PERBEDAN STATUS IDENTITAS DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH OTORITER DI PANTI ASUHAN “X” Siti Mahmudah Fakultas Psikologi Universitas Semarang Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan status identitas pada remaja panti ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh otoriter yang diterima. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan status identitas ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh otoriter. Semakin tinggi nilai yang dicapai maka semakin remaja menilai dan memandang pengasuh menggunakan pola asuh otoriter maka status identitas yang remaja capai status identitas buruk. Populasi dalam penelitian ini adalah 41 subyek remaja panti asuhan. Pengambilan data penelitian peneliti menggunakan studi populasi. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan Skala Status Identitas dan Skala Persepsi terhadap Pola Asuh Otoriter. Metode analisis data yang digunakan adalah metode kuantitatif. Teknik analisis data menggunakan Z-score (p>0,05). Perhitungan Z-score digunakan untuk menentukan status identitas pada remaja panti asuhan. Mean empirik persepsi terhadap pola asuh otoriter adalah Diffussion 137,36, Foreclosure 141, Moratorium 121,9, dan Achievement 128,7 Mean hipotetik diperoleh 112,5 dan SD hipotetik 22,5. Hasil dari analisis data yaitu menunjukkan bahwa ada perbedaan status identitas yang dicapai remaja dengan persepsi terhadap pola asuh otoriter yang diterima. Sehingga hipotesis dalam penelitian ini bisa diterima.
Kata kunci: Status Identitas, Persepsi, Pola Asuh Otoriter THE DIFFERENCES OF IDENTITY STATUS BASED ON PERCEPTIONS OF AUTHORITARIAN PARENTING IN ORPHANAGE " X " Siti Mahmudah Faculty of Psychology, University of Semarang
Abstract The research aims to determine the differences of adolescent identity status in orphanage that reviewed by the perception of authoritarian parenting received. The hypothesis of this study is that there is a difference identity status in terms of the perception of authoritarian parenting. The higher the value achieved and the more adolescent judge looked caregivers used authoritarian parenting the adolescent identity status achieved was bad. The subject of this research was adolescent in orphanage. The population in this study were 41 adolescent. To get the data, the writer used population studies. The method of Data collection were the Identity Status Scale and Perceptions of Authoritarian parenting. The method of Data analysis was quantitative. The Analysis used the Z–score (p > 0.05) and the arithmetic Zscore is used for determine of adolescent identity status in orphanage. The Empirical Mean perception of authoritarian parenting is 137.36 Diffusion, 141 Foreclosure, 121.9 Moratorium, and the Achievement earned 112.5. Result of the analysis Data is was a 166
difference adolescent identity status achieved by perceptions of authoritarian parenting received, so that the hypothesis is accepted. Keywords : Identity Status, Perception, Authoritarian Parenting .
PENDAHULUAN Tidak setiap anak beruntung dalam menapaki hidupnya. Beberapa anak dihadapkan pada pilihan bahwa anak harus berpisah dari keluarganya karena sesuatu alasan, seperti menjadi yatim, piatu atau bahkan yatim piatu, tidak memiliki sanak keluarga yang mau atau mampu mengasuh, dan terlantar. Hal ini mengakibatkan kebutuhan psikologis anak menjadi kurang dapat terpenuhi dengan baik, terutama jika tidak ada orang yang dapat dijadikan panutan, diajak untuk berbagi, bertukar pikiran dalam menyelesaikan permasalahan. Data yang diperoleh dari kepala yayasan panti asuhan di Kudus bahwa alasan utama anak-anak tinggal di panti asuhan adalah karena faktor ketidak mampuan ekonomi keluarga dan karena salah satu dari orang tua mereka sudah meninggal dunia. De Panfilis (dalam Rahman 2011:232) kondisi permasalahan ekonomi keluarga yang komplek dapat berakibat pada kecenderungan orang tua melakukan pengabaian (fisik, pendidikan, dan emosional) karena perhatian dan waktu lebih terfokus pada kebutuhan sehari-hari. Panti asuhan inilah yang selanjutnya dianggap sebagai keluarga. Menurut Mulyati (dalam Rahman 2011:233) panti asuhan berperan sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak dalam proses perkembangannya, namun beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rentan mengalami gangguan psikologis karena sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu.
Berkaitan dengan segala perubahan guna memenuhi tantangan yang harus dihadapi di masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja, individu harus mengembangkan pemahaman mengenai keadaan diri sendiri yang jelas. Menurut Marcia (dalam Santrock 2003:193) remaja akhir menghadapi tugas perkembangan utama yakni pembentukan identitas yang biasanya dalam masa pencarian identitas remaja menghadapi berbagai konflik. Konsep identitas yang dikemukakan oleh Erikson, diuraikan oleh James Marcia dengan menggolongkan identitas menjadi 4 status identitas berdasarkan tingkat krisis yang biasa dialami oleh para remaja dalam pencarian identitas diri. Keempat status tersebut yakni identity achievement, moratorium, foreclosure, dan diffusion. Pembentukan identitas merupakan proses psikologis dan sosial. Proses psikologis remaja merasa membutuhkan untuk menata dan memahami pengalaman dirinya, dengan proses sosial remaja dituntut untuk menyesuaikan identitas dirinya berdasarkan lingkungan sosialnya. Kedua proses tersebut harus diselesaikan secara bersamasama untuk mendapatkan status identitas. Hasil wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 19 Februari pukul 16.00-17.48 WIB dengan 8 subyek penelitian remaja panti asuhan yang menyatakan bahwa 6 subyek masih belum tahu tugas perkembangan pada seorang remaja, mereka juga masih belum memiliki tujuan hidup yang pasti, mereka masih bingung dalam memahami dirinya sendiri serta dalam menyelesaikan masalah, mereka masih membutuhan masukan dari orang lain. Remaja panti dalam 167
menentukan suatu keputusan seperti sekolah, mereka mengikuti apa yang telah diarahkan oleh pengasuh. Berdasarkan ciriciri yang telah diuraikan status identitas remaja panti tersebut adalah status identitas diffussion yaitu status identitas yang masih belum bisa mengeksplorasi alternatifalternatif yang ada serta belum bisa menentukan suatu pilihan yang memang benar-benar di yakini. Sedangkan 2 subyek yang berinisial W dan A sudah tahu tugas perkembangan seorang remaja, bisa memilah-milah mana yang baik dan yang buruk, serta sudah bisa memutuskan masalahnya sendiri meskipun terkadang masih membutuhkan masukan dari orang lain, dan sudah memiliki tujuan hidup meskipun dua subyek ini belum merealisasikan tujuan hidup mereka. Berdasarkan ciri-ciri tersebut status identitas yang dicapai oleh kedua subyek adalah moratorium karena mereka sudah memiliki pilihan yang memang dia yakini meskipun masih belum merealisasikannya. Hume (dalam Burn, 1993:6-39) tokoh yang memperdebatkan identitas menyatakan bahwa untuk dapat menangkap diri sendiri pada setiap saat dibutuhkan persepsi. Tidak seorangpun dapat mengamati diri sendiri maupun orang lain secara langsung. Hal tersebut dapat didekati melalui persepsi seseorang, persepsi tersebut didasarkan atas kesimpulan dan interprestasi-interprestasi dari perilaku yang diamati. Patterson (dalam Cobb 2000:192) menyatakan bahwa dalam pembentukan identitas diri pada remaja dibutuhkan persepsi, dimana persepsi itu berisi bagaimana remaja melihat orang lain, dan itu akan berpengaruh pada remaja yang berkenaan dengan nilai-nilai yang diperolehnya. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pembentukan identitas itu dipengaruhi oleh persepsi, yaitu proses yang mengorganisir dan menggabungkan data-data indra kita untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat
menyadari sekeliling kita, termasuk sadar akan diri kita (Davidoff 1981:232). Menurut Moskowitz dan Orgel 1969 (dalam Walgito 2004:88) persepsi merupakan proses yang terintegrated dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Berdasarkan hal tersebut, persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama maka dalam mempersepsikan sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu yang lain, persepsi ini bersifat individual. Panuju (2005:85) pertumbuhan anak sejak lahir sampai besar, akan didapati bahwa anak itu tumbuh secara berangsurangsur bersamaan dengan bertambahnya umur. Demikian pula halnya dengan pertumbuhan identitas atau konsep diri juga berkembang seiring dengan bertambahnya berbagai pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya baik dari pendidikan keluarga, sekolah maupun dari masyarakat dimana ia tinggal. Oleh karena itu pola pengasuhan yang diberikan orang tua pada anak sangat mempengaruhi perkembangan anak kedepannya, seperti dalam pencarian identitas diri pada anak dimasa remaja. Status Identitas Erikson (dalam Santrock, 2003:344) perkembangan identitas adalah suatu proses yang panjang dan dalam beberapa kondisi bisa bertahap, bukan merupakan transisi yang bersifat terlalu tiba-tiba. Perkembangan identitas dimasa remaja adalah perkembangan fisik, kognisi dan perkembangan sosial dimana seorang individu dapat memilih identitas-identitas dimasa kecilnya untuk mencapai suatu jalan untuk dewasa. Erikson (dalam Desmita, 2005:214) menyatakan tugas perkembangan remaja yang paling penting adalah pembentukan identitas diri. Selama masa ini remaja mulai merasakan suatu perasaan tentang identitas diri, perasaan bahwa dirinya 168
adalah manusia yang unik. Manusia mulai mempelajari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, tujuan masa depan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Berdasarkan kondisi remaja yang sedang mencari identitas dirinya, maka menurut Erikson, salah satu tugas perkembangan masa remaja adalah menyelesaikan krisis identitas, sehingga diharapkan terbentuk suatu identitas yang stabil pada akhir masa remaja. Dan tugas perkembangan remaja selanjutnya adalah komitmen, yaitu kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang diyakininya. Masa pencarian identitas diri terjadi pada masa remaja karena masa remaja merupakan masa peralihan pembentukan identitas yang akan berlangsung sampai masa remaja akhir. Menurut Marcia (dalam Santrock 2011:194) terdapat minimal tiga dari aspek perkembangan remaja muda yang penting untuk mengidentifikasi pembentukan identitas. Remaja muda tersebut harus yakin memperoleh dukungan orang tua, harus mencapai prakarsa (sense of industry) dan harus mampu melakukan refleksi diri yang menyangkut masa depan. Menurut De Panfilis (dalam Rahma 2011:232) kondisi permasalahan ekonomi keluarga yang kompleks dapat berakibat kecenderungan orang tua melakukan pengabaian (fisik, pendidikan, dan emosional) karena perhatian dan waktu lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Panti asuhan pada akhirnya menjadi solusi untuk meminimalisir dampak stres yang diakibatkan kemiskinan, terutama dalam pelayanan kesejahteraan anak dan pemenuhan kebutuhan pendidikan anak. Panti asuhan inilah yang selanjutnya juga dianggap sebagai keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak. Mulyati (dalam Rahma 2011:233) mengatakan bahwa panti asuhan berperan sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak dalam proses perkembangannya, namun beberapa penelitian juga menunjukkan
bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rentan mengalami gangguan psikologis. Arvin (2000:137) anak yang tinggal dipanti asuhan akan rentan dengan gangguan perkembangan kepribadian, retardasi dalam membaca serius, keadaan apatis, dan cacat dalam sosialnya. Melihat kondisi ini seharusnya remaja perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Berdasarkan pemaparan dari beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa status identitas adalah suatu kemampuan remaja untuk memiliki perasaan diri yang kuat dalam menentukan arah tujuan hidup. Ditandai dengan membuat komitmen dan eksplorasi sehingga bisa membentuk remaja dengan status identitas yang baik. Jadi dalam membentuk status identitas pada anak panti asuhan perlu adanya dukungan dari keluarga, lingkungan panti, masyarakat serta pemerintah karena berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kondisi remaja panti lebih rentang mengalami gangguan dalam perkembangan sehingga diperlukan dukungan dari lingkungan agar remaja bisa membuat komitmen dan dapat melalui krisis dengan baik sehingga dapat membentuk status identitas yang baik. Marcia (dalam Santrock 2003:193) mendefinisikan empat bentuk-bentuk status identitas, yaitu: a. Status Identitas Achievement Identity Achievement adalah Status dari seseorang yang telah menyelesaikan periode eksplorasi (krisis) dan telah membuat komitmen dalam beberapa area alternatif. Mereka membuat komitmen tentang pilihan ini berdasarkan self constructed yaitu identitas yang ditemukan ini adalah bukan identitas yang terakhir, tetapi mereka akan berusaha melakukan memodifikasinya terus menerus sesuai dengan pengalaman mereka. 169
b. Status Identitas Moratorium Seseorang yang memiliki status identitas moratorium adalah seseorang yang sekarang ini telah mengalami krisis. Mereka belum membuat komitmen tetapi mereka sekarang sedang berjuang secara aktif untuk mencapainya. c. Status Identitas Foreclosure Status dari orang-orang yang telah membuat suatu komitmen tanpa pemikiran dan pertimbangan yang matang disebut foreclosure. Komitmen ini dibuat tanpa melalui tahap krisis (exploration). Mereka telah memilih suatu pekerjaan , agama, pandangan ideologi, tetapi pemilihan ini dibuat terlalu awal (tanpa pertimbangan dan keputusan sendiri). Pilihan-pilihan tersebut lebih ditentukan oleh orang atau orang yang signifikan oleh mereka sendiri. d. Status Identitas Diffusion Seseorang dengan identity diffusion tidak mengalami tahap krisis dan tidak pula membuat suatu komitmen. Hal ini mungkin terjadi karena mereka belum memasuki tahap krisis ataupun karena mereka seakanakan menjauh dari pencarian identitas tersebut. Aspek-aspek status identitas menurut James Marcia (dalam Santrock 2003:193) yaitu sebagai berikut: a. Krisis (crisis) Krisis sebagai suatu periode perkembangan identitas dimana individu berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif yang bermakna (sebagian besar peneliti menggunakan istilah. b. Komitmen (commitment) Komitmen diartikan sebagai investasi pribadi mengenai hal-hal yang hendak individu lakukan.
Persepsi Pola Asuh Otoriter Walgito (2004: 87) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Menurut Moskowitz dan Orgel, 1969 (dalam Walgito 2004:88) persepsi merupakan proses yang terintegrasi dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, tempat berinteraksi anak dengan anggota keluarga yang lain. Pengaruh keluarga terhadap pembentukan kepribadian sangat besar artinya yaitu orang tua sebagai pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap, dan cara hidupnya merupakan unsur pendidikan yang tidak langsung, salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian tersebut adalah pola asuh orang tua (Darajat dalam Muryono 2009:131). Baumrind (dalam Papalia 2008:395) pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang memandang penting kontrol dan kepatuhan tanpa syarat. Mereka mencoba membuat anak menyesuaikan diri dengan serangkaian standar perilaku dan menghukum mereka secara membabi buta dengan keras atas pelanggaran yang dilakukannya. Mereka lebih terlepas dan kurang hangat dibandingkan orang tua lain. Anak mereka cenderung tidak puas, menarik diri dan tidak percaya pada orang lain. Menurut Davidoff (dalam Walgito 2004:89) menyatakan bahwa aspek-aspek dalam persepsi ada tiga, yaitu: perasaan, kemampuan berpikir, pengalamanpengalaman individu Menurut Baumrind (dalam Steinberg 2002:125) ada dua aspek-aspek pola pengasuhan orang tua terhadap anak atau remaja, yaitu: parental responsiveness sejauh mana orang tua menanggapi 170
kebutuhan-kebutuhan anak dalam suatu sikap dan mendukung dan parental demandingness sejauh mana orang tua mengharapkan dan menuntut perilaku yang bertanggung jawab dan matang dari anaknya. Berdasarkan uraian tersebut, aspek persepsi terhadap pola asuh otoriter adalah kemampuan berfikir, perasaan, pengalaman yang dikaitkan dengan parental responsiveness dan parental demandingness. Metode Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah remaja panti asuhan. Pengambilan data penelitian yang digunakan studi populasi dengan jumlah subyek penelitian 41 subyek penelitian. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian adalah skala. Skala yang digunakan yaitu Skala Status Identitas dan Skala Persepsi terhadap Pola Asuh Otoriter. Teknik analisis data menggunakan Z-score. Perhitungan Z-score digunakan untuk menentukan status identitas pada remaja panti asuhan. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan menggunakan Z-Score yang berasal dari skor persepsi terhadap pola asuh otoriter diperoleh rata-rata kelompok pencapaian status identitas yang dimiliki oleh anak panti adalah sebagai berikut: terdapat 25 anak yang memiliki status identitas diffussion, foreclosure 2 anak, moratorium 10 anak dan yang terakhir achievement 4 anak. Setelah diketahui rata-rata kelompok status identitas tahap selanjutnya adalah mencari mean empirik pada status identitas diffussion = 137,36, foreclosure = 141, moratorium = 121,9 dan achievement = 128,75 dimana nilai skor yang diperoleh lebih tinggi dari mean hipotetik (112,5) hal ini menunjukkan bahwa tingkat persepsi terhadap pola asuh otoriter yang
diberikan pengasuh kepada subyek tergolong tinggi. Kategorisasi kelompok status identitas terhadap persepsi pola asuh otoriter dilakukan untuk memberikan gambaran bahwa setiap status identitas yang telah dicapai oleh remaja panti membentuk persepsi terhadap pola asuh otoriter yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara status identitas yang dicapai remaja dengan persepsi terhadap pola asuh otoriter yang diterima. Semakin tinggi remaja menilai dan memandang pola asuh yang diterima adalah otoriter maka status identitas yang ditcapai akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Remaja yang berada dalam status identitas Diffussion memiliki kategori tinggi pada persepsi terhadap pola asuh otoriter. Hal ini berarti bahwa remaja panti asuhan menganggap bahwa pola asuh yang diberikan pengasuh adalah otoriter, dan dengan pola pengasuhan tersebut remaja panti belum bisa melalui krisis dalam dirinya dan belum bisa membuat komitmen. Remaja dengan status identitas Foreclosure memiliki kategori tinggi terhadap persepsi pola asuh otoriter, dalam hal ini remaja memang mengaggap bahwa pola asuh yang diterima memang otoriter sehingga remaja masih belum bisa melalui krisis yang seharusnya sudah dilalui tetapi sudah memiliki komitmen dalam dirinya meskipun itu merupakan dorongan dari orang lain. Remaja yang berada dalam status identitas Moratorium berada dalam kategori sedang terhadap pola asuh otoriter, ini berarti remaja menganggap pola asuh yang diterima memang otoriter namun mereka tidak memiliki masalah dengan pola asuh yang diterima karena anak panti mengganggap bahwa pola asuh otoriter memang baik untuk mereka sehingga remaja yang berada dalam Moratorium sudah bisa melalui krisis meskipun belum bisa membuat komitmen. Terakhir adalah status identitas Achievement yang berada dalam kategori sedang terhadap pol asuh 171
otoriter, yang berarti bahwa remaja yang masuk dalam status identitas ini tidak merasa terganggu dengan pola asuh otoriter yang diterima dari pengasuh karena mereka menganggap bahwa pola asuh otoriter memang baik untuk mereka dan ditunjukkan dengan terselesaikannya krisis pada tahap ini dan bisa membuat komitmen pada dirinya. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan status identitas ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh otoriter. Semakin remaja menilai dan memandang pengasuh menggunakan pola asuh otoriter maka status identitas yang remaja capai semakin rendah, demikian juga sebaliknya, dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini diterima.
Daftar Pustaka Arvin, Behrman. K. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi kelima belas. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Burn, R.B. 1993. Konsep Diri “ Teori Pengukuran, perkembangan dan Perilaku”. Jakarta: Arcan.
Cobb, Nancy. 2000. Adolescence. United States of America: Mayfield Publishing Company. Davidoff, Linda. 1981. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga Muryono, Sigi. 2009. Empati Penalaran Moral dan Pola Asuh.Yogyakarta: Gala Ilmu Semesta. Panuju, Panut. 2005. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Papalia, Diane E., Sally, Wendkos. Old., dan Ruth, dan Duskin. Feldman. 2008. Human Development. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Rahma, Ayu.N. 2011. Hubungan Efikasi Diri dan Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan. Jurnal Psikologi Islami. Vol 8 No. 2. Santrock. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Steinberg, Laurience. Adolelescence Sixt Edition. North America: McGraw-Hill. Walgito, Bimo. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
172