Pergeseran paradigma tata kelola menuju sistem berbasis kinerja terkoordinasi Muhamad Saleh Program Doktor Studi Kebijakan Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta Email:
[email protected] Abstract Communication and coordination problems often affects the performance and productivity of public institutions. the governance mechanisms has been proposed to guard against the risk of governance infringement characterized by opportunism partners, the uncertainty of public accountability, the heterogeneity of goals, and incompleteness of contracts that could make public services become ineffective. This paper tried to show descriptively on the issue of communication and coordination in the performance and productivity of public institutions. The results showed that the public agency faces pressure to continue to make improvements in governance, especially on the role of the board of directors on the audit activities of public institutions public. They faced support or rejection of the achievements and activities of their public. To bridge the gap, it takes a governance report and also board compliance with the clauses of legislation regarding corporate governance report. The board of directors and committees can launch rules and code of ethics in which the audit committee will be responsible as observers through the audit committee meeting. Keywords: governance, audit committees, public projects
Abstrak Masalah komunikasi dan koordinasi seringkali mempengaruhi kinerja dan produktivitas lembaga publik. Mekanisme tata kelola dpat digunakan untuk menjaga terhadap risiko pelanggaran tata kelola ditandai dengan oportunisme mitra, ketidakpastian pertanggungjawaban publik, heterogenitas tujuan, dan ketidaklengkapan kontrak yang bisa membuat pelayanan publik tidak efektif. Makalah ini berusaha menunjukkan secara deskriptif mengenai masalah komunikasi dan koordinasi dalam kinerja dan produktivitas lembaga publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lembaga publik menghadapi tekanan untuk terus melakukan perbaikan pada tata kelola terutama pada peran dewan direksi atas audit kegiatan lembaga publik publik. Mereka menghadapi dukungan maupun penolakan atas prestasi dan kegiatan publik mereka. Untuk menjembatani kesenjangan semacam itu, dibutuhkan laporan tata kelola dan juga kepatuhan terhadap klausa perundangan mengenai laporan tata kelola. Dewan direksi dan komite seringkali meluncurkan ketentuan dan kode etik dimana komite audit bertanggungjawab sebagai pemantau melalui rapat komite audit. Kata kunci : tata kelola, komite audit, lembaga publik
28
keberadaan mekanisme yang disepakati sebagai kontrak publik akan membuat organisasi menjadi lebih stabil di mana hak-hak dan tanggung jawab masingmasing pihak dapat ditentukan dengan jelasGilardi, 2001). Sebaliknya, ketika ketidakpastian tinggi, kontrak publik meskipun tertulis, menjadi kurang efektif dalam mengatur perilaku anggota organisasi. Dengan demikian mengaturkontrak tata kelola dapat memberikan panduan bagi seluruh pihak dalam menghasilkan kinerja sesuai situasi kerja mereka.Namun, ketika situasi berubah dapat membatasi kepatuhan mereka pada kontrak publik terutama dalam kontrak pengadaan dan kontrak evaluasi kinerja publik (Wihandono, 2004).
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah komunikasi dan koordinasi seringkali mempengaruhi kinerja dan produktivitas lembaga publik (Mokosolang,2016). Mekanisme tata kelola berguna untuk mengatasi bahaya oportunisme mitra, ketidakpastian pertanggungjawaban publik, heterogenitas tujuan, dan ketidaklengkapan kontrak yang bisa membuat pelayanan publik menjadi tidak efektif. Selain itu, mekanisme ini dapat memfasilitasi kerjasama antar pihak dan mengurangi risiko kecurangan dalam hubungan antar-organisasi. Literatur tentang hubungan tata kelola organisasi terbagi dalam dua kategori besar mekanisme tata kelola formal dan sosial (Lindri, 2016). Tata kelola formal biasanya mengaitkan dengan menggunakan kontrak rinci yang mengandung hak didefinisikan dan tanggung jawab semua pihak, yang membatasi upaya eksploitasi antar agen antara pemilik modal (owner) dan pengelola kegiatan operasional (operant). Dalam pengaturan publik, Hubungan ini menjelaskan peran para pihak terkait pelayanan publik (Tangkilisan, 2005). Dalam literatur strategi pemerintahan formal, hubungan tata kelola cenderung berbentuk kontrak pengadaan dan kontrak manajemen yang dianggap sebagai mekanisme untuk menegakkanpenciptaan nilai publik.
Hal ini dapat disebabkan beberapa aspek seperti, Pertama, proses pengembangan kontrak, proses pemantauan (monitoring), dan biaya penegakan yang berpotensi menghasilkan celah dan memberikan kesempatan bagi para pihak untuk mengurangi tanggung jawab mereka akibat lemahnya kontrak publik (Mokosolang, 2016). Kedua, para pihak mungkin lebih memilih untuk memperoleh lebih banyak fleksibilitas dalam kontrak mereka dengan harapan mereka untuk mengidentifikasi dan menguraikan kebutuhan, kepentingan, dan kapasitas mereka selama ini. Hal inibanyak terjadi dalam pengadaan publik yang bersifat lump sum dan penunjukan langsung (Randa & Daromes, 2014). Ketiga, karena penekanan pada kontrak dapat menghambat pengembangan saling percaya dan norma kerjasama yang dapat mempengaruhi kinerja tim maka menyebabkan kontrak itu cenderung dilandasi normal tata sosial daripada norma hukum. Oleh karena itu,
Dengan demikian mekanisme tata kelola yang telah disepakati menjadi kontrak publik yang lebih kuat dalam mengurangi konflik di lingkungan publik karena lebih merinci langkah penyelesaian namun bisa memakan biaya yang lebih besar. Selain itu,
29
diperlukan meningkatkan komitmen para pihak dalam mempertahankan reputasi, komitmen dan hubungan mereka dengan menggunakan mekanisme seperti norma relasional dan aksi bersama dan menciptakan nilai-nilai bersama. Namun jenis kontrak ini dapat mengarah ke nepotisme dan korupsi terkoordinir.
dan memverifikasi penyebaran sumber daya publik secara efektif (Strom, 2000). Hal ini dikarenakan sulitnya memfasilitasi hubungan umum di antara mitra pertukaran dan mendukung pengambilan keputusan kolaboratif dan kendali kinerja secara transparan sepenuhnya. Dengan demikian, tata kelola berbasis komputasi sungguh penting karena menyediakan integrasi virtual dan dapat mengurangi ongkos kecurangan dalam pelayanan publik dan mengurangi oportunisme dengan menyediakan kemampuan pemrosesan informasi antar-organisasi yang menurunkan asimetri informasi sambil meningkatkan kemampuan pemantauan publik.
Ditambah lagi, dengan menyediakan kondisi untuk meningkatkan kepercayaan dan komitmen, maka mitra pertukaran sosial harus siap menghadapi ancaman oportunismedari pihak lain (Smith & Bertozzi, 1998). Hal ini membutuhkan kolaborasi antar mitra dan menutup risiko kelemahan kontrak mereka. Ada dua pandangan tentang bagaimana mekanisme tata kelola formal dan norma sosial berinteraksi. Salah satu pandangan berpendapat bahwa keduanya saling eksklusif dan substitutif sedangkan yang lainnya mengasumsikan keduanya saling melengkapi. Pandangan terakhir ini sangat didukung oleh studi empiris (Wihandono, 2004). Selanjutnya mendukung pandangan yang terakhir, beberapa penelitian bahkan berpendapat bahwa mekanisme bergantung pada mekanisme pemerintahan formal dan sosial untuk koordinasi dan kendali yang bervariasi di lingkungan yang berbeda sejauh mana mekanisme ini diterapkan.
Misalnya, dalam konteks lembaga publik, publik pilihan mekanisme ini dapat mempengaruhi tata kelola yang berbeda dibandingkan perspektif tata kelola konvensional (Ross, 1973). Melalui penambahan fitur komputasi dan sistem informasi, tata kelola ini dapat menghasilkan prinsip publik ramping dengan berfokus pada maksimalisasi nilai bagi klien dan meminimalkan residu maupun kebocoran lembaga. Namun, seluruh staf instansi publik perlu memahami, menangani dan mengelola nilai terlemah mereka dalam publik ramping sejalan dengan lembaga menjadi lebih kompleks, dinamis dan cepat target.
Meskipun mekanisme tata kelola sosial dan mekanisme tata kelola formal dapat meningkatkan kinerja, namun, tanpa mekanisme tata kelola berbasis teknologi terutama komputasi untuk meningkatkan kinerja, akan menyebabkan kontrak tata kelola lemah dalam membangun dan mengkomunikasikan arah strategis, memastikan realisasi tujuan dan sasaran, mengurangi risiko,
Mengingat sifat kompleks dan dinamis dari lembaga publik terutama dalam hal materi dan aliran informasi, beberapa ahli tata kelola menyarankan bahwa lembaga-lembaga publik harus dimodelkan sebagai sistem kompleks dengan tujuan penciptaan nilai publik. Dengan demikian, dalam konteks hubungan organisasi publik, sistem tata
30
kelola yang baru harus mengarah pada biaya yang lebih efisien daripada maksimalisasi nilai kepada para pemangku kepentingan (Pasaribu, 2015). Dengan demikian, nilai-nilai lembaga publik harus sesuai dengan prinsip ramping melalui tiga aspek: orientasi nilai, perspektif hasil dan asumsi sistem.
pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Lupia & McCubbins (2000) menyatakan: “delegation occurs when one person or group, a principal, select another person or group, an agent, to act on the principal’s behalf.
Konseptualisasi baru menandai pergeseran paradigma dalam orientasi pemerintahan dari fokus biaya untuk penciptaan nilai bagi semua pemangku kepentingan, yang terutama disesuaikan dengan proses penyampaian lembaga publik kompleks yang biasanya melibatkan kemitraan dari berbagai pemangku kepentingan (Tangkilisan, 2005).
Menurut Moe (1984), terdapat berbagai hubungan keganenan dalam penganggaran di pemerintahan, yakni antara pemilih-legislatur, legislaturpemerintah, menteri keuanganpengguna anggaran, perdana menteri-birokrat, dan pejabat-pemberi pelayanan. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Gilardi (2001) dan Strom (2000), yang melihat hubungan keagenan sebagai hubungan pendelegasian (chains of delegation), yakni pendelegasian dari masyarakat kepada wakilnya di parlemen, dari parlemen kepada pemerintah, dari pemerintah kepada seorang menteri, dan dari pemerintah kepada birokrasi (Mailand & Andersen, 2004).
Melihat perbedaan utama dari konsep tata kelola konvensional dan konseptualisasi tata kelola baru ini, terdapat kombinasi spesifik mekanisme tata kelola yang menekankan mekanisme sosial dan mempromosikan hubungan dalam lembaga untuk tujuan pencegahan/meminimalkan sengketa, dan penghematan sumber daya sambil menghasilkan jumlah nilai maksimum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam penyampaian nilai publik (Pasaribu, 2015).
2.2. Good Governance Sedangkan menurut World Bank dalam LAN & BPKP (2000) Definisi Good Governance sebagai “the way state power is used in managing economic and social recources for development and society” (Widodo, 2001). World Bank mendefinisikan Good Governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
2. LANDASAN TEORI 2.1. Teori keagenan Teori keagenan yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi (Smith & Bertozzi, 1998). Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu
31
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Moe, 1984).
dapat mudah dilihat dengan jelas (Oxford Learners Pocket Dictionary). Ada hubungan yang sangat kuat antara transparansi dan partisipasi politik (Moe, 1984). Dorongan untuk melakukan partisipasi didorong oleh perubahan dalam struktur politik disebut sebagai demokrasi, dimana warga bersikeras pembentukan susunan politik yang memungkinkan ruang untuk kelompok yang berbeda dalam masyarakat sipil untuk bergabung dalam proses kebijakan publik.
Prinsip tata kelola yang baik benarbenar di negara-negara dunia ketiga di nilai masih kurang. Bank Dunia mengakui empat unsur berikut tata kelola yang baik: a) manajemen sektor publik menekankan perlunya pengelolaan sumber daya keuangan dan manusia yang efektif melalui peningkatan anggaran, akuntansi dan pelaporan dan inefisiensi terutama di perusahaan-perusahaan publik (melalui restrukturisasi) ; b) Akuntabilitas dalam pelayanan publik, termasuk akuntansi yang efektif, audit, dan desentralisasi dan umumnya membuat pejabat publik yang bertanggung jawab atas tindakan mereka dan responsif terhadap konsumen; c) Sebuah kerangka hukum diprediksi dengan aturan yang dikenal (mekanisme badan peradilan dan penegakan hukum yang handal yang independen) dan d) Ketersediaan informasi dan transparansi dalam rangka meningkatkan analisis kebijakan, mempromosikan debat publik dan mengurangi risiko korupsi (Bank Dunia, 2002).
Transparansi lebih mengarah pada kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi kebijakan, program dan lembaga yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah (Lupia & McCubbins, 2000). Pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang bersifat transparan terhadap rakyatnya baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tajam tentang proses perumusan kegiatan publik dan implementasinya. Dengan kata lain segala kebijakan dan implementasi kebijakan baik di pusat maupun di daerah harus seIalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui oleh umum (Widodo, 2001).
2.3. Transparansi audit 3. METODOLOGI PENELITIAN
Transparansi berasal dari kata transparency yang merupakan kata sifat dari transparent yaitu kata yang menyatakan keadaan yang transparan. (Webster International Dictionary). Transparan adalah material yang memiliki sifat jernih, tembus cahaya nyata dan jelas transparan juga dapat berarti suatu benda yang memiliki sifat untuk meneruskan cahaya yang diterimanya sehingga benda tersebut
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasinya, menganalisis, dan menginterpretasikannya. Kutha (2010:53) dalam Gindarsyah (2010:30) menjelaskan,
32
metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan faktafakta yang kemudian disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.
memperbarui bentuk tata kelola lama yang berbasis hemat biaya dan waktu. Sedangkan, dalam banyak kasus korupsi dana publik, motif utama bagi pelaku untuk bertindak oportunis dipengaruhi oleh lemahnya kontrak antara mereka dengan lembaga publik dan dampak negatif dari perilaku yang mengarah pada ketidakpastian pertukaran nilai masa depan yang diharapkan dengan mitranya (Lindri, 2016). Menanggapi masalah ini, kita dapat menerapkan pendekatan berbasis nilai-publik ramping dan mengusulkan pendekatan baru dengan berfokus pada maksimalisasi nilai bukan minimalisasi biaya. Dengan kata lain, dalam tata kelola berbasis komputasi, terdapat perspektif meminimalkan biaya pelayanan publik mungkin kurang relevan daripada memaksimalkan nilai dalam hubungan pertukaran.
Alasan penulis menggunakan metode ini adalah karena pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Selain itu, metode ini dianggap cukup tepat untuk melakukan pendekatan terhadap masalah yang akan diteliti yaitu mengenai masalah komunikasi dan koordinasi seringkali mempengaruhi kinerja dan produktivitas lembaga publik (LAN, 2000). Dalam hal ini mekanisme tata kelola digunakan untuk menjaga terhadap bahaya oportunisme mitra, ketidakpastian pertanggungjawaban publik, heterogenitas tujuan, dan ketidaklengkapan kontrak yang bisa membuat pelayanan publik tidak efektif sehingga di harapkan dapat menciptakan tata kelola yang transparansi dalam pengadaan dan kerjasama antar lembaga publik.
4.2. Kerjasama antar lembaga dan organisasi Dalam kebanyakan kontrak pengadaan publik, terdapat keraguan tentang hasil organisasi dari sistem tata kelola yang diterapkan daripada keuntungan tingkat lembaga. Misalnya, Randa & Daromes (2014) mengidentifikasi bahwa hubungan antar-organisasi dapat meningkatkan kekuatan lembaga publik untuk menghasilkan nilai publik (value) lebih besar daripada bekerja secara terpisah dari institusi lain. Nilai-nilai tersebut membutuhkan komponen pegawai publik yang bekerja akurat untuk menjalankan manajemen pelayanan publik. tipe ideal tersebut diberikan di Gb.1.
4. PEMBAHASAN Pergeseran paradigma tata kelola itu merupakan perubahan hubungan pertukaran dari berbasis penghematan biaya menuju sistem berbasis kinerja terkoordinasi meskipun biaya yang paling efisien seringkali masih menjadi pilihan terbaik. Namun, perspektif ini telah dikritik terkait hubungan antar lembaga publik yang dipengaruhi oleh minimisasi biaya (Wihandono, 2004). Hal ini mengubah perilaku lembaga publik dalam melakukan analisis berdasarkan nilai dan kinerja yang
Namun, kerjasama antar organisasi juga belum tentu sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan untuk hubungan
33
kelembagaan yang efektif dan pada saat yang sama memperingatkan organisasi untuk membuat win-win solution dengan mempertimbangkan ekspektasi semua pemangku kepentingan di rantai pasokan, seperti kontraktor, subkontraktor, pemasok dan anggota tim lainnya (Lindri, 2016). Perspektif ini mendorong peserta lembaga untuk mengejar keberhasilan lembaga secara holistik daripada berkonsentrasi pada harapan sendiri. Dengan demikian, kedua belah pihak harus siap dengan menunjukkan track record untuk aktivitas dan kinerja mereka daripada hanya aktivitas penghematan biaya.
laporan tata kelola dan juga kepatuhan terhadap klausa perundangan mengenai laporan tata kelola. Laporan tata kelola merupakan upaya menjelaskan mengenai tugas dan tanggung jawab setiap orang yang memegang posisi kunci kekuasaan dalam instansi publik. Laporan ini memiliki berbagai nama seperti lakip, laporan pertanggungjawaban presiden, hingga laporan aktivitas kementerian tertentu. Secara umum laporan tata kelola terdiri dari penjelasan dari direksi, komposisi dewan direksi, tanggungjawab direktur, direktur non eksekutif, hingga pengungkapan kompensasi dan peran mereka dalam satu tahun terakhir terhadap perkembangan institusi tersebut (Lindri, 2016). Secara umum, terdapat kecenderungan bahwa direksi menjadi bagian dari komposisi dewan direksi dan pengungkapan kompensasi seringkali bersifat sukarela dikarenakan belum kuatnya tekanan dari publik maupun regulasi yang tidak mengawasi secara ketat.
4.2. Kepatuhan Laporan Tata kelola Lembaga publik menghadapi tekanan untuk terus melakukan pengumuman dan keterbukaan aktivitas mereka terutama pada penggunaan anggaran publik (Mokosolang, 2016). Mereka menghadapi dukungan maupun penolakan atas prestasi dan kegiatan publik mereka. Untuk menjembatani kesenjangan semacam itu, dibutuhkan
Gb.1. Tipe ideal kemitraan antar organisasi Kemitraan pengusahapemerintah
Kemitraan masyarakatpemerintah
Kemitraan multisektoral Pengembangan dan pemberdayaan pasar ekonomi
Pengembangan dan pemberdayaan politik dan hukum
Sumber: Andersen & Mailand (2002).
34
Dewan direksi dan Komite seringkali meluncurkan ketentuan dan Kode Etik dimana Komite Audit bertanggungjawab sebagai pemantau melalui Rapat Komite Audit (Tangkilisan, 2005). Dengan demikian, perlu memastikan Komite Audit berkualitas dan independen dari gangguan kekuasaan pihak lain (Wihandono, 2004). Namun, untuk mencapai hal ini sungguh sulit dikarenakan kekuasaan komite audit dan peran komite audit terutama dalam lembaga publik cenderung diisi dari kalangan PNS itu sendiri yang masih memiliki hubungan dengan pimpinan maupun atasan politik mereka. Dengan demikian, dibutuhkan ulasan informasi untuk menunjukkan transparansi dan netralitas mereka dalam laporan tata kelola tersebut.
diperkenalkan oleh Code 2012 telah diadopsi atau diperluas dalam Laporan Tahunan ini yang Menyatakan Dewan direksi harus meminimalkan keragaman kebijakan; Meningkatkan pengungkapan dalam Laporan Komite Audit ; dan Melakukan konfirmasi bahwa Laporan Tahunan ini telah transparan, adil, seimbang dan dimengerti tanpa bias persepsi. Dewan direksi menyadari bahwa revisi lebih lanjut untuk Kode telah resmi diadopsi oleh Pelaporan Dewan direksi Keuangan ( FRC) dan Dewan direksi akan meninjau revisi Kode sepanjang tahun. Dewan direksi melalui rapat audit secara keseluruhan harus memiliki tingkat yang tepat dari keterlibatan dengan kegiatan lembaga publik untuk memungkinkan memimpin lembaga publik dengan pengetahuan dan pemahaman tentang kekuatan, kemampuan dan tujuan strategis lembaga publik (Smith & Bertozzi, 1998). Dewan direksi juga harus memahami tantangan unik yang dihadapi oleh instansi publik dan operasinya. Kepala instansi publik bersama-sama dengan wakil dan staf mengambil tanggung jawab untuk menjalankan operasional publik dan bertindak di bawah kekuasaan didelegasikan dari Dewan direksi. Namun, Dewan direksi mempertahankan pengawasan yang cukup dari semua aspek kunci operasional instansi publik sambil menjalankan pertemuan rutin, laporan, kunjungan lapangan secara berkala dan kontak dengan tim manajemen yang lebih luas.
Ulasan Informasi oleh Komite terutama di lembaga publik perlu mensyaratkan pengungakapan dan dasar pelayanan publik melalui pengungkapan perlakukan akuntasi publik dan juga pengaturan pelanggaran maupun publik kasus hukum antara manajemen dengan para pemangku kepentingan (Mokosolang, 2016). Pengungkapan ini untuk menjelaskan hasil isu publik, hak masalah, isu preferensial dan masalah yang terjadi di tahun sebelumnya. Aspek tata kelola lembaga publik perlu dijelaskan dimana Dewan direksi harus terus menerapkan tata kelola yang baik sepanjang tahun telah mengadopsi perubahan ke tata kelola internasional. Dalam beberapa instansi publik dapat menerapkan Corporate Governance Code yang mulai berlaku untuk tahun keuangan yang dimulai pada atau setelah 1 Oktober 2012 (Randa & Daromes, 2014). Perubahan mendasar
Dalam level teknis audit sektor publik sama dengan jenis audit lainnya. Beberapa teknik audit sektor publik relatif kurang berkembang dibandingkan
35
dengan audit sektor swasta, contohnya teknik perencanaan dan sampel statistic (Wihandono, 2004). Namun, tekanan untuk berubah telah membuat auditor sektor publik mengimbangi dan kadang mengungguli sektor swasta. Di lain pihak, sektor publik mempunyai sejarah yang panjang dalam pembangunan
nasional, misalnya peranan auditor dalam mendeteksi adanya kecurangan (audit investigasi). Dengan penerapan audit sektor publik dapat meningkatkan transparansi dari lembaga publik tersebut. Berikut perbedaan akuntansi sektor publik dan sektor swasta.
Table 1. Perbedaan akuntansi sektor publik dan sektor swasta No 1
Uraian Tujuan
Sektor Publik Tidak mencari keuntungan Pajak, retribusi, subsidi dan utang
2
Sumber Pembiayaan
3
Pertanggungjawaban
Kepada masyrakat dan parlemen(DPR/DPRD)
4
Struktur Organisasi
Birokratis, hierarkis dan kaku
5 6
Karakteristik Anggaran Sistem Akuntansi
7
Laporan Keuangan
8
Standar Akuntansi
9
Auditor
10
Standar Audit
Terbuka untuk publik Kas/modifikasi kas/akrual Neraca, Aliran Kas dan Laporan Realisasi Anggaran, Catatan atas Laporan Keuangan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah Auditor Sektor Publik Standar Pemeriksaan Akuntan Sektor Publik
Sektor Swasta Mencari keuntungan Modal Sendiri, laba ditahan, utang dan penerbitan saham Kepada pemegang saham dan kreditur Fleksibel: fungsional, piramid dan datar Tertutup untuk publik Akrual Neraca, Aliran Kas, Laporan Rugi Laba dan Laporan Perubahan Modal Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Kantor Akuntan Publik Standar Pemeriksaan Akuntan Publik
Sumber: Penulis (2016) Prinsip mengenai transparansi, secara garis besar ketiga aktor (pemerintah, masyarakat dan sektor swasta) saling berinteraksi didasarkan oleh berbagai kepentingan, yang kemudian berbenturan atau beririsan dalam proses-proses pengambilan kebijakan publik (Strom, 2000). Interaksi antar kepentingan ini juga didasarkan pada kualitas dan kuantitas informasi yang beragam di antara aktor tersebut. Interaksi antar aktor tersebut kemudian dapat berkembang menjadi bentuk-bentuk negosiasi yang menghasilkan kesepakatan mengenai mekanisme penyelenggaraan negara. Atau sebaliknya dapat memicu konflik jika tidak dikelola dengan tepat. Pada sistem
pemerintahan yang sentralistik pemerintah mendominasi dan memiliki akses penuh terhadap informasi, sedangkan masyarakat dan swasta memiliki informasi yang terbatas. Kesenjangan akses terhadap informasi ini menjadikan pemerintah sebagai pihak yang dominan dalam menentukan kebijakan publik. Masyarakat atau publik cenderung terpinggirkan dan memiliki akses yang terbatas dalam penentuan kebijakan publik (Ross, 1973). Di samping karena struktur pengambilan keputusan publik di pemerintahan yang tidak memungkinkan mereka untuk berpartisipasi, di sisi lain keterbatasan informasi yang diterima menyebabkan publik tidak memiliki
36
pengetahuan yang cukup untuk menyadari kedudukan dan peran serta kapan mereka dapat terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
lingkungan atau badan usaha; memiliki budaya otonomi yang kuat dengan akuntabilitas dan pemberdayaan; untuk mempromosikan kejujuran, integritas dan kesopanan; untuk memberikan keunggulan; dan untuk mematuhi standar kinerja yang tinggi (Moe, 1984). Standar tinggi tersebut merupakan cermin tata kelola manajemen yang efektif, kewirausahaan dan kontribusi terhadap keberhasilan jangka panjang instansi publik. Independensi dewan direksi harus dijaga dengan mencantumkan direktur independen non-eksekutif, direktur eksekutif dan ketua non-eksekutif yang didokumentasikan secara lengkap oleh Sekretaris lembaga publik.
Prinsip transparansi memiliki kedudukan yang penting dalam mengimplementasikan konsep Good Governance. Informasi yang mudah diakses dan mudah dipahami memberikan peluang kepada publik untuk berpartisipasi secara nyata dalam proses-proses yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pada prinsipnya, negosiasi antar pemangku kepentingan dapat terjadi jika tiap pemangku kepentingan memiliki informasi yang cukup mengenai pemangku kepentingan lain yang terkait dengan kepentingan publik tersebut (Mailand & Andersen, 2004). Informasi yang cukup akan dapat menjadi dasar pertimbangan bagi pemangku kepentingan untuk menentukan pilihan aksi. Transparansi informasi menjadi prasyarat mutlak untuk menjamin terjadinya aliran informasi antar pemangku kepentingan tersebut (Widodo, 2001). Meskipun terlaksananya prinsip transparansi tidak mutlak menjamin prinsip-prinsip lain dalam Good Governance akan berjalan baik namun transparansi informasi akan membuka ruang-ruang transaksi sosial antar pemangku kepentingan sehingga hubungan antar pemangku kepentingan lebih lentur dan tidak kaku dan memungkinkan terjadinya negosiasi antar pemangku kepentingan.
Dewan direksi harus memiliki keseimbangan yang baik dari direksi independen dan berpengalaman terampil dan memenuhi ketentuan dalam Kode etik dan independensi (Bank Dunia, 2002). Oleh karena itu, memberikan jaminan kepada masyarakat luas (publik) sungguh penting agar manajemen dapat bekerja efektif dan mencapai kepentingan jangka panjang instansi publik, pegawai, dan pemangku kepentingan luas. Perubahan yang akan terjadi kepada Dewan direksi harus tercantum dalam pernyataan Ketua terkait dengan tugas para direktur. Misalnya mengenai peran Direktur Keuangan maupun suksesi rencana, dan rincian proses yang semuanya harus dijelaskan dalam laporan tata kelola maupun Laporan Komite.
Selain itu, dibutuhkan ulasan kemajuan dalam mempertahankan standar yang tinggi tata kelola dan budaya etika layanan publik yang kuat di seluruh Bagian divisi instansi publik. Nilai-nilai inti Bagian divisi instansi publik harus tidak membahayakan bagi karyawan,
Tata Kelola dan kepatuhan terhadap Kebijakan Remunerasi baru harus diumumkan untuk menjaga dialog terbuka dan jelas. Kebijakan tata kelola lembaga publik mungkin sedikit berbeda dengan lembaga swasta dimana
37
pertemuan sepenuhnya terpisah untuk rapat pemegang saham dipimpin oleh direktur eksekutif. Hal ini menjadi makin kompleks ketika membahas pertanggungjawaban publik kinerja sektor kritis di bidang pertanian, infrastruktur, air minum dan minyak & gas. Dewan direksi harus memastikan bahwa mereka mendapatkan eksposur yang baik untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan dan pemahaman tentang peran mereka sebagai pengawas instansi publik (Lupia & McCubbins, 2000). Dengan demikian, Komite Dewan direksi tidak hanya melakukan pengawasan dalam Laporan Strategis namun juga memberikan arahan kepada para direktur dan pemegang manajemen secara lebih detail terkait pengaturan tata kelola yang telah dikelola oleh manajemen.
instansi publik dan melanjutkan kesuksesan instansi publik menghadapi perubahan harapan masyarakat luas. Semua anggota Dewan direksi harus aktif menjaga reputasi lembaga mereka dengan mengambil bagian dalam latihan pelatihan online sebagai bagian dari prosedur kewaspadaan yang memadai. Beberapa negara secara terus-menerus mendorong Penerapan English Bribery Act 2010 (Andersen & Mailand, 2002) dan pelatihan yang diakhiri dengan tes pada langkah-langkah anti-penyuapan. Alat pelatihan online ini diluncurkan untuk basis yang lebih luas dalam bagian divisi instansi publik dan penyelesaian persyaratan berlangsung. Selain di atas, Dewan direksi juga perlu membahas dan meninjau standar keselamatan HSE (Andersen & Mailand, 2002) serta kesiapan Koordinator Kelompok HSE serta peninjauan jaminan sistem dan praktik HSE. Tinjauan tahunan termasuk Kerangka keselamatan kesehatan dan protokol diperbarui untuk mendukung arah tujuan strategis instansi publik.
Dengan perubahan harapan publik mengenai tata kelola lembaga publik, banyak instansi pemerintah yang mengumpulkan inisiatif dan kegiatan strategi lembaga publik menjadi pertanggungjawaban publik dan dorongan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat melalui transparansi sebagai bagian dari tugas instansi publik (LAN, 2000). Namun, hal ini menjadi makin kompleks ketika lembaga publik melakukan restrukturisasi bagian-bagian tertentu untuk mencerminkan pertanggungjawaban baru dan untuk menyelaraskan kegiatan pelayanan publik mereka secara geografis. Selain itu, laporan tata kelola juga harus mengidentifikasi dan menjelaskan upaya mengembangkan karyawan yang dipilih dari seluruh Bagian divisi instansi publik sebagai regenerasi pemimpin masa depan. Inisiatif ini penting untuk membangun kekuatan masa depan
Ini juga termasuk ulasan pasca lembaga lembaga investasi besar; perlunya survei eksternal untuk mengukur pendapat pelanggan dan dinamika pertanggungjawaban publik; Ulasan kinerja strategis dan operasional divisi; Kinerja keuangan terhadap anggaran, perkiraan dan harapan publik termasuk kerangka acuan. Pada BUMN hal ini makin penting dimana Dewan direksi per tahun harus mendorong direktur utama mereka melaporkan Laporan Keuangan dan Strategi Pembaruan dari operasi Manajemen risiko dan kebijakan dividen termasuk Tata Hubungan Investor dan kepatuhan Dewan direksi
38
atas regulasi pemerintah (Andersen & Mailand, 2002).
Dewan direksi. Persyaratan pemegang saham juga dikelola oleh Dewan direksi dan bertindak sebagai penghubung antara pemegang saham dan operasi untuk memastikan bahwa kepentingan mereka telah selaras dengan harapan seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian peran dan tanggung jawab Dewan direksi penting agar manajemen memenuhi persyaratan Kode Etik lembaga publik.
Laporan ini menetapkan secara lebih rinci apa yang telah dilaksanakan oleh manajemen terkait Prinsip dari Kode Etik, termasuk daerah divergensi dari Kode itu, dan inisiatif agar Dewan direksi dan Komite bekerja secara terstruktur. Kepatuhan dengan ketentuan Kode etik harus memenuhi ketentuan dan semangat strategis termasuk Peraturan Pengungkapan dan transparansi tata kelola dari Otoritas Perilaku Keuangan.
4.3. Kepemimpinan dan keputusan tata kelola Keputusan tata kelola harus dikaitkan dengan kepemimpinan dalam kerangka kendali yang bijaksana dan efektif. Kepemimpinan yang kuat ini memungkinkan direktur eksekutif untuk memberikan manajemen melakukan pengawasan efektif terhadap operasi untuk mempromosikan tujuan dan strategi lembaga publik jangka panjang. Tim manajemen harus dilatih agar kompeten, profesional dan berdedikasi untuk menjaga reputasi lembaga publik, dengan kendali yang yang kuat dan keahlian keuangan dan komersial untuk memastikan keberhasilan jangka panjang institusi mereka. Hal-hal tertentu dapat menyusul mengikuti pertimbangan Dewan direksi di bawah jadwal resmi yang ditinjau secara tahunan. Di bawah jadwal tertentu, Dewan direksi dapat melakukan ulasan kinerja perdagangan dan strategi layanan publik termasuk memastikan sistem pengendalian internal dan manajemen risiko; mengelola hubungan dan komunikasi dengan pemangku kepentingan; memeriksa janji manajemen senior; dan menyetujui kebijakan lembaga publik.
Dari sisi manajemen, laporan tata kelola harus menjelaskan gaya kepemimpinan dan pendekatan tata kelola lembaga publik dalam mendukung budaya kepemimpinan kewirausahaan, otonomi dan akuntabilitas. Budaya manajemen seperti memberdayakan tim manajemen lokal dan membantu mendapatkan yang terbaik dari mereka, mempromosikan keberhasilan instansi publik dan aktivitas operasional mereka. Struktur otonom devolusi ini membutuhkan tata kelola dan kendali yang kuat di seluruh bagian yang dipromosikan dari Dewan direksi. Kemudian, kebijakan kelompok manajemen yang dikembangkan dan disetujui oleh Dewan direksi, menekankan harapan bahwa semua operasi kelompok harus berbagi visi yang sama, nilai-nilai dan standar tata kelola terlepas dari jenis operasional atau lokasi geografis mereka. Selanjutnya laporan tata kelola juga penting untuk menunjukkan keaktifan Dewan direksi dalam menerima laporan berkala pada kinerja operasi. Tim manajemen ditinjau oleh Dewan direksi melalui pertemuan dan presentasi serta laporan. Tinjauan strategi, risiko dan manajemen risiko menjadi area fokus
Dewan direksi harus terus aktif dalam rapat Dewan direksi sepanjang tahun 39
untuk menangani masalah-masalah yang ditentukan dan menerima laporan dari direktur dan eksekutif. Antara pertemuan formal, Ketua dan direktur non-eksekutif memiliki akses ke direktur eksekutif dan Sekretaris lembaga publik dan bertemu dengan anggota Komite Eksekutif sepanjang tahun. Manajemen harian dan hal-hal operasional didelegasikan kepada Komite Eksekutif berwenang terdiri eksekutif senior, sedangkan hal-hal spesifik lain dapat didelegasikan kepada sub-komite Dewan direksi. Terkadang, tanggung jawab Ketua dan Chief Executive Officer diisi oleh petugas yang terpisah dan berbeda dan dikodifikasi dalam penjelasan tertulis mengenai tanggung jawab mereka. Tanggung jawab utama dari Ketua ialah sebagai model kepemimpinan dan efektivitas sedangkan tanggung jawab utama Chief Executive Officer sebagai model dan pengambil keputusan kinerja operasional Lembaga publik. Secara bersama mereka mempromosikan kesehatan dan keselamatan etos yang kuat dan menceritakan harapan Dewan direksi dalam kaitannya dengan budaya lembaga publik, nilai-nilai dan perilaku. Ketua bertanggung jawab sebagai pimpinan Dewan direksi dan memastikan efektivitas kebijakan lembaga pada semua pegawai. Misalnya, ketua non-eksekutif harus mempromosikan tata pemerintahan yang kuat dan efektif dan, kritis, melestarikan budaya lembaga publik.
dan kohesif. Mereka mendorong visi, nilai-nilai, standar tata kelola dan perilaku etis lembaga publik dan mendorong suasana keterbukaan dan mengundang perdebatan yang kuat dan konstruktif di meja Dewan direksi. Ketua menetapkan agenda Dewan direksi, memimpin pertemuan dan memastikan bahwa direksi menerima informasi secara tepat waktu dan jelas. Dia harus mempertahankan kontak dekat dengan anggota Dewan direksi dan Sekretaris lembaga publik. Direktur non-eksekutif dapat juga bergerak dengan tugas Direktur Independen Senior dan perannya, antara hal-hal lain, bertindak sebagai perantara direksi lainnya. Direktur Independen Senior harus siap mendengarkan aspirasi pemangku kepentingan dan memimpin pertemuan bersama pemangku kepentingan untuk menyusun persyaratan dan akses tata kelola lembaga publik. Selain itu para direktur non-eksekutif memiliki pengalaman yang luas dan berharga, kedalaman pengetahuan dan keterampilan yang saling melengkapi dan independen dalam karakter dan penghakiman. Tidak ada hubungan atau keadaan yang mungkin mempengaruhi, atau bisa tampak mempengaruhi, penilaian mereka. Pada lembaga publik, mereka dapat mempekerjakan konsultan eksternal yang memberi saran pada gaji benchmarking untuk peran Direktur Keuangan Lembaga publik dan pada hal-hal remunerasi. Konsultan eksternal juga bertindak untuk lembaga publik dalam bidang keuangan dan penasihat pajak termasuk meningkatkan kapasitas lembaga publik dan membantu dalam dukungan layanan pelayanan publik.
Kehadiran tiga direktur non-eksekutif independen memastikan bahwa tidak ada satu individu memiliki kekuatan tak terbatas dalam hal pengambilan keputusan. Ketua menetapkan nada keseluruhan dan mempromosikan kepemimpinan yang kuat yang efektif
40
Kegiatan Komite Ulasan menstandarkan persyaratan pelaporan remunerasi baru dan tanggung jawab dan tata kelola Komite Audit untuk menyusun nominasi kerja, tanggung jawab dan pelaporan kepada masyarakat luas yang dikoordinir oleh Sekretaris lembaga publik.
pimpinan maupun atasan politik mereka. Dengan demikian, dibutuhkan ulasan informasi untuk menunjukkan transparansi dan netralitas mereka dalam laporan tata kelola tersebut. Prinsip mengenai transparansi, secara garis besar ketiga aktor (pemerintah, masyarakat dan sektor swasta) saling berinteraksi didasarkan oleh berbagai kepentingan, yang kemudian berbenturan atau beririsan dalam proses-proses pengambilan kebijakan publik. Interaksi antar kepentingan ini juga didasarkan pada kualitas dan kuantitas informasi yang beragam di antara aktor tersebut. Interaksi antar aktor tersebut kemudian dapat berkembang menjadi bentukbentuk negosiasi yang menghasilkan kesepakatan mengenai mekanisme penyelenggaraan negara. Atau sebaliknya dapat memicu konflik jika tidak dikelola dengan tepat. Pada sistem pemerintahan yang sentralistik pemerintah mendominasi dan memiliki akses penuh terhadap informasi, sedangkan masyarakat dan swasta memiliki informasi yang terbatas.
5. KESIMPULAN Masalah komunikasi dan koordinasi seringkali mempengaruhi kinerja dan produktivitas lembaga publik. Mekanisme tata kelola digunakan untuk menjaga terhadap bahaya oportunisme mitra, ketidakpastian pertanggungjawaban publik, heterogenitas tujuan, dan ketidaklengkapan kontrak yang bisa membuat pelayanan publik tidak efektif. Lembaga publik menghadapi tekanan untuk terus melakukan pengumuman dan keterbukaan aktivitas mereka terutama pada penggunaan anggaran publik. Mereka menghadapi dukungan maupun penolakan atas prestasi dan kegiatan publik mereka. Untuk menjembatani kesenjangan semacam itu, dibutuhkan laporan tata kelola dan juga kepatuhan terhadap klausa perundangan mengenai laporan tata kelola. Dewan direksi dan komite seringkali meloncurkan ketentuan dan kode etik dimana komite audit bertanggungjawab sebagai pemantau melalui rapat komite audit. Dengan demikian, perlu memastikan komite audit berkualitas dan independen dari gangguan kekuasaan pihak lain. Namun, untuk mencapai hal ini sungguh sulit dikarenakan kekuasaan komite audit dan peran komite audit terutama dalam lembaga publik cenderung diisi dari kalangan PNS itu sendiri yang masih memiliki hubungan dengan
DAFTAR PUSTAKA Gilardi, F. (2001). Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001. LAN, B. (2000). Pengukuran kinerja instansi pemerintah, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
41
Lindri, S. Y. (2016). Analisis Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Rumah Sakit Umum Daerah Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Riau Tahun 2014.
Randa, F., & Daromes, F. (2014). Transformasi Nilai Budaya Lokal dalam Membangun Akuntabilitas Organisasi Sektor Publik. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5 (3), 477.
Lupia, A. & McCubbins, M. D. (2000). Elements of reason: Cognition, choice, and the bounds of rationality. Cambridge University Press.
Ross, S. A. (1973). The economic theory of agency: The principal's problem. The American Economic Review, 63 (2), 134-139. Smith, R. W., & Bertozzi, M. (1998). Principals and agents: An explanatory model for publik budgeting. Journal of publik budgeting, accounting & financial management, 10 (3), 325.
Mailand, M., & Andersen, S. K. (2004). Social Partnership for Inclusion. Theoretical Understandings and Empirical Typologies I: Lind, J, 381-402. Moe, T. M. (1984). The new economics of organization. American journal of political science, 739-777.
Strom, K. (2000). Delegation and accountability in parliamentary democracies. European Journal of Political Research 37: 261-289.
Mokosolang, J. N. (2016). Koordinasi Pemerintah Desa dan Kecamatan dalam Pelaksanaan Pembangunan di Desa Tombatu Tigakecamatan Tombatu Utara. Jurnal Eksekutif, 1 (7).
Tangkilisan, H. N. S. (2005). Manajemen publik. Grasindo. Widodo, J. (2001). Good Governance: telaah dari dimensi akuntabilitas dan kontrol birokrasi pada era desentralisasi dan otonomi daerah. Insan Cendekia.
Pasaribu, S. Y. R. B. (2015). Implementasi Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per09/MBU/2012 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara (Analisis Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance di Lingkungan Internal Perusahaan Umum BULOG Divisi Regional Sumatera Utara).
Wihandono, E. B. (2004). Transparansi Lelang Lembaga Sebagai Sarana Good Governance (Studi Kasus Transparansi Lelang Lembaga di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jepara) (Doctoral dissertation, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).
42