berawal dari adanya masa krisis hasil pertanian atau paceklik, sehingga masyarakat mengalami krisis pangan terutama padi. Awal dari peristiwa tersebut secara psikologis terjadi keresahan, sehingga mengakibatkan traumatik bagi masyarakat. Perilaku masyarakat terhadap peristiwa yang terjadi misalnya dengan munculnya suatu kepercayaan terhadap mitos yang berhubungan dengan Dewi kesuburan dalam hal ini Sanghyang Sri. Seni Koromong sebagai media ritual Sanghyang Sri merupakan produk kreatif berkaitan dengan kompleksitas kehidupan masyarakat yang memuat peristiwa sosial berhubungan dengan kehidupan petani. Seni koromong di Cikubang memiliki ciri khas dan keunikan, sehingga menjadi suatu kebanggaan dalam kehidupan masyarakat pertanian. Koromong sebagai sarana pengesahan identitas masyarakat pendukung, dari sisi lain sebagai sarana untuk memperkuat solidaritas, juga sebagai sarana pendidikan, pergaulan, serta hiburan. Kata Kunci : Paibuan, Sanghyang Sri, Koromong
PENDAHULUAN Paibuan untuk masyarakat Cikubang merupakan hal yang tidak asing, karena mempunyai peran yang signifikan dalam ritual Sahyang Sri. Paibuan berasal dari kata ibu, mengandung arti seorang wanita yang dipercaya masyarakat untuk memimpin upacara mapag Sanghyang Sri. Paibuan merupakan orang yang dituakan karena mempunyai peran ganda, dalam satu sisi dia sebagai pemimpin upacara disisi lain sebagai shaman / dukun, jadi yang diangkat sebagai paibuan adalah orang
yang mampu menguasai yang hubungannya dengan dunia gaib (supranatural). Keberadaan paibuan dalam seni Koromong pada intinya sebagai media komunikasi masyarakat dengan para leluhur yang paling utama Sanghyang Sri. Cikal bakal keberadaan seni koromong di Cikubang pada dasarnya terusung oleh peristiwa yang berbau kepercayaan animisme, dinamisme, dan tetomisme juga adanya proses pembauran sistem kepercayaan dengan agama. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Tylor, bahwa
48
semua agama berasal dari evolusi kepercayaan. Animisme terutama tersebar di antara golongan penduduk yang hidup dari pertanian. Animisme seringkali sejajar dengan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Animisme mengisi kekosongam iman ketuhanan dengan mengkhayal dewa – dewi dan roh pengantara ( Subagja, 1981:76). Kepercayaan yang berbau animisme sebagian besar berkembang dikalangan rakyat dan sedikit kemungkinan berkembang dikalangan para bangsawan, sehingga sesungguhnya bentuk – bentuk seni di daerah Cikubang awalnya lahir dari kalangan rakyat sebagai hasil dari ritus pertanian . Bentuk upacara yang dilakukan oleh masyararakat Cikubang diantaranya ritual Sanghyang Sri bagi mereka memiliki kedalaman makna simbolis yang bersifat memperkuat motivasi dan menetapkan suasana hati bagi pendukungnya (Geerzt, 1992:5). Sebagai sistem komunikasi simbolik, pemahaman atas ritual yang di dalamnya terdapat kandungan makna,dapat diinterpretasi bahwa ritual adalah pernyataan yang bersifat simbolik sebagai sistem komunikasi yang mengkomunikasikan keyakinan pengikutnya kepada sekalian orang (Radam, 2001:2). Upacara merupakan wujud nyata dari kepercayaan pendukung upacara tersebut, karena upacara adalah upaya untuk membenarkan keyakinan masyarakatnya terhadap suatu yang dikultuskan. Kesenian bagian dari integral dari suatu kebudayaan dan merupakan bagian dari pola perilaku kehidupan masyarakat, serta memiliki fungsi untuk membantu
manusia mencapai kehidupan spiritual yang penuh kedamaian dan kesejahteraan sebagai tujuan hidup. Kesenian tidak pernah lepas dari masyarakatnya, sebagai salah satu bagian penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri ( Khayam, 1983:111). Dengan demikian, bagi masyarakat yang masih teguh terhadap kearifan tradisinya menempatkan kesenian sebagai bagian dari kebudayaan, bagian dari kehidupan masyarakatnya dan perwujudan dari ekspresi estetik manusia sehingga kesenian mempunyai fungsi yang sangat mendasar, seperti Seni Koromong dalam ritual Sanghyang Sri. PEMBAHASAN A. Paibuan Perempuan Pinilih Sosok perempuan dalam kehidupan sosial memiliki peran yang sangat signifikan perempuan berasal dari kata per-empu- an memiliki arti induk/pangkal kehidupan (Lukman ali, 1995). Sosok Perempuan Sunda berasal dari kata Sundari yang artinya perempuan yang cantik jelita, bukan dari fisiknya saja juga kwalitas moralnya (H.R. Hidayat Suryalaga;2006:9).Ada suatu istilah dalam bahasa Sunda yang memposisikan ibu sebagai hal yang paling utama “Munjung ulah ka gunung muja ulah ka sagara munjung kudu ka indung muja kudu ka bapa”. Dalam mitologi Sunda peranan Sunan Ambu, Dewi Asri, Purbasari, Sebagai sosok perempuan mempunyai peran yang sangat sentral, kalau melihat pengertian di atas menunjukan bahwa posisi ibu sebagai perempuan lebih di Utamakan posisinya dibandingkan dengan posisi
49
laki-laki. Seperti halnya Paibuan sebagai sosok perempuan mempunyai peranan yang sangat sentral dalam Ritual Sanghyang Sri . Dalam ritus Sanghyang Sri memposisikan peran Paibuan sebagai sosok perempuan yang mempunyai kelebihan dari berbagai hal karena dari satu sisi merupakan represesntasi dari masyarakat, karena masyarakat menganggap Paibuan sebagai penjelmaan dari Sanghyang Sri. Istilah paibuan untuk masyarakat Cikubang merupakan hal yang tidak asing, karena mempunyai peran yang sentral dalam upacara Mampang Sahyang Sri. Paibuan berasal dari kata ibu yang dijadikan sebagai panutan, mengandung arti seorang wanita yang dipercayai masyarakat Cikubang untuk memimpin upacara mapag Sanghyang Sri. Paibuan merupakan orang yang dituakan karena mempunyai peran ganda, dalam satu sisi dia sebagai pemimpin upacara disisi lain dia juga sebagai shaman / dukun, jadi yang dipercaya sebagai Paibuan adalah orang yang mampu menguasai yang hubungannya dengan dunia gaib (supranatural), rata – rata usianya di atas 60 tahun dan sudah masuk masa tidak menstruasi (monopose). Seperti menurut pendapat Nandang Setiawan untuk menjadi seorang Paibuan adalah orang terpilih diutamakan berasal dari keturunan langsung tetapi tidak menutup kemungkinan berasal dari luar keturunan asalkan sudah memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan dan sudah dipercaya oleh masyarakat (wawancara, 16 September 2014). pendapat itu dipertegas dengan arti kebudayaan yang dikemukakan Berri (1999: 33), bahwa:
Kebudayaan diwariskan secara vertikal, horizontal dan miring. Pewarisan budaya secara vertikal adalah pewarisan budaya yang dilakukan dari generasi tua ke generasi muda melalui garis keturunan, atau garis kekerabatan yang dibentuk secara kelompok komunitas; Pewarisan budaya secara horizontal adalah pewarisan budaya yang dilakukan oleh individu atau kelompok tanpa batasan keturunan atau kekerabatan; Pewarisan budaya secara miring adalah pewarisan budaya yang diperoleh dari orang dewasa lain dan lembaga-lembaga tanpa memandang hal itu terjadi dalam budaya sendiri atau dari budaya lain.
B. Tari Sebagai media Ungkap Ritual Tari sebagai media ungkap ritual yang dibawakan oleh Paibuan dengan memainkan selendang digerakan dengan tarian halus seiring dengan iringan Koromong. Menari yang dilakukan Paibuan dalam peristiwa ritual merupakan ungkapan doa seperti halnya dalam ritual Sanghyang Sri, diantara wujud simbol yang terdapat dalam upacara adalah berupa benda atau aktifitas yang dapat dikategorikan sebagai seni, yaitu musik dan tari dalam media ungkap penyajiannya. Tari yang sifatnya monoton itu sebagai bentuk ungkap estetik dalam melakukan ritual, tari yang digunakan sebagai media ritual itu dapat dipandang sebagai wujud ekspresi simbolik para pendukungnya saat melakukan Tarian komunikasi transendental dengan mahluk gaib. Sebagaimana diketahui bahwa tarian yang dilakukan Paibuan dalam Koromong mempunyai peranan yang sangat dominan serta mempunyai kekuatan magi yang akan membangkitkan vitalitas baik pada
50
penari juga peserta ritual. Tari sebagai media ungkap dalam berkomunikasi antara masyarakat dengan Sanghyang Sri, seperti Clare Holt (2000: 124), mengemukakan: “ Di dunia yang belum beradab, tari adalah sebuah jampi-jampi pembebasan seperti nyanyian dan doadoa. Tari mengiringi upacara dari semua aspek penting dari kehidupan… kemakmuran dan kesuburan ditimbulkan dengan tari-tari pada penanaman dari permulaan siklus baru setelah panen”. Menari untuk keperluan ritual yang paling utama bukan susunan tarinya, atau garapan pola lantainya, bahkan siapa penarinya (cantik dan muda belia), yang pokok dalam masalah kegiatan ini adalah makna – makna simbolis yang mengibaratkan hubungan antara penari dengan mahluk gaib, roh halus, atau Sanghyang Sri , merupakan lambang – lambang makna kesuburan mengenai upacara kesuburan. Paparan R.M Soedarsono yang sangat menarik tentang tarian yang melambangkan kesuburan dalam tulisannya berjudul “Tayub di Akhir Abad ke-20”, sebagai berikut.
yaitu hubungan antara pria dan wanita. Hubungan ini masyarakat yang msih melestarikan budaya purba kadang – kadang dilakukan agak realistis. Sedangkan bagi . masyarakat yang sudah maju dilakukan sebagai simbolis. magi simpatetis yang mampu mempengaruhi pembuuahan atau kesuburan dapat dilakukan lewat tari dan drama tari (R.M Soedarsono, 1991:35).
C. Sanghyang Sri Dalam Kepercayaan Masyarakat Cikubang Beberapa pandangan dari para pakar tentang mitos seperti pendapat Sri Mulyono (1989: 28) menyebutkan bahwa mitos adalah ceritera-ceritera kuno yang isinya dianggap bertuah, berguna bagi kehidupan generasi ke generasi manusia serta dipercaya dan dijungjung tinggi oleh pendukungnya. Dijelaskan pula oleh Van Peurseuen ( 1976: 37), bahwa mitos itu memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan suatu pedoman bagi kebijaksanaan manusia.Pada masyarakat Sunda masih dijumpai sikap dan alam pikiran mistik yang percaya pada tempat keramat serta pada mahluk gaib yang ngageugeuh suatu tempat. Pada kekuatan gaib misalnya Sang Hyang Sri / Dewi Sri dianggap sebagai dewi kesuburan sebagai cikal bakal tanaman padi, sikap dan alam pikiran mitis ini sangat mendasari setiap warga masyarakat Cikubang. Mitologi Sang Hyang Sri yang berakar dari kepercayaan akan adanya yang melindungi tanaman padi dan dianggap sebagai pemberi kesuburan, serta dianggap sebagai ceritera yang dianggap suci oleh masyarakat Cikubang, terutama oleh kaum petani. Ceritera ini mengandung nilai dan makna dalam mendasari
Dalam budaya masyarakat agraris, kesuburan tanah merupakan satusatunya harapan yang selalu didambakan oleh para petani. Dalam benak petani tradisional sampai sekarang ini masih banyak terbesit sisa –sisa kebiasaan masa lampau yang dianggap sulit untuk ditinggalkan. Sadar atau tidak sadar mereka beranggapan, bahwa kesuburan tanah juga perkawinan tidak cukup dengan dicapai lewat peningkatan sistem penanaman baru, tetapi juga perlu diupayakan lewat kekuatan yang tak kasat mata. Kekuatan itu antara berupa magi simpatetis, yang hanya bisa didapatkan dengan perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuahan,
51
aktivitas masyarakat terutama kaitannya dengan budaya pertanian. Istilah Dewi Sri menurut Satjadibrata (1950: 350), Sri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Cri, yang berarti cahaya atau sari yang berarti inti. Sri menurut kepercayaan masyarakat Sunda khususnya masyarakat Cikubang adalah penjelmaan seorang Dewi yang membawa padi sehingga Nyai Sri ini selalu disamakan dengan ibu padi, selalu hadir pada setiap butir padi.
kepercayaan serta keyakinan tentang munculnya seni koromong yang tampak sangat berkaitan dengan budaya pertanian yang mana identik dengan Sanghyang Sri sebagai pelindung tanaman.
DAFTAR FUSTAKA Anderson,Stephen,K.1995.Sosiologi Makro, Sebuah pendekatan terhadap realitas sosial, edisi ke 2, Jakarta : PT Raja Grafindo persada.
PENUTUP Seluruh warga masyarakat Cikubang adalah pemeluk agama Islam yang taat, tetapi kepercayaan terhadap Sanghyang Sri tidak luntur bahkan menjadi lebih penting, terutama pengaruh terhadap keselarasan dan keseimbangan alam. Sejak pengaruh Islam masuk Islam lebih menekankan wewenang pria dan Nyi Pohaci tetap menjadi bagian dari wewenang kaum wanita. Dalam sistem kepercayaan tradisional Sunda, hal yang paling penting dalam keselarasan alam adalah menjaga keseimbangan antara wewenang kaum pria dan wanita. Hal ini tampak jelas dalam budaya pertanian di Sunda, dimana wewenang pria dan wanita dimunculkan dalam keseimbangan. Kepercayaan dan keyakinan masyarakat Sunda khususnya masyarakat Cikubang terhadap mitos Sanghyang Sri sangat mempengaruhi tindakan atau aktifitas mereka. Keyakinan itu memberi arah pada mereka tentang bagaimana memperlakukan padi, memperlakukan Dewi Sri, dan memperlakukan hal-hal lain yang berkaitan dengan mitos tersebut. Di dalamnya juga ada suatu
Berry, Jhon W. 1999. Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasi, Jakarta: PT. Gramdia Pusat Utama. Ekajati,Edi. 1980. Masyarakat sunda dan Kebudayaannya, Jakarta: Giri Mukti Pusaka. Greetz, Clifford.1992. Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius. Holt. Clare, 2000,. Art In Indonesia. Terjemanahan Soedarsono, Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Bandung. Kayam. Umar. 1983. Kreativitas dan Masyarakat, dalam Sutan Takdir Alisyahbana, Jakarta: PT Dian Rakyat. Poloma, M, Margaret. 2000. Sosiologi Kontemporer, devisi buku perguruan tinggi, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada. Peursen. C.A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan, edisi ke dua, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
52
Radam, Noerid Halaoi. 2001. Relegi Orang Bukit, Yogyakarta: Yayasan Semesta. Soedarsono, 1999. Tayub Di Akhir Abad Ke 20, dalam Soedarso SP,.ed.Beberapa catatan Tentang
Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta:BP.ISI. Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia, Jaya Pirusa. Jakarta .
53
RAGAM TABUHAN CARUKAN GAMBANG PADA GAMELAN SALENDRO Soleh¹; Asep Nugraha² Prodi Seni Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jalan Buahbatu No.212 Bandung
[email protected] &
[email protected]
Abstract The traditional xylophone Gambang had survived in the Sundanese community. It was over there for a long times but still developing until now. Although it was transformed as a tradition, Gambang performed dynamically, adapting to sociocultural Sundanese continuously. The Dynamically that instrument can be identified from the diversity of musical play, especially carukan play on embat dua wilet that integrated with Gamelan Salendro orchestration. Before this study completed. inventory study of various repertoire Carukan play isn’t no one has done. That reason was stoked to realize research activities with concerned to identify and classifying the various types of Carukan play on Gambang. The method used descriptive analytical with a comparative approach, where variety of carukan play on Gambang classified and identified on the aspects of the similarities and differences. The results are two variety of groups Carukan. There are Rangkepan Carukan and Carukan Salancar. Both groups identified into three groups based on the role of musicality play. Both groups identified into three groups based on the role of musicality play, that heading to the tone (1) panceran, (2) kenongan, and (3) goongan. Number of variety Carukan play on Gambang that identified from this study are 86 types of play. Key Word: Carukan, Gambang, Play, Variety.
sekarang. Permainan tabuhan Gambang yang menjadi ciri khas masyarakat Sunda yang biasa diaplikasikan pada Gambang Buhun, yakni tabuhan Carukan, beralkulturasi dengan Gambang Jawa yang tergabung dalam Gamělan Saléndro yang dibawa Mataram ketika menguasai Priangan. Pendek kata, masyarakat Sunda berhasil memperlakukan instrumen Gambang dari Jawa sebagai media pengaplikasian permainan Gambang Buhun, yakni tabuhan Carukan, sehingga seiring waktu
PENDAHULUAN Sudah sejak lama Gambang diperkirakan tersisih instrumen berbahan metal yang diproduksi masal ketika Nusantara mengalami jaman Logam. Namun perjalanan waktu membuktikan hasil terbalik, karena Gambang mampu survival, memposisikan diri bertahan menjadi Instrumen (Sunda: waditra) yang belum tergantikan hingga sekarang, beradaptasi dengan dinamika masyarakat Sunda. Bahkan luruh terintegrasi dalam sajian orkestrasi musik Gamělan hingga
54
menjelma menjadi identitas yang mencitrakan masyarakat Sunda dalam bermain musik Karawitan dari generasi ke generasi, yang berbeda dengan Karawitan Jawa. Fenomena tabuhan Carukan Gambang pada Gamělan ini berbuah stimulus bagi peneliti, sebagai Tenaga Fungsional Akademik (TFA), pengajar Mata Kuliah (MK) Gambang pada Prodi seni Karawitan6 Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, untuk mengkaji Gambang sebagai objek yang menarik untuk diidentifikasi, diklasifikasi, dikategorisasi, dirumuskan, dan dianalisis pada kajian aspek musikalitas (objek formal dalam penelitian adalah tabuhan Carukan). Aspek yang terbukti membawa Gambang tampil eksis karena konsisten pada wilayah domain musik yang mentradisi dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Sunda namun dinamis disaling-silangkan dengan kondisi Karawitan di Sunda yang tidak lepas dengan pengaruh difusi kebudayaan Jawa yang dibawa Mataram.
terikat pada satu grup rombongan seniman. Kemampuan bermain Gambang membawa Abdulah kerap dikontrak oleh berbagai rombongan kesenian lain 2. Instrumen Instrumen yang dilakukan dalam penelitian adalah: (1) Lembar observasi untuk menentukan penentuan seniman yang laik menjadi objek dan Lembar wawancara terhadap seniman narasumber; (2) Alat Rekam audio dan audio visual untuk mendokumentasi permainan garap musikal Mang Arie dan Mang Abdulah dalam memainkan tabuhan Carukan Gambang. 3. Prosedur Prosedur penelitian yang dilaksanakan meliputi: (1) Studi Pustaka yang dilakukan peneliti guna mendapatkan data atau bahan literatur sebagai data pendukung di lapangan, serta pendapat pakar mengenai permasalahan pada penelitian; (2) Studi Lapangan yang dilakukan dengan mengadakan hubungan langsung dengan objek yang diteliti, terdiri atas: observasi untuk melihat dan mendengar secara langsung bentuk penyajian Gambang dan Participant Observer: yaitu langkah yang diambil peneliti dari posisi outsider menjadi insider, dilakukan dengan mengadakan kontak langsung belajar menabuh Gambang kepada beberapa seniman yang telah dipilih; dan wawancara: digunakan untuk melengkapi bahan dan data yang diperlukan, teknik wawancara ini dilakukan terhadap beberapa informan yang kredibel dan ditentukan peneliti; (3) Data yang dikumpulkan, baik dalam bentuk lisan, rekaman, maupun tulisan,
Metode 1. Tempat Penelitian Penelitian lapangan dilaksanakan di dua lokasi yang terdapat di Kabupaten Bandung, yakni: (1) Rombongan Wayang Golék Giri Harja III pimpinan Ki Dalang Asép Sunandar Sunarya, di desa Jelekong Kabupaten Bandung, dengan seniman Gambang bernama Mang Arie; (2) di Soreang Kabupaten Bandung dengan seniman Uloh Abdulah, seorang seniman Gambang yang tidak 6
Karawitan adalah seni musik tradisional yang berada di Nusantara
55
dengan Gamělan Saléndro. Kedua ragam tersebut adalah tabuhan Salancar dan tabuhan Rangkěpan, yang diterapkan untuk menuju Pancěran, Kěnongan, dan Goongan. Masing-masing tabuhan menuju Pancěran, Kěnongan, dan Goongan, terdiri atas variasi yang disesuaikan dengan tujuan pada nada akhir, yakni 1 (Barang), 2 (Loloran), 3 (Panělu), 4 (Galiměr), dan 5 (Singgul). Lebih jelas mengenai variasi tabuhan beserta jumlah masing-masing varian pada tabuhan Carukan Salancar dan Carukan Rangkěpan dirangkum dalam (tabel 1) terlampir.
diorganisasikan dan ditelaah, diseleksi, agar teruji kebenarannya berdasarkan transkripsi dan pencatatan notasi; dan (4) Hasil seluruh proses pengolahan data yang dianggap teruji kebenarannya dijadikan sebagai bahan acuan dan disusun ke dalam bentuk tulisan laporan penelitian sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan. Hasil dan Pembahasan 1. Pembuatan Gambang dalam Gamělan Saléndro Selama penelitian ditemukan formulasi bahan kayu yang dianggap baik untuk membuat Gambang adalah kayu kelas I yang tahan dari benturan pukulan dan pengaruh cuaca serta rayap. Di samping itu ditemukan langkahlangkah membuat Gambang yang baik dari para seniman yang dijadikan objek penelitian, dimulai tahapan pembentukan kayu menjadi wilahan Gambang, tahapan membuat ancak, tahapan membuat panakol, dan pelarasan wilahan dengan nada-nada pada tangga nada Saléndro. 2. Teknik Penyajian Gambang Etika budaya Timur yang erat dengan palsapah dan tatakrama, yang diterapkan seniman saat menyajikan Gambang menjadi pembahasan yang diangkat dalam pembahasan, dimulai dari sikap duduk dan cara memegang alat tabuh (panakol). Hal ini menjadi penting mengingat hal yang dipandang sepele ini selalu luput untuk dituliskan dalam tulisan berdasarkan prinsip kerja ilmiah. 3. Ragam Tabuhan Carukan Gambang Penelitian berhasil mengidentifikasi 2 (dua) Ragam tabuhan Carukan Gambang yang dterapkan dalam aplikasi
PENUTUP Kesimpulan Penelitian berjudul Ragam Tabuhan Carukan Gambang Ěmbat Dua Wilět pada Gamělan Saléndro berhasil mengidentifikasi 167 varian tabuhan carukan dua orang seniman kredibel yang menjadi objek penelitian. Hal ini merupakan indikasi bahwa seniman Sunda dalam bermain musik adalah sosok yang penuh dengan daya imajinasi yang kreatif. Kekayaan tersebut berhasil didokumentasikan melalui transkip yang ditulis dalam laporan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Buurman, Peter. 1980. Wayang Golek: De Fascinerende wereld van het klassieke West-Javaanse Poppenspel. Amsterdam: A.W. Sijthoff. Chan, Wemby S & Titut Wibisono. 2006. Aneka Desain Pagar Kayu. Jakarta: Griya Kreasi. Danasasmita, Saleh. 1986. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan
56
National Park West Java: a Checklist including Sundanese Name, Distribution and Use. Bogor: Center for International Forestry Research.
Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Herdini, Heri. 1992. “Tabuhan Bonang pada Ensembel Degung: Tinjauan Musikologis Terhadap Lagu-Lagu Klasik.” Skripsi Sarjana. Medan: Universitas Sumatera Utara Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi.
Redaksi Trubus. 2010. Jabon Jagoan Kayu Produktif. Jakarta: Trubus Cipta Usaha. Depok: Trubus.
Hernawan, Dedy. 2003. Pengantar Karawitan Sunda. Bandung: Pusat Penelitian & Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional (P4ST) UPI.
Sumarna, Anang. 1986. Bandung: Angkasa
Bambu.
Supandi, Atik. 1985. Kamus Istilah Karawitan Sunda. Bandung: Satu Nusa.
Komarudin & Soleh. 2004. “Permainan Gambang Dalam Wayang Golek: Penggalian Kompetensi Kualitatif untuk Pengembangan Materi Bahan Ajar”. Bandung Proyek P2T STSI Bandung.
Suparli, Lili., Asep Nugraha, & Asep Nata. 2008. Peristilahan Karawitan: Penelitian Dasar Diksi Karawitan Sunda. Bandung: Sunan Ambu STSI Press.
Lubis, Lina Herlina. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Suryana, Tatang. 1978. “Membuat Gambang Secara Tradisional” dalam Buletin Kebudayaan Kawit. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Jawa Barat.
Niwie, Ani Adiwinata [ed]. Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan Kemanakah Arahnya Setelah Lebih dari Tiga Dasawarsa?. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Nugraha, Asep. 2007. “Seniman Kacapi Indung Meraih Kemampuan.” Tesis untuk memenuhi persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S2 Program Studi Pengkajian Seni Minat Musik Nusantara. Surakarta: Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI). Permana, R. Cecep Eka. 2006. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta Selatan: Wedatama Widia Sastra. Priyadi. 2010. Five Hundred Plan Species in Gunung Halimun Salak
57
LAMPIRAN Tabel 1: Ragam Tabuhan Carukan
Tabuhan Carukan
Ragam
Pancěran
Salancar
Kěnongan
Goongan
Pancěran
Rangkěpan Kěnongan
Goongan
Varian
Jml
Pancěran salancar menuju nada 1
4
Pancěran salancar menuju nada 2
7
Pancěran salancar menuju nada 3
4
Pancěran salancar menuju nada 4
5
Pancěran salancar menuju nada 5
6
Kěnongan Salancar menuju nada 1
8
Kěnongan Salancar menuju nada 2
5
Kěnongan Salancar menuju nada 3
7
Kěnongan Salancar menuju nada 4
6
Kěnongan Salancar menuju nada 5
4
Goongan Salancar menuju nada 1
4
Goongan Salancar menuju nada 2
7
Goongan Salancar menuju nada 3
4
Goongan Salancar menuju nada 4
5
Goongan Salancar menuju nada 5
6
Pancěran Rangkěpan menuju nada 1
7
Pancěran Rangkěpan menuju nada 2
7
Pancěran Rangkěpan menuju nada 3
4
Pancěran Rangkěpan menuju nada 4
4
Pancěran Rangkěpan menuju nada 5
7
Kěnongan Rangkěpan menuju nada 1
8
Kěnongan Rangkěpan menuju nada 2
4
Kěnongan Rangkěpan menuju nada 3
5
Kěnongan Rangkěpan menuju nada 4
6
Kěnongan Rangkěpan menuju nada 5
4
Goongan Rangkěpan menuju nada 1
7
Goongan Rangkěpan menuju nada 2
7
Goongan Rangkěpan menuju nada 3
4
Goongan Rangkěpan menuju nada 4
4
Goongan Rangkěpan menuju nada 5 7 Jumlah Total Ragam Tabuhan Carukan yang teridentifikasi
58
26
30
26
29
27
29
167
PERKEMBANGAN BATIK DI KOTA BANDUNG Ari Winarno1, Djuniwarti22 Jurusan Seni Rupa D-3 Kriya Seni, Institut Seni Budaya (ISBI) Bandung Jl. Buahbatu No.212 Bandung
[email protected],
[email protected],
Abstrak Penelitian ini bermula dari minimnya data yang dimiliki oleh lembaga STSI perihal perkembangan batik di Indonesia. Buku maupun penelitian yang telah ada masih bersifat umum, seperti halnya ciri khas batik jawa barat berikut beberapa sentra yang ada. Apalagi jika menukik pada wilayah setempat yaitu kota Bandung. Maka masih sangat sedikit yang membahas secara terperinci perihal kemunculan dan perkembangan batik kota Bandung. Urgensi dari penelitian ini adalah dapat dipergunakan sebagai rujukan bagi mahasiswa maupun siapa saja yang berkeinginan megetahui keberadaan batik di kota Bandung. Melalui kajian diskriptif analisis data dari berbagai sumber dengan menggunakan pendekatan sinkronis dan diakronis dalam pengolahan data maka kita dapatkan perkembangan batik di kota Bandung kaitannya dengan produsen, penjualan, kekhasan maupun dinamika batik yang ada di kota Bandung Kata Kunci: Perkembangan, Batik, Kota Bandung.
PENDAHULUAN Sebagai lembaga tinggi seni yang mendedikasikan diri sebagai pusat kajian seni khususnya di wilayah Jawa Barat, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung memiliki tanggungjawab yang besar dalam menyediakan data-data tentang pusat perkembangan seni di Jawa Barat. Seperti halnya data tentang kelompok-kelompok kesenian dalam seni pertunjukan, pun demikian dengan pusatpusat perkembangan sanggar maupun penghasil Seni Rupa di wilayah ini. Berkaitan dengan hal tersebut diatas khususnya dalam bidang Seni Rupa, keberadaan data pusat dan perkembangan seni rupa Jawa Barat yang ada di STSI Bandung masih terbatas dan belum dapat
menjawab dengan gamblang, mencukupi dan dapat dengan mudah diakses. Sebagai contoh soal, dewasa ini sangat marak dan buming dengan adanya pengakuan batik sebagai warisan budaya non bendawi Indonesia yang dikeluarkan oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009, namun demikian apakah kita sudah memiliki data tentang pusat-pusat perkembangan batik di wilayah Jawa Barat, minimal yang dekat dengan kita yaitu Kota Bandung. Rasanya belum ada dalam koleksi Perpustakaan kampus STSI Bandung. Dengan merujuk pada latarbelakang diatas maka penelitian dan pendokumentasian keberadaan serta pertumbuhan batik disekitar kota Bandung sangan perlu dan urgen untuk
59
segera dilakukan. Hal ini diperlukan sebagai salah satu jawaban kepada masyarakat luas apabila menginginkan data maupun sumber perihal Batik di Kota Bandung segera dengan mudah diketahui sebagai dasar pengetahuan kita jika kita ingin mewujudkan STSI sebagai pusat kajian seni yang sesungguhnya di Jawa Barat. Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, penelitian ini hendak mengungkap hal ihwal pertumbuhan batik di kodya Bandung dengan penekana pada: Pertumbuhan dan pesebaran batik di kota Bandung, kaitannya dengan pusat produksi maupun penjualan batik di kota Bandung. Disamping itu juga memaparkan kekhasan dari masing masing showroom batik di kota Bandung berikut dinamika yang menyertanya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari data yang dihasilkan, maka dapat terjaring beberapa pengusaha maupun gerai batik di kota Bandung sebagai sampel untuk mengetahi perkembangan batik di kota Bandung. Berikut dipaparkan perusahaan maupun gerai batik di kota Bandung. 1. Batik Manonjaya Batik Manonjaya berpusat di Jl. Tamblong No. 64 dan memiliki cabang di Jl. Sumatra 17. Bandung. Showroom batik manonjaya telah berdiri sejak tahun 1976 dengan produk tekstil batik, batik cap dan batik tulis. Gerai ini cukup eksis dengan produknya oleh karena letaknya yang strategis di tengah kota sehingga dengan mudah dapat diakses oleh masyarakat. 2. Batik Hasan Batik Hasan Bandung atau dikenal dengan HASAN Bandung’s berdiri semenjak tahun 80-an. Pada mulannya bertempat di daerah Muararajeun Baru I No. 4 Bandung dan kini beralamatkan di Cigadung, merupakan rumah industri yang bergerak pada bidang workshop, produksi dan penjualan batik. Proses batik yang digunakan adalah dengan teknik batik tulis, batik cap dan batik kombinasi. Latar belakang keluarga pembatik serta pendidikan dari Desain Tekstil ITB, merupakan kekuatan batik HASAN Bandung dalam membuat dan mengembangkan batik yang dirancang untuk kebutuhan terbatas dan ekslusif. Produksi dari Batik Hasan pada mulanya hanya untuk memenuhi kalangan sendiri (warga ITB) dan Es Patriat khususnya dari Jepang, dan oleh kerena
METODE Dalam upaya mengetahui perkembangan batik di Kota Bandung ini penulis melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan mengamati secara cermat serta menganalisi obyek secara langsung ke sumbernya. Untuk mendapatkan kajian yang mendalam dan menyeluruh dari keberadaan batik di Kota Bandung ini menggunakan payung utama sejarah yang mengutamakan pendekatan secara diakronis untuk mengetahui perkembangan batik yang ada, pun demikian untuk mengetahui perluasan perkembangannya maka diperlukan pula pendekatan secara sinkronis.
60
kekhasannya banyak diantara kansumen khususnya dari mancanegara yang menyebutnya sebagai batik Bandung. Batik Bandung adalah kain batik yang berasal dari akar budaya batik nusantara, dan kemudian beradaptasi dengan budaya lokal kota Bandung yang cenderung progresif dan modern. Seiring dengan berjalannya waktu kini kain batik bandung merupakan kain khas yang berasal dari keunikan tersendiri. Keunikan dari Batik Hasan Bandung terdapat pada visualnya, yang mengembangkan motif dasar tambal yang divisualkan kembali dengan sentuhan khas yaitu dengan menata ulang komposisi, bidang, warna dan motif yang berbeda. Sedangkan secara proses Batik Bandung tetap menggunakan proses pembatikan tradisional yaitu tulis dan cap. Batik Hasan juga menyelenggarakan program workshop batik Hasan yang pada mulannya diperuntukkan bagi kalangan Espatriat yang kebanyakan dari Jepang, namun demikian pada perkembangannya merambah ke pangsa lokal khususnya anak sekolah. Berikut tujuan diadakannya program pelatihan membatik dengan target Siswa Taman Kanak-kanak, Siswa SD s/d SLTA, Mahasiswa, Keluarga, Pecinta, pemerhati & pengagum batik, Ibu-ibu perkumpulan arisan/ dharma wanita.
wanita dengan berbagai ukuran, produk batik sebagai keperluan interior seperti taplak meja, bed cover, tas dan aneka souvenir lainnya. Pada produk bahan kain, kain sarong dan selendang berasal dari daerah Solo Oleh karena letaknya yang strategis di tengah kota dan berdekatan dengan hotelhotel yang relativ lama, maka Batik Kristin mengutamakan pada konsumen wisatawan mancanegara. 4. Batik Komar Rumah Batik Komar didirikan pada tahun 1998 di Bandung oleh H. Komarudin Kudiya S.Ip., M.Ds bersama dengan Hj.Nuryanti Widya. Batik Komar pada awalnya merupakan batik dengan latarbelakang cirebonan, namun sejak awal berdirinya hingga sekarang. Seiring dengan perkembangannya rumah Batik Komar telah beranjak pada pengembangan desain – desain batik modern dengan kreasi yang unik, tematik dan sejalan dengan tren mode masa kini sehingga dapat menambah nilai prestise. Produksi yang dihasilkan batik Komar utamanya adalah batik berupa bahan maupun barang jadi yaitu; Hem lengan panjang / pendek, Blus, Sarimbit, Sarung Selendang/Pario Selendang, Kain panjang/Sarung/Bahan, Kain polosan/Bahan, dan Aksesoris batik. Rumah batik Komar juga menyelenggarakan Program Wisata Batik yang merupakan salah satu perwujudan misi tersebut. Dalam program wisata batik ini, tidak hanya melihat bagaimana proses membatik, tapi peserta dapat terlibat langsung di dalamnya melalui paket belajar batik.
3. Batik Kristin Batik Kristin beralamatkan di Jl. Tamblong No. 62 Bandung. Galeri batik ini mulai usahanya pada tahun 1993. Nama pemilik usaha ini adalah bapak Herlambang (A Fung). Produk yang disediakan di Batik Kristin adalah pakaian batik pria dan
61
5. Butik Batik Pranandari Butik Pranandari beralamatkan di Gedung Perhutani, Jl. Laswi No. 1 H, Bandung Adapun tempat Workshop terdapat di Cisaranten, Bandung. Pada butik ini menyediakan berbagai jenis batik tulis, dalam bentuk bahan maupun pakaian jadi dengan berbagai ukuran dan model.
9. Batik Danar Hadi Batik Danar Hadi mulai masuk pasar Bandung pada tahun 1990 di Bandung Indah Plaza (BIP), 1998 memiliki showroom di Jl Buah Batu. (kini sudah tutup) 2003 Di Jl. RE Martadinata. Pada gerai batik ini menawarkan berbagai produk batik dengan sekmen papan atas dengan harga yang eksklusif.
6. Batik Solo Berdiri tahun 2000 bertempat di Jl. Tamblong No. 60 Bandung. Pada showroom ini menyediakan berbagai kemeja Batik dengan mengambil motif utama khas dari daerah Solo.
Faktor Pendorong Geliat Batik Bandung Perkembangan batik Kota Bandung tidak dapat dipisahkan dari geliat perkembangan batik Jawa Barat. Oleh kerena pada dasarnya para penggiat batik di Jawa Barat mayoritas berdomisili di kota Bandung. Ada beberapa faktor yang mendasar sehingga perkembangan batik di kota Bandung mengalami perkembangan yang positif hingga kini yaitu dengan adanya perkumpulan, yayasan maupun komunitas baik murni swasta maupun yang sifatnya dalam bimbingan pemerintah daerah:
7. Batik Wonderful Butik Batik Wonderful mulai berdiri sejak tahun 2011 beralamatkan di Jl Cigadung Selatan I No. 2 Bandung. Butik batik ini menyediakan berbagai mode pakaian yang dikemas secara eksklusif. 8. Batik Salma Batik Salma berpusat di Cirenon dan mulai merambah kota Bandung sebagai salah satu lokasi penjualannya semenjak tahun 2012. Tepatnya beralamat di Jl. Citarum Bandung (sebelah timur Gedung Sate) Disamping menawarkan aneka produk batik Salma dilokasi yang sama juga menawarkan kuliner khas Cirebon. Aneka produk yang ditawarkan adalah kain batik, produk setengah jadi dan bahan jadi dari harga yang rendah hingga yang tinggi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan bermacam-macam sekmen pasar.
1. Yayasan Batik Jawa Barat (YJBJ) Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) adalah sebuah organisasi nirlaba yang independen yang secara resmi telah dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Yayasan ini merupakan wadah untuk menyatukan aspirasi seluruh lapisan masyarakat pemerhati batik, pecinta batik, pengrajin batik, pengusaha batik serta bergandengan tangan dengan berbagai pihak dan terus berupaya agar batik Jawa Barat tetap merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari misi Jawa Barat.
62
Bandung yang merupakan pengembangan dari motif tambal dari Jawa tengah. yang kemudian diikuti oleh beberapa Kriawan Seni Batik yang lainnya seperti halnya Komarudin Kudiya dengan latarbelakang Cirebon yang mewarnai karya karyanya. Meski terdapat beberapa tempat produksi dan gerai batik yang ada di kota Bandung namun demikian tidak menjadikan persaingan yang tajam oleh karena pada tiap gerai memiliki unggulan masing masing produk yang ditawarkan kepada konsumen Kepedulian masyarakat luas akan tradisi batik sebagai warisan budaya Indonesia sangat mempengaruhi tumbuh batik di Kota Bandung. Hal ini sangat telihat dengan adanya komunitas masyrakat dan dorongan dari PEMDA yang selalu mengangkat Batik dalam berbagai kegiatan dan media
2. Komunitas Pecinta Batik Jawa Barat (BALAREA BATIK JABAR) Balarea Batik Jabar adalah sebuah komunitas terbesar pecinta batik Jawa Barat. Komunitas ini menjadi salah satu media informasi, edukasi dan interaksi bagi masyarakat agar dapat lebih mengenal batik Jawa Barat. Balarea Batik Jabar dibentuk oleh Duta Batik Jawa Barat dibawah naungan Yayasan Batik Jawa Barat. Alamat di Jalan Cigadung Raya Timur 1 No.1 Bandung. 3. Face Book Batik Jabar Situs Face Book perihal batik Jawa Barat yang dimulai dari tahun 2011 yang berupaya memperkenalkan batik tradisional Jawa Barat guna meningkatkan brand equity dan meningkatkan kesejahteraan pembatik, dengan Misi: Mengembangkan dan mengenalkan kekayaan dan keunikan ragam motif batik Jawa Barat ( Sunda) yang lebih baik melalui pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya
DAFTAR PUSTAKA Atik, S. Ken, Komarudin Kudiya, HermanYusuf, Djalu Djatniko., 2007 Buku Saku Batik Jawa Barat. Bandung: Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB)
PENUTUP Berdasarkan data yang dihasilkan maka peneliti berkesimpulan bahwa Kodya Bandung pada awalnya tidak memiliki tradisi membatik. Batik yang beredar di Kodya Bandung merupakan pasokan dari daerah lain yang melihat bahwa Kodya Bandung dianggap sebagai daerah yang potensial untuk menjual batik. Perkembangan tradisi batik di Kota Bandung mulai ada dari seorang akademisi yang bernama Hasanudin seorang Pengajar di FSR ITB dengan pengaruh batik dari batik Pekalongan. Dari karya beliau muncul istilah batik
Atik, S. Ken, Komarudin Kudiya, Herman Yusuf, Djalu Djatniko, Zaini Rais., Buku Saku Batik Jawa Barat Jilid II. Bandung: Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) Atik, S. Ken, Komarudin Kudiya, Herman Yusuf, Djalu Djatniko, Zaini Rais., 2013, Buku Saku Batik Jawa Barat Jilid III. Bandung: Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) Hasanudin 2000., Batik Pesisir, Melacak Pengaruh Etos dagang Santri pada ragam Hias Batik, Bandung: Kiblat
63
Kudiya, Komarudin., 2011 Batik Eksistensi Untuk Tradisi, Jakarta: Dian Rakyat Sumber Internet/Website: http://hasanbatik.blogspot.com/ diunduh tanggal 12/12/2014 http://batik-komar.com/wisata-batik/ diunduh tanggal 21/12/2014 http://www.facebook.com/BatikPranandar i diunduh tanggal 21/12/2014
[email protected] diunduh tanggal 21/12/2014
64
POLEMIK KEBUDAYAAN DALAM WACANA SENI Sri Rustiyanti Prodi Seni Tari, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jln. Buah Batu No 212 Bandung
[email protected] Abstrak Dengan semakin terbukanya ranah bidang-bidang keilmuan yang semakin spesifik di abad sains ini, sehingga kajian seni budaya dalam masyarakat ini dapat dibicarakan secara alamiah atau ilmiah. Dan kajian tentang seni tersebut dapat didekati dari sudut sejarah, antropologi, sosiologi, arsitektur, filsafat, dan kajian empiris lainnya. Persinggungan ilmu-ilmu tersebut sangatlah memungkinkan pendekatan dalam membedah suatu permasalahan seni-budaya sebagai pengetahuan yang terbangun meliputi ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Seni berkaitan dengan berbagai dimensi kehidupan, sehingga sekaligus menunjukkan kembali pada hakikat dirinya yang terikat dengan kompleksitas yang dimilikinya menuju masyarakat baru dan kebudayaan baru. Orientasi ke masa depan itulah yang kemudian sebagai proses yang penuh dengan suasana seperti tarik tambang (ulur dan tarik), konflik, akan tetapi juga dengan berbagai kompromi, saling mengisi dan melengkapi, ibarat suatu mosaik yang terdiri atas berbagai unsur, suatu proses yang lama dan panjang, proses penyebaran unsur-unsur baru dalam menghadapi era globalisasi. Kata kunci: polemik budaya, seni, globalisasi.
PENDAHULUAN Salah satu polemik kebudayaan yang terjadi beberapa waktu yang lalu yaitu peralihan status Perguruan Tinggi Seni di Bandung. Pembahasan pokok mengenai pro-kontra status Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, saat ini menjadi perbincangan yang cukup hangat menjadi polemik kebudayaan di kalangan Perguruan Tinggi Seni di Indonesia khususnya di kalangan kampus ISBI Bandung. Namun pro-kontra tersebut, kini sudah terklarifikasi dan dipahami oleh civitas akademik ISBI Bandung. Rertor ISBI Bandung Dr. Hj. Een Herdiani M.Hum, menjelaskan dan
memastikan tidak ada lagi pro dan kontra atas perubahan nama dari STSI Bandung menjadi ISBI Bandung. Sebab seluruh civitas dosen dan mahasiswa sudah sepakat dengan nama ISBI sesuai dengan keputusan Perpres no 85 tahun 2014. Pro dan kontra terjadi karena ada perbedaan pendapat dan persepsi serta kurangnya sosialisasi pemahaman kata ‘Budaya’ dalam ISBI tersebut dianggap kurang tepat, karena seni bagian dari budaya. Tetapi kita tidak menggunakan budaya menjadi kata terpisah (seni dan budaya), melainkan menjadi satu pemahaman idiom seni budaya bukan seni dan budaya. Seni Budaya menjadi satu kesatuan, bukan dua kata yang terpisah. Kini STSI Bandung sudah diresmikan
65
menjadi ISBI Bandung pada tanggal 6 Oktober 2014 di Surabaya. Perubahan STSI Badung menjadi ISBI Bandung berdasarkan Keputusan Presiden dengan no SK 86 tanggal 25 Agustus 2014. Pergantian status ini sempat menjadi polemik kebudayaan. Berbicara tentang polemik kebudayaan terlebih dahulu perlu kiranya diketahui pengertian polemik itu sendiri. Istilah polemik memang tidak sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti kata kritik yang sangat akrab didengar. Polemik adalah perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka di media massa. Dalam hal ini, masalah kebudayaan sesungguhnya adalah masalah bagaimana hubungan manusia dengan kesenian. Tidak ada kesenian yang dapat berkembang tanpa manusia, dan sebaliknya tidak ada kemajuan yang dicapai manusia tanpa pengetahuan tentang seni. Setiap kebudayaan selalu memuat pandangan tentang pengetahuan dan peranannya dalam kehidupan manusia. Melalui pengetahuan yang dimilikinya, manusia mampu mempertahankan dan mengembangkan kehidupan menjadi lebih tinggi dan berbudaya. Berkaitan dengan peralihan STSI Bandung menjadi ISBI Bandung, terlepas dari pro-kontra, akan lebih baik memfokuskan pada makna pengetahuan dan pemahaman seni dan budaya secara epistemologis. Sebagaimana diketahui, ISBI Bandung dapat dilihat sebagai sebuah nama dari suatu kebudayaan, yaitu seni dan budaya Indonesia, yang di dalamnya ada benang merah budaya Sunda dan pengetahuan tentang seni bagaikan dua sisi uang logam yang tak terpisahkan, sehingga
terbentuk lembaga Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. PEMBAHASAN Dalam proses perubahan budaya atau ‘cultural dynamic’, biasanya disertai dengan kritik, konflik, dan pembatalan nilai-nilai lama, lalu menyeleweng dari hasil yang telah dicapai, ataupun membawa serta penghalusan warisan kebudayaan dan peningkatan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Bakker, 1994: 113). Ada pendapat tentang penerimaan budaya baru merupakan derita dan serba tak menentu, mendatangkan rasa tidak senang dan merasa cara hidup tradisionalnya terancam, sebab sedikit banyak terjadi perubahan (Arnold, 1987: 88). Masalah ini tidak sesuai dengan kenyataan dalam ISBI Bandung atau boleh dikatakan tidak setuju atau bahkan berlawanan dengan pendapat ini, karena pada prinsipnya pengaruh dari luar masuk dalam budaya Sunda bukan mengubah secara total nilai budaya dalam kalangan civitas akademik ISBI Bandung. Dengan kata lain tidak mengubah seluruh aspek kehidupan yang ada dalam STSI Bandung, melainkan justru menambah segi-segi baru dalam ISBI Bandung. Unsur-unsur budaya luar masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak sengaja dan tanpa paksaan. Dalam Ilmu Sejarah, masuknya kebudayaan ini disebut dengan istilah penetration pacifique, berarti ‘pemasukan secara damai’ (Koentjaraningrat, 1990: 245). Penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua
66
cara, yaitu: 1) penetration pasifique atau penetrasi damai, dan 2) penetration violante atau penetrasi kekerasan. Pengertian tentang budaya atau kebudayaan meliputi dimensi yang luas sekali, seperti dimensi-dimensi kemasyarakatan, kepolitikan, kependidikan, kesenian, keekonomian dan lain-lain. Demikian juga pengertian tentang budaya di samping budayabudaya tersebut, juga akan menyeret dimensi ruang dan waktu (Kuntowijoyo, 1987: 9-11). Hal ini terjadi karena budaya Indonesia tidak dapat terlepas dari lingkungannya dan perkembangannya. Seperti yang disampaikan Yasraf Amir Piliang, “Kebudayaan Indonesia Kontemporer dan Kaitannya dengan Karya Cipta Seni”, makalah disampaikan dalam acara Studium General yang diselenggarakan oleh STSI Bandung 12 Oktober 2002. Perkembangan kebudayaan Indonesia tidak dapat terlepas dari dua tekanan atau pengaruh utama, yang menentukan arah, bentuk, strategi dan ekspresi kebudayaan di dalamnya. Pertama, tekanan dan pengaruh yang bersifat eksternal, sebagai konsekuensi dari masuknya Indonesia ke dalam era saling-bergantungan, salingterhubungkan dan globalisasi dewasa ini. Kedua, tekanan dan pengaruh yang bersifat internal, sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses reformasi, desentralisasi, dan demokratisasi yang mewarnai kehidupan sosial bangsa Indonesia. ISBI Bandung sebagai lembaga seni dan kebudayaan Indonesia dalam konteks tulisan ini, tidak dilihat sebagai ‘sebuah entitas tunggal kebudayaan’
yang bersifat homogen, akan tetapi harus dilihat sebagai sebuah ‘jaringan kebudayaan-kebudayaan’ yang plural dan heterogen, yang berkembang dan terbentuk, sebagai akibat dari sebuah proses persilangan atau inter-relasi dari elemen kebudayaan lokal (Sunda) dan berbagai elemen kebudayaan luar yang menciptakan berbagai logika baru kebudayaan dengan segala kompleksitas, peluang, paradoks dan kontradiksikontradiksi. PENUTUP Simpulan Pertemuan antara unsur-unsur kebudayaan lokal (Sunda) dan kebudayaan global membentuk kebudayaan Indonesia telah menciptakan semacam ruang multidimensi kebudayaan, yang di dalamnya berbagai spirit kebudayaan luar, seperti cultural studies, visual cultural, hiper-realitas, simulasi dan posmodernisme serta spirit kebudayaan lokal, seperti etnisitas, keagamaan, kedaerahan secara bersamasama membentuk apa yang disebut kompleksitas kebudayaan Indonesia yang kini juga telah memasuki ruang ‘unity of opposite’. Ruang multidimensi tersebut telah menimbulkan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia yang kini berada di antara dua arah perkembangan, dengan segala harapan dan jebakan di dalamnya. Di satu pihak, sentimen-sentimen lokalitas telah menciptakan semangat penggalian kembali ‘keotentikan’ atau ‘keunikan budaya’ yang berasal dari sumber-sumber kesukuan, keagamaan, ras dan kedaerahan. Di pihak lain, berbagai pengaruh perkembangan
67
W.J.M. Bakker SJ, 1994 Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius.
mutakhir budaya global yang didukung oleh perkembangan konsep, ideologi, sains dan teknologi mutakhir, kini menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kultural masyarakat Indonesia, yang pada tingkat tertentu telah merubah cara hidup, gaya hidup bahkan pandangan hidup mereka. Dengan demikian, kebudayaan Indonesia harus dilihat sebagai kebudayaan yang tercipta akibat dari kompleksitas pertemuan antara budaya luar (melalui gagasan cultural studies, visual culture, hiper-realitas dan realitas virtual) dan budaya lokal, yang di dalamnya terdapat peluang tetapi juga ancaman, kebaruan tetapi juga kepunahan, keuntungan tetapi juga kehilangan, ini merupakan sebuah ‘paradoks kebudayaan’. Pertemuan kebudayaan lokal dengan kebudayaan global yang dilandasi oleh sikap-sikap akomodatif, inklusif dan terbuka dapat menghasilkan berbagai bentuk sintesis, akulturasi atau sinkretisme budaya, sehingga dapat menjadi sebuah peluang yang produktif bagi perkembangan budaya.
Yasraf Amir Piliang 2002 “Kebudayaan Indonesia Kontemporer dan Kaitannya dengan Karya Cipta Seni”, dalam Makalah seminar Studium General di STSI Bandung.
DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat, 1990 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kuntowijoyo, 1987 Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana. Toynbee, Arnold J., 1987 “Psikologi Perjumpaan Kebudayaankebudayaan”, dalam Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Ed. Y.B. Mangunwijaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
68
STANDARISASI DESAIN BENTUK DAN UKURAN KERAMIK HIAS PLERED UNTUK ELEMEN INTERIOR Nani Sriwardaniˡ, Deni Yana², Gerry Rachmat³ Jurusan Seni Rupa, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No.212. Bandung
[email protected] Abstrak Beberapa keramik hias Plered, Purwakarta memiliki bentuk dan ukuran yang dapat menjadi elemen interior. Namun beberapa pengelompokan memiliki ukuran yang besar, dalam hal ini tidak semua bentuk ukuran dapat tepat digunakan di semua jenis ruang interior. Dengan ruang interior yang terbatas seperti hunian apartemen berukuran sedang, maka dibutuhkan elemen interior yang proporsional terhadap ruang. Keramik hias Plered dapat menjadi elemen interior yang tepat jika bentuk dan ukurannya sesuai dengan fungsi dan aktivitas penghuninya. Penelitian ini mencari bentuk dan ukuran keramik hias yang ada di Plered dan penerapannya sebagai elemen interior, serta menemukan standarisasi yang bisa digunakan oleh pengrajin keramik Plered. Dengan itu, penelitian menggunakan metode kualitatif morfologi, yaitu menganalisa bentuk dan ukuran keramik hias dan penerapannya sebagai elemen interior yang dalam kasus ini adalah hunian apartemen. Perhitungan statistika digunakan hanya untuk menemukan rumus yang datanya sudah dimiliki oleh pengrajin. Dari penelitian ini didapat bagaimana bentuk dan ukuran keramik hias Plered serta tata letaknya yang tepat sebagai elemen interior. Kata Kunci : Bentuk dan ukuran, Keramik Hias Plered, dan Elemen Interior
PENDAHULUAN Pengrajin keramik hias Plered memiliki desain bentuk dan ukuran yang belum sepenuhnya mengikuti tren pasar. Bentuk dan ukuran keramik hias tersebut umumnya merupakan varian yang sama, dengan bentuk dan ukuran tertentu. Desain keramik tersebut biasanya dijadikan elemen pendukung interior. Elemen interior dapat dihadirkan walaupun luas ruangnya tidak terlalu besar. Seperti ruang apartemen, dibutuhkan pemilihan bentuk dan ukuran keramik. Ini dikarenakan luas ruang yang terbatas, sehingga penempatan keramik
yang terlalu besar dapat menjadikan ruang yang kecil menjadi sesak dan membatasi ruang gerak penghuninya. Dan apakah semua bentuk dan ukuran keramik hias tersebut tepat penempatannya di ruang interior apartemen dengan luas yang terbatas. Beberapa pengrajin keramik memiliki standarisasi ukuran, yaitu tinggi dan diameter. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kulitatif morfologi bentuk yaitu melihat keramik dari bentuk dan ukurannya dan penyesuainnya terhadap ruang interior
69
apartemen. Bentuk dan ukuran keramik untuk elemen interior di analisa berdasarkan proporsi ruang dan keramik serta fungsi ruang. Proporsi dan fungsi ruang ini memperngaruhi ruang gerak manusia yang ada didalamnya. Beberapa analisa juga menggunakan data statistik sederhana sebagai pendukung, dimana data didapat dari standarisasi ukuran keramik yang telah dimiliki oleh pengrajin. Hal ini bertujuan untuk menemukan rumus yang mempermudah pengrajin dalam menghitung proporsi bentuk keramik hias.
kesesuain yang selaras. Keramik hias Plered memiliki bentuk dasar silinder dengan pengembangan bentuk yang cenderung plastis yang terkesan luwes. Ukuran yang digunakan adalah berdasarkan dua nilai variabel yaitu tinggi dan diameter. Yang dalam penelitian ini dapat ditetapkan tinggi sebagai X dan diameter sebagai Y. Diameter menandakan lingkar terbesar dari keramik. Beberapa keramik, lingkar terbesar ada yang berada dibagian atas, tengah atau bawah keramik.Dari keseluruhan desain yang ada maka berikut bentuk keramik hias Plered; Keramik tertinggi berukuran 100 cm, 92 cm, 87 cm. Keramik berukuran sedang antara 45-60cm dan keramik hias terrendah berukuran 13,5-30 cm. Pengrajin pak H. Eman, memiliki standar ukuran berdasarkan pengelompokkan dan perubahan dimana setiap kelompok ukuran memiliki perubahan yang cenderung bertahap.
PEMBAHASAN Standarisasi Bentuk dan Ukuran Keramik Hias Plered Standarisasi sering dibuat dimaksudkan untuk menjadi acuan dalam memproduksi suatu barang. Menurut Kamus Besar. Bahasa Indonesia, standarisasi adalah penyesuaian bentuk (ukuran, kualitas dan sebagainya) dengan pedoman/standar yang ditetapkan. Standarisasi produk berkaitan dengan bentuk ukuran, dengan melihat proporsi atau perbandingan. Suatu komposisi visual dinyatakan baik apabila memiliki proporsi yang pas, apa pun bentuk dan dan gaya dari karya seni tersebut (Irawan & Tamara, 2013:41). Menurut M.gani (1993), prinsip ilmu bentuk terdiri dari fungsi, konstruksi dan proporsi. Sebagai elemen pendukung, keramikmemiliki fungsi sebagai elemen estetis dengan ketentuan tidak mengganggu aktivitas utama. Konstruksi berarti bahan dari bentuk tersebut jujur dan sesuai. Proporsi dapat dilihat berdasarkan sistem modular dan
Tabel 1. Tabel Pengelompokan Ukuran keramik hias oleh Bpk H. Eman (sumber : wawancara H. Eman Sulaeman, S. Pd., Plered 2014)
No. 1 2 3 4 5 6 7
Kelompok A
Tinggi 40-45
Diameter 18-21
B C D E F G
50-55 60-65 80-85 90-95 100 120
22-24 23-25 30-35 35-40 40-45 45-50
Kelemahan standarisasi H.Eman adalah saat ada permintaan khusus berupa ketinggian tertentu yang tidak ada dalam pengelompokan, maka pengrajin harus melakukan penyesuaian kembali
70
terhadap proporsi diameternya. Melalui metode regresi dapat dimungkinkan menemukan rumus tersebut, karena persamaan regresi adalah suatu formula matematis yang menunjukkan hubungan keterkaitan antara satu atau beberapa variabel yang nilainya sudah diketahui dengan variabel yang nilainya belum diketahui (Algifri, 2000: 2). Dalam hal ini nilai X yitu tinggi keramik dan Y adalah diameter keramik yang belum diketahui nilainya. Dari rangkaian data yg telah ada dan pengolahan data secara persamaan regresi, maka didapat rumus Persamaan Y = a+ bX dalam teori regresi linear sederhana memiliki makna sebagai berikut: Y = Variabel terikat a = parameter intercept b = parameter koefisisen regresi variabel bebas X = variabel bebas. Nilai a dan b didapat dari rumus berikut;
keseimbangan dan lain-lain. Yang dalam bentuk nyatanya yaitu perabot tambahan, lukisan, keramik hias, benda antik, dan lain-lain (J. Pamudji S. 1999:173-175). Ruang interior apartemen memiliki batasan ruang yang tidak terlalu luas. Aktivitas yang dilakukan penghuninya adalah beristirahat, duduk dan sedikit bergerak/berjalan-jalan di jalur sirkulasi saat hendak mencapai sesuatu. Standarisasi ukuran ergonomis suatu perabot yang ada didalam ruangan keluarga telah ada panduannya di buku Human Dimension & Interior Space (Julius, 1980:134-148). Dari data tersebut dapat menjadi acuan batas minimal ruang gerak manusia, sehingga penempatan, bentuk dan ukuran keramik dapat ditempatkan tanpa mengganggu aktivitas manusia. Bentuk ukuran keramik yang menjadi sampel penempatannya pada ruang interior adalah keramik dengan ukuran tertinggi, yaitu 100-87 cm, ukuran sedang 45-55 cm dan ukuran terkecil 13,5-21 cm. Ruang apartemen yang menjadi sampel adalah living room ukuran berkisar3.95x4.44 meter. Ruangan dilengkapii dengan elemen interior seperti furnitur, pantry, dan meja kerja. Beragam keramik hias Plered yang telah diambil sampel tertinggi, sedang dan terrendah yang ditempatkan di ruangan interior apartemen, memberi gambaran bagaimana proporsi dan perletakan keramik terhadap ruang. Hasil dari simulasi, bahwa keramik Pered dengan ukuran tertinggi 100-87cm diameter terbesar 50cm, dirasa kurang tepat untuk ruang kecil, dikarenakan terbatasnya pergerakan manusia dalam beraktivitas
n = jumlah data Dan menghasilkan rumus yang dapat digunakan untuk mendapatkan diameter keramik adalah; Y = a + bX Y = 4,636585366 + 0,333292683 X Keramik hias Plered dan Ruang Interior Apartemen Keramik hias sebagai elemen pendukung interior, yaitu sebagai penambahan dekorasi. Penambahan dekorasi atau aksesori pada ruang adalah sebagai penyempurnaan/pelengkap keindahan di dalam ruang. Unsur-unsur dekorasi meliputi pengertian tentang teori estetika warna, proporsi, tekstur,
71
dan pelengkap elemen interior keramik terlalu mendominasi ruang. Untuk keramik ukuran sedang 45-55cm diameter terlebar 30cm tepat ditempatkan di ruang kecil dengan perletakan yang harus dipertimbangkan lebih teliti lagi, yaitu letaknya di lantai dan tidak terjangkau langsung dengan sirkulasi utama. Sedangkan keramik ukuran kecil tinggi 13cm diameter terkecil 16cm dapat ditempatkan dimana saja, namun lebih tepat ditempatkan diatas meja yang mudah terlihat. Untuk ukuran sedang kecil tinggi 20-35cm, bisa ditempatkan diatas meja dan diatas rak, karena bentuk stabil dan masih aman untuk ditempatkan diatas. Namun penempatan diatas meja harus dipertimbangkan tidak mengganggu interaksi/kegiatan manusia di meja tersebut.
lain yaitu sedang (tinggi 45-55cm) dan kecil (tinggi 13,5-35cm), masih memungkinkan untuk ditempatkan pada ruangan interior berukuran kecil. Bentuk dan ukuran keramik hias Plered secara keseluruhan dapat menjadi acuan yang tepat untuk elemen interior, dengan beberapa penyesuaian. Proporsi bentuk keramik yang tinggi harus disesuaikan dengan diameternya. Keramik yang semakin tinggi sebaiknya memberi kesan kokoh, stabil dan bentuk yang seimbang. Jika bagian bawah berdiameter kecil dan terkesan ramping, maka bagian atas keramik dapat berdiameter lebih lebar agar terkesan menekan bagian bawahnya, begitu pula sebaliknya. Proporsi ukuran keramik dengan ruang idealnya adalah tinggi keramik tidak lebih atau maksimal 1/3 dari tinggi ruangan. Ini bertujuan agar ruang tidak terkesan sesak. Standarisasi ukuran dapat berupa rumus. Pengrajin memiliki standarisasi ukuran yaitu tinggi (x) dan diameter keramik (y). Perhitungan statistik dengan analisa regresi dapat dibuat berdasarkan pengembangan dari standar yang telah sebelumnya dimiliki oleh pengrajin. Sebagai elemen pendukung, keramik sebaiknya ditempatkan di area yang tidak mengganggu aktivitas penghuni. Keramik berukuran besar-sedang ditempatkan dibawah dan diluar area sirkulasi. Keramik sedang-kecil dapat ditempatkan di rak atas maupun bawah, yang utama adalah tidak mengganggu visual penghuni. Sedangkan keramik ukuran kecil tepat jika ditempatkan diatas meja agar terlihat.
PENUTUP Keramik hias Plered memiliki bentuk dasar silinder dengan pengembangan bentuk yang plastis dan lebih luwes. Pengelompokkan bentuk dan ukuran keramik Plered mengalami kendala dikarenakan pengelompokan keramik nilai ukurnya berdasarkan rentan atau nilai jarak tertentu, sehingga saat ada permintaan khusus perlu adanya penyesuaian kembali terhadap diameter dan berpengaruh kepada keseimbangan bentuk keramik. Beberapa bentuk yang berdiameter lebar dengan ukuran tinggi diatas 90cm tidak tepat ditempatkan pada interior dengan ruangan apartemen. Keterbatasan tinggi dan luas ruangan membuat kelompok keramik berukuran tersebut memberi kesan mendominasi ruangan dan dapat membatasi aktivitas penghuninya. Sedangkan ukuran yang
72
DAFTAR PUSTAKA Irawan, Bambang & Tamara, Priscilla. 2013, Dasar-dasar Desain. Jakarta:Griya Kreasi. J. Pamudji Suptandar. 1999. Desain Interior. Penerbit Djambatan. Jakarta. Kristianto, M Gani. 1993. Seri Desain Interior. Teknik Mendesain Perabot yang Benar. Kanisius. Yogyakarta. Panero, Julius & Zelni, Martin. 1980. Human Dimension & Interior Space. The Architectural Press Ltd. London. Suptandar, J. Pamudji. 2008. Desain Keramik. Penerbit Universitas Trisakti. Jakarta Jurnal : Fina Lestari, Maman Tocharman, Yadi Rukmayadi. JURNAL KRIYA, Volume 1, Nomor 3, Oktober 2013, “Analisis Keramik Hias Gerabah Plered untuk Pangsa Export Tahun 2010-2013”, Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia INTERNET/WEBSITE : Deden. 2010. Perkembangan industri keramik..dedenmyger.blogspot.com /2010/12/makalah-perkembanganindustri-keramik.html. [online]. Diunduh 28 April 2014; perihal kerajinan Gerabah Plered http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234 56789/27762/4/Chapter%20II.pdf. [online]. Diunduh 1 Desember 2014; perihal analisis regresi statistik
73
Lampiran
Gambar 1. Ilustrasi bentuk ukuran keramik Plered (Nani Sriwardani, 2014)
Gbr 2. Keramik hias H. Eman (sumber: Deni Yana, Plered 2014)
74
REDESAIN KARAKTER TOKOH LAKON STARWAR DALAM PENGEMBANGAN WAYANG GOLEK GIRI HARJA BANDUNG Joko Dwi Aviantoˡ, Dida Ibrahim Abdurrahman² Jurusan Seni Murni, Isntitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No.212 Bandung 40265 Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak Pada sekitar tahun1700-an sebagian besar yang menjadi ciri wayang kontemporer ada di era ini, akan tetapi secara dramatis bentuk ini belum menyebar ke luar daerah di mana kesejarahan Jawa berada, Wayang golek pada mulanya digunakan hanya untuk menyebarkan ajaran Islam dan sementara wayang kulit yang digunakan untuk penyebaran berbasis ajaran Hindu. Lambat laun, para pelaku pertunjukan berdarah Jawa dari daerah Cirebon-Tegal pantai utara bermigrasi ke dataran tinggi Jawa Barat, di mana terdapat kesejarahan Sunda. Pemerintah kolonial Belanda membuka jalan, dan memfasilitasi gerakan dari komunitas seni ini, yang kemudian muncul sebagai bangsawan lokal. Bupati yang bekerja di bawah pemerintah kolonial, mengundang dalang untuk menetap di kota-kota. Pada akhir 1800-an wayang kulit mulai langka di Jawa Barat, kemudian boneka berbahan kayu menjadi bentuk yang disukai. Pertunjukan yang dilakukan dengan boneka kayu, lalu, cerita Mahabharata dan Ramayana selalu menjadi sajian utama, kisah-kisah epik Hindu (purwa, yang berarti "pertama" atau "asli"), dan kisah keislaman menjadi jarang. Seting baru wayang golek dengan ikonografi tokoh dari wayang kulit dibuat untuk menyajikan Mahabharata dan Ramayana. Star Wars (bahasa Indonesia: Perang Bintang) adalah seri film epik, fiksi ilmiah, opera antariksa Amerika Serikat yang disutradarai oleh George Lucas. Semenjak dirilisnya serial ini, film ini telah menjadi sebuah fenomena budaya dan menghasilkan banyak produksi film, buku, permainan video, serial televisi, dan banyak produk lainnya yang dipasarkan. Pelengkap-pelengkap dua trilogi film ini menciptakan perkembangan yang berarti terhadap dunia fiksi seri ini. Waralaba ini menggambarkan sebuah galaksi yang sangat, sangat jauh di masa yang sangat lampau, dan juga pada umumnya menggambarkan Jedi sebagai gambaran kebajikan, yang bertentangan dengan Sith, yang merupakan gambaran kejahatan. Senjata mereka, lightsaber, terkenal di budaya populer. Dunia fiksi tersebut juga memiliki beragam tema, termasuk tema-tema yang dipengaruhi oleh bidang filsafat dan agama. Kata kunci: Redesain, karakter Wayang, pengembangan, kontemporer.
PENDAHULUAN Warisan budaya yang terdapat di Indonesia memiliki ragam keunggulan dan daya tarik tersendiri, masing-masing tradisi lokal di berbagai wilayah tanah air telah diakui dan dikenal luas di dunia. Beberapa produk budaya telah diakui
menjadi bagian dari warisan dan heritage dunia, maka perlu dilestarikan keberadaannya. Seni yang lahir dari tradisi telah melekat sejalan bersamaan dengan sejarah hidup manusia nusantara, atau bahkan secara luas seni selalu berkaitan dengan kehidupan manusia.
75
Penyebaran manusia sejak jaman pra sejarah ke berbagai wilayah di dunia, justru membentuk perbedaan peradaban yang memuat budaya, tradisi dan bahasa. Belum lagi pembeda itu terdapat pada satu wilayah besar seperti di Nusantara, pembeda tradisi di wilayah pantai, perkebunan, gunung melahirkan keragaman gaya, bahasa, warna hingga ratus ribuan macamnya. Terbuka kemungkinan beberapa tradisi budaya justru lahir dari percampuran tradisi yang datang dari wilayah asing, karena faktor perdagangan dan penyebarluasan agama, biasanya terjadi di beberapa wilayah terutama di wilayah pesisiran. Seni tradisional yang terdapat di suatu daerah berbeda dengan seni tradisi di daerah lain, meski pun tidak menutup kemungkinan adanya seni tradisional yang mirip antara dua daerah yang berdekatan, hal ini bisa terjadi karena akulturasi antara dua tradisi atau bersumber pada hal yang sama. Seni tradisional pada awalnya dibentuk mengandung unsur kegunaan, bisa saja lebih dari sekedar estetika, dalam hal ini menyerupai pengertian pada ranah desain. Sementara Seni tradisional pula berkaitan erat pada suatu kebudayaan tertentu dan berbeda antara satu dengan yang lain. Keragaman lokasi geografis dan keragaman jenis seni tradisional tidak memungkinkan untuk mendeskripsikannya secara keseluruhan, dalam keilmuan etnografi identifikasi ragam tradisi bisa dimulai dengan pengkategorian, misalnya seni tradisional pertunjukan, seni rupa, musik, dan lainnya. Dalam hal ini menarik untuk diteliti dan tidak ada habisnya yaitu
sebuah seni pertunjukan yang paling lengkap unsur keseniannya adalah wayang. mengapa wayang? karena pada sebuah pertunjukan wayang golek misalnya, terdapat di dalamnya unsur rupa, suara, musik, tari, beserta cabangcabang seninya. Wayang memiliki banyak definisi, hal tersebut dikarenakan terdapatnya perbedaan tradisi dan sudut pandang serta latar belakang kesejarahan. Salah satunya definisi menyebutkan bahwa kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata baying, yang berarti bayangan. G.A.J Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam kata/bahasa Jawa berarti : bayangan, dalam bahasa Melayu artinya: baying-bayang, yang artinya, bayangan, samar-samar, remang-remang, menerawang.Lebih mendalam berkaitan dengan mitos dalam tradisi wayang itu sendiri adalah mite, yaitu suatu tradisi penceritaan tentang mitos. Sedangkan mitos adalah suatu bentuk mengungkapkan pemikiran yang paling sederhana dalam usaha manusia untuk memahami fenomena kosmos. Melalui fenomena ini manusia tidak sekedar menjelaskan fenomena kosmos, tetapi sekaligus ditampilkan secara simbolik. Wayang khususnya wayang golek merupakan bentuk seni tradisi yang eklektik, seluruh unsur yang ada di dalamnya menjadi sebuah satu kesatuan yang utuh. Sifat eklektisisme ini menjadi wadah bagi berbagai bidang pemikiran, seperti bahasa, seni, science, filosofi, dan agama. Artinya wayang dapat menjadi medium penyampaian perihal diatas. Bahwa wayang merupakan sebuah medium, untuk mengujinya peneliti merasa perlu mencoba memberikan
76
muatan kontradiksi, akulturasi, hibridisasi pada media wayang golek dengan menggunakan lakon diluar cerita Mahabrata dan Ramayana. Karena syarat muatan cerita, maka diperlukan sebuah naskah baru, kontemporer, bahkan populer di kalangan generasi muda, dimana cerita pilihan ini memiliki muatan epik seimbang dengan kisah pewayangan. Lebih lanjut bahwa cerita baru ini memiliki pertentangan misalnya baik-jahat, protagonis-antagonis, cinta, kebathinan, dan hal lainnya yang dibutuhkan untuk membangun karakterkarakter baru, yang kemudian dibutuhkan untuk menjembatani peralihan karakter pewayangan sebagai simbol menjadi karakter baru yang memiliki muatan simbol-simbol pewayangan. Peneliti memutuskan memilih sebuah naskah cerita Star Wars dalam rangka mendesain ulang (redesign) karakter-karakter yang terdapat dalam naskahnya, untuk kemudian mencari perbandingan, keunggulan bahwa media seni tradisi seperti wayang memang merupakan seni tradisi yang bersifat abadi. Naskah Star Wars dikenal luas sebagai cerita fiksi ilmiah syarat akan futuristik galaksi diciptakan pada tahun 1975, oleh seorang sutradara jenius George Lucas. Sekurangnya beberapa adaptasi terhadap cerita Star Wars antara lain; novel, komik, film 3D, permainan elektronik, hingga berbentuk mainan, saling melengkapi keutuhan saga Star Wars. Filmnya sendiri dikenal dunia sudah terdapat enam episode epic. Di tengah industri perfilman dunia dikuasai film-film detektif, Star Wars menjadi
film pembeda di jamannya. pertama kemunculannya tiga episode awal yaitu episode IV (new hope) pada tahun 1977 disusul episode V (the Empire strikes back) pada tahun 1980, dan episode VI (Return of the jedi) pada tahun 1983, semuanya telah mempengaruhi dunia perfilman. Setelah teknologi film digital berkembang kemunculan episode baru, justru babak awal dalam sebuah saga Episode I (The Phantom Manace) 1999, Episode II (Attack of the Clone) 2002, Episode III (Revenge of The Sith) 2005. Intinya dalam upaya peneliti meredesain wayang dan karakter pewayangan, star wars sebagai latar belakang cerita memiliki seluruh syaratsyarat adaptasi pewayangan. Hal ini penting untuk diselami karena wayang merupakan produk budaya yang adiluhung dan sulit untuk digantikan keberadaannya, terutama bagi komunitas Giri Harja desa Jelekong, wayang merupakan oksigen yang sulit dipisahkan keberadaanya. Akan menjadi menarik jika naskah yang lahir di barat disampaikan dengan cara tradisi wayang golek-kesundaan seperti halnya istilah east meet west, persilangan budaya terjadi dalam satu momen pertunjukan kesenian. Perlu dijabarkan pula kaitannya dengan seni tradisi Corak dan Ciri Seni Tradisi 1. Penciptaannya selalu berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas dalam suatu budaya, bisa berupa aktivitas religius maupun seremonial/istanasentris. 2. Terikat dengan pakem-pakem tertentu.
77
3. Bersifat distinktif, antara kebudayaan satu dengan yang lain berbeda 4. Mengutamakan kegunaan, lebih dari estetika. 5. Dianggap naïf karena tidak mengindahkan kaidah seni. 6. Bersifat impulsif, hanya spontanitas saja tidak terpengaruh aliran dalam akademisi dan ruang lingkup seni murni
penelitian bersifat simultan dan terus menerus; 4) menggunakan penelitian sebagai instrumen penelitian (Jazuli 2003:154) Penenlitian ini menggunakan metoda-metoda studi naskah pewayangan, naskah film, praktika workshop dan studi etnografi. Studi naskah pada cerita star wars kebanyakan beredar dalam bentuk kemasan novel dan yang populer dalam bentuk film, sementara naskah wayang didapat dari kepustakaan dengan beragam sudut pandang filosofi. Menariknya komparasi naskah-naskah ini terhadap keilmuan etnografi sunda dimana daerah asal wayang golek lahir saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Seluruh informasi ini menentukan rancangan desain karakter wayang pada saga Star Wars.
Metode Penelitian Berdasarkan pada topik yang dipilih mengenai redesain karakter tokoh pewayangan ini maka pendekatan yang sesuai adalah pendekatan kualitatif dengan kajian estetika rupa. Pendekatan ini dipilih karena kemampuannya menjawab permasalahan secara menyeluruh dan dalam berbagai jenis gejala manusia, kemanusiaan dan yang dihadapinya (Rohidi, 2000). Pendekatan kualitatif yang dipilih dalam penelitian ini jika dilihat dari akar filosofisnya memiliki ciri lebih cenderung pada pendekatan fenomenologis dan pemahaman manusia serta kemanusiaannya, holistik, metodolologisnya mendekati jejak-jejak etnografi analisanya berupa pemberian makna secara interpretatis yang memungkinkan temuan baru dengan logika berpikir induktif. Pertimbangan lainnya ialah; pertama, mementingkan makna dan karakter dengan perspektif emik, logika induktif berdasarkan data, dan dapat melukiskan objek dalam seting yang alamiah. 2) rancangan penelitian tidak teralu mengikat; 3) pengumpulan data
PEMBAHASAN Adaptasi naskah baru diluar pewayangan terutama naskah kontemporer, bagi media wayang golek bukan menjadi perihal baru. Proses peralihan di tahun 1700-an sampai tahun 1800-an menunjukan bahwa proses peralihan naskah islam dan hindu adalah saat yang penting bagi sejarah wayang golek. Kelahiran Starwars dimasa resesi perfilman di amerika dimana perkembangan film dalam tema detektif dan horor tiba-tiba menjadi pemecah kebuntuan perfilman dengan menampilkan teknologi luar angkasa, robot-robot, dan mahluk alien khas kisah sains fiksi. Tidak mengherankan jika ide mengenai perang bintang terdapat didalamnya intrik politik agama serta
78
filosofi dan sejarah dunia serta bahasa menjadi bagian untuh kisah ini. Kita dapat melihat tokoh mahabharata seperti khresna dalam diri obi wan kenobi dan dualisme dewa whisnu dalam diri Darth Vader, dan lain sebagainya. Pencapaian penelitian redesain wayang golek lakon Star Wars merupakan capaian berupa metoda perbandingan dalam sebuah rancanganrancangan budaya lama yang diadaptasi menjadi budaya baru. Selain itu capaian mempertemukan budaya barat dan budaya timur memberikan tantangan dan membutuhkan studi yang fokus dan mendalam. Rancangan dalam bentuk sketsa-sketsa adalah metoda yang paling penting untuk dapat mengolah kemungkinan berbagai ide, sekaligus menyusun sumber-sumber dan menganalisa secara berulang ulang. Dalam tahapan workshop, proses pengerjaan di sentra kerajinan wayang merupakan target utama untuk menghasilkan produk penelitian yang baik. Relasi antara peneliti dan pengrajin perlu dibangun dengan baik, dalam hal ini keduanya adalah unsur yang saling membangun. Bukan hal yang mudah mempertemukan antara ide baru kepada tradisi lama yang telah dijalankan bertahun-tahun. Wayang Golek tradisi terhubung oleh naskah kontemporer Star Wars diharapkan menghasilkan harmoni yang baik laiknya kolaborasi pertujukan wayang itu sendiri. Parameter capaian antara lain: 1) Delapan desain wayang golek Starwars dapat diterima di komunitas pedalangan
2)
3)
Generasi muda dapat memahami betapa pentingnya tradisi dan budaya Menjembatani seni tradisi dengan karya seni kontemporer
PENUTUP Kesimpulan Media wayang golek tercipta dari cipta karsa dan karya manusia pada jamannya sebagai media yang fleksibel membawa kisah agama dan filsafat didalamnya memberikan tuntunan hidup bagi manusia yang berbudaya. Jika hal baru atau bahkan datang dari ide diluar ide ketimuran bukan berarti pemaksaan media ungkap yang seakan bertabrakan dengan ide murninya. Tetapi akan menjadi indah apabila budaya yang bercampur menjadi tuntunan seluruh manusia berbudaya, karena dengan budaya lah kita semua menjadi sejajar. Saran Peneliti menyarankan setiap karya tradisi yang menjadi amatan penelitian seperti halnya wayang golek laik di lestarikan sesuai perkembangan zamannya, tidak stagnan, apalagi kaku. Komunitas pewaris seni tradisi dan pemangku adat harus dapat menerima kebaruan seperti yang dilakukan pendahulunya. Kesenian hari ini merupakan proses evolusi yang panjang, perubahan terjadi secara bertahap dan menumpuk menyesuaikan pergerakan zaman. Untuk itu pelestarian budaya tidak untuk disalah artikan menjadi hal yang linear saja tetapi bergerak dalam penyesuaian-penyesuaian.
79
DAFTAR PUSTAKA Lisbijanto, Herry., 2013. Wayang. Graha Ilmu. Mertosedono, Amir, 1986, Sejarah Wayang: Asal Usul, Jenis dan Cirinya. Dahara Prize. Mulyono, Sri., 1989, Sebuah Tinjauan Filosofis, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang . CV Haji Masagung. Notopertomo, Margono., Jatirahayu, Warih, 2000, 51 Karakter Tokoh Wayang Populer. Hafamira. Soepandi, Atik, 1984, Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. Pustaka Buana. Soepandi, Atik., Saparakanca, 1990, Miwanoh Pandawa Lilima. Mekar Rahayu Online Document: http://senibudayakmitb.tumblr.com/post/ 65600820675/sejarah-wayanggolek Useful Charts. (posted Feb 21, 2013). Accessed on Desember 2, 2014 (20:39). from http://www.chartgeek.com/starwars-family-tree/ Accessed on Desember 2, 2014 (20:57). http://www.rebelshaven.com/SWFFAQ/f amilytree.php http://12teatersatrio.blogspot.com/2013_ 02_01_archive.html. Accessed on Desember 2, 2014 (21:10).
80
LAMPIRAN Delapan desain wayang golek Starwars
81
PENGARUH PASAR LUKISAN TERHADAP PERKEMBANGAN PERUPAAN LUKISAN DESA JELEKONG Agus Cahyana Program Studi Seni Rupa Murni, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No 212 Bandung Abstrak Perkembangan lukisan di Jelekong sejak tahun 2000-an mengalami berbagai perubahan yang terlihat dengan jelas, mulai dari perkembangan dari segi tema yang ditampilkan, teknik yang dipergunakan, hingga keragaman gaya yang muncul. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan terhadap lukisan Jelekong yang menghadirkan kebaruan dalam berbagai segi. Walaupun demikian tema, teknik, dan gaya yang telah ada sebelumnya tetap diproduksi. Sebagai sebuah produk yang diproduksi tidak hanya untuk kepuasan eksprsi, maka lukisan dari Jelekong harus dapat dibuat dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dalam penggunaan material, aspek kemudahan metode melukis dalam proses melukis, dan aspek komersial dalam menentukan tema, obyek, maupun gaya sesuai dengan permintaan pasar. Dengan pertimbangan ketiga aspek inilah lukisan Jelekong mampu bertahan bahkan berkembang terus hingga saat ini karena terus menerus memperbahurui dirinya. Kemunculan gaya baru dalam lukisan Jelekong dianggap sebagai salah satu cara agar lukisan Jelekong tetap dapat disenangi oleh konsumen, tidak dapat dilepaskan dari peran pedagang lukisan, penyalur lukisan, pengepul, dan bandar lukisan di Jelekong. Melalui mereka selera konsumen mengenai lukisan disampaikan kepada para pelukis, dan kemudian diinterpretasikan dengan pertimbangan ketiga aspek di atas. Kata kunci : lukisan, bandar, konsumen, gaya, tema, teknik.
PENDAHULUAN Perkembangan seni lukis di Jelekong sejak tahun 60-an hingga sekarang membuktikan bahwa lukisan dari desa Jelekong mempunyai keunggulan dalam mengantisipasi perubahan di pasar lukisan baik di Indonesia maupun luar negeri, sehingga ratusan lukisan yang dihasilkan tiap bulannya dapat diterima oleh pasar dengan cukup baik. Berbeda dengan seniman pada umumnya yang berkarya untuk kebutuhan ekspresi, maka para pelukis Jelekong membuat lukisan berdasarkan pesanan dan dikerjakan secara masal, sehingga permasalahan
ekspresi individual tidak menjadi acuan dalam melukis. Para pelukis Jelekong justru lebih memikirkan bagaimana lukisan dapat dibuat dengan biaya murah, cepat, dan laku di pasaran. Hal ini mengakibatkan perkembangan perupaan pada lukisan baik teknik, gaya, maupun tema selalu mengalami perubahan disesuaikan dengan keinginan pasar seni lukis. Mengacu pada penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan estetik lukisan Jelekong sangat dipengaruhi oleh pasar lukisan, dan ini terjadi secara spontan hasil kreativitas para pelukis itu sendiri. Dengan demikian maka diperlukan
82
sebuah penelitian yang bisa secara khusus menguraikan mengenai pengaruh pasar lukisan terhadap perkembangan estetik lukisan di desa Jelekong, sehingga dapat mengungkapkan berbagai keunggulan yang menjadikan produksi lukisan Jelekong dapat bertahan bahkan terus berkembang seperti sekarang ini.
membuat lukisan. Kedua oleh kreativitas pelukis dalam berinovasi untuk menciptakan metode melukis yang mudah dikuasai oleh para pelukis dengan mengoptimalkan fasilitas yang terbatas dari para bandar. Adapun beberapa teknik yang kemudian muncul dan dipakai oleh para pelukis Jelekong adalah : a. Teknik Paletan Teknik paletan dikembangkan untuk menghasilkan lukisan yang cenderung bergaya ekspresionisme dan impresionisme, dimana detaildetail obyek tidak terlalu diperlihatkan, yang justru diutamakan adalah kesan keseluruhan dari lukisan. Oleh karena itu pada lukisan biasanya mengambil sudut pandang mata burung yang mampu menggambarkan kegiatan manusia dan lingkungan secara menyeluruh. Walaupun bisa diterapkan pada semua jenis lukisan, namun biasanya dipakai pada lukisan pemandangan alam dan lukisan bertema suasana. b. Teknik Spons Teknik spons muncul sebagai salah satu cara membuat lukisan secara cepat dan menghasilkan tekstur yang halus serta dapat menghadirkan gradasi warna yang lembut sehingga cocok untuk diterapkan pada semua jenis lukisan di Jelekong. Seperti halnya dengan teknik paletan, maka teknik spons ini menjadi ciri khas Jelekong dimana hampir menjadi kemampuan dasar bagi tiap pelukis Jelekong.
PEMBAHASAN Perubahan perupaan yang terjadi pada lukisan Jelekong terkait dengan teknik yang dikembangkan oleh pelukis Jelekong dalam menginterpretasikan keinginan pasar melalui bandar selalu mengedepankan aspek keekonomisan dalam memproduksi lukisan. Hal ini dikarenakan lukisan Jelekong merupakan produk kerajian yang diproduksi secara massal sehingga dapat dijual dengan harga ekonomis atau murah sesuai segmen pasar yang dituju. Dengan pertimbangan tersebut maka berpengaruh pada teknik dan material yang akan digunakan untuk melukis sampai pada akhirnya menentukan perupaan yang tampak pada lukisan. Setelah dilakukan penelitian, maka tidak semua jenis karya lukis Jelekong dapat menerapkan prinsip tersebut di atas. Prinsip keekonomisan dalam produksi lukisan Jelekong ini lebih banyak diterapkan pada lukisan bertema pemandangan alam, ikan koi, dan bunga, selain karena permintaan pasar yang tinggi juga didukung oleh banyaknya pelukis Jelekong yang mampu membuat lukisan tersebut dengan baik. Perubahan teknik pada karya seni lukis Jelekong ditentukan pertama oleh bandar lukis yang menyediakan segala keperluan para pelukis untuk
83
c. Teknik koas (natur) Teknik koas atau natur merupakan teknik yang biasa dilakukan oleh para pelukis pada umumnya untuk melukis secara mirip. Di Jelekong teknik ini juga dipergunakan untuk semua jenis lukisan, seperti pemandangan alam, ikon koi, dan still life. Tidak seperti dua teknik di atas, maka penggunaan teknik koas harus lebih hati-hati dan perlahan sehingga tidak dapat menghasilkan lukisan secepat dengan teknik paletan maupun spons. d. Teknik Tekstur Sebagai teknik yang paling terakhir muncul, maka penggunaan teknik tekstur belum dipakai secara meluas di kalangan pelukis Jelekong, hanya beberapa pelukis saja yang menggunakannya. Kemunculan teknik tekstur didorong oleh keinginan bandar dan konsumen untuk membuat kebaruan pada lukisan yang dihasilkan di desa Jelekong, yang pada akhirnya dapat membuka pangsa pasar yang lebih luas lagi.
teknik paletan dan spons, namun mempunyai kelebihan dari segi perupaan yang lebih rinci dalam memperlihatkan obyek yang dilukis. Sementara dari sisi penggayaan, muncul peningkatan kualitas estetik dari lukisan yang dihasilkan, seperti penggambaran pemandangan alam yang tidak hanya menampilkan seperti gaya naturalisme mooi indie, tetapi mulai berkembang dengan menyerap pengaruh gaya surealisme seperti pada lukisan Bali. Demikian juga dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mempercepat terjadinya peningkatan kualitas kekaryaan, para pelukis yang menjadi pelopor dapat dengan mudah mengakses segala referensi visual dari internet, dan pada akhirnya memberikan banyak alternatif dalam berkarya. Salah satu yang kemudian dikembangkan penggunaan cahaya dan cara penyajian obyek, terutama pada lukisan bunga yang terpengaruh teknik pencahayaan dan penataan fotografis. Hal ini tentu menjadi semakin beragamnya karya yang dihasilkan oleh pelukis Jelekong sekaligus memberikan banyak pilihan bagi konsumen untuk membeli lukisan sesuai dengan ketertarikannya.
Sampai saat ini para pelukis Jelekong terus berinovasi dengan berbagai cara untuk dapat menghasilkan lukisan yang disukai oleh pasar. Dengan pijakan karena dapat memenuhi permintaan pasar secara cepat, maka teknik paletan dan spons menjadi teknik yang wajib dikuasai oleh para pelukis Jelekong. Kedua teknik inilah yang dapat mewakili aspek keekonomisan dalam proses produksi lukisan di Jelekong. Sementara teknik koas atau natur walaupun tidak dapat dipakai secepat
PENUTUP Kesimpulan dari hasil pembahasan mengenai Pengaruh Pasar Terhadap Perupaan Lukisan Jelekong adalah bahwa perubahan perupaan tidak dilakukan oleh tiap pelukis di Jelekong, tetapi hanya beberapa pelukis yang mampu melakukannya dan kemudian disebarkan kepada para pelukis lainnya sebagai acuan.
84
Bandar berperan sebagai penyalur lukisan sekaligus sebagai penghubung antara konsumen dan pelukis, termasuk dalam menentukan lukisan yang berpotensi akan laku di pasaran. Dengan peran seperti itu, maka dalam proses produksi lukisan, peran bandar menjadi sangat besar dalam menentukan jenis lukisan yang akan dibuat oleh para pelukis Jelekong. Lukisan di desa Jelekong dapat dikategorikan sebagai produk kerajinan, mengingat lukisan merupakan komoditas utama yang dihasilkan secara masal dari desa Jelekong, dimana sistem produksi dan distribusi sama dengan sistem produksi produk kerajinan lainnya. Dalam satu dekade terakhir lukisan Jelekong telah mengalami berbagai perubahan yaitu dari segi tematik semakin bertambah banyak jenis lukisan yang diproduksi, hal ini berkaitan dengan semakin beragamnya permintaan pasar terhadap lukisan dari Jelekong. Sedangkan dari sisi teknis dan penggayaan perkembangan dilakukan dengan pertimbangan aspek keekonomisan, baik penggunaan material maupun penerapan metode melukis yang mudah sehingga dapat dikuasai dengan cepat oleh sebagian besar pelukis Jelekong. Pemerataan kemampuan teknik melukis di Jelekong membuat tiap pesanan lukisan dapat dikerjakan secara cepat dengan kualitas yang baik. Kemudahan mengakses informasi mengenai karya lukis maupun fotografi yang menyajikan beragam obyek melalui internet telah menjadi referensi bagi para pelukis pelopor untuk mengembangkan
lukisannya, baik dari segi tema, teknik, maupun metode. Hal ini pada akhirnya mendorong peningkatan kualitas estetis dari lukisan yang dihasilkan, seperti semakin banyaknya lukisan yang digarap secara cermat dan dengan sangat memperhitungkan aspek komposisi dan unsur kekinian dalam perupaan. DAFTAR PUSTAKA Dewi, Belinda Sukapura, Ariesa Pandanwangi, Stella Prasetya, 2008. Kajian Seni Rupa Jelekong Baleendah Bandung : Meningkatkan Potensi Kepariwisataan Jawa Barat, Bandung : Universitas Kristen Maranatha, Laporan Penelitian Kaniadewi, Nia, 2014, Perkembangan Gaya dan Teknik Seni Lukis Jelekong, Skripsi, Program Studi Seni Rupa Murni, STSI Bandung Sachari, Agus. 1989, Estetik Terapan, Spirit-Spirit yang Menikam Desain, Penerbit Nova, Bandung. Susanto, Mikke. 2011, Diksi Rupa, Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa, DictiArt & Djagad Art House, Yogyakarta & Bali. Wolf, Janet. 1982, Aesthetics and the Sosioligy of Art, George Allen & Unwin (Publisher) Ltd., London. Yayasan Seni Cemeti, 2002, Paradigma dan Pasar, Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta.
85
REKOMPOSE TARI BERBASISI TRADISI BALI DI SANGGAR TARI GITHA SARASWATI – BANDUNG Ni Made Suartini Prodi Seni Tari, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No 212 Bandung
Abstrak Seni Pertunjukan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jama. Agar kesenian tersebut mampu bertahan, diupayakan ada inovasi atau pengkemasan baru mulai dari bentuk pertunjukan, yang meliputi materi pertunjukan, bentuk penyajian, dan tempat pertunjukan, sampai tehnik pemasaran. Oleh sebab itu pelaku seni pertunjukan (kreator, pengelola, dan atau pemain) harus cermat mengantisipasinya. Untuk menghidupkan kesenian khususnya tari Bali di luar pulau Bali, tidak hanya diperlukan ketrampilan motorik belaka, namun juga kecerdasan empirik. Salah satu cara agar tarian tradisi Bali, khususnya tari Legong, tetap diminati oleh masyarakat, pengusul mencoba memberi sentuhan baru tanpa harus menghilangkan isi tari atau pesan tari yang ada. Tari Legong yang diinovasi atau direkompose oleh pengusul adalah Tari Legong Jobog, yang sebelumnya gerak dasarnya sudah dikuasai oleh siswi (khususnya alumni) dari Sanggar Tari Githa Saraswati. Dalam pelaksanaan kegiatan ini tari Legong Jobog (mengisahkan peperangan Subali dan Sugriwa) tersebut pengusul interpretasikan kembali menjadi 4 adegan yaitu: 1) Flasback peperangan Subali Sugriwa; 2) Penantian dewi Tara; 3) Peperangan ke dua; dan 4) Kesadaran akan takdir dari keduanya. Kata kunci: Tari Bali, Reportase, Sanggar Saraswati
PENDAHULUAN
bersama antara pengurus kesenian dengan pengurus asrama, yang diangkat dari siswi yang berpotensi, sedangkan tarian lain yang dilatihkan adalah taritarian tradisi yang sudah dianggap mapan/mantap di Bali. Adapun tari tarian yang diajarkan dibagi menjadi beberapa kelas yaitu: a. Kelas dasar dengan materi, teknik tari,Tari Pendet, dan Tari Panji Semirang b. Kelas menengah materi tarinya adalah, Tari Tenun, Tari Mergapati, dan Tari Puspawresti
Sekilas tentang Sanggar tari Githa Saraswati Githa Saraswati bukanlah sanggar tari yang pemiliknya atas nama seseorang, namun merupakan milik suatu organisasi publik. Sanggar ini berdiri ada tahun 1961 dan diresmikan sebagai tempat pelatihan tari pada tahun 1963. Sampai saat ini salah satu materi utama tariannya adalah tari Legong, baik yang sudah dikembangkan maupun masih berpijak pada aturan tradisi. Pelatih tari ditunjuk berdasarkan kesepakatan
86
c. Kelas lanjutan dengan materi tarian pokok adalah Tari Legong. d. Kelas utama dengan materi tariannya adalah tari Kebyar Duduk, tari Oleg Tambulilingan dan lain sebagainya, disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi saat itu. Adapun potensi lain yang dimiliki oleh sanggar Githa Saraswati adalah beberapa stel pakaian tari dan seperangkat (satu barung) gamelan gong kebyar, yang juga didapat dari sumbangan pemerintah daerah Bali. Keorganisasian dan pengadministrasian pelatihan berjalan sesuai dengan fungsinya, absensi pelatih dan siswi selalu diawasi oleh petugas. Dari potensi yang dimiliki oleh sanggar tari Githa Saraswati, ada beberapa peluang yang bisa dikembangkan untuk kemajuan sanggar tersebut. Peluang pemberdayaan bisa ditingkatkan mulai dari: 1) Organisasi sanggar /Managemen pengelolaan. 2) Materi tarian; 3) Materi iringan tari; dan 4) Artistik.
kreatif melalui PkM untuk menunjang pembelajaran tari di STSI Bandung. B.
Metode pencapaian “Gerak penari di atas`pentas nampak indah karena dirancang dengan cermat dari tiga aspeknya: ruang, waktu, dan dinamika” (Sal Murgiyanto, Kritik Tari, Bekal & Kemampuan Dasar, 202: 13). Kutipan di atas menunjukkan bahwa tidak hanya penari yang harus mempunyai ketrampilan menari yang tinggi, namun juga koreografer harus mampu menata tarian tersebut dengan cermat berdasarkan ruang, waktu, dan dinamika. Oleh sebab itu koreografer harus benar-benar mengolah dirinya dengan cara mengeksplorasi tubuh secara keseluruhan dan juga irama iringan. Metode yang diterapkan untuk mencapai hasil yang diharapkan adalah metode imitative dan eksploratif. Hal ini dilakukan agar penari memahami alur cerita yang akan ditampilkan, juga memberikan pelatihan teknik gerak, disamping eksplorasi gerak. Untuk pencapaian hasil diperlukan langkahlangkah sebagai berikut: 1) Penjajagan terhadap alumni yang berdomisili di kota Bandung dan sekitarnya. 2). Eksplorasi garap mulai dari naskah sampai penjelajahan gerak. 3). Pelatihan diurut mulai dari Babak I sampai Babak III. 4) Pementasan. 5) Pelaporan Kegiatan.
A. Tujuan Kegiatan Kegiatan ini mempunyai tiga tujuan, yaitu; Tujuan bagi Dosen Pelaksana, Tujuan Bagi Mitra, dan Tujuan Bagi Bidang Keilmuan. Bagi pelaksana sendiri, kegiatan PkM ini mampu mengembangkan potensi diri dan memotivasi untuk menuangkan gagasan dalam berkesenian khususnya seni tari. Bagi mitra, akan tetap menjaga dan mengembangkan kesenian/tari-tarian tradisi sebagai kekayaan budaya bangsa, sedangkan bagi keilmuan kegiatan ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses
PEMBAHASAN Tari-tarian sebelum ada PkM merupakan tari-tarian bentuk yang sudah “mentradisi” di Bali. Gaya tarian
87
kebanyakan dari gaya Bali Selatan dan mengacu pada gerak-gerak yang dibakukan oleh lembaga kesenian, seperti Sekolah Menengah Kesenian dan Institut Seni Indonesia Denpasar. Walaupun demikian, bukan berarti gerak tari tersebut tidak bisa dikembangkan, akan tetapi semuanya memberi peluang bagi penari kreatif untuk berinovasi. Dalam kegiatan PkM, pengembangan tari yang dilakukan merupakan pengemasan pertunjukan tari; mulai dari susunan acara, jumlah materi tarian, dan tehnik pementasan. Disamping pertunjukan tari, akan ada pula apresiasi tentang latar belakang secara singkat dari tari Bali, juga diberi pemahaman dan apresiasi tentang penamaan gerak yang dikaitkan dengan lingkungan. Pemahaman ini perlu disosialisasikan agar penari, pelatih tari, atau pun masyarakat awam mempunyai bekal wawasan terhadap budaya Bali, khususnya kesenian, dan yang lebih spesifik lagi tari-tariannya. Kegiatan PkM ini dilakukan melalui beberpa tahapan, yaitu; 1) Penjajagan terhadap alumni; 2) Eksplorasi gerak;3) Eksplorasi iringan, 4) Penuangan/pelatihan gerak untuk adegan satu sampai empat, dan 5) Penjajagan pola lantai. Secara tradisi penari Tari Legong hanya dua orang, kemudian ada perkembangan menjadi 3 orang. Dalam kegiatan ini pengususul menggarapnya menjadi 6 orang penari. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan dipaparkan gerak tari yang dikembangkan dan gerak asalnya, serta pola lantai yang dicapai.
88
NO 1
GERAK ASLI
HASIL REKOMPOSE Adua penari berjalan cepat, saling berhadapan, berjalan melingkar, geser, saling memukul, sabet, lonjat, lari, saling dorong, memukul sambil melingkar dan keluar arena. Empat penari masuk dengan berjalan, lalu berputar dengan pelan, nyalud, nyerod, duduk
3
Ngengsrog, miles
Berjalan cepat beralih posisi
4
Angsel lantang
Dua penari angsel lantang, empat penari ngeliput di tempat
5
Pesiat
Pesiat: dua orang pukul, empat melingkari
2
KETERANGAN : Penari; 1. Kenni 2. Miranti 3. Manik 4. Rani 5. Hening 6. Warih
; : ; : : :
POLA LANTAI
saling orang
Arah hadap dan arah gerak : Posisi duduk:
89
Dibia, I Wayan, 2005, “Silang Gender dalam Dramatari Arja di Bali” dalam Cross Gender, Cava Media, Yogyakarta.
PENUTUP Untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan kerja keras dan ketekunan. Walaupun banyak rintangan, pengusul tetap berusaha mencapai tujuan semula yaitu mempresentasikan latar belakang recompose (menata ulang) tari yang ditampilkan. Dalam menata ulang suatu tarian tidak cukup berbekal pada kemampuan motorik belaka, namun juga diperlukan kemampuan penganalisaan tarian, iringan, dan lingkungan atau gaya menarikannya. Tarian tanpa iringan ibarat sayur tanpa garam. Ada beberapa orang (mungkin juga ahli, seniman) berpendapat bahwa menari tidak selamanya harus ada iringan, atau diam juga menari. Mungkin hal ini berlaku bagi koreografer atau seniman andal, namun bagi kebanyakan masyarakat menari tetap harus diiringi oleh iringan. Oleh sebab itu menata ulang tarian tradisi, kita harus pula menata ulang iringan tarinya. Konsentrasi pengusul tetap terfokus pada media gerak, dengan landasan interpretasi pada cerita yang akan diusung, tema yang harus ditampilkan, dan pemilihan gerak yang masih ada kaitannya dengan gerak-gerak Tari Legong. Untuk ini pengusul harus mampu menguasai secara teknis lebih dari dua tarian Legong, demikian pula gaya dan karakter dari masing-masing tarian Legong.
Djelantik, AAM, 1993, “Peranan Guru Seni Non Formal Dalam Masyarakat Suku Bangsa” dalam Mudra, jurnal ilmiah ISI Denpasar. Murgiyanto, Sal, 2002, Kritik TariBekal & Kemampuan Dasar, MSPI, Jakarta. Rohkyatmo, Amir, 1986, “Bagaimana Menyajikan Pementasan Tari Yang Baik” dalam Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Derks, Will, 2000, “Tubuh Liar Realisme Grotesk Dalam Cerita Melayu” dalam Menguak Tubuh, Jurnal Kebudayaan edisi 15.
90
PELATIHAN DAN PENGENALAN TEKNIK TARI GAYA YOGYAKARTA DI SANGGAR SENI BAGASKARA KOTA BOGOR JAWA BARAT Sriati Dwiatmini Program Studi Seni Tari, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No.121 Bandung
Abstrak Sanggar seni Bagaskara merupakan sanggar seni tari yang konsisten fokus pada pembelajaran taritari tradisi klasik gaya Sunda,/ Jawa Barat. diantaranya , Tari Dewi, Tari Sekar Putri, Tari Kandagan, Tari Merak, Tari Topeng dan lain-lain. Untuk menambah perbendaharan gerak tarinya, maka sanggar ini mendatangkan instruktur tari daerah lain, yang salah satunya kelas tari Jawa Yogyakarta. Kelas tari Jawa Yogyakarta diperuntukkan bagi siswi yang sudah mencapai tingkat maher, sehingga untuk mempelajari gaya tari baru, para siswa tidak begitu sulit dan hasilnya cukup bagus. Untuk melihat kwalitas hasil pembelajaran, maka setiap empat atau lima bulan belajar, sudah bisa mengikuti evaluasi yang diadakan setiap pada setiap semester. Kata Kunci : Tarian, gaya Yogyakarta Sanggar Bagaskara
PENDAHULUAN Sanggar seni Bagaskara adalah salah satu sanggar seni yang lokasinya di kota Bogor kurang lebih 100 km jarak tempuh dari lembaga STSI Bandung. Sanggar seni Bagaskara dipimpin oleh Rd Suci Wardini (seniman tari tradisi klasik Jawa Barat). Sanggar yang satu ini memiliki kekhasan tersendiri, yaitu salah satu sanggar yang konsisten dengan pembelajaran tari-tari klasik tradisi Jawa Barat,seperti tari Sekar Putri, Tari Kandagan, Tari Topeng, Tari Ratugraeni, Tari Dewi dan lain-lain, lebih kusus taritarian ciptaan bapak Rd Wawan Dewantara (Dalang dan Budayawan Bogor), yang tidak lain adalah ayah dari pemimpin sanggar Bagaskara. Instruktur sanggar kebanyakan hasil didikan pimpinan sanggar, selain itu ada juga dari
alumni STSI Bandung. Peserta didik yang ada di sanggar ini tidak terbatas, kebanyakan siswi Sekolah Dasar(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas(SMA), dan beberapa mahasiswa serta umum. Sanggar ini sudah berdiri sejak tahun 2009, sampai saat ini sudah beranggotakan lebih kurang 30 s/d 50. Siswa-siswi Sanggar Bagaskara, sudah banyak yang ikut berkiprah dalam berbagai lomba maupun acara-acara di lembaga pemerintah dan swasta, baik itu di Bogor maupun di luar kota Bogor, dan hasilnya tidak mengecewakan. Sejalan dengan perkembangan jaman, dan adanya permintaan dari beberapa siswi peserta didik, tentang penambahan materi selain tari tradisi Sunda, maka sanggar Bagaskara tidak
91
menutup kemungkinan, untuk memenuhi kemauan para siswa didiknya, dan memberanikan diri membuka kelas-kelas tari daerah lain ( tari Nusantara). Seperti Tari Betawi, Tari Bali, Tari Padang, Tari Palembang dan Tari Sulawesi. Bagi zsanggar Bagaskara, tari-tarian daerah lain merupakan bumbu yang dijadikan penyedap sebuah pertunjukan pada saat evaluasi akhir pembelajaran. Intinya sanggar Bagaskara tetap konsisten menggali dan melestarikan akar budaya Sunda, tanpa mengesampingkan budaya daerah lain. Salah satu tari nusantara yang belum pernah diajarkan yaitu tari Jawa, pimpinan sanggar berkeinginan untuk mencari instruktur tari Jawa untuk menambah perbendaharaan tari nusantara yang sudah dimiliki. Sanggar Tari Bagaskara adalah sanggar tari yang dasar pembelajarannya ber dasar pada tari Jawa barat, tetapi pada perkembangannya, mengadakan pembelajaran tari dari daerah lain yaitu tari Betawi, tari Padang, dan yang terbaru adalah tari Jawa Jogjakarta. Permasalahan yang mendasar adalah bahwa memberikan materi tari daerah lain dalam lingkungan yang sudah mentradisi, kurang begitu diminati, tetapi semangat belajar yang sering saya tanamkan akhirnya anak-anak bersemangat juga untuk belajar tari Jawa Jogjakarta. 1. Bagaimana cara memberikan teknik-teknik gerak tari Jawa Yogayakarta kepada siswa pelatihan dengan cara yang sederhana?
2. Bagaimana cara meyakinkan kepada mereka bahwa tari Jawa Jogjakarta tidak sulit? Pelaksana PKM, untuk kegiatan instruktur di sanggar Bagaskara, kota Bogor, Jawa Barat ini adalah : 1.Dra.Sriati Dwiatmini,M.Hum di bantu para instruktur yang ada di lingkungan sanggar Bagaskara. Kegiatan yang akan di lakukan yaitu pelatihan langsung di lingkungan sanggar Bagaskara, dengan menyesuaikan jadwal yang sudah ditentukan oleh pihak pengelola sanggar, waktu pelatihan pada setiap hari Minggu jam 16 s/d 17.15 WIB. PEMBAHASAN Adapun focus materi PKM ini adalah tari Golek Sulung Dayung, yang sudah dipadatkan menjadi 7 menit.Tarian ini memiliki bentuk-bentuk gerak yang sederhana, sehingga siswa-siswa pelatihan cepat menangkapnya. Seorang Pelatih memberikan beberapa contoh motif-motif gerak, bentuk gerak, cara bergerak, dan mendemonstrasikan seluruh bentuk gerak yang akan di ajarkan. Uraian Kegiatan Pelatihan di awali dengan mengadakan perkenalan dari pelatih dan siswa peserta didik, yang dilanjutkan dengan pengenalan beberapa motif gerakgerak dasar, seperti gerakan kaki merendah, njinjit, trisig, kicat, gerakan tangan, ngruji, ngithing, nyempurit, ngepel, njimpit sampur, cathok sampur,cangkol sampur dan masih banyak lagi yang akan di berikan secara bertahap sesuai dengan kemampuan peserta pelatihan.
92
Mengulang dan menambah gerak muryani busono bagian ke dua dan iringan musiknya.
Kronologi dan Jadwal Kegitan Pelatihan Bentuk dan Motif gerak 1. September Minggu pertama Pengenalan dan pemaparan tentang pembelajaran tari gaya Yogyakarta, dengan mengenalkan secara angsung bentuk-bentuk gerak, baik itu tangan, kaki, badan, dan cara-cara menggunakan kain dan sampur. Dilanjutkan dengan memberi contoh gerakan: Samber kanan dan kiri, kicat cangkol udet memutar. Tanpa ketinggalan dengan memutarkan musik iringan tari Yogjakarta sebagai pengiringnya.
7. Oktober, Minggu ke tiga; Mengulang gerak yang sudah diberikan menambah gerakan atrap cunduk, kanan, kiri, kanan, diteruskan dengav gerakan tinting, kanan, kiri, kanan dengan pengenalan musik pengiringnya. 8. Oktober, Minggu ke empat; Mengulang dan menambah gerakanmuryani busono (dolanan supe) kanan,kiri, kanan berikut dengan musik pengiringnya.
2. September, Minggu ke dua; Mengulang materi dan menambah gerakan Muryani busono (ulap-ulap, tasikan, atrap jamang) bersamaan dengan music pengiringnya.
9. Nopember, Minggu pertama; Gerak berikutnya adalah gerak ngilo sampur ke kanan, kiri lepas dan menuju gerak berikutnya. Mengulang keseluruhan gerak dan menambah gerakan embat-embat asto, kanan, kiri kanan, disertai dengan musik sebagai pengiringnya.
3. September , Minggu ke tiga; Mengulang gerak dan menambah gerakan baru yaitu gerak sendi embat tangan kiri, maju cathok ke dua sampur, lalu ke gerak pendapan cathok udhet miling-miling.
10. Nopember, Minggu ke dua; Menambah gerak samber kanan, samber kiri putar dan menuju keluar arena pertunjukan. Mengulang secara keseluruhan gerak yang sudah diajarkan dengan pembenahan-pembenahan bentuk-bentuk gerak, posisi tangan da kaki, kepala dan pandangan serta beberapa gerakan yang masih perlu pembenahan.
4. September, Minggu ke empat; Mengenalkan gerak baru yaitu kanggeg ukel asto, di tambah menuju gerak kicat tawing putar. 5. Oktober, Minggu pertama; Manambah gerak kicat tawing putar kanan dan maju mundur berikut mengenalkan music sebagai pengiringnya.
11.Nopember , Minggu ke tiga: Membuat kelompok-kelompok untuk bahan evaluasi akhir pembelajaran, memberi pengarahan
6. Oktober, Minggu ke dua;
93
tentang membuat polai lantai, mulai latihan kelompok. Mematangkan latihan kelompok, dan perencanaan kostum, rias busana, yang akan di pakai pada evaluasi akhir.
peserta sanggar dapat berapresiasi dengan menambah wawasan tentang bentukbentuk tari daerah lain.Dari pengamatan di kelas Tari Jawa Yogyakarta, peserta didik merasa senang dapat belajar Tari daerah lain kususnya Tari Yogjakarta, yang selama ini jarang dia dapatkan. Semoga sanggar Tari Bagaskara semakin maju dan tetap mempertahankan nilainilai budaya daerah tidak hanya di wilayah Jawa Barat.
12. Nopember,Minggu ke empat Pelaksanaan evaluasi akhir,pembuatan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban, pelatihan tari di sanggar Bagaskara. 13.Desember, Minggu 1: Penyerahan laporan. Tahapantahapan latihan yang sudah penulis lakukan ternyata membantu siswa lebih cepat dalam memahami materi latihan yang di ajarkan. Sehingga dengan hanya 12 kali pertemuan dalam 3 bulan siswa sudah mampu menarikan tari Jawa Yogyakarta ( Tari Golek Sulung dayung) .Keberhasilan ini tentunya tidak lepas dari dukungan berbagai pihak diantaranya pimpinan sanggar Bagaskara, pengajar-pengajar dan pihak orang tua yang selalu memberi dukungan baik moril maupun materiil.
DAFTAR PUSTAKA Adeng, ed.2006. Upacara Tradisional Di kampung Urug. Bogor: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Bogor. Caturwati, Endang, ed. 2008. Tradisi Sebagai Tumpuan Kreativitas Seni. Bandung: Sunan Ambu STSI Press. Dewan Ahli Yayasan Siswa Amongbekso, Ngayogyokarto Hadiningrat, 1981. Kawruh Joged-Mataram.
PENUTUP Sanggar seni Bagaskara merupakan sanggar seni yang konsentrasi pada seni tradisi klasik Jawa Barat. Tari-tarian yang diajarkan kebanyakan Tari Dewi,tari Merak, Tari Sekar Putri, Tari Kandagan, Tari Topeng, dan Tari Gatotkaca. Disamping berkonsentrasi pada tari-tarian tradisi, sanggar seni Bagaskara juga tidak menutup kemungkinan utnuk membuka kelas-kelas tari Nusantara, baik itu Tari Bali, Tari Melayu, Tari Betawi dan bertambah lagi yaitu Tari Jawa Yogyakarta, yang sedang berlangsung. Dengan adanya tari Nusantara,maka
94
PELATIHAN PEMANFAATAN LIMBAH GERABAH SEBAGAI ELEMEN ESTETIK INTERIOR DI SENTRA KERAJINAN KERAMIK HIAS PLERED KABUPATEN PURWAKARTA Gerry Rachmat¹; Deni Yana², Nani Sriwardani³ Program Studi Seni Rupa, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No 121 Bandung
Abstrak Program Pengabdian Kepada Masyarakat ini merupakan kegiatan penerapan ilmu pengetahuan yang bersifat aplikatif, dengan tujuan untuk membuka wawasan dan peluang baru bagi para pengrajin keramik hias khususnya pengrajin keramik hias di sentra kerajinan keramik Plered Kabupaten Purwakarta berupa jenis produk baru dengan memanfaatkan limbah gerabah menjadi produk kreatif dalam bentuk elemen estetis untuk interior sebagai upaya penyelamatan lingkungan dan peningkatan nilai tambah untuk kesejahteraan perajin. Pendekatan yang digunakan dalam pemecahan masalah dalam program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini dilakukan dengan metode pendampingan dan workshop melalui tahapan kegiatan: Pengumpulan data (Identifikasi), Analisis, Pengembangan (eksplorasi) dan pembuatan mock up/model, Penerapan mock up/model (pelatihan dan workshop), Evaluasi. Program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini dilakukan selama 8 bulan dengan jadwal pelaksanaan di satu lokasi yakni sentra industri kerajinan keramik hias Plered Kabupaten Purwakarta dengan mitra para anggota Pokja Klaster Keramik Plered. Kata kunci : elemen interior, limbah, gerabah, keramik hias , plered.
gerabah tradisional sejak masa penyebaran agama Islam untuk keperluan sehari-hari seperti kendi, pendil,celengan, dll. Plered terkenal sebagai sentra industri kerajinan keramik hias dengan skala produksi industri rumah tangga (home industry) yang kemudian menjadi ikon daerah tersebut. Perkembangan kerajinan keramik hias Plered dari mulai awal perintisannya hingga saat ini terus mengalami pasang surut. Berbagai upaya pengembangan dalam bentuk pelatihan dan pendampingan baik dalam aspek teknologi, desain dan manajemen terus
PENDAHULUAN Gerabah merupakan istilah lokal Indonesia untuk menyebut produk keramik yang dibuat dengan jenis tanah liat Earthenware dengan suhu bakar dibawah 900°C. Adapun pembuatan gerabah sebagai produk kerajinan keramik hias di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta telah berkembang sejak masa kolonial Belanda yakni tahun 1935, diawali dengan berdirinya pabrik keramik berglasir milik orang Belanda bernama Hendrik De Boa. Perajin setempat pada awalnya hanya membuat bata genteng dan produk keramik jenis
95
dilakukan sejak tahun 1950 oleh pemerintah melalui Departemen Perindustrian baik pusat, provinsi maupun daerah dengan melibatkan lembaga-lembaga seperti Balai Besar Keramik (BBK) maupun perguruan tinggi seperti ITB sebagai pelaksananya. Adanya upaya tersebut membuat produk kerajinan keramik hias Plered terus mengalami perkembangan bahkan pada tahun 1980.an mampu menembus pasar ekspor. Pusat produksi sentra kerajinan keramik hias Plered tersebar di tiga lokasi dengan jenis produk dan orientasi pasar yang berbeda yakni : Kampung Lio yang sebagian besar perajinnya membuat produk keramik hias dan pakai jenis gerabah tradisional untuk pasar lokal, Gunung Cupu dengan produk keramik pakai untuk eksterior berupa pot untuk pasar lokal dan ekspor dan Anjun dengan produk keramik hias untuk elemen interior untuk pasar lokal dan ekspor.
pertama gerabah sebagai fasilitas penunjang di SPA (keramik fungsi, sedangkan materi kedua Keramik sebagai Home Decoration. Desain dan Prototype Produk Limbah Gerabah Untuk pelatihan ini tim PKM mempersiapkan beberapa gambar desain produk gerabah dan prototype produk gerabah yang nantinya akan dikerjakan oleh perajin keramik di Plered, Purwakarta. Produk yang dibuat gambar kerjanya ini merupakan hasil survey dari produk yang telah berada di tumpukkan barang sisa / limbah di lokasi para perajin, produk ini yaitu berupa botolbotol keramik, pot keramik, keramik dekorasi, dll. Desain limbah gerabah yang dipilih merupakan desain yang tidak memerlukan banyak pengolahan gerabah, hanya membutuhkan bahan material penunjang seperti frame kayu, multipleks, dan akrilic. Dari pembuatan prototype diketahui bahwa keterampilan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk ini adalah perlunya pengetahuan untuk membaca gambar kerja dan ukurannya, dan keterampilan. Target dan luaran dari program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang dilakukan selama 8 (delapan) bulan pada anggota Pokja Klaster Keramik Hias Plered Program ini yakni berusaha membuka peluang baru bagi para pengrajin keramik hias khususnya pengrajin keramik hias di Plered, kabupaten Purwakarta, berupa jenis produk yang baru dengan memanfaatkan limbah gerabah menjadi produk kreatif berupa elemen estetik untuk interior.
PEMBAHASAN Pelatihan (Workshop) Pembuatan Produk Bambu Pelatihan atau workshop mengenai limbah gerabah ini dilaksanakan di Lit Bang Keramik Plered Purwakarta. Peserta pelatihan terdiri dari sembilan belas orang pengrajin gerabah dengan beragam keahlian. Waktu pelaksanaan pelatihan yaitu 2 hari untuk materi dari pukul 10.00-15.00 WIB dan 2 hari untuk pembuatan model setelah dibagi menjadi beberapa kelompok perajin sesuai bidang keahlian. Materi untuk worshop sebelumnya telah dipersiapkan terlebih dahulu, Materi
96
Luaran dari kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini berupa 2 (dua) seri elemen estetis untuk interior dalam bentuk karya tiga dimensional dengan perkiraan ukuran terlampir pada (tabel 1). Tabel di atas adalah beberapa material yang akan dikolaborasikan dengan limbah gerabah dalam pembuatan pembuatan elemen estetis untuk interior.
DAFTAR PUSTAKA Sidarto, 1983. Keramik Plered, Skripsi, ITB Susanto, Mikke. 2011, Diksi Rupa, Dicti Art Lab Yogyakarta and Jagad Art Space Bali. Dokumentasi dan Data UPTD Litbang Keramik Plered Diskoperindag Kabupaten Purwakarta Tahun 2005 Dokumentasi dan Data Pokja Klaster Keramik Plered Tahun 2006- 2013
PENUTUP Kesimpulan Sebagaimana penjelasan mengenai kegiatan pengabdian pada masyarakat dalam Pelatihan Pembuatan Elemen Estetik Untuk Interior Melalui Pemanfaatan Limbah Gerabah, karena dirasakan masih banyak manfaat yang bisa diambil dari limbah gerabah tersebut. Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk peduli akan dampak yang terjadi dari penyimpanan sisa gerabah yang tidak terpakai sehingga menimbulkan hunian pemandangan yang kurang nyaman bagi lingkungan sekitar (tumpukkan limbah gerabah). Pemanfaatan adalah salah satu cara untuk membuat limbah tersebut menjadi lebih berguna. Pelatihan kepada para perajin keramik merupakan sasaran utama, dengan alasan mereka lah yang menimbulkan limbah tersebut. Semoga dengan adanya pelatihan ini para perajin menjadi terbuka wawasan nya mengenai desain pemanfaatan limbah yang meraka hasilkan dan mereka anggap tidak bernilai menjadi sesuatu yang bernilai.
Dokumentasi Kantor Kepala Desa Anjun Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta Dokumentasi dan Catatan Lapangan Deni Yana Tahun 2006- 2013 Dokumentasi dan Catatan Lapangan Gerry Rachmat Tahun 2013- 2014
97
Lampiran
Gbr. 1. Sketsa prototype desain limbah gerabah
Gambar 2. Pelatihan Limbah gerabah di LitBang keramik hias Plered. (Sumber : Gerry Rachmat, 2014)
98
Tabel 01: Dimensi Limbah Material & Material Lain.
NO
P
L
T
KOLABURASI MATERIAL (Limbah Gerabah dan Material Berikut)
1
60
60
4
Kayu
4
60
60
4
Akrilic
99
FESTIVAL “GUNUNG KROMONG PALIMANAN” SEBAGAI AKSI SOSIAL BUDAYA DAN PELESTARIAN SENI RAKYAT Jaeni Program Studi Teater, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl Buah batu no 212 Bandung
Abstrak Festival “Gunung Kromong Palimanan” merupakan festival seni budaya sebagai wujud aksi sosial budaya dan pelestarian seni rakyat yang bermuara pada kepedulian lingkungan. Aksi ini sangat penting diselenggarakan untuk membangun kembali pilar-pilar kebangsaan berkelanjutan seperti ekologi/alam, sosial budaya, ekonomi, dan kesejahteraan bagi masyarakat daerah tersebut setelah sekian lama berubah menjadi wilayah Industri sejak dibangunnya Pabrik Semen Tiga Roda Cirebon pada tahun 1988. Metode yang digunakan adalah metode riset pengabdian masyarakat dengan mengadakan aksi revitalisasi aset budaya, mengkoordinasi generasi muda, mengadakan festival seni budaya. Melalui metode tersebut, Festival seni budaya dapat terwujud dalam mengatasi perubahan sosial budaya masyarakat dengan berpegang pada nilai-nilai budaya yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat. Hasil dari riset pengabdian kepada masyarakat ini berupa festival seni budaya yang terdiri dari arak-arakan (pawai budaya) dan sajian seni pertunjukan yang dikemas dalam Gunung Kromong Performing Arts. Kata kunci: Festival, Gunung Kromong Performing art, Aksi Sosial Budaya, Pelestarian
PENDAHULUAN Berdirinya pabrik semen Tiga Roda di desa Palimanan Barat, kecamatan Gempol, kabupaten Cirebon selama kurang lebih 25 tahun, mulai menampakkan dampak sosial budaya bagi masyarakat sekitarnya. Dampak sosial budaya tersebut tidak hanya dirasakan oleh masyarakat desa Palimanan Barat yang menjadi pusat aktivitas kerja armada PT. Semen Tiga Roda, tetapi dirasakan pula oleh masyarakat desa lainnya, seperti desa Gempol, Cikeusal, Kedung Bunder, Cupang, dan Walahar yang berada di sekeliling pabrik tersebut.
Dampak sosial budaya pada masyarakat tersebut merupakan bagian dari proses dinamika masyarakat transisi yang juga memunculkan dampakdampak lain, seperti keseimbangan ekologi, faktor ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sangat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat di desa-desa yang ada di kecamatan Gempol, terutama desa Palimanan Barat, desa Gempol, dan desa Kedung Bunder yang berada persis di tengah-tengah aktivitas industri pabrik semen tiga roda. Kehidupan sosial budaya masyarakat desa Palimanan Barat yang
100
terpengaruh dampak industrialisasi semakin jauh dari karakter masyarakat desa yang hidup penuh dengan gotong royong, saling memelihara tradisi budaya, termasuk juga memelihara alam lingkungannya. Tidak ada lagi aktivitas masyarakat sawah, apalagi upacaraupacara adat yang sebenarnya bisa menjaga kosmos hidup mereka. Perubahan sosial budaya masyarakat adalah konsekuensi logis dari perubahan sosial, yang oleh Himes dan Moore (Soelaiman, 1998:115) diidentifikasi memiliki dimensi struktural, kultural, dan interaksional. Dimensi-dimensi tersebut dapat dicatat sebagai upaya mencari solusi dalam memperkecil dampak-dampak perubahan sosial budaya masyarakat. Sementara Ogburn (1932) dalam Social Change mencatatkan bahwa perubahan sosial akan menyangkut juga perubahan terhadap teknologi yang dipakai dalam kehidupan masyarakat yang akan mengakibatkan perubahan terhadap lingkungan material dan cara mengaturnya, serta menimbulkan perubahan terhadap kebiasaan-kebiasaan dalam lembaga sosial. Pada sisi kehidupan budaya, Sorokin (1956) melihat perubahan sosial masyarakat Barat abad XX sebagai perjalanan mentalitas budaya, dari mentalitas ideasional, inderawi, hingga idealistik. Melalui perspektif Sorokin, masyarakat Indonesia dapat dikategorikan sebagai masyarakat menghadapi perubahan social dengan perjalanan mentalitas budaya hanya sampai pada mentalitas inderawi yang bersifat material. Mentalitas Inderawi ini harus digabung dengan mentalitas
sebelumnya yaitu mentalitas ideasional yang non material. Hal ini untuk mendapatkan pegangan dalam menghadapi perubahan sosial budaya dengan mentalitas yang idealistik, yaitu penggabungan antara yang ideasional dengan inderawi. Sekalipun Sorokin mencontohkan pada masyarakat Barat, bukan berarti Indonesia harus menjadi Barat. Apa yang dikatakan Sorokin bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat di desa-desa di Indonesia untuk menyikapi perubahan sosial budaya dengan kesadaran terdapatnya perjalanan mentalitas masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran tersebut dalam perspektif perubahan sosial budaya masyarakat akan mempertinggi kemajuan manusia dan terhindar dari dampak-dampak negatif perubahan sosial (Salim, 2002:182). Melalui catatan-catatan teoretis yang sudah dijelaskan di atas, nampaknya perubahan sosial dalam masyarakat yang cenderung berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat dapat dikawal dengan aktivitas-aktivitas budaya masyarakatnya yang dulu telah menjadi nilai-nilai dasar dalam kehidupannya. Munculnya teknologi perlu dikawal dengan kesalehan kultural yang masyarakat miliki. Alasan-alasan itu yang mendorong gagasan agar bentuk-bentuk aktivitas kultural patut digalahkan sebagai aksi sosial budaya yang dapat menjamin munculnya perubahan sosial budaya di tengahtengah masyarakat. Gagasan ini tidak secara murni muncul begitu saja, akan tetapi mengadopsi pendapat Jean-louis Fabiani (2011: 95) ketika meneliti Avignon Theatre Festival di Perancis.
101
Festival budaya masyarakat seperti ini merupakan milik masyarakat lingkungannya yang dapat menjadi pengingat memori kolektif sebagai modal sosial agar tidak terjadi atomisasi (perpecahan sosial). Dengan demikian, bentuk festival seni budaya yang diselenggarakan oleh masyarakat tersebut, kiranya dapat menjadi solusi dalam membangun pilar-pilar kebangsaan dalam suasana perubahan sosial budaya masyarakat dewasa ini. Akhirnya, era industri yang berlangsung seharusnya tidak menghilangkan nilai-nilai hidup atau pilar-pilar kebangsaan yang menyangkut pemeliharaan ekologi/alam demi keseimbangan lingkungan, kehidupan sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan, peningkatan ekonomi demi kesejahteraan masyarakatnya. Banyak hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan pilar-pilar kebangsaan tersebut. Dengan demikian, sesuai kapasitas peneliti di bidang seni budaya, maka dibutuhkan rekayasa sosial berupa festival seni budaya sebagai aksi sosial budaya yang sekaligus menjadi upaya menghidupkan kembali tradisi seni budaya yang menyimpan nilai-nilai dan karakter lokal masyarakatnya. Bentuk riset ini diaplikasikan ke dalam aktivitas Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang yang lebih konkrit melalui Festival “Gunung Kromong Palimanan” Sebagai Aksi Sosial Budaya dan Pelestarian Seni Rakyat. Target program ini diarahkan pada penciptaan kehidupan sosial budaya masyarakat yang harmonis dengan menjadikan bentuk festival sebagai bentuk pemuliaan lingkungan alam, sosial, dan budaya.
MATERIAL DAN METODE Metode dalam garap festival Gunung Kromong Palimanan merupakan metode praktis penciptaan seni yang membutuhkan material seni dan cara-cara pengkemasan seni. Material yang digunakan dalam metode ini terdiri dari material yang ada di sekitar lingkungan tersebut, meliputi; kertas semen, bambu, cat warna, gerobak, kertas warna, kain, lem, paku, dan beberapa perlengkapan seni gamelan wayang kulit, keyboard, gitar, drum, saxsofon, serta konstruksi panggung standar. Adapun metode penciptaannya melalui proses kerja kreatif pengkemasan seni yang memakan waktu sekitar 3 bulan. Sebelum pengkemasan festival dimulai, beberapa aktivitas dijalankan dengan mengkoordinasi organisasi kepemudaan, aksi revitalisasi aset seni budaya setempat, dan pelatihan-pelatihan. Setelah aktivitas pra pengkemasan itu terwujud, maka aktivitas pengkemasan dimulai dengan mengkemas arak-arakan (pawai budaya) dan selanjutnya sembari berjalan proses pengkemasan arakarakan dilaksanakan pula aktivitas pengkemasan Gunung Kromong Performing Art. Kedua proses pengkemasan seni budaya tersebut, selanjutnya dipertunjukan dalam bentuk Festival Gunung Kromong Palimanan Cirebon, selama 17 jam. HASIL DAN PEMBAHASAN Arak-arakan dan Gunung Kromong Performing Art Hasil kerja riset pengabdian kepada masyarakat berupa rangkaian
102
festival gunung kromong Palimanan yang terdiri dari pesta arak-arakan (pawai budaya) dan Gunung Kromong Performing Art, di samping sebuah bentuk organisasi kepemudaan yang bertujuan khusus dalam pelestarian dan pengembangan seni di lingkungan hidupnya. Dalam pesta arak-arakan (pawai budaya) melibatkan 60 kelompok dari 3 desa (Palimanan Barat, Gempol, dan Kedung Bunder) yang diikuti sebanyak 500 orang penampil. Pawai budaya ini menampilkan banyak replika binatang, baik binatang darat maupun air, juga binatang khayalan masyarakat setempat, yang menempuh perjalanan 3 km selama 4 jam. Pawai budaya berlangsung sejak pukul 7.30 hingga 11.00 hingga memasuki area festival gunung kromong Palimanan. Setelah beristirahat kurang lebih dua jam, di panggung utama dipersiapkan penampilan seni tradisi dan musik modern, di antaranya rampak topeng klana dan penampilan band yang diwakili oleh seluruh wilayah III Cirebon. Selanjutnya, acara festival gunung kromong Palimanan berlangsung malam hari, dimulai dari pukul 20.00 sampai 23.00 dengan menampilkan pertunjukan utama yaitu Gunung Kromong Performing Art. Gunung Kromong Performing Art melibatkan 44 pelaku seni dan didukung oleh panitia festival yang melibatkan warga 3 desa sebanyak 42 orang. Pertunjukan ini diawali dengan musik pembuka festival gunung kromong dan sambutan dari pimpinan wilayah Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon.
Selanjutnya, pertunjukan dalam festival ini menyajikan gunung kromong performing art, yang merupakan pertunjukan kolaborasi antara seni tradisi yang dimiliki masyarakat setempat dengan kreativitas anak muda dalam musik metal. Unsur-unsur seni yang dilibatkan dalam gunung kromong performing art ini meliputi; Sintren, Rudat, topeng palimanan, Kuda Lumping, musik Metal, dan Wayang kulit Cirebon. Seluruh unsur seni itu dikemas dalam satu sajian dramatis melalui suasana musikal dan ditutup dengan cerita Jaya Boma dari pertunjukan wayang kulit purwa. Festival sebagai Aksi Sosial Budaya dan Pelestarian Seni Rakyat Arak-arakan dan gunung kromong performing art dalam Festival gunung kromong merupakan bentuk festival pertama bagi masyarakat kecamatan Gempol, kabupaten Cirebon. Peristiwa budaya ini mengingatkan kembali warganya terhadap masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara kesuburan yang diiringi dengan sajian seni pertunjukan. Kerjasama dan gotong-royong terlihat pada aktivitas seluruh warga untuk mewujudkan festival gunung kromong ini selama seminggu terakhir menjelang festival dimulai. Inilah yang menjadi bagian dari aksi sosial budaya dari penyelenggaraan bentuk festival. Selama arak-arakan berlangsung di sepanjang jalan, partisipasi warga begitu antusias untuk menyaksikan pawai budaya tersebut. Atmosfir ini yang oleh warga masyarakat dirindukan untuk melihat kembali sebuah kebersamaan dan ikatan
103
sosial yang dikemas dalam bentuk peristiwa budaya. Sementara itu, pertunjukan gunung kromong performing art dalam festival yang diselenggarakan pada malam hari merupakan upaya pelestarian seni rakyat yang dikombinasikan dengan kreativitas generasi muda saat ini. Masyarakat menikmati kembali seni tradisi sintren, rudat, kuda lumping, topeng ciluwung (palimanan) dan wayang kulit yang menjadi pasangan pertunjukan itu setelah sekian lama tidak pernah melihat kesenian tersebut. Akselerasi kehidupan sosial yang menekan masyarakat lingkungan di sekitar pabrik semen Tiga Roda tersebut menyebabkan jurangjurang kerukunan warga dan menciptakan diferensiasi sosial yang mencolok. Hadirnya festival gunung kromong menciptakan kembali tradisi mementaskan sebuah pertunjukan di sebuah ruang terbuka dan membebaskan masyarakat menikmati pertunjukan tersebut. Hal ini dirasakan oleh seluruh warga masyarakat menjadi penting sebagai romantisme masyarakat lingkungan tersebut. Festtival Gunung Kromong Palimanan 2014 yang diselenggarakan ini akhirnya dapat menciptakan harmonisasi atas pemuliaan seni budaya, alam, dan lingkungan sosial. Hal ini sengaja diciptakan untuk memberikan spirit terhadap masyarakat kecamatan Gempol, Cirebon agar selalu kreatif membangun pilar-pilar kebangsaan melalui kreativitas seni budaya.
PENUTUP Simpulan Dari keseluruhan kerja riset pengabdian kepada masyarakat, kiranya dapat disimpulkan bahwa melalui kerja tersebut maka terbentuknya organisasi pemuda dan masyarakat yang akan menyelenggarakan festival gunung kromong Palimanan secara berkelanjutan. Hal ini menunjukkan soliditas ikatan sosial antargenerasi muda di seluruh desa yang ada di kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon. Kerja ini juga memberikan pola terhadap bentuk pelestarian seni tradisi yang dikemas dalam arak-arakan (pawai budaya) dan satu pertunjukan (gunung kromong performing art) yang dikemas dalam bentuk festival yang khas, yaitu festival gunung kromong. Dengan demikian, penciptaan sebuah festival ini menjadi bagian dari kerja rekayasa sosial budaya bagi masyarakat, guna pemuliaan lingkungan alam, sosial, dan budaya. DAFTAR PUSTAKA Fabiani, Jean-Louis, 2011. “Festivals, local and global: Critical interventions and the cultural public sphere” in Festivals and the Cultural Public Sphere. edited by Giorgi, Liana. Monica Sassatelli and Gerard Delanty , Routledge 711 Third Avenue, New York. Ogburn, W.F. 1932. Social Change, Viking, New York Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana
104
Sorokin, Pitirin. 1956. Social and Culture Dynamics. Boston: Porter Sargent. Sulaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
105
LAMPIRAN
Gambar 1: Rangkaian aktivitas arak-arakan (pawai budaya) Festival Gunung Kromong Palimanan 2014
Gambar 2: Rangkaian aktivitas pertunjukan pengisi waktu siang hari, gelar topeng Palimanan dan festival musik metal, Festival Gunung Kromong Palimanan 2014
106
1. Sintren
4. Kuda Lumping
2. Rudat
5. Musik Metal
3. Topeng Ciluwung (Palimanan)
6. Wayang Kulit Cirebon
Gambar 3. Rangkaian pertunjukan gunung kromong performing art dalam Festival Gunung Kromong Palimanan 2014
107
REKONTRUKSI DAN REVITALISASI SANDIWARA SUNDA DALAM UPAYA MEMPERTAHANKAN DAN MENGEMBANGKAN BAHASA DAN BUDAYA LOKAL Retno Dwimarwatiˡ, Yadi Mulyadi², Afri Wita³ Program Studi Seni Teater, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah batu no 212, Bandung
Abstrak Sandiwara Sunda memiliki berbagai unsur seni tradisi yang perlu diberdayakan agar generasi muda dapat mengapresiasi seni leluhur yang semakin punah.Pengenalan bentuk pertunjukan secara estetis memiliki nilai-nilai dibalik peristiwa yang memungkinkan penggalian budaya Sunda.Fungsi Sandiwara dapat menjadi sarana didaktik dalam mengajarkan budi pekerti pada kaum muda di Jawa Barat. Kondisi Sandiwara yang memiliki keterikatan pada unsur artistik seperti layar pengadegan, bermain di panggung proscenium, music dengan gamelan utuh, ketersediaan actor yang mampu menari, menyanyi, lawakan, dan actingmenjadi kajian menarik ketika pelaku sandiwara yang asli telah wafat dan tidak ada regenerasi dalam pewarisan bentuk seni tersebut.Oleh karena itu, peneliti sebagai bagian dalam kehidupan kesenian mencoba untuk merekonstruksi dan merevitalisasi Sandiwara Sunda sesuai dengan perkembangan masyarakat sekarang. Metode yang digunakan dalam aplikasi penelitian ini menggunakan metode Pavis dalam transformasi budaya Sunda ke dalam konkretisasi ide dalam bentuk naskah, konkretisasi dramaturgis, konkretisasi pemanggungan, sehingga dapat diapresiasi oleh generasi muda.Eksplorasi dan pelatihan dilakukan pada mahasiswa (generasi muda) dengan mengenalkan bentuk sandiwara Sunda sekaligus praktik berbahasaagar memahami budaya Sunda. Kata Kunci: Sandiwara, eksplorasi, dan praktik budaya Sunda
PENDAHULUAN Sandiwara Sunda merupakan teater tradisi Jawa Barat yang marak di era 1960-1990, hampir setiap kota-kota besar memiliki kelompok Sandiwara Sunda.Kota Bandung menjadi pusat perkembangan Sandiwara sunda terbesar karena hampir di setiap pasartradisional memiliki satu tempat pertunjukan Sandiwara yang disebut gedong sandiwara. Sama halnya dengan pertunjukan sejenis sandiwara di daerah lain, seperti Sri Mulat dan Ketoprak (Jawa
Tengah), Ludruk (Jawa Timur), Makyong (Riau), dan Bangsawan (Palembang). Perkembangan Sandiwara Sunda di Jawa Barat, terutama di kota besar seperti Bandung, Sumedang, Garut, Tasik, Bogor, Sukabumi, dan Cianjur pada tahun 1960an memiliki kelompok sandiwara yang cukup terkenal dan sering mengadakan pertunjukan. Terutama di Bandung hampir di setiap pasar memiliki gedung pertunjukan sandiwara, seperti pasar Kosambi (Kelompok Sri Murni), pasar Remas Condong, Dayeuh Kolot (kelompok Sinar Budaya), Pasar Banjaran
108
(kelompok Sinar Mustika), Tegalega (kelompok Sinar Muda), dan daerah Sukajadi (kelompok Purwa Setra). Selain itu ada beberapa kelompok sandiwara gembol yang melakukan pementasan secara berkeliling, seperti Sanggar Victa dan Jati Nugraha. Kelompok Sri Murni di Pasar Kosambi setelah tergusur karena perombakan pasar, terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu Sri Murni, Sri Mukti, dan Dewi Murni yang kemudian berpentas di Gedung Kesenian Rumentang Siang (GKRS) Bandung. Pertunjukan Sandiwara Sunda memiliki beberapa bentuk pertunjukan, yaitu terdiri dari cerita Roman (realisme), Desick (cerita 1001 malam dan wayang Parsi dari Bombay, Ketley, 2000), Babad (cerita legenda, mitos, sejarah), dan cerita wayang. Dengan demikian bentuk pertunjukan ini dapat mewadahi berbagai sumber cerita yangdikembangkan dalam bentuk seni yang kompleks, seperti tari, musik, tata pentas/ tata rupa, akting, dan sastra. Setiap bentuk pertunjukan memiliki kekhasan masing-masing dengan pendekatan yang berbeda, sehingga apabila diteliti akan menghasilkan kajian yang cukup menarik. Pertunjukan sejenis di kota lain masih tetap hidup, dilakukan, dan digemari masyarakatnya. Sedangkan di Sunda (Jawa Barat) kelompok Sandiwara Sunda kehilangan penonton sebagai penyangganyajuga banyak pelaku kesenian yang wafat, sekaligus tidak adanya regenerasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut.Demikian halnya dengan kelompok Sandiwara Sunda ‘Miss Tjitjih’ di Jakarta yang telah memiliki gedung sendiri yang
representatif dan dipelihara oleh Pemda DKI,namun tetap tak mampu menjaring penonton. Hal ini disebabkan karena orang Sunda di Jakarta tersebar dan kesulitan menjangkau tempat pertunjukan juga karena tergerusnya rasa cinta orang Sunda terhadap lakon-lakon Sunda. (Pikiran Rakyat, 7 Maret 2010). Sebuah kelompok pertunjukan jika tidak melakukan pementasan berarti mati, meskipun kelompoknya masih ada. Brandon mengatakan sebuah pertunjukan akan bertahan jika mendapatkan ‘kontrak sosial’ dalam mengatur kelompok tersebut dengan pendukungnya. Dukungan tersebut berupa keterikatan dengan pemerintah, dukungan ekonomi, dan dukungan komunal (Caturwati,2011:40). PEMBAHASAN Upaya Rekonstruksi dan Revitalisasi Sandiwara Sunda Sebuah pertunjukan/kelompok dapat bertahan jika frekuensi pertunjukan berjalan dengan baik, terjadi proses pewarisan/regenerasi, dan tersedianya publik yang menonton pertunjukan tersebut. Dengan demikian Sandiwara Sunda yang di dalamnya mengandung berbagai unsur seni dan praktik bahasa Sunda dapat menjadi media pembelajaran pada generasi muda, baik dalam apresiasi maupun praktik pertunjukan seni.Proses penggalian nilai kasundaan terutama pengenalan jati diri, pendidikan mental, budi pekerti, dan moral melalui bahasa, seni, dan budaya Sunda dapat dipraktikkan langsung pada mahasiswa sebagai wakil generasi muda. Penelitian berdasar naskah tertulis dan pembuatan kemasan pertunjukan
109
melalui eksperimentasi berdasar konsep dan model garapan yang telah ditemukan pada tahun pertama. Proses pengkemasan seni ini menggunakan metode Pavis (Yudiaryani, 2009: 112) dengan skema terlampir. Persoalan estetika pertunjukan menjadi fokus melalui konkretisasi dramaturgis pada bentuk pertunjukan sandiwara Sunda sebagai upaya merekonstruksi model sandiwara yang dapat diminati di Bandung. Teknik Penelitian dilakukan dengan teknikpelatihan (eksplorasi) bentuk pertunjukan berdasarkan hasil studi pustaka, dan studi lapangan pada tahun pertama; pemilihan naskah, pengenalan unsur seni, pencatatan lapangan; latihan dasar, proses pertunjukan, dan pelaporan.
kebaikan, keselamatan, dan kemakmuran kelompoknya akan terjaga. Oleh karena itu, kedua masyarakat saling mencari cara dalam mengalahkan kelompok lainnya. Sepasang nenek kakek (Ki Ruyuk dan Ni Gagul) menjaga masyarakatnya dengan tetap melaksanakan adat istiadat dan ritual yang diajarkan oleh leluhurnya sehingga keutuhan masyarakat tersebut tetap terjaga. Akan tetapi, saat keserakahan merebak atas kemakmuran masyarakat tersebut maka muncul kelaliman dengan saling menghasut dan menjelekkan tokoh lain. Interpretasi Pertunjukan Pertunjukan dibagi dalam empat adegan dengan setting, depan istana, hutan, tempat pemujaan (Sang Hyang Tapak), dan tempat persembunyian (gua). Setting ini dibuat sesuai dengan pengadegan.Pemain yang terdiri dari dua puluh empat (24)tokoh dimainkan oleh tiga puluh orang mahasiswa agar para mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung untuk menggali dan memainkan sandiwara Sunda dengan praktik berbahasa dan menambah pengalaman estetika dalam menggarap naskah Sunda. Dengan demikian, selain rekontruksi proses ini pun mencoba melakukan pewarisan secara langsung tentang bentuk pertunjukan sandiwara kepada generasi muda yang sudah tidak kenal pertunjukan tersebut. Penggalian nilai kasundaan dimulai dari kenal bahasa ibu, memahami naskah melalui dialog yang dilontarkan oleh para actor, serta mengambil intisari cerita melalui pesan pengarang.Sutradara menginterpretasi naskah ke dalam bentuk pertunjukan melalui permainan aktor,
Pemilihan Naskah Naskah “Sang Hyang Tapak” karya R. Hidayat Suryalaga dipilih sebagai naskah acuan dalam pertunjukan Sandiwara Sunda.Naskah ini bercerita tentang penghormatan terhadap leluhur yang dilambangkan dengan artefak “Sang Hyang Tapak”.Arti dari Sang Hyang Tapak adalah telapak yang Mahagaib atau Mahakuasa. Naskah ini bermaksud untuk mengajarkan penghormatan terhadap apa yang telah diajarkan leluhur pada generasi berikutnya. Tapakberarti telapak atau titincakan yang berarti tindakan atau perilaku yang sudah dilakukan oleh leluhur suatu masyarakat. Naskah ini menceritakan dua suku yang sedang berselisih memperebutkan tempat suci prasasti lingga yang bernama Sang Hyang Tapak. Kedua kelompok tersebut merasa bahwa jika mereka dapat menguasai tempat suci tersebut maka
110
bloking, penataan artistik, baik setting, musik, kostum, maupun lighting.Penata artistik bekerja cukup keras karena harus mensiasati layar pertunjukan dengan permainan teknologi yang memungkinkan kecepatan perubahan adegan yang menyaran pada realitas pertunjukan yang diinginkan. Intepretasi“Sang Hyang Tapak” lebih menebalkan kembali tentang pentingnya spirit/ruh pemanggungan cerita sandiwara sunda yang khas, baik dalam penggunaan instrument musik, artistik dan gaya blokingdengan pola-pola yang cenderung sama. Proses penggarapan “Sang Hyang Tapak”dimungkinkan melalui media teknologi agar menghadirkan pola atau kekhasan sandiwara, disamping memenuhi nilai kepraktisan. Teknis operasional sebuah latar peritiwa dan tempat kejadian dapat diganti dengan video mapping (multi media), tanpa harus mengganti-ganti layar.Hal tersebutberpengaruh pada efektivitas perubahan pengadegan, termasukpenggunaanmusik gamelan diganti dengan musik digital.
untuk mengetahui interpretasi para pemain terhadap teks drama tersebut. Pemahaman teks bahasa Sunda memerlukan penggalian lebih mendalam karena banyak kosa kata yang tidak dikenal oleh mahasiswa, bahkan pengucapan pun sering salah. Intonasi bahasa Sunda berbeda dengan bahasa Indonesia sehingga meskipun mahasiswa memahami teks tersebut apabila dia mengutarakan dengan intonasi seperti dalam bahasa Indonesia, maka artinya akan berbeda. Proses reading sangat penting dalam sebuah pertunjukan, apabila pemain tidak paham akan makna dialog (subteks) naskah tersebut maka esensi pertunjukan dapat hilang. Sementara teks berbahasa Sunda menjadi pengetahuan dan pelatihan baru dalam praktik berucap karena mahasiswa (generasi muda) tidak akrab lagi dengan bahasa daerah mereka. Dengan demikian, proses pengkemasan Sandiwara Sunda menjadi ajang pelatihan berbahasa, baik dari membaca, menulis kembali, serta mengucapkan dialog-dialog yang ada dalam naskah, termasuk di dalamnya menggali nilai-nilai yang melatarbelakangi penciptaan naskah tersebut.
Konkretisasi Dramaturgis Konkretisasi dramaturgis dilakukan mulai dengan analisis naskah, pengumpulan mahasiswa sebagai pendukung pertunjukan, dan kesepakatan untuk berproses dalam produksi Sandiwara Sunda berjudul “Sang Hyang Tapak”.
b. Olah Tubuh: Tari &Silat Untuk kebutuhan pertunjukan Sandiwara Sunda dibutuhkan actor yang mumpuni, seperti pemain-pemain aslinya sehingga ketrampilan menari dan penguasaan pencak silat perlu dilatihkan.Dasar tari diperlukan untuk mengenalkan adeg-adeg (pola bersikap) terutama pada adegan keluarga kerajaan. Sikap-sikap tubuh harus terlatih untuk memperlihatkan tata krama dalam berlaku pada strata social
a. Reading Proses ini dimulai dari reading naskah bersama-sama sebagai upaya memahami teks, diselingi dengan diskusi
111
tertentu.Pengenalan sikap mamandapan, sila mando, jengkeng, nyembah, deku, rigig, gagahan, dan sebagainya dapat dilakukan dengan pelatihan gerak tari, sehingga mahasiswa yang biasa melakukan acting teater modern akan mengenal pola dasar gerak tari tradisi. Hal ini berguna bagi pengayaan vocabuler gerak dan kemampuan dasar olah tubuh mereka. Gerakan silat masih menjadi bagian teknik dasar tari karena ibing pencak pun menjadi basic dalam tari tradisional Sunda. Pencak silat dilatihkan terutama karena adegan perkelahian dan pengejaran masyarakat Nusatirta kulon apabila tidak diatur dengan pola gerak yang benar akan terlihat tidak rapih dalam sebuah pertunjukan. Oleh karenanya, pelatihan gerak dasar silat sekaligus teknik perkelahian dibutuhkan agar mahasiswa mampu melangkah secara benar dalam tahapan gerak-gerak silat yang dibutuhkan.
berdasarkan teknik seni tradisi Sunda.Dengan demikian pelatihan Sandiwara Sunda mengenalkan berbagai unsur seni tradisi termasuk menyanyi (tembang). d. Casting Pemilihan tokoh dalam pertunjukan diperlukan untuk mencari pemain yang paling tepat memerankan tokoh tersebut.Proses ini dapat ditemukan melalui latihan dasar awal, baik reading, olah vocal, dan olah tubuh. Dalam kegiatan sebelumnya akan terlihat kecenderungan sosok setiap mahasiswa, keterampilan pengucapan dan warna suara juga dibutuhkan untuk menentukan casting. Warna suara sangat menentukan untuk memilih apakah persoalan usia, karakter, timbre dapat menentukan pemilihan tokoh yang tepat. Fleksibilitas suara diperlukan bagi pemain yang memerankan tokoh penting. e. Blocking Pelatihan blocking dilakukan dengan tahapan pemilihan ruang yang paling memungkinkan dalam pengadegan yang dipilih. Sutradara memberikan garis besar blocking yang akan dihidupkan oleh pemainnya berdasarkan motivasi dan kesesuaian garis antara pemain satu dengan pemain lainnya. Hal ini sangatlah penting agar pertunjukan dari awal hingga akhir dapat dinikmati secara rapih dan jelas oleh penonton. Berbagai blocking tertuang dalam floor plan yang digariskan oleh sutradara.
c. Olah Vokal Penguasaan vocal yang “meruang” dibutuhkan dengan power yang kuat sehingga lontaran dialog yang diucapkan dapat sampai pada penonton yang paling jauh tanpa pemaksaan pengucapan. Teknik yang benar menjadikan suara sampai pada penonton dengan rileks dan dapat jelas diterima sesuai dengan kebutuhan suasana pengadegan. Dalam olah vocal pun mahasiswa dilatihkan menyanyi atau tembang, karena pemain sandiwara Sunda juga harus mempuni sebagai penembang dalam melontarkan beberapa dialog yang dibutuhkan. Dasar seperti ini menjadikan mahasiswa memiliki berbagai potensi tambahan
f.
Penerapan teknis Teknis terutama artistic sebagai upaya untuk mengganti penggunaan layar
112
dilakukan pencarian secara tersendiri oleh Tim Artistik.Mereka mencari kemungkinan pemanggungan dengan teknologi agar kesulitan penggunaan layar dalam pertunjukan Sandiwara Sunda dapat disiasati dengan penggunaan infocusdengan gambar yang diperlukan sesuai pengadegan. Setting tersebut terdiri dari empat adegan, yaitu di depan kerajaan, adegan perburuan masyarakat negara tetangga, gua persembunyian, dan tempat prasasti “:Sang Hyang Tapak” dalam acara ritual masyarakat Nusatirta. g. Pengembangan Teknik pengembangan dilakukan secara bersama antara para pemain dengan unsur artistic meskipun masih dalam setting sederhana dengan peninggian dan beberapa level block yang digunakan sebagai kebutuhan acting.Musik mulai digabung dalam pengadegan selain sebagai peralihan adegan juga memberikan nuansa pada beberapa pengadegan tertentu.Warna musik Sunda mendominasi pengadegan melalui perangkat computer yang dapat merekam dan mengedit berbagai bunyi dan suara yang dibutuhkan.Sifat digital yang sangat terpaku pada apa yang telah diedit memerlukan penanganan pemain music yang sigap agar akurasi musik dengan laku pemain dapat tercapai. Oleh karena itu, teknik pengembangan pemain diselaraskan dengan permainan music terutama pada adegan yang mengiringi pencak silat atau tembang. Para pemain harus terlatih untuk menyelaraskan tonedari music dan irama permainan yang tengah diperankannya. Selain itu perpindahan adegan dengan perubahan setting dan pergantian property pun harus dihitung agar music, pergantian
sett, dan pengadegan dapat berjalan secara tepat. PENUTUP Simpulan Keuntungan dari kegiatan ini secara pembelajaran adalah mahasiswa dikenalkan pada bentuk seni pertunjukan yang nyaris punah, dan pendukung mengalami proses pencarian dan penggalian nilai dalam seni tradisi, baik dalam praktik bahasa, latihan menari, pencak silat, menyanyi, dan acting dalam kaidah Sandiwara. Bentuk penggalian nilai kasundaan dalam analisis naskah juga dapat membekali mahasiswa tentang ajaran moral, tatakrama, serta penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan strata tertentu (undak usuk basa). Konkretisasi pertunjukan adalah tahap akhir ketika kemasan pertunjukan dipublikasikan pada masyarakat.Kegiatan ini membutuhkan berbagai penyelengaraan seperti, publikasi, pemilihan pangsa Pasar, pemilihan tempat pertunjukan, dan pemanggungan. Rencana awal pangsa pasar yang akan dibidik adalah siswa menengah ke atas dan mahasiswa untuk mengenalkan bentuk pertunjukan Sandiwara Sunda yang sejak lama tidak hadir di kota Bandung. Tempat pertunjukan dapat dilakukan di aula sekolah atau ruangruang yang lebih luas tanpa ketergantungan akan panggung proscenium yang biasa harus dipakai dalam gedong sandiwaradenganketerikatan pemasangan layar dalam pergantian adegan. Dengan demikian pertunjukan dapat lebih fleksibel dan mendekati penonton melalui program
113
apresiasi teater tradisi. Akan tetapi, ketersediaan elemen estetis yang akan memperkuat karakter pertunjukan tidak diperoleh maka proses ini baru sampai pada pemodelan bagi mahasiwa dalam pengenalan salah satu bentuk pertunjukan milik Sunda yang kini hampir punah. Bagaimana pun setiap proses tidak ada yang sia-sia meski target capaian tidak terpenuhi. Institusi teater tetap bertanggung jawab untuk mengenalkan kekayaan seni budaya, termasuk Sunda di dalamnya dalam khazanah teater daerah di Nusantara. Proses yang dilakukan menjadi instrument penting dalam penggalian seni budaya daerah. Upaya rekonstruksi telah dilakukan meskipun secara utuh tidak terlaksana dalam pertunjukan. Kesenian akan tetap hidup jika unsur pelaku, frekuensi pertunjukan, dan dukungan penonton terjaga sebagai penyangga kesenian.Oleh karena itu, pola pewarisan/regenerasi dan pembinaan penonton perlu dilakukan.Upaya revitalisasi harus membangun ketiga unsur tersebut agar kesenian dapat lestari.
114
LAMPIRAN
Buday asumb er
T
O
Buday a target
T
T
=Konkretisasi tekstual
=Konkretisasi dramaturgis
1
2
T
3
T
=Konkretisasi panggung
4
=Konkretisasi resepsi
=Konkretisasi ide
Gambar Skema Pavis T merupakan inspirasi (Sumber cerita); T1 merupakan penjabaran sumber cerita menjadi gagasan/tekstual T2 merupakan perspektif seniman dalam gaya pemanggungan; T3 merupakan konkretisasi hasil latihan dalam pemanggungan; T4 merupakan resepsi atas pertunjukan
Ket. :
115
TEATER TRADISI SUMBER INSPIRASI TEATER NONVERBAL Rachman Sabur Program Studi Seni Teater Institut Seni Indoesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung
Abstrak Pertunjukan teater nonverbal “Puisi Tubuh Yang Runtuh” adalah bentuk pertunjukan teater tanpa kata. Tubuh-tubuh para aktor menjadi bahasa tubuhnya sendiri dan sebagai bahasa visual dramatik dicari dan ditentukan dari kekuatan idiom tradisi Indonesia. Pengembangan bahasa tubuh di dalam pertunjukan “Puisi Tubuh Yang Runtuh” membentuk suatu tafsir kekinian terhadap teater modern yang selama ini teater modern identik dengan teater kata-kata yang berpangkal dari naskah drama (sastra). Pertunjukan “Puisi Tubuh Yang Runtuh” melepaskan kata-kata dan mempertontonkan bahasa tubuh sebagai bahasa universal. Bahasa visual artistik menjadi kekuatan lakon yang ada dalam pertunjukan “Puisi Tubuh Yang Runtuh”. Satu sama lain saling bersinergi, saling mengembangkan ide gagasan teater ke depan, dan melakukan perubahan-perubahan terhadap konvensi teater modern yang ada. Kata kunci; Teater Non-verbal, Teater Tradisi, Sumber Inspirasi.
PENDAHULUAN Seperti kita ketahui bahwa teater tradisi merupakan teater yang terdapat di suatu daerah tertentu yang menjadi ciri khas daerahnya dan dapat membedakan suatu daerah dengan daerah lain. Teater tradisi merupakan teater yang diciptakan oleh suatu daerah, tumbuh dan berkembang di daerah tempat teater itu ada. Contoh teater tradisi yaitu: Wayang merupakan teater tradisional yang sangat tua yang terdapat di Jawa,Topeng Cirebon, Ronggeng Gunung, Longser dari Jawa Barat. Mamanda merupakan teater kerakyatan yang terdapat di Kalimantan Selatan, Ludruk, Randai, Makyong merupakan teater tradisional daerah Riau, Lenong merupaka teater tradisi Betawi, Ubrug yaitu teater tradisi yang terdapat di daerah Banten,
Ketoprak merupakan teater tradisioanal daerah Jawa Tengah, Gambuh teater tradisi yang paling tua di Bali, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk teater tradisional yang lainnya.Teater Nonverbal, lebih mengacu pada melakukan suatu aktivitas di atas panggung, yang lazimnya dinamakan dengan acting. teater yang mulanya identik dengan pertunjukan drama namun seiring berkembangnya zaman akhirnya memunculkan istilah gaya teater kontemporer. Teater kontemporer bisa di artikan sebagai teater yang telah mendapatkan pengaruh dari zaman modern. Dalam teater kontemporer acting yang menggunakan dialog di atas panggung, tidak menjadi suatu unsur yang wajib atau menjadi keharusan pada
116
setiap pementasannya, tetapi pementasan teater kontemporer lebih fokus pada penyampaian pesan pada penonton melalui bahasa tubuh, dalam pementasan ini aktor di tuntut untuk bisa beracting dengan melakukan eksporasi tubuh di atas panggung sehingga mereka bisa menyampaikan sebuah rangkaian cerita atau pun berdialog sesama aktor dengan menggunakan bahasa tubuh di atas panggung. Seperti pada contohcontoh teater non-verbal sebagai berikut: Puisi Tubuh Yang Runtuh, Dzikiran Bumi, Relief Air Mata. Margin dan lainlain adalah produksi Teater Payung Hitam Bandung, yang terinspirsi oleh teater-teater tradisi.
yang ada di tubuh saya sendiri ataupun di tubuh para aktor Teater Payung Hitam. Puisi Tubuh Yang Runtuh dijadikan bagian dari proses eksperimentasi saya terhadap masalah yang saya hadapi : sakit stroke saya pelan-pelan membunuh karaktersaya, pelan-pelan menumbuhkan pesimisme saya, pelan-pelan menguburkan kehidupan saya, dan pelanpelan pula saya menyadarinya. Pelanpelan saya dibantu dengan teman-teman saya, para aktor saya untuk belajar kembali bergerak, belajar kembali bicara, belajar kembali berjalan. Semuanya berjalan secara pelan-pelan meskipun saya tertatih-tatih untuk melangkahkan kaki dan terbata-bata untuk mengucapkan kata, semuanya saya lakukan dengan pelan-pelan tapi pasti. Proses latihan tubuh itu membuahkan hasil pada proses pemulihan tubuh saya. Dengan kesadaran dan motivasi yang tinggi saya lalui proses yang melelahkan itu menjadi proses kreatif saya yang sebelumnya belum pernah saya lakukan. Puisi Tubuh Yang Runtuh sebagai bagian dari pengalaman dan pembelajaran bagaimana seharusnya kita menghormati, menghargai, dan memfungsikannya dengan kesadaran dan keterbatasan dari tubuh yang kita miliki yang harus kita pelihara sebagai energi sumber daya hidup kita di dalam melakukan aktifitas apapun. Termasuk melakukan aktifitas sebagai pelaku seni yang membutuhkan pengenalan terhadap tubuh kita sendiri. Ekspresi tubuh (fisik) sebagai cerminan dari energi di dalam tubuh yang satu sama lain saling berhubungan dan yang mengendalikannya adalah kesadaran kita sebagai manusia yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan
PEMBAHASAN Pentas teater tanpa dialog verbal. Pertunjukan teater nonverbal Puisi Tubuh Yang Runtuh berangkat dari persoalan yang sifatnya personal, saya terkena serangan stroke (2007).Dari keadaan saya yang sakit stroke itu timbul pemikiran untuk beranjak dari tubuh saya yang sakit, yang sulit untuk difungsikan sebagai mana mestinya. Tubuh saya yang runtuh harus saya bangkitkan kembali. Dengan motivasi ingin memulihkan sakit stroke yang saya alami dan hubungannya dengan proses kreatif yang selama itu saya lakukan, saya mencoba untuk membangun ide gagasan kesakitan saya menjadi media terapi dalam melakukan proses latihan tubuh bersama para aktor Teater Payung Hitam. Selain sebagai media terapi tubuh, juga sebagai bagian lain dari pencarian proses kreatif saya dalam berteater. Dengan menggunakan media tubuh sebagai media utama untuk mengekpresikan segala peralatan tubuh
117
terhadap ruang dan waktu, keterbatasan terhadap pikir dan rasa, yang semuanya harus terkendali oleh kesadaran tubuh yang mempunyai keterbatan terhadap ruang, waktu dan tempat. Proses Puisi Tubuh Yang Runtuh sebagai proses pencarian jati diri terhadap tubuh yang runtuh menjadi tubuh yang tumbuh dan kukuh dalam menghadapi berbagai situasi dan persoalan. Tubuh dijadikan pertahanan dan kekuatan kita untuk melakukan aktifitas apapun, termasuk melakukan proses kreatif seni (teater) yang selama ini saya lakukan bersama komunitas Teater Payung Hitam. Dengan mengenal tubuh saya sendiri dan mengenal tubuh-tubuh yang lainnya dilema tentang sakit stroke saya berangsur pulih. Mengenal tubuh sendiri dan mengenal tubuh-tubuh orang lain menjadi bagian terapi saya dan sekaligus menjadi proses kreatif saya di dalam pertunjukan teater. Panggung lengang, dengan lima bambu digantung mengisi panggung. Bersama sorot gambar topeng yang memenuhi dinding belakang panggung, muncul empat orang masuk. Mereka mengitari satu bambu di tengah untuk menggantung sosok boneka dengan topeng tradisional dan selendang tersampir di bahunya. Keempat aktor itu memutari boneka tersebut seraya mengambil air yang terletak di wadah tepat di bawah kaki si boneka. Mereka membasahi rambut dan muka dengan air, lantas menuju ke empat bambu. Mereka mengeksplorasi bambu dengan mengayunkan sekaligus diayun oleh beban tubuh yang menggantung. Situasi puitis ini bertahan sampai sosok bertopeng terbalut kain merah tipis
masuk dengan suara bising dari benturan dua piringan besi di tangannya sehingga mengacaukan situasi puitis tersebut. Si pengacau itu terus-menerus membenturkan lempengan besi yang suaranya memekakkan telinga, seolah berteriak-teriak. Keempat tokoh bertahan dari tiap gangguan. Namun hanya aktor perempuan yang berhasil mengusir si pengacau setelah mengambil selendang putih yang tersampir di bahu si boneka bertopeng. Setelah mengusir, si perempuan memperagakan tarian Cirebonan lengkap dengan iringan musiknya. Panggung kembali kepada situasi harmoni sebagaimana sebelum si pengacau tiba. Namun keadaan ini tak berlangsung lama. Si pengacau berkaki tinggi tiba dan mengobrak-abrik tatanan panggung. Keberhasilan si kaki panjang ini sampai membuat topeng-topeng yang dikenakan keempat aktor jatuh ke lantai panggung dan diinjak sampai pecah berkeping. Antiklimaksnya, keempat aktor berusaha sekuat tenaga melawan si kaki panjang. Di akhir pementasan, si kaki panjang jatuh terjengkang di sisi sebelah kiri panggung. Memang dalam lakon ini, sama sekali tak menggunakan dialog. Selain lima aktor, hanya ada properti berwujud lima potong bambu menggantung yang salah satunya boneka memakai topeng, multimedia yang disorot ke dinding belakang panggung, dan musik. Itu tentunya membuat semua medium di atas panggung dituntut “berbicara” dengan membangun komunikasi dengan penonton. Bagaimana interaksi aktor dengan bambu, multimedia yang berisi berbagai potongan topeng Cirebon dan api menyala, boneka menggantung
118
dengan selendang tersampir di bahu, tentu musiknya dapat merangkai satu sama lain sehingga membentuk bahasa yang bisa dimengerti oleh penonton. Karena itu bukan bahasa verbal, satusatunya cara agar bahasa ini sampai ke penonton adalah perlu ada bangunan suasana yang hidup di atas panggung.
DAFTAR PUSTAKA Yoyo C. Durachman, BA, Willy F. Sembung, BA, 1985/1986, Pengetahuan Teater, Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Sub. Proyek Akademi Seni Tari Indonesia Bandung Yoyo C. Durachman, 2005, “Penyutradaraan”, Diktat, Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia [STSI] Bandung.
PENUTUP Kesimpulan Pertunjukan teater tubuh bisa saja di bawakan oleh setiap orang yang ingin menampilkan, tapi harus melalui prosedur-prosedur yang dilalui dalam tahap pencapaian pertunjukan teater tubuh ini, aktor harus mampu untuk menguasai teknik-teknik dalam teater tubuh, bedanya dengan teater yang di sandingkan dengan naskah lakon yang lebih mengedepankan vokal aktor, bloking, setting dan lainnya. Jadi, dari waktu ke waktu kita dapat melihat perkembangan teater pada masa kini, tanpa meninggalkan budaya ‘teater lama’ yang telah menghidupkan teater ke masa sekarang. Menurut kesimpulan tersebut, pentas Puisi Tubuh yang Runtuh, Meruapakan salah satu model yang berorientasi pada masa kini tanpa meninggalkan teater yang merujuk pada konvensi lama, Karya inilebih kreatif dalam menciptakan karya-karya teater berdasarkan tuntutan serta tantangan zaman yang makin maju seperti saat ini. Hal tersebut akan mendorong lahirnya seniman-seniman yang kreatif.
Yoyo C. Durachman, Lili Rosidah, 2005, “Manajemen Teater”, Diktat, Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia [STSI] Bandung. Yoyo C. Durachman, 2008, Perkembangan Konsep Penyutradaraan Bentuk dan Isi, Bandung: Penerbit Kelir. RMA. Harymawan, 1988, Dramaturgi, Bandung: Penerbit Rosda, Rachman Sabur, 2004, Perspektif Teater Moderm, Bandung: Penerbit Teater Payung Hitam. Saini KM, 2001, Taksonomi Bandung: STSI PRESS.
119
Seni,
PRINSIP DAN METODE AKTING EKA GANDARA WK. Tatang Abdulah Program Studi Seni Teater, Institut Seni Budaya Indonesai (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No. 212 Bandung
Abstrak Melalui metode sejarah dalam penelitian ini diketahui bahwa proses pemahaman pola kreativitas Eka Gandara WK dalam menjalani kiprahnya menjadi seorang aktor teater setahap demi setahap dilaluinya dengan cara latihan, membaca dan mendengar. Proses internalisasi ini membawa pemahamannya secara prinsip bahwa kesenian apapun pada akhirnya mencari dan mencapai kondisi musikal. Untuk mewujudkan prinsip tersebut, ia mengadaptasi pengalamannya di bidang musik ke dalam akting teater. Kata kunci: Prinsip, Metode, Akting
PENDAHULUAN Akting adalah segala tingkah laku seorang aktor dalam membawakan tokoh ceritera di atas pentas7. Sebagai sarana ekspresi, persoalan akting menjadi persoalan yang sangat krusial8. Akting
yang baik adalah akting yang dapat dilakukan oleh seorang aktor yang mampu menguasai seluruh alat ekspresinya di atas pentas. Kemampuan penguasaan seluruh alat ekspresi ini, menyangkut; intelektualitas, tubuh, dan sukmanya dapat dilakukan melalui observasi dan latihan-latihan. Seperti dikatakan oleh Richard Boleslavsky
7 Asal kata “acting” adalah “to act” yang berarti “beraksi”. Akting diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata peran (pemain sandiwara) yang dalam kamus berarti proses, cara, perbuatan perbuatan memahami perilaku yang diharapkan dan dikaitkan dengan seseorang. Tentunya tidak hanya memahami tetapi juga melakukan perilaku orang tersebut (Sitorus, 2002: 37). 8 Disebutkan oleh beberapa dramawan, ketika acting menjadi sarana ekspresi actor, kedudukan actor menjadi sangat penting. Misalnya seperti dikatakan oleh Arifin C Noer “Sutradara boleh mati tapi aktor tidak. Kalau aktor mati, teater akan ikut mati. Kalau teater mati niscaya masyarakat akan kesepian dan segera menjadi gila. Dan kalau masyarakat menjadi gila, teater palsu akan merajalela”. (Noer, 1999: 106; Ismet, 2007: 8: 2008: 34). Di dalam rumusan yang lain, Suyatna Anirun dalam tulisannya “Memanusiakan ide-ide di Atas Pentas” secara eksplisit menerangkan bahwa untuk menerjemahkan ide-ide di atas pentas hanya mungkin diwujudkan melalui kemampuan akting yang baik dari seorang aktor. (Ismet, 2008: 1). Jauh sebelumnya Grotowsky (1975: 32) menyatakan bahwa “Teater merupakan tempat antara pemeran dan penonton berinteraksi, sedangkan unsur yang lainnya hanya sebagai pelengkap, walaupun mungkin dibutuhkan akan
tetapi tetaplah tak lebih sebagai pelengkap”.(Ismet, 2007: 8; 2008: 4). Lebih lanjut Grotowsky mengungkapkan teater bisa hadir tanpa tata rias, tanpa tata lampu, tanpa tata suara (dan bahkan tanpa sutradara, penyunting) (Dimyati, 2008: 27). Dalam catatan kecil Ipit S Dimyati (2008) mengamati bahwa pada sekitar tahun 1990 posisi actor yang demikian itu mendapat gugatan. Seperti yang pernah dilakukan oleh teater SAE, terutama pertunjukan teater arahan sutradara Budi S Otong. Tidak ada yang lebih penting dalam pertunjukan teater di atas panggung. Semuanya sama penting. Bahkan bunyi sebatang lidipun sama penting dengan kehadiran actor yang melontarkan dialog ketika sedang berpentas. Namun asumsi tersebut tidak bisa menyangkal tentang kebenaran bahwa actor merupakan media utama teater. Kehadiran benda, bunyi, atau apapun, tidak akan menjadi bagian yang integral, yang bermakna, kalau tidak dihubungkan oleh kehadiran actor di atas pentas.
120
Cukup lama berkecimpung di dunia musik (karawitan Sunda) sehingga ia menjadi seorang juru kawih Sunda dan telah beberapa kali memasuki dunia rekaman. Dari dunia ini pula ia menjadi pemain Gending Karesmen dan Longser. Menjadi pemain Gending Karesmen dapat dikatakan merupakan masa ia kembali tertarik pada dunia teater. Suatu ketika disela-sela menggeluti dunia karawitan, ia diminta mengajar di Uril Asdam KODAM. Di tempat tersebut ia bertemu dengan Nana Husenwijaya, Yaya Sunarya sebagai pelatih drama. Ia pun diajak berlatih bermain drama bersama Ade Kosmaya. Waktu itu Ade Kosmaya sudah menjadi aktor besar di Bandung. Selain Ade Kosmaya pada waktu itu ada juga Martindo, Cecep Pruntama, Tatang Suryana dan Aim Salim ikut serta bermain drama. Ketika itu ia mendapat pujian dari Nana Husenwijaya, Yaya Sunarya bahwa suaranya bagus. Maka diajaklah ia untuk ikut bermain di Studiklub Teater Bandung (STB) dalam pentas “Ayub Abad 20”. Sekalipun peran yang dibawakannya piguran, namun dalam pentas berikutnya ia menjadi pemeran utama bersanding dengan Ade Kosmaya dalam pentas “Sang Naga”. Perkenalannya dengan Ade Kosmaya yang sekaligus dijadikan gurunya itu ia memperoleh ilmu tentang bagaimana mengatur, mengolah diksi dialog. Seperti diakuinya bahwa Ade Kosmaya pada waktu itu dikenal sebagai aktor yang pandai mengolah diksi dialog. Dari sejak pentas “Sang Naga” sampai pentaspentas berikutnya yang diproduksi STB ia terus menjadi actor yang selalu memegang peran utama.
“seorang aktor mesti melalui tiga tahapan pendidikan dan pelatihan yaitu pendidikan dan pelatihan; terhadap tubuhnya (semua alat fisiknya termasuk alat ucapnya), pendidikan dan pelatihan terhadap daya intelektualitasnya dan yang ketiga pendidikan dan pelatihan terhadap sukmanya (Ismet, 2007: 11; 2008: 6).
Melalui metode sejarah yang digunakan dalam penelitian ini dapat diketahui bagaimana latar belakang, sikap, dan metode kreativitas seorang Eka Gandara WK dalam kiprahnya sebagai aktor teater. PEMBAHASAN Awal mula mengenal teater Eka Gandara WK (dalam usia 10 tahun) tidak sadar bahwa keikutsertaannya bermain sandiwara yang diasuh oleh bapaknya di Ciamis merupakan titik awal menjadi seorang aktor teater. Pada ketika itu pandangannya tentang acting. Peran serta dalam bermain sandiwara semata berdasarkan pengalaman meniru-niru perilaku saudara-saudaranya yang samasama ikut menjadi pemain sandiwara. Serapan demi serapan dalam meniru perilaku peran itu sesekali ia kontrol sambil memetakan perilaku dirinya di depan sebuah cermin. Waktu berjalan sampai ia mengenal (menyukai) dunia tarik suara. Bermula atas perkenalannya dengan seorang yang sedang memainkan kecapi, ia tertarik dan sempat bernyanyi dengan diiringi kecapi. Tanpa ia duga ia memperoleh pujian bahwa suaranya bagus. Maka iapun, selepas lulus STM disuruh masuk Konservatori Karawitan (Kokar) pada tahun 1970-an.
121
Pada tahun 1978, setelah sebelumnya KOKAR menjadi Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Drs. Karna Yudibrata dan Drs. Saini KM mengajaknya untuk membantu mendirikan jurusan teater di ASTI Bandung. Tanpa ia duga yang menjadi ketua jurusan teater pada waktu itu adalah Suyatna Anirun, seorang sutradara dan pimpinan Studiklub Teater Bandung (STB). Ia sendiri dipercaya sebagai sekretaris jurusan teater yang pada waktu itu berstatus mahasiswa teater setelah kepindahannya dari jurusan karawitan. Sekalipun masih berstatus mahasiswa, dan oleh karena sudah dikenal sebagai juru kawih, maka ia dipercaya untuk mengajar mata kuliah olah vocal. Tuntutan dan tanggung jawab sebagai seorang pengajar olah vocal rupanya telah mendorongnya untuk lebih mengenal dan mempelajari teater. Sebagai aktor teater, Eka Gandara WK tampaknya sadar betul bahwa ia dihadapkan pada dua persoalan besar, pertama persoalan internal tentang bagaimana ia harus mengolah tubuh, sukma dan intelektualnya. Persoalan kedua adalah persoalan ekternal dimana ia harus membangun sinergitas dengan komponen kreatif lainnya dalam kesatuan kerja kolektif teater. Secara konseptual ia menyadari sepenuhnya terhadap ajaran Stanilavski. Seperti ia katakan “Benar to act itu bergerak. Tapi yang bergerak itu yang mana, siapa yang menggerakan? yang bergerak disini adalah seperti Stanilavski ngomong, laku dalam. Selama laku dalam saya tidak menuntut bergerak, saya tidak bergerak. Makanya menyimpulkan ajaran stanilavski bahwa
laku luar adalah cerminan dari laku dalam. Itu selalu saya pegang” Secara teknikal untuk mencapai dan mewujudkan laku dalam seorang aktor harus melakukan latihan-latihan. Untuk hal ini ia percaya terhadap ungkapan Suyatna Anirun bahwa; Modal pemain itu adalah intelektualitas, intelegensia, dan pengalaman bathin. Intelektualitas, kalau gak pintar kita gak bisa nangkap suasana. Intelegensia, kalau kita gak cerdas kita akan salah menempatkan teknik, menempatkan solusi masalah itu. Kalau kita gak punya pengalaman bathin, kita gak bisa merasakan apa yang diinginkan penonton, diinginkan oleh peran yang kita mainkan.
Untuk bagian pengalaman bathin ia menambahkan bahwa latihan ingatan emosi yang diungkapakn Boleslavski itu sering ia lakukan. Cara seperti ini ia ajarkan atau latihkan pula baik kepada mahasiswa teater maupun kepada peminat di ruang privat atau kursus akting teater. Sehubungan dengan pengertian tugas seorang aktor dalam kerja kolektif teater, adalah juga merupakan hal penting yang ia sadari ketika membawakan peran di atas pentas. Ia memandang bahwa ketika dirinya bermain di atas pentas harus membina sirkuler respons. “Sirkuler respons antara ruang estetika yang ada di sekitar kita, dengan kawan bermain, dengan pengusung-pengusung artistic, termasuk dengan penonton”. Kemudian dalam hubungannya dengan kerja kreatifnya sebagai penafsir karakter tokoh dengan konsep sutradara disadari pula olehnya bahwa “kewajiban pemeran itu tidak lebih tidak kurang hanya memberi isi dan mengembangkan konsep
122
penyutradaraan”. Dengan demikian “ada pengembangan. Ada kreativitas ke peranan. Kreativitas pemeranan itu menterjemahkan konsep-konsep penyutradaraan kan begitu”. Jadi menurutnya;
Selain itu pengalamannya yang pernah belajar vocal dari Pranajaya, dari ibu Katrin, dan dari ibu Tobing telah berhasil di adaptasi kepada keperluan olah vocal teater seperti dituangkan dalam tulisannya yang berjudul “Olah Vocal Sebagai Penunjang Keberhasilan Pemeranan”. Berdasarkan pola kreativitas tersebut tidak berlebihan apabila ia mempunyai dasar prinsip bahwa seorang actor jangan sekali-kali mau menjadi boneka sutradara. Untuk itu ia menyarankan semuanya kembali kepada Iqra, tentunya Iqra dalam maknanya yang lebih luas.
Akting itu adalah lebur menjadi, lebur dengan…dsb., dsb…yang menggerakkan itu apa? Konsep penyutradaraan apa kondisi peran itu? Buat saya yang lebih penting adalah mood. Kondisi emosi peran yang kita bawakan. Lamun teu perlu ngabalieur, teu kudu ngabalieur. Meskipun kata sutradara kamu harus pindah kesana. Nanti dulu, dicari yang tepat sesuai dengan kondisi emosi kita, kondisi emosi peran maksud saya. Kalau kita bergerak dari pengertian apa itu acting, baru kita akan bisa secara kreatif menterjemahkan itu. Yang akhirnya sampai kepada pengertian acting yang lebih universal, yaitu memberikan keyakinan kepada orang yang sedang kita ajak ngomong, yang sedang kita hadapi.
DAFTAR PUSTAKA Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor Pengantar Kepada Seni Peran Untuk Pentas dan Sinema. Bandung: Studiklub Teater Bandung bekerjasama dengan Taman Budaya Jawa Barat, dan PT Rekamedia Multiprakasa.
PENUTUP Waktu yang cukup panjang, dimulai dari pandangannya yang masih bersahaja hingga terjadi proses internalisasi dalam mengolah kreativitas keaktoran, Eka Gandara WK telah menemukan predikatnya sebagai seorang actor teater. Sekalipun pada awalnya menjadi actor teater bukanlah merupakan cita-citanya dari sejak kecil. Sebab pada masa tertentu ternyata ia sempat besar dan terkenal di dunia kawih Sunda. Kebesaran di dunia kawih Sunda telah menyadarkannya bahwa kesenian apapun pada akhirnya mencari dan mencapai kondisi musical, itu artinya tetap harus pandai-pandai membina irama dramatic.
Dimyati, Ipit S. 2008. “Aktor Membebaskan Tubuh yang Teralienasi” dalam Sardjono, Agus S. (ed.). Menghidupi Dan Mengkaji Teater, Pemeranan, Artistik, Penyutradaraan, dan Penelitian Teater. Bandung: Etnoteater. Ismet, Adang. 2007. Seni Peran. Bandung: Kelir. ___________. 2008. “Seputar Masalah Pemeranan Sebagai Karya Seni” dalam Sardjono, Agus S. (ed.). Menghidupi Dan Mengkaji Teater, Pemeranan, Artistik, Penyutradaraan, dan Penelitian Teater. Bandung: Etnoteater.
123
Noer, Arifin C. 1999. “Teater Saya adalah Teater Kini” dalam Awuy, Tommy F. Teater Indonesia Konsep, Sejarah, Problema. Jakarta: Cipta. Sitorus, Eka D. 2002. The Art of Acting Seni Peran untuk Teater, Film & TV. Jakarta: Gramedia. Stanilavski. 1978. Persiapan Seorang Aktor. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Wiramihardja, Sutardjo A. (Pengantar). 1983. Bagi Masa Depan Teater Indonesia. Bandung: Granesia.
124
DESAIN FILM DOKUMENTER CAGAR BUDAYA SEBAGAI STRATEGI MENGKOMUNIKASIKAN NILAI KESEJARAHAN, SUMBER ILMU PENGETAHUAN DAN KEBUDAYAAN DI KOTA BANDUNG Enok Wartika Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No 212 Bandung
[email protected]
Abstrak Makalah dengan judul “Desain Film Dokumenter Cagar Budaya sebagai Strategi Mengkomunikasikan Nilai Kesejarahan, Sumber Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan di Kota Bandung”, merupakan hasil penelitian yang tujuan utamanya adalah salah satu upaya dalam membantu penyelamatan aset berharga yang dimiliki kota Bandung. Fenomena menunjukan bahwa rasa bangga dan cinta terhadap kekayaan warisan cagar budaya sudah mulai terkikis. Kekayaan cagar budaya yang ada di kota Bandung banyak yang terlantar, rusak bahkan musnah. Padahal kekayaan ini memiliki keunikan, keindahan, nilai sejarah dan makna tertentu bagi masyarakat pemiliknya. Bandung sejak lama dikenal sebagai kota laboratorium arsitektur paling lengkap karena banyak memiliki peninggalan bangunan cagar budaya yang indah dan unik. Namun, tidak banyak yang mengetahui kekayaan ini karena miskinnya informasi. Hal ini telah memotivasi pengusul untuk menggali, mengkaji dan menganalisis berbagai informasi yang telah ada yang disusun oleh para ahli sejarah, arsitektur, budayawan dan para pencinta cagar budaya yang ada di kota Bandung dan meramunya dalam sebuah desain film dokumenter berbasis riset mengenai cagar budaya di kota Bandung. Film documenter merupakan salah satu strategi untuk mengkomunikasikan eksistensi cagar budaya kota Bandung karena karakteristiknya mampu merepresentasikan realitas dengan pendalaman kreatifitas dan interpretasi pembuatnya. Media komunikasi dalam bentuk audio visual penulis pandang efektif dalam merangsang kekritisan logika dan rasa sehingga menumbuhkan keinginan untuk memenuhi kebutuhan, memperluas pengetahuan, pemahaman, penyikapan masalah dan memberi gambaran solusi berkaitan dengan eksistensi kekayaan cagar budaya yang ada di Kota Bandung. Kata Kunci: Informasi, komunikasi, cagar budaya, film dokumenter
PENDAHULUAN Benda Cagar Budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurangkurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan
mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. (UNDANG-UNDANG INDONESIA NO.5
125
REPUBLIK TAHUN 1992
budaya ini terkikis, rusak bahkan banyak yang sudah punah. Kehadiran cagar budaya dikhawatirkan tidak lagi menjadi bagian yang menarik untuk diapresiasi dan terhapus selamanya dari memori masyarakat. Kota Bandung adalah salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki kekayaan warisan cagar budaya berupa bangunan bersejarah yang melimpah. Bangunan cagar budaya yang ada di kota Bandung memiliki nilai seni yang sangat tinggi dan merupakan saksi bisu serta bukti sejarah panjang terciptanya kota Bandung dan Bangsa Indonesia pada umumnya. Kehadiran cagar budaya di kota Bandung banyak yang terlantar. Masyarakat banyak yang tidak mengetahui potensi kekayaan cagar budaya kotanya. Padahal sejarah menunjukan, banyak peristiwa yang sangat penting terjadi di kota Bandung. Agar kehadirannya tidak semakin mengkhawatirkan, maka kekayaan warisan cagar budaya ini harus diinformasikan dengan media komunikasi yang tepat dan kontinuitas pelaksanaannya terkontrol. Pandangan masyarakat yang sempit harus terbuka bahwa warisan cagar budaya dengan berbagai konsep dan nilai tradisinya bisa menunjang kemajuan dan perkembangan ekonomi. Pelestarian dan pengetahuan mengenai warisan cagar budaya harus memotivasi pandangan yang berorientasi ke masa depan. Sosialisasi yang rendah harus ditingkatkan agar dapat merangsang keinginan untuk memunculkan kebutuhan akan informasi mengenai kekayaan cagar budaya kota yang unik dan indah serta sarat dengan ilmu
TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA, Pasal 1 ayat 1)
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan potensi warisan budaya melimpah baik yang tangible dan intangible. Pesona yang gencar digemborkan pelestariannya namun memiliki realitas pencapaian yang jauh dari harapan. Padahal kekayaan ini harus dilestarikan jika generasi mendatang ingin tetap menjadi bagian yang menikmati dan mewariskannya kembali ke generasi selanjutnya. Warisan cagar budaya memerlukan pemeliharaan, pewarisan dan penginformasian secara tepat dari generasi ke generasi. Kekayaan bangsa ini sangat berharga dan bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan, sumber nilai kesejarahan dan sumber kebudayaan bagi bangsa dan negara Indonesia. Kini, fenomena menunjukan, kehadiran cagar budaya di tengah-tengah masyarakat banyak yang terabaikan. Masyarakat khususnya generasi muda mulai luntur pemahamannya mengenai pentingnya rasa bangga dan cinta terhadap warisan kekayaan kebudayaan bangsanya. Salah satu penyebabnya adalah karena miskinnya informasi dan kurangnya media yang mampu mengkomunikasikan eksistensi cagar budaya sendiri dengan metode dan strategi yang tepat. Sajian media komunikasi yang berkembang di masyarakat yang bercerita mengenai aset kekayaan kebudayaan bangsa sangat minim porsinya dan tidak signifikan. Akibatnya, karena kekurangtahuan maka masyarakat menjadi kurang kenal dan tidak peduli sehingga satu demi satu warisan cagar
126
pengetahuan, nilai sejarah dan kebudayaan. Atas dasar permasalahan yang dijabarkan di atas maka penulis memandang desain dokumenter Cagar Budaya bisa dijadikan sebagai strategi untuk mengkomunikasikan nilai kesejarahan, sumber ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Kota Bandung” karena film documenter merupakan media informasi yang tepat dan menarik untuk menyajikan fakta.
dan sikap akan muncul dari peserta komunikasi ketika dihadapkan pada suatu objek. Sedangkan nilai dan norma berkenaan dengan penilaian peserta komunikasi terhadap suatu objek. David K. Berlo menunjukan bahwa setiap bentuk komunikasi tersebut sebagai suatu proses transaksi yang berupaya untuk menciptakan makna dengan maksud tertentu. ”Communication is a process where there is a mutual assignment of meaning, simultaneous responses by all persons in the transaction, on-going giving and receiving of multiple messages, circularity, and numerous channels of communication”(Berlo dalam Hariss, 2008: 17).
PEMBAHASAN Warisan cagar budaya sarat dengan nilai dan makna bagi masyarakat pemiliknya atau pewarisnya. Semua yang terkandung di dalamnya harus dikomunikasikan agar tidak kehilangan penerus dan generasi selanjutnya tidak amnesia sejarah. Suatu warisan sejarah adalah bukti yang memberi jejak perjalanan suatu kota, suatu wilayah, suatu kehidupan, suatu peristiwa dan lain-lain. Tidak ada suatu kehidupanpun yang tidak memiliki peristiwa lalu. Pewarisan melalui komunikasi demi suatu pelestarian mutlak diperlukan. Berelson dan Steiner dalam Fisher (1986: 10) mendefinisikan komunikasi sebagai penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan, dan seterusnya, melalui penggunaan simbol, kata, gambar, angka, grafik, dan lain-lain. Sedangkan Shannon dan Weaver (1986: 10) mendefinisikan komunikasi sebagai, “mencakup semua prosedur dimana pikiran seseorang dapat mempengaruhi orang lainnya.” Komunikasi juga dipengaruhi oleh budaya yang mencakup: kepercayaan, nilai-nilai, sikap, dan norma-norma. Kepercayaan
Banyak para pemerhati cagar budaya mengemukakan bahwa konservasi dan revitalisasi cagar budaya memiliki berbagai keuntungan positip. Miarsono (1997: 148) menjelaskan, ada tiga keuntungan yang diperoleh dalam upaya penyelamatan yaitu keuntungan budaya, ekonomis, dan sosial. 1) Budaya diperoleh karena semakin memperkaya sumber sejarah sehingga akan menambah rasa kedekatan (sense of attachment).2) Keuntungan ekonomis dapat meningkatkan taraf hidup, omzet penjualan, harga sewa, pajak pendapatan, serta mengurangi biaya pergantian (replacement cost).3) Keuntungan sosial yang timbul yaitu karena meningkatnya nilai ekonomis dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada masyarakat. (Miarsono, 1997; 148) Para pencinta dan pemerhati warisan cagar budaya menegaskan bahwa setiap peninggalan memiliki potensi untuk dijadikan suatu benda cagar budaya dengan beberapa kriteria
127
yang bisa dikaji dan dianalisis secara seksama. Adapun kriteria yang disepakati menurut pemerhati cagar budaya Bandung, Harastoety adalah, 1). Nilai Sejarah, hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa atau sejarah politik (perjuangan), sejarah ilmu pengetahuan, sejarah budaya termasuk di dalamnya sejarah kawasan maupun bangunan (yang lekat dengan hati masyarakatnya), tokoh penting baik pada tingkat 2) Nilai Arsitektur, berkaitan dengan wajah bangunan (komposisi elemen-elemen dalam tatanan lingkungan) dan gaya tertentu (wakil dari periode gaya tertentu) serta keteknikan.. 3) Nilai ilmu pengetahuan, mencakup bangunanbangunan yang memiliki peran dalam pengembangan ilmu pengetahuan. 4) nilai sosial budaya (collective memory), berkaitan dengan hubungan antara masyarakat dengan locusnya. 5) umur, berkaitan dengan umur kawasan atau bangunan cagar budaya. (Harastoety, 2011) Bagi masyarakat umum tentu untuk memiliki pemahaman mengenai nilai-nilai luhur yang melekat pada suatu objek cagar budaya tidaklah mudah. Masyarakat yang memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi dalam berbagai aspek harus dipandu dengan satu arahan pikiran yang memadukan logika dan rasa tanpa terlalu diajak berpikir ilmiah yang berat. Hati dan pikiran masyarakat harus diayun dengan strategi komunikasi yang persuasive dan menarik namun kaya akan nilai informasi mengenai objekobjek budaya. Sajian film documenter audio –visual berbasis riset bisa menjadi salah satu solusi merangsang kepedulian dan atensi masyarakat terhadap kekayaan
yang sangat berharga namun tak tersentuh secara maksimal. Film dokumenter seperti yang diadopsi dalam “The World Union of Documentary Filmmakers” di tahun 1948: “All methods of recording on celluloid any aspect of reality interpreted either by factual shooting or by sincere and justifiable reconstruction, so as to appeal either to reason or emotion, for the purpose of stimulating the desire for, and the widening of, human knowledge and understanding, and of truthfully posing problems and their solutions in the sphere of economic, culture and human relations” (Morris:1994).
Pada dasarnya desain film dokumenter berupaya untuk merepresentasikan kenyataan, menampilakan kembali berbagai fakta kehidupan yang di dalamnya tim kreatifnya melakukan proses penafsiran melalui berbasis riset yang diperkaya dengan kajian ilmu pengetahuan. Sehingga film dokumenter dapat memberikan kontribusi yang dapat diandalkan. Kontribusi nyata kehadiran film documenter telah memberikan pencerahan, pengenalan, pendalaman berbagai realitas bahkan memberi kontribusi signifikan bagi masyarakat yang sudah menjadikannya sebagai media komunikasi efektif dalam menggali berbagai fenomena kehidupan. Sajian dan kemasannya yang menarik telah membuka ruang kreatifitas para sineas dan kru untuk produktif sehingga menjanjikan dilihat dari potensi pasar. “Dasar-dasar Apresiasi Film” karya Marselli Sumarno menjelaskan bahwa film dokumenter selain mengandung fakta ia juga mengandung subyektivitas pembuatnya. Subyektivitas dapat
128
diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. Istilah dokumenter yang pertama kali dipopulerkan oleh Jhon Grierson didefinisikan sebagai perlakuan kreatif atas peristiwa. Film documenter memiliki kekuatan dilihat dari sisi realitas dan nilai. Mengutip apa yang disampaikan Joris Ivens, bahwa film dokumenter menyajikan objektivitas dalam bingkai penafsiran kreatornya; “you can show what you are”. Apa yang menjadi kuasa seorang kreator terhadap realitas bersifat teknis, bukan merekayasa fakta atau peristiwanya itu sendiri, melalui pilihan sudut pandang serta seleksi data visual. Sehingga makna yang tersembunyi di balik peristiwa, yang sebenarnya fakta, dapat tertangkap oleh khalayak. Kota Bandung salah satu kota di Indonesia yang sangat menarik dijadikan wilayah kemasan film documenter cagar budaya. Lebih dari 400 bangunan pusaka peninggalan kebudayaan masa lalu tersebar di kota yang pernah dijuluki Laboratorium Arsitektur di Indonesia ini (data inventaris 1997). Mayoritas merupakan arsitektur warisan kolonial Belanda, mulai dari gaya Indische Empire (1860-90-an), Neo-Klasik (18901910-an), hingga Art Deco (1920-30-an). Bahkan dengan jumlah bangunan Art Deco yang cukup signifikan, Bandung berada di peringkat 9 dari 10 kota berarsitektur Art Deco terbanyak di dunia, hanya satu tingkat di atas kota kelahiran Art Deco sendiri, yaitu Paris (GlobeTrotter, 2001).9 “Peninggalan kebudayaan berupa bangunan sesungguhnya merupakan
“saksi bisu” dari berbagai peristiwa saat digunakan, baik di dalamnya maupun di sekitarnya. Oleh karena itu, bangunan selain mempunyai nilai arsitektural juga mempunyai nilai sejarah. Makin lama bangunan itu berdiri, makin mambuktikan tingginya nilai sejarah dan budayanya.” (Sumalyo, 1997: 1). Nilai adalah sesuatu yang penting, baik dan berharga. Dalam nilai terkandung sesuatu yang ideal, harapan yang dicitacitakan untuk kebajikan. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan yang lain dan kemudian mengambil keputusan. Sesuatu dianggap punya nilai jika sesuatu itu dianggap penting, baik dan berharga bagi kehidupan umat manusia. Baik ditinjau dari segi religius, politik, hukum, moral, etika, estetika, ekonomi dan sosial budaya. 10 “Heritage is related to patrimony and signifies possessions and traditions that are inherited and passed on. The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) defines heritage broadly and well: ‘heritage is our legacy from the past, what we live with today, and what we pass on to future generations’. In this definition heritage is neither limited in time nor restricted to material objects – whether they be historic remains, buildings, artefacts or whatever. Heritage is interpreted as the foundation of the present, the springboard for the future, with the present generation as its custodians and the creative link”. (Rodwell, 2007: 7)
10
http://edukasi.kompasiama.com. tanggal 15 Juli 2014
9
http://www.bandungheritage.org. Diakses tanggal 20 Juli 2014
129
Diakses
“an historic building is one that gives us a sense of wonder and makes us want to know more about the people and culture that produced it. It has architectural, aesthetic, historic, documentary, archaeological, economic, social and even political and spiritual or symbolic values; but the first impact is always emotional, for it is a symbol of our cultural identity and continuity—a part of our heritage.” (Fielden, 2003: 1)
Desain film documenter agar menarik diperlukan strategi terutama dalam pemilihan tema, penentuan narasumber, penentuan lokasi, teknik penambilan gambar dan lain-lain. Adapun tahapan pembuatan film documenter adalah sebagai berikut: 1. Preliminary Research 2. Mengolah tema dan narasi film 3. Membuat Skenario, Storyline dan Storyboard 4. Pengambilan gambar (shooting) 5. Editing
Film merupakan salah satu media komunikasi yang cukup efektif. Melalui film diharapkan terbentuk suatu kesamaan pemahaman berkaitan dengan tema yang ditampilkan karena setiap bentuk komunikasi merupakan suatu proses transaksi penciptaan makna. ”Communication is a process where there is a mutual assignment of meaning, simultaneous responses by all persons in the transaction, on-going giving and receiving of multiple messages, circularity, and numerous channels of communication”(Berlo dalam Hariss, 2008: 17). Film dokumenter selain mengandung fakta ia juga mengandung subyektivitas pembuatnya. Subyektivitas dapat diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. (Marselli:1996). Menurut Tisha Das (2007: 52) terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhitungkan dalam membuat script dokumenter diantaranya: Documentary deals with fact, not fiction, Documentary is flexible, Documentary inspires movement and action, Documentary involves less control, Documentary subject is paramount, Credibility is key in.
Medode Sosialisasi Produksi Film Dokumenter Cagar Budaya Sosialisasi produksi desain film dokumenter cagar budaya dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai metode komunikasi agar informasi yang tersimpan di dalammnya dapat diapresiasi, diterima, dan ditindaklanjuti sesuai dengan kebutuhan penerimanya. Konten film dokumenter cagar budaya yang penuh makna dan nilai idealnya menjadi suatu wahana dalam memberikan penyadaran akan pentingnya suatu pelestarian. Pelestarian yang tepat akan membuka jalan untuk memberdayakan berbagai potensi yang menguntungkan dilihat dari segi: keuntungan ekonomi, keuntungan budaya, dan keuntungan sosial. Beberapa upaya penyampaian karya kreatif film dokumenter ini diantaranya meliputi: 1) Kerjasama dengan instansi terkait misalnya kementerian pendidikan dan kebudayaan; 2)Kerjasama dengan dinas-dinas pariwisata dan para pengelola pariwisata; 3) Bekerjasama dengan kementerian Luar negeri dan Kedutaan-Kedutaan
130
yang ada di Indonesia agar berbagai desain informasi dalam bentuk dokumenter cagar budaya dapat dititipkan sebagai salah satu strategi promosi budaya dan pendidikan Indonesia; 4) Bekerjasama dengan media massa elektronik; 5) Menawarkan program pemutaran film dokumenter cagar budaya kepada pengelola musiummusium yang ada di kota Bandung; 6) Menyisipkan pemutaran film dokumenter cagar budaya pada event-event sejarah dan budaya di Kota Bandung; 7) Dan lain-lain
pariwisata sejarah dan pusaka di dunia. Diharapkan eksistensi bangunan cagar budaya dapat diapresiasi dalam berbagai level; local, nasional dan internasional.
PENUTUP
Devito, Joseph, 1991, Human Communication the Basic Course, New York, Harver Collins Publihers.
DAFTAR PUSTAKA Bernard,Sheila Curran. 2007. Documentary Storytelling: Making Stronger and More DramaticNonfiction Films. Second EditionUnited States of America:Elsevier Inc Cheah, Philip. 2002. Membaca Film Garin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kesimpulan Keunikan dan keindahan cagar budaya merupakan asset berharga yang dimiliki suatu kota. Bahkan kehadirannya seringkali menjadi ikon dan kebanggaan masyarakat pemiliknya. Namun tidak banyak yang mengapresiasi dan mengetahui karena miskinnya informasi, padahal jika digali dibalik kekayaan cagar budaya itu tersimpan berbagai nilai diantaranya; nilai ilmu pengetahuan, nilai kesejarahan dan nilai budaya. Bandung dikenal sebagai museum arsitektur di dunia karena kekayaan warisan bangunan cagar budayanya yang indah, unik dan langka. Pengemasan informasi dalam bentuk film documenter merupakan strategi kreatif untuk mengeksplorasi keindahan kota sehingga bisa dijadikan media komunikasi untuk mempromosikan kekayaan budaya cagar budaya kota Bandung. Promosi yang intens diharapkan dapat mengoptimalkan kota Bandung menjadi salah satu tujuan
Effendy, Onong U, 1992, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung, Remadja Rosda Karya. Evershed, Sarah. Film, Ethnography, and the Senses: The Corporeal Image. American Anthropologist;Dec 2006; 108, 4; Academic Research Library. pg. 908 Fisher, B. Aubrey, 1986, Persfectives on Human Communication atau TeoriTeori Komunikasi (terj. Jalaluddin Rakhmat), Bandung, Remaja Rosdakarya Fred Wibowo. 2007.Teknik Produksi Program Televisi, Yogyakarta: Pinus. Gerzon R. Ayawaila. 2008. Dokumenter Dari Ide Sampai Produksi, Jakarta: FFTV-IKJ Press.
131
Hardjasaputra, Sobana, 2006. Situs dan Benda Cagar Budaya di Purwakarta serta Upaya Pelestariannya. Bandung
of Northwest Coast Cultures. Bolder-San Francisco, Westview Press. Ray Bachtiar Dradjat. 2005. Film Dokumenter “Upacara Ngalaksa
Heriyawati, Yanti. 2007. Upacara Bubur Suro: Artefak Masyarakat LadangSawah. Jurnal Panggung Terakreditasi. Bandung: STSI Press.
Riyanto, Sugeng, 2006, “Informasi di Taman Wisata Candi Prambanan : Kajian Tentang Ketertarikannya dan Peningkatan Apresiasi Masyarakat Terhadap Benda Cagar Budaya, UGM, Jogjakarta Risha Das. 2007. How To Write A Documentary Script. A Monograph.Unesco. Diunduh pada tanggal 2 Maret 2013 dari http://www.unesco.org/new/ fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CI/C I/pdf/programmedoc_documentary script.pdf
_______ 2013.Kuasa Upacara: Reproduksi dan Rekonstruksi Sukur Bumi di Rancakalong Sumedang Jawa Barat. Disertasi pada Program Studi Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Himawan Pratista, 2008, Memahami film / Penulis: Pratista, Himawan, Yogyakarta: Homerian Pustaka
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kaplan, David dan Albert A. Manners. 2000. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saifudin,Fedyani Achmad. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media.
Katam Sudarsono, Abadi Lulus, 2005, Album Badoeng Tempo Doeloe, Bandung, Navress Indonesia Koentjaraningrat.1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Spradley. James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mangopo Angi, Eddy, 2005, Kebijakan Pemerintah Pusat di Bidang Konservasi dari Perspektif Daerah dan Masyarakat (Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur), Jakarta, Center for International Forestry Research
Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-Dasar Apresiasi Film.Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Yasraf Amir Piliang. 2008. Muliplisitas dan Diferensi: Redefinisi Desain, Teknologi, dan Humanitas. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra..
Marselli Sumarno. 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film, Jakarta: Grasindo. Morris, Rosalind C. 1994. New Words From Fragments; Film, Etnography, and the Representation
132
Walsh, W.H. (1967). Philosophy of History : An Introduction. New York: Harper and Row Publisher.
133
INTERPRETASI IKONOGRAFIS Poster Iklan Enamel ROKO PRIJAJI Dyah Nurhayatiˡ, Dida Ibrahim Abdurrahman² Jurusan Seni Rupa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jalan Buahbatu No. 212, Bandung Abstract This research aims to translate the work of meaning upon poster advertising enamel roko prijaji. Poster advertising enamel roko prijaji is a work of advertising very phenomenal and style icon graphic design indies that experienced the peak of its progress in the 1930s. Style graphic design indies be a kind of trend setter generation designer for visual communication in times of next. So interesting to further studies. This study using a method of a qualitative approach ikonografis with the approach. An analysis of this qualitative - interpretative through three rounds of interpretation of the work of visual, as formulated by the art history expert erwin panofsky ( 1862 - 1968 ). The phase of the iconography is pre, an analysis of the iconography of ikonologi and analysis. The results of the findings of this research is expected to give new insight contribution on an interpretation of the work of visual art in a way that other and to the field of visual communication the other. And can be developed the framework approach and analysis method to perupaan terms applied to further research. Key words: posters, advertising enamels, roko prijaji, iconography, visual culture
PENDAHULUAN Enamel Pria Inggris bernama Benjamin Baugh yang pada tahun 1889 mendirikan perusahaan pertama pembuat papan enamel bernama “Patent Enamel Company Limited” di Inggris. Ia memprakarsai teknik enamel lempengan besi untuk menjadikannya sebagai media beriklan dari produk-produk industri yang banyak muncul saat itu. Awal kehadiran enamel memang masih sangat terbatas bahkan termarjinalkan secara konteks peradabannya, hal ini terjadi karena bahan baku serta proses pembuatan yang rumit membuatnya tidak banyak dilirik sebagai jenis usaha
yang mudah dikeluti. Proses enamel Kemudian diaplikasikan untuk membuat lempengan iklan karena dianggap dapat menjawab tantangan akan keawetan serta kekuatan beriklan modern, dalam hal ini media iklan luar ruang. Selain juga karena pada saat itu produk-produk masih sedikit jenisnya atau belum terjadi kompetisi produk sejenis, hingga keawetan dan kekuatan iklan enamel dibuat agar dapat bertahan lama tanpa harus mempertimbankan kebaruan desain. Pada awal keberadaannya, desain iklan enamel hanya berupa pesan tekstual yang terdiri dari deretan tiporgafi yang disusun dengan
134
menggunakan satu jenis type face dan lebih berisi informasi akurat saja, bahkan beberapa diantaranya terasa kurang memperhatikan estetika desain. Seiring dengan kemajuan teknologi pembuatannya, iklan enamel makin marak dengan menampilkan ilustrasi baik produk maupun model pendukung. Visualisasi iklan enamel berkembang menurut apropriasi imajiner perubahan gaya hidup dan pembentukan identitas bagi target audiencenya. Hampir seluruh desain iklan enamel dilakukan secara manual, olah karenanya iklan ini menjadi simbol ketrampilan para desainer saat itu. Keberadaan iklan enamel di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh Belanda yang saat itu menjadi pemegang otoriatas pemerintahan di Hindia Belanda. Begitu juga ketika Jepang yang kemudian menjajah Indonesia, iklan enamel didatangkan dari Jepang yang saat itu telah berhasil mengadopsi teknik pembuatan Enamel dari Eropa. Idiom barat dalam Iklan enamel khususnya ditujukan bagi masyarakat Belanda dan Eropa yang telah banyak menjadi penduduk pendatang di kota-kota besar Hindia. Masyarakat pendatang timur asia lainnya, Cina dan Arab, serta penduduk pribumi kemudian mengakui dan mengapresiasi produk-produk barat sebagai bagian dari modernitas secara global. Pada perkembangannya beberapa iklan enamel produk industri barat kemudian banyak yang menggabungkan bahkan menggunakan impresi selera lokal untuk lebih mendekatkan dengan konsumennya.
‘Roko Prijaji Sigaret’ Adalah merupakan suatu karya iklan yang sangat fenomenal dan menjadi ikon gaya desain grafis Indies yang mengalami puncak perkembangannya di tahun 1930-an ditampilkan seorang pangeran keraton Surakarta sebagai ilustrasi tunggal produk rokok dengan merk Prijaji (priyayi adalah suatu sebutan bagi kalangan elit terpelajar yang menduduki jabatan-jabatan birokrasi kolonial yang semula berangkat dari istilah “para yayi” yaitu kerabat dekat para raja atau ningrat di kerajaan-kerajaan Surakarta dan Yogyakarta). Lucian Bernhard Seniman grafis Lucian Bernhard sosok di balik munculnya gaya visual yang menegasi kecenderungan umum gaya visual pada poster saat itu. Sebuah poster yang mempengaruhi genre baru dalam periklanan (media poster khususnya) dikenal sebagai Sachplakat, atau poster objek. Mengikuti jejak karirnya, yang dimulai pada awal abad ini hingga tahun 1950an, Lucian Bernhard adalah salah satu desainer yang sangat subur dalam berkarya. Karyanya tidak hanya berhenti pada poster-posternya yang inovatif, tetapi juga dalam bentuk trademark, kemasan, desain huruf, tekstil, furniture, sampai desain interior. Setelah hijrah ke New York- Amerika pada tahun 1922, dia mendesain untuk beberapa merek terkenal seperti; Cat’s Paw, ExLax, dan Amoco. Bernhard juga menghasilkan lebih dari tigapuluh lima jenis desain typeface, termasuk Bernhard Gothic yang sangat populer.
135
tak perlu memikirkan apakah rokoknya akan dikonsumsi kaum priyayi atau masyarkat lapis bawah. Pada saat kelas priyayi menegaskan dirinya melalui simbol-simbol tertentu (Roko Prijaji), pada saat yang sama kelas bawah berusaha menjadi priyayi dengan mengonsumsi rokok sang priyayi tersebut, seolah sudah seperti priyayi (menjadi priyayi/becoming priyayi). Kebutuhan merokok menjadi kebutuhan sekunder, kebutuhan menjadi priyayi menjadi kebutuhan primer. Di sinilah hebatnya iklan, bahwa dia mampu menyediakan proses to become somebody else. Proses inilah yang dinamakan alienasi. (FX. Widyatmoko dalam http://dgiindonesia.com/melawan-kuasa-teks/). Iklan fenomenal ini menjadi ikon gaya desain grafis Indies yang mengalami puncak perkembangannya di tahun 1930- an ditampilkan seorang pangeran keraton Surakarta sebagai ilustrasi tunggal produk rokok dengan merk Prijaji (priyayi adalah suatu sebutan bagi kalangan elit terpelajar yang menduduki jabatan-jabatan birokrasi kolonial yang semula berangkat dari istilah “para yayi” yaitu kerabat dekat para raja atau ningrat di kerajaan-kerajaan Surakarta dan Yogyakarta). Figur seorang pangeran keraton Surakarta mengenakan beskap takwa bordir emas, memakai kuluk kanigara hitam, mengenakan kain dodot bermotif parang barong, dan keris pusaka (semua atribut dan busana yang dikenakan ini hanya khusus untuk para pangeran senior yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo dari keraton Kasunanan
Ikonografi Ikonografi adalah deskripsi dan klasifikasi gambar seperti halnya etnografi adalah deskripsi dan klasifikasi dari ras manusia; ini merupakan penelitian terbatas dan terdahulu, serta tambahan yang menginformasikan kapan dan dimana tema khusus divisualisasikan oleh motif khusus yang mana. Pustaka Acuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studies in Iconology, Humanistic Themes in Art of the Renaissance karangan Erwin Panofsky. Fokus dari ikonografi adalah pembahasan tentang makna dari “pokok persoalan” dari sebuah karya seni rupa. Ikonografi merupakan sarana atau upaya untuk menggali gambaran tradisi dibalik lambang-lambang spesifik yang menjadi objek kajiannya. Perkembangan selanjutnya ‘ikonografi’ menjadi ‘ikonologi’, yakni kajian tentang isi/muatan simbolik dan budaya dari karya-karya seni rupa. Ikonologi adalah metode interpretasi yang muncul dari sintesis-sintesis analisis dan sebagai identifikasi yang benar dari motif adalah prasyarat akan analisis ikonografis yang benar, demikian halnya analisis yang tepat akan gambar, cerita dan alegori. PEMBAHASAN Iklan enamel Roko Prijaji di atas merupakan sebuah usaha bagaimana rokok diarfirmasi oleh masyarakat. Di sana hadir sebuah praktik peminjaman, yaitu diperlukan sosok/figur tertentu dalam menegaskan (budaya) merokok. Lebih lanjutnya bahwa rokok pun seperti lapisan dalam masyarakat, bahwa di sana terdapat kelas-kelas dalam rokok. Pada saat yang sama si rokok tersebut
136
Surakarta) sedang menghisap rokok dengan teks Roko Prijaji Sigaret dalam latar belakang warna merah gradasi. Pengaruh kuat gaya Plakatstil atau gaya Plakat, yaitu suatu gerakan desain modern di Jerman awal abad ke-20 yang memfokuskan pada satu obyek image produk dengan kalimat teks yang minimal serta penggunaan tipografi yang sangat lugas dan tegas (bold) seperti halnya karya karya poster seniman grafis Berlin terkemuka Lucian Bernhard, sangat jelas jejaknya pada iklan rokok cap Prijaji ini (Heller & Chwast, 1988:9). Perpaduan gaya desain modern dengan obyek ilustrasi simbol budaya klasik tradisional yang dianggap adiluhung merupakan suatu hibrida yang mempunyai kekuatan penetrasi dan meninggalkan persepsi sangat kuat di benak khalayak sasaran komunikasinya. Perspektif budaya tradisional Jawa jaman itu, seorang pangeran adalah elit bangsawan di bawah raja yang tidak hanya mempunyai kekuasaan politik legal formal melainkan juga memiliki kekuatan adi kodrati magis religius sebagai warana, perwakilan atau representasi jagad gede (makro kosmos) dalam realitas jagad cilik kehidupan (mikro kosmos). Status dan posisi sosial seorang pangeran yang menempatkannya pada puncak piramida hierarki kekuasaan tradisional harus dijaga martabat dan kewibawaannya. Kehadiran iklan ini yang meletakkan seorang pangeran sebagai penjaja komoditas produk komersial (sebagai bakul rokok atau pedagang rokok) yang mempunyai konotasi rendah dalam perspektif budaya tradisi yang
dianggap adi luhung semakin menegaskan adanya kecenderungan menguatnya proses dekonstruksi dan delegitimasi kekuasaan politik kerajaankerajaan tradisional di Jawa. Simbolsimbol kekuasaan magis religius itu telah dicampakkan dari peran sakralnya dan bergeser hanya sekedar sebagai alat penjualan yang bersifat remeh, sekuler dan komersial. Terlepas dari segala tafsir sosiokulturalnya, karya iklan rokok cap Prijaji ini telah mampu meninggalkan jejaknya sebagai suatu masterpiece dalam kreativitas perancangan dunia desain grafis dan komunikasi visual yang berkembang di Indonesia masa lalu (Hindia Belanda), dan mendapatkan predikatnya sebagai bentuk gaya desain grafis yang khas Indonesia. Gaya desain grafis Indies dengan segala kualitas artistik yang telah dicapainya menjadi semacam trend setter bagi generasi perancang komunikasi visual pada masamasa selanjutnya dan baru perlahanlahan mengalami kemerosotan pada tahun-tahun tujuh puluhan ketika industri periklanan modern sebagai bagian industri periklanan global berkembang pesat bersamaan dengan arus modal asing yang masuk secara besar-besaran pada awal Orde Baru. PENUTUP Gaya desain grafis Indies merupakan suatu gaya campuran antara gaya desain modern yang berkembang di Eropa pada abad 19 sampai awal abad ke-20. Berkembangnya gaya desain grafis Indies yang mencapai puncaknya pada tahun 1930-an di-dukung oleh pesatnya industri pers (surat kabar dan
137
Read, Herbet. 1972. The Meaning of Art, New York, Washingthon: Praeger Publisher, Sachari, Agus. 2007, Budaya Visual Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga,
majalah) dengan berbagai macam bahasa pengantar (pers Belanda, pers Tionghoa, pers Melayu, pers Jawa, pers Sunda, dan sebagainya) yang mengandalkan kelangsungan hidupnya dari pendapatan iklan. Tema-tema ilustrasi iklan yang dirancang para seniman grafis Belanda banyak mengangkat eksotisme kehidupan masyarakat pribumi dengan segala atribut yang merupakan identitas cultural-nya dengan pandangan yang sangat kolonial sentris (cenderung melecehkan dan menganggap kaum pribumi sebagai “the other” dengan segala perbedaan ciri-ciri genetiknya). Sebaliknya, ketika perancangan grafis iklan banyak dilakukan oleh perancangperancang grafis pribumi, maka obsesi genetik “menjadi Belanda” banyak mewarnai wajah visualisasi periklanan di Indonesia dengan tampilnya bintang iklan wanita-wanita pribumi dengan anatomi dan proporsi tubuh sangat Barat.
Soekiman, Djoko. 2000, Kebudayaan Indis, Yogyakarta: Bentang. Majalah Laras. nomor 137, Mei 2000. Heller, Jurnal AIGA, London, 1998. Skripsi Wawan Setiawan. (2008), Interpretasi Ikonografis Atas Ilustrasi Karya W.K. De Bruin Dalam Buku Roesdi Djeung Misnem. ITB, Bandung. Jurnal Bedjo Riyanto. (2005), Gaya Indies: Gaya Desain Grafis Indonesia Tempo Doeloe. Jurnal NIRMANA, VOL.7, NO. 2, JULI 2005: 134143, Universitas Kristen Petra, Surabaya.
DAFTAR PUSTAKA McLuhan, Marshall, 1996, Understanding Media: The Extension of Man, Massachusetts: MIT Press. Mirzoeff, Nicholas, 1999, An Introduction to Visual Culture, London: Routlegde. Mitchell, W.J.T., 1987, Iconology, Image, Text, Ideology, USA: The University of Chicago Press. Kaplan, Davi. 2002, Teori Budya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,. Pujirianto. 2005, Desain Grafis Komputer: Teori Grafis Komputer, Yogyakarta: Penerbit Andi,
138
METODE ETNOFOTOGRAFI DALAM PENELITIAN SENI: Konsep dan Langkah Kerjanya Cahyadi Dewanto 1, Suharno 2 12
Seni Rupa, ISBI Bandung Jl Buahbatu No 212 Bandung 40265 1
[email protected], 2
[email protected] Abstrak Etnofotografi adalah metode kajian yang belum diminati oleh peneliti seni. Kemungkinan penyebab utamanya dua hal. Pertama metode ini menuntut peneliti menguasai metode etnografi dan memiliki bekal keilmuan fotografi baik teknis maupun filosofis. Kedua, belum adanya buku yang khusus membahas metode etnofotografi dalam kaitannya dengan penelitian seni. Oleh sebab itu, tulisan ini akan menjelaskan konsep dasar metode etnofotografi dalam penelitian seni dan contoh aplikasinya. Tujuannya agar metode tersebut bukan hanya digunakan fotografer untuk mencipta fotoetnografi, namun digunakan pula untuk mengkaji seni. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah studi kepustakaan, wawancara, dan observasi di lapangan. Hasil kajian adalah terumuskannya konsep dasar dan langkah-langkah metode etnofotografi untuk penelitian seni. Kata kunci: metode, etnofotografi, fotoetnografi
PENDAHULUAN Setidaknya ada dua buku komprehensif yang mendasari tulisan ini, yakni karya Soedarsono [1] serta Leeuwen dan Carey Jewitt [2]. Soedarsono menguraikan berbagai teori dan pendekatan yang digunakan untuk mengupas persoalan seni rupa dan seni pertunjukan dengan contoh hasil kajiannya. Meski demikian, buku ini tidak memberi penjelasan bagaimana teori atau pendekatan tersebut diaplikasikan. Sementara itu Leeuwen dan Carey Jewitt juga belum membahas metode etnofotografi. Buku komprehensif ini memaparkan delapan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis fenomena seni rupa disertai contoh aplikasinya, yakni semiotik,
ikonografi, analisis konten, antropologi, cultural studies, semiotika sosial, etnometodologi, dan therapeutik. Nampak jelas bahwa metode etnofotografi belum dibahas dalam buku ini. Kedua buku di atas menunjukkan gambaran nyata, bahwa etnofotografi adalah metode penelitian yang kurang disentuh baik oleh peneliti maupun para pemerhati metodologi penelitian seni. Padahal etnofotografi adalah salah satu pendekatan yang penting dalam mengkaji fenomena seni karena memiliki kekuatan yang mampu menghadirkan objek kajian dalam bentuk visual yang persis realitas aslinya walaupun sudah dalam kerangka “frame’ penelitinya. Kekuatan ini tidak dimiliki oleh
139
kaitannya dengan makna simbolik leuit masyarakat Kanekes Luar.
kemampuan tangan manual dalam menggambarkan objek yang dikaji. Walaupun demikian etnofotografi juga mempunyai kelemahan, yakni tidak bisa menembus masyarakat adat atau peraturan yang tidak memperbolehkan objek kajian diambil gambarnya dengan media kamera foto. Etnofotografer, tidak akan berhasil secara maksimal ketika meneliti aspek visual makam para sultan keraton Jogjakarta karena makam sultan tidak boleh difoto. Etnofotografer juga tifak akan berhasil meneliti aspek visual prosesi ritual masyarakat adat Kanekes Dalam (Baduy Dalam) karena kamera tidak diperbolehkan masuk ke wilayah adat mereka. Etnofotografer juga tidak akan berhasil meneliti desain baju dalam sebuah peristiwa pameran yang melarang pengunjung mengabadikan objek pameran dengan kamera dalam bentuk apapun. Sehubungan dengan hal di atas, tulisan ini akan memaparkan prinsipprinsip dasar penelitian etnofografi dengan contoh objek kajian leuit masyarkat Kanekes Luar (Baduy Luar). Leuit dipilih karena bukan sekedar lumbung padi, namun terkait dengan pemujaan kepada Nyi Pohaci. Leuit yang dikaji bukan milik masyarakat Kanekes Dalam, karena hingga kini semua alat rekam termasuk kamera foto tidak diperbolahkan masuk di wilayah adat mereka. Kalau boleh dibawa masuk, namun tidak boleh difungsikan. Oleh sebab itu pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah aspek keapaan, kemengapaan, kebagaimanaan, dan kemanaan dari etnofotografi dalam
Metode Metode yang digunakan untuk menyusun prinsip dasar penelitian etnofografi ini adalah studi literatur, wawancara, dan observasi lapangan. Studi literatur difokuskan untuk memperoleh data tentang prinsip dasar penelitian etnografi dan etnofotografi. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data emik di lapangan dari sumber yang kompeten. Adapun studi lapangan dilakukan di lokasi penelitian (masyarakat Kanekes Luar) untuk memeperoleh data visual dan data terkait lain yang dibutuhkan. Hasil dan Pembahasan Etnografi dan Etnofotografi Etnofotografi merupakan “turunan” dari cara kerja etnografi dalam menelusuri makna suatu kebudayaan. Oleh sebab itu langkah kerja penelitiannya pada dasarnya mengikuti pola etnografi. Etnografi sendiri berasal dari budaya antropolog yang sering dikaitkan dengan istilah etnometodologi [3]. Singleton menjelaskan bahwa etnografi merupakan studi antropologi dan etnometodologi merupakan studi sosiologi [4]. Patton lebih menegaskan lagi, bahwa pertanyaan atas apa budaya suatu kelompok individu akan dijawab oleh etnografi, sedangkan etnometodologi digunakan untuk menjawab pertanyaan bagaimana suatu kelompok individu memahami kegiatan sehari-hari mereka, sehingga perilakunya diterima secara social [5].
140
Studi etnografi (ethnographic study atau ethnography) juga sering dikaitkan dengan istilah studi lapangan [6]. Bahkan Neuman menegaskan etnografi hanyalah merupakan perluasan dari penelitian lapangan karena etnografi mendefinisikan kembali bagaimana penelitian lapangan harus dilakukan [7]. Tujuan penelitian etnografi tentu beragam, namun intinya untuk menggambarkan budaya atau subkultur dengan serinci mungkin, termasuk bahasa, adat istiadat, nilai-nilai, upacara keagamaan, dan hukum [8]. Geertz juga menegaskan bahwa bagian penting dari etnografi adalah deskripsi yang kaya, penjelasan yang spesifik dan rinci [9]. Oleh sebab itu, penelitian etnografi bukan berhenti pada tataran fisik (apa yang terlihat), namun juga di balik yang nempak tersebut. Oleh sebab itu, penelitian tujuan penelitian etnografi adalah untuk menguraikan budaya tertentu secara holistik, baik material maupun sebaliknya. Untuk mencapai tujuan tersebut metode utama ahli etnografi adalah observasi dalam tradisi antropologi yang dilakukan secara intensif hingga peneliti terbenam dalam budaya yang diteliti atau in depth studies [10]. Hal ini dikarenakan etnografi menuntut interaksi langsung peneliti dengan objek yang dikaji, dan interaksi ini tidak jarang memerlukan waktu yang lama, menguras emosional, dan kadang-kadang secara fisik berbahaya [11]. Don Hasman, seorang fotografer yang mendedikasikan hidupnya untuk membuat foto-etnografi menegaskan, bahwa penelitan etnofotografi memerlukan waktu 6 hingga 8 tahun. Peneliti etnofotografi
bukanlah peneliti yang cuma mampir. Ia harus lama berada di lapangan penelitian yang dikajinya. Hal ini dibuktikan dengan kajiannya tentang masyarakat Baduy.yang ia bukukan: Orang Baduy Dari Inti Jagad (1989). Karya fotonya telah melanglang buana seperti pada pameran Treasure of Baduy “The Living Culture in Harmony” di ASEAN Japan Center (AJC), Tokyo pada tanggal 15-19 Mei 2014. Adapun langkah-langkah langkahlangkah umum yang dapat diterapkan dalam penelitian etnografi menurut LeCompte dan Schensul adalah sebagai berikut: (1) Temukan informan yang tepat dan layak dalam kelompok yang dikaji; (2) Definisikan permasalahan, isu, atau fenomena yang akan dieksplorasi; (3) Teliti bagaimana masing-masing individu menafsirkan situasi dan makna yang diberikan bagi mereka; (4) Uraikan apa yang dilakukan orang-orang dan bagaimana mereka mengomunikasikannya; (5) Dokumentasikan proses etnografi; (6) Pantau implementasi proses tersebut; (7) Sediakan informasi yang membantu menjelaskan hasi riset [12]. Langkah-langkah umum di atas bukanlah hal yang mutlak benar dan final. Menurut hemat penulis, sebelum menentukan informan justru hal yang paling penting adalah harus menentukan persoalan yang akan diteliti. Ketika pokok persoalan sudah ketemu, maka penentuan informan, data yang akan digali, bentuk observasi, literatur terkait, dan hal lain yang berhubungan dengan topik penelitian akan mudah dipetakan. Sehubungan dengan hal ini, pokokpokok langkah penelitian etnografi
141
menurut penulis adalah: (1) Tentukan persoalan mendasar yang dijadikan topik penelitian. Persoalan ini harus mempunyai kualitas problematik yang menyangkut objek material, tujuan, dan objek formalnya; (2) Petakan sumber data yang akan digali, seperti narasumber, acuan kepustakaan, studi piktorial, dan sebagainya; (3) Lakukan penggalian data di lapangan dengan koridor nomor 1; (4) Data yang terkumpul di analisis dengan pendekatan tertentu sesuai koridor nomor 1. Penelitian etnografi yang menghasilkan kekayaan diskripsi terhadap apa yang dikaji umumnya dipaparkan dalam bentuk teks tertulis. Jika ada sajian foto umumnya hanyalah sebagai ilustrasi atau pelengkap data fisik yang sedang dijelaskan. Hal ini berbeda dengan etnofotografi yang justru menempatkan foto sebagai pusat kajian, sementara data lain diperlukan untuk membantu menganalisinya.
Foto yang dikaji dalam etnofotografi bisa dari peneliti sendiri maupun karya orang lain. Foto yang dimaksud bukan sekedar foto dari hasil asal jepret, namun melalui penggalian data yang mendalam dalam kerangka waktu tertentu secara berkesinambungan yang dilandasi kepekaan peneliti dalam melakukan pengamatan terhadap apa yang akan dikaji. Oleh sebab itu, rangkaian foto dalam penelitian etnografi adalah ibarat paragraf dalam kalimat yang mendeskripsikan objek yang dikaji. Dengan demikian semua foto dalam etnofotografi harus mampu menunjukkan detil objek yang dikaji sehingga ketika orang lain membacanya bisa menangkap arah foto tersebut sesuai konteks kajian. Sehubungan dengan hal di atas, maka penggalian data visual dalam etnofotografi memerlukan kerangka konseptual, yakni frame dari tujuan penelitian itu sendiri. Penggalian data tersebut juga butuh waktu tertentu dan harus dibarengi dengan data lapangan lain seperti wawancara dan observasi untuk menganalisisnya. Adapun langkah-langkah metode etnofotografi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Metode Etnofotografi Sebagai “turunan” etnografi, cara kerja etnofotografi sama dengan etnografi, yakni menentukan topik dan tujuan penelitian, mengumpulkan data, melakukan analisis, dan menyusun etnografi sesuai tujuan penelitian. Hal yang membedakan, etnofotografi menggunakan medium fotografi sebagai media pengumpulan data, analisis, dan hasilnya. Foto ditempatkan sebagai teks data, yang diinterpretasi dari sisi denotasi maupun konotasinya dengan dukungan data lain dari hasil wawancara, observasi, maupun studi pustaka. Oleh sebab itu, foto adalah bahan pokok dalam penelitian etnofotografi.
1. Menentukan topik dan tujuan penelitian 2. Pengumpulan Data a. Data Piktorial Data piktorial berupa foto, dibuat sesuai kerangka acuan yang dalam isitilah Collier Jr. & Collier disebut panduan menembak [13]. Hal ini dilakukan agar tidak terjebak membuat ratusan foto yang indah namun tidak bermakna. Kerangka acuannya adalah
142
tujuan penelitian ini, yakni menjelaskan secara komprehensif bentuk, struktur dan makna dari leuit suku Baduy Luar. Berangkat dari sini, maka objek foto yang diproduksi dan data terkait yang digali akan selalu berkait dengan hal tersebut. Hal ini mendasar dilakukan karena etnofotografi menuntut bukti visual hanya yang kontekstual, lengkap, dan terorganisir.
Penentuan topik dan tujuan penelitian
Pengumpulan data
Data Piktorial
Data literatur
Data emiketik
Analisis: apa yang peneliti lihat?; bagaimana peneliti tahu?
b. Data Pendukung Data pendukung yang bersifat teoritis (literatur) di dilakukan di perpustakaan STSI Bandung, Perpustakaan Jurusan Seni Rupa STSI Bandung, dan Perpustakaan Pusat UGM Yogyakarta. Adapun data emik dilakukan melalui wawancara dengan Lurah Dainah (52 tahun) dan Pepi Prismawan (35 tahun).
Kimpulan
Gambar 1. Kerangka Penelitian Etnofotografi
Makna Simbolik Bentuk Leuit Leuit adalah tempat menyimpan padi dan saung lisung, tempat penduduk menumbuk padi [15]. Menurut Jamaludin dkk. kawasan Baduy Dalam seperti kampung Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Leuit ditempatkan beberapa meter di belakang rumah. Lokasinya sebelah utara kampung, berlawanan arah dengan rumah puun (ketua adat kampung) yang berlokasi di sebelah selatan. Hal ini tidak berbeda jauh dengan Baduy Luar seperti di Kaduketug, Gajeboh, Ciranji, dan Cikadu. Di Cikadu lokasi leuit berada agak jauh dari pemukiman. Alasan utamanya jika terjadi kebakaran leuit masih bisa diselamatkan [16].
3. Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan Analisis dalam etnofotografi setidaknya melibatkan dua pertanyaan, yakni apa yang saya lihat dan bagaimana saya tahu [14]. Artinya, dalam mengkaji foto harus dibarengi dengan analisis data terkait, sehingga ketika orang melihat teks foto yang disajikan akan mengetahui secara komprehensif isi dan konteks foto yang dilihatnya. Foto dalam penelitian ini dianalisis dengan pendekatan emik maupun etik dalam kerangka konteks pandangan hidup masyarakat penyangganya saat penelitian dilakukan. Berikut ini adalah bagan tahapan penelitian sebagaimana dimaksud di atas,
143
Gambar 4. Leuit berada di luar perkampungan masyarakat Kanekes Luar
Gambar 2. Posisi Leuit dalam Pola Tata Ruang Kampung Kadungketug, Baduy Luar [17]
Jika di amati, leuit terletak di sekitar atau mengelilingi kampung, berada di luar perumahan penduduk masyarakat Kanekes Berdasarkan perbincangan penulis dengan nara sumber Pepi (35 Tahun), jawabannya sama seperti yang ditulis Jamaludin di atas, yakni agar bila terjadi kebakaran, bahan makanan (padi) masih terselamatkan.
Gambar 5 Leuit berada di dekat perkampungan masyarakat Kanekes Luar
1. Bentuk Leuit Jamaludin, dkk. menyebutkan bahwa berdasarkan bentuknya, leuit di Kanekes di bedakan menjadi 2 jenis yaitu, leuit lenggang atau leuit tinggi dan gugudangan [18]. Leuit tipe gugudangan memiliki model lain yang di sebut kurumbung yang ukurannya lebih kecil. Baik leuit lenjang maupun gugudangan, secara denah terlihat berupa bujur sangkar dengan ukuran rata-rata 1,5 m x 1,5m sampai 2,5 m x 2,5 m dengan tinggi 4 m. Leuit mempunyai ciri makin ke atas makin besar. Di lihat dari desainnya, leuit lenjang merupakan jenis leuit yang paling tua. Leuit gugudangan dan karumbung merupakan pengembangan leuit lenjang ke dalam bentuk yang lebih sederhana. Ukuran dan jumlah leuit yang
Gambar 3 Letak Leuit yang terpisah dengan perkampungan masyarakat Kanekes.
144
dimiliki tiap warga bervariasi tergantung pada luas huma yang di kelola. Kapasitas untuk leuit tersebut biasanya sekitar 5001000 ikat padi. Seperti halnya rumah pada masyarakat Kanekes, bangunan leuit berbentuk panggung yaitu berada di atas tanah dengan batu sebagai pondasi sebagai kekuatan penyangga, dikarenakan struktur tanah yang labil.
Gambar 7. Leuit lenggang, dengan ciri khas bagian bawah lebih kecil daripada bagian atas
2. Struktur Bangunan Leuit Secara garis besar, bangunan leuit terdiri dari tiga bagian, yakni kaki (bawah), badan (tengah), dan kepala (atas). Kepala leuit adalah atapnya (hateup), terbuat dari yang terbuat dari daun kiray yang dilapisi serabut ijuk aren. Badan leuit adalah dinding terbuat dari anyaman bambu (bilik) motif kepang. Kaki sebagai kerangka bangunan berjumlah empat buah dan batu sebagai alas penyangga untuk memperkuat pondasi leuit. Konstruksi dan bahan bangunan yang demikian memungkinkan sirkulasi udara masuk sesuai kebutuhan “pengawetan padi” sehingga umur padi bisa bertahan hingga seratus tahun. Hal tersebut bisa dilihat dengan desain arsitetural yang unik, diantaranya bangunan yang menjulang ke atas, sementara bagian bawah justru lebih kecil, begitupun dengan kerangka bangunan yang mengikuti alur pada desain utama yang juga menjulang ke atas, sementara kaki-kaki dengan alas batu menjadi menopang yang kokoh tanpa menggunakan peralatan modern seperti paku. Disamping itu pula tepat di atas kaki-kaki terdapat lingkaran yang
Gambar 6. Struktur tanah yang labil, batu menjadi tumpuan utama leuit agar lebih kuat.
Desain lumbung padi (leuit) berbentuk bagian atas lebih besar daripada bagian bawah, menjadikan arsitektural leuit unik secara konstruktif. Leuit berbentuk bangunan panggung dengan empat kaki dari kayu dan di sangga batu yang langsung berhubungan dengan tanah. Rangka bangunan berbahan kayu, dengan penutup dinding bambu (bilik bambu) dengan anyaman model kepang. Atap leuit terbuat dari pohon kiray. Pintu lumbung berukuan sekitar 40cm x 50cm terletak di bagian abig-abig, yakni bagian atas dekat atap.
145
disebut Gelebeg, berfungsi untuk menghalangi tikus masuk ke dalam leuit.
Gambar 11. Gelebeg, berfungsi untuk menghalangi hama tikus masuk ke dalam leuit. Gambar 8. Konstruksi kaki-kaki Leuit yang berjumlah empat
Gambar 12. Kaki-kaki Leuit dengan empat kaki dan batu untuk memperkokoh pondasi
Gambar 9. Atap leuit terbuat dari daun kiray yang dilapisi serabut ijuk aren.
Gambar 10. Pintu leuit dengan ukurang kurang lebih 40 x 50 cm
Gambar 13. Salah satu konstruksi kaki leuit.
146
sehingga tanahnya tidak terjadi erosi atau longsor. Adapun cara pemeliharaan tanaman yang bersifat batiniah dengan mempertunjukkan seni pantun lakon Langgasari Kolot, dan seni angklung, serta menyediakan alat musik berupa kolecer (baling-baling). Semua seni musik tersebut untuk menghibur Nyi Pohaci Sanghiyang Sri. Sejak usia padi empat bulan, keluarga orang Kanekes bertempat tinggal di huma untuk menunggui padi sampai siap panen. Selama menunggui padi, mereka dilarang berhubungan kelamin demi menghormati Nyi Pohaci. Leuit bagi masyarakat Baduy bila dikaitkan dengan cerita mitologi Nyi Pohaci, mengisyaratkan bagaimana urang Kanekes memaknai leuit sebagai rumah kehidupan yaitu keberlangsungan atas pangan sebagai salah satu sumber kehidupan dan nasi sebagai makanan pokok mereka. Esensi leuit adalah sebagai “rumah Nyi Pohaci”. Esensi ini nampak pada upacara ngaseuk (menjemput Nyi Pohaci) dan upacara ngawalu (mengantar pulang Nyi Pohaci). Hal ini berarti leuit adalah rumah dunia atas, rumah spiritual, rumah tempat lahirnya daya-daya transenden yang terkait dengan kesuburan. Oleh sebab itu, leuit ditempatkan di luar rumah penduduk. Penempatan ini bukan hanya persoalan menghindari kebakaran semata, namun menempatkan ‘rumah Nyi Pohaci’ pada tempat yang luhur. Hal ini didukung fakta, bahwa orientasi bangunan leuit adalah utara selatan dan pintunya di sebelah utara. Selatan menurut pandangan masyarakat Kanekes adalah tempat sakral, dan karenanya jika
Gambar 14. Kerangka bangunan leuit yang telah rusak dan tidak dipakai lagi.
3. Leuit Sebagai Simbol Rumah Nyi Pohaci Spradley mengemukakan semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Ia juga menjelaskan simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur, yaitu simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan [19]. Ketiga hal tersebut merupakan dasar bagi semua makna simbolik. Secara fisik fungsi leuit untuk menyimpan padi dalam jangka waktu yang lama. Untuk meaksimalkan fungsi ini dibuatlah gelebeg pada leuit guna menghindari hama tikus. Sebagai sebuah tempat menyimpan harta karun berupa padi, leuit adalah “rumah” padi bagi masyarakat Kanekes. Leuit adalah tempat keberlangsungan hidup masyarakat Kanekes yang masih menjunjung tinggi falsafah padi itu sendiri. Menurut Ekadjati, pemeliharaan tanaman padi, orang Kanekes menempuh cara lahiriah dan batiniah [20]. Cara-cara lahiriah, misalnya lahan huma tidak pernah dicangkul karena dilarang,
147
menjemput padi dan mengantar padi ke leuit harus menghindari membelakangi arah selatan. Oleh sebab itu pintu leuit ada di sebelah utara. Berangkat dari pemahaman ini, maka nyatalah bahwa leuit merupakan simbol dunia atas, yang dzatnya dapat diturunkan (dijemput) dan naik kembali (diantar). Proses naik turun ini menggunakan sarana tali naga di pusat huma. Hal ini meneguhkan, bahwa ular dan Nyi Pohaci tidak terpisahkan sebagaimana mitologi Hindu, jika Wisnu turun ke dunia, maka istrinya akan selalu mendampinginya untuk kesejahteraan umat manusia.
Bandung: Masyarakat Pertunjukan Indnesia [2]
Seni
Leeuwen, Theo van dan Carey Jewitt, ed., 2001, Handbook of Visual Analysis. London: Sage Publications, Ltd
[3] Neuman, W. Lawrence., 2003, Social Research Methods (Qualitative and Quantitative Approaches), Ed. 5th. Boston: Allyn and Bacon, 282 [4] Singleton, Roice, 1988, Approaches to Social Research. New York: Oxford University Press, 308. [5]
PENUTUP Sebagai penelitian tahap awal, penelitian ini jauh dari yang diharapkan. Hal ini dikarenakan penelitian seni dan budaya yang menggunakan metode etnofotografi membutuhkan waktu yang lama. Apalagi yang diteliti berkait dengan ritus yang waktunya sudah ditentukan (ngaseuk dan ngawalu), sementara jadwal penelitian tidak sesuai dengan kalender tahunan ritus tersebut. Belum lagi masyarakat adat Kanekes hanya memperbolehkan peneliti berada di wilayah tersebut dalam waktu yang terbatas. Oleh sebab itu, penelitian terhadap leuit ini akan memperoleh hasil maksimal jika dilakukan secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama. Walaupun demikian, setidaknya prinspi-prinsip metode etnofotografi telah terumuskan.
Patton, Michael Quinn, 1990, Qualitative Evalution And Research Methods. London: Sage Publication, 88.
[6] Bailey, Kanneth D. 1982. Methods of Social Research. New York: A Division of Macmillan Publishing Co. Inc., 254. [7] Neuman, 363, 366 [8] Bailey, 255 [9] Singleton, 367 [10] Patton, 67 [11] Neuman, 363 [12] Mudjiyanto, Bambang “Metode Etnografi dalam Penelitian Komunikasi”, Komunikasi Massa. Volume 5 Nomor 1, 2009, 81. [13]
DAFTAR PUSTAKA [1] Soedarsono, R.M., 2001, Metodologi Penelitian Seni Rupa dan Pertunjukan. Cetakan kedua.
Collier, John Jr. & Collier, Malcolm, 1986,Visual Anthropology, Photography as a Research Method, University of New Mexico Press, 162-172
[14] Collier Jr. & Collier, 172.
148
[15] Ekadjati, S. Edi, 2014 Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, Bandung: Pustaka Jaya, 91
Misbah Zulfa Elizabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana, 134 [20] Ekadjati, 87
[16] Jamaludin, dkk. 2013. ”Tinjauan Arsitektur Interior Tradisional Desa Kanekes”. Jurnal Online Rekajiva, Institut Teknologi Nasional,
Narasumber Pepi Prismawan (35 tahun), guide masyarakat Kanekes, Lurah atau Jaro Dainah (52 tahun)
[17] Iskandar, Johan, 2012 Ekologi Perladangan Orang Baduy: Pengelolaan Hutan Berbasis Adat Secara Berkelanjutan. Bandung P.T. Alumni, 83. [18] Jamaludin, dkk. 2013 [19] Spardley, James P., 2006 Metode Etnografi, diterjemahkan oleh
149
KARYA CIPTA FILM DOKUMENTER ‘JANGKAR LANGIT’ Apip Prodi Film, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No 212 Bandung
Abstrak Penelitian dengan judul “Penciptaan Film Dokumenter Jangkar Langit” ini memakai pendekatan etnografi untuk merekam realitas kehidupan di sebuah Lembaga Pendidikan Karakter dan Seni “Pakalangan Bojong Tanjung”. Data-data hasil riset kemudian disusun dalam sebuah struktur naratif film untuk dijadikan karya terapan berupa film dokumenter. Kata kunci: Film, Dokumenter, Etnografi
PENDAHULUAN Pakalangan Bojong Tanjung (PBT) adalah lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan karakter dan seni bagi lingkungan di sekitarnya. Lembaga ini berdiri secara resmi pada tahun 2012 di Kp. Bojong Tanjung Desa Sangkanhurip Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung. PBT menjadi semacam oase untuk mengembangkan bakat dan kemampuan di bidang seni, kaulinan, maupun pendidikan karakter tanpa dipungut biaya sepeserpun. Konsep pakalangan adalah menjadi pelataran tempat bermain dan berinteraksi. Tak ada kurikulum khusus untuk diajarkan seperti di sangar atau tempat kursus. Interaksi berlangsung ketika siapapun yang datang untuk bermain, belajar gamelan, belajar menari dan bernyanyi. Pengurus PBT hanya mengarahkan, selanjutnya anggota sendiri yang mengeksplorasi materi yang
diinginkannya. Salah satu prestasi terbesar lembaga ini adalah memproduksi film pendek berjudul “Our Little World” yang disutradarai oleh Apip Rea dan mendapatkan honourable mention dari PBB, UN Forest for People: International Forests Short Film Festival 2013 di Istanbul, Turki. (http://www.un.org/esa/forests/internatio nal-day-of-forests/video.html). Film ini telah diunggah PBB di situs Youtube sebagai media edukasi tentang peranan hutan bagi masyarakat dunia. Saat ini di PBT terbentuk dua kelompok musik, yaitu kelompok musik “Sadana” yang beraliran pop balada dan “Jangkar Langit” dengan warna pop- etnik. Dua kelompok musik ini terbentuk atas kemauan para anggotanya, pengurus hanya mendorong dan memberikan stimulasi. Namun saat ini, kelompok Sadana sedikit vacum karena kesibukan para
150
anggotanya. Berbeda dengan kelompok Jangkar Langit yang meskipun anggotanya cukup banyak, yaitu sepuluh orang namun masih aktif bermusik karena adanya hubungan emosional yang erat diantara para anggotanya. Mereka memiliki cita-cita yang sama untuk bisa menjadi kelompok musik yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Secara filosofis nama Jangkar Langit menggambarkan tekad untuk menambatkan harapannya setinggi mungkin. Pakalangan Bojong Tanjung mendorong para anggotanya untuk “menggantung asa di langit” dengan memelihara semangat dalam menjalani hidup. Meski sebagian besar mereka sudah putus sekolah namun sekolah bukanlah satu-satunya jalan meraih citacita, khususnya dalam dunia seni.
informan, lalu membuat rumusan pertanyaan. 2. Membuat catatan Etnografi, dilengkapi dengan dokumen audio-visual. 3. Analisis Wawancara, menyusun hubungan-hubungan subject matter. 4. Interpretasi, menafsir dan memaknai subject matter. Hasil interprestasi kemudian dirumuskan menjadi film statement Jangkar Langit, yaitu “Berani menambatkan cita-cita di atas langit” dengan desain sebagai berikut: Representasi komunitas Pakalangan Bojong Tanjung ke dalam bentuk film dokumenter memerlukan strategi penceritaan, naratif. Bentuk film memiliki keterbatasan menyangkut framing dan durasi. Untuk mencapai kedalaman dan intimitas dari subjek, riset menerapkan metode participant observer agar film dapat digarap sedekat mungkin dengan subjek filmya. Setiap figur dicermati dan dikaji secara mendalam untuk menemukan benang merah yang kuat. Pengamatan tidak terbatas pada aktivitas di dalam komunitas, tetapi juga menyelami sisisisi kehidupan riil sehari-hari yang dijalaninya untuk dapat menemukan motif-motif yang saling menguatkan. Sehingga aktivitas di dalam komunitas menjadi ekspresi komunal yang dilatari oleh gejolak dunia dalam (impresi) setiap individu. Selain melalui pengamatan, data-data juga dikumpulkan melalui wawancara dengan beberapa narasumber yang relevan. Data-data
PEMBAHASAN Film dokumenter adalah film yang dibuat berdasarkan riset. Salah satu metode yang banyak dipakai dalam penelitian kebudayaan untuk menemukan ideologi masyarakat/kelompok melalui individu anggotanya adalah metode Etnografi. James P. Spradley, menjelaskan bahwa etnografi mendekripsikan suatu kebudayaan dengan memahami pandangan hidup masyarakat dari sudut pandang mereka. Metode ini menyarankan keterlibatan langsung peneliti sebagai partisipan observer pada objek kajiannya, dengan tahaptahap sebagai berikut: 1. Wawancara, dimulai dengan mencari dan menentukan
151
kemudian direduksi untuk dituangkan ke dalam sinopsis, threatment dan shooting script sebagai aktivitas praproduksi, meskipun proses produksi sebetulnya bisa dilakukan bersamaan. Sinopsis filmnya adalah:
benar-benar terjadi. Jangkar Langit berhasil meraih juara 1 Festival Band Akustik se-Bandung Raya. Suatu peristiwa yang sarat dengan ekspresi emosional karena berhasil menyisihkan 17 peserta band lainnya. Kehadiran peristiwa ini memang merubah struktur naratif namun justru memperkuat konsep filmnya. Momentum kemenangan menjadi puncak prestasi subject matter dalam film ini, sesuai dengan judul Jangkar Langit: menambatkan cita-cita di langit. Namun momentum klimaks film ini, bukanlah prestasi puncak dalam realitanya, karena perjalanan mereka masih panjang dalam meraih prestasi yang lebih tinggi lagi. Hanya karena proses pembuatan film ini dibatasi ruang dan waktu, maka perjalanan mereka sementara terepresentasi sampai di situ. Oleh karena itu film ini belum selesai. Episode-episode selanjutnya masih bisa digarap, karenanya, pada bagian akhir film tidak dicantumkan teks “Tamat” tapi “Bersambung....”.
“Aktivitas Lembaga Pakalangan Bojong Tanjung yang terletak di Kabupaten Bandung, tepatnya di pinggir sungai Citarum Desa Sangkanhurip Kecamatan Katapang. Lembaga rutin ini mengadakan latihan permainan tradisional dan musik. Sebagian besar anggotanya adalah anak-anak sekolah, remaja putus sekolah, kuli bangunan, buruh pabrik, dll. Salah satu kelompok yang lahir dari lembaga ini adalah kelompok musik Jangkar Langit. Aktivitas mereka telah melahirkan karya-karya musik kolaborasi tradisi dan moderen yang mengantarkan mereka untuk pentas musik dibeberapa event sekolah, pesantren, kampus, dan panggung hiburan. Sampai akhirnya mereka berhasil menjuarai festival musik akustik se-Bandung Raya. Suatu capaian yang luar biasa untuk kelompok musik yang belajar secara otodidak.”
PENUTUP
Pekerjaan yang paling banyak menyita waktu dalam pembuatan film ini adalah pemilahan data audio-visual karena banyaknya data stock shot. Satu persatu stock shot dilihat, dipilih, lalu ditandai bagian yang akan dipakai. Sampai bulan November 2014 draft film telah tersusun, namun kemudian muncul momentum yang diyakini akan mempengaruhi arah perjalanan hidup subjeck. matter, yakni adanya Festival Band Akustik se-Bandung Raya. Selain dapat menjadi tambahan shoot yang menarik juga diharapkan menjadi klimaks dalam film ini. Dan harapan ini
Film dokumenter menuntut penyajian realitas faktual secara objektif, namun karena keterbatasan media film, yakni adanya framing dan durasi waktu, maka realitas tidak dapat disajikan dengan apa adanya. Kreativitas pembuat film dokumenter (dokumentaris) harus dapat merepresentasikan realitas secara esensial dan membungkus pesan secara halus sehingga menarik dan tidak verbal. Pada film ini, refresentasi nilai filosofis dari sebuah cita-cita tinggi untuk meraih prestasi di bidang
152
musik, terwujud melalui raihan gelar juara dalam festival band akustik seBandung Raya. Sebuah capaian besar bagi para pemuda yang kesehariannya menjadi buruh bangunan, buruh pabrik, karyawan, Anak SD, dan seorang mahasiwa. Juga menjadi ganjaran yang setimpal atas usaha dan kemauan keras mereka mewujudkan cita-cita dalam bermain musik. Realitas ini sangat penting untuk dihadirkan meskipun tidak masuk dalam konsep awal film. Sebuah kado manis bagi subject matter yang juga memperkuat pesan dalam film. Seperti pesan motivator Merry Riana, bahwa “mimpi yang nyata, dirancang dengan langkah yang nyata, dan diwujudkan dengan upaya yang nyata, akan menjadi realitas yang nyata”. Inilah inti dari pendidikan karakter yang
dikembangkan oleh Pakalangan Bojong Tanjung (PBT) tempat anak-anak Jangkar Langit bernaung
DAFTARA PUSTAKA Apip. 2011. “Pengetahuan Film Dokumenter”, PTV Press: Bandung. Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum. Monaco, James. 2009. How to Read a Film, New York: Oxford University Press. Spradley, James P. Metode Etnografi,
153
LAMPIRAN
Capture Film Dokumenter "Jangkar Langit"
154
FENOMENA BISNIS FOTO STUDIO DI INDRAMAYU Tohari Program Studi Fotografi, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No. 212 Bandung 40265
Abstrak Aneka fenomena bisnis foto studio di setiap daerah secara umum hampir serupa, yakni “hidup segan mati tak mau”, artinya bisnis fotografi ini seakan terpuruk sepi konsumen tetapi masih ada pengguna jasa bisnis tersebut. Kemajuan teknologi dalam alat dan perlengkan fotografi berimbas pada bisnis foto studio, dimana setiap orang sudah memiliki kamera sendiri yang tersedia di fitur handphone miliknya. Perihal demikian dapat membuat malas para konsumen untuk melakukan pembuatan foto dirinya di studio. Akhirnya banyak pelaku bisnis foto studio banyak yang kebangkrutan dan mengalihkan bentuk usahanya ke bidang usaha lain yang lebih menguntungkan. Penambahan bisnis dan usaha lain dalam menjalankan bisnis foto studio banyak dilakukan para pelaku bisnisnya guna keberlangsungan bisnis foto studionya, misalnya menjual barang kelontong dan ATK, membuka warnet, fotocopy, konveksi dan sablon, serta menerima panggilan foto. Tujuan dari kajian ini adalah mengetahui faktor penyebab lesunya usaha foto studio, kemudian mencari alternatif kiat sukses bisnis foto studio agar tetap lancar. Kata kunci: Bisnis, Foto Studio
PENDAHULUAN Aplikasi fotografi dalam bisnis foto studio mengalami masa surut yang signifikan. Beberapa pebisnis foto studio banyak yang mengalihkan bentuk usahanya, misalnya ke toko kelontong, warsel (warung seluler), jasa warnet dan foto kopi. Pengalihan bentuk usaha ini akibat jarangnya konsumen yang memanfaatkan jasa studio foto. Kini di setiap studio foto, konsumen yang datang lebih banyak meminta dilayani untuk dibuatkan pas foto saja. Pembuatan foto tersebut akan digunakan untuk kepentingan yang lebih bersifat administrasi dan syarat kelengkapan. Sepinya konsumen membuat pemilik studio foto banyak yang menutup
usahanya dan kebangrutan usaha ini hampir merata di setiap daerah. Di studio foto kini lebih banyak menyuguhkan varian layanan olah digital untuk hasil foto yang unik dan menarik, usaha ini dilakukan sebagai langkah untuk mempertahankan hidup dan bentuk pengembangan bisnis foto studio yang dijalaninya, karena konsumen foto studio sekarang lebih menginginkan hasil foto yang berbeda dari biasanya. Jadi bagi fotografer, modal mahir memotret di studio foto, harus dibarengi dengan terampil olah foto di komputer, ini tuntutan dan keinginan konsumen secara umum. Tampilan foto yang unik dan menarik hasil olahan di komputer semakin diminati para konsumen foto
155
studio, di luar pembuatan pas foto yang ukurannya telah baku. Setiap fotografer studio selalu menginginkan hasil akhir foto buatan agar terlihat indah dan menarik, walau pun dengan waktu yang terbatas dalam pemotretan. Fotografer dengan bantuan komputer harus mampu membuat hasil foto yang terbaik, agar konsumen merasa puas dengan hasil jepretan dan olahan fotonya. Penjelasan tips dan trik Kelby (2012: 12-13) dapat menyalakan hasrat para profesional agar selalu mendapatkan gambar yang menakjubkan dan luar biasa setiap pemotretan. Waktu yang terbatas dalam pemotretan studio, diurai Zahar (2003: 46): “Studio yang sudah mapan biasanya bekerja mirip pabrik, sehingga pose, pencahayaan akan sedikit variasi karena keterbatasan waktu pemotretan”. Ini berasalan, karena setiap pemotret studio selalu mengutamakan kecepatan dalam pembuatan foto, terutama pembuatan foto pas. Perkembangan teknologi dalam pembuatan foto langsung jadi yang serba cepat dengan hasil bervariatif, banyak disikapi pebisnis foto studio dengan mendirikan “Kios Foto” di pusat-pusat perbelanjaan. Bisnis Kios Foto ini ditulis Sugiarto (2007: 59-60) sebagai berikut:
Pengembangan bisnis foto studio perlu dilakukan pebisnisnya, karena hakekatnya bisnis ini tidak akan mati, tetapi penerapan bisnis foto studio perlu perencanaan yang matang, konsistensi, dan pemikiran liar, seperti yang ditulis Aditiawan dan Bianca (2010: 99): Fotografi adalah sebuah industri yang tidak akan mati. Karena industri ini akan terus mengikuti jaman. Perkembangan dunia yang cepat membuat kebutuhan manusia akan dokumentasi terus bertambah. Ini sebenarnya celah yang dapat dimanfaatkan oleh seorang perekam (pemotret - pen) untuk mengembangkan bisnisnya.
Maju dan bangrutnya bisnis foto studio terjadi secara alami. Gejala apapun yang muncul dalam bisnis foto studio biasanya bersifat mendasar, ini merupakan kejadian umum yang terjadi dalam bisnis foto studio, yang disebabkan oleh fenomena kekinian, antara lain perkembangan teknologi fotografi, kemajuan jaman, serta persaingan bisnis. Permasalahan Dalam laporan penelitian ini, permasalahan yang dibahas: penyebab lesunya bisnis studio foto, kiat yang membuat bisnis studio foto tetap bertahan dan maju, hasil foto yang masih banyak disukai konsumen, dan usaha cadangan yang dilakukan para pengusaha studio foto dalam menghadapi kelesuan bisnisnya. PEMBAHASAN Bisnis foto studio yang kini berkembang di Indramayu memiliki fenomena yang berbeda, ada yang bergerak maju, stabil, dan banyak pula yang bangkrut. Pasang surut bisnis foto
Perkembangan ini memang patut disambut pecinta fotografi dengan sukacita, apalagi pelaku bisnis juga memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan teknologi yang mereka tawarkan. Saat ini, pusat-pusat perbelanjaan atau mal dipenuhi print station, picture maker, ATM foto .... Kios foto ini mempermudah pemotret melakukan pencetakan foto sendiri dengan layar sentuh yang sebagian besar sudah diprogram ke dalam bahasa Indonesia.
156
studio dipengaruhi oleh aneka permasalahan, baik dari intern studio fotonya atau faktor luar, seperti sepinya konsumen pengguna jasa studio foto. Kemampuan bersaing dengan studio foto lain menjadi kunci keberhasilan dan peluang untuk tetap maju dalam berbisnis foto studio. Peluang bisnis dan kiat jitu menjadi modal utama dalam bisnis ini, selain modal finansial. Lokasi studio foto pun turut mempengaruhi maju mundurnya bisnis foto studio. Di wilayah Indramayu aktifitas bisnis foto studio masih terlihat ada perkembangan, hanya saja para pebisnis/fotografernya memindahkan alat dan perlengkapan studio foto yang ada di “toko”nya ke lokasi hajatan orang yang memanggilnya. Jadilah fotografer panggilan lengkap dengan peralatan studio fotonya. Pesta hajat yang seperti ini yang membuat para pebisnis fotografi mampu bertahan menjalankan bisnisnya. Apabila disandingkan antara bisnis foto studio dengan foto panggilan di Indramayu, maka kuantitas pemotretan lebih banyak foto panggilan. Selain bayarannya yang tinggi, jasa foto panggilan juga memiliki rutinitas yang relatif tinggi. Kadangkala seorang pemotret panggilan tidak dapat memenuhi pesanan untuk memotret, lantaran banyaknya permintaan foto panggilan untuk dokumentasi pesta hajat dalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian kegiatan pesta hajat banyak memberikan kontribusi bagi pemotret panggilan dan studio. Kegairahan bisnis foto studio di Indramayu ini tidak terlepas dari aktivitas dan usungan masyarakatnya yang masih tetap mempertahankan
tradisi dan adat istiadat “hajat sunatan dan rasulan”, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang ‘wajib’ dalam hidup. Keberadaan studio foto di daerah Indramayu dapat dikatagorikan menjadi 3 golongan, pertama golongan studio foto besar, studio foto kecil, dan studio foto “berjalan” (amatir foto). Sebutan ‘studio foto besar’, karena selain memiliki ruang studio foto, juga terdapat mesin cetak foto digital yang mampu cetak foto dalam jumlah banyak, banyak karyawan dan menggunakan manajemen yang baik. Salah satu studio foto berkatagori “besar” yang ada di Indramayu yaitu Akbar Foto Professional Digital Lab dan Studio. Di toko studio tersebut ada ruang studio foto, banyak karyawan, manajemen yang online, serta mesin cetak Frontier di Laboratoriumnya. Dalam perkembangannya, masalah bisnis foto studio tidak terlepas dari adanya laboratoriun mesin cetak foto “Frontier” yang digunakan untuk mencetak dalam jumlah banyak dan pembesaran foto. Mesin cetak “Frontier” untuk lab. cetak foto mahal harganya, sehingga hanya dimiliki oleh studio foto berkatagori “besar” dan dengan permodalan yang besar pula. Mesin ini pun membutuhkan operator atau pencetak yang lebih dari satu orang, karena banyaknya cetakan dari berbagai agen (studio foto yang tidak memiliki mesin tersebut). Keberadaan mesin cetak frontier sangat dirasa manfaatnya bagi pebisnis foto studio. Pemotret studio tinggal membuat gambar dalam bentuk file JPG dan langsung bisa dicetak dari 3R sampai ukuran 12RP (12x18inchi). Juga untuk
157
cetak berbagai ukuran foto pas, seperti 2x3cm, 3x4cm, dan 4x6cm atau berdasarkan keinginan konsumen. “Selain mesin cetak, kita juga harus memperhatikan ukuran kertas .... yang umum dipakai di laboratorium foto”, ungkap Hadiiswa (2008:124). Setiap studio foto besar selalu memiliki karyawan, antara lain: kepala toko, kasir, penerima cetak foto, sales force, operator cetak, dan fotografer yang bekerja merangkap editor. Generalisasi katagori ‘studio foto kecil’ dalam ukuran bisnis foto studio, karena studio ini tidak memiliki lab dengan mesin cetak sejenis ‘Frontier’. Disebabkan sedikitnya jumlah pemotretan dan cetakan, karena sepinya konsumen, kebanyakan studio foto kecil ini menambah bisnisnya dengan berdagang di luar barang keperluan fotografi. Bisnis tambahan itu antara lain: membuka jasa layanan fotocopy, serta menerima panggilan foto dan video shoting. Para ‘amatir foto’ dengan “studio berjalan”-nya, dalam bekerja selalu berpindah, dari hajatan satu ke hajatan yang lainnya. Dengan bermodalkan 1 set peralatan studio foto yang sederhana, antara lain: kamera, flash eksternal, trigger, lampu AC slave mini, holder lamp, lightstand, payung reflektor, AC line, layar (background), pemotret amatir ini bekerja dari siang sampai malam memenuhi panggilan pemangku hajat. Banyak sedikitnya panggilan foto, akan menentukan nasib keberlangsungan hidup para ‘Amatir Foto’. Demi mempelancar bisnisnya, para ‘Amatir Foto’ ini biasanya menggandeng penata rias pengantin sebagai rekan
bisnisnya. Setiap jadwal pemanggungan penata rias di suatu pesta hajat, dipastikan amatir foto ini terlibat di dalamnya sebagai pemotret, karena foto dokumentasi sudah disatu-paketkan dengan rias pengantin. Tinggal penata rias nanti yang membayar amatir foto yang menjadi rekan bisnisnya. Banyak keuntungan menjalin rekanan bisnis dengan penata rias adalah banyaknya jadwal pemotretan, karena paket rias plus foto. Kerugiannya antara lain: harga tidak utuh dari konsumen, melainkan sudah terpotong oleh penata rias sebagai jasa perantaranya. Persaingan harga panggilan foto akibat banyaknya pemotret amatir dan toko studio foto yang juga menerima foto panggilan, merupakan faktor yang membuat harga foto panggilan tidak stabil, bahkan ada yang sampai banting harga (obral). Harga panggilan foto yang cenderung diobral bisa dipastikan akan memunculkan perang harga antar pelaku bisnis foto panggilan. Studio foto di wilayah Indramayu rata rata berukuran 3x3,5cm, tetapi naif, di ruang studio “Meysa Foto” Losarang berukuran sangat mungil, hanya 1,6 x 2,4 meter, dengan peralatan sederhana pula, yaitu hanya 1 lampu AC slave, dan background warna berukuran 1x1,5m, peruntukannya pasti hanya dipakai untuk memotret setengah badan (Close-Up) seperti untuk foto pas. Fasilatas ruang studio foto yang serba minim pun ada, hebatnya tanpa ada lampu studio dan latar belakang. Fasilitas demikian hanya ada di “Mus Foto” kecamatan GabusWetan. Konsumen studio foto adalah semua umur. Berbagai keperluan, ketika
158
orang yang datang ke studio foto untuk dibuat fotonya, antara lain untuk keperluan dan pembuatan: KTP, SKCK, syarat pernihakan, SKK, persyaratan kredit Bank, Kartu BPJS, kartu Pencari Kerja, melamar kerja, dipasang di Raport dan di Ijazah, serta masih banyak lagi untuk kebutuhan lainnya. Bisnis foto studio tidak selamanya lancar, kadang lesu, terkadang ramai. Banyak faktor penghambat lajunya bisnis fotografi ini, dan para pebisnis foto studio harus berusaha mempertahankan bisnisnya agar tidak bangkrut. Beberapa faktor penyebab kelesuan bisnis foto studio, berikut dengan kiat menghadapi dan menjalannya, antara lain: pertama pelaku bisnis yang kurang terampil. Seharusnya pebisnis foto adalah orang selalu berinovasi, mahir dalam teknologi fotografi, serta berpikiran maju. Kedua manajemen yang salah, artinya aturan yang dijalani harus prosedural, agar kesalahan manajemen tidak terulang. Ketiga kualitas hasil foto yang kurang bagus. Permasalahan ini harus segera diatasi agar konsumen tidak merasa jera, dengan cara membuat foto yang agak berbeda dari biasanya, sebab hasil foto yang biasa akan membuat cepat bosan, sedangkan foto yang a-biasa akan memiliki keunikan tersendiri, serta membuat mata yang melihat ingin terus mengamati foto tersebut dan membuat harganya juga semakin naik. Keempat kekurangan permodalan, lakukan kerja sama dengan sistem bagi hasil. Ajak beberapa rekan untuk melakukan bisnis bersama dengan pembagian keuntungan yang adil. Kelima penambahan bisnis lain, masalah ini dilakukan agar dapat menutupi banyaknya pengeluaran, jika
bisnis foto studionya mengalami kelesuan, juga untuk mendapatkan keuntungan yang diperoleh berlipat ganda. PENUTUP Fenomena bisnis foto studio di Indramayu ternyata berbeda-beda, ada yang mengalami kemajuan, stagnan, dan ada yang bangkrut. Faktor utama penyebabnya adalah kurang trampilnya para pebisnis dalam mengikuti perkembangan teknologi fotografi dan manajemen yang kurang tepat, sehingga mengakibatkan lemahnya daya saing sesama pebisnis. Obral harga pun menjadi hal yang dapat memberhentikan laju bisnis foto studio ini. Langkah tepat yang harus ditempuh pebisnis foto studio dalam rangka pengembangan bisnis adalah dengan pelatihan penguasaan teknologi fotografi, memanajemen dengan benar, memproduksi foto yang berkualitas, mengandeng dan bekerja sama dengan perantara job kerja yang dijadikan sebagai rekanan bisnis dalam pemasaran. Terobosan yang inovatif dari pelaku bisnis tentang upaya mempertahan diri dari kebangkrutan sangat diperlukan, serta penerapan kiat jitu pengembangan bisnis foto studio, agar bisnisnya tetap lancar.
DAFTAR PUSTAKA Aditiawan, Rangga dan Ferren Bianca. 2010 Belajar Fotografi untuk Hobby dan Bisnis. Jakarta: Dunia Komputer. Hadiiswa.
159
Fotografi Digital Membaut Foto Indah dengan Kamera Saku. Jakarta: Media kita Kelby, Scott. 2012 The Digital Photography Book. Jakarta: Serambi. 2008
Sugiarto, Atok. 2007 Fotografi Ponsel Mudah Murah Indah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Zahar, Irwan. 2003 Catatan Fotografer Kiat Jitu Menembus New York. Jakarta: Creativ Media.
160
REKONSTRUKSI PEMBUATAN MEBEL SEBAGAI MODEL DESAIN KREATIF BERPOTENSI DAN BEREPUTASI HKI Widodoˡ, Husen Hendriyana² Jurusan Seni Rupa (Kriya Seni), STSI/ISBI Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang marak dewasa ini, melalui lembaga-lembaga penelitian dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah, pemerintah semakin serius menggalangkan peningkatan dan perlindungan terhadap produk intelektual anak bangsa. Seperti di antaranya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual dar iperilaku plagiarism yang tidak bertanggungjawab. Hal ini tiada lain bahwa, bentuk, proses, maupun invention steps dari para pelaku kreatif desain mebel yang ada di masyarakat maupun di lingkungan akademik memiliki potensi dan peluang untuk didaftarkan sebagai Intellectual Properties (IP) atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Selain bertujuan mendongkrak prestasi lembaga maupun Negara dalam perolehan HKI di kancah Internasional, juga pada nilai tambah dapat dikembangkan ke arah peningkatan ekonomi. Penelitian desain produk mebel telah banyak dilakukan orang dengan berbagai objek dan kasusnya, tetapi keragaman karakter dan proses kreatif yang ada belum banyak terdefinisikan dengan baik sehingga memperkaya model proses kreatif desain. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi dan merumuskan model proses kreatif desain mebel yang berpotensi dan bereputasi HKI. Hasil penelitian ini berupa (1) prototype produk desain mebel, (2) model proses kreatif dan metode proses perancangan desain mebel dengan konsep atau tema tertentu; (3) Pendaftaran HKI; (4) Naskah Ilmiah. Kata kunci: Proses kreatif, Desain Mebel, Potensi HKI
PENDAHULUAN Perancangan karya-karya kriya maupun desain sangatlah banyak telah dilakukan oleh para desainer dan perajin di masyarakat. Dalam skala besar, potensi berbasis industri kreatif ini tentu saja sangat bermanfaat dalam menopang perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya nasional. Dalam dunia seni rupa dan desain, potensi ini dapat diberdayakan
dan dikembangkan sebagai potensi penopang sosial-ekonomi masyarakatnya. Salah satu contoh, kelompok perajin mebel yang berada di wilayah daerah di luar perkotaan yang jauh dari jangkauan keterlibatan dan manfaat pendidikan seni rupa dan desain, teknologi dan managemen pemasaran. Oleh karena itu, para perajin dengan bekal pendidikan otodidak berbasis pengetahuan dan
161
keterampilan tradisi yang turun temurun, sangat memerlukan keterlibatan mitra penunjang pemberdayaan dan pengembangan tersebut. Bentuk keterlibatan dari para akademisi seperti mahasiswa atau dosen bidang Seni Rupa, Kriya dan Desain sangatlah banyak dan beragam telah dilakukan sebelumnya. Yaitu banyaknya penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang melibatkan mitra perajin-perajin skala industri rumahan di beberapa daerah yang berfokus pada kajian : Proses kreatif, Metodologi desain, Konsep desain dan Estetika desain. Seiring perkembangan teknologi informasi yang semakin tidak terelakkan, tentu saja berdampak pada tekanan kebutuhan sesuai dengan tuntutan fasilitas jamannya. Persaingan di kancah globalisasi pengetahuan maupun dunia usaha semakin memotivasi memicu pencapaian prestasi peneliti. Namun demikian prestasi itu tidaklah mudah didapatkan tanpa adanya semangat dan kerja keras. Dengan demikian : (1) Bagaimana sikap dan tindakan peneliti terhadap fenomena kegiatan para perajin mebel di daerah (home industry) yang sangat beragam dan kaya akan potensi yang dapat dikembangkan?; (2) Kekuatan nilai dan makna apakah yang dapat digali dari potensi kegiatan produksi mebel tersebut?; (3) Langkah dan tindakan nyata apakah yang dapat diberikan sehingga dapat bermanfaat bagi peneliti, masyarakat perajin, dunia pendidikan seni rupa, kriya dan desain? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
dirumuskan dengan tujuan untuk: a) mengidentifikasi dan rekonstruksi konsep desain yang terjadi di dalam proses produksi mebel rumahan (home industry) di beberapa jenis dan mitra perajin; b) merumuskan konsep desain yang berpotensi dan bereputasi HKI, sebagai salah satu upaya perlindungan karya kreatif. 3) mendonasi konsep dan model proses kreatif sesuai dengan metodologi desain yang baik dan benar bernilai estetik, ekonomi dan pendidikan. Sehingga bermanfaat baik bagi lingkungan dunia pendidikan/ akademik kampus maupun lingkungan dunia usaha/ ekonomi/ industri kreatif bidang kriya seni dan desain. METODE Merujuk pada tabel:01 terlampir, metode penelitian ini berfokus pada perajin mebel sebagai pelaku individu dan sosial dengan pandangan praktik poin (1), (3) dan (4) dalam lingkup kajian ilmu pengetahuan teknis dan praktis yang terjadi di home industry mebel Pangandaran dan sekitarnya. Pendekatan ECOCRAFT: creative thinking skill, ecological and Resources menjadi guide line dalam mengidentifikasi struktur pada proses kreatif perajin setempat dengan harapan dan hasil capaiannya berorientasi pada karya bereputasi IP atau HKI. Sedangkan yang menjadi indikator penukuran dan arahan pada kualitas karya mebel, menggunakan perspektif teori fungsi (Victor Papanek,1995) yang mencakup: kebutuhan, kegunaan, asosiasi, telesik, dan estetik.
162
keterampilannya. Dengan indentifikasi kemampuan skill berdasarkan praktik sebagai perilaku individu ini, peneliti dapat menjajagi pemberian tugas dan pengembangan skill perajin / tukang sesuai dengan kapasitasnya. - Praktik sebagai tindakan sadar yang dibentuk oleh nilai-nilai, dalam proses pembuatan mebel diperlukan kepekaan dan kesadaran yang berhubungan dengan aspek nilai fungsi yang terkait dengan kenyamanan guna (use & need) dan pandang (artistik/estetik). Karakteristik batok kelapa baik di tingkat kekuatan dan raut tekstur yang artistik, dapat dibentuk sesuai dengan kegunaan dan kebutuhan untuk bahan alas kursi santai. Artinya jalinan unsur guna dan artistik tersebut dapat memberikan pengalaman baru pada aspek teknik bentuk dan struktur rangkaian. - Praktik yang terstruktur secara sosial, dibentuk oleh wacana dan tradisi, dalam proses pembuatan mebel diperlukan kepekaan dan kesadaran yang berhubungan dengan aspek nilai fungsi yang terkait dengan asosiasi dan telesik. Dalam hal ini, desainer harus mampu memikirkan kebutuhan dan kegunaan mebel yang dibuat sesuai dengan tujuan target pasar/pengunanya. Kelompok pengguna terdiri dari asosiasi sosial tertentu yang sangat beragam. Nilai guna dan kebuthan juga sangat berhubungan erat dengan tradisi atau nilai-nilai kebiasaan yang dibalut dalam suatu budaya tertentu dalam kelompok asosiasi sosial tertentu.
Bagan 01: Eco-Craft (Bagan dibuat peneliti,2014)11
PEMBAHASAN Berfokus pada perajin mebel sebagai pelaku individu dan sosial dengan pandangan: - Praktik sebagai perilaku individu, sumber daya manusia yang bekerja sebagai tukang di beberapa perusahan mebel daerah (home industry) di Pangandaran memiliki karakteristik individu yang sangat beragam. Keragaman itu didasari oleh kondisi psikologis dan kemampuan skill. Kemampuan skill sebenarnya tidak mutlak tergantung pada jenjang pendidikan formal di sekolah, kemampuan skill sangat melekat dengan karakteristik individu secara psikologis maupun sosial, artinya ada perajin yang supel secara sosial terbuka, jujur dan pandai bergaul dapat mempermudah pada pengembangan ilmu pengetahuan dan 11
Diadaptasi dari http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://w ww.fun4biz.com/coach/images/creativity_cmefunction_6x4.png&imgrefurl=http://indocashregist er.com/tag/krisis-ekonomi/&usg
163
Aktivitas tradisi atau kebiasaan itu yang disebut dalam aspek telesik. Contoh missal, bila kursi malas ini ditempatkan di pinggir kolam renang sebuah Hotel, maka pengguna adalah termasuk pada asosiasi sosial wisatawan yang tinggal di hotel dengan kebutuhannya pada tradisi atau kebiasaan rekreasi tinggal di hotel adalah untuk mencari ketenangan (releksasi). Merujuk dari ketiga uraian penguasaan kemampuan praktik seperti di atas, maka dengan pertimbangan socio-ecological, dan Resources perajin mebel dibekali kemampuan mendesain dengan maid map interelasi unsur yang menyertainya, di antaranya penggunaan batok kelapa yang tersedia di lingkungan sekitarnya sebagai material bahan tambahan dalam pembuatan mebel. Hal yang menjdai pertimbangannya pada karakteristik kekuatan dan raut tekstur yang artistik yang kemudian dapat menambah kualitas nilai jual mebel tersebut. Konsep berfikir desain seperti itu semua dapat melahirkan sebuah konsep bentuk mebel tematis yang memiliki kriteria atau unsur yang mengakomodasi aspek kegunaan, keperluan, telesik dan estetik yang secara terintegrasi merupakan bagian dari kebutuhan hidup manusia. Wujud produk mebel dengan konsep tematis memiliki potensi dan peluang untuk dapat didaftarkan sebagai karya intellectual properties (IP) atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Adapun potensi IP dari hasil penelitian ini adalah seperti pada table 02 terlampir.
PENUTUP Sesuai dengan rambu-rambu tentang Industri Kreatif bidang seni teknologi dan industri, hasil penelitian melalui rekonstruksi proses kreatif desain mebel ini dapat diidentifikasi dan didefinisikan berdasarkan pandangan tentang praktik deasin. Aspek ilmu pengetahuan dan unsur-unsur penunjang yang menyertai bentuk desain berpotensi dan bereputasi IP / HKI secara singkat dapat disampaikan seperti pada tabel:03 terlampir. DAFTAR PUSTAKA Lindsey,T. dkk.,2002, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), Bandung: penerbit Alumni. Denzin, Norman K. & Lincoln, Y.S., 2009, Handbook of Qualitative Research, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Papanek, Victor, 1995, The Green Imperative-Ecology and Ethics in Design and Architecture,London: Thames & Hudson.
164
Lampiran: Tabel 01: Metode Penelitian Partisipatoris (PAR) (Sumber Norman K. Denzin & Y.S. Lincoln, 2000: 461)
Tabel 02 Peluang intellectual properties desain Mebel Batok
Hak CIPTA UU no.19 tahun 2002
Hak DESAIN INDUSTRI UU no.31 tahun 2000
Hak PATEN UU no.14 tahun 2001
Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut undang-undang yang berlaku.
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis, atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang bebentuk tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas, atau kerajinan tangan.
Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
165
Dari karakteristik produk hasil penelitian ini, secara otomatif sebenarnya telah memiliki Hak Cipta walaupun tanpa harus mendaftarkan ke Dirjen HKI. Dengan melakukan diseminasi seminar atau jurnal ilmiah, publikasi melalui poster atau pameran, produk hasil penelitian ini telah memiliki hak CIPTA.
Sesuai dengan definisi HDI di atas dan dari ketiga klasifikasi HKI (Hak Cipta, Desain Industri dan Paten). produk hasil penelitian ini paling relevan berpeluang dan berpotensi untuk mendapatkan HKI klasifikasi Desain Industri.
Tabel 03 Pemetaan hasil temuan
166
Sesuai dengan definisi HDI di atas, produk hasil penelitian ini bisa dan memiliki berpeluang dan berpotensi untuk mendapatkan HKI Hak Paten. Namun lebih tepatnya bila produk ini telah siap dan akan atau sedang diproduksi secara masal. Kualifikasi produk hasil penelitian dapat dikembangkan melalui penambahan dan pengembangan aspek teknologi selain fungsi pokok dan utama yang standar dari produk tersebut.
Lampiran Gambar Produk Mebel Tematik
Limbah (sebetan/bahbir) penggergajian kayu kelapa
Produk Desain Tematis : Kursi Santai
Potensi sumber Alam lingkungan sekitar (batok kelapa)
167
STUDI KELAYAKAN KAYU BEKAS LANDASAN PETI KEMAS SEBAGAI ELEMEN INTERIOR LEPAS Riana Safitri¹, Gerry Rachmat² Jurusan Seni Rupa, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jalan Buah Batu 212, Bandung
Abstract The act, the idea, and creations are the man’s masterpiece to meet their needs. One of the most need for human is living quarters. And in their homes, these men meet their other needs in order to prosper and to provide convenience for himself. One of that need is by a good and comfortable design of furnitures. Furniture made of various materials in which one of them and perhaps mostly used is wood. This is resulting in the addition of another demand for timber. Meanwhile in nature the production of timber in Indonesia has decreased. One of the ways to overcome these issues is through substitution discharging solid wood with the development of a particle board or other processed wood or even the use of a former wood. One of the former wood which can be developed as an alternative material manufacture of furniture is a wooden pallet that is usually used as a foundation or packing crates. Keyword : Former Wood, Pallet, Loose Furnitures.
PENDAHULUAN Salah satu kebutuhan paling utama manusia adalah tempat tinggal. Dan pada tempat tinggalnya inilah manusia memenuhi kebutuhannya yang lain dalam rangka mensejahterakan dan memberi kenyamanan bagi dirinya. Salah satunya adalah dengan membuat tempat tinggal yang nyaman dengan furnitur yang baik dan nyaman pula. Furnitur sendiri terbuat dari berbagai material yang salah satunya dan mungkin terbanyak yaitu material kayu. Hal tersebut mengakibatkan pertambahan permintaan kayu. Sementara itu, produksi kayu bulat di Indonesia terus menurun. Data statistik kehutanan Indonesia tahun 1998 menunjukkan produksi kayu bulat Indonesia sebesar 21,5 juta m3 dan turun
pada tahun 2000 menjadi 20,6 juta m3 (Departemen Kehutanan, 2001). Pada tahun 2004, ketersediaan kayu bulat hanya sebesar 5,74 juta m3 dengan kebutuhan kayu sekitar 80 juta m3. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui substitusi pemakaian kayu solid dengan pengembangan papan partikel atau kayu olahan lainnya atau bahkan penggunaan kayu bekas. Penelitian ini akan membahas mengenai pengenalan material kayu bekas, dalam hal ini adalah penggunaan pallet, yang merupakan material landasan peti kemas yang biasa digunakan dalam dunia industri. Pallet biasanya menggunakan material kayu dan sering kali menjadi limbah setelah digunakan untuk kemasan barang industri. Maka penelitian ini diharapkan
168
dapat menelaah lebih lanjut penggunaan material pallet material alternatif dalam desain pembentuk interior terutama interior lepas seperti furnitur.
tentang sebagai elemen elemen
Kursi Raja penuh dengan ukir-ukiran yang rumit. Dan di istana, kursi raja paling bagus dan paling besar. Kursi bawahan raja, harus lebih sederhana dan kecil, walaupun secara finansial mampu menyediakan kursi yang lebih bagus.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bagaimana makna mebel pada zaman sekarang, dimana sudah jarang ada status raja. Kursi bisa dijadikan sarana menyampaikan status ekonomi seseorang. Seseorang tidak nampak kaya sampai dia menampakkannya dalam bentuk mebel yang mewah. Biasanya mebel mewah itu adalah mebel klasik. Mebel minimalis juga bisa mewah jika bahannya mahal, misalnya dari kayu jati berdiameter besar dan berukuran besar. Tanpa berbicara secara verbal, kursi sudah berbicara bahwa pemilik mebel ini adalah orang kaya.
1.
Pengertian Furnitur Mebel atau furnitur adalah perlengkapan rumah yang mencakup semua barang seperti kursi, meja, dan lemari. Mebel berasal dari kata movable, yang artinya bisa bergerak. Pada zaman dahulu meja kursi dan lemari relatif sulit digerakkan karena terbuat dari batu besar, berbeda dengan material meja kursi masa kini. Sedangkan kata furniture berasal dari bahasa Prancis, fourniture (1520-30 Masehi). Fourniture mempunyai asal kata fournir yang artinya furnish atau perabot rumah atau ruangan. Walaupun mebel dan furniture punya arti yang beda, tetapi yang ditunjuk sama yaitu meja, kursi, lemari, dan seterusnya. 2.
Makna Furnitur Mebel bukan hanya bermanfaat untuk kenyamanan dan kerapian rumah saja tetapi juga mengusung maknamakna sosial yang menegaskan status sosial. Memang ada kursi yang berfungsi sebagai tempat duduk semata, tetapi ada kursi yang menegaskan kekuasaan. Karena itu dikenal kursi raja, kursi direktur, tahta. Dalam Bahasa Indonesia juga dikenal istilah "berebut kursi" yang artinya "berebut kekuasaan". Karena kursi juga mempunyai arti kekuasaan, maka kursi kekuasaan berlainan dengan kursi yang hanya sebagai tempat duduk.
Gambar 1, Image Interior, sumber internet
Ada beberapa jenis kayu yang kerap dijadikan mebel, antara lain jati, sungkai, ramin, kamper dan nyatoh. Setiap jenis kayu yang telah disebutkan tersebut memiliki karakteristik khusus yang unik untuk dibentuk menjadi mebel. Karakteristik ini dikenali dari warna, tekstur, urat kayu, permukaan, struktur dan bau kayu. Untuk membedakannya, ada beberapa karakteristik khusus dan kelebihan dari masing-masing kayu tersebut, antara lain kayu jati yang terkenal dengan anti rayap-nya, kamper
169
yang memiliki banyak jenis sehingga bisa disesuaikan dengan desain perabot yang diinginkan, nyatoh yang unggul dengan uratnya yang tampak lebih nyata dan unik bila dibandingkan dengan kamper, ramin yang tidak berurat sehingga lebih mudah diolah serta sungkai yang memiliki kelebihan pada urat kayunya yang bagus dan tampak nyata. Jenis-jenis kayu ini sudah sangat umum dijadikan mebel. Semuanya tinggal menyesuaikan dengan minat dan desain apa yang akan di adopsi. Jika ingin membuat mebel, sedapat mungkin harus menampilkan keindahan dan karakteristik dari kayu tersebut, sehingga akan mendapatkan mebel yang cantik dan berkualitas. Aktivitas-aktivitas pemasaran secara langsung atau tidak langsung membantu menjual produkproduk organisasi yang bersangkutan. Dengan cara demikian dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan produk-produk inovatif.
Gambar 2, Contoh Kayu Peti Kemas, sumber dokumentasi pribadi
Penggunaan pallet atau pengemasan kayu dalam pengiriman barang adalah sebagai pengaman terhadap barang itu sendiri agar tetap utuh selama proses pengiriman, memenuhi persyaratan pengiriman barang dan kemudahan penanganan barang apabila membutuhkan bantuan alat berat dan pemindahannya. Pallet memiliki beberapa ukuran standar akan tetapi juga dapat disesuaikan dengan ukuran barang yang akan dikemas dengan pallet tersebut. Jenis kayu yang biasa digunakan untuk pallet adalah kayu mahoni, kayu keras rimba campur, kayu sengon, kayu kalimantan, dan lain-lain.
Pallet (Landasan Peti Kemas) Pallet adalah bahan kemasan dan atau tatakan yang sering digunakan untuk menyimpan dan mengangkut barang dari gudang ke distributor. Kayu merupakan bahan yang sering digunakan untuk membuat pallet. Faktor mudah diperbaiki merupakan alasan utama penggunaan kayu sebagai bahan pembuat pallet, selain fleksibel dan murah. Selain itu pallet kayu tidak membutuhkan teknologi tinggi sehingga bisa dianggap padat karya dan mengurangi pengangguran. 3.
4.
Kayu Bekas Peti Kemas di Bandung Melihat kepada peningkatan produksi dan perkembangan perdagangan produk berbahan kayu solid
170
seperti diungkap di atas, maka selain dilakukan langkah bersama dalam pelestarian sumber daya alam hutan, dapat pula dilakukan langkah daur ulang dari penggunaan kayu yang sudah terpakai di masyarakat ataupun di industri. Maka dalam hal ini peneliti mengangkat material kayu bekas peti kemas sebagai bahan penelitian. Kayu peti kemas yang dimaksudkan disini adalah rangkaian potongan kayu dengan ukuran standard tertentu yang biasa digunakan sebagai alas ataupun pelapis luar dari barang industri yang akan dikirim baik melalui laut, darat, maupun uadara terutama untuk pengiriman jarak jauh. Saat ini telah banyak industri produk kemasan yang memproduksi pallet, box, dan crate kayu untuk memenuhi permintaan industri-industri yang berorientasi ekspor. Setiap produk kayu yang dihasilkan telah memenuhi standar ISPM #15 (kadar air, bebas kulit dan kotoran, tidak berlubang dan bebas hama). Jasa pengemasan kayu memberikan pelayanan kepada konsumen untuk mengemas produknya guna keperluan pengiriman barang. Pengemasan kayu bertujuan untuk memenuhi persyaratan dan kemudahan penanganan dalam proses pemuatan serta menjaga kondisi barang tetap utuh selama proses pengiriman. Kemasan dapat berupa box atau crate disesuaikan dengan kondisi barang yang akan dikirim. Biasanya setelah barang dikirim dan sampai di tujuan, pallet-pallet yang telah dibuat berdasarkan ukuran barang yang dikirim ini menjadi tumpukan sampah pada area industri karena belum tentu
ukuran yang sebelumnya cocok untuk digunakan kembali untuk barang yang dikirim berikutnya. Tumpukan sampah ini kadang juga terlihat pada area pelabuhan kapal laut, yang kemudian dimanfaatkan dengan dijual kepada para penadah kayu bekas untuk kemudian mereka jual kembali.
Gambar 3, Tumpukan kayu pallet yang dijual di sepanjang jalan Holis, Bandung
Salah satu penjual kayu pallet bekas adalah beberapa kios kecil di sepanjang jalan Holis, Bandung. Di sepanjang jalan dapat ditemui tumpukan pallet dengan berbagai ukuran dan jenis kayu, seperti yang dijual pada kios Bapak Aas yang dikenal sebagai salah satu kios yang cukup besar dan lengkap. Selain menjual pallet kayu yang masih utuh dalam bentuk rangkaiannya, Pak Aas juga menjual kayu bekas pallet yang telah dilepas dari rangkaiannya dan dijual per satuan bilah. Pallet yang biasa dijual Pak Aas adalah pallet dengan ukuran 100 x 120 cm dan 120 x 120 cm. Harga per pallet yang dijual tergantung pada ukuran, jenis kayu dan kualitas permukaan kayu (diserut atau tidak). Jenis yang biasa tersedia adalah kayu pinus (lokal dan import / pinus eropa), kayu albasia, kayu
171
hutan campuran dan sangat jarang adalah sungkai dan jati. Pallet dengan jenis kayu albasia dan kayu hutan adalah jenis pallet dengan harga termurah yaitu per pallet Rp. 35.000-, dengan kondisi terserut, namun apabila belum terserut di harga Rp. 25.000,-. Kualitas kayu jenis ini relatif kurang baik dan sulit apabila akan digunakan kembali sebagai bahan material furnitur yang terutama dikarenakan tebal kayunya yang relatif tipis dan tidak rata.
Jenis kayu yang sangat jarang digunakan dan biasanya tidak diperjual belikan lagi adalah pallet dari kayu jati dan sungkai. Karena jenis kayu ini relatif kuat dan cukup mahal harganya. 5.
Standard ukuran kayu peti kemas (pallet) Walaupun benda yang menggunakan pallet sangat beragam ukurannya, biasanya pallet bekas yang biasa kita temui di pasaran seperti jalan Holis adalah pallet dengan ukuran dasar 100 x 120 cm atau 120 x 120 cm.
Gambar 4, Kayu pallet jenis kayu albasia dan kayu hutan, dengan permukaan kasar dan ukuran tidak standar atau tidak lurus/ rata.
Gambar 5, Standar ukuran pallet
Pallet jenis yang cukup baik adalah yang terbuat dari kayu pinus. Kayu pinus yang biasa ada di pasaran pun terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu pinus lokal Indonesia biasanya berwarna putih kekuningan dan kayu pinus dari eropa yang berwarna putih kekuningan agak kemerahan. Jenis ini dijual dengan harga Rp. 55.000,- sampai Rp. 60.000,- per unit, tergantung kualitas kayunya. Biasanya kayu pinus dari eropa dijual lebih mahal daripada yang lokal karena kualitas dan standar per bilah kayunya lebih baik.
Jenis kayu pinus selain dijual dalam modul rangkaian pallet juga dijual dalam bentuk bilah-bilah yang sudah dipecah dari rangkaian pallet. Lebar per bilah kira-kira 7-10 cm dengan tebal 1,52 cm dan panjang relatif sama yaitu 120 cm. Bahkan kini beberapa kios, salah satunya adalah kios Pak Aas telah disiapkan bilah kayu yang telah diserut lebih halus dan siap pakai serta bilah yang telah diberi slot sambungan sehingga dapat digunakan sebagai material lantai atau parket. Harga jual setelah menjadi bilah parket tentu saja
172
bahan baku tersebut di pelabuhan atau moda transportasi lainnya.
lebih tinggi yaitu Rp. 15.000,- sampai Rp. 17.000,- per bilah. Walaupun harga ini tetap jauh lebih ekonomis dibandingkan apabila kita membeli parket kayu solid baru. Selain pallet dengan bentuk kotak, terdapat pula beberapa bagian dari peti kemas ukuran besar yang biaa digunakan untuk membawa barang ke luar negeri, yaitu papan kayu dan balok kayu dalam ukuran yang berbeda-beda. Papan kayu biasanya bisa ditemui dalam ukuran 28 x 220 x 4 cm ada pula, walaupun jarang, dengan ukuran 28 x 400 x 4 cm. Ada pula balok dengan ukuran 8/8 dan 10/10 serta sangat jarang yaitu 12/12 dengan panjang antara 200 sampai 600 cm. Kedua jenis kayu bekas peti ini biasa digunakan sebagai pengganjal sehingga kita bisa menemuinya nyaris tampak baru tampa adanya bekas paku atau sambungan, hanya belum diserut.
6.
Karateristik Kayu Bekas Peti Kemas – Kayu Pinus Bekas Kayu yang biasa digunakan untuk pallet kayu adalah kayu mahoni, kayu keras hutan campuran, kayu sengon/ albasia, kayu kalimantan (sungkai), kayu pinus dan terkadang kayu jati. Maka karakteristiknya sangat berbeda. Untuk penelitian ini yang akan diteliti lebih lanjut adalah kayu jenis pinus karena merupakan jenis kayu paling banyak dan paling memungkinkan untuk dikembangkan menjadi furnitur. Pohon pinus kegunaannya bermacam-macam, baik untuk kebutuhan perumahan maupun sebagai bahan baku industri. Dipandang dari segi hasil kita dapat melihat bahwa kayu jenis ini menghasilkan banyak manfaat selain kayunya juga dengan getahnya. Pohon pinus memiliki sel-sel yang merupakan gudang pati dan bahan lain yang persenyawaannya dapat membentuk sel kayu dan getah. Getah dari pohon Pinus yang kemudian diolah menjadi terpentin. Kegunaan terpentin adalah untuk bahan baku industri kosmetik, minyak cat, campuran bahan pelarut, antiseptik, kamfer dan farmasi. Kelemahan dari pohon pinus adalah peka terhadap kebakaran, karena menghasilkan serasah daun yang tidak mudah membusuk secara alami. Kebakaran hutan umumnya terjadi pada saat musim kemarau, karena saat itu kandungan air, baik pada ranting-ranting dan serasah di lantai hutan maupun pada pohon menjadi berkurang sehingga kemungkinan untuk mengalami kebakaran menjadi lebih besar.
Klasifikasi kayu bekas Peti Kemas setelah dipecah : 1. Pallet 100x100x20, menjadi - Papan 10x100x1,5 (9-10 bilah) - Papan 12x100x1,5 (4 bilah) - Balok 10x10x15 (8 balok) 2. Pallet 100x120x20, menjadi - Papan 10x120x1,5 (9-10 bilah) - Papan 12x120x1,5 (4 bilah) - Balok 10x10x15 (8 balok) 3. Peti Kemas ukuran customed, menjadi - Papan 28x 220x4 - Balok 10x10, P=200 – 600 - Balok 15x15, P=200 - 600 Keterangan : (*) Jumlah tergantung ketersediaan barang yang menggunakan
173
Pinus dapat mencapai 20-40 m dengan diameter 100 cm dan batang bebas cabang 2-23 m.. Daunnya dalam berkas dua dan berkas jarum (sebetulnya adalah tunas yang sangat pendek yang tidak pernah tumbuh) pada pangkalnya dikelilingi oleh suatu sarung dari sisik yang berupa selaput tipis panjangnya sekitar 0,5 cm. Bunga jantan panjangnya sekitar 2 cm, pada pangkal tunas yang muda, tertumpuk berbentuk bulir. Bunga betina terkumpul dalam jumlah kecil pada ujung tunas yang muda, selindris, dan sedikit berbangun telur, kerapkali bengkok. Sisik kerucut buah dengan perisai ujung berbentuk jajaran genjang, akhirnya merenggang; kerucut buah panjangnya 7-10 cm. Biji pipih berbentuk bulat telur, panjang 6-7 mm, pada tepi luar dengan sayap besar, mudah lepas. Kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam. Kayu pinus berwarna coklatkuning muda, berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III serta kelas awet 6-8 cm berwarna putih kekuning – kuningan, kayu berwarna lebih tua, coklat atau kemerahan, kekerasan daya kembang susut dan retak sedang, sifat pengerjaan lebih mudah patah tapi agak sulit digergaji. Batang umumnya berbentuk bulat dan lurus kulit berwarna coklat tua, kasar, berakar dalam dan menyerpih dalam kepingan panjang. (Steenis, 2003).
pada permukaannya. ‘Mata’ ini bisa menjadi kekurangan apabila pecah dan lepas sehingga menjadi lubang-lubang pada permukaan kayu yang tentu saja mengganggu secara estetika. Namun juga bisa menjadi penambah karakter yang unik dan menjadikan kayu pinus cukup mudah dikenali. Seperti layaknya penggunaan material kayu lainnya, sangat umum digunakan bahan pelapis akhir atau finishing pada permukaan kayu tersebut, baik itu hanya sebagai lapisan penguat maupun untuk memberikan warna lain misal dicat. Yang paling umum dari kayu pinus adalah dengan finishing menggunakan vernish transparan saja karena memang dimaksudkan untuk mengekspose karakter urat dan mata dari kayu tersebut.
7.
Finishing yang peneliti lakukan adalah dengan beberapa cara yaitu,
8.
Finishing yang dapat digunakan pada Kayu Pinus Bekas Kayu yang didapat dari satu rangkaian Pallet biasanya dalam keadaan masih potongan kasar karena kegunaannya yang dipakai sebagai landasan barang atau benda berat. Demikian pula dengan kayu pinus yang didapat dari pallet, masih dalam keadaan kasar permukaannya.
Pengolahan Material Kayu Pinus Bekas Karakter urat kayu pinus cukup unik terutama pada banyaknya ‘mata’ urat
174
1.
Menampilkan serat dan warna alami kayu dengan hanya dihaluskan dengan kertas hampelas.
2.
Menampilkan serat dan warna alami kayu dengan hanya dihaluskan dengan kertas hampelas dan dibakar dengan pembakar las.
3.
Memberikan cat untuk memberikan warna kayu lain atau warna tertentu.
Proses finishing dengan pewarna kayu: 1. Isi pori-pori kayu dengan menggunakan wood filler water based, dengan warna yang sesuai dengan warna asli kayu menggunakan bantuan kape. 2. Apabila kayu berprofil, dempul/ wood filler harus diencerkan menggunakan dengan air bersih terlebih dahulu. 3. Setelah itu baru oleskan dengan menggunakan kuas kecil atau dapat pula dengan disemprot dan kemudian diusap dengan lap sehingga dapat masuk ke dalam pori-pori kayu. 4. Setelah waktu 2 jam dan dempul benar-benar kering, kemudian diamplas lagi dengan amplas no. 240 untuk memunculkan lagi serat kayu yang tadi sempat tertutup dengan dempul. 5. Setelah kayu sudah siap untuk diwarnai, maka langkah selanjutnya yaitu dengan memberi warna dengan bahan warna dasar dari warna finishing yang diinginkan (warna utama). 9.
Pemanfaatan Kayu Pinus Bekas Penelitian studi kelayakan ini pada tujuan akhirnya adalah untuk mengetahui furnitur apa saja nantinya yang dapat diolah atau dikembangkan dengan menggunakan material tersebut. Maka untuk gambaran awal, peneliti telah mengadakan riset terhadap beberapa bentuk desain yang selama ini memang dibuat dengan mengembangkan secara langsung pallet maupun pemanfaatan bilah pecahannya, yaitu :
175
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Rangka dasar sofa Rak simpan Kabinet dapur Meja Kursi makan Elemen estetik interior Parket Dan lain-lain
PENUTUP Kesimpulan Penelitian ini berperan sebagai langkah awal yang berupaya membantu para pengrajin furnitur yang biasanya menggunakan bahan baku kayu bekas peti kemas dalam merencanakan atau memiliki ide yang lebih inovatif melalui pengenalan karakter dan kualitas material itu sendiri. Dengan memahami hal tersebut, pihak pengrajin dan desainer furnitur bisa lebih paham bentuk atau fungsi furnitur seperti apa yang paling tepat dalam pengaplikasian material ini. Kayu bekas peti kemas yang banyak menjadi limbah di pelabuhan atau pada pabrik-pabrik yang menggunakan pallet sebagai alat pembungkus keamanan produk yang mereka pindahkan dari satu tempat ke tempat lain, dapat menjadi alternatif material dalam mendesain sebuah furnitur dengan material kayu. Pallet memiliki beberapa jenis kayu yang digunakan, yang paling umum dan banyak dipakai adalah pallet dengan bahan baku kayu pohon Pinus.Kayu Pinus memiliki karakter dan spesifikasi material tersendiri dan juga cara bagaimana kita dapat mengolahnya hingga menjadi sebuah furnitur yang fungsional. Maka hasil penelitian yang dapat disimpulkan dari karakter kayu Pinus ini adalah, Kayu pinus memiliki tingkat kekeringan yang cukup baik untuk dijadikan furnitur Memiliki harga dasar yang cukup ekonomis Memiliki tampilan ‘urat’ kayu yang baik
(a)
(b)
(c) Gambar 6 (a,b,c) Beberapa contoh aplikasi furnitur atauun elemen interior dengan material kayu pinus bekas; furnitur, elemen estetik, dan parket
176
Memilik kekuatan yang baik sebagai material furnitur Kayu dari Pallet memiliki beberapa ukuran yaitu 10x100x1.5 atau 10x120x1.5, 12x100x1.5 atau 12x120x1.5, 10x10x15, 28x 220x4, dan 10x10 atau 15 x15 P=200 – 600 Dapat difinishing dengan berbagai alternatif karena relatif memiliki warna yang terang Namun terdapat pula beberapa kekurangan yaitu mudah terbakar, banyak memiliki ‘mata’, dan ukuran kayu pinus dari pallet berukuran hanya cukup untuk furnitur berukuran kecil, akan tetapi tetap dapat dikatakan bahwa kayu pinus bekas pallet ini layak untuk digunakan sebagai salah satu alternatif material untuk furnitur.
dan bentuk furnitur terhadap manusia penggunanya.
-
DAFTAR PUSTAKA [1] Buchori Z., Imam. 2010. Wacana Desain, Karya dan Pemikiran Imam Buchori Zainuddin. Bandung, Penerbit ITB. [2] D.K. Ching, Francis. 1996. Ilustrasi Desain Interior. Penerbit Erlangga. Jakarta. [3] Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi: Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. [4] http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/20812/4/Chapter%20II.p df [5] http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/3 24/ jbptunikompp-gdl-triastutia-161514-bab20003.pdf [6] www.wikipedia.com [7] http://kehidupan-liar.blogspot.com/ 2013/ 11/mengenal-pohon-pinus-danmanfaatnya .html
Kesimpulan di atas merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh desainer furnitur dalam menentukan langkah desain nantinya dengan mengikuti karakter dan ukuran kayu yang ada. Desain bentuk tentu saja akan sangat terbatasi dan oleh karena itu penting untuk nantinya dibatasi pula peruntukan furnitur yang akan di desain, misal diperuntukkan khusus untuk digunakan oleh anak atau hanya untuk furnitur dengan dimensi kecil seperti meja atau kursi. Dan apabila nanti akan dibahas mengenai desain furnitur yang dianggap cocok dengan spesifikasi material kayu pinus dari pallet maka perlu dipertimbangkan faktor ergonominya. Ergonomi merupakan salah satu unsur penting dalam perencanaan furnitur, karena ergonomi mempertimbangkan mengenai kenyamanan posisi, ukuran
177
KALIGRAFI ISLAM SEBAGAI INOVASI PRODUK KREATIF DALAM KONTEKS MASYARAKAT PESANTREN (Model Inovasi Ekonomi Kreatif di Kalangan Pesantren Al Quran Al-Ghoniyyah, Limbangan- Jawa Barat) Teten Rohandi Program Studi Seni Rupa Murni, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung
Abstrak Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang menganut agama Islam terbesar di dunia. Jumlah mayoritas muslim di Indonesia tersebut, ditandai dengan beragamnya kekayaan seni Islam yang bertaut erat dan beradaptasi dengan budaya lokal setempat, yang tersebar hampir di seluruh kawasan di bumi nusantara. Bisa ditemui berbagai artefak jenis seni rupa lama yang dipengaruhi oleh nafas Islami seperti keramik, lukisan kaca, arsitektur masjid, kaligrafi dan sebagainya dengan mudah dapat dijumpai.Katakanlah kaligrafi Islam, perkembangan seni rupa kaligrafi Islam di Indonesia adalah kenyataan yang mengakar bahkan hadir dalam pendidikanpendidikan seni baik secara formal maupun non-formal.Pendidikan dan pelajaran seni kaligrafi di pesantren bahkan menjadi kurikum tersendiri bagi para santri untuk menggelutinya.Namun, hal ini tidak ditandai dengan upaya pengembangan dan eksplorasi medium dan teknik bagi karya seni lukis kaligrafi maupun lewat desain produk (product design) lainnya yang berbasis konsep kaligrafi.Selain itu, seni kaligrafi di pesantren tidak ditumbuhkan secara optimal khususnya yang berkaitan dengan inovasi karya dan desain kaligrafi dalam konteks ekonomi kreatif. Penelitian yang berjudul ”Rekonstruksi Penggayaan Medium dan Teknik Pengembangan Seni Rupa Islam Indonesia Pada Seni Lukis Kaligrafi”, adalah upaya strategis untuk mengembangkan potensi kaligrafi dengan pengayaan medium dan teknik baru dalam konteks seni rupa di Indonesia khususnya di kalangan para santri-pasantren dan mewujudkannya dalam model inovasi ekonomi kreatif. Penelitian ini memfokuskan dan mengambil studi kasus pesantren Al-Qur’an Sindang Sari, Limbangan, Jawa Barat.Sementara penelitian ini mengambil pendekatan antropologi, estetika Islam, pengetahuan bahan dan cultural spirituality approach.Disamping itu penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi langsung ke tempat lokasi (objek penelitian). Kata Kunci: Kaligrafi Islam, Ekonomi Kreatif, dan Pesantren
PENDAHULUAN Seni Islam tidak diragukan lagi secara esensial merupakan seni kontemplatif. Ini berarti bahwa ia mengekspresikan secara khusus satu wilayah jiwa yang terbuka menuju dimensi batin, menuju satu perjumpaan dengan kehadiran Tuhan. Titus Burckhardt salah seorang peneliti seni
Islam menyatakan bahwa esensi dari seni adalah keindahan.Keindahan itu sangat bersifat batiniah sekaligus bersifat lahiriah. Ia berhubungan dengan penampakan segala sesuatu dan pada saat yang sama bergabung dengan ketidakterbatasan kualitatif wujud Tuhan sendiri karena ia menembus ke balik segala dualitas, seperti penciptaan dan
178
ciptaan, satu pelimpahan yang tidak terduga dalam kesatuan serta kesatuan dalam keragaman.12 Dalam pandangan muslim selalu dianggap bahwa kaligrafi merupakan seni yang indah dan paling mulia. Yang pertama bab dari Al-Qur’an, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh dari (surah 96 dan 68) menyebutkan pena dan menulis. Menulis dalam aksara Arab segera menjadi ciri dan peradaban Islam.13Dengan demikian kaligrafi Islam dimaksudkan untuk menyampaikan aura effortlessness dan kekekalan, dan tangan individu dan kepribadian yang disublimasikan ke kesan keseluruhan keagungan dan kemegahan.14Dalam konsep kaligrafi Islam berbeda berbeda dengan kaligrafi tradisi China misalnya, yang tujuannya adalah untuk menanamkan kepribadian kaligrafi sebagai momen waktu seniman membuat karya (deskripsi).Sebaliknya kaligrafi Islam adalah abadi. Kaligrafi Islam, juga dikenal sebagai kaligrafi Arab, adalah praktek artistik dari tulisan tangan, dan dinilai sebagai warisan budaya umum Islam. Bentuk seni ini didasarkan pada tulisan Arab, yang untuk waktu yang lama digunakan oleh semua umat Islam dalam bahasa masing- masing. Mereka menggunakannya untuk mewakili atas
nama Allah, karena mereka menyangkal Tuhan yang direpresentasikan dengan gambaran yang nampak. Di antara seni Islam yang lain, bentuk kaligrafi merupakan seni yang mendapat kehormatan utama, hal ini berkaitan dengan pelestarian dan menjaga keotentikan Al-Qur’an. Kecurigaan terhadap bentuk seni figuratif yang dianggap sebagai seni yang dekat dengan musyrik, menyebabkan seni kaligrafi dan penggambaran abstrak menjadi bentuk
utama ekspresi seni dalam budaya Islam, hal ini berkaitan dalam konteks agama-hukum fiqh. Di berbagai banyak Negara Timur Tengah khususnya, seperti pada masa Persia dan Turki Ottoman, kaligrafi dikaitkan dengan motif arabesque-abstrak, dipakai di dinding dan langit-langit masjid maupun halaman masjid. Hingga kini, banyak seniman kontemporer di dunia Islam memanfaatkan warisan kaligrafi sebagai proses artistik karya seni rupa mereka. Kaligrafi Arab sendiri memiliki kemungkinan-kemungkinan dekoratif yang sangat kaya dan tiada habisnya.Bentuk-bentuk dasarnya beragam antara tulisan kufi yang monumental, dengan bentuk garis lurus dan sela vertikal, dan naskhi, dengan garis seperti air dan meliuk-liuk. Kekayaan kaligrafi Arab-Islam berasal dari fakta bahwa ia telah mengembangkan dua “dimensi”: vertikal, yang memberi huruf-huruf itu martabat seperti seorang ulama, dan horizontal, yang menghubungkannya dengan satu aliran yang terus-menerus. Sebagaimana simbolisme gelombang,
12
Titus Burckhardt, Spiritualitas Seni Islam, dalam Spiritualitas Islam: Manifestasi, Penerbit Mizan, Bandung, 2003, hal. 642. 13
Khatibi, Abdelkebir, and Sijelmassi, Mohammed.The Splendour of Islamic Calligraphy. London: Thames and Hudson, 1994. 14 Bloom, Jonathan M, Paper Before Print: The History and Impact of Paper in the Islamic World. New Haven, Conn., and London: Yale University Press, 2001.
179
garis-garis vertikal, yang analog dengan “lengkungan” tenunan kain, sesuai dengan esensi segala sesuatu yang permanen.Dengan yang vertikal inilah sifat tidak tergantikan huruf- huruf ini terbukti. Sementara yang horizontal, analog dengan “tenunan” , mengekspresikan kejadian atau materi yang menghubungkan sesuatu dengan yang lain. Arti penting dari hal ini secara khusus terbukti dalam kaligrafi Arab, yang di dalamnya coretan vertikal mentransendensikan dan mengatur aliran lekak-lekuk dari goresan-goresan yang lain. Kufi adalah bentuk kaligrafi tertua dari script bahasa Arab dan terdiri dari berbagai bentuk modifikasi dari script Nabatea tua. Namanya berasal dari kota Kufah, Irak, meskipun dikenal di Mesopotamia setidaknya 100 tahun sebelum dasar Kufah. Pada saat munculnya Islam,
jenis naskah sudah digunakan di berbagai belahan Jazirah Arab. Saat itu desain script kufi ditulis sebagai salinan pertama dari Al-Qur'an. Kufi adalah bentuk naskah yang terdiri dari garis-garis lurus dan sudut, seringkali dengan vertikal memanjang dan horizontal. Awalnya tidak memiliki konsonan menunjuk membedakan, misalnya, b, t, dan th. Hal ini masih digunakan di negara-negara Islam, meskipun telah mengalami beberapa perubahan selama bertahun-tahun dan juga menampilkan perbedaan regional. Perbedaan antara script Kufi digunakan di Semenanjung Arab dan lebih banyak ditandai sekaligus digunakan di negaranegara Afrika Utara. Sementara itu bentuk naskhi kaligrafi dan iluminasi muncul pada abad
14 dan 15 yang diproduksi oleh bangsa Mamluk Mesir.Naskhi itu sendiri ditulis dalam naskh kursif disebut naskh.Gaya naskhi dirintis oleh kaligrafer Ibnu Muqlah Syirazi asal Iran (Persia). Akar kata naskhi berasal dari istilah Arab nasaha yang berarti “copy”.Hal itu baik mengacu pada fakta bahwa itu diganti pendahulunya, kufi, atau pada tujuannya.Gaya naskhi ini memungkinkan waktu menulis dan menyalin lebih cepat dari bentuk teks aslinya. PEMBAHASAN Penelitian ini tidak terlepas dari positioning research dari penelitianpenelitian yang telah diupayakan sebelumnya. Tema yang diambil dengan judul: “Rekonstruksi Pengayaan Medium Dan Teknik Pengembangan Seni Rupa Islam Indonesia Pada Seni Lukis Kaligrafi” , tidak terlepas dari bingkai dan alur pengembangan seni rupa Islam dan hubungannya dalam konteks spiritualitas di Indonesia. Sementara topik penelitian yang diangkat secara khusus adalah pengayaan medium dan teknik seni kaligrafi di kalangan pasantren.Penelitian ini merupakan subtema dari blue print bagaimana untuk mengembangkan seni rupa Islam di Indonesia dengan melihat aspek-aspek antropologis, estetik, dan cultural spirituality. Sejauh ini, konteks penelitianpenelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai seni rupa Islam Indonesia dan konteks spiritualitas dalam tingkat akademis lebih mengarah kepada gagasan-gagasan fundamental dan
180
Menurut M. Ehsanul Karim15, karakteristik antropologi dapat dibedakan dalam dua kelompok pendekatan:
intelektual.Sementara itu, objek penelitiannya belum merangkul publik yang lebih mengakar dan komunal seperti halnya dengan pendidikan pesantren-pesantren di pelosok daerah. Penelitian yang berjudul:”Rekonstruksi Penggayaan Medium dan Teknik Pengembangan Seni Rupa Islam Indonesia Pada Seni Lukis Kaligrafi”, memilih pendekatan antropologi, estetika Islam, pengetahuan bahan serta pendekatan budaya spiritual (cultural spirituality approach). Pendekatan antropologi mempelajari keragaman budaya dan sosial. Secara historis, antropologi mempelajari apa yang disebut 'skala kecil' dan kehidupan tradisional masyarakat. Ini di dasari ilmu antroplogi yang prihatin dan sangsi terhadap kehidupan urban, kota, dan dunia yang modern dan berubah. Pendekatan antropologi mengumpulkan informasi melalui observasi, melibatkan partisipan manusia yang hidup dalam lingkungan sosial masyarakat, belajar bahasa mereka dalam jangka waktu yang panjang.Pendekatan antropologi juga melihat dan menganalisis aspek perubahan sosial baik dalam tingkat makro maupun mikro. Penelitian antropologi sosial budaya menempatkan setiap peneliti dalam kurun waktu yang lama, mengalami langsung terhadap pengetahaun lokal setempat.Peneliti bergelut langsung dengan masalah praktis kehidupan sehari-hari dan dengan masalah filosofis dasar pengetahuan, kebenaran, kekuasaan dan keadilan.Kekhawatiran utama para antropolog adalah aplikasi pengetahuan untuk solusi dari masalah manusia.
1.
2.
Pendekatan antropologi secara holistik, yakni mengacu kepada seluruh kehidupan manusia; masa lalu, sekarang dan masa depan. Menyangkut masalah sosiologi, bahasa, dan budaya. Pendekatan antropologi dengan “perbandingan” atau “lintas budaya”. Konsep ini adalah perbandingan lapangan yang meneliti masyarakat tradisi dan modern secara sistematis membandingkan data dari populasi yang berbeda dan periode waktu. Membandingkan kebiasaan salah satu masyarakat dengan orang lain.
Kemudian penelitian ini juga memakai pendekatan estetika Islam (Islamic Aesthetic).Estetika dalam peradaban Islam dihubungkan dengan bentuk-bentuk spiritualitas yang tumbuh dalam tradisi keagamaan dan 16 kecendekiawanan Islam. Seperti halnya dalam resep kunci agama yakni “cara memandang sesuatu sebagai sesuatu yang lain”, begitu pula dalam melihat estetika.Cara ini menyangkut model atau gambaran memandang sesuatu serta ikhtiar pemindahannya dalam, katakanlah penciptaan karya
15
Karim, M.Ehsanul, Anthropology, Institute of Statistical Research and Training, University of Dhaka, Dhaka- 1000, Bangladesh. 16 Abdul Hadi, W.M, Seni Islam dan Akar-akar Estetiknya, dalam Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, Mizan, 2004, hal. 14.
181
seni.17Dalam kenyataannya estetika Islam bisa dilakukan dalam pendekatan filsafat yang berkembang dalam Islam diantaranya: Falsafah Masysya’iyyah (Peripatetik), Hikmah Isyraqiyyah (Iluminasionis), dan Falsafah, Shufiyyah (Tasawuf).18Melalui pintu pemikiran para filosof tersebut estetika Islam dan seni Islam dapat dijelaskan kecenderungan dan coraknya yang aneka ragam.Demikianlah seni Islam dengan manifestasinyabisa dijelaskan secara adil dan proporsional.Maka kaitan seni dengan Islam atau estetika dengan agama dapat dijelaskan secara lebih munasabah. Pendekatan antropologi mempelajari keragaman budaya dan sosial.Dalam tahapan pertama, para peneliti terjun langsung ke masyarakat pesantren untuk melakukan wawancara dan diskusi mengenai kehidupan dalam konteks “skala kecil” dan kehidupan tradisional masyarakat pesantren. Pendekatan estetika Islam, para santri diperkenalkan terhadap sejarah seni kaligrafi Islam dalam konteks kebudayaan dan kesenian Islam, berikut diperkenalkan juga berbagai genre dari kaligrafi Islam yang lebih dikenal dengan istilah khat. Pembekalan pendekatan pengetahuan bahan para santri diperkenalkan, dalam penggunaan material yang lazim digunakan sebagai pra-desain awal untuk khat, seperti pensil, spidol, dan kertas. Sementara, dalam pendekatan budaya para peneliti
17
Op.cit., hal.16.
18
Ibid., hal.16.
melakukan diskusi, wawancara, tanyajawab dengan pemimpin pesantren dan para santri, mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kendala dan peluangpeluang yang bisa dikembangkan. Adapun tahapan yang sudah dilakukan sebagai berikut:
1.
Pada bulan Januari & Februari 2013, kunjungan &survey kondisi santri dan seleksi para calon peserta workshop. Tim Peneliti berdiskusi dengan KH. Jujun Junaedi (Pimpinan Pondok Pesantren), tentang kriteria para calon peserta yang akan mengikuti workshop kaligrafi, desain grafis, dan pembuatan souvenir kaos dengan motif kaligrafi. Para peserta yang mengikuti workshop diharapkan memiliki: a. Keterampilan membaca dan menulis Al-Quran (syarat pokok & utama). b. Memiliki minat terhadap seni kaligrafi Islam (terindikasi dari hasil karya tulisan kaligrafi atau aktifitas sehari- hari yang berhubungan dengan kaligrafi). c. Memiliki jiwa seni & wirausaha. d. Sehat fisik maupun mental.
Setelah melakukan seleksi dari sekitar 40 santri yang mondok di pesantren Al-GHONIYAH Sindangsari Limbangan Garut, Jawa Barat, KH. Jujun Junaedi dan Tim peneliti berhasil menyeleksi 10 peserta yang memenuhi kriteria di atas (biodata terlampir). Para peserta yang terpilih tersebut akan
182
diundang untuk mengikuti workshop kaligrafi, desain grafis, dan pembuatan souvenir kaos dengan motif kaligrafi. 2. Bulan Maret& April 2013, Workshop Kaligrafi dan Desain Grafis untuk Para santri di pesantren AL-GHONIYAH Sindangsari Limbangan berlangsung dengan lancar. Para Santri sejak pukul 07.00 WIB pagi sudah berkumpul di aula Madrasah AL-GHONIYAH, padahal acara baru dimulai tepat pukul 09.00 WIB. Para santri dengan sangat antusias mengikuti Workshop Kaligrafi dengan Instruktur Wildan Hanif S.Sn, MDs (anggota tim peneliti yang juga seorang kaligrafer dan desainer grafis) serta Zaenudin Ramli, S.Sn, M.Sn, (anggota tim peneliti yang juga seorang Kurator, dan Ahli Seni Rupa Islam).
kaligrafi islam h. Dasar- dasar Seni Rupa dan Desain Acara workshop berlangsung dari pukul 9 pagi sampai dengan pukul 15.00 sore, dan menghasilkan beberapa karya desain yang cukup layak untuk diaplikasikan ke kaos dan souvenir. PENUTUP Kesimpulan Setelah menyelesaikan tahapan-tahapan penelitian, kami menyimpulkan bahwa para santri peserta workshop dan pelatihan kaligrafi sangat antusias dan merasa terbantu. Beberapa orang santri bahkan berencana untuk membuka unit usaha sablon kecil-kecilan, untuk memenuhi kebutuhan pasar kaos bersablon di sekitar Limbangan. Pasar yang membutuhkan jasa sablon ternyata cukup banyak terutama dari kalangan pengajian ibu-ibu atau majlis ta’lim serta komunitas pesantren dan madrasah yang jumlahnya cukup banyak di Limbangan. Satu-satunya kendala adalah pasokan bahan dan alat sablon yang sangat kurang (harus membeli ke kota Bandung). Untuk mengatasi hal tersebut kami memberikan seperangkat alat sablon dan bahan-bahannya agar mereka bisa memulai usaha sablon. Kaos hanyalah merupakan salah satu produk kerajinan ataupun souvenir yang dihasilkan oleh komunitas santri. Peluang untuk menambah jenis usaha di bidang seni Islam, bisa berkembang ke arah Sablon di atas sweater, Jaket, dan Topi.Tekad kami penelitian ini dapat dilanjutkan untuk pengembangan varian
Materi yang diajarkan adalah: a. Pengenalan Jenis- jenis Khat / kaligrafi Arab b. Pelatihan menulis Jenis Khat Naskhi c. Pelatihan membuat Logo dengan memakai kaligrafi arab jenis diwani d. Pelatihan membuat Logo dengan memakai kaligrafi arab jenis Kufi e. Pelatihan membuat Logo dengan memakai kaligrafi arab yang diaplikasikan dalam metafora objek. f. Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islam g. Wawasan mengenai Ekonomi kreatif / wirausaha berbasis seni
183
Perkembangannya Kini dan Mendatang, dalam rangka Pameran Seni Rupa Kontemporer Islami BAYANG, Yayasan INISAF, di Galeri Nasional Indonesia.
produk kreatif dan usaha lainnya yang bisa mengangkat kesejahteraan masyarakat santri pedesaan. Selain itu, perlu dibuat semacam pemasaran on line, dengan membuat web khusus untuk memasarkan produk kaligrafi aplikatif karya santri Al Ghoniyyah. DAFTAR PUSTAKA Bloom, Jonathan M, 2001, Paper Before Print: The History and Impact of Paper in the Islamic World. New Haven, Conn., and London: Yale University Press. Burckhardt, Titus, 2001, Spiritualitas Seni Islam, dalam Spiritualitas Islam: Manifestasi, Penerbit Mizan, Bandung. George, Kenneth. M, 2001, Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia, Penerbit MizanBandung, 2012 diterjemahkan dari Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld, WileyBlackwell, United Kingdom. Hadi, Abdul, W.M, 2004, Seni Islam dan Akar-akar Estetiknya, dalam Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, Mizan. Karim, M.Ehsanul, Anthropology, Institute of Statistical Research and Training, University of Dhaka, Dhaka- 1000, Bangladesh. Khatibi, Abdelkebir, and Sijelmassi, Mohammed, 1994, The Splendour of Islamic Calligraphy. London: Thames and Hudson. Sirojuddin, D. AR, 2011, Potret dan Potensi Pengembangan Seni Kaligrafi Islam di Indonesia, Disampaikan pada Seminar Seni Rupa Islam Indonesia: Tantangan
184
LAMPIRAN
Gb. 1: Contoh Kufi Calligraphy
Gb. 2: Contoh Pengembangan Kufi Calligraphy
Gambar 3. Contoh Naskhi Calligraphy
Gambar 4.Hasil karya kaligrafi bertuliskan ALLAH, dibuat oleh pesantren Al-Qur’an Sindang Sari, Limbangan.
Gambar.5. Seorang peserta muda (usia 11 tahun) sedang meniru tulisan kalimat Basmalah.
Gambar 9. Hasil sablon yang dilakukan oleh peserta workshop ke dalam kaos kemudian dikeringkan.
Gambar 6. Peserta workshop mencoba mempraktekkan cara menyablon melalui screen ke dalam kaos.
Gambar 8. Kaos biru dengan desain khat yang versi “Salam”
185
SELERA ESTETIK KONSUMEN LOKAL PADA BENTUK DAN DEKORASI KERAMIK HIAS PLERED Deni Yanaˡ, Agus Cahyana² Jurusan Seni Rupa, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung
Abstrak Mencermati perkembangan dan data produk kerajinan keramik hias Plered dapat telihat bahwa konsumen dalam negeri (lokal) merupakan konsumen cukup potensial bagi sentra kerajinan keramik hias tesebut. Sejak awal perkembangannya pada masa kolonial yakni tahun 1935 hingga saat ini, produk kerajinan keramik hias Plered diminati oleh konsumen dalam negeri (lokal) yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia bahkan sejak tahun 1980.an sudah mampu menembus pasar luar negeri (ekspor). Hal ini menunjukkan bahwa kerajinan keramik hias Plered memiliki kualitas produk dan nilai estetik yang cukup tinggi. Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui selera estetik konsumen lokal pada bentuk dan dekorasi keramik hias Plered. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatifsehingga dapat mengungkapkan hubungan antara selera estetik konsumen lokal denganbentuk dan dekorasi kerajinan keramik hias yang berkembang Plered. Data hasil kegiatan penelitian ini akan sangat penting dan dapat menjadi acuan oleh berbagai pihak khususnya perajin keramik hias Plered dalam upaya pengembangan produk keramik hias yang sesuai dengan selera estetik konsumen khususnya yang berasal dari dalam negeri (lokal) sehingga dapat meningkatkan daya saing dan kesejahteraan perajin pada sentra kerajinan keramik hias Plered dimasa depan. Kata kunci :estetik, konsumen, bentuk, dekorasi, keramik, plered.
PENDAHULUAN Perkembangan kerajinan keramik Plered dari mulai awal perintisannya hingga saat ini terus mengalami pasang surut. Berbagai upaya pengembangan dalam bentuk pelatihan dan pendampingan baik dalam aspek teknologi, desain dan manajemen terus dilakukan sejak tahun 1950 oleh pemerintah melalui Departemen Perindustrian baik pusat, provinsi maupun daerah dengan melibatkan lembaga-lembaga seperti Balai Besar Keramik (BBK) maupun perguruan tinggi seperti ITB sebagai pelaksananya. Adanya upaya tersebut
membuat produk kerajinan keramik hias Plered terus mengalami perkembangan hingga mampu menembus pasar ekspor sejak tahun 1980-an dan pusat produksinya tersebar di tiga lokasi dengan jenis produk dan orientasi pasar yang berbeda yakni : KampungLio yang sebagian besar perajinnya membuat produk keramik hias dan pakai jenis gerabah tradisional untuk pasar lokal, GunungCupu dengan produk keramik pakai untuk eksterior berupa pot untuk pasar lokal dan ekspor dan Anjun dengan produk keramik hias untuk elemen interior untuk pasar lokal dan
186
ekspor. Akan tetapi, sampai dengan tahun 2005 terjadi penurunan produksi dan pengrajin keramik hias di Plered yang disebabkan oleh naiknya harga BBM yang berimbas pada naiknya harga produksi, yang pada akhirnya banyak pengrajin menurunkan tingkat produksinya atau beralih ke usaha lain yang lebihmenguntungkan. Keadaan tersebut mulai berubah sejak dibentuknya Pokja Klaster Keramik Plered akhir tahun 2006 perajin gerabah / keramik hias Plered seolah bangkit kembali dengan banyak munculnya perajin dan unit usaha baru yang cukup signifikan. Berdasarkan data Pokja Klaster Keramik Plered pada tahun 2008 hingga saat ini perajin di sentra kerajinan gerabah / keramik hias Plered tercatat berjumlah sekitar 1.410 yang terkumpul dalam 284 unit usaha yang sebagian besar produknya lebih berorientasi pada pasar local untuk konsumen dalam negeri. Konsumen local produk kerajinan keramik hias Plered yang tersebar di seluruh pelosok di Indonesia seperti Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku Utara berdasarkan latarbelakang budayanya memiliki kebutuhan dan kecenderungan selera estetik yang berbeda satu dengan yang lain sehingga hal tersebut menjadi permasalahan yang cukup menarik untuk diteliti karena potensinya besar tetapi masih sering terjadi kesenjangan antara produk yang dibuat oleh perajin dengan kebutuhan dan selera estetik konsumen ditinjau dari segi bentuk dan dekorasi yang menyebabkan belum optimalnya daya
jual produk kerajinan keramik hias Plered. PEMBAHASAN Pembahasan selera estetik konsumen lokal yang berdasarkan pada kajian bentuk dan dekorasi dari produk kerajinan keramik hias Plered, dimulai dengan menyebarkan kuesioner kepada para konsumen yang datang pada saat Pameran Produk Dalam Negeri (PPDN) 2014 di Jakarta. Dari data yang terkumpul, maka sebagian besar konsumen berasal dari Jakarta yang datang untuk mencari benda kerajinan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Berdasarkan kuesioner, para konsumen sebagian besar yang datang lebih tertarik untuk membeli keramik yang mempunyai fungsi untuk dekorasi ruang dengan tetap memperlihatkan fungsi keramik sebagai wadah. Hal ini ditunjukkan dengan prosentase yang mencapai 75% untuk jenis keramik hias dan fungsi yang terdiri dari produk souvenir, pot, vas, gerabah tradisional. Sementara untuk ketertarikan konsumen terhadap keramik yang berfungsi lebih menekankan sebagai produk seni hanya mencapai 30%, hal yang sama juga terjadi pada keramik yang lebih difungsikan sebagai benda hias. Sementara prosentase terendah justru terjadi pada produk kerajinan yang fungsional yaitu mencapai 20%. Dari hasil kuesioner tersebut maka dapat disimpulkan bahwa selera konsumen untuk warga Jakarta lebih cenderung untuk mengoleksi karya keramik yang mengutamakan nilai dekoratif/hiasan tanpa menghilangkan unsur fungsional
187
dari produk keramik tersebut. Sementara untuk benda fungsi sendiri, peran keramik sudah banyak digantikan oleh produk berbahan plastik yang kuat dan murah. Dari segi bentuk, selera konsumen lebih menyukai bentuk yang bulat dibandingkan bentuk lainnya, yaitu mencapai 90% atau 18 dari 20 orang lebih memilih bentuk bulat. Sementara bentuk silinder dan kotak dipilih oleh 11 dari 20 orang responden, yaitu 55%. Kerucut dan segitiga mencapai 40%, dan bentuk segitiga hanya diminati oleh 8 orang atau sekitar 40%. Segienam 25% dan segilima mendapat prosentase yang terendah yaitu 20%. Melalui data yang terkumpul tersebut, maka bentuk bulat dan silinder yang memang menjadi ciri khas dari produk keramik fungsi, tetap menjadi unsur yang terpenting untuk dipertahankan. Elastisitas material keramik yang terlihat pada bentuk bulat dan silender serta secara budaya tradisi bentuk keramik yang difungsikan sebagai wadah hampir mempunyai bentuk yang serupa, ternyata tetap menjadi faktor penting bagi komsumen dalam menentukan pilihan terhadap produk keramik yang akan dibelinya. Sementara, bentuk dasar lainnya yang dikembangkan sesuai dengan keadaan zaman, seperti kecenderungan membuat keramik yang lebih sederhana dengan memanfaatkan bidang-bidang datar dengan sedikit lengkungan tetap diminati, walaupun pada konsumen yang terbatas. Tahapan analisa selanjutnya adalah mengenai dekorasi yang terdapat pada benda keramik hias, untuk memudahkan pembahasan maka dekorasi
pada keramik hias dikelompokkan menjadi jenis warna, karakter warna, tema, dan ornamen. Pada jenis warna, putih dan coklat menjadi warna yang paling banyak dipilih yaitu 75%. Warna merah 55%, hitam 50%, hijau 45% dan kuning 40%. Sedangkan berdasarkan karakter warna, warna mengkilat dan kusam (dof) mencapai 60%, untuk warna redup (matt) mencapai 40%. Dari sisi ornamen, yang menampilkan gaya dekoratif menjadi yang paling banyak dipilih yaitu 65%, naturalis 50% dan abstrak 35%. Terakhir berdasarkan tema dekorasi, maka yang bertema modern mencapai 80%, klasik 65%, dan yang paling sedikit dipilih yaitu yang bertema etnik 35%. Dengan mengacu pada data tersebut di atas, maka untuk dekorasi yang menjadi pilihan utama sesuai dengan selera konsumen yaitu keramik berwarna putih dan coklat dengan karakter yang mengkilat maupun kusam (dof), menampilkan ornamen yang dekoratif dengan tema modern. Selera konsumen ini ternyata sejalah dengan keramik hias yang dikembangkan oleh para pengrajin, yaitu membuat dekorasi keramik hias yang dominan warna putih mengkilat dengan ornamen yang dekoratif bertema modern. Walaupun tidak sama persis dengan keinginan konsumen mengenai prosentasenya, tetapi selera konsumen lokal khususnya yang berada di Jakarta telah diakomodir oleh para pengrajin. Perbedaan prosesntase ini juga disebabkan karena para pengrajin juga menyerap konsumen lokal dari wilayah lain yang tentu mempunyai selera yang berbeda. Bahkan untuk kebutuhan fungsi yang berkaitan
188
dengan budaya tradisi, para pengrajin tetap memproduksinya, walaupun mungkin tidak menarik bagi konsumen perkotaan dan para pedagang keramik.
sehingga produksi keramik mereka dapat selalu mengikuti perkembangan zaman yang pada akhirnya menjamin keberlangsungan tradisi pembuatan kerajinan keramik hias di Plered.
PENUTUP DAFTAR PUSTAKA Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan mengenai analisis selera estetik konsumen keramik hias Plered ditinjau dari segi bentuk dan dekorasi, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan selera estetik konsumen local ditinjau dari segi bentuk dan dekorasi, pada penelitian ini difokuskan pada konsumen dari Jakarta, ternyata konsumen lebih menyukai benda keramik berbentuk dasar bulat dan silender dengan warna putih dan coklat yang mengkilat, serta dikemas dalam tema modern dimana keramik lebih difungsikan sebagai elemen dekoratif walaupun berbentuk keramik fungsi. Kecenderungan estetik konsumen dari Jakarta terhadap bentuk dan dekorasi pada produk keramik hias Plered sebagian besar sudah dapat diakomodir oleh pengrajin, terbukti dari hasil kuesioner antara konsumen dan produsen ternyata hamper sama. Akan tetapi karena pengrajin Plered memproduksi keramik bukan hanya untuk kebutuhan pasar Jakarta, maka beberapa fungsi, bentuk, dekorasi pada keramik hias Plered mempunyai keragaman yang tinggi, hal ini dimaksudkan agar dapat diterima oleh pasar local secara lebih luas. Kemampuan untuk membaca selera pasar local inilah yang menjadi keunggulan para pengrajin keramik hias di Plered,
Frank danHamer, Janet. 1986. The Potter’s Dictionary of Materials and Techniques. New York : A & C Black. JonoIrianto, Asmudjo, 1998.KajianKiyaKontemporerDala mKonteksPendidikanTinggiSeniRup a Di Indonesia (tesis) FSRD –ITB Koentjaraningrat,1987.Budayadan Masyarakat.Yogyakarta : Tiara WacanaYogya. Peursen, C.A.Van, 1976. StrategiKebudayaan. Jakarta : GunungMulia. RohendiRohidi, Tjetjep., 2000. KesenianDalamPendekatanKebuda yaan. Bandung :Stisi. ----------. 2000. EkspresiSeni Orang Miskin. Bandung :Nuansa. Sachari, Agus. 1998. EstetikaTerapan: ITB. Sanoesi, SuryoWibisono.,1983. “Perkembangan Bentuk Celengan GerabahPlered”. Skripsi Jurusan Seni Rupa FTSP ITB. Bandung : Program Sarjana ITB. Sidarto,1983,“KeramikPlered”.Skripsi JurusanSeniRupa FTSP ITB. Bandung : Program Sarjana ITB. Sumardjo, Jakob. SosiologiSeniman Bandung : ITB
189
2000 Indonesia.
Susanto, Mikke. 2011, DiksiRupa Kumpulan Istilah&GerakanSeniRupa, DictiArt Lab, Yogyakarta danJagad Art Space, Bali.
Yudeseputro, Wiyoso. 1983. SeniKerajinan Indonesia. Jakarta :Depdikbud
190
KARYA TARI ANAK-ANAK SD BERSATULAH NEGERIKU Subayono Program Studi Seni Tari, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No 212
Abstrak Karya Penelitian tari ‘Bersatulah Negeriku’ merupakan rasa kepedulian dari Peneliti terhadap NKRI yang semakin lama semakin membahayakan terhadap ancaman, baik yang berasal dari dalam maupun luar Negeri. Tidak meratannya pembangunan antar Pulau di setiap lini, menyebabkan terjadinya kecemburuan social masyarakat, hal inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab untuk merongrong, kemudian ingin melepaskan diri dari NKRI, oleh sebab itu kita harus waspada setiap saat, setiap waktu untuk selalu menjaga NKRI dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Salah satu cara untuk menghargai dan memiliki NKRI adalah, dengan mengajak anak-anak Sekolah Dasar untuk berproses dalam karya tari. Karya tari yang berjudul ‘Bersatulah Negeriku’, mencoba menawarkan terhadap anak-anak Sekolah Dasar untuk melatih, mengenal, mencintai NKRI sekaligus bersosialiasi untuk saling bekerja sama dalam membuat sebuah karya tari, melalui tarian-tarian yang ada diseluruh Indonesia. Dengan cara tersebut diatas, peneliti yakin paling tidak, anak-anak tidak gampang tergoyahkan dan semakin mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata kunci: Tari Anak-anak, Tematik, Sekolah Dasar
PENDAHULUAN
Suatu garapan karya tari selayaknya memiliki “ Sesuatu “ yang ingin disampaikan kepada penontonnya” (2002:5). Dengan demikian suatu garapan tari memiliki tema sesuai dengan apa yang ingin disampaikan. Ide atau gagasan dalam karya seni dapat diperoleh dari manapun, di manapun, dalam bentuk apapun, dan melalui cara apapun. Melalui pengalaman empirik, membaca buku, melihat fenomena social, berita TV, radio, atau melihat anak–anak kecil yang sedang bermain. Tidak jarang kita dihebohkan atau dipusingkan dalam pemberitaan media social dengan maraknya Pulau-
Seni adalah sesuatu yang diwujudkan dari hasil perenungan ide atau gagasan melalui proses perenungan, baik itu yang berkaitan dengan diri seniman itu sendiri maupun dari luar dirinya, hingga melahirkan suatu karya seni. Seorang seniman dalam hal ini peneliti tari, akan menuangkan gagasanya dalam bentuk gerak melalui proses perenungan, maka garapan tari yang tercipta tentunya mengandung pesan yang ingin disampaikan, dan bukan garapan tari tanpa tujuan. Seperti yang dikatakan F.X Widaryanto dalam buknya yang berjudul Merengkuh Sublimitas Ruang yaitu: “
191
pulau yang ingin lepas dari Negara Kesatuan Republi Indonesia (NKRI). Isue-isue ini bukan hanya isapan jempol belaka, melainkan kenyataan yang harus mendapat perhatian dari Pemerintah. Maraknya Pulau-pulau yang ingin melepaskan diri dari NKRI barangkali penyebabnya adalah tidak jalanya rasa keadilan antar Pulau. Seperti gejolak yang terjadi di Papua, Maluku dan Aceh. Hal ini sebenarnya menjadi tanggung jawab kita bersama. Permasalahan-permasalahan tersebut diatas barangkali dapat diatasi atau dicegah dengan peraturan pemerintah, yang membuat regulasi dari berbagai segi. Salah satu diantaranya adalah dengan memperhatikan kondisi ekonomi dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Menananamkan cinta tanah air sebaiknya dimulai dari usia anak-anak. Penanaman cinta Tanah Air dapat melalui Sekolah-sekolah, dunia bermain, atau mempelajari tari dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Dalam teori “tabularasa”dijelaskan bahwa:
berbagai daerah kepada anak-anak, berarti secara tidak langsung mengajarkan anak-anak untuk diajak mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertolak dari hal tersebut diatas peneliti tertarik untuk mencoba membuat karya tari anak-anak yang berjudul Bersatulah Negeriku. Garapan karya tari Bersatulah Negeriku, secara visual menggarap anak-anak yang sedang menarikan kesenian daerah (Seni tari) dari berbagai kepulauan yang ada di Negara Indonesia dengan music medlay (berkesinambungan). PEMBAHASAN Karya seni yang bebobot adalah karya seni yang dieksplorasi secara jeli, terencana dan terkonsep dengan baik dan matang. Selain hal tersebut diatas persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah, karya tersebut harus mengandung makna atau pesan moral yang ingin disampaikan kepada audien atau penontonnya. Karya seni lahir atau tercipta, karena ada persoalan yang mengganjal dari seorang seniman dalam hal ini penata tari. Sedangkan inspirasi dapat muncul dari apa saja, kapan saja, yang dianggap menarik kemudian direnungkan, dikontemplasikan, dieksplorasi kemudian diberi pemaknaan. Karya Penelitian tari Bersatulah Negeriku merupakan rasa kepedulian Peneliti terhadap NKRI yang semakin lama semakin membahayakan terhadap ancaman, baik yang berasal dari dalam maupun luar Negeri. Ancaman itu sewaktu-waktu dapat muncul kapan saja tidak mengenal hari dan waktu , ketika
“Anak diibaratkan kertas putih tak berwarna, kitalah (orang tua) yang memberi goresan dan lukisan sehingga tergambar sesuatu seperti yang kita harapkan. Goresan-goresan itu hendaknya yang sesuai dengan norma, agama, kesenian, kebudayaan, adat yang dinilai, baik bagi masyarakat. Goresan-goresan itu diarahkan untuk membentuk watak dan kepribadian yang baik untuk anak”. (John Lock:1632:35).
Kesenian merupakan salah satu cara untuk menanamkan cinta tanah air kepada anak-anak. Melalui pembelajaran kebudayaan dan khususnya seni tari dari
192
para penguasa Negara terlena dengan kemewahan duniawi. Tidak meratannya pembangunan antar Pulau di setiap lini, menyebabkan terjadinya kecemburuan social masyarakat, hal inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab untuk merongrong NKRI, oleh sebab itu kita harus waspada setiap saat, setiap waktu untuk selalu menjaga NKRI dari orangorang yang tidak bertanggung jawab. Permasalahan-permasalahan tersebut diatas barangkali dapat diatasi atau dicegah dengan peraturan pemerintah, yang membuat regulasi dari berbagai segi. Salah satu diantaranya adalah dengan memperhatikan kondisi ekonomi dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Menananamkan nilai-nilai luhur, cinta tanah air sebaiknya dimulai dari usia anak-anak. Penanaman cinta Tanah Air dapat melalui Sekolah-sekolah, dunia bermain, atau belajar dan mempelajari dari berbagai kesenian daerah yang ada di Indonesia. Karya tari “ Bersatulah Negeriku” ini tercipta, berawal dari pemikiran peneliti akan nasib Negara Kesatauan Republik Indonesia, yang semakin hari semakin rapuh. Banyak Pulau-Pulau yang ingin melepaskan diri dari NKRI, karena merasa dianak tirikan oleh para penguasa Negara. Penguasa Negara lebih memperhatikan daerahdaerah tertentu yang dianggap dekat dengan daerah-daerah Ibukota, dan gampang untuk dipantaunya. Sementara daerah–daerah yang secara Geografis sangat jauh dari Ibukota, hanya dikeruk
hasil kekayaan buminya saja, tanpa mendapat perhatian yang layak. Kesenian merupakan salah satu cara untuk menanamkan cinta tanah air kepada anak-anak. Melalui pembelajaran kebudayaan dan khususnya seni tari dari berbagai daerah kepada anak-anak, berarti secara tidak langsung mengajarkan anak-anak untuk diajak mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertolak dari hal tersebut diatas, peneliti tertarik untuk mencoba membuat karya tari anak-anak yang berjudul Bersatulah Negeriku. Garapan karya tari Bersatulah Negeriku, secara visual menggarap anak-anak yang sedang menarikan kesenian daerah (Seni tari) dari berbagai kepulauan yang ada di Negara Indonesia dengan music medlay (berkesinambungan). Dalam garapan tersebut digambarkan sekelompok anak-anak sedang menarikan Karya tari Bersatulah Negeriku. Karya tesebut diawali dari lima orang anak laki-laki menari membawa Bendera, satu dari mereka membawa Bendera Merah Putih, sementara yang lainnya membawa bendera warna merah. Gambaran bendera tersebut melambangkan Pancasila, yang terdiri dari lima Sila. Setelah melakukan aksi beberapa motif, kemudian kelima bendera tersebut menuju kearah belakang, menjadi beyground. Kemudian keluar Penari Bali, setelah penari Bali membuat beberapa Formasi, kemudian disusul Penari Jawa Barat, Kalimantan, Doa, dan diakhiri penari Papua.
193
Pada tahap selanjutnya peneliti memadukan hitungan gerak dengan musik internal yang berasal dari rasa detak setiap pendukung, selanjutnya mulai mengulang kembali hitunganhitungan, sehingga otomatisasi anakanak pendukung berjalan lancar, mengalir tanpa ada beban. Untuk mempermudah para pendukung yang sebagian besar belum mempunyai basic atau dasar menari, maka peneliti membuat motif-motif gerak.
A. Proses Penerapan Karya Rancang garap sebuah karya seni pertunjukan merupakan hal yang sangat penting dilakukan dan harus dipersiapkan dengan matang sebelum merambah kejenjang berikutnya. Selanjutnya diperlukan adannya konsep yang jelas, persiapan yang matang, sistematis serta harus dilaksanakan secara bertahap,tanpa tergesa-gesa. Proses penerapan garapan karya Bersatulah Negeriku diawali dengan menyampaikan konsep garapan kepada anak-anak SD Manggahang I, baik yang menyangkut isi, tema, maupun iringannya. Kiat-kiat ini perlu dilakukan dengan maksud agar para pendukungnya dapat memahami serta mengerti, dan kemudian selanjutnya dapat mencerna maksud dari konsep tersebut. Dalam penyampaian konsep ini, peneliti mengajak dialog kepada anak-anak untuk saling bertanya dan saling memberi contoh beberapa gerak sesama para pendukung. Hal ini dikandung maksud agar anak-anak dilatih keberaniannya untuk mengeluarkan ide atau pendapatnya. Kemudian langkah selanjutnya semua pendukung mulai diajak dan mengeksplorasi secara bersama-sama untuk mencari motif-motif gerak, serta makna apa yang akan diungkapkan, dalam langkah ini peneliti hanya menampung motif-motif gerak dari anakanak. Cara pendekatan seperti ini perlu dilakukan karena selain melatih motoriknya, anak-anak dilatih untuk bersosialisasi dengan sesama teman, dilatih juga untuk menjadi seorang calon pemimpin.
B. Gerak. Media pokok dalam tari adalah gerak. Gerak-gerak tersebut kemudian diolah menurut kebutuhan untuk mengekspresikan sebuah garapan. Dalam garapan Bersatulah Negeriku, peneliti sengaja mengambil motif-motif gerakgerak dasar tari daerah yang ada di Indonesia seperti misalnya, gerak Bali, Jawa Barat, Kalimantan, Papua dan gerak sehari-hari seperti lari, berjalan, lompat dan loncat. Motif-motif itu kemudian diproses melalui stilasi, pengembangan atau penyempitan volume, mendestorsikan, menghaluskan, mematah-matahkan, memperlambat atau mempercepat tempo sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Proses penggalian gerak karya Bersatulah Negeriku ini tidak mengacu pada gerak tari daerah saja, tetapi tidak menutup kemungkinan mengambil gerak-gerak dari manapun, dan yang paling penting dapat mewadahi dalam garapan, yang sekiranya cocok untuk dipadukan. Perpaduan gerak-gerak tersebut kemudian diberi curahan tenaga, struktur ritme dan desain ruang, sehingga menimbulkan sentuhan sentuhan
194
imajinasi sehingga menjadi sesuatu yang menarik. Perpaduan dari berbagai macam tersebut diharapkan muncul kemungkinan-kemungkinan gerak atau warna gerak yang baru, sehingga muncul warna yang baru pula,dan setiap gerak penari harus mengandung 4 aspek, yaitu: 1. Ruang, ruang disini merupakan tempat di sekitar objek bergerak atau arena yang nampak (panggung). Kesan ruang akan nampak dari posisi penempatan penari di atas panggung dengan bentuk suatu gerak dari posisi gerak tubuh ditambah volume, garis, arah dan dimensi, level atau tinggi rendah dan fokus pandangan. Figur penari yang bergerak menciptakan desain di dalam ruang dan hubungan timbal balik antara gerak dan ruang akan membangkitkan corak dan makna tertentu. Seorang penari yang mampu mengontrol penggunaan akan memperbesar kekuatan yang ditumbuhkan oleh gerak yang dilakukanya. Hal itu disebabkan oleh gerak penari berinteraksi dengan ruang (Sal Murgiyanto, 1992: 2526). Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa ruang adalah salah satu unsur pokok yang menentukan terwujudnya suatu gerak. Mustahil jika suatu gerak lahir tanpa adanya ruang, karena setiap gerak yang dibuatnya memiliki desain ruangan dan berhubungan dengan benda-benda lain dalam dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian, penari semata-mata dapat bergerak atau menari karena adanya ruang. Ruang dalam tari dapat
dibedakan dari ruang yang diciptakan oleh penari dan ruang pentas atau tempat penari melakukan gerak. 2. Waktu adalah elemen yang membentuk gerak tari selain unsur tenaga dan ruang yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainya, karena merupakan suatu struktur yang saling berhubungan. Perannya saja yang berbeda. Penataan unsur waktu akan menghadirkan kesan tertentu pada setiap gerak, misalnya cepat-lambat maupun panjang-pendeknya suatu gerak tari. Ada tiga macam elemen waktu, diantaranya: tempo (kecepatan dari gerakan tubuh), dan ritme (ritme terjadi dari serangkaian bunyi yang sama atau tidak sama panjangnya yang sambungmenyambung). (Sal Murgiyanto, 1992: 25-29). 3. Penggunaan tenaga di dalam gerak tari berbeda dengan penggunaan tenaga dalam kebutuhan lain. Untuk itu harus memahami cara penggunaanya, karena penggunaan tenaga dengan baik akan memberi efek dinamika dalam sebuah tarian. Unsur tenaga di dalam tari menggambarkan suatu usaha yang menentukan dan memberikan watak pada gerak. 4. Dinamika adalah segala perubahan di dalam tari karena adanya variasivariasi di dalam tari tersebut. Variasi berupa penggunaan tenaga dalam gerak, tempo, tinggi rendah (level), pergantian posisi penari serta perubahan suasana. Dinamika tari memberikan kesan tarian menarik,
195
tidak membosankan dan tidak terkesan monoton (Andra, 1997:19). Tari sebagai bentuk seni tidak hanya sebagai ungkapan gerak, tetapi juga membawa serta nilai rasa irama yang mampu memberikan sentuhan estetis dan memberi warna pada wujud tarianya. Sehingga mewujudkan karya sesuai keinginan dan konsep yang akan diusung oleh peneliti. Sedangkan jenis-jenis gerak yang digunakan adalah gerak berpindah tempat (locomotion), gerak maknawi (gesture). - Gerak berpindah tempat (locomotion) ini digunakan oleh penari bendera, Papua dan Bali ketika hendak melakukan gerak melompat, jalan miring , Selain itu adegan Doa, dan tari Jabar. - Gerak maknawi (gesture) gerak ini digunakan ketika penari Bendera dengan semangat melakukan gerak mengibar-ngibarkan bendera, kemudian penari Papua yang memnggambarkan gerakan berperang, yaitu gerakan ancangancang yang menggambarkan kesigapan ketika akan berperang mempertahankan NKRI.
Gerak tersebut ada yang menghadap kedepan, kebelakang, kesamping, serong kiri atau kekanan. Dengan demikian dalam pertunjukan tidak hanya badan saja yang diolah, melainkan ruangpun juga harus dipikirkan, agar pertujukan tidak terasa membosankan. D. Rias - Rias dan busana sangat penting keberadaanya dalam suatu karya tari, karena elemen tersebut dapat membantu kemunculan karakter yang ingin dalam sebuah pertunjukan. Dalam buku komunal dijelaskan bahwa :” sesungguhnya elemen-elemen ini (rias dan busana) berfungsi lebih dari sekedar “pembungkus” tubuh penari, atau sekedar untuk mempercantik wajah, tetapi tatarias dalam panggung berfungsi sebagai pembentuk karakter. (I. Wayan Dibia, 2006. 191). - Pada pagelaran karya Bersatulah Negeriku ini para pemain atau pendukung menggunakan rias cantik dan karakter, rias ini sengaja digunakan agar para pemain lebih terkesan menonjol dalam peranya masing-masing.
C. Desain Lantai - Desain lantai adalah garis yang akan dilalui oleh pemain yang sedang melakukan gerak berpindah (locomotion). Dalam garapan ini desain lantai yang digunakan desain lurus, Asimetris, Simetris dan lengkung. Dalam pertunjukan tari sering diperlihatkan bentuk arah gerak pada setiap motif.
E. Busana - Fungsi busana dalam tubuh pada awalnya adalah untuk menutupi bagian-bagian tertentu yang dianggap tabu atau rawan, namun dalam perkembangan selanjutnya fungsi busana
196
mempunyai fungsi ganda. Selain busana keseharian juga muncul busana panggung, sedangkan model tergantung selera masingmasing peneliti disesuaikan dengan tokoh yang diperankan.
progresif untuk menyongsong perkembangan seni, kearah yang lebih baik, terarah dan terkonsep. Dari hasil proses penelitian karya cipta seni bersama anak-anak Sekolah Dasar ditemukan indikasi, bahwa ternyata para anak-anak Sekolah Dasar yang dilibatkan mempunyai daya spirit yang luar biasa. Hal ini dikarenakan kesempatan yang ia peroleh jarang terjadi, oleh sebab itu kesempatan ini dimanfaatkan betul secara maksimal oleh anak-anak. Karya tari Besatulah Negeriku merupakan model yang sengaja dibuat oleh peneliti khusus untuk anak-anak Sekolah Dasar, hal ini dikandung maksud, selain ada proses pendidikan, ada juga proses penanaman nilai cinta tanah air. Selain hal tersebut diatas agar ragam tari anak-anak semakin bertambah. Di indikasikan, minimnya seorang koreografer menciptakan tarian anak-anak dikarenakan, menciptakan tari anak-anak dianggap tidak mempunyai proges yang baik, tidak ada tantangan yang rumit dan tidak menghasilkan financial. Padahal kalo kita dalami secara mendasar, menciptakan tarian anak-anak, sama sulitnya dengan menciptakan tari remaja maupun dewasa dan secara financial, malah lebih progres dari tarian remaja dan dewasa. Peristiwa-peristiwa kesenian yang dilaksanakan oleh lembaga, termasuk pelitian karya seni biasanya selalu menunjuk atau mengikut sertakan mahasiswa. Untuk menciptakan suasana yang baru, pada penelitian kali ini, peneliti sengaja menggunakan pendukung anak-anak Sekolah Dasar.
PENUTUP Pada prinsipnya tugas utama seorang dosen atau tenaga pengajar adalah melaksanakan proses belajar mengajar. Hal ini sangat penting dilakukan karena selain memberi ilmu kepada mahasiswanya sudah barang tentu, secara tidak langsung belajar juga untuk dirinya sendiri. Tugas-tugas pokok inilah seharusnya kita tekuni dan kita dalami sehingga ilmu seorang Dosen benar-benar terasah kemampuannnya. Selain hal tersebut diatas masih ada tugas lainnya yang tidak kalah pentingnya dari proses belajar mengajar, yaitu penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Penelitian karya cipta seni yang disinergikan dengan anak-anak Sekolah Dasar pada hakekatnya mempunyai manfaat bagi kedua belah pihak, baik bagi yang melaksanakan kegiatan maupun bagi lembaga, khususnya bagi anak-anak. Manfaat seperti itu menjadi sangat penting, artinya sebagai ajang untuk saling mengisi dan mengoreksi, memberi dan menerima sebagai tempat untuk menumbuhkan kebersamaan kedua belah pihak dalam ranah seni tari. Dengan adanya hubungan timbal balik inilah, diharapkan terjadi saling memberi dan menerima termasuk didalamnya memberi sumbangansumbangan pemikiran baru yang
197
Menciptakan karya seni yang melibatkan anak-anak Sekolah Dasar, ternyata ada tantangan tersendiri, menciptakan tari anak-anak sebenarnya membutuhkan tenaga yang sangat esktra, jeli dan teliti, karena harus memperhatikan kaidahkaidah anak-anak. Menciptakan tari anak-anak seharusnya lebih banyak diberi unsurunsur gerak bermain dan jangan terlalu dieksploitasi, jika gerak terlalu dieksploitasi, suasana tarian anak-anak akan hilang. Sering peneliti melihat pagelaran tari anak-anak, tetapi tarian tersebut menjadi sangat serius, karena gerakannya terlalu dieksploitasi, sehingga yang muncul bukan tarian anak-anak melainkan tarian remaja dan bahkan tarian dewasa. Seyogyanya menciptakan tarian anak-anak harus mempelajari dulu psikologi anak, sehingga tarian yang akan kita ciptakan tidak salah sasaran, cara-cara seperti ini harus kita lakukan, sehingga kesalahan yang sangat fatal tidak perlu terjadi. Menciptakan tari anak-anak dengan menggunakan metode PAR : Parcivatori Action Researt, melatih anak-anak menjadi aktif karena anak-anak dilatih untuk berani mengeluarkan pendapatnya dan secara tidak langsung merangsang dan menumbuh kembangkan kembali kepercayaan kepada anak-anak, sehingga anak-anak dilatih untuk menjadi pemimpin masa depan. Semoga uraian diatas dapat menjadi pacu, sehingga lembaga yang kita cintai ini sebaiknya sering bekerja sama dengan lembaga lain terutama sekolah sekolah, sehingga kemampuan kesenian yang ada di Jawa barat dapat
berkembang sebagaimana tidak sebaliknya. Amin.
mestinya,
DAFTAR PUSTAKA Alma M. Hawkins Bergerak menurut kata hati, Metoda baru dalam mencipta 2003 Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Penerbit ford foundation Doris Humprey Seni Menata tari, Penerbit Dewan Kesenian Jakarta, 1983 diterjemahkan oleh Sal murgiyanto. F.X Widaryanto Merengkuh Sublimitas Ruang, Bandung: STSI Bandung Pres. 2002 Jacqueline Smit Komposisi tari: Sebuah petunjuk praktis bagi Guru, penerbit Ikalasi 1985 Yogyakarta, terjemahan Ben Suharto. I Wayan Dibia, F.x Widaryanto, Endo Suanda. Tari komunal, Jakarta : Lembaga Pendidikan 2006 Seni Nusantara. Saini K.M Taksonomi Seni, Bandung: STSI PRES BANDUNG 2001 Soedarsono “ Pengantar Pengetahuan dan komposisi tari” Yogyakarta: 1978 Akademi Seni Tari Indonesia. Sudiardja, A” Susanne K Langer: Pendekatan Baru dalam Estetika” dalam M, Sastrapratedja, 1983 (ed), Manusia multi dimensional:Sebuah renungan Filsafat, Gramedia
198
Walter
Sorell, Tari dari berbagai Pandangan, Penerbit STSI Surakarta, terjemahan Agus Tasman, Basuwarno.1993
Y. Sumandiyo hadi, Aspek-aspek dasar koreografi kelompok, Penerbit Manthili Yogyakarta 1996
199
NILAI DAN KONSEP “KAULINAN BARUDAK” SEBAGAI INSPIRASI MODEL PEMBELAJARAN TARI ANAK-ANAK BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER Eti Mulyati Program studi Seni Tari, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 bandung
Abstrak Artikel ini merupakan hasil penelitian tentang Nilai dan Konsep Kaulinan Barudak sebagai inspirasi Model Pembelajaran Tari anak-anak berbasis penidikan karakter bertujuan untuk merancang koreografi tari anak-anak Sekolah Dasar yang menuntut kreativitas interpretasi dan transformasi seorang seniman. Proses penciptaan tari anak-anak yang diangkat dari inspirasi budaya bermain anak-anak (kaulinan barudak) masyarakat Sumedang, menggunakan metode Prefactum yang berorientasi pada strategi dan teknik eksperimentasi seni yang di dalamnya mencakup eksplorasi, improvisasi, iluminasi, presentasi, dan evaluasi. Koreografi tari anak-anak dalam penggarapannya mencakup motif gerak, sikap, dan ragam gerak dengan berbagai kemungkinan garap, arah hadap, arah gerak, level, putaran, volume, dinamika, pengelompokan, dengan memperhatikan unsur komposisi yang terdiri dari berbagai desain tari yaitu; balanced, proporsi, formasi, level, rampak, contras, canon, dan lain sebagainya. Dalam penciptaannya, interpretasi memuat unsur-unsur relasi sehingga terbangunnya suatu makna dan arti dari bentuk tari itu sendiri, sedangkan transformasi menuntut kecerdasan analisis melalui strukstur yang dibangun sehingga relevan dan konstruktif. Kedua aspek ini, masih pada ranah ide-gagasan yang perlu diwujudkan dalam bentuk representasi gerak, dan komposisi sebuah tarian. Komposisi gerak tari dapat diaplikasikan secara perseorangan ataupun perkelompok. Berfokus pada penari sebagai medium bentuk gerak tari, baik perseorangan maupun perkelompok dalam satu kesatuan komposisi gerak tarian yang bersumber dari kaulinan barudak, dapat dikaji melalui reka bentuk, komposisi dan fungsi bentuk gerak sehingga tergambarnya identitas kultural dan karakter bangsa dari bentuk tarian itu sendiri. Kata kunci: Nilai, konsep, kaulinan barudak, tari anak-anak, dan pendidikan karakter.
PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari kaulinan barudak dapat dikatakan sebagai cerminan nilai budaya masyarakatnya, yakni masyarakat anakanak sebagai pelakunya. Namun demikian, di era perhelatan budaya yang sangat kompleks ini, kaulinan barudak bukan lagi milik anak-anak semata, melainkan telah menjadi komoditas
rekreasi atau hiburan bagi kelompok masyarakat dewasa pada umumnya. Berdasarkan pada hasil pengamatan baik di sanggar-sanggar tari maupun di sekolah-sekolah, bahwa materi tari anak-anak sangat kurang terutama bentuk tari anak-anak yang bersumber dari kaulinan barudak, sedangkan berdasarkan penelitian, kaulinan barudak memuat berbagai dimensi nilai yang bermanfaat bagi
200
perkembangan pendidikan, seni dan budaya (Eti Mulyati:2009). Dalam konteks akademik, Kaulinan barudak memuat berbagai unsur nilai seperti: pendidikan, kesehatan (olah raga), dan karakter (kesatriaan; keberanian, kesetiakawanan, dan kecerdasan) serta rekreasi dan hiburan. Kearifan lain dari Kaulinan barudak, memiliki peranan dan fungsi bagi kehidupan masyarakat baik di usia anakanak maupun dewasa khusunya dalam kegiatan berinteraksi sosial antar sesamanya. Sehubungan dengan peranan dan fungsi dimaksud, Sal Murgiyanto (1993: 222), menjelaskan bahwa berdasarkan sifat dan tujuan bermain, ada yang dilakukan untuk: (1) menirukan; (2) mencoba kecakapan dan kekuatan; (3) melatih panca indera; (4) melatih bahasa; dan (5) melatih lagu dan gerak berirama. Kaulinan barudak memiliki keunikan tersendiri yang dapat dibedakan dengan jenis permainan anak-anak modern sekarang ini. Pertama, permainan itu cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungannya tanpa harus membeli. Anak-anak sebagai pemain harus bisa berimajinasi, menafsirkan dan memanfaatkan beberapa benda yang akan digunakan dalam bermain sesuai dengan yang diinginkan. Kedua, permainan anak-anak tradisional Sunda (kaulinan barudak) selalu melibatkan pemain yang relatif banyak atau berorientasi komunal. Setiap permainan rakyat tradisional seperti kaulinan barudak selalu melibatkan banyak anggota. Hal ini dikarenakan selain mendahulukan faktor kegembiraan
bersama, permainan ini juga mempunyai maksud pada pendalaman kemampuan interaksi antar personal peserta kaulinan barudak. Ketiga, permainan anak-anak tradisional Sunda (Kaulinan barudak) memuat jenis permainan kategori play dan game. Play yang menekankan pada aspek bermain, action yang dilakukan tanpa pertimbangan aturan yang mengikat, sedangkan game terikat pada aturan dari permainan itu sendiri. Keduanya memiliki nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan konteks sosial, pendidikan, dan rekreasi/hiburan. Berbagai nilai yang tersirat di dalam bentuk kaulinan barudak seperti disebutkan di atas, merupakan fenomena menarik untuk dapat dijadikan sumber inspirasi penciptaan tari anak-anak. Berkaitan dengan hal tersebut maka penulis akan batasi masalahnya yaitu: (1) Bentuk kaulinan barudak apa saja yang dapat dijadikan sumber penciptaan tari; (2) Bagaimana proses penciptaan tari anak-anak yang bersumber dari kaulinan barudak. Tulisan ini bertujuan untuk merancang atau menciptakan koreografi tari anak-anak yang bersumber dari kaulinan barudak yang berbentuk gerak dan lagu, serta ingin memberikan gambaran secara rinci dalam proses penciptaan tari anak-anak yang bersumber dari kaulinan barudak sebagai bahan pembelajaran seni tari untuk anakanak Sekolah Dasar. PEMBAHASAN A.
201
Modifikasi Gerak dan Nilai Permainan ‘Kaulinan Barudak’
(game) dalam kaulinan barudak itu sendiri. Di samping nilai-nilai di atas, kaulinan barudak memiliki pesan-pesan moral tertentu, seperti nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada, motivasi dan semangat berprestasi, serta taat pada aturan merupakan tata nilai yang berorientasi pada karakter, pembentukan diri.
Merujuk pada pemahaman perkembangan dan strategi budaya yang bersifat dinamis, dalam konteks ini, modifikasi kreatif dari permainan tradisional anak ini tidak harus menghilangkan nilai-nilai pokok sebagai isi dari wujud bentuk karya budaya itu sendiri. Nilai-nilai yang terkandung di balik permainan tradisonal Sunda masyarakat Sumedang adalah: (1) nilai sakral, sakral dalam konteks ini diartikan dalam kategori tindakan yang disebut pamali atau tabu. Keterkaitan sakralitas dalam konteks bermain tidak terkait dengan aktivitas religius namun lebih bersifat sosial budaya. Nilai sakral dimaksudkan pada kategori perilaku yang bersifat tabu (pamali) untuk dilakukan baik melalui tindakan maupun ucapan dalam bermain. Hal ini dikarenakan adanya norma dan etika sosial-budaya dari konvensi yang dibangun dari masyarakat setempat. Nilai lain dalam kaulinan barudak adalah (2) nilai pendidikan, dalam konteks ini anak-anak dapat melatih panca indera, melatih bahasa, menirukan, melatih lagu dan gerak berirama. Selanjutnya, (3) nilai sosial terutama dalam aktifitas bersosialisasi, hal ini lebih mengutamakan kerja yang bersifat kolektif (kebersamaan sekaligus perbedaan; kekompakan), di samping sebagai wahana dalam menumbuhkan sikap toleransi dan kedisiplinan antar teman sepermainan sesuai aturan permainan yang berlaku. Sementara (4) nilai psikologis (rekreasi/hiburan) yang terdapat dalam kaulinan barudak diperlihatkan oleh rasa riang gembira serta rasa humor dari ekspresi permainan
B. Metode Penelitian Prefactum: Penciptaan Seni Tari Anak-anak Paradigma penelitian prefactum ini lebih beorientasi pada strategi dan teknik eksperimentasi seni yang di dalamnya mencakup eksplorasi, improvisasi, iluminasi, presentasi, dan evaluasi seperti pada (bagan 01) terlampir. Adapun aspek metodologi penciptaan tari anak-anak dengan kaulinan barudak sebagai sumber insfirasinya, secara sederhana dapat digambarkan pada (bagan 02) terlampir. C. Modifikasi Tari Anak melalui Reka Bentuk, Komposisi dan Fungsi Pada proses ini terdiri dari beberapa tahap proses seperti tergambarkan pada bagan 01 di atas, dan secara garis besarnya terbagi pada dua konsentrasi proses modifikasi seperti berikut: C.1. Eksplorasi Pada tingkat pengembangan kreativitas, eksplorasi sebagai pengalaman pertama bagi seorang penata tari untuk menjajagi ide-ide, rangsang dari luar. Penjajagan objek pada garapan tari, dimulai dengan pengalamanpengalaman yang melibatkan kesadaran secara penuh dalam memandang suatu
202
gerak yang terdapat pada kaulinan tokecang yang memiliki ciri khas kebersamaan dalam bermain, begitu pula pada kaulinan kukudaan yang menggunakan properti kukudaan dapat memunculkan ide dengan menggali memainkan properti tersebut bisa ditunggangi, dan dimainkan sebagai properti tari. Ragam gerak hasil improvisasi kemudian dipilih dan dipilah sebagai kekuatan ide yang akan ditonjolkan dan menjadi ciri khas dalam garapan tari anak-anak.
objek. Pengalaman tersebut timbul dalam diri penata dan juga pengalaman mengamati suatu lingkungan yaitu kaulinan barudak. Secara eksplisit tahap ekplorasi dalam proses penciptaan seni dijelaskan Sumandiyo Hadi, sebagai berikut: Secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses penjajagan, yaitu sebagai pengalaman untuk menanggapi obyek dari luar, atau aktivitasnya mendapat rangsang dari luar. Eksplorasi meliputi berpikir, berimajinasi, merasakan dan merespon ( 2003:65).
C.3 Iluminasi Tahap iluminasi ini, yang utama adalah ditemukannya strategi dan proses pembentukan. Dalam mewujudkan sebuah koreografi memerlukan proses pembentukan atau penyatuan materi tari yang telah ditemukan melalui pengalaman-pengalaman tari sebelumnya baik dalam proses eksplorasi maupun improvisasi. Penyusunan materi tari melalui eksplorasi dan improvisasi tidak semua gerak hasil eksploasi dan improvisasi dapat digunakan seluruhnya, tetapi harus dipikirkan bagaimana sambungan gerak antara motif gerak yang satu dengan motif gerak yang lain, sehingga terbentuk garapan tari yang utuh dan memiliki kesatuan dalam konsep koreografi.
Pada tahap eksplorasi, metode yang dilakukan melalui pengamatan terhadap situasi dan kondisi lingkungan masyarakat Sumedang, khususnya Dusun Sarmaja, Desa Nyalindung, Kecamatan Cimalaka berkaitan dengan peristiwa kehidupan sosial berupa tingkah laku individu atau kelompok, dan melakukan pengamatan secara seksama dan mendalam terhadap kaulinan barudak yang berada di lingkungan masyarakat daerah Sumedang sebagai sampelnya. Selanjutnya menentukan beberapa jenis dan bentuk kaulinan barudak yang dinilai potensial untuk dijadikan sumber gagas pada penciptaan tari anak-anak. Pada tahap eksplorasi, proses penciptaan ini dilakukan melaui penjelajahan gerak (apresiatif dan reproduktif) terhadap bentuk kaulinan barudak, selanjutnya memilih dan memilah gerak-gerak mana yang sesuai untuk digunakan sebagai materi tari anak-anak.
C.4 Presentasi Pada tahap ini, proses kreatif penciptaan seni telah mencapai pada tahap penyusunan konsep dan bentuk, sehingga perlu mempresentasikannnya ke khalayak demi tercapainya kesesuaian interrelasi unsur-unsur yang menunjang proses perwujudan karya dimaksud.
C.2 Improvisasi Improvisasi lebih memikirkan kemungkinan gerak dengan mengolah
203
Teknik presentasi karya ini dengan menata langsung bentuk gerakan tari anak-anak yang bersumber dari peristiwa kaulinan barudak yang ditransformasi dengan modifikasi gerak-gerak yang ada di dalam kaulinan barudak dimaksud.
buah, membelah kayu dan sebagainya; (3) Berkesenian, adalah gerakan yang dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman batin dan perasaan seseorang dengan harapan untuk mendapatkan tanggapan orang lain. Khususnya pada proses penciptaan tari anak-anak dengan mengangkat peristiwa di dalam kaulinan barudak sebagai sumber inspirasinya, maka dapat dilakukan melalui transformasi bentuk gerak ‘bermain’ menjadi gerak ‘berkesenian’, seperti telah diterangkan pada tahap eksplorasi dan improvisasi di atas. Wujud gerak tari sebagai simbol atau metafora yang merepresentasikan gerak dari peristiwa-peristiwa yang ada di dalam kaulinan barudak.
C.5 Evaluasi KaryaTari (Tokecang dan Kukudaan) Evaluasi tentu menjadi penting dalam membuat kerangka pemikiran, konsep maupun bentuk tarian secara holistik sehingga mencapai keselarasan yang harmonis antara ide, bentuk dan sumber gagas kaulinan barudak. Evaluasi teknik pengerjaan dan estimasi karya juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan karya itu sendiri. Khususnya dalam struktur bentuk dan gerak tari anak-anak. Teknik transformasi ke arah bentuk metaforik gerakan dari kaulinan barudak menjadi penentu jenis dan gaya dari karya tari senimannya.
D. Rekonseptual Tari Anak ke arah Identitas Kulturan dan Karakter Bangsa Meminjam istilah dari antropologi, pengertian karakter bangsa dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu dan ia memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut (Ade Armando, 2008:8). Berfokus pada pergeseran fungsi gerak pragmatis manusia menjadi gerak estetik tari, maka dapat dikatakan bahwa di dalam konteks ini telah terjadi rekonseptualisasi gerak anggota tubuh manusia. Kaulinan barudak Tokecang dan Kukudaan seperti di bahas di atas, adalah peristiwa sosial yang terjadi di dalam suatu kelompok anak-anak daerah yang diangkat dari daerah Sumedang
C.6 Perubahan Fungsi Gerak Kaitannya dengan konteks gerak di dalam permainan, Sal Murgiyanto(1986: 124) mengatakan bahwa berdasarkan fungsinya gerakan manusia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: bermain, bekerja, dan berkesenian. (1) Bermain, yaitu gerak yang dilakukan untuk kepentingan si pelaku serta untuk menguatkan kesenangan dari pelakunya; (2) Bekerja, adalah gerak yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Misalnya gerakan manusia mencari ikan, memetik
204
sebagai sampel penelitian ini, bahwasannya telah mengalami perubahan menjadi sebuah peristiwa berkesenian yakni seni tari anak-anak bergaya modern dengan nuansa tradisional yang merepresentasikan kaulinan barudak daerah di Sumedang. Sistem dan pola permainan di dalam peristiwa sosial dan peristiwa berkesenian ini, tentu saja memiliki karakter yang berbeda, nilai-nilai yang terkandung di dalam kaulinan barudak tradisional daerah yang diangkat ini menjadikan substansi dari karakter bentuk dan perilaku berkesenian dimaksud, dan secara lebih luas pada karakter bangsa. Dengan mengadopsi teori kecerdasan manusia khususunya dalam konteks berkesenian dan berbudaya Daniel H. Pink (2006: 93-96), bahwa representasi nilai-nilai karakter bangsa, dapat dilihat pada modifikasi karakter berkesenian dan identitas kultural kaulinan barudak sebagai kontens dari karya seni tari dimaksud. Artinya representasi identitas kultural dan karakter bangsa dalam sebuah karya seni (1) tidak hanya fungsi tetapi juga desain,(2) tidak hanya argumen tetapi juga cerita, (3) tidak hanya fokus tetapi juga simponi (4) tidak hanya logika tetapi juga empati, (5) tidak hanya keseriusan tetapi juga permainan, (6) tidak hanya akumulasi tetapi juga makna, (7) tidak hanya pemahaman tetapi juga keyakinan dan spiritualitas.
tari anak-anak, diantaranya: (1) Tokecang; (2) Kukudaan; (3) Orayorayan; (4) Karumpul; (5) Cepot dewala; (6) Perepet jengkol; (7) Sleepdur; (8) lagu Buncis; dan (9) lagu Cingcangkeling. Dari masing-masing jenis kaulinan barudak yang dapat dijadikan sumber inspirasi penciptaan tari memiliki unsur-unsur pertunjukan yang berbeda-beda, misalnya unsur gerak, musik (iringan), lagu dan busana yang dipergunakan. Untuk sampel model proses kreatif tari anak-anak di Sekolah Dasar khususnya daerah Sumedang yaitu kaulinan barudak Tokecang dan kukudaan sebagai inspirasi penciptaan tari anak-anak. Proses penciptaan tari anak-anak yang bersumber dari kaulinan barudak mempergunakan metode penelitian prefactum yang berorientasi pada strategi dan teknik eksperimen gerak tari, di dalamnya mencakup eksplorasi, improvisasi, iluminasi, presentasi, dan evaluasi serta perubahan fungsi gerak. Koreograf tari anak-anak dalam penggarapannya mencakup motif, sikap dan ragam gerak yang dieksplorasi dibuat dengan berbagai kemungkinan garap, arah hadap, arah gerak, level, putaran, volume, dinamika, pengelompokan, dengan memperhatikan unsur komposisi yang terdiri dari berbagai desain tari yaitu; balancing, proporsi, formasi, level, rampak, contras, canon, dan lain sebagainya. DAFTAR PUSTAKA
PENUTUP Kaulinan barudak yang berpola lagu, perpaduan gerak dan lagu dapat dijadikan sumber inspirasi penciptaan
A.A.M Djelantik, 1999, Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: Penerbit MSPI.
205
Ade Armando,dkk.,2008, Refleksi karakter bangsa, Forum kajian antropologi Indonesia. Eti Mulyati, 2009, Transformasi Bentuk Kaulinan Barudak ke dalam Bentuk Seni Pertunjukan (Studi tentang nilai Oray-orayan dan Tokecang di Saung Angklung Udjo) Bandung: Universitas Padjadjaran Bandung. Hawkins, Alma M.,1991, Moving From Within: A New Method for Dances Making. Diterjemahkan oleh I Wayan Dibia 2003. Bergerak Menurut Kata Hati. Jakarta: Ford Foundation dan MSPI. Pink, Daniel H. 2006 Misteri Otak Kanan Manusia, Yogyakarta: Penerbit Think Sal Murgiyanto,1986, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, dalam Pengetahuan Elementer Tari danBeberapa Masalah Tari. Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1993, Ketika Cahaya Merah Memudar: Sebuah Kritik Tari Jakarta: Deviri Ganan. Y. Sumandiyo Hadi, 2003, Aspek-aspek dasar koreografi kelompok, Yogyakarta: Lembaga Kajian Pendidikan dan Humaniora Indonesia
206
LAMPIRAN EKSPLORASI
IMPROVISASI
ILUMINASI
PRESENTASI
EVALUASI
Peristiwa
Kreativitas
Adaptif
Reliable
Keamanan
Gagasan
Alternatif
Akomodatif
Realizable
Kenyamanan
Pengalaman
Pengalaman Pribadi Berkarya Seni
Harmnoni
Relevansi
Kesatuan
Fungsi Makna
• Intera Estetik • Ekstra estetik - Edukasi - Sosial - Rekreasi - Psikologi - Kaulinan Barudak
PENGEMBARAAN
PENGEMBARAAN
Kognitif
Abstraksi Image
(Pra Emage)
KORELASI; INTERELASI antar unsur-unsur Pembentuk;
KEPUTUSAN BENTUK
TEKNIS (Rekomposisi)
Unsur-Unsur Pemandu BENTUK
Gambar 01:BaganStruktur dan Aspek Metode Penciptaan Seni (Bagan dibuat Husen HD diadaptasi dari Graham Wallas dalam Jelantik,1999)
1) Nilai psikologis (rekreasi/hiburan) 2) Nilai sosial 3) Nilai pendidikan 4) Nilai sakral
KAULINAN BARUDAK
Bentuk Permainan Anak; Budaya tradisi bermain dari kelompok anak-anak di lingkungan masyarakat Sumedang
IDE GAGASAN (Konsep Nilai)
KREATIVITAS SENI
TARI ANAK-ANAK
MODIFIKASI BENTUK
Gambar 02: Kerangka Berfikir Penciptaan Tari Anak (Bagan dibuat Husen HD)
207
PENGAJARAN BAHASA INGGRIS DENGAN POST-METHOD PEDAGOGY DI STSI BANDUNG Yupi Sundari¹, Irma Rachminingsih² Dosen MKDU Bahasa, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung
Abstrak Penelitian ini bertujuan meningkatkan motivasi dan pencapaian studi mahasiswa terhadap mata kuliah bahasa Inggris di STSI Bandung yang selama ini sering dipandang sebagai pelajaran yang sulit dan kurang menyenangkan. Penelitian dilakukan di STSI Bandung pada perkuliahan bahasa Inggris di Jurusan Karawitan dan Seni Rupa dengan menggunakan metode penelitian dan pengembangan atau Research and Development Method. Penerapan post-method pedagogy memperhatikan tiga komponen utama, yaitu lingkungan belajar, siswa dan pengajar. Keberhasilan pengajaran bahasa Inggris dipengaruhi komponen siswa, pengajar, materi ajar dan hubungan antara siswa dan pengajar. Dari penelitian ini didapatkan model pembelajaran post-method pedagogy yang menempatkan pengajar sebagai penyusun materi ajar dan pengelola kelas yang mempertimbangkan karakteristik dan latar belakang pembelajar. Pada akhir kegiatan pembelajaran, pengajar melakukan evaluasi hasil belajar dan merefleksikan apa yang telah dilakukan untuk merencanakan dan melakukan proses belajar mengajar selanjutnya. Kata kunci: Pengajaran bahasa Inggris, post-method pedagogy
bersamaan dengan perubahan strategi belajar mengajar bahasa Inggris, penguasaan bahasa Inggris mahasiswa Indonesia dinilai masih lemah. Hal senada pernah diungkapkan Direktur IIEF Diana Kartika Jahja pada acara pameran pendidikan tinggi Amerika Serikat 2011 di Jakarta (http://kampus.okezone.com). Dari beberapa penelitian yang dilakukan, terungkap bahwa penyebab kurang berhasilnya pengajaran bahasa Inggris, diantaranya adalah model pembelajaran yang masih bersifat teacher-centered learning dan tidak menciptakan suasana aktif, kreatif dan menyenangkan di perguruan tinggi
PENDAHULUAN Penelitian ini didorong oleh dua faktor utama. Pertama, kesadaran akan pentingnya peranan bahasa Inggris sebagai bahasa perantara dalam berbagai aktivitas internasional. Kedua, pengamatan peneliti terhadap pengajaran bahasa Inggris di Indonesia yang belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Meskipun pemerintah Indonesia terus berusaha meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Inggris, salah satunya melalui perubahan kurikulum pendidikan dasar & menengah
208
mengakibatkan mahasiswa cenderung kurang termotivasi, kurang percaya diri, dan cenderung bergantung pada orang lain (Dirgayasa, dkk., 2007). Temuan senada juga diungkapkan Sundari (2009) bahwa rendahnya motivasi mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan berimbas pada rendahnya pencapaian nilai mata kuliah bahasa Inggris. Penelitian-penelitian sebelumnya dalam bidang pembelajaran bahasa juga menunjukkan bahwa penguasaan kompetensi bahasa asing sangat dipengaruhi oleh motivasi belajar dan sikap positif siswa (Ehrman, 1996; Gardner 1985, Gardner dan Lambert, 1959, 1972; Noels, et. al., 2000; Ramage, 1990; Tachibana, Matsukawa, dan Zhong, 1996 seperti dikutip dari Suherdi, 2004), serta rasa berdaya diri yang tinggi (Deci dan Ryan, 1992; Pajares, 1996; Pajares dan Miller, 1994, seperti dikutip dari Suherdi, 2004). Dengan demikian, pembelajaran harus dirancang dengan mempertimbangkan karakteristik kelas tempat dosen mengajar untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Berkaitan dengan metode pengajaran, perkembangan terkini dalam pengajaran bahasa Inggris menunjukkan bahwa pengembangan model, metode, atau pendekatan ‘monolitik’ dianggap tidak memadai bagi pelayanan yang adil bagi semua pelajar dalam satu kelas (Kumaradivelu, 1994, 2001; Prabhu, 1990; Shrum dan Glisan, 2000; Rodgers, dalam presentasinya pada TESOL Convention 2001 di St. Luois, Missouri seperti dikutip dari Suherdi, 2004). Kompleksitas permasalahan kelas pada dasawarsa terakhir ini dan kelemahan metode-metode pengajaran bahasa
Inggris terdahulu telah mendorong pengembangan pedagogi pasca-metode atau post-method pedagogy (Kumaradivelu, 2001), yang pada dasarnya berupa perangkat prinsip yang digunakan untuk menyelenggarakan pembelajaran yang lebih adil dan diharapkan lebih efektif dalam mengembangkan perilaku para pelajar (Suherdi, 2004). Permasalahan yang sama dihadapi oleh mahasiswa STSI Bandung dalam mata kuliah bahasa Inggris. Berdasarkan penelitian tahun 2009 dan pengamatan selama PBM berlangsung, motivasi dan pencapaian studi mahasiswa masih rendah. Kelas besar dengan kemampuan mahasiswa yang bervariatif dan bobot mata kuliah praktek yang lebih besar dibandingkan teori, telah menjadi tantangan tersendiri untuk menemukan pendekatan mengajar bahasa Inggris yang tepat. Oleh karena itu, maka pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa STSI Bandung diperlukan. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini mencoba merancang model pembelajaran bahasa Inggris yang berorientasi pada pedagogi pasca-metode untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa dan kualitas proses belajar mengajar mata kuliah bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Kondisi Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia Pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia yang diselenggarakan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, bertujuan agar peserta didik mampu “menunjukkan keterampilan menyimak,
209
membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Inggris” (Kepmendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kelulusan). Namun, sedikit sekali lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang memiliki penguasaan keterampilan berbahasa Inggris. Hal ini berpotensi menimbulkan kerugian bagi diri lulusan. Menurut Direktur IIEF, Diana Kartika Jahja, pada acara pameran pendidikan tinggi Amerika Serikat 2011 di Jakarta penguasaan bahasa Inggris mahasiswa Indonesia masih lemah dan hal ini dapat menggagalkan peluangnya mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri (http://kampus.okezone.com/read/2011/1 0/06/ 373/511508/bahasa-inggrismahasiswa-indonesia). Secara umum, perbendaharaan kata yang dimiliki mahasiswa jurusan bahasa Inggris di Indonesia rata-rata hanya 15% dari yang dimiliki mahasiswa S1 penutur asli (Kweldju, 1997; Hamdi, 1998; Abdullah, 1998; seperti dikutip dari Kweldju, 2002). Tidak sedikit jumlah dosen yang terhambat karir dan jabatannya karena mereka kurang menguasai keterampilan menulis dan berbicara secara ilmiah (Alwasilah, 1994). Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia sampai saat ini telah melakukan lima kali perubahan kurikulum pendidikan dasar & menengah bersamaan dengan perubahan model pembelajaran bahasa Inggris. Kurikulum bahasa Inggris pertama pada tahun 1968 menggunakan metode audiolingual; Kurikulum 1975 berbasis pendekatan translation method; Kurikulum 1984 menekankan pada communicative approach dengan sistem Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA); Kurikulum 1994 masih mempertahankan communicative approach dengan fokus keterampilan membaca; Kurikulum Berbasis Literasi pada tahun 2004 menggunakan cooperative & collaborative approach; dan terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 yang menekankan pada pendekatan TEMATIK untuk SD dan model pembelajaran kontekstual untuk SMP dan SMA. Kendati demikian, secara umum pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan. Setiap kali metode atau pendekatan terbaru diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris, selalu ditemukan kelemahan baru yang tidak teratasi. Dilatarbelakangi hal ini, Gunawan (1993) melakukan pengkajian literatur untuk menemukan prinsip pembelajaran bahasa kedua yang kokoh dan menyimpulkan bahwa: prinsip pembelajaran bahasa kedua yang kokoh belum ada; prinsip pembelajaran bahasa kedua yang umumnya digunakan untuk mengembangkan metode atau pendekatan yang ada selama ini cenderung memberikan tekanan yang berlebihan pada aspek bentuk atau fungsi bahasa tertentu; sebelum prinsip umum yang kokoh ditemukan maka penerapan metode dan kualitas pembelajarannya sangat tergantung pada semangat dan tanggung jawab guru yang langsung menangani proses belajar-mengajar di kelas dan tidak tergantung pada metode atau pendekatan yang digunakan. Selain metode yang digunakan, keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris juga ditentukan oleh motivasi
210
method pedadogy atau pedagogi pascametode timbul dari kompleksitas permasalahan kelas masa kini dan ketidakberdayaan metode-metode pembelajaran bahasa Inggris terdahulu dalam mengatasi permasalahan yang ada. Post-method pedagogy merupakan perangkat prinsip yang digunakan untuk menyelenggarakan pembelajaran yang lebih adil dan diharapkan lebih efektif dalam mengembangkan perilaku para pelajar (Suherdi, 2004). Pada dasarnya, di era post-method pedagogy ini, timbul kesadaran bahwa tidak ada satu pun metode pengajaran bahasa yang merupakan metode terbaik. Metodemetode pembelajaran tertentu dapat dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan kondisi kelas tertentu, sehingga satu metode tunggal bukan lagi faktor kunci kesuksesan atau kegagalan pembelajaran bahasa. Terdapat tiga parameter dalam post-method pedagogy, yaitu kekhasan (particularity), kepraktisan (practicality), dan ketermungkinan (possibility). Kekhasan mengacu pada kepekaan guru terhadap situasi dan konteks terkait siswa, tempat, dan waktu pembelajaran berlangsung, untuk menentukan pendekatan pembelajaran yang efektif. Kepraktisan mengacu pada hubungan antara teori dengan praktik. Dengan kata lain, pendekatan pembelajaran yang dihasilkan dari penelitian para ahli atau pengalaman pribadi guru dapat diimplementasikan pada situasi nyata. Ketermungkinan mengacu pada identitas individu guru dan siswa, serta kebutuhan mengembangkan metode yang sesuai dengan latar belakang sosial dan budaya mereka.
belajar dan sikap positif siswa (Ehrman, 1996; Gardner 1985, Gardner dan Lambert, 1959, 1972; Noels, et. al., 2000; Ramage, 1990; Tachibana, Matsukawa, dan Zhong, 1996 seperti dikutip dari Suherdi, 2005), serta rasa berdaya diri yang tinggi (Deci dan Ryan, 1992; Pajares, 1996; Pajares dan Miller, 1994, seperti dikutip dari Suherdi, 2005). Dengan demikian, model pembelajaran harus dirancang dengan mempertimbangkan karakteristik kelas tempat dosen mengajar untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Keraguan atas keefektifan metode tunggal pembelajaran bahasa Inggris juga dirasakan oleh banyak ahli bahasa lainnya. Pengembangan model, metode, atau pendekatan ‘monolitik’ dianggap tidak memadai bagi pelayanan yang adil bagi semua pelajar dalam satu kelas (Kumaradivelu, 1994, 2001; Prabhu, 1990; Shrum dan Glisan, 2000; Rodgers, dalam presentasinya pada TESOL Convention 2001 di St. Luois, Missouri seperti dikutip dari Suherdi, 2004). Prabhu (1990) berpendapat bahwa tidak ada satu metode terbaik dalam pembelajaran bahasa karena metode tertentu efektif untuk konteks pembelajaran tertentu. Post Method Pedagogy Penerapan metode-metode pembelajaran bahasa Inggris ini telah melahirkan pemikiran-pemikiran yang terus berkembang pada dasawarsa terakhir dan telah mendorong peralihan dari pembelajaran bahasa “Age of Methods atau Era metode” (Roger, 2000) menuju era “Post-method” atau “Pascametode” (Kumaravadivelu, 1994). Post-
211
Menurut pelopor istilah ini, Kumaravadivelu (2003), post-method pedagogy adalah reaksi atas “metodemetode sebagai alat marginalisasi”, dalam arti bahwa pedagogi sebaiknya merupakan proses dari bawah ke atas yang memberikan para guru kewenangan untuk mengembangkan model pembelajarannya sendiri di dalam kelas berdasarkan pengalaman dan latar belakang pendidikannya, serta konsultasi yang dilakukan dengan rekan-rekannya (Kumaravadivelu, 1994). Dengan demikian, peran guru di era post-method pedagogy ini bukan hanya sebagai pelaksana kebijakan kurikulum, melainkan juga bertindak sebagai peneliti, pengambil keputusan, motivator, navigator dan fasilitator dalam kegiatan pembelajaran sehingga tercipta pembelajaran yang bersifat: a) otomatis; b) bermakna; c) menghargai; d) memotivasi; e) memiliki nilai investasi strategis; f) menjaga ego bahasa peserta didik; g) menumbuhkan rasa percaya diri; h) menumbuhkan keberanian mengambil risiko; i) menunjukkan hubungan bahasa dan budaya; j) mengakui ada bahasa antara (interlanguage); dan l) mengarah ketercapaian kompetensi komunikatif (Brown, 2007) Sebagai alternatif untuk metode, Kumaravadivelu (1994) mengusulkan sebuah kerangka strategi untuk pembelajaran bahasa kedua yang menyiratkan banyak temuan penting dari penelitian pemerolehan bahasa kedua, seperti hipotesis output, hipotesis input, otonomi, dan pelatihan strategi (Alemi, 2010). Sepuluh strategi makro untuk pembelajaran bahasa dikemukakan oleh
Kumaravadivelu (1994) sebagai berikut: 1) meningkatkan kesempatan pembelajaran; 2) mengurangi ketidaksesuaian persepsi; 3) membantu interaksi berdasarkan negosiasi; 4) mendorong otonomi pembelajar; 5) meningkatkan kesadaran berbahasa; 6) membangkitkan penemuan diri sendiri; 7) mengkontekstualisasi input linguistik; 8) mengintegrasikan keterampilanketerampilan berbahasa; 9) meyakinkan relevansi sosial; 10) menumbuhkan kesadaran budaya. Post-method pedagogy mendorong para pengajar untuk mengembangkan pengajaran yang tepat berdasarkan pengetahuan dan pemahaman lokal mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Canagarajah (2002 seperti dikutip dalam Kumaradivelu, 2003), post-method pedagogy membebaskan para pengajar dan membuat mereka “benar-benar kreatif dalam mengintegrasikan pengalaman, imajinasi dan pengetahuan untuk merencanakan strategi pengajaran dengan/untuk para siswa”. Senada dengan Kumaradivelu, Sukarno (2012) dalam prosiding konferensi nasional TEYLIN (Teaching English for Young Learners in Indonesia) berjudul ‘Applying Postmethod in Teaching English to Young Learners’ mengusulkan tahapan penerapan post-method dalam kegiatan belajar mengajar bahasa Inggris, yaitu: 1) mencari tahu latar belakang budaya, linguistik dan sosial ekonomi siswa, 2) mengidentifikasi karakteristik siswa, 3) mengadopsi, mengadaptasi, memilih, mengembangkan dan membuat bahan ajar bahasa Inggris yang sesuai, 4) menerapkan metode-metode tertentu
212
dalam menyampaikan bahan ajar-bahan ajar tertentu berdasarkan latar belakang dan karakteristik siswa, dan 5) merefleksikan apa yang telah dilakukan untuk merencanakan dan melakukan proses belajar mengajar selanjutnya. Penerapan post-method pedagogy perlu memperhatikan tiga komponen utama, yaitu 1) lingkungan belajar, 2) siswa, 3) pengajar. Terkait lingkungan belajar, dalam pendidikan lingkungan adalah semua faktor yang terdapat di luar diri anak dan yang mempunyai arti bagi pengembangannya serta senantiasa memberikan pengaruh terhadap dirinya (Baharuddin, 2007:68). Beberapa penelitian (Partono & Minarni, 2006; Ridhno, 2012; Ningrum, 2013) menunjukkan pengaruh yang signifikan antara lingkungan belajar dan motivasi serta dampaknya terhadap prestasi belajar siswa.
mengajar mata kuliah bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pengembangan atau sering disebut sebagai Research and Development method (R&D). Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan sebuah produk yang akan digunakan dalam dunia pendidikan melalu proses yang ilmiah yang diakhiri dengan tahapan validasi. Prosedur penelitian pengembangan berbentuk siklus agar produk pendidikan yang dihasilkan benar-benar bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan. Perbaikan-perbaikan produk pendidikan akan dilakukan di dalam tahapan-tahapan penelitian pengembangan sehingga dapat dihasilkan produk yang paling tidak mendekati ideal. Metode penelitian ini bersifat longitudinal (multi-years) dan digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011:407). Metode ini digunakan karena pada akhir penelitian akan menghasilkan sebuah produk berupa sebuah model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan postmethod pedagogy.
Metode Pendekatan post-method pedagogy merupakan pendekatan pembelajaran yang berupa perangkat prinsip untuk menyelenggarakan pembelajaran yang lebih adil dan diharapkan lebih efektif dalam mengembangkan perilaku para pelajar. Pendekatan ini diharapkan dapat menjawab kompleksitas permasalahan kelas pada dasawarsa terakhir ini dan kelemahan metode-metode pengajaran bahasa Inggris. Model pembelajaran dengan pendekatan post-method pedagogy diharapkan menjadi solusi model pembelajaran inovatif dan kreatif. Penggunaan pendekatan post-method pedagogy ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa dan kualitas proses belajar
Tahapan Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dalam dua tahap penelitian yaitu: 1. Tahun pertama dilakukan dengan metode survey dan kualitatif. Pada tahap ini akan dilakukan pengumpulan informasi mengenai karakteristik mahasiswa terkait dengan PBM bahasa Inggris. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data empirik yang faktual dan up to date
213
menyangkut kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam memahami mata kuliah bahasa Inggris di STSI Bandung. Data empirik yang diperoleh ini selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk merancang model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan post-method pedagogy. Rancangan model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan post-method pedagogy merupakan luaran dari kegiatan penelitian tahap 1 yang akan diujicobakan kepada mahasiswa STSI Bandung dalam mata kuliah bahasa Inggris pada tahap 2. 2. Tahap kedua (Tahun ke-2) dilakukan dengan dengan metode eksperimen. Pada tahap ini akan dilakukan uji coba terhadap model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan postmethod pedagogy sebagai hasil penelitian tahap 1. Rancangan model hasil penelitian tahap 1 ini masih bersifat hipotetik karena efektifitasnya belum terbukti. Pembuktian efektifitasnya akan dilakukan melalui metode eksperimen. Metode penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh treatment (perlakuan) tertentu (Sugiyono, 2011:11).
pengaruh tindakan itu bila dibandingkan dengan tindakan lain. Berdasarkan hal tersebut maka uji coba akan dilakukan terhadap 2 kelompok mahasiswa. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok eksperimen akan menggunakan model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan post-method pedagogy, sedangkan kelompok kedua disebut sebagai kelompok kontrol tetap menggunakan model pembelajaran bahasa Inggris lama (TCL). Jumlah mahasiswa pada kedua kelompok sama besar. Kedua kelompok tersebut selanjutnya akan diberi pretest untuk mengetahui posisi awal kedua kelompok tersebut terhadap kecepatan pemahaman, kreativitas dan hasil belajar bahasa Inggris. Setelah tidak terdapat perbedaan yang signifikan, uji coba dapat dilakukan dalam kurun waktu yang sudah ditetapkan (1 semester). Indikator penggunaan model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan post-method pedagogy adalah kecepatan pemahaman mahasiswa lebih tinggi, mahasiswa bertambah kreatif dan hasil belajar meningkat. Luaran penelitian tahap 2 ini yaitu bahan ajar bahasa Inggris berbasis post method pedagogy.
Uji coba ini merealisasikan kegiatan pengajar dalam membandingkan dua model pembelajaran terhadap hasil belajar. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh suatu perlakuan/ tindakan pendidikan terhadap tingkah laku mahasiswa atau menguji hipotesis tentang ada atau tidaknya
Rancangan Eksperimen Rancangan eksperimen adalah suatu rancangan percobaan dengan setiap langkah tindakan yang terdefinisikan, sehingga informasi yang berhubungan dengan atau diperlukan untuk persoalan yang akan diteliti dapat dikumpulkan
214
dengan pendekatan post-method pedagogy dibandingkan dengan model teacher-centered learning (TCL).
secara faktual. Rancangan eksperimen ini merupakan langkah-langkah lengkap yang perlu diambil jauh sebelum eksperimen dilakukan agar data yang semestinya diperlukan dapat diperoleh sehingga akan membawa ke analisis obyektif dan kesimpulan yang berlaku dan tepat menjawab persoalan yang dibahas. Untuk meneliti pengaruh model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan post-method pedagogy terhadap pencapaian studi mahasiswa pada mata kuliah bahasa Inggris, berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan menjadi pedoman penelitian (Sukardi, 2004).
Perancangan Model Pembelajaran Post-Method Pedagogy Pada Mata Kuliah Bahasa Iggris di STSI Bandung Perancangan Model Pembelajaran PostMethod Pedagogy Pada Mata Kuliah Bahasa Inggris di STSI Bandung mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu: a. Karakteristik lingkungan kampus, meliputi: - Suasana kampus - Bidang ilmu - Kurikulum yang diadopsi - Fasilitas kampus - Potensi kampus b. Karakteristik Mahasiswa, meliputi: - Latar belakang sosial budaya - Minat belajar - Motivasi belajar - Gaya belajar - Sikap terhadap pelajaran bahasa Inggris - Konsep diri c. Peran dosen, dalam hal ini terkait kemampuannya menganalisa informasi yang didapat terkait karakteristik lingkungan kampus dan mahasiswa untuk: - Mendiagnosa kebutuhan - Menentukan tujuan pembelajaran - Mengadopsi, mengadaptasi, memilih, mengembangkan dan membuat bahan ajar yang sesuai - Menerapkan metode-metode tertentu dalam menyampaikan bahan ajar-bahan ajar tertentu - Mengintegrasikan pengetahuan dan teori yang diketahui untuk
a. Persoalan apa yang menjadi pusat perhatian peneliti sehingga harus melakukan penelitian dengan penelitian eksperimen? b. Bagaimana mempersiapkan kelompok eksperimen dan kontrol? c. Karakteristik metode pembelajaran yang akan dibandingkan? d. Variabel tergantung (dependent) apa yang menjadi pusat perhatian peneliti dan apa instrumen pengukurnya? e. Apa teori dasar yang harus dipersiapkan? f. Berapa lama eksperimen akan dilakukan? g. Metode analisis apa yang tepat digunakan? h. Bagaimana mengurangi kesesatan pada kedua kelompok? Desain eksperimen ini digunakan untuk menguji keampuhan suatu model pembelajaran dibandingkan dengan model lainnya, dalam hal ini model model pembelajaran bahasa Inggris
215
-
-
menciptakan suasana belajar yang kondusif Menentukan hal yang akan dievaluasi dan caranya Mengidentifikasi kesalahan umum yang sering terjadi atau berulang-ulang Merefleksikan apa yang telah dilakukan untuk merencanakan dan melakukan proses belajar mengajar selanjutnya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Mata kuliah bahasa Inggris untuk jenjang S-1 di STSI Bandung diselenggarakan selama 2 semester (Bahasa Inggris I dan II). Karakteristik Mahasiswa STSI Bandung Informasi mengenai karakteristik mahasiswa STSI Bandung diperoleh melalui: a) hasil penelitian-penelitian terdahulu; b) observasi; c) kuesioner, dan d) wawancara. a. Penelitian-penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian “Analisis Pencapaian Studi Mata Kuliah Bahasa Inggris (Studi Kasus Mahasiswa STSI Bandung)’ oleh Sundari (2009), rendahnya pencapaian studi bahasa Inggris mahasiswa STSI Bandung dilatarbelakangi oleh faktorfaktor berikut ini: 1) Mahasiswa STSI Bandung merupakan lulusan SMA, SMK, dan MAN dari dalam dan luar kota Bandung yang memiliki kompetensi bahasa Inggris beragam. Mayoritas kompetensi bahasa Inggris mahasiswa yang berasal dari SMK lebih rendah dibanding dengan mahasiswa yang berasal dari SMA; 2) Adanya rehat selama dua atau tiga tahun sebelum melanjutkan pendidikan menyebabkan kebuntuan dalam mengikuti PBM bahasa Inggris terlebih bila selama waktu tersebut, baahasa Inggris tidak pernah disentuh; 3) Rendahnya minat mayoritas mahasiswa ditambah dengan tidak adanya motivasi untuk menguasai bahasa Inggris memunculkan sikap apatis terhadap mata kuliah bahasa
Tahap Awal Perancangan Model Pembelajaran Post-Method Pedagogy Pada Mata Kuliah Bahasa Inggris di STSI Bandung Perancangan Model Pembelajaran PostMethod Pedagogy Pada Mata Kuliah Bahasa Inggris di STSI Bandung diawali dengan: a. Mengidentifikasi Karakteristik STSI Bandung. b. Mengidentifikasi Karakteristik Mahasiswa STSI Bandung c. Menentukan Peran Dosen Dalam Kegiatan Belajar Mengajar dengan pendekatan post-method pedagogy Karakteristik STSI Bandung Sebagai perguruan tinggi seni, STSI Bandung memiliki kurikulum khusus yang didasarkan pada kompetensi sarjana seni dengan rumpun mata kuliah: Mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), Mata kuliah Keahlian Berkarya (MKB), Mata kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan Mata kuliah Berkehidupan Bersama (MBB). Untuk mencapai kompetensi sarjana seni, terdapat tiga kategori Tugas Akhir mahasiswa, yaitu karya tulis, penciptaan, dan penyajian karya seni. Sejak tahun 2005 sampai sekarang, STSI Bandung menggunakan
216
Inggris; 4) Ketiadaan dukungan dari lingkungan pertemanan. Rendahnya minat dan motivasi serta sikap apatis mahasiswa membuat mereka lebih suka berteman dengan teman yang ”segolongan”. Perasaan malu dan rendah diri menyebabkan keengganan membuka diri pada teman-teman yang memliki kompetensi bahasa Inggris mahasiswa yang lebih baik; 5) Ketiadaan dukungan dari lingkungan orang tua. Rendahnya pendidikan dan kondisi ekonomi orang tua menyebabkan tidak adanya dukungan untuk menguasai bahasa Inggris dengan lebih baik. Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian studi kasus di STSI Bandung oleh Neneng Yanti, dkk. (2011), mahasiswa STSI Bandung pada umumnya memiliki karakteristik: a) cenderung lebih menyukai kuliah praktek daripada teori; b) mengalami kesulitan dalam membagi waktu antara belajar, menyelesaikan tugas dan latihan praktek karena padatnya aktivitas di luar kelas dengan jadwal latihan berkesenian; c) rendahnya motivasi mengikuti perkuliahan mata kuliah teori; d) memiliki tingkat ego yang tinggi sebagai implikasi kreativitas dalam berkesenian; e) cenderung lebih suka bereksplorasi dan bereksperimen.
Teacher-centered learning dan kelas B menggunakan pendekatan Studentcentered learning. Selama observasi, peneliti memantau dan mencatat apa yang terjadi di dalam kelas selama proses belajar mengajar terkait perilaku dan karakteristik mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan bahasa Inggris. Teacher centered learning (TCL) adalah pembelajaran yang terpusat kepada pengajar. Ciri yang paling menonjol dari pendekatan ini adalah informasi bersifat satu arah, yaitu transfer pengetahuan dari pengajar ke siswa. Sedangkan Student centered learning (SCL) merupakan pembelajaran yang terpusat pada siswa dan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator. Materi yang diberikan adalah paragraph study. Mahasiswa diminta untuk mengembangkan topic sentence menjadi sebuah paragraf. Paragraf tersebut lalu dikembangkan menjadi sebuah karangan narasi. Dari catatan observasi, pada kelas A, suasana kelas tampak lebih teratur karena sepenuhnya berada di bawah kendali pengajar. Namun bila pengajar tidak pandai menarik perhatian siswa, misalnya dengan cerita atau gurauan yang relevan dengan materi, perhatian siswa mudah teralihkan. Mahasiswa harus selalu disibukkan dengan materi yang diberikan, karena jika tidak, ia cenderung mencari kesibukan sendiri, misalnya membuat coretan di kertas catatannya atau meja. Sedangkan pada kelas B, suasana kelas lebih riuh karena siswa dituntut
b. Hasil observasi Observasi partisipatif dilakukan untuk satu unit materi (empat kali pertemuan) terhadap dua kelas (A dan B) yang mendapat perlakuan berbeda. Kelas A menggunakan pendekatan
217
berpartisipasi secara aktif dan bekerja berkelompok. Namun, bila tidak dipantau atau dituntun dengan baik, diskusi kelompok tidak memakai bahasa Inggris, melainkan bahasa Indonesia dan Sunda. Tanpa tuntunan secara detil, siswa diharapkan dapat menemukan sendiri bagaimana pengetahuan dibangun. Tetapi seringkali siswa mengalami kebingungan untuk waktu yang lama. Dari hasil observasi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan teacher centered learning (TCL) dan student centered learning (SCL) tidak seharusnya diperbandingkan, dimana pendekatan yang satu dianggap lebih unggul dari lainnya, melainkan menjadi dua pendekatan yang dapat dikombinasikan dan saling mengisi dalam pembelajaran. Dengan pendekatan TCL, dalam memberikan ceramah, pengajar tidak terlalu mendominasi sehingga cenderung membosankan, namun juga memberikan ruang bagi siswa untuk memilih dan memiliki otonomi dalam pembelajaran. Sebaliknya, dengan pendekatan SCL, pengajar tidak membiarkan siswa kebingungan atau kelas berada dalam kekacauan untuk waktu yang lama; pengajar harus tahu kapan harus turun tangan memberikan arahan dan arahan seperti apa yang memungkinkan siswa mencapai pemahaman dengan caranya sendiri.
kuesioner. Dari 193 responden, terkait asal daerah, 57.5% berasal dari Bandung, 42% dari luar Bandung tapi masih di pulau Jawa, 0.5% dari luar pulau Jawa. Berkenaan dengan jenjang mulai belajar bahasa Inggris, dari 193 responden, 3.1% mulai belajar bahasa Inggris sejak TK, 85.5% sejak SD, 9.8% mulai SMP dan 1.6% abstain. Terkait latar belakang pendidikan, dari 193 responden, 53.9% berasal dari SMA dan 46.1% dari SMK. Berhubungan dengan minat, dari 193 responden, 96.9% menunjukkan minat positif dan 3.1% abstain. Terkait konsep diri terhadap penguasaan pelajaran bahasa Inggris, dari 193 responden, 64.2% menganggap sulit dan 35.8 menganggap tidak sulit. Namun 92.7% responden memerlukan waktu lama (lebih dari satu kali penjelasan) untuk memahami pelajaran bahasa Inggris. Berkenaan dengan gaya belajar, dari 193 mahasiswa, 31.9% visual, 33.1% auditory, dan 33.5% kinestetik, sedangkan sisanya 1.5% abstain. Dari hasil kuesioner dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden berasal dari Bandung, mulai belajar bahasa Inggris sejak SD dan berasal dari SMA. Dari data tersebut, dapat diasumsikan bahwa mayoritas responden sudah memiliki dasar bahasa Inggris yang cukup untuk menerima materi bahasa Inggris tingkat yang lebih tinggi. Namun kenyataannya, sebagian besar mahasiswa tidak menguasai pengetahuan dasar dalam bahasa Inggris, seperti jenis kata dan tenses.
c. Hasil kuesioner Kuesioner diberikan kepada 200 sampel yang diambil secara acak dari tiga jurusan, namun hanya 193 responden yang mengembalikan
218
Bahkan, ada mahasiswa yang tidak mengetahui arti dan cara pengucapan beberapa kosa kata yang lazim digunakan dalam pelajaran bahasa Inggris di tingkat Sekolah Dasar, misalnya tell dan student (dibaca st^dent). Meskipun mayoritas responden menunjukkan minat positif terhadap bahasa Inggris, mayoritas responden juga menganggap sulit dan memerlukan waktu lama untuk menguasai bahasa Inggris. Sedangkan terkait gaya belajar, secara persentase tidak ada perbedaan signifikan antara gaya belajar visual, auditory maupun kinestetik.
belajar, dosen harus mampu membangkitkan motivasi dan memperbesar keyakinan mahasiswa untuk mampu menguasai bahasa Inggris. Dosen dapat mencari cara membangkitkan motivasi mahasiswa dengan menerapkan teori NLP (Neuro-Linguistic Programming). Pengambil keputusan Dalam hal ini dosen harus mampu mengkolaborasikan pengetahuan yang dimilikinya terkait pedagogi dan psikologi dalam menghadapi situasi nyata di kelas dan menentukan teknik atau pendekatan yang paling sesuai untuk diterapkan. b. Navigator Dosen menentukan arah pencapaian pembelajaran menuju kompetensi komunikatif. c. Fasilitator Dosen memfasilitasi mahasiswa untuk dapat menggali kemampuannya dalam berbahasa Inggris. d. Peneliti Dalam hal ini dosen memantau dan mencatat apa yang terjadi di dalam kelas selama proses belajar mengajar. Selanjutnya mengevaluasi dan merefleksikan apa yang telah dilakukan untuk merencanakan dan melakukan proses belajar mengajar selanjutnya.
d. Hasil wawancara Wawancara terkait konsep belajar bahasa Inggris di Perguruan Tinggi yang ideal, dilakukan kepada 50 partisipan dari kelas-kelas observasi (A&B). Mayoritas responden menginginkan proses pembelajaran dilakukan dalam suasana nyaman dan menyenangkan; penjelasan diberikan dengan sejelas-jelasnya; banyak praktek mendengar menonton, dan berbicara. Peran Dosen Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Dengan Pendekatan PostMethod Pedagogy Setelah mempertimbangkan karakteristik setting dan mahasiswa STSI Bandung, maka dosen dalam kegiatan belajar mengajar dengan pendekatan post-method pedagogy harus mampu berperan sebagai: a. Motivator Mengingat motivasi merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan
Tahapan Penerapan Post-Method Dalam Kegiatan Belajar Mengajar 1) Mengidentifikasi karakteristik tempat belajar siswa; 2) Mencari tahu latar belakang siswa terkait budaya, linguistik dan sosial ekonomi;
219
3)
4) 5) 6)
7)
8)
Mengidentifikasi karakteristik siswa meliputi minat, motivasi, sikap, dan gaya belajar; Menentukan peran dosen dalam KBM; Mengidentifikasi kebutuhan siswa; Mengadopsi, mengadaptasi, memilih, mengembangkan dan membuat bahan ajar bahasa Inggris yang sesuai; Menerapkan metode-metode tertentu dalam menyampaikan bahan ajar-bahan ajar tertentu berdasarkan latar belakang dan karakteristik siswa; dan Merefleksikan apa yang telah dilakukan untuk merencanakan dan melakukan proses belajar mengajar selanjutnya.
sesuai dengan gaya belajar dan kebutuhan siswa; DAFTAR PUSTAKA Alemi, M. & Daftarifard, P. 2010. Pedagogical Innovations in Language Teaching Methodologies. Journal of Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 6, pp. 765770, November 2010. Finland: Academy Publisher. Johnson, J. (2004). A philosophy of second language acquisition. New Haven: Yale University Press. Baharuddin. (2007). Psikologi Kependidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Brown, H.D. (2007). An Interactive Approach to Language Pedagogy: 3rd edition. Pearson Education ESL.
Langkah-langkah Penyusunan Bahan Ajar Mata Kuliah Bahasa Inggris Berbasis Post-Method Pedagogy 1) Mengidentifikasi kemampuan berbahasa Inggris siswa 2) Mengidentifikasi kesalahan umum yang sering atau berulang-ulang dilakukan siswa terkait bahasa Inggris 3) Mengidentifikasi masalah yang dirasakan siswa terkait pembelajaran bahasa Inggris 4) Mengidentifikasi karakteristik gaya belajar siswa 5) Menganalisa data dan mengidentifikasi kebutuhan siswa 6) Menyusun skala prioritas 7) Memilih bentuk bahan ajar 8) Mengadopsi, mengadaptasi, memilih, mengembangkan dan membuat isi bahan ajar bahasa Inggris yang
Crider, J. (2006). On Teaching Writing: A Handbook, 3rd printing. USA: Christian Light Publications, Inc. DePorter, B. & Hernacki, M. (1992). Quantum Learning: Unleashing the Genius In You. New York: Dell Publishing. DePorter, B. & Hernacki, M. (2013). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman & Menyenangkan. Bandung: Kaifa. Kumaravadivelu, B. (1994). The postmethod condition: Emerging strategies for second/foreign language teaching. TESOL Quarterly, 28(1), 27–48.
220
Kumaravadivelu, B. (2001). Toward a postmethod pedagogy. TESOL Quarterly, 35(4), 537-560.
Belajar dan Dampaknya terhadap Prestasi Belajar Siswa Kompetensi Keahlian Audio Video SMK Muh. Kutowinangun Kebumen. http://eprints.uny.ac.id/9632/1/Jurna l_Muh_Akbar_Ridho_05502241022 _Dr_Putu_Sudira.pdf Rogers, T. (2000). Methodology in The New Milennium. English teaching Forum Online, 28(2). http://exchanges.state.gov/englishte aching/forum/archives.html (accessed 21/11/2012).
Kumaravadivelu, B. (2003). A postmethod perspective on English language teaching, World Englishes, 22(4), 539-550. Kumaravadivelu, B. (2006). Understanding language teaching: From method to postmethod. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Rusman. (2012). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Kweldju, Siusana. (2002). Pengajaran Bahasa Inggris Berbasis Leksikon: Sebuah Alternatif yang Tepat untuk Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kosa Kata. Disampaikan pada Sidang terbuka Senat Universitas Negeri Malang, 3 Oktober 2002.
Snow, A. M. & Kamhi-Stein, L. (2006). Developing a New Course for Adult Learners. Maryland USA: TESOL, Inc. Subyakto, Sri Utari N. (1988). Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti P2LPTK.
Ningrum, B. N. (2013). Pengaruh Lingkungan Belajar & Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Ekonomi Siswa Kelas XI di MAN Keboan Tahun Pelajaran 2012-2-13. Partono & Minarni, Tri. (2006). Pengaruh Disiplin & Lingkungan Belajar terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Ekonomi. http://journal.unnes.ac.id/nju/index. php/DP/article/download/474/434 (accessed 5/5/2014)
Suherdi, Didi. (2004). Efektivitas Model Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Berbasis Interaksi Afeksionat (MAKBIA) Dalam Meningkatkan Mutu Hasil Belajar Bahasa Indonesia: Sebuah Studi Eksperimental Kuasi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SLTP KORPRI Unit Universitas Pendidikan Indonesia. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Pdy, Totok. (2013). Buku Saku NLP. Yogyakarta: Pohon Cahaya. Prabhu, N. S. (1990). There is no best method—why? TESOL Quarterly, 24(2), 161-176. Ridho, M.A. Lingkungan
(2012). Pengaruh terhadap Motivasi
221
RE-EDUKASI TUBUH DALAM PENCIPTAAN TARI DI SANGGAR BITARIA Ria Dewi Fajariaˡ, Lia Amelia² Program Studi Seni Tari, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung
Abstrak Bahan ajar tari bagi pendidikan anak khususnya di lingkup pendidikan non formal secara umum bahan ajarnya dari materi yang telah ada dalam hal ini karya orang lain, dan tari tradisi, jarang sekali dari karya sendiri. Salah satu penggiat pendidikan seni tari yang terbilang kreatif menciptakan tari anak-anak yang khusus untuk bahan ajar, yaitu Irwan Fitriawan dan Budiman Hidayat Somantri dari Sanggar Bitaria. Karya dari kedua kreator dan penggiat pendidikan seni tari bagi anak ini, esensi dasar tariannya ruang bermain dan ruang berekspresi bagi anak. Menampilkan kepolosan, keluguan, serta kental nuansa bermainnya, tidak memasung ruang bermainnya, keceriannya, kesenangannya. Karya tarinya dapat mengedukasi anak, serta memberikan ruang bermain baru bagi anak. Berdasarkan uraian tersebut, fokus permasalahannya yaitu bagaimana proses kreatif dua kreator sanggar Bitaria dalam mencipta tari anak-anak? Bagaimana bentuk, teknik dan isi tari anakanak tersebut? Bagaimana perbedaan gaya tari anak-anak dari dua kreator tersebut? Bagaimana simbol dan makna tari anak-anak tersebut? Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap proses reedukasi tubuh dalam penciptaan tari anak-anak karya Irwan Fitriawan dan Budiman Hidayat Somantri sebagai materi ajar di sanggar Bitaria, yang wujud ungkapnya termotivasi oleh faktor internal dan eksternal kehidupannya dan secara empiris dikondisikan oleh adanya nilai-nilai budaya setempat. Dilihat dari sifatnya dan dari permasalahan yang ada dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif yang akan diuraikan secara deskriptif. Teknik pengumpulan data, dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Pendekatan penelitian digunakan konsep komposisi dan kreativitas. Hasil kajian menunjukkan, reedukasi tubuh dalam penciptaan tari anak-anak karya Irwan Fitriawan dan Budiman Hidayat Somantri dapat dikatakan sebagai kristalisasi proses ketubuhannya, yang beranjak dari budaya lokal yaitu berbagai pengalaman masa lalunya. Kata Kunci : Reedukasi tubuh, proses kreatif, tari anak-anak.
PENDAHULUAN
anak yang khusus untuk bahan ajar, yaitu Irwan Fitriawan dan Budiman Hidayat Somantri dari Sanggar Bitaria. Karya dari kedua kreator dan penggiat pendidikan seni tari bagi anak ini, esensi dasar tariannya ruang bermain dan ruang berekspresi bagi anak. Menampilkan kepolosan, keluguan, serta kental nuansa bermainnya, tidak memasung ruang bermainnya, keceriannya,
Bahan ajar tari bagi pendidikan anak khususnya di lingkup pendidikan non formal secara umum bahan ajarnya dari materi yang telah ada dalam hal ini karya orang lain, dan tari tradisi, jarang sekali dari karya sendiri. Salah satu penggiat pendidikan seni tari yang terbilang kreatif menciptakan tari anak-
222
kesenangannya. Karya tarinya dapat mengedukasi anak, serta memberikan ruang bermain baru bagi anak. Berdasarkan uraian tersebut, fokus permasalahannya yaitu bagaimana proses kreatif dua kreator sanggar Bitaria dalam mencipta tari anak-anak? Bagaimana bentuk, teknik dan isi tari anak-anak tersebut? Bagaimana perbedaan gaya tari anak-anak dari dua kreator tersebut? Bagaimana simbol dan makna tari anakanak tersebut? Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap proses reedukasi tubuh dalam penciptaan tari anak-anak karya Irwan Fitriawan dan Budiman Hidayat Somantri sebagai materi ajar di sanggar Bitaria, yang wujud ungkapnya termotivasi oleh faktor internal dan eksternal kehidupannya dan secara empiris dikondisikan oleh adanya nilainilai budaya setempat. Dilihat dari sifatnya dan dari permasalahan yang ada dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif yang akan diuraikan secara deskriptif. Teknik pengumpulan data, dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Pendekatan penelitian digunakan konsep komposisi dan kreativitas.
Indonesia dijelaskan, “re-edukasi” artinya pendidikan ulang. Sementara “Tubuh” artinya keseluruhan jasad manusia atau binatang yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut. Berdasarkan pengertian reedukasi tubuh dalam penciptaan tari yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan ulang melalui bahasa tubuh. Karya Irwan yaitu tari Sarung, tari Nyiru dan tari Blekok. isi tariannya: 1. Tari Sarung (1997), menggambarkan kecerian anak laki-laki dalam paduan gerak tari yang dinamis dan ceria; 2. Tari Nyiru (1997), menggambarkan kegembiraan petani kaum perempuan setelah panen raya, berkenaan dengan hasil panen yang melimpah; 3. Tari Blekok (2003), menggambarkan keindahan, keanggunan, keelokan, dan kedamaian burung Blekok, tatkala bercengkrama di petakan sawah. Sementara karya Budiman yaitu tari Kijang dan tari Glatik, isi tariannya: 1. Tari Kijang (2003), menggambarkan keindahan dan kelincahan gerak loncat dan bermain tanduk seekor Kijang, yang bermain dan bercengkrama di taman; 2. Tari Glatik (2010), menggambarkan kelincahan, keceriaan burung Glatik untuk memperoleh kebebasan di alam yang permai.
PEMBAHASAN Re-Edukasi Tubuh Dalam Karya Irwan dan Budiman Penelitian berjudul “Re-Edukasi Tubuh Dalam Penciptaan Tari Di Sanggar Bitaria”, perlu dijelaskan beberapa pengertian terkait dengan penelitian ini agar tidak terjadi salah penafsiran. Dalam Kamus Besar Bahasa
Mencermati karya Irwan, nampak erat kaitannya dengan pengalaman hidupnya. Irwan yang dilahirkan di alam pedesaan, tentu tidak asing dengan nyiru sebagai alat menapi, burung blekok yang terdapat di petakan sawah, dan bermain
223
sarung. Demikian halnya dengan karya Budiman, nampak lekat dengan dunia binatang, namun pilihan namanya tidak membumi karena Kijang dan burung Glatik tidak akrab dengan anak-anak pedesaan. Kijang dan burung Glatik hanya ada di dalam sangkar dan kandang milik orang-orang bertempat tinggal di kota, yang memiliki hobby memelihara binatang maupun dapat dilihat di kebun binatang. Hal ini dapat dipahami dari sisi kehidupan Budiman yang terlahir di lingkungan perkotaan, melihat Kijang dan burung Glatik biasanya terkurung di dalam kandang atau sangkar. Kedua kreator sanggar Bitaria ini dalam menggarap tarinya dilakukan dengan penjajagan ide atau gagasan dari rangsang idesional tentang berbagai pengalaman masa lalunya, yang terdiri dari lima obyek atau fenomena: bermain sarung semasa kanak-kanak ketika hendak pergi ke surau untuk mengaji; aktivitas petani perempuan setelah masa panen raya; burung Blekok yang berada di petakan sawah sekitar rumahnya; dan dua ekor binatang Kijang dan burung Glatik yang masing-masing dikenalnya ketika pergi ke kebun binatang atau taman satwa dan ketika sedang bersilaturahmi ke rumah neneknya di desa. Idiom geraknya digarap berdasarkan tema-tema gerak, melalui stilisasi dan distorsi gerak. Penamaan atau istilah gerak tarinya, dipilihkan namanya yang sangat familier sebagai bahasa keseharian masyarakat Sunda, sehingga dapat dibaca sebagai teknik gerak yang memberi arahan bergerak dalam ruang dan waktu, menjelaskan isi tarian, dan penjelasan struktur dramatiknya sebagai rangkaian
kejadian yang dimulai dari pemulaan, perkembangan, klimaks dan penyelesaian. Pemberian istilah gerak ini dapat dikatakan sebagai bentuk kejelian Irwan dan Budiman yang mampu memberi kepraktisan dalam kepentingan proses belajar menari bagi muridmuridnya, dapat dengan mudah mengingat istilah geraknya maupun mengaplikasikan ke dalam kepenariannya. Pengertian gaya selalu melekat pada sebuah tarian. Gaya gerak tari dari kedua kreator ini memiliki perbedaan sebagai local colour dan local genius. 1. Karya Irwan memiliki ornament bentuk gerak hasil stilisasi dan distorsi cukup sederhana, baik secara garis lintasan maupun bentuk akhirnya. Dinamika gerak digarap dalam kecepatan yang tidak lambat, namun mampu membangkitkan semangat dalam proses belajar mengajar bagi murid-muridnya. Idiom geraknya merupakan pengejawantahan dari peristiwa kehidupan sosial budaya masyarakat pedesaan, yang mudah dipahami murid-muridnya dalam memahami bentuk, teknik dan isi tarian. Hasilnya, karya Irwan merupakan keindahan khas alam pedesaan yang dibangun dari medium ketubuhannya dimana dirinya dilahirkan. Di sisi lain merupakan cerminan pembawaan pribadinya yang mudah bergaul, pandai bertutur kata, peka terhadap lingkungannya, serta cepat tanggap dalam menangani segala hal. 2. Karya Budiman sangat bertolak belakang dengan karya Irwan, ornament bentuk gerak dari hasil
224
stilisasi dan distorsi sangat mementingkan detail gerak hingga bentuk akhirnya. Dinamika gerak tarinya dibangun dalam kecepatan yang tidak sesaat namun ada pengendapan sehingga memberi peluang sebagai koreografi yang dapat dinikmati penonton. Bentuk koreografi dengan dinamika seperti itu, secara tidak langsung bagi muridmuridnya mengarahkan untuk memaknai pentingnya belajar teknik dalam menari, selain memahami bentuk dan isi tarian. Dari sisi idiom geraknya, sangat variatif sekalipun hanya pengejawantahan dari perilaku binatang yang terkurung dalam kandang dan sangkar. Hasilnya, karya Budiman merupakan keindahan khas masyarakat perkotaan yang dibangun dari medium ketubuhannya dimana dirinya dilahirkan, dan merupakan cerminan pembawaan pribadinya sebagai seorang idealis yang penuh pertimbangan dalam setiap langkahnya.
pedesaan dan fauna alam pertanian. Ini mengandung makna, yang berbicara tentang perlu dijaganya kearifan lokal, semangat beribadah (bertahan dan bertuhan), serta terjaga kelangsungan kehidupan fauna. 2. Tari Kijang dan tari Glatik karya Budiman, secara umum simbolnya hanya mengungkap keindahan fisik fauna, namun maknanya berbicara tentang pentingnya arti dari suatu identitas diri sebagai ciri khas yang membedakan dengan yang lain. PENUTUP Bahan ajar tari anak karya Irwan Fitriawan, S.Pd dan Budiman Hidayat, S.Pd pelatih, pembina, pengelola sanggar Bitaria di Rajamandala, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, merupakan karya tari yang terwujud dari reedukasi tubuh, yang sumber karyanya digali dari ranah kearifan lokal. Lewat tubuh berbagai macam masalah dan pengalaman hidup dapat dipahami, karena medium atau bahan baku tari berupa gerakan-gerakan tubuh. Oleh karena itu tubuh oleh kedua kreator ini bukan sebatas fisik manusia, tubuh berbicara tentang simbol dan makna. Tubuh sebagai alat untuk membaca kehidupan, tubuh sebagai alat untuk memahami arti kehidupan.
Sebagaimana diketahui secara umum, pada dasarnya tari sebagai sistem simbol merupakan subyektivitas seniman dan wahana konsepsinya tentang sesuatu pesan untuk diresapkan. Sehubungan dengan itu, bentuk koreografi tari Sarung, tari Nyiru, tari Blekok, tari Kijang dan tari Glatik secara estetik telah memberikan sudut visual yang menarik untuk dilihat, namun dibalik itu terdapat maknanya yang dalam. 1. Tari Sarung, tari Nyiru dan tari Blekok karya Irwan, secara umum simbolnya mencerminkan alam agraris pedesaan, religius orang
225
DONGENG ANAK-ANAK SEBAGAI MEDIA ENKULTURASI ALTERNATIF: SEBUAH BASIS PEMBANGUNAN MENTAL KARAKTER BUDAYA DAN PERADABAN BANGSA Imam Setyobudi Dosen MKDU Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung
Abstrak Kosentrasi belajar siswa-siswi lembaga pendidikan LD Intersolution Satisfaction for Better Solution kurang akibat terinterupsi oleh aktivitas bermedia sosial dan game on line lewat bentuk-bentuk benda produk teknologi canggih informasi digital. Dampak penggunaan media sosial dan game on line ternyata tidak sepenuhnya positif, melainkan negatif pula, beberapa di antaranya penurunan IQ dan EQ. Dampak lain, perenggangan otot-otot di sekitar pupil mata, glukoma, dan sudah ada dua kasus. Dampak negatif lainnya, berkenaan dengan enkulturasi yang memuat nilai-nilai, terutama game on line yang berupa pertarungan dan pertempuran, yakni judi terselubung, kurangnya empati, dan bullying. Bentuk-bentuk media teknologi informasi canggih menawarkan beragam imajinasi digital (cyber world) dan kemampuan interaksi tanpa terbatas, yang pada prinsipnya, sebuah sarana enkulturasi pula yang muatan nilai-nilainya sulit dikontrol. Tanpa kendali. Peneliti mengajukan upaya memperkenalkan kembali dongeng anak-anak dengan pendekatan antropologi pendidikan sebagai upaya mengetahui kenapa anak-anak sangat gemar bermanuver di dunia maya ketimbang membaca dongeng anak-anak; dan bagaimana mendorong anak-anak mengetahui apa saja dampak negatifnya akibat kegemaran memakai benda-benda mutakhir teknologi informasi canggih digital. Keywords: enculturation, Tales Children, Education Anthropology
sex, berkembang biak, dan lain-lain) maupun non-alamiah (pendidikan, politik, berteman, ekonomi, kesenian), dengan kata lain, manusia adalah makhluk biologis dan non-biologis. Perlu jadi catatan, bahwa pembedaan di atas, antara tindakan manusia sebagai makhluk individu atau kolektif, dimensi alamiah atau non-alamiah, fisik atau nonfisik, dan biologis atau non-biologis, sebetulnya bukan suatu hal yang tegas, akan tetapi kabur dan samar. Manusia melaksanakan segala aktivitas dan
PENDAHULUAN Antropologi adalah suatu bidang ilmu pengetahuan yang terakumulasi atas sejumlah kajian maupun studi-studi tentang manusia yang mencakup pengertian fisik maupun non-fisik – yang bersifat abstrak (idea/gagasan), seperti religiusitas, spiritualitas, filosofis, metafisika, seni. Manusia itu sendiri melakukan segala aktivitas dan tindakan sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk kolektif, baik yang bersifat alamiah (makan, minum, tidur,
226
tindakan budaya itu melalui tubuh – ketubuhannya. Tanpa tubuh, manusia bukan pengertian fisik bahkan non-fisik, karena ini perkara manusia di dunia dalam hidup keseharian. Pembatasan di atas sekadar kepentingan pengkajian keilmupengetahuan. Contoh, manusia sebagai makhluk individu sekaligus kolektif, kedua hal ini saling melekat satu dan yang lain, dalam ritme dinamika hidup sehari-hari, manusia adalah multidimensional dan interdimensional. Oleh karena itu, Snijders (2004: 15) menerangkan manusia adalah makhluk paradoksal. Pemahaman atas istilah paradoks bukan sama pengertian dengan kontradiksi atau sesuatu yang saling bertentangan. Paradoks mengandung bersamaan dua kebenaran yang bertentangan. Kebenaran suatu paradoks terletak dalam kemanunggalan atas kedua kebenaran yang bertentangan itu. Lain halnya dengan yang disebut kontradiksi, kalau yang satu benar, yang lain harus salah atau keliru. .., paradoks selalu berhubungan dengan kekhasan (keunikan) dan kekhususan atas kedudukan manusia di atas dunia. Manusia termasuk dalam dunia alam sekaligus bertransendens terhadapnya. Manusia sekaligus terdiri atas alam bawah sadar dan kesadaran. Manusia mampu berpikir rasional, namun juga irasional. Manusia hidup bebas sekaligus terpenjara, otonom dan bergantung, terbatas dan tak terbatas, makhluk individu sekaligus kolektif, rohaniah dan jasmaniah, fana dan baka. Dengan demikian, problem studi antropologi sungguh kompleks, rumit,
luas yang seolah tanpa batas, tiada teratur, simpang-siur, tumpang-tindih, dan tanpa teori inti yang kokoh disepakati bersama untuk secara luas meniscayakan prediksi-prediksi meluas dan tepat. Pendidikan adalah satu hal khusus dalam konteks bidang antropologi. Dua kata kunci ‘antropologi pendidikan’ meletakkan suatu pengertian tentang bidang disiplin keilmuan antropologi yang secara khusus mempelajari pendidikan. Kenapa pendidikan? Kneller (1989) menerangkan pendidikan itu setiap proses yang membentuk pikiran, karakter, dan mental berlangsung seumur hidup karena setiap individu mempelajari cara berpikir dan bertindak yang baru setiap ada perubahan-perubahan besar selama jenjang kehidupannya sepanjang hayat. Pendidikan adalah penanaman pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada setiap generasi memakai pranatapranata seperti sekolah-sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut. Namun juga, pranata informal, yakni pendidikan yang berlangsung dalam household (rumah-tangga) melalui keluarga inti (batih; nuclear family). Antropologi mengenal konsep enkulturasi yang tercakup pendidikan dalam arti umum ini, bisa formal dan informal. Secara umum, antropologi mengenal konsep enkulturasi yang tercakup pendidikan dalam arti umum ini. Enkulturasi itu pembudayaan, sebuah proses yang dilalui atau dijalani seorang individu untuk mempelajari serta menyesuaikan alam pikiran dan sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan
227
peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan di mana individu bersangkutan tinggal serta menetap selama hidupnya (Koentjaraningrat, 1990: 233). Kottak menyebut the social process by which culture is learned and transmitted across the generations (2006). Enkulturasi bisa terjadi dalam lingkungan keluarga, kerabat, tempat tinggal di antara tetangga, sekolah, kantor, tempat ibadah, club, media massa, partai politik, buku-buku, jurnal, majalah, sanggar, novel, puisi, dongeng, dan sebagainya. Dongeng anak-anak tergolong media enkulturasi, akan tetapi dewasa ini, kebiasaan mendongeng orang-tua kepada anak-anaknya berkurang, akibat orang-orang dewasa condong bekerja cari nafkah, atau asyik menekuni facebook, game on line, twitter, dan media sosial lainnya. Sebuah sarana enkulturasi mutakhir. Apa keliru? Tentu tidak. Perkaranya, hal itu mengurangi intensitas waktu interaksi dengan anakanak. Kenapa dongeng anak-anak tergolong enkulturasi yang sarat positifnya? Dongeng Kancil mencuri Timun membudayakan nilai perbuatan mencuri buruk. Jika nilai-nilai ini ditarik ke masa kini, maka perbuatan mencuri adalah korupsi, hanya beda modus operandi, skala, dan volume. Korupsi setingkat perampokan dalam kapasitas volume, namun beda tingkat dampak atau ekses. Justru korupsi jauh melampaui dampaknya akibat perampokan. Korban korupsi sebuah kejatuhan serta kemerosotan peradaban dan kebudayaan yang menyengsarakan terutama golongan
kelas menengah-bawah yang berada di luar area operasi itu sendiri. Korban perampokan sebatas pada yang kena dampak langsung atas perbuatan itu yang biasanya kelas atas. Dongeng Kura-kura dan Kelinci membudayakan nilai tentang: (1) rendah hati atau tawadhu; (2) rasa sombong dan congkak bukan nilai positif; (3) kecerdasan mengalahkan kesombongan. Dongeng Buaya dan Kancil atau Gajah dan Semut mengajarkan nilai-nilai: (1) keberanian menundukkan yang lebih kuasa melalui kecerdasan; (2) keberanian melawan kekuasaan yang pongah. Dongeng anakanak tergolong sarana enkulturasi. Sekilas kembali ke permasalahan konkret yang muncul di kasus ini, kosentrasi belajar kurang akibat asyik larut dalam dunia digital sehingga mengurangi minat belajar dan perhatian terhadap pelajaran. Peran orang-tua mengajar anak-anaknya sedikit dialihperankan kepada pihak kedua, lembaga kursus pendidikan di luar sekolah, berupa kursus bimbingan belajar. Problem ini tidak tuntas dan selesai, ketika kebiasaan dan minat anak-anak lebih tercurah pada bentuk-bentuk teknologi informasi canggih – dunia digital. Jadi, prestasi anak-anak pun tetap sama. Orang-tua complain, akan tetapi orang-tua tanpa kontrol membiarkan anak-anaknya tetap asyik larut dalam dunia digital. Media enkulturasi mutakhir sangat beragam tiada batas. Nilai-nilai tanpa seleksi beredar seliweran lewat berbagai media. Game on line dapat diakses kapan pun di mana pun serta merangsang
228
karakter agresivitas minus empati19. Dampak yang timbul bukan semata-mata prestasi belajar rendah, melainkan pula dampak karakter anak-anak yang terdorong ke pembentukan budaya bullying. Ketika kecil berbentuk fisik – menjontos, mengeroyok, memalak, ngerjain, ngledek. Ketika dewasa berwujud lain, seperti pihak yang powerfull kepada pihak yang powerless, penyalahgunaan kuasa jabatan untuk menjatuhkan pihak yang lain, yang tidak disuka atau dibenci, karena sesuatu hal. Orientasinya mempertontonkan kepemilikan power – kuasa. Seperti kisah gajah dan buaya dalam dongeng anak-anak.
penciptaan dongeng anak-anak yang baru.21 Hanya segelintir pendongeng dan pengarang yang berminat tekun mengarang dongeng anak-anak. Penerbit Indonesia Tera sempat berupaya merekrut pendongeng-pendongeng anakanak menulis dongeng anak-anak, namun upaya ini belum kentara hasilnya akibat minim peminat jika dibandingkan kebutuhannya sesuai jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 230 juta. Dengan demikian, anak-anak generasi kini sudah tiada kenal beberapa contoh dongeng di atas. Mereka asyik serta larut ke dalam dunia imajinasi digital mengikuti jejak orang-orang dewasa di sekitarnya yang getol bermanuver di cyberworld. Budaya Indonesia melompat dari budaya lisan ke budaya visual tanpa (melalui) pematangan terlebih dahulu budaya tulis dan budaya baca. Dongeng anak-anak, selain media enkulturasi, adalah pondasi untuk membangun budaya tulis dan budaya baca. Dongeng anak-anak dapat sebagai mata kunci pembuka pintu pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Akibat ketiadaan pondasi budaya tulis dan budaya baca, maka indeks intelektual dan akademi Indonesia melorot berada di urutan bawah, bahkan termasuk paling bawah bersama Kamboja, masih di bawah Vietnam
PEMBAHASAN Dongeng anak-anak, bukan saja dikenal di Indonesia, melainkan di belahan dunia lain juga. Dongeng anakanak tergolong unsur kebudayaan.20 Orang-orang Eropa mengenal dongeng anak-anak. Perbedaannya, di Indonesia belum terlalu lengkap dituliskan dan dikoleksi (didata) secara baik, dan belum dikembangkan lebih lanjut dengan 19
Dua buah stasiun televise swasta (RCTI dan SCTV) pernah mengangkat berita hasil penelitian sebuah universitas di Amerika Serikat terkait hal ini, dan kedua stasiun ini secara kebetulan membikin laporan khusus beserta wawancara anak-anak pengguna aktif game on line, seorang di antaranya anak seorang artis vokalis sebuah kelompok band papan atas nasional. 20 Koentjaraningrat mengutip Kluckhon mengemukakan adanya tujuh unsur kebudayaan, yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian (1990: 203-204). Urut-urutan ini tidak dapat dibolak-balik karena bahasa itu unsur paling universal sekaligus bahasa itulah yang membedakan antara manusia dengan binatang dan hewan. Bahasa bukan dalam pengertian sebagai media komunikasi belaka, melainkan bahasa sebagai dunia simbol yang mencakup sistem simbol. Unsur-unsur kebudayaan bukan sekadar tujuh unsur itu, akan tetapi banyak unsur.
21
Perbedaan lain antara produk kreatif dongeng anakanak lokal dan dunia. Dongeng anak-anak lokal menawarkan jalinan cerita yang ringkas dan padat sarat penanaman nilai-nilai kebaikan dan kebajikan. Dongeng anak-anak lokal mandeg tidak berkembang. Jadi, jumlah dongeng anak-anak lokal terbatas hanya yang lama yang ada. Dongeng anak-anak produk kreatif Eropa jalinan cerita lumayan panjang dan terus dibikin tanpa henti serta tetap sarat menawarkan penanaman nilai-nilai kebaikan dan kebajikan, namun juga memuat kompleksitas persoalan hidup yang ada, kerap kali metaforanya estetis.
229
untuk di kawasan Asia Tenggara. Awalawal Orde Baru, pada tahun 1970-an, Indonesia masih di atas Malaysia dan Vietnam, terlebih Brunei Darrussalam dan Kamboja. Situasi dan kondisi selama 32 tahun sudah terbalik, Malaysia di atas Indonesia. Kenapa demikian? Orde Baru bukan mengembangkan budaya tulis dan budaya baca, melainkan pemberangusan lewat pelarangan-pelarangan buku-buku yang dianggap atau dilabelkan ‘komunis’ dan ‘SARA’. Orde Baru menekankan pembangunan ekonomi dan teknologi, akan tetapi mengabaikan dan melupakan pembangunan mental budaya manusia. Pembangunan mental budaya manusia bukan bicara manusia dewasa belaka, justru proses sejak manusia dilahirkan di muka bumi. Dampak teknologi informasi dan digital, sesuai pemberitaan televisi terhadap hasil-hasil penelitian di Amerika Serikat, penurunan IQ dan EQ, dan bahkan, dalam beberapa kasus penyebab glukoma, contoh keponakan pelaksana yang masih bisa diobati di RSU Mata ‘dr. Yap’ Yogyakarta dan ada kasus anak seorang dosen UGM sudah parah mesti berobat ke Australia. Perkenalan kembali pada dongeng anak-anak kepada anak-anak tingkat sekolah dasar (1-6) dan menengah pertama (7-9) menawarkan alternatif kesenangan lain. Rencana awal ada pelatihan menulis, namun demikian sejumlah kendala sangat sulit terlaksana akibat belum muncul motivasi kuat pada diri setiap anak keinginan menulis. Jadi, pelaksana sebatas mensosialisasikan dampak buruk media sosial dan mengenalkan nilai-nilai positif beberapa dongeng anak-anak.
Media sosial berikut bentuk-bentuk media digital lainnya memang menawarkan pertualangan cyber-world. Imajinasi tanpa batas tepi. Implikasinya nilai-nilai tiada kontrol. Kemajuan teknologi informasi seiring kemajuan cyber-crime. Nilai-nilai kritis dan bertanya lenyap. Dongeng Buaya dan Kancil serta Gajah dan Semut menawarkan penanaman nilai-nilai kecerdasan intelektual, sikap kritis, mempertanyakan segala hal, dan menggugat segala yang sok kuasa. Ketika, pondasi-pondasi daya nalar tiada, tanpa sikap kritis, budaya baca dan budaya tulis absen, maka yang terjadi penggunaan yang membabi-buta tanpa tanggung-jawab. Dongeng anak-anak lokal maupun dunia (Cinderella, Snow Princess, Frozen, Sleep Princess, Robin Hood, Zorro) tergolong dalam produk-produk kreatif dan creative culture yang dominan mengandung asas manfaat. Dongeng anak-anak masuk ke domain creative culture, sewaktu diterbitkan secara massa dalam bentuk buku. Produk massa. Namun, persoalannya di Indonesia yang tingkat melek buku dan melek tulisnya masih sangat rendah, maka produk massa dari industri kreatif mengenai penerbitan buku-buku dongeng anak-anak sangat kurang profitable. Bukan tipe produk massa yang menjanjikan keuntungan besar seperti produk-produk industri kreatif lainnya, semisal fashion. Situasi ini berbanding terbalik di Korea Selatan, Cina, Jepang, Eropa, dan USA. Pendongeng-pendongeng yang sangat sedikit jumlahnya, hanya seegelintir orang pelaku, peminat sedikit,
230
penggemar terbatas, adalah pelakupelaku kreatif. Pelaksana PkM memperoleh informasi data tentang tata kelakuan peserta siswa-siswinya yang ikut kursus pendidikan luar sekolah (tambahan) untuk menunjang peringkat prestasi di sekolah yang rata-rata nilainya cukup dan kurang akibat kegemaran bermedia sosial ria. Mereka keranjingan game on line. Kenapa mereka asyik dan gemar? Kedua orang-tuanya dan orang-orang dewasa di lingkungan sekitarnya melakukan hal sama. Apakah mereka telah mendengar informasi dampak negatifnya lewat berita televisi atau diberitahu orang-orang dewasa di lingkungan sekitar tempat tinggalnya? Tidak pernah sehingga belum tahu apa dampak negatifnya. Apakah mereka meluangkan waktu untuk melihat berita televisi atau membaca berita koran? Tidak pernah. Tidak suka. Apa program mata acara televisi yang sering ditonton? Info hiburan dan selebriti, kuis, ajang kompetisi nyanyi, film, sinetron. Inilah beberapa contoh media enkulturasi yang menjadi kegemaran anak-anak, selain daripada game on line, twitter, facebook, dan play station. Apa dampak jenis-jenis media enkulturasi yang berbasis digital? Tata kelakuan anak-anak yang gemar bermain game on line maupun play station ada kecenderungan: (1) Pemboros dan konsumtif; (2) Malas belajar dan malas membaca; (3) Tak punya motivasi pada kegiatan positif lainnya; (4) Agresif dan temperamental; (5) Penyendiri, pengkhayal, dan kurang mampu sosialisasi; (6) Egoistis; (7) Depresi ringan dan (8) Pupil mata dapat keluar
karena otot-otot mata kerap tegang seperti melotot. Setiap anak berbeda kemunculan dampak permainan canggih tersebut. Dampak anak-anak yang terlalu sering black-berry, face book, dan twitter adalah untuk poin satu, dua, tiga, dan delapan. Bahkan, beberapa anak baik usia sekolah dasar hingga remaja sekolah menengah atas ternyata membisniskan score perolehan game on line kepada temannya, dan ajang judi terselubung. Sementara itu, pemilik dan pengasuh lembaga pendidikan luar sekolah kerap menerima complain pihak orang-tua siswa-siswi karena indeks prestasi belajar di sekolah ternyata tidak memperlihatkan pengaruh kenaikan apa pun, baik sebelum dan setelah mengikuti kursus tambahan. Pelaksana menelusuri akar perkara ternyata tata kelakuan sehari-hari siswa-siswi tetap gemar bermedia sosial dan asyik main game on line. Konsentrasi siswa-siswi terpecah. Tidak fokus. Persoalan di atas itulah yang menjadi dasar pelaksana PkM untuk melaksanakan PkM dengan fokus pada permasalahan mengimbangi laju pesat kegemaran anak-anak terhadap jenisjenis media digital dan teknologi informasi canggih melalui memperkenalkan kembali dongeng anakanak melalui pendekatan antropologi pendidikan. Pendekatan antropologi pendidikan digunakan untuk mengetahui nilai-nilai yang bagaimana yang sudah tertanam melalui media yang berbasis teknologi informasi canggih digital sebagai media enkulturasinya. Selanjutnya, pendekatan antropologi pendidikan dipakai untuk model pendekatan pembelajarannya
231
Koentjaraningrat.1990, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kottak, Conrad Phillip.2006, Anthropology: The Exploration of Human Diversity. USA: McGrawHill.
berupa pembelajaran yang menekankan upaya proses refleksi dan dialogis peserta. PENUTUP Dongeng anak-anak tergolong unsur kebudayaan di luar tujuh unsur universal kebudayaan. Dongeng anakanak termasuk sarana enkulturasi yang bukan saja dikenal di Indonesia, melainkan di dunia. Dongeng anak-anak dapat menjadi alternatif penanaman nilai-nilai budaya yang dapat dikendalikan atau diseleksi dan dikontrol muatan nilai-nilainya; sebaliknya di zaman mutakhir ini, sungguh sangat beragam media enkulturasi yang ada, beberapa di antaranya, bentuk-bentuk teknologi informasi digital, yang biasa digunakan sebagai media sosial dan game on line. Dengan demikian, mediamedia atau sarana-sarana enkulturasi lain belum tentu dapat dikontrol dan diseleksi muatan nilai-nilainya. Tingkah-laku anak kerap tanpa kendali, kasus-kasus yang sekarang merebak dan marak di pemberitaan, bullying cermin agresivitas anak memperoleh rangsang berlebih tanpa arah akibat pengaruh game on line yang materinya berupa pertempuran, pertarungan, perwujudan kompetisi head to head.
Snijders, Adelbert, 2004, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius.
DAFTAR PUSTAKA Kneller, George F. 1989, Antropologi Pendidikan: Sebuah Pengantar. Terjemahan Imran Manan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
232
PELATIHAN TEATER SEBAGAI MEDIA EDUKASI BAGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL SISWA DI SMAN 1 BALEENDAH BANDUNG Lili Rosidah Program Studi Seni Teater, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah batu no 212 Bandung
Abstrak Kegiatan ekstrakurikuler teater di sekolah menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang memiliki kedekatan dengan kompetensi social siswa, hal ini dikarenakan dimensi yang terdapat pada kompetensi sosial yaitu; pengetahuan sosial, keparcayaan diri, empati dan sensitivitas sosial memiliki kedekatan dengan tujuan objek dari kegiatan ekstrakurikuler teater yaitu; menumbuhkan kepekaan empati , meningkatkan rasa percaya diri, melatih nalar dan daya ingat, melatih komunikasi nonverbal, melatih kerja kelompok, mengembangkan pengalaman berapresiasi, dan melatih kemampuan menerima kritik. Berdasarkan penelitian tentang peran seni teater sebagai wahana pendidikan, khususnya pendidikan kompetensi sosial, yang berjudul “Hubungan Antara “Keterlibatan” Siswa SMA dalam Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Teater dan Kompetensi Sosial” penulis bermaksud untuk mengaplikasikan hasil dari penelitian tersebut dalam suatu kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PKM). Penelitian menggunakan metode explanatory survey yang bersifat non-eksperimental. Selama ini seni teater dikenal masyarakat lebih sebagi ekspresi seni. Namun berdasarkan penelitian yang dilanjutkan dengan kegiatan PKM, dapatlah dibuktikan bahwa seni teater dapat menjadi media edukasi yang berperan bagi peningkatan kompetensi sosial siswa remaja jika dilakukan dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan metode pembelajaran teater sebagai media pendidikan. Kata kunci: Teater, edukasi Pengembangan kompetensi, siswa SMA
PENDAHULUAN Kegiatan PKM Pelatihan Teater sebagai Media Edukasi bagi Perkembangan Kompetensi social Siswa di SMAN1 Baleendah ini memiliki subjeck matter pada pendidikan karakter bagi siswa remaja agar memiliki kompetensi sosial yang baik sehingga siswa mampu berperan aktif di masyarakat. Remaja sebagai bagian dari lapisan masyarakat, yang tergolong kedalam usia produktif, sangat berkaitan erat dengan kompetensi sosial. Masa
remaja adalah masa yang penuh dengan kebutuhan akan sosialisasi, khususnya di antara sesama teman. Melalui berbagai kegiatan ekstrakulikuler memberikan peluang bagi remaja untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Dengan bersosialisasi dimungkinkan remaja memiliki kesempatan untuk menjalin persahabatan dan pertemanan yang sehat. Dari berbagai macam ekstrakurikuler yang terdapat di sekolah Ekstrakurikuler teater merupakan salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang
233
memiliki kedekatan dengan kompetensi sosial jika dibandingkan dengan ekstrakurikuler yang lain. Hal ini dikarenakan tujuan dari objek ekstrakurikuler teater memiliki kedekatan dengan komponen yang dibutuhkan agar seseorang memiliki kemampuan kompetensi sosial. Keseluruhan aspek dari kegiatan ekstrakurikuler teater tersebut memiliki kedekatan dengan dimensi kompetensi sosial yang dirumuskan oleh Krasnor yaitu: 1. Pengetahuan sosial, yaitu pengetahuan mengenai keadaan sosial yang memadai dengan konteks sosial tertentu. 2. Kepercayaan diri, yaitu perasaan percaya pada diri sendiri dalam memulai suatu tindakan dan adanya usaha untuk memecahkan masalah sendiri. 3. Empati, yaitu kemampuan menghargai perasaan orang lain sekalipun orang tersebut tidak dikenalnya atau tidak ada hubungan dengannya, juga memberikan respon-respon emosional, mampu mengendalikan emosi dan tulus dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bermasalah. 4. Sensitivitas sosial, yaitu kemampuan untuk menerima dan mengerti pesanpesan verbal dan perhatian pada aturan-aturan sosial serta normanormanya (krasnor; 1997).
kesiswaan maupun guru, dikarenakan seni teater tergambar sebagai sebuah seni yang ekspresif dan mendobrak nilai-nilai moral dan kemasyarakatan dikarenakan terbungkus oleh sebuah kebebasan seni. Pada kenyataan dilapangan tidaklah demikinan, seni teater dapat menjadi suatu wahana pendidikan yang akan memberikan peluang besar bagi siswa untuk meningkatkan kompetensi sosialnya. PEMBAHASAN Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat yang mengambil tema Pelatihan Teater sebagai Media Edukasi pada Pengembangan Kompetensi Sosial Siswa di SMAN 1 Bale Endah lebih bersifat observasi dan pengamatan. Hal ini disesuaikan dengan tema yang penulis pilih. Penulis melakukan observasi langsung ke lapangan untuk mengetahui bagaimana kegiatan ekstrakurikuler teater berlangsung dengan melakukan pembenahan dan pengarahan pada materi kegiatan dan melakukan pengukuran kompetensi sosial yang dimiliki siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater. Berdasarkan dari kuesioner yang penulis sebarkan memberikan gambaran bahwa siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater cenderung mengalami peningkatan kemampuan kompetensi sosial hal ini terlihat dari adanya peningkatan pada indicator dari kompetensi sosial seperti;
Terdapat kesenjangan antara minat siswa yang tinggi dengan dukungan dari orang tua siswa, guru maupun sekolah yang rendah. Kehawatiran yang dimiliki baik orang tua siswa maupun fihak sekolah dalam hal ini kepala sekolah,
Kepercayaan Diri Keperyayaan diri yaitu: Perasaan percaya pada diri sendiri dalam memulai suatu tindakan dan adanya usaha untuk memecahkan masalah sendiri Siswa yang
234
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater menjadi lebih berani untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di dalam kelas sehingga menjadikan kelas lebih hidup dan kondusif. siswapun menjadi lebih aktif pada saat diberikan tugas kelompok. Hal lainnya adalah; sebelum mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater mereka merasa minder dengan beberapa hal fisik yang dimilikinya seperti tubuh yang terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu tinggi atau bahkan terlalu pendek, setelah tampil dipanggung dengan membawakan beberapa peran rasa rendah diri yang diakibatkan oleh hal-hal fisik dapat dihindari, bahkan siswa menjadi bangga dengan apa yang dimilikinya dan menjadi lebih ceria serta mudah bergaul, sehingga mereka lebih banyak memiliki teman. Kemampuan untuk berani bertanya dan mengemukakan pendapat serta perasaan bangga akan dirinya dan mensyukuri apa yang dimilikinya berani tampil di depan kelas, berani bertanya dan mengemukakan pendapatnya merupakan idikasi dari rasa kepercayaan diri yang berkembang dengan baik.
menjadi tokoh yang berbeda-beda, para siswa sejak dini berlatih memahami karakter lain, sosok lain, dengan latar belakang sosial, psikologis, ekonomi, politik, bahkan zaman yang berlain-lainan, dengan tindakan, impian, dan harapan mereka masing-masing mereka lebih bisa mengontrol emosinya dan menjadi peka serta berhati-hati terhadap berbagai emosi yang dimunculkan oleh temannya/ orang lain. Kemapuan mengontrol emosi dan kepekaan terhadap emosi orang lain adalah bagian dari dimensi kompetensi sosial yaitu empati. Pengetahuan Sosial Pengetahuan sosial yaitu: Pengetahuan mengenai keadaan sosial yang memadai dengan konteks sosial tertentu siswa yang terlibat pada kegiatan ekstrakurikuler, mereka menyatakan memiliki perubahan yang signifikan, diantaranya; siswa lebih dapat berkomunikasi dengan teman, guru dan orang tua. Mereka juga dapat menghargai dan bekerjasama dalam kelompok, serta bertanggungjawab pada apa yang menjadi tugasnya. Melalui peran yang dibawakan, mereka belajar memahami pesan-pesan moral dari setiap cerita yang dibawakan, mereka juga belajar menghargai memahami dan membedakan bagaimana seharusnya seorang laki-laki memperlakukan perempuan begitu juga sebaliknya. Kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan bertanggungjawab serta mengenal peran gender adalah bagian dari dimensi kompetensi sosial yang pertama yaitu pemahaman akan pengetahuan sosial.
Empati Kemampuan berempati yaitu: kemampuan menghargai perasaan orang lain sekalipun orang tersebut tidak dikenalnya atau tidak ada hubungan dengannya, juga memberikan responrespon emosional, mampu mengendalikan emosi dan tulus dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bermasalah. Kegiatan seni teater bagi remaja adalah salah satu kegiatan yang dapat menumbuhkan rasa empati. Rasa empati itu hadir melalui peran yang dibawakannya. Dalam latihan berperan
235
Sensitivitas Sosial Sensitivitas Sosial yaitu: kemampuan untuk menerima dan mengerti pesan-pesan verbal dan perhatian pada aturan-aturan sosial serta norma-normanya diartikan sebagai kemampuan untuk menerima dan mengerti pesan-pesan verbal dan non verbal, bekerjasama dalam kelmpok dan bertanggungjawab. Melalui kegiatan seni teater khususnya melalui latihan seni peran, siswa mendapatkan latihan bagaimana memahami pesan-pesan baik verbal maupun nonverbal. Melalui latihan olah vokal yang mencakup latihan diksi/ gaya bahasa, intonasi, dan artikulasi mempermudah untuk menyampaikan Pesan-pesan verbal, sedangkan melalui latihan ekspresi wajah, dan sikap tubuh (gesture) akan memudahkan membaca pesan-pesan yang non-verbal. Kegagalan dalam relasi sosial seringkali berkaitan dengan hambatan dalam menyampaikan dan menafsirkan pesan-pesan verbal dan non-verbal. Sebagai seni kolektif kegiatan teater juga mengajarkan bagaimana bekerja dalam kelompok (team work) hal inilah yang menjadikan siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater memiliki sensitivitas sosial yang baik dan memadai.
dapat meningkatkan kompetensi sosial pada siswa. Kenyataan tersebut harus diupayakan untuk diinformasikan kepada masyarakat baik kepada pihak sekolah (kepala sekolah, Guru, siswa) dan juga kepada orang tua siswa yang bersangkutan agar terjadi pergeseran pemahaman terhadap seni teater kearah yang lebih positif.Kegiatan DAFTAR PUSTAKA Adam, G., R. 1983. “Sosial Competence During Adolescence: Sosial Sensitivity, Locus Of Control, And Peer Popularity”. Journal Of Yoauth And Adolescence. Vol. 12, No 03, 203-211. Baron & Byrne. 2003. Psikologi Sosial Jilid Satu. (terjemahan) Jakarta: penerbit Erlangga. Denham, S., A., & Queenan, P. 2003. “Preschool Emotional Competence: Pathway To Sosial Competence”. Journal Of Child Development. Vol. 74, No 1, 238-256. Guiford, J.P 1973. Psychometric Methods. 2005. Psychological Testing: Principles Applications, and Issue 6 edition. USA: Wadsworth. John W. Santrock. 2003. Adolescence (Perkembangan Remaja). The University of Texas at Dallas. Jakarta: Erlangga.
PENUTUP Pada dasarnya kegiatan PKM ini ditujukan untuk lebih mengenalkan peranan seni teater sebagai media edukasi kepada masyarakan khususnya civitas akademi SMAN 1 Baleendah, karena selama ini masyarakat mengenal seni teater lebih sebagai ekspresi kesenimanan semata. Pada kenyataannya dengan melakukan kegiatan ekstrakurikuler teater yang berorientasi pada pendidikan terbukti
Latifah, L. 2000. “Kompetensi Sosial, Status Sosial, dan Viktimisasi di Sekolah Dasar”. Jurnal (Tidak Diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Riantiarno. 2003. Menyentuh Teater, (Tanya Jawab seputar Teater Kita). Indonesia: MU:3 Books.
236
(tidak diterbitkan) Bandung Jurusan Teater STSI.
Saini K.M. 2002. Kaleidoskop Teater Indonesia. Bandungj: STSI Press.
Yudiaryanti. 2002. Panggung Teater Dunia. Jogjakarta: Pustaka Gondho Suli
Yoyo C.Durachman & Lili Rosidah .2005 Diktat Manajeman Teater,
237
SENI SEBAGAI MEDIA MENUMBUHKEMBANGKAN POTENSI KREATIF ANAK Suharno1, Cahyadi Dewanto2, Ari Winarno3 123
Jurusan Seni Rupa, ISBI Bandung Jl Buahbatu No 212 Bandung 40265 1
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Praktik berkesenian untuk anak bukan hanya berkait dengan persoalan estetika semata, namun memiliki peran signifikan sebagai media menumbuhkembangkan potensi kreatif anak. Hal ini bisa terjadi jika orientasi berkesenian tersebut bukan pada karya seni yang dihasilkan, namun proses penciptaannya, karena dalam proses penciptaan seni segenap kecerdasan anak dapat dikeluarkan untuk menopang lahirnya potensi kreatif anak yang kontekstual. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan aspek mendasar dalam berkesenian kaitannya dengan potensi kreatif anak, dengan contoh kasus pembuatan kamera lubang jarum untuk anak berbasis barang bekas. Metode yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah workshop. Hasil telaah dari workshop tersebut menunjukkan bahwa praktik fotografi dengan media kamera lubang jarum dapat menumbuhkan potensi kreatif anak yang berpijak pada beragam kecerdasan yang dimilikinya. Kata kunci: potensi kreatif, kamera lubang jarum, kecerdasan anak
PENDAHULUAN Kreativitas umumnya khusus dikaitkan dengan proses kreatif seniman dalam proses penciptaan seni. Memang, kata kunci dalam penciptaan seni adalah kreatif, baik pada ranah gagasan isi (esensi), bentuk (substansi), maupun penyajiannya (konteks karya). Meski demikian, kreativitas bukan milik seniman belaka, karena semua orang memiliki potensi kreatif sesuai konteksnya masingmasing. Potensi kreatif adalah kemampuan untuk kreatif yang belum terolah. Kreatif sendiri memiliki beragam definisi, misalnya sebagaimana dijelaskan AlKhailili [1], Tabrani [2], maupun Haefele yang dikutip Gie [3]. Meski berbeda satu
sama lain, namun intinya sama, yakni kemampuan menemukan jalan alternatif untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Jadi potensi kreatif adalah kemampuan menemukan jalan untuk mencapai tujuan yang belum terolah. Potensi kreatif dimiliki setiap anak, dan karena masih bersifat potensial, maka diperlukan pengembangan agar potensi itu mewujud menjadi kemampuan yang sesungguhnya. Pengembangan ini tentu harus dengan metode yang tepat, jangan sampai justru menjadi penghalang kreativitas. Hal ini penting karena karena terhalangnya kreativitas akan menjadi anak tidak nyaman dalam mencoba mencari jawaban baru yang mungkin lebih baik dan tidak mampu mendesain
238
alternatif [4]. Tersumbatnya kreativitas juga akan menjadikan anak mengalami apa yang oleh John Arnold disebut emotional block, yakni terhambatnya berbagai emosi yang mengiringi kegiatan kreatif [5]. Salah satu penyebab emotional block adalah sejak dini anak tidak terbiasa menemukan banyak cara untuk mencapai tujuan tertentu. Contohnya, seorang anak TK disalahkan gurunya karena menggambar tangan orang lebih besar dari mukanya sebagaimana yang dicontohkan. Guru tersebut tidak menyadari bahwa sang anak menggambar bukan berdasar apa yang dilihatnya (visioplastis) sebagaimana yang dilakukan gurunya, namun berdasar ideoplastis. Jika tujuan akhir kegiatan menggambar ini adalah mengasah motorik kasar dan kepekaan estetik anak, tentu saja tindakan guru tersebut tidak dibenarkan, karena pilihan bentuk tangan tidak akan menghambat motorik kasar dan ini adalah wujud “kebebasan” ekpsresi ideoplastis anak tersebut. Kebiasaan seperti ini akhirnya membentuk pola pikir, bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, hanya ada satu jalan. Anak tidak memiliki keberanian untuk menentukan pilihan alternatif. Kebiasaan ini bisa jadi akan terbawa seumur hidupnya. Oleh sebab itu sangat dipandang perlu adanya contoh/model aktivitas berkesenian untuk anak yang mengedepankan potensi kreatif anak.
Kelurahan Margahayu, Kecamatan Margahayu Selatan, Kabupaten Bandung. Peserta pelatihan ini adalah para siswa rumah seni tersebut yang terdiri dari anak usia Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Pelatihan dilakukan dengan metode workshop yang mengedapankan interaksi aktif antara peserta dan instruktur, sehingga segala potensi kreatif dan kecerdasan anak dapat ditumbuhkembangkan. Rumah Seni Adhi Cita dipilih karena misi pendidikannya berorientasi pada potensi kreativitas anak, yakni menciptakan sistem pendidikan yang motivatif melalui cara studi klub kreatif dan budaya berkarya seni dengan mengacu pada potensi dan kompetensi setiap individu anak dan remaja sehingga tingkat kreativitasnya semakin berrmutu. Rumah seni ini merupakan lembaga pendidikan non formal yang bergerak di wilayah kesenian, berorientasi pada pendidikan dan pelatihan dasar-dasar kesenirupaan. Tujuannya untuk menanamkan pendidikan kesenian sejak dini di usia anak-anak dan remaja agar tingkat kreativitasnya dalam berkarya seni dan berkreasi semakin maju dan berkembang. Pilihan kamera lubang jarum berbasis barang bekas sebagai materi pelatihan didasarkan kenyataan, bahwa fotografi dan pemanfaatan barang bekas menjadi benda seni belum menjadi materi pendidikan di Rumah Seni Adhi Cita. Pelatihan ini dilakukan dengan metode workshop, yakni bentuk pelatihan yang menghasilkan produk kongkrit melalui proses pendampingan. Pendampingan dilakukan bukan semata untuk mengahasilkan produk seni, namun yang terpenting adalah untuk menumbuhkembangakan
Metode Untuk keperluan di atas, maka dilakukan pelatihan pembuatan kamera lubang jarum berbasis barang bekas di Rumah Seni Adhi Cita yang beralamat di RT 003/RW 017 Blok A5 No 15
239
dikenal dengan nama dark chamber atau kamera obscura [8]. Berdasarkan paparan di atas, maka yang dimaksud dengan kamera lubang jarum adalah sebuah kamera foto sederhana (sebuah kotak kedap cahaya) tanpa lensa yang memiliki satu aperture (lubang di satu sisi) yang sangat kecil. Hasil kamera ini adalah gambar terbalik pada sisi yang berlawanan dari tempat lubang tersebut. Lubang kecil inilah yang dalam kamera obscura disebut pinhole. Berikut ini adalah gambar bagianbagian kamera lubang jarum
potensi kreatif anak berdasarkan potensi kecerdasan yang dimilikinya. Produk fisik pelatihan ini adalah kamera lubang jarum sebagai karya seni (kriya), dan hasil jepretan kamera tersebut sebagai karya seni fotografi. Pilihan bentuk kamera yang dapat menghasilan karya foto dinilai penting karena dapat mengingatkan kembali sejarah fotografi. Hal ini penting karena teknologi dalam perangkat telepon genggam telah memungkinkan orang untuk menjadi “intim” dengan dunia fotografi tanpa perlu mempelajari sejarah fotografi [6]. PEMBAHASAN Kamera Lubang Jarum: Pembuatan dan Aplikasinya Keberadaan kamera lubang jarum tidak lepas dari sejarah fotografi, yakni hadirnya kamera obscura. Istilah kamera obscura menurut Burhanuddin berasal dari bahasa latin, yakni camera yang berarti “kamar”, dan obscura yang berarti “gelap” [7]. Kamera obscura dengan demikian adalah “kamar gelap”, sebuah perangkat optik yang memproyeksikan gambar pada layar. Bagian utama kamera obscura adalah sebuah kamar gelap yang hanya memiliki lubang kecil (pinhole), dan cahaya hanya masuk melalui lubang kecil tersebut. Jika kamera dihadapkan pada benda yang diterangi cahaya, pada dinding kamera yang berhadapan dengan lubang akan terbentuk gambar proyeksi terbalik dari benda tersebut. Prinsip kerja ini telah dipahami manusia selama ribuan tahun bahwa cahaya yang melewati sebuah lubang kecil ke dalam ruang gelap yang memproyeksikan gambar terbalik dari adegan luar dinding. Fenomena
Gambar 1. Bagian-bagian kamera lubang jarum [9]
Adapun langkah mendasar dalam pembuatan kamera lubang jarum adalah sebagai berikut. 1. Mempersiapkan alat dan bahan, yakni kardus dan kaleng bekas, kertas foto, cutter, amplas gunting, palu, cat semprot warna hitam, lakban hitam, doubletape, karton hitam, jarum jahit, karet gelang, dan kaca atau mika (gambar 2);
Gambar 2: Bahan dan alat yang digunakan untuk membuat kamera lubang jarum [10]
240
Setelah peralatan dan bahan siap, kemudian dilakukan pembuatan kamera lubang jarum dengan mengikuti pola kerja yang dibuat Drajat [11], yakni: 1. Lubangi kaleng pada salah satu sisi kurang lebih 3 x 3 cm dengan pembuka kaleng. 2. Semprot kaleng bagian dalam dan tutup kaleng dengan cat semprot warna hitam hingga warna kaleng bagian dalam kedap cahaya. 3. Ambil alumunium foil dengan ukuran sekitar 4 x 4 cm utuk dilubangi memakai jarum jahit. Semakin kecil diameter lubang, gambar yang dihasilkan akan semakin tajam. Lubang ini berfungsi sebagai lensa kamera. 4. Alumunium foil yang telah dilubangi diberi perekat (lakban) untuk ditempelkan pada kaleng 5. Tempelkan alumunium foil yang telah dilubangi diberi perekat (lakban) pada kaleng hingga rapat. 6. Potong kertas karton hitam kurang lebih 6 x 6 cm dan ikat dengan karet atau tali agar kuat dan cahaya tidak bisa masuk . 7. Kamera lubang jarum siap digunakan.
jarumnya dengan lakban hitam agar kedap cahaya. Penutup lubang ini berfungsi sebagai shutter speed. Adapun kertas foto tersebut diposisikan sebagai film sebagaimana dalam fotografi analog. 2. Pemotretan Langkah pertama adalah menentukan objek foto/hunting di bawah sinar matahari dengan memperhatikan intensitas cahaya. Hal ini dikarenakan akan mempengaruhi lama dan tidaknya waktu yang dibutuhan untuk menghasilkan gambar yang dalam istilah fotografi disebut exposure [12]. Setelah objek ditentukan diakukan pemotretan dengan cara membuka lakban (shutter speed).yang menutupi lubang (lensa) pada kamera lubang jarum. Setelah kurang kebih 1 menit, lubang ditutup kembali. 3. Pasca-pemotretan a. Setelah pemotretan, kamera lubang jarum dibawa ke kamar gelap. Kertas foto yang ada di dalam kamera dikeluarkan untuk dilakukan proses pencucian. Kertas foto yang telah dicuci ini masih negatif sebagaimana film negatif dalam fotografi analog. Proses pencucian ini meliputi pengembangan (50 detik), penghentian (6-10 menit), pembilasan (20-30 menit). b. Kertas foto yang negatif tersebut kemudian dikeringkan dengan cara dijemur. Setelah kering dibawa lagi ke kamar gelap unutk dicetak dengan cara menempelkan pada kertas foto yang baru di bawah cahaya lampu (kurang lebih 25 watt) sehingga dihasilkan foto positif/gambar positif.
Setelah kamera lubang jarum selesai dibuat, kemudian dilakukan pemotretan dengan langkah kerja sebagai berikut. 1. Pra-pemotretan Sebelum melakukan pemotretan, masukkan kertas foto ke dalam kamera lubang jarum di ruang gelap seperti di dalam kamar ataupun kamar mandi, atau lebih baik membuat ruang gelap portable. Setelah kertas foto dimasukkan ke dalam kamera lubang jarum, tutup lubang
241
c. Setelah gambar positif jadi, kemudian dilakukan pengeringan dengan dijemur atau memakai alat pengering/hairdryer.
kreatif dalam berkreasi (mencipta karya seni): bentuk kamera, warna kamera, dll. Adapun aspek kecerdasan yang mendasari adalah: linguistik-verbal (kemampuan bertanya dan menjelaskan terkait proses pembuatan kamera); matematis-logis (kemampuan mengukur dan membuat lubang jarum); visual-spasial (kemampuan menentukan pilihan mengeksekusi unsur-unsur seni rupa dalam pembuatan kamera) kinestetik (kemampuan mengolah motorik kasar dan halus saat proses penciptaan); interpersonal (kemampuan bekerjasama dengan teman dalam proses penciptaan; intrapersonal (kemampuan mengontrol diri sendiri saat proses penciptaan).
Potensi Kreatif Anak yang Dikembangkan Kreativitas anak lahir dari kecerdasannya dalam menyikapi hal yang dihadapinya. Jika mengacu pendapat Lwin dkk. bahwa kecerdasan ada 7 macam, yakni linguistik-verbal, matematis-logis, visual-spasial, ritmikmusikal, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal [13], maka kreativitas dapat dipicu oleh sebagian atau seluruh kecerdasan tersebut. Adapun potensi kreatif dan kecerdasan yang dapat ditumbuhkembangkan dalam pelatihan pembuatan kamera lubang jarum dan aplikasinya adalah sebagai berikut.
2. Praktik Pemotretan a. Pra-pemotretan (mempersiapkan kamera lubang jarum). Potensi kreatif yang dikembangkan di tahap ini adalah kreatif dalam memperlakukan kamera foto. b. Pemotretan: menentukan objek foto/hunting dan melakukan pemotretan. Potensi kreatif yang dikembangkan di tahap ini adalah kreatif dalam menentukan objek foto/hunting dan sudut pemotretan c. Pasca-pemotretan: mencuci kertas foto hasil, menyajikan karya. Potensi kreatif yang dikembangkan di tahap ini adalah kreatif dalam memperlakukan hasil pemotretan dan alam menyajikan karya
1. Tahap Pembuatan Kamera Lubang Jarum a. Pengenalan alat dan bahan. Potensi kreatif yang dikembangkan di tahap ini adalah anak kreatif menentukan alat dan bahan alternatif sesuai kebutuhan dan daya beli. Adapun aspek kecerdasan yang mendasari adalah: linguistik-verbal (kemampuan bertanya dan menjelaskan terkait alat dan bahan); matematis-logis (kemampuan menghitung finansial untuk mendapatkan alat dan bahan); interpersonal (kemampuan bekerjasama dengan teman dalam menemukan dan menentukan alat dan bahan); intrapersonal (kemampuan mengontrol diri sendiri saat proses pelatihan). b. Proses pembuatan. Potensi kreatif yang dikembangkan di tahap ini adalah anak
Adapun aspek kecerdasan yang mendasari praktik pemotretan ini antara lain: linguistik-verbal (kemampuan berargumentasi dalam menjelaskan karya foto yang dihasilkan); matematis-logis dan
242
visual-spasial (kemampuan mengukur objek bidik dengan sudut pemotretan; kinestetik: kemampuan mengolah motorik kasar dan halus saat mencuci dan menjemur kertas foto hasil pemotretan; interpersonal: kemampuan bekerjasama dengan teman saat pemotretan; intrapersonal (kemampuan mengontrol diri sendiri saat pra-pemotretan, pemotretan, dan pasca-pemotretan). Berdasarkan pemahaman di atas, nampak bahwa dalam kaitannya dengan aspek kecerdasan yang dimiliki anak, ada potensi kreatif anak yang dapat ditumbuhkembangkan dalam proses pembuatan kamera foto lubang jarum berbasis barang bekas dan aplikasinya. Potensi kreatif tersebut penting ditumbuhkembangkan, karena belum tentu di lingkungan belajarnya yang formal terakomodir. Tidak terakomodasinya perkembangan potensi kreatif yang dimiliki anak yang selaras dengan emosionalnya akan menjadikan prestasi belajar anak di bawah kemampuan potensi kecerdasan yang sesungguhnya dimiliki [14]. Sehubungan dengan hal di atas, proses pendampingan dalam penciptaan karya menjadi salah satu kuncinya. Hal utama yang harus dilakukan instruktur adalah menempatkan dirinya sebagai sahabat yang siap mendengar dan membantu kesulitan peserta didik sesuai konteksnya. Hal ini penting karena akan melahirkan creative relationship, yakni hubungan manusiawi antara guru dengan siswa yang memungkinkan perkembangan kreatif berjalan baik (Ali dan Mohammad Asrori: 2004, 199). Untuk itu, meminjam pemahaman Giyartini [15], instruktur harus mampu:
1. Menerima peserta didik apapun keadaannya yang dilandasi sikap empati, yakni memahami pikiran dan perasaan anak dengan sudut pandang mereka sendiri; 2. Memberi ruang keleluasaan dan menjembatani anak untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tanpa rasa takut; 3. Menciptakan suasana pembelajaran yang nyaman bagi anak untuk mengekspresikan kreativitasnya, misalnya selalu menghargai setiap gagasan kreatif anak apapun bentuknya; 4. Menumbuhkembangkan sikap dan berpikir anak yang divergen; dan 5. Menunjukkan berbagai jalan alternatif kepada anak dalam menyelesaikan persoalannya. Berdasarkan hal di atas, maka jika pendampingan terhadap penciptaan karya seni untuk anak dilakukan dengan benar (tidak berorientasi pada hasil, namun proses), maka setidaknya anak telah memiliki sebagain bekal menjadi sumber daya manusia di abad XXI sebagaimana dinayatakan dalam “21st Century Partnership Learning Framework” [16], yakni: 1. Kemampaun berpikir kritis dan pemecahan masalah (Critical-Thinking and Problem-Solving Skills); 2. Kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama (Communication and Collaboration Skills), yakni mampu berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif dengan berbagai pihak; 3. Kemampuan mencipta dan membaharui (Creativity and Innovation Skills); dan 4. Kemampuan belajar kontekstual (Contextual Learning Skills).
243
Pendidikan dari perspektif Sains Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 305-310.
PENUTUP Praktik penciptaan karya seni adalah praktik mengejawantahkan beragam potensi kecerdasan yang diwujudkan dalam kreativitas olah bentuk, isi, dan penyajian karya. Oleh karenanya, kecerdasan dan kreativitas adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Semakin kompleks kecerdasan yang menopang kreativitas, hasil kreativitas akan semakin kompleks pula. Dengan kata lain, semakin kompleks kecerdasan anak yang menopang kreativitasnya, maka semakin cepat anak menemukan jalan alternatif dalam mencapai tujuan. Untuk itu, praktik penciptaan kaya seni bagi anak adalah hal yang semestinya menjadi keharusan, namun minimal dengan dua syarat. Pertama, tidak mengutamakan produk, tetapi proses. Kedua, dibimbing oleh instruktur, guru, atau orang tuanya yang memiliki kemampuan “merangsang” tersalurkannya potensi kecerdasan majemuk dan kreativitas anak.
[5] Gie, 38-39 [6] Clarke, Graham, 1997, The Photograph. New York Oxford University Press Inc., 12-13 [7]
[8] Gustavson, Tood, 2011, 500 Camera 170 Years of Photographic Innovation. New York: Sterling Pubhlising, Co., Inc., 2 [9] Dradjat, Ray Bachtiar, 2001, Memotret dengan Kamera Lubang Jarum. Jakarta: Puspa Swara, 17 [10] Dradjat, 17 [11] Dradjat, 23-25 [12] Ardiansyah, Yulian, 2005, Tips dan Trik Fotografi: Teori dan Aplikasi Belajar Fotografi. Jakarta: PT Grasindo, 1
CATATAN AKHIR [1] Al-Khailili, Amal Abdussalam, 2005, Mengembangkan Kreativitas Anak. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 35
[13] Lwin, May, dkk., 2005, How to Multiply Your Child’s Intelegence, Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia, 11-272.
[2] Tabrani, Primadi, 2006, Kreativitas dan Humanitas. Yogyakarta & Bandung Jalasutra, xxii
[14]
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori, 2004, Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara, 204, 206. [15] Giyartini, Rosarina, 2007, “Tari Kreatif: Konsep dan Pembelajarannya di Sekolah Dasar (Dari Anak, oleh Anak, dan untuk Anak)”. Tesis untuk memperoleh gelar Master Pendidikan di Program Studi Pendidikan Tari SPS UPI Bandung, 75
[3] Gie, The Liang. 2003. Teknik Berpikir Kreatif, Petunjuk Bagi Mahasiswa untuk Menjadi Sarjana Unggul. Yogyakarta: PUBIB dan Sabda Persada, 24 [4]
Burhanuddin, 2014, Fotografi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 11-13
Amien, A. Mappadjantji, 2005, Kemandirian Lokal, Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan
244
[16] Badan Standar Nasional Pendidikan, 2010, Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI, Versi 1.0, 4445
245
PELATIHAN KETRAMPILAN KARAWITAN IRINGAN TARI DI SANGGAR SEKOLAH SDN BABAKAN SENTRAL KIARACONDONG BANDUNG Etty Suhaeti Program Studi Seni Tari, Institut Seni-Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu No 212 Bandung
Abstrak Karawitan Tari merupakan cabang seni yang diperuntukkan untuk mengiringi sebuah tarian. Alat musiknya berupa seperangkat gamelan dengan menggu-nakan laras salendro, pelog maupun madenda disesuaikan dengan lagunya. Kesenian tersebut karawitannya bisa juga dengan menggunakan ketukan, suara manusia atau hentakan kaki dan pukulan benda-benda yang berasal dari barang bekas. Pada PKM yang baru lalu, kesenian tersebut diperkenal- kan kepada anak-anak Sekolah Dasar di SDN Babakan Sentral Kiaracondong Bandung melalui pelatihan-pelatihan. Mengingat keterbatasan sarana yang tersedia di sekolah tersebut, maka dipergunakanlah perkusi berupa barang-barang bekas yang mudah didapat. Tidak hanya berlatih menabuh perkusi, akan tetapi diajarkan pula vocal, dan tari-tarian. Kata kunci: Pelatihan Keterampilan Karawitan Tari di SDN Babakan Sentral.
PENDAHULUAN Pelatihan Karawitan Tari dilakukan di sekolah-sekolah, agar anakanak dari sejak duduk di bangku Sekolah Dasar sudah mengenal tentang kesenian. Seperti yang dilakukan di SDN Babakan Sentral, SDN 3 dan 4 yang dikepalai oleh Hajah Yulia Linggawati, S.Pd. Karawitan tari itu sangat dibutuhkan untuk mengiringi sebuah tarian, sebab tanpa diiringi pangrawit tariannya akan terasa hambar, ibarat sayur tanpa garam. Maka dari itu karawitan tari merupakan seni berkelompok yaitu ada bantuan dari orang lain, tanpa itu seni tersebut kurang menarik. Adapun kesenian yang lengkap
itu ada karawitan, vocal dan ditambah dengan tarian. Sementara tarian yang diajarkan di SDN Babakan Sentral yaitu tarian anakanak, disesuaikan dengan umur mereka. Seperti tarian Gumbira dengan lagunya pun lagu gumbira, yang menggambarkan anak-anak sedang bersu-karia setelah menerima rapot dengan nilai yang bagus. PEMBAHASAN Karawitan merupakan suatu cabang seni suara yang menggunakan laras pelog dan salendro atau madenda, baik itu suara manusia maupun suara gamelan. Sedangkan perangkat karawitan untuk mengiringi sebuah tarian
246
menggunakan gamelan. Gamelan berasal dari kata gamel, yang artinya pukul. Jadi gamelan berarti alat bunyi-bunyian yang dipukul yang mempunyai laras pelog dan salendro. Alat bunyi-bunyian bisa berupa apa saja, bisa ketukan, suara manusia atau hentakan kaki dan pukulan bendabenda yang berasal dari barang bekas. Yang terpenting suara yang keluar dari media yang dipergunakan dapat menghasilkan bunyi-bunyian yang berirama dan beraturan. Seperti irama perkusi yaitu alat musik dari barang bekas bila dipukul akan mengeluarkan bunyi yang enak didengar, tergantung kepada bagaimana cara memukulnya. Bila memukulnya terlalu kuat karena bersemangat, maka akan mengeluarkan suara yang keras pula. Tidak semua alat perkusi bisa dipukul melainkan ada yang ditepak, ada yang ditiup dan sebagainya. Cara membunyikannya pun bergiliran antara satu dengan yang lainnya, sehingga bunyi yang dihasilkan akan serasi dan enak didengar. Perkusi merupakan alat musik sederhana yang semuanya bisa memukulnya, dan alat tersebut bisa didapat dimana saja asalkan kita mau menabuhnya. Alat perkusi merupakan barangbarang bekas yang tidak terpakai, misalnya ember bekas, kaleng bekas, bekas galon air, tabung paralon yang pada ujungnya memakai kulit atau karet seperti dogdog tetapi agak panjang dan kecil bentuknya. Untuk itu belajar musik perkusi sangat mudah sekali untuk mengasah kepekaan rasa.
Di bawah ini aturan atau cara memabuh perkusi yang diberikan kepada anak-anak pada waktu PKM di SDN Babakan Sentral 3 dan 4. Hasilnya cukup memuaskan, mereka mengikutinya dengan penuh semangat. Perkusi:
- Yang ke 1 ember bekas di-pukul2 mengikuti ketukan. - Yang ke 2 ember di pukul sebagai aloknya. - Yang ke 3 aqua diisi pasir dari ketukan ke satu sampai ke empat, ditum-ahin sehingga mengeluarkan suara. - Yang ke 4 ketukan yang dipukul pada ketukan ke dua dengan ke empat Selain perkusi juga ada vocal, karena yang termasuk pada karawitan itu ada karawitan vocal, karawitan instrumental dan campuran atau karawitan vocal dan instrumental. Yang dimaksud dengan karawitan vocal ialah yang terdiri dari suara manusia saja tanpa diiringi, karawitan instrumental yang terdiri dari alat-alat musik saja, yang dimaksud dengan karawitan campuran ialah karawitan vocal diiringi oleh instrument. Inilah contoh karawitan vocal yang diiringi oleh perkusi, sehingga antara vocal itu saling memberi dan juga mengisi kekosongan. Yang dimaksud
247
keko-songan disini antara vocal dan perkusi itu saling mengisi tidak ada waktu kosong tetapi semuanya itu diisi oleh bernyanyi dan memainkan alat perkusi. Di bawah ini contoh vocal dan diiringi oleh alat perkusi:
PENUTUP Alat perkusi bisa untuk mengiringi vocal maupun tarian, sehingga sua-ranya enak didengar. Alat ini bisa dipukul oleh siapa saja asalkan mereka sudah mempunyai rasa irama dan rasa keindahan. Karena alat musik terse-but mudah didapat dimana-mana asalkan mau mencarinya. Seperti yang telah dilakukan di SDN Babakan Sentral meskipun alat-alat kesenian tidak tersedia dengan barang bekas pun jadi, yang penting guru dan anak-anaknya tetap semangat dan materi pembelajarannya sudah di-siapkan. Menurut pengakuan Kepala Sekolahnya, Hj. Yulia Linggawati, S.Pd. bahwa anak-anak di SDN Babakan Sentral sangat mendambakan pelatihan kesenian, karena di sekolah tersebut tidak ada guru seni yang khusus menga-jarkan mata pelajaran kesenian. Meskipun demikian diharapkan anak-anak dapat terus mengembangkan kesenian yang telah diberikan, terutama guru-gurunya walaupun bukan guru kesenian dapat mendukung adanya pela-tihan kesenian.
1. Lagu: Melati Suci Melati bunga melai Ditaman indah berseri Berkembang indah dan murni Perlambang kasih nan suci Melati melati Kau bunga melati Melati melati Dilambang kasih nan suci 2. Lagu: Gumbira karya : Mang Koko Laras : Pelog Surupan: 1 = Tugu Gerakan : Gumbira
DAFTAR PUSTAKA Koko Koswara, Cangkurileung III, Mitra Buana 1991
Hate
bungangang, rapot alus angkana Seuri gumbira Ha-ha-ha-ha-ha Seubeuh pamuji, irung ge asa kembung Igel-igelan Pak-pong-pak-pong gung Hate bungangang, itungan bener kabeh Seuri jeung surak, Heup- heup-heup-heup-horseh Waktu pakanci ulin bareng ngalabring Karakawihan turang-turaring
Wawancara dengan Hj. Yulia Linggwati, S.Pd, Kepala Sekolah SDN Babakan Sentral 3 dan 4.
248
Lampiran
Anak-anak peserta pelatihan sedang menari pada lagu gumbira (Photo: Etty S.2014)
249
Anak-anak sedang memainkan perkusi dari barang bekas. (Photo: Etty S.,2014)
TREND PANGATIK PEREMPUAN DALAM PERTUNJUKAN KUDA RENGGONG DI KABUPATEN SUMEDANG Euis Suhaenah Prodi Seni Tari, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung Abstrak Trend Pangatik perempuan dalam kesenian Kuda Renggong merupakan fenomena yang baru muncul sebagai pangatik/juru tari dalam industi kreatif seni tradisi yang dibingkai dalam sebuah pertunjukan masa kini. Kreativitas seni tersebut diusung oleh beberapa aspek yang saling mendukung satu sama lainnya. Aspek penting dari pertunjukan itu mencakup aspek koreografi, musik dan tata rias busana, yang melahirkan nilai-nilai estetik dari pertunjukan tersebut. Kelompok pangatik perempuan merupakan upaya hasil kreatif yang memiliki daya tarik khusus yang pada akhirnya dapat memperoleh nilai lebih yaitu nilai sosial yang bisa menjadi identitas khas dan popularitas, dan dari nilai ekonomi dimana pertunjukan ini bisa meningkatkan nilai harga dan finansial bagi kelompoknya. Kata kunci; trend, pangatik, perempuan, kuda renggong.
PENDAHULUAN Pada kesenian Kuda Renggong , sebagai pelaku utamanya adalah anak sunat dikhitan/digusar. Karena adanya anak khitan dan gusaran, maka hadir pula kesenian Kuda Renggong. Djaka Soeryaman dalam bukunya yang berjudul Pengetahuan Dasar Sunda mengatakan, bahwa selain anak sunat, kuda yang berperan penting, karena yang dinamakan Kuda Renggong obyeknya kuda. Kedudukan pangatik dalam pertunjukan Kuda Renggong merupakan pelengkap dan penggembira kehadirannya sangat berarti, begitu pula pemusik dalam kesenian Kuda Renggong merupakan penunjang (1984: 84). Pernyataan ini menunjukkan peranan pangatik dan pemusik merupakan hal yang penting keberadaanya untuk menunjang bagi sebuah pertunjukan seni Kuda Renggong.
Perlu dijelaskan disini dalam group kesenian Kuda Renggong dalam manajemen tradisi pengorganisasian memiliki 3 (tiga) manajer/ pimpinan atau pupuhu, yakni pimpinan Kuda Renggong, pimpinan musik pengiring Kuda Renggong dan pimpinan pangatik perempuan atau juru tari Kuda Renggong. Masing-masing anggota dan pimpinan kelompok kesenian Kuda Renggong biasanya masih ada hubungan kerabat. Populer pangatik perempuan dalam pertunjukan Kuda Renggong dimulai sekitar 1990-an yaitu ketika dalam kegiatan festival Kuda Renggong, didalamnya ada khusus penilaian kejuaran kepenarian. sejak itulah trend pangatik perempuan Kuda Renggong bermunculan kelompok atau group pangatik perempuan, di Kabupaten Sumedang yang terkenal dewasa ini ada
250
diantaranya; di Kecamatan Buahdua group Arum Sari pimpinan Ibu Arum, group Sri Layung Sari pimpinan Ibu Entar, group Dahlia Wangi pimpinan ibu Imik, di Kecamatan Conggeang adalah group Tarate Emas pimpinan Ibu Aning, dan di Kota Sumedang grup pangatik perempuan dari sanggar tari Amburina pimpinanan Ibu Rina. Masing-masing kelompok pangatik perempuan tersebut telah memiliki wilayah panggungan/pasca pasar pengguna jasanya yang tersebar di Kabupaten Sumedang. Mengkaji permasalahan trend pangatik perempuan dalam pertunjukan Kuda Rengggong fokus pembahasan pada fenomena eksistensi pangatik perempuan dari awal kehadiran yang dikaitkan dalam konteks seni pertunjukan hingga saat ini, hal ini menarik diungkap karena kehadiran pangatik perempuan bukan saja sebagai pelengkap atau penggembira dalam konteks seni pertunjukan Kuda Renggong, namun pangatik perempuan saat ini merupakan daya tarik khusus bagi pengguna jasa seni Kuda Renggong, selain itu pula telah memiliki nilai ganda dari segi ekonomi dapat menambah finansial, dan secara sosial meningkatkan populeritas bagi kelompoknya.
dalam perkembangan Kuda Renggong di Kabupaten Sumedang. Kehadiran pangatik perempuan pada saat ini tidak lagi merupakan pelengkap dan penggembira, namun dalam perkembangannya telah mengalami perubahan, dimana peranan pangatik telah integral yang mewarnai seni Kuda Renggong dalam konteks seni pertunjukan yang diminati sepanjang masa oleh masyarakat Sumedang. Secara kronologi awalnya kedudukan pangatik perempuan sebagai patner kuda dalam helaran Kuda Renggong dalam upacara inisiasi sunatan/khitanan/gusaran, sebagai penari latar dalam pertunjukan Kuda Renggong dan Kuda Silat, dan sebagai penari barisan depan dalam pertunjukan Kuda Renggong dalam upacara penyambutan tamu. Struktur penyajian pangatik perempuan dipilah 3 (tiga) kategori : (1) pangatik perempuan dalam sarana helaran untuk upacara khitanan/gusaran yang berperan sebagai patner Kuda , dari gerak maknawi yang tampak tampikan oleh pangatik perempuan gerakangerakan yang disebut mincid, menyerupai perilaku petani ketika berjalan ngingkig tidak lain menyerupai jenis gerak yang disebut gesture. Gerak yang dilakukan secara imitatif dan mudah dinterprestasikan ini tidak hanya meniru seorang petani yang sedang berjalan di pematang sawah atau huma dengan cara ngagedig (berjalan kaki cepat), namun didalamnya terpancar keindahan sebagai bagian dari komponen seni pertunjukan yang penting. Busana pangatik yang dikenakan simpel, yakni kebaya, celana panjang, sampur, sandal/sepatu tali dan
PEMBAHASAN Pangatik Perempuan Dalam Pertunjukan Kuda Renggong Istilah pangatik, sebutan juru tari dalam kesenian Kuda Renggong, kehadiran pangatik merupakan pelengkap dan penggembira, namun dalam perkembangannya telah mengalami perubahan, kedudukan pangatik yang menarik pada dewasa ini merupakan trend
251
topi. Rias sehari-hari, rias cantik dengan bedak yang tipis dan lipstick. (2) pangatik perempuan dalam sarana pertunjukan Kuda Renggong Silat berperan sebagai penari latar, gerakan yang disajikan gerak murni, yakni ayunan lengan dan hentakan kaki mengikuti irama musik dan gerak improvisasi lebih menekankan merespon gerak Kuda Silat yang berpatner dengan pangatik lakilaki/pelatih kuda. Busana yang dikenakan kebaya, sinjang/rok batik, sampur/selendang, sanggul cepol diselipi bunga plastis, sandal/sepatu tali. Rias sehari-hari, rias cantik, namun bedak agak tebal, alis, pemerah bibir/lipstck, , pemerah pipi mascara, (3) pangatik perempuan dalam pertunjukan Kuda Renggong sarana penyambutan tamu, penyajian penari dikemas telah memiliki koreografi dan pola lantai. Busana yang dikenakan kebaya modifikasi, kain /rok batik, sampur, sanggul dihias dengan bunga plastik, anting, ikat pinggang, sepatu tali. Rias sehar-hari, rias cantik, bedak dipertebal, pemerah pipi/ ros pipi, lipstick/pemerah bibir, alis, eye liner, shadow dan bulu mata. Sajian pangatik perempuan dalam pertunjukan Kuda Rengggong sangat menarik dan mempesona, daya tarik pangatik perempuan merupakan sosok penebar pesona dalam konteks seni pertunjukan Kuda Renggong. Hal ini merupakan kodrat yang telah diberikan oleh Sang Pencipta kepada sosok perempuan. Sosok perempuan sebagai penebar pesona keindahan merupakan kontruksi sosial yang diciptakan kaum laki-laki yang kemudian disepakati dan dilegimitasi bersama oleh masyarakat umum. Pesona inipun muncul dalam
pertunjukan Kuda Renggong trend pangatik perempuan menjadi sentral dan magnet yang membuat seni pertunjukan tari pangatik perempuan disukai oleh pengguna jasa maupun penontonnya. Maka tak mengherankan kelompok pangatik perempuan ketika musim hajatan di masyarakat Sumedang banyak panggungannya. Selain itu pula, daya tarik pangatik perempuan penampilan yang dinamis dan atraktif tarian yang disajikan, koreografi yang telah tertata rapih, motif gerak yang sederhana divariasikan sehingga gerakan tersebut tidak mononton, pangatik perempuan Kuda Renggong merupakan bentuk seni tari yang lahir dan hidup di kalangan rakyat. Sebagai ciri adalah memiliki nilai spontanitas, “ sederhana” dan bertema ungkapan gembira. Hal ini merujuk pendapat Soerdarsono, yang mengatakan; bahwa seni pertunjukan rakyat merupakan sajian yang cukup sederhana baik itu dalam pengungkapan tari maupun musiknya, sebab yang diperlukan bukan presentasi artistik yang tinggi tetapi menyangkut kebutuhan rohani dalam arti dikaitkan dengan ritual dan kesenangan untuk hiburan ( 1976:21). Dari gerak pokok minjid atas kreativitas lulugu pangatik menjadi gerakan yang variatif, dan dinamis untuk disajikan dalam pertunjukan Kuda Renggong. PENUTUP Kehadiran Pangatik perempuan dalam pertunjukan Kuda Renggong telah membawa berubah kedudukan sebagai penggembira, penari latar dan penari utama dalam konteks Kuda Renggong sebagai seni pertunjukan, pangatik
252
Creogragraphy. Pittsburgh. University Pitttsburgh Press.
perempuan berperan sangat penting secara integral tidak bisa dipisahkan dalam ruang lingkup seni pertunjukan Kuda Renggong. Kehadiran pangatik perempuan dalam pertunjukan Kuda Renggong diawali dengan kegiatan Festival Kuda Renggong tahun 1985-an , selanjutnya trend pangatik perempuan kegiatan Festival Kuda Renggong tahun 1990-an adanya penilaian khusus kepenarian dalam festival Kuda Renggong. Hal ini telah mendorong para pangatik perempuan untuk berkreativitas yang bersumber pada kekayaan batin, sikap, dan kepekaan terhadap hidup lingkungannya. Kekayaan batin ini diperoleh manusia dalam hidupnya melalui pengetahuan, pengalaman dan kemampuan dalam imajinasi, yakni menciptakan hubungan – hubungan baru, membandingkan, menambah, mengurangi, menenbus,hakiki dalam suatu susunan struktur baru yang bermakna. Hasil kreativitas pangatik perempuan dalam pertunjukan Kuda Renggong pada akhirnya diperoleh nilai ganda, yakni dari segi sosial diperoleh populeritas kelompoknya, dari segi ekonomi secara fimansial profesi pangatik dapat menunjang ekonomi kelompok dan keluarganya.
Djaka Soeryaman,1984, Pengetahuan Dasar Kebudayaan Sunda. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Pasudan (UNPAS) Bandung. Encep Suhara 2010 “ Komunikasi Pribadi” Sumedang.
Di
Euis Suhaenah, 2004, “Perkembangan Fungsi Kuda Renggong di Masyarakat Sumedang“. Tesis, Pengkajian Seni Pertunjukan Pascasarjana Insitiitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. -------------,2006, “Pangatik dalam pertunjukan Kuda Rengggong “ artikel dalam buku Jaringan Makna Tradisi hingga Kontemporer, Editor M. Agus Burhan . Yogyakarta: BP Institut Seni Indonesia Yogyakarta Hawkins, Alma.,1964, Creating Tharough Dance. Englerwod Cliiff Nj.Pren-Hal Inc. Hermien Kusmayati,2000., Arak-Arakan Seni Pertunjukan Dalam Upacara Tradisionsal Di Madura. Yogyakarta: Yayasann Untuk Indonesia. Meri. La.,1985, Dance Compotion The Basis Elemens. Terjemahan Soedarsono. Masssachusetts; Jacob’s Pillow Dance Festival.
DAFTAR PUSTAKA Artur.S.Nalan,1994, Anatomi dan NormaNorma Penyajian Teater : Suatu kajian tentang presentasi teater rakyat. Diktat Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung.
Soedarsono., 1976, Mengenal Tari-Tari Rakyat di Daerah Jawa. YogyakaSrta: ASTI Yogyakarta
Blow, Lynne Anne and Chaplin L. Tarin., 1982, The Intimate Act of
253
MANAJEMEN PRODUKSI MUSHAF AL-QUR’AN DENGAN ILUMINASI GAYA LIMBANGAN SEBAGAI MODEL INDUSTRI KREATIF DI MASYARAKAT PESANTREN JAWA BARAT Ai Juju Rohaeni, Zaenudin Ramli, Wildan Hanif, Abstrak Each text of the ancient manuscripts in Nusantara, one of storing wealth and diversity of Indonesian culture. The ancient manuscript typically contains about Tarikh, history, religion, advices, royal letters of the king, or fables. The most interesting element of the ancient manuscripts, of course, is the presence of illumination that used to appear in every pages of the codex, accompanied writings, letters, characters or calligraphy. Illumination is sometimes present as a concept illustrations and ornamental decoration to beautify a record of the contents contained in the codex. For example, in Nusantara, ancient manuscripts decorated with illumination is generally derived from the same tradition, the Pesantren. In the Book of Al- Qur'an, illumination usually decorate the beginning, middle and end of the Qur'an. Decoration in this third part is a very important part in the art of Qur'an manuscripts. Interestingly, the most ornamental illumination found in all manuscripts of the Qur'an in Nusantara. The specificity of the illumination is contains some elements of art, such as the decorative motifs of plants, floral, geometric and fauna, and the deformation of the shape of animals. This study is a strategic effort to raise and manage a production Mushaf Al-Quran through illumination, enrichment motive, medium and alternative techniques in the Pesantren, especially in West Java Limbangan. The resulting outcome is a work of Illumination Design Style Limbangan manuscripts, which are used to decorate the edge of Surah Yasin, as the initial prototype. Keywords: Illumination, Mushaf Al-Quran, Creative Industries
PENDAHULUAN Penelitian terhadap naskahnaksah kuno nusantara belum banyak dilakukan oleh para peneliti. Padahal, kebudayaan dan kesenian di Indonesia ditengarai memiliki banyak beragam naskah maupun manuskrip-manuskrip kuno. Sebagai contoh apa yang telah dikaji oleh Mu’jizah bahwa praktik iluminasi sudah dilakukan oleh para raja nusantara dan pemerintah HindiaBelanda pada abad ke-18 dan 1922. .
Naskah kuno yang ditemukan biasanya berisi tentang tarikh, agama, nasehatnasehat, surat para raja ataupun dongengdongeng. Unsur yang paling menarik dari lembaran-lembaran naskah kuno tersebut, tentunya kehadiran iluminasi yang tampil mendampingi setiap teks. Iluminasi tersebut terkadang hadir sebagai konsep ilustrasi ataupun hiasan dekorasi untuk memperindah suatu catatan isi yang terdapat dalam naskah kuno. Para penyalin iluminasi mengembangkan tradisi sendiri dengan pengaruh tradisi lokal. Ada yang menarik dari banyak kesamaan naskah-naskah
22
Muji’zah, Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19, Penerbit KPG, Jakarta, 2009.
254
iluminasi yang umumnya bertuliskan atau berhuruf Arab tersebut muncul dalam tradisi yang sama yaitu: pesantren. Naskah-naskah itu kemudian ditulis untuk teks-teks kitab dalam kertas yang khas yakni daluwang. Menurut kamus oxford advanced leaner's dictionary, oxford university press (2005), istilah iluminasi (illumination) berasal dari akar kata illuminate, berarti to light up, to make bright, to decorate yakni hiasan yang bersifat abstrak, tidak fungsional menjelaskan teks seperti ilustrasi, dan berfungsi semata “menerangi”, atau sebagai “penerang” bagi teks yang disajikan. Dalam bahasa Arab disebut tazhib (dari kata zahab, berarti emas, karena biasanya hiasan iluminasi disepuh dengan emas). Sementara itu Oleg Grabar seorang sejarawan dan peneliti seni Islam dalam bukunya yang berjudul: Illustration of the Maqamat (1984), menyatakan iluminasi merupakan “suratsurat bergambar”. Gambar atau lebih tepatnya dekorasi naskah tersebut mendukung kejelasan teks naskah. Dalam ilmu pengetahuan modern, iluminasi disejajarkan dengan ilmu kodikologi (ilmu pernaskahan). Contoh penemuan mushaf AlQur’an dan iluminasi Cirebon ditunjukkan dalam gambar di bawah ini. Jenis mushaf Al-Qur’an ini dimiliki oleh kraton Kacirebonan, ukuran 19,5x13x6 cm, bidang teks 12,5x8,5 cm seperti yang tampak mushaf ini telah rusak, tidak lengkap mengalami pemotongan ulang, karena banyak teks dipinggir halaman yang terpotong. Tidak seperti kebanyakan mushaf yang beriluminasi di awal, tengah, dan akhir, naskah ini
beriluminasi pada setiap awal surah. Hiasan iluminasinya mencerminkan motif-motif khas Cirebon, setiap surah dengan iluminasi yang berbeda. Kepala surah ditulis dengan kaligrafi floral yang unik. Jenis tulisan yang dipakai padaMushaf di atas adalah Naskhi, yakni jenis tulisan yang biasa digunakan untuk menulis Al Quran yang paling populer di dunia. Khat Naskhi juga sering digunakan untuk teks majalah, Koran, atau naskah- naskah buku. Karakteristik khat ini adalah : 1. Tingkat keterbacaan yang baik dan jelas dibandingkan dengan jenis khat yang lain, 2. Gaya yang tersusun rapi berbaris dengan tanda harokat (bunyi vocal dalam tulisan Arab) yang terisi lengkap. Pada tahun 1997, di Jawa Barat telah dikeluarkan Mushaf Al-Qur’an dengan istilah “Sundawi”. Sundawi digunakan dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan konsep desain dan tatanan iluminasi yang diterapkan pada setiap halaman mushaf. Pada prinsipnya ada dua jenis sumber inspirasi atau acuan desain yang digunakan. Pertama, yang referensinya berasal dari motif Islami Jawa Barat, misalnya memolo mesjid, motif batik, ukiran mimbar, mihrab, dan artefak lainnya, dengan catatan bahwa motif-motif tersebut tidak bersifat anthropomorphic (dari bentuk manusia) ataupun zoomorphic (dari bentuk binatang). Jenis motif kedua, yaitu desain yang bersumber pada sejumlah flora tertentu yang khas Jawa Barat, seperti gandaria dan patrakomala. Penolakan terhadap sifat anthropomorphic dan zoomorphic merupakan aktualisasi penghayatan
255
bahwa seni Islam bukanlah menyalin kenyataan yang ada seperti halnya konsep seni di Barat yang hadir seni sebagai mimesis. Menulis dan iluminasi segera menjadi ciri dan peradaban Islam. Maka seni Islam dan kehidupan Islam hadir sebagai entitas yang tidak dapat dicerai-beraikan satu dengan yang lainnya. Bisa ditarik kemudian dari perkembangan mushaf Al-Qur’an sekaligus iluminasinya yang terjadi di Jawa Barat, memiliki aspek-aspek tradisi yang kuat serta perkembangan dalam setiap periode waktunya. Hal ini berdasarkan dengan konsep iluminasi tersebut disandingkan dengan tema alam dan lingkungan sekitar yang disesuaikan dengan kenyataan artefak kebudayaan yang sudah ada sebelumnya.
berikut dengan potensi dan hasil-hasil karya seni yang akan dibuat. Konteks penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai tema iluminasi Al-Qur’an sebagai tema seni rupa Islam Indonesia, bisa ditengarai belum melihat peluang masyarakat kalangan pesantren sebagai publik seni yang diaktifkan secara serius. Di Jawa Barat sendiri, mushaf Al-Qur’an dengan iluminasi gaya limbangan dengan menilik pengolahan kepada tradisi, alam dan lingkungan merupakan iluminasi dengan karakter baru, dibandingkan dengan iluminasi-iluminasi Al-Qur’an yang dibuat dan telah ada sebelumnya. Hal ini diakibatkan dengan artefakartefak kebudayaan yang dimiliki oleh daerah Limbangan. Studi pustaka yang dilakukan memakai pendekatan 3 literatur keilmuan, yakni : 1. Literatur tentang ilmu manajemen, khususnya manajemen produksi, 2. Literatur mengenai Seni Rupa Islam, khususnya yang berkaitan dengan ornamentasi dan seni arabesque, 3. Literatur berupa manuskrip dan Mushaf Al Quran untuk perbandingan gaya tulisan / khat dengan desain iluminasi. Penelitian “Manajemen Produksi Mushaf Al-Qur’an dengan Iluminasi Gaya Limbangan sebagai Model Industri Kreatif di Masyarakat Pesantren Jawa Barat”, yang direncanakan memakan waktu 3 tahun ini menghasilkan output, sekurang-kurangnya sebagai berikut: 1. Menghasilkan jenis khat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan iluminasi gaya limbangan. Khat Al-Qur’an tersebut pada akhirnya akan dipakai ke dalam mushaf Al-Qur’an.
PEMBAHASAN Penelitian ini tidak terlepas dari positioning research dari penelitianpenelitian sebelumnya. Tema yang diambil dengan judul: “Manajemen Produksi Mushaf Al-Qur’an dengan Iluminasi Gaya Limbangan sebagai Model Industri Kreatif di Masyarakat Pesantren Jawa Barat”, tidak terlepas dari bingkai dan alur pengembangan seni rupa yang secara khusus memuat konsep dan muatan ke-Islaman sebagai konstruk kebudayaan dan kesenian. Sementara topik penelitian yang diangkat adalah produksi sekaligus pengelolaan mushaf Al-Qur’an di kalangan masyarakat pesantren. Penelitian ini mengangkat muatan-muatan Islam tradisional yang terdapat dalam masyarakat pesantren,
256
2. Iluminasi gaya Limbangan, yang bentuk dan pola (pattern) dihasilkan dari pengolahan tradisi, alam dan lingkungan Limbangan sendiri. Tahapan desain iluminasi gaya Limbangan akan diberikan kepada pada santri di pesantren Limbangan lewat workshop iluminasi Al-Qur’an. Kemudian, pewarnaan Iluminasi gaya Limbangan, selanjutnya akan menempuh metode pewarnaan konvensional dan digital. 3. Cetak cover iluminasi mushaf AlQur’an dan isi iluminasi Al-Qur’an, dalam tahap ini iluminasi gaya limbangan akan diproduksi melalui cover mushaf Al-Qur’an berikut isi iluminasi mushaf Al-Qur’an. 4. Membuat model outlet industri kreatif. Bisa berupa pembuatan online shop iluminasi mushaf AlQur’an untuk merambah pasar mushaf dan iluminasi yang lebih besar. Produknya sendiri menitikberatkan kepada produkproduk kreatif yang berbasis konsep iluminasi yang dibuat oleh para santri. Hal demikian bisa memberikan kemandirian dan pemasukan secara komersil bagi pasantren dan para santrinya.
masyarakat pesantren untuk melakukan wawancara dan diskusi mengenai kehidupan dalam konteks “skala kecil” dan kehidupan tradisional masyarakat pesantren. Ini diperlukan untuk menggali aspek budaya dan nilai- nilai kearifan lokal yang bisa dijadikan rujukan atau masukan agar sumber daya manusia yang akan dilibatkan nanti bisa beradaptasi dengan nyaman dalam Manajemen Produksi Mushaf. Para santri diperkenalkan pada sejarah seni kaligrafi Islam dalam konteks kebudayaan dan kesenian Islam, berikut diperkenalkan juga berbagai genre dari kaligrafi Islam yang lebih dikenal dengan istilah khat. Penekanan dilakukan pada 2 (dua) jenis khat yang sering dipakai dalam membuat Mushaf Al Quran, yakni Khat Tsuluts dan Khat Naskhi. Khat Tsuluts, adalah jenis tulisan arab dengan karakteristik yang dekoratif dan penuh tanda baca (syakal) dan hiasan (Nibrah). Biasa dipakai sebagai Judul Surah dalam Al Quran. Hiasan kain kiswah Ka’bah juga memakai Khat Tsuluts. Huruf- huruf dalam Ayat Al Quran yang memakai khat tsuluts bisa dijalin sedemikian rupa dan dikomposisikan menyerupai struktur bentuk tertentu (Bulat, Oval, Kotak, bahkan figuratif) Khat Naskhi, adalah jenis khat yang dipakai untuk penulisan Al Quranul Karim, serta naskah- naskah buku teks, majalah, Koran, ataupun teks yang bersifat informatif lainnya. Jenis Tulisan / Khat Naskhi inilah yang nanti akan dipakai dalam ayat- ayat pada Mushaf Al Quran yang diproduksi oleh Peneliti dan Santri.
Langkah awal yang dijadikan sebagai model percontohan yakni beberapa pesantren Al-Qur’an di Limbangan, Jawa Barat. Pengujian dan pengukuran akan melibatkan para ulama pesantren Sebelum memasuki tahapan teknis dan cara membuat Mushaf, Para Peneliti terlebih dahulu melakukan observasi ke lapangan. Dalam Observasi tersebut, para peneliti terjun langsung ke
257
Pembekalan pengetahuan tentang Khat akan diperkenalkan kepada para Santri. Jika memungkinkan, para santri akan dilatih untuk menulis khat Naskhi dan Tsuluts, dan jika ada yang memenuhi standard kelayakan tulisan, akan diikutsertakan sebagai Tim Penulis Ayat Al Quran. Penggunaan material yang lazim digunakan sebagai pra-desain awal untuk khat, adalah pensil, spidol, pena handam (kayu khusus) dan kertas. Sementara, dalam pendekatan budaya, para peneliti melakukan diskusi, wawancara, tanya-jawab dengan pemimpin pesantren, ahli budaya dan geografi Limbangan, dan para santri, mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kendala dan peluang-peluang yang bisa dikembangkan. Terutama mengenai Jenis tanaman atau tumbuhan apa yang bisa dijadikan simbol/ ikon Limbangan, yang kedepannya bisa menjadi ciri khas ragam hias yang tidak ada di tempat lain. Bentuk- bentuk yang sering muncul dalam arsitektur dan interior rumah di Limbangan, juga menjadi rujukan untuk membuat iluminasi/ ornamentasi Mushaf. Adapun hasil yang sudah dicapai dan tahapan yang sudah dilakukan selama Bulan Maret s.d akhir Juni 2014 adalah sebagai berikut: Kunjungan & survey kondisi santri, serta pertemuan dengan Ahli Budaya Limbangan. Pertemuan dengan Ahli Budaya Limbangan diwakili oleh Tokoh Budaya & Penyiar Radio terkenal di Limbangan, yakni Bapak Asep “ Ceuceu”. Disebut Ceuceu, karena sering membawakan suara Ibu Ceuceu dalam dongeng / cerita hiburan siang di radio Limbangan. Bapak Asep bersama dengan KH. Jujun Junaedi (Pimpinan
Ponpes Al Ghoniyyah) merupakan dua tokoh yang kompak berpartner dalam mengisi acara- acara budaya & keagamaan yang berjudul “Bajidor’ , singkatan dari Bari Ngaji jeung Ngabodor (Mengaji sambil Menghibur Warga dengan Humor). Pertemuan berlangsung hangat dan produktif, menghasilkan beberapa masukan sebagai berikut: 1. Jenis Tumbuhan yang bisa dipakai sebagai ikon Limbangan adalah Kembang Wijayakusumah dan Bunga Teratai kolam. 2. Tumbuhan Bambu dan Hanjuang juga bisa dijadikan alternatif ikon untuk bisa distylasi menjadi ragam hias. 3. Gaya Susunan Bambu dan Bunga Bulat Empat, sebagai jenis hiasan bambu dari arsitektur Rumah di Limbangan, dapat dipakai sebagai Hiasan Sudut Mushaf Al Quran. Tim Peneliti bersama KH,. Jujun Junaedi sebagai pimpinan pesantren lalu menyeleksi para calon peserta workshop. Tim Peneliti berdiskusi dengan KH. Jujun Junaedi (Pimpinan Pondok Pesantren), tentang kriteria para calon peserta yang akan mengikuti workshop kaligrafi, desain grafis, dan pembuatan Mushaf. Para peserta yang akan dilibatkan untuk workshop diharapkan memiliki: 1. Keterampilan membaca dan menulis Al-Quran (syarat pokok & utama), 2. Memiliki minat terhadap seni kaligrafi Islam (terindikasi dari hasil karya tulisan kaligrafi atau aktifitas sehari- hari yang berhubungan dengan
258
kaligrafi), 3. Memiliki jiwa seni & mampu menggambar tanaman/ tumbuhan yang sederhana, 4. Sehat fisik maupun mental. Tahapan selanjutnya adalah menentukan prototype/ model Mushaf Limbangan yang akan dibuat. Tim peneliti merumuskan beberapa kriteria model Mushaf yang layak untuk dijadikan model sebelum dicetak dan dipublikasikan setelah penelitian ini, yakni sebagai berikut : a. Jenis Khat untuk judul Surat adalah Khat Tsuluts, b. Jenis Khat untuk ayat Al Quran adalah jenis Khat Naskhi, c. Surat yang akan diterapkan atau dituliskan untuk model Mushaf Al Quran Gaya Iluminasi Limbangan adalah Surat Yasin, dengan pertimbangan akan bermanfaat minimal untuk Masyarakat di Limbangan Jawa Barat yang rata- rata berasal dari kalangan Nahdliyyin (N.U) yang sering mengadakan tradisi Yasinan, yakni membaca Surat Yasin pada setiap malam Jum’at atau ketika acara tahlilan di rumah orang yang meninggal dunia. Surat Yasin ini akan ditulis oleh anggota peneliti yang pernah menjuarai lomba menulis Al Quran kategori naskhi pada Peraduan Menulis Khat tingkat Asia Tenggara (ASEAN) di Negara Brunei Darussalam pada tahun 2000, yakni Wildan Hanif, S.Sn., MDs, dan d. Pembuatan stilasi dan iluminasi di komputer dengan memakai perangkat lunak / software Corel Draw XV.
Para Santri peserta workshop berjalan dengan lancar dan produktif. Tahapantahapan yang dilalui dalam penelitian yang berjudul Manajemen Produksi Mushaf Al-Qur’an dengan Iluminasi Gaya Limbangan sebagai Model Industri Kreatif di Masyarakat Pesantren Jawa Barat berjalan sesuai rencana. Sedikit perubahan pada rencana adalah penentuan kandidat Penulis Mushaf dengan khat Naskhi, yang pada awalnya peneliti harapkan berasal dari santri, akan tetapi belum ada yang memenuhi standard penulisan Mushaf untuk dicetak dan dipublikasikan secara massal. Oleh karena itu penulisan Naskah diserahkan kepada tenaga ahli dari anggota peneliti. Target Luaran yang kami canangkan berupa Model Produksi, Desain (khat plus iluminasi), dan Karya Mushaf Al Quran dengan Gaya Iluminasi Limbangan telah diselesaikan dan diwujudkan sesuai jadwal penelitian. Peneliti juga telah mendaftarkan Hak Cipta dari Karya Mushaf tersebut. DAFTAR PUSTAKA Bloom, Jonathan M, 2001, Paper Before Print: The History and Impact of Paper in the Islamic World. New Haven, Conn., and London: Yale University Press. Burckhardt, Titus, 2001, Spiritualitas Seni Islam, dalam Spiritualitas Islam: Manifestasi, Penerbit Mizan, Bandung.
PENUTUP Setelah melakukan berbagai tahapan penelitian, kami menyimpulkan bahwa penelitian yang melibatkan Budayawan, Pimpinan Pesantren, dan
George, Kenneth. M, 2001, Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia, Penerbit Mizan-Bandung, 2012
259
diterjemahkan dari Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld, WileyBlackwell, United Kingdom.
Mushaf
Mushaf DEPAG R.I, Al Quranul Karim, cetakan 2014
Hadi, Abdul, W.M, 2004, Seni Islam dan Akar-akar Estetiknya, dalam Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, Mizan. Karim,
Turki, Al Quranul Karim, cetakan 1984
M.Ehsanul, Anthropology, Institute of Statistical Research and Training, University of Dhaka, Dhaka1000, Bangladesh.
Khatibi, Abdelkebir, and Sijelmassi, Mohammed, 1994, The Splendour of Islamic Calligraphy. London: Thames and Hudson. Sirojuddin, D. AR, 2011, Potret dan Potensi Pengembangan Seni Kaligrafi Islam di Indonesia, Disampaikan pada Seminar Seni Rupa Islam Indonesia: Tantangan Perkembangannya Kini dan Mendatang, dalam rangka Pameran Seni Rupa Kontemporer Islami BAYANG, Yayasan INISAF, di Galeri Nasional Indonesia. Mushaf Al Quran: Mushaf Sundawi, Al Quranul Karim, cetakan tahun 1997 Mushaf Salamadani, Al Quranul Karim, cetakan 2013 Mushaf Madinah, Al Quranul Karim, cetakan 2010 Mushaf Mesir, Al Quranul Karim, cetakan 1984
260
LAMPIRAN
Gambar 1. Mushaf Al-Qur’an dengan iluminasi khas Cirebon. Kondisi mushaf rusak, sobek dan tidak lengkap. (Sumber: Ali Akbar, 18 Al-Qur’an dari Cirebon, 2012)
Gambar 2. Halaman surah Al-Fatihah dan Al-Baqarah, dengan iluminasi Sundawi. (Sumber: Ali Akbar, Mushaf Sundawi 1997, 2012)
Gambar 3 . Contoh Jenis Tulisan Tsuluts dengan struktur persegi panjang dengan ornamentasi, Hasil Karya Peneliti (Wildan Hanif, MDs)
261
Gambar 4. Salah Seorang Tokoh Budaya dari Limbangan, Asep “Ceuceu”, memaparkan kepada Ketua Peneliti, dra. Ai Juju Rohaeni,M.M., tentang karakteristik Tetumbuhan dan kearifan budaya Limbangan
Gambar 15. Alternatif Desain Iluminasi Mushaf Gaya Limbangan dengan Surah Yasin hal.1
262
REKAYASA SOSIAL MASYARAKAT KARANG TARUNA TIRTAWENING Risyani¹, Dadang Sugandi², Yupi Sundari³ Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buahbatu 212 Bandung
Abstrak Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) merupakan salah satu kewajiban dosen untuk mengaplikasikan ilmu yang dimiliki kepada masyarakat guna membina, menggali dan mengembangkan potensi yang ada di masyarakat tersebut. Kegiatan PKM yang berjudul REKAYASA SOSIAL MASYARAKAT (KARANG TARUNA TIRTAWENING) ini bertujuan memberi pembinaan kepada warga karang taruna Tirta Wening guna menggali potensi yang dimiliki untuk dikembangkan menjadi sesuatu yang bermanfaat dan menguntungkan bagi wilayah tersebut. PKM ini dilaksanakan di Karang Taruna Tirta Wening, wilayah RW 02 Kelurahan Cisusupan Kecamatan Cibiru Kota bandung pada bulan Mei 2014 sampai bulan Oktober 2014. Kegiatan ini diisi dengan silaturahmi dengan warga karang taruna; pelatihan penyusunan produksi seni; seminar menggali Potensi Ekonomi Kreatif; Pelatihan penulisan proposal dan Evaluasi penulisan proposal. PKM ini menghasilkan warga karang taruna yang tanggap terhadap potensi diri yang dibuktikan dengan kemampuan mereka dalam menyusun program acara peringatan HUT RI ke-69, dan pembuatan proposal untuk kegiatan terjadwal lainnya di wilayah Tirta Wening. Kata kunci: rekayasa sosial, masyarakat, karang taruna.
PENDAHULUAN
bagi Karang Taruna Tirtawening secara berkelanjutan. Adapun permasalahan mendasar terkait dengan mitra Karang Taruna Tirtawening adalah kekurangpekaan terhadap kemampuan diri dan potensi disekelilingnya sebagai modal dasar kegiatan rekayasa. Hal demikian dianggap penting karena seringkali ditemukan kesulitan-kesulitan di dalam proses penyelenggaraan diantaranya: kebingungan menentukan tema, kebingungan mengumpulkan dana, kebingungan mencari materi, kebingungan pengadaan alat-alat seni, kebingungan dalam penataan artistik
Kelompok Karang Taruna termasuk ke dalam kategori masyarakat yang tidak produktif secara ekonomi. Akan tetapi, melalui kegiatan ini diharapkan dapat: 1. Mendorong terciptanya kreativitas dan industri kreatif 2. Menemukan model untuk mengukur kinerja pekerja kreatif di industri kreatif 3. Memupuk peran jiwa entrepreneursip dalam pengembangan industri kreatif. Ketiga point tersebut dapat dijadikan pijakan kegiatan riset dan pengabdian
263
panggung dan kelengkapannya di samping rasa bangga dapat tampil di pentas. Oleh sebab itu, melalui rekayasa sosial masyarakat diharapkan terjadi perubahan sosial masyarakat Karang Taruna menuju suatu tatanan baru dan sistem baru, yang disusun dalam bentuk kalimat sebagai berikut: 1) Bagaimana cara merekayasa potensi yang telah ada menjadi suatu produk agar mudah dipahami dan dikuasai ? 2) Bagaimana cara pembelajaran yang tepat, yang bisa disampaikan kepada kelompok masyarakat Karang Taruna Tirtawening ?
masukan akan pentingnya organisasi sosial Karang Taruna yang berkedudukan di desa/kelurahan, rukun warga atau komunitas adat di dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari silaturahmi tersebut diperoleh Struktur Organisasi Karang Taruna Tirtawening yang berpedoman kepada Pedoman Dasar Karang Taruna sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No: 83/HUK/2005 ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 2005, tertanda H. Bachtiar Chamsyah, SE. Diperoleh pula data potensi dan minat anggota Karang Taruna yang sangat dibutuhkan sebagai alat ukur untuk menentukan strategi pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat.
PELAKSANAAN Riset dan pengabdian ini dilakukan melalui studi kepustakaan, riset, pencatatan data lapangan, pelatihan atau penyuluhan, workshop, dan aplikasi ilmu di dalam mengelola kegiatan industri kreatif. Industri kreatif menurut klasifikasi Departemen Perdagangan RI, yaitu: (1). Periklanan, (2). Arsitektur, (3). Pasar barang seni, (4). Kerajinan, (5). Desain, (6). Fashion, (7). Video dan Film, (8). Permainan interaktif (9). Musik, (10). Seni pertunjukan, (11). Penerbitan percetakan, (12). TV dan radio, (13). Jasa komputer & software, (14). Riset & Pengembangan.
2). Penyampaian catatan untuk panitia HUT RI ke-69 Sekaitan dengan konteks rekayasa sosial masyarakat melalui aplikasi kreatifitas seni berorientasi industri kreatif, salah satunya mengelola seni pertunjukan. Untuk mendalami kegiatan produksi seni pertunjukan, telah dilakukan penyusunan program produksi seni pertunjukan pada tanggal 13 Mei 2014 bertempat di rumah bendahara RW 02 Bapak Drs. Dedi Sobari, M.Pd. Pada kesempatan tersebut pelaksana PKM membawakan makalah tentang: catatan untuk panitia HUT Republik Indonesia ke-69 tahun 2014, meliputi: sasaran, rencana materi2kegiatan, hiburan, bazaar, serta kebutuhan lainnya seperti tampak pada gambar di atas.
1). Silaturahmi. Diawali oleh kegiatan silaturahmi dengan pengurus RW 02 Tirtawening dan Karang Taruna yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 7 Mei 2014 bertempat di Masjid Al-Ishlah Tirtawening. Dipaparkan rencana kegiatan PKM sekaligus memberikan
264
3) “Menggali Potensi Ekonomi Kreatif” Tanggal 31 Agustus 2014 bertempat di Masjid Al- Ishlah, disampaikan materi dengan tema “Menggali Potensi Ekonomi Kreatif” meliputi: penjelasan tentang ekonomi kreatif, pendataan usaha-usaha di seputar lingkungan kita, industri kreatif seni, pemanfaatan barang bekas, dan “Dramaturgi”.
6) Evaluasi Penulisan Proposal Tanggal 28 September 2014, kegiatan mengevaluasi hasil rancangan proposal yang diajukan karang taruna berjudul “LOMBA PADUAN SUARA ANTAR ORGANISASI KARANG TARUNA di WILAYAH KELURAHAN CISURUPAN KECAMATAN CIBIRU KOTA BANDUNG TAHUN 2015”
4) Hasil pemaparan materi “Menggali E konomi Kreatif” dan workshop serta simulasi praktek berwirausaha yaitu potensi seni dan kreativitas mengelola pelaksanaan apresiasi seni memperingati HUT RI ke- 69 di lapangan balai warga RW 02 Tirtawening. Potensi kreatif karang taruna ditunjukkan melalui pemasangan layar putih di bagian front stage yang digunakan untuk tayangan review kegiatan, serta desain back drop burung merak karya Billiansyah, di samping pengelolaan potensi warga lainnya, seperti tampak pada (Gambar 04) memperlihatkan layar putih pada front stage yang melatari lurah Cisurupan menyampaikan pidatonya serta pemutaran tayangan riview kegiatan
DAFTAR PUSTAKA Wawancara, ketua rw, ketua karang taruna dan anggota karangtaruna tirtawening
5) Pelatihan Penulisan Proposal Kegiatan berikut yaitu pelatihan mengenai teknik penulisan proposal tertuang pada makalah berjudul “Kisikisi Proposal Usulan Program Kegiatan”, meliputi Isi Proposal; Kerangka Isi Proposal;Persiapan dan Tindak Lanjut Penulisan Proposal. Kepada peserta diberikan tugas menyusun proposal kegiatan.
265
Lampiran
Gambar 01 di atas menunjukan suasana silaturahmi dengan pengurus RW dan Karang Taruna bertempat di Masjid Al-Ishlah 7 Mei 2014
. Gambar 02: Dua gambar menunjukan suasana pemaparan “Menggali Potensi Ekonomi Kreatif” di Masjid Al-Ishlah
266
Gambar 03 Kelompok paduan suara karang taruna dengan back drop karya Billiansyah
Gambar 04 Pidato Revie hasil Kegiatan
267
PROSIDING Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Tahun 2014
Editor Dr. Jaeni B. Wastap., S.Sn., M.Si. Dr. Wanda Listiani,S.Sos.,M.Ds. Husen Hendriyana,S.Sn.,M.Ds.
Staf LPPM Yayat HK.M.Sn. Sutisna, Sm.,HK. Arif Abadi, S.Kom. Kartini Setiawati, S.I.Kom. Ajo Sutarjo Aceng Lukman,S.Sos.
Diterbitkan oleh LPPM ISBI Bandung, tahun 2015 Alamat: Jl. Buah Batu No.212 Tlp/Fax; (022) 7314982/7303021
Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM)
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
KATA PENGANTAR Nilai dan makna seni: Tradisional, industri kreatif, dan budaya urban di era globalisasi menjadi tema besar dalam seminar nasional yang diselenggarakan pada tanggal 19 – 20 Maret 2015, oleh LPPM ISBI Bandung. Nilai dan makna seni ini terangkum dalam prosiding makalah seminar yang dipresentasi kan oleh setiap peneliti sebagai sebuah catatan tentang perkembangan nilai dan makna seni yang saat ini eksis di masyarakat. Seminar nasional yang diselenggarakan ini merupakan upaya diseminasi hasilhasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat agar diketahui oleh seluruh kalangan yang membidangi seni budaya khususnya. Hal ini sangat penting untuk menunjukkan bahwa kehidupan seni budaya Indonesia pada umumnya tidak berada pada level stagnasi. Seni budaya menjadi bagian dari pilar kebangsaan yang menyimpan nilai dan makna, baik secara ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, maupun ketahanan identitas bangsa. Bangsa yang maju akan terlihat pada majunya bidang seni budaya. Membangun seni budaya dibutuhkan proses yang sangat panjang agar dapat mendorong kemajuan sebuah bangsa. Sejalan dengan upaya memajukan sebuah bangsa tersebut, seminar nasional dengan tema “Nilai dan makna seni: Tradisional, industri kreatif, dan budaya urban di era globalisasi” kiranya dapat menjadi bagian dari cara membangun bangsa melalui hasil-hasil pemikiran bidang seni budaya yang dikemas dalam buku prosiding. Sesuai dengan tema seminar , buku prosiding ini pun disusun berdasarkan bidang yang ada, yaitu bidang seni pertunjukan dan bidang seni rupa, serta hasil-hasil dari riset pengabdian kepada masyarakat. Semoga sumbangan pemikiran ini dapat menjadi acuan untuk lebih mengoptimalkan pemikiran yang lebih maju bagi perkembangan seni budaya Indonesia. Akhir kata, ijinkanlah saya selaku ketua lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat (LPPM) ISBI Bandung selaku penyelenggara seminar nasional ini mengucapkan banyak terima kasih kepada pimpinan ISBI dan jajarannya, kepada Rektor ISI Denpasar dan Rektor ISI Surakarta yang bersedia menjadi keynote speaker, kepada seluruh panitia, moderator, presenter makalah, dan peserta seminar nasional, atas bantuannya yang secara nyata terselenggaranya seminar nasional dan sumbangan pemikiran dalam bentuk artikel sebagai substansi perbincangan dalam buku prosiding ini. Dengan demikian, tidak ada kesempurnaan pada diri manusia, sebagaimana tidak ada kesempurnaan penyelenggaraan seminar nasional ini. Untuk itu, dengan tulus saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, jika banyak kekurangan dalam penyelenggaraan seminar nasional ini dan kemasan buku prosiding yang ada di tangan bapak/ibu sekalian. Selamat membaca, semoga hasil pemikiran ini menambah pengetahuan dan dapat menjadi acuan dalam memajukan kehidupan seni budaya di era globalisasi dewasa ini. Bandung, Maret 2015 Ketua, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) ISBI Bandung
Dr. Jaeni B. Wastap., S.Sn., M.Si
ii
DAFTAR ISI
Sampul Dalam Kata Pengantar …………………………………………………………………… Daftar Isi ………………………………………………………………………….. Makalah Keynote Speacker Pergulatan Wacana dalam Pengembangan Musik Tradisi di Era Globalisasi, oleh I Gede Arya Sugiartha ……………………………………………………….. Nilai - Nilai Luhur dalam Seni Pertunjukan Tradisi Jawa Oleh Sri Rochana Widyastutieningrum …………………………………………...
ii iii
1
7
Tema: NILAI DAN MAKNA SENI: TRADISIONAL, INDUSTRI KREATIF, DAN BUDAYA URBAN DI ERA GLOBALISASI Sub Tema
Sub Tema
Globalisasi dan Pengetahuan Lokal Seni Nusantara 1. Penggunaan Pewarna Nabati pada Batik Tradisional Oleh : Djuniwartiˡ, Ari Winarno² 2. Penerapan Bentuk Arsitektur Tradisional Sunda pada Arsitektur Rumah Tinggal Masa Kini Oleh: Savitriˡ, Nani Sriwardani² 3. Apropriasi Medium Wayang Transformasi Bentuk dan Visual Wayang Golek pada Karakter Komik Oleh: Dida Ibrahim Abdurrahmanˡ, Joko Dwi Avianto² 4. Perancangan Motif Batik Indramyuan Oleh : Didik Desantoˡ, Khoirul Mustakhim² 5. Cat Lukis Alam (Natural Pigment): Relasi Antara Kenyataan Alam, Seniman (Kreator) dan Proses Kreatif. Oleh: Zaenudin Ramliˡ; Teten Rohandi² 6. Paibuan dalam Ritual Sanghyang Sri Oleh: Asep Jatnika Globalisasi dan Keberagaman Seni Budaya Nusantara 7. Ragam Tabuhan Carukan Gambang pada Gamelan Salendro 8. 9.
Oleh: Soleh1; Asep Nugraha2
Perkembangan Batik Di Kota Bandung Oleh: Ari Winarno1, Djuniwarti22 Polemik Kebudayaan dalam Wacana Seni. Oleh :Sri Rustiyanti
iii
13
18
24 37
43 48
54 59 65
Sub Tema
Sub Tema
Sub Tema
Sub Tema
Peluang Seni Tradisi Nusantara di Era Global 10. Standarisasi Desain Bentuk dan Ukuran Keramik Hias Plered Untuk Elemen Interior Oleh: Nani Sriwardaniˡ, Deni Yana², Gerry Rachmat³ 11. Redesain Karakter Tokoh Lakon Starwar dalam Pengembangan Wayang Golek Giri Harja Bandung Oleh: Joko Dwi Aviantoˡ, Dida Ibrahim Abdurrahman² 12. Pengaruh Pasar Lukisan Terhadap Perkembangan Perupaan Lukisan Desa Jelekong Oleh: Agus Cahyana 13. Rekompose Tari Berbasisi Tradisi Bali di Sanggar Tari Githa Saraswati – Bandung. Oleh Ni Made Suartini 14. Pelatihan dan Pengenalan Teknik Tari Gaya Yogyakarta di Sanggar Seni Bagaskara Kota Bogor Jawa Barat Oleh: Sriati Dwiatmini 15. Pelatihan Pemanfaatan Limbah Gerabah sebagai Elemen Estetik Interior di Sentra Kerajinan Keramik Hias Plered Kabupaten Purwakarta. Oleh: Gerry Rachmatˡ; Deni Yana², dan Nani Sriwardani³ Seni Pertunjukan dan Revitalisasi Budaya 16. Festival “Gunung Kromong Palimanan” Sebagai Aksi Sosial Budaya dan Pelestarian Seni Rakyat. Oleh: Jaeni 17. Rekontruksi dan Revitalisasi Sandiwara Sunda dalam Upaya Mempertahankan dan Mengembangkan Bahasa dan Budaya Lokal. Oleh : Retno Dwimarwatiˡ; Yadi Mulyadi²; Afri Wita³ Teater Rakyat dan Teater Kontemporer 18 Teater Tradisi Sumber Inspirasi Teater Non-Verbal. Oleh : Rachman Sabur 19 Prinsip dan Metode Akting Eka Gandara Wk. Oleh: Tatang Abdulah Seni Budaya Visual 20 Desain Film Dokumenter Cagar Budaya sebagai Strategi Mengkomunikasikan Nilai Kesejarahan, Sumber Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan di Kota Bandung. Oleh : Enok Wartika 21 Interpretasi Ikonografis Poster Iklan Enamel Roko Prijaji Oleh: Dyah Nurhayatiˡ, Dida Ibrahim Abdurrahman² 22 Metode Etnofotografi dalam Penelitian Seni: Konsep dan Langkah Kerjanya. Oleh : Cahyadi Dewanto1, Suharno 2 23 Karya Cipta Film Dokumenter „Jangkar Langit‟ Oleh: Apip
iv
69
75
82
86
91
95
100
108
116 120
125
134
139 150
Sub Tema
Sub Tema
Sub Tema
Industri Kreatif Seni dan Budaya 24 Fenomena Bisnis Foto Studio di Indramayu Oleh : Tohari 25 Rekonstruksi Pembuatan Mebel sebagai Model Desain Kreatif Berpotensi dan Bereputasi HKI Oleh: Widodoˡ, Husen Hendriyana² 26 Studi Kelayakan Kayu Bekas Landasan Peti Kemas sebagai Elemen Interior Lepas. Oleh : Riana Safitriˡ, Gerry Rachmat² 27 Kaligrafi Islam sebagai Inovasi Produk Kreatif Dalam Konteks Masyarakat Pesantren (Model Inovasi Ekonomi Kreatif Di Kalangan Pesantren Al Quran Al-Ghoniyyah, LimbanganJawa Barat). Oleh: Teten Rohandi 28 Selera Estetik Konsumen Lokal pada Bentuk dan Dekorasi Keramik Hias Plered Oleh: Deni Yanaˡ, Aguscahyana² Seni Budaya dan Pendidikan 29 Karya Tari Anak-Anak Sekolah Dasar “Bersatulah Negeriku” Oleh: Subayono 30 Nilai dan Konsep “Kaulinan Barudak” sebagai Inspirasi Model Pembelajaran Tari Anak-Anak Berbasis Pendidikan Karakter Oleh: Eti Mulyati 31 Pengajaran Bahasa Inggris dengan Post-Method Pedagogy di Stsi Bandung. Oleh: Yupi Sundariˡ; Irma Rachminingsih² 32 Re-Edukasi Tubuh Dalam Penciptaan Tari di Sanggar Bitaria. Oleh : Ria Dewi Fajariaˡ; Lia Amelia² 33 Dongeng Anak-Anak Sebagai Media Enkulturasi Alternatif: sebuah Basis Pembangunan Mental Karakter Budaya dan Peradaban Bangsa. Oleh : Imam Setyobudi 34 Pelatihan Teater sebagai Media Edukasi bagi Pengembangan Kompetensi Sosial Siswa di SMAN 1 Baleendah Bandung Oleh: Lili Rosidah 35. Seni Sebagai Media Menumbuhkembangkan Potensi Kreatif Anak Oleh: Suharno1, Cahyadi Dewanto2, Ari Winarno3 36. Pelatihan Ketrampilan Karawitan Iringan Tari di Sanggar Sekolah Sdn Babakan Sentral Kiaracondong Bandung. Oleh : Etty Suhaeti Seni Budaya dan Managemen 37 Tren Pangatik Perempuan dalam Pertunjukan Kuda Renggong di Kabupaten Sumedang Oleh: Euis Suhaenah
v
155
161
168
178
186
191
200
208
222
226
233
238
246
250
38
39
Manajemen Produksi Mushaf Al-Qur‟an dengan Iluminasi Gaya Limbangan sebagai Model Industri Kreatif Di Masyarakat Pesantren Jawa Barat. Oleh: Ai Juju Rohaeniˡ, Zaenudin Ramli², Wildan Hanif³ Rekayasa Sosial Masyarakat Karang Taruna Tirtawening Oleh: Risyaniˡ, Dadang Sugandi², Yupi Sundari³
vi
254 263
77