Perekonomian dan Perbankan Agustus 2016 Equity Tower Lt 20, 21 & 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Jl. Jend Sudirman Kav 52-53 Jakarta 12190
Ringkasan Laporan
Bank of Japan meningkatkan intensitas stimulus moneter melalui penambahan pembelian exchange-traded fund dari JPY 3,3 triliun menjadi JPY 6 triliun per tahun untuk melindungi ekonomi Jepang dari dampak negatif Brexit. Bank of England menurunkan policy rate-nya sebesar 25 bps menjadi 0,25% dan meningkatkan nilai pembelian obligasi pemerintah dari GBP 375 miliar menjadi GBP 435 miliar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia naik menjadi 5,18% y/y pada kuartal II 2016 dari 4,91% pada kuartal sebelumnya, didorong oleh perbaikan konsumsi swasta dan pemerintah. Defisit neraca berjalan menurun ke USD 4,68 miliar (2,02% PDB) pada kuartal II 2016 dari USD 4,76 miliar (2,19% PDB) pada kuartal I. Neraca pembayaran mengalami surplus sebesar USD 2,16 miliar. Pemerintah mengajukan defisit untuk tahun anggaran 2017 sebesar Rp 332,84 triliun (2,41% PDB). Alokasi belanja infrastruktur mencapai Rp 346,6 triliun atau naik 9,3% dari pagu APBNP 2016. Isu Brexit, Penurunan Suku Bunga BoE dan Isu Kenaikan Fed Rate masih dominan mempengaruhi Pasar. Meskipun The Fed memandang AS memiliki fundamental yang baik untuk menaikkan suku bunga namun beberapa aspek masih menjadi pertimbangan. Pasar Finansial Indonesia mencatatkan return yang cukup baik. Faktor Perbaikan kondisi perekonomian, optimisme pasar dan Tax Amnesty merupakan penggerak utama pasar domestik. Di tengah tekanan pada perekonomian, industri perbankan masih mencatatkan pertumbuhan yang positif dengan tingkat permodalan yang mencukupi untuk bertahan dari tekanan risiko yang ada. Likuiditas perbankan pada bulan Mei 2016 mulai memperlihatkan sedikit tekanan yang ditandai dengan peningkatan rasio kredit terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) dari 89,52% pada April 2016 menjadi 90,32% pada Mei 2016. Gejolak harga minyak berdampak luas pada kegiatan investasi upstream berbasis offshore terutama untuk wilayah laut dalam, mayoritas proyek migas laut dalam tidak feasible dilevel harga minyak USD 50/bbl . Peluang investasi yang masih terbuka dalam jangka pendek berada di wilayah onshore, shallow water dan brownfield dengan skala investasi menengah. Risiko industri perbankan Indonesia masih dalam kondisi normal. Berdasarkan update data perbankan bulan Juni 2016, dan data pasar bulan Juli 2016, angka BSI pada bulan Juli 2016 mengalami penurunan sebesar 1 bps bila dibandingkan dengan angka BSI pada bulan Juni 2016, yaitu dari 99,48 menjadi 99,47
1
Ekonomi Makro
Stimulus Moneter Jepang dan Inggris Seto Wardono Bank of Japan meningkatkan intensitas stimulus moneter melalui penambahan pembelian exchange-traded fund JPY 3,3 triliun menjadi JPY 6 triliun per tahun untuk melindungi ekonomi Jepang dari dampak negatif Brexit. Bank of England menurunkan policy rate-nya sebesar 25 bps menjadi 0,25% dan meningkatkan nilai pembelian obligasi pemerintah dari GBP 375 miliar menjadi GBP 435 miliar. Bank of Japan (BOJ) pada 29 Juli 2016 memutuskan untuk meningkatkan intensitas stimulus moneternya guna melindungi ekonomi Jepang dari dampak negatif keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). BOJ menambah nilai pembelian exchange-traded fund (ETF) dari JPY 3,3 triliun menjadi JPY 6 triliun per tahun. Untuk menjamin kecukupan pembiayaan valuta asing bagi korporasi di Jepang, BOJ menaikkan nilai pinjaman dolarnya dari USD 12 miliar menjadi USD 24 miliar. Di luar ETF, nilai pembelian aset lain tidak diubah. Pembelian obligasi pemerintah dan real estate investment trust bertahan di angka JPY 80 triliun dan JPY 90 miliar per tahun. Nilai pembelian commercial paper dan obligasi korporasi juga tidak berubah di level JPY 2,2 triliun dan JPY 3,2 triliun per tahun. BOJ juga mempertahankan suku bunga -0,1% untuk bagian tertentu dari simpanan lembaga keuangan yang ditempatkan di bank sentral. Penambahan stimulus moneter tersebut ditempuh agar ketidakpastian eksternal yang naik pasca Brexit tidak menyebabkan penurunan sentimen dunia usaha dan konsumen di Jepang. Menurut BOJ, ketidakpastian mengenai dampak Brexit terhadap pasar keuangan dan aktivitas ekonomi global serta faktor eksternal lain dapat mempengaruhi ekspor dan impor Jepang sehingga membutuhkan perhatian. Ketidakpastian eksternal itu pun dipandang menjadi downside risk bagi aktivitas ekonomi dan inflasi di Jepang. PDB Jepang
Inflasi IHK Jepang
6
4
% q/q, disetahunkan
% y/y
3
3 2
0
1 0
-3
-1
Jun-16
Jun-15
Jun-14
Jun-13
Jun-12
Jun-11
Jun-10
Jun-09
Jun-08
Jun-07
Headline Tanpa Pangan Segar Tanpa Pangan dan Energi
Jun-06
2Q16
1Q16
4Q15
3Q15
2Q15
1Q15
4Q14
3Q14
2Q14
1Q14
4Q13
3Q13
2Q13
1Q13
-3
4Q12
-9
3Q12
-2
2Q12
-6
Sumber: CEIC Gambar 1. PDB dan Inflasi Jepang Beberapa hari setelah BOJ mengumumkan penambahan nilai pembelian asetnya, pemerintah Jepang juga mengumumkan pemberian stimulus untuk mendorong aktivitas ekonomi. Pemerintah mengumumkan paket stimulus bernilai total JPY 28,1 triliun yang akan dibelanjakan dalam beberapa
3
tahun. Paket kebijakan ini mencakup rencana belanja baru senilai JPY 7,5 triliun yang meliputi JPY 1,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur, JPY 2,5 triliun untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, JPY 2,7 triliun untuk rekonstruksi area yang terkena gempa tahun ini di selatan Pulau Kyushu, serta JPY 600 miliar untuk bantuan kepada perusahaan kecil dan menengah yang terkena dampak Brexit. Menurut perkiraan pemerintah, paket stimulus ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 1,3% dalam dua tahun ke depan. Ekonomi Jepang hampir mengalami stagnasi pada kuartal II 2016 akibat pelemahan konsumsi swasta dan ekspor serta berlanjutnya kontraksi pada investasi dunia usaha. Produk domestik bruto negara itu tumbuh hanya 0,2% q/q (disetahunkan) pada kuartal lalu. Angka ini lebih rendah dari estimasi para ekonom yang berada di level 0,7% dan jauh di bawah realisasi pertumbuhan kuartal I yang sebesar 2%. Konsumsi swasta tumbuh hanya 0,6% pada kuartal II, anjlok dari 2,8% pada kuartal I. Pada kuartal II, ekspor Jepang mengalami penurunan 5,9% setelah meningkat 0,4% pada kuartal sebelumnya. Investasi swasta di sektor non-residensial terkoreksi 1,5% pada kuartal II, menyusul kontraksi 2,7% pada kuartal I. Sementara itu, indeks harga konsumen (IHK) terus bergerak turun. IHK di luar komponen makanan segar (yang menjadi target inflasi BOJ) mengalami deflasi 0,5% y/y pada Juni 2016, menyusul deflasi 0,4% pada bulan sebelumnya. Tidak lama setelah BOJ meningkatkan stimulus moneternya, Bank of England (BOE) mengambil langkah serupa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah bayang-bayang Brexit. BOE pada 3 Agustus 2016 menurunkan policy rate-nya sebesar 25 bps menjadi 0,25% dan meningkatkan nilai pembelian obligasi pemerintah dari GBP 375 miliar menjadi GBP 435 miliar. Selain itu, BOE juga mengalokasikan dana hingga GBP 10 miliar yang akan dipakai untuk membeli obligasi korporasi serta menyediakan paket pembiayaan untuk perbankan guna menjaga pertumbuhan kredit. Menurut BOE, stimulus moneter tambahan perlu diberikan bagi perekonomian Inggris di tengah potensi pelemahan permintaan relatif terhadap penawaran. Sebagai trade off dari kebijakan ini, inflasi untuk sementara akan berada di atas targetnya namun pelemahan di sisi permintaan diyakini akan manahan laju inflasi dalam jangka menengah. Penurunan bunga acuan sebesar 25 bps ditujukan untuk memangkas bunga kredit bagi rumah tangga dan dunia usaha. Namun demikian, karena suku bunga sudah mendekati nol, beberapa bank diperkirakan akan mengalami kesulitan untuk memangkas bunga simpanan dan kreditnya. Untuk mengatasi hal ini, BOE meluncurkan paket pembiayaan untuk perbankan yang dinamai Term Funding Scheme dengan bunga mendekati bunga acuan. Sementara, peningkatan nilai pembelian obligasi pemerintah sebanyak GBP 60 miliar ditujukan untuk menurunkan yield instrumen tersebut yang diperhitungkan dalam penentuan bunga kredit. Pembelian obligasi korporasi oleh BOE diyakini akan dapat meningkatkan permintaan di pasar sekunder, memangkas liquidity premium, dan akhirnya mendorong penerbitan di pasar primer. Ekonomi Inggris Raya tumbuh 0,6% q/q pada kuartal II 2016, lebih tinggi dari 0,4% pada kuartal sebelumnya. Menurut BOE, Brexit diperkirakan akan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Inggris melalui beberapa jalur, meski saat ini masih sedikit informasi yang menunjukkan besaran pengaruhnya. BOE memprediksi perlambatan pertumbuhan ekonomi Inggris menjadi 0,1% q/q pada kuartal III 2016 akibat kombinasi pelemahan konsumsi rumah tangga dan investasi. Pertumbuhan ekonomi juga akan tertekan oleh upaya perusahaan untuk mengurangi stok barangnya di tengah ekspektasi pelemahan permintaan dalam jangka pendek.
4
Perkembangan PDB, Neraca Pembayaran, dan RAPBN 2017 Seto Wardono Pertumbuhan ekonomi Indonesia naik menjadi 5,18% y/y pada kuartal II 2016 dari 4,91% pada kuartal sebelumnya, didorong oleh perbaikan konsumsi swasta dan pemerintah. Defisit neraca berjalan menurun ke USD 4,68 miliar (2,02% PDB) pada kuartal II 2016 dari USD 4,76 miliar (2,19% PDB) pada kuartal I. Neraca pembayaran mengalami surplus sebesar USD 2,16 miliar. Pemerintah mengajukan defisit untuk tahun anggaran 2017 sebesar Rp 332,84 triliun (2,41% PDB). Alokasi belanja infrastruktur mencapai Rp 346,6 triliun atau naik 9,3% dari pagu APBN-P 2016. Pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik pada kuartal II 2016, didorong oleh penguatan konsumsi swasta dan pemerintah. Produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,18% y/y (+4,02% q/q) pada kuartal itu, naik dari 4,91% y/y (-0,36% q/q) pada kuartal I 2016. Pertumbuhan y/y kuartal II itu adalah juga yang tertinggi sejak kuartal I 2010. Secara kumulatif, ekonomi Indonesia tumbuh 5,04% y/y pada semester I 2016, naik dari 4,89% y/y pada semester II 2015.
4
0 Konsumsi Swasta PMTB Ekspor Bersih
2Q16
4Q15
1Q16
2Q15
3Q15
4Q14
1Q15
2Q14
-8
Konsumsi Pemerintah Perubahan Inventori Diskrepansi Statistik
3Q14
-4
4Q13
-3
8
1Q14
3.0
2Q16
-2
4Q15
3.5
2Q15
-1
4Q14
4.0
2Q14
0
4Q13
4.5
2Q13
1
4Q12
2
5.0
2Q12
5.5
4Q11
3
2Q11
4
6.0
2Q13
5
3Q13
%
y/y
4Q12
q/q (Kanan)
1Q13
%
6.5
2Q12
7.0
Andil Jenis Pengeluaran terhadap Pertumbuhan y/y PDB 12 ppts
3Q12
PDB Indonesia
* Mencakup konsumsi rumah tangga dan lembaga non-profit rumah tangga. Sumber: CEIC, LPS Gambar 2. Pertumbuhan PDB dan Andil Jenis Pengeluaran Percepatan laju ekonomi pada kuartal II 2016 sejalan dengan penguatan konsumsi swasta dan pemerintah. Dilatarbelakangi oleh penguatan tingkat keyakinan dan penurunan inflasi, pertumbuhan y/y konsumsi rumah tangga meningkat dari 4,94% pada kuartal I menjadi 5,04% pada kuartal II. Pada periode yang sama, pertumbuhan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) juga naik dari 6,4% menjadi 6,72%. Sementara itu, kenaikan belanja pegawai menjadi faktor terpenting yang mendorong perbaikan pertumbuhan y/y konsumsi pemerintah dari 2,94% pada kuartal I menjadi 6,28% pada kuartal II. Belanja pegawai pada kuartal lalu meningkat sejalan dengan adanya pemberian tunjangan hari raya (THR) untuk pertama kalinya kepada pegawai negeri sipil (PNS) pada akhir bulan Juni, selain pemberian gaji ke-13. Secara kumulatif, kontribusi konsumsi swasta (rumah tangga dan LNPRT) dan pemerintah terhadap pertumbuhan y/y PDB mencapai 3,28 poin persentase (ppts) pada kuartal II lalu, lebih tinggi dari kontribusi kuartal sebelumnya yang sebanyak 2,98 ppts. Berbeda dengan konsumsi, kinerja investasi fisik cenderung mengalami pelemahan pada kuartal II 2016, terutama akibat penurunan aktivitas konstruksi bangunan. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh 5,06% y/y pada kuartal lalu, turun dari 5,57% pada kuartal I 2016. Dengan demikian,
5
andil PMTB terhadap pertumbuhan y/y PDB turun dari 1,79 ppts menjadi 1,61 ppts. Penurunan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi juga dialami oleh ekspor bersih (ekspor minus impor), yaitu dari 0,29 ppts pada kuartal I menjadi hanya 0,02 ppts pada kuartal II. Hal ini terjadi akibat kinerja impor yang lebih baik daripada ekspor. Impor barang dan jasa pada kuartal II lalu mengalami kontraksi sebesar 3,01% y/y, tapi angka ini masih lebih baik dari kontraksi sebesar 5,08% y/y pada kuartal I. Sedangkan, ekspor menurun 2,73% y/y pada kuartal II, dibandingkan penurunan 3,53% di kuartal sebelumnya. PDB Menurut Lapangan Usaha
PDB Menurut Jenis Pengeluaran 9
% y/y
4Q15
1Q16
2Q16
6
Pertanian
4Q15
Pertambangan
1Q16
Manufaktur
2Q16
3
Konstruksi
0
Perdagangan Transportasi
-3
Informasi
-6
Jasa Keuangan Sektor Lainnya
-9 Konsumsi Konsumsi Swasta Pemerintah
PMTB
Ekspor
Impor
PDB
PDB
% y/y -9
-6
-3
0
3
6
9
12
15
Sumber: CEIC, LPS Gambar 3. PDB menurut Jenis Pengeluaran dan menurut Lapangan Usaha Di sisi produksi, mayoritas sektor ekonomi sebenarnya mengalami pelemahan kinerja di kuartal II lalu, namun kinerja sektor-sektor penting mengalami perbaikan sehingga membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dari 17 sektor ekonomi, hanya terdapat enam sektor yang mengalami perbaikan pertumbuhan pada kuartal II. Termasuk ke dalam enam sektor ini adalah sektor pertanian, manufaktur, dan perdagangan yang masing-masing memiliki porsi di atas 13% terhadap PDB nominal. Di luar tiga sektor penting itu, masih ada sektor finansial yang mengalami perbaikan kinerja cukup signifikan. Output sektor finansial tumbuh 13,51% y/y pada kuartal II, jauh melebihi pertumbuhan 9,26% pada kuartal sebelumnya. Hal ini terjadi sejalan dengan pulihnya pertumbuhan kredit serta membaiknya indikator keuangan lain seperti indeks harga saham, yield obligasi, dan nilai tukar rupiah. Data hingga bulan Juli 2016 belum secara meyakinkan menunjukkan berlanjutnya pemulihan konsumsi. Pertumbuhan penjualan mobil memang sudah berada di teritori positif dan bahkan terus meningkat. Akan tetapi, pertumbuhan penjualan sepeda motor malah berbalik melemah (Gambar 4 sisi kiri). Sedangkan, indikator bulanan pada Juli lalu belum menunjukkan pemulihan investasi. Ini terlihat dari pertumbuhan impor barang modal yang masih negatif dan lebih lemah dibandingkan pada bulan Juni. Dorongan terhadap investasi diperkirakan muncul dari sisi fiskal, yaitu melalui percepatan realisasi belanja modal pemerintah. Pemberian THR dan gaji ke-13 kepada PNS pada akhir Juni mengindikasikan bahwa peran penting belanja pegawai pada kuartal II dapat bersifat sementara, tapi pemerintah masih dapat berkontribusi bagi perbaikan pertumbuhan ekonomi melalui percepatan belanja barang.
6
Penjualan Otomotif dan Penjualan Eceran 90 3M Sum, % y/y
Konsumsi Semen dan Impor Barang Modal 80 3M Sum, % y/y Konsumsi Semen 60
60
Impor Barang Modal
40 30
20
0 0 -30
-20
Sepeda Motor
Mobil
Eceran
-60
Jul-16
Jan-16
Jul-15
Jan-15
Jul-14
Jul-13
Jan-14
Jul-12
Jan-13
Jul-11
Jan-12
Jan-11
Jul-10
Jan-10
Jan-07 Jul-07 Jan-08 Jul-08 Jan-09 Jul-09 Jan-10 Jul-10 Jan-11 Jul-11 Jan-12 Jul-12 Jan-13 Jul-13 Jan-14 Jul-14 Jan-15 Jul-15 Jan-16 Jul-16
-40
Sumber: CEIC, LPS Gambar 4. Perkembangan Indikator Bulanan Konsumsi dan Investasi Pertumbuhan ekonomi berpotensi terus membaik pada kuartal III 2016, antara lain didukung oleh dampak pelonggaran kebijakan moneter di semester I, pemulihan harga komoditas, dan inflasi yang rendah. Survei Tendensi Bisnis yang dilakukan Badan Pusat Statistik menunjukkan persepsi positif pelaku usaha dalam melihat kondisi bisnis di kuartal III. Menurut hasil survei ini, 16 dari 17 sektor ekonomi diperkirakan akan mengalami penguatan aktivitas pada kuartal III 2016, didukung oleh perbaikan order dari dalam dan luar negeri, kenaikan harga jual produk, serta kenaikan order barang input. Satu-satunya sektor ekonomi yang diprediksi mengalami pelemahan aktivitas pada kuartal III adalah sektor pertambangan. Defisit neraca berjalan Indonesia mengecil menjadi USD 4,68 miliar (2,02% PDB) pada kuartal II 2016 dari USD 4,76 miliar (2,19% PDB) pada kuartal sebelumnya. Akan tetapi, angka itu masih lebih tinggi dari defisit USD 4,29 miliar (1,96% PDB) pada kuartal II 2015. Sementara, surplus neraca finansial melonjak dari USD 4,59 miliar pada kuartal I menjadi USD 7,42 miliar. Dengan perkembangan ini, neraca pembayaran mengalami surplus USD 2,16 miliar pada kuartal II, dibandingkan dengan defisit USD 287 juta pada kuartal sebelumnya. Pada periode yang sama, defisit pada basic balance terpantau turun dari USD 2,08 miliar menjadi USD 1,69 miliar. Penurunan defisit neraca berjalan pada kuartal II 2016 disebabkan oleh membaiknya neraca barang. Didorong oleh pemulihan harga komoditas, ekspor barang naik 9,51% q/q pada kuartal lalu menjadi USD 36,25 miliar, sedangkan impor barang meningkat 7,04% q/q menjadi USD 32,53 miliar. Dengan demikian, surplus neraca barang membesar dari USD 2,71 miliar pada kuartal I menjadi USD 3,72 miliar pada kuartal II. Pada periode yang sama, sejalan dengan perbaikan aktivitas perdagangan internasional Indonesia dan faktor musiman, defisit di neraca jasa meningkat dari USD 1,15 miliar menjadi USD 2 miliar. Defisit neraca pendapatan primer juga naik, yaitu dari USD 7,56 miliar menjadi USD 7,62 miliar, terutama disebabkan oleh pembayaran hasil investasi ke luar negeri yang memang cenderung meningkat di setiap kuartal II. Sementara, surplus neraca pendapatan primer hampir tidak bergerak di level USD 1,23 miliar.
7
Neraca Pembayaran 16
Dekomposisi Neraca Berjalan
Miliar US$
12
Barang Pendapatan Primer Neraca Berjalan
Miliar US$
12 8
Jasa Pendapatan Sekunder
6
4
0
0
-4 -8
2Q16
4Q15
2Q15
4Q14
2Q14
4Q13
2Q13
4Q12
2Q12
4Q11
2Q16
4Q15
2Q15
-12
4Q14
2Q14
4Q13
2Q13
Neraca Finansial
4Q12
Neraca Berjalan
2Q12
Neraca Pembayaran
4Q11
2Q11
-16
Basic Balance
2Q11
-6
-12
Sumber: BI, CEIC Gambar 5. Neraca Pembayaran dan Dekomposisi Neraca Berjalan Di neraca finansial, kenaikan surplus yang cukup signifikan pada kuartal II 2016 disebabkan oleh peningkatan investasi langsung asing (FDI) dan pembelian surat berharga negara (SBN) valuta asing (valas) oleh pemodal asing. FDI mencapai USD 3,64 miliar pada kuartal II, di atas realisasi kuartal I yang sebesar USD 2,78 miliar. Pada saat yang sama, pengusaha Indonesia meningkatkan investasinya di luar negeri dari USD 99 juta menjadi USD 646 juta, sehingga surplus investasi langsung membaik dari USD 2,68 miliar menjadi USD 2,99 miliar (Gambar 6 sisi kiri). Pada kuartal lalu, investor asing membukukan pembelian bersih (net buy) SBN rupiah dan valas sebanyak USD 2,86 miliar dan USD 4,14 miliar, dibandingkan net buy kuartal I yang masing-masing sebesar USD 3,5 miliar dan USD 1,35 miliar. Hal ini berimbas pada lonjakan surplus investasi portofolio dari USD 4,45 miliar menjadi USD 8,38 miliar. Berbeda dengan investasi langsung dan investasi portofolio, saldo investasi lainnya mengalami pelemahan, terlihat dari kenaikan defisit dari USD 2,51 miliar pada kuartal I menjadi USD 3,93 miliar pada kuartal II. Ini terjadi seiring dengan meningkatnya pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta serta repatriasi dana simpanan milik warga Indonesia dari dalam ke luar negeri. 75
Investasi Langsung menurut Arah 9 Miliar US$
3M Sum, % y/y
Milliar US$
4.5
Neraca Perdagangan - Kanan Ekspor
50
6
3.0
Impor 25
1.5
0
0.0
3 0
Sumber: BI, BPS Gambar 6. Investasi Langsung dan Perkembangan Ekspor-Impor Bulanan
8
Jul-16
Jan-16
Jul-15
Jan-15
Jul-14
Jan-14
Jul-13
Jan-13
-3.0
Jul-12
-50
Jan-12
-1.5
Jul-11
2Q16
Neto
4Q15
2Q15
4Q14
Ke Dalam Negeri
2Q14
4Q13
2Q13
2Q12
4Q11
2Q11
4Q12
Ke Luar Negeri
-6
-25
Jan-11
-3
Penurunan defisit neraca berjalan Indonesia masih dapat berlanjut pada kuartal III 2016, mengikuti pola musimannya. Neraca perdagangan (barang) diperkirakan masih akan menopang kinerja neraca berjalan pada kuartal ini, sebagaimana terlihat dari data terbaru. Pada Juli 2016, neraca perdagangan mencapai USD 598,3 juta, masih di bawah surplus bulan sebelumnya yang sebesar USD 879,2 juta. Sedangkan, tren pertumbuhan ekspor masih terlihat in line dengan tren pertumbuhan impor seperti pada beberapa bulan sebelumnya (Gambar 6 sisi kanan). Dengan perkembangan ini, defisit neraca berjalan tahun ini diperkirakan akan lebih rendah dari perkiraan kami yang sebesar USD 21,67 miliar atau 2,3% PDB. Neraca finansial diprediksi masih akan mengalami surplus pada kuartal III 2016, antara lain didukung oleh investasi portofolio asing yang masih cukup besar. Selama 1 Juli–16 Agustus 2016, investor asing membukukan net buy sebesar Rp 25,43 triliun di pasar saham. Pada periode yang sama, kepemilikan asing atas SBN rupiah meningkat Rp 25,45 triliun. Masuknya dana asing yang sangat deras ini berdampak pada penguatan nilai tukar rupiah dari Rp 13.180/USD pada akhir Juni 2016 menjadi Rp 13.098/USD pada 16 Agustus 2016. Sedangkan, cadangan devisa terangkat USD 1,62 miliar selama Juli 2016, mengindikasikan adanya surplus neraca pembayaran di bulan itu. Pemerintah pada 16 Agustus 2016 mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2017 ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Defisit RAPBN 2017 ditargetkan sejumlah Rp 332,84 triliun (2,41% PDB), lebih tinggi dari defisit anggaran perubahan (APBN-P) 2016 yang senilai Rp 296,72 triliun (2,35% PDB). Total pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp 1.737,63 triliun atau turun 2,72% dari target APBN-P 2016. Alokasi belanja negara juga diturunkan sebesar 0,6% dari angka tahun ini menjadi Rp 2.070,47 triliun. RAPBN 2017 disusun berdasarkan sejumlah asumsi, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, inflasi sebesar 4% , nilai tukar rupiah sebesar Rp 13.300/USD, yield surat perbendaharaan negara bertenor tiga bulan sebesar 5,3%, harga minyak mentah Indonesia sebesar USD 45/barrel, lifting minyak sebesar 780 ribu barrel per hari, serta lifting gas sebesar 1.150 ribu setara barrel minyak per harii.
Indikator
2015
2016
2017
APBN
APBN-P
APBN
APBN-P
RAPBN
Pertumbuhan Ekonomi (%)
5,8
5,7
5,3
5,2
5,3
Inflasi (%)
4,4
5,0
4,7
4,0
4,0
11.900
12.500
13.900
13.500
13.300
Yield SPN 3 Bulan (%)
6,0
6,2
5,5
5,5
5,3
Harga Minyak Mentah Indonesia (US$/barel)
105
60
50
40
45
Lifting Minyak (ribu barel/hari)
900
825
830
820
780
1.248
1.221
1.155
1.150
1.150
Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$)
Lifting Gas (ribu barel setara minyak/hari)
Sumber: Kementerian Keuangan Tabel 1. Asumsi APBN 2015–2017 Pendapatan negara pada 2017 masih didominasi oleh penerimaan pajak dengan porsi sekitar 86%. Penerimaan pajak diprediksi turun 2,81% dari angka APBN-P 2016, sehingga menyebabkan total pendapatan negara mengalami penurunan. Menurut pemerintah, penurunan penerimaan
9
pajak ini dipengaruhi oleh adanya kebijakan-kebijakan yang penerimaannya sudah diperoleh di tahun 2016, seperti kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Di samping itu, prospek harga komoditas yang masih lemah diperkirakan juga menekan penerimaan pajak pada tahun depan. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah berkomitmen untuk melakukan beberapa hal, antara lain meningkatkan tax ratio dan kepatuhan wajib pajak, meningkatkan daya beli masyarakat, menjaga iklim investasi, dan menanggulangi penghindaran pajak. Dalam hal ini, pemerintah juga berencana merevisi berbagai undang-undang (UU) di bidang perpajakan, yang meliputi UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Bea Materai. Di sisi belanja, penurunan alokasi anggaran tahun 2017 disebabkan oleh efisiensi belanja di kementerian/lembaga negara (K/L) serta pemangkasan subsidi dan dana bagi hasil (DBH). Belanja K/L dipatok turun 4,66% menjadi Rp 758,38 miliar, sejalan dengan upaya penghematan anggaran belanja yang bersifat non-prioritas dan non-produktif. Pemerintah, misalnya, membidik efisiensi anggaran belanja perjalanan dinas, honor kegiatan, belanja jasa seperti iklan, serta belanja modal non-infrastruktur seperti gedung kantor dan kendaraan. Sementara, anggaran subsidi tahun 2017 dialokasikan sebesar Rp 174,91 triliun atau turun 17,53% dari pagu APBN-P 2016. Penurunan ini terjadi baik pada pos subsidi energi maupun subsidi non-energi. Di sisi lain, penurunan DBH sebesar 16,73% menyebabkan alokasi anggaran transfer ke daerah dan dana desa turun 2,09% menjadi Rp 760,03 triliun. DBH dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap pendapatan negara yang dialokasikan kepada daerah. Karena penerimaan dari pajak dan sumber daya alam menurun, DBH pun ikut mengalami penurunan. 2016 Pos Anggaran
2017
APBN-P
Realisasi Semester I
% thd APBN-P
RAPBN
∆ dari APBN-P 2016 (%)
1.786,23
634,68
35,50
1.737,63
(2,72)
Penerimaan Dalam Negeri
1.784,25
634,11
35,50
1.736,26
(2,69)
Penerimaan Perpajakan
1.539,17
522,01
33,90
1.495,89
(2,81)
245,08
112,10
45,70
240,36
(1,93)
1,98
0,57
28,60
1,37
(30,50)
2.082,95
865,35
41,50
2.070,47
(0,60)
Pendapatan Negara
Penerimaan Negara Bukan Pajak Hibah Belanja Negara Belanja Pemerintah Pusat
1.306,70
481,33
36,80
1.310,44
0,29
Belanja Kementerian/Lembaga
795,48
195,29
24,50
758,38
(4,66)
Belanja Non-Kementerian/Lembaga
524,07
222,23
42,40
552,06
5,34
a.l. Pembayaran Bunga Utang
155,73
73,59
47,30
221,41
42,17
a.l. Subsidi
212,10
90,07
42,50
174,91
(17,53)
776,25
384,02
49,50
760,03
(2,09)
Keseimbangan Primer
(105,51)
(143,41)
135,90
(111,43)
(5,62)
Surplus/Defisit Anggaran
(296,72)
(230,68)
77,70
(332,84)
(12,17)
Transfer ke Daerah dan Dana Desa
% terhadap PDB Pembiayaan a. l. Surat Berharga Negara (Neto) Kelebihan/Kekurangan Pembiayaan
(2,35)
(1,83)
296,72
276,59
93,20
332,84
12,17
364,87
301,97
82,80
404,31
10,81
-
45,91
-
-
(2,41)
-
-
-
Sumber: Kementerian Keuangan Tabel 2. APBN-P 2016 dan RAPBN 2017 (Triliun Rp)
10
Meski belanja negara secara total mengalami penurunan, alokasi belanja infrastruktur dinaikkan. Pemerintah mengalokasikan belanja infrastruktur tahun depan sebesar Rp 346,6 triliun atau naik 9,3% dari pagu APBN-P 2016. Anggaran ini akan dimanfaatkan untuk mendukung program perbaikan konektivitas tahun depan yang meliputi pembangunan 815 km ruas jalan baru dan 9.399 m jembatan, pembangunan jalur kereta api sepanjang 550 km, pengembangan fasilitas pelabuhan laut di 55 lokasi, dan pembangunan 14 bandara baru. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi tersier untuk 200.000 ha sawah serta meningkatkan luas area pertanian/cetak sawah sebanyak 144.613 ha. Di bidang energi, pemerintah juga akan membangun jaringan gas bumi untuk rumah tangga sebanyak 64.200 sambungan dan 128 unit pembangkit listrik dari aneka energi baru terbarukan. Pemerintah akan mengandalkan penerbitan surat berharga negara (SBN) neto sebanyak Rp 404,31 triliun pada tahun 2017 untuk membiayai defisit anggaran. Angka ini 10,81% lebih tinggi dari target emisi neto SBN pada APBN-P 2016. Di sisi lain, pemerintah berencana mengurangi penarikan pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri dari Rp 3,71 triliun dan Rp 72,96 triliun pada tahun 2016 menjadi Rp 1,49 triliun dan Rp 48,29 triliun pada tahun 2017. Dengan demikian, rasio utang pemerintah diperkirakan akan mencapai sekitar 28% pada tahun depan. .
11
Pasar Keuangan
Review Pasar Keuangan : Stabilitas Berlanjut? Agus Afiantara
Isu Brexit, Penurunan Suku Bunga BoE dan Isu Kenaikan Fed Rate masih dominan mempengaruhi Pasar Meskipun The Fed memandang AS memiliki fundamental yang baik untuk menaikkan suku bunga namun beberapa aspek masih menjadi pertimbangan. Pasar Finansial Indonesia mencatatkan return yang cukup baik. Faktor Perbaikan kondisi perekonomian, optimisme pasar dan Tax Amnesty merupakan penggerak utama pasar domestik
PASAR GLOBAL Isu kenaikan Fed Rate menyusul perbaikan pada data-data ekonomi AS dan langkah yang Bank Sentral Inggris (BoE) yang menurunkan suku bunga guna mengantisipasi kemerosotan ekonominya pasca Brexit telah menjadi dua isu utama yang menggerakkan pasar keuangan global dan Indonesia dalam satu bulan terakhir. Dari dalam negeri, perbaikan kondisi perekonomian Indonesia, reshufle kabinet dan Tax Amnesty masih menjadi penggerak utama. Pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE), BoE berusaha mengantisipasi pelemahan ekonomi Inggris dengan menurunkan suku bunga acuannya menjadi 0,25%. Penurunan ini adalah kali pertama setelah lebih dari tujuh tahun yang lalu sejak tingkat suku bunga mencapai rekor terendah sebelumnya 0,5 persen pada Maret 2009. Tak hanya menurunkan suku bunga acuan, untuk memberikan stimulus tambahan, BoE juga memutuskan untuk membeli hingga 10 mliar poundsterling (US$ 13,15 miliar) obligasi korporasi Inggris dan 60 miliar poundsterling utang pemerintah. Kebijakan yang diambil oleh BoE ini mengindikasikan bahwa perekonomian Inggris tampaknya sedang berjuang dari efek Brexit. Efek dari langkah-langkah kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh BoE memberikan dampak mixed ke pasar. Bagi mata uang dan Obligasi Inggris jelas kebijakan ini melemahkan nilai tukar GBP di satu sisi dan menurunkan yield obligasi mereka disisi lain. Penurunan suku bunga acuan oleh BoE telah mengakibatkan depresiasi GBP sebesar 1,52 persen menjadi 1,3120 dolar dalam satu hari. Hal ini merupakan depresiasi harian terbesar GBP dalam sebulan terakhir.
Sumber: TradingEconomics.com Gambar 7. Pergerakan GBP USD tanggal 4 Agustus 2016 pasca penurunan suku bunga oleh BoE
12
Di pasar obligasi, penurunan suku bunga BoE yang ditambah dengan aksi beli dari BoE mendorong imbal hasil (yield) obligasi 10-tahun pemerintah Inggris, atau Gilt, ke rekor terendah 0,643%, sebagai catatan imbal hasil obligasi 10-tahun AS jatuh ke terendah dalam 3 hari, di 1,501%. Di pasar Amerika, paska Brexit dan isu akan kenaikan Fed Rate telah mengakibatkan laju penguatan USD terhadap GBP yang terus berlanjut, namun demikian, laju penurunan yield obligasi Pemerintah US tertahan oleh isu akan kenaikan Fed Rate dalam beberapa waktu kedepan.
Sumber: Bloomberg Gambar 8. Pergerakan Yield Obligasi Inggris dan AS dan Pergerakan Δ Harian Yield Obligasi Pemerintah Inggris (A = Waktu Brexit dilaksanakan, B=Waktu BoE menurunkan suku bunga acuannya) Setelah BoE mengumumkan penurunan suku bunga acuannya pada tanggal 4 Agustus 2016 Dow Jones Industrial Average turun 2,95 poin atau 0,02% menjadi ditutup pada level 18.252,05, S&P 500 menguat 0,46 poin atau 0,02% menjadi berakhir di level 2.164,25, Stoxx Europe 600 menguat 2,26 poin atau 0,67% menjadi ditutup pada level 337.84, Nikkei 225 naik 171,78 poin atau 1,07% menjadi ditutup pada level 16.254,89, dan FTSE 100 menguat 105,76 poin atau 1,59% menjadi ditutup pada level 6.740,16. Sementara itu bursa-bursa negara berkembang di Asia secara umum mengalami penguatan. Pasar Indonesia sendiri mengalami penguatan dengan index IHSG ditutup di level 5.373,86 menguat 21,985 poin atau 0,41%, Hangseng China menguat 93,11 poin atau 0,43% di level 21.832,23, index KLCI Malaysia ditutup menguat 6,79 poin atau 0,41% di level 1.655,29, SET Thailand menguat 0,46 poin atau 0,03% di level 1.507,93, PCOMP Filipina menguat 90,13 poin atau 1,14% di level 7.978,57, dan FSSTI Singapura menguat 4,38% atau 0,15% di level 2.831,96.
Sumber: Bloomberg Gambar 9. Indeks Saham Negara-negara berkembang
13
Sumber: TradingEconomics.com Gambar 10. Indikator Perekonomian AS Selain dari efek pelemahan GBP, penguatan Dollar juga diakibatkan oleh membaiknya data data ekonomi AS. Sejak rilis data NFP (Nonfarm Payroll) yang sangat baik pada awal agustus 2016 lalu, dollar terus menguat terhadap beberapa mata uang negara maju dan berkembang. Laju penguatan USD terlihat signifikan terhadap JPY menyusul pertumbuhan domestik bruto kuartal kedua jepang yang dibawah estimasi. Pertumbuhan domestik broto kuartal kedua jepang hanya naik 0.2% pada tingkat tahunan jauh dibawah ekspektasi yang mencapai 0.7%. Menguatnya Nilai USD paska rilis data NFP, dapat dimengerti, karena NFP sering kali dinilai menyajikan outlook terkini tentang kondisi ekonomi AS, sehingga menjadi salah satu indikator fundamental dengan impact paling besar. NFP merupakan indikator ketenagakerjaan khas Amerika Serikat yang menunjukkan jumlah pekerjaan di semua sektor kecuali pertanian, PNS, LSM, dan rumah tangga. Dilaporkan dalam periode bulanan, Angka NFP Juli yang dirilis di pekan pertama Agustus kemarin memang sangat baik. Sebagai contoh angka payroll yang dilaporkan menyentuh level 225K jauh diatas ekspektasi yang hanya 180K, demikian pula dari Average Hourly Earnings yang menjadi indikator pertumbuhan gaji juga jauh melampaui estimasi hingga 0,3%. Walaupun angka NFP Juli tidak setinggi pada bulan Juni, namun tetap dianggap sangat baik sehingga memberikan peluang yang lebih besar bagi the Fed untuk mempertimbangkan kenaikan suku bunga pada bulan September 2016. Namun demikian terdapat beberapa hal yang dapat menurunkan peluang kenaikan Fed Rate, antara lain ; (1) Inflasi Masih Rendah Laporan terakhir CPI bulan Juni masih flat pada 1% YoY, atau 0,2% MoM. Laporan bulan Juli yang dirilis pada tanggal 16 Agustus 2016 memberikan proyeksi stagnan pada 1% YoY meskipun naik 0,3% MoM.
14
Sumber: Bloomberg.com Gambar 11. Inflasi US dan Proyeksi nya (2) Pemilu AS Pemilu Presiden AS yang akan dilaksanakan pada tanggal 8 November 2016 disebut-sebut sebagai pemilu paling sengit sepanjang sejarah AS. Ada empat kandidat yang bakal berebut kursi Presiden: Hillary Clinton (Partai Demokrat), Donald Trump (Partai Republik), Gary Johnson (Partai Libertarian) , dan Jill Stein (Partai Green). Meskipun The Fed sebagai bank sentral merupakan lembaga independen dari pengaruh politis, namun jika suku bunga naik terlalu cepat, sehingga menimbulkan ketidakstabilan pada ekonomi, maka sentimen negatif dapat timbul kepada calon yang separtai dengan incumbent. Apalagi, perkara peran dari posisi The Fed pun termasuk salah satu topik yang kerap diperdebatkan diantara para kandidat. (3) Bank Sentral Lain ramai-ramai memangkas suku bunga dan menambah stimulus Saat ini dengan kondisi perekonomian global yang melemah mayoritas bank sentral dunia melakukan kebijakan untuk menurunkan suku bunga acuan dan pemberian stimulus pada perekonomian masing-masing. Kondisi ini akan membuat The Fed enggan untuk menaikkan suku bunga acuan, meskipun fundamental ekonomi mereka memadai. Hal ini dapat menjadikan USD terlalu kuat sehingga berdampak negatif bagi ekspor AS. Dengan 3 kondisi diatas ditambah dengan perbaikan eoknomi AS, maka berdasarkan konsensus terbaru, peluang kenaikan suku bunga The Fed pada Desember 2016 hanya mencapai 8,6%.
15
Sumber: TradingEconomics.com Gambar 12. Indikator Perekonomian Indonesia PASAR DOMESTIK Trend penurunan suku bunga acuan pada mayoritas bank sentral dan sikap cenderung dovish yang ditunjukkan oleh The Fed akan prospek kenaikan policy rate berimbas positif terhadap pasar Surat Utang Negara (SUN). Mengacu kepada Asian Bond Online per 19 Agustus 2016, yield obligasi Pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun mencapai 6,85% atau turun sebesar 189.5 Bps (YTD). Penurunan yield obligasi Negara 10 Tahun milik Indonesia ini adalah penurunan YTD terbesar dikawasan. Sebagai pembanding Jepang secara YTD turun 34.3 Bps, Korea 66 Bps, Filipina 71.9 Bps, Thailand 43.2 Bps Vietnam 17.5 Bps. Meskipun telah mencatat penguatan harga yang tertinggi secara YTD, namun pasar Obligasi Indonesia masih merupakan pasar dengan return tertinggi di kawasan. Trend imbal hasil yang relatif rendah di pasar obligasi menjadikan instrumen ini menjadi favorit sumber pendanaan di pasar Modal. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), penggalangan dana di pasar modal melalui mekanis IPO, "right issue", dan konversi waran di sepanjang Januari hingga Juni 2016 telah mencapai Rp16,76 triliun. Sementara itu, total emisi obligasi dan sukuk hingga Juli 2016 senilai Rp57,81 triliun. Disebutkan, total total emisi obligasi dan sukuk yang tercatat di BEI berjumlah 291 emisi dengan nilai nominal outstanding sebesar Rp275,35 triliun dan USD50 juta, yang diterbitkan oleh 103 emiten. Surat Berharga Negara (SBN) tercatat di BEI berjumlah 94 seri dengan nilai nominal Rp1.660,82 triliun dan USD1,24 miliar serta lima EBA tercatat senilai Rp1,95 triliun. Jumlah ini bertambah seiring dicatatkannya obligasi berkelanjutan III Adira Finance tahap IV-2016 dan Sukuk Mudharabah berkelanjutan II Adira Finance tahap II-2016 yang diterbitkan oleh PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) di BEI. Obligasi berkelanjutan tersebut terdiri Seri A dengan total dana Rp835 miliar jangka waktu 370 hari, Seri B Rp434 miliar jangka waktu 36 bulan, Seri C Rp431 miliar jangka waktu 60 bulan.
16
Penguatan dalam beberapa waktu belakangan juga terjadi di pasar Saham Indonesia. Selain pengaruh dari pasar global beberapa sentimen positif juga datang dari dalam negeri. Inflasi yang terkendali, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2016 yang mencapai 5,18% (diatas ekspektasi), defisit transaksi berjalan (CAD) yang menurun, surplus pada neraca perdagangan, serta program UU Pengampunan Pajak diyakini berdampak panjang pada pertumbuhan indeks dan menjadikan pasar saham Indonesia bergerak mengungguli negara-negara emerging market. Berdasarkan data, hingga 22 Agustus 2016 Bursa Indonesia sudah menguat sebesar 17.94% (YTD) posisi yang hanya dikalahkan oleh Thailand yang menguat sebesar 19.57% (YTD) pada periode yang sama. Sementara itu, pada saat yang sama Malaysia, Singapura, Jepang dan China masih mencatatkan pergerakan YTD Negatif.
Sumber: Bloomberg, Pasar Saham dan Obligasi Indonesia, Menguat Bersamaan Gambar 13. GIND10YR Index, JCI Index Selain berbagai dampak dari semakin kondusifnya variable variable kunci dalam perekonomian, penguatan Bursa Saham Indonesia dalam beberapa waktu terakhir juga dipicu oleh peningkatan volume transaksi. Dalam waktu satu bulan terakhir transaksi harian di Bursa Efek Indonesia (BEI) naik rata-rata Rp 2 triliun menjadi Rp 8 triliun dari Rp 6 triliun perhari. Peningkatan volume transaksi ini diduga berasal dari program Tax Amnesty. Namun demikian Direktur Utama BEI Tito Sulistio mengatakan bahwa sumber tambahan dana belum tentu berasal dari program ini (tax amnesty), namun yang jelas program tax amnesty telah meningkatkan kepercayaan masyarakat akan kinerja pemerintah.
17
Sumber: Bursa Efek Indonesia Gambar 14. Return Pasar Saham Indonesia dibandingkan dengan Bursa Regional Dari sisi performance Bursa Saham Indonesia masih memberikan return YTD yang tertinggi di kawasan. Return Year to Date (YTD) dari bursa Indonesia yang mencapai 17.66% hanya kalah dari bursa Thailand yang mencapai 20.18%, sementara Malaysia, Singapura, Jepang dan China masih mencatatkan return YTD negatif pada pasar saham mereka. Tingginya return pasar indonesia mendorong terus masuknya dana asing ke pasar. Sebagai catatan, sejak awal tahun dana asing yang masuk ke pasar Indonesia mencapai Rp 39,47 triliun, jumlah ini mendekati inflow tertinggi di pasar saham pada tahun 2014 yang mencapai Rp 42,6 triliun. Namun demikian, jika ditinjau secara teknikal, melihat pergerakan indeks saham 1 bulan terakhir ini terlihat Indeks tengah menguji level resistance pada 5500. Banyak analis percaya jika level resistance ini tembus, maka laju penguatan akan terus berlanjut.
Sumber: Bloomberg, Sektor Penggerak Indeks Tabel 3. Performance Indeks Harga Saham dan Sektor Pendukungnya, data per 19 Agustus 2016 Jika batasan resistance di 5.500 gagal ditembus banyak analis yang memperkirakan terjadi potensi profit taking untuk sementara waktu sebelum Indeks meneruskan laju penguatannya. Sumber penguatan lanjutan dari Indeks kembali diduga akan berasal dari dana repatriasi program tax amnesty yang akan masuk pasar modal pada kuartal IV 2016. Sebagai informasi hingga 16 Agustus 2016 realisasi dana repatriasi mencapai Rp 1.03 Triliun, deklarasi luar negeri Rp 3 Triliun, deklasrasi Dalam negeri Rp 23 Triliun dan tebusan pajak Rp 551 miliar.
18
Dari sisi nilai tukar rupiah, terjadi penguatan yang relatif konstan semenjak akhir September 2015. Isu Brexit tidak memberikan dampak yang berarti pada pergerakan mata uang rupiah. Berdasarkan laporan Bloomberg mata uang Rupiah justru menguat sebesar 0,69% atau terapresiasi 91 poin pasca Brexit berada pada level Rp 13.157 per Dolar AS.
Sumber: Bloomberg Gambar 15. Pergerakan Kurs Rupiah terhadap Dolar (USDIDR) Isu seperti reshuffle kabinet dan rencana pemerintah untuk memotong anggaran, direspons baik oleh pasar serta dana asing masuk besar dan banyak korporasi melepas USD nya sehingga menguatkan rupiah. Kendati demikian BI akan terus menjaga Rupiah di level fundamentalnya seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat yang dapat mengganggu gerak mata uang Rupiah.
19
Perbankan
Perbankan : Antara Defisit dan Likuiditas Perbankan Seno Agung Kuncoro
Di tengah tekanan pada perekonomian, industri perbankan masih mencatatkan pertumbuhan yang positif dengan tingkat permodalan yang mencukupi untuk bertahan dari tekanan risiko yang ada. Likuiditas perbankan pada bulan Mei 2016 mulai memperlihatkan sedikit tekanan yang ditandai dengan peningkatan rasio kredit terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) dari 89,52% pada April 2016 menjadi 90,32% pada Mei 2016.
Dalam 2 minggu pertama di bulan Agustus terdapat cukup banyak berita positif yang beredar baik dari domestik maupun luar negeri. Bank Dunia memperkirakan harga minyak dunia akan meningkat pada 2017 hingga di atas USD 50 per barrel. Prospek kenaikan Fed Fund Rate hingga kuartal 4 tahun 2016 juga diprediksi akan terbatas. Dari domestik, membaiknya data perekonomian Indonesia dan reformasi anggaran yang sedang dilakukan menjadi sentimen positif bagi investor, disamping tengah berjalannya program tax amnesty. Dengan demikian diperkirakan aliran modal investor asing akan semakin deras. Lalu bagaimana dengan sektor perbankan? Dari data perbankan yang ada sampai dengan periode Mei 2016, kinerja sektor perbankan masih belum memperlihatkan perbaikan yang konsisten. Kredit perbankan tercatat sebesar Rp 4.070 triliun atau tumbuh 8,34% year on year (y/y), naik 39 bps dibanding pertumbuhan tahunan bulan sebelumnya. Dana pihak ketiga (DPK) di lain pihak juga mengikuti kenaikan pertumbuhan kredit sebesar 35 bps dibanding pertumbuhan bulan sebelumnya menjadi sebesar 6,53% (y/y), setelah selama 9 bulan berturut-turut mengalami kontraksi (Gambar 16). Di tengah tekanan pada perekonomian, industri perbankan masih mencatatkan pertumbuhan yang positif dengan tingkat permodalan yang mencukupi untuk bertahan dari tekanan risiko yang ada.
Sumber: OJK, diolah Gambar 16. Pertumbuhan Kredit, Dana Pihak Ketiga, dan LDR
21
Fungsi bank sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary) memiliki karakteristik khusus, di mana sebagian besar kewajibannya bersifat jangka pendek, sementara sebagian besar asetnya bersifat jangka panjang. Sementara itu dalam menjalankan bisnisnya perbankan sangat dipenagruhi oleh ekspansi pertumbuhan ekonomi yang sedang berjalan. Perlambatan pertumbuhan kredit saat ini disebabkan oleh melemahnya permintaan, sementara perbankan masih berhati-hati untuk melakukan ekspansi. Kami memperkirakan hingga pertengahan semester 2 tahun 2016 kenaikan pertumbuhan akan lebih stabil dengan besaran terbatas. Hal tersebut didasarkan atas kenaikan pertumbuhan PDB di kuartal II-2016 sebesar 5,18% yang berada diatas ekspektasi pasar (5,0%) dan di atas pertumbuhan kuartal I-2016 yang mencapai 4,91%. Dari laporan kinerja beberapa bank yang telah diumumkan di media cetak, dapat diketahui pertumbuhan pendapatan laba bersih masih positif meski tidak setinggi tahun lalu. NIM beberapa bank besar rata-rata menurun 15-20 bps, yang disebabkan oleh penurunan cost of fund suku bunga pinjaman yang mulai terbatas. Sementara pertumbuhan kredit beberapa bank besar masih bisa di atas pertumbuhan industri terutama BNI yang banyak mengambil proyek BUMN dan proyek infrastruktur. Sementara pertumbuhan kredit BTN masih cukup stabil meski sedikit lebih rendah daripada pertumbuhan kuartal I-2016, didorong oleh penyaluran kredit KPR bersubsidi yang merupakan bagian dari program pemerintah. Penyaluran kredit industri perbankan pada periode Mei 2016 hanya tumbuh sebesar 8,34% (y/y), meningkat 39 bps dibandingkan pertumbuhan tahunan bulan April 2016. Sementara bila dilihat pertumbuhan bulanan (month on month) meningkat 143 bps. Kredit modal kerja yang porsinya mencapai 47% dari total kredit, pertumbuhannya lebih lambat dibanding jenis kredit lainnya yaitu sebesar 6,38% (y/y) di Mei 2016 (Gambar 17). Sementara kredit investasi dengan porsi 26% dari total kredit tumbuh sebesar 11,20%, dan kredit konsumsi dengan porsi 28% dari total penyaluran kredit tumbuh 9,10% (y/y). Secara keseluruhan kredit investasi dan kredit konsumsi masih menjadi penopang pertumbuhan kredit perbankan.
Sumber: OJK, diolah Gambar 17. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis dan Sektor
22
Bila melihat data PDB industri pengolahan non migas kuartal 2-2016 yang tumbuh 4,61%, lebih baik dibanding pertumbuhan kuartal 1-2016 yang tumbuh 4,47%, sebenarnya mengindikasikan adanya potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kinerja industri manufaktur tersebut terdorong oleh peningkatan laju pertumbuhan industri makanan, otomotif, dan farmasi. Ekspansi kepada sektor yang relatif masih rendah bagi pasar perbankan seperti perikanan, pertanian, dan pembangunan industri di sektor hulu, akan lebih mendiversifikasi portofolio individu perbankan. Kami perkirakan permintaan kredit baru terlihat pada semester II-2016, dimana peningkatan permintaan kredit pada paruh kedua tahun ini tidak terlepas dari relaksasi kebijakan makroprudensial dengan penaikan batas bawah rasio pinjaman terhadap pendanaan bank (Loan to Funding Ratio/LFR) menjadi 80% dari 78%, sehingga bank bisa menambah kapasitas pembiayaannya. Walau secara tren kuartal III dan IV memang akan naik, tapi agak sulit untuk mencapai target pertumbuhan kredit sebesar 12%. Untuk jenis kredit berdasarkan sektor, sektor rumah tangga dan perdagangan sebagai sektor yang paling dominan pertumbuhannya masih menunjukkan tren menurun hingga Mei 2016. Kredit sektor rumah tangga dengan porsi 28% dari total kredit, pada periode Mei 2016 tumbuh sebesar 9,61% (y/y) turun 7 bps dari pertumbuhan bulan sebelumnya. Sementara kredit sektor perdagangan tumbuh 8,69% (y/y) turun 31 bps dari periode bulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit yang moderat, juga disebabkan oleh industri perbankan yang semakin memperketat syarat penyaluran kredit (credit rationing). Kecemasan terhadap potensi kenaikan jumlah kredit bermasalah dari melambatnya pergerakan roda perekonomian akan mempengaruhi kinerja perbankan secara keseluruhan. Rasio kredit bermasalah (NPL ratio) periode Mei 2016 sebesar 3,11% (Gambar 18) naik 18 bps dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara pertumbuhan nominal NPL di Mei 2016 sebesar 28,60% (y/y) dalam tren pertumbuhan yang relatif menurun selama satu tahun terakhir.
Sumber: CEIC dan OJK Gambar 18. Rasio dan Pertumbuhan NPL Tren penurunan pertumbuhan nominal NPL, mayoritas disebabkan oleh penurunan signifikan dari pertumbuhan kolektibilitas Diragukan selama setahun terakhir. Sementara kolektibilitas “Macet”
23
masih terlihat stabil pertumbuhannya sebesar 36,11% (y/y) menjadi Rp 83,9 triliun. Masih tingginya pertumbuhan kolektibilitas non-performance tersebut mengindikasikan masih adanya tekanan bagi pelaku usaha akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi. Lesunya permintaan ekspor membuat korporasi menahan produksi dan ekspansinya. Di satu sisi, permintaan domestik berusaha ditingkatkan oleh pemerintah melalui berbagai program kebijakan ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat. Sementara itu, likuiditas perbankan pada bulan Mei 2016 mulai memperlihatkan sedikit tekanan yang ditandai dengan peningkatan rasio kredit terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) dari 89,52% pada April 2016 menjadi 90,32% pada Mei 2016. Peningkatan rasio LDR ini disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan DPK yang lebih besar dibandingkan perlambatan pertumbuhan kredit. Melihat potensi risiko tersebut, likuiditas sistem keuangan menjadi salah satu bagian penting dalam mengukur daya tahan ekonomi dan sistem keuangan. Data terakhir menunjukkan, tren pertumbuhan uang beredar (M2) kembali mengalami perlambatan. Meski secara nominal posisi M2 pada Juni 2016 tercatat sebesar Rp 4.738,3 triliun atau tumbuh sebesar 9,28% (y/y), lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 9,60% (y/y). Melambatnya pertumbuhan M2 tersebut dipengaruhi oleh penurunan komponen M1 (rupiah dan valas) dan uang kuasi. Walaupun ekspansi keuangan pemerintah meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas belanja pemerintah, tetapi hal tersebut belum dapat mendorong pertumbuhan kredit lebih tinggi yang turut mempengaruhi perlambatan M2 (Gambar 19).
Sumber: BI Gambar 19. Perkembangan Likuiditas Sistem Keuangan
24
Tren pertumbuhan M2 yang relatif masih rendah disebabkan oleh perlambatan pada komponen Net Domestic Asset (NDA). Tren penurunan NDA masih berlanjut sepanjang tahun 2016 seiring dengan laju pertumbuhan kredit perbankan yang juga melambat. Perlambatan kredit juga disebabkan oleh aktivitas pasar uang antar bank yang semakin meningkat dari acuan data JIBOR O/N masih tinggi di level 5,2% untuk posisi Juni 2016. Tren perlambatan pertumbuhan M2 sepertinya masih belum bisa tertahan dengan persepsi investor global yang semakin membaik terhadap perekonomian Indonesia. Disamping risiko perekonomian global yang masih volatile, nilai tukar rupiah terhadap dolar juga masih tinggi, sehingga simpanan dan kredit valuta asing menjadi kurang menarik bagi pelaku usaha. Permintaan kredit yang masih lemah mendorong bank yang memiliki kelebihan likuiditas menaruh dananya pada secondary reserve seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dibandingkan pasar uang. Hal tersebut dipilih karena menaruh dana di secondary reserve lebih menguntungkan dan risikonya rendah dengan perolehan imbal hasil dari bunga BI. Dana pihak ketiga pada periode Mei 2016 tumbuh 6,53% (y/y) naik 35 bps dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya. Pertumbuhan tabungan mencatatkan angka relatif tertinggi sebesar 12,27% (y/y) dibandingkan simpanan DPK lainnya. Sementara dari segi komposisi terhadap dana pihak ketiga, deposito masih memiliki porsi terbesar dengan kecenderungan menurun dibanding dengan alternatif pendanaan lainnya yakni sebesar 46,60% pada posisi Mei 2016. Pertumbuhan Giro menurun signifikan dalam 3 bulan terakhir dari 12,47% (y/y) pada bulan Februari 2016 menjadi 9,08% (y/y) di bulan Mei 2016 (Gambar 20). Sementara pertumbuhan deposito hanya naik 12 bps menjadi sebesar 1,98% (y/y) di bulan Mei 2016 dibanding periode bulan sebelumnya. Rendahnya pertumbuhan deposito tersebut antara lain disebabkan oleh perbankan yang memangkas suku bunga deposito dari akhir tahun 2015 lalu, gencarnya pemerintah menerbitkan surat utang ritel, dan kewajiban perusahaan asuransi menempatkan sebagian porsi investasinya dalam surat hutang. Alokasi investasi pada deposito berjangka memang paling berpotensi untuk dipangkas untuk memenuhi ketentuan regulasi, karena opsi untuk memangkas porsi instrumen lain, seperti saham di tengah belum kondusifnya kinerja pasar modal akan berdampak negatif pada kinerja pendapatan investasi.
25
Sumber: CEIC dan OJK Gambar 20. Pertumbuhan Komponen Dana Pihak Ketiga Penurunan suku bunga deposito saat ini akan berdampak positif pada komponen biaya dana (cost of fund) sehingga lebih rendah. Meski bank akan berusaha lebih efisien dalam menyesuaikan suku bunga kreditnya ke arah yang lebih kompetitif, namun adanya faktor risiko yang meningkat sepertinya akan men-set off penurunan cost of fund. Permasalahan suku bunga kredit di Indonesia memang sesuatu yang sangat kompleks karena terkait dengan tingkat inflasi, tingkat efisiensi intermediasi perbankan - Net Interest Margin (NIM), serta kondisi defisit neraca berjalan. Diperlukan road map yang jelas untuk mengidentifikasi setiap hambatan dalam upaya penurunan suku bunga kredit. Tren suku bunga bank benchmark untuk deposito rupiah yang dipantau LPS (suku bunga pasar/SBP) secara rata-rata sampai dengan periode awal Agustus 2016 masih dalam tren menurun. Begitu pula dengan suku bunga pasar deposito valuta asing yang dipantau masih memperlihatkan tren penurunan, meski tidak setajam penurunan suku bunga deposito rupiah, yang menjadi cerminan likuiditas valas saat ini masih mencukupi, serta langkah bank untuk menurunkan cost of fund valas masih terbuka (Gambar 21).
26
Sumber: LPS Gambar 21. Suku Bunga Pasar Rupiah dan Valas Dengan kondisi ekonomi saat ini, bank harus bisa melakukan penyesuaian untuk menjaga kualitas dan kinerja yang baik melalui efisiensi. Efisiensi bukan hanya sekedar masalah tenaga kerja, tetapi juga kemampuan mengoptimalkan keunggulan kompetitif yang dimiliki sehingga bisa menciptakan ceruk pasar yang selama ini belum tergarap dengan baik. Dengan rasio credit to GDP yang masih rendah, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya masih tinggi dengan didukung kondisi demografi dan populasi yang menjadi unggulan. Di satu sisi perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga harus menjadi perhatian otoritas, seiring adanya kekhawatiran switching DPK ke surat berharga negara (SBN), mengingat dalam waktu bersamaan terjadi peningkatan investasi yang sangat signifikan pada kepemilikan non-bank di SBN, baik reksadana, asuransi, dana pensiun, individu, investor asing, maupun institusi negara. Pengetatan pada ikuiditas perbankan yang berfungsi sebagai intermediari kepada sektor riil berpotensi mengganggu proses pemulihan perekonomian nasional. Dalam hal ini pemerintah, OJK, BI, dan LPS perlu membahas dan mempersiapkan solusi agar suku bunga perbankan dan kupon bunga SBN sebagai pembentuk imbal hasil (yield) dapat lebih harmonis.
27
Industri
Industri Minyak dan Gas: Dampak Harga Minyak Terhadap Risiko Investasi Migas Ahmad Subhan
Gejolak harga minyak berdampak luas pada kegiatan investasi upstream berbasis offshore terutama untuk wilayah laut dalam, mayoritas proyek migas laut dalam tidak feasible dilevel harga minyak USD 50/bbl (barrel) Peluang investasi yang masih terbuka dalam jangka pendek berada di wilayah onshore, shallow water dan brownfield dengan skala investasi menengah.
Terjadinya gejolak harga minyak dalam dua tahun terakhir telah berdampak luas tidak hanya terhadap pelaku industri global namun juga domestik. Laporan terbaru yang dirilis Wood Mackenzie menunjukkan bahwa penurunan harga minyak sejak pertengahan tahun 2014 telah memangkas lebih dari USD 740 miliar investasi di sisi upstream atau sekitar 22% dari rencana investasi tahun 2015-2020, sementara untuk tahun 2016/2017 saja diperkirakan akan terjadi penurunan investasi lebih dari 30% atau setara dengan USD 370 miliar. Meskipun dalam beberapa waktu terakhir harga minyak cenderung menunjukkan siklus bottoming out namun ketidakpastian pemulihan tingkat harga dinilai masih cukup tinggi sehingga banyak perusahaan minyak memutuskan tidak melakukan investasi secara masif.
Sumber: Bloomberg, DBS Gambar 22. Pergerakan Harga Minyak Dunia Pasca Siklus Komoditas 2008/2009 Penurunan investasi di industri migas terbesar terjadi di Amerika Serikat yakni sebesar USD 125 miliar terutama untuk kegiatan pengeboran. Berdasarkan data Baker Hughes jumlah rig yang beroperasi telah turun lebih dari 79% dari posisi tertinggi terakhir di Nov 2014 (1.929 unit) menjadi tinggal 404 unit pada akhir Mei 2016. Penurunan terbesar lainnya juga terjadi di Rusia yang mengalami
29
penurunan investasi lebih dari 40% dalam 2 tahun terakhir, sementara wilayah yang relatif tidak terdampak adalah kawasan Timur Tengah yang mayoritas memiliki lapangan yang lebih mature. Di Indonesia, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sepanjang 1H-16 terjadi penurunan investasi hulu migas sebesar 27% dari USD 7,74 miliar di tahun 2015 menjadi tinggal USD 5,65 miliar. Sebagian besar kontraktor cenderung memilih menahan investasi dengan pertimbangan menunggu perbaikan harga minyak. Sebenarnya sepanjang 2010-2013 tren investasi hulu migas, khususnya pada blok eksploitasi, sudah mulai membaik. Tercatat dalam 4 tahun terjadi kenaikan lebih dari 71% nilai investasi menjadi USD 18,9 miliar namun berbalik turun menyusul anjloknya harga minyak pada pertengahan 2014.
Sumber: SKK Migas Gambar 23. Profil dan Kondisi WK Migas Indonesia (Update 30 Juni 2016) Secara rinci, realisasi investasi sebesar USD 5,65 miliar pada 1H-16 terbagi atas USD 5,51 miliar untuk blok eksploitasi dan USD 141 juta untuk blok eksplorasi. Di blok eksplorasi, investasi dibagi untuk kegiatan eksplorasi sebesar USD 107 juta dan kegiatan administrasi sebesar USD 34 juta. Rendahnya investasi di blok eksplorasi dipicu oleh rendahnya pengembangan proyek migas baru. Saat ini proyek baru yang terbesar hanya terdapat di 15 Wilayah kerja yang telah mendapatkan persetujuan rencana pengembangan wilayah (PoD) namun kontribusinya sedikit sekali untuk investasi. Di sisi lain, kinerja survei seismik 3D hingga 1 Juli juga baru terealisasi 865 km2 dari rencana 11.217 km2 dengan catatan topografi 2.353 km dan drilling atau pengeboran 18.530 sumur (SP). Sedangkan survei seismik 2D dari rencana 10.955 km2 baru tercapai 1.057 km2 dengan catatan topografi 715 km dan drilling atau pengeboran 5.122 SP. Secara historis, SKK Migas mengungkapkan bahwa investasi industri hulu migas memang berbanding lurus dengan harga minyak, namun secara spesifik SKK Migas mencatat terdapat penurunan investasi signifikan pada sekitar 22 blok yang akan memasuki periode akhir kontrak. Para kontraktor mulai mengurangi investasinya pada blok-blok migas yang masa kontraknya akan berakhir.
30
Akibatnya realisasi pengeboran sumur eksplorasi selama 1H-16 hanya mencapai 19 sumur dari target dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan atau work plan and budget (WP&B) sebanyak 137 sumur. Sementara realisasi pengeboran sumur pengembangan baru sebanyak 131 sumur dari target sepanjang tahun ini 441 sumur. Program kerja ulang juga masih di bawah target yakni hanya 491 kegiatan dari total target 1.413 kegiatan.
Sumber: SKK Migas Gambar 24. Realisasi Investasi Migas 1H-16 Secara global mayoritas proyek migas yang paling terkena dampak dari penurunan harga minyak saat ini adalah proyek-proyek skala besar yang berada di perairan laut dalam. Berdasarkan estimasi awal dengan tingkat harga saat ini (USD 45-50/bbl) total cadangan minyak yang potensial breakeven untuk di eksplorasi adalah kurang dari 20% dari total cadangan dan nilai investasinya tidak lebih dari USD 9 miliar. Kondisi ini potensial masih akan berlanjut sehingga dapat berdampak lebih luas, ke proyek proyek dengan skala yang lebih kecil. Hal ini mengingat biaya biaya investasi per sumur untuk ekplorasi dan produksi laut dalam berkisar antara USD 100-200 juta per hari.
31
Sumber: Wood Mackenzie Gambar 25. Breakeven Price Vs Reserve dan Proyeksi Alokasi Capex Proyek Migas Global Investasi di sektor hulu yang melambat saat ini terutama pada kegiatan eksplorasi laut dalam dapat berdampak jangka panjang, dalam kondisi yang sangat ekstrim produksi minyak nasional dapat jatuh hingga hanya sekitar 332 ribu barrel per hari (bph) pada 2025. Hingga saat ini menurut perkiraan Wood Mackenzie perusahaan-perusahaan migas utama di Indonesia telah menunda investasinya hingga USD 7 miliar sebagai imbas dari anjloknya harga minyak. Jika situasi ini berlanjut dan tidak ada perbaikan dari pemerintah, produksi migas Indonesia diperkirakan akan jatuh merosot hingga 40% pada 2025. hal ini Ini disebabkan penundaan sejumlah proyek migas besar seperti Masela, Tangguh, dan Indonesian Deepwater Development (IDD). Lebih lanjut tren harga minyak yang rendah akan memperburuk produksi dan prospek eksplorasi di Indonesia yang akan mengancam cadangan migas dan pada akhirnya menimbulkan masalah baru terutama ketika harga minyak naik. Sejak harga minyak anjlok sekitar dua tahun lalu, KKKS juga terpaksa mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi investasi. Sehingga menyebabkan rasio pergantian cadangan (reserve replacement ratio/RRR) menurun. Melakukan Eksplorasi di laut dalam (offshore) untuk mendapatkan minyak dan gas, tidak hanya mahal dari sisi biaya namun juga memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Investasi migas di laut dalam merupakan salah satu proyek padat modal dengan resiko tinggi, sehingga jumlah perusahaan yang mampu dan mau melakukannya sangat terbatas. Bahkan sejumlah perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) memilih mengembalikan wilayah kerja (WK) kepada SKK Migas. Untuk mengimbangi risiko yang ada pengembalian investasi di laut dalam harus tinggi, karena risiko yang ditanggung investor sangat besar. Data Kementerian ESDM mencatat selama periode 2009 sampai 2013, ada 12 kontraktor migas merugi dengan total USD 1,9 miliar saat melakukan eksplorasi di laut dalam. Salah satunya adalah ExxonMobil di Blok Surumana (USD 123 juta) dan ExxonMobil, ConocoPhillips (USD 103 juta) di Blok Arafuru Sea.
32
Sumber: Wood Mackenzie Gambar 26. Breakeven Point Vs Persentase Capex to Total Investasi Proyek Migas Indonesia Meskipun saat ini investasi di eksplorasi dan produksi laut dalam relatif terhambat dan kurang menarik namun dalam jangka pendek beberapa proyek migas nasional masih memiliki nilai kompetitif terutama yang berada di wilayah perairan dangkal dan onshore. Dua wilayah yang dinilai masih cukup potensial untuk dikerjakan saat ini dengan level harga minyak mentah yang ada adalah di Jawa Timur (area Selat Madura) dan di wilayah basin Sumatera Selatan (onshore), sementara untuk proyek IDD (Indonesia Deepwater Development), Blok Abadi dan beberapa proyek deepwater lainnya masih harus menunggu hingga harga membaik dan stabil di kisaran USD 60-80/bbl. Dari sisi annual cash flow proyek-proyek diatas diperkirakan masih akan memberikan cashflow bersih positif dalam 5 tahun ke depan di kisaran USD 1-1,5 juta per tahun dibandingkan proyek-proyek skala besar berbasis laut dalam. Meskipun hal ini masih akan sangat dipengaruhi oleh asumsi harga minyak mentah yang terjadi. Disisi lain proyek-proyek pada lokasi brownfield atau mature akan lebih menjadi fokus dan lebih menarik dalam jangka pendek dibandingkan lokasi greenfield terutama untuk menghindari risiko kegagalan dalam memperoleh sumur produksi.
33
Sumber: SKK Migas Gambar 27. Update Proyek-Proyek Migas Strategis Nasional Hingga 2025 (posisi 21 Juni 2016) Dalam rencana strategis SKK migas hingga tahun 2025 proyek migas utama di Indonesia mayoritas adalah berbasis offshore dan laut dalam dan hingga saat ini sebagian besar masih dalam tahap awal seperti blok East Natuna, Masela dan Muara Bakau. Khusus untuk proyek-proyek laut dalam salah satu isu yang cukup strategis saat ini bahwa tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) untuk kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) migas masih rendah sehingga banyak KKKS yang meminta insentif tambahan seperti angka production split yang lebih besar, masa kontrak yang lebih panjang, jaminan pengembalian investasi diatas 100% (cost recovery) dan skema insentif pajak tambahan. Secara umum IRR proyek deepwater di Indonesia masih kalah dibandingkan negara lainnya, seperti Meksiko. Padahal, risiko yang harus ditanggung investor relatif tinggi. Pada prakteknya seharusnya IRR yang diperoleh kontraktor untuk proyek laut dalam adalah diatas 20%. Bertitik tolak dari hal tersebut saat ini pemerintah tengah mempersiapkan sejumlah insentif agar investasi migas laut dalam di Indonesia bisa lebih kompetitif. Salah satunya adalah dengan memperpanjang masa eksplorasi bagi laut dalam hingga menjadi 15 tahun dari waktu normal 10 tahun. Insentif lainnya berupa perubahan split (bagi hasil) yang lebih besar untuk kontraktor migas di laut dalam. Data dari Wood Mackenzie menunjukkan bahwa jatah bagi hasil migas yang didapatkan Indonesia saat ini relatif lebih besar (81%) jauh diatas rata rata global ataupun Asia Pasifik yang masing-masing berada di kisaran 58% dan 67%. Hal ini akhirnya menyebabkan investasi migas di Indonesia menjadi kurang menarik. Ke depan pemerintah akan mencoba mengembangkan persentase
34
bagi hasil tidak terbatas menggunakan sistem kontrak bagi hasil namun juga menggunakan Dynamic Split atau Sliding Scale Revenue Over Cost (R/C).
Sumber: Wood Mackenzie Gambar 28. Rata-rata Bagi Hasil (Gov % Share) Kontrak Migas Secara khusus pemerintah harus mewaspadai dampak dari tren harga minyak murah saai ini terhadap kelangsungan bisnis hulu migas. Pengurangan belanja investasi yang dilakukan perusahaan migas saat ini dapat mengancam ketahanan supply energi nasional dan dalam jangka jangka panjang, situasi ini dapat berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia dalam skala yang lebih luas. Efek jangka pendek dari berkurangnya produksi migas saat ini adalah penurunan penerimaan negara, sehingga momentum ini harus digunakan untuk mendorong reformasi kebijakan fiskal dan memperbaiki iklim investasi di sektor migas. Kalangan pelaku bisnis Migas berharap pemerintah setidaknya dapat memberikan insentif temporer selama harga minyak rendah yang ditujukan terutama untuk memacu investasi eksplorasi dan produksi.
35
Indeks Stabilitas Perbankan
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index) Agus Afiantara Angka BSI pada bulan Juli 2016 mengalami penurunan sebesar 1 bps bila dibandingkan dengan angka BSI pada bulan Juni 2016, yaitu dari 99,48 menjadi 99,47. Angka CP (Credit Pressure) tidak mengalami perubahan tetap di 99,97, angka IP (Interbank Pressure) mengalami peningkatan sebesar 42 bps dari 98,59 menjadi 99,01 dan angka MP (Market Pressure) turun sebesar 5 bps dari 99,30 menjadi 99,25. Angka BSI pada bulan Juli 2016 menunjukkan kondisi risiko industri perbankan indonesia masih berada dalam kondisi “Normal”.
Sumber: LPS Gambar 29. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure (CP) Kredit bermasalah per Juni 2016 mengalami perbaikan yang ditandai dengan turunnya angka Gross NPL perbankan dari 3,11 pada bulan Mei 2016 menjadi 3,05 pada bulan Juni 2016. Perbaikan kualitas kredit disebabkan karena perbankan pada bulan Juni 2016 telah melakukan restrukturisasi kredit bermasalah, dan melakukan langkah-langkah korektif dalam menghadapi kredit bermasalahnya. Selain itu perbankan melakukan langkah antisipasi dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan kreditnya. Faktor lain yang menyebabkan perbaikan kualitas kredit adalah laju kredit pada bulan juni 2016 yang mencapai 9,05% (y/y), lebih tinggi bila dibandingkan laju kredit pada bulan Mei 2016 (8,47%). Meskipun NPL masih dalam batas wajar karena masih dibawah 5% tapi tren peningkatan NPL harus tetap diwaspadai. Perbankan menambah permodalan untuk menjaga rasio kecukupan modal (CAR) nya berada pada level 20%-22%. Per Juni 2016 modal perbankan meningkat sebesar 2,55% (m/m), sementara itu perolehan laba perbankan mengalami penurunan sebesar 0,84% (m/m), sehingga angka ROE menjadi turun dari 14,17% pada bulan Mei 2016 menjadi 13,70% pada bulan Juni 2016. Laju pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) nya menyebabkan angka LDR pada bulan Juni meningkat bila dibandingkan dengan angka LDR pada bulan Mei 2016. Perolehan dana pihak ketiga perbankan pada bulan Juni 2016 hanya mencapai 5,79%(y/y) lebih rendah bila dibandingkan dengan bulan Juni 2016 yang mencapai 6,55% (y/y). Hal ini menyebabkan rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) meningkat dari 90,32% pada bulan Mei 2016 menjadi 91,19% pada bulan Juni 2016.
37
Peningkatan laju pertumbuhan kredit pada bulan Juni 2016 ditopang oleh penurunan suku bunga kredit pada semua jenis pinjaman. Rata-rata suku bunga kredit perbankan mengalami penurunan dari 12,48% pada bulan Mei 2016 menjadi 12,38% pada bulan Juni 2016. Suku bunga kredit modal kerja turun dari 11,96% pada bulan Mei 2016 menjadi 11,82% pada bulan Juni 2016, suku bunga kredit investasi turun dari 11,59% pada bulan Mei 2016 menjadi 11,49% pada bulan Juni 2016, dan suku bunga kredit konsumsi juga mengalami penurunan dari level 13,88% pada bulan Mei 2016 menjadi 13,83% pada bulan Juni 2016. Penempatan dana antar bank riil meningkat dari Rp.126,13 Triliun pada bulan Mei 2016 menjadi Rp. 126,43 Tiriliun pada bulan Juni 2016. Hal ini disebabkan karena perbankan lebih mememilih menyalurkan dana nya kepada pihak ketiga dalam bentuk kredit, dibandingkan menyimpan dananya bentuk giro, interbank call money atau deposito berjangka pada bank lain. Pada bulan Juni 2016 JIBOR O/N berada pada level 5,00% lebih tinggi bila dibandingkan dengan posisi JIBOR O/N pada bulan Mei 2016 yang berada pada level 4,90%.
Sumber: LPS Gambar 30. Sub Indeks Interbank Pressure (IP) dan Market Pressure (MP) Nilai tukar rupiah (IDR) terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada akhir juli 2016 mengalami penguatan sebesar 86 poin dari posisi Rp13.180 per Dolar AS pada Juni 2016 menjadi Rp13.094 per Dolar AS pada Juli 2016. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan tren positif. Indeks be rhasil mempertahankan posisi diatas level psikologisnya di angka 5.000. Indeks pada penutupan perdagangan akhir Juli 2016 tercatat berada pada posisi 5.215,99 lebih tinggi 199,35 poin dibandingkan dengan periode akhir Juni2016 yang berada pada level 5.016,65. Yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun pada akhir Juli 2016 mengalami penurunan sebesar 42 bps dibandingkan dengan yield satu bulan sebelumnya (Juni 2016), dari posisi 7,40% pada akhir Juni 2016 menjadi 6,98% pada akhir Juni 2016.
38
PENGARAH Fauzi Ichsan, Ferdinan D. Purba KOORDINATOR Moch. Doddy Ariefianto, Hendra Syamsir, Seno Agung Kuncoro ANALIS Ahmad Subhan, Seto Wardono, Agus Afiantara, Dienda Siti Rufaedah, Citra Amanda Laporan Perekonomian dan Perbankan ini dipublikasikan dalam rangka pelaksanaan fungsi Lembaga Penjamin Simpanan untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Tujuan penerbitan laporan ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan publik terhadap berbagai potensi risiko perekonomian dan sistem keuangan ke depan. Laporan Perekonomian dan Perbankan ini memuat hasil monitoring dan analisis Lembaga Penjamin Simpanan mengenai perkembangan ekonomi makro, pasar keuangan, perbankan, industri, dan indeks stabilitas perbankan
Pendapat / Saran / Komentar dapat ditujukan kepada : Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko Equity Tower lantai 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Lot 9 Jalan Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12190 Telp : +62 21 515 1000 ext 340 Email :
[email protected] Website : www.lps.go.id
39
Lampiran
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih Variabel
2012
2013
2014
2015
2016P
2017P
PDB Nominal (Triliun Rp)
8,616
9,546
10,566
11,541
12,442
13,777
PDB Nominal (Miliar US$)
918
916
890
862
938
1,037
PDB Riil (% y/y)
6.0
5.6
5.0
4.8
5.0
5.3
Inflasi (akhir periode, % y/y)
3.7
8.1
8.4
3.4
4.2
4.5
Inflasi (rata-rata, % y/y)
4.0
6.4
6.4
6.4
4.0
4.2
USD/IDR (akhir periode)
9,793
12,189
12,440
13,795
13,250
13,350
USD/IDR (rata-rata)
9,396
10,452
11,879
13,392
13,300
13,300
5.75
7.50
7.75
7.50
-
-
-
6.25
5.25
5.00
(2.5)
(2.5)
(2.5)
Variabel Kunci
BI Rate (akhir periode) BI 7-Day Reverse Repo Rate (akhir periode) Surplus/Defisit Fiskal (% PDB)
(1.8)
(2.2)
(2.2)
Sustainabilitas Eksternal Ekspor Barang (% y/y) Ekspor Barang (Miliar US$) Impor (% y/y)
(2.0)
(2.8)
(3.7)
(15.4)
(7.3)
1.8
187.3
182.1
175.3
148.4
137.5
139.9
13.6
(1.3)
(4.5)
(19.7)
(5.5)
3.7
Impor (Miliar US$)
178.7
176.3
168.3
135.1
127.7
132.4
Neraca Berjalan (Miliar US$)
(24.4)
(29.1)
(27.5)
(17.7)
(21.7)
(25.5)
Neraca Berjalan (% PDB)
(2.7)
(3.2)
(3.1)
(2.0)
(2.3)
(2.5)
112.8
99.4
114.3
105.9
118.8
124.8
27.4
29.1
33.0
36.1
36.4
35.8
Konsumsi Swasta
5.5
5.5
5.3
4.8
5.1
5.2
Konsumsi Pemerintah
4.5
6.7
1.2
5.4
5.8
6.7
Pembentukan Modal Tetap Bruto
9.1
5.0
4.6
5.1
5.7
5.8
Ekspor Barang dan Jasa
1.6
4.2
1.0
(2.0)
(1.0)
2.3
Impor Barang dan Jasa
8.0
1.9
2.2
(5.8)
(2.2)
5.9
Sektor Primer
3.9
3.5
2.8
0.3
0.9
1.4
Sektor Sekunder
5.6
4.4
4.6
4.2
4.5
4.7
Sektor Tersier
6.8
6.3
6.2
5.7
6.5
6.7
1 Tahun
4.6
5.7
6.9
7.3
6.5
5.8
3 Tahun
5.1
5.9
7.6
7.9
7.0
6.4
5 Tahun
5.4
6.0
7.9
8.1
7.2
6.6
10 Tahun
6.0
6.5
8.2
8.2
7.4
7.0
20 Tahun
6.8
7.3
8.7
8.5
7.9
7.6
Pinjaman
23.1
21.6
11.6
10.4
10.0
12.0
Dana Pihak Ketiga
15.7
13.6
12.3
7.3
8.0
10.1
Loan to Deposit Ratio (%)
84.0
89.9
89.3
92.0
93.6
95.2
Cadangan Devisa (Miliar US$) Utang Luar Negeri (% PDB) PDB Riil menurut Pengeluaran (% y/y)
PDB Riil menurut Industri (% y/y)
Yield SUN Rupiah (rata-rata, %)
Perbankan (% y/y)
Sumber: LPS
41
Jadwal Rilis Data dan Peristiwa Penting 1 September - 30 September 2016 Negara
Tanggal
Indikator/Peristiwa
Amerika Serikat
2-September-16
Tingkat Pengangguran Agustus 2016
16-September-16
Inflasi Agustus 2016
22-September-16
Suku Bunga Acuan
29-September-16
PDB 2Q16
15-September-16
Neraca Perdagangan Juli 2016
15-September-16
Inflasi Agustus 2016
30-September-16
Tingkat Pengangguran Agustus 2016
21-September-16
Neraca Perdagangan Agustus 2016
21-September-16
Suku Bunga Acuan
30-September-16
Tingkat Pengangguran Agustus 2016
2-September-16
Neraca Perdagangan Agustus 2016
27-September-16
Transaksi Berjalan Agustus 2016
30-September-16
Tingkat Pengangguran Agustus 2016
5-September-16
Inflasi Agustus 2016
9-September-16
Neraca Perdagangan Juli 2016
16-September-16
Suku Bunga Acuan
5-September-16
Transaksi Berjalan 2Q16
9-September -16
Neraca Perdagangan Agustus 2016
12-September-16
Inflasi Agustus 2016
8-September-16
Neraca Perdagangan Agustus 2016
9-September-16
Inflasi Agustus 2016
6-September-16
GDP 2Q16
21-September-16
Inflasi Agustus 2016
1-September-16
Inflasi Agustus 2016
1-September-16
Cadangan Devisa Agustus 2016
15-September-16
Neraca Perdagangan Agustus 2016
22-September-16
Suku Bunga Acuan
Zona Euro
Jepang
Brazil
Rusia
India
China Afrika Selatan Indonesia
Sumber: LPS
42
www.lps.go.id