Perencanaan Kesehatan Berbasis Data Di Kabupaten Minahasa Utara
KUALITAS data yang meragukan, menciptakan gambaran kurang jernih mengenai kondisi program-program yang dikerjakan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Ini antara lain disebabkan oleh masalah pada pengumpulan dan pengelolaan data. Padahal data berkualitas, lengkap, dan sistematis sangat penting untuk menciptakan pelayanan bermutu. Hal inilah yang mendasari dimulainya sebuah pilot project kerjasama antara Proyek BASICS dan Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara dimulai pada pertengahan tahun 2010. Salah satu persoalan utama ketika itu adalah ketersediaan data bermutu dari tingkat paling bawah, yaitu petugas kesehatan di Desa (Polikliknik desa [Polindes], Puskesmas Pembantu [Pustu], dan Pos Kesehatan Desa [Poskesdes]). MASALAH diatas disebabkan oleh banyaknya format isian data yang menyulitkan pengumpulan dan rekapitulasi data, juga dipersulit dengan ketiadaan induk data (data master) yang dapat diakses dan menjadi rujukan bersama. Ini kemudian berimbas antara lain pada sulitnya menghitung Indeks Pencapaian SPM dan kurang maksimalnya pelaksanaan sebagian tugas Dinas Kesehatan.
• • • • • •
•
KOTAK 1 Masalah-masalah Pengelolaan Data Belum ada format pencatatan yang efektif dalam pengumpulan data. Banyak format pengumpulan data dengan berbagai pengulangan data, serta deskripsi operasional yang terbatas. Keduanya membuat pengelolaan data sering harus dilakukan secara manual. Data yang sama sering dikumpulkan secara berulang dan bukan merupakan pemutakhiran. Sumber data yang sama sering menghasilkan informasi berbeda untuk keperluan beragam. Rekapitulasi data minim dari Puskesmas, yang kemudian dijadikan dasar oleh Dinas untuk membuat laporan disertai analisis dan rekomendasi terbatas. Tidak ada data induk (master data) di Dinas Kesehatan yang terkoneksi dengan PuskesmasPuskesmas, yang dapat digunakan oleh seluruh bagian/bidang di Dinas Kesehatan. Penghitungan Indikator Pencapaian (IP) SPM tidak memadai, hanya mengandalkan angka persentase, tanpa dukungan data yang bisa dipertanggungjawabkan yang menghasilkan angka tersebut. Tupoksi SKPD (melakukan pembinaan teknis pelayanan dasar) dan (perencanaan, pemantauan dan evaluasi) tidak dapat dilaksanakan dengan benar karena kurangnya hasil analisis dengan dukungan kedalaman data. Pelaksanaan program juga dilakukan dengan sumber data terbatas. Belum ada SOP yang mengatur pengelolaan data di Kabupaten.
Sumber: Praktik Cerdas, Seri Lembaran Informasi BASICS No.9 - Februari 2013
Perihal ini menjadi sangat penting mengingat ketersediaan data valid dan regular dari level desa merupakan syarat pertama dari hadirnya rekapitulasi dan analisis data yang bermutu. Kondisi ini menciptakan kebutuhan untuk lebih serius menangani kerja pengumpulan dan pengolahan data sejak dari level terbawah. Ini berarti menyediakan segala perangkat yang dibutuhkan untuk memudahkan para petugas di unit-unit pelayanan level bawah, agar data yang dapat tercatat dengan
baik dan terhimpun dalam sistem penataan yang efektif.
PROSES RENTETAN persoalan pengelolaan data juga berhadapan langsung dengan Peraturan Menteri Kesehatan 741/MENKES/ PER/VII/2008 yang menetapkan 18 Indikator Pencapaian (IP) SPM bidang kesehatan. Ukuran pencapaian tersebut hanya dapat ditakar dengan menggunakan data mengenai penyelenggaraan pelayanan yang bermutu. Berangkat dari kebutuhan inilah BASICS menyelenggarakan bantuan teknis kepada Dinas Kesehatan dan unit-unit pelayanan (Puskesmas) di Kabupaten Minahasa Utara. Beragam isu dan tantangan pengelolaan data di atas coba dijawab dengan langkah-langkah yang kemudian memberi dampak positif kepada sistem pengelolaan data kesehatan dan perencanaan pelayanan kesehatan. Dengan dukungan proyek BASICS, sekitar pertengahan tahun 2010 Dinas Kesehatan Minahasa Utara (Dinkes Minut) mulai membangun sistem pengelolaan data yang dapat menjamin ketersediaan data berkualitas, mulai dari kerja pengumpulan, pencatatan, pelaporan, hingga analisa. Ini merupakan langkah awal uji coba untuk mengetahui apakah sistem baru ini dapat menjamin ketersediaan data. Dinkes Minut mulai dengan kaji cepat untuk mengetahui kebutuhan dan masalah yang berhubungan dengan pengelolaan data. Kemudian membentuk tim yang terdiri dari stafff Dinkes Minut untuk menyusun Standar Prosedur Operasional (SPO), sehingga akhirnya terbentuk SPO di lingkungan Dinas Kesehatan. Sebelum tim itu bekerja, mereka menyepakati untuk memprioritaskan membangun sistem dengan berfokus kepada ketersediaan data untuk melihat capaian SPM dan MDGs bidang kesehatan. Setelah itu, mereka beralih untuk membenahi pencatatan dan pela- poran, yang menghasilkan format pencatatan dan pelaporan baku untuk IP SPM dan MDGs. Mereka menyeleksi dan memodifikasi register dan format laporan yang digunakan tenaga kesehatan un- tuk mencatat data pelayanan, ketika mereka memberi pelayanan. Penyederhanaan dilakukan dalam bentuk mengurangi register pencatatan dari 5 menjadi 3, dari 79 menjadi 18 tabel dan dari 10 menjadi 3 format laporan. (Format laporan adalah rekapitulasi dari register, sementara tabel adalah bagian dari laporan itu sendiri). Dari proses inilah Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara kemudian mengembangkan formulir yang digunakan oleh bidan desa dan pemegang program di Puskesmas dalam pengumpulan dan pencatatan data dari tingkat desa. Bersamaan dengan itu dikembangkan pula aplikasi olah data di tingkat Puskesmas untuk memudahkan petugas Sistem Informasi Kesehatan (SIK) Puskesmas melakukan kompilasi data dari desa dan pemegang program di Puskesmas. Dengan cara demikian sejak tahun 2011 Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara dapat menghasilkan data kesehatan yang terpadu dan valid, utamanya terhadap penerapan SPM bidang kesehatan. Aplikasi SPM bidang kesehatan terdiri dari dua sub aplikasi, yaitu untuk Dinas Kesehatan dan untuk unit pelayanan (Puskesmas). Puskesmas melakukan pemasukan data dasar dan data program serta register kematian. Pemasukan data di Puskesmas menghasilkan laporan bulanan, termasuk pencapaian SPM bidang
kesehatan di wilayah kerja Puskesmas. Laporan bulanan Puskesmas merupakan rekapitulasi data dari unit pelayanan di wilayah kerja Puskesmas tersebut, yang merupakan perhitungan otomatis atas data yang telah diinput ke dalam aplikasi olah-data. Laporan bulanan dapat berbentuk tabel, grafik dan peta, yang menjadi bahan analisis bagi Kepala Puskesmas dalam pemberian informasi kesehatan. Sistem pencatatan dan pelaporan, dengan demikian, sudah mulai terbangun, meskipun beberapa Puskesmas belum dapat melakukannya secara menyuluruh dan tepat waktu. Di tahun 2014 ini, setiap bulan para petugas kesehatan bertemu di Puskesmas untuk Lokakarya Mini (Lokmin) tingkat Puskesmas, sebagai wadah perencanaan dan evaluasi di level Puskesmas, yang dipantau oleh kepala bidang terkait di Dinas Kesehatan. Pada kesempatan inilah mereka seharusnya mengumpulkan data dari unit-unit pelayanan di desa, namun kenyataannya tidak selalu demikian. Sementara di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten mereka sudah rutin menjakankan validasi data. Pengumpulan data berkala belum bisa berjalan secara maksimal, sebab tidak seluruh Puskesmas dapat menyerahkan laporan setiap bulan. Salah satunya karena data dari tingkat desa kadang datang terlambat.1 Dalam kondisi ideal, yang sudah berjalan di beberapa tempat, informasi pencapaian SPM kesehatan dapat diperbarui tiap bulan, bila suplai data dari Puskesmas berlajan lancar. Karena itu, menurut seorang anggota tim, ketersediaan data dari desa menjadi lebih penting ketimbang sistem aplikasi olah data.
Kotak 2 Langkah-Langkah Pelaksanaan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang mengikat untuk pelaksanaan pengelolaan data. SPO yang telah disusun ini mengatur pengolahan data, pengaturan pelaksana tugas sampai ke unit/satuan pelayanan, dan aturan wewenang penugasan. Tenaga ini sekurangya telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas. Kompilasi Data. Data pelayanan yang berjumlah besar dan sering berulang, disederhanakan dan disatukan ke dalam data induk (master data), yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Kompilasi data ini sudah terpilah antara laki-laki dan perempuan, dan ditata di dalam program aplikasi komputer. Program aplikasi. Penyusunan program aplikasi sederhana dalam MS Ecxel, yang dibuat untuk dua tempat berbeda, yaitu di Dinas Kesehatan dan di Puskesmas. Pelatihan dilakukan menurut peringkat, yaitu pelatihan bagi operator untuk penanganan data, pelatihan bagi pengelola untuk pengolah data, dan pelatihan bagi manajemen untuk analisis data dan pelaporan informasi. Pelatihan peringkat operator diberikan kepada Puskesmas. Pelatihan peringkat pengelola diberikan kepada Dinas Kesehatan, Bidang Perencanaan. Sedangkan pelatihan peringkat manajemen diberikan kepada Bidang Program di Dinas dan Kepala Puskesmas. Pendampingan teknis. 1) perhitungan Indikator Pencapaian (IP) SPM atas cakupan pelayanan yang telah diberikan dalam tahun berjalan. Ini berhubungan dengan 2) analisis kesenjangan antara hasil perhitungan IP SPM dengan angka yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, dan 3) perhitungan proyeksi IP SPM tahunan sampai dengan batas tahun yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan. (Data historis tidak mudah diperoleh untuk SPM Bidang Kesehatan, misalnya data historis penyebab kematian ibu hamil/bersalin/nifas/komplikasi kebidanan secara spesifik dan bukan secara umum disebutkan misalnya karena “terlambat”).
MENERUSKAN INOVASI KINI MEREKA lebih terfokus melanjutkan perbaikan sistem pengelolaan data di tingkat Puskesmas, agar pengelolaan data di level Dinas Kesehatan dapat berjalan baik. Ke tika sistem pengelolaan data sudah terbangun utuh di Puskesmas, kerja selanjutnya di level kabupaten semakin efisien, sebab mereka tidak perlu khawatir soal ketersediaan data yang valid. Mereka tinggal berpikir untuk mengolahnya dengan berbagai cara. Di level selanjutnya, Dinas Kesehatan melakukan pengelolaan data berupa kompilasi, rekapitulasi dan ‘rekonsiliasi’ data yang diperoleh dari Puskesmas, serta data dasar dan data program yang tidak dapat diperoleh dari Puskesmas (misalnya data dari rumah sakit). Dari sinilah Dinas Kesehatan menghasilkan laporan bulanan pencapaian SPM bidang kesehatan Kabupaten. Laporan bulanan ini dihasilkan dalam bentuk tabel, grafik dan peta menurut kecamatan, untuk digunakan dalam analisis oleh bidang program Dinas Kesehatan dan menghasilkan informasi kesehatan untuk dilaporkan kepada pimpinan daerah dan masyarakat luas. Dengan begitu, data IP SPM dan MDGs bidang kesehatan dan Profil Kesehatan yang lebih bermutu sudah dihasilkan. Sebelumnya, Profil Kesehatan ini tidak tercatat dengan baik. Pengembangan sistem, aplikasi, berikut pengadaan sarana dalam bentuk komputer merupakan langkah awal untuk membuat sebuah sistem jaringan data yang terintegrasi. Untuk itu, mereka merencanakan pengadaan komputer khusus untuk mengelola data di setiap Puskesmas, meski belum bisa sampai ke desa-desa. Mereka akan menyediakan sebuah server untuk melayani dan menghubungkan beberapa work station sebagai satu unit yang terintegrasi. Misalnya untuk menghubungkan bagian pendaftaran, apotik, unit pelayanan KIA, dan farmasi di satu Puskesmas, jaringan ini akan mengintegrasikan masing-masing bagian tersebut, walaupun di tahap awal masih berbasis offline. Mereka pun berencana untuk membangun pangkalan data (database) terintegrasi berbasis online. Pada dasarnya pengembangan data base itu sejak awal memang dirancang sebagai bagian dari sebuah sistem online yang dapat menyatukan seluruh database ke dalam satu data induk (master data). Karena sasaran utama pengembangan sistem ini adalah mengasilkan tabel profil kesehatan yang terpadu, penting untuk menyatukan seluruh database ke sistem data induk. Bila semua sudah terhubung, petugas tidak perlu memasukkan data yang sama berulang-ulang di level berbeda. Jadi database dalam sistem di setia[ Puskesmas langsung terhubung secara online, di mana sudah siap 79 tabel yang dapat diisi. Setelah sistem data online terbangun, masing-masing bidang di Dinas Kesehatan Kabupaten dapat mengakses langsung data dari Puskesmas yang terkait dengan bidangnya tanpa harus menunggu dikeluarkannya data rekapitulasi dalam bentuk Profil Kesehatan Kabupaten. Ini sangat mendukung kerja bidang-bidang yang memerlukan data spesifik yang tidak tercakup dalam Profil Kesehatan. Perkembangan ini menunjukkan bahwa kerja-kerja pengembangan sistem manajemen data sebelumnya telah menjadi dasar atau landasan untuk proses pengembangan selanjutnya. Mereka
tinggal melakukan perbaikan-perbaikan untuk mengatasi kekurangan- kekurangan yang mereka temukan. “Sudah capek membangun dan tinggalkan. Kalau kita bangun yang baru, berarti kita seolah mulai dari nol saja. Jadi apa yang sudah ada tinggal tingkatkan, supaya bisa berfungsi dengan baik, dan menjamin data bisa tersedia dengan baik,” kata seorang petugas SIK. MENGAWAL KEBERLANJUTAN DEMI MENGAWAL keberlanjutan sis tem ini serangkaian kegiatan dise lenggarakan secara berkala. Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara dengan dukungan Proyek BASICS, misalnya, melakukan kegiatan validasi data secara bertahap mulai dari tingkat Puskesmas hingga Kabupaten. Pertemuan validasi data SPM Kesehatan tingkat Puskesmas diikuti oleh semua bidan desa, pemegang program di Puskesmas dan petugas SIK. Pertemuan tiga bulanan yang dipimpin oleh Kepala Puskesmas ini dilakukan untuk mengumpulkan, memverifikasi dan merekapitulasi data mulai dari tingkat desa untuk mendapatkan data kesehatan yang valid di tingkat Puskesmas. Hasil rekapitulasi data dari pertemuan ini kemudian dibawa ke pembahasan serupa di tingkat Kabupaten. Pertemuan validasi data SPM Kesehatan tingkat kabupaten diikuti oleh Kepala Puskesmas, Petugas SIK dan Bidan Koordinator dari 11 Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara. Pada pertemuan validasi data di tingkat Kabupaten verifikasi dan penyesuaian data dilakukan antara petugas pengelola data di Puskesmas dengan pemegang program di Dinas Kesehatan Kabupaten yang terdiri dari Bidang Kesehatan Keluarga, Bidang Pelayanan Kesehatan, Bidang Promosi Kesehatan dan Bidang Penanggulangan Penyakit Menular. Hasil validasi masingmasing bidang dengan Puskesmas ini kemudian dikompilasi oleh Petugas SIK Kabupaten menjadi data kabupaten yang sudah terverifikasi dan tervalidasi. Data inilah yang nantinya akan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi maupun Kementerian Kesehatan. Mulai tahun 2010 sampai 2013 Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara sudah punya data bermutu dan cukup teratur, sehingga mereka yakin isi buku Profil Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara Tahun 2013 sudah jauh lebih berkualitas. Profil Kesehatan ini merupakan rekapitulasi dari laporan bulanan yang dibuat oleh para petugas kesehatan di desa dan Puskesmas. Para petugas di Puskesmas pun termotivasi untuk membuat olahan data yang lebih berkualitas. Sebelum itu, data profil mereka buat seadanya saja. Seluruh kerja ini juga kemudian mendorong peningkatan anggaran untuk pengelolaan data. “Dari sebelumnya tidak ada menjadi ada,” ungkap seorang anggota tim. Dari proses perbaikan sistem pendataan itu mereka menemukan bahwa memang banyak masalah dalam hal konten data, yang mereka temukan ketika melakukan validasi data secara reguler. Sehingga dibutuhkan tambahan dana untuk melakukan semua perbaikan tersebut. Di Kabupaten Minahasa Utara, dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar hampir 1 miliar rupiah kemudian dimanfaatkan khusus untuk pengembangan sistem informasi di Puskesmas. Ini sekaligus dilakukan untuk menunjang pelayanan Puskesmas semisal mempercepat waktu tunggu pelayanan, yang merupakan bagian dari mandat dana JKN. Dengan begitu, input data pelayanan menjadi lebih teratur. Mereka berencana,
sistem ini juga akan digunakan untuk menginput data dari unit-unit pelayanan di desa.
TANTANGAN SEJUMLAH TANTANGAN yang ditemui dalam mengembangkan sistem pengelolaan data terpadu ini cukup beragam. Salah satu yang cukup penting adalah watak pengelolaan dan penggunaan data yang masih cenderung top-down sehingga kerap mengabaikan sistem pengumpulan dan pengolahan data di level terbawah. Ini menciptakan beragam kendala dari lapangan hingga level selanjutnya. Pengumpulan data. Kendala pengumpulan data sudah muncul di level terbawah. Bidan, misalnya, tidak diminta untuk menghitung tapi hanya mencatat kemudian memindahkannya ke dalam laporan untuk kemudian dikirima ke Puskesmas. Kerja ini sangat tergantung oleh para bidan di lapangan, dan mereka meminta insentif bila mesti melakukan kerja lebih berupa pencatatan (pengumpulan) dan rekapitulasi data tersebut. Akibatnya, di tahap validasi data yang dilakukan di level Dinas Kesehatan, sering ditemukan ketidakcocokan data antar-bidang di Dinas Kesehatan Kabupaten. Apalagi validasi data berjenjang tidak berjalan dengan lancar. Saat itu, untuk menyelesaikan masalah tersebut, mereka menggunakan data yang disepakati bersama. Konsistensi. Di masa awal, sulit menemukan ketegasan mengenai data yang digunakan. Misalnya, kesepakatan untuk memakai data Sistem Informasi Kesehatan (SIK) demi menyatukan data semua bidang ternyata tidak berjalan. Masing- masing bidang di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten masih mempertahankan data mereka, yang dihimpun secara terpisah. Dalam unit data yang sama, selalu ada data yang menunjukkan angka berbeda, dan masing-masing bidang/bagian mempertahankan data mereka. Ini kerap berujung pada ‘bentrok’ antara SIK dan bidang/bagian. Salah satu persoalannya adalah bidang/ bagian harus membuatnya konsisten dengan hasil olah data yang dibuat masing-masing bidang di level Dinas Kesehatan Provinsi. Sehingga isu ini sebenarnya juga membutuhkan dukungan Dinas Kesehatan Provinsi, dengan memberi ketetapan bahwa data dari Provinsi harus “satu pintu”, misalnya lewat Balai Data Propinsi, yang menghimpun data dari bidang- bidang ataupun UPT (Unit Pelayanan Terpadu) yang ada di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi. Masalah pun muncul saat pemutakhiran data di tingkat provinsi. Bappeda biasanya meminta menggunakan data Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dalam pemutakhiran untuk proses penganggaran, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan cakupan sasaran pelayanan (misalnya, angkanya jadi lebih kecil dari sasaran layanan yang ada di wilayah Puskesmas). Inkonsistensi data pun berlanjut hingga di level nasional. Misalnya, sulit menjamin data yang dikeluarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (Pusdatin) konsisten dengan data dari Dirjen Penanggulangan Penyakit Menular (P2M) dan Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK). Karena itu, payung hukum untuk mengatur keberadaan satu data resmi yang digunakan oleh semua (yaitu, data SIK) sangat dibutuhkan. Sebuah Peraturan Pemerintah (PP) mengenai SIK sebenarnya bisa menjamin agar Kabupaten punya Unit Pelaksana Teknis SIK, yang dapat berperan sebagai penyedia tunggal informasi dan data. Dengan begitu, data dapat digunakan oleh berbagai pihak, misalnya bila Humas Pemkab hendak mengumumkan pernyataan,
informasi yang mereka sampaikan bisa berbasis data. BEBERAPA persoalan ini masih ditambah lagi, atau justru bersumber, dari hambatan-hambatan yang erat kaitannya dengan kebijakan dan peraturan di level Pemerintah Kabupaten seperti : Mutasi. Pengelolaan data dan sistem aplikasi baru tumbuh pesat setelah terjadi pergantian Kepala Dinas, seperti yang terjadi pada pengelolaan data untuk SPM bidang kesehatan di Kabupaten Minahasa Utara. Selain itu, mutasi juga tidak jarang terjadi terhadap pengelola SIK di Puskesmas. Ini membuat pengganti mereka harus belajar ulang sebelum dapat mengoperasikannya dengan baik, sementara data harus dihimpun dan dikelola secara berkala untuk mensuplai Laporan Bulanan. Anggaran. Di balik seluruh pencapaian di atas, komponen belanja langsung pada APBD untuk peningkatan kapasitas pengelolaan data masih rendah. Pengembangan manajemen data dan pelatihan SDM pada APBD termasuk dalam belanja langsung peningkatan kapasitas. Dengan keterbatasan APBD dan prioritas politik anggaran, alokasi belanja untuk itu masih rendah, bahkan untuk belanja langsung program pelayanan alokasinya hanya sedikit meningkat. Sebagian besar dana bersumber dari pemerintah pusat, untuk tujuan kepentingan yang berbeda, sehingga sulit membangun kerja berkesinambungan untuk daerah. Kondisi ini membutuhkan penguatan peran provinsi untuk mendukung pencapaian SPM dengan sumber APBD provinsi. Perhitungan keuangan. Pengembangan sistem manajemen data ini belum dilengkapi dengan perhitungan keuangan. Pengelolaan data yang telah disampaikan di atas dikembangkan pada tahun 2010 sampai tahun 2011. Perhitungan kebutuhan keuangan untuk pencapaian SPM kemudian dikembangkan pada tahun 2012 karena akan adanya alokasi dana dari provinsi. PEMBELAJARAN Sistem manajemen data ini juga mewariskan rententan pembelajaran bagi pihak- pihak yang terlibat. Intensitas kerja. Seorang anggota tim mengungkapkan kesadaran baru bahwa mendukung pengembangan dan perawatan suatu sistem baru bukanlah proses yang mudah. Membangun sistem berarti memulai dari kajian tentang persoalan yang dihadapi dan kebutuhan untuk pengembangan tersebut. Setelah itu barulah pekerjaan pengembangan sistemnya sendiri baru bisa dimulai. Ini berbeda dengan menerima disain yang datang dari level atas dan tinggal menjalankannya. Sehingga proses ini hingga taraf tertentu membentuk pengalaman baru yang penting untuk pengembangan kinerja di level bawah. Fokus di level bawah. Kerja-kerja yang berhubungan dengan pengelolaan data dulunya sering berfokus dan merujuk dari level paling atas, antara lain karena data terolah biasanya disuplai dari atas. Padahal sebagian besar kerja pelayanan, dan dengan begitu pengumpulan data, ada di level paling bawah. Diperlukan upaya untuk mengubah persepsi demi meyakinkan berbagai pihak terkait bahwa ketika data dari bawah sudah terjamin, kerja selanjutnya akan lebih mudah. Hal serupa juga seharusnya terjadi dalam penganggaran. Keberadaan data dapat meyakinkan bahwa anggaran program memang harus lebih banyak ketimbang yang lain, seperti pembinaan.
Ini akan menciptakan kemajuan dari kerja dan capaian rutin sebagaimana terjadi selama ini. Sehingga pertanggungjawaban keuangan menjadi lebih bermakna, karena terbentuknya capaian-capaian baru. Karena itu, tahun ini mereka berusaha untuk meningkatkan keterlibatan Puskesmas, sebab mereka adalah ujung tombak di lapangan yang berhadapan langsung dengan warga. Informasi bermutu sangat dibutuhkan, misalnya, untuk melaksanakan tugas penyuluhan. Mereka pengumpul sekaligus pengguna data. Salah satu penyebab terfokusnya pengelolaan data di Dinas Kesehatan adalah dana operasional yang lebih banyak ‘menumpuk’ di Dinas Kesehatan. Padahal, menimbang Puskemas dan unit pelayanan di desa-desa sebagai pelaksana utama program- program pelayanan di ruang lingkup Dinas Kesehatan, seharusnya dana tersebut lebih tersebar. Bila dana untuk pelayanan sudah minim, untuk pengelolaan data umumnya lebih sedikit lagi. Peningkatan pengetahuan. Tim pengelola data di Puskesmas dapat menambah pengetahuan, karena orientasi mereka terhadap data menjadi jauh lebih tinggi. Mereka pun telah dilatih Sistem Informasi Kesehatan (SIK) Kabupaten dengan anggaran APBD, dan diharapkan profil kesehatan kabupaten tahun 2013 bisa hadir dalam bentuk olahan dan analisis data yang lebih baik, dengan penampilan data lewat peta tematis yang mudah dipahami. Dari pembelajaran ini mereka mulai menggunakan disain peta untuk menampilkan data sampai ke level Puskesmas. Dinas Kesehatan Kabupaten berharap bahwa metode ini juga akan merambat ke seluruh Puskesmas. Beberapa Puskesmas sudah membuat profil yang baik, sehingga Dinas Kesehatan Kabupaten mulai memikirkan untuk memberi semacam penghargaan bagi mereka yang benarbenar berusaha bekerja dengan baik. Akhirnya terlihat kecenderungan bahwa semua Puskesmas berlomba-lomba untuk membuat Profil Kesehatan yang lebih baik. Staf yang berfungsi ganda. Kesulitan lain tercipta ketika staf yang bertugas mengelola data harus merangkap pekerjaan lain. Kerja pengelolaan data di level Dinas Kesehatan Kabupaten, misalnya, lumayan menyita waktu dan tenaga. Karena itu, staf yang melaksanakannya selayaknya bukan merupakan petugas yang ‘dipinjam’ dari bidang lain. Ketika orang tersebut tidak fokus ke tugas utamanya, maka tugas tersebut akan sedikit terbengkalai, demikian pula sebaliknya. Persoalan ini masih belum dapat diatasi sepenuhnya. Di Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara, sementara ini sudah ada dua orang lain yang dipersiapkan untuk ikut menangani pengelolaan data, meski mereka pun masih tetap merangkap tugas lain. Data bulanan. Sistem ini belum mampu menyelesaikan soal penganggaran, bukan karena masalah di dalam sistem itu sendiri, namun karena data yang belum tersedia secara teratur. Data tahunan (Profil Kesehatan) dan triwulan memang sudah tersedia, namun tidak demikian dengan data bulanan dari Puskesmas (Laporan Bulanan). Ini pun membutuhkan aturan baku untuk penyediaan format data seragam yang harus diisi setiap bidang. Sekarang setiap bidang masih memasukkan data secara terpisah dengan format berbeda. Data, unicost, dan penganggaran. Pada level perkembangan selanjutnya, penghitungan biaya per unit pelayanan (unit cost) sangat bergantung kepada ketersediaan data. Tanpa data, unit cost tak dapat dihitung. Sementara ketersediaan data dibangun dari sistem pengelolaan data yang bermutu. Tanpa sistem yang baik, sulit untuk mendapatkan data bermutu, karena keberadaan dan mutu data tidak bisa diprediksi. Oleh karena itu, sistem ini sangat diperlukan agar data
betul- betul dapat menjamin akurasi kebutuhan anggaran. Sehingga, bila penganggaran yang lebih akurat membutuhkan data berkualitas, sistem pangkalan data terintegrasi bisa menjamin data tersebut. Oleh sebab itu, sistem pangkalan data yang komprehensif dapat menghasilkan bahan advokasi anggaran yang kokoh, bukan sekedar hitung-hitungan berdasarkan “perkiraan”, melainkan sesuai kebutuhan aktual yang berbasis data. Juga dapat mengidentifikasi masalah dengan melihat indikator-indikator yang ada di dalam sistem tersebut.