Fokus
Perdagangan Internasional Kedelai:
Pilihan antara Swasembada, Impor atau Substitusi
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Email korespondensi:
[email protected]
36 36
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
Agrimedia
Pendahuluan
V
olatilitas harga pangan dunia yang terjadi sejak tahun 2000 diperkirakan akan terus berlangsung sampai 10-15 tahun kedepan. Pergerakan harga dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan komoditas pangan dunia. Faktorfaktor yang mempengaruhi penawaran pangan menurut FAO (2008) antara lain perubahan iklim, turunnya stok pangan dunia dan peningkatan harga minyak bumi. Sedangkan peningkatan permintaan pangan dunia antara lain dipengaruhi oleh peningkatan permintaan untuk bio-fuel dan makanan hewan yang berbahan baku komoditas pangan. Trostle et al. (2012) juga mengemukakan bahwa kenaikan harga pangan disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dunia dan pendapatan per kapita, meningkatan konsumsi produk hewani, peningkatan harga energi, pertumbuhan produksi bio-fuel, depresiasi nilai dollar dan turunnya pertubuhan produktivitas pangan. Fluktuasi harga pangan yang cenderung meningkat diprediksikan akan menciptakan banyak masalah, terutama di negara pengimpor. FAO (2010) menyatakan bahwa kenaikan harga akan mempengaruhi kondisi ekonomi konsumen dan produsen. Dari sisi konsumen, harga pangan yang melonjak mengakibatkan semakin besar proporsi pendapatan keluarga dikhususkan untuk membeli makanan. Situasi serupa dihadapi oleh penduduk miskin perkotaan. Biaya tambahan untuk membeli makanan akan menurunkan cadangan keuangan keluarga. Produsen berada dalam posisi yang lebih baik untuk mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga pangan. Namun dampaknya akan bervariasi tergantung pada: (i) biaya produksi, (ii) jumlah dana yang tersedia untuk membeli input dan alat, serta (iii) organisasi usaha koperasi untuk memasok produk ke toko dan pasar. Salah satu komoditas pangan yang menjadi pusat perhatian Indonesia adalah Kedelai. Kedelai banyak digunakan sebagai bahan baku tempe dan tahu yang menjadi sumber protein utama masyarakat Indonesia. Lima puluh persen dari konsumsi kedelai total diolah menjadi tempe, 40% digunakan dalam produksi tahu, dan 10% sisanya untuk produk
Agrimedia
makanan lainnya seperti tauco dan kecap. Masyarakat Indonesia mengkonsumsi rata-rata 8 kg tempe per kapita per tahun. Sejak tahun 1998, ketergantungan Indonesia pada kedelai impor semakin tinggi. Kedelai lokal sulit untuk dapat bersaing dengan kedelai impor, baik dalam harga dan kualitas. Selama ini tidak ada insentif bagi petani untuk menanam kedelai, terutama jaminan untuk harga selama musim panen. Ketika harga impor kedelai tinggi pada tahun 2007, pemerintah mensubsidi kedelai impor sebesar USD1/ kg dan menghilangkan tarif impor dan PPN. Kebijakan ini semakin menyebabkan turunnya produksi kedelai domestik dan peningkatan impor kedelai. Pencanangan swasembada kedelai tahun 2014 mendapatkan tantangan dari penurunan luas areal dan stagnansi produktivitas kedelai. Makalah ini menganalisis kondisi perdagangan internasional kedelai dan kemungkinan swasembada pangan kedelai. Disamping itu, peluang besar yang timbul selama periode harga tinggi dari siklus volatilitas harga adalah kemungkinan penggunaan produk substitusi. Permintaan untuk makanan secara umum sangat inelastis, sehingga dengan adanya produk substitusi, permintaan kedelai menjadi lebih elastis. Strategi ini dapat dijadikan solusi untuk menjamin ketahanan pangan di Indonesia. Perkembangan Pasar Kedelai Internasional
Pasar kedelai internasional dapat dianalisis melalui kondisi penawaran dan permintaan kedelai di pasar internasional dan negara ekportir dan importir yang dominan serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penawaran dan permintaan dunia. Penawaran dan Permintaan Kedelai Penawaran kedelai di pasar internasional didominasi oleh beberapa negara, dimana Amerika Serikat (AS), Brazil dan Argentina merupakan negara pengekspor utama dengan pangsa ekspor 90% dari total pasar dunia. Dominasi beberapa negara penghasil dan pengekspor kedelai menunjukkan pasar kedelai merupakan pasar persaingan tidak sempurna. Dominasi AS dalam ekspor kedelai ditunjukkan dengan peningkatan produksi dan produktivitas yang didorong dengan pengadopsian rekayasa genetika (GM) sejak tahun 1996.
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
37
Fokus
Sumber: USDA, 2012
Gambar 1. Produksi Kedelai Internasional dalam Juta Metrik Ton
Menurut USDA-ERS, GM kedelai merepresentasikan 89% dari total produksi kedelai AS. Sementara itu sepertiga dari produksi kedelai Brasil telah dimodifikasi secara genetik dan hampir semua kedelai (98%) ditanam di Argentina adalah varietas GM. Namun, terdapat penurunan produksi di ketiga negara tersebut selama 2010-2012. Produksi kedelai di bulan-bulan berikutnya tahun 2012 diproyeksikan akan menurun. Fenomena ini mungkin terjadi karena variabilitas iklim, seperti suhu hangat dan kurangnya curah hujan yang selanjutnya akan mengurangi hasil dan prospek produksi. China selain produsen juga mengkonsumsi kedelai dengan jumlah yang sangat besar sehingga China merupakan negara importir terbesar dan mengalami peningkatan yang tinggi sejak tahun 2010.
Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang cepat di China mempengaruhi peningkatan harga kedelai di pasar internasional. Dominasi China sebagai negara pengimpor menyebabkan China mempunyai kekuatan pasar dan dapat berperan sebagai penentu harga kedelai di pasar internasional. Impor kedelai terus meningkat karena produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan di banyak negara (China, Uni Eropa, Meksiko, dan Indonesia). Pertumbuhan permintaan kedelai terutama didorong oleh peningkatan konsumsi minyak kedelai dan bungkil kedelai, yang digunakan untuk pakan ternak akibat peningkatan permintaan daging.
Sumber: USDA, 2012
Gambar 2. Nilai Ekspor Kedelai ke Pasar Internasional (Juta Metrik Ton)
38
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
Agrimedia
Sumber: USDA, 2012
Gambar 3. Impor Kedelai di Pasar Internasional (Juta Metrik Ton)
Perilaku Harga Kedelai di Pasar Internasional Harga kedelai di pasar internasional sangat bervariasi yang menyebabkan masalah tidak hanya bagi produsen kedelai dalam negeri, tapi juga konsumen. Variabilitas harga kedelai pada periode 1980-2011 dapat dilihat pada Gambar 4. Sementara itu meningkatnya risiko telah menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien bagi produsen dan konsumen, dan juga memiliki potensi untuk membatasi akses pangan di negaranegara berkembang yang bergantung pada impor dan memiliki pendapatan per kapita yang rendah (OECD 2011). Telah terjadi juga integrasi antara pasar komoditas sumber energi dan komoditas pertanian yang mendorong harga komoditas pangan, termasuk kedelai menjadi tinggi. Biaya variabel produksi untuk kedelai, telah meningkat secara signifikan dari tahun 1999 akibat kenaikan biaya bahan bakar dan pupuk. Selama periode tersebut, terjadi kenaikan proporsi biaya variabel dari 20%-30% untuk kedelai (US Department of AgricultureUSDA, 2011).
Mungkinkah Kedelai?
Indonesia
Swasembada
Produksi Kedelai Indonesia Pada tahun 1992, Indonesia mencapai puncak produksi kedelai tertinggi, yaitu sebesar 1,6 juta ton dan berhasil mencapai swasembada kedelai. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, dari tahun ke tahun produksi dalam negeri terus menurun. Hal ini terutama dipicu oleh perubahan kebijakan tata niaga kedelai, yaitu dengan diberlakukannya pasar bebas yang mengakibatkan derasnya kedelai impor dengan harga murah. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya minat petani karena insentif harga yang rendah (Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2010).
Sumber: USDA, 2012
Gambar 4. Perkembangan Harga Historis Kedelai Internasional (USD/ MT)
Agrimedia
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
39 39
Fokus Bergesernya posisi Indonesia menjadi negara importir kedelai merupakan permasalahan bagi agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Permintaan kedelai yang tinggi di Indonesia tidak diimbangi dengan produksi kedelai yang cenderung berkembang lambat. Hal ini terjadi karena produktivitas dan produksi kedelai lokal masih rendah. Kondisi ini diperparah dengan semakin menurunnya luas panen kedelai. Ariani (2005) menyatakan, tanpa perluasan areal tanam, upaya peningkatan produksi kedelai sulit dilakukan karena laju peningkatan produktivitas berjalan lambat, terlebih lagi bila harga sarana produksi tinggi dan harga produk rendah. Hal ini terlihat pada Tabel 1, luas panen terbesar terjadi pada tahun 1995, yaitu sebesar 1,47 juta ha dan menurun drastis dengan area luas panen terkecil pada tahun 2007 sebesar 459.116 ha. Penurunan areal tanam akan diikuti dengan penurunan produksi kedelai. Hal ini berkaitan erat dengan derasnya kedelai impor yang masuk ke Indonesia untuk memenuhi permintaan kedelai dalam negeri. Tabel 1. Perkembangan Areal Penanaman, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun
Areal Penanaman (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton / ha)
1995
1.476.284
1.679.092
1:13
1996
1.277.736
1.515.937
1:18
1997
1.118.140
1.356.108
1:21
1998
1.094.262
1.304.950
1:19
1999
1.151.079
1.382.848
1:20
2000
824.484
1.017.634
1:23
2001
678.848
826.932
1:21
2002
544.522
673.056
1:23
2003
526.796
671.600
1:27
2004
565.155
723.483
1:28
2005
621.541
808.353
1:30
2006
580.534
747.611
1:28
2007
459.116
592.534
1:29
2008
590.956
775.710
1:31
2009
722.791
974.512
1:34
2010
660.823
907.031
1:37
2011
620.928
843.838
1:36
Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2012
40 40
Volume17 17 No. No.22DESEMBER DESEMBER2012 2012 Volume
Data dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menunjukkan bahwa penurunan produksi kacang kedelai hingga dibawah 1 juta ton terjadi sejak tahun 2001. Produksi kacang kedelai Indonesia mengalami penurunan dari 1,017 juta ton pada tahun 2000 menjadi 747.611 ton pada tahun 2000. Selanjutnya, pada tahun 2007 bahkan mencapai penurunan 7,52% dari tahun 2006 dari semula mencapai 746.600 ton menjadi 592.500 ton pada tahun 2007. Rendahnya produksi kacang kedelai dalam negeri menjadikan Indonesia sangat bergantung dari keberadaan kacang kedelai impor. Sebelum tahun 1990 impor kacang kedelai hanya dibawah 500.000 ton dan meningkat tajam dari tahun ke tahun pada dan telah mencapai sekitar 1,711 juta ton pada 2006. Apabila keadaan ini terus berlanjut akan sangat menguras cadangan devisa negara yang seharusnya dapat dihemat dari tercapainya swasembada kacang kedelai. Konsumsi Kedelai Indonesia Ketidakmampuan produsen dalam negeri dalam memenuhi permintaan kedelai dalam negeri menyebabkan pasokan kedelai di dalam negeri bergantung pada impor kedelai. Padahal ketergantungan yang makin besar pada impor dapat merugikan industri pengolahan kedelai terutama jika harga pangan dunia sangat mahal akibat stok menurun. Hal ini terjadi karena harga yang berlaku pada kedelai impor mengikuti harga yang berlaku pada harga kedelai internasional (dunia). Ketergantungan ini tentunya sangat merugikan Indonesia karena harga dari kedelai impor sangat fluktuatif. Jika kondisi ini berlanjut tentunya ketergantungan impor kedelai yang semakin tinggi juga akan menyebabkan pemborosan devisa, karena devisa dapat digunakan untuk tujuan strategis pada sektor pertanian lainnya seperti pengembangan industri pertanian yang dapat menyerap tenaga kerja. Selain itu keberadaan kedelai impor murah yang kini mendominasi pasar kedelai di Indonesia membuat kedelai lokal semakin tersaingi. Kedelai lokal tidak hanya harus bersaing harga namun juga harus bersaing dari segi kualitas dengan kedelai impor.
Agrimedia
2008 dan 2011. Kenaikan harga kedelai impor selama periode 2008-2011 secara langsung dapat menyebabkan harga kedelai dalam negeri turut meningkat. Seperti terlihat pada Gambar 7, Pada Desember 2011, harga kedelai dalam negeri mencapai Rp 5417/kg setara dengan $ 0,6/ kg. Harga kedelai tertinggi dalam negeri terjadi pada 9 Januari 2012 sebesar Rp 15.530/kg dengan harga rata-rata mencapai Rp 5891/kg. Kenaikan harga kedelai Sumber: Center for Agricultural Data and Information, 2012 Gambar 5. Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia 2002-2011 (dalam ton) domestik per bulan menimbulkan resiko kepada konsumen karena Tabel 2 menunjukkan tingkat ketergantungan pada harga produk kedelai olahan yang lebih tinggi. Oleh impor kedelai yang sangat besar. Tingkat ketergantungan karena itu, dengan informasi perkiraan harga dan pada impor kedelai selalu lebih dari 50% dari total faktor penentu yang mempengaruhi kedelai sangat konsumsi kedelai di Indonesia selama tahun 2002 penting untuk mengambil keputusan apa yang harus hingga 2011, dengan tingkat ketergantungan impor dilakukan untuk menstabilkan lonjakan harga kedelai di terbesar terjadi pada tahun 2007 (70,4%). Dengan masa depan. rasio ketergantungan tinggi, volatilitas pasar kedelai internasional akan secara signifikan mempengaruhi Salah satu alasan yang membuat volatilitas harga konsumsi kedelai Indonesia. bermasalah mengacu pada pentingnya kedelai terhadap konsumsi rumah tangga Indonesia (Tabel 3). Penggunaan kedelai sebagai input dari berbagai Oleh karena itu, kenaikan harga kedelai dalam negeri, sektor ekonomi di Indonesia dapat dilihat pada sebagai akibat dari kenaikan harga dunia, seyogyanya Tabel 3. Sebagian besar kedelai digunakan untuk akan menaikkan harga produk olahan kedelai seperti meproduksi kedelai olahan dan industri makanan. tahu dan tempe yang menjadi sumber protein utama Dengan mengkomarasi proporsi penggunaan input bagi rumah tangga berpendapatan rendah. kedelai berdasarkan Tabel Input-Output tahun 1995, Tabel 2. Konsumsi dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 2000, 2005, dan 2008, diketahui bahwa mayoritas 2002 - 2011 kedelai digunakan sebagai input produk pengolahan Konsumsi Rasio (kedelai olahan). Hal ini menunjukkan bahwa kedelai Tahun Impor (Ton) (Ton) Dependensi (%) sangat penting untuk bahan baku makanan dan produk 2002 1.365.252,7 2.038.073,7 66,99 lainnya dari kedelai, seperti tempe, tahu, kecap, dan 2003 1.192.717,0 1.864.148,0 63,98 susu kedelai. Harga Komoditas kedelai telah mengalami masalah kekurangan produksi untuk memenuhi permintaan domestik. Hal ini menyebabkan gejolak dalam harga pasar dan dapat mempengaruhi kinerja petani kedelai dan industri olahan kacang kedelai. Gambar 6, menunjukkan fluktuasi harga kedelai impor di Indonesia. Selama 2000-2011, harga impor meningkat pesat dan berfluktuasi, dengan harga tertinggi terjadi pada tahun
Agrimedia
2004
1.115.792,8
1.837.975,8
60,71
2005
1.086.178,2
1.893.655,2
57,36
2006
1.132.143,5
1.878.022,5
60,28
2007
1.411.588,7
2.002.250,7
70,50
2008
1.173.097,4
1.947.782,4
60,23
2009
1.314.619,7
2.288.685,7
57,44
2010
1.740.504,7
2.647.150,7
65,75
2011
2.088.615,5
2.931.906,5
71,24
Sumber: Center for Agricultural Data and Information, 2012
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
41
Fokus Fokus
Kondisi ini selanjutnya akan bermuara pada berkurangnya akses keterjangkauan produk tempe dan tahu oleh masyarakat miskin. Selain itu, lonjakan dramatis dalam harga kedelai dunia memaksa pemerintah untuk meniadakan tarif impor pada komoditas kedelai. Dartanto dan Usman (2011) menunjukkan bahwa tarif impor nol pada kedelai hanya menurunkan indeks kemiskinan dengan 0,059%, yang setara dengan penurunan jumlah penduduk miskin oleh 123.275. Oleh karena itu, kebijakan ini mungkin tidak cukup untuk menyerap dampak negatif dari kenaikan harga kedelai dunia. Kebijakan pembebasan tarif impor efektif dalam melindungi kaum miskin di Indonesia jika harga kedelai dunia melonjak kurang dari 10%.
Tabel 3. Tiga Sektor Utama Pengguna Kedelai di Indonesia Tahun 1995
Sektor Pengguna Processed Soybeans Foods and beverages made from milk Animal feeds Others
2000
Processed soybeans Foods and beverages made from milk Animal and vegetabel oils Others
2003
2005
2008
Nilai (Juta Rupiah) 1.438.092
1.799.522
122.120 22.091 217.219 1.548.409
2.397.887
339.577 64.970 444.932
Other food industries
1.746.706
Flour industries
1.163.124
Hotel and restaurant
1.024.115
Others
1.915.090
Processed soybeans
1.336.789
Foods and beverages made from milk
482.315
Other food industries
229.051
Others
1.218.955
Processed soybeans
3.338.490
Foods and beverages made from milk
Total (Juta Rupiah)
5.849.035
3.267.110
4.714.443
227.068
Other food industries 143.991 Pemerintah harus memikirkan Others 1.004.895 kebijakan lain untuk melengkapi kebijakan pembebasan tarif Sumber: Tabel Input dan Output Indonesia (diolah) impor. Dalam jangka panjang, pemerintah harus Impor Kedelai Indonesia mengurangi ketergantungan pada kedelai impor dengan meningkatkan produksi dalam negeri melalui Secara konseptual, impor akan melonjak manakala dukungan non-tarif (yaitu, subsidi input) subsidi. permintaan domestik telah meningkat lebih cepat Dengan memenuhi 80-90% dari kebutuhan kedelai, daripada produksi. Akibatnya, kontribusi impor untuk Indonesia akan mampu mengurangi ketidakpastian konsumsi domestik meningkat di Indonesia dalam dan kerentanan akibat tingginya fluktuasi harga kedelai beberapa tahun terakhir. Volume impor kedelai dunia dan masih menikmati manfaat dari perdagangan meningkat drastis pada periode 1989-2011. Data internasional melalui harga yang lebih kompetitif impor di tahun 2011 menunjukkan bahwa impor dan menciptakan persaingan di pasar domestik. Di kedelai Indonesia mencapai 1.245 milyar ton USD. sisi lain, kebijakan substitusi kedelai untuk industri Negara pemasok kedelai terbesar di Indonesia adalah olahan kacang kedelai juga secara signifikan akan dapat Amerika Serikat (89% dari total impor), Malaysia mengurangi resiko volatilitas harga kedelai impor. (6%) dan Argentina (4%). Gambar 8(a). menunjukkan perkembangan volume impor kedelai menurut negara asal pada periode 1989-2011. Pada hakikatnya, ketergantungan yang berlebihan pada impor merupakan hasil dari kebijakan pertanian Indonesia. Selama beberapa dekade, pemerintah terlalu berfokus pada komoditas beras, dengan mengorbankan tanaman lain seperti kedelai dan jagung.
42
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
Agrimedia
Sumber: UNComtrade, 2012
Gambar 6. Perkembangan Harga Kedelai Impor Indonesia Tahun 2000-2011 ($/kg)
Petani kedelai sering mengalami kerugian karena mereka tidak diberikan perlindungan seperti halnya petani padi. Salah satu alasan keengganan petani untuk menanam kedelai adalah bahwa mereka tidak bisa bersaing dengan harga rendah dari kedelai impor yang sifatnya artifisial, dan terutama berasal dari Amerika Serikat. Harga kedelai di pasar dunia dianggap telah terdistorsi oleh subsidi. Di AS, kedelai merupakan salah satu dari 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi. Pengurangan bea masuk menjadi 0% juga tidak membantu. Indonesia masih belum pulih dari tingginya harga kedelai di pasar dunia dan tidak mampu menyediakan jaring pengaman untuk mengatasi hal tersebut. Keberhasilan kebijakan untuk meningkatkan produksi membutuhkan jangka waktu yang cukup panjang. Meskipun demikian, liberalisasi perdagangan telah menciptakan kontribusi yang signifikan terhadap destabilisasi harga.
Kedelai volume impor mulai meningkat drastis sejak tahun 2005 hingga 2007, sehingga mencapai 2,24 juta ton. Volume kedelai impor turun pada tahun 2008 menjadi 1,17 juta ton. Namun, kembali meningkat pada tahun 2009 sampai 2011, yakni semula 1,31 juta ton menjadi 2,09 juta ton. Secara rata-rata, mayoritas impor kedelai di Indonesia pada tahun 2005 sampai 2011, dipasok oleh Amerika Serikat (82,1%) dan Argentina (5,2%). Secara spesifik, Tabel 4 menunjukkan perkembangan volume impor kedelai menurut negara asal 2005-2011. Strategi perdagangan AS melalui GSM 102/103, telah memposisikan harga kedelai impor pada tingkat yang lebih rendah terhadap produk kedelai lokal. GSM-102/103 merupakan program jaminan pembiayaan dengan beban bunga kredit rendah atas kredit komersial oleh bank AS kepada importir yang dinyatakan memiliki kekuatan dana yang cukup.
Tabel 4. Perkembangan Volume Kedelai Impor Indonesia Tahun 2005-2011 (dalam Ton) Negara Pemasok
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
898.223
1.057.280
1.203.239
1.081.292
1.178.346
1.582.313
1.847.899
82,1
3.470
7.618
7.991
28.430
50.574
60.009
120.074
3,2
144.500
64.546
180.141
45.038
40.682
78.234
73.037
5,2
28.038
504
1.773
559
926
8.478
4.764
0,4
670
429
17.501
20
28
2.831
1.971
0,2
11.279
1.763
830.155
17.761
44.064
8.640
40.871
10,2
1.086.180
1.132.140
2.240.800
1.173.100
1.314.620
1.740.505
2.088.616
100
USA Malaysia Argentina Canada Singapura Lainnya Total
Pangsa Rata-rata (%)
Sumber: UNComtrade, 2012
Agrimedia
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
43
Fokus
Sumber: Bapepti, Kementerian Perdagangan, 2012
Gambar 7. Perkembangan Harga Kedelai Impor Indonesia Program Ekspor Pertanian Jaminan Kredit (GSM102) menyediakan jaminan kredit untuk mendorong pembiayaan ekspor komersial dari produk pertanian AS, sambil memberikan jangka waktu kredit yang kompetitif untuk pembeli. Dengan mengurangi risiko keuangan kepada para pemberi pinjaman, jaminan kredit mendorong ekspor ke pembeli di negaranegara berkembang terutama-yang memiliki kekuatan keuangan yang cukup untuk memiliki devisa yang tersedia untuk pembayaran dijadwalkan. Badan Luar Negeri Pertanian USDA (Forign Agricultural Services) mengelola program spesifik Kredit Perusahaan Komoditi atau Commodity Credit Corporation (CCC) dengan deskripsi program utama untuk mengeluarkan jaminan kredit. Karena pembayaran yang telah dijamin, lembaga keuangan di Amerika Serikat dapat menawarkan persyaratan kredit yang kompetitif dengan bank asing menggunakan tingkat suku bunga London Inter Bank Offered Rate (LIBOR). Saat ini, Bank importir yang terdaftar dalam program GSM-102/103 Amerika Serikat di Indonesia meliputi Bank Central Asia (BCA) , Bank Danamon, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), CIMB Niaga dan BUKOPIN (Octa, 2012) dengan importir utama (4 NAGA) kedelai yaitu: Teluk Intan, Gunung Sewu, Sungai Budi dan Cargill) yang sepenuhnya memasok kebutuhan anggota GAKOPTINDO. Anggota GAKOPTINDO pada umumnya lemah dalam jaminan pemasaran, pendanaan dan rendahnya likuiditas sehinga sebagian besar anggota GAKOPTINDO tidak bankable. 44 44
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
Faktor tersebut berkontribusi terhadap perilaku pengrajin tahu-tempe di Pulau Jawa dan Lampung, lebih dominan memakai kedelai impor dibandingkan dengan kedelai lokal (Perum Bulog, 2010). Lebih lanjut, hal ini berdampak sangat merugikan pada upaya pengembangan kedelai lokal menuju swasembada kedelai 2014. Kemungkinan Swasembada? Swasembada komoditas pangan berbasis kedelai telah ditetapkan sebagai sasaran akhir kebijakan pertanian Indonesia karena makna dan urgensi ekonomi dan politik yang tersirat dalam kebijakan tersebut. Selain itu, Pemerintah Indonesia menyadari bahwa pendekatan terbaik untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional berbasis kedelai adalah dengan meningkatkan tingkat swasembada kedelai. Pada 2014, Indonesia diharapkan dapat memenuhi total permintaan kedelai dalam negeri. Terlepas dari kenyataan bahwa swasembada kedelai umumnya terkait dengan ketahanan pangan, ada perbedaan mendasar antara kedua konsep. Swasembada pangan berfokus pada kapasitas produksi pangan dalam negeri. Untuk menjadi mandiri, setidaknya 90% dari permintaan domestik harus dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Sebaliknya, ketahanan pangan menyoroti pentingnya ketersediaan pangan dan keterjangkauan. Lebih khusus lagi, FAO (1996) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi di mana orang-orang memiliki akses yang cukup untuk tersedia, terjangkau, dan makanan bergizi setiap saat.
Agrimedia
Sumber: UNComtrade and ITC, 2012
Gambar 8. (a) Nilai Impor Kedelai pada Periode 1989-2011 dalam USD (b) Pangsa Pasar Negara Pemasok Kedelai di Indonesia pada Tahun 2011
Saat ini, produktivitas kedelai stagnan telah menjadi lebih mengkhawatirkan karena perubahan penggunaan lahan. Sebagian besar lahan pertanian kedelai terkonsentrasi di Pulau Jawa, di mana tingkat konversi lahan untuk tujuan non-pertanian berlangsung cepat. Menurut BPS (2011) telah terjadi penurunan luas areal tanam di Indonesia dari tahun 2000 sampai tahun 2011 sebesar 23%. Penurunan luas areal tanam tersebut terutama disebabkan oleh penurunan luas areal tanam di sentra produksi kedelai di Jawa yaitu untuk Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah masing-masing sebesar 20,29%, 16,94%, dan 63,20%. Di satu sisi, merupakan faktor penting untuk konversi lahan yang cepat adalah perubahan persepsi pemilik lahan pertanian di Indonesia. Kedelai dikonsiderasikan sebagai komoditas yang kurang menarik secara secara ekonomis, jika dibandingkan dengan kegiatan lain karena keuntungan yang rendah. Petani di Indonesia cenderung mengganti kedelai dengan tanaman bernilai tinggi seperti komoditas perkebunan dan komoditas hortikultura. Dalam beberapa kasus, banyak petani juga telah memutuskan untuk menjual tanah mereka untuk keperluan industri dan perumahan dan investasi pendapatan mereka di sektor yang lebih menguntungkan lainnya. Oleh karena itu, orientasi dan strategi pencapaian swasembada kedelai difokuskan kepada penggunaan varietas unggul, ketersediaan benih cukup dan berkualitas, teknologi budidaya spesifik, lokasi
Agrimedia
ketersediaan lahan areal tanam, dan fasilitasi pemasaran (Munif, 2012). Problematika ketersediaan lahan dapat dikatakan sebagai permasalahan yang sangat penting. Perlu dilakukan ekspansi areal penanaman kedelai ke Luar Pulau Jawa dengan target lahan suboptimal (berupa lahan kering masam dan lahan basah masam). Salah satu klasifikasi lahan basah masam banyak ditemukan di Indonesia pada lahan pasang surut dengan potensi mencapai 20,1 juta ha dan 9,53 juta ha cocok untuk usaha pertanian, dan 2 juta ha sesuai untuk kedelai. Secara spesifik, lahan pasang surut tersebar di Sumatera (6,6 juta ha), Kalimantan (8.1 juta ha), Sulawesi (1,2 juta ha), dan Papua (4,2 juta ha) (Munif, 2012). Karakteristik lahan pasang surut yang perlu digaris bawahi adalah lahan yang telah dimanfaatkan untuk pertanian, sehingga fasilitas penunjang kegiatan produksi dan sumber daya petani sebagai pengelola relatif tersedia. Pada umumnya Indeks Penanaman (IP) di lahan pasang surut masih rendah hanya satu kali tanam setiap tahun untuk kedelai sawah yang ditanam antara bulan November-Maret, sehingga dapat ditingkatkan menjadi pola tanam kedelai-kedelai atau kedelai-kedelai-kedelai. Adapun kendala berarti dari pengelolaan lahan pasang surut adalah tingginya kadar pirit (FeS2) yang menyebabkan rendahnya pH tanah pada saat kondisi teroksidasi.
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
45
Fokus Fokus Kadar pirit tinggi tersebut menyebabkan produktivitas kedelai hanya 800 kg/ha. Penurunan kadar pirit dapat dilakukan dengan pengaturan tinggi muka air, pengolahan tanah (olah tanah ringan), dan pemberian kapur. Meskipun demikian, adanya “Teknologi Budidaya Jenuh Air” dapat digunakan untuk menurunkan kadar pirit. Budidaya Jenuh Air (BJA) adalah sistem penanaman dengan memberikan irigasi terus menerus dan membuat tinggi muka air tetap, sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air. Dengan ketersediaan air, intensitas radiasi dan suhu tinggi, maka jika kesuburan diperbaiki di lahan pasang surut produktivitas dapat ditingkatkan dengan sistem BJA, dibandingkan budidaya kering. Substitusi Kedelai Terdapat beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai pengganti kedelai dalam pembuatan tahu, tempe maupun kecap, yaitu: kacang komak, biji kerandang, biji polong turi, dan kacang lupin. Meskipun demikian, pengusahaan kacang komak, biji kerandang, dan biji polong turi belum dalam skala usaha yang besar seperti lupin. Kacang komak merupakan pengganti kedelai yang cukup baik sebagai bahan baku tempe dan tahu. Saat ini, budidaya kacang komak kedelai asal India dan telah dikembangkan di Probolinggo. Karakteristik kacang komak memiliki tekstur seperti kedelai dengan sumber protein 20-27%. Kacang Komak dapat tumbuh di daerah yang tandus sehingga tidak butuh input produksi yang banyak serta produksi tinggi dan tahan hama penyakit (www. dikti.go.id)
Disamping itu, Biji Kerandang merupakan jenis bijibijian yang dapat dijumpai disepanjang pesisir pantai Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. pemanfaatan biji kerandang sebagai bahan pengganti kedelai dalam pembuatan tempe yang baik adalah substitusi kedelai 75% dengan bahan koagulan cuka kedelai 25%. (Djaafar, et al. 2011) Biji polong turi dari tanaman turi (Sesbania grandiflora) banyak ditemukan di daerah kecamatan Tajinan dan sekitarnya (Kabupaten Malang). Hasil penelitian mengenai pengolahan biji polong turi sebagai substitusi kedelai dalam produksi tempe untuk studi kasus Kabupaten Malang menunjukkan bahwa dari sebanyak 25 kg bahan baku biji polong turi menghasilkan 50 kg tempe. (Erwin et al. 2000). Kacang lupin berperan sebagai solusi jangka pendek pengganti kedelai karena dalam kondisi volatilitas harga yang tinggi adalah strategi produk substitusi merupakan strategi prioritas untuk diaplikasikan. Untuk kasus kedelai salah satu produk substitusi dekat adalah lupin. Lupin adalah tanaman rotasi gandum yang dibudidayakan di wilayah Australia Barat dan Australia Selatan. Australia Barat merupakan produsen lupin terbesar di dunia dengan rata-rata produksi mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun. Saat ini, produksi lupin di Australia Barat mencakup 80% dari total produksi dunia sehingga kontinuitas produksi terjamin. Sebagian besar tanaman lupin dijual dengan harga murah untuk pasar pakan ternak. Meskipun demikian, saat ini lupin semakin banyak digunakan sebagai bahan makanan di Australia. Produsen lupin berusaha untuk meningkatkan ekspor ke negara-negara seperti Indonesia di mana lupin dapat digunakan sebagai pengganti kedelai untuk tempe dan tahu. Skala penggunaan yang luas dari lupin sebagai substitusi kedelai diharapkan mampu menurunkan tekanan peningkatan harga kedelai, menurunkan tekanan inflasi, dan akan memungkinkan ribuan bisnis pengolahan kedelai untuk berkembang dan bertahan di tengah kenaikan harga kedelai.
sumber :rri.co.id
46
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
Agrimedia
Dari sudut pandang produsen tempe di Indonesia, lupin menghasilkan tempe dengan volume produksi yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang sama dari kedelai yang digunakan. Meskipun demikian, produsen mengeluhkan karakteristik lupin yang berbeda dari kacang kedelai yang pada akhirnya akan menghasilkan tempe dengan warna, rasa dan tekstur yang berbeda. Produsen tempe bersedia untuk mensubstitusi kedelai dengan lupin jika lupin dapat menghasilkan kualitas tempe yang sama dengan tempe berbasis kedelai (Oktaviani et al. 2012). Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa jika terjadi kenaikan harga kedelai, produsen tempe lebih memilih untuk mengubah ukuran tempe dibandingkan meningkatkan harga tempe karena konsumen mereka sensitif terhadap perubahan harga. Ada beberapa persyaratan yang input harus dipenuhi untuk membuat tempe. Pertama, menggunakan input non kedelai sebagai bahan dasar tempe harus layak secara teknis. Kedua, tentang rasa tempe yang diproduksi. Tempe diproduksi berdasarkan harus sesuai dengan selera konsumen. Tanpa memenuhi persyaratan ini, substitusi sempurna tidak mungkin terjadi. Ketiga, tentang efek kesehatan. Persyaratan terakhir adalah tentang kelayakan ekonomi. Persyaratan ini menyangkut kepentingan kedua produsen tempe dan konsumen. Lupin dapat digunakan untuk menggantikan kedelai untuk membuat tempe, baik sebagian atau seluruhnya karena dapat memenuhi persyaratan tersebut di atas. Studi yang dilakukan tentang profitabilitas produksi tempe kedelai mengungkapkan bahwa keuntungan lupin tempe lebih tinggi daripada tempe berbasis kedelai. Ketersediaan harga tempe dan tahu yang murah sangat penting untuk ketahanan pangan rakyat miskin Indonesia. Untuk mengelola efek volatilitas harga kedelai pada industri tempe, diperlukan upaya untuk memperkenalkan input dasar baru yang dapat digunakan untuk menggantikan kedelai untuk membuat tempe, baik sebagian atau seluruhnya. Hal ini akan memungkinkan para produsen tempe untuk membuat strategi substitusi input untuk mengontrol efek dari kenaikan harga kedelai pada biaya produksi tempe. Hal ini akan menjamin pasokan tempe dengan harga terjangkau untuk konsumen miskin sehingga mendukung ketahanan pangan masyarakat miskin.
Agrimedia
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Untuk mencapai swasembada kedelai diperlukan perubahan kebijakan yang bersifat fundamental dan struktural melalui target kebijakan untuk petani, penduduk miskin, dan industri yang terkait dengan fokus kebijakan: (i) mengkoreksi persaingan yang tidak sehat yang dilakukan negara pengekspor dengan berbagai bentuk subsidi dan proteksi; (2) memberikan fasilitas untuk peningkatan efisiensi dan daya saing pertanian kedelai. Secara spesifik, langkah strategis kebijakan yang mendukung swasembada kedelai dapat dilaksanakan melalui: Pertama, keterpaduan kebijakan jangka panjang (pembangunan infrastruktur, jaringan irigasi, riset dan pengembangan (R&D), sistem insentif dan dukungan kebijakan ekonomi makro) dan kebijakan jangka pendek (ketersediaan faktor produksi: pupuk, pestisida, dan lain-lain dari tingkat pusat hingga daerah). Kedua, peningkatan produktivitas lahan dan pemanfaatan lahan pasang surut di luar Pulau Jawa. Ketiga, kemudahan akses petani terhadap lembaga perkreditan dan pemasaran. Keempat, peningkatan akses untuk mengembangan skala ekonomi petani, seperti dukungan pembiayaan usaha (terutama pertanian), teknologi baru, informasi kesesuaian lahan, pendidikan petani, akses pasar dan pemasaran dan sebagainya. Mencermati kondisi dan permasalahan produksi dan konsumsi kedelai Indonesia, upaya pencapaian swasembada kedelai diperlukan waktu yang relatif panjang mengingat rasio ketergantungan impor kedelai Indonesia yang sangat tinggi. Alternatif substitusi kedelai sebagai bahan dasar untuk makanan olahan berbasis kedelai merupakan solusi jangka pendek untuk meredam dampak negatif tingginya harga kedelai impor. Kebijakan Pemerintah yang mendorong diversifikasi penggunaan input non kedelai sangat diperlukan untuk provokasi disisi produsen maupun konsumen. Peranan lembaga penelitian dan pendidikan serta lembaga kemasyarakatan sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan adopsi teknologi kedelai serta peningkatan upaya substitusi kedelai untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai. Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
47 47
Fokus REFERENSI [BAPPEPTI]Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Kementerian Perdagangan. 2012. Sistem informasi harga komoditi. http://infoharga. bappebti.go.id/?pg=petunjuk_request. [14 Mei 2012] Center for Agricultural Data and Information. 2012. Luas Panen Kedelai di Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2002-2011. Jakarta: Center for Agricultural Data and Information. Center for Agricultural Data and Information. 2012. Produksi Kedelai Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2002-2011. Jakarta: Center for Agricultural Data and Information. [CBS]Central Bureau of Statistics. Various Editions. Input-Output Tabel. Jakarta: Central Bureau of Statistics. Dartanto T, Usman. 2011. Volatility of world soybean prices, import tariffs and poverty in Indonesia: A CGE-Microsimulation Analysis. The Journal of Applied Economic Research, 5(2), pp:139-181. Directorate General of Food Crops. 2010. Road Map Peningkatan Produksi Kedelai Tahun 2010-2014. Jakarta: Indonesia’s Ministry of Agriculture. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kacang komak bisa gantikan kedelai. http://www.dikti. go.id/?p=4466&lang=id.[04 August 2012] Djaafar TF, Nurdeana, Rahayu S, Apriyati E. 2011. Pemanfaatan biji kerandang (Canavalia Virosa) sebagai bahan pengganti kedelai dalam pembuatan tahu. Agritech 31(1). [FAO]Food Agricultural Organization. 2007. OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016. FAO: Rome. _____. 2010. The State of Food and Agriculture 20102011. Rome:FAO. Ghulamahdi M. 2012. Tekan impor kedelai dengan budidaya jenuh air pasang surut,A ntara News. http://www.antaranews.com/berita/328735/ tekan-impor-kedelai-dengan-budidaya-jenuhair-pasang-surut.[10 September 2012] International Trade Center. 2012. Trade Statistics for International Business Development. http:// www.trademap.org/. [13 Mei 2012]. Mukhtar O. 2012. Tata niaga kedelai oke, perlindungan hasil pertanian jangan dilupakan. Jurnal Nasional, 13 Agustus 2012
48
Volume 17 No. 2 DESEMBER 2012
Oktaviani R, Hutagaol MPH, Asmara A, Rifin A. 2012. Komoditas Lupin Australia:Penelaahan dari Aspek Ekonomi. Perth:Australian Lupin Processing. [OECD]Organization of Economic Cooperation and Development. 2011. “Is agricultural commodity price volatility increasing? A historical review.” Working Party on Agricultural Policies and Markets. Paris:OECD. Trostle R. 2012. Food Commodity Prices: Past Developments and Future Prospects. USDA Outlook Forum February 23, 2012 United Nations Commodity Trade Statistics Database. 2012. Data query of export and import. http:// comtrade.un.org/. [13 Mei 2012]. United States Department of Agriculture. 2011. World Agricultural Supply and Demand Estimate. Economic Research Service, Foreign Agricultural Service. United States Department of Agriculture. 2012. Oilseeds: World Market and Trade. Washington DC:USDA FAS.
Agrimedia