Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PERFORMANS PRODUKSI TELUR AYAM ARAB AKIBAT PEMBERIAN RANSUM BERBEDA TARAF PROTEIN SAAT PERTUMBUHAN (Laying Performance of Arab Chicken Fed Different Dietary Protein Level during Growing Period) EDJENG SUPRIJATNA, LUTHFI DJAUHARI MAHFUDZ dan WARSONO SARENGAT Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
ABSTRACT The purpose of this experiment was to evaluate the optimal dietary level of protein for growing Arab chicken pullet in refference to layer. Sixty pullets of Arab chicken of 12 weeks old, were divided into 5 groups and subjected to treatment of dietary protein level, 12%, 13% and 18%. Pullets were subject to treatment from 12 weeks to 20 weeks of age. At laying period (21 – 32 weeks of age), all animals treatments were fed the same ration of 17% protein. Data collected were analyzed by ANOVA. Result of this experiment showed that level protein did not affect growth and puberty performance (P > 0.05), but it affected feed consumption and protein consumption significantly (P < 0.05). There were no significant different of laying performance (P < 0.05). The conclution of this experiment is that ration with protein level of 12% at growing period optimal for keeping Arab chicken as a layer. Key Word: Arab Chicken, Protein, Growing Period, Laying Performance ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui taraf protein ransum yang optimal untuk pertumbuhan ayam Arab sebagai petelur. Digunakan 60 ekor ayam Arab betina umur 12 minggu, dikelompokan menjadi 5 kelompok untuk dikenai perlakuan taraf protein ransum. Sebagai perlakuan adalah 3 taraf protein ransum, 12%, 15% dan 18%. Perlakuan ransum diberikan sampai umur 20 minggu. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian ransum layer komersial yang sama untuk semua kelompok sampai umur 32 minggu, yaitu 17%. Data terkumpul diolah dengan Analisis Ragam. Hasil penelitian menunjukkan taraf protein tidak berpengaruh terhadap performans pertumbuhan dan karakteristik pubertas (P > 0,05), kecuali konsumsi ransum (P < 0,05) dan konsumsi protein (P < 0,01). Taraf protein tidak menunjukkan dampak nyata terhadap performans produksi telur (P > 0,05). Taraf protein ransum 12% menghasilkan keuntungan ekonomis tertinggi. Kesimpulan penelitian taraf protein ransum yang optimal saat pertumbuhan untuk pemeliharaan ayam Arab sebagai petelur adalah 12%. Kata Kunci: Ayam Arab, Taraf Protein, Periode Pertumbuhan, Performans Produksi telur
PENDAHULUAN Dewasa ini banyak peternak memelihara ayam Arab sebagai ayam petelur. Ransum yang diberikan sangat beragam, namun secara umum menggunakan pedoman yang diberikan bagi ayam ras petelur. Mengingat bahwa ayam Arab bukan ayam Ras tipe petelur, dapat digolongkan sebagai ayam lokal, pertumbuhan dan produksinya masih lebih rendah dibandingkan ayam Ras. Sehingga, bila digunakan pedoman ransum bagi ayam Ras
656
petelur, hal ini kurang tepat dan mungkin akan mengakibatkan kerugian, baik secara ekonomis maupun biologis. Pemberian ransum pada saat pertumbuhan akan berpengaruh terhadap perkembangan organ reproduksi dan dewasa kelamin, sehingga berdampak pada kemampuan menghasilkan telur pada saat periode produksi (ETCHES, 1996). Pada saat dua minggu menjelang dewasa kelamin konsumsi protein meningkat pada ayam yang diberi makan bebas memilih (FORBES dan SHARIATMADARI, 1994). Hal
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
tersebut dibutuhkan untuk cadangan bahan produksi telur. Tersedianya cadangan bahan yang cukup di dalam tubuh dapat ditunjukkan dengan tercapainya bobot hidup optimal pada saat dewasa kelamin (LEESON dan SUMMERS, 1991). Pada ayam ras tipe petelur ringan, kandungan protein ransum untuk periode pertumbuhan umur 12-18 minggu adalah minimal 15% dan ayam ras petelur tipe medium 14% (NRC, 1994). Rekomendasi tingkat protein ransum tersebut sejalan dengan kualitas genetis ayam ras petelur. Pertumbuhan organ reproduksi dan kondisi tubuh ayam harus optimal saat tercapainya dewasa kelamin agar saat memasuki periode produksi ayam dapat berproduksi secara maksimal sesuai potensi genetis (LESSONS dan SUMMERS, 1991; FORBES dan SHARIATMADARI, 1994). Dewasa kelamin yang lebih cepat tidak berdampak buruk apabila mampu mencapai bobot hidup optimal (LESSON dan SUMMERS, 1991). Sementara hasil penelitian SUPRIJATNA et al. (2005) menunjukkan bahwa pada ayam Buras taraf protein 12% telah memadai untuk periode pertumbuhan umur 12 – 20 minggu dan tidak berdampak terhadap produksi telur. Oleh karena itu pada ayam petelur, periode pertumbuhan umur 12 – 20 minggu merupakan periode yang sangat penting dalam rangka untuk mencapai pertumbuhan yang optimal guna mempersiapkan ayam memasuki periode produksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat protein ransum yang optimal saat pertumbuhan terhadap performans produksi telur ayam Arab pada saat mencapai periode produksi.
kandang baterai tunggal dengan ukuran 20 cm X 40 cm X 40 cm. Ransum yang digunakan pada penelitian tahap I adalah ransum percobaan terdiri dari 3 jenis ransum mengandung protein 12%, 15% dan 18%. Ransum disusun iso kalori, 2750 kkal/kg. Pada penelitian tahap II digunakan ransum yang sama untuk semua perlakuan, yaitu ransum komersial petelur mengandung protein 17% dengan kandungan energi 2800 kkal/kg. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum. Komposisi dan kandungan gizi ransum percobaan tertera pada Tabel 1. Parameter yang diamati pada penelitian tahap I meliputi performans pertumbuhan dan karakteristik pubertas, yaitu konsumsi ransum, pertambahan bobot hidup, umur bertelur pertama, bobot telur pertama, konversi ransum dan bobot hidup saat bertelur pertama. Pada penelitian tahap II pengamatan dilakukan terhadap performans produksi, yaitu konsumsi ransum, persentase produksi telur harian, massa telur, konversi ransum, bobot telur dan perhitungan ekonomis berdasarkan selisih harga jual telur dengan biaya ransum. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Acak Kelompok, terdiri dari 5 kelompok berdasarkan bobot hidup, masing-masing kelompok terdiri dari 12 ekor ayam. Bobot hidup kelompok I: 416,67 ± 0,012 g, kelompok II: 476,92 ± 0,012 g, kelompok III: 523,08 ± 0,012 g, kelompok IV : 560,5 ± 0,136 g, kelompok V: 633,08 ± 0,012 g. Masing-masing kelompok diberi perlakuan 3 taraf protein, yaitu 12%, 15% dan 18%. Tiap unit percobaan terdiri dari 4 ekor ayam. Pengolahan data menggunakan Analisis Ragam dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
MATERI DAN METODE Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu: tahap I merupakan penerapan penggunaan ransum dengan taraf protein berbeda saat periode pertumbuhan (umur 12 – 20 minggu), dan penelitian tahap II merupakan pengamatan dampak perlakuan taraf protein ransum saat periode pertumbuhan terhadap performans produksi telur saat periode produksi (umur 20 – 32 minggu) (Gambar 1). Digunakan 60 ekor ayam Arab betina umur 12 minggu. Ayam tersebut dipelihara pada
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian tahap I Pengaruh perlakuan terhadap performans pertumbuhan umur 12 – 20 minggu Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan taraf protein dari 12 – 18% pada umur 12 – 20 minggu berpengaruh nyata (P < 0,05) meningkatkan konsumsi ransum dan sangat nyata (P < 0,01) meningkatkan
657
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 1. Komposisi dan kandungan gizi ransum percobaan umur 12 – 20 minggu Komposisi (%)
Bahan T1 (12%)
T2 (15%)
T3 (18%)
Jagung kuning
58,00
54,00
47,00
Dedak halus
32,00
22,00
16,50
Bungkil kedelai
1,00
8,00
18,00
Bungkil kelapa
5,00
10,50
12,50
Tepung ikan
4,00
5,50
6,00
100,00
100,00
100,00
Jumlah Nutrien * Energi metabolisme (kkal/kg)
2738,80
2763,66
2720,65
Protein ( % )
12,57
15,54
18,09
Lemak ( % )
8,93
8,63
8,30
Serat Kasar ( % )
6,72
8,89
10,80
Kalsium (% )
0,28
0,39
0,38
Fosfor (%)
0,27
0,34
0,38
Lisina (%)
0,86
1,20
1,44
Metionina (%)
0,40
0,50
0,55
*) Berdasarkan perhitungan
Protein 12% Ransum komersial protein 18%
Protein 15%
Starter (0-12 minggu)
Protein 18%
Ransum komersial protein 17%
Layer (20-32 minggu)
Grower (12-20 minggu) Gambar 1. Program pemberian ransum selama penelitian
konsumsi protein, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot hidup dan konversi ransum. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian terdahulu pada ayam ras petelur, dimana peningkatan taraf protein selain mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi ransum juga mengakibatkan terjadipertambahan bobot hidup (DOUGLAS et al., 1985; KESHAVARDZ dan JACKSON, 1992; SUPRIJATNA dan NATAWIHARDJA, 2004).
658
Perbedaan ini kemungkinan karena ayam ras telah mengalami perbaikan mutu genetis sehingga lebih responsif terhadap taraf protein yang meningkat yang ditandai dengan terjadinya peningkatan pertambahan bobot hidup. Tetapi hasil penelitian SUPRIJATNA dan NATAWIHARDJA (2004) menunjukkan pula bahwa peningkatan taraf protein ransum pada ayam ras petelur umur 12 – 20 minggu tidak mengakibatkan adanya perbedaan konversi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
ransum. Hal itu mengindikasikan bahwa pada umur tersebut peningkatan protein ransum mengakibatkan terjadinya peningkatan laju pertumbuhan tetapi dengan laju yang semakin menurun. Pada periode pertumbuhan menjelang dewasa kelamin laju pertumbuhan semakin menurun sehingga peningkatan taraf protein menjadi tidak efisien yang diindikasikan dengan meningkatnya ekskresi nitrogen, (SUMMERS dan LEESON, 1994). Pada penelitian ini, konsumsi protein meningkat dengan meningkatnya taraf protein ransum, tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan pertambahan bobot hidup. Hal ini menunjukkan bahwa ayam Arab kurang responsif terhadap peningkatan taraf protein yang lebih tinggi dari 12%. Konsumsi protein yang meningkat, tidak disintesis menjadi jaringan tubuh, karena telah melebihi kebutuhan. Kelebihan konsumsi protein akan didegradasi menjadi sumber energi dan amonia yang diekskresikan lewat feses (SCOTT et al., 1982). Berdasarkan hasil penelitian ini maka taraf protein ransum 12% telah mencukupi untuk pertumbuhan ayam Arab umur 12 – 20 minggu. Pengaruh perlakuan terhadap karakteri-stik performans awal peneluran (dewasa kelamin) Pada penelitian ini ayam Arab mencapai dewasa kelamin yang ditandai dengan bertelur
pertama pada umur 166,30 hari (protein 12%), 169,17 hari (protein 15%) dan 162,67 hari (protein 18%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan taraf protein ransum cenderung mengakibatkan tercapainya umur dewasa kelamin yang lebih pendek, tetapi secara statistik tidak nyata. Demikian pula bobot hidup saat mencapai dewasa kelamin cenderung meningkat dengan meningkatnya taraf protein ransum, 1110,70 g (protein 12%); 1197,68 g (protein 15%) dan 1158,90 g (protein 18%), tetapi secara statistik tidak mengakibatkan perbedaan yang nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ayam Arab mencapai dewasa kelamin lebih lambat dengan bobot hidup yang lebih ringan dibandingkan ayam Ras petelur tipe ringan, yaitu sekitar 140 hari dengan bobot hidup 1350 g (NORTH dan BELL, 1990; LEESON dan SUMMERS, 1991; ENSMINGER, 1992). Tetapi tidak jauh berbeda dengan ayam lokal Indonesia lainnya, yaitu pada ayam Kampung sekitar 138 – 170 hari (SUPRIJATNA, 1998). Hasil penelitian ini berbeda dengan yang terjadi pada ayam Ras petelur bahwa peningkatan taraf protein ransum 12 – 18% mengakibatkan umur dewasa kelamin yang lebih cepat (LEESON dan SUMMERS, 1991; SUPRIJATNA, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa ayam Ras lebih responsif terhadappeningkatan taraf protein ransum, sebagai akibat meningkatnya perbaikan mutu
Tabel 2. Pengaruh taraf protein ransum terhadap performans pertumbuhan umur 12-20 minggu, karakteristik pubertas dan kualitas telur saat pubertas Parameter Umur bertelur pertama (hari) Bobot hidup saat bertelur pertama (g) Kualitas telur pertama Bobot telur (g) Tebal kerabang (mm) Haugh unit Konsumsi ransum (g/ekor/hari) Konsumsi protein (g/ekor/hari) Pertambahan bobot hidup (g/ekor) Konversi ransum
T1 (12%) 166,30a 1110,70a
T2 (15%) 169,17a 1197,68a
T3 (18%) 162,67a 1158,90a
30,30a 0,41a 92,94a 51,22b 6,44C 331,52a 8,88a
30,72a 0,40a 94,82a 53,06b 8,25B 345,52a 9,30a
30,90a 0,41a 92,73a 57,32a 10,37A 397,04a 8,29a
1) Nilai rata-rata dengan huruf kecil berbeda ke arah baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) 2) Nilai rata-rata dengan huruf besar berbeda ke arah baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01)
659
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
genetis. Sementara ayam Arab belum mengalami perbaikan mutu genetis, bahkan cenderung semakin tidak murni karena banyak perkawinan yang tidak terarah. Hal ini berdampak kepada rendahnya respons terhadap perbaikan kualitas ransum. Peningkatan taraf protein ransum di atas 12% tidak mengakibatkan adanya percepatan dewasa kelamin yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa ayam Arab memiliki karakteristik sebagai ayam lokal. Ayam akan mecapai dewasa kelamin jika telah mencapai bobot badan optimal. Peningkatan taraf protein ransum mengakibatkan konsumsi protein yang meningkat. Konsumsi protein akan menentukan laju pertumbuhan dan selanjutnya ayam akan cepat mencapai bobot hidup untuk tercapai dewasa kelamin (SUPRIJATNA dan NATAWIHARDJA, 2004). Pada penelitian ini peningkatan taraf protein tidak mengakibatkan adanya peningkatan laju pertumbuhan, sehingga bobot hidup tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Dengan demikian umur dewasa kelamin yang tidak berbeda pada penelitian ini adalah sebagai akibat bobot hidup yang tidak berbeda. Penelitian tahap II Pengaruh perlakuan terhadap performans produksi telur Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap performans produksi telur. Peningkatan taraf protein ransum dari 12 – 18% pada saat periode pertumbuhan tidak mengakibatkan adanya dampak yang nyata terhadap
performans produksi pada saat memasuki periode produksi (umur 20 - 32 minggu). Pada Tabel 3 tampak bahwa konsumsi ransum, konversi ransum, persentase produksi telur harian, massa telur dan bobot telur pada saat memasuki periode produksi (umur 20 – 32 minggu) tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05). Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu pada ayam Ras petelur modern, bahwa peningkatan taraf protein ransum saat periode pertumbuhan mengakibatkan terjadinya peningkatan performans produksi, terutama pada saat awal produksi sampai tercapai puncak produksi pada umur sekitar 20 – 44 minggu (GARDNER dan YOUNG, 1972; LEESON dan CASTON, 1997; KLING et al., 1985; SUPRIJATNA dan NATAWIHARDJA, 2004). Pada penelitian ini performans produksi hanya menunjukkan kecenderungan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan protein yang tinggi (15 dan 18%) seperti pada pedoman untuk ayam ras petelur tidak sesuai untuk pemeliharaan ayam Arab. Protein yang rendah (12%) telah memadai untuk dapat mencapai performans produksi telur yang optimal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan protein ransum untuk ayam Arab hampir sama dengan kebutuhan protein untuk ayam Ras petelur tipe ringan seperti yang direkomendasikan oleh SCOTT et al. (1982) dan NRC (1984) yakni kebutuhan protein untuk ayam petelur tipe ringan yang sedang tumbuh menjelang dewasa adalah 12% dan tidak lebih dari 13% (KIM dan MCGINIS, 1976). Penggunaan taraf protein yang lebih tinggi tidak berdampak terhadap peningkatan performans produksi saat memasuki periode produksi.
Tabel 3. Dampak perlakuan terhadap performans produksi telur (umur 20 – 32 minggu) Perlakuan
Parameter T1 (12%)
T2 (15%)
T3 (18%)
Konsumsi ransum (g/ekor/hari)
67,80a
69,58a
69,46a
Persentase produksi harian (%)
50,69a
45,62a
48,83a
Massa telur (g/ekor)
18,10a
16,66a
18,39a
Konversi ransum
8,04a
7,19a
4,79a
Bobot telur (g/butir)
35,30a
36,19a
37,03a
Nilai rata-rata pada baris yang sama dengan huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
660
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 4. Perhitungan ekonomis pengaruh taraf protein saat pertumbuhan terhadap produksi telur umur 20 – 32 minggu Perlakuan
Parameter Biaya ransum (Rp./ekor)
Starter
T1 (12%)
T2 (15%)
T3 (18%)
6.440
6.440
6.440
Grower
4.152
5.631
7.249
Layer
11.959
12.275
12.253
Grower + Layer
16.111
17.906
19.502
Hasil penjualan telur (Rp./ekor)
25.547
22.992
24.610
Keuntungan (Rp./ekor)
9.436
5.086
5.109
Persentase keuntungan (%)
100,00
53.89
54.14
Total biaya
Harga ransum: Starter: Rp. 2300; Grower : T1 (Rp. 1.447), T2 (Rp. 1.896), T3 (Rp. 2.273); Layer : Rp. 2.100) Harga telur: Rp. 600/butir Biaya ransum hanya diperhitungkan grower dan layer, karena starter menggunakan ransum sama untuk ketiga perlakuan
Pada penelitian ini tampak pula bahwa persentase produksi telur harian, bobot telur dan massa telur ayam Arab lebih rendah jika dibandingkan dengan ayam Ras petelur tipe ringan (NORTH dan BELL, 1990; ENSMINGER, 1992), tetapi tidak jauh berbeda dengan beberapa jenis ayam lokal (SUPRIJATNA, 1998). Pengaruh perlakuan terhadap keuntungan ekonomis Keuntungan ekonomis pada penelitian ini dihitung berdasarkan selisih biaya ransum selama periode pertumbuhan dan periode produksi dengan hasil penjualan telur (Tabel 4). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan protein yang rendah (12%) selama periode pertumbuhan (umur 12 – 20 minggu) memberikan keuntungan lebih tinggi dibandingkan protein sedang maupun tinggi (15 dan 18%). Hal ini disebabkan ayam yang diberi ransum protein rendah memiliki biaya ransum yang lebih rendah pada saat pertumbuhan, sementara pada saat memasuki periode produksi menunjukkan hasil penjualan telur lebih baik dibandingkan ayam yang diberi ransum protein sedang dan tinggi. Keuntungan yang lebih baik ini juga disebabkan telur ayam Arab dijual dalam satuan butir bukan dalam kilogram, sehingga menghasilkan keuntungan lebih baik. Pada penelitian ini tampak bahwa ayam yang diberi ransum protein sedang dan
tinggi menunjukkan keuntungan lebih rendah,yaitu hanya mencapai 53,89% (T2) dan 54,14% (T3) dari keuntungan yang diraih T1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa taraf protein ransum 12% dengan kandungan energi 2.750 kkal/kg telah memadai untuk pertumbuhan ayam Arab umur 12 – 20 minggu. Taraf protein yang lebih tinggi (15 – 18%) tidak berpengaruh terhadap performans pertumbuhan dan karakteristik pubertas, serta tidak berdampak pada performans produksi telur pada saat periode produksi (umur 20 – 32 minggu). Ransum protein rendah (12%) saat pertumbuhan mengakibatkan biaya ransum yang lebih rendah dan menghasilkan keuntungan hasil penjualan telur lebih baik. DAFTAR PUSTAKA. DOUGLAS, C.R., D.M. WELCH and R.H. HARMS. 1985. A step-down protein program for commercial pullets. Poult. Sci. 64: 1137 – 1142. ENSMINGER, M.E. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Interstate Publisher, Inc. Denville. ETCHES, R.J. 1996. Reproduction in Poultry. University Press. Cambridge.
661
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
FORBES, J.M. and F. SHARIATMADARI. 1994. Diet selection by poultry. World’s Poultry Sci .J. 50: 7 – 24.
SCOTT, M.L., M.C. NESHEIM and R.J. YOUNG. 1982 Nutrition of the Chicken. M.L. Scott and Associate. Ithaca. New York.
GARDNER, F.A. and L.C. YOUNG. 1972. The influence of dietary protein and energy tarafs on the protein and lipid content of the Hens egg. Poult. Sci. 49: 1687 – 1692.
SUMMERS, J.D. and S. LEESON. 1994. Laying hens performance as influence by protein intake to sixteen weeks of age and body weight at point of lay. Poult. Sci. 73: 495 – 501.
KESHAVARDZ, K. and M.E. JACKSON. 1992. Performance of growing pullet and laying hens fed low-protein, amino acid supplemented diets. Poult. Sci. 71: 905 – 918.
SUPRIJATNA, E. 1998. Performans reproduktif ayam Kampung pada pemberian pakan campuran pakan komersial dan dedak halus. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 23(1): 1 – 6.
KIM, S.M. and J. MCGINNIS. 1976. Effect of taraf and sources of dietary protein in pullet grower diet on subsequent performance. Poult. Sci. 55: 895 – 905. KLING, L.J., R.O. HAWES and R.W. GERRY. 1985. Effects of early maturation, layer protein taraf and methionin concentration on production performance of Brown–Egg type pullets. Poult. Sci. 64: 640 – 645. LEESON, S. and J.D. SUMMERS. 1991. Commercial Poultry Nutrition. University Books. Guelph. Ontario. LEESON, S. and L.J. CASTON. 1997. A problem with characteristics of the thin albumen in laying hens. Poult. Sci. 76: 1332 – 1336. NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 1984. Nutrient Requirement of Poultry. 8th. Rev. Ed. National Academi of Science. Washington. D.C. NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th. Rev. Ed. National Academi of Science. Washington. D.C. NORTH, M.O. and D.D. BELL. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Avi Publishing Company, Inc. Wesport. Connecticut.
662
SUPRIJATNA, E. dan D. NATAWIHARDJA. 2004. Pengaruh taraf protein dalam ransum pada periode pertumbuhan terhadap performans ayam ras petelur tipe medium saat awal peneluran. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 29(1): 33 – 38. SUPRIJATNA, E., W. SARENGAT dan S. KISMIATI. 2005. Pertumbuhan organ reproduksi dan dampaknya terhadap performans produksi telur ayam buras yang memperoleh pakan dengan taraf protein berbeda saat periode pertumbuhan. Pros. Seminar Nasional Revitalisasi Bidang Kesehatan Hewan Dan Manajemen Peternakan Menuju Ekonomi Global. Dies Natalis XXXIII Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR. Surabaya. hlm. 45 – 54. YU, M.W., F.E. ROBINSON, R.G. CHARLES and R. WEINGARD. 1992. Effect of feed allowance during rearing and breeding on female broiler breeders. 2. Ovarian morpho;ogy and production. Poult. Sci. 71: 1750 – 1761.