Perbedaan Self-Regulated Learning Pada Siswa yang Mengikuti Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Di SMP N 2 Semarang
Oleh: RAGIL PICASIA DEWI ESTUNING TYAS 802007083 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi : Psikologi, Fakultas : Psikologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2013
i
ii
iii
iv
v
ABSTRAK Perbedaan Self-Regulated Learning Pada Siswa yang Mengikuti Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Di SMP N 2 Semarang Ragil Picasia Dewi Estuning Tyas Dr. Ch. Hari S Rudangta A. S Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana 2013 Self Regulated Learning (SRL) pada siswa dapat digambarkan melalui tingkatan atau derajat yang meliputi keaktifan berpartisipasi baik itu secara kognitif, motivasional, maupun perilaku dalam proses belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan SRL pada siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular. Hipotesis penelitian ini adalah adanya perbedaan SRL pada siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular di SMP Negeri 2 Semarang, dimana siswa kelas akselerasi mempunyai SRL lebih tinggi daripada siswa kelas reguler. Sampel (N=47) diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan satu skala yaitu Skala SRL yang berdasarkan pada karakteristik siswa yang mempunyai SRL oleh Zimmerman (2001, 2002). Skala ini terdiri dari 32 item valid. Analisis dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nilai thitung sebesar -0,778 dan p= 0,095 ( p > 0.05). dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan SRL pada siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular di SMP Negeri 2 Semarang. Kata Kunci: self-regulated learning, SRL, kelas akselerasi, kelas regular
vi
ABSTRACT Differences in Self-Regulated Learning in students who Attend Regular Classes and Accelerated Classes in junior high Country 2 Semarang Ragil Picasia Dewi Estuning Tyas Dr. Ch. Hari S Rudangta A. S Faculty Of Psychology Satya Wacana Christian University 2013 Self Regulated Learning (SRL) on students can be described through levels or degrees which include the liveliness of the participating in the cognitive, motivational, and behavior in the learning process. This research aims to know the difference in students who follow SRL class acceleration and regular classes. The hypothesis of this research is the existence of differences in students who follow SRL class acceleration and regular classes in junior high Country 2 Semarang, where students have accelerated classes SRL is higher than regular class students. Sample (N = 47) taken using a purposive sampling technique. Data collection using a single scale is a scale SRL which is based on the characteristics of the students who have the SRL by Zimmerman (2001, 2002). This scale consists of 32 items. The analysis in this study uses the t-test. Based on the results of data analysis, retrieved thitung value of-0,778 and p = 0,095 (> p 0.05). from the results it can be concluded that there was no difference in students who follow SRL class acceleration and regular classes in junior high Country 2 Semarang. Keywords: self-regulated learning, SRL, class accelerated, regular class
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu kunci pokok untuk mewujudkan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, terutama disini yang menjadi target atau sasarannya adalah generasi muda. Permasalahan yang cukup mendapat perhatian serius dalam dunia pendidikan dewasa ini adalah persoalan hasil belajar dan kualitas siswa. Winkel (Munandar, 2009) menyatakan kemampuan intelektual memegang peranan besar terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa terutama dalam pelajaran yang menuntut banyak berpikir (bidang pemahaman dan kognitif). Dalam proses belajar akan sangat banyak hal yang harus dipelajari, karena siswa akan berlombalomba untuk lebih bisa berprestasi secara akademik maupun non akademik, maka mereka akan mempunyi aktivitas belajar yang padat, aktivitas inilah yang mampu meningkatkan regulasi diri siswa dalam belajar, sehingga mereka lebih memiliki daya juang dalam belajar (Alsa, 2007). Berdasarkan pemikiran inilah maka banyak ditemukan bahwa modal potensi kecerdasan dan bakat saja tidaklah cukup untuk mendorong sukses anak, perlu ada strategi yang lebih bisa mengembangkan potensi anak berbakat ini. Salah satunya adalah dengan
mengembangkan
self
regulation
pada
para
siswa.
Mengembangkan self regulation adalah salah satu strategi yang penting agar anak berbakat dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan kegiatan belajarnya, target dan cara mencapai target yang telah ditetapkan (Nugroho, 2007).
1
2
Konsep self regulation itu sendiri berakar dari teori kognitif sosial yang dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura (Feist & Feist, 2006) tindakan seseorang adalah sebuah hasil interaksi antara tiga variabel yaitu individu, perilaku dan lingkungan. Secara umum, Bandura mengatakan bahwa individu memiliki kemampuan kognitif (ingatan, antisipasi, perencanaan dan penilaian), dimana seseorang menggunakan kapasitas kognitifnya untuk melakukan suatu proses tingkah laku. Selain itu individu juga memiliki kapasitas untuk memilih atau mengatur kembali lingkungannya. Berdasarkan penjelasan diatas, proses self-regulation yang dilakukan oleh siswa ini untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi dalam kehidupannya baik dalam masa studinya ataupun masa mendatang adalah hasil dari interaksi antara tingkah laku, pribadi individu dan lingkungan (Feist & Feist, 2006). Self-regulation yang diterapkan dalam proses belajar dikenal dengan Self Regulated Learning (SRL). Menurut Zimmerman (1989), SRL pada siswa dapat digambarkan melalui tingkatan atau derajat yang meliputi keaktifan berpartisipasi baik itu secara kognitif, motivasional, maupun perilaku dalam proses belajar. Menurut Pintrich dan De Groot (Sukadji, Singgih & Evita, 2001) siswa membutuhkan suatu metode agar dapat mengelola dan mengontrol usaha mereka dalam tugas-tugas akademik dan juga dapat merencanakan, memantau, dan memodifikasi kognisi mereka yang disebut dengan Self-Regulated Learning (SRL). Menurut Colangelo (Hawadi, 2006) program akselerasi adalah program pendidikan yang memberikan kesempatan bagi siswa yang berkapasitas intelektual tinggi untuk meloncat kelas atau mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai pada saat itu. Menurut Meier
3
(Alsa, 2007) asumsi yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan kelas akselerasi adalah lingkungan belajar yang positif, melibatkan siswa secara total, kolaborasi antar siswa, kaya akan gaya belajar, dan belajar kontekstual. Kelas akselerasi mempunyai waktu studi yg lebih cepat dibanding dengan kelas reguler, aktivitas belajar siswa kelas akselerasi menjadi padat, jumlah jam belajar di sekolah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jam belajar siswa kelas reguler, untuk itu aktivitas dan tugas belajar yang padat membuat siswa menggunakan banyak waktunya untuk belajar, melakukan kegiatan belajar bersama, menggunakan banyak sumber belajar, dan menggunakan berbagai strategi belajar, baik strategi kognitif maupun strategi mengelola lingkungan dan sumber daya. Aktivitas belajar yang padat menjadikan siswa kelas akselerasi mampu melakukan regulasi diri dalam belajar (Alsa, 2007). Beberapa penelitian mengenai SRL telah dilakukan oleh Natakusuma (2003) dikatakan bahwa mahasiswa yang kuliah sambil bekerja memiliki regulasi yang baik. Mereka benar-benar mengatur waktu belajar mereka sendiri sesuai dengan kemampuan dan kesibukannya.
Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad Dhuhri dan Mujidin, (2006), tentang perbedaan SRL antara siswa underachievers dan siswa overachievers pada kelas 3 smp negeri 6 yogyakarta, mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan SRL antara siswa underachievers dan siswa overachievers. Begitu juga dengan penelitian oleh Febrilia Kusumaningtyas (2011) di UKSW, mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan SRL pada mahasiswa yang bekerja part time dan tidak bekerja.
4
Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa aktivitas yang padat akan dapat memunculkan kemampuan untuk mengatur diri (Alsa, 2007), begitu juga dengan Winkel (Munandar, 2009) menyatakan kemampuan intelektual memegang peranan besar terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa terutama dalam pelajaran yang menuntut banyak berpikir (bidang pemahaman dan kognitif), dalam hal ini siswa kelas akselerasi akan lebih mempunyai SRL yang tinggi dibanding dengan kelas reguler. Kemudian tingkat intelegensi akan turut memengaruhi SRL, seperti yang dikatakan dalam penelitian sebelumnya Ahmad Dhuhri dan Mujidin (2006) menyatakan bahwa siswa yg overachievers akan mempunyai SRL lebih tinggi dibanding dengan siswa
yang
underachievers, maka dengan hasil yang diungkapkan, siswa kelas akselerasi mempunyai SRL lebih tinggi dibanding dengan kelas reguler. Berdasarkan uraian permasalahan diatas, penulis tertarik untuk mengkaji apakah ada perbedaan SRL pada siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler.
LANDASAN TEORI Self-Regulated Learning (SRL) Zimmerman (1989) mengatakan bahwa individu yang memiliki SRL merupakan individu yang aktif secara metakognisi, motivasi, dan perilaku di dalam proses belajarnya. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran
Schunk
dan
Zimmerman
(Winne,
1997),
yang
mengkategorikan SRL sebagai dasar kesuksesan belajar, problem solving, transfer belajar, dan kesuksesan akademis secara umum. SRL
5
menyangkut penerapan dari model umum regulasi dan regulasi diri (self-regulation) dalam proses belajar. Ada empat asumsi mengenai SRL yang dipakai Wolters, Pintrich dan Karabenick (2003). Pertama, asumsi aktif dan konstruktif. Siswa sebagai partisipan yang aktif konstruktif dalam proses belajar. Kedua, SRL sebagai potensi untuk mengontrol. Siswa sanggup memonitor, mengontrol, meregulasi aspek tertentu dari kognitif, motivasi dan perilaku sesuai karakteristik lingkungan. Ketiga, asumsi tujuan, kriteria, atau standar. Asumsi tersebut digunakan untuk menilai apakah proses harus dilanjutkan jika beberapa criteria atau standar berubah. Keempat, asumsi bahwa aktivitas dalam SRL merupakan penengah (mediator) antara personal dan
karakteristik
konteks
dan
prestasi
atau
performa
yang
sesungguhnya. Zimmerman (2001, 2002) mengungkap karakteristik siswa yang mempunyai self regulation dalam belajar, yaitu sebagai berikut: 1.
Mereka mengenal dan tahu bagaimana menggunakan serangkaian strategi kognitif (pengulangan, elaborasi, dan organisasi), yang membantu mereka untuk mengurus, mengubah, mengatur, mengelaborasi, dan memulihkan informasi.
2.
Mereka tahu bagaimana merencanakan, mengontrol dan mengarahkan proses mental mereka terhadap pencapaian tujuan pribadi (metacognition).
3.
Mereka menunjukkan keyakinan motivasi dan emosi yang adaptif, seperti mempunyai rasa tinggi akademik selfefficacy, mengadopsi tujuan pembelajaran, pengembangan emosi positif terhadap tugas (misalnya sukacita, kepuasan,
6
antusiasme), serta kontrol dan memodifikasi, menyesuaikan semua itu untuk persyaratan tugas dan pada situasi belajar yang tertentu. 4.
Mereka merencanakan dan mengendalikan waktu dan usaha untuk digunakan pada tugas, dan mereka tahu cara membuat dan menstruktur lingkungan belajar
yang
menguntungkan, seperti menemukan sebuah tempat belajar yang cocok, dan membantu mencari dari bantuan dari guru dan teman sekelas saat mereka mengalami kesulitan. 5.
Dalam konteks ini, mereka menunjukkan upaya yang lebih besar
untuk
berpartisipasi
dalam
mengontrol
dan
meregulasi tugas akademik, iklim kelas dan struktur (misalnya bagaimana seseorang akan dievaluasi persyaratan tugas, desain tugas kelas, organisasi tim kerja). 6.
Mereka mampu dimasukkan kedalam serangkaian upaya strategi, bertujuan untuk menghindari gangguan eksternal dan internal, untuk menjaga konsentrasi mereka, usaha dan motivasi ketika melakukan tugas akademik.
Zimerman (1989) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning sebagai berikut: a. Faktor personal Termasuk dalam hal ini adalah pengetahuan peserta didik, proses metakognisi, tujuan yang hendak dicapai, dan afeksi. Paris dan Winograd membagi pengetahuan menjadi tiga yakni pengetahuan
deklaratif,
pengetahuan
prosedural,
dan
pengetahuan kondisional (Paris & Winograd, 2002). Menurut
7
Zimmerman (1986), dari ketiga jenis pengetahuan itu yang merupakan pengetahuan bagi peserta didik yang melaksanakan self-regulated learning adalah pengetahuan prosedural dan pengetahuan kondisional, sedangkan pengetahuan deklaratif dan pengelolaan diri bersifat interaktif. Ini artinya, dengan semakin baiknya pengetahuan prosedural (yakni mengkomposisikan tugas untuk mencapai tujuan jangka pendek) dan pengetahuan kondisional (yakni menggunakan strategi yang tepat untuk memfasilitasi penyelesaian tugas), maka peserta didik yang melaksanakan self-regulated learning akan dapat mencapai tujuanya. b. Faktor perilaku Hal yang termasuk dalam faktor perilaku meliputi: 1. Observasi diri (self observation) yaitu respon-respon yang meliputi pengawasan sistematis terhadap penampilan mereka sendiri. 2. Penilaian diri (self judgement) yaitu respon-respon yang meliputi
pembandingan
secara
sistematis
antara
penampilan mereka dengan suatu standar atau tujuan yang telah ditetapkan. Standar atau tujuan tersebut dapat berupa norma-norma sosial, kriteria sementara atau kriteria absolut yang telah ditetapkan. 3. Reaksi
diri
(self
reaction)
adalah
tanggapan
atau
pemaknaan siswa terhadap evaluasi atas penampilan yang ditunjukannya. Berdasarkan social cognitive theory, reaksi diri
(self
reaction)
dibedakan
atas
tiga
bentuk:
(a) behavioral self reaction, yaitu siswa berusaha untuk
8
mengoptimalkan respon-respon spesifik mereka ketika belajar; (b) personal self reaction, yaitu siswa berusaha untuk meningkatkan proses diri mereka ketika belajar, misalnya
dengan
melakukan
proses
pengulangan
(rehearsing); (c) environmental self reaction, yaitu siswa berusaha memperbaiki atau membenahi lingkungan belajar mereka, seperti menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau meminta bantuan kepada orang lain c. Faktor lingkungan Lingkungan berpengaruh terhadap kegiatan belajar seseorang. Lingkungan belajar yang kondusif akan membuat peserta didik yang melaksanakan self-regulated learning, dan sebaliknya pada lingkungan yang kurang kondusif akan membuat kesulitan berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Jenis Kelas (Kelas Akselerasi & Kelas Reguler) a. Kelas Akselerasi Menurut Colangelo (Alsa, 2007) menyebutkan bahwa istilah akselerasi menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service delivery), dan kurikulum yang disampaikan (curriculum delivery). Secara konseptual, pengertian akselerasi diberikan oleh Pressey (Alsa, 2007) sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran, pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda daripada yang konvensional. Definisi ini menunjukkan bahwa akselerasi meliputi persyaratan untuk menghindari hambatan pemenuhan permintaan dalam pengajaran dan juga mengusulkan
9
proses-proses yang memungkinkan siswa melalui pemberian materi yang lebih cepat dibanding dengan kemajuan rata-rata siswa. Menurut Hartono 2006 (dalam Alsa, 2007) prasyarat memadai
untuk
mengidentifikasi
siswa
yang
dapat
diikutsertakan dalam program akselerasi sebaiknya mengikuti panduan yang diberikan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Nasional sebagai berikut: 1. Melakukan evaluasi psikologis dalam hal intelektual dan kepribadian, disamping tingkat penguasaan akademik. 2. Dibutuhkan IQ diatas 130 bagi siswa yang kurang menunjukkan prestasi akademiknya. 3. Bebas
dari
problem
emosional
dan
sosial,
yang
ditunjukkan dengan adanya presistensi dalam derajat yang tinggi. 4. Memiliki fisik yang sehat. 5. Tidak ada tekanan dari orang tua, tetapi atas kemauan anak sendiri. b. Kelas Reguler Siswa kelas reguler adalah siswa yang menyelesaikan studi selama tiga tahun. Siswa ini memiliki kemampuan rata-rata, dan tidak memperoleh pelayanan secara khusus, pelayanan yang diperoleh sama dengan siswa yang lain. Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum standar nasional yang berlaku bagi semua siswa yang menempuh
pendidikan menengah atas. Materi
yang
disampaikan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku yakni materi yang harus diselesaikan oleh siswa selama tiga tahun. (Hawadi, 2001).
10
Hubungan Antara Jenis Kelas (Kelas Akselerasi & Kelas Reguler) dengan SRL Seorang siswa hendaknya mempunyai kemampuan untuk menyerap materi pelajaran yang baik, mereka akan mengupayakan berbagi cara untuk memfasilitasi kemampuan itu. Kemampuan siswa dalam menyerap materi pelajaran harus diimbangi dengan keadaan yang optimal juga, misalnya saja keadaan siswa itu sendiri, terkait dengan kemampuan kognitif. Menurut Bandura (Feist & Feist, 2006) tindakan seseorang adalah sebuah hasil interaksi antara tiga variabel yaitu individu, perilaku dan lingkungan. Secara umum, Bandura mengatakan
bahwa individu memiliki kemampuan
kognitif (ingatan, antisipasi, perencanaan dan penilaian), dimana seseorang menggunakan kapasitas kognitifnya untuk melakukan suatu proses tingkah laku. Selain itu individu juga memiliki kapasitas untuk memilih atau mengatur kembali lingkungannya. Temuan-temuan yang ada menegaskan bahwa modal potensi kecerdasan dan bakat saja tidaklah cukup untuk mendorong sukses anak. Akan tetapi tingkat intelegensi yang tinggi akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan siswa untuk mengatur dirinya. Mengembangkan SRL adalah salah satu strategi yang penting agar anak berbakat dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan kegiatan belajarnya, target dan cara mencapai target yang telah ditetapkan (Nugroho, 2007). SRL merupakan wujud dari kemandirian siswa untuk mengatur dirinya sendiri dalam mencapai tujuan. Hasil interkasi antara individu, perilaku dan lingkungan ini diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapai dalam
11
proses masa studi. Dalam hal ini kelas akselerasi dan kelas reguler akan sangat berbeda dalam hal iklim kelas. Dalam kelas akselerasi siswa dituntut untuk menjadi proaktif dalam setiap kegiatan, karena situasi yang seperti ini, maka iklim yang terjadi adalah siswa akan berlomba untuk menjadi yang terbaik dan itu akan memengaruhi lingkungan didalam kelas akselerasi itu sendiri. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa aktivitas yang padat akan dapat memunculkan kemampuan untuk mengatur diri (Alsa, 2007), begitu juga dengan Winkel (Munandar, 2009) menyatakan kemampuan intelektual memegang peranan besar terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa terutama dalam pelajaran yang menuntut banyak berpikir (bidang pemahaman dan kognitif), dalam hal ini siswa kelas akselerasi akan lebih mempunyai SRL yang tinggi dibanding dengan kelas reguler Dari semua hal yang sudah diungkap diatas, maka kelas akselerasi akan mempunyai SRL lebih tinggi dibanding dengan kelas reguler, ini disebabkan karena perbedaan intelegensi dan lingkungan antara kedua kelas ini.
METODE PENELITIAN Sampel Penelitian Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa SMP N 2 Semarang berjumlah 47 siswa yang terdiri dari 20 siswa kelas akselerasi dan 27 siswa kelas reguler.
12
Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa satu skala psikologi yaitu Skala Self-Regulated Learning. Skala ini berdasarkan pada karakteristik siswa yang mempunyai SRL. Item dalam skala tersebut dikelompokkan dalam pernyataan favorable dan unfavorable dengan menggunakan 5 alternatif jawaban yaitu, Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak dapat menentukan dengan pasti (N), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Keseluruhan data diperoleh dari skala psikologi yang telah dibagikan kepada subjek. Seleksi Item dan Reliabilitas Uji Coba Alat Ukur Dalam seleksi item Skala Self-Regulated Learning terdapat 12 item yang gugur dari total 44 soal yang diujikan, karena memiliki nilai koefisien korelasi yang lebih rendah dari 0,25 (Azwar, 2003). Berdasarkan pengujian yang dilakukan sebanyak 2 kali didapatkan koefisien seleksi item yang bergerak antara 0,282 sampai dengan 0,674, sehingga jumlah item valid yang akan digunakan dalam skala pada penelitian yang sebenarnya adalah 32 item dengan nilai reliabilitas sebesar 0,896.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis perbedaan SRL pada siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler diperoleh nilai thitung sebesar -0,778 dengan nilai signifikansi 0,095. Karena nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
13
tidak ada perbedaan SRL siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler di SMP Negeri 2 Semarang. Menurut Widhiarso (2012), sebelum melakukan pengujian, peneliti harus memutuskan terlebih dahulu taraf signifikansi yang dipakai untuk menolak atau menerima H0, misalnya ditetapkan taraf signifikansi yang kita pakai adalah 5%, meskipun komputer menghasilkan nilai p=0,001, kita tetap mengatakan signifikan. Demikian juga ketika menetapkan 10% dan nilai uji sebesar p=0,08 tetap kita katakan signifikan. Batas nilai alpha yang dipakai untuk menolak Ho adalah alpha=0,05 atau 5%. Nama lainnya adalah tingkat kesalahan/resiko sebesar 5% atau taraf signifikansi 5%. Selain faktor di atas peneliti mencoba menjelaskan bahwa perbedaan rata-rata SRL dari kedua kelompok tersebut dikarenakan penulis tidak memperoleh izin untuk langsung menemui responden sehingga penulis tidak bisa mengontrol dan menjelaskan langsung kepada responden mengenai hal-hal yang tidak mereka mengerti. Hasil ini disebabkan oleh karena rata-rata IQ antara siswa akselerasi dan reguler tidak jauh berbeda. Dalam faktor-faktor yang memengaruhi SRL oleh Zimmerman (1989), ada tiga faktor yaitu faktor personal, faktor perilaku dan yang terakhir faktor lingkungan. Dalam hal ini faktor lingkungan mendapat sorotan lebih karena sarana dan prasarana yang diberikan, dari mulai tata letak dan suasana kelas juga tidak jauh berbeda, hanya berbeda pada faktor pengajar yang secara khusus mengajar kelas akselerasi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal 30 April 2013, terkadang siswa yang tidak masuk kelas akselerasi mempunyai prestasi yang sama
14
dengan siswa akselerasi, ini terbukti untuk kelas olympiade terdiri dari siswa kelas reguler dan akselerasi. Menurut direktur kelas akselerasi, siswa yang mempunyai IQ tinggi juga terkadang enggan untuk masuk kelas akselerasi, alasan mereka bermacam-macam, mulai dari tidak ada waktu belajar dan biaya yang cukup mahal. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan siswa dan pihak sekolah, bahwa untuk masuk kelas akselerasi harus memenuhi salah satu syarat yaitu tanpa paksaan dan mendapat ijin dari orang tua. Siswa terkadang juga enggan untuk masuk kelas akselerasi, karena tidak masuk kelas akselerasipun mereka bisa bersaing secara akademis untuk masuk kelas olympiade. Menurut wawancara yang penulis dapatkan, bahwa siswa kelas akselerasi hanya memiliki waktu luang yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok siswa kelas reguler, siswa kelas reguler memiliki banyak waktu untuk belajar, istirahat dan melakukan aktivitas lainnya. Dalam Zimmerman (Wolters, dkk, 2003), menjelaskan bahwa dengan adanya self regulation, individu mempunyai perasaan yakin pada dirinya sendiri untuk menentukan cita-cita (goal setting), mengevaluasi diri (self evaluation), memonitor diri sendiri (self monitoring), serta mengatur dan merencanakan waktu (time planning) and management. Siswa kelas reguler mempunyai waktu lebih banyak waktu untuk mengatur kegiatannya, akan tetapi pada kenyataannya adalah siswa kelas reguler tetap mempunyai kegiatan seperti berdiskusi dengan teman, mencari informasi tentang tugas mereka, dan mengikuti kegitan sekolah lainnya misalnya ekstrakurikuler. Menurut Alsa (2007) aktivitas yang padat inilah yang mampu meningkatkan regulasi diri
15
siswa dalam belajar, sehingga mereka lebih memiliki daya juang dalam belajar.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan SRL pada siswa yg mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1.
Tidak ada perbedaan SRL pada siswa SMP N 2 Semarang yang mengikuti kelas akselerasi dan reguler.
2.
Sebagian besar (75%) siswa kelas akselerasi mempunyai SRL dalam kategori sangat tinggi, dan sebagian kelas regular (77,78%) mempunyai SRL dalam kategori sangat tinggi.
Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan, diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai Self Regulated Learing (SRL). 2. Bagi pengajar agar lebih memfokuskan pada siswa-siswanya sehingga dapat terampil meregulasi dirinya. Memberikan motivasi kepada siswanya supaya mereka tetap dapat mengatur waktunya sebaik mungkin untuk mencapai prestasi akademik yang memuaskan, baik untuk kelas akselerasi dan reguler.
16
3. Kepada peneliti selanjutnya supaya mempertimbangkan SRL sebagai faktor yang penting bagi siswa dan dalam proses belajarnya, sehingga siswa mampu mengatur waktu, mengontrol perilaku, dan memotivasi diri sendiri untuk mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Daftar Pustaka Alsa, A. (2007). Keunggulan dan kelemahan program akselerasi di SMA: Tinjauan psikologi pendidikan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Azwar, S. (2007). Reliabilitas dan validitas alat ukur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2009). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan validitas: edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faktor-faktor yang memengaruhi self regulated learning. (2011). http://id.shvoong.com/social-ciences/counseling/2205704faktor-faktor-yang mempengaruhi-self. Febrilia, K. (2012). Perbedaan self-regulated learning pada mahasiswa universitas kristen satya wacana yang bekerja part-time dan tidak bekerja. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Satya Wacana. Feist, & Feist, J.G. (2006). Theory of personality: six edition. Singapore: McGraw-Hill. Fermin, T.M & Carmen Maria, G.T. (2004). Self regulated learning: Current and future direction. Journal of Educational Psychology, 2(1). Hadi, S. (2004). Statistik. Jilid 2. Yogyakarta. Andi Ofset.
17
Haryu. (2004). Hubungan antara pengasuhan Islami dengan selfregulated learning, motivasi berprestasi dan prestasi belajar. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Hawadi, R. A. (2001). Psikologi perkembangan anak: Mengenal sifat, bakat, dan kemampuan anak. Jakarta: PT. Grasindo. Hawadi, R. A. (2006). Akselerasi, a-z informasi program percepatan belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta: PT Grasindo. Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta : Penerbit Erlangga. Joana, A. (2011). Hubungan self regulation dengan prestasi belajar pada mahasiswa fakultas psikologi universitas kristen satya wacana. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas kristen Satya Wacana. Kompas. (2002). Kelas akselerasi baru tahap uji coba. URL: http:/www.kompas.com/kompascetas/0205/27/DIKBUD/kelas0 9.htm. Landasan dan pengembangan sistem pembelajaran program akselerasi. (2004). http://smpn1bpn.sch.id/images/stories/sekolah2.jpg. Munandar, U. (2009). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. Natakusuma, A. (2003). Perbedaan Model Self Regulated Learning Mahasiswa yang Kuliah Sambil Bekerja dengan Mahasiswa yang Kuliah Saja dan Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar (IPK). Skripsi. Jakarta : Unika Atma Jaya Nugroho, Y. (2007). Self-regulated learning anak berbakat. Diakses di
[email protected] pada tanggal 1 April 2011. Nurshidiq, A. D., & Mujidin. (2006). Perbedaan self regulated learning antara siswa underachievers dan siswa overachievers pada kelas 3 SMP Negeri 6 Yogyakarta: Fakultas Psikologi.
18
Papalia, D.E, , S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human Development (8th ed). New York : McGraw Hill. Paulus,
M (2004, Maret 29). Persoalan kelas akselerasi. http;//www.suaramerdeka.com/harian/0403/29/kha1.htm.
Pusdiklat Depdiknas. (2006). ”Strategi kognitif”. Tersedia pada: http://www. Pusdiklatdepdiknas.net. (Diakses : 27 Maret 2008). Pusdiklat Depdiknas www.pudiklatdepdiknas.net/dmdocuments/Akselerasi Hartati.Pdf.
pada
Santrock, J.W. (2003). Educational psychology. 2nd Canadian ed. Canada: McGraw Hill Ryerson Limited. Schunk, D.H. (1986). Verbalization and children’s self-regulated learning. Contemporary Educational Pshychology, 11, 347-369. Schunk, D.H., & Zimmerman, B.J. (1997). Social origins of self regulatory competence. Educational psychologist, 32, 195-208. Sugiarto. (2003). Teknik sampling. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Sugiyono. (2006). Statistika untuk penelitian. Bandung. CV Alfabeta. Sukadji., Singgih, S. & Evita, E. (2001). Sukses di perguruan tinggi. Depok : Indonesia University Press. Widhiarso, W. (2012). Hipotesis : Antara ilmu sosial dan eksakta. Fakultas Psikologi UGM.
[email protected]. Wima, B. (2006). Hubungan konsep diri dengan penyesuaian sosial kelas akselerasi di SMP negeri 2 dan SMP PL domenico savio semarang. Tesis. Semarang: Fakultas Psikologi. Universitas Diponegoro. Winne, P. H. (1997). Experimenting to bootstrap Self-Regulation Learning. Journal of Education Psychology. Vol 89. No. 3. 397410. 199.
19
Wirawan, S. (1991). Psikologi remaja, Jakarta: Rajawali Press. Wolters, C.A. Pintrich, P.R. & Karabenick, S.A. (2003). Assessing academic self regulated learning. Paper prepared for the Conference on Indicator of Positive Development: Definitions, Measures, and Prospective Validity, National Institutes of Healt, March 2003. Yusuf, S. (2009). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Zimmerman, B.J. (1989). A social cognitive view of self-regulated academic learning. Journal of Educational Psychology. Vol 81 (3), 329-339. Zimmerman, B.J. (2000). Attaining self-regulation: A social cognitive perspective. In M. Boekaerts, P.R. Pintrich, & M. Zeidner (Eds.), Handbook of self-regulation: Theory, research, and applications (pp. 13-39). San Diego, CA: Academic Press.