PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI DUKUNGAN SOSIAL PADA REMAJA TUNARUNGU YANG DIBESARKAN DALAM LINGKUNGAN ASRAMA SLB-B DI KOTA WONOSOBO Ratna Widyastutik, Suci Murti Karini, Rin Widya Agustin Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Berbagai kesulitan karena keterbatasan pendengaran maupun kesulitan-kesulitan masa remaja dihadapi remaja tunarungu mengarahkan pada kondisi ketertekanan. Dukungan sosial sangat membantu remaja tunarungu untuk menghadapi kesulitan tersebut dan membangun kondisi psychological well-being. Melihat adanya korelasi antara dukungan sosial dengan psychological well-being, maka tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui bentuk dukungan sosial yang efektif untuk membangun psychological well-being pada remaja tunarungu. Perbedaan bentuk dukungan yang paling banyak diterima oleh remaja tunarungu akan mengarahkan pada psychological well-being yang berbeda pula. Populasi penelitian ini ialah remaja tunarungu Lembaga Pendidikan Anak Tunarungu Don Bosco dan Dena Upakara, Wonosobo, masing-masing sebanyak 62 dan 58 siswa. Sampel diambil dengan kriteria Remaja dengan usia 13-18 tahun, laki-laki dan perempuan, memiliki kemampuan baca dan tulis, serta memiliki kecerdasan normal atau di atas rata-rata. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Seluruh populasi masuk ke dalam kriteria yang dibutuhkan oleh peneliti. Pengumpulan data menggunakan skala psychological well-being dan skala dukungan sosial. Teknik analisis data yang digunakan ialah analisis varians klasifikasi satu arah (One Way Anova). Hasil analisis dengan menggunakan teknik One Way Anava diperoleh F hitung (11,478 ) > F tabel (2,725) serta taraf sigifikansi 0,000 < 0,05. Dari hasil analisis tersebut, maka dapat dikemukakan ada perbedaan yang sangat signifikan psychological well-being ditinjau dari bentuk dukungan sosial pada remaja runarungu. Selain itu, hasil analisis deskriptif menunjukkan adanya perbedaan rata-rata psychological well-being ditinjau dari dukungan sosial. Rata-rata psychological well-being tertinggi berada pada bentuk dukungan emosional dan terendah berada pada bentuk dukungan instrumental. Kata kunci: psychological well-being, dukungan sosial, remaja tunarungu
ABSTRACT THE DIFFERENCE OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING VIEWED FROM THE SOCIAL SUPPORT ON DEAF ADOLESCENT GROWN IN SLB-B BOARDING SCHOOL IN WONOSOBO
Deaf adolescent deals with many kinds of difficulties in their lifetime. All the disabilities suffered by the deaf adolescent are caused by less hearing power and the difficulties faced along the process of development. Sosial support strongly helps deaf adolescent deal with all those difficulties and builds up the condition of psychological well being. Regarding the relationship between social support and psychological well being, the purpose of this research is to find out the effective type of social support to build up psychological well being on deaf adolescent. Different type of support mostly accepted by deaf adolescent will lead to the different “psychological well being” as well. The population of this research is deaf adolescents in Lembaga Pendidikan Anak Tunarungu Don Bosco and Dena Upakara, Wonosobo, each of them is 62 and 58 students. The sample is taken and characterized by the adolescent with the range of age from 13 up to 18 years old, male and female, having capability of reading and writing, and having normal intelligence or above the average. Purposive sampling is used in this research. All populations include in the criterion needed by the researcer. Psychological well being and sosial support scale are used for data collecting. One Way Anova is used for data analysis technique. Analysis result with One Way Anava technique resulted F count (11.478) > F table (2.725) and the significance level is 0.000 < 0.05. The analysis result indicates that there is a very significant difference of psychological well being observed from the type of social support on deaf adolescent. Moreover, the descriptive analysis result indicates the difference in average of psychological well being viewed from the social support. In average, emotional support is the highest degree of psychological well being, while instrumental support is lowest the one. Key words: psychological well-being, social support, deaf adolescent
A. Pendahuluan Setiap individu mendambakan dirinya dapat memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki dan sarana yang tersedia. Berbeda dengan mereka yang mengalami cacat, baik fisik, psikologis, kognitif, atau sosial, terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal (Mangunsong, 1998). Begitu pula dengan anak tunarungu, mereka mengalami hambatan dalam melakukan tugas perkembangan, seperti dalam berinteraksi dengan teman sebayanya baik di lingkungan sekolah ataupun di lingkungan masyarakat. Remaja tunarungu dengan segala keterbatasannya, memiliki potensi atau kekuatan yang dapat dikembangkan untuk mencapai suatu keseimbangan, keserasian dalam menempuh hidup untuk berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan di rumah, sekolah maupun masyarakat (Jon, 2010). Kondisi di atas sering dikenal dengan istilah psychological well-being yang berarti kondisi dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan
yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan orang lain, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, mampu mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi (Ryff, 1989). Pencapaian psychological well-being tersebut berhubungan dengan pemberian dukungan sosial. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekasofia (2009) pada orang dengan HIV/AIDS, hasil analisis data penelitian diperoleh nilai korelasi antara dukungan sosial dengan psychological well-being sebesar 0,819 dan probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan psychological well being. Artinya, bila seseorang mendapatkan dukungan sosial yang cukup, maka akan meningkatkan pula psychological well being. Pendidikan di SLB-B selain menyediakan pendidikan formal yaitu sekolah seperti halnya TK, SD, SMP, dan SMA di sekolah umum, juga menyediakan pendidikan nonformal, yakni fasilitas asrama (Nurkolis, dalam Diajie, 2009). Program pendidikan di asrama ini antara lain pembinaan diri dan pribadi, yang menyangkut keterampilan bergaul atau berinteraksi dengan orang lain, pengembangan sosioemosional, sampai dengan pembinaan kemandirian, penerimaan individu terhadap diri, dan penguasaan terhadap lingkungan sekitar. Dukungan sosial kurang bisa secara maksimal diberikan pada remaja asrama disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah rasio jumlah remaja asuh dengan pengasuh sangat tidak seimbang, remaja tunarungu yang jumlahnya sangat banyak tentu menghambat pemberian dukungan sosial secara individu. Teman-teman yang berada di lingkungan asrama kurang bisa saling memberi dukungan sosial disebabkan karena samasama membutuhkan perhatian lebih, sehingga sulit sekali untuk bisa saling memberi bimbingan positif. Dukungan sosial yang diterima oleh individu sangat beragam dan tergantung pada keadaannya (Smet, 1994). Dukungan emosional lebih terasa dan dibutuhkan jika diberikan pada orang yang sedang mengalami musibah atau kesulitan. Dukungan penghargaan dapat dijadikan semangat bagi remaja untuk tetap maju dan mengembangkan diri agar tidak selalu menyesali keadaannya. Dukungan instrumental bagi remaja di asrama dapat berupa penyediaan sarana dan pelayanan yang dapat memperlancar dan memudahkan perilaku remaja dalam segala aktivitasnya. Dukungan informasi membuat remaja merasa mendapat nasihat, petunjuk atau umpan balik agar dapat membatasi masalahnya dan mencoba mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya (Smet, 1994).
Melihat adanya korelasi antara dukungan sosial dengan psychological well-being (Cohen dan Syme, dalam Calhoun dan Accocella, 1990), maka tiap bentuk dukungan sosial pun juga berkaitan dengan
psychological well-being. Menurut Smet (1994), bentuk
dukungan yang diterima dan lebih diperlukan remaja tunarungu tergantung pada situasisituasi yang dihadapi individu tersebut. Oleh karena itu, remaja tunarungu satu dengan yang lain berbeda dalam menerima bentuk dukungan sosial dalam mencapai psychological wellbeing-nya. Melalui penelitian ini, lebih lanjut penulis ingin mengetahui bentuk dukungan sosial yang efektif untuk membangun psychological well-being pada remaja tunarungu, sebab pada hakikatnya dukungan berupa emosional, penghargaan, instrumental, dan informasi samasama menjadi cara yang efektif dalam membangun psychological well-being. Perbedaan bentuk dukungan yang paling banyak diterima oleh remaja tunarungu akan mengarahkan pada psychological well-being yang berbeda pula. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoretis dan praktis, antara lain bagi remaja tunarungu, diharapkan dapat saling memberikan dukungan dengan orangorang di sekolah dan asrama, sehingga akan tercipta suatu keseimbangan, keserasian dalam menempuh hidup untuk berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan di rumah, sekolah maupun masyarakat.
B. Dasar Teori Psychological Well-Being Menurut Ryff (1989), psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning). Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological well-being sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan orang lain yang ada di sekitarnya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan mandiri, mampu dan berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup, dan merasa mampu untuk melalui tahapan perkembangan dalam kehidupannya. Hurlock (1994) menyebutkan kebahagiaan adalah keadaan sejahtera (well being) dan kepuasan hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi. Alston dan Dudley (dalam Hurlock, 1994) menambahkan bahwa
kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalamanpengalamannya, yang disertai tingkat kegembiraan. Psychological well-being dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Ryff (1989) yang berarti mengarah pada kondisi individu yang mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui periode sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam dirinya, sehingga individu tersebut merasakan adanya kesejahteraan batin dalam hidupnya. Menurut Ryff (1989), pondasi untuk diperolehnya psychological well-being adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif, di anratanya penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan sesama (positive relations with others), otonomi (autonomy), pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being meliputi usia, jenis kelamin, kelas sosial (terkait pekerjaan, jenis kerja, status kerja dan tingkat pendidikan), latar belakang budaya, kepribadian, kesehatan dan fungsi fisik, religiusitas serta dukungan sosial.
Dukungan Sosial Menurut Effendi dan Tjahjono (1999) dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang ditujukan dengan memberi bantuan kepada individu lain dan bantuan itu diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial berperan penting dalam memelihara keadaan psikologis individu yang mengalami tekanan, sehingga menimbulkan pengaruh positif yang dapat mengurangi gangguan psikologis. Taylor (1995) mendefinisikan dukungan sosial sebagai adanya informasi dari orang lain, bahwa seseorang dicintai, dijaga, dan dihargai, ia adalah bagian dari suatu jaringan sosial tertentu dan terlibat di dalamnya. Menurut Safarino (1990) sesuatu dikatakan sebagai dukungan sosial ketika seseorang memiliki persepsi yang positif atas dukungan itu dan merasa nyaman atas segala bentuk perhatian, penghargaan, dan bantuan yang diterimanya. Dukungan sosial adalah bentuk pertolongan yang berupa ketersediaan informasi atau nasihat, baik verbal maupun non-verbal, bantuan benda (materi), ataupun tindakan yang dilakukan oleh pasangan sosial atau orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan.
Bantuan atau pertolongan ini diberikan dengan tujuan individu yang mengalami masalah merasa diperhatikan, mendapat dukungan, dihargai dan dicintai. Bentuk dukungan sosial menurut House (dalam Smet, 1994), yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Menurut Maquire (dalam Proctor, dkk., 1990) dukungan sosial mampu menyediakan lima fungsi, di antaranya mampu membentuk identitas diri, memberikan feedback yang positif terhadap individu, melindungi diri dari stres, meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan membantu secara materi serta mengembangkan keterampilan seseorang. Dukungan sosial yang diterima individu dapat diperoleh dari anggota keluarga, pasangan hidup, teman sebaya dan organisasi kemasyarakatan yang diikuti.
Remaja Tunarungu Andreas Dwidjosumarto (dalam Sutjihati, 2007) mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat, sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids). Remaja tunarungu adalah remaja yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Akibatnya terbatasnya ketajaman pendengaran, remaja tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik. Dengan demikian pada remaja tunarungu tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa meraban, proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual. Pada umunya, inteligensi remaja tunarungu secara potensial sama dengan remaja normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi, dan daya abstraksi remaja. Akibatnya ketunarunguan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebabkan remaja tunarungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya
menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan. Remaja tunarungu banyak dihinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka ragam komunikasinya, hal ini akan membingungkan remaja tunarungu. Remaja tunarungu sering mengalami berbagai konflik, kebingungan, dan ketakutan karena ia sebenarnya hidup dalam lingkungan yang bermacam-macam. Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri remaja tunarungu, yaitu ketidakmampuan menerima rangsang pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan inteligensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.
C. Metode Penelitian 1. Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah psychological well-being sebagai variabel tergantung dan dukungan sosial sebagai variabel bebas. Definisi operasional dari masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut: a. Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan kondisi individu yang mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui periode sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam dirinya, sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam hidupnya. Psychological well-being diukur dengan Skala Psychological Well-Being yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dinyatakan oleh Ryff (dalam Keyes, 1995), terdiri dari enam aspek, yang meliputi aspek penerimaan individu terhadap dirinya, hubungan positif dengan sesama, aspek kemampuan untuk bersifat otonom, aspek kemampuan individu untuk menguasai lingkungan, aspek tujuan individu dalam hidup, dan aspek pertumbuhan pribadi. Semakin tinggi skor yang didapatkan skala psychological well-being, maka semakin tinggi pula psychological well-being seseorang, begitu pula sebaliknya.
b. Dukungan Sosial Dukungan sosial merupakan bentuk pertolongan yang berupa ketersediaan informasi atau nasihat, baik verbal maupun non-verbal, bantuan benda (materi),
ataupun tindakan yang dilakukan oleh pasangan sosial atau orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan. Bantuan atau pertolongan ini diberikan dengan tujuan individu yang mengalami masalah merasa diperhatikan, mendapat dukungan, dihargai dan dicintai. Dukungan sosial diukur dengan Skala Dukungan Sosial yang disusun berdasarkan bentuk-bentuk dukungan sosial yang dikemukakan oleh House (dalam Smet, 1994), yaitu bentuk dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif. Rata-rata atau mean tertinggi pada salah satu bentuk dukungan sosial menunjukkan bentuk dukungan sosial yang lebih banyak diterima oleh seseorang.
2. Subjek Penelitian Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah remaja tunarungu yang dibesarkan dalam lingkungan asrama SLB-B di Kota Wonosobo, yaitu di Lembaga Pendidikan Anak Tunarungu (LPATR) Don Bosco dengan jumlah remaja tunarungu sebanyak 62 orang dan LPATR Dena Upakara dengan jumlah remaja tunarungu sebanyak 58 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja tunarungu yang dibesarkan dalam lingkungan asrama SLB-B di Kota Wonosobo yang dipilih berdasarkan pertimbangan peneliti yang menganggap bahwa unsur-unsur yang dikehendaki telah ada dalam subjek. Subjek penelitian diambil dengan karakter sebagai berikut: remaja, dengan batasan usia 13 sampai 18 tahun, pria dan wanita, memiliki kemampuan baca dan tulis, serta memiliki taraf inteligensi normal atau di atas rata-rata. Teknik pengambilan sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yang memiliki pengertian bahwa sampel ditentukan melalui pertimbangan kriteria-kriteria tertentu yang telah ditentukan oleh peneliti terhadap subjek yang sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Alat Ukur Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah skala psychological well-being dan skala dukungan sosial. Skala psychological wellbeing dan dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini dibuat sendiri oleh penulis dan diberikan secara langsung kepada remaja tunarungu.
Penyusunan aitem-aitem dalam skala psychological well-being dan dukungan sosial dikelompokkan menjadi aitem favorable dan unfavorable yang menggunakan tipe pilihan, yaitu subyek diminta untuk memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang sudah disediakan, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Pemberian skor untuk aitem favorable bergerak dari empat sampai satu untuk SS, S, TS dan STS, sedangkan skor untuk aitem unfavorable bergerak dari satu sampai empat untuk SS, S, TS dan STS. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan korelasi Product Moment. Pemilihan aitem pada skala dukungan sosial dilakukan analisis aitem pada setiap komponen dengan membandingkan indeks daya diskriminasinya terhadap masing-masing komponen, bukan secara keseluruhan. Sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan formula Alpha Cronbach. Khususnya, pada skala dukungan sosial akan digunakan atribut komposit dalam uji reliabilitasnya karena skala dibuat untuk beberapa komponen yang mengungkap subdomain yang berbeda satu dengan yang lain. Skor akhir pada tes merupakan skor komposit (gabungan) yang merupakan penjumlahan dari skor setiap komponen dengan memperhitungkan besarnya bobot masing-masing. Terlebih dahulu dilakukan komputasi koefisien reliabilitas bagi masing-masing komponen, baru kemudian dihitung reliabilitas secara keseluruhan yang dikenal formula komputasi koefisien reliabilitas skor komposit (Azwar, 2010). Perhitungan hasil uji daya beda skala psychological well-being dapat diketahui dari 42 aitem yang diujicobakan, 8 aitem dinyatakan tidak valid. Reliabilitas skala yang ditunjukkan dengan koefisien Alpha sebesar 0,888. Perhitungan daya beda pada komponen dukungan emosional dapat diketahui dari 15 aitem yang diujicobakan, 2 aitem dinyatakan tidak valid. Pada komponen dukungan penghargaan dapat diketahui dari 15 aitem yang diujicobakan, 2 aitem dinyatakan tidak valid. Perhitungan daya beda komponen dukungan instrumental dapat diketahui dari 15 aitem yang diujicobakan, 2 aitem dinyatakan tidak valid. Sedangkan perhitungan daya beda pada komponen dukungan informasi dapat diketahui dari 15 aitem yang diujicobakan, 3 aitem dinyatakan tidak valid. Berdasarkan perhitungan dari 51 aitem sahih yang terbagi menjadi empat bentuk dukungan sosial didapat koefisien reliabilitas skor komposit sebesar 0,855.
4. Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis varians klasifikasi satu arah (One Way Anova). Guna mempermudah perhitungan, digunakan bantuan program komputer Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0. D. Hasil dan Pembahasan 1. Uji Asumsi a. Uji normalitas Penelitian ini menggunakan uji nomalitas data dan varians menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Uji normalitas yang digunakan disini adalah uji normalitas menggunakan faktor. Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov pada variabel psychological well-being untuk dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi menunjukkan p-value yang lebih besar dari 0,05 (0,200>0,05). Berdasarkan hasil uji normalitas tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa data berdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah varians populasi sama atau tidak. Berdasar perhitungan dapat diketahui bahwa sampel
memiliki taraf
signifikansi lebih besar dari 0,05 (0,110>0,05). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa sampel dukungan sosial emosional, penghargaan, instrumental, dan informasi diambil dari populasi dukungan sosial yang mempunyai varians psychological well-being yang sama (homogen).
2. Hasil Uji Hipotesis Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis anava satu arah atau One Way Anova. Berdasarkan perhitungan dapat diketahui bahwa F hitung (11,478) > F tabel (2,725). Nilai signifikansi 0,000<0,05.
Karena F hitung > F tabel dengan taraf
signifikansi 0,000<0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak. Hasil uji One Way Anova menunjukkan terdapat perbedaan sangat signifikan rata-rata psychological well-being ditinjau dari dukungan sosial yang berbeda. Dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informasi mempunyai pengaruh terhadap psychological well-being.
3. Pembahasan Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan teknik One Way Anava dinyatakan bahwa ada perbedaan rata-rata psychological well-being yang signifikan ditinjau dari
bentuk dukungan sosial pada remaja runarungu yang dibesarkan dalam lingkungan asrama SLB-B di kota Wonosobo. Hal ini ditunjukkan oleh F hitung lebih besar dari F tabel (11,478 > 2,725) serta taraf signifikansi 0,000 lebih kecil dari 0,05. Dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis nol ditolak, berarti bentuk dukungan sosial dapat dijadikan variabel bebas untuk memprediksi psychological well-being pada siswa remaja runarungu yang dibesarkan dalam lingkungan asrama SLB-B di kota Wonosobo. Adanya perbedaan kondisi psychological well-being remaja tunarungu tersebut dapat disebabkan oleh adanya bentuk dukungan sosial yang berbeda-beda pada remaja tunarungu. Rata-rata psychological well-being yang paling tinggi berada pada bentuk dukungan emosional. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Heller, dkk., (Emmons dan Colby, 1995) bahwa dukungan emosional mengarahkan seseorang merasa diperhatikan dan dihargai, serta merupakan bentuk yang paling kuat untuk mengurangi gangguan psikologis daripada bentuk dukungan sosial yang lain. Bentuk dukungan penghargaan memiliki psychological well-being yang tinggi, namun prosentasenya di bawah dukungan emosional. Seseorang memang membutuhkan adanya penghargaan dari orang-orang di sekitarnya, tetapi untuk meraih itu semua, remaja tunarungu membutuhkan dukungan emosional. Kesulitan dan keterbatasan remaja tunarungu dalam memperoleh informasi akan mengganggu perkembangan diri. Dengan adanya dukungan informasi yang optimal dari orang-orang di sekitarnya dan informasi tersebut benar-benar memberikan suatu kejelasan bagi mereka, maka remaja tunarungu dapat mengimplementasikan potensi dirinya sebagai individu yang utuh di dalam masyarakat, sehingga merasa berharga berada di lingkungan masyarakat serta dapat meningkatkan identitas dirinya. Bentuk dukungan instrumental memiliki psychological well-being yang paling rendah. Pemenuhan yang telah cukup pada dukungan ini menyebabkan seorang individu tidak terlalu mengkhawatirkan hidup maupun keadaan psikisnya. Ketika semua kebutuhan fisik telah tercukupi, individu akan mengalihkan kebutuhannya pada kebutuhan psikis. Secara keseluruhan psychological well-being subjek penelitian berada pada kondisi sedang, namun kurang optimal. Semua bentuk dukungan sosial yang diberikan kepada remaja tunarungu sama-sama menjadi cara yang efektif untuk membangun psychological well-being yang memuaskan, sehingga harus tetap dioptimalkan.
E. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Ada perbedaan yang signifikan psychological well-being pada remaja tunarungu yang dibesarkan dalam lingkungan asrama ditinjau dari dukungan sosial yang diterima. b. Dukungan emosional merupakan bentuk dukungan sosial yang paling efektif dalam membangun psychological well-being.
2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: a. Bagi remaja tunarungu Diharapkan dapat menjalin hubungan yang hangat dan kuat dengan orang lain, meningkatkan peran bantuan fisik atau fasilitas dan informasi yang telah diberikan pengasuh dan sekolah, sekaligus menjaga dan mengoptimalkan dorongan dan perhatian orang-orang di sekitarnya, sehingga akan membangun psychological wellbeing, serta melakukan pendekatan kepada pengasuh, sehingga dukungan yang diberikan akan diterima secara lebih optimal dan meningkatkan psychological wellbeing. b. Bagi pihak yang terkait dengan remaja tunarungu Diharapkan mampu memberikan dukungan social kepada remaja tunarungu sesuai situasi dan kondisi. Pihak asrama juga dapat memberdayakan pengasuh, seperti mengikuti seminar anak berkebutuhan khusus, sehingga dapat lebih peka terhadap kebutuhan remaja tunarungu dan dapat memberikan dukungan sosial yang efektif dalam membangun psychological well-being. Selain itu pengasuh hendaknya memberikan dukungan dan perhatian yang setara kepada anak asuhnya karena mereka sama-sama membutuhkan perhatian. c. Bagi sekolah yang bersangkutan Diharapkan dapat membangun komunikasi terbuka dengan siswa didik dan memberikan dorongan untuk maju dan fasilitas, tidak hanya bagi mereka yang berprestasi, tetapi juga bagi mereka yang harus dikembangkan prestasinya. d. Bagi peneliti selanjutnya
Penulis menyarankan untuk meningkatkan kualitas penelitian lebih lanjut, misalnya dengan memperbanyak jumlah subjek, mengadakan penelitian secara kualitatif, membandingkan dengan remaja normal, dan mencermati faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being seperti kepribadian, kesehatan, dan religiusitas.
Daftar Pustaka Amawidyati, A. G. dan Utami, M, S. 2007. Religiusitas dan Psychological Well Being pada Korban Gempa. Jurnal Psikologi, Vol. 34. Armstrong, I. M., Lefcovitch, B. S., Ungar, T. M. 2005. Pathways Between Social Support, Familiy Well-Being, Quality of Parenting, and Child Resilience: What We Know. Journal of Child and Family Studies. Vol. 14, No. 2. Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Azwar, S. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Bartram, D., Boniwell, I. 2007. The Science of Happiness: Achieving Sustained Psychological Well-being. In Practice Vol. 29. Bristol, M. M., Gallagher, J. J. dan Schopler, E. 1988. Mothers and Fathers of Young Developmentally Disabled and Disabled Boys: Adaptation and Spousal Support. Journal of Developmental Psychology. Vol. 24. Calhoun, J. F. dan Acocella, J. R. 1990. Psychology of Adjustment and Human Relationship 3rd Edition. USA: McGraw Hill. Citra, A. K. S. 2010. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Psychological Well Being Siswa di Sekolah Menengah Atas Diponegoro Tulungagung. Internet. lib.uinmalang.ac.id. Diakses tanggal 26 Februari 2011. Cohen, S. dan Syme, S. L. 1985. Social Support and Health. New York: Academic Press Inc. Desmita. 2007. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Diajie, A. T. 2009. Reformasi Kebijakan Pendidikan Luar Biasa. Internet. diajie.blogspot.com. Diakses tanggal 31 Maret 2011. Dudung dan Sugiarto. 1999. Pedoman Guru Pengajaran Wicara untuk Anak Jakarta: Gramedia.
Tunarungu.
Effendi dan Tjahjono. 1999. Hubungan Antara Perilaku Coping dan Dukungan Sosial dengan Kecemasan pada Ibu Hamil Anak Pertama. Anima. Volume 14. No. 54. Ekasofia, S. 2009. Hubungan Dukungan Sosial dengan Psychological Well-Being pada Orang dengan HIV/AIDS. Internet. alumni.unair.ac.id. Diakses tanggal 15 Desember 2010.
Emmons, R. A., dan Colby, P. M. 1995. Emotional Conflict and Well-Being: Relation to Perceived Availability, Daily Utilization, and Observer Reports of Social Support. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 68. Hartini, N. 2001. Deskripsi Kebutuhan Psikologi Pada Anak Panti Asuhan. Insan Media Psikologi. Volume 3. No. 2. House, J. S., dan Khan, R. J. 1985. Measures and Concepts of Social Support. Social Support and Health. New York: Academic Press, Inc. Hurlock, E. B. 1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. ____________. 2004. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Press. ____________. 2006. Psikologi Perkembangan Anak, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Jon,
E. 2010. Bimbingan Sosial Psikologis pada Anak jofipasi.wordpress.com. Diakses tanggal 26 Februari 2011.
Tunarungu.
Internet.
Lachman, M. E., dan Weaver, S. L. (1997). The Sense of Control as a Moderator of Social Class Differences in Health and Well-being. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 74. Lis, R. 2008. Ketika Siswa-Siswi Tunarungu Dena Upakara Pentaskan Sendratari Ramayana. Internet. psibkusd.wordpress.com. Diakses tanggal 11 Mei 2011. Luh, D. S. 2009. Mereka Merasa Diabaikan Keluarga. Internet. www.balebengong.net. Diakses tanggal 11 Mei 2011. Mangunsong, F. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. LPSP3. Jakarta: Universitas Indonesia. Monks, F. J., Knoers, A. M. P., Haditono, S. R. 2004. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Muharno, Z. 2010. Dian Arifin, Jawara Tenis Meja. Internet. www.e-wonosobo.com. Diakses tanggal 11 Mei 2011. Mussen, P.H., Conger, J.J., Kagan, J., Huston, A.C. 1989. Perkembangan dan Kepribadian Anak. Alih Bahasa: Meitasari, T. Jakarta: Gramedia. Orford, J. 1992. Community Psychology: Theory and PracticeI. New York: John Wiley and Sons, Ltd. Plant, K.M. dan Sanders, M. R. 2007. Predictors of Caregivers Stress in Family of Preschoolaged Children with Developmental Dissabilities. Journal of Intellectual Dissability Research. Vol. 51. No. 2. Priyatno, D. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta: Mediakom.
Proctor, C. D., Groza, V. K., dan Rosenthal, J. A. 1999. Social Support and Adoptive Families of Children with Special Needs. Mandel School of Applied Social Sciences. Purnamawati, S. P. 2008. Asah, Asih, dan Asuh, Pola Pembentuk Karakter. Internet. purnamawati.wordpress.com. Diakses tanggal 23 Februari 2011. Ryff, C.D. 1989. Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological wellbeing. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 57. Ryff, C.D. dan Keyes, C.L.M. 1995. The Structure of Psychological Well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 69. Ryff, C. D. dan Singer, B. H. 1996. Psychological Well Being: Meaning, Measurement and Implications for Psychotherapy Research. Journal of Psychotheraphy Psychosomatics, Vol. 65. Sarafino, E. P. 1990. Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. New York: John Willey and Sons Inc. Schmutte, P. S. dan Ryff, C. D. 1997. Personality and Well Being: Reexamining Methodes and Meaning. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 73. Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo. Sugianto, I. R. 2000. Status Lajang dan Psychological Well Being pada Pria dan Wanita Lajang Usia 30-40 Tahun di Jakarta, Phronesis, 2, 67-77. Suryawidjaja, A. 1998. Hubungan antara pola perilaku tipe A-B pada karyawan tingkat penyelia PT. KOKUSAI GODO PENSO, Tangerang. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atmajaya. Skripsi. Tidak diterbitkan. Sutjihati, S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama. Taylor, E. S., 1995. Health Psychology. New York: Mc Graw Hill Inc. Thoits, P. A. 1995. Stress, Coping and Social Support Processes: Where are We? What Next?. Journal of Health and Social Behaviour. Hal 53-79. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional & Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Cet. 2. Jakarta: Visimedia. 2007.