Evidence Based Case Report in Hepatology
Perbandingan Terapi Drainase Bilier pada Pasien Kolangiokarsinoma melalui Pendekatan Perendoskopik dan Perkutaneus
Oleh
dr. Kristoforus Hendra Djaya 0706311081
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS SP-1 DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL CIPTO MANGUNKUSUMO DESEMBER 2011
I.
Pendahuluan
Kolangiokarsinoma primer merupakan keganasan yang jarang di negara-negara barat dengan prognosis yang sangat buruk. 1Kolangiokarsinoma Hilar (Hilar Cholangiocarcinoma/HC) diperkenalkan untuk pertamakalinya sebagai suatu entitas klinis oleh Klatskin pada tahun 1965 melalui satu seri la poran kasusnya yang terdiri atas 13 pasien.2 Tumor ini menempati sekitar 15 – 53% dari kolangiokarsinoma primer.1 HC memiliki prognosis yang sangat buruk dengan kesintasan 5 tahun kura ng dari 10%.2 HC merupakan salah satu tumor yang tersulit dalam hal staging dan tatalaksananya.3 HC merupakan penyebab obstruksi bilier maligna yang sering ditemukan di Asia.4 Namun demikian, insidens dan mortalitas dari kolangiokarsinoma sendiri semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia.1 HC diklasifikasikan berdasarkan ekstensi dari keterlibatan tumor di duktus yaitu melalui klasifikasi Bismuth.5 Klasifikasi Bismuth sangat penting secara klinis karena resektabilitas tumor dan metode drainase biliersangat tergantung oleh tipe Bismuth.1 Klasifikasi Bismuth ini berguna dalam pengambilan keputusan resektabilitas tumor karena pasien yang menjalani reseksi tumor komplit dengan tepi reseksi bebas tumor akan memiliki kesintasan jangka panjang yang terbaik.1, 2 Namun demikian, mayoritas pasien sudah datang pada fase lanjut. Hanya 10 – 20% pasien yang dapat menjadi kandidat untuk reseksi kuratif.1 Mereka yang telah masuk pada fase lanjut dan tidak resektabel perlu mendapatkan terapi drainase bilier paliatif. 2 Pada kasus-kasus yang masih resektabel, modus utama managemen preoperatifnyapun masih dalam perdebatan.3 Sebagian besar pasien menunjukkan adanya disfungsi hati akibat ikterus obs truktif, yang telah terbukti merupakan faktor risiko signifikan pada reseksi hati mayor. Suatu komplikasi yang potensial fatal pada reseksi hati pada pasien ikterus adalah kegagalan dari sisa hati yang dikonservasi. Oleh karena itu, drainase bilier properatif perlu dilakukan pula pada pasienpasien ikterus yang akan mengalami reseksi hati mayor untuk mengoptimalkan hasil akhir dari pembedahan tersebut.3 Kemajuan di bidang radiologi intervensi dan endoskopik terapeutik telah memfasilitasi kemajuan terapi dekompresi bilier pada pasien-pasien HC, baik yang resektabel dengan risiko tinggi maupun pada pasien-pasien yang tidak resektabel. Bahkan terapi drainase bilier per-endoskopik dan perkutaneus telah diakui sebagai alternatif terapi yang efektif dan relatif non-invasif dibandingkan dengan pembedahan paliatif dalam penanganan ikterus obstruktif.1,2 Hingga saat ini, berbagai teknik telah dikembangkan sebagai terapi drainase bilier seperti drainase bilier secara endos kopi retrograd (endoscopic retrograde biliary drainage/ERBD), drainase bilier perkutaneus transhepatik (percutaneous transhepatic biliary drainage/PTBD), maupun pemasangan stent bilier internal melalui jalur PTBD.1 Walaupun diharapkan prosedur drainase tertentu lebih efektif, namun demikian, masih terdapat perdebatan mengenai terapi mana yang memberika n efektivitas terbaik dengan komplikasi minimal. Tujua n penelusuran pustaka pada EBCR ini adalah untuk membandingkan antara terapi drainase bilier baik secara endoskopik maupun perkutaneus pada pasien-pasien HC.
II.
Laporan Kasus
Pasien wanita, Ny. TJ, 50 tahun, datang dengan keluhan utama mual-muntah sejak 3 bulan sebelumnya. Pasien juga merasa badannya serta matanya tampak semakin kuning sejak 3 bulan juga. Nafsu makan masih ada. Nyeri perut kadang-kadang dirasakan. Pasien juga sering batuk-batuk, kering, tanpa dahak dan tanpa rasa sesak. Keluhan demam kadang-kadang muncul tidak tentu, hilang sendiri. Penurunan berat badan yang drastis disangkal. Pasien maupun keluarganya tidak memiliki riwayat sakit kuning, hepatitis, batu empedu, maupun keganasan sebelumnya. Pemeriksaan fisik pada pasien menunjukkan tanda vital yang masih normal, dengan sklera yang ikterik, nyeri tekan pada perut kanan atas, serta kedua ekstremitas yang membengkak. Pembesaran KGB tidak ditemukan. Pasien memeriksakan dirinya ke laboratorium pada saat pertama kali mendapati dirinya sakit dan didapatkan hasil darah lengkap dalam batas normal. SGOT dan SGPT meningkat (93/76), alkali fosfatase meningkat (328 [42 – 98]), GGT (597 [1 – 24]), AFP (29,44 [13,6]). USG abdomen pertama (9/8/2011) memberikan hasil adanya kecurigaan proses malignansi (HCC) di kedua lobus. Hasil CT scan Abdomen 12/8/2011 menunjukkan adanya hepatomegali dengan sedikitnya 5 buah nodul solid dengan penyangatan perifer di lobus kanan dan kiri, curiga metastase dd/ multifokal HCC. Namun demikian, pada pemeriksaan CT dengan kontras regio toraks, abdomen dan pelvis di Singapura tanggal 18/8/2011 didapati pada kedua lobus hati terdapat beberapa area yang menyangat di perifernya, serta menyebabkan dilatasi duktus di segmen 5/8 dan kompresi vena hepatika. Diferensial dia gnosis utamanya adalah metastasis intrahepatik kolangiokarsinoma atau metastasis dari sumber lain; pembesaran nodus pada supraklavikular kiri; beberapa nodus paru pada lobus bawah paru yang non spesifik. Tumor marker diperiksa ulang dengan hasil peningkatan pada CEA (77,8 [<5,3]); AFP (29,4 [<7,1]); dan Ca19-9 (2755 [<34,1]). Pemeriksaan dilanjutkan dengan PET CT pada tanggal 22/8/2011 dengan hasil hipermetabolik pada kedua massa liver dengan nekrosis, nodul pada lobus bawah paru kiri suspek metastasis pulmoner, supraklavikular bilateral, paraesofageal bawah, adenopati retrokaval. Pada tanggal 24 Agustus 2011 di Singapore General Hospital, pasien juga dilakukan pemeriksaan EGD dengan hasil normal, sedangkan kolonoskopi juga dilakukan dengan hasil hemoroid serta polip di kolon asenden dan penebalan noduler di area valvula ileosekal. Pasien menjala ni US guided core biopsy of the liverdan dilakukan pemeriksaan PA. Pasien kembali ke Indonesia dan satu bulan kemudian berobat ke dokter spesialis penyakit dalam dan dikatakan kanker, kemungkinan dari saluran empedu. Dilakukan pemeriksaan la boratorium dengan hasil anemia (Hb 8,8 g/dL), peningkatan enzim transaminase (SGOT/SGPT 64/54), peningkatan bilirubin (T/D/I: 12,56/11,32/1,24) dan GGT (952 [5 – 36]), serta penurunan kadar albumin (2,7 [3,5 – 5,2]). Pasien kembali kontrol ke Singapura 6 Oktober 2011 untuk mendapatkan hasil-hasil pemeriksaan terdahulu. Hasil biopsi liver menunjukkan adanya adenokarsinoma dengan kemungkinan berasal dari pankreatiko-bilier. Sedangkan biopsi polip pada kolon asendens hanya menunjukkan adanya adenoma tubuler dengan displasia derajat rendah. Diagnosa akhir dari dokter di Singapura adalah Kola ngiokarsinoma dengan metastasis paru dan KGB. Pada pasien direncanakan untuk kemoterapi, namun masih terdapat perdebatan antara beberapa tim dokter di Singapura,
terutama dikarenakan hasil pemeriksaan bilirubin terakhir pasien yang sangat tinggi (T/D/I: 27,04/21,21/5,83) sehingga dikatakan saat itu belum ada terapi yang dapat dilakukan terhadap kanker yang diderita pasien. Pasien pulang ke Indonesia dan berkonsultasi ke Spesialis penyakit dalam di Jakarta. Dokter menawarkan terapi paliatif untuk menurunkan kadar bilirubin pada pasien ini dengan ERCP disertai pemasangan stent di saluran empedu atau dengan pemasangan selang PTBD, namun pasien masih ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Masalah pada pasien ini adalah kolangiokarsinoma dengan metastasis paru dan KGB dengan ikterus obstruktif.
III. Metode Penelusuran Masalah Klinis Masalah klinis pada kasus ini adalah “Bagaimana perbandingan antara ERCP vs PTBD sebagai terapi drainase bilier pada kasus kolangiokarsinoma?” • • • • • •
Patient Hilar cholangiocarcinoma Hilar bile duct cancer Proximal bile duct cancer Klatskin tumor Carcinoma of hepatic duct bifurcation Carcinoma of hepatic duct confluence
• • • • •
Intervention PTBD Percutaneous drain Percutaneus tra nshepatic bilia ry drainage Percutaneous tra nshepatic drainage PBD
• • • • • •
Comparison ERCP Endoscopic retrograde cholangiopancreaticography Endoscopic biliary drainage Endoscopic stent Endoscopic biliary stent drainage EBD
• • • •
Outcome Survival Prognosis Hospital stay Complication
Metode penelusuran Prosedur penelusuran pustaka untuk menjawab masalah klinis di atas adalah dengan penelusuran pustaka secara on-line dengan menggunakan mesin pencari PubMed dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan adalah “(hilar cholangiocarcinoma or hilar bile duct cancer or proximal bile duct cancer or klatskin tumor or carcinoma of hepatic duct bifurcation or carcinoma of hepatic duct confluence) AND (PTBD or percutaneous drain or percutaneus transhepatic biliary drainage or percutaneous transhepatic drainage or PBD) AND (ERCP or endoscopic retrograde cholangiopancreaticography or endoscopic biliary drainage or endoscopic stent or endoscopic biliary stent drainage or EBD) AND (biliary drainage) AND (survival or prognosis or hospital stay or complication)”. Penelusuran dilakukan dengan restriksi bahasa Inggris dan penelitian yang dilakukan pada subyek manusia. Dari artikel yang didapatkan, dilakukan penelusuran daftar pustaka kembali secara manual. Abstrak dan laporan yang tidak diterbitkan tidak dimasukkan dalam penelusuran ini. Dari hasil penelusuran pustaka tersebut didapatkan hasil sebanyak63 artikel. Delapan di antaranya merupakan review, satu di antaranya berbahasa Jerman, lima diantaranya hanya didapatkan abstraknya, sedangkan 44 sisanya memiliki perbedaan tujuan penelitian yang berbeda dengan tujuan penelusuran pustaka ini, sehingga pada akhirnya didapatkan 5 literatur yang sesuai.
IV. Penelusuran Pustaka Terapi Drainase Bilier Preoperatif pada Pasien Kandidat Reseksi HC HC yang disebut juga Klatskin tumor hingga saat ini masih dihubungkan dengan prognosis yang sangat buruk. Reseksi tumor radikal, yang meliputi pula reseksi konfluens bilier dikombinasikan dengan hepatektomi parsial merupakan satu-satunya terapi kuratif yang mungkin dilakukan. Namun demikian, kebanyakan pasien HC menunjukkan a danya dis fungsi hati yang diakibatkan oleh ikterik obs truktif, yang telah terbukti merupukan faktor risiko signifikan terhadap reseksi hati mayor, karena reseksi hati pada kondisi ikterus berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Oleh karena itu, drainase bilier persiapan preoperatif disarankan oleh banyak ahli sebelum terapi definitif yang bertujuan untuk menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas pada pasien.6
Terapi Drainase Bilier Paliatif pada Pasien HC Nonresektabel Kolangiokarsinoma hilar, seperti halnya kanker periampular, seringkali datang dengan keluhan ikterus obstruktif (>= 90%), bahkan disebut sebagai painless jaundice (ikterus tanpa nyeri). Pengembalia n aliran empedu adalah salah satu tujuan utama pengobatan. Hanya pada sekitar sepertiga kasus terdapat rasa nyeri di perut kuadran kanan atas. Keluhan gatal dilaporkan pada 30 – 70% pasien. Keluhan-keluhan lain yang seringkali ditemukan adalah mual dan penurunan berat badan.7 Sebuah studi yang mengevaluasi kualitas hidup sebelum dan sesudah drainase bilier paliatif pada pasien dengan obstruksi bilier maligna menyatakan bahwa penurunan berat badan (p<0,05) dan nyeri abdomen (p<0,05) sebelum dekompresi perendoskopik, mempengaruhi kesemua domain dari SF-36, dimana peningkatan kadar bilirubin yang progresif berkontribusi terhadap skor yang buruk terhadap kondisi fisik (p = 0,011), vitalitas (p = 0,042), dan fungsi sosial (p = 0,005).7 Hal ini akan menyebabkan penurunan survival pasien, selain juga menyebabkan penurunan signifikan kualitas hidupnya akibat rasa gatal, malaise, dan kolangitis. 8 Perjalanan klinis pasien-pasien tersebut makin progresif dan kematian akibat gagal hati atau kolangitis dapat terjadi dalam 6 – 12 bulan bila obs truksi tidak segera dibebaskan.Pada kondisi ini, dekompresi bilier yang efektif merupakan sebuah prioritas.8 Sebuah studi yang melibatkan 103 pasien yang terbukti kolangiokarsinoma berdasarkan biopsi, menunjukkan bahwa ketika reseksi kuratif tidak memungkinkan, kesintasannya adalah 53% pada tahun pertama, 19% pada tahun kedua, dan hanya 9% pada tahun ketiga.7
Terapi Drainase Bilier melalui Endoskopik Versus Perkutaneus Secara umum banyak ahli memiliki persepsi bahwa terapi drainase perkutaneus transhepatik memiliki risiko morbiditas yang lebih tinggi daripada drainase endoskopik. Selain itu, terdapat pula sugesti bahwa drainase transhepatik juga dapat menyebabkan angka mortalitas yang lebih tinggi daripada drainase endoskopik.8 Walaupun studi yang membandingkan antara pemasangan stent bilier perendoskopik dan perkutaneus transhepatik masih relatif jarang, namun sesungguhnya kedua teknik pemasangan stent bilier tersebut masih memiliki risiko kolangitis dan berbagai komplikasi lainnya dibandingkan hanya terapi drainase perkutaneus saja.1 Oleh karena itu, drainase perkutaneus, walaupun bukan merupakan solusi definitif terhadap ikterus obstruktif akibat keganasan, masih memiliki peranan terhadap pasien dalam kondisi tidak stabil dan yang memerlukan tindakan dekompresi bilier emergensi.8
Garcea et al, 2009, membandingkan antara beberapa penelitian mengenai terapi drainase bilier melalui pemasangan stent perendoskopik dan perkutaneus yang ditampilkan pada tabel di atas. Sayangnya 3 dari jurnal yang ditelaah oleh Garcea tersebut merupakan jurnal lama (<1990) dan tidak dapat dia kses pada saat penelusuran pustaka ini. 8 Dalam tabel tersebut tampak adanya perbedaan antara tingkat kesuksesan terapi drainase bilier sebelum tahun 2000 dan sesudahnya. Pinol et al, 2002, melaporkan bahwa tingkat keberhasilan yang lebih tinggi didapati pada kelompok yang dilakukan drainase trans hepatik dibandingkan terapi perendoskopik. 9 Hasil penelitian ini dicerminkan pula dalam penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Lee et al, 2007.1 Sebaliknya, pada penelitian-penelitian lain yang dilakukan sebelum tahun 2000 oleh Hall (1989) dan Speer (1987), memberikan hasil yang sebaliknya, dimana drainase transhepatik perkutaneus memberi angka keberhasilan yang relatif lebih rendah.8 Hal ini mungkin berkaitan dengan penggunaan self-expanding metal stent (SMES) pada terapi drainase transhepatik menggunakan stent yang digunakan pada jurnal-jurnal terbaru.8
Terapi Drainase Bilier melalui Endoskopik Versus Perkutaneus Sebagai Persiapan Preoperatif pada Pasien HC Resektabel Kloek et al, 2010, melakukan studi kohort terhadap 101 pasien HC resektabel yang menjalani satu diantara dua prosedur drainase bilier preoperatif inisial, yaitu Endoscopic Biliary Drainase (EBD) dengan Percutaneous Transhepatic Biliary Drainage (PTBD).3 Luaran klinis dari penelitian tersebut tampak seperti tabel di bawah.
Kesuksesan drainase inisial terjadi hanya pada 81% pasien EBD dan mencapai 100% pada pasien dengan PTBD. Namun demikian, efektivitas terapi dinilai serupa karena kadar bilirubin plasma sebelum laparatomi tidak berbeda bermakna. Distribusi komplikasi antara kedua kelompok juga dapat dilihat pada tabel di atas, dimana komplikasi tersering adalah kolangitis yang lebih sering terjadi secara signifikan pada kelompok EBD. Komplikasi lain yang ditemukan adalah kolesistitis akut yang hanya terjadi pada satu pasien dengan EBD. Secara keseluruhan frekuensi kejadian infeksi pada EBD dibandingkan PTBD adalah 48% vs 9%.
Komplikasi lain yang tercatat adalah pankreatitis akut (EBD), perforasi bilier dan duodenum (EBD), serta hemobilia pada kelompok PTBD. Tingginya angka komplikasi infeksi pada kelompok EBD menyebabkan pemanjangan lama perawatan pada mereka dalam kelompok tersebut. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai manajemen preoperatif, PTBD bisa jadi merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan pemasangan stent perendoskopik pada pasien HC resektabel, dengan tingkat komplikasi infeksi yang lebih rendah, sehingga membutuhkan lebih sedikit prosedur.3
Terapi Drainase Bilier Paliatif melalui Endoskopik Versus Perkutaneus pada Pasien HC yang Tidak Resektabel Weber et al, 2007 melakukan penelitian retrospektif terhadap 96 pasien HC, yang 76 diantaranya menjalani terapi drainase bilier baik secara EBD maupun PTBD, untuk mengevaluasi luaran ja ngka panjang dan faktor prognostik pasien HC.10 Berdasarkan penelitiannya, didapati bahwa tipe prosedur yang digunakan tidak memiliki efek benefisial yang signifikan terhadap rerata kesintasan pasien HC yang tidak resektabel. Dari 45 pasien yang hanya diterapi melalui EBD memiliki rerata kesintasan 381 ± 286 hari; sedangkan 31 pasien yang mendapat tambahan terapi drainase melalui PTBD memiliki rerata kesintasan 368 ± 312 hari (p = 0,806).10
Weber mengatakan bahwa strategi terapi paliatif termasuk EBD dan PTBD yang dilakukan di institusinya memiliki sedikit komplikasi dan aman serta efektif untuk meningkatkan ekskresi empedu. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara efektivitas EBD dan PTBD, walaupun beberapa literatur yang lain mengindikasikan bahwa PTBD bisa jadi lebih superior dibandingkan EBD.10 Lee et al, 2007 meneliti secara retrospektif 134 pasien HC dengan klasifikasi Bismuth tipe II, III, IV yang tidak resektabel untuk mendapat drainase bilier melalui EBD, PTBD, maupun PTBD dengan pemasangan stent (PTBDS). Penelitian ini bertujuan mencari perbedaan efek dari berbagai prosedur drainase dengan menilai tingkat kesuksesan, patensi drainase, dan tingkat komplikasi.1
Tabel di atas menunjukkan luaran klinis dari pasien-pasien yang menjalani prosedur drainase bilier yang berbeda. Dengan membandingkan luaran pasien dari masing-masing prosedur, didapati tingkat kesuksesan paliastif inisial terhadap kolestasis lebih tinggi pada kelompok PTBD (93,9%) ataupun PTBD (97,1%), dibandingkan EBD yang hanya memberikan angka 79,4% (p = 0,03). Rerata dari durasi patensi drainase paling lama dimiliki oleh grup PTBDS, diikuti oleh EBD dan PTBD. Jenis tindakan ini sangat mempengaruhi lama patensi, namun jenis stent maupun ukuran stent ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap patensi. 1 Komplikasi kolangitis terkait prosedur terjadi lebih sering pada EBD ataupun PTBDS dibandingkan dengan PTBD, walaupun hal ini biasanya dapat dikontrol dengan antibiotika. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada komplikasi lainnya seperti perdarahan, pankreatitis, serta mortalitas terkait prosedur.1 Lee juga membandingkan tingkat kesuksesan, patensi, dan komplikasi prosedur pada setiap golongan Bismuth. Dalam penelitiannya, kesuksesan awal terapi dengan EBD, PTBD, maupun PTBDS adalah setara untuk Bismuth tipe II, namun EBD lebih rendah pada Bismuth tipe III ataupun IV. Durasi patensi EBD setara dengan PTBDS pada Bismuth tipe II dan III, namun tidak sebaik PTBDS pada Bismuth tipe IV. Sedangkan kolangitis terkait prosedur terjadi lebih sering setelah EBD atau PTBDS dibandingkan PTBD pada Bismuth tipe III dan IV.1 Walaupun PTBD menunjukkan tingkat kesuksesan inisial yang tinggi, laju infeksi yang rendah, namun kualitas hidup pasien dengan selang PTBD tidak sebaik pasien dengan EBD atau PTBDS. Selain itu, tingkat patensi kumulatif PTBD adalah yang paling singkat dibandingkan EBD maupun PTBDS,
terutama pada Bismuth tipe III dan IV. PTBDS memberikan durasi patensi yang terbaik pada keseluruhan pasien-pasien, sehingga pemasangan stent melalui jalur PTBD direkomendasikan setela h tindakan PTBD.1 Lee menyimpulkan bahwa pola obstruksi bilier seperti kategori Bismuth perlu dipertimbangkan sebelum memilih metode drainase optimal pada pasien ikterus akibat HC yang tidak resektabel. Walaupun PTBD memberikan tingkat kesuksesan yang tinggi, ia merekomendasikan EBD sebagai terapi drainase lini pertama pada pasien HC Bismuth II atau III, dengan pertimbangan efikasinya yang cukup baik serta tindakannya yang relatif tidak invasif. Namun demikian, pemasangan stent melalui jalur PTBD adalah opsi terbaik untuk HC Bismuth tipe IV.1 Penggunaan stent pada EBD dan PTBD ini juga dipelajari oleh Paik et al pada penelitiannya yang diterbitkan pada tahun 2009. Mereka melakukan penelitian retrospektif multisenter terhadap 85 pasien HC lanjut (Bismuth III atau IV) yang tidak mendapatkan operasi, kemoterapi, maupun radioterapi untuk membandingkan luaran klinis dari dekompresi bilier secara endoskopik (EBD) dengan perkutaneus(PTBDS) menggunakan self-expandable metallic stents (SEMS).2 Pada penelitiannya, perbaikan kolestasis didapatkan pada 84,7% pasien dimana tingkat kesuksesan pada PTBDS secara signifikan lebih tinggi dibandingkan EBD (92,7% vs 77,3%; p = 0,49). Tingkat komplikasi berkaitan prosedur secara keseluruhan adalah 30,6%, yang tidak berbeda bermakna antara kedua jenis prosedur. Komplikasi ini meliputi kolangitis (25,9%), perdarahan (2,4%), pankreatitis akut (2,4%), dan mortalitas terkait prosedur (1,2%). Lama perawatan di rumah sakit pada kelompok EBD secara signifika n lebih singkat dibandingkan PTBDS (16,1 vs 29,9 hari, p = 0,19). Pada follow-up jangka panjang, didapatkan durasi patensi stentyang lebih panjang pada PTBDS dibandingkan EBD walaupun perbedaan ini tidak signifikan (durasi median 11 bulan vs 9,8 bulan; p = 0,286).2 Berikut adalah tabel luaran klinis awal setelah dekompresi bilier.
Paik mengatakan bahwa kesintasan pasien yang menjalani terapi drainase bilier inisial yang sukses akan jauh lebih baik daripada pasien yang mengalami kegagalan drainase bilier, apapun prosedur awal yang digunakannya (8,7 bulan vs 1,8 bulan). Hal ini merupakan faktor yang paling berhubungan dengan kesintasan jangka panjang berdasarkan analisis univariat dan multivariat (p < 0,001). Selain itu, pasien dengan kadar bilirubin normal juga menunjukkan angka median kesintasan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki kadar bilirubin hampir normal (10,9 bulan vs 5,7 bula n; p < 0,001).2
Paik menyimpulkan bahwa PTBD dengan SEMS perlu dipertimbangkan sebagai intervensi awal pada HC stadium lanjut, karena PTBDS memberikan tingkat kesuksesan inisial yang tinggi dan laju komplikasi prosedur, seperti kolangitis, yang rendah, walaupun PTBDS memang kurang nyaman dibandingkan EBD dan membutuhkan perawatan rumah sakit yang lebih panjang.2
V.
Kesimpulan
Dari beberapa studi yang membandingkan antara berbagai terapi drainase bilier, baik melalui EBD, PTBD, maupun penggunaan stent pada PTBD (PTBDS), masih terdapat banyak kontroversi mengenai efektivitas dan keamanan terapi. Namun demikia n, secara garis besar, kedua modalitas utama terapi (EBD vs PTBD) memberikan hasil yang baik sebagai terapi drainase bilier. Pemilihan harus disesuaikan dengan kondisi pasien (seperti status performa, klasifikasi Bismuth, resektabel ataupun tidak resektabel), serta ketersediaan alat, teknologi, dan fasilitas yang mendukung. PTBD, di beberapa penelitian diakatakan dapat memberikan tingkat kesuksesan yang baik dengan kemungkinan infeksi paska tindakan seperti kolangitis yang relatif lebih kecil. Namun demikian, pemasangan PTBD yang berkepanja ngan akan menurunkan kualitas hidup karena tidak nyaman bagi pasien. Pada pasien preoperatif, PTBD dapat digunakan sebagai terapi drainase bilier sementara. EBD dapat pula dipertimbangkan sebagai terapi drainase lini pertama pada pasien HC terutama pada pasien yang tidak resektabel, dengan pertimbangan efikasinya yang cukup baik serta tindakannya yang relatif tidak invasif. Pada penggunaan jangka panjang, EBD memberikan keseimbangan antara kenyamanan dan efektivitas jangka panjang. Penemuan teknologi SEMS memberikan pilihan baru yang lebih baik sebagai terapi drainase bilier baik temporer maupun paliatif karena memberikan tingkat kesuksesan yang lebih tinggi, patensi yang lebih lama, dan bila dikombinasikan dengan PTBD sebagai teknik pemasangannya, akan memberikan tingkat keberhasilan inisial yang sangat tinggi dengan kemungkinan infeksi yang lebih rendah dibandingkan EBD, tentunya dengan pertimbangan kondisi finansial pasien.
Referensi 1. 2.
3.
4. 5. 6. 7. 8. 9.
10.
Lee SH, Park JK, Yoon WJ, et al. Optimal Biliary Drainage for Inoperable Klatskin’s Tumor Based on Bismuth Type. World J Gastroenterol 2007; 13(29): 3948-55. Paik WH, Park YS, Hwang JH, et al. Palliative Treatment with Self-Expandable Metallic Stents in Patients with Advanced Type III or IV Hila r Cholangiocarcinoma: A Percutaneous Versus endoscopic Approach. Gastrointest Endosc 2009; 69: 55-62. Kloek JJ, Gaag NA, Aziz Y, et al. Endoscopic and Percutaneous Preoperative Biliary Drainage in Patients with Suspected Hilar Cholangiocarcinoma. J Gastrointest Surg 2010; 14: 119-125 Juttijudata P, Chiemchaisri C, Pala vatana C, et al. Causes of cholestasis in Thailand: a study of 276 consecutive patients. Am J Surg 1984;147: 360-6. Bis muth H, Castaing D, Traynor O. Resection or Palliation: Priority of Surgery in the Treatment of Hilar Cancer. World J Surg 1988; 12: 39-47 Liu F, Li Y, Wei Y, et al. Preoperative Biliary Drainage Before Resection for Hilar Cholangiocarcinoma: Whether or Not? A Systematic Review. Dig Dis Sci 2011; 56: 663-72 Singhal D, Gulik TM, Gouma DJ. Palliative Management of Hila r Cholangiocarcinoma. Surgical Oncology 14 (2005) 59–74 Garcea G, Ong Sl, Dennison AR, et al. Palliation of Malignant Obstructive Jaundice. Dig Dis Sci 2009; 54: 1184-98 Pinol V, Castells A, Bordas JM, et al. Percutaneous selfexpandingmetal stents versus endoscopic polyethylene endoprosthesesfor treating malignant biliary obstruction: randomized clinical trial. Radiology. 2002;225:27–34 Weber A, La ndrock S, Schneider J, et al. Long-term Outcome and Prognostic Factors of Patients with Hilar Cholangiocarcinoma. World J Gastroenterol 2007; 13(9): 1422-26