63 III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teori 3.1.1. Perdagangan Luar Negeri sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Telah disampaikan pada bab sebelumnya, ahli ekonomi Klasik dan Neo Klasik percaya bahwa perdagangan internasional merupakan pendorong positif dan kuat terhadap pembangunan ekonomi. Alasan yang dikemukakan adalah untuk meningkatkan pembangunan perlu dilakukan fokus pada kegiatan ekspor, terutama produk sektor industri yang disebut sebagai export promotion. Peningkatan ekspor membuka peluang bagi perolehan devisa yang sangat dibutuhkan untuk mengimpor barang-barang konsumsi, bahan baku dan penolong serta barang-barang kapital. Strategi ini dikenal dengan strategi kebijakan substitution
import. Berdasarkan
teori
perdagangan,
dengan
melakukan
perdagangan internasional dapat menimbulkan transfer knowledge yang dapat meningkatkan efisiensi dalam penggunaan input, sehingga akan mempercepat pembangunan ekonomi (Hogendorn, 1996; Cyper and Dietz, 1997) dalam Parningotan (2000). Peranan perdagangan luar negeri terhadap pembangunan ekonomi telah dilihat oleh ahli ekonomi pembangunan di mana mereka sepakat bahwa ekspor dapat dijadikan mesin bagi pertumbuhan ekonomi. Alasan yang mendasari adalah: (1) ekspor dapat menyebabkan penggunaan penuh sumber-sumber domestik sesuai dengan keunggulan komparatif (comparative advantage), (2) ekspor dapat memperluas pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri, (3) ekspor merupakan sarana untuk mengadopsi idea atau pengetahuan dan teknologi baru,
64 (4) ekspor mendorong mengalirnya modal dari negara-negara maju ke negaranegara sedang berkembang, (5) ekspor merupakan salah satu cara efektif untuk menghilangkan perilaku monopoli, dan (6) ekspor dapat menghasilkan devisa. Dunn dan Mutti (2004) menjelaskan bahwa, sumberdaya sebuah negara dapat mengalami pertumbuhan misalnya angkatan kerja meningkat karena pertumbuhan penduduk, atau kapital stok fisik bertumbuh melalui net investasi. Pertumbuhan faktor ini menyebabkan kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan yang berarti kapasitas negara untuk berproduksi sedang naik. Pertumbuhan yang terjadi ini kemudian akan berinteraksi dengan kondisi permintaan dalam negeri dan luar negeri menentukan efek akhir pada output, termasuk kegiatan perdagangan yaitu ekspor dan impor, dan term of trade. Bilamana semua faktor produksi negara bertumbuh pada tingkat yang sama dan semua industri mengalami constant return to scale dan teknologi tidak mengalami perubahan, maka pertumbuhan kapasitas ini menyebabkan kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan dalam proporsi yang sama dan disebut sebagai pertumbuhan yang netral. Jika pada kondisi ini, term of trade negara tidak mengalami perubahan dan elastisitas income of demand untuk kedua barang sama dengan satu maka sebuah negara akan terus memproduksi kedua komoditi yang diperdagangkan dalam proporsi yang sama sehingga baik impor makanan dan ekspor pakaian negara tersebut akan meningkat sebanding dengan kenaikan output atau pertumbuhan ekonomi. Namun, jika permintaan negara tersebut untuk makanan (komoditi yang diimpor) meningkat lebih dari pada proporsi kenaikan income, maka ekspor dan impor negara tersebut juga akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar dibanding proporsi kenaikan output, yang berarti
65 pertumbuhan bias kepada perdagangan. Sebaliknya jika elastisitas income untuk makanan adalah inelastic maka pertumbuhan ekonomi dikatakan tidak memberikan pengaruh yang kuat pada pertumbuhan perdagangan (Zhang, 2008; Dunn dan Mutti, 2004). Pertumbuhan ekonomi yang tercipta tidak selamanya memberikan dampak menguntungkan bagi sebuah negara. Feenstra (2002) dan juga Dunn dan Mutti (2004) menjelaskan kasus di mana pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak memberikan keadaan better off bagi negara melainkan keadaan worse off. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan dalam term of trade negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi mendorong adanya peningkatan ekspor yang mana peningkatan ekspor mendorong penurunan dalam term of trade sehingga penurunan harga ini menyebabkan penurunan dalam konsumsi yang menunjukkan bahwa masyarakat mengalami worse off dibanding keadaan sebelumnya. Kondisi ini disebut sebagai "pertumbuhan immiserizing" dan sering terjadi pada negaranegara berkembang yang mengekspor produk-produk primer dan mengimpor produk-produk manufaktur dari negara-negara industri maju. Hubungan positif antara ekspor dan produksi dalam negeri dapat juga dijelaskan dengan kurva permintaan agregat (AD) dan kurva penawaran agregat (AS) seperti yang dijelaskan pada Gambar 6 (Tambunan, 2001b). Gambar 6 menjelaskan bahwa, jika negara tidak melakukan perdagangan luar negeri, maka barang dan jasa yang ditawarkan di dalam negeri seluruhnya merupakan produksi dalam negeri. Dalam kondisi ekuilibrium, permintaan agregat sama dengan penawaran agregat (AD dan AS berpotongan di titik E0, dengan harga P0 dan kuantitas Q0). Apabila produksi dalam negeri meningkat, sehingga penawaran
66 meningkat ke AS1, sementara permintaan tetap pada AD0, maka terjadi kelebihan penawaran Q0 - Q1 yang mengakibatkan harga turun ke P1. Keadaan yang sama akan terjadi, jika penawaran agregat meningkat akibat impor, terutama barangbarang konsumsi. Sebaliknya jika terdapat permintaan luar negeri, maka kelebihan produk di pasar dalam negeri dapat diserap oleh pasar luar negeri. Karena ekspor adalah bagian dari permintaan agregat sehingga kurva AD bergeser ke AD1. Terjadi ekulibrium pada E1, di mana harga tetap tetapi output yang terjual meningkat. Peningklatan output terjual berarti terjadi peningkatan perekonomian di dalam negeri melalui peningkatan pertumbuhan output dari 0Q0 menjadi 0Q2 dibandingkan dengan kondisi output sebebelumnya yang dikenal dengan sebutan vent for surplus.
P (Harga) AD1 AS0
AD0
AS1
E2
P2 E0
P0
E1
P1
0
Q0
Q1
Q2
Q (Output)
Sumber : Tambunan (2001b) Gambar 6. Analisis Pengaruh Positif Ekspor terhadap Pertumbuhan Output
Berbagai bukti empiris dijelaskan para peneliti tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perdagangan internasional. Parningotan (2000)
67 menjelaskan, bahwa dengan berbagai metode yang digunakan oleh para peneliti di setiap negara untuk menguji hubungan antara perdagangan internasional dengan pertumbuhan ekonomi, hasilnya dapat saja berbeda, yakni hasil analisis dapat saja positif dan juga negatif. Teknik untuk mengidentifikasi peranan penting dari pedagangan internasional adalah dengan memperhatikan keefektipan promosi ekspor (outward – looking strategy) dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Strategi ini dilakukan dengan cara meningkatkan ekspor produk-produk manufaktur, dan tetap mempertahankan ekspor komoditi primer. Bilamana jenis dan jumlah komoditi ekspor dapat ditingkatkan berarti penurunan ekspor dalam produk primer akan dapat diantisipasi. Hal ini menunjukkan adanya keuntungan dinamis yang dapat dicapai di mana keuntungan tersebut akan mendorong terciptanya inovasi yang dapat meningkatkan skala ekonomi (economies of scale) yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan dan kinerja makroekonomi. Sinha (1999) telah melakukan studi tentang trade balance (ekspor-impor) untuk menggambarkan Export-Led Growth (ELG). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa promosi
ekspor memberikan kontribusi yang penting
terhadap pertumbuhan ekonomi. Balassa (1989) menemukan bahwa, dampak perdagangan internasional khususnya yang didukung oleh strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor, akan mendorong penggunaan sumberdaya menjadi semakin efisien, sedangkan untuk negara-negara yang
menerapkan strategi
industrialisasi yang berorientasi ke dalam, memiliki keterbatasan dalam meningkatkan pertumbuhan ekspor (Tambunan, 2001). Perluasan ekspor merupakan faktor kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Secara teoritis, berbagai argumentasi telah
68 dikemukakan untuk menjustifikasi hipotesis Export Led-Growth. Pada sisi permintaan dapat dikatakan bahwa pencapaian pertumbuhan permintaan tidak cukup dilakukan dalam pasar domestik saja yang sangat terbatas. Tetapi harus dilakukan juga permintaan di pasar luar negeri atau ekspor, karena melalui pasar ekspor, berarti penjualan komoditi hampir tidak terbatas, sehingga tidak menimbulkan restriksi pada pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Dengan demikian ekspor dapat menjadi penyangga pertumbuhan pendapatan sebagai komponen dari permintaan agregatif (Agosin, et. al, 2010). Dari perspektif penawaran, perluasan ekspor dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kenaikan dalam total factor produktivity (TFP), karena perluasan ekspor dapat meningkatkan spesialisasi sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif, dan menyebabkan realokasi sumberdaya dari sektor tertentu ke sektor ekspor yang lebih produktif dan menjadi efisien. Pertumbuhan ekspor dapat meningkatkan produktivitas melalui skala ekonomi yang lebih besar (Helpman and Krugman, 1985). Pertumbuhan ekspor dapat mempengaruhi TFP melalui efek yang dinamis terhadap kemakmuran ekonomi. Pertumbuhan ekspor secara tidak langsung dapat mempengaruhi jumlah devisa yang tersedia, yang dapat dipergunakan untuk peningkatan impor barang-barang kapital (Riezman, et. al, 1996). Peningkatan impor barang-barang kapital selanjutnya akan mendorong pertumbuhan output dan ekspor melalui peningkatan produktivitas, dan kemudian pertumbuhan ekonomi, dimana pengetahuan dan teknologi telah terkandung (embodied) dalam alat-alat dan mesin (Chen dan Kee, 2005).
69 3.1.2. Keterkaitan Sektor Pertanian dengan Sektor Industri Manufaktur Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat menggerakkan atau mendorong sektor industri. Negara Indonesia dengan sumberdaya utamanya berasal dari sektor pertanian, baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, kebutuhan industri, maupun untuk ekspor. Namun karena masih besarnya sumberdaya impor, seperti bahan baku dan bahan penolong, sehingga manfaat sumberdaya domestik menjadi tidak optimal, pada hal sudah tersedia di sektor pertanian. Gillis, et.al (1992) berpendapat, pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Indonesia melalui substitusi impor sejak 1970, ternyata telah gagal memperkuat perekonomian domestik. Fasilitas subsidi dan proteksi, ternyata justru menciptakan kesenjangan antara level industri di berbagai sektor. Persoalan lain yang terjadi adalah lemahnya keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri. Hal ini disebabkan oleh industri yang dibangun lebih banyak ke arah penggunaaan komponen impor sehingga keterkaitan kedua sektor menjadi sangat lemah. Penerapan strategi substitusi impor maupun promosi ekspor di Indonesia menurut Gillis, et.al (1992) memang telah memperlihatkan hasil pada pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan yang tercipta lebih ke arah ukuran kuantitatif semata, tapi secara kualitatif kurang berhasil. Hal ini disebabkan oleh strategi substitusi impor cenderung padat modal, sehingga proses industri yang terjadi tidak terintegrasi dengan sektor-sektor lain, terutama dengan sektor pertanian. Akibatnya terjadilah kesenjangan dalam banyak hal, seperti antara ekspor dan impor, penggunaan input kapital dan tenaga kerja, pertumbuhan
70 industri dan pertanian, bahkan kesenjangan distribusi pendapatan (Vogel, 1994, Krugman dan Obstfeld, 2000). Dari pandangan tersebut dengan segala kekurangannya, maka muncul strategi lain yang dikenal dengan strategi promosi ekspor yang berorientasi pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh kekuatan ekspor (expor-led growth). Strategi ini telah diadopsi oleh berbagai negara berkembang dan secara empiris juga dapat menunjukkan hasil, misalnya terjadinya pertumbuhan ekonomi, pengembangan industrialisasi, dan penyerapan tenaga kerja. Walaupun demikian strategi ini mengandung permasalahan, karena pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai harus dibarengi dengan hutang luar negeri, peningkatan impor yang relatif cepat (Krugman dan Obstfeld, 2000). Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing strategi di atas, yang jelas dari berbagai kekurangannya, meunculkan pemikiran baru untuk sebagai strategi pembangunan dibidang ekonomi, yakni strategi pertumbuhan seimbang antara sektor pertanian dan sektor industri (Singer, 1979). Tujuannya adalah untuk mengembangkan sektor pertanian yang didukung oleh sektor industri yang
menyediakan sarana dan prasarana pada sektor pertanian agar
produktivitas pertanian meningkat, dan pendapatan di sektor pertanian akan meningkat
yag
pada
gilirannya
pendapatan
masyarakat
tersebut
akan
meningkatkan konsumsi produk industri. Dengan demikian terjadi saling sinergi diantara kedua sektor tersebut (Vogel, 1994). Keberadaan strategi yang diajukan oleh Singer (1979) di atas, menurut Adelman (1984) cenderung padat modal dan kurang menyerap tenaga kerja di kedua sektor tersebut. Oleh karena itu proses pembangunan hendaknya
71 dilaksanakan dengan menerapkan teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai fokus utama pembangunan, terutama pembangunan pada skala kecil dan menengah, sebab kalau di fokuskan pada skala besar, yang terjadi adalah padat kapital dan relatif kurang penggunaan tenaga kerja. Strategi ini tidak menimbulkan konflik, karena proses pembangunan akan meningkatkan secara bersamaan antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja secara bersamaan, serta dapat memperbaiki distribusi pendapatan. Dengan demikian akan tercipta distribusi pendapatan yang lebih baik dengan jumlah pekerja yang cukup besar baik pada sektor pertanian maupun pada sektor industri manufaktur. Peningkatan pendapatan yang terjadi akan meningkatkan konsumsi dan investasi di kedua sektor tersebut. Di lain pihak keterkaitan pembangunan sektor pertanian dan sektor industri akan terwujud apabila pembangunan industri dapat memanfaatkan sumberdaya lokal terutama bahan baku yang disediakan oleh sektor pertanian. Sehingga sektor pertanian dapat mendorong peningkatan pada sektor industri manufaktur. Sebaliknya penigkatan pembangunan pada industri manufaktur juga dapat menyediakan input teknologi dan peralatan yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Dari uraian di atas dapat tergambar bahwa, secara teoritis antara sektor pertanain dan sektor industri manufaktur memiliki keterkaitan yang sangat erat. Namun demikian setiap strategi pembangunan ekonomi yang muncul akan memiliki kekurangan akibat dari orientasi ke arah yang lebih maju di bidang tertentu sehingga kontroversi selalu saja akan muncul dipermukaan.
72 3.1.3. Fungsi Produksi Agregat Seperti telah disampaikan oleh ahli ekonomi Neo-Klasik diantaranya Solow, bahwa pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada peningkatan penggunaan faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi. Dari teori pertumbuhan Neo-Klasik dapat diketahui bahwa dalam mempelajari pertumbuhan ekonomi yang lebih penting adalah menekankan pada penyelidikan empiris untuk menentukan berapa besar peranan dari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tersebut, dan bukan mementingkan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pengukuran pada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dilakukan oleh Neo-Klasik dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi agregatif yaitu (Romer, 1996) : Y = f (K, L, ....)
.............................................................................. (3.1)
Fungsi ini menunjukkan bahwa produksi nasional (Y) ditentukan oleh kapital (K), tenaga kerja (L), dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya. Bentuk fungsi produksi yang lain adalah fungsi produksi Cobb-Douglass, adalah sebagai berikut.
Yt = At Kt Lt
……………….…............................................... (3.2)
Pengukuran tingkat pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan logaritma dan dideferensialkan terhadap waktu (t), memberikan hasil : d log Yt d log At d log Kt d log Lt dt dt dt dt
.................................... (3.3)
Jika pertumbuhan ditulis dengan rate (r), maka persamaan (3.3 dapat ditunjukkan sebagai : r (Yt) = r (At) + r (Kt) + r (Lt) …........................................ (3.4)
73 Persamaan ini menggambarkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai oleh suatu negara pada periode tertentu, tergantung pada tingkat perkembangan teknologi, peranan kapital dalam menciptakan pendapatan nasional dikalikan dengan pertumbuhan stok kapital ( r (Kt)) dan peranan tenaga kerja dalam menciptakan pendapatan nasional dikalikan dengan tingkat pertumbuhan tenaga kerja (
r (Lt)). Variabel r (At) menunjukkan kemajuan teknologi,
merupakan faktor yang mewakili semua faktor di luar faktor tenaga kerja dan stok kapital dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga r (At) sering juga disebut faktor residu. Gambaran di atas menunjukkan bahwa teori pertumbuhan Neo-Klasik menganggap seluruh faktor-faktor lain yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi telah tercakup dalam faktor residu. Namun demikian perlu disadari bahwa pertumbuhan adalah bersifat dinamis karena adanya perubahan faktorfaktor produksi, sehingga dengan mengelompokkan pengaruh lain di luar tenaga kerja dan kapital ke dalam faktor residu nampaknya kurang menggambarkan pengaruh dari faktor-faktor lain yang justru memiliki kontribusi lebih besar. Oleh karena itu perlu mempertimbangkan masuknya faktor lain
ke dalam fungsi
produksi selain tenaga kerja dan kapital. Berdasarkan teori produksi di atas, dalam kaitan dengan perdagangan luar negeri dan bagaimana perdagangan turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, perlu ditambahkan variabel perdagangan luar negeri seperti ekspor dan impor ke dalam fungsi produksi agregatif. Moshin dan Anam (2001) memperluas fungsi produksi agregat dengan memasukkan faktor ekspor sebagai berikut : Y = A*f (K, L, X, M)
............................................................................
(3.5)
74 Estimasi terhadap persamaan (3.5) akan memberikan peranan masing-masing variabel terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini dilakukan dengan menggunakan diferensial total, sehingga fungsi tersebut menjadi : dY=
Y Y Y Y dK dL dA …................................. K L X M
(3.6)
Berdasarkan persamaan (3.6) laju pertumbuhan dapat diperoleh sebagai berikut :
Y
Y K Y L Y X Y M A K L X M A ...... (3.7) K Y L Y X Y M Y Y
Dengan asumsi pasar persaingan sempurna, maka r = MPK dan w = MPL, x = MPX dan m = MPm (produk marginal ekspor dan impor) sehingga persamaan tersebut dapat diformulasi kembali menjadi :
rK wL xX mM K L X Y Y Y Y
Y
M a
.......................... (3.8)
keterangan : r
= Sewa rill,
w = Upah riil, dan m = Nilai tukar riil. Persamaan (3.8) dapat disederhanakan menjadi :
Y K K L L X X M M a
..................................… (3.9)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa total pertumbuhan ekonomi bersumber dari kontribusi pertumbuhan kapital plus kontribusi pertumbuhan tenaga kerja plus kontribusi pertumbuhan perdagangan luar negeri plus output teknologi atau residual. Modifikasi fungsi produksi agregatif dengan cara menambahkan variabel-variabel tertentu, juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Yousif (1999), memodifikasi model fungsi produksi agregatif dengan cara menambahkan dua variabel, yaitu ekspor riil dan nilai tukar riil, sehingga menjadi
75 lima variabel, yakni Y = f (X, ER, L, K). Sinha (1999), melakukan penelitian dengan menambahkan variabel instabilitas ekspor yang diukur dengan deviasi ekspor rata-rata lima tahun, yakni Y = f (K, L, Xi). Anyamele (2000) menambahkan variabel ekspor dan pengeluaran pemerintah, sehingga menjadi lima variabel, yaitu Q = f (A, K, L, X, G). Yusof et.al (2001) juga menggunakan dasar fungsi produksi, sehingga jumlah variabel menjadi enam variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, ekspor, impor barang-barang konsumsi, investasi, angkatan kerja dan nilai tukar, sehingga model ekonominya GDP = f ( X, MC, K, L, ER). Siliverstors dan Herzer (2005), dengan menambahkan variabel eksport industri manufaktur (XIMt), ekspor pertambangan (XPt), impor barangbarang kapital (MCt), dan faktor eksogen (Ct) yang diformulasikan menjadi Yt = f (Ct, Kt, Lt , XIMt, XPt, MCt). Dari beberapa penelitian di atas dapat memberikan gambaran bahwa selain kapital dan labor yang menentukan pertumbuhan ekonomi, juga ditambahkan variabel-variabel lain yang berkaitan langsung dan tidak langsung ke dalam model, yaitu variabel ekspor, impor, pengeluaran pemerintah, penanaman modal asing, nilai tukar, hutang luar negeri, dan tabungan masyarakat. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, tampak bahwa dalam menganalisis keterkaitan antara perdagangan luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi, jika hubungan tersebut hanya berbentuk bivariat dapat menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat. Hasil penelitian seperti ini telah dilakukan oleh Yousif (1999) di mana hasilnya hanya dapat menunjukkan hubungan jangka pendek. Sedangkan menurut Anyamele (2000) modifikasi fungsi produksi perlu dilakukan untuk menganalisis fenemona yang bersifat makro.
76 Berdasarkan landasan teoritis yang dikemukakan di atas, maka perlu dilihat sejauhmana peranan ekspor terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. Kegiatan ekspor Indonesia mencakup bidang atau sektor-sektor antara lain sektor pertanian, pertambangan, dan industri. Penelitian ini lebih fokus melihat peranan ekspor sektor pertanian dan industri terhadap kinerja makroekonomi. Oleh karena itu analisis lebih diutamakan pada kedua sektor bersangkutan, dan kemudian dilanjutkan dengan melihat lebih spesifik peranan sektor industri berbasis pertanian dan industri non-pertanian terhadap kinerja makroekonomi. Variabel kinerja makroekonomi Indonesia dalam penelitian ini mencakup PDB, neraca perdagangan, inflasi dan nilai tukar. Pertumbuhan ekspor pertanian primer, ekspor agroindustri, dan ekspor non-agroindustri memiliki hubungan yang kuat mendorong
pertumbuhan
variabel-variabel
kinerja
makroekonomi.
Selanjutnya
pertumbuhan kinerja makroekonomi yang terjadi akan berdampak balik mendorong pertumbuhan ekspor. Hubungan saling keterkaitan ini digambarkan dalam kerangka pikir pada Gambar 7.
Pertumbuhan Ekonomi
Perdagangan Luar Negeri
Sektor Pertanian
Sektor Industri Manufaktur
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Teoritis Keterkaitan dan Efek antara Pertumbuhan Ekonomi, Perdagangan Luar Negeri dan Sektor Pertanian dan Industri
77 3.2. Kerangka Model 3.2.1. Teori Vector Autoregression Ahli ekonometrik pertama yang mengenalkan vector autoregression (VAR) pertama kali adalah Sims (1980) sebagai metode alternatif yang dipercaya lebih baik dibandingkan dengan model ekonometrik tradisional yang tergantung pada ratusan variabel dalam sebuah model. Metode VAR dapat memberikan cara estimasi untuk menjelaskan hubungan antar variabel ekonomi tanpa harus terlalu banyak restriksi. Munculnya metode VAR ini adalah sebagai jalan keluar atas permasalahan kesulitan justifikasi untuk variabel endogen dan teori ekonomi melalui pendekatan non-struktural. Penggunaan pendekatan struktural atas persamaan pemodelan simultan,
biasanya
menerapkan
teori
ekonomi
dalam
upaya
untuk
mendeskripsikan hubungan antar variabel yang ingin di uji. Akan tetapi sering ditemukan bahwa dalam teori makroekonomi khususnya, sulit untuk menentukan variabel–varianbel yang posisinya sebagai endogen dan variabel eksogen atau menentukan variabel dependen dan independen dalam suatu persamaan. Jalan keluar untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan metode VAR. Vector
autoregression
adalah
suatu
sistem
persamaan
yang
memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag variabel itu sendiri, serta nilai lag dari variabel-variabel lain yang masuk dalam sistem persamaan. Jadi variabel penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh variabel dependen dalam sistem persamaan dan dalam VAR tidak membedakan antara variabel endogen dan eksogen. Model VAR memberikan cara menjelaskan hubungan antar variabel-variabel ekonomi tanpa harus terlalu banyak restriksi.
78 Penentuan variabel dalam persamaan struktural VAR dapat dilakukan jika memang diperlukan dan memang berdasarkan pada teori ekonomi yang relevan, yaitu dengan melakukan impose restriksi. Semenjak dikenalkannya metode VAR pada tahun 1980, metode ini telah banyak diaplikasikan pada penelitian makroekonomi. Metode ini memungknkan para peneliti untuk menganalisis hubungan kausalitas yang dinamis antar variabel dalam suatu sistem, di antaranya penerapan infulse response function (IRF) dan forecast error variance decomposition (FEVD). Secara garis besar paling tidak terdapat empat hal yang ingin diperoleh dari pembentukan sebuah sistem persamaan yaitu deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisis kebijakan. Metode VAR menyediakan alat analisis untuk keempat hal tersebut melalui empat macam penggunaannya yaitu, (1) untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel, dapat menggunakan alat analisis Granger Causality Test, (2) untuk memperkirakan nilai saat ini dan masa depan berdasarkan informasi masa lalu (forecasting), (3) untuk melacak respons saat ini dan masa depan setiap variabel akibat dari perubahan atau shock suatu variabel tertentu, dengan menggunakan alat uji IRF, dan (4), untuk melakukan prediksi terhadap kontribusi relatif varian setiap variabel terhadap perubahan atau variabilitas suatu variabel tertentu, dapat menggunakan alat uji FEDV. Sebagai gambaran persamaan dalam metode VAR, dimisalkan pada kasus bivariat variabel, adalah y periode sekarang (yt) yang dipengaruhi oleh waktu sekarang dan waktu lampau oleh variabel xt dan realisasi waktu lampau yt , demikian pula terhadap variabel xt.
Persamaan simultan pada kasus kedua
variabel tersebut menurut Enders (1995) adalah sebagai berikut.
79 yt = b10 - b12 xt + c11yt-1 + c12 xt-1 +
yt
xt = b20 - b21 yt + c21yt-1 + c22 xt-1 +
xt
........................................................
(3.10)
......................................................... (3.11)
Dari kedua persamaan tersebut, diasumsikan bahwa (1) kedua variabel adalah stasioner; (2)
yt
deviasi masing-masing
dan y
xt
dan
bersifat white noise disturbances dengan standard x;
(c)
yt
dan
xt
tidak saling berhubungan. Kedua
persamaan di atas memiliki panjang lag satu dan saling mempengaruhi, misalnya xt mempengaruhi yt dapat dilihat dari koefisien - b12. Jika b12 tidak nol maka
xt
memiliki pengaruh tidak langsung pada yt, demikian juga sebaliknya terhadap koefisien - b21. Jika b21 tidak sama dengan nol, maka
yt
memiliki pengaruh tidak
langsung terhadap xt. Persamaan (3.10) dan (3.11) dapat ditulis dalam bentuk singkat (compact) sebagai berikut : BZt =
0
+
1Zt-1
+
t
.…………………………..…………….....… (3.12)
keterangan :
c 1 b12 y b c B , Z t t , 0 10 , 1 11 12 , t yt ....... (3.13) b21 1 xt b20 c 21 c 22 xt Jika sisi kanan persamaan (3.12) dibagi B (matrik), maka persamaan dapat juga ditulis dengan : Zt = A0 + A1Zt-1 + et, ..…………..……………………………........ (3.14) keterangan : A0 = B-1
0;
A1 = B-1
1;
dan et = B-1
t
Apabila simbol koefisien pada persamaan (3.10) dan (3.11) diganti dengan a, maka persamaan tersebut dapat ditulis kembali :
80 yt = a10 + a11yt-1 + a12 xt-1 + e1t ..................................................................... (3.15) xt = a20 + a21yt-1 + a22 xt-1 + e2t ...................................................................... (3.16) Diketahui e1t = B-1 t, maka selanjutnya e1t dan e2t dapat dihitung sebagai berikut :
Karena
e1t = (
yt
– b12
xt )
/ (1 – b12b21) .………………………………....…. (3.17)
e2t = (
xt
– b21
yt )
/ (1 – b12b21) ………………………………...…... (3.18)
xt
dan
yt
adalah proses white noice, sehingga
xt
dan
yt
mengikuti e1t dan
e2t yang memiliki nilai rata-rata nol, variannya konstan, dan tidak saling berhubungan. Covariance dari e1t dan e2t adalah sebagai berikut: Ee1t e2t = E[(
yt
– b12
xt )
(
xt
– b21
yt )]
/ (1 - b12b21)2 ......…….....…. (3.19)
Pada umumnya persamaan (3.19) tidak akan nol, dan kedua shocks tersebut akan berkorelasi. Jika variance/covariance dinyatakan dalam bentuk matrik, maka dapat dinyatakan sebagai berikut: 2 12 ∑= 1 ...…………………….....…….……..…………. 2 21 2
(3.20)
ketarangan : Var(e1t) = 1 2 dan 12 21 = Cov(e1t, e2t) Dari contoh kasus di atas dapat dikembangkan lebih lanjut ke kasus lebih dari dua variabel, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan vektor matriks. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis VAR adalah tentang identifikasi dan penentuan panjang lag optimal. Dalam hubungannya dengan identifikasi, metode VAR adalah sistem persamaan under-identified, karena jumlah koefisien yang diestimasi menjadi lebih banyak karena lag variabel dibandingkan dengan jumlah persamaan dalam sistem. Ada dua cara untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama, dengan cara
81 mengubah persamaan struktural ke dalam persamaan reduce form dan menemukan parameternya. Cara ini banyak dilakukan oleh peneliti, karena untuk menjelaskan hubungan antar variabel ekonomi tidak harus tergantung pada asumsi-asumsi atau restriksi. Kedua adalah dengan cara mengimpose restriksi untuk meng-cover kembali koofisien-koefisien dalam bentuk struktural dari hasil estimasi yang dibuat dalam reduce form, dan model tersebut dinamakan struktural VAR. Struktural VAR (S-VAR) merupakan hubungan secara teoritis, juga merupakan bentuk VAR yang terestriksi, dimana restriksinya adalah berdasarkan hubungan teoritis yang kuat dari variabel-variabel yang digunakan dalam sistem, dan S-VAR sering disebut VAR teoritis. Pengembangan struktural VAR adalah tetap menggunakan basis model VAR biasa. Untuk membangun model VAR, yang juga perlu diperhatikan adalah penentuan jumlah atau panjang lag. Model VAR sering dikritisi karena demikian mudahnya menambah parameter yang berasal dari panjangnya lag variabel itu sendiri. Peningkatan jumlah parameter n menyebabkan berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) oleh karena itu sifat parsimony dalam menentukan panjangnya lag variabel merupakan kriteria penting daam membangun model VAR. Kendatipun menentukan panjang lag penting untuk hasil yang memuaskan, namun secara teoritis tidak ada ketentuan dalam memilih panjang lag dalam VAR. Walaupun demikian metode yang diusulkan oleh Sims (1980) banyak menjadi pedoman dalam membangun model VAR, yaitu dengan uji Likelihood Ratio (LR) yang dapat dinyatakan sebagai berikut: LR = ( T – C) (log 0 - log 1 ) …..…………………….……… (3.21)
82 Dimana 0 dan 1 masing-masing adalah restriksi (dengan lag p0) dan unrestricted (dengan lag p1 atau > p0) matrik covariance yang didapat dari estimasi dengan OLS reduce form VAR. Variabel T adalah jumlah observasi dan C adalah pembenaran bias sampel yang sama dengan jumlah variabel pada masing-masing
persamaan
unrestricted
dalam
sistem.
Secara
asimtut
didistribusikan secara X2 dengan degree of freedom sama dengan jumlah restriksi dalam sistem persamaan. Penggunaan uji statistik LR ini dimaksudkan untuk mendapatkan ordo VAR optimal yang dimulai dari nilai X2 (nilai-p) terbesar hinga diperoleh nilai yang signifikan. Dengan kata lain ordo VAR optimal yang dipilih adalah pada saat sebelum nilai-p pertama kali tidak signifikan pada level of signifikan
= 0.05.
Cara lain untuk mendapatkan panjang lag adalah dengan menggunakan seleksi kriteria seperti Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Bayesian Criterion (SBC), yang dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut : AIC = T log
+ 2M ..................................................................... (3.22)
SBC = T log
+ M log T …………………………….…….….… (3.23)
Dimana M adalah jumlah parameter dalam sistem persamaan VAR. Dari hasil yang diperoleh dengan membandingkan nilai AIC dan SBC untuk masing-masing lag, lalu memilih panjang lag pada nilai yang paling rendah pada adjusted Likeliihood Ratio. Untuk mengetahui penggunaan metode VAR, maka di bawah ini akan dijelaskan prosedur atau tahapan yang harus dilakukan hingga diperoleh suatu manfaat analisis mulai dari uji stasionaritas data hingga peramalan.
83 3.2.1.1. Pengertian Stasioner Pengertian stasioner terkait erat dengan konsistensi pergerakan data time series. Suatu data disebut stasioner jika nilai rata-rata dan variansnya konstan sepanjang waktu, yang diikuti dengan covarians antar dua periode waktu yang hanya tergantung pada jarak atau selang di antara keduanya (Gujarati, 2003). Secara sederhana data akan bergerak stabil dan konvergen di sekitar nilai rataratanya dengan kisaran tertentu (deviasi yang kecil) tanpa pergerakan trend positif atau negatif. Pemanfaatan data yang tidak stasioner ke dalam suatu persamaan regresi dapat menghasilkan hasil regresi yang bias (spurious regression), dengan perangkat nilai statistik seperti t-statistik, F-statistik, dan R2 menjadi tidak valid.
3.2.1.2.
Pengujian Stasioneritas Uji stasioner diperlukan karena variabel makroekonomi pada umumnya
merupakan data time series yang bersifat non-stasioner. Data series biasanya fluktuatif dan cenderung membentuk suatu trend dalam jangka panjang. Pengujian stasioner ini dimaksudkan untuk memenuhi asumsi data runtun waktu agar terdistribusi secara normal dan independen (normally and indepently distributed), dimana secara rata-rata mempunyai varian yang tetap dan kovariannya adalah nol. Tujuannya adalah agar dapat diperoleh hasil yang lebih baik atau dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan ekonometrik. Dengan kata lain uji stasioner dilakukan agar mean-nya stabil dan random error-nya sama dengan nol, sehingga model regresi yang dihasilkan memiliki kemampuan prediksi yang handal dan tidak menjadi bias. Menurut Gujarati (2003) keadaan stasioner tersebut dapat dirumuskan secara matematis seperti berikut :
84 Mean
= E (Yt) =
Variance
= var (Yt) = E (Yt- )2 = 2
Covariance
= E[(Yt - ) ( Yt+1 - )]
Beberapa literatur seperti Thomas (1997), Gujarati (2003), Verbeck (2000), secara umum menyebutkan bahwa uji stasioner dapat dilakukan dengan beberapa metode, misalnya dengan metode grafik, correlogram, dan akar unit. Uji akar unit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF), dan metode Phillips-Perron (PP). Uji stasioner dengan metode grafik, memberikan gambaran bagaimana pergerakkan data time series. Uji grafik ini lebih mengandalkan pengamatan tentang grafik yang disajikan. Oleh karena itu dapat diduga bahwa melalui pengamatan suatu data stasioner atau tidak sehingga mean, variance, maupun autocovariances-nya tidak terlihat (Enders,1995). Uji stasioner correlogram, dapat dilihat dari grafik yang dihasilkan dari suatu perhitungan data lag variabel tertentu. Berdasarkan analisis correlogram dapat diketahui data dari variabel tertentu stasioner atau tidak. Sebagaimana disarankan oleh Gujarati (2003) maksimum panjang lag dalam pengujian correlogram adalah sepertiga dari jumlah observasi. Uji akar unit (unit root test) dengan menggunakan metode ADF dan metode Phillips Perron (PP) menggunakan rumus sebagai berikut : Yt = Yt-1 + t. Persamaan ini menunjukkan bahwa t adalah error term yang memiliki mean sama dengan nol, variansnya konstan (2) dan tidak berkorelasi dalam beda waktu. Tapi jika Yt-1 bernilai satu, maka dapat dinyatakan bahwa Yt memilki akar
85 unit yang dalam ekonometrik disebut random walk yang dapat ditulis dalam persamaan seperti berikut, Yt = Yt-1 + t, dimana = 1. Untuk melakukan pengujian dengan ADF dapat menerapkan regresi dalam bentuk-bentuk : Yt = Yt-1 + t Yt = 1 + Yt-1 + t Yt = 1 + 1t + Yt-1 + t. Dimana t adalah variabel waktu atau trend. Untuk setiap kasus hipotesis nol = 0, maka variabel tersebut mengandung unit root. Pengujian dengan Phillips Perron menggunakan metode non parametrik. Pengujian regresi adalah merupakan proses autoregresive atau AR (1) yang dapat dinyatakan dengan rumus: yt = + yt-1 + t Untuk keperluan pengujian hipotesis terhadap ADF maupun PP, menggunakan hipotesis nol yaitu H0 : =1, dan hipotesis alternatif adalah Ha : < 1. Masalah yang muncul dalam pengujian ADF dan PP adalah penentuan lag yang akan dimasukkan dalam model. Panjang lag sulit diperkirakan, sehingga panjang lag menjadi jebakan (pitfall). Jika lag terlalu panjang akan mengurangi kemampuan untuk menolak hipotesis nol. Hal ini karena lag yang semakin panjang akan mengakibatkan bertambahnya parameter estimasi, dan akan berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom). Sebaliknya jika lag-nya terlalu pendek menjadi tidak mampu untuk mengungkap proses kesalahan aktual (the actual error process), akibatnya standard error tidak dapat diestimasi. Oleh karena itu untuk menentukan panjang lag, Enders (1995) menyarankan dengan melihat t-test dan atau F-test dari ADF maupun PP yang dimulai dari lag yang panjang kemudian terus menurun sampai diperoleh lag yang berbeda dengan nol.
86 3.2.1.3. Uji Kointegrasi Uji
kointegrasi
dilakukan
untuk
mengetahui
bagaimana
kondisi
keterkaitan antara dua variabel atau lebih dalam suatu sistem persamaan. Dengan kata lain uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang baik pada kasus univariate maupun pada kasus multivarariate (Thomas, 1997). Sedangkan menurut Enders (1995) yang dimaksud dengan kointegrasi adalah hubungan antar variabel bersifat kombinasi linier pada variabel non stasioner, dan terjadi integrasi pada ordo yang sama. Untuk menguji suatu persamaan kointegrasi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain : 1.
Uji kointegrasi dengan model Engle-Granger (EG). Uji ini dilakukan dengan melakukan regresi terhadap persamaan, kemudian residualnya di uji dengan ADF. Jika uji akar unit terhadap residual signifikan, berarti variabel-variabel dalam persamaan regresi telah terkointegrasi, yang berarti antara variabel bebas dan variabel tak bebas memiliki hubungan jangka panjang.
2.
Uji kointegrasi dengan cointegrating regression Durbin-Watson (CRDW).
3.
Uji kointegrasi Johansen (Johansen cointegrating test).
3.2.1.4. Impulse Response dan Variance Decomposition Sebagaimana telah disebutkan di atas, pendekatan VAR menyediakan tools yang bermanfaat untuk menguji hubungan kausalitas yang dinamis antar variabel di dalam sistem. Salah satu alat tersebut adalah analisis Impulse Response Function (IRF). IRF menggambarkan arah dan ukuran pengaruh dari suatu guncangan struktural pada masing-masing sistem variabel melalui jangka waktu. Sebagai ilustrasi dapat dinyatakan dalam perumusan berikut : Xt = Co Et + C1 Et-1+ C2 Et-2 + C3 Et-3 + C4 Et-4 + ........................ (3.24)
87 Kelompok variabel endogen merupakan elemen dari Ck yang akan dipengaruhi oleh guncangan struktural pada variabel tertentu. Jadi dengan demikian menggambarkan respon dari variabel-variabel struktural terhadap guncangan variabel endogen lainnya dalam sistem persamaan. Cara lain untuk menyelidiki hubungan timbal balik yang dinamis di antara variabel struktural adalah dengan dekomposisi atau pemisahan ragam kesalahan peramalan (forecast error variance decomposition). FEVD memberikan gambaran tentang proporsi pergerakkan dalam suatu variabel sistem yang berkaitan dengan masing-masing guncangan struktural. Sebagai gambaran rata-rata bergerak untuk satu periode di masa datang sebagai berikut : Xt+1 = Co Et+1 + C1 Et + C2 Et-1 + C3 Et-2 + C4 Et-3 + ..................... (3.25) Ekspektasi dari Xt+1 yang bersyarat dan Et Xt+1 sebagai pengurang dari Xt+1, kesalahan ramalan satu tahap ke depan dapat dihitung sebagai berikut: Xt+1- EtXt+1 = Co Et+1
............................................................... (3.26)
Dengan cara yang sama, kesalahan ramalan untuk dua tahap dan tiga tahap ke depan dapat dihitung, seperti di bawah ini. Xt+2 - EtXt+2 = Co Et+2 + C1 Et+1 ............................................. (3.27) Xt+3 - Etxt+3= Co Et+3 + C1 Et+2 + C2 Et+1 ................................ (3.28) Secara umum kesalahan ramalan tahap ke-n ke depan dapat ditulis sebagai : Xt+n - EtXt+n = Co Et+n + C1 Et+n-1 + C2 Et+n-2 + ...+ Cn-1 Et+1 ...... (3.29)
Secara sederhana misalnya Xt= [ X1t, X2t]' dan Et= [ E1t, E2t]. Kemudian, kesalahan ramalan tahap ke-n X1t dapat ditulis sebagai berikut:
88 X1t+N- EtX1t+n = Co (1,1) E1t+n-1 + C1 (1,1) Elt+n -1 + C2 (1,1) E1t+n-2 + ..... + Cn-1 (1,1) E1t+1 + Co (1,2)E1t+n + C1 (1,2) E2t+n-2 + ....+ Cn-1(1,2) E2t+1 …………………………………..................... (3.30) Di mana Ck (i, j) menandakan unsur Ck. Kemudian, kesalahan ramalan pada tahap ke-n ke depan dari variabel X1, 2 1n
1n
2
, dapat dinyatakan sebagai berikut:
= [ Co(1,1)2 + C1(1,1)2 + C2(1,1)2 + ...+ Cn-1(1,1)2] + [ Co(1,2)2 + C1(1,2)2 + C2(1,2)2 + ... + Cn-1(1,2)2] …....... (3.31)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa ragam (variance) kesalahan peramalan X1 dapat dikomposisi / pemisahan ke dalam ragam yang disebabkan oleh (E1t) dan (E2t). Secara relatif
2 1n
dalam kaitan dengan suatu goncangan (E1t) dan (E2t)
dapat diuraikan sebagai berikut: Co(1,1)2 + C1(1,1)2+ C2(1,1)2+ …+ Cn-1 (1,1) 2] /
1n
[Co(1,2)2 + C1(1,2)2 + C2(1,2)2 +…+ Cn-1 ( 1, 2) 2] /
2
dan
2 1n .
............. (3.32)
3.2.2. Mekanisme Keterkaitan antar Variabel Penelitian Secara operasional, analisis pengaruh ekspor pertanian dan ekspor industri manufaktur terhadap kinerja makroekonomi dapat dilakukan dengan mengacu kepada kerangka teori di atas dan kondisi riil perekonomian Indonesia yang ada sekarang. Kinerja makroekonomi Indonesia dalam penelitian ini diukur melalui variabel-variabel Produk Domestik Bruto, neraca perdagangan, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Sedangkan variabel perdagangan luar negeri yang dalam hal ini ekspor, mencakup ekspor pertanian dan ekspor industri yang dibedakan atas ekspor non agroindustri dan ekspor agroindustri.
89 3.2.3. Model Umum VECM Keterkaitan antara variabel ekspor dengan variabel kinerja makroekonomi akan disesuaikan dengan tujuan penelitian, sehingga dibangun model ekonometrik yang dispesifikasikan dengan model VECM. Spesifikasi model VECM secara umum bentuk persamaannya menurut Sinha (1999) adalah sebagai berikut: p 1
Z t
i Z t i Z t 1 0 1 t t
…………........... (3.33)
i 1
keterangan :
= ’ yaitu matrik parameter
= Matrik koefisien ECM
’
= Transpose vektor kointegrasi
p-1
= Ordo VECM yang berasal dari lag optimal VAR
Zt = Vektor first difference ( Zt – Z t-1)
o
= Vektor intersep
1
= Vektor koefisien regresi
Zt
= Variabel penelitian (PDB, BOT, IHK, ER, XPT, XAI, XNAI)
i
= Matrik koefisien regresi
t
= Vektor error term
t
= Waktu.
90