PERENCANAAN JARINGAN DIGITAL TV-BROADCAST VIA SATELIT PADA FREKUENSI KU-BAND DI INDONESIA
Disusun Oleh :
NAMA
: Ina Risnawati
NIM
: 4140411-182
Peminatan Teknik Telekomunikasi Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Industri 2008
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tugas Akhir :
PERENCANAAN JARINGAN DIGITAL TV-BROADCAST VIA SATELIT PADA FREKUENSI KU-BAND DI INDONESIA
Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Pendidikan Strata-1 Program Studi Teknik Telekomunikasi, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Mercubuana
Disetujui Oleh :
Pembimbing
Koordinator Tugas Akhir
(Ir. Said Attamimi, MT)
(Yudhi Gunardi ST, MT)
Mengetahui Ketua Program Studi Teknik Elektro Universitas Mercu Buana
(Ir. Budi Yanto H. MSc)
ABSTRAK
Saat ini sistem TV Broadcast sudah dapat menggunakan teknologi komunikasi satelit. Sistem ini memungkinkan pengguna jasa komunikasi satelit untuk dapat menyaksikan siara TV di mana saja selama masih dalam wilaya cakupan satelit tersebut. Tugas akhir ini membahas perencanaan sebuah jaringan Digital TVBroadcast via satelit Palapa C-2 pada frekuensi Ku-band dari sudut pandang aspek teknis dan ekonomis, di mana analisanya dilakukan dengan menempatkan diri sebagai pihak konsultan bagi pihak broadcaster yang ingin membangun sebuah jaringan TV-Broadcast nasional yang handal, yang tentunya memenuhi standarstandar yang diberlakukan oleh pihak regulator. Indonesia yang merupakan negara tropis dengan curah hujan tinggi menjadi sebuah masalah utama bagi perencanaan satelit yang menggunakan frekuensi Kuband. Dari analisa teknis yang dilakukan, diketahui bahwa untuk menyalurkan data berupa video format MPEG2 pada bitrate 5 Mbps dengan bandwidth 5063.8 KHz, diperlukan C/N sebesar 10.8 dB pada kondisi availability sistem sebesar 98%. Dan untuk mencapai kualitas link yang mampu memenuhi BER 10-7 tersebut, maka diperlukan daya pancar stasiun bumi sebesar 60.3 dB dengan OBO transponder sebesar 10.8 dB dan TVRO yang digunakan berdiameter 1 meter. Sedangkan dari analisa ekonomis yang dilakukan, diketahui bahwa bandwidth yang perlu disewa untuk mencapai kualitas link yang diinginkan tersebut adalah sebesar 16744 KHz.
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim. Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirobbil’alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allas SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “ Perencanaan Jaringan Digital TV-Broadcast Via Satelit Pada Frekuensi Ku-Band Di Indonesia” dengan baik. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah untuk merencanakan suatu jaringan TVBroadcast via satelit yang handal sehingga didapatkan pertimbangan yang menyeluruh bagi implementasi teknologi satelit ini di suatu perusahaan stasiun TV. Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak sekali mendapatkan bantuan moril dan materil yang tak ternilai harganya dari berbagai pihak. Dengan penuh kerendahan hati, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Said Attamimi, selaku Dosen Pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. 2. Pimpinan dan seluruh staf PT. Indosat Tbk, Satsiun Bumi Jatiluhur, yang telah banyak membantu penulis dalam proses pengambilan data/bahanbahan tulisan dan memberikan bimbingan serta pengarahan hingga Tugas Akhir ini selesai. 3. Pimpinan dan seluruh staf PT. Aplikanusa Lintasarta, yang telah banyak membantu dalam proses dalam proses pengambilan data/bahan-bahan tulisan dan memberikan bimbingan serta pengarahan hingga Tugas Akhir ini selesai. 4. Kedua orang tua tercinta serta saudara-saudara yang memberikan dorongan dan dukungan secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir dengan baik. 5. “Seseorang” yang selalu memberikan semangat, perhatian, cinta dan kasih sayang sepanjang waktu.
6. Rekan-rekan seperjuangan Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Industri. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk saran dan kritik yang membangun guna kesempurnaan Tugas Akhir ini. Akhirnya, penulis berharap semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, Februari 2008 Penulis
INA RISNAWATI 4140411-182
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR SINGKATAN
ix
DAFTAR ISTILAH
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang Masalah
1
1.2
Rumusan Masalah
2
1.3
Batasan Masalah
2
1.4
Tujuan
3
1.5
Metoda Penelitian
3
1.6
Sistematika Penulisan
4
BAB II
DASAR TEORI
6
2.1
Sistem Komunikasi Satelit
6
2.1.1
7
Spektrum Frekuensi Satelit
2.1.2 Transponder Satelit
7
2.1.3 Stasiun Bumi
8
2.2
TV – Broadcast Via Satelit
10
2.3
Perhitungan Link
12
2.3.1 Redaman Feeder Tx/Rx
12
2.3.2 Gain Antena
12
2.3.3 EIRP (Effective Isotropic Radiated Power) 13
BAB III
2.3.4 Redaman Salah Sorot
14
2.3.5
14
Free Space Loss (FSL)
2.3.6 Redaman Hujan
14
2.3.7
Redaman Gas Atmosfer
17
2.3.8
Saturated Fixed Density
18
2.3.9
Figure Of Merit (G/T)
18
2.3.10 IBO/OBO (Input/Outpu Back Off)
19
2.3.11 PAD (Power Attenuator Density)
19
2.3.12 Power dan Bandwidth
19
2.3.13 Noise Power
20
2.3.14 Isotropic Receive Level (IRL)
20
2.3.15 Carrier To Noise Ratio (C/N)
21
2.3.16 Carrier To Noise Required (C/Nreq)
21
2.3.17 Availability
22
2.3.18 Pengkodean
23
2.3.19 Teknik Modulasi
23
2.3.20 Metoda Akses
24
MODEL DAN DATA PERENCANAAN
25
3.1
Model Perencanaan
25
3.2
Data-Data Perencanaan
26
3.2.1
Posisi Stasiun Bumi Terhadap Satelit
26
3.2.2
Spesifikasi Layanan
27
3.2.3
Spesifikasi Satelit
28
3.2.4
Spesifikasi Pemancar
29
3.2.5
Spesifikasi TVRO
29
3.2.6 Tarif BHP Frekuensi
29
3.2.7 Tarif Sewa Transponder
30
3.2.8 Tarif Sewa Pemancar Dan Tail-Link Indosat Untuk Fixed TV Up-Link
31
BAB IV
PERENCANAAN JARINGAN 4.1
Konfigurasi Jaringan
32
4.2
Perhitungan Link Availability
32
4.3
Perhitungan Link
35
4.4
Perhitungan Equipment Availability
38
4.5
Perhitungan Biaya
38
4.5.1 BHP Frekuensi
39
4.5.2
39
Biaya Sewa Transponder
4.5.3 Biaya Sewa Pemancar Dan Tail-Link Indosat
BAB V
PENUTUP 5.1
Kesimpulan
41
5.2
Saran
41
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
40
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
: Konfigurasi Sistem Komunikasi Satelit
6
Gambar 2.2
: Grafik Karakteristik Transponder
7
Gambar 2.3
: Blok Dasar Stasiun Bumi
8
Gambar 2.4
: Konfigurasi Jaringan TV-Broadcast via Satelit
10
Gambar 2.5
: Parameter Perhitungan Link
12
Gambar 2.6
: Model Geometri Pengukuran Redaman Hujan
15
Gambar 3.1
: Diagram Alir Perencanaan Jaringan TV-Broadcast
25
Gambar 3.2
: Konfigurasi Umum Satelit Palapa C-2
28
Gambar 3.3
: Coverage Area Satelit Palapa C-2
28
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
: Spektrum Frekuensi Satelit
7
Tabel 2.2
: Curah Hujan di Berbagai Belahan Bumi
16
Tabel 3.1
: Posisi Stasiun Bumi Terhadap Satelit
26
Tabel 3.2
: Spesifikasi Layanan
27
Tabel 3.3
: Biaya Penggunaan Transponder untuk Penggunaan Dalam Negeri Transponder Parsial Pemakaian Tetap
31
Tabel 3.4
: Biaya Penggunaan Fixed TV Up-Link Pemakaian Tetap
31
Tabel 3.5
: Biaya Penggunaan Tail-Link Jakarta – Jatiluhur Pemakaian Tetap
Tabel 4.1
: Intensitas Hujan (R0.01) di Indonesia
Tabel 4.2
: Perhitungan Link Calculation Satelit Untuk Antena TVRO 0.6 Meter
Tabel 4.3
35
36
: Perhitungan Link Calculation Satelit Untuk Antena TVRO 1.2 Meter
Tabel 4.5
34
: Perhitungan Link Calculation Satelit Untuk Antena TVRO 1 Meter
Tabel 4.4
31
36
: Perbandingan Kapasitas Carrier Per Transponder Yang Digunakan
37
Tabel 4.6
: Tarif Sewa Transponder
37
Tabel 4.7
: Biaya Sewa Transponder
39
Tabel 4.8
: Biaya Sewa Pemancar Indosat untuk Fixed TV Up-Link Dan Biaya Sewa Tail-Link Jakarta-Jatiluhur
Tabel 4.9
: Alokasi Biaya Total
40 40
DAFTAR SINGKATAN
BEC
: Backward Error Correction
BER
: Bit Error Rate
BHP
: Biaya Hak Pengguna
CCIR
: Comite Consultatif International en Radiodiffusion
CDMA
: Code Division Multiple Access
C/N
: Carrier to Noise Ratio
C/Nreq
: Carrier to Noise Required Ratio
C/IM
: Carrier to Intermodulation Ratio
C/I
: Carrier to Interference Ratio
DIU
: Digital Indoor Unit
DVB
: Digital Video Broadcasting
Eb/No
: Energy-bit to Noise Ratio
EIRP
: Effective Isotropic Radiated Power
ETSI
: European Telecommunication Standards Institute
FDMA
: Frequency Division Multiple Access
FEC
: Forward Error Correction
FSL
: Free Space Loss
G/T
: Gain to Noise Temperature Ratio
HPA
: High Power Amplifier
HPBW
: Half Power Beamwidth
IBO
: Input Back Off
IEC
: International Electrotechnical Commision (part of the ISO)
IRL
: Isotropic Receive Level
ISO
: International Standards Organization
LNA
: Low Noise Amplifier
LNB
: Low Noise Block
Modem
: Modulator-Demodulator
MPEG
: Motion Pictures Experts Group
MTBF
: Mean Time Between Failure
MTTR
: Mean Time To Repair
OBO
: Output Back Off
OMT
: Orthomode Tranducer
PAD
: Power Attenuator Density
PAL
: Phase-Alternating Line
QPSK
: Quadrature Phase Shift Keying
RF
: Radio Frequency
RFT
: Radio Frequency Transceiver
SDTV
: Standard Definition Television
SFD
: Saturated Flux Density
SSPA
: Solid State Power Amplifier
S/N
: Signal to Noise Ratio
TDMA
: Time Division Multiple Access
TVRO
: Television Receive Only
TWTA
: Traveling Wave Tube Amplifier
DAFTAR ISTILAH
Availability
: Parameter
dalam
sistem
komunikasi
radio
yang
menggambarkan bahwa sistem, link dan terminal telah memenuhi persyaratan operasional Bandwidth
: Lebar pita frekuensi
BER
: Perbandingan data yang error terhadap jumlah data yang dikirim seluruhnya.
Bit rate
: Ukuran kecepatan data digital
Coding Gain
: Penurunan Eb/No terhadap BER yang sama apabila kita memakai pengkodean
C/N
: Perbandingan antara daya carrier dan daya noise. Besaran ini menunjukan kualitas dari sinyal RF yang diterima.
Downlink
: Hubungan komunikasi arah turun dari satelit ke stasiun bumi
Feeder
: Pencatu antena yang menyalurkan daya dari panguat daya ke antena
FEC rate
: Perbandingan antara jumlah bit informasi dengan jumlah bit yang ditransmisikan
IDU
: Perangkat stasiun bumi yang berada di dalam ruangan (modem)
Interferensi
: Gangguan terhadap sinyal asli (sinyal yang tidak diinginkan)
Intermodulasi
: Gangguan
yang
terjadi
akibat
pemakaian
carrier
transponder secara bersama oleh beberapa user Ku-Band
: Spektrum frekuensi yang dipakai dalam hubungan komunikasi satelit dengan frekuensi uplink 13.790 Mhz – 14.450 Mhz dan frekuensi downlink 10.990 Mhz – 11.650 Mhz.
Latitude
: Garis Lintang
Longitude
: Garis Bujur
Margin
: Cadangan daya yang harus disediakan oleh sistem agar sistem tersebut memenuhi kualitas tertentu.
ODU
: Perangkat stasiun bumi yang berada di luar ruangan (antenna, LNA)
Role of Factor
: Bilangan yang menunjukan unjuk kerja filter
Transponder
: Bagian dari satelit yang berfungsi sebagai amplifier (penguat sinyal)
TVRO
: Stasiun bumi yang hanya berfungsi sebagai penerima siaran TV dari satelit
TWTA
: Jenis penguat yang biasa dipakai pada transponder satelit
Up Link
: Hubungan komunikasi arah naik dari stasiun bumi ke satelit.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A
: Grafik Eb/No
Lampiran B
: Peta Wilayah Hujan
Lampiran C
: Tabel Koefisien Redaman Spesifik Hujan k dan α
Lampiran D
: Spesifikasi Teknis Satelit
Lampiran E
: Tabel Elevasi-Temperatur Antena, Bandwidth-C/IM, Diameter Efisiensi Antena, Elevasi-Posisi Stasiun Bumi terhadap satelit
Lampiran F
: BHP Frekuensi
Lampiran G
: Availability, Loss dan Redaman Propagasi, Delay Propagasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1
L atar Belakang Masalah Kemajuan teknologi informasi pada saat ini terus berkembang seiring dengan kebutuhan manusia yang menginginkan kemudahan, kecepatan, dan keakuratan dalam memperoleh informasi. Oleh karena itu kemajuan teknologi informasi harus terus diupayakan dan ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Saat ini perkembangan teknologi telekomunikasi cukup pesat, dan ini terjadi juga pada teknologi komunikasi satelit. Jika dibandingkan dengan teknologi terestrial, sistem komunikasi satelit memiliki kelebihan di sisi luas wilayah cakupan layanan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan informasi di daerah yang belum terpasang jaringan komunikasi terestrial. Pemanfaatan satelit komunikasi untuk siaran TV memalui satelit sudah dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat serta negaranegara di Eropa sejak tahun 1980-an. Kemajuan yang telah dicapai oleh satelit komunikasi itu sudah pasti akan merambat ke negara-negara lain, khususnya negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia yang tak lepas ikut pula meramaikan atau merasakan bagaimana apa yang disebut dengan siaran TV melalui satelit. TV merupakan media informasi yang baik untuk menampilkan tayangan video berupa gambar dan suara sehingga tidaklah mengherankan kalau TV disebut jendela untuk melihat dunia. Bahkan dalam beberapa hal, satelit juga mampu meningkatkan kualitas kehidupan yaitu dengan kemampuannya memenuhi tuntutan zaman yang membutuhkan informasi lebih banyak dengan cara yang cepat. Tidak sedikit industri-industri baru bermunculan untuk menjual dan melayani permintaan masyarakat akan perangkat TVRO semakin lama semakin terjangkau harganya sehingga permintaan terus meningkat jumlahnya. Dengan sedianya transponder satelit yang bisa menggunakan frekuensi kerja Ku-band, maka penguatan untuk antena TVRO yang ada di
bumi cukup kecil saja sehingga bisa menggunakan jenis antena parabola dengan garis tengah sekitar 1 meter. Jadi dengan adanya sistem TVBroadcast via satelit, maka siaran TV dapat disaksikan dimana saja selama masih berada dalam wilayah cakupan satelit tersebut. Apalagi dengan memperhatikan luasnya wilayah Indonesia dan masih banyaknya wilayah yang tidak terjangkau layanan TV terestrial, maka pengunaan satelit untuk penerimaan siaran TV melalui satelit merupakan hal yang cukup penting. Indosat sebagai salah satu operator satelit yang mengoperasikan satelit Palapa C-2, telah , menyediakan layanan telekomunikasi internet dan relay TV untuk frekuensi kerja C-Band dan Ku-band dengan coverage yang dapat menjangkau seluruh Indonesia. Jadi saat ini membangun sebuah jaringan TV-Broadcastnasional via satelit untuk wilayah Indonesia bukanlah hal yang mustahil untuk diimplementasikan oleh anak bangsa sendiri.
1.2 Rumusan Masalah Untuk mengimplementasikan sebuah jaringan TV-Broadcast via satelit yang handal maka diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang akurat terhadap seluruh faktor dan parameter yang mempengaruhinya. Dan dari beberapa faktor dan parameter yang memepengaruhi kinerja link komunikasi satelit tersebut maka akan dirumuskan besarnya power yang harus digunakan sehingga nantinya bisa diketahui beberapa harga transponder yang harus dibayar, besarnya availability yang pantas digunakan, dan besarnya antena TVRO minimal yang optimal yang digunakan. Setelah didapatkan
rumusan
optimal
yang
tentunya
memenuhi
spesifikasi
performansi dan layanan sistem yang diinginkan, maka selanjutnya akan dikalkulasikan biaya total yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan jaringan TV-Broadcast tersebut.
1.3
Batasan Masalah Adapun ruang lingkup dan batsan masalah yang dianalisa dalam tugas akhir perencanaan ini adalah sebagai berikut :
1. Analisa dilakukan dengan menempatkan diri sebagai pihak konsultan bagi pihak broadcaster yang ingin membangun jaringan TV-Broadcast nasional yang handal, yang tentunya memenuhi semua standar-standar yang diberlakukan pihak regulator. 2. Satelit yang digunakan adalah Satelit Palapa C-2 milik operator Indosat yang berada pada orbit geostasioner dan mencakup seluruh wilayah Indonesia, sedangkan satsiun penerima siaran TV-nya berupa TVRO. 3. Analisa kinerja sistem yang dibahas mencakup link budget yang setiap harga dan jenis parameternya didasarkan pada standar-standar umum yang berlaku, dan untuk cakupan penerimaannya diambil 28 kota besar di Indonesia sebagai tolak ukur untuk mengetahui kualitas link disetiap wilayah. 4. Aspek ekonimis yang dibahas mencakup biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, biaya sewa transponder Ku-band Palapa C-2, biaya sewa pemancar TV Indosat, dan biaya sewa Tail-Link Indosat. 5. Tidak membahas sistem TV digital secara mendalam.
1.4 Tujuan Tujuan dari tugas akhir ini adalah untuk merencanakan suatu jaringan TV-Broadcast via satelit yang handal sehingga didapatkan pertimbangan mengenai: •
Menghitung power yang harus digunakan sehinggan nantinya bisa diketahui berupa harga transponder yang harus dibayar
•
Menentukan availability yang pantas digunakan
•
Menghitung diameter minimal antena TVRO yang optimal untuk digunakan
1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini adalah dengan melakukan : 1. Survey lapangan
Survey terhadap kondisi eksisting dilakukan agar kita bisa mengetahui sistem yang kita hadapi. Pengumpulan data berupa spesifikasi sistem dan cara kerja sistem eksisting, dilakukan agar nantinya kita bisa melakukan perhitungan analisis dengan rumus-rumus yang berkaitan sehingga dihasilkan suatu perencanaan jaringan yang optimal. 2. Menentukan target perencanaan Dalam perencanaan suatu jaringan telekomuniaksi ada dua parameter penting yang harus diperhatikan, yaitu kualitas sinyal yang diharapakan serta availability link. Biasanya dalam sistem analog kulitas identik dengan C/N, sedangkan digital dengan BER lebih tepatnya Eb/No. Sedangkan availability erat kaitannya dengan link margin. 3. Perencanaan jaringan Setelah data-data parameter didapatkan kemudian akan dirancang dan direkayasa sehingga menghasilkan suatu sistem yang optimal.
1.6 Sstematika Penulisan Sistematika penulisan tugas akhir terdiri dari 5 bab yang masingmasing bab isisnya sebagai berikut : Bab I
Pendahuluan Bab ini akan membahas latar belakang pemilihan topik, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan, metoda penelitian, dan sistematika penulisan tugas akhir.
Bab II
Dasar Teori Bab ini akan membahas teori-teori yang mendukung perencanaan jaringan, khususnya tentang sistem komunikasi satelit, sistem TVBroadcast secara umum terutama untuk penerimaan TV melalui satelit (TVRO) dan parameter-parameter perhitungan link.
Bab III Model dan Data Perencanaan Bab ini akan membahas model perencanaan yang akan dilakukan beserta dengan data-data perencanaan yang diperlukan untuk tugsa akhir ini.
Bab IV Perencanaan Jaringan Bab ini akan membahas komponen-komponen perencanaan jaringan yang meliputi perhitungan link availability, perhitungan link, dan perhitungan equipment availability. Dimana komponenkomponen tersebut akan mempengaruhin perencanaan jaringan secara keseluruhan. Bab ini juga akan membahas aspek ekonomis yang mencakup seluruh biaya total perencanaan jaringan seperti BHP frekuensi, biaya sewa transponder, dan biaya sewa pemancar TV dan Tail-Link. Bab V
Penutup Bab ini akan membahas kesimpulan dan saran dari hasil perencanaan sebelumnya.
jaringan
yang
telah
dibahas
pada
bab-bab
BAB II DASAR TEORI
2.1 Sistem Komunikasi Satelit Prinsip dasar dari sistem komunikasi satelit adalah sistem komunikasi radio dengan menggunakan satelit sebagai repeater. Konfigurasi dari sistem komunikasi satelit dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.1 Konfigurasi Sistem Komunikasi Sateit
Beberapa keuntungan satelit sebagai sarana komunikasi adalah: •
Cakupannya luas
•
Dapat menjangkau daerah-daerah terpencil yang selama ini belum terjangkau oleh sistem komunikasi lain
•
Dapat mendukung sistem point to multipoint (broadcast) Bagian utama dari sistem komunikasi satelit terdiri dari ruas bumi (ground
segment) dan ruas angkasa (space segment). Ruas bumi yaitu seluruh perangkat yang berada pada stasiun bumi sedangkan ruas angkasa adalah satelit yang berada pada orbitnya. Secara umum stasiun bumi berfungsi sebagai stasiun pemancar atau stasiun penerima. DaIam Tugas Akhir ini stasiun bumi terdiri dari TVRO yaitu stasiun bumi berukuran kecil yang hanya berfungsi menerima siaran TV dari satelit, dan stasiun bumi pemancar siaran TV.
2.1.1 Spektrum Frekuensi Satelit Sistem komunikasi satelit bekerja pada spektrum gelombang mikro pada pita UHF (Ultra High Frequency) sampai pita EHF (Extra High Frequency). Tabel 2.1 Spektrum Frekuensi Satelit
Pita Frekuensi Range (GHz) L 1-2 S 2-4 C 4-6 X 8-12 Ku 12-18 K 18-27 Ka 27-40 Milimeter 40-300 2.1.2 Transponder Satelit Amplifier pada satelit yang berfungsi memperkuat sinyal dari bumi dan memancarkannya kembali disebut transponder. Transponder bisa digunakan untuk pentransmisian single carrier maupun multiple carrier, dimana pentransmisian ini akan mempengaruhi daya keluaran transponder. Untuk memberikan daya keluaran yang baik, maka transponder menggunakan sistem penguat seperti TWTA (Travelling Wave Tube Amplifier) atau SSPA (Solid State Power Amplifier). Karakteristik kerja transponder dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.2 GrafIk Karakteristik Transponder
Jika transponder ditempati oleh banyak carrier, maka akan muncul derau intermodulasi akibat titik kerja yang bergeser mendekati titik saturasi. Untuk menekan derau ini maka titik kerja harus berada pada daerah linier, dimana daya input transponder harus di back-off (IBO) sesuai parameter teknis satelit. Penggunaan PAD pun dimaksudkan untuk tujuan yang serupa disamping untuk menambah kapasitas satelit.
2.1.3 Stasiun Bumi
Gambar 2.3 Blok Dasar Stasiun Bumi
Berikut penjelasan umum mengenai blok diagram diatas: a. Feedhorn Adalah penghubung "radiasi antena" dengan "LNA dan TWTA". Salah satu bagian dari feedhorn adalah OMT (Orthomode Tranducer) berfungsi sebagai pemisah antara pemancar dan penerima. b. LNA (Low Noise Amplifier) Satelit geostasioner yang mengorbit ± 36000 Km dari bumi menyebabkan sinyal yang diterima stasiun bumi lebih kecil dibandingkan dengan noise-nya. Untuk itu diperlukan suatu perangkat yang dapat menguatkan sinyal sekaligus menekan noise. Perangkat tersebut adalah LNA. LNA termasuk ke dalam perangkat penerima (Rx) dengan frekuensi
kerja 10.99 GHz-ll.65 GHz (Ku-band). Input LNA adalah sinyal yang berasal dari antena melalui feedhorn sedangkan outputnya dihubungkan ke Rx RF pada RFT. LNA adalah perangkat aktif yang di dalamnya terdiri dari rangkaian elektronik yang mendapat sumber tegangan DC dari Rx RF pada RFT. c. TWTA (Travelling Wave Tube Amplifier) Pada komunikasi satelit dengan menggunakan ferkuensi Ku-band besamya redaman FSL (free space loos) adalah ± 206 dB untuk uplink dan ± 204 dB untuk downlink. Agar sinyal yang dipancarkan stasiun bumi dapat mencapai satelit maka diperlukan suatu perangkat penguat sinyal. Perangkat tersebut adalah TWTA. TWTA termasuk ke dalam kelompok perangkat pemancar (Tx) dengan frekuensi kerja 13.79 GHz-I4.45 GHz (Ku-band). Input TWTA adalah sinyal output yang berasal dari Tx RF pada RFT dan outputnya dipancarkan ke antena melalui feedhorn. d. RFT (Radio Frequency Tranceiver) Perangkat ini memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1. Sebagai penguat sinyal (gain) Tx dan Rx. RFT menguatkan sinyal Tx (uplink) yang berasal dari modem dan menguatkan sinyal Rx (downlink) yang berasal dari LNA. 2. Sebagai up converter RFT mengubah frekuensi IF (52 MHz-88 MHz) berasal dari modem menjadi frekuensi Ku-band uplink (13.79 GHzI4.45 GHz) selanjutnya dipancarkan ke TWTA. 3. Sebagai down converter RFT mengubah frekuensi Ku-band downlink (10.99 GHz-I1.65 GHz) berasal dari LNA menjadi frekuensi IF (52 MHz88 MHz) selanjutnya dipancarkan ke modem 4. Memberi tegangan DC kepada LNA. Bagian Rx RF pada RFT mengeluarkan tegangan antara 13 Volt DC sampai dengan 18 Volt DC. e. Modem (Modulator Demodulator) Perangkat ini memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1.
Modulator, mengubah sinyal base band (sinyal video) menjadi sinyal analog (sinyal carrier) dengan frekuensi 52 MHz-88 MHz (frekuensi IF).
2.
Demodulator, mengubah sinyal analog (sinyal carrier) 52 MHz-88 MHz menjadi sinyal base band (sinyal video).
2.2 TV-Broadcast Via Satelit Sistem TV-Broadcast via satelit merupakan sistem komunikasi satelit satu arah (simplex) yang digunakan untuk memancarkan siaran TV melalui satelit, dimana satelit berfungsi sebagai repeater yang menerima siaran TV dari pemancar dan memancarkannya kembali ke seluruh TVRO yang berada dalam coveragenya Layanan ini menyediakan fasilitas broadcast signal audio/video program TV secara tetap (fixed) melalui satelit (TV Contribution) dan jasa layanan temporer satelit digital untuk penyaluran program video secara live maupun hasil rekaman pada kota atau wilayah yang tercakup baik dengan konfigurasi point-topoint atau point-tomultipoint. Konfigurasi jaringan TV-Broadcast tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.4 Konfigurasi Jaringan TV -Broadcast via Satelit
Berikut adalah gambaran proses tayang pada sistem TV-Broadcast via satelit:
• Program source yang akan ditayangkan dibagi dalam 2 jenis yaitu: 1. Turn Around Channels adalah program yang ditransmisikan oleh pihak lain (Program Provider), kemudian diterima oleh Main Station TV Broadcaster, diolah, dan ditransmisikan kembali (rebroadcast) melalui satelit secara real time. 2. Local Originated Channels adalah program lokal dari Main Station TV Broadcaster, baik program yang di playback maupun program live show. •
Turn Around diterima oleh Main Station TV Broadcaster dari 2 sumber: 1. Dari satelit lain yang diterima dengan menggunakan antena parabola. 2. Dari pemancar terestrial yang berasal dari Main Station TV Broadcaster lokal lain.
•
Bagi program yang masih dalam bentuk analog dikonversi menjadi digital.
• Program dalam format digital tersebut kemudian bersama-sama dengan program Local Originated dikelompokkan menjadi beberapa kelompok acara. • Logo Main Station TV Broadcaster di attach/insert ke dalam program. • Setiap program kemudian akan di compress atau dikonversi menjadi data stream dalam format MPEG-2. • MPEG-2 data stream di atas kemudian dimodulasi menjadi bentuk sinyal yang sesuai untuk ditransmisikan ke satelit. • Sinyal ditransmisikan ke satelit dan di relay/di broadcast ke seluruh wilayah di dalam coverage satelit. • Sinyal dari satelit diterima oleh Ku-band ODU (Outdoor Unit) dan disalurkan ke IRD (Integrated Satellite Receiver and Decoder). • IRD akan menterjemahkan kembali sinyal yang diterima menjadi komponen video dan audio untuk ditayangkan. Untuk perencanaan di Indonesia, satelit yang digunakan adalah Palapa C-2 milik Indosat yang menyediakan layanan relay TV pada frekuensi kerja Ku-band.
2.3 Perhitungan Link Perhitungan link berguna untuk menilai kualitas link agar dicapai rancangan sistem dengan kualitas yang sesuai dengan yang diharapkan. Hasil akhir perhitungan link akan memperlihatkan pemakaian power dan bandwidth yang dibutuhkan sejumlah carrier pada transponder satelit. Parameter-parameter yang diperlukan dalam perhitungan link dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.5 Parameter Perhitlmgan Link
2.3.1 Redaman Feeder TX/RX Redaman ini disebabkan antara pemancar dengan antena dihubungkan oleh suatu saluran yang akan menyebabkan terjadinya redaman. Saluran yang biasa digunakan untuk menghubungkan antara keluaran HPA dengan antena adalah waveguide. Untuk rugi pada saluran ini dibagi atas dua bagian yaitu pada bagian pemancar yang disimbolkan dengan LFtx dan pada bagian penerima yang disimbolkan dengan LFrx .
2.3.2 Gain Antena Gain antena didefinisikan sebagai perbandingan daya pancar suatu antena terhadap antena referensi, biasanya isotropik. Persamaan penguatan untuk antena parabolik dapat dicari dengan persamaan berikut :
2.1
G ( dB ) = 20.45 + 20 log f + 20 log d + 10 log η
dimana,
d
2.2
= diameter antena pemancar/penerima (m)
A
= panjang gelombang (m)
f
= frekuensi kerja uplink/downlink (GHz)
c
= kecepatan cahaya (3x108 m/s)
η
= efisiensi antena pemancar/penerima (0 ≤ η ≤ 1)
2.3.3 EIRP (Effective Isotropic Radiated Power) EIRP menyatakan besarnya level daya yang dipancarkan oleh antena stasiun bumi atau satelit. EIRP yang dipancarkan stasiun bumi (EIRPsb , pancar ) dapat dicari dengan persamaan berikut : 2.3
atau secara logaritrnis 2.4
dimana, Ptx
= daya pancar sinyal carrier pada feeder antena pemancar (W)
Gtx
= gain antena pemancar Dalam penguatan kita harus bekerja pada daerah linier. Dari grafik
karakteristik transponder didapat EIRPlinier sebagai berikut:
EIRPsb,linier (dBW ) = SFD + 10 log 4πr 2 − IBO + PAD
2.5
EIRPsat ,linier ( dBW ) = EIRPsat , saturasi − OBO
2.6
Untuk EIRPsat , saturasi
sudah disertakan pada spesifikasi satelit yang
bersangkutan. Sehingga melalui grafik karakteristik transponder didapat EIRPsat , pancar sebagai berikut: EIRPsat , pancar ( dBW ) = EIRPsat , saturasi − OBO − EIRPsb ,linier + EIRPsb , pancar
2.7
2.3.4 Redaman Salah Sorot Redaman salah sorot ini disebabkan karena antena pemancar dan penerima tidak terletak pada sumbu sorot masing masing. Persamaan yang digunakan untuk menghitung salah sorot ini adalah sebagai berikut : ⎛ α L(dB ) = 12⎜⎜ ⎝ θ 3dB
dimana,
⎞ ⎟⎟ ⎠
2
2.8
α
= sudut salah sorot antena (o)
θ 3dB
= HPBW (o)
2.3.5 Free Space Loss (FSL) FSL merupakan peristiwa hilangnya daya pancar pada ruang bebas karena terjadi penyebaran daya, sehingga daya yang dipancarkan tidak dapat diterima seluruhnya oleh antena penerima. Besar loss tersebut dapat dicari dengan persamaan berikut : L ( dB ) = 92,45 + 20 log d + 20 log f
dimana,
d
= jarak antara stasiun bumi dan satelit (km)
f
= frekuensi kerja uplink/downlink (GHz)
2.9
2.3.6 Redaman Hujan Redaman hujan memberikan kontribusi terbesar terhadap penurunan kualitas sinyal yang beroperasi pada frekuensi diatas 10 GHz. Link availability pada sistem komunikasi satelit sangat dipengaruhi oleh redaman hujan, sehingga dalam perencanaannya harus sangat cermat dalam menentukan availability yang
akan digunakan. Metode prediksi redaman hujan dapat dicari melalui prosedur yang dianjurkan oleh CCIR dalam Rec. 546-4 dan ditegaskan kembali dalam ITUR Rec.PN.618-3 berikut :
Gambar 2.6 Model Geometri Pengukuran Redaman Hujan
Keterangan: Ls
=slant-path length (km)
hs
= tinggi stasiun bumi dpl (km)
hR
= tinggi efektif hujan (km)
LG
= proyeksi horizontal slant-path length (km)
θ
= sudut elevasi (o)
Langkah 1. Hitung tinggi efektif hujan (hR), untuk posisi lintang dari stasiun bumi (¢): ⎧3.0 + 0.028φ → 0 ≤ φ ≤ 36° hR (km) = ⎨ ⎩4.0 − 0.075(φ − 36) → φ ≥ 36°
2.10
Langkah 2. Untuk sudut elevasi θ ≥ 5° , hitung slant-path length (Ls):
km Untuk θ ≥ 5° gunakan persamaan berikut:
2.11
Ls =
2(hR − hs ) ⎛ 2 2(hR − hs ) ⎞ ⎜⎜ sin θ + ⎟⎟ Re ⎝ ⎠
km
1/ 2
2.12
+ sin θ
Langkah 3. Hitung proyeksi horizontal (LG) dari slant-path length: LG = Ls cos θ
km
2.13
Langkah 4. Cari intensitas curah hujan (R0.01) untuk outage time 0.01 %. Jika informasi ini tidak bisa diperoleh dari badan meteorologi setempat, maka gunakan lampiran B dan tabel eurah hujan berikut:
Tabel 2.2 Curah Hujan di Berbagai Belahan Bumi Outage (%) 1 0.3 0.1 0.03 0.01 0.003 0.001
A
B
C
D
E
F
G
H
J
K
L
M
N
P
Q
< 1 2 5 8 14 22
1 2 3 6 12 21 32
2 3 5 9 15 26 42
3 5 8 13 19 29 42
1 3 6 12 22 41 70
2 4 8 15 28 54 78
3 7 12 20 30 45 65
2 4 10 18 32 55 83
8 13 20 28 35 45 55
2 6 12 23 42 70 100
2 7 15 33 60 105 150
4 11 22 40 63 95 120
5 15 35 65 95 140 180
12 34 65 105 145 200 250
24 49 72 96 115 142 170
Langkah 5. Hitung faktor reduksi ( r0.01 ) :
r0.01 =
1 ⎛ LG ⎜⎜1 + Lo ⎝
⎞ ⎟⎟ ⎠
dimana Lo = 35 exp(−0.015 R0.01 )
Langkah 6. Hitung redaman spesifik ( Aeff ( 0.01) ) dengan persamaan berikut:
2.14
2.15
dB/km
2.16
Harga k dan α dicari dengan menggunakan tabel pada lampiran C.
Langkah 7. Prediksi redaman hujan lintasan satelit untuk outage time 0.01 % dalam setahun Aeff ( path , 0.01) = Aeff ( 0.01) × r × Ls
2.17
Langkalt 8. Gunakan persamaan berikut untuk mencari redaman dengan availability yang lain:
[
AP = Aeff 0.12 P − ( 0.546+ 0.043 log P )
]
2.18
2.3.7 Redaman Gas Atmosfer Selain redaman hujan, redaman gas atmosfer juga memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas sinyal yang beroperasi pada frekuensi diatas 10 GHz, walau kontribusinya tidak sebesar akibat redaman hujan. Secara empiris, nilai redaman gas atmosfer (Ag ) terhadap energi gelombang radio dengan sudut elevasi
θ > 10° dinyatakan sebagai : γ o ho e − h
s
Ag =
/ ho
+ γ w hw
sin θ
dimana,
dB
2.19
γo
= redaman spesifik untuk udara kering
γw
= redaman spesifik untuk uap air
ho
= tinggi ekivalen udara kering
hw
= tinggi ekivalen uap air
Nilai γ o dan γ w pada temperatur 75°C dinyatakan dengan:
⎡
6,09
4,81
⎤
2 −3 γ o = ⎢7,19 × 10 −3 + 2 + ⎥ f × 10 2 f + 0,027 ( f − 57) + 1,5 ⎦ ⎣
⎡
γ w = ⎢0,05+ 0,0021ρw + ⎣
dB/km
2.20
⎤ 2 3,6 10,6 8,9 + + f × ρw ×10−4 ⎥ 2 2 2 ( f − 22,2) + 8,5 ( f −183,3) + 9 ( f − 3225,4) + 26,3⎦ 2.21
Untuk kenaikan temperatur setiap 1°C dilakukan koreksi sebesar -1 % pada γ o dan -0,6% pada γ w . Nilai kerapatan uap air di suatu tempat dinyatakan sebagai:
ρw =
U .e s 0,461.(t + 273)
2.22
⎛ 17,512 × t ⎞ e s = 6,1121. exp⎜ ⎟ ⎝ t + 240,97 ⎠ dimana
t
= temperatur udara (oC)
U
= kelembaban udara relatif rata-rata (%)
es
= tekanan uap air saturasi (mili bar)
2.23
sedangkan tinggi ho dan hw dinyatakan sebagai berikut: ho = 6 km
untuk frekuensi < 57 GHz
⎤ ⎡ 3,0 5,0 2,5 hw = hwo ⎢1 + + + ⎥ km 2 2 2 ⎣ ( f − 22,2) + 5 ( f − 183,3) + 6 ( f − 325,4) + 4 ⎦
dimana,
2.24
hwo = 1.6 km untuk kondisi cuaca cerah hwo = 2.1 km untuk kondisi hujan
Pada persamaan 2.24, tinggi hw dinyatakan pada kondisi temperatur 15°C. Untuk kenaikan temperatur setiap 1°C, dilakukan koreksi sebesar 0.1 % pada kondisi cuaca cerah dan 1 % pada kondisi hujan.
2.3.8 Saturated Flux Density (SFD) SFD merupakan nilai yang menunjukkan sensitivitas dari satelit. Dari SFD ini akan menentukan besarnya daya yang akan dikirim oleh stasiun bumi. Nilai SFD ini sudah disertakan pada spesifikasi satelit yang bersangkutan.
2.3.9 Figure Of Merit (G/T) Figure of Merit merupakan perbandingan besarnya gain yang diterima oleh input sistem dengan temperatur noise sistem. G/T merupakan parameter yang penting dari suatu penerima. G/T dapat berharga positif maupun negatif. Secara logaritmis dapat dirumuskan sebagai berikut :
G / T = 10 log G rx − 10 log Tsys
dimana,
Grx
dB/K
2.25
= gain antena penerima (dB)
Tsys
=
temperatur sistem penerima (K), dimana
(Tsys = Te + Tant )
Tant
=
temperatur antena terhadap elevasi antena (K)
(Lampiran E) Te
= temperatur efektif sistem (K)
Harga G/Tsatelit sudah disertakan pada spesifikasi satelit yang bersangkutan.
2.3.10 IBO/OBO (Input/Output Back Off) IBO merupakan pengurangan daya masukan penguat pada transponder agar titik kerjanya menjadi linier. Sedangkan OBO merupakan pengurangan daya output transponder yang disebabkan oleh daya masukan dari IBO. Harga IBO dan OBO sudah disertakan pada spesifikasi satelit yang bersangkutan.
2.3.11 PAD (Power Attenuator Denisty) PAD merupakan redaman pada transponder satelit yang ditambahkan kepada rapat fluks density yang diterima satelit, sistem satelit secara otomatis meredam rapat
daya
yang
diterima.
Redaman
PAD
berfungsi
untuk
mengoptimalkan sinyal yang diterima satelit dan menambah kapasitas. Besar PAD sudah disertakan pada spesifikasi satelit tersebut.
2.3.12 Power Dan Bandwidth Perhitungan power dan bandwith untuk suatu carrier ditentukan dari besarnya bit informasi yang dikirim. Hal ini dapat ditulis sebagai : BWocc =
Rinf o ⎛ 1 + α ⎞ ⎜ ⎟ FEC × RS ⎝ m ⎠
2.26
BWall = BWocc × 1.2 dimana,
2.27
Rinf o
= bitrate informasi
FEC
= Forward Error Correction
M
= indeks modulasi
α
= rool of factor
RS
= Reed Solomon
Bandwidth untuk setiap carrier pada 1 transponder dapat ditulis ⎛ BW ⎞ ⎛⎜ BWall %⎜ ⎟= ⎝ carrier ⎠ ⎜⎝ BW xponder
⎞ ⎟ × 100% ⎟ ⎠
2.28
dimana 1 transponder = 72 MHz Sedangkan power untuk setiap carrier pada 1 transponder dapat ditulis : ⎛ x ⎞ − ⎜⎜ ⎟⎟ ⎛ BW ⎞ ⎝ 10 ⎠ %⎜ = 10 × 100% ⎟ ⎝ carrier ⎠
2.29
x = EIRPsat ,linier − EIRPsat , pancar
dimana
2.3.13 Noise Power Noise power merupakan daya derau/noise dari suatu sistem karena adanya gerak partikel suatu bahan yang disebabkan perubahan suhu. Besarnya dapat ditulis secara logaritmis : N ( dBW ) = −228.6 + 10 log Tsys + 10 log BWocc
dimana,
2.30
Tsys
= temperatur system (K)
BWocc
= bandwidth occupied (Hz)
k
= konstanta Boltzman (l,38xl0-23 J/K atau -228,6 dBWHz/K)
2.3.14 Isotropic Receive Level (IRL) IRL merupakan level daya carrier yang diterima oleh stasiun bumi atau satelit.
Besarnya dapat ditulis sebagai berikut : ⎛ EIRPtx C =⎜ ⎜ L p ⎝
⎞ ⎟G rx ⎟ ⎠
2.31
Atau secara logaritmis dituliskan : C ( dBW ) = EIRPtx − L p + G rx
dimana,
2.32
EIRPtx = Effective Isotropic Radiated Power pemancar (dBW) Lp
= loss propagasi (dB)
Grx
= gain antena penerima (dB)
2.3.15 Carrier to Noise Ratio (C/N) (C/N) merupakan perhitungan untuk menentukan nilai kualitas seluruh link. (C/N) ini dapat ditulis sebagai : (C / N ) up = EIRPsb − FSLup + (G / T ) sat − k − BWocc − M up
2.33
(C / N ) down = EIRPsat − FSLdown + (G / T ) sb − k − BWocc − M down
2.34
Dari persamaan di atas didapat:
2.35
Dimana (C/IM) merupakan perbandingan carrier terhadap derau intermodulasi akibat pemakaian transponder satelit oleh beberapa carrier secara bersama-sama. Besarnya berkisar antara 17-30 dB, dimana semakin lebar bandwith yang disewa dalam satu transponder maka semakin besar nilainya. Dan (C/I) adalah perbandingan daya sinyal yang diinginkan dengan daya sinyal interferensi. Sesuai dengan rekomendasi ITU bahwa (C / I ) > (C / N ) req + 10 dB
2.3.16 Carrier to Noise Required (C/N)req (C/N)req
digunakan
untuk
membandingkan
kualitas
sinyal
hasil
perancangan dengan kualitas sinyal yang dibutuhkan. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : ⎛ m ⎞ (C / N ) req = ( E b / N o ) − CG + 10 log⎜ ⎟ + MI ⎝1+ α ⎠
Dimana,
( E b / N o ) req
2.36
= perbandingan energi tiap bit trhadap energi noise (dB)
CG
= coding gain (dB)
M
= indeks modulasi
A
= rool of factor
MI
= margin implementasi (dB)
Nilai ( E b / N o ) req diperoleh dari grafik BER vs ( Eb / N o ) sesuai dengan modulasi yang diinginkan. Sedangkan nilai Coding Gain diperoleh dari tabel Coding Gain vs Forward Error Correction (FEC) yang digunakan.
2.3.17 Availability Nilai availability menentukan seberapa besar suatu sistem dapat melayani/digunakan sesuai dengan performansi yang dipersyaratkan. Availability ini digunakan sebagai parameter kehandalan sistem. Dalam analisis akan dijelaskan berapa availability yang masih mungkin dengan kondisi di Indonesia yang redaman hujannya sangat besar. Availability terdiri dari availability perangkat dan availability propagasl. Availability perangkat dapat di cari dengan persamaan berikut : A=
MTBF MTBF + MTTR
dimana,
A
2.37 = Availability
( % atau desimal )
MTBF = Mean Time between Failure
(Jam)
MTTR = Mean Time To Repair
(Jam)
Dalam sistem yang berpengaruh besar adalah availability propagasi yang sangat dipengaruhi oleh redaman hujan, ini disebabkan perangkat sudah di desain
sebagus mungkin sehingga faktor yang mempengaruhi kehandalan sistem adalah availability propagasi, dalam hal ini redaman hujan.
2.3.18 Pengkodean Pada sistem komunikasi satelit, dikarenakan jarak antara stasiun bumi dan satelit yang cukup jauh maka diperlukan pengontrolan kesalahan. Ada beberapa macam metode pengontrolan kesalahan. Pada umumnya metode ini dibagi menjadi dua macam, yaitu: •
BEC (Backward Error Correction) Contoh dari BEC antara lain: idle request dan continous request (terdiri dari selective request atau pun Go Back N)
•
FEC (Forward Error Correction) Contoh dari FEC antara lain: block codes, convolutional decoding, BCH codes, golay codes, dan viterbi decoding.
Untuk sistem komunikasi satelit metode yang digunakan adalah FEC. Hal ini disebabkan oleh jarak antara stasiun bumi dan satelit yang relatif jauh sehingga akan diperlukan waktu yang cukup lama apabila digunakan BEC. Penggunaan FEC akan memberikan coding gain pada sistem yang pada akhimya akan meningkatkan C/N. Tugas Akhir ini menggunakan viterbi dan reed solomon sebagai metode pengontrolan kesalahannya. Pada perancangan, code rate yang digunakan untuk viterbi dan reed solomon diambil dari data yang sudah ada Data yang diambil tersebut tentunya dipilih sesuai dengan kebutuhan.
2.3.19 Teknik Modulasi Teknik modulasi yang umum digunakan dalam sistem komunikasi satelit adalah modulasi phasa Pada modulasi phasa digital QPSK (Quadrature Phase Shift Keying), sinyal pembawa mempresentasikan empat keadaan fasa untuk menyatakan empat simbol. Satu simbol QPSK terdiri dari dua bit yaitu “00”, “01”, “10”, dan “11”. Setiap dua bit akan mengalami perubahan fasa sebesar 90°
sedangkan kecepatan bit informasinya sebesar dua kali kecepatan simbolnya. Pada modulasi QPSK, besamya m = 2(2m = 4) sehingga bandwidth yang dibutuhkan untuk perubahan fasa tiap detik adalah : ⎛R ⎞ BWQPSK = ⎜ transmisi ⎟.(1 + α ) ⎝ 2 ⎠ Dimana
Untuk
2.38
α
= roll of factor
Rtrnasmisi
= bitrate transmisi (bit/s)
memilih
teknik
modulasi
yang
akan
digunakan
hams
mempertimbangkan keterbatasan daya pancar dan bandwidth. Daya pancar stasiun bumi berpengaruh pada carrier to noise ratio dan akhimya berpengaruh juga pada bit error rate. Oleh karena itu daya pancar stasiun bumi harus cukup besar untuk menghasilkan bit error rate yang sesuai dengan spesifikasi performansi sistem. Keterbatasan daya pancar akan mengakibatkan sistem tidak mencapai performansi seperti yang diharapkan. Sedangkan bandwidth yang diperlukan dipengaruhi oleh besarya bit rate dan jenis teknik modulasi.
2.3.20 Metoda Akses Metoda akses mempakan kemampuan dari penerima untuk mengakses satelit (transponder) bersama-sama dengan penerima yang lain. Ada tiga macam metoda akses yang umum dikenal yaitu FDMA, TDMA, dan CDMA. Pada sistem komuniksai satelit metoda akses yang biasa digunakan adalah FDMA dan TDMA.. Pada FDMA waktu penggunaan sepanjang waktu dimana setiap pengguna diatur berdasarkan pembagian frekuensi. Sedangkan pada TDMA frekuensi carrier yang sama dipakai bersama-sama oleh banyak pengguna yang diatur berdasarkan pembagian waktu. Sistem komunikasi satelit satu arah (simplex) seperti TV -Broadcast via satelit menggunakan metode FDMA sebagai akses masuk pemancar ke transponder, sedangkan penerima TVRO tidak memiliki akses ke transponder karena hanya bisa menerima sinyal dari satelit saja.
BAB III MODEL DAN DATA PERENCANAAN
3.1 Model Perencanaan Perencanaan jaringan TV-Broadcast via satelit akan dilakukan dengan langkah-langkah yang saling berkaitan satu dengan lainnya, hal ini dilakukan untuk membanggun suatu kesatuan sistem yang kompleks, prosedur perencanaan jaringan TV-Broadcast via satelit ini dapat dilihat pada diagram alir berikut :
Mulai
Pengumpulan Data : - Geografis Site - Spesifikasi Layanan - Spesifikasi Satelit - Spesifikasi Pemancar - Spesifikasi TVRO - Tarif BHP Frekuensi - Tarif Sewa Transponder - Tarif Sewa Pemancar
- perhitungan link avaibility - Perhitungan link - Perhitungan equipment avaibility
No
Spesifikasi layanan Berdasarkan MPEG-2DVD-S
Yes
Perhitungan alokasi biaya teknis (investasi)
Selesai
Gambar 3.1 Diagram Alir Perencanaan Jaringan TV-Broadcast
Selanjutnya setiap langkah perencanaan akan dilakukan mengikuti diagram alir perencanaan tersebut. Dimana langkah awal perencanaan dimulai dengan mengumpulkan data-data perencanaan baik yang berasal dari lapangan maupun dari berbagai macam literatur. Data-data perencanaan yang dibutuhkan akan diuraikan pada subbab berikut.
3.2 Data-data Perencanaan Perencanaan ini diawali dengan mengumpulkan data, dimana keakuratan data akan mempengaruhi hasil dari perencanaan jaringan yang dibangun. Adapun data-data yang dibutuhkan dalam perencanaan jaringan ini adalah sebagai berikut: 3.2.1 Posisi Stasiun Bumi Terhadap Satelit Perencanaan jaringan TV-Broadcast ini dilakukan untuk mencakupi 28 kota besar di Indonesia dengan posisinya terhadap satelit ditabelkan dibawah ini:
Tabel 3.1 Posisi Stasiun Bumi terhadap Satelit East Longitude
∆ Longitude
Latitude Elevasi
Azimuth
o
No Kota o
o
o
o
()
()
()
()
()
1 Banda Aceh 2 Medan 3 Padanq 4 Palembang 5 Jambi 6 Bengkulu 7 PekanBaru 8 Bandar Lampunq 9 Jakarta 10 Jkt (Pemancar) 11 Bandung 12 Semarang 13 Yogyakarta 14 Surabaya 15 Denpasar 16 Mataram 17. Kupang 18 Dili 19 Samarinda 20 Pontianak 21 Banjarnasin 22 Palangkaraya
95.42 98.75 100.35 104.65 103.65 102.31 101.43 105.44 106.93 106.75 107.5 110.36 110.3 112.76 111.98 116.1 123.65 125.55 117.15 109.36 114.72 113.93
17.58 14.25 12.65 8.35 9.35 10.69 11.57 7.56 6.07 6.25 5.5 2.64 2.7 0.24 1.02 3.1 10.65 12.55 4.15 3.64 1.72 0.93
5.51 3.65 -0.86 -2.86 -1.63 -3.8 0.41 -5.33 -6.35 -6.13 -6.86 -6.9 -7.8 -7.35 -8.46 -8.55 -10.15 -8.44 -0.35 -0.07 -3.43 -2.26
68.42 72.73 75.09 79.62 78.83 76.66 76.38 79.12 79.67 79.71 79.66 81.31 80.29 81.34 79.97 79.30 72.76 72.28 85.09 85.71 85.48 87.12
106.86 104.07 86.17 71.22 80.20 70.65 92.00 55.01 43.87 45.72 38.87 21.00 19.16 1.88 690 339.98 313.14 303.40 274.81 88.90 333.35 337.63
23 Ujung Pandang
119.53
6.53
-5.05
80.29
307.56
24 25 26 27 28 29
Manado Kendari Palu Ambon Jayapura Merauke
124.92 122.58 120.11 128.08 140.53 140.38
11.92 9.58 7.11 15.08 27.53 27.38
1.55 -3.93 -0.98 -3.7 -2.57 -8.46
75.87 77.83 81.55 71.77 57.73 56.68
262.70 292.10 277.81 283.47 274.92 285.86
3.2.2 Spesifikasi Layanan Perencanaan jaringan TV-Broadcast ini menggunakan sistem MPEG2 DVB-S Standard, sesuai ETSI ETS 300 421 yang telah ditetapkan oleh ISO/lEC pada tahun 1993 untuk digunakan dalam aplikasi TV-Broadcast dan TV komersil, dengan spesifikasi Bit Error Rate (BER) sebesar 10-7 sesuai yang tercantum pada Draft ETSI EN 302 307 v1.1.1 (2004-06). Dari spesifikasi ini dapat terlihat energi bit per spektral noise (Eb/No) yang diperlukan untuk modulasi tertentu pada lampiran A. Modulasi yang digunakan QPSK sesuai dengan spesifikasi modem yang akan digunakan dalam perencanaan ini. Bit rate yang diperlukan sebesar 5000 Kbps sesuai dengan bit rate yang dibutuhkan untuk aplikasi SDTV (Standard Definition Television) sebesar 4-6 Mbps (tercantum dalam Int. J. Satell. Commun. 2000: 18:393-410) yang kualitasnya sebanding dengan sistem PAL yang digunakan di Indonesia. FEC yang digunakan adalah convolutional code dengan code rate (ρ) =
¾
sebagai inner code-nya, dan Reed-Solomon code
dengan code rate 188/204 sebagai outer code-nya sesuai dengan yang tercantum dalam ETSI ETS 300 421, dan juga merupakan spesifikasi dari modem yang akan digunakan dalam perencanaan ini. Spesifikasi layanan tersebut dapat ditabelkan sebagai berikut: Tabel 3.2 Spesifikasi Layanan System
MPEG2 DVB-S Standard
BER Modulation Bit rate
10-7 QPSK 5000 Kbps Inner code: Convolutional code with code rate (ρ) = ¾
FEC Outer code: (204,188) Reed-Solomon code
3.2.3 Spesifikasi Satelit Perencanaan jaringan TV-Broadcast ini menggunakan satelit Palapa C-2 tipe HS-601 yang dibuat dengan ukuran besar sebagai relay TV di luar angkasa. Satelit ini diluncurkan dengan menggunakan roket Ariane-44L dan sekarang berada di posisi 113o Bujur Timur. Satelit ini diperkirakan mampu bertahan selama 14 tahun. Indosat mengoperasikan Palapa C-2 untuk kebutuhan layanan broadcast televisi dan telekomunikasi.
OSILATOR Gambar 3.2 Konfigurasi Umum Satelit Palapa C-2
Coverage area dari Palapa C-2 adalah Hongkong, Macau, Philipines, Malaysia, Indonesia, Brunei, Thailand, Myanmar, Cambodia, Vietnam, Laos, Papua New Guinea, Eastern Australia, dan New Zealand.
Gambar 3.3 Coverage Area Palapa C-2
Spesifikasi teknis dari Palapa C-2 terlampir dalam lampiran D. 3.2.4 Spesifikasi Pemancar Spesifikasi teknis pemancar TV yang digunakan adalah sebagai berikut: Provider
Indosat
Lokasi
HUB
Station
Jatiluhur,
Purwakarta Letak bujur
106.75° BT
Letak lintang
6.13° LS
Sudut elevasi
79.70°
Ketinggian stabum dpl (hs)
200 cm
Temperatur udara (t)
33oC
Kelembaban udara relatif rata-rata (U)
78.25 %
Tekanan uap air saturasi (es)
50.38 mili bar (mb)
Effisiensi
0.55
Diameter
5 meter
Pointing error uplink
0.41 dB
Wave guide loss
2 dB
Noise Figure LNA
0.7 dB
3.2.5 Spesifikasi TVRO Spesifikasi teknis TVRO yang digunakan adalah sebagai berikut: Ketinggian stabum dpl (hs)
200 cm
Efisiensi
0.37
Diameter
0.6/ 1 / 1.2 m
Temperatur noise antena
25°K pada elevasi 30°
Noise Figure LNA
0.5 dB
3.2.6 Tarif BHP Frekuensi Perhitungan besaran BHP frekuensi radio digunakan berdasarkan formula yang dikeluarkan oleh Direktorat Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit
(Ditjen Pos dan Telekomunikasi - Departemen Perhubungan) yang ditetapkan pada PP No.14 tahun 2000 (terlampir dalam lampiran F) yaitu: BHPFrekuensiRadio ( Rupiah ) =
( Ib * HDLP * b) + ( Ip * HDDP * p ) 2
3.1
Keterangan : a. HDDP adalah Harga Dasar Daya Pancar (HDDP) dalam Rp/kHz b. HDLP adalah Harga Dasar Lebar Pita frekuensi radio (HDLP) dalam Rp/dBm c. p adalah daya pancar keluaran antena EIRP (dalam dBm) d. b adalah lebar pita frekuensi yang diduduki (bandwidth occupied) dalam kHz e. Ib adalah indeks biaya pendudukan lebar pita f. Ip adalah indeks biaya daya pancar
3.2.7 Tarif Sewa Transponder Tarif sewa untuk bagian transponder dapat ditentukan oleh rumus berikut: Biayasewa = a
2 log
1 n
∗ HT
3.2
dimana, HT
: Harga sewa 1 buah transponder (untuk Palapa C-2 sebesar 2.5 juta US$)
n
: Bagian transponder yang disewakan
a
: Koefisien sewa (untuk Palapa C-2 sebesar 0.57) Dalam prakteknya harga transponder tidak kaku mengikuti persamaan
3.2, hal ini dikarenakan semakin kompetitifnya bisnis satelit dengan semakin banyaknya satelit asing yang beroperasi. Pengurangan nilai sewa transponder tergantung pada masing-masing provider satelit. Berikut harga sewa transponder Palapa C-2:
Tabel 3.3 Biaya Penggunaan Transponder Untuk Penggunaan Dalam Negeri Transponder Parsial Pemakaian Tetap PENGGUNAAN OBO NO
BAGIAN BANDWIDTH TRANSPONDER (KHz) SATELIT
TARIF PER TAHUN
1
1
72000
0
$2,500,000.00
2
2/3
48000
-4
$1,799,434.00
3
1/2
34286
-7
$1,425,000.00
4
1/4
16744
-10
$812,250.00
5
1/8
8636
-13
$462,982.00
6
1/16
4114
-16
$263,900.00
7
1/32
2052
-19
$150,423.00
8
1/64
1024
-22
$85,741.00
9
1/128
512
-25
$48,872.00
10
1/256
256
-28
$27,857.00
11
1/512
128
-31
$15,878.00
12
1/1025
64
-34
$9,043.00
3.2.8 Tarif Sewa Pemancar Dan Tail-Link Indosat Untuk Fixed TV Up-Link Perencanaan ini menggunakan pemancar Indosat untuk Up-Link siaran TV sehingga pihak stasiun TV harus menyewa pemancar tersebut. Sedangkan untuk mentransmisikan siaran TV ke pemancar Indosat, pihak stasiun TV harus menyewa Tail-Link dari Indosat juga. Tarif sewa penggunaan pemancar Indosat untuk keperluan Fixed TV Up-Link dan sewa penggunaan Tail-Link Jakarta – Jatiluhur (Stasiun Bumi Indosat) ditabelkan sebagai berikut: Tabel 3.4 Biaya Penggunaan Fixed TV Up-Link Pemakaian Tetap
NO 1
LAMA PENGGUNAAN 1 Tahun
TARIF(USD) 240,000.00
Tabel 3.5 Biaya Penggunaan Tail-Link Jakarta-Jatiluhur Pemakaian Tetap
NO 1
LAMA PENGGUNAAN 1 Tahun
TARIF(USD) 120,000.00
BAB IV PERENCANAAN JARINGAN
Setelah mengetahui model dan data perencanaan yang akan digunakan, maka langkah selanjutnya adalah menjalankan setiap prosedur perencanaan jaringan TV-Broadcast tersebut. Subbab-subbab berikut akan membahas detail perencanaan jaringan yang dipaparkan dalam bentuk kalkulasi dan analisanya.
4.1 Konfigurasi Jaringan Perencanaan jaringan TV-Broadcast menggunakan konfigurasi sebagai berikut, dimana perangkat pemancar yang digunakan adalah milik Indosat yang berada di Jatiluhur sedangkan perangkat penerima TVRO tersebar di 28 kota besar di Indonesia. Satelit yang digunakan adalah Palapa C-2 milik Indosat dengan frekuensi up-link 13.79 GHz danfrekuensi down-link sebesar 10.99 GHz.
Gambar 4.1 Konfigurasi Jaringan TV-Broadcast via Satelit Palapa C-2
4.2 Perhitungan Link Availability Perencanaan jaringan TV-Broadcast ini menggunakan target kualitas BER sebesar 10-7 sesuai yang tercantum dalam Draft ETSI EN 302 307 v 1.1.1 (200406). Indonesia (Region P) yang term as uk dalam daerah iklim tropis dimana pengaruh redaman hujan sangatlah besar sehingga pemilihan besar curah hujan yang bisa diterima harus dipertimbangkan dengan baik. Pertimbangan yang dimaksud menyangkut besarnya margin daya yang diperlukan transponder untuk memenuhi target kualitas link serta biaya yang akan dikeluarkan terhadap
penggunaan kapasitas transponder. Dalam Tugas Akhir ini dipilih kondisi curah hujan yang bisa diterima besarnya lebih dari 6 mm/hr yang berada pada 2% waktu (outage time) dalam setahun atau memiliki availability link sebesar 98%, dimana margin daya yang diperlukan untuk menutupi redaman hujan yang ditimbulkan masih dapat diakomodasi oleh transponder satelit Palapa C-2 dan masih dapat memenuhi target kualitas BER 10-7. Berikut adalah perhitungan redaman hujan dengan availability sebesar 98%. Langkah 1. Hitung tinggi efektif hujan (hR):
⎧3.0 + 0.028φ → 0 ≤ φ ≤ 36° ⎪ hR (Km) = ⎨ ⎪4.0 − 0.075(φ − 36) → φ ≥ 36° ⎩
hR = 3.0 + 0.028x6.13 = 3.172
Km
Langkah 2.
Hitung slant-path length (Ls) :
Ls =
( h R − hS ) sin θ
Ls =
(3.172 − 0.2) = 3.02 sin 79.7
Km
Langkah 3.
Hitung proyeksi horizontal (LG) dari slant-path length: LG = LS cos θ LG = 3.02 cos 79.7 = 0.54
Km
Langkah 4.
Intensitas hujan (R0.01) di Indonesia yang berada pada region P:
Tabel 4.1 Intensitas hujan(R0.01) di Indonesia Outage time
A
B
C
D
E
F
G
H
J
K
L
M
N
P
Q
(%) 1
< 0.5
1
2
3
1
2
3
2
8
2
2
4
5
12
24
0.3
1
2
3
5
3
4
7
4
13
6
7
11
15
34
49
0.1
2
3
5
8
6
8
12
10
20
12
15
22
35
65
72
0.03
5
6
9
13
12
15
20
18
28
23
33
40
65
105
96
0.01
8
12
15
19
22
28
30
32
35
42
60
63
95
145
115
0.003
14
21
26
29
41
54
45
55
45
70
105
95
140
200
142
0.001
22
32
42
42
70
78
65
83
55
100
150
120
180
250
170
R0.01 = 145 mm/hr
Langkah 5.
Hitung factor reduksi (r0.01) :
r0.01 =
1 L (1 + G ) LO
Dimana LO = 35exp(-0.015R0.01 ) r0.01 =
1 = 0.88 0.54 (1 + ) 35 exp(−0.015 × 145
Langkah 6.
Hitung redaman spesifik ( Aeff(0.01) ) dengan persamaan berikut:
Aeff ( 0.01) = kR0α.01 Aeff ( 0.01) = 0.025826 × 1451.155104 = 8.103
dB/km
Langkah 7.
Prediksi redaman hujan lintasan satelit untuk outage time 0.01 % dalam setahun. Aeff ( path , 0.01) = Aeff ( 0.01) × r × LS Aeff ( path , 0.01) = 8.103 × 0.88 × 3.02 = 21.549
dB
Langkah 8.
Hitung redaman dengan availability 98%:
[ = 21.549[0.12 × 2
AP = Aeff ( 0.01) 0.12 P − ( 0.546+ 0.043 log P ) AP
] ] = 1.76
− ( 0.546 + 0.043 log 2 )
dB
4.3 Perhitungan Link
Dalam menentukan perhitungan link, dipilih kondisi yang terburuk. Karena apabila kondisi ini sudah terpenuhi maka untuk kondisi yang lain akan terpenuhi juga. Dalam kasus ini kondisi yang terburuk adalah di kota Merauke, hal ini logis karena kota Merauke terletak pada 140.38o BT dan 8.46o LS. Hasilhasil perhitungan link dapat dilihat dibawah ini:
Tabel 4.2 Perhitungan link calculation satelit untuk antena TVRO 0.6 meter Parameter satelit: EIRP max G/T Gr Gt SFD Frek UL IBO BW xpd
COC 53 3 33.97 32 -95 13.79 6 72
Informasi yang disalurkan: MOC
EOC 52 0 32.971 31 -94 Frek DL OBO MHz
Parameter stasiun bumi: Pancar Terima Antena 5 0.6 Gant 54.62 32.515 el. Antena 79.7 56.67 Jrk ke sat 35887 PLul 206.3 Tlna Tfeeder Tatm Ttot G/T sb ada di
36702 PLdl 35 34
COC
22.5 91.5 12.901 MOC
51 -4 31.97 30 -93 10.99 4
dBW dB/K dB dB dBW/m2 GHz dB
Bit Rate FEC BER=10Pangkat Coding Gain Modulasi Eb/No rreq BW occ BW all Margin Hujan
5000 0.6912 -7 4.4 2 11.3 5063.8 6076.6 1.76
KBPS
dB QPSK dB KHz KHz dB
Margin Gas C/N req
0.26 11.449
dB dB
PAD sat EIRP sb pancar Pt sb pancar EIRP sb saturasi EIRP sat saturasi
6 63.5 8.8757 73.1 53
dB dBw dBw dBw dBw
km 204.6 K
EIRP sb linier EIRP sat linier EIRP sat pancar
67.1 49 45.4
dBw dBw dBw
K K K dB/K
C/N UL C/N DL C/IM C/I C/N total Carrier/xpd pwr
19.695 13.272 22 21.449 11.4 71 2.2909
dB dB dB dB dB buah
Carrier/xpd bw
11.849
Buah
m dB derajat
Tabel 4.3 Perhitungan link calculation satelit untuk antena TVRO 1 meter Parameter satelit: COC EIRP max 53 G/T 3 Gr Gt SFD
33.97
MOC 52 0
51 -4
32.971 32
-95
Frek UL IBO BWxpd
EOC
6 72
dB dB dBw/m2
Coding Gain Modulasi Eb/No req
4.4 2 11.3
dB QPSK dB
10.99 4
GHz dB
BW occ BWall Margin Hujan
5063.8 6076.6 1.76
KHz KHz dB
Margin Gas C/N req PAD sat EIRP sb pancar
0.26 11.449 6 60.3
dB dB dB dBw
m dB derajat
Pt sb pancar 5.6757 EIRP sb saturasi 73.1 EIRP sat saturasi 53
dBw dBw dBw
km 204.6 K
EIRP sb linier EIRP sat linier EIRP sat pancar
67.1 49 42.2
dBw dBw dBw
C/N UL C/N DL C/IM C/I C/N total Carrier/xpd pwr
16.495 14.509 22 21.449 11.47 4.7863
dB dB dB dB dB buah
Carrier/xpd bw
11.849
buah
Frek DL OBO MHz
Parameter stasiun bumi: Pancar Terima Antena 5 Gant 54.62 el. Antena 79.7 jrk ke sat 35887 PLul 206.3 Tlna Tfeeder Tatm Ttot GIT sb ada di
1 36.952 56.67 36702 PLdl 35 34
COC
K K K dB/K
22.5 91.5 17.338 MaC
KBPS
31.97 30 -93
31 -94
13.79
dBw dB/K
Informasi yang disalurkan: Bit rate 5000 FEC 0.6912 BER=10 pangkat -7
Tabel 4.4 Perhitungan link calculation satelit untuk antena TVRO 1.2 meter Parameter satelit: COC EIRP max 53 G/T 3 Gr 33.97 Gt 32 SFD -95 Frek UL IBO BWxpd
13.79 6 72
EOC 52 51 dBw 0 -4 dB/K 32.971 31.97 dB 31 30 dB dBw/m2 -94 -93
Informasi yang disalurkan: Bit rate 5000 FEC 0.6912 BER=10 pangkat -7 Coding Gain 4.4 Modulasi 2 Eb/No req 11.3
dB QPSK dB
Frek DL OBO MHz
BW occ BW all Margin Hujan
5063.8 6076.6 1.76
KHz KHz dB
Margin Gas C/N req PAD sat EIRP sb pancar
0.26 11.449 6 59.4
dB dB dB dBw
M dB derajat
Pt sb pancar EIRP sb saturasi EIRP sat saturasi
4.7757 73.1 53
dBw dBw dBw
Km 204.6 K
EIRP sb linier EIRP sat linier EIRP sat panear
67.1 49 41.3
dBw dBw dBw
C/N UL C/N DL C/IM
15.595 15.193 22
dB dB dB
MaC
10.99 4
Parameter stasiun bumi: Pancar Terima Antena Gant el. Antena
5 54.62 79.7
38.536 56.67
Jrk ke sat PLul Tina
35887 206.3
36702 PLdl
Tfeeder Tatm Ttot
1.2
35 34 22.5 91.5
K K K
GHz dB
KBPS
G/T sb ada di
18.921 MOC
COC
dB/K
C/I C/N total Carrier/xpd pwr
21.449 11.469 5.8884
dB dB buah
Carrier/xpd bw
11.849
buah
Tabel 4.5 Perbandingan Kapasitas Carrier Per Transponder Yang Digunakan Antena (m)
Power (buah)
Bandwidth (buah)
0.6
2.2909
11.849
1
4.7863
11.849
1.2
5.8884
11.849
Dari perhitungan diatas terlihat bahwa diameter antena TVRO yang memberikan hasil optimal pada kinerja link adalah antena berukuran 1.2 meter, dimana kapasitas carier yang didapat sebesar 5 buah. Setelah didapatkan kapasitas carrier yang diperlukan selanjutnya menentukan besamya bandwidth transponder yang perlu disewa berdasarkan tarif sewa transponder berikut: Tabel 4.6 Tarif Sewa Transponder PENGGUNAAN NO
BAGIAN
OBO BANDWIDTH SATELIT
TARIF PER TAHUN
1
TRANSPONDER (KHz) 1 72000
(dB) 0
$2,500,000.00
2
2/3
48000
-4
$1,799,434.00
3
½
34286
-7
$1,425,000.00
4
¼
16744
-10
$812,250.00
5
1/8
8636
-13
$462,982.00
6
1/16
4114
-16
$263,900.00
7
1/32
2052
-19
$150,423.00
8
1/64
1024
-22
$85,741.00
9
1/128
512
-25
$48,872.00
10
1/256
256
-28
$27,857.00
II
1/512
128
-3 I
$15,878.00
12
1/1025
64
-34
$9,043.00
Dari tabel diatas terlihat kalau kita menggunakan antena TVRO 0.6 meter maka bandwidth yang harus disewa sebesar 34286 KHz atau seperdua dari transpondernya. Antena TVRO 1 meter memberikan hasil yang lebih optimal
dimana bandwidth yang perlu disewa sebesar 16744 KHz atau seperempat transponder sesuai dengan kebutuhan carrier yang digunakan. Sedangkan apabila kita menggunakan antena TVRO 1.2 meter maka bandwidth yang disewa tetap sebesar 16744 KHz karena Indosat tidak menyediakan bandwidth sewa sebesar seperlima dari transpondernya, sehingga kita harus menyewa bandwidth terdekat sebesar seperempat transponder yang jelas-jelas sangat merugikan pemakai karena harus membayar yang tidak dipakai, sehingga pada Tugas Akhir ini dipilih antena TVRO 1 meter.
4.4 Perhitungan Equipment Availability
Dengan memakai perangkat yang memiliki Mean Time Between Failure (MTBF) 30000 jam dan availability yang diinginkan sebesar 99.99% maka dengan menggunakan persamaan 2.31 didapat Mean Time To Repair (MTTR) sebesar: 99.99% =
30000 30000 + MTTR
(30000 + MTTR ) ∗ (0.9999 ) = 30000 0.9999 MTTR = 30000 − 29997 jam MTTR = 3 jam
Jadi untuk mencapai availability 99.99% maka perbaikan terhadap perangkat yang rusak harus kurang dari 3 jam, tapi dengan adanya sistem backup maka perangkat ground segment tidak akan terlalu berpengaruh pada ketersediaan link. Perangkat pemancar yang digunakan Indosat memenuhi standar equipment availability yang dibutuhkan.
4.5 Perhitungan Biaya
Setelah dilakukan perhitungan link, maka selanjutnya akan dialokasikan seluruh biaya teknis yang harus diinvestasikan untuk mengimplementasikan perencanaan jaringan tersebut. Uraian dan rincian alokasi biaya tersebut adalah sebagai berikut:
4.5.1 BHP Frekuensi
Spektrum frekuensi radio adalah sumber daya alam terbatas yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat suatu bangsa. Berdasarkan penjelasan pada bagian 3.2.6 mengenai tarif BHP frekuensi, maka didapat BHP frekuensi yang harus dikeluarkan sebagai berikut: Untuk BHP frekuensi stasiun bumi pemancar: BHPFrekuensiRadio ( Rupiah ) =
( Ib ∗ HDLP ∗ b) + ( Ip ∗ HDDP ∗ p ) 2
BHPFrekuensiRadio ( Rupiah ) =
(0.04 ∗ 9681 ∗ 16744) + (0.18 ∗ 89364 ∗ 90.3) 2
BHPFrekuen siRadio ( Rupiah ) = Rp.3,968,234.508
Untuk BHP frekuensi satelit: BHPFrekuensiRadio ( Rupiah ) =
( Ib ∗ HDLP ∗ b) + ( Ip ∗ HDDP ∗ p ) 2
BHPFrekuensiRadio ( Rupiah ) =
(0.143 ∗ 5809 ∗ 16744) + (0 ∗ 53618 ∗ 72.2) 2
BHPFrekuen siRadio ( Rupiah ) = Rp.6,954,511.564
4.5.2 Biaya Sewa Transponder
Berdasarkan perhitungan link didapat kebutuhan transponder yang harus disewa untuk perencanaan ini sebesar 16744 KHz. Sesuai tabel tarif sewa transponder pada bagian 3.2.7, maka didapat biaya sewa transponder yang harus dikeluarkan seperti ditabelkan berikut:
Tabel 4.7 Biaya Sewa Transponder Bandwidth
Allocated
Bandwidth
Sewa
OBO
total
Biaya
(KHz)
(KHz)
(dB)
Transponder
6076.6
16744
10.8
$812,250.00
Sewa
4.5.3 Biaya Sewa Pemancar Dan Tail-Link Indosat
Sesuai penjelasan pada bagian 3.2.8 mengenai tarif sewa pemancar dan Tail-Link Indosat untuk fixed TV Up-Link, maka didapat biaya sewa pemancar dan Tail-Link Indosat untuk Up-Link siaran TV yang harns dikeluarkan seperti ditabelkan berikut:
Tabel 4.8 Biaya Sewa Pemancar Indosat untuk Fixed TV Up-Link dan Biaya Sewa Tail-Link Jakarta-Jatiluhur Lama
Biaya Sewa
Biaya Sewa
Penaaunaan
Pemancar
Tail-Link
1 tahun
$240,000.00
$120,000.00
Berdasarkan rincian biaya diatas dan asumsi 1 US$ = Rp.l0000, maka didapatkan biaya total untuk perencanaan jaringan TV-Broadcast via satelit Palapa C2 dengan menggunakan pemancar dan Tail-Link Indosat adalah sebagai berikut: Tabel 4.9 Alokasi Biaya Total BHP
Biaya Sewa
Biaya Sewa
Biaya Sewa
Biaya
Frekuensi
Transponder
Pemancar
Tail-Link
Total
Rp10,922,746.07 Rp8,122,500,000.00 Rp2,400,000,000.00 Rp1,200,000,000.00 Rp11,733,422,746.07
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari uraian pembahasan dan analisa perencanaan jaringan TV-Broadcast via Satelit pada frekuensi Ku-Band pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Antena TVRO optimal harus memiliki diameter antena 1 meter. 2. Kapasitas carrier per transponder yang digunakan adalah: •
1/4 dari kendala power
•
1/11 dari kendala bandwidth
3. Harga transponder yang harus disewa dari Indosat berdasarkan tarif yang dikeluarkan adalah 1/4 transponder.
5.2 Saran
1. Seyogyanya Indosat kembali menggunakan rumus: BiayaSewa = a dimana,
2 log
1 n
∗ HT
HT
: Harga sewa 1 buah transponder (2.5 juta US$)
n
: Bagian transponder yang disewakan
a
: KoefIsien sewa (untuk Palapa C-2 sebesar 0.57)
agar Indosat lebih fair terhadap pemakai transponder.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roger L. Freeman, Telecommunications Transmission Handbook, 4th ed., Wiley, New York, 1998. 2. Gerard Maral and Michel Bousquet, Satellite Communications Systems, 4th ed., Wiley, New York, 2002. 3. Gideon Jonathan, Ringkasan Rekayasa Transmisi Radio (Radio Engineering), Bandung, 2004. 4. Stan Prentiss, Satellite Communications, TAB Books Inc., 1983. 5. Recommendation ITU-R P.676-3, "Attenuation by Athmospheric Gases". 6. M. Cominetti and A. Morello, Digital Video Broadcasting over Satellite (DVB-S); A System for Broadcasting and Contribution Applications, International Journal Of Satellite Communications 2000: 18:393-410. 7. Digital Video Broadcasting (DVB); Second Generation Framing Structure, Channel Coding, and Modulation Systems for Broadcasting, Interactive Services, News Gathering, and Other Broadband Satellite Applications, Draft ETSI
EN
302
307
(Telecommunications Series).
v1.1.1
(2004-2006),
European
Standard
PALAPA-C CHARACTERISTIC • • • • • • • •
Satellite: PALAPA-Cl and PALAPA-C2 Launched: 1996 Orbital Position: 150.50 East and 113.00 East Transponder: 24 C-band (Max EIRP 39 dBW) 4 Ku-band (Max EIRP 53 dBW) Polarization: Linear Coverage C-band : ASEAN, India, Taiwan, China, Australia, New Zealand Hong Kong, Bangladesh and Papua New Gunea Coverage ku-band : Japan, South korea, Hongkong, China, Taiwan, part of ASEAN End of life: 2010
PALAPA C2 SATELLITE: • Geo Stationary Orbit at 113°E • National & Regional Video/Broadcasting & Telecommunication • Launched: May '96 • Hughes HS 601 • 24 C-band TRX (40 dBW) • 4 Ku-band TRX (53 dBW) • End of life: 2011 C-BAND
KU-BAND
BANDWIDTH
36 MHz
72 MHz
EIRP
40 dBW (at COC)
53 dBW (at COC)
G/T
+ 1 dB/K (at COC)
+ 3 dB/K (at COC)
SFD
- 95 to - 80 dBW/m2
- 95 to - 80 dBW/m2
-
LAMPIRAN E
TABEL ELEVASI-TEMPERATUR ANTENA, BANDWIDTH-C/IM, DIAMETEREFISIENSI ANTENA, ELEVASI-POSISI STASIUN BUMI TERHADAP SATELIT Elevasi
T antena
O
O
( )
( K)
0 5 7.5 10 12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5 30 32.5 35 37.5 40 42.5 45 47.5 50 52.5 55 57.5 60 62.5 65 67.5 70 72.5 75 77.5 80 82.5 85 87.5
320 200 175 150 137.5 125 112.5 100 92.5 85 77.5 70 65 60 55 50 45 40 35 30 26.25 22.5 18.75 15 13.75 12.5 11.25 10 8.75 7.5 6.25 5 4.25 3.5 2.75
90
2
BW (KHz) 5.1 5.9 7.7 8.9 9.0 13.4 15.4 17.9 19.2 22.4 26.9 30.7 33.6 35.8 53.8 61.4 71.7 92.2 107.5 107.5 122.9 143.4 161.3 215.0 245.8 286.7 368.6 430.1 430.1 491.5 573.4 645.1 860.2 983.0 1,146.9 1,720.3 1,966.1 4,587.5 13,762.6 15,728.6
C/IM (dB) 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 18 18 18 18 18 18 18 18 19 19 19 19 19 19 19 19 20 20 20 21 21 21 22 23 26
36,700.2
30
Diameter (m) 0.1 0.6 0.8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Eff Antena (%) 37% 37% 37% 37% 37% 45% 50% 55% 55% 60% 60% 65% 65%
Elevasi (O) Posisi Stabum 25 EOC 30 EOC 35 EOC 40 EOC 45 EOC 50 EOC 55 MOC 60 MOC 65 MOC 70 MOC 75 COC 80 COC 85 COC 90 COC Keterangan EOC : Edge of Coverage MOC : Medium of Coverage COC : Center of Coverage
LAMPlRAN F
BHP FREKUENSI
Pengenaan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi radio oleh Pemerintah Pusat (c.q Ditjen Postel) terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio oleh pengguna didasarkan kepada perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagai berikut: 1. UU No.20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 2. UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi 3. PP No.14 Tahun 2000 tentang PNBP yang berlaku di Departemen Perhubungan 4. PP No.53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum frekuensi Radio dan Orbit satelit 5. Kepmen Perhubungan No. 40 Tahun 2002 tentang petunjuk pelaksanaan tarif PNBP dari BHP spektrum frekuensi radio. Setiap pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar BHP spektrum frekuensi radio yang dibayar di muka untuk masa penggunaan satu tahun. Seluruh penerimaan BHP frekuensi radio tersebut disetor ke Kas Negara sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Perhitungan besaran BHP frekuensi radio digunakan berdasarkan formula yang ditetapkan pada PP No.14 tahun 2000, yaitu: BHPFrekuen siRadio(Ru piah) =
(Ib ∗ HDLP ∗ b) + (Ip ∗ HDDP ∗ p) 2
Keterangan : a. HDDP adalah Harga Dasar Daya Pancar (HDDP) dalam Rp/kHz b. HDLP adalah Harga Dasar Lebar Pita frekuensi radio (HDLP) dalam Rp/dBm c. p adalah daya pancar keluaran antena EIRP (dalam dBm) d. b adalah lebar pita frekuensi yang diduduki (bandwidth occupied) dalam kHz e. Ib adalah indeks biaya pendudukan lebar pita f. Ip adalah indeks biaya daya pancar
Besamya HDDP dan HDLP ditentukan berdasarkan pengelompokkan pita frekuensi dan zone lokasi pemancar yang ditetapkan pada PP No.14 tahun 2000 tersebut. Pembagian pita frekuensi dilakukan berdasarkan Radio Regulation-lTU sebagai berikut: Tabel.1 Spektrum Frekuensi No Band frekuensi 1 VLF 2 LF 3 MF 4 HF 5 VHF 6 UHF 7 SHF 8 EHF
0.009 0.03 0.3 3 30 300 3000 30000
MHz 0.030 0.30 3.0 30 300 3000 30000 275000
Tabel berikut ini merupakan besaran HDDP (Harga Dasar Daya Pancar) Tabel.2 Harga Dasar Daya Pancar No Band Frekuensi 1 VLF 2 LF 3 MF 4 HF 5 VHF 6 UHF 7 SHF 8 EHF
Zone I Zone II Zone III Zone IV Zone V 191629 153303 114977 76652 38326 142844 114844 85707 57138 28659 140403 112322 84242 56161 28081 135353 108282 81212 54141 27071 119665 95732 71799 47866 23933 109481 87585 65688 43792 21896 89364 7149 53618 135745 17873 54188 43350 32513 21675 10838
Tabel berikut ini merupakan besaran HDLP (Harga Dasar Lebar Pita Frekuensi) Tabel.3 Harga Dasar Lebar Pita Frekuensi No Band Frekuensi Zone I Zone II Zone III Zone IV 1 VLF 20961 16769 12576 8384 2 LF 15715 12577 9429 6286 3 MF 15249 12199 9149 6099 4 HF 14581 11665 8749 5832 5 VHF 12888 10310 7733 5155 6 UHF 11772 9418 7063 4709
Zone V 4192 3143 3050 2916 2578 2354
SHF EHF
7 8
9681 6101
7745 4881
5809 3664
3873 2440
1936 1220
Penentuan besaran indeks biaya pendudukan lebar pita (Ib), indeks biaya daya pancar (Ip) ditentukan berdasarkan jenis servis komunikasi radio dan zone lokasi berdasarkan wilayah Kabupaten/Kotamadya. Besarnya Ib, Ip dan pengelompokkan zone ditentukan dalam Lampiran I Kepmen Perhubungan No. 40 Tahun 2000. Secara berkala setiap 2 (dua tahun) sekali, nilai Ib dan Ip akan ditinjau dengan memperhatikan komponen-komponen pelayanan
komunikasi
radio
yang
baru,
perkembangan
wilayah
Kabupaten/Kotamadya serta pertumbuhan ekonomi. Untuk servis komunikasi radio yang tidak tercantum dalam Keputusan tersebut, untuk penetapan parameter Ib dan Ip mengambil asumsi jenis pelayanan yang sejenis. Tabel 4 Indeks Biaya Pendudukan Lebar Pita dan Indeks Biaya Daya Pancar JENIS PENGGUNAAN FREKUENSI
Ib
Ip
0,060 0,143 0,040 0,040 8,210 8,790 3,400 1,360 0,230 0,070 0,410 0,020 0,001 14,870 24,240 0,08 2,720 11,890 0,390 0,060 33,980 3,640 32,280 0,110
0,290 0,000 0,180 0,180 0,630 4,200 11,710 0,110 0,490 0,490 0,910 0,060 0,018 0,580 0,790 2,52 0,130 0,650 0,020 0,290 1,330 0,150 1,930 0,000
Stasiun Bumi
0,020
0,050
Base/repeater stasiun
0,030
0,110
Portable Unit/Mobile unit/Handy Talky
0,230
0,020
Jaringan Terestrial (backbone)
Base/repeater stasiun Satelit (Space Segmen) Jaringan Salelit Stasiun bumi tetap Stasiun bumi portable Jasa Selular FOMA (AMPS, NMT) Base + out stasiun Jasa Selular TOMA (GSM,OCS & PCS) Base + out stas un Jasa Selular OS-COMA (IS-95) Base + out stasiun Jasa Wireless Local Loop FOMA Base + remote/out stasiun Jasa Wireless Local Loop TOMA Base + remote/out stasiun Jasa Wireless Local Loop OS-COMA Base + remote/out stasiun Jasa Wireless Data (primer) Base + remote/out stasiun Jasa Wireless Data (sekunder) Base + remote/out stasiun Jasa Telepoint (CT2 & CT2+) Base + out stasiun Jasa Radio Trunking Base + out stasiun Jasa Radio Paging Base/repealer + out stasiun JasaVSAT Hub + remote stasiun Base stasiun Telsus Keperluan sendiri «1 Ghz) Repeater stasiun Portable Unit/Mobile unit/Handy Talky Telsus Keperluan sendiri (>=1 Ghz) Base/repeater stasiun Telsus Radio Trunking Base + out stasiun Telsus Radio Paging Base + out stasiun Telsus Radio Taxi Base + out stasiun Satelit (Space Segmen)
Telsus Riset dan Eksperimen
Stasiun radio pantai Telsus Penerbangan (aeronautical band) Stasiun kapal (Portable Unit) Stasiun kapal (Handy Talky) Stasiun radio pantai Telsus maritim (maritime band) Stasiun kapal (Portable Unit) Stasiun kapal (Handy Talky) Radio siaran AM Telsus Penyiaran Terestrial Radio siaran FM Televisi siaran tak berbayar Telsus Penyiaran Satelit Televisi siaran berlangganan Stasiun Amatir Stasi un Citizen Band Telsus untuk keperluan dinas khusus Stasiun Radio Navigasi Stasiun Radio Astronomi Stasiun Radio Meteorologi Telekomunikasi khusus untuk keperluan Hankanneg dan perwakilan negara (asas timbal batik)
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 10,930 0,840 0,640 0,143 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,240 0,490 8,430 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Dari tabel Ib dan Ip di atas, diketahui bahwa untuk beberapa servis komunikasi radio tidak dikenakan BHP frekuensi radio, yaitu: • Keperluan pertahanan dan keamanan • Keperluan perwakilan diplomatik negara asing dengan memperhatikan asas resiprokal (timbal balik) • Telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan seperti Radio Amatir, Citizen Band • Telekomunikasi khusus untuk dinas khusus, seperti untuk keperluan navigasi, astronomi dan meteorologi • Penggunaan pita frekuensi maritim untuk keperluan komunikasi radio keselamatan pelayaran, seperti stasiun radio pantai dan stasiun kapal laut, GMDSS maupun non-GMDSS • Penggunaan pita frekuensi penerbangan untuk keperluan komunikasi radio navigasi dan keselamatan penerbangan, seperti stasiun ground to air, radar, maupun stasiun radio di pesawat udara Pengelompokan
zone
ditentukan
berdasarkan
lokasi
wilayah
Kabupaten/Kota ditentukan berdasarkan Lampiran II Kepmenhub No. 40 Tahun 2002. Pengelompokan ini didasarkan pada potensi ekonomi, pendapatan asli daerah, serta jumlah penduduk. Untuk Kabupaten/Kota yang dibentuk setelah Kepmenhub tersebut ditentukan, penentuan zona diasumsikan mengikuti wilayah administratif Kabupaten/Kota yang lama. Untuk BHP frekuensi radio jaringan
satelit ruas angkasa (space segment), karena cakupannya dapat menjangkau seluruh Indonesia, maka zone yang digunakan adalah zone-3 (zone rata-rata). Untuk BHP frekuensi radio bagi sistem komunikasi yang pada tabel 4 di atas disebutkan dengan out stationnya, seperti base station + out station, base station/repeater + out station, hub + out station, mengandung arti bahwa yang dihitung hanya base, repeater atau hub station-nya saja tanpa mempertimbangkan jumlah remote station/out station yang terhubung pada base, repeater atau hub station tersebut.
LAMPlRAN G
AVAILABILITY, LOSS & REDAMAN PROPAGASI, DELAY PROPAGASI Tabel A Perbandingan Redaman Hujan untuk Availability 99.99 % dan 98 % A_UL 99,99% A_DL 99,99% No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
A_UL 98%
A_DL 98%
Kota Banda Aceh Medan Padana Palembang Jambi Bengkulu PekanBaru Bandar Lampung Jakarta Jkt (Pemancar) Banduna Semarana Yogyakarta Surabaya Denpasar Mataram Kupang Dili Samarinda Pontianak Banjarnasin Palangkarava Ujung Pan dang Manado Kendari Palu Ambon Jayapura Merauke
(dB)
(dB)
(dB)
(dB)
21.55 -
13.87 13.99 13.88 14.60 14.36 14.38 13.95 14.85 15.05 15.11 15.34 15.31 15.40 15.35 15.27 14.70 14.48 15.02 15.08 15.52 15.63 14.96 14.04 14.52 14.61 13.92 13.18 13.67
1.76 -
1.13 1.14 1.13 1.19 1.17 1.17 1.14 1.21 1.23 1.23 1.25 1.25 1.25 1.25 1.24 1.20 1.18 1.22 1.23 1.26 1.27 1.22 1.14 1.18 1.19 1.13 1.07 1.11
Tabel B Loss dan Redaman Propagasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
FSL
FSL
Ahujan
Ahujan
Agas
Agas
uplink
downlink
uplink
downlink
uplink
downlink
Kota Banda Aceh Medan Padang Palembang Jambi Benqkulu PekanBaru Bandar Lampung Jakarta Jkt (Pemancar) Bandung Semaranq Yoqyakarta Surabaya Denpasar Mataram Kupang Dili Samarinda Pontianak Banjarnasin Palangkaraya Ujung Pan dang Manado Kendari Palu Ambon Jayapura Merauke
206.34 -
204.44 204.40 204.39 204.37 204.37 204.38 204.38 204.37 204.37 204.37 204.36 204.36 204.36 204.36 204.37 204.40 204.41 204.35 204.35 204.35 204.35 204.36 204.38 204.37 204.36 204.41 204.55 204.56
1.76 -
Parameter perhitungan redaman gas atmosfer. Parameter Uplink Downlink hwo 2.1 2.1 ho 6 6 hs 0.002 0.002 t 33 33 U 78.25 78.25 Yo 0.007946 0.007231 es 50.38084 50.38084 ρw 27.9465 27.9465 0.082106 0.045864 Y ω
Hω
x = Yo .ho .e
− hs / ho
+ Yω hω
2.576662
2.535374
0.259218
0.159656
1.13 1.14 1.13 1.19 1.17 1.17 1.14 1.21 1.23
-
1.23 1.25 1.25 1.25 1.25 1.24 1.20 1.18 1.22 1.23 1.26 1.27 1.22 1.14 1.18 1.19 1.13 1.07 1.11
-
-
0.17 0.17 0.17 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.26
Unit km km km deg % dB/km mb g/m3 dB/km
0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.17 0.17 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.17 0.19 0.19
Ket hujan f < 57GHz
km Agas=x/sinE
Tabel C Delay Propagasi Setiap Link Jakarta (Pemancar) Kota Banda Aceh Medan Padang Palembang Jambi Bengkulu PekanBaru Bandar Lampung Jakarta Bandung Semarang Yogyakarta Surabaya Denpasar Mataram Kupang Dili Samarinda Pontianak Banjarnasin Palangkaraya Ujung Pandang Manado Kendari Palu Ambon Jayapura Merauke
Slanth Path
Delay (ms)
72041.51 71904.63 71842.25 71748.29 71762.17 71805.83 71812.03 71756.87 71747.34 71747.51 71721.76 71737.18 71721.23 71742.33 71753.74 71903.67 71917.54 71679.31 71674.64 71676.31 71666.31 71737.12 71823.83 71781.49 71718.30 71932.34 72507.05 72562.53
240.14 239.68 239.47 239.16 239.21 239.35 239.37 239.19 239.16 239.16 239.07 239.12 239.07 239.14 239.18 239.68 239.73 238.93 238.92 238.92 238.89 239.12 239.41 239.27 239.06 239.77 241.69 241.88