Perbedaan kondisi karang gigi pada masyarakat yang mengkonsumsi air sumur dengan bukan air sumur I Made Budi Artawa , I G A A Pt.Swastini Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Denpasar
ABSTRAK
Karang gigi merupakan suatu faktor iritasi yang terus menerus terhadap gusi sehingga dapat menyebabkan keradangan pada gusi. Mineral kalsium dan phosphat sebagai pembentuk karang gigi dapat diperoleh dari konsumsi makanan dan minuman. Penduduk Desa Kelan sebagian besar mengkonsumsi air sumur dengan kandungan kalsium cukup tinggi yaitu 132,08 mg/liter air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan terjadi karang gigi pada masyarakat yang mengkonsumsi air bersumber dari sumur dengan yang bukan dari sumur . Penelitian ini merupakan penelitian komperasi dengan rancangan penelitian prosfektif. Penelitian ini menggunakan dua sampel independen yaitu kelompok terpapar (pengkonsumsi air sumur) dan kelompok tidak terpapar (pengkonsumsi air bukan air sumur). Besar sampel penelitian sebanyak 66 orang. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan pemeriksaan langsung. Pengolahan data dianalisis secara statistik univariat dan bivariat dengan uji T-test dua sampel berbeda. Hasil analisis kuantitatif uji T-test dua sampel berbeda menunjukkan t hitung dengan equal varience not assumed sebesar 5,907 dan probabilitas sebesar 0,000. Oleh karena probabilitas < 0,005, maka Ho ditolak atau kedua rata-rata skor karang gigi pada pengkonsumsi air bersumber dari sumur dengan yang bukan sumur benar-benar berbeda secara signifikan. Kata Kunci: perbedaan, karang gigi, air sumur Korespondensi: I Md.Budi Artawa, Poltekkes Kemenkes Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi. Jl. P Moyo no 33 Pedungan Denpasar Selatan. Telp: 0361720084
PENDAHULUAN Pemeliharaan kesehatan gigi sangatlah penting, karena gigi bukan hanya sebagai alat pengunyahan melainkan lebih dari itu, maka sepatutnya gigi tersebut dipertahankan keberadaannya di dalam rongga mulut1. Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit yang tersebar luas di masyarakat Indonesia. Faktor penyebab dari penyakit gigi dan mulut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan gigi. Berbagai upaya untuk mengatasi hal tersebut telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta2. Karang gigi merupakan suatu faktor iritasi yang terus menerus terhadap gusi sehingga dapat menyebabkan keradangan pada gusi. Bila tidak dihilangkan maka akan berlanjut pada kerusakan jaringan penyangga gigi dan lamakelamaan mengakibatkan gigi menjadi goyang serta lepas dengan sendirinya3. Karang gigi adalah jaringan keras yang melekat erat pada gigi yang terdiri dari bahan-bahan mineral seperti Ca, Fe, Cu, Zn, dan Ni4. Karang gigi adalah merupakan plak yang berkalsifikasi5
Karang gigi terbentuk oleh karena adanya pengendapan sisa makanan dengan air ludah dan kuman-kuman maka terjadilah proses pengapuran yang lama kelamaan menjadi keras6. Karang gigi juga terbentuk oleh karena pengendapan kalsium pada plak basa kemudian terjadi pengapuran dan mengeras maka terbentuklah karang gigi7 Mineral kalsium dan phosphat sebagai pembentuk karang gigi dapat diperoleh dari konsumsi makanan dan minuman. Sumur gali merupakan salah satu sumber air minum terutama bagi masyarakat yang berada di daerah dataran rendah seperti di pesisir pantai. Salah satu desa yang berada di pesisir pantai adalah Desa Kelan Kecamatan Kuta Selatan. Berdasarkan informasi dari dokter gigi yang praktek swasta di daerah tersebut, menyatakan bahwa banyak pasien yang berasal dari Desa Kelan datang dengan keluhan giginya mudah kotor oleh karang gigi. Hasil observasi dan wawancara pendahuluan terhadap beberapa penduduk Desa Kelan menyatakan sebagian besar masih mengkonsumsi air dengan menggunakan sarana sumur gali atau sumur bor. Hasil tes laboratorium air dari 33 sumur di Desa Kelan menunjukkan kandungan phosphat rata-rata 0,01 dan kalsium cukup tinggi yaitu yaitu rata-rata 132,09 mg/liter air dibandingkan dengan standar normal kalsium dalam air minum yaitu 100 mg/liter air8. Konsentrasi kalsium pada air minum yang melebihi standar apabila dikonsumsi terus menerus dapat menambah kepekatan air ludah sehingga kalsium bersama dengan phosphat akan membentuk hablur dan menjadi karang gigi. Tetapi belum diketahui apakah ada perbedaan terjadi karang gigi pada masyarakat yang mengkonsumsi air sumur dengan yang bukan air sumur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kondisi karang gigi pada masyarakat yang mengkonsumsi air sumur dengan yang bukan air sumur di Desa Kelan Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung Provinsi Bali 2010. METODE Penelitian ini merupakan penelitian komperasi dengan rancangan penelitian prosfektif. Penelitian ini dilakukan di Desa Kelan Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung Provinsi Bali 2010. Populasii penelitian ini adalah semua masyarakat yang tinggal menetap minimal tujuh bulan di Desa Kelan. Penelitian ini menggunakan dua sampel independen yaitu kelompok terpapar (pengkonsumsi air sumur) dan kelompok tidak terpapar (pengkonsumsi air bukan air sumur). Besar sampel penelitian sebanyak 66 responden. Penelitian ini menggunakan data primer, data dikumpulkan dengan cara wawancara dan pemeriksaan langsung. Kedua kelompok sampel pada awal pengamatan dilakukan pemeriksaan kalkulus indeknya, dan dilakukan pembersihan karang gigi. Pemeriksaan ulang dan menghitung kalkulus indek dilakukan setelah tiga bulan. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer dan dianalisis secara statistik univariat dan bivariat dengan uji T-test dua sampel berbeda. HASIL PENELITIAN Hasil pengamatan terhadap obyek penelitian kelompok pengkonsumsi air sumur maupun yang bukan pengkonsumsi air sumur tentang keadaan karang gigi pada awal pengamatan dan akhir pengamatan disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1. Keadaan Karang Gigi Kelompok Pengkonsumsi Air Sumur pada Awal Pengamatan No Kriteria 1 Baik (0.0-0,6) 2 Sedang (0,7-1,8) 3 Buruk (1,9-3,0) Jumlah Rata-rata
Frekuensi 0 5 28 33 2,97
% 0 15.15 84.85 100
Tabel 1 menunjukkan bahwa keadaan karang gigi responden yang mengkonsumsi air sumur paling banyak berada pada kriteria buruk yaitu sebanyak 28 orang (84.85%) dan tidak ada responden yang mempunyai skor karang gigi dengan kriteria baik. Nilai rata-rata sebesar 2,97 berada pada kriteria buruk. Tabel 2. Keadaan Karang Gigi Kelompok Pengkonsumsi Bukan Air Sumur pada Awal Pengamatan No Kriteria 1 Baik (0.0-0,8) 2 Sedang (0,9-1,8) 3 Buruk (1,9-3,0) Jumlah Rata-rata
Frekuensi 18 13 2 33
% 54,55 39,39 06,06 100 0,57
Tabel 2 menunjukkan bahwa keadaan karang gigi responden yang mengkonsumsi bukan air sumur paling banyak berada pada kriteria baik yaitu sebanyak 18 orang (54,55), dan paling sedikit berada pada kriteria buruk yaitu sebanyak dua orang (06,06%), dan nilai rata-rata 0,57 berada pada kriteria baik. Tabel 3. Keadaan Karang Gigi Kelompok Pengkonsumsi Air Sumur pada Akhir Pengamatan No Kriteria 1 Baik (0.0-0,6) 2 Sedang (0,7-1,8) 3 Buruk (1,9-3,0) Jumlah Rata-rata
Frekuensi 0 2 31 33 2,97
% 0 6.06 93.94 100
Tabel 3 menunjukkan bahwa keadaan karang gigi responden yang mengkonsumsi air sumur paling banyak berada pada kriteria buruk yaitu sebanyak 31 orang (93,94%) dan tidak ada responden yang mempunyai karang gigi kriteria baik. Nilai rata-rata sebesar 2,97 berada pada kriteria buruk. Tabel 4. Keadaan Karang Gigi Kelompok Pengkonsumsi Bukan Air Sumur pada Akhir Pengamatan
No Kriteria 1 Baik (0.0-0,8) 2 Sedang (0,9-1,8) 3 Buruk (1,9-3,0) Jumlah Rata-rata
Frekuensi 17 14 2 33 0,48
% 51.52 42.42 6.06 100
Tabel 4 menunjukkan bahwa keadaan karang gigi responden yang mengkonsumsi bukan air sumur paling banyak berada pada kriteria baik yaitu sebanyak 17 orang (51,52) dan paling sedikit berada pada kriteria buruk yaitu sebanyak dua orang (6,06), dan nilai rerata 0,48 berada pada kriteria baik. Tabel 5. Hasil Uji T-tes pada Awal Pengamatan
Kelompok Skor
Equal Variance Assumed Equal Variance Not Assumed
Levene’s Test for quality of Variances F Sig 2.610
0.111
t-test for Equality of Means t
df
10.977 10.977
64 63.482
Sig. (2-tailed) 0.000 0.000
Tabel 5 menunjukkan t hitung dengan equal varience not assumed sebesar 10,977 dan probabilitas sebesar 0,000. Oleh karena probabilitas < 0,005, maka Ho ditolak atau kedua rata-rata skor karang gigi pada masyarakat yang mengkonsumsi air sumur dengan yang bukan air sumur di Desa Kelan Kecamatan Kuta Selatan Provinsi Bali 2010 benar-benar berbeda secara signifikan. Besar perbedaannya 1,39 berada diantara perbedaan rata-rata bagian bawah =1,14 dan perbedaan rata-rata bagian atas = 1,65. Tabel 6. Hasil Uji T-tes pada Akhir Pengamatan Levene’s Test for quality of Kelompok Skor Variances F Sig Equal Variance Assumed Equal Variance Not Assumed
2.610
0.111
t-test for Equality of Means t
df
5.907 5.907
64 63.482
Sig. (2-tailed) 0.000 0.000
Tabel 6 menunjukkan t hitung dengan equal varience not assumed sebesar 5,907 dan probabilitas sebesar 0,000. Oleh karena probabilitas < 0,005, maka Ho ditolak atau kedua rata-rata skor karang gigi pada masyarakat yang mengkonsumsi air sumur dengan yang bukan air sumur di Desa Kelan Kecamatan Kuta Selatan Provinsi Bali 2010 benar-benar berbeda secara signifikan. Besar perbedaannya 0,79 berada diantara perbedaan rata-rata bagian bawah =0,52 dan perbedaan rata-rata bagian atas = 1,05.
PEMBAHASAN Hasil penelitian terhadap 66 responden yang terdiri dari 33 responden yang mengkonsumsi air sumur dan 33 responden yang mengkonsumsi bukan air sumur. Secara deskriptif dapat dijelaskan antara lain keadaan karang gigi responden yang mengkonsumsi air sumur pada awal pengamatan rara-rata 2,97 berada pada kriteria buruk. Sedangkan keadaan karang gigi pada responden yang mengkonsumsi bukan air sumur menunjukkan nilai rata-rata 0,57 berada pada kriteria baik. Keadaan karang gigi responden yang mengkonsumsi air sumur pada akhir pengamatan nilai rara-rata 2,97 berada pada kriteria buruk. Sedangkan keadaan karang gigi pada responden yang mengkonsumsi bukan air sumur menunjukkan nilai rata-rata 0,48 berada pada kriteria baik. Hasil analisis data dengan menggunakan uji T- test dua sampel berbeda pada awal pengamatan didapatkan t hitung dengan equal varience not assumed sebesar 10,977 dan probabilitas sebesar 0,000. Dan hasil analisis data pada akhir pengamatan didapatkan t hitung dengan equal varience not assumed sebesar 5,907 dan probabilitas sebesar 0,000. Oleh karena probabilitas < 0,005, maka Ho ditolak atau kedua rata-rata skor karang gigi pada pengkonsumsi air sumur dengan yang bukan air sumur benar-benar berbeda secara signifikan baik pada awal pengamatan dan akhir pengamatan. Besar perbedaannya pada awal pengamatan sebesar 1,39 berada diantara perbedaan rata-rata bagian bawah =1,14 dan perbedaan rata-rata bagian atas = 1,65. Dan besar perbedaannya pada akhir pengamatan sebesar 0,79 berada diantara perbedaan rata-rata bagian bawah =0,52 dan perbedaan rata-rata bagian atas = 1,05. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terjadinya karang gigi pada masyarakat yang mengkonsumsi air sumur dengan yang bukan air sumur di Desa Kelan 2010. Perbedaan yang didapatkan antara lain pada responden yang mengkonsumsi air sumur nilai rata-rata karang gigi berada pada kriteria buruk sedangkan pada responden yang mengkonsumsi bukan air sumur nilai rata-rata karang gigi berada pada kriteria baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kandungan air sumur yang dikonsumsi oleh responden banyak mengandung kalsium, sehingga akan mempercepat pengapuran dan pengendapan plak menjadi karang gigi. Hal ini didukung oleh hasil tes laboratorium air sumur Desa Kelan menunjukkan kandungan rata-rata kalsium cukup tinggi yaitu 132,08 mg/liter air dibandingkan dengan standar normal kalsium dalam air minum yaitu 100 mg/liter air8 . Pernyataan ini didukung oleh pendapat Be Ken Nio, bahwa karang gigi terbentuk akibat dari kalsium yang ada dalam air ludah akan mengendap pada lapisan plak, kemudian terjadilah pengapuran lapisan plak dan mengeras maka terbentuklah karang gigi (calculus)7. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Houwink, yang mengatakan bahwa karang gigi terbentuk karena plak yang dibiarkan dalam waktu lebih lama pada gigi dan akan berkalsifikasi5. Konsentrasi kalsium pada air minum yang melebihi standar apabila dikonsumsi terus menerus dapat menambah kepekatan air ludah sehingga kalsium bersama dengan phosphat akan membentuk hablur dan menjadi karang gigi. Jenis karang gigi yang terbentuk adalah karang gigi air ludah (salivary calculus) 9 Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang bermakna terjadi karang gigi pada masyarakat yang mengkonsumsi air sumur dengan yang bukan air sumur, di Desa Kelan Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung
Provinsi Bali 2010. Sehingga disarankan kepada masyarakat Desa kelan pada umumnya dan masyarakat yang mengkonsumsi air sumur pada khususnya, agar lebih memperhatikan kebersihan gigi dan mulutnya, dengan cara menyikat gigi segera setelah makan minimal dua kali dalam sehari, yaitu pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, rajin memeriksakan gigi dan membersihkan gigi ke tempat pelayanan kesehatan gigi minimal enam bulan sekali. DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI. Tata cara kerja pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas. Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan Medik; 1995. h. 30. 2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman upaya pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas. Jakarta: Depkes RI; 2000. h. 13-14. 3. Tarigan R. Kesehatan gigi dan mulut. Edisi IV. Jakarta: EGC; 1995. h. 34-35. 4. Tarigan R. Kesehatan gigi dan mulut. Edisi I. Jakarta: EGC; 1998. h. 32. 5. Houwink BJ. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada; 1993. h. 40-43. 6. Tomasowa RA. Pengetahuan dasar tentang kesehatan gigi dan mulut. Jakarta: Depkes RI; 1995. h. 15-16. 7. Be KN. Preventif dentistry. Bandung: Yayasan Kesehatan Gigi Indonesia; 1997. h. 26-28 8. WHO. Guidelines for Drinking-Water Quality. Geneva: Heal Criteria and Other Supporting Information; 1996. p. 46-47. 9. Ariyantono E. Karang gigi. 2009. Available from: http://www.dhathox. co.cc/2009/12/karang-gigi.html. Accessed September 27, 2010.
The effect of oral rinse from beluntas extract to minimize the creation of plaque Asep Arifin Senjaya Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Denpasar
ABSTRAK Obat - obat tradisional bukan masalah bagi kehidupan masyarakat khususnya yang hidup di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Beluntas adalah tanaman yang umum tumbuh di Indonesia. Ekstrak beluntas sangat efektif untuk mengurangi pertumbuhan mikrobakteri dalam air ludah. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efektivitas kumur - kumur ekstrak beluntas untuk mengurangi pembentukan plak. Metode: Desain penelitian ini adalah eksperimental murni menggunakan pretest design with control. Populasi penelitian 61 orang. Pada penelitian ini tidak dilakukan sampling, tetapi menggunakan total populasi dengan memberlakukan kriteria inklusi dan eksklusi. Kelompok eksperimen diberikan kumur - kumur ekstrak beluntas, sedangkan kelompok kontrol diberikan kumur - kumur aquadest. Pengukuran plak menggunakan metode Sillness dan Loe. Hasil: Jumlah mahasiswa yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 34 orang, terdiri dari 24 perempuan dan 10 laki - laki. Tidak dijumpai sampel yang ekslusi. Pada sampel yang berkumur kumur dengan aquadest dijumpai satu orang sampel dengan indeks plak terendah: 1,25 dan satu orang sampel dengan indeks plak tertinggi: 2,71. Pada sampel yang berkumur kumur dengan ekstrak beluntas dijumpai satu orang dengan indeks plak terendah: 1,04 dan satu orang dengan indeks plak tertinggi: 2,79. Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa indeks rata - rata pada sampel yang berkumur - kumur dengan ekstrak beluntas: 1,76. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan indeks plak rata - rata pada sampel yang berkumur - kumur dengan aquadest, yaitu: 1,98. Uji Mann Whitney menunjukkan nilai signifikansi: 0,106, ini berarti tidak ada perbedaan antara kedua cara berkumur tersebut. Simpulan: Kumur - kumur ekstrak beluntas tidak efektif untuk mengurangi pembentukan plak. Kata kunci: ekstrak beluntas, pembentukan plak Korespondensi: Drg. Asep Arifin Senjaya M.Kes, Poltekkes Kemenkes Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi. Jl. P Moyo no 33 Pedungan Denpasar Selatan. Telp: 0361720084 .
1
INTRODUCTION Traditional medicine is not something new in Asia, Africa and Latin America1. In ancient Egypt, the cultivation of plants needed for traditional medicine started at 2,500 B.C.2. In recent days, the research and development in medicinal plants was conducted widely in Indonesia as well as overseas. Health Minister of the Republic of Indonesia supports the traditional treatment and healing that is being so progressed in Indonesia. There has been published a decision letter of the Health Minister of the Republic of Indonesia regarding: the center for the development and application of the traditional way of treatment in namely 12 provinces3. Beluntas (Plucea Indica) is a kind of plant that could been easily found in Indonesia. Beluntas leaves have unique aromas and bitter taste and helps to increase appetite, helps in the digestive system, stop perspiration, lower temperature and also act as freshener3. Beluntas leaves can also be used to remove body odor and bad breath1,3,4,5. As a traditional medicine, beluntas leaves is also used to relieve cough and stop diarrhea. Beluntas leaves have an anti bacteria and anti oxidant function and also tends to develop as preservation for food. Beluntas leaves effective to relief any kind of diseases caused by bacteria infection6. Beluntas is a small plant that grow straight with an average height of 2 meters. This is a wild plant grow on a dry climate and hard and stony soil or some may plant it as fence plants. Beluntas need sunshine, normally grows near sea costal area with height of 1,000 m above sea level3. The chemical substance that is contained in Beluntas are alkaloid, flavonoida, tannin, and atsiri oil which usually contain several phenol compounds such as eugenol, kavikol, phenyl propane and sineol. This phenol compound has a very strong anti – bacterial potency7. Research:” Beluntas leaves extract used to lower the bacterial amount inside the mouth done by Nahak M M and companions (2006) showing that Beluntas leaves extract has capability decrease down the bacteria’s growth in saliva. The Beluntas leaves in higher concentration will decrease the microba’s growth. However, there is no significant difference in the decrease of microba’s growth between sample that using 10%, 20% and 30% extract8. Oral health is a part of public fundamental health and welfare8. Health Research Principal Year 2007 shows DMF – T: 4.85. Index DMF – T shows the amount of damage tooth transpire as decay, missing, and filling9. Caries is a disease whereby bacterial process damage hard tooth structure (enamel, dentin, and cementum). Caries will only appear if there are 4 factors: bacteria, substrate, susceptible teeth, and timing, which cannot be argued that if there is no plaque then caries will not happen. One of the preventive measure is to remove and prevent the formation of plaques, as well as cleaning the plaque at certain time10.
2
Bacterial collects directly on enamel, but usually bacteria will be collected first on pellicle. Pellicle is a thin layer, smooth, and colourless from protein especially glycoprotein saliva that collected on teeth surface. Several minutes after pellicle formed, then it will be populated by bacteria. Those populated pellicle that is called plaque11. Plaque is the pellicle that contains bacteria. Definition of pellicle is thin skin or film consists most of glycoprotein. Pellicle that formed from saliva or gum liquid will be formed first on the tooth. Right after the cuticle formed, bacteria typed coccus (primarily streptococcus) will be collected on the cuticle surface. Plaques consists of two main types: Supragingival and Subgingival on cervical gingival or pocket periodontal. The early shape is more cariogenic. Which the last formation can stimulate the periodontal disease. Tooth plaques takes part in the pathogenic of caries and periodontal disease11. Dental plaque is a soft deposit that accumulates on the teeth. Plaque can be defined as a complex microbial community with greater than 1010 bacteria per milligram. It has been estimated that as many as 400 district bacterial species may found in plaque. In addition to the bacterial cells, plaque contains a small number of epithelial cell, leucocytes, and macrophages12. The primary cause of the periodontal diseases is the bacterial irritation. While the secondary cause consists of two factor namely local and systemic factor. The local factor consists of the following: 1) improper restoration, 2) caries, 3) the accumulation of food debris, 4) removable partial denture which are not properly done, 5) removable or fixed orthodontic appliance, 6) the malformation of teeth, 7) the improper lips formation, 8) mouth breathing, 9) smoking habit, 10) groove formation of on the surface or the cervical area. While the systemic factor consists of: 1) genetic factor, 2) nutrition, 3) hormonal imbalance, 4) hematologic factor11. Periodontal disease can be prevented and the early treatment is very simple. If the disease progresses, then it will require more complicated therapy. When there is good and accurate plaque control then most of the patient will not experience gingivitis or periodontitis. Cleaning teeth is to remove plaque13. To show plaque on the teeth surface can be done using disclosing agent13 and determining plaque score using plaque index as stated by Silness and Loe.(1964)13,14. Plaque controlling method can be with chemical ingredients (mouthwash solution), water irrigation and mechanisms (teeth polishing and brushing teeth) regular prevention / cure from plaque accumulation is the best method to keep off periodontal diseases and the most important prevention measure is using tooth brush effectively. Brushing teeth effectively is the very method to prevent accumulation of plaque13. The main objectives on this analysis the effect of using beluntas extract to decrees plaque formation. The research question: Is oral rinse using beluntas extract effective to minimize the plaque formation? 3
The Purpose of this research: first is to increase knowledge on the usage of Beluntas leaves as antiseptic oral rinse suspension and the second as an additional information for further research. Hypothesis of research is: oral rinse using beluntas extract effective to minimize the plaque formation. MATERIAL AND METHOD This is a pure experimental study using pretest design with control. The test being done on November to the early December at 2009. The research population is the entire students of Dental Nursing Departement in Health Polytechnic Denpasar at 2009/2010, with the sum of 61 students. No samples being done. The test is done using the total population with inclusive and exclusive criteria. Criteria of Inclusive samples are the following: 1) Available to be the research sample, 2) Posses at least 28 teeth, 3) Posses a healthy teeth condition, 4) Do not suffer from gingivitis or periodontal disease. Criteria of exclusive sample are the following: 1) The sample is absent due to sickness or other reason, 2) The sample has done tooth brushing when the research time set. When the research time was done, there are 34 students have completed the inclusive criteria. No exclusive samples was found. The data gathering as of the following: 1) A week before the data gathering. There should did the tooth polishing and plaque removal and the entire students were taught the manner of proper tooth brushing by the Dental Nursing in Health Polytechnic Denpasar who have qualified the inclusive sample criteria. 2) During the time when the research being done (which is on Thursday), the sample was divided in to two groups which is the treatment and control group. The grouping was done by lottery technic. 3) After the lottery technic, to each student of the treatment group were given a bottle of Beluntas extract (150 ml), while a bottle of aquadest was given to the control group. The Beluntas extract was made of 2.5 kg of young Beluntas leaves. The leaves are fresh, boiled with 5,000 ml of water. The boiling time should take an hour, while the aquadest can be bought at any chemical store. 4) The following day (Friday), all throughout the day no tooth brushing was done and as the substitute, the students will be given 30 ml of beluntas extract and 30 ml of aquadest in 20 second mouth rinsing. The rinsing was done three times during the day, which was after breakfast, after lunch and before went to bed. During this experimental period the sample should not consume the sweets that can stick to the teeth such as: candies, chocolates and dodol. 5) After the time accomplished, the samples should do the rinsing again using same method in the morning at the following day (Saturday). So that the total time of rinsing is 4 times which the examination of plaque on the samples followed by Silness and Loe method (1964)15. The result is recorded on a separate sheet. After the plaque examination, the samples may go for tooth brushing. This is the end of the procedure.
4
The teeth surface that examined on the index set by Silness and Loe are: buccal, lingual, mesial, and distal. The teeth examined are the following: 1) The first molar: the right upper jaw (16), 2) The second incisor: the right upper jaw (24), 3) The first molar: left lower jaw (36), 4) The second incisor: left lower jaw (32), 5) The first premolar: right lower jaw (44) 15. When the index tooth is missing then there is no replacement. The procedure of the index plaque measurement is: to evaluate the plaque score on the teeth surface (buccal, lingual, and distal). The index plaque of each tooth attained by the total plaque index of all the teeth that divided by the number of teeth being examined15. The value (score) of the teeth surface is15:
No. 1. 2.
Score 0 1
3.
2
4.
3
Criteria No plaque is detected A thin layer of plaque of the gum side is detected by scratching the probe or using disclosing The accumulation of plaque on the minimum rate along the gum side and obviously seen The large accumulation of plaque along the gum side and at the interdental area
The plaque index examination is done at Dental Clinic – Dental Nursing Departement - Health Polytechnic Denpasar. The material and instruments that used were: two mouth mirrors, dental pliers, examination sheet, cotton, and disclosing agent. The gathering data was analized by statistic univariate analysis using frequency, mean, range, and standard deviation. The same data was also analized by statistic bivariate analysis using Mann Whitney test. RESULT The students which were qualified for the inclusive criteria were 34 students. Consists of 24 female students (70.58%) and 10 male students (29.42 %). The average age 20 years. No exclusive samples was found. We were using aquadest mouth rinsing for the samples, found that: one person with the lowest plaque index of 1.25 and one person with the highest plaque index was 2.71. Mean plaque index on the samples that were using aquadest 1.98. The deviation standard was 1.42. Plaque index on Beluntas extract rinsing samples, we found that: one person with the lowest plaque index of 1.04 and one person with the highest plaque index of 2.79. Mean plaque index on the samples has been used Beluntas extract is 1.76 and the deviation standard was 0.45.
5
Based on this research, we could say that the mean plaque index on the samples using Beluntas extract as mouth rinsing was 1.76. This score was lower than the samples that were using aquadest rinsing which was 1.98. A test of Mann Whitney was used to identify whether there was a difference on plaque index after using aquadest rinsing compare to Beluntas extract rinsing16. The result is the significant score of 0.106. DISCUSSION Mean plaque index on the samples that were using Beluntas extract as mouth rinse: 1.76. The score is lower than mean plaque index on the samples that were using aquadest as mouth rinse: 1.98. This is indicating that Beluntas extract has capacity to decrease the plaque. Beluntas contains several chemical compounds, one of them is Phenol7. Phenol compounds contain very strong antibacterial potency7. Phenol also known as carbolic acid, is an organic compound with the chemical formula: C6H5OH. Phenol appreciably soluble in water and versatile precursor to a large of drugs. The antiseptic property of phenol were used by Sir Joseph Lister (1827-1912) in his pioneering technique of antiseptic surgery17. Phenol has been used since long time ago as mouth rinse solution and when used in high concentration with another compound, phenol has proved to decrease plaque accumulation11. This statement can be interpreted that phenol usage is effective in decreasing plaque if combined with another compound. The decrease of plaque is very important because teeth plaque have a role in pathogenicity from caries and periodontal disease13. The pathogenicity from plaque is caused by high amount of microorganism within the plaque. Around 300 species and sub – species of microorganism can be found and be isolated from a sample of plaque that was taken from sub – gingival area14. Mann Whitney test result showed a significant value for a single type: 0.106. This means even though the average plaque index with samples that rinsed with Beluntas extract was lower than average plaque index with samples that rinsed with aquadest, but there is no significant differences in the plaque decrease between rinsing with Beluntas extract and was not effective in decreasing plaque formation. On this research Sillness and Loe method was used to examine plaque by measuring plaque thickness. This method can be used if there are two samples from two different groups which have same plaque index, but the researcher does not knowledge on microorganism amount on those two samples. In this case rinsing with aquadest and sample using beluntas extract. Plaque is the pellicle containing bacteria hat glued tightly to the teeth as supra – gingival or sub – gingival on cervix gingival or periodontal pocket. Plaque controlling method can be done using chemical ingredients (rinsing solution), water irrigation, and mechanism (tooth polishing, brushing teeth). Effective tooth brushing is the major method to get solved clean the plaque. So that the best method to the plaque removal is teeth polishing and tooth brushing11. Dental plaque can cause to dental caries and periodontal problems such as gingivitis and chronic periodontitis. Dental plaque removal is essential for maintaining good oral health. Follow these tips on how to remove plaque from teeth: (1) Brush thoroughly at least twice a day with a fluoride toothpaste. (2) Use dental floss
6
everyday to remove plaque from your teeth and under your gum line. (3) Check your teeth with disclosing agent (tablet or solution) to ensure removing tooth plaque. (4) Control your diet. Limit sugary or starchy foods especially sticky snacks. (5) Ask your dentist or dental hygienist if your plaque removal techniques are good enough. (6) Visit your dentist regularly for professional cleanings and dental examinations 18. The average of plaque formation after oral rinse with aquadest is higher than the average plaque formation after oral rinse with beluntas extract. There is no difference from plaque formation after oral rinse with aquadest than Beluntas extract. So the conclusion of this research is: oral rinse using beluntas extract is not effective to decrease plaque formation. Furthermore it can be recommended that: 1) Beluntas extract can be used as mouth rinsing, 2) Teeth brushing is the major method to clean the plaque. REFERENCES 1. Suriawiria U. Obat mujarab dari pekarangan rumah. Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2000. h. 20 2. Kartasapoetra G. Budidaya tanaman berkhasiat obat. Cetakan kedua. Jakarta: Rineka Cipta. 1992. h. 1,2. 3. Dalimartha S. Atlas tumbuhan obat Indonesia Jilid 1. Cetakan VIII. Jakarta: Trubus Agriwidya, 2005. h. viii, 18-21. 4. Hariana A. Tumbuhan obat dan khasiatnya Seri I. Cetakan IV. Depok: Penebar Swadaya. 2004. h. 38,40 5. Sunariadi S. Ramuan Obat Tradisional. Surabaya: Amelia; 1999. h. 22 6. Anonim. Kamus Ilmiah: Daun beluntas sebagai bahan anti bakteri dan anti oksidan. Available from: http://www.kamusilmiah.com. Accessed: Oktober 29, 2010. 7. Heyne K. Tumbuhan berguna Indonesia II. Jakarta: Badan Litbang Departemen Kehutanan; 1987. h. 85. 8. Nahak MM, Dharmawati I.G.A.A., Tedjasulaksana R. Khasiat ekstrak daun beluntas untuk mengurangi jumlah bakteri dalam saliva. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi 2007; 5:139-142. 9. Departemen Kesehatan R I. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta; 2008. h. 140. 10. Kidd Edwina AM, Joyston S Bechal. Dasar-dasar karies, penyakit dan penanggulangannya. Narlan Sumawinata, Safrida Faruk (penterjemah). Jakarta: EGC; 1992. h. 1,2,141,142. 11. Manson JD, Eley BM. Buku ajar Periodonti. Lilian Yuwono (penterjemah). Jakarta: Hipokrates; 1993. h. 23, 44, 49, 67,115, 116, 173. 12. Haake SK. Microbiology of dental plaque. Available from: http://www.dent.ucla.edu/ members/microbio/mdphome.html. Accesed October 29, 2010 13. Forrest JO. Pencegahan penyakit mulut. Yuwono (penerjemah). Jakarta: Hipokrates; 1995. h. 24, 29, 33 – 40. 14. Rateischak KH, Wolf HF, Hassel TM. Periodontology. 2nd revised and expanded edition. New York: Thieme Medical Pub, Inc; 1989. p. 19, 35, 36.
7
15. WHO. Silness - Loe Index. Available from: http:/www.whocollab.od.mah.se/index. html. Accessed September 15, 2009. 16. Santoso S. Mengatasi berbagai masalah statistik dengan SPSS versi 11,5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia; 2005. h. 425. 17. Wikipedia. Phenol. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Phenol. Accessed : October 29, 2010. 18. Wikipedia. Dental plaque. Available from: http://en.wikipedia.org/Dentalplaque Accesed October 29, 2010.
8
1
Perbedaan pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring dan tanpa monitoring terhadap, sikap, perilaku dan status kebersihan gigi dan mulut. (Kajian terhadap murid SDN 1 dan 2 Sepang Kelod, Singaraja, Bali, tahun 2010) Ni Ketut Ratmini Poltekkes Kemenkes Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi
ABSTRAK Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat bertujuan memberdayakan individu, keluarga dan masyarakat agar mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM). Kegiatan pokok dan kegiatan indikatif dari program UKBM diantaranya adalah peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring dengan tanpa monitoring terhadap pengetahuan, sikap, perilaku dan status kebersihan gigi dan mulut murid SD. Penelitian ini adalah eksperimental semu dengan rancangan pretest and posttest group design. Subjek penelitian berjumlah 125 orang, dibagi dalam dua kelompok, yaitu: kelompok I responden kelas IV-VI SDN 1 Sepang Kelod yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring (64 orang), kelompok II adalah responden kelas IVVI SDN 2 Sepang Kelod yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi tanpa monitoring (61 orang). Pre-test menunjukkan hasil yang sebanding pengetahuan, sikap dan status kebersihan gigi dan mulut (p>0,05) dan terdapat perbedaan perilaku antara kelompok I dengan kelompok II (p<0,05). Hasil setelah perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pengetahuan responden antara kelompok I dengan kelompok II (p>0,05) dan ada perbedaan yang signifikan sikap, perilaku serta status kebersihan gigi dan mulut antara kelompok I dengan kelompok II (p<0,05). Pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring lebih baik dibandingkan dengan tanpa monitoring terhadap sikap, perilaku dan status kebersihan gigi dan mulut murid sekolah dasar. Kata kunci: Monitoring, sikap, perilaku, status kebersihan gigi dan mulut. Korespondensi: Ni Ketut Ratmini, Poltekkes Kemenkes Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi. Jl. P Moyo no 33 Pedungan Denpasar Selatan. Telp: 0361720084
PENDAHULUAN Pendidikan kesehatan gigi adalah usaha terencana dan terarah untuk menciptakan suasana agar seseorang atau kelompok masyarakat mau mengubah perilaku lama yang kurang menguntungkan untuk kesehatan gigi, menjadi lebih menguntungkan untuk kesehatan giginya1. Tehnik yang dianjurkan untuk mencapai
2
tujuan pendidikan kesehatan gigi agar dapat memotivasi sesuai kebutuhan individu adalah, melalui alat bantu pendidikan yang tepat2. Metode ceramah yang diikuti dengan memperagakan cara menyikat gigi (demonstrasi menyikat gigi) efektif digunakan terhadap murid SD untuk menyampaikan informasi tentang pendidikan kesehatan gigi3. Dorongan orang tua dalam membantu anak belajar dapat berupa monitoring secara rutin4. Upaya pendidikan usia sekolah sangat perlu dilakukan, karena anak usia sekolah merupakan kelompok umur yang rawan terhadap masalah kesehatan. Pendidikan kesehatan melalui anak-anak sekolah sangat efektif untuk merubah perilaku dan kebiasaan-kebiasaan tentang kesehatan5. Pentingnya pendidikan kesehatan gigi dan mulut pada usia sekolah, karena anak-anak dengan keadaan gigi dan mulut buruk akan mengganggu belajar dan aktifitas sehari-hari6. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring dengan tanpa monitoring terhadap sikap, perilaku dan status kebersihan gigi dan mulut murid SD. BAHAN DAN METODE Monitoring (pemantauan) adalah pemantauan yang dapat dijelaskan sebagai kesadaran (awareness) tentang apa yang ingin diketahui7. Likert mengatakan, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan seseorang terhadap suatu objek perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable)8. Perilaku merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan9.. Menurut Wilkin dan Cullough, tingkat kebersihan mulut ditentukan oleh jumlah deposit dan pewarnaan gigi (stain)10. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu dengan rancangan pretest-posttest control group design. Subjek penelitian adalah responden kelas IV,V dan VI SDN Sepang Kelod yang berjumlah 125 orang, dibagi dalam kelompok perlakuan I dan II. Kelompok perlakuan I adalah responden kelas IV,V dan VI SDN 1 Sepang Kelod yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring (64 orang). Kelompok perlakuan II adalah responden kelas IV,V dan VI SDN 2 Sepang Kelod yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi tanpa monitoring (61 orang). Variabel pengaruh dalam penelitian ini yaitu, pemberian pendidikan kesehatan gigi dengan metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring, sedangkan variabel terpengaruh yaitu: sikap, perilaku dan status kebersihan gigi dan mulut murid sekolah dasar. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner untuk mengukur sikap dan perilaku murid tentang kebersihan gigi dan mulut. Status kebersihan gigi dan mulut diukur dengan melakukan pemeriksaan kebersihan gigi dan mulut menggunakan indeks PHP-M (Personal Hygiene Performance-Modified)6. Telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner pada 30 orang murid SDN 3 Sepang Kelod Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Singaraja dalam penelitian ini. Hasil uji validitas kuesioner menunjukkan bahwa: Aitem pernyataan sikap yang berjumlah 17 aitem, dinyatakan valid 15 aitem (r antara 0,788– 0,971) dan reliabel (α =0,970). Seluruh aitem pernyataan perilaku (16 aitem) dinyatakan valid (r antara 0,733–0,890) dan reliabel (α =0,976).
3
Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji statistik parametrik: Paired t-test, Independent t-test dan analisis delta. Pengukuran sikap, perilaku dan status kebersihan gigi dan mulut dilakukan sebelum perlakuan (pre-test). Pengukuran setelah perlakuan dilakukan post-test I, selanjutnya setelah tiga bulan perlakuan dilakukan post-test II. Hal ini dilakukan, karena perubahan perilaku dapat diukur setelah tiga sampai enam bulan setelah perlakuan11. Analisis data menggunakan Statistik Program for Social Science (SPSS) versi 16, dengan pengujian hipotesis berdasarkan taraf signifikan p<0,05. Hasil uji normalitas, menunjukkan data penelitian semua berdistribusi normal. HASIL PENELITIAN Analisis perbedaan antar kelompok (Independent t-test), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata sikap dan status kebersihan gigi dan mulut responden antara kelompok I dengan kelompok II pada pre-test (p>0,05). Terdapat perbedaan rerata nilai perilaku responden antara kelompok I dengan kelompok II pada pre-test (p<0,05) (tabel 1). Hasil analisis peningkatan rerata nilai sikap pre-test ke post-test II pada kelompok perlakuan I; 10,66 dan kelompok II; 7,688, terdapat selisih; 2,98, kelompok I lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok II. Secara statistik ada perbedaan yang signifikan peningkatan rerata nilai sikap responden antara kelompok perlakuan I dengan perlakuan II (t=2,992, p<0,05) (tabel 2). Peningkatan rerata nilai perilaku pre-test ke post-test II pada kelompok perlakuan I; 10,73 dan kelompok II; 7,83, terdapat selisih; 2,90, kelompok I lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok II. Secara statistik ada perbedaan yang signifikan peningkatan rerata nilai perilaku antara kelompok perlakuan I dengan perlakuan II (t=3,348, p<0,05) (tabel 2). Peningkatan rerata status kebersihan gigi dan mulut pre- test ke post-test II pada kelompok perlakuan I; 20,57) dan kelompok II; 12,90, terdapat selisih; 7,67, kelompok I lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok II. Secara statistik ada perbedaan yang signifikan peningkatan rerata status kebersihan gigi dan mulut antara kelompok perlakuan I dengan perlakuan II (t= 4,677, p<0,05) (tabel 2). Tabel 1. Analisis Independent t- test Sikap, Perilaku dan Status Kebersihan Gigi dan Mulut Responden Sebelum perlakuan antara kelompok I dengan kelompok II
Variabel Sikap Perilaku Status Kebersihan Gigi & Mulut
Kelompok I II I II I II
Rerata SD 42,18 1,31 44,44 0,51 44,73 1,24 46,98 -0,26 45,04 2,16 47,19 1,68
t df=123
p
Keterangan
2,59
0,11
Tidak Signifikan
2,67
0,09
Signifikan
1,17
0,44
Tidak Signifikan
4
Tabel 2. Analisis Paered simple t-test Sikap, Perilaku dan Status Kebersihan Gigi dan Mulut Responden dari pre-test ke post-test II dalam Kelompok perlakuan I dan II Kelompok Perlakuan I
variabel
Sikap Perilaku Status Kebersihan Gigi dan Mulut
Rerata selisih SD
t df=123
10,66 -1,30
Kelompok Perlakuan II Rerata selisih SD
t df=123
p
-15,77
0,00* 2,65 -0,22
-10,56
0,00*
10,73 -1,98
-18,493
0,00* 7,83 -2,38
-12,158 0,00*
20,57 3,17
17,093
0,00* 12,90 3,29
11,628 0,00*
p
Tabel 3. Rangkuman Hasil Analisis Delta Sikap, Perilaku dan Status Kebersihan Gigi dan Mulut Responden dari Pre-test ke Post-test II Antara Kelompok I dengan Kelompok II Kelompok Perlakuan I dan II
Variabel
Sikap Perilaku Status Kebersihan gigi
t df=123
p
Keterangan
2,992 3,348 4,677
0,003 0,001 0,000
Signifikan Signifikan Signifikan
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis awal karakteristik responden pada kelompok perlakuan I dan II (pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring dan pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi tanpa monitoring), tidak terdapat perbedaan yang signifikan atau sebanding. Distribusi frekuensi, sikap dan status kebersihan gigi dan mulut responden berdasarkan hasil pengukuran awal (pre-test) antara kelompok perlakuan I dengan kelompok II menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan, namun distribusi frekuensi perilaku menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara kelompok I dengan kelompok II. Adanya perbedaan perilaku antara kelompok I dengan kelompok II diduga, karena adanya perbedaan lingkungan/wilayah tempat tinggal, yang mana kelompok I berlokasi di dusun Asah Badung dan kelompok II di dusun Gunung Sari, dengan jarak tempuh berkisar tiga (3) km. Hasil analisis ini sesuai dengan teori Kurt Lewin yang mengatakan, terbentuknya perilaku dapat terjadi
5
karena proses kematangan dan dari proses interaksi dengan lingkungan. Pengaruh yang paling besar terhadap perilaku adalah dari proses interaksi dengan lingkungan1. Laporan hasil monitoring yang dilakukan oleh orang tua responden dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua responden sudah mengisi kartu monitoring sesuai dengan petunjuk untuk memonitoring anaknya dalam menyikat gigi di rumah. Jumlah kartu monitoring yang dibagikan kepada orang tua (64 lembar), telah kembali sesuai jumlah yang dibagikan (64 lembar). Pengembalian kartu monitoring pada minggu berikutnya sudah mulai memperlihatkan ketidakpatuhan, yaitu pengembalian jumlah kartu monitoring tidak sesuai dengan jumlah yang dibagikan (berkurang) dan ada juga yang mengembalikan kartu monitoring dengan mengisi hanya beberapa hari saja. Pengisian tanda (√) yang tidak lengkap pada jumlah baris yang tersedia, membuktikan bahwa orang tua tidak rutin mengisi kartu monitoring sesuai dengan yang diharapkan peneliti. Hal ini diduga, karena beberapa orang tua responden tidak sempat mengisi kartu monitoring karena alasan sibuk atau tidak bisa mengisi kartu monitoring, karena orang tua responden tidak hadir pada waktu diundang untuk pembekalan pengisian kartu monitoring. Hasil analisis ini membuktikan bahwa ada ketidakpatuhan dalam pengisian kartu monitoring yang merupakan kelemahan penelitian dan dapat mempengaruhi efektivitas penelitian ini. Apabila monitoring yang dilakukan oleh orang tua menunjukkan kepatuhan, maka hasil penelitian ini mendukung pendapat Saefulloh yang menyatakan bahwa pelaksanaan monitoring yang dilakukan sejak awal, rutin pada proses dan di akhir pelaksanaan program, akan memberikan peningkatan efisiensi, efiktivitas, produktifitas serta secara akuntabilitas dapat dipertanggung jawabkan12. Menurut Webste,s New Collegiate Dictionary, monitoring cenderung bersifat pengawasan, yaitu melakukan kegiatan pengawasan terhadap jalannya proyek13. Menurut Azwar, untuk dapat melakukan pekerjaan pengawasan dengan baik, maka hal yang harus diperhatikan adalah objek pengawasan14. Pembahasan hasil analisis monitoring orang tua, dijelaskan pada masing-masing variabel berikut: 1. Sikap Hasil analisis perbedaan rerata nilai sikap responden pada pre-test, post-test I dan post-test II antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan rerata nilai sikap responden sebelum perlakuan (pre-test) dan setelah perlakuan (post-test I dan post-test II) antara kelompok perlakuan I dengan perlakuan II (p>0,05) Hasil analisis peningkatan rerata nilai sikap responden dari pre-test ke posttest I menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada kedua kelompok (p<0,05). Analisis peningkatan rerata nilai sikap responden dari post-test I ke posttest II menunjukkan adanya peningkatan rerata nilai sikap yang signifikan pada kedua kelompok (p<0,05) dan analisis peningkatan rerata dari pre-test ke post-test II, menunjukkan adanya peningkatan rerata nilai sikap yang signifikan pada kelompok perlakuan I dan II (p<0,05). Adanya peningkatan rerata nilai sikap pada kedua kelompok perlakuan, disebabkan karena pada kedua kelompok yang telah mendapatkan pendidikan kesehatan gigi dengan metode ceramah dan demonstrasi
6
menunjukkan bahwa sikap dipandang sebagai hasil belajar, bukan hasil perkembangan atau sesuatu yang diturunkan sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Mar,at dalam buku pengantar ilmu perilaku kesehatan dan pendidikan kesehatan gigi yang mengatakan bahwa, pendidikan kesehatan gigi yang telah diterima juga menimbulkan adanya keyakinan murid terhadap pengetahuan kesehatan gigi yang mereka dapatkan, sehingga terdapat peningkatan rerata nilai sikap1. Hasil analisis ini mendukung pendapat Malvitz yang mengatakan, bahwa melalui pendidikan kesehatan gigi akan menimbulkan sikap dan tingkah laku yang positif terhadap pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut15. Hasil analisis delta dari Pre-test ke Post-test II, menunjukkan adanya perbedaan peningkatan rerata nilai sikap yang signifikan antara kelompok I (p<0,05). Rerata peningkatan nilai sikap pada kelompok I (10,66), sedangkan kelompok II (7,688) terdapat selisih (2,98), kelompok I lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok II. Adanya peningkatan rerata nilai sikap yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan I yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring dibandingkan dengan kelompok II yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi tanpa monitoring, disebabkan karena monitoring menyikat gigi yang dilakukan oleh orang tua di rumah menghasilkan reaksi sikap yang lebih positif terhadap rangsangan yang diterimanya, sehingga murid yang mendapatkan monitoring menyikat gigi oleh orang tua terlihat lebih terkesan dan akan menetap serta membentuk pengertian dengan baik, sehingga dapat mempengaruhi sikap terhadap status kebersihan gigi dan mulut. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Guilbert yang mengatakan bahwa sikap merupakan hasil dari proses sosialisasi, yaitu bereaksi sesuai dengan rangsangan yang berupa objek1. Hasil analisis ini juga mendukung teori tentang sikap dalam buku psikologi pendidikan yang mengatakan, sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu16. Disimpulkan bahwa, pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring lebih baik dibandingkan dengan tanpa monitoring terhadap sikap tentang pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut murid SD, dapat diterima. 2. Perilaku Hasil analisis perbedaan rerata nilai perilaku responden pada pre-test, posttest I dan post-test II antara kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II didapatkan: Pada waktu pre-test terdapat perbedaan yang signifikan perilaku responden antara kelompok perlakuan I dengan perlakuan II (p<0,05). Analisis perbedaan rerata nilai perilaku setelah perlakuan (post -test I) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok I dengan kelompok II (p<0,05). Analisis perbedaan rerata nilai perilaku setelah perlakuan (post-test II) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok I dengan kelompok II (p>0,05). Hasil analisis peningkatan rerata nilai perilaku responden dari pre-test ke post-test I, dari post-test I ke post-test II, dari pre-test ke post-test II, menunjukkan adanya peningkatan rerata nilai perilaku yang signifikan pada kedua kelompok
7
perlakuan (p>0,05). Adanya peningkatan rerata nilai perilaku yang signifikan pada kedua kelompok perlakuan, disebabkan karena responden setelah mendapat pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi, menjadi sadar akan adanya informasi baru tentang menyikat gigi yang diterimanya, sehingga mereka mulai tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang cara menyikat gigi, lalu mulai menilai apakah akan dan mulai mencoba melakukan cara menyikat gigi atau tidak dan selanjutnya mulai mencoba menyikat gigi sesuai yang diajarkan pada saat menerima pendidikan kesehatan gigi di kelas. Hasil analisis ini mendukung teori Roger, yaitu seseorang akan mengikuti atau menganut perilaku baru melalui tahapan: sadar akan adanya informasi baru, tertarik untuk mengetahui lebih lanjut lalu menilai dan mencoba melakukan1. Hasil analisis ini juga mendukung pernyataan Depkes RI, bahwa pendidikan kesehatan gigi merupakan upaya-upaya yang dilakukan untuk merubah perilaku individu, kelompok atau masyarakat, sehingga mempunyai kemampuan dan kebiasaan berperilaku hidup sehat terhadap kesehatan gigi dan mulut17. Hasil penelitian ini mendukung pula pendapat Karefa yang mengatakan pendidikan kesehatan gigi yang disampaikan kepada seseorang atau masyarakat mengenai kesehatan gigi diharapkan mampu mengubah perilaku kesehatan gigi individu atau masyarakat1. Hasil analisis delta menunjukkan adanya perbedaan peningkatan rerata nilai perilaku dari pre-test ke post-test II antara kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II (p<0,05). Adanya peningkatan rerata nilai perilaku yang lebih tinggi pada kelompok I yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring dibandingkan dengan kelompok II yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi tanpa monitoring, disebabkan karena monitoring menyikat gigi yang dilakukan oleh orang tua di rumah merupakan sumber penguat belajar (penguat ekstrinsik), sehingga memperoleh peningkatan rerata nilai perilaku yang lebih baik. Hasil analisis ini mendukung pendapat Atmodiwiryo, yang mengatakan bahwa pendidikan kesehatan gigi oleh orang tua dapat meningkatkan atau memperkuat suatu perubahan perilaku kesehatan gigi yang dianggap belum memadai1. Hasil analisis ini menguatkan hasil penelitian tentang monitoring sepuluh menit yang mendapatkan, bahwa hasil monitoring sepuluh menit mencuci tangan pakai sabun di tingkat rumah tangga, mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat17. Hasil analisis ini mendukung pula Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) yang mendapatkan telah terjadi perubahan perilaku yang lebih sehat dan lebih baik dalam merawat dan memberi makan anak dengan pelaksanaan monitoring18 . Disimpulkan bahwa, pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring lebih baik dibandingkan dengan tanpa monitoring terhadap perilaku tentang pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut murid SD, dapat diterima. 3. Status Kebersihan Gigi dan Mulut Hasil analisis perbedaan rerata status kebersihan gigi dan mulut, menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan rerata status kebersihan gigi dan mulut responden sebelum perlakuan (pre-test) antara kelompok perlakuan I dengan
8
perlakuan II (p>0,05). Setelah diberikan perlakuan (post test I dan pada post-test II) terdapat perbedaan yang signifikan rerata status kebersihan gigi dan mulut responden antara kelompok I dengan kelompok II (p<0,05). Hasil analisis peningkatan rerata status kebersihan gigi dan mulut pada masing-masing kelompok perlakuan, menunjukkan adanya peningkatan rerata yang signifikan dari pre-test ke post-test I, dari post-test I ke post-test II, dan dari pre-test ke post test II pada kedua kelompok perlakuan (p<0,05). Adanya peningkatan status kebersihan gigi dan mulut yang signifikan pada kedua kelompok, disebabkan karena responden setelah mendapat mendapat pendidikan kesehatan gigi mulai termotivasi untuk memperbaiki cara pemeliharaan kesehatan gigi melalui pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi menyikat gigi serta dilanjutkan dengan menyikat gigi bersama. Menyikat gigi bersama yang dilakukan di sekolah dapat menghasilkan perubahan yang bermakna. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Howard yang mengatakan, latihan khusus mengenai cara membersihkan gigi yang benar akan menghasilkan perubahan yang bermakna pada status kebersihan gigi dan mulut individu atau masyarakat1. Hasil analisis delta dari pre-test ke post-test II pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan adanya peningkatan rerata status kebersihan gigi yang signifikan. Hasil analisis ini membuktikan bahwa pada kelompok perlakuan I yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring memberikan peningkatan status kebersihan gigi dan mulut yang lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan II yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi tanpa monitoring. Adanya peningkatan rerata status kebersihan gigi dan mulut yang lebih tinggi antara kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II, disebabkan karena pada kelompok perlakuan I yang mendapatkan monitoring oleh orang tua di rumah, mereka dapat menerapkan pelaksanaan menyikat gigi secara teratur sesuai dengan waktu yang dianjurkan, yaitu pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur, sehingga menjadi kebiasaan. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Feshbein dan Ajzen, tentang kaitan antara sikap dan perilaku yaitu, apabila pola sikap positif telah terbentuk, maka timbul niat untuk melaksanakan suatu hal tersebut, namun demikian untuk sampai pada pelaksanaannya sangat tergantung pada beberapa hal seperti; tersedianya sarana, kemudahan-kemudahan lain, serta pandangan orang lain di sekitarnya (tokoh masyarakat, ayah, teman, dan lain-lain)19. Disimpulkan bahwa, hipotesis yang menyatakan pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring lebih baik dibandingkan dengan tanpa monitoring terhadap status kebersihan gigi dan mulut murid SD dapat diterima. SIMPULAN 1. Sikap tentang pemeliharaan kesehatan gigi murid SD yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring lebih baik dibandingkan dengan tanpa monitoring.
9
2. Perilaku tentang pemeliharaan kesehatan gigi murid SD yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring lebih baik dibandingkan dengan tanpa monitoring. 3. Status kebersihan gigi dan mulut murid SD yang diberi pendidikan kesehatan gigi metode ceramah dan demonstrasi disertai monitoring lebih baik dibandingkan dengan tanpa monitoring. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan, dapat disarankan sebagai berikut ini: bagi sekolah dasar, agar mengikutsertakan orang tua/wali murid melalui kegiatan monitoring menyikat gigi di rumah secara teratur, agar dapat meningkatkan status kebersihan gigi dan mulut murid SD yang optimal. Kepada guru SD disarankan agar meningkatkan sikap, perilaku terhadap pemeliharaan kesehatan gigi untuk mencapai status kebersihan gigi dan mulut yang optimal pada murid SD. Bagi tenaga Puskesmas, supaya memonitoring kegiatan UKGS dan pelatihan dokter kecil ke lapangan, agar kegiatan berjalan sesuai dengan tujuan, meningkatkan status kebersihan gigi dan mulut murid SD, meningkatkan pelayanan kesehatan gigi melalui kegiatan UKGS dan pelatihan dokter kecil, dan bagi Dinas Kesehatan, agar memberikan dukungan dana untuk kegiatan UKGS dan pelatihan dokter kecil, agar kegiatan dapat berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Budiharto. Pengantar ilmu perilaku kesehatan dan pendidikan kesehatan gigi. Jakarta: EGC; 2009.H. 9, 14, 33-38.
2.
Nurdin. Efektivitas pendidikan kesehatan gigi antara metode ceramah disertai diskusi dengan metode ceramah disertai demonstrasi terhadap pengetahuan, sikap, dan periaku murid sekolah dasar dalam meningkatkan kebersihan gigi dan mulut. (Tesis), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
3.
Efendi N. Dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat. Edisi 2. Jakarta: EGC; 1998. h. 37-390.
4.
Susilo MJ. Gaya belajar menjadikan makin pintar. Yogyakarta: Pinus.
5.
Depdiknas. Pedoman pelatihan pembina dan pelaksana UKS di SD dan MI. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani; 2006.
6.
Sriyono NW. Pengantar Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan. Medika. 2007.
7.
Anonim. Monitoring. Available from: http://id.wikipedia.org. Accessed 23 Oktober 2009.
8.
Azwar S. Sikap manusia teori dan pengukurannya. Edisi kedua. Cetakan XII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2008. h.18-24.
9.
Sarwono S. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2007. h. 26-30.
10
10. Priyono B. Pengaruh tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi orang tua terhadap sikap dan kebersihan mulut anak-anak yang pernah menerima program UKGS. Majalah Ilmiah Dies Natalis 1995. Edisi VII. Yogyakarta: FKG-UGM. 11. Sardiman AM. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2001. h. 43. 12. Saefulloh A. Monitoring dan evaluasi PPK IPM kabupaten Sukabumi. 2007. Available from: http://www.ppkipm.sukabumi.net.google. Accessed Desember 12, 2009. 13. Soekartawi. Monitoring dan evaluasi proyek pendidikan. Jakarta: Pustaka Jaya; 2009. 14. Azwar A. Pengantar administrasi kesehatan. Edisi III. Jakarta: Binarupa Aksara; 1996. h. 135-138. 15. Syah M. Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung: Remaja Rosdakarya; 2003. h. 34-35. 16. Depkes RI. Penyelenggaraan Usaha Kesehatan Gigi Sekolah. Jakarta.1995. 17. Lestari A. Mencatat kemajuan program dengan ”monitoring sepuluh menit”. 2008. Available from: http//www, Published. Accessed Juni 12, 2009. 18. Puslitbang Gizi dan Makanan. 2009. http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id, Accessed Maret 11, 2010. 19. Ruminem. Hubungan pengetahuan dan sikap ibu tentang autisme dan partisipasi ibu dalam penanganan anak autis di rumah. (Tesis), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2005.
Analisis fotometrik frontal wajah mahasiswi suku bali di FKG UNMAS Denpasar Wiwekowati, Surwandi Walianto, Pande Md. Maha Prasthanika Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK Sudah banyak dilakukan penelitian mengenai fotometri wajah pada berbagai suku di Indonesia maupun berbagai ras di luar negeri. Namun, belum ada penelitian untuk wajah suku Bali. Pemeriksaan bentuk wajah terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan dari arah frontal dan lateral. Telah dilakukan penelitian fotometrik frontal pada 30 sampel mahasiswi FKG UNMAS usia 18 – 24 tahun. Telah dilakukan penelitian pengukuran wajah pandangan frontal, baik secara vertikal dan horizontal sebanyak 12 parameter. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui ciri – ciri fisik wajah wanita suku Bali, interval nilai normal, rata – rata jaringan lunak wajah; serta meneliti menarik atau tidaknya wajah menurut formula neoclassical canons. Metode penelitian adalah deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa ciri – ciri fisik wajah wanita suku Bali adalah panjang hidung lebih kecil dari lebar wajah bawah; lebar interokular lebih kecil dari lebar hidung, lebih besar daripada lebar mata kanan, dan lebar mata kiri; lebar mulut lebih kecil dari 1,5 kali lebar hidung, dan lebar wajah atas lebih kecil dari 4 kali lebar hidung. Rata – rata jaringan lunak wajah wanita suku Bali adalah panjang hidung 4,004 cm, panjang bibir bawah adalah 0,964 cm, panjang bibir – dagu bawah adalah 2,676 cm, panjang vermilion atas adalah 0,807 cm, panjang vermilion bawah adalah 0,982 cm, lebar wajah atas adalah 12,380 cm, lebar wajah bawah adalah 10,488 cm, lebar mata kanan adalah 2,714 cm, lebar interokular adalah 2,980 cm, lebar mata kiri adalah 2,843 cm, lebar hidung adalah 3,434 cm, lebar mulut adalah 4,518 cm. Dari hasil penelitian, ternyata wajah wanita suku Bali yang menarik tidak sesuai dengan proporsi wajah yang menarik menurut neoclassical canons. Kata kunci: Fotometrik frontal, ciri fisik wajah wanita suku Bali, neoclassical canons. Korespondensi: Drg. Wiwekowati M.Kes, Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11 A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN Pada penampilan fisik, wajah adalah pokok persoalan penting dalam kehidupan sosial1. Penampilan wajah adalah dasar untuk komunikasi dan interaksi dengan lingkungan.2 Keberhasilan suatu perawatan ortodonsi sering berhubungan dengan penampilan wajah pasien yang meliputi profil jaringan lunak.3 Wajah dengan estetik baik atau menyenangkan adalah wajah yang mempunyai keseimbangan dan keserasian bentuk, hubungan, serta proporsi komponen wajah yang baik. Penelitian tentang profil wajah jaringan lunak kebanyakan mengukur tentang perubahan profil serta variasi komponen profil yaitu hidung, bibir, dan dagu merupakan faktor penting dalam menentukan keindahan muka dan relasi antara hidung, bibir dan dagu tersebut sangat berpengaruh terhadap profil wajah. Profil yang seimbang adalah bila bibir atas, bibir bawah, dan dagu teletak pada satu garis vertikal yang melalui subnasal.4 Menurut paradigma Angle perawatan ortodonsia bertujuan menghasilkan oklusi sempurna dari semua gigi dan kecantikan wajah. Konsep ini berkembang bukan saja pada dentofasial sebagai penentu tujuan perawatan dengan melakukan pemeriksaan sefalometri tetapi juga melakukan pemeriksaan klinis pasien dan penilaian pada jaringan lunak untuk
menentukan adanya perubahan sehingga memungkinkan untuk akurasi yang lebih dalam perawatan.5 Analisis jaringan lunak wajah dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu dengan metode langsung pada jaringan lunak, sefalometri radiologik, dan fotometri.4 Fotometri digunakan dalam ortodontik yang menunjukan wajah sebelum dan setelah perawatan. Hasil perubahan wajah dari perawatan dapat dilihat secara subjektif dengan membandingkan foto sebelum perawatan, dan setelah perawatan.6 Pemeriksaan bentuk wajah terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan pandangan frontal, dan pandangan lateral.7 Pada pandangan frontal sebanyak 12 parameter pengukuran wajah, baik secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal diukur panjang hidung, panjang bibir atas, panjang bibir-dagu bawah, panjang vermilion atas dan panjang vermilion bawah. Secara horizontal diukur lebar wajah atas, lebar wajah bawah, lebar mata kanan, lebar interokular, lebar mata kiri, lebar hidung, dan lebar mulut.6 Pada tahun 2003, Bass, melakukan penelitian tentang pengukuran sudut profil, dan analisis estetik pada profil wajah. Pada tahun 2005, Mejia-Maidi dkk melakukan penelitian tentang preferensi profil wajah antara orang Meksiko Amerika, dan orang yang berbangsa Kaukasoid. Pada tahun 2007, Stofza melakukan penelitian tentang karakteristik jaringan lunak wajah pada wanita Italia yang menarik, dan perbandingannya dengan wanita normal, dan juga di tahun 2008 dilakukan kembali penelitian tentang karakteristik jaringan lunak wajah pada remaja laki - laki dan perempuan yang menarik dan normal di Italia. Di Indonesia, pada tahun 1995, Lestari melakukan penelitian tentang posisi bibir yang baik pada wanita dari sudut pandang orang Indonesia suku Jawa terhadap garis “E” chaconas melalui tinjauan fotometri. Pada tahun 2008, Odias melakukan penelitian tentang analisis wajah perempuan suku Batak. Pada tahun 2009, Wiwekowati melakukan penelitian tentang fenomena wajah cantik pada wanita Jepang, dan wanita Jawa melalui studi komparasi menggunakan fenomena kaidah .8 Semua penelitian tersebut membuktikan bahwa analisis jaringan lunak wajah dilakukan untuk memperoleh nilai normal yang digunakan sebagai acuan sehingga tidak lagi menggunakan standard ras lain sebagai referensi seperti ras Kaukasoid karena akan menyebabkan ketidakproporsionalan wajah. Nilai normal yang digunakan sebagai standard diharapkan dapat mempertahankan bentuk wajah tanpa merusak ciri dari pasien.9 Nilai normal tersebut dapat dikaitkan dengan formula neoclassical canons untuk melihat proporsi wajah yang menarik. Noclassical canons adalah sembilan formula yang digunakan sebagai pemandu untuk menggambarkan wajah yang menarik. Namun, hanya terdapat enam formula canons yang bisa diuji dari pandangan frontal untuk menyelidiki adanya hubungan ketertarikan dari wajah.10 Indonesia merupakan bangsa yang memiliki banyak suku. Bangsa Indonesia pada awalnya berasal dari ras Mongoloid dan Australomelansid yang membentuk sub-ras Proto – Melayu dan selanjutnya Proto – Melayu dengan mongoloid membentuk Deutro – Melayu.6 Namun di Indonesia, belum banyak dilakukan penelitian mengenai jaringan lunak wajah baik itu wanita maupun pria, sehingga masih terdapat kesulitan menentukan nilai normal dalam suatu perawatan, baik itu perawatan gigi khususnya bidang ortodonsia maupun perawatan lainya. Untuk itu diperlukan adanya suatu nilai rata – rata dari jaringan lunak wajah suku Bali khususnya wanita Bali. Penelitian ini mengambil sampel wanita suku Bali karena penulis berada di lingkungan suku Bali, dan untuk mempermudah dalam pengambilan sampel. Penelitian ini bertujuan mengetahui ciri - ciri fisik wajah wanita suku Bali, memperoleh interval nilai normal, nilai rata – rata dan standard deviasi wajah wanita suku Bali pada mahasiswa FKG UNMAS Denpasar yang berusia 18 – 24 tahun, mengetahui menarik atau tidaknya wajah wanita suku Bali menurut formula Neoclassical canons. METODE
Penelitian ini menggunakan metode diskriptif. Penelitian ini memberikan gambaran terhadap nilai rata – rata proporsi jaringan lunak wajah wanita suku Bali. Variabel dari penelitian ini adalah variabel pengaruh dari penelitian ini adalah 12 parameter menurut Bishara, Jorgensen, Jakobsen (1995). Variabel terpengaruh dari penelitian ini adalah proporsi jaringan lunak wajah wanita suku Bali. Dua belas parameter menurut Bishara, Jorgensen, dan Jakobsen(1995) adalah parameter pengukuran wajah dari pandangan frontal dengan menggunakan diukur secara vertikal dan horizontal. Pengukuran 12 parameter tersebut secara vertikal antara lain, panjang hidung (NL) adalah panjang exocanthion – subnasal, panjang bibir atas (ULL) adalah panjang subnasal – stomiom, panjang bibir – dagu bawah (LL – CL) adalah panjang stomiom – menton, panjang vermilion atas (UVL) adalah panjang labrale superior – stomiom, panjang vermilion bawah (LVL) adalah panjang stomiom – labrale inferius. Secara horizontal antara lain lebar wajah atas (UFW) adalah lebar zygion kanan – zygion kiri, lebar wajah bawah (LFW) adalah lebar gonion kanan – gonion kiri, lebar mata kanan (REW) adalah lebar exocanthion kanan – endocanthion kanan, lebar interoccular (IL) adalah lebar endocanthion kanan – endocanthion kiri, lebar mata kiri (LEW) adalah lebar endocanthion kiri – exocanthion kiri, lebar hidung (NW) adalah lebar alare kanan – alare kiri, dan lebar mulut (MW) adalah lebar cheilion kanan – cheilion kiri. Proporsi jaringan lunak wajah adalah nilai rata – rata dari pengambilan foto wajah yang dilakukan dari pandangan frontal dengan menggunakan 12 parameter Bishara, Jorgensen, dan Jakobsen (1995) dengan memilih 30 mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi UNMAS berusia 18 – 24 tahun, mempunyai wajah yang proposional, oklusi gigi yang normal yaitu hubungan gigi molar pertama Klas I Angle dimana tonjol mesiobukal gigi molar pertama rahang atas berada di groove bukal gigi molar pertama rahang bawah, tidak pernah melakukan perawatan ortodontik, gigi permanen rahang atas, dan bawah lengkap dengan atau tanpa molar ketiga dan gigi molar pertama utuh, susunan gigi teratur atau derajat ketidakteraturan ringan, tidak terdapat diastema, overjet, dan overbite normal dengan jarak 2 – 4 mm, tidak memiliki kebiasaan buruk, dan dua garis keturunan asli suku Bali, kakek, nenek, ibu dan ayah asli suku Bali. Pengambilan foto secara frontal, dimana fokus untuk terletak pada alis mata. Posisi pasien saat dilakukan pemotretan adalah duduk tegak dimana garis median pasien mengikuti garis yang telah ditentukan. Garis yang telah ditentukan adalah penggaris dengan panjang 200 cm ditempelkan pada dinding. Jarak antara subyek dan kamera adalah 1 meter. Kamera yang digunakan adalah DSLR Nikon D5000 dengan lensa 55 - 200 mm. Neoclassical canons adalah pengujian hasil pengukuran wajah dengan menggunakan enam formula untuk membuktikan menarik atau tidaknya wajah wanita suku Bali. Enam formula tersebut adalah tinggi hidung dengan tinggi wajah bawah, nilai jarak interokular sama dengan nilai lebar hidung, sama dengan nilai lebar mata kanan, dan nilai lebar mata kiri, nilai lebar mulut harus sama dengan nilai 1,5 kali lebar hidung, dan nilai lebar wajah sama dengan nilai 4 kali lebar hidung.
Gambar 1. Pengukuran untuk foto wajah pandangan frontal – dimensi vertikal (dikutip dari Bishara, Jorgensen, dan Jakobsen 1995).
Gambar 2.
Pengukuran untuk foto wajah pandangan frontal – dimensi horizontal (dikutip dari Bishara, Jorgensen, dan Jakobsen 1995).
Kriteria sampel penelitian ini antara lain, wanita keturunan Suku Bali murni 2 keturunan, mahasiswi FKG UNMAS berusia 18 – 24 tahun dimana masa pertumbuhan sudah selesai, mempunyai oklusi yang normal, hubungan gigi Molar pertama Klas I Angle, yaitu tonjol mesiobukal gigi molar pertama rahang atas berada di groove bukal gigi molar pertama rahang bawah, penutupan gigi insisivus rahang atas dengan gigi insisivus rahang bawah pada saat oklusi dengan overjet normal 2 – 4 mm dan overbite normal 2 – 4 mm, gigi permanen tumbuh sempurna, lengkap, teratur dari molar dua kiri sampai molar dua kanan, dengan atau tanpa gigi molar ketiga atau derajat ketidakteraturan normal, tidak terdapat diastema, pada saat rileks, kedua bibir berkontak ringan, tidak pernah menjalani perawatan ortodonsia, bersedia mengikuti penelitian. Subyek penelitian ini adalah 30 orang mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar Suku Bali murni 2 keturunan yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive random sampling yaitu dimana peneliti mencari wanita Suku Bali murni 2 keturunan yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diambil secara random sebagai subjek penelitian. Dilakukan pemotretan pada sisi frontal kemudian dilakukan pengukuran wajah sesuai dengan 12 parameter Bishara, Jorgensen dan Jakobsen (1995). Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kaca mulut, kamera DSLR (Digital single lens reflex) merk Nikon D5000, tripod, lensa 55 - 200 mm, lampu blitz, alat tulis, penggaris dan busur derajat, kaliper / jangka sorong, slotip, kertas cetak foto, Penggaris 200 cm, penggaris segitiga, kertas kalkir, pensil HB, lembar persetujuan menjadi subjek penelitian (informed consent), lembar penilaian pengukuran wajah. Jalannya penelitian 30 sampel mahasisiwi FKG UNMAS yang memenuhi kreteria inklusi dikumpulkan. a. Mengisi form informed consent.
b. Pemeriksaan secara intraoral. c. Foto model dari pandangan frontal. Posisi model duduk tegak dengan mengikuti garis median yang ditentukan. Garis bidang Frankfort wajah harus tegak lurus dengan garis vertikal yang stabil. Seluruh wajah harus terlihat dengan jelas, telinga harus terlihat. Pengambilan foto menggunakan kamera DSLR Nikon D5000, lensa 55-200 mm, dan tripod untuk menghindari adanya ketidakstabilan pengambilan gambar. Jarak kamera dan subyek adalah 1 meter. d. Foto dicetak dengan ukuran foto 10 R. Dengan skala : 1 : 1, jadi setiap 1 cm pada foto, jarak sebenarnya adalah 1 cm . e. Foto ditresing dengan menggunakan kertas kalkir dan pensil HB. f. Dilakukan pengukuran sesuai parameter Bishara, Jorgensen, dan Jakobsen. g. Data diolah dan dihitung nilai maksismum, minimum, mean dan standard deviasi. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian seperti dicantumkan pada tabel 1 dibawah ini, didapat nilai interval dari parameter yang diukur. Nilai interval normal jaringan lunak wajah wanita suku Bali pada mahasiswa FKG UNMAS Denpasar usia 18 – 24 tahun dengan parameter Bishara, Jorgensen, dan Jakobsen (1995) adalah nilai NL 4,004 ± 0,624 cm, ULL 0,964 ± 0,2642 cm, LL-CL 2,676 ± 0,732 cm, UVL 0,807 ± 0,316 cm, LVL 0,982 ± 0,250 cm, UFW 12,380 ± 1,310 cm, LFW 10,488 ± 1,586 cm, REW 2,714 ± 0,420 cm, IL 2,980 ± 0,570 cm, LEW 2,843 ± 0,534 cm, NW 3,434 ± 0,420 cm, MW 4,518 ± 0,604 cm. Tabel 1. Hasil pengukuran 30 sampel parameter jaringan lunak wajah mahasiswi suku Bali di FKG UNMAS dari pandangan frontal tahun 2011 Parameter Minimum Maksimum Standard Deviasi No. Mean (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) 1
NL
3,304
4,818
4,004
0,312
2
ULL
0,616
1,300
0,964
0,132
3
LL-CL
2,206
3,708
2,676
0,366
4
UVL
0,504
1,110
0,807
0,158
5
LVL
0,800
1,206
0,982
0,125
6
UFW
10,714
13,406
12,380
0,655
7
LFW
8,910
12,504
10,488
0,793
8
REW
2,316
3,114
2,714
0,210
9
IL
2,204
3,410
2,980
0,285
10
LEW
2,410
3,902
2,843
0,267
11
NW
2,910
3,914
3,434
0,205
12
MW
4,010
5,006
4,518
0,302
DISKUSI
Dari hasil penelitian didapatkan rata – rata dari dua belas parameter wajah yang diukur. Dari tabel 1, standard deviasi lebar wajah bawah (LFW) bernilai paling besar dari 12 parameter pengukuran wajah yang digunakan yaitu 0,793. Hal ini diakibatkan karena adanya pengaruh beberapa faktor akan mempengaruhi ciri wajah yaitu pola skeletal, pola dental, ketebalan jaringan lunak, asal etnik, dan kultur, serta perbedaan jenis kelamin, dan usia.9 Menurut formula neoclassical canons no. 2,5,6,7, dan 8, perhitungan wajah wanita suku Bali secara normalnya diskripsi untuk wajah yang menarik diharapkan adalah seperti tabel 2. Dari tabel 2 sesuai dengan neoclassical canons, wanita suku Bali yang menarik seharusnya memiliki nilai yang sama antara tinggi hidung dengan tinggi wajah bawah, nilai jarak interokular sama dengan nilai lebar hidung, sama dengan nilai lebar mata kanan, dan nilai lebar mata kiri, nilai lebar mulut harus sama dengan nilai 1,5 kali lebar hidung, dan nilai lebar wajah atas sama dengan nilai 4 kali lebar hidung.10 Dalam penelitian yang dilakukan pada 30 sampel mahasiswi FKG UNMAS Denpasar dua garis keturunan murni suku Bali, dan sesuai dengan kriteria yang ditentukan, ditemukan hasil seperti tabel 3. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa wajah wanita Suku Bali tidak sesuai dengan proporsi wajah neoclassical canons karena tidak satupun hasil penelitian sampel yang memiliki persamaan nilai dari lima formula yang dihitung. Dalam penelitian ini, dihasilkan formula baru untuk wajah wanita suku Bali yang menarik. Dengan formula ini, maka wajah wanita suku Bali yang menarik didapatkan sesuai dengan tabel 4. Dalam penelitian ini, 30 sampel yang diambil adalah wajah wanita suku Bali yang menarik. Oleh sebab itu, formula untuk wajah wanita suku Bali yang menarik adalah tinggi wajah bawah harus sama dengan 1,355 kali tinggi hidung. Lebar hidung 1,152 kali lebar interokular. Lebar mata kanan 0,911 kali lebar interokular, dan lebar mata kiri 0,954 kali lebar interokular. Lebar mulut sama dengan 1,315 kali lebar hidung. Lebar wajah atas sama dengan 3,605 kali lebar hidung. Persentase perbandingan formula neoclassical canons wajah wanita suku Bali dapat dilihat pada tabel 5. Dari tabel 5 di dapat bahwa pada wanita suku Bali tedapat 100 % dari sampel panjang hidung (NL) lebih kecil dari tinggi wajah bawah (LFH) begitu pula dengan jarak interokular (IL) lebih kecil dari lebar hidung (NW). Terdapat 20% sampel yang memiliki nilai jarak interokular (IL) lebih kecil daripada lebar mata kanan (REW), dan 80% jarak interokular (IL) lebih besar daripada lebar mata kanan (REW). Terdapat 26,67% sampel yang jarak interokularnya (IL) lebih kecil daripada lebar mata kiri (LEW), dan 73,33% yang jarak interokularnya (IL) lebih besar daripada lebar mata kiri (LEW). Terdapat 100% sampel yang memiliki lebar mulut (MW) lebih kecil dari 1,5 kali lebar hidung (NW), dan lebar wajah atas (UFW) lebih kecil dari 4 kali lebar hidung (NW). Wajah wanita suku Bali dibandingkan dengan wajah wanita suku Batak, Jawa, Turki, Korea, Afrika, dan Kaukasian, sesuai dengan parameter Bishara, Jorgensen, dan Jacobsen (1995) hanya dapat membandingkan tinggi wajah bawah (LFH). Hasil perbandingan suku Bali, dan suku lainnya dapat dilihat pada tabel 6. Dari tabel 6, menurut neoclassical canons, wajah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu wajah bagian atas (UFH), wajah bagian tengah (MFH), dan wajah bagian bawah (LFH). Tiga tinggi wajah horizontal tersebut seharusnya memiliki nilai sama besar yaitu 33.33%. Dari perbandingan wajah wanita suku Bali dan suku lainnya dapat dilihat bahwa suku Batak, Jawa, Korea, Cina lebih mendekati presentase wajah yang menarik menurut neoclassical canons.11 Dapat dibandingkan pula jarak interokular (IL), lebar hidung (NL) dan panjang bibir atas (ULL) antara wanita suku Bali, dan suku lainnya. Perbandingan antar suku dapat dilihat pada tabel 7. Dari tabel 7, dapat dilihat bahwa jarak interokular (IL) wanita suku Bali bukan merupakan suku yang memiliki jarak terpendek, suku Bugis merupakan suku yang memiliki
jarak IL terpendek dalam penelitian Odias (2008). Suku Bali merupakan suku ketiga yang memiliki jarak IL paling pendek. Jarak IL suku Bali lebih mendekati Turki. Lebar hidung (NL) suku Bali, Batak, Thailand, Vietnam, dan Jawa memiliki nilai yang mendekati satu sama lain. Suku Bali paling mendekati Vietnam yaitu dimana NL suku Bali 4,004 cm dan Vietnam 4,00 cm. Dan suku Batak merupakan suku yang lebar hidungnya paling besar. Panjang bibir atas (ULL) wanita suku Bali (0,964 cm) lebih panjang daripada wanita suku Batak (0,77829,) dan memiliki nilai yang mendekati dengan nilai Kaukasia (0,87 cm). Suku Jawa memiliki ULL paling panjang (1,44 cm) (Odias 2008). Dalam perbandingan tersebut dilihat menggunakan formula neoclassical cannon, menurut Odias (2008) hanya terdapat 1% jarak interokular sama dengan lebar hidung pada suku Batak. Sedangkan wanita suku Bali 100% memiliki jarak interokular yang lebih kecil dibandingkan dengan lebar hidung. Tabel 2. Diskripsi normal menurut neoclassical canons untuk proporsi wajah wanita suku Bali yang menarik Nose length (cm) Lower face height (cm) Formula No. 2 4,004 4,004 Formula No. 5
Formula No. 6
Formula No. 7 Formula No. 8
Interocular distance (cm)
Nose width (cm)
2,980
2,980
2,980 Right eye fissure width (cm) 2,980
Mouth width (cm)
1,5 x Nose width (cm)
4,518
4,518
Face width (cm)
4x Nose width (cm)
12,380
12,380
Interocular distance (cm)
Left eye fissure width (cm) 2,980
Tabel 3. Diskripsi neoclassical canons wanita suku Bali Nose length (cm) Lower face height (cm) Formula No. 2 4,004 5,429 Formula No. 5
Formula No. 6
Formula No. 7 Formula No. 8
Interocular distance (cm)
Nose width (cm)
2,980
2,980
3,434 Right eye fissure width (cm) 2,714
Mouth width (cm)
1,5 x Nose width (cm)
4,518
5,150
Face width (cm)
4x Nose width (cm)
12,380
18,074
Interocular distance (cm)
Tabel 4. Diskripsi wajah wanita suku Bali yang menarik Lower face height (cm) 1.355 x Nose length (cm)
Left eye fissure width (cm) 2,843
5.429
5.425
Nose width (cm)
1.152 x Interocular distance (cm)
3.434
3,433
Right eye fissure width (cm)
0.911 x Interocular distance (cm)
2.714
2.714
Left eye fissure width (cm)
0.954 x Interocular distance (cm)
2.843
2.843
Mouth width (cm)
1.315 x Nose width (cm)
4.518
4.516
Face width (cm)
3.605 x Nose width (cm)
12.380
12.376
Tabel 5. Aplikasi neoclassical canons pada wanita suku Bali Canons % dari wanita suku Bali NL = LFH 0 No.2
No. 5
No. 6
No. 7 No. 8
NL < LFH
100
NL > LFH
0
IL = NW IL < NW IL > NW IL = REW IL < REW IL > REW IL = LEW IL < LEW IL > LEW MW = 1,5 x NW MW < 1,5 x NW MW > 1,5 x NW UFW = 4 x NW UFW < 4 x NW UFW > 4 x NW
0 100 0 0 20 80 0 26,67 73,33 0 100 0 0 100 0
Tabel 6. Perbandingan wajah wanita suku Bali dan wanita suku lainnya Suku LFH (cm) LFH (%) Bali 5,429 29,57 Batak 6,4209 34,97 Turki
6,26
38,52
Korea
6,79
34,71
Afrika
6,20
36,27
Jawa
6,939
34,83
Kaukasian
6,31
35,70
Cina
-
34,3
Neoclassical Canons
-
33,33
Tabel 7. Perbandingan jarak interokular, lebar hidung, dan panjang bibir atas antara wanita suku Bali dan suku lainnya Suku IL (cm) NL (cm) ULL (cm)
Bali Batak Cina Bugis Makassar Mandar Toraja Cina Selatan Thailand Vietnam Korea Afrika Turki Jawa Kaukasian
2,980 3,5171 3,71 2,4040 2,4790 1,8861 2,0194 3,4 2,66 3,67 3,69 3,14 3,00 3,608 3,18
4,004 4,1614 3,2 3,2175 3,2184 3,0417 3,1667 3,8 4,05 4,00 4,5 3,80 3,23 4,041 3,14
0,964 0,77829 1,44 0,87
SIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ciri – ciri fisik wajah wanita suku Bali adalah panjang hidung (NL) lebih kecil dari tinggi wajah bawah (LFH). Jarak interokular (IL) lebih kecil dari lebar hidung (NW), lebih besar daripada lebar mata kanan (REW), dan lebar mata kiri (LEW). Lebar mulut (MW) lebih kecil dari 1,5 kali lebar hidung (NW), dan lebar wajah atas (UFW) lebih kecil dari 4 kali lebar hidung (NW). Rata – rata jaringan lunak wajah wanita suku Bali pada 30 orang mahasiswi FKG UNMAS Denpasar usia 18 – 24 tahun adalah panjang hidung 4,004 cm, panjang bibir bawah adalah 0,964 cm, panjang bibir – dagu bawah adalah 2,676 cm, panjang vermilion atas adalah 0,807 cm, panjang vermilion bawah adalah 0,982 cm, lebar wajah atas adalah 12,380 cm, lebar wajah bawah adalah 10,488 cm, lebar mata kanan adalah 2,714 cm, lebar interokular adalah 2,980 cm, lebar mata kiri adalah 2,843 cm, lebar hidung adalah 3,434 cm, dan lebar mulut adalah 4,518 cm. Nilai interval normal jaringan lunak wajah wanita suku Bali pada mahasiswa FKG UNMAS Denpasar usia 18 – 24 tahun adalah nilai NL 4,004 ± 0,624 cm; ULL 0,964 ± 0,2642 cm; LL-CL 2,676 ± 0,732 cm; UVL 0,807 ± 0,316 cm; LVL 0,982 ± 0,250 cm; UFW 12,380 ± 1,310 cm; LFW 10,488 ± 1,586 cm; REW 2,714 ± 0,420 cm,; IL 2,980 ± 0,570 cm,; LEW 2,843 ± 0,534 cm; NW 3,434 ± 0,420 cm; MW 4,518 ± 0,604 cm. Wajah wanita suku Bali Bali tidak sesuai dengan proporsi wajah neoclassical canons karena tidak satupun hasil penelitian sampel yang memiliki persamaan nilai dari lima formula yang dihitung. Wajah wanita suku Bali yang menarik adalah tinggi wajah bawah harus sama dengan 1,355 kali tinggi hidung. Lebar hidung 1,152 kali lebar interokular. Lebar mata kanan 0,911 kali lebar interokular, dan lebar mata kiri 0,954 kali lebar interokular. Lebar mulut sama dengan 1,315 kali lebar hidung. Lebar wajah atas sama dengan 3,605 kali lebar hidung. DAFTAR PUSTAKA 1. Maidi MM, Evans CA, Viana G, Anderson NK, Giddon DB. Preferences for facial profiles between mexican Americans and Caucasians. Angle Orthod 2005;75 (6) :953 958 2. Sforza C, Laino A, D’Alessio R, Grandi G, Tartaglia GM, Ferrario VF. Soft-tissue facial characteristics of attractive Italian women as compared to normal women. Angle Orthod 2009;79: 17 - 23 3. Bass NM. Measurement of the profile angle and the aesthetic analysis of the facial profile. Orthod J 2003; 30:3 - 9
4. Mahyastuti RD, Christnawati. Perbandingan posisi bibir dan dagu antara laki – laki dan perempuan Jawa berdasarkan analisis estetik profil muka menurut Bass. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi 2008; 23(1): 1- 7. 5. Naini FB, Moss JP, Gill DS. The enigma of facial beauty : esthetics, proportions, deformity, and controversy. Am J Orthod 2006; 130: 277 - 282. 6. Bishara SE, Jorgensen GJ, Jakobsen JR. Change in facial dimensions assessed from lateral and frontal photographs. Part I - methodology. Am J Orthod 1995;108:389 – 393. 7. Graber TM, Vanarsdall RL. Orthodontic: current principles and techniques. 2nd ed. St. Louis: Mosby Inc; 1994:48 – 60. 8. Wiwekowati. Fenomena wajah cantik pada wanita Jepang dan wanita Jawa (studi komparasi menggunakan denomena kaidah ). Interdental 2009; 6 (2): 48 -52 9. Bergman RT. Cephalometric soft tissue facial analysis. Am J Orthod 1999; 116 (4):373 - 389 10. Schmid K, Marx D, Samal A. Computation of a face attractiveness index based on neoclassical canons, symmetry, and golden ratios. Available from: http://digital commons.unl.edu/statisticsfacpub/12.html. 2006. 11. Odias RR. Analisis wajah perempuan Batak. (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
Aplikasi komunikasi terapeutik dalam mengatasi rasa takut anak terhadap perawatan gigi Putu Yetty Nugraha, I Ketut Suarjaya, Ayu Sri Adnyani Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK Gigi bagi seorang anak penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Pentingnya mempertahankan gigi sulung mengharuskan orang tua dapat berperan aktif dalam menjaga kesehatan rongga mulut . Kendala yang sering dihadapi oleh orang tua dan dokter gigi dalam perawatan gigi adalah rasa takut anak, yang dapat menyebabkan anak bersikap tidak kooperatif. Maka diperlukan penanganan untuk mengatasi hal tersebut. Salah satu penanganan terhadap rasa takut anak adalah melalui komunikasi terapeutik. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana aplikasi komunikasi terapeutik di dalam dunia kedokteran gigi untuk menangani rasa takut pada pasien anak terhadap perawatan gigi. Komunikasi terapeutik mengarah pada penyembuhan pasien dengan mengurangi rasa takut, dengan demikian diharapkan anak dapat bersikap kooperatif selama perawatan gigi. Kata kunci: Komunikasi terapeutik, rasa takut, dan perawatan gigi. Korespondensi : Drg. Putu Yetty Nugraha, Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Telp. (0361) 7424079, Fax (0361) 261278 PENDAHULUAN Di era globalisasi ini, kesehatan merupakan hal utama yang tengah menjadi perhatian masyarakat. Kesehatan gigi adalah salah satu hal yang menjadi perhatian tersebut.1 Gigi bagi seorang anak penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri, namun masih banyak orang tua yang beranggapan bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat karena hanya sementara dan akan digantikan oleh gigi tetap, sehingga mereka tidak memperhatikan mengenai kebersihan gigi sulung.2 Pentingnya mempertahankan gigi sulung mengharuskan orang tua dapat berperan aktif dalam menjaga kesehatan rongga mulut anak, hal tersebut dapat dimulai dengan melakukan kunjungan ke dokter gigi. 3 Usia ideal untuk memulai kunjungan ke dokter gigi adalah 2-3 tahun.4 Melalui kunjungan kedokter gigi diharapkan untuk membiasakan anak melakukan pemeriksaan gigi secara rutin dan mengatasi rasa takut anak terhadap perawatan gigi.3,5 Rasa takut merupakan suatu emosi primer yang berupa mekanisme protektif untuk melindungi seseorang dari bahaya yang mengancam dirinya. Dalam bidang perawatan gigi anak, rasa takut merupakan salah satu sikap emosional yang paling sering ditemukan dan merupakan salah satu komponen utama dari tidak koperatifnya anak terhadap perawatan gigi, sehingga dapat menghalangi keberhasilan dalam perawatan gigi anak.6 Agar dapat melakukan perawatan gigi dengan baik, maka dokter gigi dapat
menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak, dengan mengajak anak berkomunikasi.7 Komunikasi terapeutik merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, diharapkan melalui komunikasi terpeutik dapat menghilangan rasa takut pada anak. 8 TELAAH PUSTAKA A. Komunikasi Komunikasi adalah suatu proses dimana setiap orang dapat saling berbagi informasi, bertukar pikiran berbagi rasa dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Komunukasi terdiri dari 2 macam yaitu komunikasi verbal maupun non verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi dalam bentuk percakapan atau tertulis, sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata seperti gerakan tubuh, gerak isyarat, dan ekspresi wajah.9 1. Komunikasi Sosial Komunikasi sosial adalah merupakan komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari antara individu satu dan individu lain, baik dalam lingkungan kerja maupun aktivitas sosial lainnya. Komunikasi ini bersifat dangkal karena sering tidak memiliki tujuan. Dalam menjalani kehidupan sosial, seseorang memerlukan sebuah fasilitas serta cara untuk membantu mempermudah dirinya untuk masuk pada ranah sosial tersebut. Interaksi dan komunikasi, merupakan ungkapan yang dapat menggambarkan cara komunikasi tersebut. Secara umum interaksi merupakan kegiatan yang memungkinkan terjadinya sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain, yang kemudian diaktualisasikan melalui praktek komunikasi. 2. Komunikasi Terapeutik Komunikasi Terapeutik ialah komunikasi yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan lain yang direncanakan dan berfokus pada kesembuhan pasien. Dalam komunikasi terapeutik, terjadi pengalaman interaktif bersama antara dokter dan pasien dalam berkomunikasi yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pasien. Komunikasi antara dokter dan pasien yang bersifat terapeutik diawali dengan komunikasi yang bersifat umum. Hubungan terapeutik dapat diidentifikasikan melalui tindakan yang diambil oleh dokter dan pasien yang dimulai dengan tindakan dokter, respon pasien, interaksi kedua pihak untuk mengkaji kebutuhan pasien dan tujuannya, serta transaksi timbal balik untuk mencapai tujuan hubungan. 9 Untuk dapat melaksanakan komunikasi terapeutik yang efektif, dokter harus mempunyai keterampilan yang cukup dan memahami betul tentang dirinya. Dalam berkomunikasi dengan pasien, dokter menjadikan dirinya secara terapeutik dengan menggunakan berbagai teknik komunikasi agar perilaku pasien berubah kearah yang positif seoptimal mungkin. Proses komunikasi terapeutik dilaksanakan melalui pendekatan pribadi atau personal berdasarkan perasaan dan emosi. Di dalam komunikasi terapeutik ini harus ada unsur kepercayaan di antara kedua pihak yang terlibat dalam komunikasi.10 Pelaksanaan komunikasi terapeutik bertujuan membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban pikiran dan perasaan. Di samping itu juga untuk mengurangi keraguan serta membantu dilakukannya tindakan yang efektif, mempererat interaksi kedua pihak, yakni antara
dokter dengan pasien secara profesional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah pasien. 9 B. Rasa Takut Rasa takut merupakan suatu mekanisme perlindungan diri dan bukan merupakan gejala abnormal karena secara naluriah seorang anak merasa takut terhadap sesuatu yang asing baginya.11 Rasa Takut pada anak ini seringkali diikuti dengan adanya perubahan fisiologis, kognitif, dan tingkah laku.12 Bentuk ekspresi ketakutan itu sendiri bisa bermacam-macam, biasanya lewat tangisan, jeritan bersembunyi atau tak mau lepas dari orang tuanya.13 Dalam bidang perawatan gigi anak, rasa takut merupakan salah satu sikap emosional yang paling sering ditemukan dan merupakan salah satu komponen utama dari tidak kooperatifnya anak terhadap perawatan gigi, sehingga dapat menghalangi keberhasilan dalam perawatan gigi anak. Ketakutan terhadap perawatan gigi dinyatakan dengan adanya penolakan atau ketakutan terhadap dokter gigi, baik yang berupa suatu penolakan secara total terhadap dokter gigi yang bersangkutan ataupun menolak beberapa jenis prosedur perawatan gigi yang dilakukan.6 Banyak hal yang dapat menyebabkan rasa takut anak terhadap perawatan gigi antara lain adalah melihat kursi periksa gigi yang besar, lampu yang sedemikian terang dan dokter gigi yang berseragam putih lengkap dengan masker dan sarung tangan.14 1. Macam Rasa Takut Rasa takut anak terhadap perawatan gigi terbagi mejadi 2 kategori 6,11 yaitu: a. Rasa Takut Obyektif Rasa takut yang diperoleh secara langsung dari rangsangan yang bersifat fisik melalui panca indra dan merupakan respon terhadap rangsangan yang dirasakan, dilihat, didengar, atau dibaui yang sifatnya tidak menyenangkan. b. Rasa Takut Subyektif Rasa takut yang didasarkan atas sikap dan perasaan yang disugestikan oleh orang lain dan pengalaman tersebut tidak pernah dialami sendiri. 2. Sumber Rasa Takut Rasa takut dapat bersumber dari anak sendiri, yaitu: anak yang mempunyai toleransi yang rendah terhadap rasa sakit, anak pernah mendapat pengalaman buruk, dan anak yang mempunyai masalah kesehatan, penyandang cacat dan gangguan perkembangan; orang tua/keluarga, yaitu: rasa takut orang tua/keluarga yang ditularkan ke anak, tindakan orang tua yang mengancam anak dengan menggunakan perawatan gigi untuk menakut-nakuti, dan membicarakan perawatan gigi di depan anak sehingga menimbulkan ketakutan; tim kesehatan gigi, yaitu adanya sikap dari petugas yang kaku dan keras, kurang sabar, kurang menunjukkan kehangatan dan perhatian; dan kepribadian, yaitu anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang kurang aman, rawan konflik atau ditengah keluarga yang broken home memiliki rasa takut yang lebih besar daripada anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh rasa aman secara emosional. Sedangkan anak yang ekstrovert, karena lebih mudah terpengaruh dan suka meniru anak lain, juga lebih mudah dihinggapi rasa takut daripada anak yang introvert.6
3. Penanggulangan Rasa Takut Pada Anak Rasa takut terhadap perawatan gigi ini merupakan suatu keadaan yang multifaktorial.6 Rasa takut dapat dihilangkan dengan berbagai cara antara lain, dengan pencegahan terhadap pengalaman negatif yang menimbulkan rasa takut di masa mendatang, membuat suasana lingkungan yang dirasakan aman dan dapat dipercaya, membangun kepercayaan pada seorang pasien serta dokter gigi bertindak sedemikian rupa sehingga menghilangkan kegelisahan pasien.15 a. Peranan Orang Tua Dalam Menanggulangi Rasa Takut Pada Anak Setiap orang tua sangat berperan penting dalam pembentukan sikap, kepercayaan, nilai dan tingkahlaku anak.16 Banyak orang tua tidak menyadari bahwa mereka secara tidak langsung mempunyai peranan dalam mewujudkan tingkah laku anak, diantaranya sikap orang tua terhadap anak yang dapat membentuk anak menjadi takut, gelisah, atau segan pergi ke dokter gigi yaitu, orang tua yang sangat memanjakan anak dengan mengabulkan semua keinginan anak, sehingga anak akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Kemudian sikap oarang tua yang terlalu dominan terhadap anak dapat membentuk sikap anak menjadi pemalu, penakut, dan mudah cemas. Selain itu sikap orang tua yang khawatir terhadap perawatan gigi akan mempengaruhi sikap anak dalam menjalani perawatan giginya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua ketika berencana membawa anak ke praktek dokter gigi, yaitu jangan membawa anak ke dokter gigi ketika mendekati waktu tidurnya, karena anak akan merasa mengantuk, lekas marah, dan sukar diatur. Sebaiknya jangan membawa anak ke dokter gigi ketika anak baru menghadapi pengalaman emosional, karena pada saat ini anak sukar diajak kooperatif. Bawalah anak mengunjungi dokter gigi sedini mungkin, sehingga anak merasa biasa dan akrab dengan suasana ditempat praktek dokter gigi.11 b. Peranan Dokter Gigi Dalam Menanggulangi Rasa Takut Pada Anak Dalam penanganan rasa takut pada anak, dokter gigi memerlukan suatu pemahaman tahap perkembangan anak dan rasa takut yang berkaitan dengan usia, penanganan pada kunjungan pertama, dan pendekatan selama perawatan. Pendekatan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi dalam pengelolaan tingkah laku anak, antara lain modeling, tell-show-do, home, distraksi dan pendekatan melalui komunikasi. Pendekatan secara modeling dilakukan dengan cara mengajak anak mengamati anak lain yang sedang mendapatkan perawatan gigi. Hal ini bertujuan agar anak dapat bersikap kooperatif seperti yang ditunjukkan oleh model. Pada pendekatan dengan tehnik tell-show-do, dokter terlebih dahulu memberikan penjelasan tentang apa yang akan dilakukan pada anak dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, selanjutnya dokter memperkenalkan instrumen yang akan digunakan selama perawatan, kemudian dokter melakukan prosedur seperti apa yang telah dijelaskan dan diperlihatkan pada sang anak. Untuk anak yang sangat menentang maka digunakan tehnik home, tehnik ini hanya digunakan sebagai usaha terakhir bila usaha-usaha lain tidak memberikan hasil. Pada tehnik distraksi
ini dilakukan pengalihan dari fokus terhadap hal yang tidak menyenangkan ke stimulus yang lain, misalnya dengan cara Visual distraction. Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan melalui komunikasi. Dokter dapat menanyakan hal-hal yang sederhana pada anak namun penuh kehangatan sehingga anak merasa diperhatikan. Pengaturan suara dalam berkomunikasi juga dapat mempengaruhi perhatian anak.6 Komunikasi yang berlangsung antara dokter gigi dengan pasien anak, harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak, sehingga anak merasa biasa dan akrab, serta dapat mengatasi rasa takut anak terhadap perawatan gigi.11,7 C. Perawatan Gigi Anak 1. Pentingnya Merawat Gigi Anak Sejak Dini Gigi susu adalah gigi yang pertama kali tumbuh pada periode tumbuh kembang anak.17 Namun, banyak orang tua yang beranggapan bahwa gigi susu tidak perlu dirawat karena hanya sementara dan akan digantikan oleh gigi tetap, sehingga mereka tidak memperhatikan mengenai kebersihan gigi susu.2 Mereka tidak tahu bahwa cukup banyak akibat yang dapat terjadi bila gigi susu tidak dirawat dengan baik. Mulai tumbuhnya gigi merupakan proses penting pertumbuhan seorang anak, meskipun gigi susu akan digantikan dengan gigi tetap, tetapi gigi susu harus dapat dipertahankan sampai saatnya eksfoliasi normal.18 Perawatan gigi susu sangat penting agar anak dapat mengolah makanan dengan baik. Selain itu, gigi susu juga dapat mempengaruhi pertumbuhan rahang, serta memberikan bentuk dan rupa wajah. Peranan gigi susu juga penting dalam membantu anak berbicara, dan sebagai petunjuk jalan bagi tumbuhnya gigi tetap.19 Dengan terawatnya gigi susu dengan baik dapat menjaga estetik serta penampilan anak akan menjadi lebih menarik dengan gigi yang sehat, karena mereka dapat tersenyum dengan gigi geligi yang utuh dan bersih.19 2. Macam-macam Perawatan Gigi Anak Perawatan gigi dan mulut pada masa balita dan anak ternyata cukup menentukan kesehatan gigi dan mulut mereka pada tingkatan usia selanjutnya.2 Perawatan gigi anak sebaiknya dimulai sedini mungkin walaupun gigi belum nampak, hal ini guna mencegah terjadinya kerusakan gigi dan jaringan pendukungnya yang lebih berat, bahkan dapat mengakibatkan terlepasnya gigi pada usia muda. 18 Didalam pelayanan kesehatan gigi, upaya-upaya untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut sejak dini dapat dilakukan melalui : 1. Tindakan preventif (tindakan pencegahan), seperti melalui pendidikan kesehatan gigi dan mulut, Fissure Sealant, topikal aplikasi. 2. Tidakan kuratif (pengobatan/penyembuhan), dapat dilakukan adalah penumpatan atau penambalan gigi yaitu suatu tindakan perawatan dengan cara meletakkan bahan tambal pada lubang gigi yang telah dibersihkan. Bahan yang dipakai untuk menambal gigi sangat bervariasi antara lain : komposit resin, Glassionomer Cement, amalgam. 3. Tindakan Rehabilitatif dengan mengembalikan sebuah fungsi yang hilang antara lain : Tumpatan inlay/onlay, Space Maintainer. PEMBAHASAN Masalah kesehatan gigi anak di Indonesia seharusnya mulai menjadi perhatian utama kita, khususnya para dokter gigi. Kesehatan gigi dan mulut, sering kali
disepelekan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaksadaran masyarakat terhadap kesehatan gigi dan mulut. Diantaranya adalah ketidaktahuan atas resiko- resiko apabila masalah gigi dan mulut tidak diperhatikan.20 Rasa takut merupakan suatu emosi primer yang berupa mekanisme protektif untuk melindungi seseorang dari bahaya yang mengancam dirinya.6 Rasa takut yang timbul pada diri anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya rasa takut yang dialaminya sendiri, pengaruh orang lain maupun sikap dari tim dokter gigi yang kurang menyenangkan.7 Bila rasa takut pada anak tidak dapat teratasi, maka dapat membuat anak menjadi tidak kooperatif terhadap perawatan gigi, sehingga dapat menghalangi keberhasilan dalam perawatan gigi anak. 6 Salah satu penanganan tingkah laku anak untuk mengatasi rasa takut pada anak terhadap perawatan gigi adalah melalui pendekatan komunikasi. Komunikasi merupakan salah satu teknik pengelolaan tingkah laku anak, dimana terjadi interaksi antara dokter gigi dengan pasien anak. Dalam hal ini, komunikasi yang efektif dilakukan sebagai pendekatan dalam mengatasi rasa takut anak tersebut yaitu melalui komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut.6,8 Melalui komunikasi yang dilakukan dokter gigi dengan pasien anak, maka dokter gigi dapat mengetahui salah satu indikator perkembangan anak.9 Anak merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. 21 Jika pasien anak telah merasa nyaman dalam menerima perawatan yang dilakukan oleh dokter gigi, maka akan mempermudah jalannya proses perawatan dan diharapkan anak akan bersikap kooperatif selama perawatan berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi memiliki manfaat dalam mengatasi rasa takut pasien anak selama perawatan gigi berlangsung.7 SIMPULAN Berdasarkan penjelasan diatas dapat dismpulkan bahwa rasa takut merupakan suatu kendala yang sering terjadi pada perawatan gigi anak, dimana dapat menyebabkan anak bersikap tidak kooperatif. Penanganan rasa takut anak dapat dilakukan melalui komunikasi terapeutik yang terjadi diantara dokter gigi dan pasien anak, sehingga menumbuhkan kepercayaan serta rasa nyaman pada pasien anak. Kunci keberhasilan dari perawatan gigi anak terletak pada kemampuan dokter gigi untuk berkomunikasi dengan anak dan menanamkan kepercayaan pada diri anak tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1.
Mozartha M. Perilaku ibu tentukan kesehatan gigi anak. Januari 10, 2008. Available from: http//www.klikdokter.com. Accessed September 6, 2009.
2.
Riyanti E. Pengenalan dan perawatan kesehatan gigi anak sejak dini. Mei 29, 2005. Available from: http//www.akademik.unsri.ac.id. Accessed Januari 31, 2010.
3.
Heryaman SD. Pentingnya kesehatan gigi dan mulut anak. Januari 28, 2009. Available from: http//www.pdgi-online.com. Accessed Januari 28, 2010.
4.
Soeparmin S, Suarjaya K, Tyas MP. Peranan musik dalam mengurangi kecemasan anak selama perawatan gigi. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi 2009; 6(1):1-5.
5. Keishka A. Menjaga gigi anak tetap sehat. Desember 11, 2008. Available from: http//www.forum.dudung.net. Accessed September 9, 2009. 6. Soeparmin S, Suarjaya K, Antara W. Rasa takut anak dalam perawatan gigi. Jurnal Kedokteran Gigi Mahasaraswati 2004; 2(1):30-34. 7. Karolina Y. Masalah rasa takut pada kedokteran gigi anak. Juni 17, 2008. Available from: http//www.digilib.usu.ac.id. Accessed September 2, 2009 8. Marchellyna S. Komunikasi terapeutik. Oktober 3, 2009. Available from: http//www.wartawarga.gunadarma.ac.id. Accessed Januari 24, 2010. 9. Machfoedz M. Komunikasi keperawatan: komunikasi terapeutik. Cetakan 1. Yogyakarta: Ganbika; 2009. h. 99-118. 10. Mundakir. Komunikasi keperawatan : aplikasi dalam pelayanan. Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2006. h. 109-134. 11. Astuti M. Mengapa anak takut ke dokter gigi?. Januari 4, 2008. Available from : http//www.dpu-online.com. Accessed September 2, 2009. 12. Moha. Tips menghilangkan rasa takut. Juni 12, 2009. Available from: http//www.kawula-muda.com. Accessed September 2, 2009. 13. Fia. Menghilangkan rasa takut pada anak. Januari 5, 2009. Available from: http//www.forumkami.com. Accessed Februari 2, 2009. 14. Sharen. Mengatasi ketakutan anak pada dokter gigi. Desember 20, 2009. Available from: http//www. blogdokter.net. Accessed Januari 10, 2010. 15. Swastini IGAAP, Sulaksana RT, Nahak MM. Gambaran rasa takut terhadap perawatan gigi pada anak usia sekolah yang berobat ke Puskesmas IV Denpasar Barat. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi 2007; 5(1):21-25. 16. Gobai Y. Peran orang tua sangat penting dalam kehidupan anak. Agustus 7, 2008. Available from: http//www.blog-indonesia.com. Accessed Februari 7, 2010. 17. Freemeta N. Gigi susu harus dirawat. Desember 6, 2008. Available from: http// www.jurnalbogor.com. Accessed Februari 10, 2010. 18. Soeparmin S, Nugraha Y, Arisanti W. Peningkatan kesehatan gigi dan mulut pada anak melalui dental health education. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi 2007; 5(1):12-16. 19. Kemp J, Walters C. Cara menjaga kesehatan gigi dan gusi anak. Dalam: gigi Si Kecil, Rudijanto (penerjemah). Jakarta: Erlangga; 2004. h. 68-70. 20. Vinco G. Mau Konsultasi kesehatan gigi dan mulut. Mei 27, 2009. Available from: http//www.forum.detiksurabaya.com. Accessed Februari 18, 2010. 21. Wasisto B, Sudjana G, Zahir H, dkk. Komunikasi efektif dokter pasien. November 6, 2006. Available from: http//www.fk.uwks.ac.id. Accessed Januari 24, 2010.
Midazolam sebagai sedasi secara oral dalam mengurangi kecemasan pada perawatan gigi anak Soesilo Soeparmin, I Ketut Suarjaya, Putri Marina Sukmadewi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK Kecemasan pada anak akan meningkatkan rangsangan nyeri yang diterima dan cenderung menjadikan anak tidak kooperatif sehingga akan menghambat proses perawatan gigi. Diperlukan suatu metode untuk mengatasi kecemasan anak saat proses perawatan gigi. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah sedasi secara oral dengan midazolam. Penulisan ini bertujuan menelusuri tentang sedasi secara oral dengan midazolam dan efektifitasnya dalam mengurangi kecemasan anak. Midazolam dapat memberikan efek berkurangnya kecemasan, relaksasi otot, antikovulsan dan amnesik pada perawatan gigi karena meningkatkan produksi gamma aminobutyric acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Midazolam yang diberikan secara oral efektif dalam mengurangi kecemasan anak pada dosis 0,5-1 mg/kgBB. Pemberian midazolam dapat memberikan kenyamanan pada anak sehingga anak menjadi kooperatif selama proses perawatan gigi.
Kata Kunci : Midazolam, kecemasan anak, perawatan gigi anak. Korespondensi: Drg. Soesilo Soeparmin, SU, Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Telp. (0361) 7424079, Fax (0361) 261278 PENDAHULUAN Kecemasan sering memicu anak menjadi tidak kooperatif terhadap perawatan gigi sehingga waktu perawatannya lebih lama dan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Kecemasan merupakan kondisi emosional yang tidak menyenangkan, ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti ketakutan, ketegangan serta kekhawatiran terhadap situasi yang dianggap berbahaya. Kecemasan tersebut dapat diatasi dengan berbagai metode yaitu dengan pendekatan psikologis (NonPharmacological Behavior Management) ataupun tanpa menggunakan pendekatan psikologis (Pharmacological Behavior Management). Kecemasan pada sebagian anak dapat ditangani dengan cara pendekatan psikologis, tetapi sebagian lagi tidak, sehingga diperlukan pendekatan lain seperti sedasi.1-3 Sedasi adalah suatu teknik penggunaan obat-obatan yang dapat menekan sistem saraf pusat sehingga pada anak lebih mudah dilakukan tindakan perawatan giginya. Terdapat beberapa teknik pemberian sedasi yaitu melalui oral, rektal, intranasal, intravena dan intramuscular. Pemberian obat sedasi yang paling sering dilakukan adalah melalui oral karena tidak menimbulkan rasa sakit serta tidak menakutkan bagi 0
anak. Obat sedasi yang umum digunakan pada anak sebelum dilakukan operasi adalah midazolam. Midazolam diindikasikan pada anak untuk sedasi, ansiolitik (anti cemas) dan amnesia sebelum prosedur diagnostik, terapeutik, endoskopi, ataupun sebelum induksi anestesi, namun midazolam berpotensi menimbulkan efek samping yang merugikan bagi kesehatan serta bisa menyebabkan kematian bila diberikan dalam dosis yang berlebih, sehingga midazolam hanya boleh diberikan pada anak yang dipantau secara langsung oleh petugas kesehatan yang professional. 4-6 Hal penting yang harus diperhatikan operator saat pemberian sedasi adalah pemantauan meliputi tanda-tanda vital setiap 15 menit, pencatatan dosis dan waktu pemberian, respon anak terhadap stimulasi, serta saturasi oksigen. Operator yang memberikan sedasi (dokter anastesi ataupun dokter gigi) harus mengikuti pelatihan khusus dan dapat menangani segala kemungkinan serta komplikasi yang timbul akibat pemberian obat sedasi.2,7 Dengan mempertimbangkan bahwa midazolam memiliki efek yang berperan dalam mengurangi kecemasan anak selama perawatan gigi maka atas dasar itulah penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai midazolam sebagai sedasi secara oral dalam upaya mengurangi kecemasan anak selama perawatan gigi. ANATOMI DAN FISIOLOGIS ANAK Penting untuk mempertimbangkan perbedaan ukuran, berat badan, umur dan metabolisme basal antara anak-anak dengan orang dewasa karena kebutuhan energi pada anak untuk aktifitas jaringan tubuhnya lebih besar, sehingga perlu berhati-hati pada saat memberikan suatu obat pada anak karena ada kemungkinan mempengaruhi sistem fisiologi tubuhnya. 7 Perbedaan anatomi antara anak-anak dan orang dewasa seperti perbedaan ukuran lidah dan limfoid dapat meningkatkan resiko penyumbatan jalan nafas sehingga memicu terjadinya apnea. Pada anak rawan terjadi bradycardia, penurunan cardiac output dan hipotensi karena respon untuk mempertahankan tekanan darah yang cukup saat terjadi penurunan denyut jantung belum berkembang dengan baik sehingga perlu berhati-hati saat memilih jenis obat yang akan diberikan pada anak dan harus memberikan dosis obat yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. 7,8 INDIKASI DAN DOKUMENTASI PASIEN Sedasi sebaiknya dilakukan terhadap anak yang tergolong dalam American Society of Anesthesiologists (ASA) I yaitu anak yang normal dan sehat serta anak yang tergolong American Society of Anesthesiologists (ASA) II yaitu anak dengan penyakit sistemik ringan dengan melihat riwayat kesehatan sebelumnya serta obatobatan yang digunakan saat ini. Sedangkan menurut American Academy of Pediatric Dentistry, sedasi dapat dilakukan pada anak yang memerlukan perawatan gigi tetapi takut dan cemas. Terdapat perbedaan yang mendasar antara kecemasan dan ketakutan yaitu pada ketakutan apa yang menjadi sumber penyebabnya selalu dapat ditunjuk secara nyata, sedangkan pada kecemasan sumber penyebabnya bersifat kabur, tidak dapat ditunjuk secara nyata.3,9,10 Selama prosedur sedasi dilakukan, operator wajib untuk mendokumentasikannya karena dokumentasi merupakan jaminan terbaik jika terjadi hal yang merugikan. 1
Dokumentasi dilakukan secara berkelanjutan yaitu sebelum, selama dan sesudah prosedur sedasi. Catatan sebelum prosedur sedasi harus mendokumentasikan kepatuhan anak terhadap pembatasan asupan makanan dan cairan, evaluasi kesehatan anak, nama serta alamat dokter yang merawat anak tersebut, catatan tentang penggunaan metode pengelolaan tertentu, pembuatan persetujuan tindakan medis, dan penyampaian instruksi kepada orang tua/wali/pengasuh anak tersebut. Selama prosedur sedasi tanda-tanda vital yang sesuai harus dicatat. Jenis obat, dosis yang diberikan, cara pemberiannya, serta waktu pemberiannya sebaiknya secara jelas ditunjukkan. Jika menggunakan resep, salinan resep harus menjadi bagian dari catatan permanen. Setelah prosedur sedasi, observasi anak di ruang pemulihan terus dilakukan. Anak sebaiknya diobservasi hingga pernafasan serta sistem kardiovaskularnya dipastikan stabil. Anak sebaiknya tidak diperbolehkan pulang sampai tingkat kesadaran pasca sedasi memungkinkan bagi anak untuk pulang.7 INSTRUKSI DAN PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS PADA ORANG TUA Instruksi dan rekomendasi yang diberikan operator pada orang tua yang bertanggung jawab pada anak harus dalam bentuk tertulis. Petunjuk tersebut meliputi instruksi diet yang dianjurkan yaitu jangan memberikan susu atau makanan padat selama 6 (untuk anak usia 6 hingga 36 bulan), selama 6 hingga 8 jam (untuk anak usia lebih dari 36 bulan). Untuk anak usia 6 bulan atau yang lebih tua dapat diberikan cairan seperti air, jus, gelatin, es loli atau kaldu hingga 3 jam sebelum prosedur sedasi. Alasan mengapa instruksi tersebut sebaiknya diinformasikan kepada orang tua / wali karena penyerapan obat secara oral akan maksimal jika perut kosong. Orang tua atau wali juga harus diberitahukan bahwa mereka tetap diharapkan berada di ruangan selama prosedur sedasi. Selain itu, orang tua sebaiknya ditemani orang lain (sanak saudara) yang memungkinkan memenuhi kebutuhan anak selama perjalanan pulang. Orang tua/wali/ pengasuh diinformasikan bahwa setibanya di rumah anak dapat tidur beberapa jam, mengantuk ataupun mudah tersinggung hingga 24 jam setelah prosedur sedasi. Kegiatan anak harus dibatasi serta pengawasan orang tua diperketat untuk sisa harinya setelah prosedur sedasi.7 Sebelum melakukan prosedur sedasi, orang tua atau wali harus menyetujui penggunaan sedasi pada anaknya. Orang tua atau wali berhak menerima informasi lengkap mengenai resiko serta manfaat yang diterima, terkait dengan teknik dan obatobatan yang digunakan, serta metode-metode alternatif yang tersedia. Penjelasan yang diberikan sebaiknya jelas, ringkas serta menggunakan bahasa yang dipahami oleh orang tua atau wali. Lembar persetujuan ini dapat menjadi bagian dari catatan sedasi serta ditanda tangani oleh semua pihak. Oleh karena sedasi tidak merupakan bagian rutin pada setiap kunjungan ke dokter gigi, maka persetujuan ini harus terpisah dan berbeda dari izin merawat pasien.7 TEKNIK SEDASI SECARA ORAL Setelah obat sedasi dipilih kemudian menentukan dosis yang sesuai untuk anak. Dosis maksimum disesuaikan dengan dosis yang direkomendasikan dari masingmasing jenis obat sedasi. Setelah obat sedasi diberikan, anak harus dipantau secara terus menerus dalam ruangan kerja dokter gigi. Setelah efek terlihat (biasanya setelah 2
30 atau 60 menit), anak dipindahkan ke kursi gigi. Untuk anak kecil atau anak yang kemungkinan menjadi agresif secara fisik ditempatkan pada alat yang akan menahan gerakan anak misalnya papoose board. Lengan, kaki dan tubuh bagian tengah harus diamankan, namun dada dan diafragma tidak boleh dikekang untuk menghindari obstruksi otot pernafasan. Anak sebaiknya dipantau secara hati-hati selama prosedur sedasi untuk memastikan reaksi anak meliputi fungsi kardiovaskuler baik dan stabil, jalan nafas anak terbuka, anak bisa berkomunikasi serta bisa duduk tanpa bantuan bila diminta.7 Hal lain yang diperhatikan saat melakukan teknik sedasi secara oral adalah operator sedasi sendiri. Operator sedasi harus memiliki pengetahuan dan mengikuti pelatihan tentang bantuan hidup dasar mencangkup penguasaan jalan nafas (airway control), bantuan nafas (breathing Support), dan bantuan sirkulasi (circulating support) sehingga dapat menangani segala kemungkinan serta komplikasi akibat pemberian obat sedasi. 5,10 MIDAZOLAM Midazolam merupakan derivat benzodiazepin dan tergolong dalam obat sedatifhipnotik yang mengandung bahan ansiolitik yang efektif mengurangi rasa cemas dan mempunyai efek menenangkan. Midazolam efektif ketika diberikan secara oral dan tersedia dalam bentuk sirup, kira-kira 50% - 65% dari dosis oral akan dimetabolisme di hati. Midazolam adalah jenis benzodiazepin dengan waktu kerja yang pendek dan memiliki waktu paruh pada anak-anak sekitar 2 jam. Midazolam memiliki waktu kerja yang pendek sekitar 25 menit dengan tingkat puncak dalam plasma darah 25 menit setelah pemberian secara oral. Penelitian lain menunjukan pemberian midazolam secara oral memiliki waktu kerja 30-40 menit. Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian secara oral pada anak adalah 0,25-1 mg/kgBB dengan dosis maksimum 20 mg. Namun midazolam terbukti efektif pada dosis 0,5-1 mg/kgBB dengan dosis maksimum 20 mg.7,10,11 Terdapat keuntungan yang signifikan dari penggunaan midazolam secara oral yaitu merupakan prosedur yang tidak menyakitkan bagi anak, kemungkinan terjadina tromboflebitis (invasi mikroorganisme melalui aliran darah akibat perubahan susunan dan kecepatan peredaran darah) minimal karena memiliki kelarutan dalam air yang tinggi, memberikan efek anastesi yang lebih dalam dibandingkan N2O sehingga dapat memberikan ketenangan pada anak, dapat menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin, tidak menyebabkan depresi nafas yang fatal dan berat pada anak jika digunakan sesuai dosis yang telah ditentukan, pemantauan yang dilakukan operator sedasi minimal karena setelah sedasi hanya perlu perhatian dari orang tua atau wali yang bertanggung jawab atas anak. Selain beberapa keuntungan diatas terdapat kerugian dari penggunaan midazolam secara oral yaitu dapat menyebabkan penekanan pada sistem pernafasan pada dosis yang lebih tinggi, dimana resiko terjadinya apnea meningkat ketika obat diberikan, serta sering terjadi hipotensi pada anak yang menggunakan midazolam.6-8,12 Pemberian sedasi secara oral dengan menggunakan midazolam sebaiknya diberikan pada anak yang berusia diatas enam bulan dan tidak boleh diberikan pada
3
anak yang menderita glaukoma, menderita masalah pernafasan, menderita kelaian jantung serta memiliki gangguan ginjal dan hati.13 Midazolam mempunyai efek ansiolitik (anti cemas), hipnotik, relaksan otot, antikonvulsan, dan amnesik yang diduga disebabkan oleh peningkatan gamma aminobutyric acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Selain itu midazolam juga bekerja pada sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System) yang menimbulkan efek amnesia. Sistem ARAS mencangkup daerah-daerah ditengah batang otak sampai hipotalamus dan talamus yang berperan terhadap kesadaran. Aksi amnesik impresif (berkurangnya daya ingat sebelum prosedur diagnostik atau terapeutik) yang ditimbulkan midazolam memungkinan anak tidak mengingat apapun dari prosedur yang tidak nyaman. Efek samping yang ditimbulkan pemberian midazolam secara oral adalah anak merasa gelisah, hiperaktif atau agresif (pada sebagian kecil anak) serta dapat menyebabkan atau meningkatkan terjadinya batuk.8,11,12,14,15 PEMBAHASAN Pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut anak di Indonesia seharusnya mulai menjadi perhatian utama kita, khususnya dokter gigi. Dalam merawat gigi anak kita perlu mengetahui perkembangan psikologis anak sehingga bisa memberikan penanganan yang tepat dan bisa mengetahui reaksi anak selama perawatan gigi. Umumnya anak akan merasa cemas ketika melakukan kunjungan ke dokter gigi. Kecemasan pada anak biasanya timbul ketika mengalami pengalaman-pengalaman baru yang dianggap mengancam jiwanya. Kecemasan pada anak akan meningkatkan rangsangan nyeri yang diterima serta cenderung menjadikan anak tidak koperatif sehingga akan menyusahkan dokter gigi ketika melakukan perawatan. Banyak metode yang dilakukan untuk mengatasi kecemasan anak, salah satunya dengan menggunakan teknik sedasi yaitu teknik penggunaan obat-obatan yang dapat menekan sistem saraf pusat sehingga mudah melakukan perawatan gigi pada anak. Teknik sedasi yang paling sering dilakukan adalah secara oral, karena merupakan metode yang paling aman, nyaman dan paling ekonomis dibandingkan teknik pemberian sedasi lainnya dan tidak menimbulkan rasa sakit serta tidak menakutkan bagi anak.6 Obat sedasi yang paling umum digunakan pada anak adalah Midazolam. Midazolam dapat memberikan efek berkurangnya kecemasan, relaksasi otot, antikovulsan dan amnesik saat perawatan gigi karena meningkatkan produksi gamma aminobutyric acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Midazolam berikatan dengan gamma aminobutyric acid (GABA) pada sistem limbik dengan perantara reseptor GABA yaitu GABAA pada subunit (1,2,3,4,5), dimana efek sedasi, amnesia dan antikonvulsan timbul akibat ikatanan midazolam dengan subunit 1, sedangkan efek ansiolitik (anti cemas) dan relaksasi otot timbul akibat ikatan midazolam dengan subunit 2. Pemberian sedasi secara oral dengan menggunakan midazolam memiliki beberapa keuntungan yaitu mula kerjanya cepat, waktu kerja yang pendek, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi serta memiliki indeks terapi yang luas. Agar mudah diberikan pada anak-anak, midazolam dikemas dalam bentuk sirup yang diberi perasa
4
buah. Pemberian perasa buah pada midazolam sirup bertujuan agar anak-anak bersedia meminum obat tersebut tanpa rasa cemas dan takut akan rasanya yang pahit. Selain diberikan perasa buah, terkadang pemberian midazolam sirup dibarengi dengan pemberian acetaminophen. Acetaminophen selain sebagai analgesik, juga digunakan untuk menutupi rasa midazolam.5,6,8,11 Midazolam yang diberikan secara oral efektif dalam mengurangi kecemasan anak pada dosis 0,5-1 mg/kgBB dengan dosis maksimum 20 mg. Sekitar 70 hingga 80 % anak berkurang kecemasannya ketika diberikan midazolam dengan dosis 0,5 mg/kgBB. Terjadi perubahan perilaku anak ketika menggunakan midazolam secara oral yaitu dari tidak koperatif menjadi koperatif sehingga memudahkan proses perawatan giginya. Penjelasan sebelumnya menunjukkan bahwa anak dapat mengatasi kecemasannya dengan bantuan midazolam yang diberikan secara oral.8,10 Midazolam tidak memberikan efek samping yang serius ketika digunakan sesuai dosis yang dianjurkan, akan tetapi dapat mengurangi tingkat stress yang dialami anak-anak saat melakukan perawatan gigi. Midazolam juga tidak perlu ditambahkan dengan obat sedasi lainnya karena pemberian dosis tunggal midazolam telah mampu mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan saat perawatan gigi walaupun diberikan dalam dosis yang relatif rendah. Pemberian midazolam secara oral juga memberikan kenyamanan lebih pada anak sehingga memudahkan operator bekerja selama tahaptahap kritis perawatan gigi yaitu dengan mengendalikan gerakan dan tangis anak selama pemberian anastesi lokal serta saat melakukan tindakan restoratif. Kenyamanan yang dirasakan anak akan menyebabkan anak merasa rileks dan tenang sebelum menerima perawatan sehingga anak menjadi kooperatif selama proses perawatan gigi. Hal ini menunjukkan bahwa sedasi secara oral dengan midazolam merupakan metode yang efektif dan efisien dalam mengurangi kecemasan dan rasa takut anak dalam perawatan gigi dengan tingkat komplikasi yang rendah. 16-19 KESIMPULAN Rasa cemas yang terjadi pada anak selama perawatan gigi dapat menyebabkan anak menjadi tidak kooperatif, hal ini akan menghambat keberhasilan dalam perawatan giginya. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan anak adalah sedasi secara oral dengan midazolam. Midazolam mempunyai efek ansiolitik (anti cemas), hipnotik, relaksan otot, antikonvulsan, dan amnesik disebabkan karena peningkatan gamma aminobutyric acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Dosis yang efektif untuk mengurangi kecemasan anak pada perawatan gigi adalah 0,5-1 mg/kg dengan dosis maksimum 20 mg dimana akan memberikan kenyamanan pada anak sehingga dapat memberikan efek relaksasi yang optimal. Sedasi secara oral dengan midazolam diharapkan dapat mengurangi kecemasan anak, sehingga anak dapat bersikap kooperatif selama perawatan gigi.
5
DAFTAR PUSTAKA 1. Cameron, Angus C, Richard P Widmer. Handbook of pediatric dentistry. 2nd ed. Sydney: Mosby; 2003. p.1-27. 2. Primarti, Rini Saptarini, Arlette Suzy Puspa Pertiwi. Sedation as a technique to aid in the suppotive examination for children with special needs. 2010. Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/01/sedation as_a_ technique to_aid_in_the_supportive_examination1.pdf. Accessed Juni14, 2010. 3. Trismiati. Perbedaan tingkat kecemasan antara pria dan wanita akseptor kontrasepsi mantap Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Psyche 2004; 1(1). 4. Ellison, Russell H. Versed syrup. Pebruary, 2010. Available from: http://www.fda.gov/downloads/Safety/MedWatch/SafetyInformation/SafetyAlert sforHumanMedicalProducts/UCM171088.pdf . Accessed August 30, 2010. 5. Neal, Michael J. At a Glance : Farmakologi medis. Juwalita Surapsari (penerjemah). Jakarta: Erlangga; 2006. h. 54-55. 6. Yemen, Terrance A. Pediatric anesthesia handbook. USA: The McGraw-Hill Companies Inc.; 2002. p. 41-55. 7. McDonald, Ralph E, Avery, David R, Jeffrey A Dean. Dentistry for the child and adolescent. 8th ed. St.Louis, Missouri: Mosby Co; 2004. p. 287-311. 8. Kaban, Leonard B, Maria J Troulis. Pediatric oral and maxillofacial surgery. Philadelphia: Elsevier Science; 2004. p. 86-97. 9. Low, John M, Eilly Ws Lau. Office-based sedation for paediatric dental patients. 2007. Available from: http://www.fmshk.org/database/articles/03db01. pdf. Accessed Juni, 2010. 10. Margolis, Fred S. The use of midazolam to modify children’s behavior in the dental setting. 2003. Available from: http://www.fredmargolis.com/Conscious Sedation.pdf. Accessed Juli 20, 2010. 11. Katzung, Betram G. Basic and clinical pharmacology.10th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2007. p. 22-25. 12. Mangku Gde, Tjokorda Gde Senapathi. Buku ajar ilmu anastesi dan reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010. h. 23-86. 13. Malamed, Stanlay F. Sedation : A guide to patient management. St Louis, Missouri: Mosby Inc.; 2003. p. 89-111. 14. Heisler, Jennifer. Versed (midazolam). Agustus 10, 2009. Available from: http:// surgery.about.com/od/beforesurgery/qt/VersedMidazolamVersed.htm. Accessed Agustus 30, 2010. 15. Satyanegara. Ilmu bedah syaraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2010. h. 169-187. 16. Al-Zahra AM, Wyne AH, Sheta SA. Comparison of oral midazolam with a combination of oral midazolam and nitrous oxide-oxygen inhalation in the effectiveness of dental sedation for young children. J Indian Soc Pedod Prevent Dent 2009; 27(1): 9-15. 17. Herd, David W McAnulty, Kim A Keene, Natalie A, Diane E Sommerville. Concious sedation reduces distress in children undergoing voiding
6
cystourethrography and does not interfere with the diagnosis of vesicoureteric reflux: a randomized controlled study. AJR. 2006; 187: 1621-1626. 18. Klein, Eileen J, Diekema, Douglas, Paris, Carolyn A, Quan, Linda, Cohen, Morty, Kristy D Seidel. A randomized, clinical trial of oral midazolam plus placebo versus oral midazolam plus oral transmucosal fetanyl for sedation during laceration repair. ED Pediatrics 2002; 109 (5): 894-897. 19. Uldum, Birgitte, Hallonsten, Anna Lena, Sven Poulsen. Midazolam conscious sedation in large Danish Minicipal dental service for children and adolescent. International Journal of Pediatric Dentistry 2008; 18: 256-261.1
7