PERBANDINGAN POLA ASUH BELAJAR ANAK TUNAGRAHITA MAMPU DIDIK BERDASARKAN STATUS EKONOMI ORANG TUA Nina Liyana, Metty Muhariati, Rusilanti Program Studi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua. Penelitian dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kategori C Kecamatan Pulogadung pada bulan Januari-April 2014. Metode penelitian yang digunakan adalah metode surver dengan pendekatan komparatif. Populasi penelitian ini adalah siswa tunagrahita mampu didi pada SLB-C di Kecamatan Pulogadung. Sampel yang diambil dengan teknik probability sampling, yaitu stratified proportionate random sampling sebanyak 42 siswa dengan komposisi 14 berasal dari keluarga status ekonomi atas, 20 berasal dari keluarga status ekonomi menengah, 8 berasal dari keluarga status ekonomi rendah. Data penelitian berdistribusi normal dan pasangan data bersifat homogeny. Hasil penelitian menunjukan nilai Fhitung > Ftabel atau 3,95 > 3,25 pada tingkat kepercayaan 95% sehingga diketahui bahwa terdapat perbedaan pola asuh belajar anak yang signifikan antara orang tua dengan status ekonomi tinggi, sedang dan rendah. Kata kunci: pola asuh belajar, tunagrahita mampu didik, status ekonomi. Comparative Study on Parenting for Student Disability Based on Parent Economic Status Abstract The purpose of the study to know about comparison study of parenting level mild mental retardation children based to parents economic status. The research was held at The School for Disabled Students C (SLB-C) subdistrict in pulogadung, for 5 months from January 2014-May 2014. The method of research uses survey method by doing comparative approach. The population of research was level mild mental retardation children at The School for Disabled Students C (SLB-C) subdistrict in pulogadung. The sampling technique using probability sampling is stratified proportionate random sampling. The sample were taken 42 of level mild mental retardation children the composition 14 of level mild mental retardation children based the high economic status, 20 of level mild mental retardation children based the medium economic status, and 8 of level mild mental retardation children based the low economic status. The results of normality test study of parenting level mild mental retardation children based the economic status of parents income are high, medium, low are normal distribution. The results of homogeneity test study of parenting level mild mental retardation children based the high economic status, medium, and low are homogeneous. Based on the results of the calculation with a one-way anova Fhitung = 3.95 and obtained Ftabel with standard error of 0.05 value of numerator 2 and denominator 39 acquired for 3.25 then F hitung (3.95) > Ftabel (3.25). The results of these calculations can give conclusions from research that there is a difference study of parenting level mild mental retardation children based to parents economic status. Keyword: Economic Status, parenting, study, mental retardation PENDAHULUAN Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, Vol. 2 No.1, April 2014
Indonesia
sehat
2010
merupakan
visi
15
pembangunan nasional yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan. Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Anak merupakan sumberdaya manusia yang berperan dalam proses pembangunan di masa depan. Semua faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang anak menentukan tingkat kemampuan dan perkembangan yang dapat dicapai setelah dewasa. Anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya meskipun proses tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah, proses tersebut sangat bergantung kepada orang tua. Seorang anak yang sehat dan normal akan tumbuh sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Orang tua bertanggung jawab untuk mengembangkan keseluruhan eksistensi anak, memenuhi kebutuhan anak melalui perawatan, asuhan, ucapan, dan perlakuan-perlakuan secara seksama. Dengan demikian diharapkan anak akan tumbuh dan berkembang ke arah suatu gambaran kepribadian yang harmonis dan matang sebagaimana yang diinginkan. Setiap orang tua menginginkan anak yang sehat, cerdas dan mandiri. Namun, pada kenyataannya banyak anak yang dilahirkan jauh dari harapan. Contohnya anak yang dilahirkan dengan memiliki keterbelakangan mental (mentally retarded) atau disebut juga dengan anak tunagrahita. Anak dengan keterbelakangan mental atau tunagrahita sering diperlakukan berbeda dengan anak pada umumnya dan sebagian kecil mengalami kekerasan seperti pemasungan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebenarnya telah memberikan perlindungan pada anak-anak dengan disabilitas (kecacatan) tetapi hal ini tidak dapat terlaksana dengan baik pada praktiknya karena faktor orang tua yang tidak mengerti dalam menghadapi anak dengan disabilitas (kecacatan) (Purnama & Fransiska, 2012). Apapun kondisi dan karakteristiknya seorang anak, bukanlah suatu hal yang harus disembunyikan dan diperlakukan tidak sewajarnya. Karena anak adalah anugrah yang diberikan tuhan kepada orang tua untuk dibesarkan dan dirawat sebaik mungkin. Maka dari itu orang tua harus siap menerima kehadiran anak bagaimanapun kondisinya. Karena orang tua adalah sebagai orang terdekat dalam kehidupan anak yang memberikan bimbingan dan pengasuhan kepada anak- anaknya. Anak tunagrahita ialah anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata yang terjadi pada saat masa perkembangan dan memiliki
hambatan dalam kemampuan tingkah laku adaptif. Tingkah laku adaptif yang dimaksud pada anak tunagrahita adalah berupa kemampuan komunikasi, merawat diri, menyesuaikan dalam kehidupan rumah, keterampilan sosial, mengarahkan diri sendiri, kesehatan dan keamanan, fungsi akademik dan kerja. Secara harafiah kata “tuna” adalah merugi, sedangkan “grahita” adalah pikiran, dengan demikian ciri utama dari anak tunagrahita adalah lemah dalam berpikir atau bernalar. Kurangnya kemampuan belajar dan adaptasi sosial berada di bawah rata-rata. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, anak tunagrahita diberikan cara pelayanan pendidikan yang berbeda dengan anak normal dan harus disesuaikan dengan taraf kelainannya. Klasifikasi anak tunagrahita yaitu tunagrahita ringan kelompok mampu didik (mild atau educable) dengan IQ berkisar 50-70, tunagrahita sedang kelompok mampu latih (moderate atau trainable) dengan IQ berkisar 3050 dan tunagrahita berat kelompok mampu rawat (severe-profound atau dependent), dengan IQ berkisar < 30. (Jamaris, 2006:97) Dari ketiga jenis taraf ketunagrahitaan tersebut, yang diungkap dalam penelitian ini adalah kelompok tunagrahita mampu didik atau ringan. Anak tunagrahita mampu didik atau disebut juga dengan debil adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui “Spesial Education” walaupun hasilnya tidak maksimal. Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik antara lain (1) membaca, menulis, mengeja, dan berhitung; (2) menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain; (3) keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja di kemudian hari. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan. Menurut Aqila (2010:112) Spesial Education bagi anak tunagrahita yaitu di SLB-C. Di sekolah ini diajarkan keterampilan-keterampilan dengan harapan mereka dapat mandiri di kemudian hari. Selain itu, sekolah ini juga menyediakan pola pembelajaran dan layanan pendidikan yang berbeda dari sekolah umum yang telah disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, dan karakteristik anak keterbelakangan mental atau tunagrahita. Layanan pendidikan tersebut dapat dilaksanakan di sekolah berupa rancangan program pembelajaran yang diberikan dalam bentuk mata pelajaran umum dan mata
Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, Vol. 2 No.1, April 2014
16
pelajaran khusus. Mata pelajaran umum seperti pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, Pendidikan Kewaraganegaraan, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan sedangkan untuk mata pelajaran khusus adalah pembelajaran bina diri. Pembelajaran bina diri meliputi kemampuan merawat diri, bisa juga disebut menolong diri sendiri atau mengurus diri sendiri. Kemampuan merawat diri didapatkan tidak langsung diwariskan dari orangtua. Anak tunagrahita mampu didik kemampuan berpikirnya sangat terbatas, dan mereka mengalami kesulitan dalam mempelajari merawat dirinya. Apa yang oleh anak normal pada umumnya dapat dipelajari secara incidental atau melalui pengamatan, maka untuk anak tunagrahita mampu didik harus melalui proses pembelajaran dan dengan usaha yang keras. Kemampuan merawat diri mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan kepentingan anak sehari-hari antara lain; makan dan minum, kebersihan dan kerapian diri yang meliputi kebersihan badan, berpakaian, berhias diri, keselamatan diri dan adaptasi sosial atau lingkungan. Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Karena orang tua adalah yang utama dalam proses pembelajaran seorang anak. Kemampuan merawat diri yang diberikan dalam keluarga yang harmonis dan cenderung ekspresif saat memberikan kasih sayang terhadap anak, memperlihatkan perilaku adaptasi yang lebih baik, mengalami sedikit masalah perilaku dan isolasi sosial dibandingkan anak pada keluarga dengan kualitas kasih sayang yang lebih rendah. Jadi, pola asuh yang diberikan orangtua sangat berpengaruh dalam meningkatkan perkembangan pada anak dengan keterbelakangan mental atau anak tunagrahita. Perbedaan pola asuh orang tua disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya yaitu status ekonomi. Status ekonomi juga berpengaruh pada sikap dan nilai orang tua terutama mengenai pola asuh, pendidikan anak, perhatian terhadap sekolah, dan penyediaan sarana-sarana penunjang pendidikan di rumah. Semakin tinggi status ekonomi orang tua, maka semakin positif sikap mereka terhadap pendidikan. Sedangkan keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung memandang pendidikan secara negatif. Pendidikan bagi anak merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dalam mengembangkan kemampuan secara optimal sebagai upaya memperoleh pengetahuan, penghargaan, dan beraktualisasi diri. Maka dari
itu agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, pendapatan keluarga harus didistribusikan secara baik, sebab pendapatan atau kekayaan yang dimiliki orang tua memiliki peran yang penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Karena orang tua dengan pendidikan tinggi semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan yang cukup agar bisa memfasilitasi keluarganya dan berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa orang tua mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan anak yang mengalami keterbelakangan mental. Pola asuh yang penuh cinta kasih dan perhatian kepada anak merupakan hal yang dibutuhkan oleh anak keterbelakangan mental. Dari penelitian yang dilakukan di SLB-C yang ada di wilayah Kecamatan Pulogadung terdapat 3 SLB-C yaitu SLB-C Mini Bakti, SLB-C Sinar Kasih, dan SLB-C Dian Kahuripan pada bulan Februari 2014, peneliti mendapatkan data 73 siswa keterbelakangan mental atau tunagrahita mampu didik pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Peneliti memilih lokasi penelitian di SLB-C yang ada wilayah Kecamatan Pulogadung karena sekolah ini terdiri dari siswa dengan mayoritas menderita keterbelakangan mental ringan, dan terdapat perbedaan pola asuh belajar orang tua kepada anak-anaknya berdasarkan status ekonomi. Melihat fenomena di atas peneliti tertarik untuk menemukan berbagai fakta mengenai perbandingan pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik (Debil) berdasarkan status ekonomi orang tua di SLB-C se Kecamatan Pulogadung. Penelitian ini perlu dilaksanakan agar orang tua harus menerapkan pola asuh yang tepat pada anak keterbelakangan mental, dan anak dengan keterbelakangan mental mampu mengikuti metode pembelajaran yang diterapkan dari pihak sekolah. Permasalahan yang diidentifikasi dalam penelitian ini yaitu adakah perbandingan pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik (Debil) berdasarkan status ekonomi orang tua. Permasalahan yang diteliti dibatasi pada perbandingan pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik (Debil) yang memiliki rentang usia 6 s.d 16 tahun berdasarkan status ekonomi orang tua yang berlokasi di SLB-C se Kecamatan Pulogadung. Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Perbandingan pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua di SLB-C se Kecamatan Pulogadung?”.
Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, Vol. 2 No.1, April 2014
17
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di tiga tempat yaitu di SLBC-Mini Bakti, SLB-C Sinar Kasih, dan SLB-B&C Dian Kahuripan, ke tiga Sekolah Luar Biasa tersebut berada di Sekitar Wilayah Pulogadung. Sekolah ini memiliki karakteristik latar belakang ekonomi menengah atas, menengah, dan menengah kebawah. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Januari-April 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan komparatif.. Metode ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, yakni untuk memperoleh informasi yang bersangkutan dengan status gejala pada saat penelitian yang dilakukan. Survey ini digunakan untuk menentukan perbandingan pola asuh belajar berdasarkan status ekonomi (Singarimbun, 2008:3). Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2005:90). Pada penelitian ini populasi adalah orang tua (ayah/ibu) yang mempunyai anak tunagrahita mampu didik di SLB-C Mini Bakti, SLB- C Sinar Kasih, dan SLB-B&C Dian Kahuripan. Ketiga SLB-C tersebut berada di wilayah Kecamatan Pulogadung dengan jumlah responden 73 orang, dan sampel dilakukan dengan teknik stratified proportionate random sampling dengan jumlah 42 anak tunagrahita mampu didik. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini berupa kuesioner dan angket untuk melihat pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Angket pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik dalam penelitian ini disusun berdasarkan empat aspek, yaitu: kontrol, tuntutan kedewasaan, komunikasi, dan kasih sayang. Sistem penilaian untuk pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik menggunakan Skala Likert yang sudah dimodifikasi, dengan lima kategori jawaban, yang masing-masing jawaban memiliki skor dari satu sampai lima. Jawaban akan dibuat menjadi pernyataan positif dan negatif. Instrument sebelum digunakan terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi data akan dipaparkan dalam 3 bagian yaitu pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang
tua berpenghasilan tinggi dengan pendapatan rata-rata Rp 6.000.000-Rp 8.000.000 ke atas perbulan, status ekonomi orang tua berpenghasilan sedang atau menengah dengan pendapatan rata-rata Rp 3.000.000-Rp 5.999.000 perbulan, dan status ekonomi orang tua berpenghasilan rendah dengan pendapatan ratarata di bawah Rp 1.000.000-Rp 2.999.000. Data pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan tinggi diperoleh dari hasil penelitian dengan menggunakan skala likert kepada 14 orang tua siswa yang memiliki anak tunagrahita mampu didik dengan menggunakan instrumen yang terdiri dari 32 butir pernyataan yang terbagi kedalam 4 aspek yaitu aspek kontrol, aspek tuntutan kedewasaan, aspek komunikasi, dan aspek kasih sayang. Berdasarkan rata-rata hitung skor pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan tinggi, dapat diketahui aspek yang paling tinggi adalah aspek kasih sayang sebesar 86,25% mencapai skor ideal 100%. Sedangkan aspek yang paling rendah yaitu aspek komunikasi sebesar 84,11% mencapai skor ideal 100%. Dapat diartikan bahwa dalam pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik orang tua selalu memberikan kehangatan, cinta kasih, perhatian yang begitu besar terhadap anaknya. Sedangkan dalam aspek komunikasi orang tua jarang berinteraksi dengan anak dikarenakan kurangnya intensitas waktu orang tua untuk anak dikarenakan orang tua sibuk bekerja, tetapi orang tua menjalin komunikasi yang baik dengan anak dan mendapatkan skor terendah. Selain itu aspek kontrol memperoleh 85%, dimana orang tua menunjukan kehangatan hubungan dengan cara bercanda tawa dengan anak, mendampingi kegiatan anak, mengawasi sosialisasi dan perkembangan anak, tidak melakukan kekerasan terhadap anak, seperti mencubit dan memukul. Terakhir aspek tuntutan kedewasaan memperoleh 84,82%, orang tua sering mengajarkan anak cara berpakaian sendiri serta kebersihan diri, mengajarkan pekerjaan rumah tangga (mencuci piring, baju, dan membersihkan rumah), membantu anak ketika mengalami kesuitan dalam mengenakan pakaian. Berdasarkan analisis di atas bahwa pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasian tinggii menerapkan pola asuh belajar demokratis bisa dilihat dari skor rata-rata sebesar 135,50 lebih tinggi dibandingan skor rata-rata ekonomi sedang dan rendah. Data pola asuh belajar anak tunagrahita
Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, Vol. 2 No.1, April 2014
18
mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan sedang diperoleh dari hasil penelitian dengan menggunakan skala likert kepada 20 orang tua siswa yang memiliki anak tunagrahita mampu didik dengan menggunakan instrumen yang terdiri dari 32 butir pernyataan yang terbagi kedalam 4 aspek yaitu aspek kontrol, aspek tuntutan kedewasaan, aspek komunikasi, dan aspek kasih sayang. Berdasarkan rata-rata hitung skor pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan sedang, dapat diketahui aspek yang paling tinggi adalah aspek kontrol sebesar 83,88% mencapai skor ideal 100%. Sedangkan aspek yang paling rendah yaitu aspek komunikasi sebesar 75,25% mencapai skor ideal 100%. Dapat diartikan bahwa dalam pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik orang tua bersikap hangat, mengawasi sosialisasi dan perkembangan anak, serta tidak melakukan kekerasan seperti memukul, mencubit, dan lainlain. Sedangkan dalam aspek komunikasi orang tua jarang berinteraksi dengan anak dikarenakan kurangnya intensitas waktu orang tua untuk anak dikarenakan orang tua sibuk bekerja, tetapi orang tua menjalin komunikasi yang baik dengan anak dan mendapatkan skor terendah. Selain itu aspek tuntutan kedewasaan memperoleh 78,50% dimana orang tua sering mendampingi anak ketika belajar di rumah dan sering mengajarkan kepada anak cara berpakaian sendiri serta kebersihan diri dan membantu anak dalam mengenakan pakaian jika anak mengalami kesulitan. Orang tua bersikap hangat, penyayang, namun terkadang bersikap otoriter terhadap anaknya seperti memaksakan anak untuk mengikuti keinginan orang tua. Tetapi orang tua tidak melakukan perbuatan yang bisa menyakiti anak seperti mencubit, memarahi, dan memukul. Terakhir aspek kasih sayang memperoleh 79,50% dimana orang tua menunjukan kasih sayangnya dengan cara mencium, menyanjung, memuji, dan memberikan hadiah kepada anak jika anak bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Berdasarkan analisis bahwa pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasian sedang menerapkan pola asuh belajar berimbang antara otoriter dan demokratis bisa dilihat dari skor rata-rata sebesar 126,85 lebih tinggi dibandingan skor rata-rata ekonomi rendah. Data pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan rendah diperoleh dari hasil
penelitian dengan menggunakan skala likert kepada 8 orang tua siswa yang memiliki anak tunagrahita mampu didik dengan menggunakan instrumen yang terdiri dari 32 butir pernyataan yang terbagi kedalam 4 aspek yaitu aspek kontrol, aspek tuntutan kedewasaan, aspek komunikasi, dan aspek kasih sayang. Berdasarkan rata-rata hitung skor pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan rendah, dapat diketahui aspek yang paling tinggi adalah aspek kontrol sebesar 77,50% mencapai skor ideal 100%. Sedangkan aspek yang paling rendah yaitu aspek kasih sayang sebesar 70,94% mencapai skor ideal 100%. Dapat diartikan bahwa dalam pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik orang tua bersikap tegas kepada anak, dan mengawasi sosialisasi dan perkembangan anak. Sedangkan dalam aspek kasih sayang orang tua terkadang menunjukan kasih sayang terhadap anaknya seperti orang tua jarang menyanjung anak dihadapan orang lain, jarang mencium anak ketika berangkat ke sekolah, jarang memberikan hadiah untuk anak dikarenakan kurangnya ekonomi keluarga dan mendapatkan skor terendah. Aspek tuntutan kedewasaan memperoleh 72,50% menunjukan orang tua memiliki hubungan yang hangat dengan anak, seperti bercanda tawa dengan anak, mengawasi sosialisasi dan perkembangan anak, tetapi kurang dalam memberikan prasarana kepada anak, dan terkadang orang tua melakukan kekerasan seperti memukul, mencubit anak jika melakukan kesalahan. Hasil analisis ini sesuai dengan teori yang dikemukakakan oleh Baumrind dan Sobry bahwa orang tua dengan status ekonomi rendah cenderung menerapkan pola asuh otoriter dengan membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan orang tua dengan harapan anak dapat lebih giat dalam belajar yang nantinya dapat berguna untuk masa depan anak. Terakhir yaitu aspek komunikasi memperoleh 76,25% orang tua terkadang mengajak anak bercerita tentang pelajaran dan aktivitas di sekolah, mengajak anak bercerita, mendengar dan menanggapi cerita anak. Berdasarkan analisis bahwa pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan rendah menerapkan pola asuh belajar otoriter bisa dilihat dari skor rata-rata sebesar 118,88 lebih rendah dibandingan skor rata-rata ekonomi tinggi, dan sedang. Hasil perhitungan diperoleh Fhitung sebesar 3,95. Kemudian Fhitung tersebut dibandingkan
Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, Vol. 2 No.1, April 2014
19
dengan Ftabel dengan taraf kesalahan 0,05 nilai pembilang 2 dan penyebut 39 diperoleh sebesar 3,25. Berdasarkan hal tersebut maka rhitung lebih besar dari rtabel (3,95 > 3,25). Artinya terdapat perbedaan pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil perhitungan rata-rata pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan tinggi rata-rata menerapkan pola asuh belajar demokratis dan memiliki aspek terendah yaitu komunikasi dengan persentase 84,11%, tuntutan kedewasaan dengan persentase 84,82%, kontrol dengan persentase 85%, sedangkan aspek tertinggi yaitu aspek kasih sayang dengan persentase 86,25%, pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan sedang rata-rata menerapkan pola asuh berimbang antara demokratis dan otoriter serta memiliki aspek terendah yaitu komunikasi dengan persentase 75,25%, tuntutan kedewasaan dengan persentase 78,50%, aspek kasih sayang 79,50%, dan aspek tertinggi yaitu aspek kontrol dengan persentase 83,88%. Sedangkan pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi orang tua berpenghasilan rendah menerapkan pola asuh belajar otoriter, serta memiliki aspek terendah yaitu kasih sayang dengan persentase 70,94%, tuntutan kedewasaan dengan persentase 72,50%, aspek komunikasi dengan persentase 76,25%, dan aspek tertinggi yaitu aspek kontrol dengan persentase 77,50%. Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan maka untuk menerapkan pola asuh belajar yang tepat untuk anak tunagrahita mampu didik peneliti akan memaparkan beberapa saran yaitu : 1) .bahwa pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi tinggi dan sedang memiliki tingkat komunikasi yang rendah terhadap anak. Untuk meningkatkan komunikasi yang baik orang tua memberikan perhatian pada anak tunagrahita mampu didik dengan cara memberikan motivasi belajar agar mereka memiliki rasa percaya diri yang baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Sedangkan berdasarkan penelitian, pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi rendah memiliki rasa kasih sayang yang rendah terhadap anaknya. Maka dari itu orang tua harus bisa memberikan perhatian dengan cara memberikan kehangatan dan cinta kasih terhadap anaknya seperti
memberikan ciuman, pelukan, dan sanjungan terhadap anak, 2). bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang pola asuh belajar anak tunagrahita mampu didik diharapkan agar memperhatikan variabel-variabel lain yang mempengaruhi pola asuh belajar karena tidak hanya status ekonomi yang mempengaruhinya masih banyak faktor lain seperti tingkat pendidikan orang tua, tingkat pekerjaan orang tua, agresivitas anak, dan tingkat prestasi akademik. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, M. 2009. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Aisha, M.N. 2012. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Retardasi Mental dan Penerimaan Orang Tua. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Amin, M. 2000. Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Depdikbud Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Aqila Smart, R. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat Metode Pembelajaran dan Terapi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kata Hati Budiyono. 2004. Statistika untuk Penelitian. Surakarta :SebelasMaret University Press Chormain, I. 2003. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Delphie, B. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: PT Refika Aditama. Djaali. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo. Efendi, M. 2006. Pengantar Psikopedagogik Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara Friedman.2004. Keperawatan Keluarga. Jakarta:EGC Gilarso, T. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Mikro. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Hakim, T. 2005. Belajar Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara Hardiwinoto, 2003. Anak Unggul Berotak Prima. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Hidayat, A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika Hopkins, K.D. & Stanley, J.C. 1985. Educational and Psychological Measurement and Evaluation. Ed ke-6. United States of Amerika: Prentice-Hall. Jamaris, M. 2006. Perkembangan dan Pengembangan Anak. Jakarta: PT Grasindo.
Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, Vol. 2 No.1, April 2014
20
Kartono. 2006. Perilaku Manusia. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada Nursalam.2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :Salemba Medika Purnama, R.K. Fransiska, A. 2012. Undergraduate Theses. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Petranto, I. 2006. Rasa Percaya Diri Adalah Pantulan Pola.Asuh.Orang.Tuanya.http://dwpptrijene wa.isuisse.com. Diakses tanggal 20 April 2011 Prasetyo, E. 2003. Gambaran Pola Asuh Orang Tua dengan Anak Penyandang Autisme dan Anak Dengan Kebutuhan Nutrisi Khusus Rumah Sakit Universitas Islam Malang.Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Rianto, A. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Rahmatika Creative Design. Riduan, 2004. Metode & Teknik Menyusun Tesis. Bandung : Alfabeta. Setianingsih, D. 2007. Perbedaan Kedisiplinan Belajar Siswa Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Singarimbun, M. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon Smith, M.B. 2002. Mental Retardation. New Jersey: Pearson Education Inc. Soekanto, S. 2006. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada Soemarsono. 2002. Pengaruh Motivasi Belajar dan status Ekonomi Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar(Tesis). Jakarta : Universitas Negeri Jakarta Sudarsini, S. 2005. Ekonomi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Sugiono. 2005. Metode Administrasi. Bandung: Alfabeta. Sugiono. 2008. Metode Penelitian Bisnis. Bandung. Alfabeta Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT Refika Aditama. Supardi, 2012. Aplikasi Statistika Dalam Penelitian: Buku Statistika Yang Paling Komprehensif. Jakarta : Ufuk Press Suparyanto,2010. Konsep Dasar Status Ekonomi.http://suparyanto.blogspot.com Suriani, S. 2012. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Tingkat Prestasi Akademik Anak
Retardasi Mental (Skripsi). Malang: Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya. Svalastoga, K. 2007. Diferensiasi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Wahyuni, S. 2011. Hubungan Status Sosila Ekonomi Orang Tua Dan Pemanfaatan Media Belajar Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa. Surakarta: Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. Waluya, B. 2009. Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Wardani, I.G.A.K., et al. 2011. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka. Widyarini, N. 2005. Relasi Orang Tua & Anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, Vol. 2 No.1, April 2014
21