Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
PERBANDINGAN PERFORMA PEKERJA KONSTRUKSI DENGAN DAN TANPA SERTIFIKAT PELATIHAN 1)
Rien Yolanda R. Toreh1) dan I Putu Artama Wiguna2) Program Studi Magister Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail:
[email protected] 2) Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
ABSTRAK Perkembangan industri konstruksi di Indonesia yang semakin pesat membutuhkan kesiapan banyak tenaga kerja yang berkualitas agar dapat menunjang proses pekerjaan konstruksi yang berkualitas, aman, dan berkelanjutan. Salah satu cara untuk meningkatkan performa sumber daya manusia pada industri konstruksi adalah dengan memberikan pelatihan yang spesifik sesuai bidang pekerjaan. Pada kenyataannya masih sedikit pekerja yang pernah mengikuti pelatihan formal dikarenakan banyaknya kendala yang dihadapi oleh para pekerja konstruksi maupun perusahaan yang mempekerjakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empirik ada atau tidaknya perbedaan performa antara pekerja konstruksi yang sudah mengikuti pelatihan dan yang belum mengikuti pelatihan dengan memperhitungkan pengalamannya. Variabel performa yang diukur adalah kemampuan, motivasi dan daya saing dengan 19 indikator pengukuran. Variabel dan indikator didapatkan dari studi literatur. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan kuesioner penilaian mandor yang bekerja di proyek konstruksi di Surabaya terhadap tukang berpelatihan, tukang tidak berpelatihan dan berpengalaman serta tukang tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman yang menjadi objek penelitian. Data kemudian diolah dan dianalisis dengan one-way annova. Analisa yang dilakukan terhadap data yang terkumpul menghasilkan 2 kesimpulan yaitu tidak ada perbedaan signifikan antara pekerja yang pernah mengikuti pelatihan dengan pekerja yang belum pernah mengikuti pelatihan-berpengalaman lebih dari 5 tahun dan terdapat perbedaan antara pekerja yang pernah mengikuti pelatihan dengan pekerja yang belum pernah mengikuti pelatihan-berpengalaman kurang dari 5 tahun pada indikator pemahaman metode kerja, keinginan untuk bekerja keras, diprioritaskan mendapat pekerjaan dan gaji. Kata kunci: Performa, Pelatihan, Pekerja Konstruksi, Sertifikat Keterampilan.
PENDAHULUAN Kesiapan tenaga kerja konstruksi yang berkualitas di suatu negara sangatlah penting dalam menunjang proses pekerjaan konstruksi yang berkualitas, aman, dan berkelanjutan terhadap kenyamanan lingkungan yang terbangun. Penelitian Agustin (2007) mengenai faktor-faktor untuk peningkatan kualitas kontraktor di Surabaya menyatakan salah satu faktor yang penting untuk meningkatkan kualitas kontraktor adalah peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang didalamnya termasuk dengan melakukan pelatihan dan program pendidikan. Tenaga kerja juga merupakan pihak yang berkaitan langsung dengan hasil produksi dari suatu proyek konstruksi. Kualitas hasil produksi sangat tergantung pada kualitas tenaga kerja yang terlibat. Pada penelitian ini tenaga kerja yang dimaksudkan adalah pekerja konstruksi level tukang.
ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
Untuk menciptakan tenaga kerja konstruksi yang kompeten dapat dilakukan dengan pelatihan/pendidikan dan uji kompetensi dengan mengacu kepada standar kompetensi yang telah ditetapkan. Pemerintah sudah memiliki program dan standar yang baku untuk pelatihan dan pendidikan yang diberi nama sertifikasi keterampilan dan sertifikasi keahlian. Program ini menggunakan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) dan Sistem pelatihan kerja nasional (Sislatkernas) sebagai acuan. Hasil dari pelatihan dan uji kompetensi ini adalah pemberian sertifikat bagi yang lulus (Inovasi Peningkatan Kapasitas SDM Konstruksi, 2013). Beberapa perusahaan swasta juga memiliki kebijakan pemberian pelatihan dan pemberian sertifikat pelatihan kepada pekerjanya sesuai standar kompetensi yang diharapkan misalnya PT Petrojaya Boral Plasterboard, Holcim Indonesia, PT BlueScope Lysaght Indonesia dan PT Knauf Gypsum Indonesia. Pada penelitian ini, pelatihan yang dimaksudkan adalah pelatihan formal sesuai bidang pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah, perusahaan BUMN maupun perusahaan swasta yang mempunyai nama besar. Sertifikat pelatihan sebagai bukti kompetensi pekerja yang diberikan setelah menyelesaikan rangkaian kegiatan pelatihan dan ujian. Beberapa penelitian menyatakan keunggulan dari tenaga kerja yang mengikuti pelatihan. Mustazir (2002) menyatakan pendidikan dan pelatihan merupakan faktor utama yang mempengaruhi mutu/kualitas jembatan. Pelatihan juga mengurangi terjadinya kegagalan konstruksi (Ardiansyah et al, 2012). Dalam Soegiri (2012), pelatihan menjadi salah satu strategi utama untuk meningkatkan kompetensi (soft skill dan hard skill) dan daya saing pekerja. Pelatihan juga meningkatkan produktivitas pekerja sesuai bidang pekerjaannya (Fagbenle et al, 2012). Sekalipun pelatihan dan sertifikasi ini sangat penting bagi tenaga kerja konstruksi, kenyataannya dari data BPS 2012 menyebutkan dari sekitar 6 juta tenaga kerja konstruksi Indonesia, yang bersertifikat baru 400.000 lebih orang (atau kurang dari 10%) dengan perincian 100.000 lebih tenaga ahli dan 300.000 lebih tenaga terampil. Data ini merupakan data tenaga kerja bersertifikat dari pelatihan yang diadakan pemerintah melalui LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) yang direkam oleh BPS, sedangkan untuk pelatihan yang diadakan oleh perusahaan swasta belum terekam oleh BPS. Namun dari data ini bisa dikatakan bahwa tingkat kebutuhan tenaga kerja konstruksi yang besar pada kenyataannya belum diikuti dengan kualitasnya. Banyak kendala yang mengakibatkan sedikitnya tenaga kerja konstruksi yang bersertifikasi. Menurut Arifin dalam Kesai & Arifin (2012), tiga penyebab utamanya adalah proses sertifikasi mahal, tidak ada pengaruh dalam pekerjaan/imbalan, dan tidak ada penegakan hukum. Selain itu, menurut Adi & Adillah (2012) penyebab lainnya adalah sertifikat keterampilan yang dikeluarkan badan sertifikasi kompetensi di Indonesia belum diakui oleh negara-negara pengguna tenaga kerja asal Indonesia. Faktor lainnya menurut Jelantik et al (2014) adalah masih bisa mendapat pekerjaan sekalipun tidak memiliki SKA (Sertifikat Keahlian)/SKT (Sertifikat Keterampilan), tidak menjamin diprioritaskan mendapat pekerjaan, tidak menjamin peningkatan upah/gaji, tidak menjamin peningkatan jenjang karir dan tidak menjamin peningkatan keahlian/keterampilan. Selain pelatihan, pengalaman juga dapat mempengaruhi kompetensi dan performa pekerja. Level keterampilan pekerja saat ini salah satunya bergantung pada lamanya pengalaman pekerja dalam mengerjakan bidang tersebut (Ojambati et al 2012). Didalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 24/PRT/M/2014 dituliskan pengalaman kerja adalah pengalaman melakukan pekerjaan dalam bidang tertentu dan jangka waktu tertentu secara intensif yang menghasilkan kompetensi. Dalam penelitian ini akan dilihat juga pengaruh pengalaman dan pelatihan pada performa pekerja konstruksi. Dari berbagai sumber baik pemerintah maupun praktisi konstruksi, dalam industri konstruksi, pekerja konstruksi khususnya level tukang dapat dianggap sudah cukup ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
berpengalaman apabila sudah bekerja minimal 5 tahun pada bidangnya. Maka pada penelitian ini, pekerja yang tidak memiliki sertifikat pelatihan akan dibedakan berdasarkan pengalamannya, di atas 5 tahun (di anggap sebagai pekerja berpengalaman) dan di bawah 5 tahun (di anggap sebagai pekerja tidak berpengalaman). Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis secara empirik adakah perbedaan performa antara pekerja konstruksi yang pernah mengikuti pelatihan dengan yang belum pernah mengikuti pelatihan-berpengalaman, (2) Menganalisis secara empirik adakah perbedaan performa antara pekerja konstruksi yang pernah mengikuti pelatihan dengan yang belum pernah mengikuti pelatihan-tidak berpengalaman. METODE Populasi, Sampel dan Responden Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah mandor dari pekerja-pekerja konstruksi level tukang yang sedang bekerja pada proyek-proyek konstruksi di Surabaya. Pekerja konstruksi yang dimaksudkan adalah tukang-tukang yang pernah mengikuti pelatihan, tukang-tukang yang belum mengikuti pelatihan dengan pengalaman lebih dari 5 tahun (berpengalaman) dan kurang dari 5 tahun (tidak berpengalaman). Proyek yang dipilih untuk menjadi lokasi pengambilan sampel adalah proyek-proyek yang sedang dalam masa konstruksi di Surabaya pada waktu penelitian. Pemilihan proyek dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan pertimbangan kemudahan akses dalam pelaksanaan survey dan kemudahan perijinan untuk melakukan penelitian. Penentuan sampel mandor dilakukan dengan metode insidental sampling, yaitu siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti di proyek dapat digunakan sebagai sampel apabila orang tersebut memenuhi kriteria sebagai responden penelitian. Dalam hal ini kriterianya adalah jika mandor tersebut memiliki tukang yang pernah mengikuti pelatihan, belum mengikuti pelatihan-berpengalaman maupun belum mengikuti pelatihan-tidak berpengalaman. Responden dari penelitian ini adalah mandor sebagai atasan dari tukang-tukang yang menjadi objek penelitian. Mandor dipilih sebagai responden karena mandor dianggap sebagai yang paling mengenal tukang-tukang sehingga mampu untuk menilai performa dari tukangtukangnya dengan lebih tepat dibandingkan staf proyek lainnya. Variabel Penelitian Dari hasil kajian pustaka didapatkan variabel penelitian adalah kemampuan, motivasi dan daya saing. Variabel, indikator, definisi operasional dan sumber yang digunakan sebagai berikut: Tabel 1. Variabel dan Indikator Penelitian
Variabel
Indikator Pengetahuan
Kemampuan Keterampilan
Adaptasi dan
Definisi Operasional Memiliki pengetahuan tentang metode kerja, penggunaan bahan dan peralatan serta K3 berkaitan dengan bidangnya Mampu memanfaatkan alat dan bahan dengan efektif, melaksanakan prosedur K3 dan metode kerja yang benar yang berkaitan dengan bidangnya Mampu beradaptasi dan fleksibel
ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-3
Sumber (Ojambati, Akinbile, & Abiola-Falemu, 2012) (ASTTI, 2009) (Kesai & Arifin, 2012) (Tabassi, Ramli, & Bakar, 2011) (Tabassi &
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
Variabel
Indikator Fleksibilitas
Produktivitas
Kepatuhan pada standar kerja dan ada teamwork Percaya diri Motivasi
Variabel
Daya Saing
Definisi Operasional dengan kondisi proyek yang berbeda-beda dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik Mampu meminimalkan pekerjaan ulang (re-work)/kegagalan konstruksi, mengurangi waste material dan efisien waktu sikap patuh terhadap standar kerja yang disyaratkan perusahaan dan bekerja dalam bimbingan atasan dan kerja sama dalam tim Menghargai diri sendiri karena memiliki pengetahuan dan kemampuan berkaitan dengan bidangnya
Memiliki keinginan untuk mencapai tujuan yang sesuai Keinginan untuk dengan tujuan perusahaan tempat mencapai tujuan bekerja berkaitan dengan bidang yang dikerjakan Indikator Definisi Operasional Lebih mampu bersaing dengan Prioritas untuk pekerja lainnya yang sebidang dan mendapat pekerjaan lebih dipercaya memiliki kompetensi sesuai bidangnya Gaji
Gaji yang lebih tinggi daripada pekerja lainnya yang tidak berpelatihan
Sumber Bakar, 2009) (VTC dalam Wong et al, 2012)
(Kesai & Arifin, 2012) (Tabassi, Ramli, & Bakar, 2011) (Ojambati, Akinbile, & Abiola-Falemu, 2012)
Sumber (Jelantik, Salain, & Nadiasa, 2014) (Kakkar, 2014) (Ojambati, Akinbile, & Abiola-Falemu, 2012)
Pengukuran variabel penelitian Proses pengukuran variabel penelitian dilakukan melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Variabel-variabel dan indikator-indikator penelitian diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan untuk mengukur persepsi mandor terhadap performa tukang bawahannya. Skala pengukuran untuk jawaban kuesioner menggunakan skala order yang akan diberi nilai 1 sampai 4 yang menunjukkan tingkatan dari masing-masing indikator. Angka 1 menunjukkan rendah atau jawaban paling negatif dan 4 menunjukkan tinggi atau jawaban yang paling positif. Skala ini digunakan untuk mengukur persepsi atau sikap responden terhadap itemitem yang ditanyakan dalam kuesioner. Metode Analisa Data Data yang telah dikumpulkan akan dikelompokkan menjadi data kelompok pekerja berpelatihan dan tidak berpelatihan. Analisa data diperluas dengan melihat pengalaman kerja responden untuk mendapat hasil yang lebih detil mengenai pengaruh pengalaman dan pelatihan pada performa pekerja konstruksi. Pada penelitian ini digunakan kategori pekerja berpengalaman adalah pekerja yang sudah bekerja minimal 5 tahun di bidang yang sama dan untuk kategori tidak berpengalaman jika bekerja di bawah 5 tahun di bidang yang sama dengan saat penelitian. ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
Prosedur pengujian hipotesis denga one-way anova terdiri dari uji kesamaan varian, uji anova dan uji lanjut. Uji kesamaan varian (Homogeneity of Variances) untuk mengetahui apakan varian dalam populasi kelompok data identik atau tidak. Syarat untuk uji anova adalah varian dalam populasi data harus identik. Dari uji anova akan didapatkan nilai signifikansi. Jika nilai signifikansi < α yang diharapkan, maka keputusannya Ho ditolak, dan Ha diterima, demikian sebaliknya. Jika hasil uji anova menunjukkan rata-rata kelompok berbeda secara signifikan, dapat dilakukan uji lanjut bila ingin diketahui rata-rata atau variabel mana saja yang memiliki nilai berbeda (Komputer, 2009). Dilakukan dua kali perbandingan yaitu perbandingan kelompok pekerja berpelatihan dengan kelompok pekerja tidak berpelatihan dan berpengalaman serta perbandingan kelompok pekerja berpelatihan dengan kelompok pekerja tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman. Hasil olahan data ini kemudian akan dianalisa untuk merumuskan hasil dan kesimpulan. Hipotesis untuk perbandingan kelompok pekerja berpelatihan dengan kelompok pekerja tidak berpelatihan dan berpengalaman adalah: Ho = rata-rata performa pekerja konstruksi berpelatihan dengan pekerja tidak berpelatihan dan berpengalaman sama (Tidak ada perbedaan rata-rata performa). Ha = rata-rata performa pekerja konstruksi berpelatihan dengan pekerja tidak berpelatihan dan berpengalaman berbeda (Terdapat berbedaan rata-rata performa). Hipotesis untuk perbandingan kelompok pekerja berpelatihan dengan kelompok pekerja tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman adalah: Ho = rata-rata performa pekerja konstruksi berpelatihan dengan pekerja tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman sama (Tidak ada perbedaan rata-rata performa). Ha = rata-rata performa pekerja konstruksi berpelatihan dengan pekerja tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman berbeda (Terdapat berbedaan rata-rata performa). HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Varians Dari data jawaban kuesioner yang terkumpul dilakukan analisa keragaman varians (Levene’s test of homogeneity of variance) pada rata-rata performa kelompok pekerja berpelatihan, tidak berpelatihan dan berpengalaman maupun tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman. Dari hasil analisa didapatkan nilai signifikan 0,158 yang lebih besar dari 0,1. Maka nilai rata-rata kelompok-kelompok yang dibandingkan memiliki varians yang seragam. Oleh karena itu, analisis dengan Anova bisa dilanjutkan untuk mencari perbedaan dari ratarata jawaban responden pada seluruh indikator di tiap kelompok. Perbandingan dilakukan terhadap kelompok pekerja berpelatihan dengan tidak berpelatihan dan berpengalaman serta tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman. Tabel 2. Test of Homogeneity Variances Test of Homogeneity of Variances rata-rata performa semua kelompok Levene df1 df2 Sig. Statistic 1.913 2 54 .158 Analisa uji beda rata-rata performa pekerja berpelatihan dengan pekerja tidak berpelatihan-berpengalaman Dari data yang dikumpulkan untuk kelompok pekerja berpelatihan dan kelompok pekerja tidak berpelatihan-berpengalaman kemudian dianalisa perbandingan rata-rata performa menggunakan one-way anova. Jika nilai signifikan dari indikator > 0,1 maka artinya ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
tidak ada perbedaan rata-rata performa antar kelompok pekerja yang dibandingkan pada indikator tersebut. Jika nilai signifikan indikator < 0,1 maka artinya terdapat perbedaan ratarata performa antar kelompok pekerja yang dibandingkan pada indikator tersebut. Tabel 3. Nilai Signifikan Perbandingan Indikator Kelompok Pekerja Berpelatihan dan Kelompok Pekerja Berpengalaman Indikator Penjelasan Indikator Nilai Signifikan 1 Pemahaman terhadap metode kerja bidangnya 0,948 2 Pemahaman penggunaan alat dan bahan bidangnya 1,000 3 Pemahaman mengenai standar keselamatan bidangnya 0,759 4 Kemampuan bekerja dengan metode kerja yang benar 0,574 5 Kemampuan menggunakan alat dan bahan dengan efektif 0,505 6 Melaksanakan prosedur standar keselamatan bidangnya 0,913 7 Kemampuan beradaptasi dengan kondisi proyek yang 0,809 berbeda-beda 8 Sedikit melakukan pekerjaan ulang/rework 0,583 9 Menghasilkan waste material yang sedikit 0,306 10 Tidak terlambat menyelesaikan pekerjaan 0,591 11 Bekerja mengikuti standar aturan dalam proyek 0,388 12 Bekerja mengikuti arahan dari atasan 0,435 13 Mau bekerjasama dengan anggota pekerja lain 0,905 14 Percaya diri dapat melakukan pekerjaan dengan baik 0,435 15 Keinginan untuk bekerja keras bagi proyek 0,108 16 Keinginan untuk menghasilkan hasil pekerjaan yang bagus 0,692 17 Diutamakan untuk mendapat pekerjaan dibandingkan 0,539 pekerja lain 18 Cepat mendapat pekerjaan baru 0,502 19 Gaji yang lebih tinggi dari pekerja yang belum mengikuti 0,970 pelatihan Dari hasil uji Anova disimpulkan tidak ada perbedaan rata-rata performa yang signifikan pada semua indikator performa dari perbandingan kelompok pekerja berpelatihan dan kelompok pekerja berpengalaman karena nilai signifikan untuk semua indikator > 0,1. Analisa uji beda rata-rata performa pekerja berpelatihan dengan pekerja tidak berpelatihan-tidak berpengalaman Hasil uji Anova untuk perbandingan rata-rata indikator performa kelompok pekerja berpelatihan dan kelompok pekerja tidak berpengalaman sebagai berikut: Tabel 4. Nilai Signifikan Perbandingan Indikator Kelompok Pekerja Berpelatihan dan Kelompok Pekerja Tidak Berpengalaman Indikator Penjelasan Indikator Nilai Signifikan 1 Pemahaman terhadap metode kerja bidangnya 0,059 2 Pemahaman penggunaan alat dan bahan bidangnya 0,103 3 Pemahaman mengenai standar keselamatan bidangnya 0,694 4 Kemampuan bekerja dengan metode kerja yang benar 0,767 5 Kemampuan menggunakan alat dan bahan dengan efektif 0,660 6 Melaksanakan prosedur standar keselamatan bidangnya 0,467 7 Kemampuan beradaptasi dengan kondisi proyek yang 0,297 ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
Indikator 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Penjelasan Indikator berbeda-beda Sedikit melakukan pekerjaan ulang/rework Menghasilkan waste material yang sedikit Tidak terlambat menyelesaikan pekerjaan Bekerja mengikuti standar aturan dalam proyek Bekerja mengikuti arahan dari atasan Mau bekerjasama dengan anggota pekerja lain Percaya diri dapat melakukan pekerjaan dengan baik Keinginan untuk bekerja keras bagi proyek Keinginan untuk menghasilkan hasil pekerjaan yang bagus Diutamakan untuk mendapat pekerjaan dibandingkan pekerja lain Cepat mendapat pekerjaan baru Gaji yang lebih tinggi dari pekerja yang belum mengikuti pelatihan
Nilai Signifikan 0,955 0,491 0,587 0,656 0,600 0,358 0,897 0,013 0,913 0,017 0,683 0,033
Hasil analisa Anova menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata pada indikator performa pemahaman terhadap metode kerja (indikator 1), keinginan untuk bekerja keras bagi proyek (indikator 15), diprioritaskan untuk mendapat pekerjaan (indikator 17), dan gaji (indikator 19). Dilihat dari nilai rata-ratanya (mean), untuk indikator pemahaman terhadap metode kerja (indikator 1), diprioritaskan untuk mendapat pekerjaan (indikator 17) dan gaji (indikator 19), kelompok pekerja berpelatihan dinilai lebih tinggi atau lebih positif performanya dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak berpengalaman. Sedangkan untuk indikator keinginan bekerja keras bagi proyek (indikator 15), kelompok pekerja tidak berpengalaman dinilai lebih tinggi oleh responden dibandingkan kelompok pekerja berpelatihan Diskusi dan Verifikasi Hasil Penelitian Hasil penelitian ini kemudian disampaikan kepada 2 orang responden sebagai perwakilan dari keseluruhan responden untuk mendapatkan verifikasi. Responden yang menjadi perwakilan dipilih karena memiliki pengalaman yang sudah lebih dari 10 tahun di bidangnya dan memiliki pekerja berpelatihan, pekerja tidak berpelatihan dan berpengalaman serta pekerja tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman. Selain itu juga kemudahan menemui responden dan akses ke proyek menjadi pertimbangan pemilihan perwakilan responden untuk verifikasi. Dari hasil wawancara, secara keseluruhan kedua responden memberikan jawaban yang tidak jauh berbeda. Kedua responden secara keseluruhan sepakat dengan hasil penelitian yang menyatakan tidak ada perbedaan secara keseluruhan antara pekerja berpelatihan dengan pekerja yang tidak berpelatihan namun berpengalaman. Hal ini dikarenakan kedua kelompok pekerja ini memiliki kemampuan, motivasi dan daya saing yang tidak jauh berbeda. Untuk variabel kemampuan pekerja, pada umumnya pekerja yang sudah berpengalaman dengan sendirinya telah terlatih untuk mengerjakan pekerjaan di bidangnya secara berulangberulang sehingga dapat menghasilkan produktivitas dan kualitas yang tinggi. Pengalaman kerja di bidang yang sama memang mempengaruhi produktivitas dan kemampuan pekerja pada bidang tersebut seperti yang ditulis oleh Ojambati et al (2012) dan Zhou dalam Fagbenle et al (2012). Untuk variabel motivasi juga tidak ada perbedaan karena dari sisi mandor juga selalu mengarahkan pekerja-pekerja tersebut dengan baik dan karena adanya hubungan yang baik antara mandor dengan pekerja membuat pekerja juga lebih bisa bekerja dengan baik dan juga bekerja sama dengan baik. Untuk variabel daya saing, responden juga menyetujui bahwa tidak ada perbedaan. Hal ini dikarenakan produktivitas dan kualitas kerja menjadi hal yang paling penting dan paling ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
diperhatikan oleh mandor yang akan menentukan besaran gaji yang mereka terima dan juga prioritas untuk mendapat pekerjaan baru. Sertifikat pelatihan tidak diperhitungkan oleh mandor dan tidak menjadi tolak ukur pemberian gaji maupun prioritas untuk mendapat pekerjaan baru. Penemuan ini mendukung peneltian yang dilakukan Jelantik et al (2014) yang mengatakan tidak ada jaminan kenaikan upah/gaji bagi pekerja konstruksi yang memiliki sertifikat keterampilan/keahlian dan tidak ada jaminan prioritas mendapat pekerjaan dibanding pekerja lainnya. Hal senada juga disampaikan oleh Arifin dalam Kesai & Arifin (2012) bahwa proses sertifikasi yang mahal, tidak ada pengaruh dalam pekerjaan/imbalan, dan tidak ada penegakan hukum menjadi penghambat pekerja untuk mengikuti pelatihan dan sertifikasi pekerja konstruksi. Pemerintah tidak memiliki aturan tegas yang mensyaratkan pekerja harus memiliki sertifikat untuk bekerja pada proyek-proyek konstruksi di Indonesia terutama untuk pekerja level tukang. Aturan dalam UUJK No.18 tahun 1999 pasal 9 hanya mensyaratkan perencana, pengawas dan pelaksana untuk memiliki sertifikat keterampilan/keahlian jika ingin mengikuti pengadaaan jasa konstruksi. Hal ini juga menyebabkan pekerja level tukang yang sudah memiliki sertifikat pelatihan tidak diprioritaskan untuk mendapat pekerjaan dibandingkan pekerja lainnya yang setara secara produktivitas namun belum pernah mengikuti pelatihan. Proses yang panjang dan juga biaya yang cukup mahal yang harus dikeluarkan untuk mengikuti proses pelatihan dari pemerintah mengakibatkan hanya sedikit tukang yang mengikuti sertifikasi pelatihan. Dari hasil wawancara dengan Koordinator bagian pelaksanaan sertifikasi di LPJK Jawa Timur juga diketahui bahwa pekerja konstruksi level tukang yang mengikuti pelatihan dari LPJK semuanya dibiayai oleh perusahaan yang mempekerjakan mereka, bukan dari inisiatif sendiri. Hasil penelitian pada perbandingan kelompok pekerja berpelatihan dengan pekerja tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara kedua kelompok ini pada indikator pemahaman terhadap metode kerja, keinginan untuk bekerja keras bagi proyek, diprioritaskan untuk mendapat pekerjaan baru serta gaji. Responden menyetujui dengan menyatakan bahwa pekerja berpelatihan memiliki pengetahuan mengenai metode kerja dan kemampuan membaca gambar dengan benar yang lebih tinggi dibandingkan pekerja tidak berpengalaman. Pekerja tidak berpengalaman seringkali harus dituntun dan diarahkan untuk pekerjaan yang harus mereka lakukan. Sekalipun mereka sudah mampu menggunakan alat dan bahan dengan tepat oleh karena pekerjaan tersebut dilakukan berulangulang, namun untuk pengaplikasian sesuai gambar kerja tetap harus diarahkan oleh mandor agar tidak terjadi salah kerja dan tidak membuang banyak material. Sedangkan untuk pekerja berpelatihan, kebanyakan mereka sudah memahami cara membaca gambar sehingga mandor tidak perlu banyak mengarahkan dan mereka sudah bisa diandalkan oleh mandor. Setiap hari juga diadakan inspeksi pelaksanaan standar keselamatan oleh manajemen proyek dan juga setiap minggu diadakan rapat mengenai standar keselamatan sehingga semua pekerja bisa memperhatikan pentingnya pemahaman dan penerapan standar keselamatan kerja. Maka dari itu tidak ada perbedaan secara standar keselamatan. Pada indikator keinginan untuk bekerja keras, pekerja tidak berpengalaman dinilai lebih tinggi oleh responden daripada pekerja berpelatihan. Responden menyetujui hal ini dikarenakan pada umumnya pekerja tidak berpelatihan akan mengusahakan untuk belajar dan bekerja lebih keras agar dapat memperoleh produktivitas dan kualitas yang tinggi dan menyamai pekerja yang berpelatihan. Selain itu bisa juga karena adanya motivasi ingin naik pangkat dan untuk dinilai lebih oleh mandor sebagai atasan. Pekerja berpelatihan cenderung terlihat lebih santai saat bekerja karena mereka sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik tanpa banyak arahan dari mandor. Oleh karena produktivitas dan kualitas kerja yang tinggi maka responden menyetujui bahwa pekerja berpelatihan akan lebih diutamakan untuk mendapat pekerjaan dan diberikan gaji yang lebih tinggi daripada pekerja tidak berpengalaman yang masih perlu banyak dituntun dan diajar. Sedangkan untuk kecepatan mendapat pekerjaan menurut responden ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-8
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
kedua kelompok ini sama karena saat ini proyek konstruksi sangat berkembang dimana-mana. Oleh karena itu permintaan akan tukang dan mandor pun banyak. Bahkan seringkali mereka sudah ditawari pekerjaan sebelum pekerjaan saat ini selesai. Oleh karena tingginya permintaan pasar akan tukang maka tidak ada tukang yang menganggur terlalu lama, baik yang sudah berpelatihan maupun yang tidak berpengalaman. Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa tidak ada kelebihan yang didapatkan oleh pekerja yang sudah memiliki sertifikat keterampilan karena manajemen proyek juga tidak memperhitungkan sertifikat pelatihan yang mereka miliki. Hal ini terbukti dari tidak adanya data tukang yang berpelatihan maupun tidak berpelatihan pada manajemen proyek. Maka Peneliti harus langsung bertanya kepada mandor yang dianggap lebih mengenal tukangtukangnya untuk mengetahui apakah ada tukang mereka yang pernah mengikuti pelatihan sepengetahuan mandor tersebut. Mandor maupun manajemen proyek hanya mempedulikan dan memprioritaskan produktivitas pekerja tersebut dan gaji pekerja juga tergantung dari produktivitasnya. Sertifikat pelatihan sebagai bukti kompetensi hanya berguna jika pekerja tersebut akan dikirim untuk bekerja di proyek di luar Indonesia yang mensyaratkan bukti kompetensi berupa sertifikat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dari analisa perbandingan rata-rata variabel menggunakan Anova, disimpulkan tidak ada perbedaan performa yang signifikan antara pekerja yang sudah pernah mengikuti pelatihan dengan pekerja yang belum pernah mengikuti pelatihan dan berpengalaman lebih dari 5 tahun. Semua indikator dalam variabel-variabel menunjukkan angka signifikan yang lebih dari 0,1 yang artinya tidak ada perbedaan yang cukup signifikan pada kedua kelompok tersebut terhadap variabel kemampuan, motivasi dan daya saing. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan pelatihan tidak membawa pengaruh signifikan dalam performa pekerja pada pekerja yang sudah berpengalaman lebih dari 5 tahun. 2. Pada perbandingan pekerja berpelatihan dengan pekerja tidak berpelatihan dan tidak berpengalaman didapatkan perbedaan rata-rata pada indikator pemahaman terhadap metode kerja (variabel kemampuan), keinginan untuk bekerja keras (variabel motivasi), di prioritaskan untuk mendapat pekerjaan dan gaji (variabel daya saing). Perbedaan untuk variabel kemampuan dan variabel daya saing ditemukan lebih positif terjadi pada kelompok pekerja berpelatihan, sedangkan untuk variabel motivasi ditemukan lebih positif terjadi pada kelompok pekerja tidak berpelatihan dan berpengalaman dibawah 5 tahun. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelatihan membawa pengaruh yang cukup signifikan pada pekerja dengan pengalaman dibawah 5 tahun. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah: Untuk peneliti selanjutnya bisa melengkapi penelitian ini dengan memperbanyak jumlah sampel khususnya untuk sampel pekerja berpelatihan agar hasil penelitian bisa lebih tergeneralisir atau mewakili keseluruhan populasi objek penelitian. Penelitian ini juga bisa dilengkapi dengan menambah satu kelompok untuk diperbandingkan yaitu kelompok pekerja berpelatihan dan berpengalaman kurang dari 5 tahun. Jika kelompok ini ditambahkan dapat dilihat perbandingan performa dari pekerja berpelatihan dan berpengalaman kurang dari 5 tahun dengan pekerja yang tidak berpelatihan dan berpengalaman lebih dari 5 tahun. Dari penelitian tersebut dapat dilihat pengaruh dari pelatihan dan pengalaman terhadap performa pekerja konstruksi khususnya pada level tukang. Selain itu bisa menggunakan alat ukur penelitian selain pengukuran persepsi misalnya observasi lapangan dan sebagainya.
ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-9
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015
DAFTAR PUSTAKA Adi, H. P., & Adillah, S. U. (2012). Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi Sebagai Unsur Pendukung Pembangunan Infrastruktur. Agustin, S. (2007). Faktor-faktor Untuk Peningkatan Kualitas Kontraktor di Surabaya. Thesis Pascasarjana ITS . Ardiansyah, D., Nailul, H., DH, J. U., & Kistiani, F. (2012). Kontribusi Sertifikasi SDM Konstruksi Terhadap Kegagalan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan Studi Kasus Provinsi Jawa Tengah. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro . ASTTI, B. S. (2009). Petunjuk Pelaksanaan Sertifikasi Keterampilan Tenaga Kerja Konstruksi. Fagbenle, O. I., Lawal, P. O., & Omuh, I. O. (2012). The Influence of Training on Bricklayers’ Productivity in Nigeria. International Journal of Management Sciences and Business Research . Inovasi Peningkatan Kapasitas SDM Konstruksi. (2013). Konstruksi Indonesia 2013. Jelantik, I. M., Salain, I. M., & Nadiasa, M. (2014). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Konstruksi untuk Memiliki SKA/SKTK pada Kontraktor di Kabupaten Badung. Jurnal Spektran , 36-43. Kakkar, A. (2014). Training Construction Workers for Sustainable Environment. International Journal of Environmental Research and Development , pp. 21-26. Kesai, P., & Arifin, D. Z. (2012). Kinerja SDM Konstruksi. Konstruksi Indonesia 2012. Jakarta. Komputer, W. (2009). Seri Panduan Praktis: SPSS 17 Untuk Pengolahan Data Statistik. Yogyakarta: Andi Offset. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2014). Peraturan No.24/PRT/M/2014. Jakarta: Kementrian Pekerjaan Umum. Mustazir, A. (2002). Pengaruh Sertifikasi Tenaga Ahli Jembatan Terhadap Mutu Jembatan di Indonesia. Tesis S2 UI . Ojambati, T. S., Akinbile, B. F., & Abiola-Falemu, J. O. (2012). Personnel Training and Development: A vital tool for construction workers performance. Journal of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences , 996-1004. Soegiri, H. (2012). Kondisi Ketenagakerjaan di Jawa Timur Kondusif, Dorong Penciptaan Peluang Kerja. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis . Tabassi, A. A., Ramli, M., & Bakar, A. H. (2011). Training and Development of Workforces In Construction Industry. International Journal of Academic Research , 509-515. Tabassi, A., & Bakar, A. A. (2009). Training, Motivation and Performance: The Case of Human Resource Management in Construction Projects in Mashhad, Iran. International Journal of Projct Management 27 , 471-480. Wong, J. M., Chan, A. P., & Chiang, Y. H. (2012). a critical review of forecasting models to predict manpower demand. The Australian Journal of Construction Economics and Building (Vol. 4 No. 2) , 43-55.
ISBN: 978-602-70604-2-5 B-19-10