Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 10 Nomor 1 Juli 2007 (Volume 10, Number 1, July, 2007) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
PERBANDINGAN IMOBILISASI LIMBAH CAIR AKTIVITAS TINGGI DENGAN METODE SYNROC DAN METODE TEMPERATUR SUPER TINGGI Gunandjar, Herlan Martono Pusat Teknologi Limbah Radioaktif - BATAN ABSTRAK PERBANDINGAN IMOBILISASI LIMBAH CAIR AKTIVITAS TINGGI DENGAN METODE SYNROC DAN METODE TEMPERATUR SUPER TINGGI. Telah dilakukan pengkajian perbandingan imobilisasi limbah radioaktif cair aktivitas tinggi (LCAT) dengan metode synroc dan Metode Temperatur Super Tinggi (SHTM). Pengkajian dilakukan dengan menganalisis kedua teknologi tersebut dari aspek teknologi proses dan karakteristik hasil imobilisasi limbah dari kedua metode tersebut serta kemungkinan diterapkannya untuk pengolahan limbah aktivitas tinggi di Indonesia. Dari aspek kondisi proses maka metode synroc memerlukan kondisi temperatur lebih rendah dan lebih mudah dilakukan. Tetapi dari aspek besarnya reduksi volume limbah, maka dengan SHTM memberikan keuntungan yang lebih besar karena tanpa penambahan bahan aditif (bahan matriks tertentu), sehingga reduksi volume limbah hasil imobilisasi sangat besar, fasilitas proses yang diperlukan relatif lebih kecil, frekuensi handling dan kapasitas penyimpanan menjadi lebih kecil pula. Kedua teknologi imobilisasi tersebut mempunyai prospek penerapan yang baik untuk imobilisasi LCAT yang ada di Indonesia, walaupun demikian dari aspek ekonomis dan kesederhanaan fasilitas, maka SHTM mempunyai prospek yang lebih baik dari pada metode synroc. Kata kunci : pengelolaan limbah radioaktif,imobilisasi limbah radioaktif, limbah radioaktif aktivitas tinggi, synroc, metode temperatur super tinggi, penyimpanan lestari. ABSTRACT COMPARISON THE IMMOBILIZATION OF HIGH LEVEL RADIOACTIVE LIQUID WASTE USING SYNROC METHOD AND SUPER HIGH TEMPERATURE METHOD. The assessment of comparison the high level radioactive liquid waste (HLLW) immobilization between synroc method and Super High Temperature Method (SHTM) have been carried out. The assessment are based on the aspects, i.e. : process technology, characteristic of immobilized waste, and its application possibility to processing of HLLW in Indonesia. Based on the process conditions, the temperature needed for synroc process is lower than SHTM process, so that the synroc process more easy to be done. But based on the volume reduction of wasteform, the SHTM process give more benefit because without additive materials as matrix of wasteform, so that the volume reduction of wasteform is very high, and the processing facility needed small enough only, and also the handling and storage capacity needed relatively small. The both of immobilization technologies give a good prospect to application for HLLW immobilization in Indonesia. Nevertheless in economics and simplicity of facility aspects, the prospect of SHTM better than synroc method. Key words : radioactive waste management, immobilization of radioactive waste, high level radioactive waste, synroc, Super High Temperature Method (SHTM), ultimate disposal. PENDAHULUAN. Pada pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia, limbah aktivitas tinggi yang timbul adalah bahan bakar bekas reaktor nuklir. Hal tersebut karena Indonesia menganut daur bahan bakar nuklir terbuka, sehingga tidak melakukan proses olah ulang bahan bakar bekas reaktor nuklir. Limbah aktivitas tinggi (LAT) di Indonesia juga ditimbulkan dari pengujian bahan bakar pasca iradiasi dengan pengkayaan uranium 20 % berat 235U di Instalasi Radiometalurgi (IRM) dan dari produksi radioisotop 99Mo yang dibuat dari iradiasi uranium diperkaya 93 % berat 235U. Kedua jenis limbah tersebut termasuk limbah cair aktivitas tinggi (LCAT).
12
Gunandjar, Herlan Martono : Perbandingan Imobilisasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi dengan Metode Synroc dan Metode Temperatur Super Tinggi
Di negara yang teknologi nuklirnya maju seperti Jepang, Perancis, Inggris, Amerika, India, dan Pakistan, proses olah-ulang bahan bakar bekas reaktor nuklir dilakukan untuk mengambil U sisa dan Pu yang terjadi dalam bahan bakar bekas yang kemudian digunakan kembali untuk pembuatan perangkat bahan bakar nuklir baru. Campuran UO2 dan PuO2 (bahan bakar MOX ) dapat digunakan sebagai bahan bakar nuklir dalam reaktor pembiak cepat (fast breeder reactor) dan juga telah dikembangkan untuk bahan bakar reaktor jenis air ringan (LWR). Pada proses olah-ulang, kelongsong (cladding) bahan bakar bekas dipotong dan bahan bakar bekas dikeluarkan dari kelongsongnya. Kelongsong sebagai limbah padat aktivitas tinggi diolah dengan proses peleburan, sehingga diperoleh diperoleh unsur-unsur hasil belah dan trans-uranium (TRU) dalam bentuk logam. Bahan bakar bekas dilarutkan dalam HNO3 6 – 8 M. Selanjutnya ekstraksi siklus I dilakukan untuk memisahkan aktinida / unsur-unsur TRU dari unsur hasil belah. Pada proses ini ditimbulkan limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) yang komposisinya yaitu unsur hasil belah yang terkontaminasi aktinida. Pada ekstraksi siklus II, U dan Pu dipisahkan dari larutan aktinida. Pada proses ini ditimbulkan limbah cair TRU dengan kandungan unsur-unsur transuranium yang terkontaminasi unsur hasil belah. Pengelolaan LCAT harus dilakukan untuk menjamin keselamatan pekerja dan masyarakat serta untuk perlindungan lingkungan hidup terhadap potensi bahaya radiasi baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Untuk itu dilakukan imobilisasi (solidifikasi) LCAT untuk mengungkung radionuklida dengan bahan matriks tertentu menjadi kemasan limbah yang siap disimpan dalam fasilitas penyimpanan lestari tanah dalam (Deep Geological Disposal Facility). Pemilihan bahan untuk imobilisasi (solidifikasi) didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut [1]: (a). Proses imobilisasi (solidifikasi) mudah dan praktis; (b).Kandungan limbah (waste loading) dalam kemasan/matriks tinggi; (c).Ketahanan kimia, yaitu laju pelindihannya sangat rendah; (d).Stabil terhadap radiasi; dan (e).Stabil terhadap panas akibat pemanasan gamma (gamma heating). Pada saat ini negara-negara yang maju di bidang teknologi nuklir, untuk solidifikasi LCAT dilakukan dengan gelas borosilikat, yang dikenal dengan proses vitrifikasi. Proses ini telah dilakukan dalam skala industri. Kenaikan temperatur akibat pemanasan gamma dalam gelas cukup tinggi bisa mencapai 500 oC. Untuk mengatasi hal tersebut, sebelum disimpan dalam fasilitas penyimpanan lestari, gelas limbah hasil imobilisasi tersebut disimpan selama 30-50 tahun dalam fasilitas penyimpanan sementara dengan sistem pendingin sehingga temperatur turun menjadi ~100 oC. Pengembangan teknologi imobilisasi LCAT terus dilakukan untuk mencari teknologi yang lebih baik. Salah satu teknologi yang telah dikembangkan adalah metode Synroc (metode proses pembentukan synroc). Metode ini telah dikembangkan di Australia, Inggris, dan Jepang dalam rangka kerja sama dengan Australia [2]. Uji dingin solidifikasi LCAT dengan synroc skala industri telah dilakukan, dan menunjukkan bahwa synroc limbah (hasil imobilisasi limbah dengan synroc) mempunyai ketahanan kimia dan panas yang lebih baik dari pada gelas borosilikat limbah [2], sehingga synroc limbah dapat digunakan sebagai alternatif pengganti gelas borosilikat limbah. Selain metode synroc, negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Perancis, dan Rusia mengembangkan solidifikasi LCAT tanpa penambahan bahan aditif (bahan matriks tertentu) seperti semen, polimer, gelas, dan synroc. Metode yang relatif baru tersebut dikenal dengan Metode Temperatur Super Tinggi (SHTM = Super High Temperature Method), yang meliputi proses pemisahan dan pemadatan. Metode ini belum dilakukan dalam skala industri. Dalam makalah ini disajikan pengkajian perbandingan imobilisasi LCAT dengan metode synroc dan Metode Temperatur Super Tinggi (SHTM) dengan menganalisis kedua metode tersebut dari aspek prosesnya, karakteristik hasil imobilisasi limbah, keunggulan dan kekurangan dari kedua metode tersebut serta kemungkinan diterapkannya untuk pengolahan limbah cair aktivitas tinggi di Indonesia. PROSES IMOBILISASI LIMBAH CAIR AKTIVITAS TINGGI Proses Solidifikasi (Imobilisasi) dengan Metode Synroc Synroc adalah suatu bahan fase kristal titanat yang stabil dan mampu untuk mengungkung radionuklida dalam LCAT yang ditimbulkan dari proses olah-ulang bahan bakar nuklir bekas. Proses pembuatan synroc standar dilakukan dengan mereaksikan precursor oksida dengan limbah cair aktivitas tinggi (LCAT). Campuran kemudian dikeringkan, dikalsinasi, dan dipress-panas pada kondisi temperatur reduksi ~ 1200 0C untuk membentuk suatu keramik multi fase yang padat. Komposisi precursor oksida (dalam % berat) adalah : Al2O3 (5,4); BaO (5,6); CaO (11,0); TiO 2 (71,4) dan ZrO2 (6,6) [3]. Fase-fase mineral utama dalam synroc adalah: hollandite [Ba(Al,Ti)2Ti6O16], zirconolite (CaZrTi2O7), dan perovskite (CaTiO3), selain itu terdapat fase titan-oksida dan fase-fase paduan (alloy phases) dalam jumlah lebih kecil. Fase-fase penyusun synroc–C yang mengandung 20 %berat limbah radioaktif aktivitas tinggi (LAT) dan radionuklida-radionuklida yang masuk ke dalam kisi-kisi berbagai fase mineral yang ada ditunjukkan pada Tabel 1. 13
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol 10 No. 1 2007
ISSN 1410-9565
Tabel 1: Komposisi dan mineralogi synroc-C yang mengandung 20% berat LAT [3] Fase mineral
% berat
- Hollandite, Ba(AlTi)2Ti6O16 - Zirconolite, CaZrTi2O7 - Perovskite, CaTiO3
30 30 20
- Titan Oksida - Fase paduan (Alloy phases)
10 5
Radionuklida dalam kisi fase mineral - Cs dan Rb. - Logam tanah jarang (RE), Aktinida (An). - Sr, Logam tanah jarang (RE), dan Aktinida (An). - Tc, Pd, Rh, Ru, dll.
Pembentukan fase-fase utama mineral synroc terjadi pada suhu tinggi sekitar 1200 0C dengan reaksi sebagai berikut : BaO + Al2O3 + 8 TiO2 à Ba(Al,Ti)2Ti6O16 (hollandite) + 2O2 (1) CaO + ZrO2 + 2 TiO2 à CaZrTi2O7 (zirconolite) (2) CaO + TiO2 à CaTiO3 (perovskite) (3) Pembuatan synroc telah dikembangkan dengan menggunakan campuran slurry yang mengandung Ba dan Ca hidroksida dan alkoksida dari Al, Ti, dan Zr sebagai precursor yang lebih baik dari pada penggunaan precursor oksida [4]. Campuran limbah dan precursor dikalsinasi dalam kondisi media gas Ar/H2 atau H2/N2 pada temperatur 750 0C, kemudian 2% berat logam titan dicampurkan dengan serbuk dari hasil kalsinasi, dan dipres-panas pada temperatur ~ 1150 0C dan tekanan 20 MPa untuk menghasilkan pengembangan dan densifikasi (pemadatan) fase secara penuh. Pembentukan fase-fase utama mineral synroc terjadi pada temperatur ~1150 0C. Campuran slurry ini memberikan reaktivitas pada kondisi padat (solid state) yang lebih baik dengan terbentuknya fase-fase utama hollandite, zirconolite, dan perovskite, serta sejumlah kecil titan oksida dan paduan logam. Pada pengembangan synroc dikenal pula beberapa fese lain yang terbentuk dari turunan fase utama dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung dalam limbah, yaitu: pyrochlore (CaATi2O7, dengan A = Gd, Hf, Pu, dan U), brannerite (AnTi2O6, dengan An = aktinida), dan freudenbergite (Na2Fe2Ti6O16). Pembuatan synroc dengan precursor slurry ini dapat meningkatkan tingkat muat sampai 30% berat LAT [3,4]. Selanjutnya telah dikembangkan dengan memodifikasi synroc-C menjadi beberapa turunan synroc untuk imobilisasi jenis limbah yang sesuai. Pengembangan komposisi synroc untuk solidifikasi LCAT, tergantung pada kandungan radionuklida dalam LCAT tersebut. Untuk LCAT yang mengandung aktinida, digunakan synroc yang kaya zirconolite, CaZrTi2O7 (80 % berat zirconolite). Solidifikasi limbah uranium dan plutonium digunakan synroc yang kaya pyrochlore, CaATi2O7 ( A = Ca, Gd, Hf, Pu, dan U) yang merupakan turunan dari zirconolite dengan penambahan unsur penyerap neutron (Hf dan Gd) untuk mencegah terjadinya kritikalitas. Solidifikasi limbah Tc, Cs, dan Sr hasil proses pemanasan LCAT digunakan synroc yang kaya fase hollandite / perovskite (Ba(AlTi)2 Ti6O16 / CaTiO3 [4, 5] . Untuk solidifikasi LCAT dengan kandungan utama unsur hasil belah yang terkontaminasi aktinida digunakan synroc sejenis zirconolite (80 %) [3]. Diagram alir proses pengolahan LCAT dengan synroc ditunjukkan pada Gambar 1 [6]. Precursor non-radioaktif synroc dibuat di luar hot-cell menggunakan metode kimia yang dikembangkan Dosch [7]. Bahan ini mempunyai luas permukaan tinggi dan berfungsi sebagai media penukar ion jika dicampur dengan larutan limbah cair aktivitas tinggi (LCAT). Hasil slurry dikeringkan pada 130 oC dalam drum pengering berputar (rotary drum drier) menjadi serbuk bebas alir (free-flowing powder), kemudian dimasukkan sebagai moving bed ke dalam vertikal kiln (kiln vertical) dimana kalsinasi dilakukan pada 750 oC dalam kontrol media reduksi (reducing atmosphere) dengan Ar-44 % H2. Serbuk yang tidak menguap dituang ke dalam wadah baja tahan karat. Pada tahap ini 2 % logam Ti dimasukkan untuk mempermudah pengendalian (kontrol) proses redoks selama pres-panas (hot-pressing). Wadah (container) kemudian divakumkan dan ditutup (sealed). Sedang unsur yang menguap seperti Cs akan diolah dengan sitem pengolahan gas buang.
14
Gunandjar, Herlan Martono : Perbandingan Imobilisasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi dengan Metode Synroc dan Metode Temperatur Super Tinggi
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan LCAT dengan synroc [6] Campuran synroc dan serbuk prekursor LAT (~ 25 % densitas teoritis) dikonversi menjadi keramik monolit yang sangat kompak dengan pres-panas pada 1150 – 1200 oC, dan tekanan 500 – 1000 bar. Proses untuk tahap ini adalah pres-panas isostatik (hot isostatic pressing = HIP) yang digunakan secara luas pada skala komersial. Reduksi volume limbah yang besar menyertai langkah ini dan limbah hasil pres-panas (synroc monoliths) dikumpulkan dalam wadah (canister), dan selanjutnya setelah canister besar penuh ditutup. Synroc monoliths dalam canister besar kemudian ditumpuk di dalam fasilitas penyimpanan lestari tanah dalam. Teknologi di atas dapat untuk mengurangi beberapa bahaya radiasi yang berkaitan dengan hasil imobilisasi (solidifikasi) LCAT. Selain itu tidak ada kehilangan bahan volatil atau partikulat selama proses pres-panas, karena langkah ini dilakukan dalam bejana tertutup. Proses Imobilisasi LCAT dengan SHTM Proses imobilisasi LCAT dengan SHTM bertujuan untuk menghasilkan solidifikasi limbah radioaktif aktivitas tinggi (LAT) yang mengandung banyak unsur hasil belah dan sedikit aktinida tanpa penambahan bahan matriks (solid high active waste containing actinides). Proses tersebut dilakukan dengan pemisahan Cs sebagai unsur volatil. Selanjutnya dilakukan proses peleburan pada temperatur sangat tinggi dengan penambahan sedikit titanium nitrida (TiN) atau boronite (BN) sebagai reduktor sehingga logam mulia terpisah dari oksida unsur yang lain [8]. Limbah aktivitas tinggi berfungsi sebagai matriknya sendiri tanpa pencampuran bahan matriks seperti semen, polimer, gelas ataupun keramik, sehingga reduksi volumenya besar. Proses pengolahan LCAT dengan SHTM ditunjukkan pada Gambar 2. Tahap proses pengolahan LCAT dengan SHTM meliputi kalsinasi, sublimasi, reduksi, dan peleburan serta pemisahan. Prinsip dasar sublimasi adalah penggunaan perbedaan titik didih unsur hasil belah, sedang prinsip reduksi adalah penggunaan energi bebas unsur hasil belah, prinsip peleburan adalah penggunaan penurunan titik lebur unsur hasil belah, dan prinsip pemisahan adalah penggunaan perbedaan densitas antara oksida dan logam. Titik didih dan titik lebur unsurunsur dan oksida ditunjukkan pada Tabel 2.
15
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol 10 No. 1 2007
ISSN 1410-9565
Gambar 2. Skema proses pengolahan LCAT dengan SHTM [8,9] Tabel 2. Titik didih dan titik lebur unsur utama hasil belah dan aktinida[9] Unsur
Unsur utama
Oksida
Titik didih (oC)
Titik leleh (oC)
Titik lebur (oC)
Alkali
Cs Rb
668 688
29 39
Alkali tanah
Sr Ba
1384 1640
769 725
Logam-transisi
Fe Ni Mo
2750 2780 5560
1535 1453 2620
Logam platina
Ru Rh Pd
3900 3727 2970
2310 1963 1554
La Nd
3457 3027
921 1024
2307 2200
U Np Am
3818
1132
2878 2330
Logam tanah jarang Aktinida
2430 918
Larutan nitrat dari unsur hasil belah, aktinida, dan produk korosi dikalsinasi pada suhu 700 0C sehingga menjadi HBOx, AnOx, dan CPOx (HB = unsur hasil belah, An = aktinida, dan CP = produk korosi). Pada proses ini uap air dan gas NO x yang keluar dari alat proses diserap dengan srubber. Proses selanjutnya adalah pemanasan hasil kalsinasi pada suhu 800-1000 0C dalam media gas argon (Ar), yang disebut proses sublimasi. Pada suhu proses tersebut Cs dan Ru menguap. Pada suhu 1000 0C, selama 1 jam sekitar 90 % Cs dapat diuapkan. Oksida logam alkali tanah dan oksida lain dari unsur seperti Ru dan Te perlu diperhatikan, karena titik didihnya rendah. Unsur Ru menyublim dalam bentuk RuO4. Unsur Te tidak menyublim dan menyatu dengan Pd membentuk senyawa paduan [9]. Oksida unsur platina, unsur transisi, dan unsur non logam direduksi oleh unsur seperti B, Al, Si, dan Ti. Reduksi dilakukan pada 1000 0C selama 1 jam dalam media gas Ar dan reduktor titan nitrida (TiN) atau boronite (BN). Logam dan oksida unsur hasil belah mempunyai titik leleh yang tinggi. Reduksi 16
Gunandjar, Herlan Martono : Perbandingan Imobilisasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi dengan Metode Synroc dan Metode Temperatur Super Tinggi
oksida golongan platina (RuO2, Rh2O3, dan PdO) menjadi logam Ru, Rh, dan Pd, dengan reaksi sebagai berikut: MxOy + z TiN → xM + Tiz Oy + z/2 N2 (4) dimana : M adalah logam Ru, Rh, dan Pd. Oksida lain yang tereduksi menjadi logam adalah Mo, Te, Se, dan produk korosi [9]. Partikel logam yang kecil terdispersi dalam oksida unsur hasil belah yang tidak tereduksi. Untuk memisahkan logam dan oksida semua bahan harus dilebur. Oksida dan logam dilelehkan pada 1600 0C dalam media gas Argon, sehingga fase oksida dan logam dipisahkan menjadi lapisan atas oksida ingot dan lapisan bawah logam ingot. Oksida dipadatkan menjadi padatan yang monolit dengan reduksi volume yang tinggi. Unsur-unsur golongan platina dipungut kembali (recovery) sebagai ingot kira-kira 90 %. Hasil proses SHTM dikenal sebagai New Ceram (Nuclear Rare Earth Waste Ceramics) yaitu keramik dari limbah nuklir yang tersusun oleh unsur tanah jarang. PEMBAHASAN Untuk mengkaji perbandingan teknologi imobilisasi/solidifikasi LCAT antara dua teknologi yaitu metode synroc dan SHTM, maka perlu analisis secara mendalam berdasar beberapa aspek (parameter) berikut. Teknologi Proses Imobilisasi/Solidifikasi LCAT Imobilisasi LCAT dengan synroc diperlukan bahan prekursor synroc sebagai matriks untuk mengungkung (mengikat) unsur-unsur hasil belah dan aktinida ke dalam fase-fase mineral synroc yang terbentuk. Tahap selanjutnya diperlukan proses pengeringan (pada 130 oC) dan kalsinasi (pada 750 oC, dalam media Ar-44 % H2). Proses pembentukan synroc pada pres-panas memerlukan kondisi temperatur 1150 – 1200 oC dan tekanan 500 – 1000 bar. Sedangkan proses SHTM tidak memerlukan bahan matriks tambahan, sebagai matriks adalah kandungan limbah itu sendiri (yaitu unsur-unsur hasil belah dan aktinida) dan TiN sebagai reduktor. Proses SHTM dilakukan melalui kalsinasi (pada 700oC), sublimasi pada 800 – 1000 oC (dalam media gas argon), reduksi pada 1000 oC dalam media gas argon dan reduktor TiN, dan proses terakhir adalah peleburan pada temperatur 1600 oC. Bila ditinjau dari kondisi proses, maka proses synroc hanya memerlukan temperatur relatif lebih rendah yaitu 1150 – 1200 oC (pada proses pres-panas), sedang pada SHTM memerlukan temperatur 1600oC pada proses peleburan dan pemisahan. Di sini peralatan pada proses synroc mempunyai umur operasi relatif lebih lama. Daya Tahan Terhadap Fase Air dan Radiasi Teknologi imobilisasi LCAT yang mengandung radionuklida hasil belah dan transuranium (aktinida) dengan metode synroc merupakan alternatif untuk mengganti teknologi imobilisasi gelasborosilikat (dengan teknik vitrifikasi), karena synroc mempunyai kestabilan geokimia dan kemampuan kolektif untuk imobilisasi semua unsur radioaktif dalam LCAT, serta ketahanan terhadap fase air (air tanah) dalam penyimpanan lestari pada formasi geologi tanah dalam [10]. Semua studi ilmu pengetahuan dan penelitian dasar memberikan konfirmasi bahwa laju pelindihan dan kerusakan akibat radiasi α terhadap synroc relatif sangat rendah dan dapat diterima [11]. Pengaruh pemanasan gamma (gamma heating) tidak signifikan. Studi kerusakan akibat radiasi dilakukan dengan studi difraksi terhadap mineral-mineral sejenis synroc metamict dengan iradiasi elektron, netron dan ion-ion berat terhadap cuplikan sintetis dan cuplikan-cuplikan yang ditambah (doping) dengan radionuklida pemancar α yaitu 244Cm (T1/2 = 18 tahun) dan 238Pu (T1/2 = 87 tahun). Proses kerusakan yang signifikan dan permanen terhadap bentuk synroc limbah hanya terjadi karena adanya peluruhan α, dengan kerusakan utama timbul dari atomatom yang terpelanting (recoil), bukan partikel α itu sendiri. Proses recoil atom mempunyai jangkauan yang sangat pendek (~20 nm), maka kebanyakan kerusakan terjadi pada fase-fase yang mengandung aktinida pemancar α. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya 238Pu dan 244Cm (radionuklida pemancar α) pada fase zirconolite / pyrochlore dan pada synroc-C menyebabkan terjadinya swelling (menggembung) sekitar 4-6,9% volume [12,13,14]. Selain itu penelitian menunjukkan bahwa laju pelindihan (leach rate) untuk amorf zirconolite dan synroc limbah standar yang didoping dengan 244Cm meningkat hanya ~10 kali dibanding bila tidak didoping dengan 244Cm (menjadi sekitar 1x10-4 sampai 1x10-5 g.m-2.hari-1) [15,16]. Peningkatan laju pelindihan tersebut ditandai dengan perubahan bentuk dari fase yang memuat radionuklida pemancar α (244Cm).
17
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol 10 No. 1 2007
ISSN 1410-9565
Daya tahan synroc limbah terhadap air jauh lebih tinggi dibanding dengan gelas borosilikat limbah (vitrifikasi). Dalam air murni pada temperatur 95 oC dan 200 oC, laju pelindihan untuk Cs, Ca, Sr, dan Ba dalam synroc adalah 500 sampai 2000 kali lebih kecil dari pada dalam gelas borosilikat. Sedang untuk laju pelindihan Nd, Zn, Ti dan U dalam synroc adalah sekitar 10.000 kali lebih kecil dari pada dalam gelas borosilikat. Laju pelindihan limbah synroc pada dasarnya konstan terhadap tingkat muat limbah dari 9 – 20 % berat LAT [6]. Dari hasil uji pelindihan dan uji ketahanan terhadap radiasi tersebut di atas menunjukkan bahwa synroc mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap fase air (air tanah) dan radiasi. Pada proses SHTM, untuk mengurangi pengaruh pemanasan gamma yang dapat merusak hasil imobilisasi limbah, maka di dalam proses ini nuklida volatil seperti Cs, Rb dan Tc dipisahkan melalui proses penguapan, sehingga pengaruh radiasi dan pemanasan gamma (gamma heating) dapat diturunkan sampai sekitar 40 %[17]. Sedang ketahanan limbah hasil imobilisasi dengan SHTM terhadap fase air relatif sama dengan gelas borosilikat limbah. Reduksi Volume Hasil Imobilisasi Limbah Reduksi volume LCAT menjadi synroc limbah cukup besar, tetapi reduksi volume hasil imobilisasi limbah dengan SHTM lebih besar lagi, karena proses imobilisasi dengan SHTM dilakukan tanpa penambahan bahan aditif (bahan matriks tertentu) kecuali hanya ada tambahan bahan reduktor TiN atau BN, sehingga bila dibandingkan dengan metode synroc, maka reduksi volume hasil imobilisasi limbah dengan SHTM jauh lebih besar yaitu sekitar 3 kali dari pada metode synroc. Tingkat Muat Limbah Aktivitas Tinggi Tingkat muat limbah (LAT) dalam synroc sebenarnya cukup tinggi yaitu tiga kali lebih tinggi dibanding dengan tingkat muat LAT dalam gelas borosilikat, sehingga synroc limbah memberikan penghematan biaya cukup besar dalam fabrikasi wadah limbah (canister), transport, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari tanah dalam[6]. Tetapi bila dibandingkan dengan SHTM, tingkat muat limbah (LAT) dalam synroc relatif lebih rendah (hanya 30% berat LAT) daripada SHTM (yang bisa ~ 85%berat LAT), karena tanpa adanya tambahan matriks sebagai pengungkung, kecuali hanya TiN atau BN sebagai reduktor. Dari data ini maka volume limbah hasil imobilisasi/solidifikasi dengan SHTM akan jauh dapat diperkecil sekitar tiga kali bila dibandingkan dengan metode synroc. Di sini teknologi imobilisasi dengan SHTM lebih dapat menghemat biaya fabrikasi wadah limbah, transport dan tempat penyimpanan lestari. Volume Kemasan Limbah, Transportasi dan Penyimpanan Lestari Berdasar besarnya reduksi volume dan tingkat muat LAT dalam synroc limbah dan dalam hasil imobilisasi limbah dengan SHTM, maka volume kemasan limbah synroc ~ 3 kali lebih besar dari hasil imobilisasi limbah dengan SHTM. Hal ini akan mempengaruhi jumlah/besarnya wadah limbah dan ruang penyimpanan limbah lestari untuk synroc menjadi ~3 kali lebih besar, begitu pula biaya transportasinya. Selain itu imobilisasi limbah dengan SHTM, karena tanpa penambahan bahan aditif (bahan matriks tertentu) seperti semen, polimer, gelas, dan synroc, maka reduksi volume hasil imobilisasi limbah sangat besar, fasilitas untuk proses relatif lebih kecil, frekuensi handling dan kapasitas penyimpanan menjadi lebih kecil pula. Secara ringkas data perbandingan teknologi imobilisasi dengan metode synroc dan SHTM ditunjukkan pada Tabel 3. Dari analisis tersebut di atas, terlihat bahwa kedua teknologi imobilisasi (metode synroc dan SHTM) bila dibandingkan mempunyai keunggulan dan kekurangannya masingmasing. Kedua teknologi imobilisasi tersebut mempunyai prospek penerapan yang baik untuk imobilisasi LCAT yang ada di Indonesia, walaupun demikian dari aspek ekonomis dan kesederhanaan fasilitas, serta reduksi volume limbah dan tingkat muat limbah, maka dengan SHTM mempunyai prospek yang lebih baik.
18
Gunandjar, Herlan Martono : Perbandingan Imobilisasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi dengan Metode Synroc dan Metode Temperatur Super Tinggi
Tabel 3. Perbandingan teknologi imobilisasi dengan metode synroc dengan SHTM [6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17]. SHTM
Yang lebih baik
Prekursor +LAT
LAT + reduktor TiN (atau BN).
SHTM
Pengeringan (130 oC), Kalsinasi (750oC, media gas Ar - 44 % H2), ditam-bahkan 2,5% Ti dan pres panas Isostatik (1150 – 1200oC).
Kalsinasi (700 oC), sublimasi (800-1000 oC, media gas Argon), reduksi dengan reduktor TiN (1000 oC), peleburan dan pemisahan (1600 oC).
Synroc
2. Daya tahan terhadap air dan radiasi.
Daya tahan terhadap air jauh lebih tnggi dari pada limbah gelas borosilikat. Laju pelindihan dan kerusakan akibat radiasi α sangat kecil dan dapat diterima.
Daya tahan terhadap air relatif sama dengan limbah gelas borosilikat.
Synroc
3. Reduksi Volume
Relatif besar
3 kali lebih besar dari synroc
SHTM
4. Volume kemasan (berat LAT sama)
Relatif kecil
3 kali lebih kecil dari synroc
SHTM
5.Tingkat muat LAT (waste loading)
~ 30 % berat LAT (matriks synroc)
~ 85 % berat LAT
SHTM
6. Biaya transportasi dan penyimpanan.
Relatif kecil
Relatif lebih kecil dari limbah synroc
SHTM
7. Fasilitas produksi
Perlu fasilitas pres-panas
Fasilitas lebih sederhana
SHTM
Parameter 1.Teknologi proses : - Bahan matriks - Kondisi proses
Synroc
(matriks LAT + TiN atau BN).
KESIMPULAN Kedua teknologi imobilisasi dengan metode synroc dan SHTM bila dibandingkan mempunyai keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Dari aspek kondisi proses, metode synroc memerlukan kondisi temperatur lebih rendah yaitu pada 1150-1200 oC (pada pres-panas) dari pada SHTM yang memerlukan temperatur lebih tinggi yaitu pada 1600 oC (pada proses peleburan dan pemisahan). Di sini peralatan pada proses synroc mempunyai umur operasi relatif lebih lama. Selain itu laju pelindihan dan kerusakan akibat radiasi a terhadap synroc relatif sangat rendah dan dapat diterima. Pengaruh pemanasan gamma (gamma heating) tidak signifikan. Daya tahan limbah synroc terhadap air jauh lebih tinggi dibanding dengan gelas borosilikat limbah. Sedang ketahanan limbah hasil imobilisasi dengan SHTM terhadap fasa air relatif sama dengan gelas borosilikat limbah. Tetapi dari aspek besarnya reduksi volume dan tingkat muat limbah, maka dengan SHTM memberikan keuntungan yang lebih besar karena tanpa penambahan bahan aditif (bahan matriks tertentu), reduksi volume dan tingkat muat limbah hasil imobilisasi sangat besar, fasilitas untuk proses relatif lebih kecil, frekuensi handling dan kapasitas penyimpanan menjadi lebih kecil pula. Kedua teknologi imobilsasi tersebut mempunyai prospek penerapan yang baik untuk imobilisasi LCAT yang ada di Indonesia, walaupun demikian dari aspek ekonomis dan kesederhanaan fasilitas, maka imobilisasi dengan SHTM mempunyai prospek yang lebih baik dari pada metode synroc.
19
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol 10 No. 1 2007
ISSN 1410-9565
DAFTAR PUSTAKA 1. Mendel J.E (1985), The Fixation Of High Level Waste In Glasses, Pnl Richland, Washington. 2. International Atomic Energy Agency (1985), Chemical Durability And Related Properties Of Solidified High Level Waste Forms, IAEA Technical Report Series No.257, IAEA, Vienna. 3. Vance,E.V (1999) Status of Synroc Ceramics for HlW, Proceedings of The 2nd Biannual International Workshop on High Level Radioactive Waste Management, Dept. of Nuclear Engineering, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta. 4. Ringwood A.E., et al (1988), In Radioactive Waste Form For The Future, Elsevier, North Holland, p 233-334. 5. Hart K.P. et.al (1996), Immobilization Of Separated Tc And Cs/Sr In Synroc, In Scientific Basis For Nuclear Waste Management XIX, Materials Research Society, Pittsburgh, Pa, USA, p 281-288, 1996. 6. Ringwood A.E, et.al (1991), “Synroc: Leaching Performance And Process Technology, Proceedings Of The International Seminar On Chemistry And Process Engineering For High Level Liquid Waste Solidification, Julich. 7. Dosch, R.G. And Lynch, A.W (1980) Solution Chemistry Techniques In Synroc Preparation, Sandia Laboratories, Albuquerque. Publ. Sand, p 80-2375. 8. Misato, H (1990) The Study Of Partition And Solidification With Super High Temperature Method Tokai Works, Japan. 9. Misato,H (2000) Super High Temperature Method”, Waste Management Seminar, Arizona, USA 10. Levins, D.M and Jostsons, A (1996) R&D In Radioactive Waste Management At Ansto, The 2nd Seminar On Rwm, Regional Cooperation In Asia, Kuala Lumpur- Malaysia, 11.Gunandjar (2007) Imobilisasi Limbah Radioaktif Aktivitas Tinggi Dengan Bahan Synroc, Gema Teknik- Majalah Ilmiah Teknik, No. 1 Tahun X Januari 2007. 12. Clinard, F.W.Jr., Peterson, D.E., Rohr, D.L And Hobbs, L.W (1984) Journal Nuclear Materials, [126], 245. 13. Ewing, R.C., Weber, W.J And Clinard, F.W.Jr (1995) Radiation Effects In Nuclear Waste Forms For High Level Radioactive Waste”, Program In Nuclear Energy, [29], 63 14. Houg, A. and Marples, J.A.C (1993) The Radiation Stability Of Synroc : Final Report, Aea Technology Report, Aea-Fs-0201 (H) 15. Weber, W.J., Wald, J.W And Matzke, Hj., Effects Of Self-Radiation Damage In Cm-Doped Gd 2ti2o7 And Cazrti2o7, Journal Nuclear Materials,[138], 196, 1986. 16. Mitamura, H., et.al (1994) Α-Decay Damage Effects In Curium-Doped Titanate Ceramic Containing Sodium-Free High Level Nuclear Waste, J. of Am Ceramic Society, 77(9): 2255-2264. 17. Windarto, H.F (1995) Studi Metode Temperatur Super Tinggi Pada Pengolahan Limbah Cair Aktivitas Tinggi, Laporan Pengkajian Bidang Daur Bahan Bakar Nuklir Ppktn-Batan,
20