Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Rinaldi Sitio
ISSN: 0216-9290
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014 RINALDI SITIO Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected]
Diterima tanggal 12 Mei 2014/Disetujui tanggal 4 Juni 2014 Indonesia is a country that uses a democratic political system. Impact of that, this country organize general election periodically. General election held in Indonesia on April 2014. There are twelve parties and three Aceh Parties competing in this election. This study is about shift of party conflict in the Dapil I North Tapanuli in legislative elections 2014. Spesifically this study discussing about causes a shift of party conflict in the Dapil I North Tapanuli. This study is using political conclict as the approach and the data collection is using field research. The method used is descriptive. Analysis is using qualitative technique. The finding of the study is there are three main causes of the conflict shifts. First, the impact of changes in the electoral system; secondly, ideological crisis of political parties; Third, the role of political parties and campaign process. Keywords: Conflict, Political Parties, Legislative Elections.
Pendahuluan Pemilihan umum (general election) tidak selalu mampu menghasilkan perubahan sosial politik yang berartiataupun menghasilkan suatu transisi ke arah demokrasi. Tetapi lebih merupakan suatu usaha mencari legitimasi baru dan mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan “statusquo”. 1 Pemilihan umum sebagai wadah untuk memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menentukan siapa yang akan mewakili mereka dalam lembaga legislatif dan siapa yang akan memimpin mereka dalam lembaga eksekutif dan juga untuk menjaring orang-orang yang benar-benar mampu untuk masuk ke dalam 1
Anthonius Sitepu. Teori-Teori Politik. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012), hal. 136.
56
lingkaran elit politik, baik di tingkat daerah maupun nasional. Dalam sistem demokrasi, partai politik merupakan instrumen penting sebagai indikator dari pelaksanaan pemilihan umum. Setiap partai mempunyai kelompokkelompok sosial tertentu yang dijadikan wahana untuk mencari pengaruh dan memperjuangkan ideologi masing-masing. Selain itu tingkat kompetisi antar partai politik peserta pemilu untuk mempengaruhi konstituen dan merebut kekuasaan sangat terbuka. Tidak jarang praktik-praktik politik, penggiringan massa, dan upaya mempengaruhi massa dilakukan dengan cara-cara yang kurang mengindahkan etika dan sopan satun politik sehingga menimbulkan konflik antar partai politik.
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Rinaldi Sitio
ISSN: 0216-9290
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014
Konflik antar partai yang didasari oleh perbedaan ideologi, kemungkinan besar dipengaruhi oleh sosialisasi politik yang diperoleh para pendukung partai dari partai politik masing-masing. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik bertanggung jawab untuk semaksimal mungkin memberikan pemahaman mengenai ideologi dari partai tersebut kepada masyarakat sehingga terbentuk sikap dan orientasi politik yang didasari oleh ideologi tersebut. Setiap partai politik berusaha untuk mempengaruhi setiap individu agar mau bersikap dan mempunyai orientasi pikiran yang sesuai dengan ideologi partai tersebut. Dalam perjalannya berbagai kajian politik dilaksanakan untuk mencapai kesempurnaan konseptual dari sistem pemilu agar mencapai sistem demokrasi yang sesuai. Namun dalam pelaksanaannya, pemilihan umum belum dilaksanakan secara efektif dan efisien. Sistem pemilu (electoral system) merupakan salah satu instrumen kelembagaan penting dalam suatu negara demokrasi dalam menginterpretasikan jumlah perolehan suara dalam Pemilu ke dalam kursi-kursi pemerintahan yang telah dimenangkan oleh partai atau calon tertentu. Dari sini dapat dilihat bahwa melalui sistem seperti ini, kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik dalam suatu negara bisa dilihat. Sistem Pemilu sendiri juga merupakan sebuah metode yang mengatur dan memungkinkan rakyat dari suatu negara tersebut untuk memilih masing-masing wakil rakyat mereka. Metode ini berhubungan dengan prosedur dan aturan merubah (mentransformasi) suara ke kursi di lembaga perwakilan dan suara rakyat dalam memilih pemimpin dari suatu negara tersebut. Sistem pemilu ini bertujuan agar pemilu tersebut dapat memberikan hak kepada rakyat dalam mengeluarkan hak suaranya untuk memilih tiap calon wakil rakyatnya masing-masing. Pemilu 2014 menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, berbeda dengan pemilu 2004 yang menggunakan sistem nomor urut. Penggunaan sistem suara terbanyak berdasarkan putusan MK No. 2224/PUU-VI/2008 menganulir pasal 214 UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota
Legislatif yaitu Penentuan calon terpilih tidak lagi didasarkan pada sistem nomor urut melainkan dengan sistem suara terbanyak. 2 Artinya rakyat diberikan kebebasan dalam memilih calon wakil rakyatnya. Ini dimaksudkan agar wakil rakyat yang terpilih adalah benar-benar representasi rakyat, yang pada akhirnya akan lebih bertanggung jawab. Jika pada pemilu-pemilu sebelumnya konflik terjadi antar partai politk dalam rangka memperebutkan suara, namun pada Pemilu 2014, potensi konflik itu semakin meluas hingga konflik internal partai. Kondisi ini disebabkan oleh pertarungan dan perebutan suara antar calon legislatif dalam satu partai. Sebab mekanisme yang ada ditentukan oleh jumlah suara terbanyak yang diperoleh oleh masing-masing calon legislatif tanpa melihat nomor urut yang biasanya mencerminkan kapabilitas dan kapasitas kader parpol. Menyusutnya jumlah partai politik yang hanya menjadi 12 parpol plus 3 parpol lokal Aceh, membuat potensi kerawanan konflik berubah. Jika pada Pemilu sebelumnya potensi kerawanan cenderung terjadi antar partai, kini kecenderungan konflik justru terjadi antar calon legislatif internal sesama partai. Dengan diterapkan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak dan tidak berdasarkan nomor urut, hal ini sangat rentan memicu timbulnya konflik di internal partai politik antar sesama calon legislatif. Calon legislatif dengan nomor urut besar tidak perlu khawatir dengan calon nomor urut kecil, karena peluang untuk menang dalam pemilu legislatif sama dan tidak ditentukan dari nomor urut. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa calon dengan nomor urut satu yang mempunyai kemampuan, mutu dan integritas akan menang karena bisa saja dikalahkan oleh calon yang mempunyai popularitas. Jadi kemenangan ditentukan oleh kerja keras dan kerja cerdas dari si calon dalam faktor mendekatkan diri kepada konstituen. Sehingga konflik tidak lagi terjadi antar partai politik namun telah bergeser menjadi konflik internal parati politik.
2
Undang-undang No. 12 Tahun 2003 Pasal 107 ayat (2) tentang Pemilu Legislatif
57
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Rinaldi Sitio
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014
Pemilu legislatif di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara, yang terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tarutung, Siatasbarita dan Adiankoting, persaingan antar calon legislatif sangat terbuka dalam untuk mendapatkan jatuh satu kursi untuk duduk di DPRD. Namun dalam persaingan antar calon legislatif di dapil tersebut sangat rentan timbulnya konflik, hal ini diakibatkan calon legislatif akan bersaing dengan calon lainnya dalam satu partai. Tidak adanya penentuan pemenang berdasarkan nomor urut akan memungkinkan calon untuk berlomba-lomba terjun ke konstituen dan menghalalkan segala cara dalam menggalang suara sebanyakbanyaknya. Pendekatan dan Metode Studi ini dilakukan dengan pendekatan konflik untuk mengkali lebih jauh adanya konflik partai politik di Kabupaten Tapanuli Utara pada tahun 2014. Metode pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara serta observasi terhadap fenomena yang terjadi lapangan. Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Pemilu Legislatif di Taput Pemilihan Umum merupakan manifestasi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Rakyat sesuai dengan nuraninya memilih calon-calon pemimpin bangsa yang akan mewujudkan citacita nasional, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pemilu harus dijalankan dengan demokratis dan berwibawa.Selain itu, sesuai dengan amanat reformasi, penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Dengan kata lain pemilu adalah pasar politik tempat individu atau masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial. Antara peserta pemilihan umum (partai politik) dan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa.
58
ISSN: 0216-9290 Melihat bagaimana realita dan perjalanan setiap partai dalam pemilu tidak jarang terjadi pergolakan-pergolakan yang mengakibatkan adanya gesekan-gesekan antar partai yang sering menimbulkan konflik.Konflik-konflik tersebut terjadi karena di dalam menjalankan peran dan fungsi dari masing-masing partai terjadi benturan-benturan baik dari segi ideologi, pemanfaatan isu nasional yang dapat mempengaruhi partai lain bahkan partai dapat saling menjatuhkan. Setiap partai akan berusaha untuk menjadi pemenang dan penguasa, tentunya partai akan berusaha untuk menarik simpati masyarakat dalam meraup suara rakyat sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini terjadi konflik horizontal antar partai dalam upaya untuk memenangkan setiap pemilu. Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi bangsa Indonesia, karena pelaksaan pesta demokrasi yaitu pemilu legislatif pada 9 April lalu dan juga pemilu presiden pada 9 Juli. Seluruh daerah di Indonesia telah melaksanakan pemilu legislatif untuk memilih wakil disetiap daerah dalam memenuhi setiap aspirasi rakyat di daerah itu sendiri.Semua partai politik bekerja untuk menggapai kemenangan memperoleh kursi sebanyak banyaknya di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Para calon anggota legislatif (caleg) juga bekerja dan berkompetisi untuk memperoleh kursi, bahkan tim sukses dan para relawan pendukung caleg juga turut bekerja demi kemenangan calegnya. Pemilu legislatif 2014 seperti yang telah di prediksi banyak kalangan akan rentan timbulnya konflik yang terjadi dalam pelaksaan proses pesta demokrasi tersebut, mulai dari pertikaian dalam mekanisme pemilihan sampai pertikaian yang terjadi antar calon-calon yang bersaing untuk memperebutkan kursi melalui pemilu. Untuk memperoleh kursi di DPRD, para caleg semangat bersaing meski harus kompetisi dengan sesama anggota satu partai dan dipastikan ada yang akanberguguran karena jatah kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan untuk DPRD tidaklah banyak, sementara yang berebut kursi jumlahnya ratusan. Kabupaten Tapanuli Utara merupakan daerah yang dapat dikatakan rawan konflik dalam hal setiap pelaksanaan pemilu, hal ini bisa
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Rinaldi Sitio
ISSN: 0216-9290
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014
dilihat dari setiap pelaksanaan pemilu mulai dari Pemilukada hingga pemilu legislatif 2014.Seperti halnya pemilukada Taput tahun 2009, pertarungan antar calon bupati sangat panas dan rentan konflik begitu juga dengan partai pengusung masing-masing calon hingga pemilukada tersebut diulang karena adanya indikasi kecurangan dan banyak gugatan-gugatan yang dilakukan para calon.Begitu juga dengan pelaksanaan pemilu legislatif 2014, mulai dari tahapan pemilu hingga pada saat penghitungan suara sangat rentan timbulnya konflik. Di dapil Taput I Kabupaten Tapanuli Utara, persaingan antara calon-calon legislatif untuk memperebutkan kursi berlangsung cukup sengit, bahkan sebelum dilaksanakannya pemilu, sehingga sangat rentan terjadinya gesekan-gesekan yang menimbulkan konflik, mulai dari proses kampanye hingga pada saat pelaksaan pemilu legislatif. Dalam hal ini, persaingan bukan hanya terjadi antara partai politik atau pada calon dari antar partai politik, bahkan telah merambat ke dalam persaingan antar calon legislatif di internal partai itu sendiri. Dalam hal rentannya konflik yang timbul dalam setiap proses pelaksanaan pemilu, Bapak Anwar M. Lumbangaol selaku Kasubbag Teknis di KPU Kabupaten Tapanuli Utara member tanggapan: “Konflik dalam setiap pelaksanaan pemilu tidak dapat terhindarkan, hampir dari tahun ke tahun pasti ada persoalan-persoalan yang menimbulkan konflik mulai dari proses dan mekanisme pelaksanaan pemilu hingga penetapan hasil pemilu. Terkait pemilu legislatif 2014, posisi konflik paling mungkin berada di internal partai itu sendiri, bukan hanya calon dari beda partai bersaing, tetapi dalam satu partai pun pasti akan berebut kursi, karena dari suara terbanyak setiap calon akan saling berusaha untuk menang.” 3
Melihat realita yang terjadi di dapil I, fenomena konflik yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu legislatif cukup kontras, hingga pada konflik internal partai seperti yang di temui di beberapa partai di dapil I tersebut. Seperti yang di temui di Partai Hanura, peta per-
saingan diantara calon sangat kompetitif terjadi antara 4 kompetitor yaitu nomor urut 1 yang merupakan Incumbendyang berkeinginan untuk duduk kembali di kursi DPRD, nomor urut 2 yang merupakan anak dari yang punya partai yang berupaya untuk mengeksistensikan dirinya untuk dapat membawa nama partai untuk menang, nomor urut 3 menjabat sebagai sekretaris partai dan nomor urut 4 adalah wajah baru yaitu calon yang hanya membawa partai sebagai kendaraan politiknya. Disini jelas terlihat bahwa kepentingan masing-masing calon untuk dapat menang dalam pemilu legislatif sangat besar. Pertarungan antar calon dalam partai ini sangat kental antara yang merupakan kader dengan yang bukan kader dari partai itu sendiri. Dalam proses persaingan antar calon tersebut rentan gesekan-gesekan yang menimbulkan konflik, seperti halnya dalam proses kampanye antar calon dalam upaya untuk meraup suara sebanyak-banyaknya dan juga tim sukses dari masing-masing calon tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Desa Hapoltahan Kecamatan Tarutung, Tim sukses dari calon Frengky Pardamean Simanjuntak (nomor urut 2) dan Hasudungan Sidabutar (nomor urut 4) partai Hanura bersaing cukup ketat dalam meraup suara konstituen di 3 TPS di desa tersebut bahkan saling tindih menindih uang untuk dapat menarik simpati masyarakat agar memilih dirinya. Hal ini menandakan persaingan untuk menang dalam pemilu legislatif para calon akan menghalalkan segala cara agar dapat merebut suara sebanyak-banyaknya dalam hal ini indikasi politik uang sangat kental dilakukan. Politik uang yang terjadi saat ini tidak lagi pada perebutan nomor urut yaitu calon yang dekat dengan pimpinan partai, tetapi politik uang saat ini marak antara calon dengan masyarakat itu sendiri. Melihat kondisi diatas kepentingan dari kedua calon tersebut sangat besar, para calon rela merogoh uang yang cukup banyak dalam pertarungan di pemilu legislatif sehingga rentan terjadinya konflik antar calon tersebut.
3
Wawancara dengan informan (anggota KPU Tapanuli Utara) pada hari Rabu tanggal 02April 2014, Pukul 10.30 Wib.
KPU telah menetapkan calon terpilih setiap partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara, dari partai Hanura sendiri, calon nomor urut
59
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Rinaldi Sitio
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014
2 yaitu Frengky P. Simanjuntak keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara terbanyak. Melihat dari usaha-usaha yang dilakukan para calon dari partai tersebut, terjadi sentiment antara calon dalam partai tersebut, namun masalah tersebut tergantung dari partai itu sendiri bagaimana mengatasi konflik di internal partainya sehingga perpecahan dalam partai dapat di redam. Konflik yang paling rawan terjadi pada saat penghitungan suara, karena setiap calon mewaspadai adanya pergeseran suara atau penggelembungan suara yang terjadi saat penghitungan suara yang melibatkan anggota KPPS atau penyelenggara pemilu lainnya yang menguntungkan salah satu calon.Seperti yang terjadi di Dapil 1 Kabupaten Tapanuli Utara adalah konflik antara Jonggi Lumbantobing (nomor urut 4) yang merupakan incumbent dengan Teguh Susanto Sihombing (nomor urut 2) di Partai Gerindra. Ketegangan di antara kedua calon tersebut terjadi mulai dari masa kampanye dalam meraup suara pemilih hingga semakin memanas pada saat pelaksanaan pemilu legislatif dan penentuan calon terpilih.Konflik terjadi dikarenakan adanya indikasi kecurangan yang dilakukan oleh salah satu calon dan petugas KPPS di TPS I Desa Jambur Nauli Kecamatan Tarutung. Menurut informasi yang di dapat dari saksi dan simpatisan dari calon nomor urut 2 mengatakan bahwa suara calon nomor urut 4 di TPS tersebut kosong atau tidak ada, namun ketua PPS dan Ketua KPPS mengatakan bahwa suara nomor urut 4 ada, sehingga kotak suara di TPS I tersebut tidak di hitung di PPK Tarutung, PPK menyampaikan kotak suara langsung ke KPU saat rapat penghitungan di kabupaten untuk dibuka. Calon nomor urut 2 beranggapan bahwa dia menang unggul selisih 16 suara dengan calon nomor urut 4, namun saat penghitungan suara di lakukan perolehan suara calon nomor urut 4 menjadi unggul 4 suara dari calon nomor urut 2 dan KPU Kabupaten telah melakukan rekapitulasi perolehan suara dan calon terpilih. Calon nomor urut 2 mengindikasi adanya kecurangan yang dilakukan oleh calon nomor urut 4 yaitu penggelembungan suara di TPS tersebut.
60
ISSN: 0216-9290 Dalam kasus ini, telah terjadi adanya perbedaan jumlah suara yang terangkum dalam Model C-1.KPU.KWK yang dipegang oleh saksi dengan isi yang tertulis dalam formulir Plano serta jumlah total surat suara yang ada didalam kotak suara. Terdapat 20 suara bodong di TPS itu, ternyata menjadi penentu siapa sebenarnya Caleg Gerindra dari Dapil Taput 1 yang lolos menjadi anggota DPRD Taput. Di dalam plano dan surat suara yang ada di kotak suara, suara Caleg nomor urut 4, tercantum sebanyak 20 suara. Namun dalam formulir C-1 yang menjadi daftar isian perolehan suara di setiap TPS yang dipegang setiap saksi pada hari-H, tak terkecuali saksi dari Partai Gerindra serta yang menjadi bahan pegangan penyelenggara Pemilu, jumlah perolehan suara yang didapatkan caleg tersebut ternyata kosong sama sekali. Selain itu, dalam berita acara Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS dimaksud, jumlah suara sah dan tidak sah di TPS diakumulasi sebanyak 192 suara. Ditambah surat suara sisa sebanyak 65 suara, kesemuanya telah dimasukkan dalam kotak suara Pemilu. Tetapi pada saat pembukaan kotak suara dalam agenda rekapitulasi di tingkat kabupaten akumulasi surat suara sah dan tidak sah, hanya tinggal 184 surat suara saja berikut sisa surat suara sejumlah 65 lembar, itupun sudah tidak ada dalam kotak. Alhasil sebanyak 73 Surat suara sebagai dokumen negara dapat disimpulkan dalam keadaan telah hilang. 4 Konflik antara kedua calon tersebut memanas setelah calon nomor urut 2 menyampaikan tuntutannya ke Panwaslu Kabupaten, Pengadilan, Polres hingga KPU Provinsi. Hingga saat ini belum ada kepastian terkait masalah tersebut dan masih dalam proses penyelidikan. Bentuk konflik yang terjadi dapat dianalisis seperti yang dikatakan oleh Coser yaitu konflik realistis merupakan konflik yang berasal dari kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem dan tuntunan yang terdapat dalam hubungan sosial dan mempunyai sumber konkrit atau bersifat material, seperti perebutan wilayah atau kekuasaan. Dalam hal ini, 4
Sumber Harian ORBIT-Online. Diakses pada hari Rabu ,tanggal 07 Mei 2014 pukul 15.01.
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Rinaldi Sitio
ISSN: 0216-9290
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014
perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntuan yang berkenaan dengan status, kuasa, sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihakpihak yang berselisih tidak hanya bermaksud memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga memojokkan, merugikan, atau bahkan menghancurkan pihak lawan. Berdasarkan fenomena konflik tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa posisi konflik tidak lagi pada konflik antar partai namun saat ini konflik telah bergeser pada internal partai itu sendiri. Para calon mengganggap bahwa saingan dalam merebut satu kursi tidak hanya pada calon dari partai lain namun lawan paling besar adalah calon dari partai itu sendiri, karena kepentingan dari masingmasing calon untuk menang dalam pemilu sehingga menimbulkan peta persaingan yang dapat menimbulkan sentiment dan konflik antara calon dari partai itu sendiri. Penyebab Pergeseran Konflik Pemilu adalah pasar politik tempat individu atau masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial. Antara peserta pemilihan umum (partai politik) dan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa. Melihat bagaimana realita dan perjalanan setiap partai dalam pemilu tidak jarang terjadi pergolakanpergolakan yang mengakibatkan adanya gesekan-gesekan antar partai yang sering menimbulkan konflik. Jika pada pemilu sebelumnya konflik terjadi antara partai politik yang saling memperebutkan kekuasaan, sekarang timbul fenomena baru yaitu konflik tidak lagi terjadi antar partai politik namun konflik telah bergeser ke dalam internal partai politik itu sendiri yang dapat mengakibatkan perpecahan dari partai politik tersebut. Ada beberapa hal yang merupakan penyebab terjadinya pergeseran konflik partai di dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada pemilu legislatif 2014. Pertama, dampak perubahan sistem pemilu. Sistem pemilu di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pemilu
menerapkan sistem proporsional. Sistem proporsional ini sangat mempengaruhi fungsi perwakilan (representatif functional) di lembaga legislatif, dimana untuk mendapatkan wakil-wakil di parlemen maka suatu daerah pemilihan harus diwakili oleh beberapa orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Bentuk perwakilan yang ditawarkan oleh sistem proporsional pun harus mempertimbangkan kapasitas, kuantitas, luas wilayah dan kemajemukan di tengah masyarakat. Legitimasi dari jumlah suara hasil pemilu melalui sistem proporsional ini kemudian menjadi pertanggungjawaban setiap wakil terpilih kepada konstituen di daerah pemilihannya masing-masing. Pemilu Legislatif 2014 menjadi pertarungan terbuka yang sengit baik itu antar partaipartai politik maupun secara internal partai politik bagi calon legislatif yang telah masuk dalam daftar calon tetap di KPU. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem pemilihan yang sebelumnya berdasarkan nomor urut menjadi mekanisme suara terbanyak sesuai dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 menganulir pasal 214 UU No. 10/2008 tentang penetapan calon terpilih ditentukan oleh batas minimal perolehan suara 30% Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), jika batas minimal tersebut tidak tercapai maka penentuan calon terpilih selanjutnya berdasarkan nomor urut. Perubahan sistem pemilihan tersebut menuai pro dan kontra dari kalangan partai itu sendiri maupun dari pihak lain. Sistem suara terbanyak mengundang banyaknya pendapat baik dari sisi positif maupun negatif. Dari sisi positif, sistem tersebut dianggap lebih meneguhkan kedaulatan hak demokratis agar rakyat memilih calon langsung yang dikehendaki untuk dapat mewakilinya dirinya dan tidak mengandalkan elitis. Kemudian dari sisi negatif, sistem tersebut mengakibatkan peran partai menurun dan juga merusak proses kaderisasi partai karena dinilai tidak adanya kualifikasi caleg berdasarkan kredibilitas calon tersebut. Menanggapi hal sistem pemilu yang dilaksanakan pada pemilu legislatif 2014, Joshua Lumbantobing, memberi tanggapan demikian:
61
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Rinaldi Sitio
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014
“…Pergantian sistem pemilihan yang didasarkan pada suara terbanyak membuat persaingan antar calon semakin sengit bahkan sesama calon internal sekalipun. Karena peluang menang adalah sama, tidak didasarkan pada nomor urut lagi. Namun yang menjadi perhatian adalah timbulnya gesekangesekan yang akan menimbulkan benturan antar calon yang disebabkan para calon akan berusaha menggunakan segala cara untuk bisa menang bahkan para calon akan saling menjatuhkan. 5
Perubahan aturan main tersebut berimplikasi munculnya kompetisi para caleg baik itu dalam partai yang sama. Dampak dari perubahan sistem tersebut juga berdampak pada besarnya biaya kampanye yang dikeluarkan, bukan parpol peserta pemilu yang mengeluarkan biaya tersebut melainkan puluhan calon dari setiap partai yang berkompetisi di satu dapil. Hal ini mengindikasi bahwa para calon rela mengeluarkan biaya yang sebanyakbanyaknya dalam hal proses kampanye dan bahkan jual beli suara (money politik) antara calon dengan masyarakat sering terjadi. Selain itu, penetapan calon terpilih yang didasarkan pada suara terbanyak cenderung menghasilkan kualitas calon yang kurang berkompeten karena menganggap dirinya terpilih bukan karena partai melainkan karena popularitas atau usahanya sendiri. Kedua, krisis ideologi partai politik. Ideologi merupakan hal wajib bagi partai politik, dengan ideologinya sebuah partai politik akan terlihat bentuknya. Bentuk disini adalah kemana arah partai politik ini akan memainkan fungsinya, apa yang akan disosialisaskan kemasyarakat, sikap dan orientasi politik seperti apa yang akan dibentuk, masyarakat seperti apayang menjadi basis perjuangan partai, dengan nilai-nilai seperti apa perjuangan itu akan dilakukan bentuk masyarakat seperti apa yang akan dibentuk dan lain sebagainya. Dengan dasar ideologilah partai itu akan begerak melalui program kebijakan partai yang kemudian akan menjadi program kerja nyata yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat. Politik tanpa ideologi hanya membentuk kegagapan bagi kadernya saat memegang ke5
Wawancara dengan Bapak Joshua Lumbantobing (Calon legislatif Partai Golkar Dapil I), tanggal 04 April 2014, pukul 09.30-10.20, di Kecamatan Tarutung.
62
ISSN: 0216-9290 kuasaan. Sehingga wajarlah bila partai politik perlu menanamkan ideologi politik kepada para kadernya. Harapannya, para kader berideologi akan melahirkan sosok yang punya cita-cita politik. Sehingga ideologi dapat dijadikan landasan dan arah kebijakan politik sewaktu memegang kekuasaan. Cita-cita politik dari parpol pada dasarnya adalah membangun sebuah struktur negara untuk menggerakkan dan menciptakan kebaikan bersama. Jika dalam benak kader terdapat cita-cita politik maka kekuasaan tidak lebih hanya sebagai alat semata. Karena perwujudan citacita politik yang dijadikan tujuan utamanya. Sehingga jika menjadi penguasa maka akan mempunyai kerangka yang mendasar dan terarah untuk menciptakan kebaikan bersama. Krisis identitas dan tak adanya ideologi membuat arah partai tak jelas dan sulit membedakan partai satu dengan yang lain. Para tokoh dan elite parpol pun tak mampu memberikan contoh panutan yang baik bagi kader dan masyarakat. Mereka justru sibuk berkelahi dan berebut kekuasaan ketimbang mengembangkan konsep pemikiran alternatif mengenai bagaimana memperjuangkan bangsa ini agar dapat berkembang lebihbaik, dan bagaimana mengatasi persoalan-persoalan bangsa. Apabila partai tidak memiliki platform yang jelas, maka akan mengakibatkan tidak adanya ikatan ideologis di antara anggota partai. Ketika terjadi perpecahan yang bersifat personal atau kelompok, dengan mudah hal itu memecah belah partai. Yang terlihat pada saat ini hanya perang antar partai politik yang saling jegal-menjegal berusaha menjatuhkan satu sama lain. Saat ini, fenomena yang muncul di banyak partai politik adalah berlomba-lombanya mereka untuk menginklusifkan diri dan mewadahi semua basis pemilih, sedangkan ideologi tidak lagi menjadi variabel utama dalam pembuatan keputusan di internal partai. Ideologi lebih terkesampingkan oleh peran ketokohan (figure), ketokohan kemudian yang menjadi pertimbangan masyarakat umum ketika menentukan pilihanya bukan pada ideologi apa yang dipeganganya hal ini merupakan konsekuensi dari pemilihan langsung. Ketokohanlah yang kemudian menjadi incaran atau yang dikejar ideologi melalui
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Rinaldi Sitio
ISSN: 0216-9290
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014
partai politik dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kekuasaan politik. Ketiga, peran partai politik dan proses kampanye. Partai politik di Indonesia sebagai infrastruktur dalam sistem politik bisa dikatakan telah mengalami kegagalan dalam perkembangannya menuju kedewasaan. Kegagalan menuju kedewasaan ini dicerminkan dari posisi parpol yang seharusnya sebagai bagian terpenting dari sistem politik, ternyata hingga kini tidak lebih hanya menjadi kendaraan bagi kepentingan pribadi atau kelompok. Memang dalam sejumlah definisi teoretis dijelaskan bahwa parpol merupakan wadah untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Hal ini berdampak pada mudahnya terjadi berbagai konflik internal. Tidak jelasnya jenjang pengkaderan, tidak jelasnya indikator prestasi yang ujung-ujungnya bermuara pada ketidakjelasan kelayakan kader sebagai wakil parpol, pada banyak kasus menjadi pemicu konflik. Akibatnya, proses perekrutan para calon anggota legislatif yang akan mewakili partai menjadi sangat kabur. Sistem pemilu yang dilaksanakan saat ini yaitu yang didasarkan pada suara terbanyak tentu akan mendorong para caleg untuk lebih mendongkrak popularitasnya mengingat pemilu tidak lagi di dasarkan pada nomor urut. Seorang caleg dari salah satu partai tidak hanya akan berkompetisi dengan caleg-caleg partai lain, tetapi otomatis juga bersaing keras dengan temannya sendiri sesama caleg separtai. Karena nomor urut tak menentukan, mereka berlomba memermak citra dan popularitas. Eksesnya konflik antar sesama caleg dari partai yang sama dimungkinkan makin mengeras. Dalam hal ini partai sebagai fungsi pendidikan politik tidak berjalan lancar. Pendidikan politik perlu diberikan kepada seluruh calon legislatif, anggota, kader, dan pengurus partai. Pendidikan politik merupakan strategi untuk membumikan ideologi partai. Sehingga kepentingan partai berdasarkan visi-misi menjadi prioritas elite dalam menentukan kebijakan partai. Dengan kata lain, pendidikan politik adalah cara partai untuk mengikis ego atau kepentingan sesaat elite. Masalahnya, pendidikan politik belum dilihat sebagai strategi atau program penting bagi parpol.
Terkait bagaimana peran partai politik saat ini, Chandra Simanjuntak memberikan tanggapan: …“Partai politik sekarang ini hanya sebagai media saja, dalam menetapkan calon, partai tidak lagi melihat dari kemampuan calon itu, tapi siapa calon itu sendiri, popularitasnya, karena semakin banyak suara calon semakin banyak juga suara partai. Peran partai minim dalam melakukan seleksi calon yang betul-betul mampu karena partai lebih mengutamakan eksistensi partai saja.” 6
Partai sebagai wadah dalam perekrutan kepemimpinan dinilai sangat minim dalam hal merekrut dan menetapkan calon karena partai akan berusaha menetapkan calon yang mempunyai popularitas yang tinggi sehingga dinilai dapat meningkatkan elektabilitas partai. Setiap calon legislatif akan bekerja keras, dan kemudian diharapkan akan memperbesar perolehan suara partai. Kondisi tersebut akan cenderung menimbulkan konlik sesama calon dalam satu partai, calon yang secara kualitatif lebih berpengalaman dan berkompeten akan bersaing dan bisa saja di kalahkan oleh calon yang lebih punya popularitas yang tinggi. Proses kampanye juga akan turut membawa konflik di internal partai, jika sebelumnya proses kampanye dilakukan oleh partai secara terbuka namun saat ini proses kampanye lebih condong kepada calon legislatif itu sendiri. Kampanye lebih banyak menonjolkan figur calon dan janji kepada masyarakat, bukan pada perjuangan visi dan misi Partai. Calon rata-rata menempuh jalan pendekatan pragmatis, bukan pendekatan ideologis maupun pendidikan politik kepada para pemilih.Potensi ini menjadi pemicu terpecahnya perjuangan partai. Di satu sisi calon yang dapat membawa hal baru yang positif ke dalam masyarakat saat berkampanye akan berpeluang untuk di pilih oleh rakyat, di sisi lain para calon legislatif tidak menutup kemungkinan akan berusaha untuk menjatuhkan calon yang lain untuk berusaha mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat terutama dalam mendulang suara.
6
Wawancara dengan Bapak Chandra Simanjuntak (Masyarakat Kecamatan Tarutung), tanggal 02 April 2014, pukul 09.20-10.00, di Desa Hapoltahan.
63
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Rinaldi Sitio
Pergeseran Konflik Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada Pemilu Legislatif 2014
Kondisi ini memaksa setiap caleg bekerja lebih keras untuk mendapat suara sebanyakbanyaknya tanpa harus menunggu kerja partai karena dalam hal ini sistem suara terbanyak memberikan optimisme kepada setiap caleg karena memeliki peluang yang sama untuk menang, selain itu dalam penetapan calon terpilih partai tidak lagi punya otoritas dalam menetapkan calon terpilih.Fenomena yang muncul adalah kuatnya pertarungan individu dengan mengusung kepentingan lokal yang terkait dengan daerah pemilihannya. Para caleg berupaya untuk membangun citra di depan masyarakat untuk menarik simpati pemilih. Dan isu yang dibangun lebih kepada kepentingan pribadi caleg ketimbang menyampaikan visi, misi dan arah perjuangan partai, hal ini menandakan peran partai semakin meredup, fungsi partai semakin tidak terlihat. Penutup Konflik merupakan problem serius yang tidak pernah lepas dalam setiap pelaksanaan pemilu. Berdasarkan fenomena konflik di dapil I Kabupaten Tapanuli Utara pada pemilu legislatif 2014, konflik politik menjadi fenomena yang terjadi pada partai politik. Terjadi pergeseran konflik karena dampak perubahan sistem pemilu, krisis ideologi partai politik serta peran partai politik dan proses kampanye. Daftar Pustaka Harian ORBIT-Online. 2014. Diakses pada hari Rabu ,tanggal 07 Mei 2014 pukul 15.01 Sitepu, Anthonius 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Legislatif. Wawancara dengan Bapak Chandra Simanjuntak (Masyarakat Kecamatan Tarutung), tanggal 02 April 2014, pukul 09.20-10.00, di Desa Hapoltahan. Wawancara dengan Bapak Joshua Lumbantobing (Calon legislatif Partai Golkar Dapil I), tanggal 04 April 2014, pukul 09.30-10.20, di Kecamatan Tarutung. Wawancara peneliti dengan informan (anggota KPU Tapanuli Utara) pada hari Rabu tanggal 02April 2014, Pukul 10.30 Wib.
64
ISSN: 0216-9290