PERBANDINGAN NYERI PASCA HERNIOPLASTY SHOULDICE “PURE TISSUE” DENGAN LICHTENSTEIN “ TENSION FREE” ALBINER SIMARMATA Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Nyeri pasca operasi hernioplasty secara langsung terjadi karena rangsang mekanis akibat tarikan pada jaringan miopektineal untuk menutup defek melalui serabut saraf A α dan serabut saraf C, secara tidak langsung melalui rangsang khemis akibat cedera jaringan melalui serabut C (Ganong, 1995). Rasa nyeri yang timbul akibat operasi dinding abdomen biasanya ringan–sedang 10–15 % nyeri lebih berat, 30–50 % sedang, lebih dari 50 % nyeri ringan yang sering tidak memerlukan analgesia. Menurut Bonica (1990), biasanya periode nyeri akut rata-rata 1,5 hari (1-3 hari). Untuk mengatasi nyeri pasca operasi seringkali harus diberikan obat analgesik, utamanya golongan NSAID, non narkotik analgesik atau narkotika (Anan, 2000). Hernia inguinalis merupakan kasus bedah digestif terbanyak setelah apendektomi. Sampai saat ini masih merupakan tantangan dalam peningkatan status kesehatan masyarakat karena besarnya biaya yang diperlukan dalam penanganannya dan hilangnya tenaga kerja akibat lambatnya pemulihan dan angka rekurensi. Dari keseluruhan jumlah operasi di Perancis tindakan bedah hernia sebanyak 17,2 % dan 24,1 % di USA (Aguifili, 1997). Beberapa modifikasi tehnik hernioplasty dari Bassini Shouldice dan Mc Vay diterima sebagai tindakan baku hernioplasty oleh sebagian besar ahli bedah selama lebih dari satu abad. Secara tehnis shouldice lebih kompleks tetapi relatif tidak sulit, struktur anatomi lebih dapat dikenali sehingga kemungkinan “missed hernia” tidak terjadi dan rasa nyeri pasca operasi lebih ringan (Amid, 2000). Kemajuan terpenting dalam penatalaksanaan hernia inguinal setelah Newman memperkenalkan tehnik menutup defek miopektineal “tanpa regangan” dengan memakai bahan sintetis yang selanjutnya dikenal sebagai LICHTENSTEIN “TENSION FREE”. Metode ini memberikan hasil lebih baik dari sebelumnya : dimana pemulihan lebih awal, kebanyakan penderita kembali bekerja dalam 2 minggu, nyeri pasca operasi minimal and rekurensi 0,1 % (Amid, 1997).
1. 2. Perumusan Masalah Apakah ada perbedaan nyeri akibat perbedaan tehnik operasi.
©2003 Digitized by USU digital library
1
BAB II TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT 2.1.
Tujuan Penelitian Membandingkan rasa nyeri pasca operasi hernioplasty menurut Shouldice dengan Lichtenstein.
2.2.
Kontribusi Penelitian Pemakaian metode Lichtenstein dapat disosialisasikan kepada residen bedah.
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1.
Sejarah Hernia inguinal sudah dicatat sebagai penyakit pada manusia sejak tahun 1500 sebelum Masehi dan merngalami banyak sekali perkembangan seiring bertambahnya pengetahuan struktur anatomi pada regio inguinal (Abrahamson, 1997). Cooper 1804 menyatakan ”no disease of the human body belonging to the province of surgeons require in its treatment agreater combination of accurate anatomical knowlodge with surgical skill than hernia in all varieties” karena selama kurun waktu itu didapat laporan yang sangat bervariasi dalam penatalaksanaannya (Wantz, 1994). Era modern penatalaksanaan hernia inguinal dimulai sejak tahun 1887 oleh E. Bassini dengan mengembalikan fungsi anatomis dinding belakang kanalis inguinal. Berbagai variasi tehnik Bassini, khususnya shouldice mendapat tempat yang luas pada komunitas bedah di Amerika Utara. Karena memberikan hasil yang lebih baik. Pada tahun 1993 Lichtenstein melaporkan konsep baru penguatan dinding belakang kanalis inguinal degan bahan sintetis, memberikan hasil yang lebih dibanding cara konvensional selama 10 tahun penelitiannya. Konsep ini merapakan kemajuan terpenting dalam penatalasanaan hernia inguinal dan dianggap sebagai suatu revolusi (Abrahamson,1997). Telah terjadi perubahan pola pikir dalam pengelolaan hernia inguinal, mencakup: (Fitzgibbons, 2000) - penggunaan bahan sintetis - penerimaan tehnik tension free - penggunaan laparoskopi Menurut Litwin tindakan hernioplasty pada era modern harus dapat dievaluasi dan memberikan hasil yang lebih baik mencakup: (Wexler, 1997) - Kesulitan tehnik - Komplikasi yang terjadi - Waktu pemulihan - Rehabilitasi termasuk: -periode nyeri pasca operasi - Kembali kepekerjaan - Rekurensi - Beban ekonomi
3.2.
Definisi Hernia inguinalis adalah suatu penonjolan abnormal organ perut melalui daerah yang lemah (defek) atau adanya kombinasi suatu defek dan kantong sedang protrusi tidak selalu harus ada (Divilio, 1997).
©2003 Digitized by USU digital library
2
3.3.
Insidensi Diperkirakan 15 % populasi dewasa menderita hernia inguinal, 5-8 % pada rentang usia 25-40 tahun dan mencapai 45 % pada usia 75 tahun. Hernia inguinalis dijumpai 25 kali lebih banyak pada pria dibanding perempuan.
3.4.
Etiologi Penyebab terjadinya hernia inguinal masih kontroversi, tetapi diyakini ada tiga penyebab : - Peninggian tekanan intra abdomen yang berulang. - Adanya kerlemahan jaringan /otot. - Tersedianya kantong.
diliputi
berbagai
3.5.
Klasifikasi Dari berbagai klasifikasi yang ada, Divilio (1997) menganjurkan menggunakan klasifikasi menurut Gilbert karena aplikasi klinis yang lebih mudah: 1. cincin internal sempit. 2. cincininternal ada celah 1 jari 3. cincin internal ada celah 2 jari 4. kelemahan dinding posterior 5. ada defek 1 jari pada dinding posterior 6. pentaloon hernia 7. femoral hernia.
3.6.
Gambaran Klinia dan Diagnosa Gambaran klinis hernia inguinalis sangat dipengaruhi keadaan isi kantong hernia. Sering kali penderita hanya mengeluh adanya benjolan dilipat paha/kantung pelir bila beraktivitas, mengejan atau berbatuk dan akan menghilang bila penderita tidur. Adakalanya hanya merasa tidak enak disekitar lipat paha. Kecuali ada penyulit yang bersifat akut dengan keluhan penyumbatan. Pemeriksaan fisik pada orang dewasa biasanya cukup dengan inspeksi dimana tampak benjolan seperti buah pear paralel dengan ligamentum inguinal, atau lebih bulat kearah medial yang tidak memasuki skrotum bila suatu hernia direkta. Palpasi dilakukan setelah benjolan direduksi jari diinsersikan melalui cincin eksterna pemeriksa akan dapat merasakan impuls dorongan pada ujung jari pada hernia indirekta dan pada sisi jari bila hernia direkta . Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan fisik semata, tidak diperlukan alat bantu diagnostik yang canggih (Divilio, 1997).
3.7.
Anatomi Pembedahan Inguinal Hernia Regio inguinal merupakan batas bawah abdomen dengan fungsi yang terdiri atas lapisan miopaneurotis. Penamaan struktur anatomi di daerah ini banyak memakai nama penemunya sebagai pengakuan atas kontribusi mereka. Dalam bukunya Skandalakis (1995), dinding abdomen pada dasar inguinal terdiri dari susunan multi laminer dan seterusnya. Pada dasarnya inguinal dibentuk dari lapisan: 1. Kulit (kutis). 2. Jaringan sub kutis (camper’s dan scarpa’s) yang berisikan lemak. 3. Innominate fasia (Gallaudet) : lapisan ini merupakan lapisan superfisial atau lapisan luar dari fasia muskulus obliqus eksternus. Sulit dikenal dan jarang ditemui.
©2003 Digitized by USU digital library
3
4.
Apponcurosis muskulus obliqus eksternus, termasuk ligamentum inguinale (Poupart), Lakunare (Gimbernat) dan Colle’s. 5. Spermatik kord pada laki-laki, ligamen rotundum pada wanita. 6. Muskulus transversus abdominis dan aponeurosis muskulus obliqus internus, falx inguinalis (Henle) dan konjoin tendon. 7. Fasia transversalis dan aponeurosis yang berhubungan dengan ligamentum pectinea (Cooper), iliopubic tract, falx inguinalis dan fasia transversalis. 8. Preperitoneal connective tissue dengan lemak. 9. Peritoneum 10. Superfisial dan deep inguinal ring. Bila dilihat dari lapisan-lapisan pada anatomi bedah inguinal di atas, maka lokasi hernia itu sendiri seperti Gambar di bawah ini.
3.7.1. Kanalis Inguinalis Kanalis inguinalis adalah saluran yang berjalan oblik (miring) dengan panjang 4 cm dan terletak 2-4 cm di atas ligamentum inguinale. Dinding yang membatasi kanalis inguinalis adalah: Anterior : Dibatasi oleh aponeurosis muskulus obliqus eksternus dan 1/3 lateralnya muskulus obliqus internus. Posterior: Dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus abdominis yang bersatu dengan fasia transversalis dan membentuk dinding posterior dibagian lateral. Bagian medial dibentuk oleh fasia transversa dan konjoin tendon, dinding posterior berkembang dari aponeurosis muskulus transversus abdominis dan fasia transversal. Superior: Dibentuk oleh serabut tepi bawah muskulus obliqus internus dan muskulus transversus abdominis dan aponeurosis. Inferior : Dibentuk oleh ligamentum inguinale dan lakunare. Bagian ujung atas dari kanalis inguinalis adalah internal inguinal ring. Ini merupakan defek normal dan fasia transversalis dan berbentuk huruf “U” dan “V” dan terletak di bagian lateral dan superior. Batas cincin interna adalah pada bagian atas muskulus transversus abdominis, iliopublik tract dan interfoveolar (Hasselbach) ligament
©2003 Digitized by USU digital library
4
dan pembuluh darah epigastrik inferior di bagian medial. External inguinal ring adalah daerah pembukaan pada aponeurosis muskulus obliqus eksternus, berbentuk “U” dangan ujung terbuka ke arah inferior dan medial. Isi kanalis inguinalis pria : a. Duktus deferens b. 3 arteri yaitu : 1. Arteri spermatika interna 2. Arteri diferential 3.Arteri spermatika eksterna c. Plexus vena pampiniformis d. 3 nervus: 1. Cabang genital dari nervus genitofemoral 2. Nervus ilioinguinalis 3. Serabut simpatis dari plexus hipogastrik e. 3 lapisan fasia: 1. Fasia spermatika eksterna, lanjutan dari fasia innominate. 2. Lapisan kremaster, berlanjut dengan serabut-serabut muskulus obliqus internus dan fasia otot. 3. Fasia spermatika interna, perluasan dari fasia transversal. 3.7.2. Struktur anatomi keseluruhan di daerah Inguinal 1. Fasia Superfisialis Fasia ini terbagi dua bagian, superfisial (Camper) dan profundus (Scarpa). Bagian superfisial meluas ke depan dinding abdomen dan turun ke sekitar penis, skrotum, perineum, paha, bokong. Bagian yang profundus meluas dari dinding abdomen ke arah penis (Fasia Buck). 2. Ligamantum Inguinale (Poupart) Merupakan penebalan bagian bawah aponeurosis muskulus obliqus eksternus. Terletak mulai dari Sias sampai ke ramus superior tulang publis. 3. Aponeurosis muskulus obliqus eksternus Di bawah linea arkuata (Douglas), bergabung dengan aponeurosis muskulus obliqus internus dan transversus abdominis yang membentuk lapisan anterior rektus. Aponeurosis ini membentuk tiga struktur anatomi di dalam kanalis inguinalis berupa ligamentum inguinale, lakunare dan refleksi ligamentum inguinale (Colles). 4. Ligamentum lakunare (Gimbernat) Merupakan paling bawah dari ligamentum inguinale dan dibentuk dari serabut tendon obliqus eksternus yang berasal dari daerah Sias. Ligamentum ini membentuk sudut kurang dari 45 derajat sebelum melekat pada ligamentum pektineal. Ligamentum ini membentuk pinggir medial kanalis femoralis. 5. Ligamentum pektinea (Cooper) Ligamentum ini tebal dan kuat yang terbentuk dari ligamentum lakunare dan aponeurosis muskulus obliqus internus, transversus abdominis dan muskulus pektineus. Ligamentum ini terfiksir ke periosteum dari ramus superior pubis dan ke bagian lateral periosteum tulang ilium.
©2003 Digitized by USU digital library
5
6.
7.
8.
9. 10.
11. 12.
Konjoin tendon Merupakan gabungan serabut-serabut bagian bawah aponeurosis obliqus internus dengan aponeurosis transversus abdominis yang berinsersi pada tuberkulum pubikum dan ramus superior tulang pubis. Falx inguinalis (Ligamentum Henle) Terletak di bagian lateral, vertikal dari sarung rektus, berinsersi pada tulang pubis, bergabung dengan aponeurosis transversus abdominis dan fasia transversalis. Ligamentum interfoveolaris (Hasselbach) Sebenarnya bukan merupakan ligamentum, tapi penebalan dari fasia transversalis pada sisi medial cincin interna. Letaknya inferior. Refleksi ligamentum inguinale (Colles’) Ligamentum ini dibentuk dari serabut aponeurosis yang berasal dari crus inferior cincin externa yang meluas ke linea alba. Traktus iliopubika Perluasan dari arkus iliopektinea ke ramus superior pubis, membentuk bagian dalam lapisan muskulo aponeurotik bersama muskulus transversus abdominis dan fasia transversalis. Traktus ini berjalan di bagian medial, ke arah pinggir inferior cincin dalam dan menyilang pembuluh darah femoral dan membentuk pinggir anterior selubung femoralis. Fasia transversalis Tipis dan melekat erat serta menutupi muskulus transversus abdominis. Segitiga Hasselbach Hasselbach tahun 1814 mengemukakan dasar dari segi tiga yang dibentuk oleh pekten pubis dan ligamentum pektinea. Segitiga ini dibatasi oleh : Supero-lateral : Pembuluh darah epigastrika inferior Medial : Bagian lateral rektus abdominis. Inferior : Ligamentum ingunale.
(Gambar struktur anatomi inguinal dikutip dari Swartz Principle of Surgery 6 th ed 1994)
©2003 Digitized by USU digital library
6
3.8
Hernioplasty 3.8.1. Shouldice Menurut Abrahamson (1997) prinsip dasar tehnik Shouldice adalah Bassini multi layer, di klinik khusus hernia Shouldice digunakan kawat baja no 32 atau 34 untuk menjahit defek dinding posterior kanal inguinal. Tetapi penggunaan benang monofilamen sintetis non absorbsi lebih biasa dipakai diluar Toronto. Adapun tahapan hernioplasty menurut Shouldice: Langkah pertama: Setelah dilakukan insisi garis kulit sampai fasia, dengan preparasi saraf ilioinguinal dan iliohipogastrika, bebaskan funikulus dari fasia transversalis sampai ke cincin interna, membuang kantong dan ligasi setinggi mungkin.
Dilanjutkan dengan memotong fasia transversalis dan membebaskan lemak pre peritoneal.
©2003 Digitized by USU digital library
7
Langkah berikutnya dilakukan rekonstruksi dinding belakang inguinal dengan jahitan jelujur membuat suatu flap dari tepi bawah fasia ke bagian belakang flap superior, usahakan titik jahitan tidak segaris dengan jarak 2-4 mm.
Bagian flap superior yang berlebih dijahitkan kembali pada lapisan dibawahnya dengan jelujur membentuk lapisan ke dua (gambarA). Demikian seterusnya dengan menjahit tendon konjoin ke ligamentum inguinal membentuk lapisan ke tiga (gambar B). Kemudiaan penjahitan aponeorosis obliqus eksterna membentuk lapisan ke empat (gambar C).
3.8.2. Lichtenstein Tension free Tehnik pemasangan mesh pada Lichtenstein seperti berikut (Wexler, 1997) : 1. Dilakukan terlebih dahulu herniotomi.
©2003 Digitized by USU digital library
8
2. Letakkan bahan mesh ukuran 10x5 cm diletakkan di atas defek, disebelah bawah spermatik kord. 3. Dilakukan penjahitan dengan benang non absorbsi 3-0 ke arah : - Medial : perios tuberkulum pubikum. - Lateral : melingkari spermatik kord. - Superior : pada konjoin tendon. - Inferior : pada ligamentum inguinal. Gambar setelah pemasangan mesh
Karena penjahitan pada tehnik Shouldice dilakukan cara jelujur tidak terputus pada titik yang berbeda kesegarisannya menyebabkan tarikan yang terjadi menyebar dan terdistribusi dibanyak titik sehingga rasa nyeri menjadi tidak dominan disatu tempat. Hal inilah yang menyebabkan keluhan rasa nyeri pasca operasi menjadi lebih ringan dibanding tehnik konvensional lainnya (Abrahamson, 1997). Penggunaan material sintetis sebagai penutup defek miopektineal dinding belakang kanalis inguinal memerlukan persyaratan tertentu, prostesis yang dipakai harus cukup kuat sebagai penyangga, tidak bersikap alergen, mempunyai potensi untuk menimbulkan respon inflamasi dan cepat berintegrasi dengan jaringan sekitar. Agar integrasi menjadi solid, prostesis berupa anyaman yang berpori sehingga jaringan tumbuh diantara pori-pori tersebut. Polypropylene mesh dikategorikan memiliki sifat tersebut serta mampu bersifat permanen sehingga tidak diperbolehkan kontak langsung dengan organ visera karena akan menimbulkan perlengketan serta obstruksi atau pembentukan fistula. Saat ini polypropylen mesh dipilih sebagai prostesis baku dalam petatalaksanaan hernio plasty (Wexler, 1997). Hernioplasty dengan polypropylene mesh mencegah terjadinya peregangan sewaktu rekonstruksi dinding belakang kanalis inguinal sehingga perasaan nyeri pasca operasi dapat berkurang dengan nyata. Diikuti pemulihan dan kembali kepada aktivitas rutin yang lebih dini, serta pencegahan rekurensi jangka panjang. Pemulihan dan kemampuan kerja setelah operasi ternyata sangat dipengaruhi oleh rasa sakit (Callesen, 1999). Bax (1999) melaporkan dengan polypropylene mesh lebih dari 60% pekerja kasar dan lebih dari 90% pekerja kantoran telah dapat bekerja dalam 10 hari. Ismail (2000) melaporkan 74 % penderita telah kembali mengemudikan mobil dalam 10 hari, 49 % diantaranya dalam 7 hari. Untuk mencegah rekurensi jangka panjang penggunaan material harus cukup lebar untuk menutup seluruh defek miopektineal (dengan ukuran 10 x 5 cm), tidak terjadi lipatan-lipatan, melingkari bagian dari spermatik kord di daerah kanalis inguinal interna.
©2003 Digitized by USU digital library
9
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1.
Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental dengan membandingkan rasa nyeri pasca operasi hernioplasty menurut Shouldice dengan Lichtenstein.
4.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Rumah sakit H Adam Malik, RSUD Pirngadi Medan dan Rumah Sakit pendidikan lain dari Juni 2002 sampai dengan Januari 2003.
4.3.
Populasi Penelitian Sebanyak 60 orang penderita hernia inguinalis primer yang dipersiapkan secara elektif, 30 penderita dilakukan Shouldice, 30 lainnya dengan Lichtenstein.
4.4.
Pelaksanaan Penelitian Masing-masing penderita dinilai intensitas nyeri pada lembar isian yang telah disiapkan dengan range intensitas nyeri (0–10). Pada hari operasi (0) : penderita immobilisasi. Pada hari I : penderita mobilisasi. Pada hari II : penderita jalan. Pada hari III : penderita pulang Pada hari V/VII : sewaktu kontrol Pada hari XIV : ditanyakan apakah penderita sudah dapat melakukan aktifitas harian seperti biasa
4.5.
Pengolahan Data Analisa data dengan Kruskal-Wallis untuk membandingkan dari hari ke hari peringkat nyeri dari tiap kelompok Lichtenstein dan Shouldice. Sementara perbandingan intensitas nyeri antara Lichtenstein dan Shouldice dianalisa dengan Wilcoxon rank test.
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1.
Hasil Penelitian Dari 60 penderita Hernia Inguinal Lateral telah dilakukan tindakan Hernioplasty menurut Shouldice pada 30 penderita. Dan 30 penderita lainnya dengan Lichtenstein dan didapat data sebagai berikut :
©2003 Digitized by USU digital library
10
Tabel 1. Karakteristik Penderita Uraian Jumlah penderita Umur penderita Jenis hernia inguinal a. Lateral b. Medialis c. Bilateral Tindakan anastesi General Spinal Lamanya operasi (menit) Unilateral Bilateral
Hernioplasty Lichtenstein
Shouldice
n = 30 53,8 (22 – 73)
n = 30 44,9 (20-70)
28 2 -
27 2 1
18 12
30 -
62,6 (45-90) -
69,1 (60 – 90 120
Tabel 2. Distribusi Umur Penderita Uraian
L
S
Total
20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 – 69 > 70
1 1 7 11 5 5
8 4 5 8 2
9 5 13 19 7 8
n x SD
30 53,8 12,9
30 44,9 15,4
3(1B)
Tampak usia terbanyak 40–49 tahun pada Lichtenstein dengan ratarata 53,8 + 12,9 , sedang pada Shouldicel dengan usia rata-rata 44,9 + 15,4.
©2003 Digitized by USU digital library
11
Tabel 3. Lamanya Operasi Menurut Tindakan Uraian
L
S
41 – 50 51 – 60 61 – 70 71 – 80 81 – 90 > 91
5 18 4 1 2 -
16 3 4 6 1(B)
Σ x SD
30 62,6 10,5
30 69,1 12,0
Waktu yang diperlukan untuk operasi Lichtenstein 62,6 + 10,5 dan pada Shouldice 69 + 12,0 , kebanyakan diantaranya 51–60 menit. Sedangkan pada bilateral diperlukan 120 menit.
©2003 Digitized by USU digital library
12
Tabel 4. Peringkat Rata-Rata Intensitas Nyeri pada Lichtenstein
Penderita
Hari
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
0 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 3 3 2 3 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
I 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 4 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3
II 3 4 4 3 3 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4
III 1 1 2 1 1 1 1 2 2 3 2 2 2 2 2 1 1 2 2 1 1 1 2 2 2 3 3 2 2 2
V 1 1 1 0 0 0 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3 1 1 1
VII 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 3 1 1 1
61
83
118
52
32
17
X
2,03
2,77
3,93
1,73
1,07
0,57
SD
0,49
0,63
0,58
0,64
0,58
0,68
Dengan analisa Kruskal-Wallis didapat: a. Hari 0 – VII p < 0,001 b. Hari 0 – II p < 0,001 d. Hari III – VII p < 0,001
©2003 Digitized by USU digital library
13
Dari data terlihat peningkatan intensitas nyeri yang dirasakan penderita pada hari 0–II dengan sangat bermakna (p< 0,001) dari hari ke hari. Sebaliknya pada hari ke III, V, hari terakhir pengamatan terjadi penurunan intensitas nyeri yang dirasakan penderita dengan sangat bermakna (p<0,001) dari hari ke hari. Tabel 5. Peringkat Rata-Rata Intensitas Nyeri pada Shouldice
Penderita
Hari 0 4 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 4
I 4 4 3 4 3 4 2 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3
II 5 5 5 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 5 3 4 3 3 4 5 3 4 4 5 4 5 5 4 5
III 3 3 3 3 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 3 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2
V 2 2 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2
VII 1 1 1 1 1 1 0 2 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 2 1
89
103
123
63
41
23
x
2,97
3,43
4,1
2,1
1,37
0,8
SD
0,56
0,57
0,71
0,55
0,49
0,56
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
©2003 Digitized by USU digital library
14
Dengan analisa a. Hari 0–VII b. Hari 0–II e. Hari III–VII
Kruskal-Wallis didapat: p < 0,001 p < 0,001 p < 0,001
Dari data terlihat peningkatan intensitas nyeri yang dirasakan penderita pada hari 0–II dengan sangat bermakna (p< 0,001) dari hari ke hari. Sebaliknya pada hari ke III, V, hari terakhir pengamatan terjadi penurunan intensitas nyeri yang dirasakan penderita dengan sangat bermakna (p<0,001) dari hari ke hari. Diagram 1. Diagram Rata-Rata Intensitas Nyeri pada Shouldice dan Lichtenstein
Pada hari 0, intensitas nyeri yang dirasakan penderita dengan metode Lichtenstein dan Shouldice tidak sama. Dengan perlakuan Lichtenstein dirasakan intensitas nyeri yang lebih ringan secara sangat bermakna (p< 0,001) dibandingkan terhadap Shouldice. Perbedaan ini terus dijumpai sampai pada hari VII pengamatan, namun pada hari II dan VII meskipun intensitas nyeri pada penderita yang mendapat perlakuan Lichtenstein tetap lebih rendah, tetapi secara statistik tidak dijumpai perbedaan bermakna p > 0,05.
©2003 Digitized by USU digital library
15
Tabel 6. Peringkat Rata-Rata Intensitas Nyeri pada Lichtenstein dengan Spinal Anastesi Penderita
Hari 0
I
II
III
V
VII
2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2
2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2
3 4 4 3 3 3 4 3 4 4 4 3
1 1 2 1 1 1 1 2 2 3 2 2
1 1 1 0 0 0 1 1 2 1 1 1
0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
21
26
42
19
10
3
X
1,75
2,17
3,5
1,58
0,83
0,25
SD
0,45
0,39
0,52
0,67
0,55
0,45
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Dengan analisa Kruskal-Wallis didapat: a. Hari 0 – VII p < 0,001 b. Hari 0 – II p < 0,001 c. Hari III – VII p < 0,001 Dari data terlihat peningkatan intensitas nyeri yang dirasakan penderita pada hari 0 – II dengan sangat bermakna (p< 0,001) dari hari ke hari. Sebaliknya pada hari ke III, V, hari terakhir pengamatan terjadi penurunan intensitas nyeri yang dirasakan penderita dengan sangat bermakna (p<0,001) dari hari ke hari.
©2003 Digitized by USU digital library
16
Tabel 7. Peringkat Rata-Rata Intensitas Nyeri pada Lichtenstein dengan General Anastesi Penderita
Hari 0
I
II
III
V
VII
1
3
4
4
2
2
1
2
3
3
4
2
1
0
3
2
3
4
2
1
1
4
3
4
5
1
1
0
5
2
3
4
1
1
1
6
3
3
4
2
1
0
7
2
3
4
2
1
0
8
2
3
5
1
1
0
9
2
3
5
1
1
1
10
2
3
4
1
1
0
11
2
3
5
2
1
1
12
2
3
4
2
1
1
13
2
3
4
2
1
1
14
2
3
4
3
2
1
15
2
3
4
3
3
3
16
2
3
4
2
1
1
17
2
4
4
2
1
1
18
2
3
4
2
1
1
40
57
76
33
22
14
X
2,22
3,22
4,22
1,83
1,22
0,78
SD
0,43
0,34
0,43
0,62
0,55
0,72
Dengan analisa Kruskal-Wallis didapat: a. Hari 0 – VII p < 0,001 b. Hari 0 – II p < 0,001 c. Hari III – VII p < 0,001 Dari data terlihat peningkatan intensitas nyeri yang dirasakan penderita pada hari 0–II dengan sangat bermakna (p < 0,001) dari hari ke hari. Sebaliknya pada hari ke III, V, hari terakhir pengamatan terjadi penurunan intensitas nyeri yang dirasakan penderita dengan sangat bermakna (p<0,001) dari hari ke hari.
©2003 Digitized by USU digital library
17
Diagram 2. Diagram Peringkat Rata-Rata Intensitas Nyeri pada Lichtenstein dengan General dan Spinal Anastesi
Pada hari 0 intensitas nyeri yang dirasakan penderita Hernioplasty Lichtenstein dengan mendapat spinal atau general anastesi tidak sama. Penderita yang mendapat spinal anastesi merasakan intensitas nyeri yang lebih ringan dibanding dengan general secara bermakna (p < 0,005). Perbedaan intensitas nyeri masih dijumpai sampai hari terakhir pengamatan. Meskipun intensitas nyeri tetap lebih rendah pada hari ke III, namun secara statistik tidak dijumpai perbedaan yang bermakna (p< 0,05). Pada hari XIV ditanyakan kepada semua penderita baik kelompok Lichtenstein maupun Shouldice apakah penderita sudah merasa pulih dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Seluruh responden n = 60 ternyata sudah dapat melakukan aktivitas sehari-hari. 5.2.
Pembahasan Insiden hernia inguinal yang sebenarnya di dunia termasuk di Indonesia belum diketahui, diperkirakan 10–15 % dari populasi dewasa. Insiden hernia inguinal menurut usia diperkirakan meningkat seiring pertambahan usia yaitu pada rentang 25–40 tahun 5–8 %, di atas 75 tahun 45 %. Sedang menurut jenis kelamin insiden hernia inguinal pada pria 25 x lebih banyak dijumpai dari pada wanita (Abrahamson, 1997). Pada penelitian ini rata-rata usia penderita pada kelompok Lichtenstein adalah 53,8 ± 12,9 tahun dan pada kelompok Shouldice 44,9 ± 15,4 tahun. Dari Tabel 2 diketahui 2 dari 30 penderita kelompok Lichtenstein dan 12 dari 30 pada kelompok Shouldice berusia < 40 tahun, sayangnya pada penelitian ini tidak dijumpai penderita > 75 tahun. Dari Tabel 3 dipaparkan rata-rata waktu yang diperlukan untuk tindakan hernioplasty menurut Lichtenstein 62,6 ± 10,5 menit, Shouldice 69,1 ± 12,0 menit, sedangkan bilateral diperlukan waktu 120 menit. Diperkirakan saat ini penggunaan mesh mencapai 80 % dari semua tindakan hernioplasty karena mudah untuk dipelajari dengan waktu relatif lebih singkat, namun demikian Bendavid (2001) menyatakan tehnik shouldice tetap perlu dilakukan oleh residen untuk pengenalan struktur anatomi. Bagi staf senior yang terlatih dapat mengerjakan dengan waktu yang relatif singkat 26,8 menit (12–49) untuk Lichtenstein 27,5 menit (9-51) untuk Shouldice (Prior, 1998). Pada penelitian waktu yang diperlukan masih jauh lebih lama, hal ini mungkin disebabkan metode Lichtenstein belum menjadi prosedur tetap
©2003 Digitized by USU digital library
18
dengan jumlah kasus yang masih terbatas sedangkan Shouldice seluruhnya dikerjakan oleh residen dari junior–senior. Peringkat rata-rata intensitas nyeri antara Lichtenstein dan Shouldice selama pengamatan tampak perbedaan yang sangat bermakna p< 0.05 kecuali pada hari ke-II dan VII meskipun nilai rata-rata masih lebih rendah secara statistik tidak bermakna p>0.05 (Diagram 1.). Intensitas nyeri yang timbul pada metode Shouldice karena regangan sebagai akibat dari tarikan konjoin tendon untuk menutupi defek dinding belakang inguinal, namun demikian tehnik ini dianggap memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode konvensional lainnya, karena tidak ada tarikan-tarikan yang dominan pada titik tertentu (Abrahamson, 1997). Divita (2001) mendapatkan pola inflamasi pasca hernioplasti Lichtenstein dan Bassini modified. Terjadi peningkatan serum T-helper 1 (TH1) yang menyerupai sitokinin interferon gamma (IFN-γ) dan T-helper 2 (TH2) yang menyerupai interleukin-6 (IL-6) dengan konsentrasi puncak 6 – 24 jam pertama, disertai dengan penurunan mononuklear sel diperifer pada metode Lichtenstein. Aplikasi klinis dari keadaan ini terjadinya perubahan pola gambaran intensitas nyeri akibat operasi. Keadaan ini diduga sangat kuat berhubungan dengan penurunan intensitas nyeri setelah tindakan Lichtenstein. Schrenk (1996) mendapatkan perbedaan intensitas nyeri hanya pada hari pertama selanjutnya pada hari ke 2, 3, 4, 5, dan 30 tidak dijumpai perbedaan yang bermakna. Prior (1998) membandingkan peringkat rata-rata nyeri dengan sistem skoring dimana didapatkan rata-rata skor 41,7 (6-97) pada Lichtenstein dan 56,9 (4-99) dengan Shouldice. Perbedaan ini secara statistik bermakna. Pada penelitian ini, pengamatan pada hari 0, I , III, dan V tampak perbedaan intensitas nyeri yang bermakna, sedang pada hari ke II dan VII meskipun lebih rendah tetapi tidak bermakna secara statistik. Keadaan ini dapat dikarenakan pada tindakan Lichtenstein intensitas nyeri yang timbul memang lebih kecil dibanding Shouldice, juga dapat disebabkan perbedaan perlakuan operasi oleh residen karena ketrampilan yang berbeda. Thapar (2000) membandingkan peringkat intesitas nyeri pada Lichtenstein dan Shouldice. Dalam 24 jam pertama, masing-masing pada jam ke-6, 12, 24 setelah operasi. Semua penderita yang dilakukan dengan metode Shouldice memiliki skor yang lebih tinggi pada tiap pengamatan p<0,02. Namun peneliti ini tidak menilai intensitas nyeri setelah 24 jam dan hari berikutnya. Pada penelitian kami, intensitas nyeri terus meningkat sampai hari ke II saat penderita melakukan mobilisasi (berjalan) baik pada kelompok Lichtenstein maupun kelompok Shouldice (Tabel 4, 5) Forte (2002) membandingkan hasil Lichtenstein dengan metode konvensional Bassini, Shouldice dan Mc Vay, bahwa tindakan Lichtenstein memberikan keluhan pasca bedah yang lebih ringan, mobilisasi yang lebih cepat serta lebih tidak invasif, sehingga pengelolaan pasien didapatkan hasil yang lebih baik. Penderita yang mendapat anastesi spinal intensitas nyeri yang dirasakan lebih rendah dari hari kehari selama pengamatan bila dibandingkan terhadap penderita yang mendapat general anastesi dengan sangat bermakna p < 0,005, kecuali pada hari III meskipun intensitas nyeri tetap lebih ringan secara statistik tidak bermakna (Diagram 2.). Keadaan ini sebagai akibat “winds Up Phenomenon” dimana sewaktu operasi dari jaringan trauma secara intensif dilepaskan stimulus nyeri dan ditransmisikan ke spinal pada level yang bersesuaian melalui jaras nyeri. Pada saat yang bersamaan serabut
©2003 Digitized by USU digital library
19
saraf dan neuron yang terlibat dalam transmisi impuls nyeri telah mengalami blokade akibat dari anastesia. Segera karena blokade neural ini terjadi inhibisi “sustained hyperexicatable state” yang bertanggung jawab terhadap modulasi rasa nyeri disusunan saraf pusat. Sehingga didapat periode bebas nyeri (Abrahamson, 1997). Rasa nyeri bagi penderita dengan general anastesia juga dapat disebabkan penggunaan obat premedikasi suksinilkolin yang menyebabkan spasme otot, rasa tidak enak ditenggorokan akibat intubasi dimana keluhan ini dapat bertahan hingga hari ke III setelah operasi (Marley, 2000). Tverskoy (1990) mendapat nilai skor intensitas nyeri pasca hernioplasty dengan general anastesi 72 ± 5, spinal anastesi 40 ± 6, dan spinal anastesi + lokal anastesi didaerah luka 16 ± 3. Pada 24 jam pertama ternyata infiltrasi anastesi menginhibisi proses transduksi, proses pembentukan molekul nociceptive lokal di daerah luka, dengan demikian impuls nyeri yang dilepaskan lebih minimal (Amid, 1994). Perasaan nyeri akut setelah operasi pada dasarnya disebabkan oleh 3 hal: kerusakan jaringan, sensitivasi nociceptive dan akitivasi sentral. Regional anastesi maupun lokal dapat bekerja sebelum ambang nyeri diperifer dipengaruhi oleh molekul lokal dan hambatan pada transmisi sehingga secara keseluruhan menyebabkan intensitas nyeri pasca operasi menjadi lebih ringan (Philip, 1998). Hasil penelitian ini bersesuaian dengan penelitian terdahulu maupun tinjauan pustaka. Selama pengamatan intensitas nyeri pada spinal anastesi tetap lebih rendah dibanding general. Hanya pada hari III sewaktu penderita dipulangkan intensitas nyeri tidak bermakna secara statistik (P>0,05). Kemungkinan hal ini terjadi akibat adanya perasaan cemas ketika penderita hendak dipulangkan. Pada penelitian ini semua penderita dari kedua kelompok pada hari ke14 sudah kembali ke aktivitas sehari-hari. Untuk menilai kemampuan kembali bekerja seperti pada sebelum tindakan hernioplasty pada satu penelitian tidaklah mudah, karena sulit membuat pengelompokan yang sepadan bagi tiap pekerjaan dengan melihat luasnya bidang pekerjaan, adanya kelompok yang tidak bekerja dan pensiunan. Hasil penelitian ini lebih baik dibanding pemahaman konvensional selama ini yang memerlukan istirahat bekerja 4-6 minggu (Pelta, 1996). Ambach (2000) mendapatkan 73% penderita yang tidak bekerja berat telah dapat bekerja dalam 7 hari, 90% penderita pekerja berat telah dapat bekerja dalam 30 hari, anggota militer diberikan istirahat 14 hari. Moir (2000) menyatakan lebih dari 50% telah bekerja dalam 14 hari (2-30 hari). Sedangkan Grant (2000) melaporkan suatu kolaborasi penelitian dari 10 sentra, 7 seri penelitian melaporkan penderita yang mendapat perlakuan Lichtenstein dapat kembali ke aktivitas harian yang lebih dini dibandingkan dengan Shouldice tetapi secara statistik hasil ini tidak bermakna. Ismail (2000) melihat inkonsistensi ahli bedah, tidak ada keseragaman kapan penderita dapat bekerja seperti sediakala dengan batasan yang baku dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak membiarkan, menganjurkan penderita bekerja terlalu awal yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Colin (2001) membuat batasan dengan percobaan terhadap supir kenderaan yang telah dioperasi. Serangkaian ujicoba terhadap keterbatasan gerakan, rasa nyeri, respon terhadap bahaya dan kemampuan untuk melakukan penghentian darurat baru dapat dicapai setelah hari ke-7. Sehingga dianjurkan bagi penderita tidak mengemudi dalam 10 hari setelah
©2003 Digitized by USU digital library
20
tindakan operasi. Kumar (2002) melakukan penelitian pada 35 orang atlit kebanyakan diantaranya adalah pemain sepak bola dan rugby yang menderita hernia. Segera setelah dipulangkan penderita dapat berjalan-jalan, pada minggu ke-3 dapat melakukan latihan ringan tanpa gerakan menggunting dan memuntir dan pada minggu ke-6 kembali ke aktivitas semula. Bagaimanapun juga kemampuan bekerja dipengaruhi motivasi penderita sendiri, pekerja dengan penghasilan tinggi akan kehilangan hari kerja rata-rata 3,6 hari dibandingkan 5,6-7 hari bagi pekerja dengan penghasilan yang lebih rendah (Voyles, 2002). Peran ahli bedah juga sangat mempengaruhi kemampuan kembali bekerja penderita, dengan melakukan edukasi prabedah harus dijelaskan : rencana tindakan, kemungkinan derajat nyeri yang timbul (biasanya minimal saja), menghilangkan kecemasan pada penderita dan membangun hubungan yang baik. Tindakan bedah yang legal artis, insisi mengikuti garis kulit, memotong fasia secara transversal, menggunakan elektrokauter, juga menggunakan prinsip pre-emptive analgesia. Ternyata keluhan nyeri yang timbul pasca operasi menjadi sangat minimal (Hassanaly, 2001).
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1.
Telah dilakukan tindakan hernioplasty menurut metode Lichtenstein terhadap 30 penderita dengan umur 53,8 ± 12,9 tahun dengan lama operasi 62,6 ± 10,5 menit dan 30 penderita lainnya dengan metode Shouldice dengan umur 44,9 ± 16,4 tahun dan lama operasi 69,1 ± 12,0 menit.
2.
Metode Lichtenstein memberikan hasil yang sangat baik dengan peringkat rata-rata intensitas nyeri yang lebih rendah dari hari ke hari pengamatan dibadingkan dengan Shouldice kecuali pada hari ke II dan VII.
3.
Pada metode Lichtenstein yang menggunakan spinal anestesi didapatkan peringkat rata-rata intensitas nyeri yang lebih baik dibandingkan dengan general anestesi. Dari hari ke hari pengamatan secara bermakna kecuali pada hari ke-III.
4.
Semua penderita baik metode Shouldice maupun Lichtenstein telah dapat melakukan aktifitas sehari-hari pada hari ke XIV.
6.2. Saran 1.
Penggunaan metode Lichtenstein perlu disosialisasikan kepada residen, namun demikian penggunaan metode konvensional tetap dilakukan untuk pengenalan struktur anatomi yang lebih baik.
2.
Karena penggunaan Lichtenstein pada prinsipnya untuk memperkuat dinding belakang inguinal maka teknik ini lebih sesuai digunakan pada
©2003 Digitized by USU digital library
21
penderita yang berusia tua dan dengan kelemahan dinding belakang inguinal, walau bagaimanapun perkiraan ini harus diuji dan diteliti. 3.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan manfaat pemakaian spinal anestesi pada hernioplasty baik terhadap Lichtenstein maupun teknik konvensional lainnya.
4.
Bagi residen yang menjadi operator sebaiknya melakukan edukasi pra bedah terhadap penderita, melakukan operasi secara legalartis. Perawatan pasca bedah yang baik dengan memberi analgesi sebelum timbul keluhan mobilisasi dini dan realimentasi segera (Pre emptive analgesia).
BAB VII DAFTAR PUSTAKA Abrahamson J. Hernias in Maingot’s Abdominal Operation 10 th ed.Vol I. Connecticut, Prentice Hall Int; 1997:479-580. Aguifili A, et all. The Advantages of Tension Free Inguinal Hernia Repair in Our Experience: http://www.eais.tt/ijss/suppl1997/46nifili.htm. Amid PK. Driving after Repair Groin Hernia. It Is Usually Safe After a Week With Repairs Do No Put Tissues Under Tension. Editorial BMJ 2000;321:1033-34. Amid PK, Shulman AG, Lichtenstein IL.Local Anasthesia for Inguinal Hernia Repair Step by Step Procedure. Ann Surg 1994;220 (6):735-7. Amid PK, Shulman AG, Lichtenstein IL.Open “Tension Free” Repair of Inguinal Hernia the Lichtenstein Technique. Eur J Surg1997;162(6):447-53. Anan F. The Phenomenon of Pain Management. Ethicon 2000;38(1):14-8. Bax T, Brett C, Sheppard, Crass RA. Surgical Options in the Management of Groin Hernia. American Family Physician. AAFP 1999. Bendavid R. Hernia Repairs: Open Techniques Inguinal Hernia Management in the New Millenium, 28 th annual spring meeting ,Washington, Am Coll Surg. 2001. Bonica J. Post Operative Pain in The Management of Pain 2nd ed , vol I, London Lea and Febiger 1990 ; 461-78. Callesen T, Klarskov B, Bech K, Kehlet H. Short Convalescene After Inguinal Herniorrhaphy with Standard Recommendations. Duration and Reasons for Delayed Return to Work. Eur J Surg 1999 ; 165 (3) : 236 – 41. Colin JF. Patient Should be Advised not to Drive for 10 days, Responses to; Driving After Repair Groin Hernia. BMJ 2001 ; 322 : 735. Divilio T. Inguinal Hernias and The Prolene (Polypropylene) Hernia System, Sept 1997. http://www.herniasolution.com/profesionalcontent/clin. Divita G., Milanos, Patti R, Raimondo D, Di Bella G, D’ Agostino et all. Cytokine Modification After Tension Free Hernioplasty or Open Conventional Repair, Am J Sur 2001 ; 181 (6) : 1 – 6. Forte A, D’Urso, Gallinaro Ls, Lo Starto, Bosco Mir, Vuetri F, Beltrami. Complication of Inguinal Hernia Repair. G. Chir ; 23 (3) 88 – 92. Ganong W.F. Review of Medicine Physiology. 17 th ed. San Fransisco : Appleton and Lange Inc, 1995 : 130 – 40. Grant A . Mesh Compared with Non Mesh Methods of Open Groin Hernia Repair Systemic Review of Randomized Controlled Trials. Br J Surg 2000 ; 87 (7) : 854 – 9 (Medline).
©2003 Digitized by USU digital library
22
Hassanally D., Pring C . The Management of Post Hernia Repair Wound Pain . The XXIII International Congress of the European Hernia Society, Milan Asit Essay Prize 2001. Ismail W, Taylor SJC, Beddow E. Advice on Driving After Groin Hernia Surgery in The United Kingdom. Questionnaire Survey BMJ 2000 ; 321 : 1056 – 7. Kumar A., Doran J., Batt ME, Tam NV, Beckingham ; Result of Inguinal Canal Repair in Athletes with Sports Hernia. Jr Coll Edinb 2002 ; 47 : 561 – 5. Marley R A, Swanson J, Patient Care after Discharge from the Ambulatory Center, ASPAN Continuing Education Article On Lines ; Patient Care After Discharge from the Ambulatory Surgical Center. Htm. Moir H, Kyle : A Prospective Audit of Lichtenstein Tension Free Hernioplasty in Taranaki, New Zealand. Aust N 2 J. 1998 ; 68 (11) 801 – 3. Philip W H, Chan VW, Local and Regional Block in Post Operative Pain Control; North Am J Clin Surg. 1999 ; 79 (2) 1 – 17. Prior MJ, William EV, Shukla HS, Philips S, Vig S, Lewis M. Prospective Randomized Controlled Trial Comparing Lichtenstein with Modified Bassini Repair of Inguinal Hernia. J. R. Coll Surg Edinb 1998 ; (43) : 82 – 86. Schrenk P, Woisetschleger R, Rieger R, Wayand W. Post Operative Randomized Trial Comparing Post Operative Pain and Return Physical Activity after Trans Abdominal Preperitoneal Total Peritoneal or Shouldice Technique. For Inguinal Hernia, Pos, J Surg 1996; 83 (11) : 1563 – 6. Skandalakis J.E., Skandalakis P.N., Skandalakis LJ. Surgical Anatomy and Technique, New York, Springer – Verley 1995 : 123 – 203. Thapar V, Rao P, Deshpande A, Songhaui B, Supe AM Shouldice’s Herniorrhapy versus Moloney’s Herniorrhapy in Young Patients ( A Prospective Randomized Study). J Postgrad 2000 ; 46 (1) : 9 –12. Tverskoy M, Cozalov C, Ayache M, Bradley Jr, Kissin I. Post Operative Pain After Inguinal Herniorrhapy with Different Type of Anasthesia : Anesth Analg 1990 ; 70 (1) : 29 – 35. Voyles R, Hamilton B, Johnson W, Kano N. Meta Analysis of Laparoscopic Inguinal Hernia Trials Favors Open Hernia Repair with Pre Peritoneal Mesh Prosthesis Am J Surg 2002 ; 184 (1) : 1 – 5. Wantz G.E : Abdominal wall hernias in Principles of Surgery ed 6 th, Toronto, Mc Graw Hill, 1994 : 1517 –40. Wexler-MJ., Symposium on the Management of Inguinal Hernias 2. Overview the Repair of Inguinal Hernia. 110 year after Bassini. Can J. Surg 1997 ; 40 (3) : 186 – 97.permisi
©2003 Digitized by USU digital library
23