UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN PENILAIAN CT-SCAN DAN MRI DENGAN PENEMUAN OPERASI PADA PAPILOMA INVERTED SINONASAL
Penelitian Pendahuluan untuk Prediksi Lokasi Asal Tumor, Keterlibatan Sinus Paranasal, dan Stadium Tumor Papiloma Inverted
TESIS
Ashadi Budi 0906647425
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK JAKARTA JANUARI 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis isi adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Ashadi Budi
NPM
: 0906647425
Tanda Tangan : Tanggal
: 27 Desember 2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh: Nama : Ashadi Budi NPM : 0906647425 Program studi : Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher Judul tesis : Perbandingan penilaian CT-scan dan MRI dengan penemuan operasi pada papiloma inverted sinonasal (Penelitian pendahuluan untuk prediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal, dan stadium tumor papiloma inverted Akan diuji di hadapan dewan penguji sebagai bagian dari persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar dokter spesialis pada Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Dr. dr. Trimartani, SpTHT-KL(K) Ketua Departemen THT-KL FKUI/RSCM
...................................................
dr. Nina Irawati, SpTHT-KL(K) Ketua Program Studi Departemen THT-KL FKUI/RSCM
...................................................
Dr. dr. Susyana Tamin, SpTHT-KL(K) Koordinator Penelitian dan Pengembangan Departemen THT-KL FKUI/RSCM
...................................................
Dr. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL (K) Pembimbing THT Rinologi
...................................................
dr. Marlinda Adham, SpTHT-KL (K) Pembimbing THT Onkologi
...................................................
dr. Vally Wulani, SpRad (K) Pembimbing Radiologi 1
...................................................
dr. Aviyanti Djurzan, Sp.Rad (K) Pembimbing Radiologi 2
...................................................
Dr. dr. Saptawati Bardosono, M.Sc Pembimbing Statistik
...................................................
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia DR. dr. Ratna Sitompul, SpM, serta Dr. dr. C.H. Soejono, SpPD-KGer, MEpid, FACP, FINASIM sebagai Direktur Utama RSUPN Cipto Mangunkusumo (CM) serta Prof. DR. dr. Akmal Taher sebagai Direktur Utama RSCM periode lalu, dr. Omo Abdul Madjid, Sp.OG(K) selaku Direktur Umum & Operasional RSCM, Dr. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT. KL (K) sebagai Direktur Medik dan Keperawatan RSCM, dr. Ayi Djembarsari. MARS sebagai Direktur Pengembangan & Pemasaran, dr. Sumaryono, SpPD-KR sebagai Direktur Sumber Daya Manusia & Pendidikan, serta dr. Mohammad Ali Toha Assegaf, MARS selaku Direktur Keuangan, saya ucapkan terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) FKUI/ RSCM. Pada kesempatan yang baik ini, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL sebagai Ketua Departemen THT-KL FKUI/ RSCM serta DR. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT-KL yang semasa beliau menjabat sebagai Ketua Departemen THT-KL FKUI/ RSCM telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar di Departemen ini, serta atas didikan, bimbingan, nasihat, teladan, dan dorongan yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan ini. Terima kasih yang tulus saya haturkan kembali kepada dr. Nina Irawati, Sp.THTKL sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM iv
v
dan dr. Harim Priyono, Sp THT-KL sebagai Sekretaris Program Studi, serta dr. Fachri Hadjat, Sp.THT-KL dan DR. dr. Trimartani, Sp THT-KL yang semasa menjabat sebagai Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi periode lalu, telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat, dukungan, serta kemudahan selama mengikuti pendidikan. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya saya sampaikan kepada DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL sebagai Koordinator Penelitian dan Pengembangan Departemen THT FKUI/ RSCM telah memberikan dukungan dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah dan telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengembangkan diri. Kepada dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL sebagai Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM, dr. Semiramis Z , Sp.THT-KL sebagai Koordinator Administrasi Keuangan Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM saya ucapkan terima kasih atas nasihat, bimbingan, dan dukungan yang telah diberikan selama pendidikan. Demikian pula kepada Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM baik yang masih aktif, maupun yang telah memasuki masa purna bakti, Prof. dr. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT-KL, Prof. dr. Hendarto Hendarmin, Sp.THT-KL, Prof. dr. Hartono Abdoerrachman, Sp.THT-KL, PhD, Prof. dr. Masrin Munir, Sp.THT-KL, Prof. dr. Zainul A. Djafaar, Sp.THT-KL, Prof dr. Bambang Hermani, Sp.THT-KL, Prof. dr. Helmi, Sp.THT-KL, Prof. dr. Efiaty Soepardi, Sp.THT-KL, dan Prof. DR. dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT-KL, saya ucapkan terima kasih atas bimbingan, pengarahan, dorongan, nasihat, suri tauladan yang amat berharga bagi saya dalam menyelesaikan pendidikan ini. Kepada para Ketua Divisi THT-KL FKUI/RSCM dr. Zanil Musa, Sp.THT-KL, dr. Alfian Farid Hafil, Sp.THT-KL, dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THT-KL, Prof. dr. Bambang Hermani, Sp.THT-KL, dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL, dr. Widayat Alviandi, Sp.THT-KL, DR. dr. Dini Widiarni, Sp.THT-KL, dr. Nina Irawati, Sp.THT-KL dan DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL, saya sampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya.
Universitas Indonesia
vi
Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen THT-KL FKUI/RSCM, baik yang masih aktif maupun yang telah memasuki masa purna bakti, Prof. dr. Zainul A. Djafaar, Sp.THT-KL, dr. Indro Soetirto, Sp.THTKL, dr. Syarifuddin, Sp.THT-KL, dr. Entjep Hadjar, Sp.THT-KL, dr. Rusmaryono, Sp.THT-KL, dr. Averdi Roezin, Sp.THT-KL, Prof. dr. Efiaty Soepardi, Sp.THTKL, dr. Damayanti Soetjipto, Sp.THT-KL, dr. Mariana Yunizaf, Sp.THT-KL, dr. Endang CH Mangunkusumo, Sp.THT-KL, dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THTKL, dr. Sosialisman, Sp.THT-KL, dr. Alfian Farid Hafil, Sp.THT-KL, Prof. DR. dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT-KL, DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL, dr. Armiyanto, Sp.THT-KL, dr. Zanil Musa, Sp.THTKL, DR. dr. Dini Widiarni, Sp.THT-KL, dr. Semiramis Z, Sp.THTKL, DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL, DR. dr. Ratna D. Restuti, Sp.THT-KL, dr. Widayat Alviandi, Sp.THT-KL, DR. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL, dr. Syahrial, Sp.THTKL, dr. Marlinda Adham. Y, Sp.THT-KL, dr. Arie W. Cahyono, Sp.THT-KL, dr. Brastho Bramantyo, Sp.THTKL, dr. Rusdian Utama, Sp.THT-KL, dr. Niken Lestari, Sp.THT-KL, dr. Elvie Zulka KR, Sp.THT-KL, dr. Tri Juda Airlangga, Sp.THT-KL, dr. Rosmadewi, dr. Mirta Hediyati, Sp.THT-KL, dr. Fauziah Fardizza, Sp.THT-KL, dr. Rahmanofa Yunizaf, Sp.THT-KL dr. Harim Priyono, Sp.THT-KL, dr. Fikry Hamdan Yasin, Sp.THT-KL dan dr. Ika Dewi Mayangsari, Sp. THT-KL atas segala bimbingan dan dukungan yang diberikan selama saya menjalani pendidikan ini. Khusus dalam rangka penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini, dengan tulus dan rasa hormat tak terhingga saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pembimbing saya DR. dr. Retno S Wardani, Sp.THT-KL, dr. Marlinda Adham, Sp.THT-KL, dr. Vally Wulani, Sp.Rad, dr. Aviyanti Djurzan, Sp.Rad, DR. dr. Saptawati Bardosono, MSc yang selalu meluangkan waktu dan bersusah payah untuk membimbing, memberi dukungan, arahan, dorongan semangat dan menguatkan hati saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Dengan rasa hormat yang mendalam saya ucapkan terima kasih kepada Bp. Asep Awaludin, Bp. Momod, Bp. Richard (Alm.), Ibu Siti, Ibu Ellyse, Bp. Waspada, Mba Yuni, Mas Dul, Mba Trias, Pak Sam, Bu Euis, Bu Iis, Bu Sam, mbak Ida, Mba Emi, Mas Heru dan rekan-rekan karyawan, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
Universitas Indonesia
vii
yang telah memberi kontribusi yang sangat besar terhadap penelitian saya dan dalam menyelesaikan masa pendidikan saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh paramedis IGD RSCM , perawat ruang rawat THT gedung A lantai 7 serta serta petugas kebersihan Departemen THT-KL FKUI/RSCM atas bantuan kerja sama yang telah diberikan kepada saya dalam melaksanakan tugas sehari-hari selama masa pendidikan ini.
Kepada Ketua Departemen THT-KL RSUP Fatmawati, dr. Syafruddin, Sp.THTKL dan seluruh staf pengajar RS. Fatmawati, dr. Sri Susilawati, Sp.THT-KL, dr. Sita A. Rasyad, Sp.THT-KL, dr. Abduh, Sp.THT-KL, dr. Diana Rosalina, Sp.THTKL, dr. Heditya Damayanti, Sp.THT-KL, dr. Vicky Riyadi, Sp.THT-KL dan dr. Rully Ferdiansyah, Sp.THT-KL saya ucapkan terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, didikan, nasihat, arahan yang diberikan selama saya menjalani pendidikan di RSUP Fatmawati. Ucapan terima kasih juga kepada seluruh para medis, karyawan dan karyawati RSUP Fatmawati atas bantuan dan kerja sama yang diberikan.
Kepada Ketua Departemen THT RSUP Persahabatan dr. Purna Irawan, SpTHTKL, dan seluruh staf pengajar RS. Persahabatan dr. Hatmansyah, Sp.THT-KL, dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL, dr. Desy Anggraeni, Sp.THTKL, dr. Yulvina, SpTHTKL, dr. Arfan Noer, SpTHT-KL dan dr. Kartika Dwiyani, SpTHT-KL, dr. R. Ena Sarikencana, Sp.THT-KL, saya ucapkan terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, ajaran, nasihat dan arahan yang diberikan selama saya menjalani pendidikan di RSUP Persahabatan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh paramedis, karyawan dan karyawati RSUP Persahabatan atas bantuan dan kerja sama yang diberikan. Terima kasih kepada rekan-rekan seangkatan saya, dr. Adila Hisyam, dr. Arinda Putri Pitarini, dr. Bintari Nareswari, dr. Sesanti Hayuningtyas, dr. Meristiana Christiane, dr. Muslim, atas kebersamaan dan persahabatan yang terjalin selama ini serta untuk dukungan dan dorongan kepada saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. Kepada seluruh kakak-kakak senior saya, khususnya kepada dr. Agieta Zulkifli Sp.THT-KL, dr. Respatih R, Sp.THT-KL, dr. Alvin R, Sp.THT-KL, dr.
Universitas Indonesia
viii
Unggul, Sp.THT-KL, dr. M. Iqbal Sp.THT-KL, dr. Dian Nurul, SpTHT-KL, dr. Tina Qadarina, SpTHT-KL, dr. Evita Fitria E Sp.THT-KL, dr. Riza Rizaldi, SpTHT-KL, dr. Ena Sarikencana, SpTHT-KL, dr. Stivina Azrial Sp.THT-KL, dr. Febriyani, SpTHT-KL, dr. Arroyan W Sp.THT-KL, dr. Dina Putri Sp.THT-KL, dr. Meila S, Sp.THT-KL, dr. Daneswarry, Sp.THT-KL, dr. Nurul, Sp.THT-KL, dr. Yus Ukrowiyah, Sp.THT-KL, dr. Risdawati, Sp.THT-KL, dr. Dina Alia, Sp.THT-KL, dr. Fairuz Sp.THT-KL, dr. Hably Warganegara, Sp.THT-KL, dr. Fahmi Zaglulsyah, dr. Andre Iswara Sp.THT-KL, dr. Eriza, dr. Putri Anugerah Sp.THTKL, dr. Gustav S, Sp.THT-KL, dr. Sakina U, Sp.THT-KL , dr. Yadita Sp.THT-KL, dr. Dina Nurdiana, dr. Yassi, dr. Rina, dr. Hastuti, dr. Dwi Agustawan, dr. Riski, dan kepada teman-teman serta adik-adik, dr. Karisma, dr. Michael, dr. Indah S, dr. Tissa, dr. Novra, dr. Rossa, dr. Vindina R, dr. Junicko, dr. Anggina, dr. Jarot, dr. Dadan, dr. Ayu, dr. Dora, dr. Elisabeth, dr. Karina, dr. Evin, dr. Ikhwan, dr. Irma, dr. Adisti, dr. Nimim, dr. Rangga, dr. Meiri, dr. Hamida, dr. Fiza, dr. Indah, dr. Fariza, dr. Arum, dr. Wresty, dr. Windy, dr. Sevi, dr. Sofi, dr. Natasya, dr. Fatia, dan dr. Olvi, atas bantuan, kerja sama dan dukungan moril yang diberikan selama saya berada dalam program studi hingga menyelesaikan penelitian saya. Kepada seluruh teman sejawat peserta Program Studi Departemen THT-KL FKUI/RSCM, terima kasih atas doa, bantuan, kebersamaan, kerja sama, dukungan serta persahabatan dalam suka dan duka, yang terjalin selama mengikuti pendidikan ini dan insya Allah akan tetap terjaga untuk masa yang akan datang.
Tesis saya persembahkan khusus untuk keluarga yang saya cintai, terima kasih dan rasa sayang yang tiada terhingga untuk ayah tercinta dr. Asbudi, Sp.THT-KL dan ibu tercinta Yulita Dewi Iwawo, atas cinta kasih, kesabaran, kasih sayang dan segenap doa yang tidak pernah putus dalam membesarkan, mendidik dan mendukung setiap langkahku, semoga saya bisa menjadi anak yang dibanggakan dan selalu membahagiakan orang tua. Rasa terima kasih dan sayang yang tak terhingga juga saya persembahkan untuk ayah mertua Drs. Telmis Yantosa, Ak. dan ibu mertua Yasye Elvira atas dukungan dan doanya, dan selalu hadir setiap waktu selama saya menjalani pendidikan spesialis. Untuk istriku tercinta dr. Tania Febrina, terima kasih atas pengertian dan kesabarannya dalam mendampingi dan
Universitas Indonesia
ix
selalu menyemangatiku agar bisa menyelesaikan pendidikan ini, serta untuk ketiga anakku Syakirah Alika Budi, Syakirah Alisa Budi, dan Shafiya Andhara Budi, yang selalu menungguku dan menjadi penyemangat saat tiba di rumah, maafkan untuk hari-hari yang terlewati tanpa papa di samping kalian. Kasih sayang yang tak terhingga untuk Kakak tercinta Astini Budi, SE, Golfried Chandra, ST. Adikadikku Astrid Budi, SDs., Astari Budi, dr. Shelly Agustin, Andini Ramadhani, atas segala dukungan di setiap waktu. Akhir kata, izinkanlah saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas kesalahan-kesalahan saya atau kekhilafan yang telah saya perbuat selama masa pendidikan ini baik yang disengaja maupun tidak. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga ilmu yang saya dapatkan akan lebih menyadarkan saya atas kekurangan saya dan lebih mengingatkan saya atas kebesaran-Nya, sehingga dapat saya amalkan untuk kepentingan umat dan masyarakat luas. Semoga Allah SWT selalu melindungi dan membimbing setiap langkahku serta memberikan Hidayah-Nya dalam setiap keputusanku. Amin, amin, Yaa Robbal Alamin. Wassalamua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penulis
Ashadi Budi
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI Halaman JUDUL ..................................................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. iv DAFTAR ISI ........................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xv BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1 1.2 Masalah penelitian ................................................................................... 4 1.3. Hipotesis penelitian ................................................................................. 5 1.4 Tujuan penelitian ..................................................................................... 5 1.4.1 Tujuan umum ................................................................................. 5 1.4.2 Tujuan khusus ................................................................................ 5 1.5 Manfaat penelitian.................................................................................... 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7 2.1 Papiloma Inverted .................................................................................... 7 2.1.1 Etiologi dan Epidemiologi ............................................................. 8 2.1.2 Gambaran histologi PI ................................................................... 9 2.1.3 Diagnosis klinis ............................................................................ 10 2.2 Pemeriksaan radiologi papiloma inverted .............................................. 10 2.2.1 Pemeriksaan CT-scan .................................................................. 11 2.2.2 Pemeriksaan MRI......................................................................... 13 2.3 Penilaian pre-operatif tumor PI .............................................................. 14 2.3.1 Prediksi lokasi asal tumor PI........................................................ 15 2.3.2 Penentuan keterlibatan sinus paranasal ........................................ 17 2.3.3 Penentuan stadium tumor PI ........................................................ 19 2.4 Penatalaksanaan PI................................................................................. 20 2.5 Follow up papiloma inverted ................................................................. 24 2.6 Kerangka teori ........................................................................................ 26 2.7 Kerangka konsep .................................................................................... 27 BAB 3. METODE PENELITIAN......................................................................... 28 3.1 Desain penelitian .................................................................................... 28 3.2 Tempat dan waktu penelitian ................................................................. 28 3.3 Populasi dan subjek penelitian ............................................................... 28 3.4 Subjek dan cara pemilihan subjek.......................................................... 29 3.5 Kriteria penelitian .................................................................................. 29 3.6 Besar subjek minimal ............................................................................. 30
x
xi
3.7 Metode pemilihan subjek ....................................................................... 30 3.8 Prosedur penelitian................................................................................. 31 3.9 Alur penelitian ....................................................................................... 35 3.10 Manajemen dan analisis data ............................................................... 36 3.11 Batasan operasional.............................................................................. 37 3.12 Hambatan penelitian ............................................................................ 40 3.13 Etika penelitian .................................................................................... 41 3.14 Organisasi penelitian ............................................................................ 41 BAB 4. HASIL PENELITIAN ............................................................................. 42 4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal ..................... 42 4.2 Sebaran lokasi asal, keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor berdasarkan pemeriksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi .. 44 4.3 Prediksi lokasi asal tumor PI .................................................................. 45 4.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal ................................. 47 4.5 Prediksi menentukan stadium tumor ...................................................... 50 4.6 Uji diagnostik CT-scan & MRI, dibandingkan dengan penemuan saat operasi ................................................................................................... 51 4.7 Alur tata laksana tumor PI...................................................................... 52 4.7.1 Memprediksi lokasi asal tumor .................................................... 52 4.7.2 Mengetahui keterlibatan sinus paranasal ...................................... 53 4.7.3 Prosedur operasi untuk mengetahui lokasi asal tumor ................. 54 BAB 5. PEMBAHASAN ...................................................................................... 63 5.1 Keterbatasan penelitian .......................................................................... 63 5.2 Karakteristik pasien papiloma inverted sinonasal .................................. 64 5.3 Prediksi lokasi asal tumor PI................................................................. 66 5.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal ................................. 70 5.5 Prediksi menentukan stadium tumor ...................................................... 72 5.6 Kesesuaian periksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi ........ 73 5.7 Manfaat pemeriksaan pre-operatif dalam alur penatalaksanaan ............ 74 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 77 6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 77 6.2 Saran ...................................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5.
Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 2.10. Gambar 2.11. Gambar 2.12. Gambar 2.13. Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4
Gambaran klinis papiloma inverted ................................................ 7 Gambaran koilosit ........................................................................... 9 Perbedaan gambaran PI pada CT-scan dan MRI........................... 13 Gambaran hiperostosis menyerupai kerucut pada sinus maksila .. 14 Gambaran hiperostosis pada pemeriksaan CT-scan, perlekatan tumor (kiri) dibandingkan dengan hiperostosis difus karena sinusitis (kanan) ............................................................................ 15 Gambaran dari serpentine cerebriform filamentous structure (SCF) pada pencitraan MRI, pangkalnya berupa asal tumor ........ 16 Perluasan tumor yang sentrifugal dengan pusat peluasan merupakan lokasi awal perlekatan tumor...................................... 17 Perbedaan pemeriksaan MRI T1-weighted dengan kontras (kiri) dan T2-weighted tanpa kontras (kanan)........................................ 18 Teknik rinotomi lateral .................................................................. 21 Bedah eksternal maksilektomi medial ........................................... 22 Tumor yang melekat pada konka media dilakukan konkotomi ..... 23 Reseksi mukosa perlekatan dengan batas makroskopik jaringan mukosa sehat ................................................................................. 24 Gambaran PET-scan pada pasien dengan PI sinonasal ................. 25 Alur mendapatkan subjek penelitian ............................................. 43 Posisi reverse trendelenburg dengan fleksi kepala ....................... 54 Pengaturan lapangan operasi ......................................................... 55 Alat Surgical Cockpit Navigation Panel Unit Karl Storz ............. 56 Lokasi pengaturan marker pada NPU ............................................ 57 Pengaturan kamera sensor pada NPU ............................................ 58 Pengaturan marker titik registrasi pada pasien .............................. 59 Tampilan menu pada NPU Karl Storz ........................................... 60 Hasil penggabungan CT-scan dan MRI T2-weighted .................... 61 Gambaran hiperostosis pada CT-scan. .......................................... 66 Perbandingan prediksi lokasi asal tumor dengan menggunakan CT-scan dan MRI.......................................................................... 68 Perbedaan gambaran MRI dan CT-scan dalam ketelibatan sinus paranasal........................................................................................ 71 Perbedaan prediksi stadium tumor PI pada CT-scan dan MRI pada subjek 6................................................................................. 72
xii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Hasil uji diagnostik CT-scan dalam penilai perluasan massa sinonasal oleh Annam dkk ................................................................. 12 Tabel 2.2. Ketepatan penentuan stadium tumor menggunakan CT-scan dibandingkan dengan penemuan histopatologi .................................. 13 Tabel 2.3. Perbandingan sistem klasifikasi stadium tumor PI ............................ 20 Tabel 4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal ................. 44 Tabel 4.2 Sebaran lokasi asal tumor, sinus paranasal berdasarkan pemeriksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi......................................... 45 Tabel 4.3 Kesesuaian prediksi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi ............................ 46 Tabel 4.4 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi lokasi asal tumor berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI.......................................................... 47 Tabel 4.5 Kesesuaian prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi ...... 48 Tabel 4.6 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI ..................................... 49 Tabel 4.7 Kesesuaian prediksi stadium tumor berdasarkan CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi .................................... 50 Tabel 4.8 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi stadium tumor berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI.......................................................... 51
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Keterangan lulus kaji etik ................................................................. 85 Lampiran 2. Penjelasan penelitian kepada pasien ................................................. 86 Lampiran 3. Surat persetujuan mengikuti penelitian ............................................ 88 Lampiran 4. Status Penelitian ............................................................................... 89 Lampiran 5. Dummy table ..................................................................................... 91 Lampiran 6. Tabel Induk ....................................................................................... 96
xiv
DAFTAR SINGKATAN 2D 3D AJCC CCP CD CT-scan DICOM DNA DVD ENT HPV HU KCT KMRI KOM KSS MPR MRI NPU NPV PACS PET PI POCT POMRI PPV PSO RS RSCM SCF Sens Spec THT-KL USB WHO WL WW
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
2 Dimension 3 Dimension American Joint Committee on Cancer Convoluted cerebriform pattern Compact Disc Computed Tomography scan Digital Imaging and Communications in Medicine Deoxyribonucleic acid Digital versatile disc Ear Nose and Throat Human papilloma virus Hounsfield units Kesesuaian CT-scan dengan PSO Kesesuaian MRI dengan PSO Kompleks ostio meatal Karsinoma sel skuamosa Multi-planar reconstruction Magnetic Resonance Imaging Navigation Panel Unit Negative predictive value (nilai duga negatif) Picture Archiving and Communications System Positron Emission Tomography Papiloma Inverted Pre-operatif CT-scan Pre-operatif MRI Positive predictive value (nilai duga positif) Penemuan saat operasi Rumah sakit RS. Dr. Cipto Mangunkusumo serpentine cerebriform filamentous structure Sensitivitas Spesifisitas Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Universal Serial Bus World Health Organization Window level Window width
xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Papiloma merupakan tumor jinak epitelial yang dapat ditemukan pada daerah sinonasal. Papiloma sinonasal atau papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan gambaran histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted papilloma, papiloma sel silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma. Tumor ini memiliki karakter histologi berupa gambaran proliferasi endofitik epitel yang terbalik (inverted) ke dalam stroma dengan epitel membran basal yang utuh. Meskipun jinak, tumor ini memiliki angka kekambuhan yang tinggi dan sering dihubungkan dengan perubahan menjadi ganas, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai tumor papiloma inverted (PI) untuk menjamin reseksi yang adekuat dalam tata laksana tumor. 1-4 Gras-Cabrerizo5 dan Dammann6 mengutip dari data World Health Organization (WHO) mengenai tumor PI terjadi sebanyak 0,5 – 7% dari seluruh kasus tumor sinonasal, dengan angka insidens 0,52 – 1,5 kejadian per 100.000 kasus per tahun. Head7 mencatat terjadi 77 kasus PI sejak tahun 1972 sampai dengan 1992. Data tersebut diambil secara retrospektif di American Medical Center – University of California Los Angeles (UCLA) dalam penelitiannya mengenai gambaran radiologi PI pada sinus paranasal. Oikawa8 mencatat sebanyak 58 kasus PI sinonasal pada tahun 1990 sampai 2005 di Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Hokkaido University Hospital Japan.
Sampai saat ini belum ada data insiden PI di Indonesia. Kejadian PI di Poli Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher (THT-KL) RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) tercatat sebesar 54 kasus dari tahun 2008 sampai 2012, terbanyak pada usia dekade keempat dan kelima. Pria lebih banyak dibanding wanita dengan rasio 2,6 : 1.
1
2
Kosugi2 menuliskan bahwa lokasi asal tumor lebih sering pada dinding lateral kavum nasi terutama di meatus medius meluas ke maksila. Di Jepang, PI lebih sering pada pasien usia 50 sampai 70 tahun dengan rata-rata usia 53 tahun, pria lebih sering dibandingkan dengan wanita dengan rasio 4:1. Fukuda8 menjelaskan mengenai angka kekambuhan PI yang tergolong tinggi pada pengangkatan tumor dengan pembedahan eksternal yaitu hingga 78%. Mirza dkk9 menemukan dalam penelitiannya di Queens Medical Center Nottingham Inggris, tumor PI 7,1% sinkronus dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan karsinoma, sehingga perlu dilakukan reseksi adekuat pada tumor PI.
Pasien datang berobat biasanya karena sumbatan hidung unilateral terus-menerus, sehingga diperlukan pemeriksaan fisik hidung hingga endoskopi hidung (nasoendoskopi). Massa tumor unilateral yang terlihat kemudian dibiopsi dan diperiksa secara histopatologi. Setelah ditegakkan diagnosis PI dari pemeriksaan histopatologi, selanjutnya dilakukan pemeriksaan pencitraan radiologik untuk mengetahui batas tumor serta jaringan sekitar yang terlibat seperti sinus paranasal, mengetahui lokasi asal serta untuk mengetahui stadium tumor jinak.
Patogenesis PI sangat erat dihubungkan dengan inflamasi kronis, yang kemudian dapat dihubungkan dengan fokus hiperostosis pada titik tertentu dan mudah dilihat pada pemeriksaan Computed Tomography scan (CT-scan). Fokus hiperostosis ini sangat khas menunjukkan lokasi asal tumor PI, yang tidak ditemukan pada jenis tumor lainnya. Perluasan tumor dapat menyebabkan sumbatan kompleks ostiomeatal (KOM) sehingga tumor ini juga sering dihubungkan dengan polip nasi dan sinusitis, karena tidak jarang polip atau sinusitis terjadi bersamaan dengan tumor PI. Batas-batas tumor, polip dan cairan dapat dengan mudah diperiksa dengan MRI. Walaupun tumor ini memiliki angka kekambuhan yang tinggi, penilaian pre-operatif berdasarkan CT-scan dan MRI dapat membantu membuat rencana operasi, sehingga mendapatkan reseksi yang adekuat.10-12
Penentuan stadium tumor jinak pada PI berguna untuk menentukan pendekatan operasi endoskopi dan mempersiapkan langkah-langkah jika memerlukan tindakan
Universitas Indonesia
3
khusus seperti maksilektomi medial, reseksi lamina papirasea, ligasi arteri sfenopalatina, penutupan kebocoran serebrospinal hingga persiapan jika memerlukan operasi dengan pendekatan eksternal. Krouse13 menjelaskan mengenai tata laksana pembedahan tumor PI sesuai dengan stadiumnya. Pada tumor stadium T1 dilakukan operasi melalui pendekatan endoskopi, sedangkan untuk tumor stadium T2 dan T3 dilakukan dengan
pendekatan kombinasi dengan bedah
eksternal jika lokasi asal tumor lebih memungkinkan dicapai dengan pendekatan eksternal, sedangkan stadium T4 seluruhnya di operasi dengan pendekatan kombinasi bedah eksternal dan endoskopi.11-18
Pemeriksaan pencitraan tomografi komputer atau Computed Tomography scan (CT-scan) dapat membedakan batas tumor dengan jaringan sekitarnya, namun lebih tidak spesifik dibandingkan pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Hal ini disebabkan karena perbedaan densitas yang dihasilkan oleh sinar X pada plat film CT-scan sulit dibedakan oleh mata manusia.6, 11, 16
Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan pencitraan terbaik untuk mengetahui perluasan tumor jaringan lunak. Pemeriksaan ini dapat membedakan batas tumor dari jaringan sekitarnya dengan gambaran histologi papiloma menginvasi ke dalam stroma, disebut convoluted cerebriform pattern (CCP) yang khas pada PI. MRI juga dapat membedakan massa tumor dengan sekret yang terperangkap di dalam sinus. Nilai prediksi positif pada MRI sebesar 95,8% untuk mendeteksi lesi pola kolumnar pada PI, sehingga dapat memprediksi area diferensiasi PI dan karsinoma sel skuamosa. Akan tetapi belum ada penelitian mengenai ketepatan MRI dalam prediksi lokasi asal tumor, menentukan keterlibatan sinus paranasal, serta stadium tumor. Saat ini MRI belum umum menjadi permintaan Departemen THT-KL RSCM karena mahalnya harga pemeriksaan. Pemeriksaan yang umum dilakukan di RSCM adalah CT-scan. Penelitian yang dilakukan Sham19 menjelaskan peranan CT-scan dalam memprediksi keterlibatan sinus sebesar 83 – 97%, penentuan stadium tumor sebesar 80%, dan prediksi lokasi asal tumor dari hiperostosis sebesar 100%. 14, 20-23
Universitas Indonesia
4
Hal-hal seperti
tingginya angka kekambuhan PI, hubungan PI yang sering
dikaitkan dengan transisi menjadi keganasan, namun memiliki ciri khas pada gambaran radiologi sehingga peneliti melakukan penelitian mengenai penilaian pre-operatif tersebut guna membuat perencanaan pembedahan. Telah banyak penelitian menyebutkan mengenai pentingnya memprediksi lokasi asal tumor, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI untuk merencanakan persiapan penatalaksanaan tumor sebelum dilakukan tindakan pembedahan. Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan CT-scan dengan MRI secara langsung sebagai pemeriksaan terbaik dalam menentukan penilaian pre-operatif PI.
Peneliti akan melakukan penelitian pendahuluan dengan membuat penilaian preoperatif dengan modalitas CT-scan dan MRI. Penilaian pre-operatif dibuat berdasarkan masing-masing modalitas tersebut dibandingkan dengan keadaan aslinya di meja operasi oleh dokter THT-KL untuk mendapatkan pemeriksaan mana yang paling baik dalam membantu pembedahan. Selanjutnya penelitian pendahuluan ini diharapkan akan digunakan dalam ruang lingkup yang luas dalam berbagai hal.
1.2 Masalah penelitian
1. Bagaimanakah gambaran penilaian pre-operatif dari tumor PI jika ditinjau dari pemeriksaan CT-scan dan MRI? 2. Manakah yang lebih baik dalam menentukan penilaian pre-operatif, CTscan atau MRI? 3. Apakah penilaian pre-operatif yang dibuat cukup akurat agar dapat menjadi dasar untuk pendekatan pembedahan?
Universitas Indonesia
5
1.3. Hipotesis penelitian Penilaian pre-operatif yang dibuat berdasarkan MRI lebih akurat dibandingkan dengan penilaian pre-operatif CT-scan dalam menentukan prediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor sistem Krouse.
1.4 Tujuan penelitian 1.4.1 Tujuan umum
Menilai kesesuaian antara penilaian pre-operatif CT-scan dan MRI dibandingkan baku emas penemuan saat operasi (PSO) untuk mendapatkan penatalaksanaan yang terbaik untuk tumor papiloma inverted.
1.4.2 Tujuan khusus
1.
Mendapatkan prediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI melalui pemeriksaan CT-scan dan MRI.
2.
Mendapatkan lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI melalui penemuan saat operasi.
3.
Mengetahui kesesuaian masing-masing modalitas pemeriksaan CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI terhadap penemuan saat operasi.
4.
Mendapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, nilai rasio kemungkinan dari pemeriksaan CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI.
5.
Membuat rancangan alur kerja penatalaksanaan tumor PI berdasarkan penilaian pre-operatif.
Universitas Indonesia
6
1.5 Manfaat penelitian 1.5.1 Bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat membuat penilaian pre-operatif terbaik yang bermanfaat untuk penatalaksanaan pasien tumor PI.
1.5.2 Bidang akademik 1.
Menambah wawasan mengenai karakteristik tumor PI secara radiologi dan histopatologi.
2.
Menjadi penelitian pendahuluan untuk penelitian lain dalam skala lebih besar yang berkaitan dengan tumor PI.
1.5.3 Bagi Institusi Menjadi data awal untuk penelitian skala nasional dalam mempelajari karakteristik tumor PI di bidang ilmu kesehatan THT-KL khususnya, serta bidang lain pada umumnya.
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Papiloma Inverted Papiloma merupakan tumor jinak epitelial yang dapat tumbuh pada daerah sinonasal. Papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan gambaran histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted papilloma, papiloma sel silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma. Papiloma inverted disebut juga papiloma Ewing, papiloma fibromiksoid, papiloma sel transisional, atau papiloma Ringertz secara klinis berupa massa pada kavum nasi yang berbentuk granuler dan menyerupai mulberry. PI merupakan tumor jinak epitelial yang berpotensi untuk bertransformasi menjadi ganas. Tumor ini dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa (KSS) pada 5-5% pasien. Secara lokal PI bersifat agresif dan menyebabkan erosi tulang. Angka kekambuhannya cukup tinggi, yaitu sampai dengan 78%. Hal utama yang menyebab tingginya angka kekambuhan PI adalah reseksi tumor yang tidak adekuat.2, 8
Gambar 2.1. Gambaran klinis papiloma inverted berupa gambaran granuler yang menyerupai mulberry.4
7
8
2.1.1 Etiologi dan Epidemiologi Etiologi PI sampai saat ini tidak diketahui, namun beberapa penelitian menghubungkan kejadian PI dengan adanya human papillomavirus (HPV). Adanya HPV sering juga dihubungkan dengan transformasi PI menjadi karsinoma sel skuamosa. Inflamasi kronis juga sering dihubungkan dengan kejadian PI. Roh dkk24 membuktikan bahwa tingginya inflamasi stroma pada PI dibandingkan papiloma jenis lainnya.24, 25
Massa unilateral pada sinonasal lebih sering disebabkan oleh penyakit yang bukan neoplasma. Lathi26 mencatat 112 orang pasien dengan massa unilateral, 80 orang (71,4%) di antaranya bukan tumor, dan 32 orang (28,6%) merupakan tumor. Dari yang tercatat sebagai tumor, sembilan belas orang tumor jinak, sedangkan 13 orang tumor ganas. PI terjadi pada 7 orang pasien, yaitu 36,8% dari seluruh tumor jinak sinonasal. Menurut World Health Organization (WHO) tumor PI terjadi sebanyak 0,5 – 7% dari seluruh kasus tumor sinonasal, dengan nilai insiden 0,52 – 1,5 kejadian per 100.000 kasus per tahun. Pria lebih sering terkena dari wanita sebanyak 4:1, umumnya pada dekade 5 hingga 7 dengan usia rata-rata 53 tahun.2-6 Head7 mencatat terjadi 77 kasus PI sejak tahun 1972 sampai dengan 1992. Data tersebut diambil secara retrospektif di American Medical Center – UCLA dalam penelitiannya mengenai gambaran radiologi PI pada sinus paranasal. Oikawa8 mencatat sebanyak 58 kasus PI sinonasal pada tahun 1990 sampai 2005 di Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Hokkaido University Hospital Japan.
Sampai saat ini belum ada data insiden PI di Indonesia. Kejadian PI di Poli THTKL RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) tercatat sebesar 54 kasus dari tahun 2008 sampai 2012, terbanyak pada usia dekade keempat dan kelima.
Universitas Indonesia
9
Tumor ini lebih sering dilaporkan pada ras kaukasia. Lokasi asal tumor lebih sering pada dinding lateral kavum nasi terutama pada meatus medius ke dalam sinus maksila. Jenis tumor yang jinak namun agresif secara lokal sering menjadi faktor yang menghubungkan tumor ini sinkronus dengan karsinoma sel skuamosa. Tumor ini ditemukan 7,1% sinkronus dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan karsinoma, sehingga perlu dilakukan reseksi adekuat pada tumor PI. 2-4, 8
2.1.2 Gambaran histologi PI Papiloma sinonasal atau papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan gambaran histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted papilloma, papiloma sel silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma. Papiloma Inverted (PI) pertama kali dipublikasikan oleh Ward pada tahun 1854. Karakter histologi tumor ini berupa gambaran proliferasi endofitik epitel yang terbalik (inverted) ke dalam stroma dengan epitel membran basal yang utuh. Epitel kolumnar serta duktus kelenjar terjadi invaginasi, kemudian mengalami metaplasia sel skuamosa menjadi epitel sel skuamosa bertingkat yang menebal ringan di bawah epitel kolumnar hingga menjadi massa epidermoid dengan sekresi glikogen pada setiap sel.1
Gambar 2.2. Gambaran koilosit27
Universitas Indonesia
10
Penelitian hibridisasi in situ dan polymerase chain reaction mendeteksi HPV tipe 6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59 dan 66 yang berhubungan dengan tumor PI sinonasal. Penelitian Oikawa 8 mendeteksi HPV tipe 6,11,16 dan 18 hingga 86% dari pasien dengan tumor PI. Adanya deoxyribonucleic acid (DNA) HPV pada tumor ini sering dihubungkan dengan tingginya angka kekambuhan dan transformasi tumor jinak menjadi ganas. Hajdu 27 menuliskan bahwa selain HPV tipe 16 dan 18, HPV tipe 31 dan 33 juga diasosiasikan dengan transformasi tumor jinak menjadi karsinoma sel skuamosa. Gambaran epitel skuamosa dengan inflamasi kronis dengan DNA HPV tampak sebagai sel halo pada perinuklear sel skuamosa yang disebut juga koilosit diketahui merupakan lesi. Faktor-faktor lain seperti merokok, pajanan zat kimia tertentu, alergi dan inflamasi kronis kadang disebutkan berperan menjadi faktor pendukung namun belum terbukti. 4, 8, 27, 28
2.1.3 Diagnosis klinis Gejala klinis PI yang paling sering adalah sumbatan hidung satu sisi yang progresif. Gejala lain yang sering terjadi berupa ingus, epistaksis, gangguan penciuman, serta keluhan-keluhan lain yang menyerupai keluhan rinosinusitis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior atau dengan nasoendoskopi, tampak gambaran massa unilateral berbenjol-benjol menyerupai polip berwarna merah muda. Diagnosis PI ditegakkan dengan biopsi tumor dan melakukan pemeriksaan histopatologi dengan menemukan gambaran proliferasi endofitik epitel yang terbalik ke dalam stroma dengan epitel membran basal yang utuh.29
2.2 Pemeriksaan radiologi papiloma inverted Pemeriksaan penunjang radiologi sangat membantu dalam diagnostik PI. Pada gambaran CT-scan tampak seperti gambaran massa yang tidak spesifik. Pemeriksaan radiologi yang ideal untuk PI adalah menggabungkan kedua pemeriksaan MRI dan CT-scan agar saling melengkapi, namun keterbatasan biaya sering menjadi alasan yang menjadikan CT-scan menjadi pemeriksaan rutin PI dilakukan di berbagai rumah sakit. Kesulitan dalam CT-scan adalah pemeriksaan
Universitas Indonesia
11
ini tidak bisa membedakan jaringan lunak massa dengan jaringan inflamasi seperti sinusitis yang terjadi akibat adanya massa di kompleks ostiomeatal. Kriteria analisis dan interpretasi untuk CT-scan pada PI sinonasal meliputi lokasi tumor, ukuran tumor, permukaan tumor, ada atau tidaknya kalsifikasi, destruksi tulang, penyangatan setelah penyuntikan zat kontras, serta keterlibatan struktur sekitarnya.6, 30, 31
Lokasi PI paling sering unilateral pada meatus medius (90%), dengan permukaan tumor berlobus. Kalsifikasi dapat terjadi pada 52% dari PI yang tampak berupa struktur tulang yang terperangkap dalam jaringan lunak. Destruksi tulang tampak berupa penipisan tulang, pelengkungan tulang, serta deviasi septum. Gambaran penipisan tulang berupa erosi dikaitkan dengan keganasan. Zat kontras beryodium yang disuntikkan secara intravena membuat gambaran massa menjadi heterogen. Hal ini membantu dalam membedakan massa dengan cairan, namun tidak membantu membedakan massa dengan mukosa yang inflamasi. Melalui gambaran CT-scan juga perlu dilakukan evaluasi struktur sekitar yang mungkin terlibat seperti perluasan tumor ke sakus lakrimalis, dasar otak, nasofaring, hingga ke mastoid.6
2.2.1 Pemeriksaan CT-scan Sham19 menjelaskan dalam penelitiannya mengenai peran dan keterbatasan CTscan dalam mengevaluasi PI terhadap keterlibatan sinus paranasal. Nilai prediksi positif CT-scan polos dalam ketepatannya memprediksi keterlibatan sinus sebesar 83 – 97%. Nilai prediksi positif dalam penentuan stadium tumor sebesar 80%. Keterlibatan tulang pada PI yang diperiksa menggunakan CT-scan memberikan nilai prediksi positif terbesar yaitu 100%. Hal ini berkaitan dengan memprediksi asal perlekatan tumor dengan tanda hiperostosis atau osteitis yang terjadi akibat proses inflamasi kronis.10, 11, 32 Annam dkk33 melakukan uji diagnostik CT-scan dalam menilai perluasan massa sinonasal dibandingkan dengan penemuan histopatologi. Pada penelitian ini
Universitas Indonesia
12
didapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan akurasi CT-scan dalam menilai perluasan massa sinonasal pada area tertentu. Hasil akhir penelitian tersebut juga menilai stadium tumor dengan bantuan CT-scan menggunakan sistem klasifikasi TNM untuk keganasan sinonasal dari American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi keenam tahun 2002. Dari 38 kasus tumor sinonasal, ketepatan prediksi lokasi tumor menggunakan CT-scan dibandingkan penemuan histopatologi yang sama sebanyak 24 kasus. Dalam 14 kasus tersebut, 12 kasus memiliki stadium tumor (T) lebih kecil dibandingkan diagnosis CT-scan, sedangkan 2 kasus memiliki stadium tumor yang lebih besar dibandingkan diagnosis CT-scan. Kesalahan penentuan stadium tumor pada CT-scan tersering sebagai T4a, yang semestinya merupakan stadium T3 disebabkan penemuan positif palsu pada perluasan ke nasofaring, sinus frontal dan sfenoid.
Tabel 2.1. Hasil uji diagnostik CT-scan dalam penilai perluasan massa sinonasal oleh Annam dkk33
Sens Spec PPV NPV
: Sensitivitas : Spesifisitas : Positive predictive value (nilai duga positif) : Negative predictive value (nilai duga negatif)
Universitas Indonesia
13
Tabel 2.2. Ketepatan penentuan stadium tumor menggunakan CT-scan dibandingkan dengan penemuan histopatologi pada penelitian Annam33 T staging
CT diagnosis
Final Diagnosis
T1
2
3
T2
3
6
T3
14
18
T4a
10
8
T4b
9
3
2.2.2 Pemeriksaan MRI Gambaran MRI pada T1-weighted memperlihatkan lesi yang isodens dengan otot, sedangkan pada T2-weighted menunjukkan gambaran isu intens hingga hipo intens, sehingga lesi PI tampak heterogen. Namun pada pemeriksaan MRI, gambaran PI yang menginvasi ke tulang sulit dinilai. Gambaran heterogen tumor lebih hiper intens dibandingkan otot. Area nekrosis dan obstruksi sekret akan tampak lebih terang pada T2-weighted. Dengan pemberian kontras pada T1 maka akan tampak invasi massa.14, 30, 31
Gambar 2.3. Perbedaan gambaran PI pada CT-scan dan MRI. Pada sinus maksila pasien yang sama tampak gambaran radiopaq yang homogen pada pemeriksaan CT-scan (A), sedangkan pada gambaran MRI T2-weighted (B) terlihat gambaran massa pada kavum nasi, sedangkan pada sinus maksila adalah retensi sekret.34
Universitas Indonesia
14
2.3 Penilaian pre-operatif tumor PI Pencitraan radiologi dilakukan untuk mengetahui batas tumor serta jaringan sekitar yang terlibat seperti sinus paranasal, mengetahui lokasi asal serta untuk mengetahui stadium tumor jinak. Penentuan stadium tumor jinak pada PI berguna untuk menentukan pendekatan operasi endoskopi dan mempersiapkan langkah-langkah jika yang memerlukan tindakan khusus seperti maksilektomi medial, reseksi lamina papirasea, ligasi arteri sfenopalatina, penutupan kebocoran serebrospinal, hingga persiapan jika memerlukan operasi dengan pendekatan eksternal. 10, 11, 28, 35, 36
A
B A
C B A
D B A
Gambar 2.4. Gambaran hiperostosis menyerupai kerucut pada sinus maksila pada CT-scan (A). Terlihat gambaran sentrifugal tumor PI pada MRI (B). Gambaran hiperostosis seperti plak pada sinus etmoid kanan yang dilihat pada pemeriksaan CT-scan potongan koronal (C) dan aksial (D).32
Universitas Indonesia
15
2.3.1 Prediksi lokasi asal tumor PI
Keterlibatan tulang pada PI yang diperiksa menggunakan CT-scan memberikan nilai prediksi positif terbesar yaitu 100%. Hal ini berkaitan dengan memprediksi asal perlekatan tumor dengan tanda hiperostosis. Fokus hiperostosis ditandai dengan penebalan tulang yang tampak jelas dan sklerosis yang terjadi pada hanya sebagian dari dinding sinus yang bersangkutan. Pada kasus yang melibatkan dinding lateral kavum nasi, tampak penebalan tulang dan sklerosis dari struktur tertentu seperti pada prosesus unsinatus atau pada konka. Gambaran hiperostosis yang dianggap paling bermakna adalah bentuk hiperostosis dinding tulang yang prominen dan menyerupai kerucut. Bentuk hiperostosis lain adalah bentuk yang menyerupai plak (Gambar 2.4). Hiperostosis yang terjadi secara konsentrik dan difus tidak digolongkan sebagai penemuan positif (Gambar 2.5). Bentuk hiperostosis lain berupa penipisan tulang, pelengkungan (bowing), erosi serta sklerosis akibat tekanan dan pertumbuhan tumor.10, 19, 32
Gambar 2.5. Gambaran hiperostosis pada pemeriksaan CT-scan, perlekatan tumor (kiri) dibandingkan dengan hiperostosis difus karena sinusitis (kanan).19 Landsberg11 menjelaskan bahwa lokasi asal tumor biasanya tidak lebih dari 15 mm. Ketika melakukan diseksi tumor, mukosa yang tampak patologis harus dibuang bersama sebagian batas mukosa yang tampak normal. Pada penelitiannya, Landsberg melakukan frozen section untuk menentukan batas bebas tumor.
Universitas Indonesia
16
Pemeriksaan MRI juga mempunyai peran penting dalam memprediksi lokasi asal tumor PI. Iimura dkk37 menjelaskan bahwa pada pemeriksaan MRI pembobotan T 2 (T2-weighted) tanpa kontras dan pembobotan T1 (T1-weighted) dengan kontras terdapat gambaran convoluted cerebriform pattern yaitu gambaran hipointens dan hiperintens yang tersusun akibat gambaran epitel skuamosa yang menginvasi ke dalam stroma, yang merupakan gambaran khas tumor PI sinonasal. Iimura juga memperkenalkan istilah serpentine cerebriform filamentous structure (SCF), yaitu gambaran filamen yang tampak berasal dari lokasi awal perlekatan tumor. Struktur ini merupakan salah satu metode untuk memprediksi lokasi asal tumor pada MRI. Cara lain untuk memprediksi lokasi asal tumor jika tidak tampak serpentine cerebriform filamentous structure (Gambar 2.6), adalah dengan mempelajari cara PI meluas secara sentrifugal, sehingga pusat dari perluasan tersebut adalah lokasi awal tumor. Ostium sinus yang tertutup akan menyebabkan inflamasi kronis pada sinus yang terkait, sehingga rongga sinus tersebut biasanya bukan merupakan lokasi awal perlekatan tumor.14
Gambar 2.6. Gambaran dari serpentine cerebriform filamentous structure (SCF) pada pencitraan MRI, pangkalnya berupa asal tumor.37 Pertumbuhan tumor PI memiliki pola sentrifugal (Gambar 2.7), sehingga kadang perlekatannya dapat diprediksi dari cara tumor ini mendestruksi tulang sekitarnya. Hubungannya sangat erat dengan cara pengangkatan tumor, misalnya tumor yang diketahui perlekatannya pada kavum nasi dan mendesak hingga ke arah dinding
Universitas Indonesia
17
medial sinus maksila dan memenuhi antrum, tidak perlu untuk melakukan maksilektomi medial dan cukup membuang lokasi asal di kavum nasi termasuk fragmen tulang yang terkait.11
Gambar 2.7. Perluasan tumor yang sentrifugal dengan pusat peluasan merupakan lokasi awal perlekatan tumor.37 Tempat utama tumor lebih sering pada dinding lateral kavum nasi (52,6%) terutama pada meatus medius. Sinus maksila merupakan lokasi yang selanjutnya sering menjadi tempat perlekatan tumor (25,0%), diikuti dengan sinus etmoid anterior (21,1%), sinus sfenoid (6,6%), sinus frontal (6,6%), septum (2,6%), dan sinus etmoid posterior (2,6%).11, 32
2.3.2 Penentuan keterlibatan sinus paranasal
Struktur kompleks ostiomeatal (KOM) dibentuk oleh prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, sel etmoid anterior, ostium sinus etmoid anterior, ostium sinus frontal dan sinus maksila. Variasi anatomis dan lesi patologis yang menyebabkan penyempitan pada KOM dianggap berhubungan dengan patogenesis, kronisitas dan kekambuhan rinosinusitis. Adanya penyumbatan pada daerah ini kadang-kadang dapat dengan mudah dilihat menggunakan pemeriksaan rinoskopi anterior atau endoskopi. Adanya tumor yang menyempitkan daerah KOM dapat menyebabkan terjadinya rinosinusitis, sehingga tampak gambaran perselubungan pada rongga sinus yang bisa diinterpretasikan sebagai massa tumor yang telah
Universitas Indonesia
18
meluas ke dalam rongga sinus (dalam hal ini PI) atau sekret yang terperangkap di dalam rongga sinus. Gambaran ini sering terlihat pada CT-scan sinus paranasal dan dapat menyulitkan interpretasi CT-scan.38, 39
Nilai prediksi positif CT-scan polos dalam ketepatannya memprediksi keterlibatan sinus sebesar 83 – 97%. Gambaran massa tumor pada sinus dan sekret yang terperangkap terlihat berbeda dengan CT-scan dengan kontras, sehingga tampak gambaran perselubungan heterogen yang membedakan keduanya. 19
Gambar 2.8. Perbedaan pemeriksaan MRI T1-weighted dengan kontras (kiri) dan T2-weighted tanpa kontras (kanan). Tampak gambaran sekret yang terperangkap pada lateral sinus maksila (panah tebal). Pada pertengahan sinus maksila tampak gambaran hipointens (kepala panah) dan hiperintens (panah tipis) yang saling bergerombol membentuk gambaran convoluted cerebriform pattern (CCP).14 MRI memiliki nilai prediksi positif sebesar 95,8% untuk mendeteksi lesi pola kolumnar pada PI, sehingga dapat memprediksi area diferensiasi PI dan karsinoma sel skuamosa. Lesi pola kolumnar ini dapat membedakan batas tumor dengan jaringan sekitarnya dengan gambaran histologis papiloma yang menginvasi ke dalam stroma disebut convoluted cerebriform pattern atau septate striated apperarance, khas pada PI. MRI juga dapat membedakan massa tumor dengan sekret yang terperangkap di dalam sinus pada T2-weighted tanpa kontras.12, 21, 23, 40
Universitas Indonesia
19
2.3.3 Penentuan stadium tumor PI
Penentuan stadium tumor PI berhubungan dengan angka kekambuhan serta menentukan penatalaksanaan penyakit ini. Gagasan dalam mengklasifikasikan stadium PI telah dilakukan sejak tahun 2000 oleh Krouse, Han pada tahun 2001, dan sistem klasifikasi yang terbaru oleh Cannady pada tahun 2007. 5, 13
Klasifikasi sistem Krouse membagi tumor menjadi 4 stadium. Klasifikasi stadium 1 jika tumor terbatas pada kavum nasi saja. Stadium 2 jika tumor melibatkan kompleks ostiomeatal, etmoid, atau keterlibatan dinding medial sinus maksila (dengan atau tanpa keterlibatan kavum nasi). Stadium 3 jika tumor telah meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial, atau telah meluas hingga ke sinus frontal atau sinus sfenoid. Klasifikasi stadium 4 jika tumor telah meluas di luar hidung dan sinus paranasal atau jika terdapat keganasan. 4, 5, 13, 30
Sistem Han membagi PI menjadi grup I jika tumor terbatas pada kavum nasi, dinding lateral kavum nasi, dinding medial sinus maksila, sinus etmoid dan sinus sfenoid. Grup II pada sistem Han jika tumor telah meluas ke dinding lateral sinus maksila dengan atau tanpa kriteria yang termasuk dalam grup I. Pada grup III jika tumor telah meluas ke sinus frontal, dan grup IV jika tumor telah meluas keluar sinus paranasal atau kavum nasi.5
Klasifikasi sistem Cannady membagi menjadi grup A, yaitu tumor yang terbatas pada kavum nasi, sinus etmoid atau dinding medial sinus maksila. Grup B jika tumor telah meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial, atau meluas ke sinus frontal, atau perluasan ke sinus sfenoid. Grup C jika tumor telah meluas keluar dari sinus paranasal.5
Universitas Indonesia
20
Tabel 2.3. Perbandingan sistem klasifikasi stadium tumor PI Krouse
Han
Cannady
Stadium 1: Terbatas kavum nasi
Grup I: Terbatas kavum nasi, dinding lateral nasal, sinus maksila, etmoid & sfenoid
Grup A: Terbatas kavum nasi, sinus etmoid atau dinding medial sinus maksila
Stadium 2: Pada KOM & dinding medial atau superior sinus maksila (dengan/ tanpa kavum nasi)
Grup II: Meluas ke dinding lateral sinus maksila
Grup B: Meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial, atau sinus frontal/ sfenoid
Stadium 3: Meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial/ superior, atau meluas ke sinus frontal/ sfenoid
Grup III: Meluas ke sinus frontal
Grup C: Meluas ke luar hidung & sinus paranasal
Stadium 4: Meluas ke luar hidung & sinus paranasal
Grup IV: Meluas ke luar hidung & sinus paranasal
Gras-Cabrerizo5 membandingkan ketiga klasifikasi tersebut terhadap kegunaannya dalam ketepatan distribusi stadium dibandingkan dengan angka kekambuhan penyakit. Sistem Krouse dan Cannady dianggap memberikan distribusi data yang lebih baik dibandingkan sistem Han. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sistem Krouse sebab besaran distribusi data yang lebih merata, dan memiliki klasifikasi luas tumor lebih lengkap dibandingkan klasifikasi lainnya. Nilai prediksi positif CT-scan polos dalam penentuan stadium tumor diketahui sebesar 80%.19 2.4 Penatalaksanaan PI Penatalaksanaan terbaik dari PI adalah pembedahan secara adekuat dengan eksisi cukup luas pada mukosa yang mengandung tumor. Pendekatan pembedahan dapat melalui eksternal berupa rinotomi lateral, Denker maupun Caldwell-Luc. Selain itu reseksi tumor juga dapat dilakukan secara endoskopi, serta gabungan teknik Caldwell-Luc dengan pembedahan sinus endoskopi. Teknik operasi yang akan digunakan sangat dipengaruhi oleh evaluasi tumor saat pre-operatif dengan bantuan pemeriksaan radiologi. Angka kekambuhan PI sangat berhubungan dengan residu tumor yang ada saat operasi.3, 8
Universitas Indonesia
21
Pendekatan eksternal memiliki kelebihan lapang pandang yang lebih luas namun secara kosmetik terdapat bekas insisi. Pendekatan bedah eksternal dapat dilakukan dengan teknik rinotomi lateral melalui insisi Moure. Insisi ini memotong garis imajiner pada lateral hidung mulai setinggi kantus media hingga vestibulum nasi mendapatkan ekspos yang cukup luas pada kavum nasi. Insisi ini dapat diperluas dengan teknik Weber-Ferguson yaitu memotong pertengahan bibir atas. Teknik ini memiliki kekurangan secara kosmetik yaitu bekas luka yang dapat menyebabkan jaringan parut hingga kontraktur. Untuk mengurangi efek kosmetik yang kurang baik, banyak teknik yang dilakukan. Salah satunya adalah pendekatan secara midfacial degloving yaitu melalui insisi ginggivo-bukal dilakukan untuk menghindari insisi kulit, namun akses ke arah sinus etmoid dan resesus frontal menjadi sulit.41, 42
Gambar 2.9. Teknik rinotomi lateral dengan insisi Moure (A) dengan garis tegas, serta teknik bedah lanjutan yang dapat digunakan untuk mendapatkan lapang pandang yang luas (B) pada garis putus-putus.41 Pendekatan eksternal dengan rinotomi lateral kemudian dilanjutkan dengan maksilektomi medial yaitu mengangkat dinding medial sinus maksila sehingga kavum nasi menjadi satu ruang dengan sinus maksila. Teknik ini memiliki
Universitas Indonesia
22
keuntungan lapang pandang yang cukup luas serta angka kekambuhan tumor yang cukup rendah, namun komplikasi yang terjadi adalah perdarahan pasca operasi, kontraktur, sumbatan duktus nasolakrimal.41
Gambar 2.10. Bedah eksternal maksilektomi medial.41 Pendekatan reseksi tumor secara endoskopi melalui lubang hidung saat ini lebih dipilih karena dapat menjangkau seluruhnya tanpa melakukan insisi kulit. Pemilihan pendekatan reseksi tumor sangat berhubungan dengan lokasi asal tumor. Pendekatan kombinasi eksternal dan endoskopi biasanya dilakukan pada tumor yang melekat pada dinding lateral sinus maksila atau pada dinding sinus frontal. Berbagai penelitian mengenai penggunaan endoskopi untuk reseksi tumor PI dari lokasi asalnya mencatat angka yang bervariasi mengenai angka kekambuhan tumor dari 0% hingga 24%.17, 35, 43-46
Tumor yang diketahui perlekatannya pada kavum nasi dan mendesak hingga ke arah dinding medial sinus maksila dan memenuhi antrum, tidak perlu untuk melakukan maksilektomi medial dan cukup membuang lokasi asal di kavum nasi termasuk fragmen tulang yang terkait. Pada tumor yang melekat di konka media perlu untuk dilakukan konkotomi (Gambar 2.11). Pada tumor yang melekat di dinding medial sinus maksila, operator harus melakukan maksilektomi medial untuk reseksi yang adekuat. Jika tumor berasal dari dalam sinus maksila misalnya dinding lateral, langkah tepat harus diperhitungkan untuk reseksi tumor seperti pendekatan ganda dengan Caldwell Luc.11, 13
Universitas Indonesia
23
Gambar 2.11. Tumor yang melekat pada konka media dilakukan konkotomi. S: Septum, MT: Konka media, LP: Lamina papirasea. BL: Bula etmoid, MO: ostium sinus maksila11
Tumor yang melekat pada dinding medial sinus maksila dapat dilakukan maksilektomi medial dengan teknik endoskopi. Jika tumor melekat pada mukosa berdinding tulang tebal seperti dinding anterior, posterior atau lateral sinus maksila, resesus frontal dan dasar kavum nasi dilakukan reseksi mukosa perlekatan dan pengeboran tulang secara superfisial (Gambar 2.12). Daerah berbahaya seperti perlekatan ke lamina kribiformis dan lamina lateral berisiko untuk terjadi kebocoran cairan serebrospinal, atau daerah lateral sinus sfenoid yang berisiko menciderai nervus optikus dan arteri karotis. Pada kasus demikian sebaiknya tidak melakukan pengeboran tulang dan melakukan observasi tumor dengan endoskopi, mengingat tumor ini merupakan tumor jinak. Untuk tumor PI yang melekat pada dinding sinus frontal dapat dilakukan tindakan bedah endoskopi ke resesus frontal, sinotomi sinus frontal, operasi modifikasi Lothrop dengan endoskopi, atau bedah endoskopi dengan trepanasi sinus frontal.11, 32, 47
Universitas Indonesia
24
A
B
Gambar 2.12. Reseksi mukosa perlekatan dengan batas makroskopik jaringan mukosa sehat (A), lalu mengebor secara superfisial (B). MT: Konka media, MS: Sinus Maksila, LP: Lamina Papirasea11 Krouse13 menetapkan tata laksana tumor berdasarkan stadium yang dibuatnya. Pada stadium T1 seluruh tumor dioperasi secara endoskopi transnasal. Operasi endoskopi transnasal yang dilakukan pada stadium T2 dengan pendekatan eksternal jika saat operasi diperkirakan sulit membersihkan seluruh tumor. Pada stadium T3 dapat dioperasi dengan pendekatan endoskopi transnasal jika operator meyakini bahwa visualisasi serta kemampuan untuk reseksi tumor dapat dilakukan secara menyeluruh. Jika terdapat keraguan untuk reseksi tumor secara adekuat, maka pendekatan operasi sebaiknya dilakukan secara terbuka. Stadium T4 harus dilakukan dengan pendekatan terbuka agar reseksi tumor adekuat. Pendekatan terbuka dilakukan dengan berbagai cara seperti eksplorasi orbita atau prosedur bedah kraniofasial untuk menjamin reseksi tumor yang bersih. Pada tumor yang tidak dapat dioperasi, atau tumor residu setelah operasi dapat dilakukan adjuvan radioterapi.3
2.5 Follow up papiloma inverted Angka kekambuhan PI sangat berhubungan dengan ada atau tidaknya residu pasca operasi. Hal lain yang berkaitan dengan tingginya kekambuhan PI adalah lokasi tumor, struktur histologi, metode operasi, tahap operasi, follow up pasien, kondisi demografi dan kondisi sosial ekonomi pasien.3
Universitas Indonesia
25
Kekambuhan sering terjadi dalam 2 tahun pasca operasi, namun follow up pasien jangka panjang sebaiknya tetap dilakukan setidaknya hingga 5 tahun pasca operasi, sebab PI sangat erat hubungannya dengan perkembangan menjadi karsinoma pasca operasi (metakronus karsinoma). Tumor yang kambuh kurang dari 1 tahun pasca operasi dianggap merupakan kasus yang residu. Daerah yang dicurigai masih terdapat tumor dapat dilakukan biopsi. Follow up PI akan menjadi akurat dengan melakukan pemeriksaan radiologi misalnya MRI atau CT-scan.6, 34
Gambar 2.13. Gambaran PET-scan pada pasien dengan PI sinonasal
Pada pemberian radio farmaka 18-FDG terjadi aktivitas glikolitik, sehingga pemeriksaan pencitraan Positron Emission Tomography (PET-scan) dapat bermanfaat dalam follow up PI untuk menilai kebersihan operasi atau memeriksa kemungkinan terjadinya rekurensi tumor PI. Pemeriksaan PET-scan pada PI memberikan gambaran intens menyangat pada daerah yang menyerap radio farmaka 18-FDG.3, 48, 49
Universitas Indonesia
26
2.6 Kerangka teori
Hidung tersumbat unilateral
Polip
Tumor
Curiga tumor
Biopsi
Bukan tumor
Tumor Ganas
Faktor risiko: HPV Usia Jenis kelamin Merokok Inflamasi Alergi
Kavum nasi
Tumor Jinak
Papiloma Inverted
Perluasan tumor
Sinus paranasal
Pemeriksaan pencitraan
Bedah eksternal
Kelainan anatomi
Bedah Endoskopi
Sumbatan KOM
Tulang
Hipoventilasi
Hiperostosis, sklerosis Inflamasi mukosa sinus
Bedah Endoskopi + Pendekatan eksternal
Sekret terperangkap
Universitas Indonesia
27
2.7 Kerangka konsep
Karakteristik: Papiloma Inverted
Usia Jenis kelamin Merokok Gejala klinis: o Hidung tersumbat o Unilateral/bilateral o Ingus o Gangguan penghidu o Mimisan o Sakit kepala Gambaran histopatologi o Jenis sel o Koilosit
Lokasi asal tumor Keterlibatan sinus paranasal dan sekitarnya Stadium sistem Krouse
(Pemeriksaan CT-scan dan MRI)
Pembedahan
Lokasi asal tumor Keterlibatan sinus paranasal dan sekitarnya Stadium sistem Krouse (Penemuan saat operasi)
Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti Hubungan yang diteliti
Universitas Indonesia
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Desain penelitian Penelitian menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dengan mengambil subjek penelitian secara konsekutif dalam waktu 1 tahun melalui 2 tahap (bipartite). Tahap pertama merupakan data dari bulan Desember 2012 sampai dengan April 2013, sedangkan tahap kedua pada bulan Mei 2013 sampai November 2013. Penelitian merupakan penelitian uji kesesuaian antara pemeriksaan penunjang CT-scan dan MRI dalam membuat penilaian pre-operatif terhadap baku emas. Baku emas penelitian ini adalah penemuan saat operasi. Penilaian preoperatif yang dilakukan adalah memprediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal serta penentuan stadium tumor PI metode Krouse.
3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian akan dilakukan bersama di Divisi Rinologi dan Onkologi Departemen THT-KL FKUI RSCM, bekerja sama dengan Departemen Radiologi FKUI RSCM. Pengumpulan data penelitian dilakukan secara konsekutif selama 1 tahun dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah data yang telah dikumpulkan bulan Desember 2012 hingga Februari 2013, sedangkan tahap kedua akan mulai pada bulan Maret 2013 sampai dengan bulan November 2013.
3.3 Populasi dan subjek penelitian 3.3.1 Populasi target Populasi target penelitian adalah seluruh pasien dengan diagnosis awal papiloma inverted yang telah atau akan menjalani operasi ekstirpasi tumor dan telah di periksa CT-scan dan MRI sebelum dilakukan operasi.
28
29
3.3.2 Populasi terjangkau Populasi terjangkau adalah seluruh populasi target yang datang saat periode penelitian.
3.4 Subjek dan cara pemilihan subjek Subjek adalah data sekunder yang didapatkan dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian.
3.5 Kriteria penelitian 3.5.1 Kriteria inklusi 1. Pasien PI baru yang memiliki data pemeriksaan CT-scan dan MRI, yang akan dilakukan operasi ekstirpasi tumor. 2. Pasien PI yang telah dioperasi serta memiliki data pemeriksaan CT-scan dan MRI sebelum operasi, dengan data laporan operasi yang menjelaskan lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal, serta stadium tumor sistem Krouse sebelum operasi. 3. Pasien PI kambuh yang pernah dioperasi, dan memiliki data pemeriksaan CT-scan dan MRI terbaru, yang akan dilakukan operasi kembali. 4. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan (informed consent).
3.5.2 Kriteria eksklusi 1. Pasien dengan kelainan kongenital maksilofasial. 2. Pasien PI yang tidak mau dioperasi atau tidak setuju untuk masuk ke dalam subjek penelitian. 3. Pasien yang memiliki kontraindikasi medis, sehingga tidak dapat dilakukan operasi.
Universitas Indonesia
30
3.6 Besar subjek minimal Besar subjek ditentukan dengan menggunakan rumus subjek untuk penelitian potong lintang (subjek tunggal untuk uji hipotesis suatu populasi) yaitu: 𝑛=
(𝑧𝛼 )2 𝑃𝑄 𝑑2
Keterangan: n
: Jumlah subjek minimal yang diperlukan
P
: Kesesuaian lokasi asal atau keterlibatan sinus paranasal atau papiloma inverted pada pemeriksaan CT-scan dan MRI
Q
: 1-P
Zα
: Tingkat kepercayaan 95%
d
: Kesalahan (absolut) yang dapat di tolerir
Saat penelitian dibuat belum terdapat data sebelumnya yang membandingkan CTscan dan MRI sebagai penilaian pre-operatif sehingga jumlah subjek minimal yang dibutuhkan belum dapat dihitung. Dari studi kepustakaan yang dilakukan peneliti didapatkan subjek minimal sebanyak 10 orang pasien pada penelitian retrospektif dilakukan oleh Ojiri14 mengenai gambaran MRI pada papiloma inverted sinonasal.
3.7 Metode pemilihan subjek Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan, subjek penelitian dikumpulkan secara konsekutif selama 1 tahun dengan desain cross sectional. Tahap pertama merupakan data bulan Desember 2012 hingga April 2013, sedangkan tahap kedua selama 6 bulan dimulai pada bulan Mei 2013 sampai dengan November 2013. Setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak terdapat kondisi sesuai dengan kriteria eksklusi diikutsertakan dalam penelitian sampai waktu penelitian berakhir.
Universitas Indonesia
31
3.8 Prosedur penelitian 3.8.1 Alat-alat penelitian
1. Catatan medik pasien 2. Formulir persetujuan penelitian 3. Formulir status penelitian 4. Set endoskopi video dan lightsource dengan endoskop rigid 0o, 30o, 45o dan 70o merek Karl Storz. 5. Hasil pemeriksaan patologi anatomi dengan kesimpulan papiloma inverted 6. Perangkat CT-scan Dual Source 128 slice SOMATOM definition flash merek Siemens. 7. Perangkat MRI MAGNETOM Avanto 1,5 Tesla merek Siemens. 8. Hasil pemeriksaan CT-scan dengan dan tanpa kontras pasien sebelum operasi dalam bentuk format Digital Imaging and Communications in Medicine (DICOM) tanpa kompresi, dimensi matriks 512 x 512 pixel, irisan aksial minimal 1 mm. 9. Hasil pemeriksaan MRI dengan dan tanpa kontras pasien sebelum operasi dalam bentuk format DICOM tanpa kompresi, dimensi matriks 512 x 512 pixel, irisan minimal 3 mm. Protokol pemeriksaan MRI T1-weighted sebelum kontras dengan dimensi aksial, T2-weighted sebelum kontras dengan dimensi aksial, sagital dan koronal, serta fat suppressed T1-weighted pasca kontras potongan aksial, sagital dan koronal. 10. Perangkat komputer yang memiliki piranti lunak Picture Archiving and Communication System (PACS) workstation untuk membaca format DICOM. 11. Surgical Cockpit Navigation Panel Unit (NPU) model 408000 01 merek Karl Storz.
Universitas Indonesia
32
3.8.2 Cara kerja penelitian 1. Semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi diberikan informasi yang lengkap mengenai latar belakang, tujuan, serta tata cara penelitian dengan lembar persetujuan yang diisi oleh subjek atau orang tua/wali yang terkait. 2. Setelah subjek penelitian setuju dilakukan anamnesis, pengisian formulir persetujuan penelitian dan pengisian kuesioner penelitian. 3. Pasien yang telah mendapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari Departemen Patologi Anatomi RSCM akan masuk sebagai populasi terjangkau. 4. Pasien dengan diagnosis PI, dilakukan pemeriksaan CT-scan dengan kontras non-ionik, irisan minimal 1 mm. 5. Dilakukan pemeriksaan MRI T1-weighted, T2-weighted, serta T1-weighted fat supress dengan kontras, irisan minimal 3 mm. 6. Interpretasi masing-masing modalitas pemeriksaan dilakukan oleh 2 orang pembimbing radiologi divisi kepala leher. Masing-masing ahli radiologi akan dilakukan blinding. 7. Interpretasi yang dilakukan adalah perkiraan lokasi asal tumor, keterlibatan masing-masing dinding sinus paranasal, serta penentuan stadium tumor sistem Krouse. 8. Hasil pemeriksaan CT-scan akan diinterpretasikan dan kemudian ditetapkan sebagai penilaian pre-operatif CT-scan (POCT). 9. Hasil pemeriksaan MRI akan diinterpretasikan dan ditetapkan sebagai penilaian pre-operatif MRI (POMRI) 10. Dilakukan pengangkatan tumor sesuai penilai pre-operatif yang telah disepakati oleh pembimbing 1, proses operasi direkam dalam bentuk video. Selanjutnya berdasarkan pengamatan langsung saat operasi oleh 2 orang pembimbing THT-KL dilakukan penetapan lokasi asal tumor, keterlibatan masing-masing dinding sinus paranasal, penentuan stadium tumor sistem Krouse, hasil tersebut ditetapkan sebagai hasil penilaian saat operasi (PSO).
Universitas Indonesia
33
11. Hasil penilaian pre-operatif masing-masing modalitas akan dianalisis secara statistik. 12. Karakteristik pasien yang dilaporkan adalah:
Usia
Jenis kelamin
Riwayat pasien berupa: o Riwayat hidung tersumbat o Pilek kronis ≥ 3 bulan o Sakit kepala ≥ 3 bulan o Warna sekret hidung o Mimisan o Bersin-bersin pagi hari o Kebiasaan merokok o Gangguan penghidu
Pemeriksaan fisik dengan nasoendoskopi: o Unilateral / bilateral o Permukaan tumor (berbenjol-benjol/licin) o Mudah berdarah / tidak o Pangkal tumor (meatus medius / meatus inferior / tidak dapat ditentukan) o Keluar dari kavum nasi / tidak
Gambaran histopatologi: o Jenis papiloma sinonasal o Tampak mitosis / tidak
3.8.3 Proses penjagaan mutu
Untuk menjaga mutu penelitian maka langkah yang ditetapkan adalah: 1. Interpretasi dilakukan oleh 2 orang dokter spesialis radiologi senior dari Departemen Radiologi RSCM divisi kepala leher yang telah berpengalaman pada bidang radiologi kepala leher minimal 10 tahun.
Universitas Indonesia
34
2. Jika tidak didapatkan kesepakatan dari kedua orang ahli radiologi tersebut, maka akan dimintakan konfirmasi kepada 1 ahli radiologi yang lain dari Departemen Radiologi RSCM divisi kepala leher yang telah berpengalaman pada bidang radiologi kepala leher minimal 10 tahun. 3. Penetapan lokasi asal tumor, keterlibatan masing-masing dinding sinus paranasal, penentuan stadium tumor sistem Krouse oleh 2 orang dokter spesialis THT-KL subdivisi Rinologi dan Onkologi yang berpengalaman di bidangnya minimal 10 tahun.
Universitas Indonesia
35
3.9 Alur penelitian
Pasien papiloma inverted
Kriteria inklusi dan eksklusi
Subjek penelitian
Karakteristik: Usia, jenis kelamin, gambaran histopatologi, dll
CT-scan & MRI: Lokasi asal tumor Keterlibatan sinus paranasal Penentuan stadium Krouse
Data operasi: Lokasi asal tumor Keterlibatan sinus paranasal Penentuan stadium Krouse
Analisis Data
Hasil Penelitian
Universitas Indonesia
36
3.10 Manajemen dan analisis data
Observasi dilakukan oleh dua orang ahli radiologi dan dihitung kesesuaian antar dua pengamat (inter observer) dalam memprediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal serta stadium tumor dengan sistem Krouse dengan menggunakan masing-masing modalitas. Data tersebut dikumpulkan dan ditetapkan menjadi penilaian pre-operatif yang ditentukan dari observasi CT-scan dan MRI. Masingmasing data penilaian pre-operatif kemudian dibandingkan dengan baku emas penemuan operasi sehingga didapatkan kesesuaian antar masing-masing modalitas. Analisis data menggunakan tabel 2x2 dengan uji McNemar dan nilai Kappa (κ) dari masing-masing modalitas, kemudian dihitung nilai kemaknaan, sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan (likelihood ratio).
Analisis table 2x2 adalah sebagai berikut: 1. Perbandingan uji kesesuaian McNemar dan nilai Kappa prediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal serta stadium tumor PI sistem Krouse menggunakan CT-scan dengan baku emas. 2. Perbandingan uji kesesuaian McNemar dan nilai Kappa prediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal serta stadium tumor PI sistem Krouse menggunakan MRI dengan baku emas.
Universitas Indonesia
37
3.11 Batasan operasional
3.11.1 Pasien diagnosis awal papiloma inverted sinonasal 1. Definisi: Seluruh pasien yang semua sinus paranasalnya telah terbentuk dengan diagnosis awal papiloma inverted yang dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi dari dokter ahli patologi anatomi dengan kesimpulan hasil pemeriksaan papiloma schneiderian yang tumbuh endofitik atau inverted, dengan atau tanpa papiloma schneiderian yang tumbuh eksofitik (fungiform) dan/ atau sel silindrik. 2. Alat Ukur: Lembar hasil pemeriksaan histopatologi oleh dokter spesialis Patologi Anatomi. 3. Cara ukur: Pemeriksaan secara langsung pada kavum nasi dengan spekulum hidung atau dengan endoskopi, tampak massa yang secara klinis sesuai dengan PI. 4. Hasil ukur: Hasil pemeriksaan histopatologi untuk papiloma inverted positif dan negatif. 5. Skala ukur: Nominal 3.11.2 Lokasi asal tumor PI 1. Definisi: Prediksi lokasi asal tumor PI pada mukosa berdasarkan hasil pemeriksaan CT-scan & MRI, serta penentuan pasti asal tumor dengan penemuan saat operasi. 2. Alat ukur: o Lightbox untuk membaca plat film o Piranti lunak PACS Workstation o Laptop Macbook Air 11 inch dalam sistem operasi Mac OS X o Piranti pemutar DVD o Data laporan operasi
Universitas Indonesia
38
3. Cara ukur: 1. CT-scan - Interpretasi plat film CT-scan oleh pembimbing radiologi. - Mencari tanda khas perlekatan tumor pada gambaran CT-scan yaitu fokus hiperostosis, memprediksi dari gambaran pelengkungan tulang, destruksi tulang, penipisan tulang, dll. 2. MRI - Pembacaan MRI oleh pembimbing radiologi - Memeriksa gambaran T1-weighted dengan kontras dan T2-weighted, mencari gambaran tumor yang hiperlusen, gambaran convoluted cerebriform pattern (CCP), serpentine cerebriform filamentous structure (SCF), serta memprediksi lokasi asal dengan mempelajari pola sentrifugal dari tumor. 3. Penemuan saat operasi - Mengamati daerah perlekatan langsung saat operasi dengan bantuan NPU atau dengan mengamati data sekunder video operasi dan laporan operasi oleh peneliti dan pembimbing THT. 4. Hasil ukur: Penilaian kualitatif mengenai perlekatan tumor dari berbagai pemeriksaan. 5. Skala ukur: Nominal 3.11.3 Keterlibatan sinus paranasal 1. Definisi: Prediksi keterlibatan PI pada masing-masing sinus paranasal dan membedakannya dengan sekret yang terperangkap akibat sumbatan KOM berdasarkan hasil pemeriksaan pencitraan CT-scan & MRI, serta penentuan pasti dengan penemuan saat operasi. 2. Alat ukur: o Lightbox untuk membaca plat film o Piranti lunak PACS Workstation o Laptop Macbook Air 11 inch dalam sistem operasi Mac OS X
Universitas Indonesia
39
o Piranti pemutar DVD o Data laporan operasi 3. Cara ukur: Secara berurutan pemeriksaan dibaca dari: 1. CT-scan - Interpretasi plat film CT-scan oleh pembimbing radiologi. - Mencari keterlibatan PI ke dalam sinus parasanal, memeriksa keterlibatan setiap dinding sinus dan membedakannya dengan sekret yang terperangkap. 2. MRI - Interpretasi MRI secara langsung oleh pembimbing radiologi. - Memeriksa gambaran T1-weighted dengan kontras mencari gambaran lusen berbatasan dengan jaringan tumor yang menyerap kontras sehingga dapat membedakan cairan atau tumor. - Memeriksa MRI T2-weighted tanpa kontras, mencari gambaran tumor yang hiperintens menyala yang merupakan karakter cairan tidak bergerak pada MRI T2-weighted, dan membedakannya dengan gambaran massa. 3.
Penemuan saat operasi - Mengamati sinus paranasal langsung saat operasi oleh peneliti dan pembimbing THT, atau dengan menggunakan data sekunder video operasi yang dibandingkan dengan laporan operasi.
4. Hasil ukur: Penilaian kualitatif mengenai keterlibatan sinus paranasal dari berbagai pemeriksaan. 5. Skala ukur: Nominal
3.11.4 Penentuan stadium tumor sistem Krouse 1. Definisi: Menentukan stadium tumor PI berdasarkan hasil pemeriksaan pencitraan CT-scan, MRI, dan penemuan saat operasi.
Universitas Indonesia
40
2. Alat ukur: o Lightbox untuk membaca plat film o Piranti lunak PACS Workstation o Laptop Macbook Air 11 inch dalam sistem operasi Mac OS X o Piranti pemutar DVD o Data laporan operasi 3. Cara ukur: Secara berurutan pemeriksaan dibaca dari: 1. CT-scan -
Meninjau ulang hasil pemeriksaan CT-scan plat film yang telah dilakukan lalu menentukan stadium tumor PI sistem Krouse.
2. MRI -
Meninjau ulang hasil pemeriksaan MRI lalu menentukan stadium tumor PI sistem Krouse.
3. Penemuan saat operasi -
Meninjau ulang hasil penemuan saat operasi dengan menggunakan data sekunder video operasi yang dibandingkan dengan laporan operasi, lalu menentukan stadium tumor PI sistem Krouse.
4. Hasil ukur: Penilaian kualitatif mengenai stadium tumor PI sistem Krouse dari berbagai pemeriksaan. 5. Skala ukur: Ordinal
3.12 Hambatan penelitian 1. Adanya pasien yang tidak melanjutkan tindakan operasi setelah dilakukan pemeriksaan CT-scan sebelum operasi karena alasan-alasan tertentu. 2. Kontraindikasi medis yang tidak membolehkan pasien menjalani CT-scan, MRI, atau zat kontras. 3. Angka kunjungan pasien PI di poliklinik THT RSCM rata-rata 11 pasien per tahun.
Universitas Indonesia
41
3.13 Etika penelitian Penelitian ini terlebih dahulu akan meminta persetujuan Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran FKUI-RSCM Jakarta sebelum dilaksanakan penelitian. Kepada semua orang tua atau wali atau subjek penelitian akan diberikan penjelasan yang baik mengenai prosedur dan tujuan penelitian, kemudian diminta persetujuan untuk menggunakan datanya dalam proses penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan (Informed consent).
3.14 Organisasi penelitian Peneliti
: dr. Ashadi Budi
Pembimbing I
: Dr. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL (K)
Pembimbing II
: dr. Marlinda Adham, Sp.THT-KL (K)
Pembimbing III
: dr. Vally Wulani,Sp.Rad (K)
Pembimbing IV
: dr. Aviyanti Djurzan, Sp.Rad (K)
Pembimbing statistik
: Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc
Universitas Indonesia
BAB 4 HASIL PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional (potong lintang) yang mengambil data sekunder yang dikumpulkan secara bipartite selama 1 tahun sejak bulan Desember 2012 sampai November 2013, di Departemen THT-KL FKUI/ RSCM, Departemen Radiologi FKUI/ RSCM. Pada periode waktu tersebut dikumpulkan pasien sebanyak 16 pasien papiloma Schneiderian, 2 pasien merupakan jenis eksofitik, 14 pasien merupakan pasien papiloma inverted atau campuran. Empat dari empat belas pasien menolak untuk dilakukan operasi, sehingga jumlah subjek yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 10 pasien. Penelitian ini mengambil data-data sekunder pemeriksaan pencitraan CT-scan dan MRI sebelum operasi dan membandingkan dengan penemuan saat operasi.
4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal Pada masa penelitian ini didapatkan 16 pasien papiloma Schneiderian. Dua dari 16 pasien merupakan jenis eksofitik, sedangkan 14 pasien merupakan jenis papiloma inverted atau jenis campuran dari eksofitik dan endofitik (inverted). Satu dari 14 pasien menolak tata laksana lanjut, dua dari 14 pasien tidak melanjutkan operasi walaupun telah dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI, sedangkan 1 pasien PI terbukti sinkronus dengan karsinoma sel skuamosa, sehingga keempat pasien tersebut dikeluarkan dari penelitian (drop out), sehingga didapatkan subjek penelitian 10 orang (gambar 4.1).
42
43
Papiloma schneiderian (n= 16)
Eksofitik (n= 2)
Inverted (n= 3)
Pemeriksaan CT-scan & MRI (n= 13)
Campuran (n= 11)
Menolak pemeriksaan lanjut (n= 1)
Tidak operasi (n= 3)
Subjek penelitian (n= 10)
Gambar 4.1 Alur mendapatkan subjek penelitian
Karakteristik subjek penelitian diolah secara deskriptif dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan laporan hasil pemeriksaan patologi anatomi. Kelompok karakteristik subjek yang sajikan pada penelitian yaitu usia, jenis kelamin, riwayat merokok, keluhan mimisan atau ingus sampur darah, riwayat bersin-bersin, gangguan penciuman, pemeriksaan endoskopi hidung menunjukkan tumor berada pada kavum nasi unilateral atau bilateral, karakter histopatologi jenis papiloma, serta ada tidaknya karsinoma.
Karakteristik subjek penelitian ditampilkan pada tabel 4.1 dengan nilai rata-rata usia subjek penelitian didapatkan adalah 42,1 tahun. Nilai median usia subjek adalah 41 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 6 subjek dan perempuan 4 subjek. Hampir seluruh subjek tidak pernah merokok (n= 7), sedangkan 2 subjek adalah perokok aktif, dan 1 subjek pernah menjadi perokok aktif yang sudah berhenti 5
44
tahun. Keluhan anosmia (n= 2) hanya ada pada pasien dengan sumbatan hidung bilateral, sedangkan hiposmia hanya dirasakan pada 1 subjek dengan sumbatan hidung unilateral (dari total n= 7). Histopatologi papiloma schneiderian hanya tipe inverted pada 1 subjek, sedangkan yang terjadi bersamaan dengan papiloma eksofitik sebanyak 8 subjek. Tidak ada subjek yang terbukti metakronus dengan karsinoma sebelum dilakukan operasi.
Tabel 4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal Karakteristik subjek Usia
Jenis kelamin Merokok
Keluhan
Lokasi Histologi
Jumlah (n)
≤ 20 tahun 21 – 40 tahun 41 – 60 > 60 tahun Laki-laki Perempuan Tidak pernah Aktif Pernah Mimisan Pilek >3bulan Bersin-bersin Hiposmia Anosmia Unilateral Bilateral Endofitik Endofitik + Eksofitik
0 5 4 1 6 4 7 2 1 2 10 0 1 2 8 2 2 8
4.2 Sebaran lokasi asal, keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor berdasarkan pemeriksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan pencitraan dengan dua modalitas, CTscan
dan
MRI.
Pemeriksaan
pencitraan
sebelum
dilakukan
operasi,
diinterpretasikan oleh dua orang ahli radiologi secara terpisah. Data dikumpulkan secara pembutaan satu pihak (single blind) pada dokter ahli radiologi untuk menghindari bias, lalu ditampilkan dalam tabel distribusi variabel untuk masingmasing modalitas.
Universitas Indonesia
45
Tabel 4.2 Sebaran lokasi asal tumor, sinus paranasal berdasarkan pemeriksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi Variabel 1. Lokasi asal tumor a. Konka media b. Konka inferior c. Dinding lateral kavum nasi d. Lamina papirasea e. Dinding sinus maksila f. Dinding sinus etmoid g. Dinding sinus frontal h. Lebih dari satu lokasi 2. Keterlibatan sinus paranasal a. Sinus etmoid anterior b. Sinus etmoid posterior c. Sinus maksila d. Sinus sfenoid e. Sinus frontal 3. Stadium sistem Krouse 1. Stadium T1 2. Stadium T2 3. Stadium T3 4. Stadium T4
CT
MRI
PSO
2 1 4 2 2 0 1 2
1 1 4 1 2 1 2 4
2 1 4 2 2 0 1 5
5 3 8 0 3
5 4 6 1 3
9 4 7 1 3
0 2 4 4
1 1 4 4
0 2 4 4
4.3 Prediksi lokasi asal tumor PI Prediksi lokasi asal tumor dengan modalitas pemeriksaan CT-scan dan MRI sebelum operasi dilakukan oleh ahli radiologi dengan kesepakatan yang sama dalam menentukan lokasi asal tumor yang juga dianggap perlekatan dari tumor pada mukosa. Untuk memprediksi lokasi asal tumor dengan CT-scan, dilakukan pemeriksaan gambaran secara kualitatif pada bentuk tumor dan mempelajari tumbuhnya tumor yang sentrifugal, dan mencari komponen hiperostosis pada perselubungan tumor. Prediksi lokasi asal tumor pada pemeriksaan MRI dilakukan juga dengan mempelajari pertumbuhan tumor yang sentrifugal, kemudian mencari komponen CCP dan SCF untuk memprediksi lokasi asal tumor. Kedua pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan dibandingkan dengan penemuan saat dilakukan operasi. Untuk memudahkan pengolahan data, maka data yang merupakan deskripsi tempat lokasi diubah menjadi data kategori dengan menggunakan sistem skor. Dasar pengubahan data dilakukan berdasarkan
Universitas Indonesia
46
kesesuaian, skor 2 jika hasil pemeriksaan pre-operatif tepat sesuai dengan penemuan saat operasi. Skor 1 diberikan bila pemeriksaan pre-operatif benar sebagian dengan penemuan saat operasi. Skor 0 diberikan pada pemeriksaan preoperatif tidak sesuai dengan penemuan saat operasi.
Tabel 4.3 Kesesuaian prediksi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi Subjek
Usia
Jenis kelamin
Kesesuaian
1
W
50
Dinding lateral posterior, Dinding maksila posterior
Dinding lateral posterior, sinus maksila
Dinding lateral, Dinding maksila posterior
2
2
2 (R)
P
28
Lamina papirasea, frontal
Etmoid anterior, posterior, frontal
Lamina papirasea, dinding lateral sinus frontal
2
1
3
P
42
Dinding anterior sinus maksila
Dinding anterior sinus maksila, dinding lateral kavum nasi
Dinding anterior sinus maksila, dinding lateral kavum nasi
2
2
4
W
48
Lamina papirasea
Lamina papirasea
Lamina papirasea
2
2
5
P
32
Konka inferior
Konka inferior
Konka inferior, dinding lateral kavum nasi
1
1
6
W
53
Prosesus unsinatus
Prosesus unsinatus
Prosesus unsinatus
2
2
7
P
28
Dinding lateral kavum nasi
Dinding lateral kavum nasi
Dinding lateral kavum nasi
2
2
8
P
78
Konka media
Kavum nasi
Konka media, dasar duramater, sinus etmoid posterior
1
0
9 (R)
P
40
Konka media
Konka media, frontal
Konka media
2
1
10
W
22
Prosesus unsinatus
Dinding lateral kavum nasi
Prosesus unsinatus
2
1
P/W (R) PSO KCT KMRI
CT-scan
MRI
PSO: KCT
KMRI
: Pria / Wanita : Tumor rekuren : Penemuan saat operasi : Kesesuaian CT-scan dengan PSO : Kesesuaian MRI dengan PSO
Universitas Indonesia
47
Prediksi lokasi asal tumor saat operasi dengan menilai secara langsung adanya attachment atau menempelnya tangkai tumor PI dengan mukosa yang terlibat yang dikonfirmasi dengan alat Navigation Panel Unit (NPU) Karl Storz. Pada sebagian besar kasus lebih banyak diprediksi benar oleh pemeriksaan CT-scan pada 8 subjek, benar sebagian pada 2 subjek. Hasil pemeriksaan MRI memprediksi benar pada 4 subjek, memprediksi benar sebagian pada 5 subjek dan salah pada 1 subjek. Pada perbandingan modalitas CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan lokasi asal tumor saat operasi (tabel 4.3), prediksi MRI lebih rendah dari prediksi CT-scan pada 4 subjek. Tidak ada prediksi lokasi asal tumor dengan MRI yang lebih baik dari CT-scan. Prediksi lokasi asal tumor PI berdasarkan CT-scan dan MRI sama baik pada 6 subjek.
Tabel 4.4 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi lokasi asal tumor berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI Rerata
p
Prediksi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan
1,80 ± 0,422
Prediksi lokasi asal tumor berdasarkan MRI
1,40 ± 0,699
0,046
Dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk pada hasil prediksi lokasi asal tumor dan didapatkan distribusi kedua data tidak merata, sehingga uji t_test berpasangan tidak dapat dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon diperoleh nilai kemaknaan 0,046 (p< 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna yaitu penilaian pre-operatif CT-scan lebih baik dibandingkan MRI dalam menentukan lokasi asal tumor PI.
4.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal Pemeriksaan sinus paranasal
pada
CT-scan
kontras dilakukan dengan
membandingkan densitas perselubungan yang terdapat pada rongga sinus dengan daerah yang telah diketahui merupakan lokasi tumor (misalnya pada kavum nasi). Prediksi
keterlibatan
sinus
paranasal
dengan
MRI
dilakukan
dengan
membandingkan pencitraan T1-weighted, T1-weighted dengan kontras, dan T2-
Universitas Indonesia
48
weighted. Pemeriksaan keterlibatan sinus paranasal dibedakan masing-masing sinus, perselubungan dalam sinus dapat berupa tumor atau cairan yang bagian dari peradangan (sinusitis). Keterlibatan pada sinus etmoid anterior dan posterior dipisah menjadi dua lokasi yang berbeda karena memiliki drainase yang berbeda dan dipisahkan oleh lamela basalis.
Usia
Kesesuaian
Subjek
Jenis kelamin
Tabel 4.5 Kesesuaian prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan CTscan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi
1
W
50
Maksila
Maksila, sfenoid
Maksila, Etmoid anterior
1
1
2 (R)
P
28
Etmoid anterior, frontal
Etmoid anterior, posterior, frontal
Etmoid anterior, frontal
2
1
3
P
42
Maksila
Maksila
Maksila, etmoid anterior
1
1
4
W
48
Etmoid anterior, posterior, maksila, frontal
Etmoid anterior, posterior, maksila, frontal
Etmoid anterior, posterior, maksila
1
1
5
P
32
Maksila
Etmoid anterior
Kavum nasi
0
0
6
W
53
Maksila
Tidak ada
Etmoid anterior, maksila
1
0
7
P
28
Maksila
Maksila
Etmoid anterior, posterior, maksila
1
1
8
P
78
Etmoid anterior, posterior
Etmoid anterior, posterior
Etmoid anterior, posterior, sfenoid, frontal
1
1
9 (R)
P
40
Etmoid anterior, posterior, maksila, frontal
Etmoid anterior, posterior, maksila, frontal
Etmoid anterior, posterior, maksila, frontal
2
2
10
W
22
Etmoid anterior, maksila
Maksila
Etmoid anterior, maksila
2
1
P/W (R) PSO KCT KMRI
CT-scan
MRI
PSO KCT
KMRI
: Pria / Wanita : Tumor rekuren : Penemuan saat operasi : Kesesuaian CT-scan dengan PSO : Kesesuaian MRI dengan PSO
Universitas Indonesia
49
Kedua pemeriksaan dibandingkan dengan penemuan saat dilakukan operasi. Data yang merupakan deskripsi tempat lokasi diubah menjadi data kategori dengan menggunakan sistem skor. Dasar pengubahan data dilakukan berdasarkan kesesuaian, skor 2 jika hasil pemeriksaan pre-operatif tepat sesuai dengan penemuan saat operasi. Skor 1 diberikan bila pemeriksaan keterlibatan sinus paranasal sebagian benar dibandingkan penemuan operasi operasi. Skor 0 diberikan pada keterlibatan sinus paranasal pemeriksaan pre-operatif dibandingkan penemuan saat operasi. Evaluasi keterlibatan sinus paranasal pada pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat secara langsung dengan bantuan endoskopi 0O dan endoskopi bersudut 30O, 45O, atau 75O. Setelah sebagian tumor diangkat, ostium sinus paranasal yang dicurigai terdapat tumor dibuka dan dilihat. Pemeriksaan CT-scan memprediksi benar pada 3 subjek, benar sebagian pada 6 subjek dan salah pada 1 subjek. MRI memprediksi benar pada 1 subjek, benar sebagian pada 7 subjek, dan salah pada 2 subjek. Pada prediksi keterlibatan sinus paranasal dengan modalitas CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi (tabel 4.5), pemeriksaan MRI lebih rendah daripada CT-scan dalam prediksi keterlibatan sinus paranasal pada 3 subjek. Tidak ada prediksi pemeriksaan MRI yang lebih baik dari CT-scan dalam prediksi keterlibatan sinus paranasal. Prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan CTscan dan MRI sama baik pada 7 subjek.
Tabel 4.6 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI Rerata Prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan CT-scan
p
1,20 ± 0,632 0,083
Prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan MRI
0,90 ± 0,568
Universitas Indonesia
50
Dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk pada hasil prediksi keterlibatan sinus paranasal dan didapatkan distribusi kedua data tidak merata, sehingga uji t_test berpasangan tidak dapat dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon diperoleh nilai kemaknaan 0,083 (p> 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara penilaian pre-operatif CT-scan dan MRI dalam prediksi keterlibatan sinus paranasal.
4.5 Prediksi menentukan stadium tumor Stadium tumor ditentukan dengan metode Krouse dengan pemeriksaan CT-scan dengan cara visual dan penilaian densitas, sedangkan MRI dilakukan pembandingan pencitraan T1-weighted, T1-weighted dengan kontras, dan T2weighted. Gambaran T1-weighted terlihat iso intens antara tumor dan sinusitis, T2weightedc tampak cairan hiper intens dibandingkan tumor, sedangkan tumor dan jaringan peradangan tampak hiper intens dibandingkan cairan pada T1-weighted dengan pemberian kontras. Pada penelitian ini, terdapat kesesuaian prediksi preoperatif dengan penemuan saat operasi (skor 1) pada 10 pasien, sedangkan 1 pasien tidak sesuai (skor 0).
Subjek
Usia
Jenis kelamin
Tabel 4.7 Kesesuaian prediksi stadium tumor berdasarkan CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi
1 2 (R) 3 4 5 6 7 8 9 (R) 10
W P P W P W P P P W
50 28 42 48 32 53 28 78 40 22
P/W (R) PSO KCT KMRI
Kesesuaian CT-scan III IV III III IV II III IV IV II
MRI III IV III III IV I III IV IV II
PSO III IV III III IV II III IV IV II
KCT
KMRI
Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai
Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Tidak sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai
: Pria / Wanita : Tumor rekuren : Penemuan saat operasi : Kesesuaian CT-scan dengan PSO : Kesesuaian MRI dengan PSO
Universitas Indonesia
51
Penilaian keterlibatan sinus paranasal memiliki peran penting dalam menentukan stadium tumor sistem Krouse. Adanya keterlibatan sinus maksila dibagi lagi menjadi 2 kategori, yaitu hanya dinding sinus maksila medial saja yang terlibat atau sudah mengenai dinding lain sinus maksila.
Tabel 4.8 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi stadium tumor berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI Sesuai Prediksi stadium tumor berdasarkan CT-scan
10
Prediksi stadium tumor berdasarkan MRI
9
p
0,317
Dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk pada hasil prediksi stadium tumor pada kedua modalitas dan didapatkan distribusi kedua data tidak merata, sehingga uji t_test berpasangan tidak dapat dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon diperoleh nilai significancy 0,317 (p> 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara penilaian pre-operatif CT-scan dan MRI dalam prediksi stadium tumor PI.
4.6 Uji diagnostik CT-scan & MRI, dibandingkan dengan penemuan saat operasi Pada penelitian ini, uji diagnostik tidak dapat dilakukan karena kurangnya subjek penelitian dan bentuk data yang kategorik bukan dikotomi. Data yang ordinal tidak dapat dimasukkan ke dalam tabel 2x2, sehingga tidak dapat dilakukan perhitungan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, nilai rasio kemungkinan dari pemeriksaan CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI. Maka dari itu, hipotesis penelitian tidak dapat dibuktikan, sehingga selanjutnya disajikan dalam penelitian deskriptif.
Universitas Indonesia
52
4.7 Alur tata laksana tumor PI Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dirangkum dalam suatu proses alur tata laksana yang digunakan berupa langkah: 4.7.1 Memprediksi lokasi asal tumor Pentingnya mengetahui lokasi asal tumor PI adalah untuk mempersiapkan langkahlangkah operasi pada pembedahan endoskopi. Langkah-langkah memprediksi lokasi tumor berdasarkan CT-scan: 1. Dilakukan pengolahan data DICOM pemeriksaan CT-scan ke dalam PACS workstation, dipilih potongan aksial dengan irisan terbanyak. 2. Dilakukan rekonstruksi multi planar 3 dimensi atau 3 Dimension Multiplanar Reconstruction (3D MPR) 3. Ditetapkan evaluasi densitas berdasarkan pengaturan tulang, patokan window level (WL) 300 dan window width (WW) 1500, densitas kemudian disesuaikan hingga partisi sel etmoid dapat terlihat dengan jelas. 4. Dicari hiperostosis di dalam perselubungan dan menetapkan sebagai daerah lokasi asal tumor. 5. Jika tidak ditemukan hiperostosis, dipelajari arah pertumbuhan tumor secara sentrifugal dan menilai pendorongan tulang sinonasal. Pusat dari tumor dapat dianggap sebagai lokasi asal tumor.
Langkah-langkah memprediksi lokasi asal tumor berdasarkan MRI: 1. Dilakukan pengolahan data DICOM dengan membandingkan potongan koronal, aksial dan sagital MRI T1-weighted dengan kontras dengan T2weighted. 2. Dicari SCF dengan CCP pada potongan koronal, aksial dan sagital yang paling terlihat jelas, arah SCF berpusat pada suatu titik dinilai sebagai lokasi asal tumor. 3. Jika tidak ditemukan SCF, lakukan evaluasi pada daerah dengan CCP terbanyak dan dipelajari pertumbuhan tumor secara sentrifugal. Pusat tumor dapat dianggap sebagai lokasi asal tumor
Universitas Indonesia
53
4.7.2 Mengetahui keterlibatan sinus paranasal Keterlibatan sinus paranasal dan jaringan sekitarnya dilakukan untuk pada masingmasing pemeriksaan dengan berbagai metode. Langkah-langkah penilaian keterlibatan sinus paranasal dengan CT-scan: 1. Dilakukan pengolahan data DICOM pemeriksaan CT-scan ke dalam PACS workstation, dipilih pencitraan dengan kontras pada potongan aksial dengan irisan terbanyak. 2. Dilakukan rekonstruksi multi planar 3 dimensi (3D MPR) 3. Ditetapkan evaluasi densitas berdasarkan pengaturan jaringan lunak (patokan WL 50, WW 250) 4. Dilakukan
pembandingan
secara
visual
secara
langsung
antara
perselubungan di dalam sinus paranasal dengan perselubungan yang telah diketahui massa tumor. 5. Jika tidak dapat dibedakan secara visual, dilakukan perbandingan secara kuantitatif dengan menilai densitas dasar perselubungan Hounsfield Units (HU). Langkah-langkah penilaian keterlibatan sinus paranasal dengan CT-scan: 1. Dilakukan pengolahan data DICOM pemeriksaan MRI ke dalam PACS workstation, dengan membandingkan potongan koronal, aksial dan sagital MRI T1-weighted, T1-weighted dengan kontras dengan T2-weighted. 2. MRI T1-weighted
akan memperlihatkan gambar tumor, sinusitis dan
jaringan sekitar isu intens. Cairan tak bergerak akan hipo intens dibandingkan lemak. 3. MRI T1-weighted dengan kontras akan memperlihatkan gambaran tumor lebih hiper intens dibandingkan sinusitis dan jaringan sekitarnya. Cairan tidak bergerak akan lebih hipo intens dibanding lemak. 4. MRI T2-weighted akan memperlihatkan gambaran cairan tak bergerak akan hiper intens, sedangkan jaringan lemak dan tumor akan lebih hipo intens.
Universitas Indonesia
54
4.7.3 Prosedur operasi untuk mengetahui lokasi asal tumor Persiapan operasi merupakan prosedur yang penting dalam tata laksana reseksi tumor PI dengan endoskopi. Persiapan dimulai dengan mempersiapkan alat-alat yang sesuai dengan prediksi lokasi asal tumor. Setiap sampel yang akan dioperasi dikonsultasikan terlebih dahulu ke klinik peri operatif Departemen Anestesi RSCM. Seluruh sampel harus memenuhi kriteria layak operasi oleh klinik peri operatif. Alat-alat yang dasar operasi yang digunakan adalah perangkat video endoskopi Karl Storz dengan endoskopi rigid 0o, 30o, 45o dan 70o. Perangkat dasar bedah sinus endoskopi fungsional juga menjadi perlengkapan yang selalu dipersiapkan pada setiap operasi. Peralatan khusus digunakan seperti elektro kauter bipolar dan penghisap (suction) kombinasi dengan elektro kauter monopolar untuk mengatasi perdarahan, dapat juga digunakan untuk mengurangi massa tumor (debulking). Peralatan khusus lain yang diperlukan adalah micro debrider dan sinus burr, digunakan untuk menipiskan hiperostosis yang menempel pada tulang tebal.
Gambar 4.2 Posisi reverse trendelenburg dengan fleksi kepala Posisi pasien penting untuk meminimalisasikan perdarahan saat operasi. Tempat tidur pasien diposisikan reverse trendelenburg 15o (gambar 4.3), sedangkan leher dan kepala posisi fleksi 30o. Tinggi tempat tidur diatur agar pasien berada setinggi siku lengan operator.
Universitas Indonesia
55
Pengaturan lapang operasi diatur dengan pengaturan standar operasi bedah sinus endoskopi fungsional. Alat NPU diletakkan kontra lateral terhadap sisi tumor yang akan dioperasi. Misalkan pada tumor di sebelah kanan, maka NPU diletakkan di sebelah kiri (gambar 4.3) untuk mempermudah pembacaan sensor alat saat melakukan navigasi. OP
AN
EN
IN
PAN OP AS IN AN EN NPU PAN
AS
: Operator : Asisten : Instrumen : Anestesiologis : Perangkat endoskopi : Navigation panel unit : Perangkat anestesi
Gambar 4.3 Pengaturan lapangan operasi Perangkat NPU Karl Storz dapat membaca data DICOM standar versi 3.0. Bentuk data ini dapat dihasilkan oleh perangkat CT-scan dan MRI yang umum di rumah sakit. Untuk mendapatkan kualitas gambar yang baik saat navigasi, perlu dipastikan data DICOM CT-scan tersebut memiliki potongan aksial, irisan minimal 1 mm dengan ukuran matriks minimal 512 x 512 pixel. Daerah anatomi pencitraan setidaknya harus memperlihatkan daerah puncak dahi pada tepi superior, bibir atas pada tepi inferior, serta minimal bagian medial kedua telinga pada tepi lateral. Data disimpan dalam satu folder pada CD atau USB flashdisk. Pengaturan tulang (WL 300, WW 1500) ideal untuk menilai tulang sinus paranasal yang tipis. Jika diperlukan dapat digunakan data DICOM MRI dengan syarat potongan aksial, irisan minimal 2 mm dan matriks minimal 256 x 256. Untuk mendapatkan gabungan (fusi) dari kedua gambar CT-scan dan MRI ke dalam NPU, data pencitraan perlu dipastikan dari pasien yang sama, dengan kondisi anatomi yang sama dan pada data aksis yang sama.
Universitas Indonesia
56
Gambar 4.4 Alat Surgical Cockpit Navigation Panel Unit Karl Storz Tahapan penggunaan NPU Karl Storz pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memasukkan data a. Setelah NPU dinyalakan, sumber data DICOM dapat dimasukkan ke dalam perangkat NPU melalui compact disc (CD) atau USB flasdisk, PACS, atau Network (melalui kabel local area network). Pada penelitian ini peneliti menggunakan CD dan USB flasdisk. b. Pada menu awal, pilih ENT Navigation Load Import Dicom Data Pilih sumber data dari CD atau USB flasdisk. c. Pada tabel data, pilih CT-scan nama pasien yang sesuai dengan potongan aksial, dengan jumlah irisan terbanyak Pilih 2. Mengatur titik registrasi CT-scan pada NPU a. Setelah data DICOM selesai dimuat, akan tampak rekonstruksi 3D dan potongan MPR yang dibuat oleh NPU, pilih Set Marker b. Arahkan mouse pointer ke arah gambar, gunakan tombol kanan mouse dan geserlah pada gambar 3D untuk menggerakkan dan memutar gambar. Klik tombol Wide pada setiap gambar untuk melebarkan, lalu buat titik registrasi pada lokasi berikut (gambar 4.5):
Universitas Indonesia
57
(1) Gambar 3D: Putar gambar ke kanan dengan menahan dan menggeser tombol mouse kanan sehingga gambar 3D pasien terlihat tepi kantus lateral mata kanan, klik tombol mouse kiri batas lipatan paling lateral mata kanan hingga muncul angka marker 1. Gambar MPR aksial: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur pertengahan marker (+) pada puncak tulang rima orbita lateral kanan, dengan kedalaman antara kutis dan tulang. (2) Gambar 3D: Putar gambar ke kiri dengan menahan dan menggeser tombol mouse kanan sehingga gambar 3D pasien terlihat tepi kantus lateral mata kiri, klik tombol mouse kiri batas lipatan paling lateral mata kiri hingga muncul angka marker 2. Gambar MPR aksial: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur pertengahan marker (+) pada puncak tulang rima orbita lateral kiri, dengan kedalaman antara kulit dan tulang.
Gambar 4.5 Lokasi pengaturan marker pada NPU
Universitas Indonesia
58
(3) Gambar 3D: Putar gambar dengan menahan dan menggeser tombol mouse kanan sehingga gambar 3D pasien terlihat dalam posisi lateral, lalu klik tombol mouse kiri pada daerah lipatan subnasal tepat di tengahtengah, hingga muncul angka marker 3. Gambar MPR sagital: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur pertengahan marker (+) pada lipatan subnasal, tepat pada tepi kulit. (4) Gambar 3D: Pada posisi yang sama pada gambar 3D (lateral), klik tombol mouse kiri pada titik nasion (daerah paling rendah pada batas os nasal) tepat di tengah-tengah, hingga muncul angka marker 4. Gambar MPR sagital: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur pertengahan marker (+) pada titik nasion, tepat pada tepi kulit. 3. Registrasi marker pasien pada NPU a. Pasang headband pada dahi pasien, perhatikan tulisan nose dipasang ke arah hidung pasien. Pastikan headband terpasang kuat sehingga tidak goyang saat prosedur operasi dilakukan, jika perlu dapat digunakan double tape atau perekat. Bagian kantus lateral tidak boleh tertarik atau tertekan, karena akan mempengaruhi titik registrasi. Penting untuk berkoordinasi kepada ahli anestesi agar tidak memasang perekat di daerah bibir atas.
Gambar 4.6 Pengaturan kamera sensor pada NPU
Universitas Indonesia
59
b. Atur kamera sensor ke arah kepala pasien sehingga warna gambar pasien pada NPU berwarna hijau. Pastikan warna merah pada keterangan jarak (distance) dan pasien (patient) berubah menjadi hijau. Sebuah titik merah akan bergerak mengikuti arah gerak kamera sensor, arahkan titik merah ke kepala gambar pasien (gambar 4.6). c. Arahkan registration pointer pada titik registrasi pada headband, maka registrasi pasien dapat dimulai. Pada registration pointer terdapat 3 buah sensor kaca bulat, tutup terlebih dahulu salah satu sensor dengan jari untuk mendapatkan titik registrasi yang sesuai, paparkan sensor setelah titik registrasi pasien ditunjuk. (gambar 4.7) (1) Posisikan sesuai dengan marker 1, yaitu pada daerah lipatan mata kanan paling lateral, alat registration pointer ditekan sedikit hingga kedalaman setengah jarak kulit dan tulang rima orbita lateral.
Marker 1
Registrasi awal
Marker 2
Marker 4
Marker 4
Marker 3
Marker 3
Gambar 4.7 Pengaturan marker titik registrasi pada pasien
Universitas Indonesia
60
(2) Posisikan sesuai dengan marker 2, yaitu pada daerah lipatan mata kiri paling lateral, alat registration pointer ditekan sedikit hingga kedalaman setengah jarak kulit dan tulang rima orbita lateral. (3) Posisikan sesuai dengan marker 3, yaitu pada lipatan subnasal, alat registration pointer diletakkan tanpa menekan kulit. (4) Posisikan sesuai dengan marker 4, yaitu pada titik nasion, alat registration pointer diletakkan tanpa menekan kulit. d. Pastikan nilai registration error maksimal kurang dari 0,5 (gambar 4.8). Jika nilai lebih dari 0,5 maka langkah (c) harus diulang kembali. Setelah nilai kurang dari 0,5 maka dilakukan konfirmasi titik registrasi dengan menyentuhkan registration pointer ke wajah pasien secara acak. e. Alat NPU siap digunakan, untuk menggunakan alat suction dilakukan registrasi terlebih dahulu pada titik registrasi pada headband. Kanul suction lurus dan downward di titik registrasi alat pada bagian atas, sedangkan kanul suction upward di bagian bawah. Penting agar pasien dan alat suction selalu berada di dalam jangkauan kamera sensor.
Marker
Surgery
Slider CT/MRI MPR Sagital
MPR Koronal
Slider HU
MPR Aksial Wide Rekonstruksi 3D Registration error: mean: 0,23 max: 0,34 Yanti_P_[24/10/2013] id:06-1
Status registrasi
Gambar 4.8 Tampilan menu pada NPU Karl Storz
Universitas Indonesia
61
4. Melakukan fusi pemeriksaan CT-scan dan MRI pada NPU. a. Load data DICOM CT-scan terlebih dahulu ketika akan melakukan fusi. b. Setelah data CT-scan selesai ditampilkan, pilih kembali Load Fuse with DICOM data Pilih sumber data DICOM (CD atau USB flashdisk) c. Data DICOM MRI yang dipilih T2-weighted atau T1-weighted dengan kontras. Pilihkan irisan MRI yang terbanyak. d. Setelah data selesai di proses akan tersimpan di daftar sebagai pencitraan baru. Slider CT/MRI pada menu NPU (gambar 4.8) digunakan untuk mengatur hasil penggabungan kedua pencitraan. (gambar 4.9)
Gambar 4.9 Hasil penggabungan CT-scan dan MRI T2-weighted Potongan koronal dari (A) CT-scan, (B) MRI dan (C) Hasil fusi keduanya
Pada prosedur operasi pengangkatan tumor, semua pasien terlebih dahulu dilakukan pemasangan tampon hidung dibuat dengan menggunakan kasa rol selebar 0,5 - yang di potong sepanjang 20 – 25 cm, berbeda dengan tampon kapas yang biasa digunakan untuk bedah sinus endoskopi fungsional. Tampon tersebut dibasahi dengan adrenalin 1: 5000, kemudian dilumuri gel Xelocaine 2% untuk menghindari kerusakan mukosa hidung karena permukaan tampon kasa yang kasar. Lokasi asal tumor yang sulit di capai karena besarnya massa tumor walaupun telah ditampon dengan adrenalin 1: 5000, dilakukan teknik pengecilan tumor dengan menggunakan elektro kauter monopolar atau bipolar pada bagian dalam tumor,
Universitas Indonesia
62
kemudian mencari bagian-bagian yang menempel yang dicurigai merupakan lokasi asal tumor. Tumor diusahakan terputus atau rusak dahulu agar menghindari perdarahan yang berlebihan. Pemotongan bagian asal tumor dilakukan dengan elektro kauter, karena terjadi neovaskularisasi pada daerah ini. Setelah memastikan lokasi asal tumor, mukosa yang menempel pada tumor dilepaskan dari mukoperikondrium di bawahnya, dan dieksisi pada batas bebas tumor. Jika bagian dasar lokasi asal tumor merupakan tulang, dilakukan pengeboran untuk menipiskan tulang dasar tersebut. Jika menempel pada struktur bertangkai seperti konka atau partisi tulang tipis seperti dinding sel sinus etmoid dilakukan pemotongan dan pembersihan struktur tersebut. Sinus paranasal yang dicurigai berisi tumor dinilai secara langsung dengan endoskopi ke dalam ostium sinus yang bersangkutan. Perlu dilakukan evaluasi bagian tumor yang di dalam sinus paranasal, jika menempel pada salah satu dinding, maka perlu diperlakukan sebagai salah satu bagian perlekatan lokasi asal tumor (multi fokal). Tumor yang menempel pada struktur penting seperti lamin papirasea, batas dasar kranium atau dinding sinus sfenoid dibersihkan namun tetap dilakukan preservasi pada daerah tersebut, mengingat tumor PI adalah tumor jinak. Dapat dipertimbangkan radioterapi pasca operasi pada daerah tumor yang tidak bersih.
Universitas Indonesia
BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui manfaat yang dapat didapatkan dari pemeriksaan pencitraan CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal, dan stadium tumor dibandingkan dengan penemuan saat operasi. Pengambilan data penelitian dilakukan secara retrospektif dan prospektif dengan mengambil data sekunder pasien yang datang ke poliklinik THT-KL divisi Rinologi dan Onkologi selama bulan Desember 2012 sampai dengan November 2013. Seluruh subjek penelitian menjalani proses anamnesis, pemeriksaan endoskopi hidung, pemeriksaan histopatologi dengan kesimpulan papiloma inverted atau endofitik.
5.1 Keterbatasan penelitian Subjek penelitian adalah pasien papiloma inverted sinonasal yang memiliki data pemeriksaan CT-scan, MRI, dan penemuan saat operasi dalam bentuk laporan dan video operasi yang memperlihatkan di mana lokasi asal tumor, sinus paranasal yang terlibat dan stadium tumor dengan metode Krouse. Sebelum dilakukan penelitian ini, tidak ada satu pun pasien papiloma inverted di RSCM yang memiliki data sekunder yang masuk dalam kriteria penelitian, sehingga populasi pasien yang bisa dimasukkan sebagai subjek penelitian ini tidak ada dan peneliti harus mengumpulkan data baru untuk memenuhi subjek penelitian. Pasien papiloma inverted sinonasal yang dikumpulkan selama 1 tahun sebanyak 14 pasien, namun 4 dari 14 pasien tidak dilakukan operasi, sehingga jumlah subjek yang berhasil dikumpulkan 10 orang.
63
64
5.2 Karakteristik pasien papiloma inverted sinonasal Pasien ini melibatkan 10 orang pasien dengan jenis kelamin laki-laki 6 orang dan perempuan 4 orang, laki-laki lebih banyak dengan perbandingan 1,5 : 1. Usia subjek penelitian antara 22 sampai 78 tahun, usia terbanyak pada dekade ke 2 hingga 4 sebanyak 5 pasien (50 %), dengan nilai rata-rata 42,1 dan median 41. Usia tersebut berbeda dengan yang disebutkan Wassef50 dalam penelitiannya di Dallas Amerika Serikat bahwa mengenai usia terbanyak penyakit ini berada pada rentang 50 sampai 60 tahun, dengan perbandingan laki-laki lebih banyak 3 kali lipat dibanding perempuan. Jumlah subjek yang berhasil dikumpulkan peneliti dalam 1 rumah sakit lebih banyak dibandingkan dengan penelitian Oikawa 8 di Jepang dan Yousuf10 di Kanada hanya rata-rata 4 kasus per tahun. Subjek yang dikumpulkan Petit di Universitaire Ed Marseille Perancis hanya sebanyak 3 kasus per tahun, sedangkan Singhal51 di India mencapai rata-rata 6 kasus per tahun. Kasus sebanyak 89 pasien berhasil dikumpulkan oleh Pasquini 52 di Bologna University Italia secara retrospektif selama 21 tahun, rata-rata 4 sampai 5 pasien per tahun. Kasus terbanyak berjumlah 10 kasus yang dilaporkan oleh Ojiri 14 di Jikei University Jepang secara retrospektif dalam 1 tahun. Pada penelitian ini, hidung tersumbat merupakan keluhan yang dominan (n= 10), dengan diawali keluhan menyerupai gejala rinosinusitis kronis seperti pilek lebih dari 3 bulan (n= 10), sakit kepala (n= 6). Gejala ini dialami pasien tidak lama diketahui adanya tumor. Adanya pertumbuhan tumor secara sentrifugal, yang secara langsung menyebabkan sumbatan KOM dapat menjelaskan adanya keluhan ingus dan hidung tersumbat. Roh24 menjelaskan mengenai proses inflamasi yang terjadi sebagai patogenesis penyakit ini dengan gejala sama. Gejala lain seperti riwayat bersin-bersin tidak didapatkan pada seluruh pasien (n= 0), sedangkan riwayat ingus campur darah di dapatkan pada 1 subjek. Gangguan penciuman dirasakan pada 3 subjek, keluhan anosmia terjadi pada 2 subjek dengan PI bilateral (n= 2), dan hiposmia pada 1 subjek dengan PI unilateral (n= 8).
65
Pemeriksaan fisik subjek dilakukan dengan endoskopi hidung, memperlihatkan gambaran massa putih keabu-abuan menyerupai polip dengan komponen pembuluh darah, semua kasus PI pada penelitian ini sulit dinilai pangkalnya secara langsung karena semua pasien datang dengan stadium yang lanjut. Hasil pemeriksaan histopatologi yang diambil dari biopsi massa hidung sebagian besar berupa tipe campuran papiloma schneiderian yang endofitik dan eksofitik (n= 8), sedangkan kasus dengan papiloma inverted saja pada 2 subjek. Pada pemeriksaan histopatologi sebelum operasi, tidak ada kasus PI yang disertai karsinoma, pasien dengan metaplasia sel skuamosa ada pada 2 kasus, dan ditemukan mitosis pada satu kasus. Pada pemeriksaan CT-scan dan MRI dicurigai adanya gambaran keganasan berupa destruksi tulang pada 3 kasus, namun hanya 1 pasien yang memperlihatkan pemeriksaan histopatologi karsinoma sel skuamosa pasca dilakukannya operasi. Saha53 mengutip Hyams mengenai penelitian transformasi keganasan pada tumor jinak, pada PI terjadi sekitar 10% dapat terjadi sinkronus atau metakronus dengan karsinoma, sedangkan Mirza dkk9 di Inggris menemukan tumor PI 7,1% sinkronus dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan karsinoma. Saha juga menjelaskan bahwa papiloma inverted dengan erosi tulang tidak selalu terjadi karena ada kondisi metakronus atau sinkronus dengan karsinoma. Walaupun tumor PI merupakan tumor jinak, tumor ini memiliki sifat invasif. Kebanyakan perubahan penulangan yang terjadi akibat kompresi dan erosi, dan bukan merupakan invasi tumor ke tulang. Pada penelitian ini, pasien dengan karsinoma tersebut kemudian diberikan kemo-radioterapi setelah operasi. Dua subjek merupakan kasus rekuren, yang sebelumnya dioperasi tanpa menilai lokasi asal tumor. Pasien dengan riwayat penyakit rekuren tersebut tetap dimasukkan sebagai subjek penelitian karena pada operasi sebelumnya belum pernah dilakukan penilaian lokasi asal tumor. Faktor perancu yang dapat terjadi pada pasien rekuren adalah terjadinya hiperostosis akibat proses osteitis ataupun pembentukan osteoklas karena proses operasi sebelumnya. Pasien dengan riwayat penyakit berulang dan dicurigai adanya keganasan dilakukan follow up dengan ketat setelah operasi. Follow up ketat pasca operasi penting untuk deteksi dini kekambuhan.54
Universitas Indonesia
66
5.3 Prediksi lokasi asal tumor PI Pada penelitian ini digunakan pemeriksaan radiologi CT-scan dan MRI sebagai modalitas untuk memprediksi lokasi asal tumor. Roh24 menjelaskan bahwa inflamasi berperan penting pada PI. Inflamasi tumor pada mukosa yang terjadi memicu terjadinya proses inflamasi lokal pada tulang pada lokasi asal tumor, hal ini menyebabkan gambaran perubahan tulang di sekitar jaringan asal tumor. Selain efek desakan pada tulang akibat arah tumbuh tumor yang sentrifugal di tepi luar tumor, gambaran hiperdens juga terlihat pada tulang asal mukosa yang menempel pada PI, gambaran ini sering disebutkan sebagai gambaran hiperostosis yang dapat dengan mudah dinilai dengan CT-scan.24, 32, 50, 55
Gambar 5.1 Gambaran hiperostosis pada CT-scan. Tampak hiperostosis menyerupai plak (anak panah) pada pasien dengan lokasi asal tumor pada prosesus unsinatus dengan keluhan 1 tahun, gambaran CT-scan (A) irisan coronal dan (B) aksial. Dibandingkan dengan gambaran hiperostosis menyerupai akar pada pasien PI dengan keluhan 3 tahun dengan lokasi asal pada lamina papirasea, CT-scan irisan (C) coronal dan irisan (D) aksial.
Universitas Indonesia
67
Peneliti menemukan bahwa CT-scan berhasil memprediksi benar lokasi asal tumor pada 8 subjek dengan menemukan hiperostosis ataupun dengan mempelajari arah tumbuh tumor yang sentrifugal. Dua subjek lainnya diprediksi benar tetapi kurang atau under estimated (lebih kurang dibandingkan lokasi asal tumor pada penemuan saat operasi). Hiperostosis lokal yang ditemukan bervariasi, lamanya gejala dan lokasi mukosa dekat pada kepadatan tulang memiliki hiperostosis yang luas hingga menyerupai plak atau akar (gambar 5.1). Jika tidak ditemukan hiperostosis yang spesifik, penilaian dilakukan dengan mempelajari perluasan tumor secara sentrifugal, dengan memprediksi bahwa daerah tengah tumor dapat merupakan daerah asal. Tujuh dari sembilan subjek memiliki tanda hiperostosis yang khas dapat dinilai dengan CT-scan. Pada dua subjek yang tidak memiliki gambaran hiperostosis, salah satu terbukti memiliki lokasi tumor pada fontanel posterior yang tidak bertulang, namun prediksi lokasi tumor berhasil dinilai dari mempelajari arah pertumbuhan tumor ke arah sinus maksila dan kavum nasi dan melebarkan daerah fontanel posterior. Subjek lainnya yang tidak memiliki tanda khas hiperostosis adalah adanya erosi tulang luas, yaitu subjek PI yang pasca operatif ditemukan sinkronus dengan karsinoma. Pada penelitian ini, lokasi asal tumor terbanyak ditemukan pada dinding lateral kavum nasi (n= 4). Dinding lateral kavum nasi yang terdapat tulang terjadi osteitis sehingga menyebabkan hiperostosis, tumor meluas ke arah medial kavum nasi dan mendesak secara sentrifugal hingga terjadi pelengkungan (bowing) septum dan dinding medial sinus maksila. Pada tumor yang berasal dari fontanel (n= 1), tumor menyebar ke arah kavum nasi dan ke dalam sinus maksila. Pada kasus ini tidak ditemukan hiperostosis pada CT-scan, namun ditemukan gambaran CCP dengan pusat pada daerah dinding lateral. Modalitas pemeriksaan MRI untuk memprediksi lokasi asal PI dilakukan dengan mencari dan menemukan gambaran CCP dengan atau tanpa gambaran SCF, serta mempelajari arah tumbuh tumor yang sentrifugal. Pada penelitian ini, lokasi asal tumor berhasil diprediksi secara benar pada 5 subjek dengan menggunakan modalitas pemeriksaan MRI. Gambaran CCP tampak terlihat dengan pemeriksaan MRI T1-weighted dengan kontras dan T2-weighted. Adanya CCP tampak dominan pada daerah yang terdapat stroma yang inversi membedakan PI dengan polip
Universitas Indonesia
68
ataupun jaringan fibrosis, namun tidak memberi gambaran spesifik lokasi asal tumor (gambar 5.2). Gambaran SCF memang tidak selalu ada pada PI, tetapi pada penelitian ini ditemukan pada 5 subjek. Teknik prediksi lokasi asal tumor PI sinonasal diperkenalkan oleh Iimura37, menurutnya gambaran SCF tidak selalu ada pada setiap PI sinonasal, namun jika ada merupakan indikator yang bermakna untuk menjadi prediksi lokasi asal tumor. Iimura juga menyebutkan pentingnya memprediksi asal tumor dengan mempelajari pertumbuhan tumor PI yang sentrifugal.
Gambar 5.2 Perbandingan prediksi lokasi asal tumor dengan menggunakan CT-scan dan MRI. Pasien pria 28 tahun, tampak gambaran CT-scan (A) tidak memperlihatkan adanya hiperostosis namun terlihat pelebaran daerah fontanel (anak panah). MRI pasien yang sama (B) gambaran CCP dengan SCF yang seakan-akan menunjukkan asal tumor (anak panah). Pasien pria 42 tahun, tampak pada CT-scan (C) gambaran hiperostosis (anak panah) pada dinding anterior sinus maksila. MRI pasien yang sama (D) tampak CCP dengan SCF (anak panah)
Universitas Indonesia
69
Membuat pemeriksaan pre-operatif prediksi lokasi asal tumor merupakan faktor yang penting dalam pelaksanaan operasi karena operator dapat menggunakan prediksi tersebut untuk mempersiapkan alat-alat, prosedur khusus atau langkahlangkah penting untuk mencapai lokasi tersebut. Pada penelitian ini, peneliti membuat sistem skor dengan mengonversi variabel deskriptif lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan dan MRI dibandingkan dengan PSO. Skor 0, 1 dan 2 digunakan untuk menggambarkan perbedaan pada kesesuaian antara pemeriksaan pre-operatif dan saat operasi yang sesuai (2), sesuai tetapi tidak sepenuhnya benar (1), dan salah (0). Sistem skor digunakan pada penelitian pendahuluan ini untuk mendapatkan gambaran data ordinal sehingga lebih menggambarkan klinis dibandingkan jika diubah menjadi data dikotomi. Pada penelitian ini, pemeriksaan CT-scan tampak lebih unggul dibandingkan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor pada 4 subjek (p= 0,046). Dalam memprediksi lokasi asal tumor, peneliti mendapatkan manfaat yang lebih dalam memprediksi lokasi asal tumor dengan mencari hiperostosis pada CT-scan dibandingkan menilai CCP & SCF pada MRI. Gambaran hiperostosis lebih konstan mewakili lokasi asal tumor, seperti yang disebutkan Lee32 dan Yousuf10 mengenai tingginya korelasi hiperostosis dengan lokasi asal tumor akibat inflamasi kronik tumor pada tulang di dasar mukosa, tentu proses inflamasi yang paling lama merupakan lokasi asal tumor. Meskipun begitu, pada 1 subjek tidak ditemukan adanya hiperostosis. Pada pasien ini prediksi benar dilakukan dengan melihat daerah fontanel yang lebih lebar dari biasanya. Pada kasus ini, tidak terjadinya hiperostosis dapat dianggap karena lokasi asal adalah fontanel yang tidak bertulang. Tumor yang pasca operasi merupakan salah satu penyulit dalam menemukan hiperostosis yang bermakna sebagai lokasi asal tumor karena proses inflamasi pasca operasi dan pemotongan tulang pada operasi sebelumnya menyebabkan osteogenesis.
Universitas Indonesia
70
5.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal Pada penelitian ini, prediksi keterlibatan sinus paranasal dengan menilai sinus paranasal yang memiliki perselubungan, hal ini menggambarkan massa tumor yang masuk ke dalam sinus atau merupakan perselubungan atau sinusitis yang terjadi setelah tumor menutupi ostium sinus paranasal. Pemeriksaan CT-scan memprediksi keterlibatan sinus paranasal dengan membandingkan densitas perselubungan sinus dengan bagian tumor di kavum nasi dengan piranti lunak PACS workstation, atau dengan mengubah WW & WL jaringan lunak agar terlihat perbedaan. Pemeriksaan MRI membandingkan secara langsung keterlibatan sinus paranasal dengan intensitas yang tampak pada perbedaan MRI T1-weighted dengan pemberian kontras dan T2-weighted. Gambaran T1-weighted sama pada tumor dan sinusitis, namun dengan pemberian kontras maka tumor tampak lebih terang (hiper intens) dengan bagian sinusitis yang tidak menyala (hipo intens), lihat gambar 5.3. Pada penelitian ini CT-scan memprediksi lebih baik dari MRI pada 2 pasien, dengan uji korelasi Wilcoxon tampak tidak ada perbedaan bermakna antara keduanya dalam membedakan keterlibatan sinus paranasal (p= 0,083). Walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna, peneliti menilai lebih mudah membedakan tumor, polip, sinusitis, dan jaringan sekitar secara visual dengan menggunakan MRI, karena secara spesifik MRI dapat membedakan jaringan lunak berdasarkan perbedaan intensitas yang detil pada jaringan lunak. Tabel 5.1 Perbandingan prediksi keterlibatan sinus paranasal pada pemeriksaan CT-scan dan MRI Prediksi kurang
Prediksi lebih
Sesuai
CT-scan
5
2
2
MRI
4
4
1
Kekurangan pada MRI adalah pemeriksaan tersebut memberikan gambaran hiper intens pada inflamasi pada T1-weighted dengan kontras. Sekresi yang terperangkap tetap iso intens pada T1-weighted dengan kontras, namun jika terdapat inflamasi pada sekresi tersebut tampak hiper intens seakan-akan jaringan tersebut merupakan
Universitas Indonesia
71
massa tumor. Hal ini dapat merupakan penyebab prediksi MRI pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan CT-scan, karena banyaknya prediksi yang lebih (over estimated) (Tabel 5.1). Kekurangan CT-scan dalam memprediksi keterlibatan sinus paranasal adalah gambarannya yang lebih homogen dibandingkan MRI, namun kekurangan ini dapat diatasi jika pemeriksaan CT-scan dilakukan dengan kontras. Pada perangkat lunak pembaca DICOM (PACS workstation) dapat dilakukan penilaian densitas (HU) secara kuantitatif, bahkan dapat mengatasi keterbatasan mata pada warna hitam putih dengan melakukan pewarnaan pada setiap rentang densitas. 56
Gambar 5.3 Perbedaan gambaran MRI dan CT-scan dalam ketelibatan sinus paranasal. Pria 28 tahun, pencitraan irisan koronal membedakan mukosil (anak panah) daerah frontal dengan tumor berdasarkan (A) MRI T2weighted, (B) MRI T1-weighted dengan kontras dan (C) CT-scan. Wanita 48 tahun, pencitraan irisan koronal membedakan sinusitis (anak panah) dengan tumor berdasarkan (D) MRI T2-weighted, (E) MRI T1-weighted dengan kontras dan (F) CT-scan.
Universitas Indonesia
72
5.5 Prediksi menentukan stadium tumor Kedua modalitas memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan stadium. Stadium tumor ditentukan dengan metode Krouse. Perlu dilakukan penilaian tumor pada kavum nasi serta keterlibatan sinus paranasal. Data prediksi stadium diambil dari data prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan CT-scan dan MRI. Pada metode Krouse, dibedakan PI stadium 1 yaitu massa hanya terbatas pada kavum nasi, stadium 2 telah mengenai dinding medial sinus maksila, stadium 3 mengenai dinding lain dan/ atau sfenoid atau frontal, serta stadium 4 keluar dari kavum nasi dan sinus paranasal, atau diasosiasikan dengan metakronus atau sinkronus karsinoma.13
Gambar 5.4 Perbedaan prediksi stadium tumor PI pada CT-scan dan MRI pada subjek 6. Gambaran batas tumor dengan sinusitis (anak panah) pada MRI (kiri) dan CT-scan (kanan). Pada subjek keenam, CT-scan berhasil memprediksi stadium tumor lebih tepat. Walaupun gambaran CT-scan lebih homogen dibandingkan memprediksi stadium, tampak kontras mewarnai bagian medial dinding sinus maksila, gambaran tulang pada daerah ostium juga tampak lebih lebar dengan komponen hiperostosis pada prosesus unsinatus terdorong ke medial. Pada gambar MRI tampak gambaran hiper intens berbatas tegas pada dinding medial sinus medial sehingga tampak seperti sinus maksila terisolasi oleh tumor di luar dinding sinus.
Universitas Indonesia
73
5.6 Kesesuaian periksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi Untuk mengetahui kesesuaian antara hasil pemeriksaan CT-scan dan MRI dibanding penemuan saat operasi dinilai dengan mengubah data deskripsi lokasi asal tumor dan keterlibatan sinus paranasal dengan menggunakan sistem skorsing agar menjadi data ordinal. Skor yang digunakan oleh peneliti adalah skor 0 jika pemeriksaan pre-operatif tidak sesuai dengan penemuan saat operasi. Skor 1 jika pemeriksaan pre-operatif sesuai dengan penemuan saat operasi, namun tidak memprediksi seluruhnya. Skor 2 jika pemeriksaan pre-operatif sesuai dengan penemuan saat operasi. Peneliti menggunakan sistem skor 0, 1, 2 untuk memperlihatkan data ordinal dibandingkan dikotomi. Nilai dikotomi menampilkan nilai konstan, sehingga tidak dapat dihitung kesesuaian antara variabel. Nilai ordinal membuat peringkat antara kesesuaian penilaian pre-operatif dengan penemuan saat operasi. Pada penelitian ini, penilaian CT-scan dapat memprediksi benar lokasi asal tumor pada 10 subjek, keterlibatan sinus paranasal pada 9 subjek, serta prediksi stadium tumor pada 10 subjek. Sham19 menyebutkan dalam penelitiannya, bahwa CT-scan memiliki nilai duga positif 100% dalam prediksi asal tumor dengan menemukan adanya hiperostosis. Pada penelitian ini, peneliti berhasil menemukan 8 dari 10 pasien dengan hiperostosis seluruhnya menunjukkan akurasi dalam menentukan lokasi asal tumor. Karkos16 menyebutkan bahwa CT-scan tidak dapat secara spesifik membedakan tumor, mukosa yang inflamasi dan sekret yang terperangkap. Menurut Karkos hal ini dapat berakibat fatal karena dapat membuat penilaian yang berlebihan yang mengarahkan operator untuk melakukan langkah operasi yang berlebihan. Pemeriksaan MRI lebih mudah menilai keterlibatan sinus paranasal, namun pada prakteknya manfaat MRI lebih banyak pada tumor PI yang sudah meluas keluar dari sinus paranasal. Peneliti mendapatkan manfaat terbesar untuk merencanakan operasi dari kedua pemeriksaan CT-scan & MRI digabungkan. Pada penelitian ini, penilaian preoperatif yang paling bermanfaat adalah CT-scan terutama dalam menentukan lokasi
Universitas Indonesia
74
asal tumor dengan menemukan hiperostosis, karena secara klinis untuk mencegah rekurensi dari tumor PI perlu dilakukan reseksi bersih pada daerah asal tumor. 10, 32
5.7 Manfaat pemeriksaan pre-operatif dalam alur penatalaksanaan Pemeriksaan pre-operatif untuk PI idealnya dengan memanfaatkan kedua pemeriksaan pencitraan radiologis. Keduanya dapat saling melengkapi satu sama lain. CT-scan merupakan pencitraan yang dapat dengan mudah menilai adanya hiperostosis, sedangkan melalui MRI gambaran khas CCP pada papiloma inverted dapat terlihat. Alur tata laksana tumor PI dengan memperhatikan dengan seksama penilaian pre-operatif bermanfaat untuk membuat strategi dalam reseksi tumor cepat, tepat, dan menyeluruh. Capparoz57 menyebutkan bahwa penilaian preoperatif prediksi asal tumor merupakan suatu keharusan, terutama untuk pembedahan tumor secara endoskopi. Persiapan operasi merupakan hal yang paling penting dalam alur tata laksana operasi. Operasi akan berjalan lancar dengan komplikasi minimal dengan persiapan yang baik. Pembedahan tumor PI dengan endoskopi merupakan salah satu operasi THT yang rumit. Operator harus dapat bekerja dalam ruang sempit dengan menggunakan tangan kiri memegang endoskopi dan tangan kanan melakukan berbagai tindakan. Perlu adanya kerja sama yang baik antara operator dan asisten yang juga berperan sebagai operator kedua untuk melakukan teknik 4 tangan (four hands technique), maka dari itu perlu pengaturan lapangan operasi serta teknik yang sesuai. Selain merencanakan proses operasi secara baik, perlu juga dilakukan pemeriksaan menyeluruh termasuk persiapan perlu atau tidaknya transfusi untuk pasien. Habib58 menyebutkan bahwa penatalaksanaan bedah endoskopi pada pasien PI jarang sekali memerlukan transfusi darah. Pada penelitiannya, Habib menyebutkan bahwa tumor stadium Krouse 1 hingga 3 tidak memerlukan transfusi, sedangkan tumor stadium Krouse 4 biasanya terdapat kehilangan darah yang lebih banyak sehingga memerlukan transfusi pasca operasi (p< 0,05). Posisi reverse trendelenburg yang digunakan, serta fleksi kepala merupakan prosedur rutin yang digunakan dalam bedah sinus endoskopi. Hathorn 59
Universitas Indonesia
75
membuktikan bahwa posisi reverse trendelenburg secara signifikan mengurangi perdarahan dibandingkan posisi datar, sehingga memberikan lapang pandang endoskopi yang lebih baik. Pemasangan tampon adrenalin 1: 5000 sebelum operasi bertujuan untuk mengecilkan ukuran tumor dan mengurangi perdarahan. Tampon yang dipasang memiliki efek vasokonstriksi dari adrenalin dan efek kompresi tampon, sehingga ukuran tumor mengecil sehingga visualisasi dan akses operatif lebih baik. Panda60 menyebutkan dalam penelitian double-blind randomized control trial bahwa adrenalin 1: 5000 secara signifikan meningkatkan kualitas lapang pandang operasi dibandingkan adrenalin 1: 20.000, namun tidak dapat perubahan hemodinamik yang bermakna di antara keduanya. Bedah endoskopi memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan bedah eksternal dalam hal kosmetik, detil lapang pandang operasi dan pembesaran visual. Pada penelitian ini, lokasi tumor yang paling sulit di jangkau adalah dinding lateral sinus frontal serta dinding anterior sinus maksila. Walaupun endoskopi 70 o dapat dengan mudah melihat tumor yang berasal dari lokasi ini, terdapat keterbatasan alat forsep dan bor untuk daerah tersebut. Faktor yang paling penting dalam mencegah rekurensi tumor PI adalah reseksi tumor yang adekuat, sehingga sebelum dilakukannya operasi perlu dilakukan perencanaan terlebih dahulu sebaikbaiknya.36, 61, 62 Alat NPU merupakan perangkat yang sangat bermanfaat dalam membantu menemukan dan konfirmasi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan. Fungsi penting lain alat ini adalah melakukan evaluasi struktur tulang penting seperti batas dasar tengkorak anterior, dengan mengatasi keterbatasan perangkat endoskopi yang 2 dimensi (2D). Peneliti mendapatkan manfaat menggunakan NPU dalam membuktikan lokasi asal tumor, pembuktian dengan mencocokkan lokasi tumor melekat dengan tampilan di monitor NPU. Navigation panel unit Karl Storz merupakan perangkat NPU yang menggunakan kamera optik sebagai sensor, tidak perlu dilakukan prosedur CT-scan khusus dengan penandaan. Data CT-scan pasien yang sesuai dengan kondisi pasien dapat langsung digunakan. Dengan adanya sistem navigasi pada saat operasi, operator
Universitas Indonesia
76
dapat dengan mudah mengenali struktur anatomi pasien, sehingga komplikasi operasi menjadi lebih kurang dan waktu yang dibutuhkan menjadi lebih pendek. Alat ini juga mampu melakukan fusi (penggabungan) gambar CT-scan dan MRI dan menampilkannya pada panel navigasi hingga memasang tanda peringatan (alarm) jika melewati suatu struktur yang dianggap penting, misalnya batas dasar kranial.63
Universitas Indonesia
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Prediksi asal tumor dengan menemukan hiperostosis pada CT-scan lebih bermakna secara klinis dan signifikan secara statistik dibandingkan dengan MRI (p= 0,046). 2. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam melakukan penilaian preoperatif prediksi keterlibatan sinus paranasal (p= 0,083) dan stadium tumor PI metode Krouse (0,317) pada modalitas pemeriksaan CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi. 3. Pada penelitian ini tidak dapat dihitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, nilai rasio kemungkinan dari pemeriksaan CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI karena data bukan dikotomi dan jumlah subjek yang kurang besar. 4. Walaupun secara statistik tidak bermakna, pemeriksaan CT-scan bermanfaat secara klinis untuk menilai keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor PI metode Krouse. Pemeriksaan CT-scan dan MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang saling melengkapi dalam penilaian pre-operatif. Idealnya kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk penilaian pre-operatif PI. 5. Alur tata laksana pada penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk tata laksana tumor PI di Indonesia, sebab sebelum penelitian ini belum pernah diperhitungkan makna hiperostosis sebagai lokasi asal tumor PI di Indonesia.
77
78
6.2 Saran 1. Penelitian pendahuluan ini belum dapat menjawab hipotesis penelitian, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah subjek yang cukup agar memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan metode sistem skor dalam mengubah data deskripsi menjadi kategorik. 3. Gambaran inversi stroma yang terdeteksi pada MRI adalah gambaran yang khas pada pasien PI. Untuk membuktikannya perlu dilakukan penelitian lanjutan yang membandingkan CCP dengan penemuan histopatologi.
79
DAFTAR PUSTAKA 1.
Klimek T, Atai E, Schubert M, Glanz H. Inverted Papilloma of the Nasal Cavity and Paranasal Sinuses: Clinical Data, Surgical Strategy and Recurrence Rates. Acta Otolaryngol. 2000;120:267-72.
2.
Kosugi EM, Santos RdP, Ganança FF, Tangerina RdP, Suguri VM, Yamaoka WY, et al. Inverted Papilloma in the Sphenoethmoidal Recess. Rev Bras Otorrinolaringol. 2008;74(1):151-4.
3.
Sandison A. Common Head and Neck Cases in Our Consultation Referrals: Diagnostic Dilemmas in Inverted Papilloma. Head and Neck Pathol. 2009;3(260-262).
4.
Wood JW, Casiano RR. Inverted papillomas and benign nonneoplastic lesions of the nasal cavity. Am J Rhinol Allergy. 2012;26:157-63.
5.
Gras-Cabrerizo JR, Montserrat-Gili JR, Massegur-Solench H, Leo´n-Vintro´ X, Juan JD, Fabra-Llopis JM. Management of sinonasal inverted papillomas and comparison of classification staging systems. am J Rhinol Allergy. 2010;24:66-9.
6.
Dammann F, Pereira P, Laniado M, Plinkert R, Lowenheim H, Claussen CD. Inverted Papilloma of the Nasal Cavity and the Paranasal Sinuses: Using CT for Primary Diagnosis and Follow-Up. American Journal of Roentgenology. 1996;172:543-8.
7.
Head CS, Sercarz JA, Luu Q, Collins J, Blackwell KE. Radiographic assessment of inverted papilloma. Acta Oto-Laryngologica. 2007;127:51520.
8.
Oikawa K, Furuta Y, Iloh T, Oridate N, Fukuda S. Clinical and Pathological Analysis of Recurrent Inverted Papilloma. Annals of Otorhinolaryngol. 2007;116(4):297-303.
9.
Mirza S, Bradley PJ, Acharya A, Stacey M, Jones NS. Sinonasal inverted papillomas: recurrence, and synchronous and metachronous malignancy. J Laryngol Otol. 2007;121:857-64.
10.
Yousuf K, Wright ED. Site of attachment of inverted papilloma predicted by CT findings of osteitis. Am J Rhinol. 2007;21(1):32-6.
80
11.
Landsberg R. Attachment-oriented endoscopic surgical approach for sinonasal inverted papilloma. Operative Techniques in Otolaryngology. 2006;17:87-96.
12.
Maroldi R, Farina D, Palvarini L, Lombardi D, Tomenzoli D, Nicolai P. Magnetic Resonance Imaging Findings of Inverted Papilloma: Differential Diagnosis with Malignant Sinonasal Tumors. Am J Rhinol. 2004;18:305-10.
13.
Krouse JH. Endoscopic Treatment of Inverted Papilloma: Safety and Efficacy. American Journal of Otolaryngology. 2001;22(2):87-99.
14.
Ojiri H, Ujita M, Tada S, Fukuda K. Potentially Distinctive Features of Sinonasal Inverted Papilloma on MR Imaging. American Journal of Roentgenology. 2000;175:465-8.
15.
Kim YK, Kim H-J, Kim J, Chung S-K, Kim E, Ko Y-H, et al. Nasal polyps with metaplastic ossification: CT and MR imaging findings. Neuroradiology. 2010;52:1179-84.
16.
Karkos PD, Khoo LC, Leong SC, Lewis-Jones H, Swift AC. Computed tomography and/or magnetic resonance imaging for pre-operative planning for inverted nasal papilloma: review of evidence. The Journal of Laryngology & Otology. 2009;123:705-9.
17.
Katori H, Tsukuda M. Staging of surgical approach of sinonasal inverted papilloma. Auris Nasus Larynx. 2005;32:257-63.
18.
Thomaser EG, Tschopp K. Does CT-navigation improve the outcome of functional endonasal sinus surgery? Laryngorhinootologie. 2007;86(8):5847.
19.
Sham CL, King AD, Hasselt Av, Tong MCF. The roles and limitations of computed tomography in th preoperative assessment of sinonasal inverted papillomas. Am J Rhinol. 2008;22:144-50.
20.
Jeon TY, Kim H-J, Chung S-K, Dhong H-J, Kim HY, Yim YJ, et al. Sinonasal Inverted Papilloma: Value of Convoluted Cerebriform Pattern on MR Imaging. AJNR. 2008;29:1556-60.
21.
Lin HW, Bhattacharyya N. Diagnostic and staging accuracy of magnetic resonance imaging for the assessment of sinonasal disease. American Journal of Rhinology & Allergy. 2009;23(1):36-9.
Universitas Indonesia
81
22.
Oikawa K, Furuta Y, Oridate N, Nagahashi T, Homma A, Ryu T, et al. Preoperative staging of sinonasal inverted papilloma by magnetic resonance imaging. Laryngoscope. 2003;113(11):1983-7.
23.
Roobottom CA, Jewell FM, Kabala J. Primary and Recurrent Inverting Papilloma: Appearances With Magnetic Resonance Imaging. Clinical Radiology. 1995;50:472-5.
24.
Roh H-J, Procop GW, Batra PS, Citardi MJ, Lanza DC. Inflammation and the Pathogenesis of Inverted Papilloma. Am J Rhinol. 2004;18:65-74.
25.
Eggers G, Eggers H, Sander N, Kößling F, Chilla R. Histological features and malignant transformation of inverted papilloma. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2005;262:263-8.
26.
Lathi A, Syed MMA, Kalakoti P, Qutub D, Kishve SP. Clinico-pathological profile of sinonasal masses: a study from a tertiary care hospital of India. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2011;31:372-277.
27.
Hajdu SI. A Note from History: The Link between Koilocytes and Human Papillomaviruses. Annals of Clinical & Laboratory Science. 2006;36(4):4857.
28.
Tomenzoli D, Castelnuovo P, Pagella F, Berlucchi M, Pianta L, Delù G, et al. Different endoscopic surgical strategies in the management of inverted papilloma of the sinonasal tract: experience with 47 patients. Laryngoscope. 2004;114(2):193-200.
29.
Thapa N. Diagnosis and treatment of sinonasal inverted papilloma. SOL Nepal. 2010;1(1):30-3.
30.
Momeni AK, Roberts CC, Chew FS. Imaging of Chronic and Exotic Sinonasal Disease: Review. AJR Integrative Imaging. 2007;189:S35-S45.
31.
Michel MA. Neoplasm-Benign Tumors, Sinonasal Inverted Papilloma. In: Harnsberger HR, editor. Diagnostic Imaging Head and Neck. First ed. Canada: Amirsys Inc.; 2004. p. II268-II71.
32.
Lee DK, Chung SK, Dhong HJ, Kim HY, Kim HJ, Bok KH. Focal Hyperostosis on CT of Sinonasal Inverted Papilloma as a Predictor of Tumor Origin. AJNR Am J Neuroradiol. 2007;28:618-21.
Universitas Indonesia
82
33.
Annam V, Shenoy AM, Raghuram P, Annam V, Kurien JM. Evaluation of extensions of sinonasal mass lesions by computerized tomography scan. Indian J Cancer. 2010;47(2):173-8.
34.
Molina JPD, Pendas JLL, Tapia JPR, Marcos CÁ, Agüera SO, Nieto CS. Inverted sinonasal papillomas. Review of 61 cases. Acta Otorrinolaringol Esp. 2009;60(6):402-8.
35.
Cunningham K, Welch KC. Endoscopic medial maxillectomy. Operative Techniques in Otolaryngology. 2010;21:111-6.
36.
Mortuaire G, Arzul E, Darras JA, Chevalier D. Surgical management of sinonasal inverted papillomas through endoscopic approach. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2007;264:1419-24.
37.
Iimura J, Otori N, Ojiri H, Moriyama H. Preoperative magnetic resonance imaging for localization of the origin of maxillary sinus inverted papillomas. Auris Nasus Larynx. 2009;36:416-21.
38.
Riyadi V. Gambaran konka bulosa, septum deviasi dan prosesus unsinatus serta hubungannya dengan rinosinusitis evaluasi dengan pemeriksaan tomografi komputer. Jakarta: Universitas Indonesia; 2008.
39.
Shankar L. The radiologic appearance of tumors and tumor-like conditions of the paranasal sinuses. In: Shankar L, Evans K, Hawke M, Stamberger H, editors. An Atlas of Imaging of the Paranasal Sinuses: Martin Dunitz; 1994. p. 106-21.
40.
Nakayama E, Yonetsu K, Yoshiura K, Araki K, Kanda S, Yoshida K. Diagnostic value of magnetic resonance imaging for malignant tumors in the oral and maxillofacial region. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 1996;82:691-7.
41.
Kuriloff DB. Lateral rhinotomy approach to inverted papilloma. Operative Techniques in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 1999;10(2):71-81.
42.
Oikawa K, Furuta Y, Nakamaru Y, Oridate N, Fukuda S. Preoperative Staging and Surgical Approaches for Sinonasal Inverted Papilloma. Annals of Otorhinolaryngol. 2007;116(9):674-80.
Universitas Indonesia
83
43.
Thaler ER, Lanza DC, Tufano RP, Cunning DM, Kennedy DW. Inverted Papilloma: an endoscopic approach. Operative Techniques in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 1999;10(2):87-94.
44.
Liu X-W, Sun J-W. The Role of Endoscopic Surgery in the Treatment of Nasal Inverted Papilloma. Otolaryngology. 2012;2(3):1-3.
45.
Zheng CQ, Sun BB, Liu Y, Wang DH. Management of sinonasal inverted papilloma: endoscopic excision vs traditional procedures. Chinese Journal of otolaryngology head and neck surgery. 2005;40(4):283-6.
46.
Nicolai P, Tomenzoli D, Lombardi D, Maroldi R. Different endoscopic options in the treatment of inverted papilloma. Operative Techniques in Otolaryngology. 2006;17:80-6.
47.
Yoon B-N, Batra PS, Citardi MJ, Roh H-J. Frontal sinus inverted papilloma: Surgical strategy based on the site of attachment. Am J Rhinol Allergy. 2009;23:337-41.
48.
Jeon TY, Kim H-J, Choi JY, Lee IH, Kim ST, Jeon P, et al. 18F-FDG PET/CT findings of sinonasal inverted papilloma with or without coexistent malignancy: comparison with MR imaging findings in eight patients. Neuroradiology. 2009;51:265-71.
49.
Allegra E, Cristofaro MG, Cascini LG, Lombardo N, Tamburrini O, Garozzo A. 18FDG Uptake in Sinonasal Inverted Papilloma Detected by Positron Emission
Tomography/Computed
Tomography.
The
ScientificWorld
Journal. 2012;2012:1-4. 50.
Wassef SN, Batra PS, Barnett S. Skull Base Inverted Papilloma: A Comprehensive Review. ISRN Surgery. 2012;2012.
51.
Singhal SK, Gupta AK, Panda N, Mann SBS, Das A. Inverted Papilloma--An Analysis of 30 Cases. IJO & HNS. 1998;50(1):76-80.
52.
Pasquini E, Sciarretta V, Farneti G, Modugno GC, Ceroni AR. Inverted Papilloma: Report of 89 Cases. Am J Otolaryngol. 2004;25:178-85.
53.
Saha SN, Ghosh A, Sen S, Chandra S, Biswas D. Inverted Papilloma: A Clinico-Pathological Dilemma with Special Reference to Recurrence and Malignant Transformation. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2010;64(4):354-9.
Universitas Indonesia
84
54.
Bathma S, Harvinder S, Philip R, Rosalind S, Gurdeep S. Endoscopic Management
of Sinonasal
Inverted Papilloma. Med J
Malaysia.
2011;66(1):15-8. 55.
Ye J, Zhou WS, Jiang HQ, Wang MJ, Zhang J. Diagnostic value of osseous diversity on CT to sinonasal inverted papilloma. Chinese Journal of otolaryngology head and neck surgery. 2009;44(2):141-4.
56.
Rosset A, Spadola L, Ratib O. OsiriX: An Open-Source Software for Navigating in Multidimensional DICOM Images. Journal of Digital Imaging. 2004;17(3):205-16.
57.
Caparroz FdA, Gregório LL, Kosugi EM. Evolution of endoscopic surgery in the treatment of inverted papilloma. Braz J Otorhinolaryngol. 2013;79(1):137.
58.
Habib A-RR, Hathorn I, Sunkaraneni VS, Srubiski A, Javer AR. Blood transfusion requirements for endoscopic sinonasal inverted papilloma resections.
[cited
42
1];
Available
from:
http://www.journalotohns.com/content/42/1/44. 59.
IF IFH, Habib AR, Manji J, Javer AR. Comparing the reverse Trendelenburg and horizontal position for endoscopic sinus surgery: a randomized controlled trial. Otolaryngol Head Neck Surg. 2013;148(2):308-13.
60.
Panda N, Verma RK, Panda NK. Efficacy and safety of high-concentration adrenaline wicks during functional endoscopic sinus surgery. J Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;41(2):131-7.
61.
Gotlib T, Krzeski A, Held-Ziółkowska M, Niemczyk K. Endoscopic transnasal management of inverted papilloma involving frontal sinuses. Videosurgery Miniinv. 2012;7(4):299-303.
62.
Xiao-Ting W, Peng L, Xiu-Qing W, Hai-Bo W, Wen-Hui P, Bing L, et al. Factors affecting recurrence of sinonasal inverted papilloma. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2012(October):1-5.
63.
Eliashar R, Sichel J-Y, Gross M, Hocwald E, Dano I, Biron A, et al. Image guided navigation system - a new technology for complex endoscopic endonasal surgery. Postgrad Med J. 2003;79:686-90.
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Keterangan lulus kaji etik
85
Lampiran 2. Penjelasan penelitian kepada pasien
PERBANDINGAN PENILAIAN CT-scan DAN MRI DENGAN PENEMUAN OPERASI PADA PAPILOMA INVERTED SINONASAL
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari,
Tumor papiloma inverted adalah jenis tumor jinak hidung, tetapi sering kambuh. Walaupun tumor ini merupakan tumor jinak, tumor ini dapat meluas ke jaringan sekitarnya seperti mata, telinga, otak, dll. Tumor ini juga bisa berubah menjadi ganas (kanker). Kekambuhan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis sel-sel tumor, faktor risiko, serta pembersihan sel-sel tumor saat operasi. Yang dianggap merupakan faktor risiko dari tumor papiloma inverted adalah faktor alergi, merokok, sinusitis, infeksi oleh human papilloma virus (HPV), dll.
Agar operasi pengangkatan tumor dilakukan dengan baik, perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI. Kedua pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang aman jika fungsi ginjal pasien baik. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal sebelumnya. MRI merupakan jenis pemeriksaan yang menggunakan magnet, dan tidak mengandung radiasi sama sekali.
Saat ini Departemen THT-KL FKUI/RSCM divisi Rinologi dan Onkologi sedang melakukan penelitian mengenai perbandingan data CT-scan, MRI dibandingkan dengan kondisi saat operasi pada tumor papiloma inverted. Operasi akan dilakukan oleh Dr. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL dan dr. Marlinda Adham, Sp.THT-KL, merupakan dokter spesialis THT-KL yang telah berpengalaman di bidang THT selama lebih dari 10 tahun, sedangkan saya sebagai peneliti akan bertindak sebagai asisten operator.
86
87
Keikutsertaan bapak/ibu/saudara/i pada penelitian ini tetap akan mengikuti prosedur yang semestinya. Dalam proses operasi akan menggunakan alat panduan operasi yang canggih (sistem navigasi terkomputerisasi).
Saya mengharap kesediaan bapak/ibu/saudara/saudari untuk ikut serta dalam penelitian ini. Bapak/ibu/saudara/saudari akan dibebaskan dari biaya pemeriksaan MRI jika bapak/ibu tidak memiliki jaminan kesehatan. Selanjutnya akan diajukan beberapa pertanyaan dan pengumpulan data dari hasil pemeriksaan CT-scan dan MRI. Data yang diperoleh akan dijamin kerahasiaannya. Bapak/ibu/saudara/saudari diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum dimengerti sehubungan dengan penelitian ini.
Apabila bapak/ibu/saudara/saudari menolak untuk ikut penelitian ini, tetap akan mendapat pelayanan kesehatan yang sama baiknya.
Peneliti, Dr. Ashadi Budi Departemen THT-KL FKUI / RS. Dr. RS Cipto Mangunkusumo Telepon: 08158009191
Universitas Indonesia
Lampiran 3. Surat persetujuan mengikuti penelitian
Dengan ini saya menyatakan bahwa saya telah membaca lembar informasi penelitian. Saya telah mendapat penjelasan mengenai penelitian ini dan semua pertanyaan saya telah dijawab oleh dokter. Dengan menandatangani formulir ini, saya dengan sukarela dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian sesuai prosedur yang telah ditentukan. Nama
:
Tanggal lahir
:
Jakarta,............................2013 Jam .......................................
Tanda tangan percontoh penelitian
: (Nama Jelas : ..................................)
Peneliti
:
88
Dr. Ashadi Budi
Lampiran 4. Status Penelitian
STATUS PENELITIAN
I. IDENTITAS No Rekam Medik Nama Pasien Tanggal Lahir Umur Jenis Kelamin Alamat No telepon
No. Status Penelitian : ………………….. Tanggal Pemeriksaan ……………… : ………………….. : ………………….. : ………………….. : 1. Laki-laki 2. Perempuan : …………………………………………………. ………………………………………………….. : …………………..
II. Anamnesis a. Hidung tersumbat: 6. Tidak ada (0) 7. Kanan atau kiri (1) 8. Kedua hidung (2) b. Lama keluhan Tidak ada (0) < 3 bulan (1) 3 bulan – 1 tahun (2) > 1tahun (3) c. Pilek terus menerus >3 bulan: Tidak ada (0) Ada (1) d. Warna Ingus Tidak ada (0) Bening (1) Putih (2) Berwarna kuning/hijau (3) e. Mimisan: Tidak ada (0) Ada (1) f. Sakit kepala terus menerus/berulang >3 bulan: Tidak ada (0) Ada (1) g. Merokok: Tidak pernah (0) Pernah merokok (1) Perokok aktif (2)
89
90
h. Bersin-bersin di pagi hari > 1 bulan: Tidak ada (0) Ada (1) i. Gangguan penghidu: Tidak ada / normal (0) Sedikit terganggu (1) Tidak dapat mencium bau apapun (2)
III. Pemeriksaan fisik a. Unilateral/bilateral: Unilateral (0) Bilateral (1) b. Permukaan tumor: Licin (0) Berbenjol-benjol (1) c. Perdarahan dari tumor: Tidak mudah berdarah (0) Mudah berdarah (1) d. Pangkal tumor: Meatus medius (0) Meatus inferior (1) Tidak dapat ditentukan (2) Lain-lain (3), sebutkan ........................................... e. Kavum nasi: Tidak penuh (0) Penuh massa (1) Keluar dari kavum nasi (2)
IV. Gambaran histopatologi a. Jenis sel terbanyak Sel skuamosa (0) Transisional (1) Silindrik (2) Lainnya (3), sebutkan ..................... b. Jenis papiloma Inverted saja Endofitik dan eksofitik c. Sel koilosit: Tidak ada (0) Ada (1) Tidak disebutkan (2) d. Mitosis ditemukan: Tidak ada (0) Ada (1)
Universitas Indonesia
Lampiran 5. Dummy table
Tabel 1. Penilaian pre-operatif Variabel yang diperiksa
Kanan
Kiri
Prediksi lokasi asal tumor Sinus paranasal yang terlibat Etmoid anterior Etmoid posterior Maksila Dinding medial/superior Dinding lain Sfenoid Frontal Stadium tumor
Tabel 2. Karakteristik subjek Karakteristik
Jumlah (n)
Umur
<30 tahun
31 – 60 tahun
>60 tahun
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Merokok
Tidak pernah
Aktif
Pernah
Riwayat Mimisan Keluhan rinosinusitis kronis Keluhan rinitis alergi Hiposmia Anosmia
91
Persentase (%)
92
Lokasi
Unilateral
Bilateral
Histologi
Sel skuamosa
Transisional
Silindrik
Tabel 3. Distribusi variabel berdasarkan berbagai modalitas Variabel
POCT
POMRI
PSO
(n=10)
(n=10)
(n=10)
1. Lokasi a. Konka media b. Dinding lateral c. Sinus maksila c. Sinus etmoid 2. Keterlibatan sinus paranasal a. Sinus etmoid anterior b. Sinus etmoid posterior c. Sinus maksila d. Sinus sfenoid e. Sinus frontal 3. Stadium sistem Krouse 1. Stadium T1 2. Stadium T2 3. Stadium T2 4. Stadium T4
Universitas Indonesia
93
Tabel 4. Perbandingan kesesuaian penilaian prediksi perlekatan tumor pada CT-scan dan MRI dibandingkan dengan baku emas Subjek
POCT
POMRI
PSO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 5. Perbandingan kesesuaian penilaian keterlibatan sinus paranasal pada CT-scan dan MRI dibandingkan dengan baku emas Subjek
POCT
POMRI
PSO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Universitas Indonesia
94
Tabel 6. Perbandingan kesesuaian penetapan stadium tumor sistem Krouse pada CT-scan dan MRI dibandingkan dengan baku emas Subjek
POCT
POMRI
PSO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 7. Analisis data uji kesesuaian penilaian lokasi asal tumor pada CT-scan dan MRI POMRI
POCT
Sesuai
Tidak sesuai
Jumlah
Sesuai Tidak sesuai Jumlah
Tabel 8. Analisis data uji kesesuaian penilaian keterlibatan sinus paranasal pada CT-scan dan MRI POMRI
POCT
Sesuai
Tidak sesuai
Jumlah
Sesuai Tidak sesuai Jumlah
Universitas Indonesia
95
Tabel 9. Analisis data uji kesesuaian penetapan stadium pada CT-scan dan MRI POMRI
POCT
Sesuai
Tidak sesuai
Jumlah
Sesuai Tidak sesuai Jumlah
Universitas Indonesia
Lampiran 6. Tabel Induk
No
Nama
Jenis kelamin
Usia
Hidung tersumbat
Lama Keluhan
Pilek >3bl
Ingus
Mimisan
Sakit Kepala
Merokok
Bersin pagi >1bl
Ggn penghidu
uni/bil
permukaan
Perdarahan
Pangkal
Papiloma
Karsinoma
Tabel Karakteristik subjek penelitian
1 2 (R) 3 4 5 6 7 8 9 (R) 10
RW MT CS AN MR HT TH AJ CM YT
0 1 1 0 1 0 1 1 1 0
50 28 42 48 32 53 28 78 40 22
1 0 1 1 2 1 1 1 2 1
2 3 2 2 3 2 2 1 3 3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 0 1 1
0 0 1 0 0 0 0 0 1 1
1 0 1 1 1 0 0 1 1 1
0 1 0 0 2 0 0 1 2 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0 0 2 2 0
0 0 0 0 0 0 0 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 2 2 1 2 2 2 2 2 1
0 0 0 0 1 0 0 0 1 0
Keterangan (R) Jenis kelamin
: Tumor rekuren : 0= Wanita, 1= Pria
Hidung tersumbat Lama keluhan 3= >1 tahun Pilek >3bulan Ingus Mimisan
: 0= Tidak ada, 1= Unilateral, 2= Bilateral : 0= Tidak ada, 1= <3 bulan, 2= 3 bulan – 1 tahun,
Bersin pagi >1 bl Ggn penghidu Uni/bilateral Permukaan Perdarahan Pangkal Papiloma Karsinoma
: 0= Tidak ada, 1= ada : 0= Tidak ada, 1= bening/putih, 2= kuning/hijau : 0= Tidak ada, 1= ada
96
: 0= Tidak ada, 1= ada : 0= Tidak ada, 1= hiposmia, 2= anosmia : 0= Unilateral, 1= bilateral : 0= Licin, 1= berbenjol-benjol : 0= Tidak mudah berdarah, 1= mudah berdarah : 0= Tidak tampak, 1= tampak : 1= inverted, 2= inverted & eksofitik, 3= onkotik : 0= Tidak ada, 1= mitosis, 2= karsinoma
Universitas Indonesia
97
Tabel hasil prediksi CT-scan
3
CS
1
42
4 5
AN MR
0 1
6
HT
7 8 9 (R) 10
TH AJ CM YT
KMRI
28
KCT
1
Stadium
MT
Frontal
2 (R)
Dinding lateral posterior, Dinding maksila posterior Lamina papirasea, frontal
Sfenoid
50
Max lain
Usia
0
Max med
Jenis kelamin
RW
Eth Post
Nama
1
Skor Lokasi asal
Eth Ant
No
CT-scan Sinus
0
0
1
1
0
0
3
2
2
1
0
0
0
0
1
4
2
1
Dinding anterior sinus maksila
0
0
1
1
0
0
3
2
2
48 32
Lamina papirasea Konka inferior
1 0
1 0
1 1
1 1
0 0
1 0
3 4
2 1
2 1
0
53
Prosesus unsinatus
0
0
1
0
0
0
2
2
2
1 1 1 0
28 78 40 22
Dinding lateral kavum nasi Konka media Konka media Prosesus unsinatus
0 1 1 1
0 1 1 0
1 0 1 1
1 0 1 0
0 0 0 0
0 0 1 0
3 4 4 2
2 1 2 2
2 0 1 1
Lokasi Asal
Keterangan Jenis kelamin (R) KCT KMRI Sinus Skor Lokasi Asal
: 0= Wanita, 1= Pria : Tumor rekuren : Kesesuaian CT-scan dengan penemuan saat operasi : Kesesuaian MRI dengan penemuan saat operasi : 0= Tidak ada, 1= Ada : 0= Tidak sesuai, 1= Sesuai sebagian, 2= Sesuai
Universitas Indonesia
98
Tabel hasil prediksi MRI
No
Nama
Jenis kelamin
Usia
Eth Ant
Eth Post
Max med
Max lain
Sfenoid
Frontal
CCP
Stadium
KCT
KMRI
MRI Sinus
1
RW
0
50
Dinding lateral posterior, sinus maksila
0
0
1
1
1
0
2
3
1
1
2 (R)
MT
1
28
Etmoid anterior, posterior, frontal
1
1
0
0
0
1
1
4
2
1
3
CS
1
42
0
0
1
1
0
0
2
3
1
1
4 5 6 7
AN MR HT TH
0 1 0 1
48 32 53 28
Dinding anterior sinus maksila, dinding lateral kavum nasi Lamina papirasea Konka inferior Prosesus unsinatus Dinding lateral kavum nasi
1 1 0 0
1 0 0 0
1 0 0 1
1 0 0 1
0 0 0 0
1 0 0 0
2 1 1 2
3 4 1 3
1 0 1 1
1 0 0 1
8
AJ
1
78
Kavum nasi
1
1
0
0
0
0
1
4
1
1
9 (R) 10
CM YT
1 0
40 22
Konka media, frontal Dinding lateral kavum nasi
1 0
1 0
1 1
1 0
0 0
1 0
2 1
4 2
2 2
2 1
Lokasi Asal
Skor Prediksi Sinus
Keterangan Jenis kelamin (R) KCT KMRI Sinus Skor prediksi sinus CCP
: 0= Wanita, 1= Pria : Tumor rekuren : Kesesuaian CT-scan dengan penemuan saat operasi : Kesesuaian MRI dengan penemuan saat operasi : 0= Tidak ada, 1= Ada : 0= Tidak sesuai, 1= Sesuai sebagian, 2= Sesuai : 0= Tidak ada CCP & SCF, 1= Hanya CCP, 2= Tampak CCP & SCF
Universitas Indonesia
99
Tabel hasil penemuan saat operasi
No
Nama
Jenis kelamin
Usia
Eth Ant
Eth Post
Max med
Max lain
Sfenoid
Frontal
Stadium
Operasi
1
RW
0
50
Dinding lateral, Dinding maksila posterior
1
0
1
1
0
0
3
2 (R)
MT
1
28
Lamina papirasea, dinding lateral sinus frontal
1
0
0
0
0
1
4
3 4 5 6 7 8 9 10 (R)
CS AN MR HT TH AJ CM
1 0 1 0 1 1 1
42 48 32 53 28 78 40
Dinding anterior sinus maksila, dinding lateral kavum nasi Lamina papirasea Konka inferior, dinding lateral kavum nasi Prosesus unsinatus Dinding lateral kavum nasi Konka media, dasar duramater, sinus etmoid posterior Konka media
1 1 0 1 1 1 1
0 1 0 0 1 1 1
1 1 0 1 1 0 1
1 1 0 0 1 0 1
0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 1 1
3 3 4 2 3 4 4
YT
0
22
Prosesus unsinatus
1
0
1
0
0
0
2
Sinus Lokasi Asal
Keterangan Jenis kelamin (R) Sinus Skor
: 0= Wanita, 1= Pria : Tumor rekuren : 0= Tidak ada, 1= Ada : 0= Tidak sesuai, 1= Sesuai sebagian, 2= Sesuai
Universitas Indonesia