PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG
CICI NURFATIMAH
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN CICI NURFATIMAH. A44062476. Perencanaan Lanskap Tata Ruang Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara beberapa patahan lempeng benua yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Filipina di sebelah utara, lempeng Australia di bagian selatan, dan lempeng Pasifik di bagian timur kepulauan. Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu kawasan dengan zona seismic tertinggi di dunia. Pada tanggal 2 September 2009 terjadi gempa bumi berkekuatan 7,3 Skala Richter dengan episentrum yang berada di Samudera Indonesia di sebelah selatan Tasikmalaya. Gelombang gempa merambat hingga Bandung, Cianjur dan Sukabumi. Salah satu kawasan yang terkena dampak paling parah akibat gelombang gempa ini adalah Kecamatan Pangalengan di Kabupaten Bandung. Berdasarkan data statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kecamatan Pangalengan mengalami kerusakan paling parah dari total 29 kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung. Selanjutnya dari 13 desa yang ada di Kecamatan Pangalengan, hampir semua bangunan di desa-desa tersebut mengalami kerusakan akibat gempa termasuk sarana infrastruktur penting seperti Puskesmas dan sekolah. Korban jiwa dan kerugian yang terjadi secara spasial diakibatkan oleh kesalahan dalam pembangunan kawasan terutama dalam penataan ruang permukiman. Tata ruang yang tidak sesuai dengan morfologi dan geologi kawasan dapat berakibat fatal jika terjadi bencana seperti gempa bumi. Oleh karena itu perlu adanya suatu perencaan tata ruang wilayah yang memperhatikan aspekaspek geologi kawasan dan kebutuhan dalam hal mitigasi bencana. Sehingga ruang yang tercipta dapat mengurangi resiko dan dampak dari bencana yang terjadi. Kegiatan perencanaan ini memiliki tujuan untuk menyusun lanskap tata ruang permukiman untuk mitigasi bencana gempa bumi. Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Studi dilakukan di kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi yang terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung pada 2 September 2009. Tahapan yang dilakukan dalam kegiatan penelitian, yaitu : (1) Persiapan, yaitu pengumpulan berbagai data dan informasi awal yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian; (2) Inventarisasi, yaitu pengumpulan data di lapang untuk menghasilkan data aspek fisik, biofisik, dan sosial; (3) Analisis dengan menggunakan metode analisis METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning Model Study) (Fabos dan Caswell, 1976); (4) Sintesis; dan tahap (5) Perencanaan. Pada kegiatan analisis digunakan metode analisis METLAND yang terdiri atas 3 (tiga) tahap penilaian, yaitu Tahap I: Identifikasi Sumberdaya Kritis, Tahap II : Identifikasi Zona Bahaya dan Tahap III : Identifikasi Kesesuaian untuk Pengembangan (Fabos dan Caswell, 1976). Komponen analisis yang termasuk ke dalam Sumberdaya Kritis adalah sumberdaya tanah dan air. Hasil keluaran dari
tahap ini adalah informasi kawasan dengan sumberdaya yang tidak perlu diproteksi dan dapat dilakukan pengembangan untuk kawasan permukiman. Pada tahap identifikasi zona berbahaya dilakukan penilaian terhadap kerawanan gempa bumi di kawasan perencanaan. Pada tahap ini diperoleh informasi bahwa Kecamatan Pangalengan terbagi ke dalam empat tipologi kerawanan gempa bumi yaitu Tipologi A, B, C, dan D. Kawasan dengan tipologi A menempati area paling luas (88% atau 20.018 ha) di Kecamatan Pangalengan sehingga kawasan ini menjadi area yang paling aman di wilayah rawan gempa untuk dikembangkan menjadi kawasan permukiman. Selanjutnya pada tahap analisis kesesuaian pengembangan digunakan klasifikasi kelas lereng untuk mendukung pengembangan yang sesuai diterapkan pada kawasan perencanaan dan dihasilkan informasi kawasan yang sesuai untuk permukiman seluas 41% dan tidak sesuai untuk permukiman seluas 59%. Permukiman eksisiting yang terkena dampak paling parah saat terjadi gempa di Kecamatan Pangalengan adalah Desa Margamukti, Desa Margamekar, Desa Sukamanah, Desa Pangalengan, dan Desa Margamulya. Kelima desa tersebut termasuk ke dalam permukiman yang direncanakan dalam RDTR Kota Pangalengan. Kelima desa tersebut berada pada kawasan yang sesuai untuk dikembangkan berdasarkan hasil analisis. Sehingga pada tahap sintesis kelima desa tersebut menjadi fokus dalam perencanaan lanskap permukiman di Kecamatan Pangalengan. Untuk dapat menerapkan konsep mitigasi maka kawasan perencanaan dibagi ke dalam zonasi ruang atau rencana blok yang terdiri dari ruang konservasi, ruang pemanfaatan budidaya, dan ruang terbangun. Pengembangan untuk kawasan permukiman berada pada zona ruang terbangun. Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang permukiman yang dapat mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana gempa bumi. Konsep dasar ini dikembangkan ke dalam konsep mitigasi yaitu memudahkan kegiatan penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa. Konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian ruang, evakuasi, sirkulasi, dan vegetasi. Ruang permukiman dikelompokan berdasarkan satuan ketetanggan yang terdiri dari Kepala Keluarga (KK), Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Desa, dan Kecamatan. Pembagian seperti ini bertujuan untuk memudahkan dalam pembentukan pola ruang permukiman, menentukan titik-titik evakuasi, dan pergerakan menuju lokasi evakuasi. Lokasi-lokasi yang dimanfaatkan sebagai titik evakuasi adalah ruang-ruang terbuka di dalam kawasan permukiman yang dapat dimanfaatkan sebagai area rekreasi penduduk ketika tidak terjadi bencana. Zonazona evakuasi ini terbagi dalam tiga tingkatan berdasarkan lokasi yaitu zona evakuasi mikro pada skala RT, zona evakuasi meso pada skala RW, dan zona evakuasi makro pada skala desa. Luas setiap zona evakuasi disesuaikan dengan daya dukung tenda pengungsi yang dapat menampung sebanyak jumlah penduduk pada setiap zona evakuasi. Pergerakan menuju lokasi titik-titik evakuasi dimudahkan dengan pembagian hierarki jalan yang terdiri atas jalan lingkungan, jalan lokal dan jalan kolektor. Vegetasi yang diterapkan di kawasan perencanaan dibagi berdasarkan fungsinya dalam kegiatan mitigasi yang terdiri atas vegetasi budidaya, pengarah, konservasi dan penaung. Penyusunan perencanaan ini dapat diperluas pada kawasan di luar 5 desa namun masih termasuk ke dalam kawasan yang sesuai untuk pembangunan.
PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG
CICI NURFATIMAH
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitiagsi Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi. Bogor, 2011
Cici Nurfatimah NRP A44062476
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
Judul Penelitian
: Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana
Gempa
Bumi
Kecamatan
Kabupaten Bandung Nama Mahasiswa
: Cici Nurfatimah
NRP
: A44062476
Program Studi
: Arsitektur Lanskap
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si NIP. 19620214 198703 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus :
Pangalengan
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 12 Juli 1988 dari pasangan Enok Karyati dan Usep Warlian. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2000 penulis mengikuti pendidikan di SMP 1 Margahayu Bandung. Pada tahun 2003, Penulis melanjutkan studi menengah atas di SMA Al-Ma’soem, Sumedang. Pada tahun 2006 Penulis melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Pada tahun 2007 Penulis berhasil masuk Program Studi Mayor Arsitektur Lanskap dan memilih beberapa Supporting Course sebagai penunjang. Selama melakukan studi di Departemen Arsitektur Lanskap Penulis berkesempatan menjadi Asisten Mahasiswa untuk Mata Kuliah Komputer Grafis dan Mata Kuliah Proyek Studio Lanskap. Selain itu Penulis juga aktif di kegiatan non-akademis diantaranya sebagai Pengurus Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap Periode 2008-2009 Divisi Sosial Kemasyarakatan, Wakil Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman Periode 2008-2009, dan anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Paguyuban Mahasiswa Bandung. Penulis juga pernah bergabung dalam berbagai kepanitiaan seperti Masa Perkenalan Mahasiswa Baru Angkatan 44, Masa Perkenalan Fakultas Angkatan 44, Masa Perkenalan Departemen Angkatan 44, Savior (Save Our Earth Day), dan Pagelaran Seni Sunda Ki Sunda Midang. Penulis pernah mengikuti beberapa kompetisi non-akademis yaitu Juara 2 Lomba Tari Kontemporer IPB Art Contest 2009, Juara 1 Basket Putri Faperta Cup 2007 dan 2009.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian dengan judul Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih Penulis ucapkan kepada : 1. Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si yang telah sabar membimbing dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat selama masa penelitian tugas akhir ini. 2. Bapak dan Ibu atas limpahan doa dan kasih sayang yang tak terhingga. Adikku sayang yang jauh namun dekat di hati. 3. Jajaran Dosen Departemen Arsitektur Lanskap IPB atas limpahan ilmu yang sangat berharga. 4. Jajaran staf dan pegawai Departemen Arsitektur Lanskap. 5. Tengtong Family ARL 43 (Aan, Agnes, Galih, Biji, Titis, Endy, Chan2, Dedi, Desi, Sendy, Dian, Dicky, Joe, Budut, Pity, Agung, Hanni, Irfan, Jibril, Om Jun, Kukuh, Ipunk, Mahmud, Kaka, Refi, Mutteb, Nining, Nita, Ami, Ika, Ado, Perth, Titou, Presty, Pram, Ichaprita, Wanti, Putri, Ronald, Manceu, Ray, Rido, Ichadwica, Ochie, Alan, Intan, Sisi, Sugi, Iin, Tati, Komti, Phewz, Vina, Wemby, Wiwik, Yogi, Yudha, Yumi, Ziffy) untuk suka, duka, cerita, canda, tawa, ria, galau, doa, dan semangat yang membuat dunia saya beraneka warna. :’) 6. Kakak-kakak senior 39, 40, 41, 42, praktikan Prostud 44, praktikan Komgraf 45, 46 yang tidak sempat saya asisteni, dan 47 sebagai keluarga baru Dept. ARL. 7. Keluarga besar UKM Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman yang selalu semangat membarakan seni dan budaya tradisional Indonesia. 8. Keluarga besar Paguyuban Mahasiswa Bandung “Pamaung Nu Aing”.
9. Kawan-kawan lama Kost Putri Amazon (Dece, Ading, Dinceu, Fika, Uul, Achi, Kunti, Pipit, Bakcoy), Kost Putri Puri Fikriyah, Kost Putri Reesya (Ika, Tya, Zizi, Teh Evi, Nobon). 10. Terakhir kepada Anda yang sedang membaca skripsi saya ☺ Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, 2011
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL............................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1.1. Latar Belakang............................................................................... 1.2. Tujuan............................................................................................. 1.3. Kerangka Pikir Studi......................................................................
1 1 2 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 2.1. Perencanaan Lanskap..................................................................... 2.2. Gempa Bumi................................................................................... 2.3. Mitigasi Bencana............................................................................ 2.4. Tata Ruang...................................................................................... 2.5. Permukiman....................................................................................
4 4 4 9 11 14
BAB III METODOLOGI .............................................................................. 3.1. Lokasi dan Waktu.......................................................................... 3.2. Metode........................................................................................... 3.2.1 Persiapan………………………………………………….. 3.2.2. Inventarisasi……………………………………………… 3.2.3. Analisis…………………………………………………… 3.2.3.1. Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi….… 3.2.3.2. Analisis Kerawanan Gempa Bumi………………. 3.2.3.3. Analisis Kesesuaian Pengembangan……………… 3.2.4. Sintesis……………………………………………………. 3.2.5. Perencanaan……………………………………………….
15 15 16 16 16 17 18 20 25 26 28
BAB IV DATA DAN ANALISIS................................................................... 4.1. Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi…........................................... 4.1.1. Air.......................................................................................... 4.1.2. Tanah..................................................................................... 4.2. Zona Berbahaya..……………....................................................... 4.5. Kesesuaian Pengembangan............................................................ 4.6. Sintesis...........................................................................................
33 35 35 42 52 62 65
BAB V KONSEP DAN PERENCANAAN.................................................... 5.1. Konsep………………………….................................................... 5.1.1. Konsep Pembagian Ruang………………………………… 5.1.2. Konsep Evakuasi………………………………………… 5.1.3. Konsep Sirkulasi…………………………………………... 5.1.4. Konsep Vegetasi………………………………………….. 5.2. Perencanaan................................................................................... 5.2.1. Rencana Tata Ruang Permukiman………………………… 5.2.2. Rencana Evakuasi…………………………………… 5.2.3. Rencana Jalur Sirkulasi……………………………………. 5.2.4. Rencana Vegetasi………………………………………….
68 68 68 69 69 71 71 73 80 81 86
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 6.1. Kesimpulan.................................................................................... 6.2. Saran..............................................................................................
91 91 91
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
92
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1.
Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli yang Disempurnakan)..............................................................
5
Tabel 2.
Jenis, Spesifikasi dan Bentuk Data..........................................
16
Tabel 3.
Kelas Kualitas Air Bawah Tanah.............................................
18
Tabel 4.
Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air...........
19
Tabel 5.
Klasifikasi Kelas Lereng.........................................................
19
Tabel 6.
Kriteria Kawasan Lindung......................................................
19
Tabel 7.
Klasifikasi Batuan…………………………………………..
21
Tabel 8.
Klasifikasi Kemiringan Lereng...............................................
21
Tabel 9.
Faktor Kegempaan..................................................................
21
Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar……………..
22
Tabel 11. Klasifikasi Nilai Kemampuan………………………………..
22
Tabel 12. Pembobotan…………………………………………………
23
Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dengan informasi geologi yang diperhitungkan..
23
Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi..................................
24
Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi..............................
24
Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng..........
25
Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi........................
27
Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan Tipologi Kawasan ...................................................................
29
Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi .........
29
Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan.....................................
30
Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan Olahraga...................................................................................
31
Tabel 22. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng......................................................................................
32
Tabel 23. Pembobotan Pada Kerawanan Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan.............................................................................
56
Tabel 24. Matriks pembobotan untuk wilayah kestabilan kawasan rawan gempa bumi di Kecamatan Pangalengan......................
56
Tabel 25. Konsep Jalur Sirkulasi……………………………………….
70
Tabel 26. Konsep Vegetasi......................................................................
71
Tabel 27. Pembagian Satuan Ketetanggaan……………………………
74
Tabel 28. Kebutuhan Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi…………
80
Tabel 29. Rencana Fasilitas Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi….
81
Tabel 30. Standar Tinggi Karakter Huruf Pada Rambu……………….
83
Tabel 31. Kesesuaian Kontras Warna Pada Rambu……………………
85
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Kerangka Pikir Studi................................................................
3
Gambar 2.
Lokasi Studi.............................................................................
15
Gambar 3.
Framework
analisis lanskap untuk keperluan preservasi,
perlindungan, dan pengembangan tapak..................................
17
Gambar 4.
Komponen Analisis.................................................................
18
Gambar 5.
Skema Alur Proses Penilaian Kerawanan Gempa Bumi……
20
Gambar 6.
Peta Administrasi Kecamatan Pangalengan............................
34
Gambar 7.
Situ Cileunca...........................................................................
35
Gambar 8.
Wana Wisata Air Panas Cibolang...........................................
36
Gambar 9.
Kawasan Lindung Situ dan Mata Air......................................
37
Gambar 10. Tata Guna Lahan Eksisting……..............................................
39
Gambar 11. Peta Kualitas Air Bawah Tanah..............................................
40
Gambar 12. Peta Perlindungan Sumberdaya Air Kecamatan Pangalengan
41
Gambar 13. Ragam Bentukan dan Kemiringan Lahan di Kecamatan Pangalengan.............................................................................
44
Gambar 14. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Pangalengan..................
45
Gambar 15. Peta Kawasan Rawan Longsor di Kecamatan Pangalengan....
46
Gambar 16. Peta Elevasi Kecamatan Pangalengan....................................
48
Gambar 17. Peta Kawasan Lindung Kecamatan Pangalengan....................
49
Gambar 18. Peta Kawasan Perlindungan Terhadap Tanah..........................
50
Gambar 19. Peta Sumberdaya Kritis Kecamatan Pangalengan…………...
51
Gambar 20. Peta Geologi Daerah Bandung Selatan dan Stratigrafi Batuan Gunung Api..............................................................................
52
Gambar 21. Sesar di daerah Bandung dan sekitarnya.................................
54
Gambar 22. Peta Zonasi Jalur Sesar di Kecamatan Pangalengan……........
55
Gambar 23. Peta Zonasi Tipologi Kerawanan Gempa Kecamatan Pangalengan…………………………………..........................
58
Gambar 24. Peta Keamanan Gempa Kecamatan Pangalengan…………....
59
Gambar 25.
Peta Sebaran Rumah Rusak Berat Akibat Gempa di Kecamatan Pangalengan.........................................................
61
Gambar 26.
Kondisi Bangunan Pasca Gempa (a) Rumah Panggung Yang Masih Berdiri Tegak, (b) Rumah Dengan Konstruksi Beton Yang Rusak Berat...................................................................
62
Peta Kesesuaian Pengembangan Permukiman Kecamatan Pangalengan…………………………………….....................
64
Peta Lokasi Kawasan Yang Fokus Untuk Direncanakan….....
66
Gambar 29. Peta Rencana Blok………………………. ……......................
67
Gambar 30.
Diagram Konsep Pembagian Ruang………………………..
68
Gambar 31.
Diagram Konsep Evakuasi…….. ..........................................
69
Gambar 32.
Diagram Konseep Sirkulasi....................................................
70
Gambar 33.
Diagram Konsep Vegetasi…………………………………..
71
Gambar 34.
Rencana Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Kecamatan Pangalengan……………………………
72
Gambar 35.
Pembagian Blok Kawasan Perencanaan…………………….
73
Gambar 36.
Matriks Hubungan Antar Ruang…………………………….
76
Gambar 37.
Konsep Ruang……………………………………………….
76
Gambar 38.
Ilustrasi Struktur Bangunan Dengan Perkuatan Silang……..
78
Gambar 39.
Rumah Tinggal Dengan Konstruksi Rangka Sederhana dan Pondasi Tiang………………………………………………
79
Gambar 40.
Rencana Tata Ruang Pusat Kota Pangalengan
79
Gambar 41.
Kondisi Pengungsian Sementara Korban Gempa Pangalengan…………………………………………………
80
Gambar 42.
Detail Rencana Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan……………
82
Contoh Rambu-Rambu Penunjuk Arah Menuju Lokasi Evakuasi…………………………………………………….
83
Gambar 44.
Rencana Jalur Sirkulasi……………………………………..
84
Gambar 45.
Rencana Alur Sirkulasi………………………………………
85
Gambar 46.
Ilustrasi Fungsi Vegetasi di Kawasan Perencanaan………….
87
Gambar 47.
Rencana Vegetasi…………………………………………….
88
Gambar 48.
Detail Rencana Vegetasi……………………………………..
89
Gambar 27.
Gambar 28.
Gambar 43.
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara beberapa
patahan lempeng benua yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Filipina di sebelah utara, lempeng Australia di bagian selatan, dan lempeng Pasifik di bagian timur kepulauan. Dengan adanya lempeng-lempeng tersebut maka Indonesia menjadi area dengan zona sesismik tertinggi di dunia. Hal tersebut juga menjadi faktor yang menyebabkan terdapat banyak gunung berapi aktif dan berpotensi aktif di Indonesia. Pada tanggal 2 September
2009 pukul 14:55 WIB, gempa bumi
berkekuatan 7,3 SR terjadi di pantai selatan Jawa Barat. Setidaknya 80 orang tewas dan masih banyak lagi yang terluka. Dampak dari gempa ini tersebar hingga hampir seluruh Jawa Barat dengan intensitas maksimum MMI pada level VII di Tasikmalaya, VI di Cianjur dan Sukabumi, V di Bandung, dan VI di Jakarta. Berdasarkan laporan dari NEIC-USGS episentrum gempa terletak pada 7,8o LS dan 107,25o BT dengan kedalaman 46 km. Salah satu kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi ini adalah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Dari 13 Desa yang ada di wilayah Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung, hampir seluruh rumah di wilayah tersebut mengalami kerusakan akibat guncangan gempa (www.antaranews.com, 11 Januari 2010). Korban jiwa dan kerugian yang terjadi dapat diakibatkan oleh kesalahan dalam pembangunan kawasan terutama dalam penataan ruang permukiman. Tata ruang yang tidak sesuai dengan morfologi dan geologi kawasan dapat berakibat fatal jika terjadi bencana seperti gempa bumi. Studi mengenai perencanaan suatu kawasan untuk kegiatan mitigasi bencana gempa bumi perlu dilakukan agar dapat tercipta tata ruang permukiman di wilayah Indonesia yang tahan gempa. Oleh karena itu perlu adanya suatu perencanaan tata ruang wilayah yang memperhatikan aspek-aspek geologi kawasan dan kebutuhan dalam hal mitigasi bencana. Sehingga ruang yang tercipta dapat mengurangi resiko dan dampak dari bencana yang terjadi.
2
1.2.
Tujuan Tujuan dari studi ini adalah menyusun rencana lanskap permukiman
untuk mitigasi bencana gempa bumi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
1.3.
Kerangka Pikir Studi Gempa bumi adalah bencana yang tidak dapat diperkirakan waktu
kemunculannya. Ketika sebuah gempa bumi muncul, dampak yang ditimbulkan dapat bervariasi tergantung pada kekuatan getaran yang terjadi. Dampak yang ditimbulkan gempa dapat terlihat dari kondisi pasca gempa seperti kerusakan struktur dan infrastruktur serta jumlah korban jiwa. Untuk dapat mencegah atau mengurangi resiko dari dampak sebuah bencana gempa bumi maka perlu adanya tindakan mitigasi yang tepat pasca bencana khususnya di kawasan permukiman. Dalam merencanakan sebuah kawasan permukiman yang tahan serta tanggap gempa perlu adanya penilaian terhadap beberapa aspek seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Aspek-aspek tersebut menurut Fabos dan Caswell (1976) diawali dengan menganalisis potensi sumberdaya alam kawasan yang perlu dilindungi dari berbagai jenis kegiatan pengembangan terutama pengembangan fisik. Selanjutnya secara sekuensis dilakukan analisis terhadap kawasan berbahaya (hazard zone) berupa kerawanan terhadap gempa bumi dengan kriteria penilaian yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Pada tahap akhir dilakukan analisis kesesuaian pengembangan untuk kawasan permukiman. Permukiman yang baik untuk mitigasi bencana sebaiknya terletak pada zona yang sesuai dan terhindar dari hazard serta tidak mengganggu sumberdaya alam yang dilindungi. Selanjutnya untuk kegiatan mitigasi maka perlu adanya suatu rancangan pola permukiman, jalur evakuasi, dan pusat-pusat evakuasi.
3
Gambar 1. Kerangka Pikir Studi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan Lanskap Perencanaan lanskap adalah suatu proses sintesis yang kreatif tanpa akhir dan dapat ditambah, juga merupakan proses yang rasional dan evolusi yang teratur. Perencanaan merupakan urutan-urutan pekerjaan yang saling berhubungan dan berkaitan. Semua bagian tersusun sedemikian rupa sehingga apabila terjadi perubahan pada suatu bagian, maka akan mempengaruhi bagian yang lainnya (Simonds, 1993). Nurisjah dan Pramukanto (1995) menyatakan bahwa merencana merupakan suatu tindakan menata dan menyatukan berbagai penggunaan lahan berdasarkan pengetahuan teknis lahan dan kualitas estetiknya guna mendukung fungsi yang akan dikembangkan diatas atau pada lahan tersebut. Menurut Rachman (1984) dalam Kusuma (2001), perencanaan lanskap adalah perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu dan lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alam yang bergerak dalam kegiatan penilaian atas lahan yang luas dalam pencari ketepatan tataguna tanah di masa mendatang.
2.2. Gempa Bumi Gempa adalah getaran yang dirasakan di permukaan bumi dalam bentuk gelombang seismik di permukaan bumi akibat adanya sumber getaran yang terdapat di dalam bumi. Pusat gempa bumi yaitu titik di dalam bumi di mana gempa terjadi disebut hiposenter. Sedangkan titik pada permukaan bumi tepat di atas pusat gempa bumi disebut episenter (Tjasyono, 2003). Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Walaupun bumi padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan. Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran
5
lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi (www.wikipedia.com, diunduh 11 Januari 2010) Gempa bumi secara umum merupakan bentuk pelepasan tekanan yang terjadi di lithosferer. Ketika benturan antara batuan pada dua sisi lempeng mencegah batuan tersebut bergeser dengan mudah atau ketika batuan tersebut belum siap untuk patah, akan terjadi sebuah deformasi elastis. Ketika tekanan tinggi terakhir yang muncul memecah kekuatan dari batuan, suatu pergerakan yang tiba-tiba akan muncul untuk melepaskan tekanan. Inilah yang disebut dengan gempa (Montgomery, 2003). Montgomery (2003) juga menambahkan bahwa kekuatan gempa memiliki beragam ukuran. Mulai dari getaran sangat lemah yang sulit dideteksi oleh instrumen yang sensitif hingga guncangan dahsyat yang dapat meratakan sebuah kota. Santoso (2002), menyatakan bahwa skala intensitas gempa dapat menggambarkan besarnya kerusakan yang diderita oleh suatu lokasi yang diakibatkan oleh getaran gempa. Di Indonesia skala intensitas yang banyak digunakan adalah MMI (Modified Mercalli Intensity) seperti yang diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli yang Disempurnakan) I.
Getaran tidak dirasakan, kecuali dalam keadaan luar biasa oleh orang tertentu saja.
II
Getaran dirasakan orang tertentu. Benda ringan yang digantung bergoyang-goyang.
III.
Getaran dirasakan nyata di dalam rumah, terasa seakan-akan ada truk lewat.
IV.
Pada siang hari dirasakan oleh banyak orang di dalam rumah, di luar hanya oleh orang tertentu saja. Barang belah-pecah, jendela, pintu gemerincing, dinding berbunyi karena pecah-pecah.
V.
Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk. Barang belah-pecah,jendela dan sebagainya pecah, barang-barang terpelanting, pohon, tiang, dan lain-lain tampak bergoyang. Bandul lonceng dapat berhenti.
VI.
Getaran dirasakan oleh semua orang, kebanyakan terkejut dan lari keluar. Plester dinding jatuh dan cerobong asap pabrik rusak. Kerusakan ringan.
VII.
Semua orang keluar rumah, kerusakan ringan pada rumah dan bangunan yang konstruksinya tidak baik maupaun baik. Cerobong asap pecah atau retak-retak. Getaran dapat dirasakan oleh orang yang naik kendaraan.
6
Lanjutan Tabel 1. VIII.
Kerusakan ringan pada bangunan yang konstruksinya baik. Retak-retak pada bangunan yang kuat. Dinding dapat lepas dari kerangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen roboh. Air keruh.
IX.
Kerusakan pada bangunan yang rangkanya kuat, rumah menjadi tidak tegak lagi. Banyak retakan pada bangunan-bangunan yang konstruksinya kuat. Bangunan rumah bergeser dari pondasinya. Pipa dalam tanah pecah.
X.
Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari pondasinya, tanah terbelah, rel melengkung, tanah longsor di tebing dan di tanah yang curam. Terjadi gelombang pasang dan tsunami.
XI.
Hancur sama sekali. Gelombang gempa tampak pada permukaan tanah. Pemandangan gelap. Benda-benda terlempar ke udara.
(Sumber : Santoso, 2002) Noor (2006) menjelaskan mengenai berbagai dampak dari bencana gempa bumi, yaitu : 1. Rekahan/Patahan di Permukaan Bumi Pada umumnya gempa bumi seringkali berdampak pada rekah dan patahnya permukaan bumi yang secara regional dikenal sebagai deformasi kerak bumi. Rekahan dan patahan yang terjadi di permukaan bumi dapat berdampak pada bangunan-bangunan, jalan dan jembatan, pipa air minum, pipa listrik, saluran telepon, serta prasarana lainnya yang ada di daerah tersebut. 2. Getaran/Guncangan Permuakaan Tanah Bencana gempa yang secara langsung terasa dan berdampak sangat serius adalah
runtuhnya
bangunan-bangunan
yang
disebabkan
oleh
getaran/guncangan gempa yang merambat pada media batuan/tanah. Pada umumnya bangunan-bangunan yang diatas lapisan batuan yang padat dampaknya tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan bangunanbangunan yang berada di atas batuan sedimen jenuh. 3. Longsoran Tanah Berbagai tipe dan jenis longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan dengan terjadinya gempa. Hampir semua longsor tanah dapat terjadi pada radius 40 km dari pusat gempa (episenter) dan untuk gempa yang sangat besar dapat mencapai 160 km. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah. Dalam hal ini
7
gempa bersifat menginduksi gerakan tanah, sedangkan longsoran baru akan terjadi apabila daya ikat antar butiran lemah, kejenuhan batuan/sedimen, porositas dan permeabilitas batuan/tanah tinggi. 4. Kebakaran Kerusakan yang utama dan sering terjadi pada saat terjadinya gempa bumi adalah bahaya kebakaran. Pada umumnya gempa menginduksi api yang berasal dari putusnya saluran listrik, gas, dan pembangkit listrik yang sedang beroperasi yang pada akhirnya menyebabkan kebakaran. 5. Perubahan pengaliran Terbentuknya danau yang cukup luas akibat amblesnya permukaan daratan (subsidence) seperti dataran banjir (floodplain), delta, rawa, yang diakibatkan oleh gempa bumi merupakan suatu permasalahan yang cukup serius. Perubahan pengaliran akibat penurunan permukaan daratan yang disebabkan oleh gempa memungkinan terbentuknya danau-danau buatan dan reservoir baru serta rusaknya bendungan. 6. Perubahan air bawah tanah 7. Tsunami Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa disebutkan tipe kawasan rawan gempa bumi ditentukan berdasarkan tingkat risiko gempa yang didasarkan pada informasi geologi dan penilaian kestabilan. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan rawan gempa bumi dapat dibedakan menjadi (6) enam tipe kawasan yang diuraikan sebagai berikut: a. Tipe A Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat. b. Tipe B 1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari
8
satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk bangunan dengan konstruksi sederhana. c. Tipe C 1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak. 2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. d. Tipe D 1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami cukup merusak. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. e. Tipe E 1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. f. Tipe F 1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan
9
sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
2.3. Mitigasi Bencana Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Hal ini diperoleh melalui analisis resiko yang menghasilkan berbagai macam informasi sebagai bahan acuan untuk tindakan mitigasi dalam mengurangi resiko (www.fema.com/mitigation.htm, 11 Januari 2010). Tujuan dari mitigasi adalah untuk mencegah berkembangnya bahaya menjadi bencana atau untuk mengurangi dampak bencana ketika terjadi. Proses mitigasi berlangsung dalam suatu program jangka panjang untuk mengurangi atau menghilangkan resiko. Implementasi dari strategi mitigasi dapat dianggap sebagai bagian dari proses pemulihan pasca bencana. Mitigasi dapat berbentuk struktural dan non struktural. Secara struktural mitigasi dapat berupa penggunaan solusi teknologi seperti misalnya pembuatan banjir kanal. Sedangkan mitigasi secara non-struktural dapat berupa peraturan atau undang-undang, perencanaan tata guna lahan dan asuransi. Mitigasi merupakan metode yang paling efisien dari segi biaya untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan bahaya atau hazard. Yang juga dapat dimasukan ke dalam proses mitigasi adalah regulasi mengenai tata cara evakuasi, sanksi bagi pelanggar peraturan tersebut, dan informasi serta komunikasi pada publik
mengenai
resiko
yang
mungkin
terjadi
(www.wikipedia.com/Disaster_mitigation.htm, 11 Januari 2010). Di dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa terdapat dua jenis tindakan mitigasi berdasarkan sifatnya yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif. Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah: 1. Penyusunan peraturan perundang-undangan 2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah. 3. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
10
4. Pembuatan brosur/leaflet/poster 5. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana 6. Pengkajian / analisis risiko bencana 7. Internalisasi Penanggulangan Bencana dalam muatan lokal pendidikan 8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana 9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum 10.
Pengarus-utamaan
Penanggulangan
Bencana
dalam
perencanaan
pembangunan Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain: 1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana dsb. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana. 3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat. 4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman. 5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat. 6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi bencana. 7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya. Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat nonstruktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana).
2.4. Tata Ruang Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur dan pola ruang. Struktur ruang itu sendiri adalah susunan pusat-pusat
11
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaat ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antar yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan 1. Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan 2. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang 3. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap block/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa disebutkan bahwa perencanaan tata ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi mencakup: 1. Penetapan kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi meliputi: penetapan tipologi kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi, 2. Penentuan struktur ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi, serta 3. Penentuan pola ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi.
12
Di dalam peraturan tersebut juga dijelaskan pendekatan penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dilakukan melalui: 1. pendekatan kajian geologi; 2. pendekatan aspek fisik dan sosial ekonomi; 3. pendekatan tingkat risiko pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi; dan 4. rekomendasi penentuan pola ruang sesuai dengan tipe kawasan rawan bencana dan rekomendasi tipologi jenis kegiatan yang diperbolehkan berdasarkan tingkat kerentanan. Prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi adalah: 1) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi yang mempunyai fungsi lindung, kawasan tersebut mutlak dilindungi dan dipertahankan sebagai kawasan lindung. 2) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi yang tidak mempunyai fungsi lindung dapat dibudidayakan dengan kriteria tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk kegiatan budi daya. Arahan peraturan zonasi yang akan ditentukan diuraikan sebagai berikut : a. Tipe A Pada kawasan rawan gempa bumi tipe A untuk kawasan perkotaan dapat juga dikembangkan kegiatan perdagangan dan perkantoran, permukiman, hutan kota, pariwisata, serta industri dengan tingkat kerentanan rendah. Begitu pula dengan kawasan rawan gempa bumi di perdesaan. Kegiatan pertanian, perikanan, pertambangan rakyat, permukiman, perdagangan dan perkantoran, perkebunan, dan kehutanan dapat dilakukan dengan syarat-syarat tingkat kerentanan rendah. b. Tipe B Kawasan rawan gempa bumi tipologi B dapat dikembangkan untuk kegiatan budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A namun harus memenuhi syarat-syarat tingkat kerentanan sedang dan rendah.
13
c. Tipe C Kawasan rawan gempa bumi tipologi C juga dapat dikembangkan untuk kegiatan budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A maupun B, namun kegiatan pertambangan tidak boleh dilakukan pada kawasan tipologi C. Syarat-syarat tingkat kerentanan yang harus dipenuhi pada kawasan rawan gempa bumi tipologi ini adalah tingkat kerentanan sedang dan tinggi. d. Tipe D Pada kawasan rawan gempa bumi tipologi D tidak diperbolehkan mengembangkan kegiatan budi daya mengingat tingkat kerawanan akibat gempa dapat membahayakan. Namun kegiatan pariwisata (wisata sosiokultural dan agro-kultural) masih dapat dikembangkan secara terbatas dengan ketentuan bangunan tahan gempa dengan tingkat kerentanan sedang dan tinggi. e. Tipe E Kawasan rawan gempa bumi tipologi E tidak dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi. Kawasan ini mutlak harus dilindungi. f. Tipe F Seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi E, kawasan rawan gempa bumi tipologi F juga tidak dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi. Untuk itu penggunaan ruang diutamakan sebagai kawasan lindung.
2.5. Permukiman Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1992 Pasal 1 disebutkan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur.
14
Di dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman di sebutkan bahwa sarana yang utama bagi berfungsinya suatu lingkungan permukiman adalah : 1. Jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, mencegah perambatan kebakaran serta untuk menciptakan ruang dan bangunan yang teratur. 2. Jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah untuk kesehatan lingkungan. 3. Jaringan saluran air hujan untuk pematusan (drainase) dan pencegahan banjir setempat. Ukuran permukiman terbagi menjadi enam yaitu permukiman tunggal (satu rumah), permukiman kecil (2-20 rumah), permukiman kecil-sedang (sampai dengan 500 penduduk), permukiman besar (2000-5000 penduduk), permukiman sangat besar (lebih besar dari 5000 penduduk). Kerapatan permukiman diukur berdasarkan
jarak
antar
rumah-rumah
sepanjang
jalan
sehingga
dapat
dikategorikan sangat jarang, jarang, rapat, sangat rapat, rapat-kompak. Tipe permukiman dapat dibedakan menjadi tipe linear, tipe plaza, dan tipe permukiman dengan pengaturan area atau streetplan (Van der Zee dalam Setiawan, 2008). Menurut DeChiara dan Koppelman (1978), terdapat beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu 1. Kondisi tanah dan bawah tanah. 2. Air tanah dan drainase. 3. Keterbebasan dari banjir permukaan. 4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan. 5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi. 6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka. 7. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan. 8. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan. 9. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat.
BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi dilakukan di kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi yang terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 2 September 2009. Kegiatan penelitian dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan Juni 2010 hingga Januari 2011 pada lokasi seperti yang ditunjukan pada Gambar 2. Kabupaten Bandung Jawa Barat
Kecamatan Pangalengan
Gambar 2. Lokasi Studi (tanpa skala) (Sumber : www.geospasial.bnpb.go.id)
16
3.2 Metode Proses perencanaan pada lokasi ini terdiri dari empat tahap yaitu tahap persiapan, tahap inventarisasi, tahap analisis, dan tahap perencanaan. 3.2.1 Persiapan Pada tahap ini dilakukan pembuatan rincian kegiatan penelitian, pengurusan administrasi perizinan penelitian, penelusuran sumber data yang dibutuhkan, dan persiapan kebutuhan alat dan bahan untuk penelitian. 3.2.2 Inventarisasi Pada tahap ini dilakukan pengambilan data dan survey tapak. Pengambilan data meliputi aspek fisik, biofisik, dan sosial (Tabel 2.) Tabel 2. Jenis, Spesifikasi, dan Bentuk Data Jenis Data Data Umum Peta tata ruang Letak geografis dan administratif tapak
Bentuk Data Spasial Atribut
Sumber Data
√ √
BAPPEDA Bakosurtanal
Topografi dan kemiringan Iklim mikro Geologi
√
Bakosurtanal
Penutupan lahan Biota (vegetasi) Data Sosial Demografi Aktifitas ekonomi Tingkat kesejahteraan masyarakat Ketergantungan masyarakat terhadap tapak
√ √
√
√ √
BMG Dit. Geologi dan Tata Lingkungan Bakosurtanal Bakosurtanal
√ √ √
BPS BPS BPS
√
Lapangan
Interpretasi Data Tata Ruang Batas lokasi studi (Kecamatan Pangalengan) Kelas lereng dan lokasi Data iklim Peta tanah Peta penutupan lahan Peta vegetasi Data Sosial digunakan untuk membandingkan kecenderungan penggunaan lahan yang nyata dengan penggunaan ideal
Data primer diperoleh melalui survey lapangan dengan melakukan pengukuran, pemetaan, perekaman hasil wawancara dengan instasi dan penduduk setempat. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data spasial disajikan dengan menggunakan program Arc View GIS, Adobe Potoshop, dan Corel Draw Graphic.
17
3.2.3 Analisis Analisis pada tahap ini digunakan untuk mengetahui berbagai macam potensi pada tapak mulai dari potensi bahaya, potensi sumberdaya, hingga potensi untuk pengembangan secara fisik. Metode analisis yang digunakan adalah metode METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning Model Study) (Fabos dan Caswell, 1976). Metode analisis METLAND terdiri atas 3 (tiga) tahap penilaian dengan memilih variabel tertentu yang digunakan untuk menganalisis nilai-nilai intrinsik dalam karakter lingkungan yang bermanfaat atau menimbulkan bahaya pada lingkungan alam: yaitu Tahap I : Identifikasi Sumberdaya Kritis), Tahap II Identifikasi Zona Bahaya, dan Tahap III : Identifikasi Kesesuaian untuk Pengembangan (Fabos dan Caswell, 1976). Gambar 3 menunjukkan tahapantahapan dalam analisis terhadap masing-masing data. Sedangkan secara lebih rinci variabel analisis untuk setiap tahap disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Framework analisis lanskap untuk keperluan preservasi, perlindungan, dan pengembangan tapak (Modifikasi dari Fabos, 1976)
18
Gambar 4. Komponen Analisis 3.2.3.1. Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi a. Analisis Air Kriteria penilaian untuk suplai air permukaan dilihat dari jumlah dan kualitas air yang tersedia, konfigurasi topografi, kestabilan lereng, surficial dan material bedrock, karakter erosi, tingkat evaporasi, dan hazard seismic (Fabos dan Caswell, 1976). Kriteria penilaian untuk suplai dan kualitas air bawah tanah disajikan dalam table 3. Tabel 3. Kelas Kualitas Air Bawah Tanah Kelas A
Keterangan Terletak pada : 1. Lahan alami (e.g. hutan dan wetland) yang belum pernah dilakukan penyemprotan atau kegiatan yang dapat mengganggu ambang batas kualitas air. 2. Penggunaan area rekreasi tertentu (e.g. lapangan tenis dan pantai) untuk kegiatan yang tidak menimbulkan polusi pada air. B Terletak pada area : 1. Area terbuka yang pernah dilakukan kegiatan penyemprotan hama (e.g. lahan bekas pertanian) 2. Area rekerasi tertentu yang hanya memiliki sedikit struktur permanen, tidak dipupuk, dan sedikit perkerasan. 3. Area penggalian dan pembuangan sampah tertentu C Terletak pada area : 1. Penggunaan untuk jalan, area parkir beraspal, dan /atau septic tank 2. Area rekreasi dan lahan pertanian yang membutuhkan pemupukan berkala dan penyemprotan hama (Sumber : Fabos dan Caswell, 1976)
19
Dalam analisis untuk kawasan sumberdaya air permukaan yang harus dilindungi digunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 (Tabel 4). Tabel 4. Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air Kawasan Lindung Waduk dan situ Mata air (Sumber : BAPPEDA, 2006)
Area Terlindung ≥ 50 m dari titik pasang tertinggi kea rah darat Radius ≥ 200 m di sekitar mata air
b. Analisis Tanah Penentuan kasifikasi kelas lereng dalam analisis untuk tanah di Kecamatan Pangalengan menggunakan klasifikasi yang telah disederhanakan dari van Zuidam dalam Noor (2006) seperti yang ditunjukan oleh Tabel 5. Tabel 5. Klasifikasi Kelas Lereng Kelas lereng 0 – 20 (0-2%) 2-40 (2-7%) 4-80 (7-15%)
Sifat-sifat proses dan kondisi alamiah Datar hingga hampir datar; Tidak ada proses denudasi yang berarti Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembat dan erosi alur (sheet and rill erosion). Rawan erosi. Miring; sama dengan di atas;, tetapi dengan besaran yang lebih tinggi. Sangat rawan erosi tanah.
8-160 Agak curam; erosi dan gerakan tanah lebih sering terjadi. (15-30%) 16-450 Curam; proses denudasional intensif, erosi dan gerakan tanah sering terjadi. (35-100%) (Sumber : van Zuidam dalam Noor (2006))
Penentuan kawasan yang perlu dilindungi menggunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria Kawasan Lindung Kategori Kawasan Hutan lindung
-
Kriteria Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbangan mempunyai jumlah nilai (score) 175 atau lebih; dan/atau Kawasan hutan dengan kelerengan lebih dari 40%; dan/atau Kawasan hutan dengan ketinggian ≥ 2000 mdpl; dan /atau Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 %; dan/atau Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan/atau Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
20
Lanjutan Tabel 6. Berfungsi lindung di luar hutan lindung
Kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung dengan faktor-faktor kelerengan, jenis tanah dan curah hujan dengan score antara 125 - 175;dan/atau - Kawasan dengan curah hujan lebih dari 1000 mm/tahun; dan/atau - Kelerengan di atas 15%; dan/atau - Ketinggian tempat 1000 sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut. Resapan air - Kawasan dengan curah hujan rata-rata lebih dari 1000 mm/tahun; - Lapisan tanahnya berupa pasir halus berukuran minimal 1/16 mm; - Mempunyai kemampuan meluluskan air dengan kecepatan lebih dari 1 meter/hari; - Kedalaman muka air tanah lebih dari 10 meter terhadap muka tanah setempat; - Kelerengan kurang dari 15%; - Kedudukan muka air tanah dangkal lebih tinggi dari kedudukan muka air tanah dalam. (Sumber : BAPPEDA, 2006)
3.2.3.2.
Analisis Kerawanan Gempa Bumi Dalam melakukan penilaian terhadap kerawanan gempa bumi digunakan
standar yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 Tahapan analisis kerawanan ini terdiri dari pengumpulan informasi-informasi geologi, penilaian terhadap informasi tersebut, dan pemberian bobot nilai untuk mendapatkan skor akhir. Gambar 5 menunjukkan skema alur penilaian kerawanan gempa bumi.
Gambar 5. Skema Alur Proses Penilaian Kerawanan Gempa Bumi
21
a) Sifat fisik batuan Sifat fisik batuan dapat menunjukan kondisi kekuatan batuan saat menerima tekanan atau beban. Semakin kuat batuan tersebut menerima beban dan tekanan maka kawasan tersebut dapat lebih tahan atau stabil ketika terjadi gempa bumi. Terdapat 4 kelompok batuan dalam penilaian sifat fisik batuan seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi Batuan Kelompok Batuan andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi sedimen dan konglomerat batupasir, tuf kasar, batulanau, arkose, greywacke dan batugamping pasir, lanau, batulumpur, napal, tuf halus dan serpih lempung, lumpur, lempung organik dan gambut. (Sumber : MENPU, 2007)
b)
Sifat Fisik Kompak
Tidak Kompak
Kemiringan lereng Informasi kemiringan lereng yang dipakai untuk zonasi kerawanan
bencana ini, memakai klasifikasi lereng yang dibuat oleh Van Zuidam (1988) pada Tabel 8. Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng (%) 0-2 2-7 7-15 15-30 30-70 70-100 (Sumber : MENPU, 2007)
c)
Klasifikasi Lereng Datar Landai Miring Agak curam Curam Sangat curam
Kestabilan Stabil Potensi longsor
Kegempaan Faktor Kegempaan merupakan informasi yang menunjukkan tingkat
intensitas gempa, baik berdasarkan skala Mercalli, anomali gaya berat, maupun skala Richter (Tabel 9). Tabel 9. Faktor Kegempaan MMI I, II, III, IV, V VI, VII VIII IX, X, XI, XII (Sumber : MENPU, 2007)
α < 0,05 g 0,05 – 0,15 g 0,15 – 0,30 g > 0,30 g
Richter <5 5–6 6 – 6,5 > 6,5
22
d) Struktur Geologi Struktur geologi merupakan pencerminan seberapa besar suatu wilayah mengalami “deraan” tektonik. Semakin rumit struktur geologi yang berkembang di suatu wilayah, menunjukkan bahwa wilayah tersebut cenderung sebagai wilayah yang tidak stabil. Beberapa struktur geologi yang dikenal adalah berupa kekar, lipatan dan patahan/ sesar. Pada dasarnya patahan akan terbentuk dalam suatu zona, jadi bukan sebagai satu tarikan garis saja. Pengkajian kerawanan terhadap bencana menggunakan satuan jarak terhadap zona sesar untuk penentuan kestabilan. Tabel 10 menjelaskan kestabilan kawasan terhadap jarak pada sesar. Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar Jarak Sesar <100 m 100 m – 1000 m >1000 m (Sumber : MENPU, 2007)
e)
Kestabilan Tidak stabil Kurang stabil Stabil
Nilai Kemampuan Nilai kemampuan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka
1 hingga 4. Nilai 1 adalah untuk wilayah yang paling stabil terhadap bencana geologi. Nilai 4 adalah nilai untuk daerah yang tidak stabil terhadap bencana alam geologi. Tabel 11 menjelaskan urutan nilai kemampuan yang diberikan untuk penentuan skoring kestabilan wilayah. Tabel 11. Klasifikasi nilai kemampuan Nilai kemampuan 1 2 3 4 (Sumber : MENPU, 2007)
f)
Klasifikasi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Pembobotan Pembobotan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka 1
hingga 5. Nilai 1 artinya tingkat kepentingan informasi geologi yang sangat tinggi atau informasi geologi tersebut adalah informasi yang paling diperlukan untuk mengetahui zonasi bencana alam. Tabel 12 menjelaskan urutan pembobotan yang diberikan dalam zonasi kawasan rawan bencana.
23
Tabel 12. Pembobotan Pembobotan 1 2 3 4 5 (Sumber : MENPU, 2007)
Klasifikasi Kepentingan sangat rendah Kepentingan rendah Kepentingan sedang Kepentingan tinggi Kepentingan sangat tinggi
Setiap kelas informasi mendapat pembobotan yang berbeda-beda sesuai keperluan pada penelitian ini. Penilaian Sifat Fisik Batuan diberi bobot 3 atau kepentingan sedang karena. Penilaian Kemiringan Lereng diberi bobot 3 atau kepentingan sedang karena potensi longsor dapat dihindari pada area dengan kondisi vegetasi konservasi yang baik. Penilaian Kegempaan diberi bobot 4 atau kepentingan tinggi karena Kecamatan Pangalengan mengalami dampak yang cukup besar meskipun terletak jauh dari pusat gempa. Penilaian Struktur Geologi diberi bobot 5 atau kepentingan sangat tinggi karena lokasi keberadaan patahan gempa harus sangat dihindari dari pembangunan struktur. g)
Skoring Skoring merupakan perkalian antara “pembobotan” dengan “nilai
kemampuan”, dan dari hasil perkalian tersebut dibuat suatu rentang nilai kelas yang menunjukkan nilai kemampuan lahan didalam menghadapi bencana alam kawasan rawan gempa bumi dan kawasan rawan letusan gunung berapi. Dengan demikian matriks pembobotan untuk kestabilan terhadap kawasan rawan gempa bumi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. Rentang skor dan pembagian tipe kerawanan gempa ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dengan informasi geologi yang diperhitungkan. No
1
Informasi Geologi
Geologi (Sifat Fisik dan Keteknikan Batuan)
Kelas Informasi 1a. Andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi sedimen, konglomerat 1b. Batupasir, tufa kasar, batulanau, arkose, greywacke, batugamping 1c. Pasir, lanau, batulumpur, napal, tufa halus, serpih 1d. Lempung, lumpur, lempung organik, gambut
Nilai Kemampuan
Bobot
1
2 3 4
3
Skor
24
Lanjutan Tabel 13.
2
3
4
Kemiringan lereng
Kegempaan
Struktur Geologi
2a. Datar - Landai (0-7 %) 2b. Miring - Agak curam (7-30 %) 2c. Curam - Sangat Curam (30 -140 %) 2d. Terjal (>140 %) I, II, III, IV, V VI, VII
1 2 3 4
<0,05 g
<5
1
0,05 - 0,15 g
5-6
2
VIII 0,15 - 0,30 g 6 - 6,5 IX, X, > 0,30 g > 6,5 XI, XII 4a. Jauh dari zona sesar 4b. Dekat dengan zona sesar (1001000 m dari zona sesar) 4c. Pada zona sesar (<100 m dari zona sesar)
3
4
3 4 1 2
5
3
(Sumber : MENPU, 2007)
Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi Skor 31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 57-60 (Sumber : MENPU, 2007)
Tipologi A B C D E F
Masing-masing tipologi kerawanan memiliki pengertian. Tabel 15 menjelaskan pengertian dari setiap klasifikasi tipologi yang dihasilkan oleh matriks pembobotan. Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi Tipologi
Tipe A
Tipe B
Pengertian Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat. 1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk bangunan dengan konstruksi sederhana.
25
Lanjutan Tabel 15.
Tipe C
Tipe D
Tipe E
Tipe F
1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak. 2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. 1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami cukup merusak. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. 1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. 1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
(Sumber : MENPU, 2007)
3.2.3.3. Analisis Kesesuaian Pengembangan Pada tahap ini diperoleh hasil keluaran berupa kawasan yang sesuai untuk berbagai jenis pengembangan. Kelas lereng digunakan untuk mendukung pengembangan yang sesuai pada kawasan berdasarkan karakter lahan (Tabel 16). Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng Kelas Lereng 0 – 5% 5 – 15%
15 – 30%
Karakter dan Kesesuaian Lahan Lahan bertopografi datar, sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi areal permukiman dan pertanian. Sebagian areal berpotensi terhadap genangan banjir dan sebagian berpotensi terhadap drainase yang buruk. Lahan bertopografi landai; kurang sesuai untuk pembangunan lapangan terbang atau areal industry berat; irigasi yang terbatas namun baik untuk pengembangan pertanian keras. Lahan yang sesuai untuk dikembangan menjadi permukiman, perkantoran, dan areal bisnis dengan drainase baik. Lahan bertopografi bergelombang; kurang sesuai untuk areal pertanian karena masalah erosi; namun lahan dengan kemiringan lereng diatas 20% dapat dimanfaatkan untuk areal pertanian dengan jenis tanaman tertentu. Lahan ini juga baik untuk pengembangan industry ringan, komplek perumahan, dan untuk fasilitas rekreasi.
26
Lanjutan Tabel 16. 30 – 50%
Lahan bertopografi terjal; cocok untuk dikembangkan menjadi tempat tinggal dengan cara cluster; pariwisata dengan intensitas rendah dan lahan yang cocok untuk hutan dan padang rumput. Lahan bertopografi sangat terjal; tempat yang sesuai untuk kehidupan satwa liar dan tanaman hutan lindung serta padang rumput yang terbatas; tidak sesuai untuk areal real estate karena topografi yang terlalu terjal.
>50%
(Sumber : Noor (2006))
3.2.4 Sintesis Pada tahap ini ditentukan zonasi kawasan yang sesuai untuk pengembangan permukiman dan dapat mengurangi resiko dampak bencana gempa bumi yang ditimbulkan. Yang diutamakan dikembangkan dalam tapak adalah pola tata ruang. Hasil dari tahapan ini adalah gambar alternative ruang. Dalam Chiara dan Koppleman (1978), terdapat beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu : a. Kondisi tanah dan bawah tanah; b. Air tanah dan drainase; c. Keterbebasan dari banjir permukaan; d. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan; e. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi; f. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka; g. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan; h. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan; i. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat. Pengaturan zonasi tata ruang permukiman di kawasan rawan gempa bumi mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa sesuai dengan tipologi kerawanan gempa bumi yang dihasilkan proses analisis (Tabel 17).
27
Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi Tipologi Kawasan
Aturan Zonasi 9 9
9
A 9
9 9 9 9 9
9 B 9
9 9 9
Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan beton bertulang maupun tidak bertulang b. Kepadatan bangunan tinggi (> 60 unit/Ha), sedang (30-60 unit/Ha), dan rendah (<30unit/Ha) c. Pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB>70;KLB>200) hingga rendah (KDB<50;KLB <100) Diizinkan untuk kegiatan industri ,pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan beton bertulang; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman menyebar b. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan tinggi, sedang, dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar c. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan tinggi, sedang, dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100) Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat yaitu: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural. Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir.
28
Lanjutan Tabel 17. 9 9
9 C 9
9 9 9 9
9 D
Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar. b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar. Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100) Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri sedang dan kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural. Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan rendah; pola mengelompok dan menyebar b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan rendah; pola permukiman dan menyebar Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70; KLB 100-200) Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu : a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri kecil 9 Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep pelestarian lingkungan. 9 Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural E 9 Ditentukan sebagai kawasan lindung F 9 Ditentukan sebagai kawasan lindung (Sumber : MENPU, 2007) 9
3.2.5 Perencanaan Tahap perencanaan merupakan perwujudan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Konsep yang telah ditentukan dikembangkan dalam bentuk rencana tata ruang, vegetasi, fasilitas/utilitas, program mitigasi, dan pengelolaan kawasan. Hasil dari tahap ini berupa gambar Landscape Plan.
29
Konsep yang direncanakan adalah tata ruang permukiman yang memudahkan dalam proses evakuasi bencana dan meminimalisir kerugian akibat bencana. Penentuan tata ruang kawasan mengacu pada ketentuan zonasi berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa (Tabel 18). Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan Tipologi Kawasan. Peruntukan Ruang
A Kota
B Desa
Kota
Desa
Tipologi Kawasan C D Kota Desa Kota Desa
Hutan √ √ × × × Produksi Hutan Kota √ √ √ × × Hutan Rakyat √ √ × × × Pertanian √ √ × × × Sawah Pertanian √ √ × × × Semusim Perkebunan √ √ × × × Peternakan √ √ × × × Perikanan √ √ × × × Pertambangan √ √ × × × Industri √ √ √ × × Pariwisata √ √ √ √ √ Permukiman √ √ √ √ √ Perdagangan dan √ √ √ √ √ Perkantoran (Sumber : MENPU, 2007) Keterangan : √ = Dapat dibangun dengan syarat × = Tidak dapat dibangun
E
F
Kota
Desa
Kota
Desa
√
×
×
×
×
×
×
× √
√ ×
× ×
√ ×
× ×
√ ×
× ×
√
×
×
×
×
×
×
√
×
×
×
×
×
×
√ √ √ √ × √ √
× × × × × √ ×
× × × × × √ ×
× × × × × × ×
× × × × × × ×
× × × × × × ×
× × × × × × ×
√
×
×
×
×
×
×
Kota ×
Desa ×
Kota ×
Desa ×
Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi. Peruntukan Ruang Pusat Hunian Jaringan Air Bersih Drainase Sewerage Sistem Pembuangan Sampah Jaringan Transportasi Lokal
A
B
Tipologi Kawasan C D Kota Desa Kota Desa √ √ × ×
E
F
Kota √
Desa √
Kota √
Desa √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
30
Lanjutan Tabel 19. Jaringan Telekomunikasi Jaringan Listrik Jaringan Energi
√
√
√
√
√
√
×
×
×
×
×
×
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
× ×
× ×
× ×
× ×
× ×
× ×
(Sumber : MENPU, 2007) Keterangan : √ = Dapat dibangun dengan syarat × = Tidak dapat dibangun
Rencana tata ruang yang disusun berupa : 1. Rencana Permukiman (Sarana Penghunian, Sarana Pendidikan, Sarana
Kesehatan, Sarana Olahraga dan Daerah Terbuka, Sarana Peribadatan). Permukiman dibangun dengan pola yang sesuai dalam zonasi berdasarkan tipologi kerawanan gempa bumi. Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan
No
Jenis Sarana
Jumlah Penduduk Pendukun g (jiwa)
1
Posyandu
1.250
Kebutuhan per satuan sarana Luas Luas lantai lahan (m2) (m2) 36 60
2
Balai Pengobatan Warga
2.500
150
300
0,12
1000
3
BKIA / Klinik bersalin Puskesmas Pembantu dan Balai Pengobatan Lingkungan Puskesmas dan Balai Pengobatan
30.000
1.500
3.000
0,1
4000
30.000
150
300
0,006
1.500
120.000
420
1000
0,008
3.000
4
5
Standar (m2/jiw a)
Kriteria
0,048
Radius pencapaia n (m) 500
Lokasi dan Penyelesaia n Di tengahtengah kelompok tetangga dan tidak menyebrang jalan raya Di tengah kelompok ketetanggan tidak menyebrang jalan raya Dapat dijangkau dengan kendaraan umum
Ket Dapat bergabung dengan balai warga atau sarana hunian Dapat bergabung dengan balai warga
Dapat bergabung dengan kantor kelurahan Dapat bergabung dengan kantor kecamatan
31
Lanjutan Tabel 20. 6
Tempat praktek dokter
5.000
18
-
-
1.500
7
Apotik/rum ah obat
30.000
120
250
0,025
1.500
Dapat bersatu dengan rumah tinggal/temp at usaha/apotik
(Sumber : SNI 03-1733-2004)
Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan Olahraga No 1
Jenis
Minimum penduduk pendukung 250 penduduk
Lokasi
Taman, Ditengah-tengah tempat kelompok perumahan main 2 Taman, 2.500 p Di pusat kegiatan RW tempat main 3 Taman, 30.000 p Dikelompokkan tempat dengan sekolah main dan lap, olahraga 4 Taman, 450.000 p Dikelompokkan tempat dengan sekolah main dan lap. Olahraga 5 Taman, 480.000 p Dapat di pusat tempat wilayah dan main dan merupakan zona yang lap. lain dari pusat Olahraga wilayah 6 Jalur hijau Menyebar (Sumber : Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, 1983)
Luas Tanah
Radius pencapaian
Standar
250 m2
200 m
1 m2/p
1.250 m2
500 m
0,5 m2/p
9.000 m2
-
0,3 m2/p
24.000
-
0,2 m2/p
124.000 m2
-
0,3 m2/p
15 m2/p
2. Rencana Sirkulasi (Jaringan transportasi lokal) Pada umumnya hierarki jalan terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal. Menurut Miro (1997) dalam Sarusuk (2006), peran dan fungsi masingmasing jalan tersebut, yaitu : a. Jalan Arteri : Jalan yang melayani rute jarak jauh dengan kecepatan ratarata tinggi dan jumlah masuk masih dibatasi secara efisien; b. Jalan Kolektor : jalan yang melayani rute jarak sedang dengan kecepatan rata-rata sedang dan jumlah masuk masih dibatasi;
32
c. Jalan Lokal : jalan yang melayani angkutan jarak dekat dengan kecepatan rata-rata rendah dan jumlah masuk yang tidak dibatasi. 3. Rencana Drainase. Standar perencanaan mengacu pada
Pedoman
Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota. Di dalam pusat hunian selain rencana permukiman akan dikembangkan pula beberapa konsep perencanaan, yaitu : 1. Rencana Jalur Evakuasi Jalur evakuasi yang direncanakan berupa jalur jalan yang dapat dengan mudah membantu penduduk untuk bergerak atau menyelamatkan diri ke areaarea yang digunakan sebagai lokasi evakuasi sementara. Jalur jalan dibuat dengan pola yang tidak rumit atau tidak berkelok-kelok. Tanda penunjuk jalan yang digunakan harus mudah dipahami oleh penduduk. 2. Rencana Titik Evakuasi Titik evakuasi yang direncanakan berupa ruang-ruang terbuka dan bangunan serba guna yang tahan gempa. Titik-titik evakuasi ini harus mudah dijangkau oleh penduduk dan dilengkapi dengan fasilitas yang bisa berfungsi dalam kondisi darurat. Dalam menentukan tata letak setiap elemen yang diperlukan dalam suatu permukiman digunakan standar kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng seperti yang ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng Peruntukkan Lahan Jalan Raya Parkir Taman Bermain Area Perdagangan Drainase Permukiman Trotar Resapan Septik Tangga Umum Rekreasi (Sumber : Marsh, 1991)
0-3 √ √ √ √ √ √ √ √ √
3-5
√ √ √ √ √ √ √
Kelas Kemiringan Lereng (%) 5-10 10-15 15-20 20-30
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √
√ √
30-40
>40
√ √
√ √
BAB IV DATA DAN ANALISIS
Pangalengan adalah sebuah kecamatan yang terletak di bagian selatan kawasan Kabupaten Bandung. Kecamatan Pangalengan terletak pada koordinat 07o07’00” LS sampai 07o18’00” LS dan 107o30’00” BT sampai 107o38’00” BT. Kecamatan ini memiki jarak sejauh 51 KM dari Kota Bandung dan 23 KM dari Ibukota Kabupaten Bandung yaitu Soreang. Kawasan administratif Kecamatan Pangalengan dibatasi oleh Kecamatan Cimaung di sebelah utara, Kecamatan Talegong di sebelah selatan, Kecamatan Pasir Jambu di sebelah barat, dan Kecamatan Kertasari di sebelah timur. Kecamatan Pangalengan terdiri dari 13 desa atau kelurahan yaitu Banjarsari (2.208,970 ha), Lamajang (4.016,10 ha), Margaluyu (860,200 ha), Margamekar (817,993 ha), Margamukti (2.613,05 ha), Margamulya (1.294,14 ha), Pangelangan (589,946 ha), Pulosari (5.118,15 ha), Sukaluyu (1.748,200 ha), Sukamanah (668,040 ha), Tribaktimulya (449,909 ha), Wanasuka (4.555,97 ha), dan Warnasari (2.354,12 ha). Dengan demikian total luas Kecamatan Pangalengan adalah 27.294,77 ha. (Gambar 7) Kecamatan Pangalengan berada di dataran tinggi dengan suhu rata-rata harian berkisar antara 13-25oC dan curah hujan rata-rata 1.250 mm/tahun (Sumber: Data Profil Kecamatan Pangalengan Tahun 2007) Akses untuk menuju ke Kecamatan Pangalengan dapat melalui beberapa jalur. Jalur pertama adalah melalui Jalan Raya Terusan Kopo-Jalan Raya Soreang Banjarang-Jalan Raya Pangalengan. Akses kedua adalah melalui Jalan Raya Moh.Toha-Jalan
Raya
Dayeuh
Kolot-Jalan
Raya
Banjaran-Jalan
Raya
Pangalengan.
34
35
4.1. Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi 4.1.1. Air Kecamatan Pangalengan merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai Citarum. Beberapa sumber mata air yang ada di Kecamatan Pangalengan diantaranya adalah Datarmala, Sasakbatu, Cisalandah, Cibaruntak, Cinyiruan, Citere, Sungapan, Cikinceuh. Di Kecamatan Pangalengan juga terdapat beberapa danau yaitu Situ Cileunca, Situ Cipanunjang, Situ Gede, Situ Cicoledas, Talaga Kinceuh, Situ Cisanti. Situ Cileunca adalah danau yang dibuat dengan membendung aliran sungai kali Cileunca selama kurun waktu tujuh tahun yaitu dari tahun 1919 sampai 1926. Warga setempat menyebut bendungan dengan nama Dam Pulo. Pada zaman kolonial Belanda bendungan dimanfaatkan sebagai sumber tenaga listrik bagi warga kota Bandung dan sekitarnya. Saat ini Situ Cileunca lebih difungsikan untuk kegiatan rekreasi alam.
Gambar 7. Situ Cileunca Sumber : Survey Juni 2010
Selain sumber-sumber mata air biasa, di Kecamatan Pangalengan juga terdapat sumber-sumber mata air panas. Hal ini dikarenakan di Kecamatan Pangalengan terdapat gunung vulkanik aktif yaitu Gunung Wayang. Beberapa mata air panas dimanfaatkan warga menjadi pemandian umum. Dinas Perkebunan PTP Nusantara VIII memanfaatkan sumber mata air panas tersebut menjadi objek wana wisata pemandian air panas yang dikelola dengan baik.
36
Gambar 8. Wana Wisata Mata Air Panas Cibolang Sumber : Dok. Pribadi
Dalam Herawan (1989) dijelaskan bahwa produktifitas akifer untuk kecamatan Pangalengan memiliki selang dari sedang-tinggi. Kedalaman air tanah tertekan lebih dari 65 meter, MAT bebas berkisar antara 3-7 meter. Debit air sumur bisa mencapai lebih dari 5 liter/detik. Harnadi dan Iskandar (1996) menggolongkan Kecamatan Pangalengan dan sekitar Bandung Selatan kedalam Zona Konservasi Air Tanah V dan VI (Zona V dan Zona VI). Kedua zona tersebut merupakan daerah resapan air utama dan daerah perlindungan kualitas air tanah untuk kawasan di bawahnya. Penelitian hidrogeologi sangat diperlukan ketika akan mengadakan kegiatan pembangunan di kawasan sekitar area Zona V dan Zona VI agar neraca air tidak terganggu. Untuk penyediaan kebutuhan air bersih di Kecamatan Pangalengan, PDAM Kabupaten Bandung Cabang Pangalengan menjadi pengelola sistem penyediaan air bersih perpipaan dengan debit 27 liter/detik. Sebanyak 20% warga Pangalengan terlayani dengan sistem perpipaan air bersih ini, sementara 36% penduduk lainnya menggunakan sistem perpipaan yang dikelola secara swadaya leh desa masing-masing dengan memanfaatkan sumber mata air (BAPPEDA, 2004). Agar fungsi Situ Cileunca tidak terganggu perlu adanya perlindungan terhadap danau buatan tersebut. Berdasarkan Perda Jabar No 20 Tahun 2006, ketentuan sempadan untuk waduk dan situ adalah minimal 50 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Sepanjang jalur sempadan waduk ini tidak boleh dikembangkan untuk kegiatan budidaya ataupun pembangunan infrastruktur. Sedangkan untuk kawasan perlindungan untuk mata air sekurang-kurangnya berada dalam radius 200 meter di sekitar mata air. Peta kawasan lindung untuk situ dan mata air seperti yang ditunjukan oleh gambar 9.
37
38
Untuk melindungi kualitas air permukaan maka di kawasan sempadan tidak boleh dilakukan kegiatan pembangunan fisik. Kawasan sempadan harus dijaga kealamiannya dengan tidak menebang pepohonan atau menanam ulang pepohonan yang dapat berfungsi sebagai penyerap air. Tata guna lahan di Kecamatan Pangalengan didominasi oleh perkebunan milik negara. Selain itu terdapat tanah perkebunan rakyat dan milik swasta. Tata guna lahan eksisting di Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan kriteria Fabos dan Caswell (1976), kualitas air bawah tanah yang dapat diperkirakan di Kecamatan Pangalengan adalah masuk ke dalam Kelas A dan C seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 11. Kelas A menunjukkan bahwa cadangan air terletak pada kawasan yang masih alami dan belum pernah dilakukan penyemprotan yang dapat mengganggu ambang batas kualitas air. Air tanah Kelas A perlu dilindungi dari kegiatan yang dapat menganggu kualitas seperti penyemprotan dan pembangunan infrastruktur. Hal ini berfungsi untuk menjaga kualitas air tanah di kawasan ini sehingga dapat dimanfaatkan oleh pengguna di kawasan di bawahnya. Sedangkan Kelas C menunjukkan bahwa air bawah tanah berada pada kawasan yang digunakan untuk jalan, tempat parkir maupun septic tank. Selain itu kualitas Kelas C menunjukkan di kawasan itu diperlukan pemupukan secara berkala dan penyemprotan hama. Dengan penentuan kawasan lindung dan kualitas air bawah tanah maka dapat ditentukan pula kawasan perlindungan terhadap sumberdaya air seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 12. Kawasan Perlindungan Air Utama menunjukkan area yang harus dilindungi dari pembangunan fisik maupun kegiatan pertanian dan perkebunan yang dapat mengganggu kualitas air. Kegiatan pengembangan ataupun pemanfaatan lahan yang dilakukan di Kawasan Perlindungan Air Sekunder diupayakan tidak menganggu atau memperburuk kondisi ambang batas kualitas air.
39
40
41
13
42
4.1.2. Tanah Kecamatan Pangalengan merupakan daerah pegunungan yang terletak pada ketinggian 1000 – 2000 meter di atas permukaan laut. Kecamatan ini dikelilingi oleh beberapa gunung yaitu Gunung Wayang (2182 m), Gunung Malabar (2321 m), Gunung Windu (2054 m) , dan Gunung Tilu (2042 m). Dalam Katharina (2007), tanah di Pangalengan memiliki kerapatan lindak rendah, porositas tanah tinggi dan mempunyai kemampuan menahan air yang baik. Hal ini menyebabkan pada musim kemarau kandungan air lapisan tanah rendah tapi kelembaban tanah cukup baik pada lapisan tanah lebih dalam (>20 cm). Menurut data Tim Survey Tanah IPB (1991) dan Pusat Penelitian Agroklimat Bogor (2003) dalam Katharina (2007), kelas tanah di Kecamatan Pangalengan termasuk ke dalam Andisol dan tergolong subur. Jenis tanah yang dikandung terdiri dari dua jenis. Jenis pertama adalah hydric dystrandept sebanyak 98,35% yang mengandung minerial liat kaolitik, memiliki drainase sedang-baik, isohipertermik, liat halus, dan terdapat pada lereng landai-sangat curam. Jenis kandungan kedua adalah aquic dystropept sebanyak 1,65% yang mengandung mineral liat haloisit, drainase sedang, isohipertermik, dan terletak di lereng agak landai hingga landai. Dalam laporan Herawan (1989), tanah di Kecamatan Pangalengan merupakan tanah lempung pasiran coklat hitam. Di daerah dengan tanaman bervegetasi rapat tanah jenis ini lunak. Selain itu tanah jenis ini mudah tererosi, keras bila kering serta kelulusan sedang. Ketebalan jenis tanah ini berkisar antara 0,5-6 meter. Tanah jenis ini sangat mudah digali menggunakan alat sederhana seperti sekop atau pacul. Selanjutnya Herawan (1989) juga menjelaskan, tanah jenis andisol memiliki sifat fisik atau batuan yang kelulusan airnya kecil. Air akan bercampur dengan tanah atau batuan saat air meresap ke dalam tanah atau batuan tersebut. Jika jumlah air sudah mencapai titik jenuh, akan terjadi lumpur yang mengakibatkan suatu saat terjadi longsor. Pergerakan longsor yang terjadi secara perlahan dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi. Bentukan lahan atau landform Kecamatan Pangalengan yang bervariasi menjadikan beberapa kawasan rawan terhadap bencana gerakan tanah atau longsor. Bencana longsor akan lebih mudah
43
terjadi di kawasan pada kemiringan lereng tertentu dengan tutupan vegetasi rendah.Untuk menghindari akibat dari bencana longsor atau gerakan tanah maka perlu ada proteksi untuk kawasan-kawasan yang rawan khususnya pada kawasan dengan kemiringan tertentu. Bentukan lahan Kecamatan Pangalengan memiliki keragaman mulai dari landai hingga sangat curam. Dengan menggunakan klasifikasi van Zuidam dalam Noor (2006) diperoleh pembagian kelerengan yang terdapat di Kecamatan Pangalengan. 14% lahan atau sekitar 3821,26 ha di Kecamatan Pangalengan berada pada kelerengan 0%-2% atau dalam kategori datar. Kawasan dengan kategori datar ini akan terhindar dari bahaya longsor. Lahan yang berada pada kategori landai atau dengan kemiringan 2% - 7% mendominasi Kecamatan Pangalengan yaitu seluas 33% dari total luas kawasan atau sekitar 9007,27 ha. Kawasan ini rawan erosi dengan kecepatan gerakan tanah yang rendah sehingga erosi yang terjadi lambat. Kawasan yang memiliki kemiringan lereng sebesar 7%15% dan dikategorikan ke dalam kawasan miring memiliki luas 31% dari total luas kawasan atau sekitar 8461,37 ha. Pada kawasan dalam zonasi ini rawan terjadi erosi tanah. Untuk kawasan yang memiliki besaran kemiringan 15%->30% atau dalam klasifikasi agak curam hingga sangat curam menempati luas sebesar 22% dari total luas kawasan Kecamatan Pangalengan atau sekitar 6004,85 ha. Kawasan dengan kelerengan lebih dari 15% akan sangat rawan dengan terjadinya erosi atau longsor.
Ragam bentuk dan kemiringan lahan di Kecamatan
Pangalengan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 14 menunjukkan pembagian kawasan berdasarkan kemiringan. Gambar 15 menunjukkan kawasan dengan kerawanan longsor tertentu. Ketinggian lahan di Kecamatan Pangalengan bervariasi mulai dari 900 mdpl hingga 2100 mdpl. Peta elevasi Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada Gambar 16. Sesuai dengan Perda Jabar No.2 Tahun 2006 kawasan Kecamatan Pangalengan dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelas kawasan lindung yaitu Kawasan Lindung, Kawasan Berfungsi Lindung di Luar Hutan Lindung, dan Kawasan Resapan Air. Kawasan hutan lindung dan kawasan berfungsi lindung di luar hutan lindung berfungsi untuk memberikan perlindungan bagi kawasan di bawahnya. Perlindungan itu berupa untuk mencegah erosi, bencana banjir, sedimentasi,
44
mengatur tata air dan menjaga kualitas unsur hara tanah. Dengan upaya perlindungan di kawasan hulu dapat mencegah timbulnya bahaya bencana longsor. Peta kawasan
lindung Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada
Gambar 17.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f) Sumber : Survei Juni 2010
Gambar 13. Ragam Bentukan dan Kemiringan Lahan di Kecamatan Pangalengan (a) dan (b) 2-7%, (c) dan (d) 7-15%, (e) dan (f) 0-2%.
45
46
47
Dengan mengetahui kawasan yang rawan terhadap bencana gerakan tanah dan kawasan yang perlu dilindungi berdasarkan elevasi maka dapat ditentukan area tanah di Kecamatan Pangalengan yang harus diproteksi dan tidak perlu diproteksi seperti yang ditunjukan pada Gambar 18. Area yang perlu diproteksi tidak diperuntukkan untuk pembangunan fisik karena rawan terhadap bencana longsor, kelerengan yang kurang sesuai, dan masuk kedalam kategori Kawasan Lindung. Sedangan di area yang tidak perlu diproteksi dapat dilakukan pembangunan fisik karena potensi longsor rendah dan kemiringan lereng sangat sesuai untuk pembangunan fisik. Melalui analisis sumberdaya air dan tanah yang perlu diproteksi maka diperoleh hasil berupa Peta Sumberdaya Kritis Kecamatan Pangalengan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 19. Kawasan dengan sumberdaya kritis merupakan area yang yang harus dilindungi dari pembangunan fisik. Pada kawasan dengan sumberdaya tidak kritis dapat dikembangkan untuk pembangunan fisik namun tetap harus memperhatikan kondisi lingkungan.
48
17
49
18
50
51
52
4.2. Zona Berbahaya Untuk menentukan kestabilan suatu wilayah terhadap kawasan rawan gempa bumi digunakan perhitungan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa. Penilaian tersebut meliputi Geologi (Sifat Fisik Batuan dan Keteknikan Batuan), Kemiringan Lereng, Kegempaan, dan Struktur Geologi. Di dalam Laporan Penyelidikan Geologi Lingkungan Daerah Garut, Cikajang, Pangalengan dan Sekitarnya disebutkan struktur geologi yang berkembang di daerah pegunungan Pangalengan berupa sesar dan pelipatan lapisan batuan. Lapisan batuan pembentuk kawasan pedataran tinggi Pangalengan adalah hasil batuan gunung api muda dan tua yang terdiri dari breksi, lava, lahar dan tufa, lapili, bom dan aglomerat. Selanjutnya Bronto, Koswara dan Lumbanbatu (2006) menjelaskan bahwa Kecamatan Pangalengan terbentuk dari beberapa satuan batuan yaitu Satuan Batuan Gunung Api Pangalengan, Satuan Batuan Gunung Api Wayang Windu, Satuan Batuan Gunung Api Malabar, dan Satuan Batuan Piroklastika Pangalengan.
Gambar 20. Peta Geologi Daerah Bandung Selatan dan Stratigrafi Batuan Gunung Api (Silitonga, 1973 dalam Bronto, Koswara, dan Lumbanbatu, 2006)
53
Dalam matriks pembobotan untuk penentuan nilai kestabilan wilayah terhadap kawasan gempa bumi, kelas informasi geologi di Kecamatan Pangalengan memiliki nilai kemampuan 1 dan masuk ke dalam kelas informasi 1a. Persentasi kelerengan Kecamatan Pangalengan bervariasi dari datar hingga sangat curam. Setiap persentasi kelerangan memiliki bobot nilai yang berbeda sehingga akan menghasilkan penilaian kestabilan wilayah yang berbeda pula. Untuk kemiringan lereng sebesar 0-7% memiliki nilai kemampuan 1 dan masuk ke dalam kelas informasi 2a. Untuk kemiringan lereng sebesar 7-30% memiliki nilai kemampuan 2 dan masuk kelas informasi 2b. Sedangkan untuk kemiringan 30-140% memiliki nilai kemampuan 3 dan masuk kelas informasi 2c. Faktor kegempaan merupakan informasi yang menunjukkan tingkat intensitas gempa. Pada skala MMI (Modified Mercalli System) intensitas gempa yang dirasakan di Kecamatan Pangalengan berada pada skala IX dengan kriteria kerusakan pada bangunan yang rangkanya kuat, rumah menjadi tidak tegak lagi, banyak retakan pada bangunan yang konstruksinya kuat, bangunan rumah bergeser dari pondasinya, dan pipa dalam tanah pecah. Dalam matriks pembobotan untuk penentuan nilai kestabilan wilayah terhadap kawasan gempa bumi, kegempaan ini di Kecamatan Pangalengan memiliki nilai 4 dan masuk ke dalam kelas informasi adalah 3d. Kecamatan Pangalengan terletak di Jawa Barat bagian selatan yang memiliki kondisi sesar lemah atau rentan terhadap rambatan gempa bumi. Brahmantyo (2005) dalam Geologi Cekungan Bandung menjelaskan perihal seismotonik Jawa Barat dan Zonasi Percepatan Gempa Bumi Bandung. Menurut perhitungan percepatan gempa bumi yang dilakukan oleh Puslitbang Geologi selama kurun waktu 100 tahun terakhir, terlihat bahwa kontur gempa bumi semakin tinggi mendekati daerah selatan Bandung. Sehingga dapat dikatakan daerah selatan Bandung semakin rawan terkena guncangan apabila gempa bumi terjadi. Selain itu terdapat sistem sesar arah barat laut-tenggara yang diduga berupa sesar mendatar mengiri. Sesar-sesar tersebut meliputi Sesar Malabar, Sesar Gunung Geulis, Sesar Cikuray, Sesar Tilu, Sesar Patuha, Sesar Galunggung dan
54
Sesar Jatiluhur. Lokasi sesar-sesar tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 21.
Gambar 21. Sesar di daerah Bandung dan sekitarnya. (Koswara (1998) dalam Widijono dan Subagio, 2009) Terdapat tiga jalur sesar yang melewati Kecamatan Pangalengan yaitu Sesar Malabar, Sesar Tilu, dan Sesar Tampomas seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22. Dengan demikian terdapat tiga kategori penilaian untuk struktur geologi di Kecamatan Pangalengan yaitu penilaian untuk kawasan pada jalur sesar, kawasan yang berada sekitar 100 – 1000 meter dari jalur sesar, dan kawasan yang jauh dari jalur sesar. Masing-masing kategori memiliki nilai kemampuan sendiri. Kawasan yang berada jauh dari jalur sesar memiliki nilai kemampuan 1 dan masuk ke dalam kelas informasi 4a. Kawasan yang berada 100-1000 meter dari jalur sesar memiliki nilai kemampuan 2 dan masuk ke dalam kelas informasi 4b. Kawasan yang berada <100 meter memiliki nilai kemampuan 3 dengan kelas informasi 4c.
55
56
Pembobotan yang diberikan pada setiap informasi geologi yang diperoleh adalah berbeda-beda tergantung kepada kepentingan informasi tersebut untuk menentukan penilaian kestabilan. Tabel 23 menunjukan nilai bobot yang diberikan pada setiap informasi geologi. Sedangkan Tabel 24 menunjukan matriks penghitungan untuk mendapatkan skor akhir.
Tabel 23. Pembobotan Pada Kerawanan Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Informasi Geologi Geologi (Sifat Fisik dan Keteknikan Batuan) Kemiringan lereng Kegempaan Struktur geologi (Sumber : Analisis)
Bobot 3 3 4 5
Tabel 24. Matriks pembobotan untuk wilayah kestabilan kawasan rawan gempa bumi di Kecamatan Pangalengan. Kelas Informasi 1a, 2a, 3d, 4a
Skor
Tipologi
Keterangan
27
A
1a, 2a, 3d, 4b 1a, 2a, 3d, 4c 1a, 2b, 3d, 4a 1a, 2b, 3d, 4b 1a, 2b, 3d, 4c 1a, 2c, 3d, 4a 1a, 2c, 3d, 4b 1a, 2c, 3d, 4c
32 37 30 35 40 33 38 43
A B A A B A B C
1a. Andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomelarat, breksi sedimen, konglomerat (Nilai=1) 2a. Datar – landai (0-7%) (Nilai =1) 2b. Miring- agak curam (7-30%) (Nilai=2) 2c. Curam-sangat curam (>30%) (Nilai=3) 3d. IX, X, XI, XII (Nilai=4) 4a. Jauh dari jalur sesar (Nilai=1) 4b. 100-1000 m dari jalur sesar (Nilai=2) 4c. <100 m dari jalur sesar (Nilai=3)
Melalui penilaian kestabilan terhadap kawasan rawan gempa bumi diperoleh 3 jenis tipologi kawasan rawan gempa untuk Kecamatan Pangalengan yaitu tipologi A, B, dan C seperti yang ditunjukan pada Gambar 23. Kawasan dengan tipe A berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat. Sedangkan pada kawasan dengan tipe B faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah.
57
Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk bangunan dengan konstruksi sederhana. Kawasan dengan tipologi C memiliki setidaknya dua faktor dominan yang menyebabakn kerawanan kawasan ini menjadi tinggi. Kombinasi itu dapat terdiri dari intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan yang lemah; atau kombinasi antara sifat fisik batuan yang lemah dan lokasi yang berada dekat dengan zona sesar yang merusak. Kerusakan yang dapat terjadi pada zona kawasan ini cukup parah. Banguan dengan konstruksi beton akan mengalami kerusakan parah jika berada dekat dengan jalur sesar. Kawasan dengan Tipologi A menempati area paling luas di Kecamatan Pangalengan yaitu sekitar 88% dari luas total kawasan atau ±24.018,72 ha. Pada kawasan dengan Tipologi A sesuai dengan standar pada Tabel 18 dapat dibangun beberapa ruang seperti hutan produksi, hutan rakyat, pertanian sawah, pertanian semusim,
perkebunan,
peternakan,
perikanan,
pertambangan,
pariwisata,
permukiman, perdagangan, dan perkantoran. Dengan demikian kawasan dengan Tipologi A menjadi kawasan paling aman pada area rawan bencana gempa. Sedangkan kawasan dengan Tipologi B, dan C dikategorikan ke dalam kawasan tidak aman bencana gempa. Gambar 24 menunjukkan pembagian keamanan hazard gempa di Kecamatan Pangalengan.
58
59
60
Pada gempa yang terjadi tanggal 2 September 2009 lalu Kecamatan Pangalengan menjadi kawasan dengan kerusakan terparah se-Kabupaten Bandung. Badan Penanggulangan Bencana Nasional mencatat di Kecamatan Pangalengan terdapat rumah rusak berat sebanyak 8598 unit, rumah rusak sedang sebanyak 5802 unit, dan rumah rusak ringan sebanyak 7504 unit. Tingkat rumah rusak berat tertinggi dengan jumlah lebih dari 1000 unit dialami masing-masing oleh Desa Margamulya (1729 unit), Desa Sukamanah (1705 unit), Desa Pangalengan (1540 unit) dan Desa Margamukti (1813 unit). Keempat desa tersebut merupakan desa dengan kepadatan penduduk tertinggi se-Kecamatan Pangalengan. Selanjutnya desa yang memiliki tingkat kerusakan rumah lebih dari 150 unit adalah Desa Margaluyu (480 unit), Desa Margamekar (316 unit), Desa Sukaluyu (264 unit), Desa Warnasari (186 unit), dan Desa Pulosari (179 unit). Desa yang mengalami kerusakan kurang dari 150 unit adalah Desa Tribakti Mulya sebanyak 148 unit dan Desa Banjarsari sebanyak 117 unit. Sementara tingkat kerusakan rumah terendah dialami oleh Desa Lamajang sebanyak 98 unit rumah dan Desa Wanasuka sebanyak 23 unit rumah. Peta sebaran rumah rusak berat dapat dilihat pada Gambar 25. Desa Margamulya, Desa Sukamanah, Desa Pangalengan dan Desa Margamukti berada pada kawasan rawan gempa bertipologi A. Meskipun jauh dari zona sesar namun terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan kawasan ini menjadi area dengan kerusakan terparah. Keempat desa tersebut merupakan desadesa dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Pangalengan. Jumlah rumah yang dibangun di kawasan ini lebih banyak. Selain itu pembangunan permukiman tidak memperhatikan bentukan lahan. Seperti misalnya rumah didirikan pada lahan dengan kelerengan terjal atau curam yang rawan longsor. Bangunan-bangunan
yang
mengalami
kerusakan
akibat
gempa
didominasi oleh bangunan struktur beton yang tidak tahan gempa. Sedangkan rumah-rumah yang masih tegak berdiri atau hanya mengalami kerusakan ringan adalah rumah tradisional dengan struktur terbuat dari kayu dan berupa rumah panggung (Gambar 26).
61
62
(a)
(b)
(Sumber : ERRI Special Earthquake Report October 2009)
Gambar 27. Kondisi Bangunan Pasca Gempa (a) Rumah Panggung Yang Masih Berdiri Tegak, (b) Rumah Dengan Konstruksi Beton Yang Rusak Berat Untuk mencegah kerugian serupa jika terjadi bencana gempa bumi lagi maka perlu dilakukan penataan ulang pola permukiman dan penentuan jenis infrastruktur yang tahan gempa.
4.3. Kesesuaian Pengembangan Topografi yang bervariasi di Kecamatan Pangalengan dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian pengembangan di kawasan tersebut. Dalam Noor (2006) (Tabel 16), lahan yang memiliki kelas lereng 0%-5% dapat dikembangankan menjadi kawasan permukiman dan pertanian. Lahan dengan kelas lereng 5%-15% dapat dikembangkan menjadi permukiman, pertanian maupun perdagangan dan perkantoran. Namun lahan pada kemiringan ini tidak cocok untuk dibangun sebagai kawasan industry berat ataupun areal lapangan terbang. Pada kelas lereng 15%-30% tidak cocok untuk dijadikan areal pertanian karena rawan erosi tanah. Namun pertanian dengan jenis tertentu masih dapat dikembangkan pada area dengan kemiringan diatas 20%. Kawasan permukiman masih dapat dikembangkan pada tingkat kemiringan ini. Sedangkan pada kemiringan terjal dengan kelas lereng 30%-50% cocok dikembangkan menjadi tempat wisata, perumahan dengan cluster, padang rumput dan hutan. Pada kawasan dengan kemiringan lebih dari 50% sangat tidak cocok untuk dikembangkan menjadi kawasan permukiman.
63
Pada analisis Tahap I yaitu analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi diperoleh informasi kawasan yang tidak perlu diproteksi dan dapat dikembangkan menjadi kawasan permukiman. Selanjutnya pada analisis Tahap II yaitu analisis Hazard diperoleh informasi kawasan yang aman terhadap bencana gempa bumi. Dengan mengkombinasikan standar pada Tabel 16, Peta Proteksi Sumberdaya, dan Peta Keamanan Hazard Gempa maka diperoleh Peta Kesesuaian Pengembangan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 27. Area berwarna hijau pada Gambar 27 adalah kawasan yang sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan permukiman penduduk. Kawasan ini memiliki luas 41% dari total luas kawasan atau sekitar 11.200 ha. Kawasan ini jauh dari jalur sesar gempa, memiliki kemungkinan bahaya longsor yang rendah, serta berada pada kemiringan lahan datar hingga landai. Sedangkan area berwarna merah adalah kawasan yang tidak sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan permukiman penduduk. Kawasan ini memiliki luas 59% dari total luas kawasan atau sekitar 16.100 ha. Pada area yang tidak sesuai ini dapat dikembangkan sebagai area perkebunan tanaman keras dan hutan lindung.
64
65
4.6. Sintesis Berdasarkan kriteria zonasi kawasan rawan gempa bumi pada Tabel 17 kawasan Pangalengan terbagi kedalam tingkat kerawanan gempa bumi Tipologi A, Tipologi B, Tipologi C dan Tipologi D. Hasil analisis menunjukkan kawasan yang sesuai untuk dikembangkan di Kecamatan Pangalengan berada pada kawasan bertipologi A (Gambar 24). Tata guna lahan untuk kawasan permukiman yang saat ini berkembang di Kecamatan Pangalengan sebagian besar berada pada kawasan bertipologi A. Kawasan yang sesuai untuk dikembangkan tersebut meliputi Desa Pangalengan, Desa Margamukti, Desa Sukamanah, Desa Margamekar, dan Desa Margamulya. Kelima desa ini merupakan desa yang mengalami kerusakan paling parah saat terjadi gempa (Gambar 25). Di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Pangalengan kelima desa ini menjadi kawasan perencanaan utama dengan tujuan mencegah perkembangan ke kawasan konservasi di daerah selatan agar kualitas lingkungan tidak terganggu. Dengan demikian kawasan ini menjadi fokus dalam kegiatan perencanaan ini. Lokasi kawasan perencanaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 28. Namun untuk dapat menerapkan konsep mitigasi terhadap gempa bumi maka zonasi ruang di kawasan ini harus disesuaikan dengan aturan zonasi pada Tabel 15. Dengan demikian dihasilkan blok plan kawasan yang akan direncanakan seperti pada Gambar 39. Ruang pemanfaatan budidaya difokuskan untuk pengembangan dalam bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Ruang terbangun dimanfaatkan untuk pengembangan struktur dan infrastruktur permukiman. Ruang konservasi berfungsi sebagai sempadan pada sumberdaya air. Perencanaan yang dikembangkan untuk mitigasi bencana gempa dalam kawasan permukiman ini adalah tata ruang permukiman, pola permukiman, zonazona evakuasi, jalur-jalur evakuasi, serta fasilitas dan utilitas yang diperlukan untuk penanganan pasca bencana gempa bumi.
66
67
BAB V KONSEP DAN PERENCANAAN 5.1. Konsep Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang permukiman yang dapat mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana gempa bumi. Konsep dasar ini dikembangkan ke dalam konsep mitigasi yaitu memudahkan kegiatan penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa. Konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian ruang, evakuasi, sirkulasi, dan vegetasi.
5.1.1. Konsep Pembagian Ruang Ruang permukiman dikelompokan ke dalam satuan ketetanggaan yang terdiri atas Kepala Keluarga (KK), Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Desa, dan Kecamatan. Konsep pembagian ruang ini dimaksudkan agar kegiatan penyelamatan diri dapat lebih terarah dan terkendali. Selain itu pengelompokkan dalam satuan ketetanggan dapat membantu menentukan titik-titik evakuasi dan pergerakan menuju lokasi-lokasi evakuasi tersebut. Gambar 30 menunjukkan diagram konsep pembagian ruang berdasarkan satuan ketetanggaan.
Gambar 30. Diagram Konsep Pembagian Ruang
69
5.1.2. Konsep Evakuasi Ruang-ruang yang dimanfaatkan untuk zona evakuasi adalah ruang-ruang terbuka yang berada di dalam kawasan permukiman. Berdasarkan lokasi dan daya tampung maka zona-zona evakuasi tersebut dibagi ke dalam 3 tingkatan yang terdiri atas zona evakuasi makro, meso dan mikro. Gambar 31 menunjukkan diagram konsep zona evakuasi.
Gambar 31. Diagram Konsep Evakuasi
Pada saat bencana gempa muncul maka penduduk diarahkan untuk bergerak menyelamatkan diri menuju zona evakuasi mikro pada tingkatan RT. Jika fasilitas dan kondisi di zona evakuasi mikro kurang mendukung maka penduduk diarahkan menuju zona evakuasi meso yang berada pada tingkatan RW dengan kapasitas daya tamping lebih besar. Selanjutnya jika fasilitas dan kondisi di zona evakuasi meso kurang memadai maka penduduk diarahkan menuju zona evakuasi makro yang berada pada tingkat desa.
5.1.3. Konsep Sirkulasi Jalur sirkulasi pada kawasan rawan bencana gempa harus dibuat dengan tujuan memudahkan pergerakan penduduk saat menyelamatkan diri. Jejaring jalan yang rumit dengan lebar yang sempit berpotensi menimbulkan kebingungan atau disorientasi arah ketika penduduk berusaha menyelamatkan diri dalam keadaan panik. Berdasarkan fungsinya untuk memudahkan kegiatan penyelamatan diri maka jalur sirkulasi di wilayah perencanaan dibagi ke dalam 3 hierarki jalan yaitu
70
jalan lingkungan, jalan lokal, dan jalan kolektor. Tabel 25 menjelaskan lebar dan fungsi dari setiap jenis jalan. Gambar 33 menunjukkan diagram konsep sirkulasi. Tabel 25. Konsep Jalur Sirkulasi Jenis Jalan Jalan Lingkungan Jalan Lokal Jalan Kolektor
Lebar 5m 7m 14 m
Fungsi mengarahkan massa ke zona evakuasi mikro mengarahkan massa ke zona evakuasi meso -mengarahkan massa ke zona evakuasi makro -mendistribusikan bantuan ke lokasi pengungsian -penghubung antar desa
Jalan Lingkungan Jalan Lokal Jalan Kolektor
Gambar 32. Diagram Konsep Sirkulasi
5.1.4. Konsep Vegetasi Konsep vegetasi untuk mitigasi bencana direncanakan memiliki fungsifungsi untuk mendukung kegiatan penanganan saat bencana dan pasca bencana. Dengan demikian jenis-jenis vegetasi yang diterapkan pada kawasan berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam empat jenis vegetasi yaitu : vegetasi budidaya, vegetasi konservasi, vegetasi pengarah, dan vegetasi penaung. Tabel 26 menjelaskan jenis vegetasi, lokasi, dan fungsinya dalam mitigasi bencana gempa. Sedangkan Gambar 33 menunjukan diagram konsep vegetasi yang direncanakan.
71
Tabel 26. Konsep Vegetasi Jenis Vegetasi Budidaya
Lokasi Kebun campuran
Konservasi
Pengarah Penaung
-dekat sumber air -pada kawasan berpotensi longsor Jalur sirkulasi -pemukiman -zona evakuasi
Fungsi - cadangan pangan pada penanganan pasca bencana -menjaga keseimbangan neraca air -mencegah bencana longsor pada kawasan tertentu -mengarahkan penduduk menuju area evakuasi -menaungi kawasan terutama di zona-zona evakuasi - ameliorasi iklim
Vegetasi Konservasi Vegetasi Budidaya Vegetasi Penaung Vegetasi Pengarah
Gambar 33. Diagram Konsep Vegetasi
5.2. Perencanaan Rencana lanskap merupakan pengembangan dari konsep yang sudah ditentukan sebelumnya. Konsep ruang dikembangkan ke dalam rencana tata ruang permukiman. Konsep evakuasi dikembangkan ke dalam rencana evakuasi. Konsep sirkulasi dikembangkan ke dalam rencana jalur sirkulasi. Konsep vegetasi dikembangkan ke dalam rencana vegetasi. Rencana lanskap yang telah disusun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 34.
72
73
5.2.1. Rencana Tata Ruang Permukiman Di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Pangalengan diperkirakan kebutuhan lahan untuk permukiman di wilayah perencanaan pada tahun 2015 mencapai 299,22 ha dengan perkiraan jumlah penduduk akan mencapai 88.739 jiwa. Untuk memudahkan kegiatan perencanaan maka wilayah yang direncanakan dibagai ke dalam tiga blok sesuai dalam RDTR yaitu Blok Utara, Blok Tengah, dan Blok Selatan (Gambar 35). Setiap blok memiliki perkiraan jumlah penduduk masing-masing pada tahun 2015. Blok Utara diperkirakan akan memiliki jumlah penduduk 38.870 jiwa dengan kebutuhan lahan permukiman ± 115, 51 ha. Blok Tengah diperkirakan akan memiliki jumlah penduduk 26.305 jiwa dengan kebutuhan lahan permukiman ± 78, 92 ha. Blok Selatan diperkirakan akan memiliki jumlah penduduk 23.564 jiwa dengan kebutuhan lahan permukiman ± 70, 59 ha.
Blok Utara
Blok Tengah
Blok Selatan
Gambar 35. Pembagian Blok Kawasan Perencanaan Sumber : RDTR Kota Pangalengan
Mayoritas penduduk di Pangalengan memiliki mata pencaharian di bidang pertanian dan peternakan seperti buruh tani, petani, pedagang, buruh
74
swasta, perkebunan, dan peternak. Dengan asumsi bahwa mayoritas penduduk berpenghasilan rendah dan sedang maka disarankan rumah yang banyak dibangun adalah jenis rumah sederhana yaitu rumah dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 70 m2 yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling 54 m2 sampai 200 m2. Di dalam Perda RTRW 2008 Pasal 3 dijelaskan pengembangan permukiman di kawasan perkotaan diarahkan untuk perumahan terorganisir dan rumah susun, sedangkan pengembangan permukiman di luar kawasan perkotaan diarahkan untuk permukiman yang tumbuh alami dan pengembangan perumahan dengan kepadatan rendah (<30 unit/ha) namun dalam pengembangannya tetap dibatasi sesuai dengan fungsi ruangnya yang ditentukan berdasarkan Koefisien Wilayah Terbangun. Sementara di dalam RDTR Kota Pangalengan diperkirakan jumlah bangunan yang ada pada tahun 2015 sekitar 17.748 unit meliputi tipe kecil, sedang dan besar. Dengan demikian kawasan perumahan yang direncanakan di Kota Pangalengan adalah dengan kepadatan rendah( <30 unit/ha). Penerapan konsep pembagian ruang berdasarkan satuan ketetanggan dilakukan dengan mengadaptasi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.12 Tahun 2007 Tentang Lembaga Kemasyarakatan.dikombinasikan dengan SNI Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan yang dijelaskan pada Tabel 27. Tabel 27. Pembagian Satuan Ketetanggan Satuan Ketetanggan
Jumlah Penduduk
1 KK
Asumsikan 4 jiwa
1 RT
150 – 250 jiwa (± 63 KK)
1 RW
8 – 10 RT ( ±2500 jiwa)
1 Desa
10- 12 RW (± 30.000 jiwa)
(Sumber : Perda Kab. Bandung No.12 Th. 2007 dan SNI 03-1733-2004)
Dengan mengacu pada pembagian Tabel 27 maka pada tahun 2015 Blok Utara akan memiliki 9.718 KK, 154 RT, dan 15 RW. Blok Tengah akan memiliki 6576 KK, 104 RT, dan 10 RW. Blok Selatan akan memiliki 5.891 KK, 93 RT, dan 9 RW. Sebagai kawasan rawan gempa bumi bertipologi A maka di dalam Kota Pangalengan terdapat ruang-ruang yang bisa dibangun dengan syarat dan terdapat
75
pula ruang yang tidak bisa dibangun (Tabel 16). Rencana ruang-ruang yang dibutuhkan di Kota Pangalengan adalah : 1. Perumahan. Ruang yang berfungsi sebagai tempat hunian penduduk. Ditempatkan pada area-area yang memiliki kemudahan akses pada fasilitas penunjang mitigasi dan jalur sirkulasi saat proses evakuasi. 2. Perkantoran Area perkantoran memfasilitasi kebutuhan seperti : pusat pemerintahan, kecamatan, bank, koperasi, dan lain sebagainya. 3. Perdagangan Yang tercakup di dalam ruang ini adalah area perdagangan souvenir, cinderamata, jasa, toko kelontong, dan pasar pelelangan sayur. 4. Rekreasi dan Olahraga Sarana rekreasi dapat berupa taman ketetanggaan atau taman lingkungan. Sarana olahraga dapat berupa lapangan terbuka atau bangunan gelanggang olahraga. 5. Pendidikan 6. Kebun Perkebunan
teh
eksisting
dipertahankan
keberadaannya
dengan
penyesuaian terhadap rencana blok. 7. Kebun Campuran Kebun campuran eksisting untuk budidaya sayur-mayur dipertahankan keberadannya dengan penyesuaian terhadap rencana blok. 8. Terminal Terminal meliputi terminal utama sebagai pusat angkutan umum dan terminal-terminal kecil (pangkalan ojek, pangkalan angkot) yang tersebar di beberapa blok permukiman. 9. Fasilitas Fasilitas adalah berbagai sarana publik yang menunjang untuk kawasan permukiman dan sangat diperlukan saat terjadi bencana gempa bumi, yaitu : fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan,
76
apotik,
posyandu),
kantor
polisi,
pemadam
kebakaran,
gedung
telekomunikasi, PLN. Gambar 36 menunjukkan matriks hubungan antar ruang yang dibutuhkan di Kota Pangalengan. Hubungan dekat menunjukkan antar ruang tersebut memerlukan akses yang mudah dicapai atau langsung. Hubungan tidak dekat menunjukkan antar ruang tidak terlalu saling berhubungan. Tidak ada hubungan atau netral menunjukkan antar ruang itu tidak saling memerlukan atau keberadaannya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Gambar 37 menunjukkan konsep ruang sebagai penggambaran dari matriks hubungan antar ruang.
Gambar 36. Matriks Hubungan Antar Ruang
Gambar 37. Konsep Ruang Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 (Tabel 15), pola permukiman yang dapat dikembangkan di Kecamatan Pangalengan bisa berbentuk mengelompok atau menyebar. Saat ini permukiman di lokasi penelitian berkembang di sepanjang jalan raya utama Pangalengan dengan bentuk menyebar dan tidak teratur. Mayoritas rumah-rumah dibangun dengan rapat dan hanya
77
menyisakan jalan kecil untuk sirkulasi. Pola hunian seperti ini dapat menyulitkan pergerakan saat menyelamatkan diri. Agar konsep mitigasi dapat berfungsi dengan baik maka pola permukiman dibuat mengelompok sesuai dengan pembagian satuan ketetanggaan. Menurut data monografi Kecamatan Pangalengan tahun 2007 jumlah penduduk di Kecamatan Pangalengan berjumlah 132.555 jiwa. Untuk mendukung kebutuhan kesehatan seluruh penduduk maka minimum fasilitas kesehatan yang dibutuhkan adalah Puskemas dan Balai Pengobatan (Tabel 21). Puskesmas dan Balai Pengobatan ditempatkan di pusat kota yang mudah dijangkau oleh penduduk. Selain itu penempatan Puskesmas di pusat kota dapat memudahkan dalam proses penanganan pasca bencana gempa bumi seperti distribusi obat, peralatan kesehatan, dan bantuan medis lainnya. Rencana tata ruang pusat kota berikut infrastruktur pendukung seperti yang ditunjukkan pada Gambar 40. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 maka struktur bangunan yang didirikan di Pangalengan disarankan berupa struktur tahan gempa. Hal ini bertujuan agar bangunan tidak mudah rusak ketika terjadi gempa sehingga tidak membahayakan penghuninya. Menurut Frick, Ardiyanto dan Darmawan (2008), tidak semua gedung harus memiliki ketahan serupa terhadap gempa. Namun gedung-gedung yang memiliki fungsi vital dalam keadaan gempa tidak boleh rusak dan harus selalu siap pakai. Misalnya, rumah sakit, gedung telekomunikasi, PLN, pemadam kebakaran, dan lain sebagainya. Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.6/PRT/M/2009 tentang Pedoman Perencaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Rawan Tsunami dijelaskan mengenai fasilitas pelayanan penting yang harus siap di saat kritis bencana alam, yaitu : a. Kantor Polisi. b. Kantor Pemadam Kebakaran. c. Rumah sakit dengan ruang-ruang bedah, pemeliharaan mendadak, atau darurat. d. Fasilitas dan peralatan operasi darurat dan komunikasi. e. Garasi dan tempat perlindungan untuk kendaraan dan pesawat terbang. f. Peralatan pembangkit tenaga siap pakai untuk pelayanan penting.
78
g. Tangki atau bangunan lain yang berisi air atau bahan peredam lainnya atau peralatan yang diperlukan untuk melindungi kawasan penting, berbahaya atau hunian khusus. h. Stasiun pengawal permanen. Dalam Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa dijelaskan taraf keamanan minimum untuk bangunan dengan konstruksi tahan gempa, yaitu : a. Bila terkena gempa bumi yang lemah bangunan tersebut tidak akan rusak sama sekali. b. Bila terjadi gempa bumi sedang maka elemen-elemen non-struktural bangunan boleh rusak. Namun elemen struktural tidak boleh rusak sama sekali. c. Bila terjadi gempa bumi kuat maka : bangunan tidak boleh runtuh baik itu sebagian maupun keseluruhan; bangunan tidak boleh mengalami kerusakan yang tidak boleh diperbaiki; jika terjadi kerusakan maka harus dapat cepat diperbaiki dan berfungsi seperti semula. Bangunan yang tahan gempa memiliki struktur rangka kaku (beton bertulang, baja, kayu) dengan perkuatan silang. Bangunan seperti ini juga memiliki karakteristik berat bangunan yang ringan.
Gambar 38. Ilustrasi Struktur Bangunan Dengan Perkuatan Silang (Sumber: Frick, Ardiyanto, dan Darmawan, 2008)
Pembangunan rumah hunian dari kayu berbentuk panggung lebih disarankan. Karena pada saat terjadi gempa di Pangalengan rumah panggung mengalami kerusakan lebih ringan dari rumah dengan rangka beton. Gambar 39 menunjukkan ilustrasi contoh rumah panggung yang tahan gempa.
79
Gambar 39. Rumah Tinggal Dengan Konstruksi Rangka Sederhana dan Pondasi Tiang (Sumber : Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa Departemen Pekerjaan Umum, 2006)
Gambar 40. Rencana Tata Ruang Pusat Kota Pangalengan
80
5.2.2. Rencana Evakuasi Pada saat terjadi bencana gempa bumi 2 September 2010 lalu warga masyarakat Pangalengan memanfaatkan lahan terbuka untuk lokasi pengungsian sementara. Lahan-lahan terbuka yang digunakan adalah lapangan, kebun dan perkebunan teh yang pada saat itu kebetulan sedang dibuka untuk proses penanaman ulang. Kondisi lokasi-lokasi pengungsian tersebut minim fasilitas yang dapat membantu warga bertahan hidup pasca bencana. Sekitar 15.000 warga masyarakat terpaksa tinggal di tenda-tenda dengan kondisi yang serba kekurangan.
Gambar 41. Kondisi Pengungsian Sementara Korban Gempa Pangalengan (Sumber : Pelbagai Sumber)
Sebagai salah satu upaya mitigasi bencana gempa bumi maka perlu adanya penentuan lokasi pengungsian atau titik-titik evakuasi di kawasan permukiman. Lokasi yang dimanfaatkan sebagai zona evakuasi adalah ruangruang terbuka di dalam kawasan permukiman. Ruang-ruang terbuka tersebut dapat dimanfaatkan penduduk sebagai area rekreasi saat tidak terjadi bencana. Kebutuhan luas setiap ruang terbuka disesuaikan dengan daya tampung tenda pengungsian. Tenda pengungsi yang umum digunakan di Indonesia adalah tenda-tenda tentara yang terdiri dari tenda komando berkapasitas 10 orang dengan ukura 24 m2, tenda regu berkapasitas 20 orang dengan ukuran 36 m2, dan tenda peleton berkapasitas 45 orang dengan ukuran 70 m2.
Tabel 28 menjelaskan
kebutuhan ruang terbuka sebagai zona evakuasi beserta kemampuan daya tampung. Tabel 28. Kebutuhan Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi Zona Mikro Meso Makro
Lokasi RT RW Desa
Luas 350 m2 3850 m2 4,7 ha
Daya Tampung 60 KK / 250 jiwa / 5 tenda peleton 625 KK / 2500 jiwa / 55 tenda peleton 7500 KK / 30.000 jiwa / 667 tenda peleton
81
Untuk dapat menunjang kondisi para pengungsi di zona-zona evakuasi maka lokas-lokasi tersebut harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang dapat berfungsi optimal pasca bencana. Tabel 29 menjelaskan rencana fasilitas yang dibutuhkan pada setiap zona evakuasi. Ilustrasi lokasi setiap zona evakuasi ditunjukkan pada Gambar 42. Tabel 29. Rencana Fasilitas Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi Zona Mikro Meso Makro
Fasilitas Penunjuk arah, tempat duduk, tenda darurat, tempat berkumpul sementara Penunjuk arah, tenda darurat, sarana air bersih, dapur umum, toilet darurat Penunjuk arah, tenda darurat, dapur umum, gedung serbaguna, sarana air bersih, toilet umum, balai pengobatan, pusat pengendalian pasca bencana, gudang (bahan pangan, obat-obatan, selimut, dll), tenaga listrik portable
5.2.3. Rencana Jalur Sirkulasi Desain jejaring jalur sirkulasi tidak hanya berfungsi sebagai akses pergerakan pada kondisi normal namun juga efektif sebagai jalur evakuasi saat terjadi bencana dan penanganan pasca bencana. Akses sirkulasi terbuka atau bebas dari hambatan ke seluruh bagian permukiman menjadi hal yang penting untuk upaya penyelamatan dan proses evakuasi penduduk. Jalur sirkulasi yang diterapkan tidak hanya untuk kemudahan pergerakan manusia. Berbagai peralatan dan kendaran untuk penanganan bencana harus dapat dengan mudah melewati jalur-jalur sirkulasi ini. Jejaring sirkulasi dikembangkan dengan memanfaatkan jalur sirkulasi yang sudah ada. Perubahan lebar jalan diperlukan agar sesuai dengan konsep yang telah ditentukan. Penambahan jalur jalan dapat dilakukan dengan menyesuaikan pada pola permukiman. Gambar 44 menunjukkan rencana jalur sirkulasi yang diterapkan pada kawasan. Sedangkan gambar 45 menunjukkan rencana alur pergerakan penduduk saat proses evakuasi. Untuk mengatur dan mengarahkan penduduk ke tempat-tempat evakuasi maka perlu dibuat rambu-rambu penunjuk arah. Rambu-rambu ini ditempatkan pada lokasi-lokasi yang mudah dilihat. Desain rambu tidak boleh terlalu rumit. Penggunaan simbol-simbol sederhana dan tulisan yang jelas dibaca akan lebih baik. Huruf atau gambar yang kontras dengan latar belakang akan lebih mudah dibaca Karakter huruf dengan tinggi 20 cm pada sebuah rambu dapat dibaca
82
83
dengan jelas hingga jarak sekitar 123 m saat bergerak pada kecepatan 12-19 km/jam. Tabel 30 menunjukkan standar tinggi karakter huruf pada rambu-rambu. Contoh rambu penunjuk arah seperti yang ditunjukkan pada gambar 43. Tabel 30. Standar Tinggi Karakter Huruf Pada Rambu Tinggi huruf (mm)
Jarak Maksimal Baca (m)
5 3 6 3,7 8 4,9 10 6,2 12 7,4 15 9,2 20 12,3 25 15,4 30 18,5 40 24,6 50 30 60 37 80 49,3 100 61,6 120 73,9 150 92,4 200 123,2 ( Sumber : Time-Saver for Landscape Architecture)
Kecepatan Lalu Lintas (km/jam) Pejalan kaki
Kendaraan 3-6 3-6 6-9 6-9 12-19 12-19 12-19
Tabel 31. Kesesuaian Kontras Warna Pada Rambu Latarbelakang Rambu Papan Rambu Bata merah atau dinding gelap Putih Bata terang atau dinding terang Hitam atau warna gelap Dinding putih Hitam atau warna gelap Vegetasi hijau Putih Back-lit sign Hitam (Sumber : Landscape Architect’s Pocket Book, 2009)
Legenda Rambu Hitam, hijau gelap atau biru gelap Putih atau kuning Putih atau kuning Hitam, hijau gelap atau biru Putih atau kuning
Gambar 43. Contoh Rambu-Rambu Penunjuk Arah Menuju Lokasi Evakuasi (Sumber : Standar Nasional dan ISO Rambu Evakuasi Menristek)
84
85
86
5.2.4. Rencana Vegetasi Vegetasi memiliki beragam fungsi dalam suatu kawasan permukiman. Beberapa manfaat dari penanaman vegetasi di kawasan permukiman diantaranya adalah untuk esetetika, ameliorasi iklim, pembatas, pembentuk ruang dan pengatur sirkulasi. Kota Pangalengan berada pada daerah dengan iklim sejuk karena berada pada ketinggian sekitar 1500 mdpl. Kota Pangalengan juga terletak pada kawasan berfungsi lindung di luar hutan lindung. Penanaman vegetasi non-produksi berperan penting untuk membantu penyerapan air di sekitar kawasan tersebut sehingga neraca air tidak terganggu. Selain itu vegetasi non-produksi seperti pepohonan besar dengan perakaran kuat dapat membantu mencegah longsor di area-area dengan persentasi kelerengan tinggi. Vegetasi produksi atau vegetasi budidaya (sayur-mayur, kebun teh) yang saat ini ada di Kota Pangalengan dapat dipertahankan. Pembangunan ruang terbuka hijau di kawasan permukiman bertujuan agar warga masyarakat tidak menggunakan kebun-kebun yang ada sebagai tempat pengungsian. Berdasarkan konsep yang telah ditentukan maka vegetasi di wilayah perencanaan dibagi ke dalam 4 jenis vegetasi sesuai dengan fungsinya yang terdiri atas vegetasi budidaya, vegetasi pengarah, vegetasi koservasi dan vegetasi penaung. Vegetasi budidaya berupa kebun-kebun campuran eksisiting berfungsi sebagai cadangan pangan pada saat penanganan pasca bencana. Sedangkan untuk vegetasi pengarah, konservasi dan penaung dapat memanfaatkan vegetasi endemik atau vegetasi lain yang sesuai dengan ekosistem kawasan perencanaan. Pemilihan jenis vegetasi untuk pengarah dan penaung diupayakan menyesuaikan dengan fungsi arsitektural sehingga menjadi efektif saat penerapan di kawasan. Gambar 46 menunjukkan ilustrasi fungsi vegetasi di kawasan perencanaan. Sedangkan rencana vegetasi ditunjukkan pada Gambar 47 dan Gambar 48.
87
(a)
(b)
(c) Gambar 46. Ilustrasi Fungsi Vegetasi di Kawasan Perencanaan. (a). Vegetasi Konservasi; (b) Vegetasi Pengarah; (c) Vegetasi Penaung;
88
89
45
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap Sumberdaya Yang perlu Diproteksi, Zona Bahaya, dan Kesesuaian Pengembangan dapat ditentukan hasil berupa luas kawasan yang sesuai untuk dikembangkan sebagai permukiman yaitu 41% dari total kawasan. Berdasarkan luas kawasan yang dapat dikembangkan dapat disusun rencana lanskap permukiman di Kecamatan Pangalengan. Kegiatan perencanaan permukiman difokuskan pada 5 desa yaitu Desa Pangalengan, Desa Margamukti, Desa Sukamanah, Desa Margamekar, dan Desa Margamulya. Konsep yang direncanakan meliputi konsep mitigasi, konsep pembagian ruang, konsep evakuasi, konsep sirkulasi, dan konsep vegetasi. Selain rencana lanskap disusun pula rencana tata ruang, rencana evakuasi, rencana sirkulasi dan rencana vegetasi. Tata ruang yang direncanakan berupa pola permukiman yang dibagi ke dalam satuan-satuan ketetanggan mulai dari tingkat KK, RT, RW, Desa dan Kecamatan. Zona-zona evakuasi direncanakan terdiri dari 3 tingkatan berdasarkan lokasi zona evakuasi tersebut yaitu zona evakuasi mikro, meso, dan
makro.
Ruang-ruang terbuka hijau dimanfaatkan sebagai zona evakuasi. Sirkulasi direncanakan terdiri dari 3 jenis jalan berdasarkan fungsinya dalam mengarahkan warga ke tempat-tempa evakuasi yaitu jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Vegetasi direncanakan dibagi ke dalam 4 jenis vegetasi berdasarkan fungsinya untuk mendukung kegiatan penanganan saat dan pasca bencana yaitu vegetasi konservasi, penaung, pengarah, dan budidaya.
6.2. Saran Penyusunan perencanaan ini dapat diperluas pada kawasan di luar 5 desa namun masih termasuk ke dalam kawasan yang sesuai untuk pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA [BAPPEDA]. 2004. Laporan Akhir Rencana Detail Tata Ruang Kota Pangalengan. Pemerintah Kabupaten Bandung. [BAPPEDA]. 2006. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor: 2 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. [BAPPEDA]. 2007. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 12 Tentang Lembaga Kemasyarakatan. [BNPB]. 2008. Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana [DPR-RI]. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tentang Perumahan dan Permukiman [DPR-RI]. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tentang Penataan Ruang [DPU]. 2006. Departemen Pedoman Teknis Rumah Dan Bangunan Tahan Gempa. Departemen Pekerjaan Umum. [DPU]. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa. [DPU]. 2009. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.06/PRT/M/2009 mengenai Pedoman Perencanaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Tsunami. Brahmantyo, B. 2005. Geologi Cekungan Bandung. [Tidak Dipublikasikan]. ITB Bronto, S., Koswara, A., dan Lumbanbatu, K. 2006. Stratigrafi Gunung Api Daerah Bandung Selatan. Jurnal Geologi Indonesia Vol. 1 No. 2 Juni 2006 [hal. 89101] DeChiara J, Koppelman, LE. 1978. Standar Perencanaan Tapak. Hakim J, penerjemah; Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Site Planning Standards. Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. 1983. Pedoman Perencanaan Lingkungan Pemukiman Kota. Bandung : Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.
93
Fabos, JG dan Stephanie, JC. 1976. Composite Landscape Assessment : Assessment Procedures for Spacial Resources, Hazards and Development Suitability; Part II of the Metropolitan Landscape Planning Model (METLAND). Massachusetts : Massachusetts Agricultural Experiment Station University of Masachusetts. Fabos, JG. 1979. Planning The Total Landscape : A Guide To Intelligenct Land Use. Colorado: Westview Press. Frick, H., Ardiyanto, A., Darmawan, AMS. 2008. Ilmu Fisika Bangunan : Pengantar Pemahaman Cahaya, Kalor, Kelembapan, Iklim, Gempa Bum, Bunyi, dan Kebakaran. Yogyakarta : Kanisius. Hardiyatmo, HC. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo. Harnadi, D dan Iskandar, N. 1996. Konservasi Air Tanah di Wilayah Kabupaten Bandung dan Sekitarnya. [Tidak Dipublikasikan]. Departemen Pertambangan dan Energi. Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral. Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan. Herawan, UC. 1989. Laporan Penyelidikan Geologi Lingkungan Daerah Garut, Cikajang, Pangalengan dan Sekitarnya, Jawa Barat. [Tidak Dipublikasikan]. Departemen Pertambangan dan Energi Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan. Hopper, L. 2007. Landscape Architectural Graphic Standard. New Jersey : John Wiley and Sons, Inc. Katharina, R. 2007. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usaha Tani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan Bandung. [Disertasi]. IPB. Kusuma, LE. 2001. Perencanaan Tapak Bumi Perkemahan Kawasan Wisata Alam Gunung Tujuh Taman Nasional Kerinci Seblat Kabupaten Kerinci, Jambi. [Skripsi]. IPB. Montgomery, CW. 2003. Environmental Geology Sixth Edition. New York: McGraw Hill.
94
Noor, D. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Nurisjah, S dan Pramukanto, Q. 1995. Penuntun Perencanaan Praktikum Lanskap. [Tidak dipublikasikan]. IPB. Santoso, D. 2002. Pengantar Teknik Geofisika. Bandung: Penerbit ITB. Setiawan, AN. 2008. Perencanaan Lanskap Kawasan Permukiman Bantaran Sungai Berbasis Bioregion [Skripsi]. Bogor, Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Simonds, JO. 1983. Landscape Architecture. New York : Mc.Graw-Hill Book Co. SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan Subagio dan Widijono BS. 2009. Struktur Geologi Bawah Permukaan Lintasa Pangalengan-Subang, Implikasinya Terhadap Kestablian Lahan. Pusat Survei Geologi. JSDG Vol. 19 No. 6 Desember 2009 Tjasyono, BHK. 2003. Geosains. Bandung: Penerbit ITB. Vernon, S., Tennant, R., dan Garmory, N. 2009. Landscape Architect’s Pocket Book. UK : Architectural Press. www.bamuisbni.com/content/fck/Image/2009/Gempa%20Pangalengan.jpg Februari 2010] www.earthquake.usgs.gov/earthquakes/world/index.php?regionID=12
[11
[21
Januari
2010] www.ekonomi.tvone.co.id [28 Oktober 2010] www.foto.detik.com/images/content/2009/09/03/157/pangalengan5.jpg [21 Februari 2010] www.matanews.com/wp-content/uploads/GempaPangalengan060909-3-590x432.jpg [21 Februari 2010] www.okezone.com [28 Oktober 2010] www.pikiran-rakyat.com/foto/tgl_03_09_2009/0309_pangalengan.jpg [21 Februari 2010]
95
www.pirba.hrdp-network.com/e5781/.../Strategi_MitigasiGertan_PVMBG.pdf Januari 2010] www.portal.vsi.esdm.go.id [11 Januari 2010] www.rol.republika.co.id [28 Oktober 2010] www.wikipedia.com/Disaster_mitigation.html [11 Januari 2010] www.wikipedia.com/Gempa_bumi.htm [11 Januari 2010]
[11