Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’: Tinjauan Furuq Fiqiyah Elimartati STAIN Batusangkar
Abstract: A discussion of the difference between two branches of Islamic jurisprudences belongs to the business of the jurisprudence itself, namely to disclose the differences of the same topic which has similarity in its form, but different legally. Substantially, bay’ alwafa’is not same as ar-rahn (loan guaranty), for the latter is just a guaranty (ar-rahn). While the mortgage can not be profited by the creditor. The case can not be juxtaposed to akad bay’ al-wafa’, since it had been proclaimed from the beginning as a transaction. So a buyer may profit from his goods freely. Nevertheless, the buyer may not resell it to a third person except to the first seller, because the mortgage is deemed as a guaranty during the time under consideration. Keywords: al-furuq al-fiqhiyah,, bay’ al-wafa, ar-rahn
I. Pendahuluan Membahas perbedaan diantara dua furu’ adalah termasuk dalam pembahasan al-furuq al-fiqhiyah, yakni melihat sisi perbedaan diantara dua cabang fikih yang serupa antara yang satu dengan yang lainnya pada bentuk, tetapi berbeda pada hukumnya.1 Seperti yang akan dibahas berikut ini perbedaan antara ar-rahn dengan bay’ al-wafa’. Ar-rahn adalah merupakan kegiatan sosial yang telah lama ada dan berkembang dalam masyarakat, baik secara adat maupun yang 1 Yacub Abdul Wahab al-Bahisin, al-furq al-fiqhiyah wa al-Ushuliyah, Maktabah al-Rusyd, Riyad., 1998, hal. 13 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
323
Elimartati
dilegasisasi oleh hukum Islam seperti peristiwa Rasulullah SAW menjaminkan baju besinya kepada orang Yahudi untuk keperluan membeli makanan sebagaimana yang dikisahkan dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah. Ar-rhn (barang jaminan) ditangan al-murtahin (pemberi utang) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari ar-rahin (orang yang berutang), namun kenyataan dalam masyarakat barang jaminan itu sering dimanfaatkan atau hasilnya diambil oleh al-murtahin. Dalam hukum Islam ar-murtahin tidak berhak memanfaatkan hasil dari arrahn, karena dianggap riba. Untuk menhindari perbuatan riba yang ditimbulkan dalam kegiatan ar-rahn, masyarakat Bukhara dan Balkh di Asia Tengah pada pertengahan abad ke 5 Hijriyah melakukan transaksi yang dikenal dengan Bay’ a-Wafa’ Tinjaun furu’ fiqhiyah terhadap pemanfatan barang jaminan oleh pemberi utang terdapat perbedaan pendapat para ulama fikih dan juga bila ditelaah pembahasan ulama fikih terhadap kebolehan bay’al-wafa’ sebagai solusi menghindarkan riba dalam perbuatan arrahn. Dalam makalah ini mencoba memaparkan perbedaan antara arrahn dengan bay’al-Wafa’. Yang akan dibahas adalah kenapa terdapat perbedaan hukumnya, tentang masalah apa terdapat perbedaanya, apa dalil yang dipakai, dan bagaimana pendapat para ulama tentang masalah ini.
II. Fikih Ar-Rahn Pengertian ar-Rahn Kata ar-rahn secara etimilogi berarti tetap, kekal dan jaminan, dinamai juga dengan al-habsu, artinya penahanan seperti dikatakan “ni’matun Rahinah” artinya karunia yang tetap dan lestari.2 Allah SWT berfirman dalam surat al-Mudasir ayat 38: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” Pengertia rahn (barang jaminan) secara terminilogi, ada beberapa defefenisi yang dikemukakan para ulama fikih diantaranya yang 2
Sayid sabiq, Fihq al-Sunnah, jilid 3, Dar al-Fikr, Libanon, 1983, hal.
187 324
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’
dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah mendefinisi ar-rahn.3
ﺟﻌﻞ ﻋﲔ ﻟﻬﺎ ﻗﳰﺔ ﻣﺎﻟﻴﺔ ﰲ ﻧﻈﺮ اﻟﴩع وﺛﻘﺔ ﺑﺪﻳﻦ ﲝﻴﺚ ﳝﻜﻦ ٔاﺧﺬ ادلﻳﻦ ﳇﻪ ٔاو ﺑﻌﻀﻪ ﻣﻦ ﺗكل اﻟﻌﲔ menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar piutang, baik seluruhnya maupun sebahagian.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan rahn yakni:
ﺟﻌﻞ ﻋﲔ وﺛﻴﻘﺔ ﺑﺪﻳﻦ ﻳﺴـﺘﻮﰲ ﻣﳯﺎ ﻋﻨﺪ ﺗﻌﺬر وﻓﺎﺋﻪ menjadikan materi (barang) sebagai jaminan terhadap utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang berutang tidak bisa membayar utangnya”
Dan ulama Malikiyah:4
ﺷـئي ﻣﳣﻮل ﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻜﻪ ﺗﻮﺛﻘﺎ ﺑﻪ ﰶ دﻳﻦ ﻻزم harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (angunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yag dijadikan barang jaminan (angunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan sebagai surat jaminannya adalah sertifikat sawah.5 Ulama Hanafiyah mendefinisi rahn adalah “menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar piutang, baik seluruhnya maupun sebahagian. Sedangakn definisi yang dikemukakan Syafi’iyah dan Hanabilah mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanyalah harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah. Walaupun sebenarnya manfaat itu menurut Syafi’iyah 3 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 4, DaralFikr, Damsyik, 1989, hal. 180 4 Asy-Syarbaini Khatib, Mughni al-mukhtaj, jilid 2, Dar al-Fikr, Beirut, 1978, hal. 121 5 Op. cit, hal. 181 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
325
Elimartati
dan Hanabilah, termasuk dalam pengertian harta. Ar-rahn di tangan murtahin (pemberi utang) hanya berfungsi sebagai jaminan utang ar-rahin (orang yang berutang). Barang janminan itu baru boleh dijual/ dihargai apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak, utang tidak dilunasi oleh orang yang berutang. Oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya.
Dasar Hukum ar-Rahn Para ulama fihq mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam hukum Islam berdasarkan Alquran dan Hadis Rasulullah SAW. Dalam surat al-Baqarah (2: 283) Allah SWT berfirman: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). ” Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/ dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh pemberi piutang.6 Maksudnya adalah karena tidak semua barang jaminan dapat dipegang/ dikuasai oleh pemberi piutang secara langsung, maka setidaknya ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-marhun (menjadi angunan utang). Misalnya bila angunan itu sebidang tanah, maka yang dikuasai (al-qabdh) adalah surat tanah (sertifikat tanah). Hadis7 yang menjadi landasan ar-rahn di antaranya adalah:
ُ َّ اهلل َﻋ ْﻨ ُﻪ َٔاﻧ َّ ُﻪ ﻣ ََﴙ ِٕا َﱃ اﻟﻨ ِ َِّّﱯ ﺻَ َّﲆ ُ َّ َﴈ َ ِ ﻋَﻦْ َٔاﻧَ ٍﺲ ر اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ِ ُﲞ ْ ِﱫ َﺷ ِﻌ ٍﲑ و َِٕا َﻫ َ ٍﺎةل َﺳـ ِﻨ َﺨ ٍﺔ وَﻟَ َﻘ ْﺪ َرﻫَﻦَ اﻟﻨ ِ َُّّﱯ ﺻَ َّﲆ ُ َ َٔ ُ َ َ ْ َ ُ َّ اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّﲅ ِدرْﻋًﺎ هل ِابﻟﻤ َِﺪﻳ َﻨ ِﺔ ِﻋﻨ َْﺪ ﳞَ ُﻮ ِد ٍّي َو َٔا َﺧﺬ ِﻣ ْﻨ ُﻪ َﺷ ِﻌ ًﲑا ِﻻ ْﻫ ِ ِهل وَﻟ َﻘ ْﺪ َ ِﲰ ْﻌ ُﺘ ُﻪ ﻳ َُﻘﻮل ﻣَﺎ َٔاﻣ َْﴗ ِﻋﻨ َْﺪ ا ٓ ِل ﻣُﺤَ ﻤ ٍَّﺪ َ َ َ َ َّ َّ ِٕ ُ ﺻَ ﲆ َّاهلل ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ ﲅ ﺻَ ُﺎع ُﺑ ٍّﺮ وَﻻ ﺻَ ُﺎع ﺣَ ٍّﺐ وَانَّ ِﻋﻨ َْﺪ ُﻩ ﻟ ِﺘﺴْ َﻊ ﻧِﺴْ َﻮ ٍة dari Anas r. a, bahwasanya dia pergi kepada Nabi SAW. membawa roti gandum dan keju yang banyak. Nabi SAW telah menjaminkan baju be-
6 Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, Dar al-Fikr, jilid 5, Beirut, tt, hal. 340 7 Ibnu Hajar al –Asgalani, Fathu al-Bari Sarah Shahiah Bukhari, jilid 5,
Dar al-Fikr, Beirut, 1992, hal. 438. 326
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’ sinya di Madinah kepada orang Yahudi, dan beliau mengambil gandum dari Yahudi itu untuk keluarganya. Sesunguhnya aku mendengar Anas berkata sore itu keluarga Muhamad SAW. tidak punya gandum segantangpun dan tidak pula biji-bijian. pada hal beliau mempunyai sembilan isteri. (HR Bukhari)
Pakar fikih sepakat menyatakan peristiwa Rasulullah SAW menjaminkan baju besinya adalah kasus pertama terjadinya ar-rahn dalam Islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW. Hadis yang lain juga diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Hanbal, al-Bukhari, al-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Anas bin Malik. Hadis8 lainnya berbunyi:
» َﻻ َﻳ ْﻐ َﻠ ُﻖ اﻟ َّﺮ ْﻫﻦُ وَاﻟ َّﺮ ْﻫﻦُ ﻟِ َﻤﻦْ َر َﻫ َﻨ ُﻪ َ ُهل ُﻏ ْﻨ ُﻤ ُﻪ َوﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ-ﺻﲆ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﲅ- اهلل ِ َّ ﻋَﻦْ َٔا ِﰉ ُﻫ َﺮْﻳ َﺮ َة َﻗ َﺎل َﻗ َﺎل رَﺳُ ُﻮل (ُﻏ ْﺮ ُﻣ ُﻪ )رواﻩ ادلارﻗﻄﲎ واﳊﺎﰼ Dari Abu Hurairah ia berkata Rasulullah SAW. Bersabda barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya karena hasil dan resiko yang timbul atas barang itu menjadi tanggungjawabnya. (HR Darulqutni dan Hakim)
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, ulama fikih sepakat mengatakan bahwa ar-rahn itu dibolehkan, karena banyak mengandung kemaslahatan dalam rangka tolong menolong sesama umat. Akad dari ar-rahn adalah akad tabarru’ karena apa yang diberikan sebagai pinjaman tidak mengharapkan keuntungan atau imbalan, balasannya adalah dari Allah SWT.
Rukun ar- Rahn Ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn. Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn ada empat, yaitu shigat (lafat ijab dan qabul), orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin), harta yang dijadikan angunan(al-marhun), dan utang (al-marhun bih).9 Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ar-rahn itu hanya ijab dan qabul. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya akad ar-rahn maka diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang jadi angunan dan utang, menurut ulama Hanafiyah term8 9
Syarbaini Khatib, loc. it Syarbaini Khatib, loc. it
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
327
Elimartati
asuk syarat-syarat ar-rahn, bukan rukunnya.10
Memanfaatkan Barang Jaminan (al-Marhun) Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berutang. Hal ini sejalan dengan sabda Rasullah yang mengatakan:
( هل ﻏﳮﻪ وﻋﻠﻴﻪ ﻏﺮﻣﻪ )رواﻩ ادلارﻗﻄﲏ... ...pemilik barang jaminan (angunan) berhak atas segala hasil barang jaminan dan ia bertanggungjawab atas segala biaya barang jaminan itu. (HR. Syafi’i dan Daraqutni)
Ulama fikih juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan jaminan tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali. Karena tindakan itu termasuk tindakan meyia-nyiakan harta yang dilarang oleh Rasulullah SAW (HR. at-Tarmizi). Supaya barang jaminan tidak ditelantarkan, apakah pihak pemegang barang jaiminan boleh memanfatkan barang jaminan. Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat para ulama. Jumhur ulama fikih,11 selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan, karena barang jaminan itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap jaminan itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, barula ia boleh menjual atau menghargai barang jaminan itu untuk melunasi piutangnya. Alasan Jumhur ulama adalah Sabda Rasulullah SAW12 yang berbunyi:
(ا ﻳﻐﻠﻖ اﻟ ّﺮﻫﻦ ﻣﻦ ﺻﺎﺣﺒﻪ اذلي رﻫﻨﻪ هل ﻏﳮﻪ وﻋﻠﻴﻪ ﻏﺮﻣﻪ )رواﻩ اﳊﺎﰼ واﻟﺒﳱﻘﻲ واﺑﻦ ﺣﺒﺎن ﻟﻌﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮﻩ Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang jaminan dan resiko yang timbul atas barang itu menjadi tanggungjawab
10 Imam al-Kasani, al-Bada’i’u ash-Shana’i’u, jilid 6, al-Muniriyah, Mesir, tt, hal. 125 dan lihat juga Ibnu Abidin, op. cit, jilid5, hal. 340 11 Ibnu Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Mugtashid, jilid 2, Dar Ihya’ al-Kitab ‘Arabiyah, Indonesia, tt, hal 208 12 Al-Kahlani, op. cit, hal. 52 328
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’ pemilik barang. (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)
Apa bila pemilik barang jaminan mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebahagian ulama Hanafiyah membolehkannya,13 karena dengan ada izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi sebahagian ulama Hanafiyah,14 ulama Malikiyah,15 ulama Syafi’iyah,16 dan Hanbali17 berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apa bila barang jaminan dimanfaatkan oleh pemegangnya, maka hasil pemanfaatan merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan dan diridhai pemilik barang. Bahkan, menurut mereka ridha dan izin dalam hal ini lebih cendrung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjamnya. Di samping itu, dalam masalah riba, izin dan ridha tidak berlaku. hal ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi, dan ibnu Hiban di atas. Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan adalah binatang ternak. Menurut sebahagian ulama Hanafiyah, almurtahin boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya.18 Ulama Malikiyah Syafiiyah dan sebahagian ulama Hanafiyah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya, maka orang yang memegang barang jaminan boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak, karena membiarkan hewan itu tersia-sia termasuk kedalam larangan Rasulullah SAW yang diriwayat oleh at-Tirmizi di atas. Ulama Hanabilah 19 berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu hewan, maka pemegang barang jaminan berhak 13 14 15 16 17
Ibnu Abidin, op. cit, jilid 5. hal. 478 Imam al-kasani, op. cit, hal. 145 Wahbah op. cit, hal. 256 Imam Syiafi’i, al-Um, jilid 3, Dar al-Fikr, Beirut, 1981, hal. 147 Ibnu Qudamah, al-Mughni, jilid 4, Dar al-Fikr, Beirut, 1985, hal.
250 18 Wahbah al- Zuhaily, lo. cit 19 Ibnu Qudamah, op. cit, hal. 251 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
329
Elimartati
untuk mengambil susunya dan mempergunakannya, sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan oleh pemegang barang jaminan. Ulama yang berpendapat di atas berdalil dengan Hadis Rasulullah SAWsebagai berikut20:
ًﻋَﻦْ َٔاﰊِ ُﻫﺮَﻳْﺮَةَ َرﴈَِ ا هللَُّ َﻋﻨْﻪُ ﻗ َﺎلَ ﻗ َﺎلَ َرﺳُﻮلُ ا هللَِّ َﺻﲆَّ ا هللَُّ َﻋﻠَﻴْﻪِ َوﺳَﲅََّ تاﻟﻈﻬﺮ ﻳ ُﺮْﻛَﺐُ ﺑ ِﻨَﻔَﻘَﺘِﻪِ ا ِٕذَا ﰷَنَ َﻣﺮْﻫُﻮان َّ وَﻟَ َ ُﱭ َ ْ َﴩ ُب ﺑِ َﻨ َﻔ َﻘ ِﺘ ِﻪ ِٕا َذا َﰷنَ ﻣ َْﺮ ُﻫ ًﻮان َوﻋ ََﲆ َّ ِاذلي ﻳَ ْﺮ َﻛ ُﺐ َوﻳ َ ْ ادل ِّر ُﻳ (ﴩ ُب اﻟ َّﻨ َﻔ َﻖ)رواﻩ اﻟﺒﺨﺎر Dari Abuhurairah ra, Rasulullah SAW bersabda barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari tenak yang dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunyaharus dikeluarkan biayanya. (HR Bukhari)
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila barang jaminan itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah, maka pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkannya.21 Apabila barang jaminan itu berupa ternak ulama Hanafiyah mengatakan pihak pemegang barang jaminan boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemiliknya. Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafiiyah mengatakan kebolehan memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan oleh pemberi piutang, hanya apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh pemiliknya.22 Selain dari perbedaan pendapat di atas, terdapat juga perbedaan pendapat para ulama dalam pemanfaatan barang jaminan oleh ar-rahn (pemilik barang jaminan). Ulama Hanafiyah23dan Hanabilah24 menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan, jika diizinkan oleh al-murtahid. Mereka berpendapat bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggungjawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah di atas. Oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin memanfatkan barang jaminan, 20 21 22 23 24 330
Al-Kahlani, op. cit, hal. 51 Ibnu Qudamah, Ilo. cit Wahbah az-Zuhaily, loc. cit. Imam al-Kasani, op. cit, hal. 146 Ibnu Qudamah op. cit, hal. 252 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’
haruslah mendapat izin dari pihak lain. Apabila barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkanya bertanggungjawab membayar ganti rugi. Ulama Syafi’iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena aabila pemilik barang ingin memenfaatkan al-marhun, tidak perlu ada izin dari pemegang barang jaminan. Alasannya adalah karena barang itu miliknya, dan seorng pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan miliknya. Akan tetapi pemanfaatan oleh pemilik barang itu tidak boleh merusak barang jaminan itu, baik kualitas maupun kantitasnya. Apabila terjadi kerusakan pada barang jaminan ketika dimanfaatkan oleh pemiliknya, maka pemilik bertanggungjawab dalam hal ini, sesuai dengan yang dikemukan Rasullah dalam hadis riwayat Bukhari, tarmizi dan abu Daud dari abu hurairah di atas.25 Menurut fathi ad-Duraini, kehati-hatian para ulama fikih dalam menetapkan hukum pemanfaatan al-marhun, baik oleh ar-rahin maupun oleh al-murtahin bertujuan agar kedua belah pihak tidak termasuk orang yang memakan riba. Karena hakekat ar-rahn dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa imbalan jasa (akad tabarru’) dan tujuannya adalah tolong menolong bukan untuk mencari keuntungan. Oleh sebab itu, para ulama fikih menyatakan apabila berlangsungnya akad kedua belah pihak menetapkan syarat bahwa kedua belah pihak boleh memanfaatkan al-marhun, maka akad arrahn itu dianggap tidak sah, karena hal ini bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn itu sendiri.26
III. Fikih Al-Bay’ al-Wafa’ Pengertian al-Bay’ al-Wafa’ Al-bay’ secara etimilogi berarti jual beli ,dan al-wafa’ berarti pelunasan / penunaian utang, Bay’ al-wafa’ adalah salah satu bentuk transaksi (akad) yang muncul di Asia Tengah (bukhara dan Balkh) pada 25 Syarbaini Khatib, op cit, hal. 131 26 Fathi ad- Duraini, al-Fiqh al-Islami al-Muqaranut, ma’a al-Mazahib, Mathba’ahat- Thariyyin, Damaskus, 1979, hal. 571 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
331
Elimartati
pertengahan abad ke 5 Hijriyah dan merambat ke Timur Tengah. Secara terminologi, bay’ al-wafa’ didefinisikan ulama fikih dengan jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tengang waktu yang ditentukan telah tiba.27 Sayid Sabiq menyebutkan bay’ al-wafa’.
وﺣﳬﻪ ﺣﲂ اﻟﺮﻫﻦ ﰲ ٔارﰕ. .ﺑﻴﻊ اﻟﻮﻓﺎ ﻫﻮ ٔان ﻳﺒﻴﻊ اﶈﺘﺎج اﱃ اﻟﻨﻘﺪ ﻋﻘﺎر ٔا ﻋﲆ ٔاﻧﻪ ﻣﱴ وﰱ اﻟﳥﻦ اﺳﱰد اﻟﻌﻘﺎر الاراء ﻋﻨﺪان Bay ‘al-wafa’yaitu orang yang butuh menjual suatu barang dengan janji bila pembayaran telah dipenuhi, dibayar kembali, barang dikembalikan lagi. Hukum jual beli semacam ini seperti gadai, menurut pendapat yang paling rajih, disii kami.28
Jual beli bay’ al-Wafa’ ini mempunyai tenggang waktu yang terbatas, misalnya satu tahun. Apabila jangka waktu satu tahun telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya. Contohnya badu sangat memerlukan uang saat ini, dia ada punya kebun, maka dijualnya kebun itu kepada amir selama dua tahun. Mereka sepakat menyatakan bahwa habis masa tenggang dua tahun badu membeli kebun itu lagi kepada amir dengan harga yang sama sewaktu amir menjual kepada badu. selama kebun ditangan Amir, ia boleh menggarapnya dan memanfaatkan hasil dari kebun itn. Amir tidak dibenarkan menjual kebun itu kepada orang lain. Barang yang diperjual belikan dengan bay’ al-wafa’ biasanya berbentuk barang tidak bergerak seperti tanah perkebunan, rumah, dan lainnya. Yang sering juga dijadikan barang. jaminan dalam ar-rahn. Akad dari al-wafa’ adalah akad tijarah yaitu untuk mencari keuntungan berbeda dengan akad ar-rahn yang akadnya bersifat tabarru’. Sejarah timbulnya Jual beli bay’ al-wafa’ ini pertama kali munculnya adalh di Bukhrara dan Balkh sekitar abad ke 5 hijriyah. Bay’ al-wafa’ dilaksanakan adalah untuk menghindari terjadinya riba dalam pinjam meminjam. Banyak diantara orang kaya saat itu tidak mau lagi meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara banyak pula para peminjam yang tidak mampu 27 Mustafa Ahmad az- Zarqa’, Syarh al-Qanun as-Suri, al-Uqud alMusamma, Dar al-Kitab, Damaskus 1968, hal. 28 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fikr, Beirut, 1983, hal. 151 332
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’
melunasi utangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Di sisi lain imbalan yang diberikan atas dasar pinjam meminjam uang ini menurut ulama fikih termasuk riba. Untuk menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh di masa itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan bay’ al-wafa’.29
Rukun dan Syarat Bay’ al-Wafa’ Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa yang menjadi rukun dalam bay’ al-wafa’ sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu ijab dan qabul. Menurut mereka hanya ijab dan qabul yang menjadi rukun akad, sedangkan pihak yang berakad (penjual dan pembeli), barang yang diperjual belikan, dan harga barang, tidak termasuk rukun, melainkan termasuk syarat- syarat jual beli. 30 Demikian juga syarat-syarat bay’ al-wafa’, menurut mereka sama dengan syarat-syarat jual beli pada umumnya. Penambahan syarat untuk bay’ al-wafa’ hanyalah dari segi penegasan bahwa barang yang telah dijual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu berlakunya jual beli itu harus jelas, misalnya satu tahun atau dua tahun. Hukum Akad Bay’al-Wafa’ Menurut mustafa Ahmad az-Zarqa dan Abd ar-Rahman ash-Shabuni, dalam sejarah bay’ al-wafa’ baru mendapatkan justifikasi para ulama fikih setelah berjalan beberapa lama di tengah masyarakat. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah berlangsung beberapa lama dan bay’ al-wafa’ telah menjadi ‘urf (adat kebiasaan) masyarakat Bukhara dan Balkh, baru kemudian ulama fikih dalam hal ini ulama Hanafi melegalisasi jenis jual beli ini. Imam Najmuddin al-Nasafi (461-573 H) seorang ulama terkemuka mazhab Hanafi di Bukhara mengatakan “syaikh kami (Hanafi) membolehkan bay’ al-wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.” Muhamad Abu Zahra, tokoh fikih dari Mesir, mengatakan 29 Abdu al- Rahman ash- Shabuni, al-Madkhul li Dirasah al-Tasyri’ alIslami, jilid 1, Mathba’ah Riyadh, Damaskus, 1980, hal. 64 30 Ibid. hal. 68 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
333
Elimartati
bahwa dilihat dari segi sosio-historis, kemunculan bay’al-wafa’ ditengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke 5 H adalah disebabkan oleh para pemilik modal tidak mau lagi memberi utang kepada orang-orang yang memerlukan uang, jika mereka tidak mendapatkan imbalan apapun. Hal ini membuat kesulitan bagi masyarakat yang memerlukan. Keadaan ini membawa mereka untuk menciptakan akad tersendiri, sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang kaya pun terayomi. Jalan keluar yang mereka lakukan adalah bay al-wafa’.31 Dengan cara ini di satu pihak keperluan masyarakat lemah terpenuhi, sementara pada saat bersamaan mereka terhindar dari perbuatan riba. Jalan pikiran ulama Hanafiyah dalam memberikan justifikasi terhadap bay’ al-wafa’ adalah berdasarkan pada istihsan urfiy (menetapkan hukum sesuatu permasalahan yang telah berlaku umum dan berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat). Akan tetapi para ulama fikih lainnya seperti Syafi’iyah tidak membolehkan jual beli seperti ini, alasan mereka32 adalah: dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpeindahan hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli. dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia telah siap mengembalikan uang seharga jual semula. Bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW maupaun di zaman sahabat, jual beli ini merupakan hilah33 yang tidak sejalan dengan maksud –maksud syara’ dalam pensyariatan jual beli. 31 Muhammad Abu Zahra, tarikh al-Mazhib al-Islamiyyin, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Mesir, tt, hal. 243 32 Abd ar-Rahman ash-Shabuni, op. cit, hal73 33 Yang dimaksud dengan hilah adalah suatu perbuatan yang pada dasarnya disyariatkan, dilaksanakan secara sengaja untuk membatalaknan hukum syara’ lainnya yang lebih penting. Misalnya menghibahkan sebahagian harta kepada anak, sementara jumlah harta itu telah satu nisab dan hampir masuk waktu haul (wajib zakat). Hibah hukumnya sunat, sedangkan zakat hukumnya wajib. Hibah dalam kasus ini dilaksanakan untuk menghindari diri dari kewajiban membayar zakat, lihat Wahbah Zuhaily, Ushul al- fiqh al-Islami, jilid 2Dar al-Fikr, Beirut, 1986, hal. 136 334
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’
III. Perbedaaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’ Secara substansial, bay’ al-wafa’ tidak sama dengan ar-rahn (jaminan utang), karena ar-rahn dalam Islam hanya merupakan jaminan utang. Dan barang yang dijadikan jaminan tidak dapat dimanfaatkan oleh pemberi utang. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Hakim, Ibnu Majah dan alBaihaqi yang menyatakan pemegang barang jaminan utang pada perinsipnya tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, kecuali yang menjadi barang jaminan itu hewan. Apabila pemberi utang memanfaatkan barang jaminan itu, maka hasil yang ia manfaatkan itu termasuk dalam kategori riba yang diharamkan. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW dari Ali r.a.34 yang mengatakan:
ّ (ﰻ ﻗﺮض ﺟ ّﺮ ﻣﻨﻔﻌﺔ ﻗﻬﻮ راب )رواﻩ اﻟﺒﳱﻘﻲ Lain halnya dengan akad bay’ al-wafa’, karena dalam akad jual beli bay’ al-wafa’ sejak semula telah ditegaskan sebagai jual beli. Maka pembeli dengan bebas dapat memanfaatkan barang yang dibelinya. Hanya saja pembeli tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain selain kepada penjual semuala, karena barang yang berada ditangan pemberi uang (utang) merupakan jaminan utang selama tenggang waktu yang disepakati. Apabila pemilik barang telah mempunyai uang untuk menulasi harga jual semula pada saat tenggangbwaktu jatuh tempo, maka barang yang dibeli harus diserahkan kembali kepada penjual semula. Dengan cara bay’ al-wafa’ ini, kemungkinan terjadinya riba dapat dihindari. Bagi ulama yang tidak membenarkan bay’al-wafa’ jual beli seperti ini sebenarnya dibarengi dengan syarat yang termasuk jual beli terlarang, hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW riwayat Muslim, an-Nasa’i, Abu Daud, at-Tarmizi dan Ibnu Majah yang berbunyi:
ﳖـﻰ رﺳﻮل ﷲ ص م ﻋﻦ ﺑﻴﻊ ﴍط Mustafa Ahmad az-Zarqa’35 mengambarkan akad bay’ al-wafa’ 34 Al-Kahlani, op. cit, hal. 53 35 Mustafa Ahmad az-Zarqa’, op. cit, hal. 28 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
335
Elimartati
terdiri dari tiga bentuk yakni: Pertama, Ketika dilakukan transaksi, akad ini merupakan jual beli, karena di dalam akad dijelaskan bahwa transaksi itu adalah jual beli, melalui ucapan penjual. Kedua, setelah transaksi dilaksanakan dan harta berpindah ke tangan pembeli, transaksi ini berentuk ijarah (pinjam meminjam/ sewa menyewa), karena barang yang dijual itu harus dikembalika kepada penjual, sekalipun pemegang harta itu berhak memanfaatkan dan menikmati hasil barang itu selama waktu yang disepakati Ketiga, masa akad berakhir, yakin ketika tenggang waktu yang disepakati sudah jatuh tempo, bay’al-wafa’sama dengan ar-rahn, karena dengan jatuh tempo yang disepakati kedua belah pihak, penjual harus mengembalikan uang kepada pembeli sejumlah harga yang diserahkan pada awal akad. Dan pembeli harus mengembalikan barang yang dibelinya itu kepada penjual pertama secara utuh. Dari sini terlihat bahwa bay’ al-wafa’ diciptakan untuk menghindari riba, dan juga merupakan wacana tolong menolong antara pemilik modal dengan orang yang membutuhkan uang dalam jangka waktu tertentu. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa bay’al-wafa’ adalah sah dan tidak termasuk kedalam larangan Rasulullah SAW yang melarang jual beli bersyarat, karena sekalipun disyaratkan bahwa harta yang dibeli itu harus dikembalikan kepada pemilik semula, namun pengembalian itu harus melalui akad jual beli. Di samping itu inti dari jual beli ini adalah dalam rangka menghindari masyarakat melakukan suatu tarnsaksi yang mengandung unsur riba. Kemudian dalam persoalan memanfaatan obyek akad (barang yang dijual), statusnya tidak sama dengan ar-rahn karena barang itu benar-benar telah dijual kepada pembeli. Sesorang yang telah membeli sesuatu barang berhak sepenuhnya untuk memanfaatkan barang itu. Hanya saja barang itu harus dijual kembali kepada penjual pertama seharga penjualan semula itu. Inipun menurut mereka, bukan suatu cacat dalam jual beli. Lebih lanjut ulama Hanafiyah36 mennyatakan perbedaan yag 36 Ali Haidar, ad-Durar al-Hukkam Syarh Majlla al-Ahkam, jilid 4, hal. 336
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’
mendasar antara bay’ al-wafa’ denngan ar-rahn sebagai berikut: 1. Berdasarkan akad ar-rahn pemegang barang jaminan tidak sepenuhnya memiliki barang jaminan itu (milik syubhan), sedangkan dalam bay’ al-wafa’ barang yang dibeli itu sepenuhnya menjadi milik pembeli (milik sempurna) selama masa tenggang waktu yang disepakati 2. Dalam ar-rahn, jika harta yang digadaikan (al-marhun) rusak selama di tangan pemegang gadai, maka kerusakan itu menjadi tanggungjawab pemilik barang, sedangkan dalam bay’al-wafa’ apabila kerusakan itu bersifat total baru menjadi tanggungjawab pembeli, tetapi apabila kerusakannya tidak parah, maka hal itu tidak merusak akad. 3. Dalam ar-rahn segala biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan barang menjadi tanggungjawab pemilik barang, sedangkan dalam bay’ al-wafa’ biaya biaya pemeliharaan barang sepenuhnya menjadi tanggungjawab pembeli, karena barang itu telah menjadi miliknya selama tenggang waktu yang disepakati. 4. Kedua belah pihak tidak boleh memindah tangankan barang yang diperjual belikan kepihak ketiga 5. ketika sejumlah uang pembelian semula sudah dikembalikan penjual kepada pembeli pertama setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang itu kepada penjual. 37 Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa persamaan ( )ﺍﳉﻤﻊantara ar-rahn dengan bay’al’wafa’ adalah dibidang objeknya yaitu benda yang jadi jaminan dalam ar-rahn dan jadi objek jual beli dalam bay’ al-wafa’ sama yaitu ada barang ada uang. Dan juga kedua belah pihak yang berakad baik pada ar-rahn maupun pada bay’ alwafa’ tidak boleh memindah tangankan benda yang jadi objek akad. Selain Perbedaan ()ﺍﻟﻘﺮﻕantara ar-rahn dengan bay’al’wafa’ yang telah dipaparkan di atas, dapat ditambahkan perbedaaanya sebagai berikut: 1. Tinjauan tentang akad ar-rahn sepakat ulama membolehkannya 14 37 Ali Haidar, ad- Durar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, Jilid IV, hal. 14 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
337
Elimartati
berdasarkan ayat Alquran dan Hadis Rasulullah SAW. Sedangkan kebolehan akad bay’al-wafa’ terdapat perbedaan pendapat para ulama. Ulama Hanafiyah membolehkan akad bay’al-wafa’, disamakannya dengan akad jual beli. Kebolehan akad jual beli bay’ al-wafa’ oleh ulama Hanafiyah berdalil dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat, dan dapat juga dikatakan dalam menetapkan hukum jual beli ini memakai metode hiyal (hilah). Bagi ulama yang tidak membenarkan bay’al-wafa’ jual beli seperti ini sebenarnya dibarengi dengan syarat yang termasuk jual beli terlarang, hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW riwayat Muslim, an-Nasa’i, Abu Daud, at-Tarmizi dan Ibnu Majah yang berbunyi:
ﳖـﻰ رﺳﻮل ﷲ ص م ﻋﻦ ﺑﻴﻊ ﴍط 2.
pemanfatan barang jaminan oleh al-murtahin (pemberi utang), tidak dibenarkan berdasarkan hadis Rasulullah SAW. yang telah disebutkan di atas. dalam akad ahar-rn dan termasuk riba yang diharamkan berdasar ayat Alquran (QS. 2: 75) yang artinya Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. sedangkan dalam akad bay; al-wafa’ memanfaatkan barang yang dibelinya adalah boleh karena barang itu sudah menjadi miliknya Jumhur ulama fikih, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan, karena barang jaminan itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap jaminan itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, barula ia boleh menjual atau menghargai barang jaminan itu untuk melunasi piutangnya. Alasan Jumhur ulama adalah Sabda Rasulullah SAW38 yang berbunyi:
3.
(ا ﻳﻐﻠﻖ اﻟ ّﺮﻫﻦ ﻣﻦ ﺻﺎﺣﺒﻪ اذلي رﻫﻨﻪ هل ﻏﳮﻪ وﻋﻠﻴﻪ ﻏﺮﻣﻪ )رواﻩ اﳊﺎﰼ واﻟﺒﳱﻘﻲ واﺑﻦ ﺣﺒﺎن ﻟﻌﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮﻩ 4.
Latar belakang munculnya bay’al-wafa’ adalah dimotivasi un-
Al-Kahlani, op. cit, hal. 52 338
٣٨
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’
5.
6.
tuk menghindarkan masyarakat dari melakukan perbuatan riba dalam pinjam meminjam. Untuk mendorong orang yang kaya (mampu)mau membantu masyarakat yang membutuhkan dana dan ia tidak mendapat kerugian. Akad ar-rahan termasuk akad tabarru’39 sedangkan akad bay al-wafa’ adalah akad tijarah.40 Akad ar-rahn bernuansa ibadah, semata-mata mengharapkan pahala di sisi Allha, dan tidak mencari keuntungan di dunia. Sebaliknya dari akad bay’ al-wafa’ bernuansa bisnis untuk mencarari keuntungan, di samping dapat membantu hajat orang lain. Apabila barang jaminan dalam ar-rahn berbentuk binatang, maka berdasarkan hadis terdahulu boleh dimanfaatkan. Dalam prakteknya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Menurut sebahagian ulama Hanafiyah, al-murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya.41 Ulama Malikiyah Syafiiyah dan sebahagian ulama Hanafiyah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya, maka orang yang memegang barang jaminan boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak, karena membiarkan hewan itu tersia-sia termasuk kedalam larangan Rasulullah SAW yang diriwayat oleh at-Tirmizi di atas. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya, sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan oleh pemegang barang jaminan. Ulama yang berpendapat di atas ber-
39 Akad ta barru’ (gratuitous contrak) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transation (transaksi nir-laba). Transaksi ini pada hakekatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Lihat Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, IIIT, Jakarta, 2003, hal. 68 40 Akad tijarah/ mu’awadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transation. Akad dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan (ibid, hal72) 41 Wahbah al-Zuhaily, loc. cit Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
339
Elimartati
dalil dengan Hadis Rasulullah SAWsebagai berikut:42
ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ ُ َّ َﴈ َ ِ ﻋَﻦْ َٔا ِﰊ ُﻫ َﺮْﻳ َﺮ َة ر َاهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ت اﻟﻈﻬﺮ ﻳ ُْﺮ َﻛ ُﺐ ﺑِ َﻨ َﻔ َﻘ ِﺘ ِﻪ ِٕا َذا َﰷن ِ َّ اهلل َﻋ ْﻨ ُﻪ َﻗ َﺎل َﻗ َﺎل رَﺳُ ُﻮل َ َ ً َّ َّ ﻣ َْﺮ ُﻫ ًﻮان وَﻟَ َ ُﱭ َ ِٕ َ َ َ َ َ َ ْ ْ (ادل ِّر ُﻳﴩ ُب ﺑِ َﻨﻔﻘ ِﺘ ِﻪ اذا ﰷنَ ﻣ َْﺮ ُﻫﻮان َوﻋَﲆ ِاذلي ﻳَ ْﺮﻛ ُﺐ َوﻳَﴩ ُب اﻟ َّﻨﻔ َﻖ)رواﻩ اﻟﺒﺨﺎر 7.
8.
9.
Selain dari perbedaan pendapat di atas, terdapat juga perbedaan pendapat para ulama dalam pemanfaatan barang jaminan oleh ar-rahn (pemilik barang jaminan). Ulama Hanafiyah43 dan Hanabilah44 menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan, jika diizinkan oleh almurtahid. Mereka berpendapat bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggungjawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah di atas. oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin memanfatkan barang jaminan, haruslah mendapat izin dari pihak lain. Apabila barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkanya bertanggungjawab membayar ganti rugi. Ulama Syafi’iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena aabila pemilik barang ingin memenfaatkan al-marhun, tidak perlu ada izin dari pemegang barang jaminan. Alasannya adalah karena barang itu miliknya, dan seorng pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan miliknya. Akan tetapi pemanfaatan oleh pemilik barang itu tidak boleh merusak barang jaminan itu, baik kualitas maupun kantitasnya. Apabila terjadi kerusakan pada barang jaminan ketika dimanfaatkan oleh pemiliknya, maka pemilik bertanggungjawab dalam hal ini, sesuai dengan yang dikemukan Rasullah SWA dalam hadis riwayat Bukhari, tarmizi dan abu Daud dari abu hurairah di atas.45 Tarjih dari dua masalah antara ar-rahn dengan bay’al-wafa, penu42 43 44 45
340
Al-Kahlani, op. cit, hal. 51 Imam al-Kasani, op. cit, hal. 146 Ibnu Qudamah op. cit, hal. 252 Syarbaini Khatib, op cit, hal. 131 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’
lis lebih menguatkan pelaksanaan ar-rahn dengan syarat jangan memanfaatkan barang jaminan kecuali barang jaminan yang berbentuk binatang. Alasan adalah pelaksanaan ar-rahn berdasrkan ayat al-Quran dan al- Hadis. Sedangkan pelaksanaan bay’ al-wafa’ berdasarkan ‘urf. 10. Pemanfaatan barang jaminan dapat dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak dengan akad baru antara pemegang gadai (almurtahid) dengan pemilik barang (ar-rahin) seperti melakukan akad al-muzara’ah.
IV. Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa persamaan ()ﺍﳉﻤﻊ antara ar-rahn dengan bay’al’wafa’ adalah dibidang objeknya yaitu benda yang jadi jaminan dalam ar-rahn dan jadi objek jual beli dalam bay’ al-wafa’ sama yaitu ada barang ada uang. Dan juga kedua belah pihak yang berakad baik pada ar-rahn maupun pada bay’ al-wafa’ tidak boleh memindah tangankan benda yang jadi objek akad. Perbedaan antara ar-rahn dengan bay’al’wafa’ yang mendasar adalah dalam bidang akad. Ar-rahn akadnya tabarru’ sedangkan albay’al’wafa’ akadnya tijarah. Dan dalam hukum memanfaatkan pemanfatan barang jaminan oleh al-murtahin (pemberi utang), tidak dibenarkan (haram) berdasarkan hadis Rasulullah SAW. yang telah disebutkan di atas, sedangkan dalam akad bay; al-wafa’ memanfaatkan barang yang dibelinya adalah boleh karena barang itu sudah menjadi miliknya. Tarjih dari dua masalah antara ar-rahn dengan bay’al-wafa, penulis lebih menguatkan pelaksanaan ar-rahn dengan syarat jangan memanfaatkan barang jaminan kecuali barang jaminan yang berbentuk binatang. Alasan adalah pelaksanaan ar-rahn berdasrkan ayat alQuran dan al- Hadis. Sedangkan pelaksanaan bay’ al-wafa’ berdasarkan ‘urf.
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
341
Elimartati
BIBLIOGRAFI Abu Zahra, Muhammad, Tarikh al-Mazhib al-Islamiyyin, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Mesir, tt Durain, Fathi ad-, al-Fiqh al-Islami al-Muqaranut, ma’a al-Mazahib, Mathba’ahat- Thariyyin, Damaskus, 1979 Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, Dar al-Fikr, jilid 5, Beirut, tt, Imam al-Kasani, al-Bada’i’u ash-Shana’i’u, jilid 6, al-Muniriyah,, Mesir, tt, Ibnu Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Mugtashid, Dar Ihya’, Indonesia, tt Ibnu Qudamah, al-Mughni, jilid 4, Dar al-Fikr, Beirut, 1985 Imam Syiafi’i, al-Um, jilid 3, Dar al-Fikr, Beirut, 1983 Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathu al-Bari Sarah Shahih Bukhari, jilid 5, Dar al-Fikr, Beirut, 1993 Kahlani, Muhammad bin Ismail, Subulussalam, jilid 3, Dahlan, Bandung, tt Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, IIIT, jakarta, 2003 Mustafa Ahmad az- Zarqa’, Syarh al-Qanun as-Suri, al-Uqud al-Musamma, Dar al-Kitab, Damaskus 1968 Sayid Sabiq, Fihq al-Sunnah, jilid 3, Dar al-Fikr, Libanon, 1983, Syarbaini Khatib, Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifah al-Fazh al-Minhaj, jilid 2, Dar al-Fikr, Beirut, 1978 Shabuni, Abdu al- Rahman ash-, al-Madkhul li Dirasah al-Tasyri’ al- Islami, jilid 1, Mathba’ah Riyadh, Damaskus Zuhaily, Wahbah al-, Al-Fihq al- Islamy wa Adilatuhu, Jilid 5, Dar alFikr, Damsyiq, 1989
342
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012