Buletin AgroBio 4(2):62-68
Perbaikan Teknologi Produksi Kacang Tanah di Indonesia Muhammad Sudjadi dan Yati Supriati Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor ABSTRACT The Improvement of Peanut Production Technology in Indonesia. M. Sudjadi and Y. Supriati. Peanut is an important commercial agricultural commodity which is highly competitive to other food crops since it offered more benefit to the farmers. Besides it has high lipid and protein content. The average peanut productivity in Indonesia is still low, therefore it could not fulfill the domestic demand. Improvement of peanut production need to be done through crop intensification, which are focused on the lowland, upland, and acidic soil area. On the lowland area, peanut cvs. Gajah, Kelinci, and local variety which were grown at a 20 cm x 20 cm plant spacing, fertilized with 25 kg urea, 50 kg TSP, and 50 kg KCl/ha, respectively, yielded up to 2.0 t/ha, with an average of 1.5 t/ha. Under this condition, irrigation was done five times at an interval of 10-15 days, while pest control was done as necessary. On upland area, cv. Tuban that was grown at a 40 cm x 10 cm plant spacing or 250.000 plant/ha and fertilized with 50 kg urea, 75 kg TSP, and 75 KCl/ha, yielded 1.5-2.0 t/ha. In an effort to minimize yield losses due to pests and diseases, methyl thiophanate 70% and monocrotophos 150g/l were applied at 7-9 weeks after sowing, while carbofuran 3% was broadcasted just before sowing. The use of soil conditioner in the upland area also increased peanut yield by 20% on a Latosol and 69% on Grumusol soil types. In acidic soil area, soil amelioration using green manure, organic matter, and lime undoubtedly improved soil fertility, thus improved peanut yield. In order to maximize the yield of peanut per hectare in the acid soil, the use of high yielding variety, combined with proper plant population, planting season, and integrated pest control were the main factors for improving peanut yield in the area. On the other hand, however, there are a number of constraints to the small scale farmer to implement the improved technology for peanut cropping. This, particularly, due to the lack of farmers’ technical knowledge, market information, and financial supports. Generally, government policy that is conducive to peanut farmers, such as in maintaining availability of inputs, price stability, and trade system are necessary to promote and improve peanut production in the country. Key words: Peanut, production technology, lowland, upland, acid soil
K
acang tanah (Arachys hypogaea L. Merr.) umumnya ditanam petani di lahan kering/tegalan dan tadah hujan serta lahan bukaan baru pada musim hujan maupun di awal musim kemarau (70%) dan selebihnya (30%) ditanam di lahan sawah beririgasi pada musim ke-marau setelah padi. Total luas pa-nen kacang tanah di Indonesia pa-da tahun 1998 mencapai 649.600 ha, dengan produksi polong kering (gelondongan) rata-rata 1,064 t/ha. Dibandingkan dengan tahun 1995 menunjukkan adanya pengurangan luas panen (tahun 1995 seluas 739.305 ha), namun produktivitas per hektar sedikit meningkat dari 1,028 t/ha pada tahun 1995 menjadi 1,064 t/ha pada tahun 1998. Total
produksi polong kering kacang tanah tahun 1997, sebesar 688.345 t dan naik menjadi 691.300 t pada tahun 1998 (Tabel 1). Daerah sentra produksi utama kacang tanah di Indonesia ialah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dengan produksi polong kering rata-rata di tingkat petani sebesar 1,02-1,11 t/ha. Budi daya kacang tanah memberikan keuntungan yang lebih ting-gi dibandingkan dengan tanaman palawija lain seperti jagung, kede-lai, dan kacang hijau. Di samping itu, kacang tanah merupakan ta-naman komersial dan sebagai sum-ber pendapatan penting bagi petani di lahan kering dan lahan bekas sa-wah. Risiko kegagalan panen ka-cang tanah akibat serangan hama dan penyakit lebih kecil dibanding-kan dengan kedelai. Produksi ka-cang tanah memberikan kontribusi sebesar 60% dari pendapatan peta-ni di daerah sentra produksi di Tu-ban, Jawa Timur (Adie et al., 1995). Apabila pada saat panen daun ta-
Tabel 1. Perkembangan luas panen, hasil rata-rata, dan produksi kacang tanah nasional serta ekspor dan impor selama Pelita V dan VI Tahun
Impor Produksi a (t) Volume (t) Nilai (US$)
Luas panen (ha)
Hasil rataa rata (t/ha)
1989
409.064
1.017
415.980
1990
420.231
1.054
443.131
1991
403.012
1.063
428.485
1992
467.228
1.049
490.130
1993
395.080
1.025
405.220
1994
642.998
0.983
631.971
1995
739.305
1.028
780.148
1996
680.908
1.071
737.815
1997
628.100
1.096
688.345
1998
649.600
1.064
691.300
Ekspor Volume (t)
Nilai (US$)
Pelita V a) 0 b) 14.482 319 49.768 1.609 94.608 1 54.892 0 108.097
0 8.056.755 640.480 22.482.131 640.480 31.335.303 133 58.900.370 133 58.900.370
680 173 327 0 171 44 696 20 1.251 0
329.919 430.692 181.425 0 54.787 48.958 449.519 12.000 2.699.673 0
0 150.902 2 148.853 1.211 161.951 16 170.770
0 89.818.360 3.733 99.876.217 1.287 116.980.470 12.204 112.082.135
2.518 33
2.699.676 13.479
Pelita VI
a = bentuk polong kering (gelondongan), b = bentuk biji kering (bungkil) Hak Cipta 2001, Balitbio
Sumber: BPS (1993a; 1993b; 1997; 1998)
2001
M. SUDJADI DAN Y. SUPRIATI: Perbaikan Teknologi Produksi Kacang Tanah
naman kacang tanah tidak terserang penyakit, maka produksi daun yang diperoleh sebesar 5 t/ha dapat dijual dan daun kering digunakan untuk pakan ternak (Sumarno, 1993). Selama Pelita V dan VI, produksi polong kering kacang tanah mengalami sedikit peningkatan dan agak berfluktuasi. Apabila dilihat dari hasil rata-rata, kenaikannya juga kecil (0,9-1,1 t/ha). Pada Pelita VI (1994-1998), produksi mencapai lebih dari 700.000 t per tahun dengan produktivitas 1,1 t/ha. Kebu-tuhan kacang tanah terus mening-kat, tetapi produksi dalam negeri belum mampu mengimbangi per-mintaan dalam negeri terutama un-tuk industri pangan. Oleh karena itu, terpaksa dilakukan impor yang angkanya telah mencapai rata-rata 171.000 t pada tahun 1997 (Tabel 1). PEMANFAATAN KACANG TANAH Pengolahan hasil kacang tanah akan memberikan nilai tambah secara ekonomi. Kacang tanah dimanfaatkan untuk bahan pangan, industri, dan pakan. Kacang tanah mengandung lemak 45% dan protein 27%. Hampir sebagian besar produksi kacang tanah digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan, seperti bumbu pecel/gado-gado, biskuit, kacang garing/asin, minyak nabati, saus, selai, susu, dan pakan ternak. Beberapa industri yang menggunakan bahan baku kacang tanah dapat dikategorikan sebagai industri pangan dan industri pakan. Selain itu, kacang tanah dalam bentuk bungkil (ampas kacang tanah) yang di Jawa Barat digunakan untuk pembuatan pangan (oncom), ma-sih harus diimpor untuk kebutuhan industri pakan ternak unggas, ikan, dan hewan lain sebesar 13,537 t. Total kebutuhan bungkil untuk industri pakan ternak mencapai 48,960
t/tahun, sedangkan industri pangan memerlukan kacang tanah dalam bentuk gelondongan (polong kering) 36,500 t dan bentuk kupas (biji) 2,788 t/tahun (BPS, 1990). Kebutuhan dalam bentuk polong kering meningkat tajam pada tahun 1997, yaitu jumlah produksi dalam negeri dan impor menjadi 759,345 t. Dengan demikian, peluang pasar dalam negeri saja membutuhkan bahan baku cukup besar. Peningkatan kebutuhan kacang tanah di dalam negeri berkaitan erat dengan perkembangan industri pangan dan pakan. Kebutuhan ben-tuk polong kering dan biji dalam ne-geri untuk industri pangan terutama untuk pabrik kacang garing (kacang asin dan kacang atom) lebih ba-nyak memilih jenis biji ukuran se-dang dengan rasa gurih. Jenis ini diperoleh dari varietas lokal seperti Jepara, Subang, dan Majalengka de-ngan umur genjah (85-95 hari), sedangkan kekurangannya sering diimpor dari India dan Thailand. PRODUKTIVITAS KACANG TANAH Produktivitas kacang tanah nasional rata-rata per hektar sejak tahun 1994 sampai dengan 1998 cenderung terus meningkat, yaitu 0,983 t/ha (tahun 1994), 1,028 t/ha (tahun 1995), 1,071 t/ha (tahun 1996), 1,096 t/ha (tahun 1997), dan 1,064 t/ha (tahun 1998) (Tabel 1). Kenaikan rata-rata produksi kacang tanah per hektar di luar Jawa sejak tahun 1994 adalah 0,99 t/ha (tahun 1994), 1,044 t/ha (tahun 1995), 1,075 t/ha (tahun 1996), dan 1,088 t/ha (tahun 1997) (BPS, 1998). Kenaikan pro-duktivitas kacang tanah per hektar antara lain dipengaruhi oleh peng-olahan tanah, kesuburan tanah, penggunaan benih varietas unggul, waktu tanam yang tepat, irigasi, pemupukan, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman.
63
TEKNOLOGI BUDI DAYA PADA LAHAN SAWAH Pengembangan produksi kacang tanah antara lain dapat ditempuh dengan melakukan perbaikan budi daya melalui usaha intensifika-si. Dalam skala demplot pada lahan sawah di Kabupaten Subang, Jawa Barat pada tahun 1993 diterapkan paket teknologi budi daya kacang tanah (Adisarwanto et al., 1996), se-bagai berikut: a. Tanah diolah intensif dan dibuat bedengan selebar 2 m. b. Jarak tanam 20 cm x 20 cm, 1 biji/lubang. c. Perlakuan benih menggunakan fungisida Captan 2 g/kg benih. d. Varietas yang digunakan adalah Gajah, Kelinci, dan Lokal. e. Pemupukan menggunakan 25 kg urea + 50 kg TSP + 50 kg KCl/ha. Pupuk ditaburkan di antara dua baris tanaman, 7-10 hari setelah tanam. f. Pengendalian hama dan penyakit hanya sekali. g. Pengairan dilakukan lima kali, dengan interval 10-15 hari. Hasil penerapan paket teknologi menunjukkan bahwa sekitar 60% petani memperoleh 1,5-2,0 t polong/ha, sedangkan hasil petani tan-pa penerapan paket teknologi ha-nya 0,9-1,4 t polong/ha. Selain itu, 17% petani mampu mencapai hasil di atas 2,0 t polong/ha dan 23% memperoleh hasil 0,92-1,50 t polong/ha. Penelitian lain dengan menerapkan paket pengolahan lahan seperti di atas ditambah dengan pe-nyiangan gulma dua kali (3 dan 6 mst) mampu menaikkan hasil dari 1,4 t/ha menjadi 1,67 t/ha (naik 20%) di Jawa Barat (Arsyad et al., 1983). TEKNOLOGI BUDI DAYA PADA LAHAN KERING
64 Penerapan paket teknologi budi daya kacang tanah pada lahan ke-ring dalam skala demplot di Kabu-paten Tuban, Jawa Timur pada mu-sim kemarau tahun 1993 (Adisar-wanto et al., 1996) adalah sebagai berikut: a. Tanah diolah dan digaru menggunakan tenaga ternak. b. Daya kecambah benih >90%, jumlah benih 80 kg/ha. c. Varietas yang digunakan Lokal Tuban. d. Pemupukan menggunakan 50 kg urea + 75 kg TSP + 75 kg KCl/ha, disebar sebelum tanam. e. Populasi 250.000 tanaman/ha, benih ditanam dalam barisan di belakang bajak dengan jarak antarbajak 40 cm dan jarak antarbenih dalam alur bajak 10 cm. f. Penyiangan dilakukan dua kali, yaitu pada 2 dan 4 minggu setelah tanam. g. Pengendalian hama dan penyakit: − penyemprotan fungisida Topsin M 70 WP (metil tiofanat: 70%) pada 7 dan 9 minggu setelah tanam untuk mencegah penyakit bercak daun. − insektisida Furadan 3 G (karbofuran: 3%) sebanyak 10 kg/ha disebarkan sebelum tanam untuk mencegah serangan hama rayap. − penyemprotan Azodrin 15 WSC (monokrotofos: 150 g/l) pada 63-56 hari setelah tanam untuk mengendalikan thrip dan serangga hama daun. h. Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 100 hari. Hasil penerapan paket teknologi menunjukkan bahwa sekitar 67,7% petani memperoleh 1,5-2,0 t polong kering/ha, sedangkan hasil petani tanpa penerapan paket teknologi hanya 0,9-1,4 t polong/ha. Se-lain itu, 21,3% petani memperoleh hasil di atas 2,0 t
BULETIN AGROBIO polong/ha dan 11,0% petani memperoleh hasil 0,84-1,50 t polong/ha. Dilaporkan bahwa pola paket teknologi produksi kacang tanah untuk lahan kering di Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur mampu meningkatkan hasil dari 0,6-1,5 t polong kering/ha (paket petani) menjadi 1,8-2,5 t/ha (naik 40-67%). Paket tersebut meliputi pengolahan tanah dua kali, populasi 250 tanaman/ha (jarak tanam 40 cm x 10 cm dengan 1 biji/lubang), pemupukan menggunakan 50-70 kg urea/ha + 50-75 kg TSP/ha + 50-75 kg KCl/ha, penyiangan gulma dua kali, serta pengendalian hama secara pemantauan dan pengendalian penyakit 24 kali (Harsono et al., l993). Sutarto et al. (1993) melaporkan bahwa di tanah Latosol (Bogor), pengolahan tanah sedalam 40 cm, dan pemberian pembenah tanah (Agri-Sc) dapat meningkatkan hasil 20% (2,09 t/ha). Di tanah Grumusol (Wonosari, DIY), pemberian bahan organik OST menaikkan hasil 69%, pemberian pupuk kandang naik 76%, dan pemberian pembenah tanah Agri-Sc naik 96%, sedangkan tanpa perlakuan hasilnya hanya 1,28 t polong kering/ha. TEKNOLOGI BUDI DAYA PADA LAHAN MASAM Pengembangan produksi pertanian di lahan masam (pH kurang dari 6,5) memerlukan teknologi khusus yang berkaitan dengan sistem drainase, teknik bercocok tanam, dan penggunaan varietas yang mudah beradaptasi (Djaenudin dan Sudjadi, 1987). Usaha perbaikan lahan masam, yaitu tanah Podsolik Merah Kuning (PMK), Latosol, dan gambut atau pasang surut yang luas di luar pulau Jawa, prospektif bagi pengembangan kacang tanah dibandingkan dengan komoditas lainnya (Sumarno et al.,
VOL 4, NO. 2 1988). Lahan tersebut miskin unsur hara makro (N, P, K) dan unsur mikro. Reaksi tanah sangat masam sampai masam (pH 3,5-5,5), kapasi-tas tukar kation dan kejenuhan basa sangat rendah, kejenuhan Al tinggi, dan peka terhadap erosi (Djaenudin dan Sudjadi, 1987). Perbaikan (ameliorasi) lahan masam tersebut dapat dilakukan dengan pemupukan dan pencucian tanah asam. Dilaporkan bahwa penggunaan pupuk hijau dan serasah dengan tanaman leguminosa (Crotalaria sp., Mucuna sp., Phaseolus sp., Acasia sp., Sesbania sp., Theprosia sp., dan Indigofera sp.), non leguminosa (kipait/Tithonia diversifolia, kirinyu/Eupatorium palascens), pupuk kandang, dan kompos dapat menambah kesubur-an lahan (Sutarto, 1985). Pupuk hijau dapat mengurangi pemberian kapur (CaCO3) untuk mengurangi kemasaman tanah. Satu ton pupuk hijau setara dengan 1 t kapur (Asahi, 1977). Dilaporkan bahwa pemberian 3 t kapur tidak menaik-kan hasil varietas Macan secara nyata di lahan PMK Way Abung, Lampung, pada musim hujan 1983/ 84 karena adaptasi varietas Macan cukup baik terhadap lahan masam tersebut. Pada tahun berikutnya, pemberian 135 kg P2O5/ha dan kapur 2,25 x Aldd setara 3.375 t CaCO3/ha tercapai hasil tertinggi sebesar 2,364 t polong kering/ha atau naik sebesar 15,5% dibanding-kan dengan tanpa pemberian ka-pur. Pemberian pupuk N, P, K, dan Mo dapat menaikkan hasil 41,5% (2,346 t/ha) apabila dibandingkan dengan N, P, K saja (1,658 t/ha) dan naik sebesar 54,5% (2,561 t/ha) de-ngan pemberian N, P, K + Mo + Mg + S. Hasil varietas Macan tanpa pemupukan hanya 1,415 t/ha. Takaran per hektar pupuk urea, TSP, dan KCl, yaitu 45 kg N, 90 kg P2O5, dan 50 kg K2O; sedangkan
2001
M. SUDJADI DAN Y. SUPRIATI: Perbaikan Teknologi Produksi Kacang Tanah
takaran unsur mikro 2 kg amonium hepta molibdat (1,087 kg Mo), 100 kg belerang (80 kg S), dan 300 kg Kieserit (30,5 Mg) (Sutarto, 1985). Untuk mengurangi pemberian pupuk N dan P sampai setengahnya, disarankan menggunakan pupuk hayati Rhizoplus, Bio-Lestari, dan Bio-Fosfat (Balitbio, 1998; 1999; 2000). Di lahan PMK Lampung Tengah, pemupukan dengan 60 kg K2O + 30 kg MgO + 30 kg S/ha dan pengapur-an 1 t CaCO3 dapat meningkatkan hasil 30% (2,21 t polong kering/ha) dibandingkan dengan tanpa per-lakuan. Selain itu, pengendalian penyakit utama, yaitu bercak daun Cercospora dan karat di Lampung Tengah dengan fungisida fenetrazol 25% (Folicur 250 EC) dan bitertanol 30% (Baycor 300 EC) dengan dosis 1 l/ha/aplikasi dapat meningkatkan hasil kacang tanah berturut-turut 43,4 dan 29,7% dibandingkan dengan tanpa perlakuan (Sudjadi, 1989). POPULASI TANAMAN OPTIMAL, KEPERLUAN BENIH, DAN MUSIM TANAM Kacang tanah ditanam dengan jarak 40 cm x 15 cm atau 30 cm x 20 cm (populasi 165.000 tanaman/ ha) pada lahan yang subur, sedangkan pada lahan yang kurang subur, jarak tanam yang digunakan 40 cm x 10 cm atau 20 cm x 20 cm (250.000 tanaman/ha). Petani biasa-nya menanam varietas lokal de-ngan jarak tanam tidak beraturan (populasi sekitar 300.000 tanaman/ ha). Kebutuhan benih untuk jarak tanam tersebut dengan bobot biji rata-rata kurang dari 0,5 g/biji diper-lukan 90 kg biji atau 180 kg polong kering/ha. Dengan demikian, bila hasil per hektar 1 t polong kering, maka untuk kebutuhan 800.000 t/ta-hun perlu lahan seluas 800.000 ha, sehingga
pengadaan benih kacang tanah dalam bentuk polong seba-nyak 144.000 t/tahun. Di Indonesia, penanaman kacang tanah pada lahan tegalan dilakukan tiga kali dalam setahun, yaitu dari bulan Oktober sampai Januari dan Februari sampai Mei (musim hujan), serta April sampai Juli (mu-sim kemarau). Sedangkan pada lahan bekas sawah beririgasi di-lakukan dua kali dalam setahun, yaitu dari bulan Maret sampai Juni dan Juli sampai September (musim kemarau). Data BPS menunjukkan bahwa perkembangan luas panen dan produksi pada Pelita V dalam musim tanam Januari sampai April hampir stabil tetapi meningkat pada penanaman September sampai Desember dan berfluktuasi pada penanaman Maret sampai Agustus. Pada Pelita V (di Jawa), luas panen dan produksi tampak lebih tinggi pada musim tanam bulan Mei sampai Agustus dibandingkan dengan musim tanam Januari sampai April, tetapi terjadi sebaliknya bila ditanam di seluruh pulau antara kedua musim tersebut (Pelita VI), sedangkan pada musim tanam bulan Sep-
65
tember sampai Desember selalu lebih rendah. Hal ini karena luas panen di Indonesia pada musim tanam Januari sampai April lebih luas akibat dari penambahan areal tegalan di luar Jawa. VARIETAS UNGGUL KACANG TANAH Sejak tahun 1983-1992 banyak varietas unggul kacang tanah yang telah dilepas oleh pemerintah, baik yang berumur kurang dari 100 hari maupun di atas 100 hari (Tabel 2). Beberapa varietas yang mempunyai potensi hasil 2,0-3,4 t/ha antara lain varietas Pelanduk, Tupai, dan Badak (2,0 t/ha), varietas Kelinci (2,3 t/ha), varietas Komodo (1,43,3 t/ha), varietas Biawak (1,1-3,4 t/ha), dan varietas Zebra (2,4 t/ha). Varietas tersebut mampu mencapai potensi hasilnya bila ditanam pada lahan kering dan tadah hujan yang cukup air dengan pemupukan yang optimal serta pengendalian hama dan penyakit (Heriyanto dan Subagio, 1998). Varietas lokal se-perti varietas Tuban yang telah di-murnikan benihnya ternyata pro-duktivitasnya
Tabel 2. Varietas unggul kacang tanah yang dilepas pada tahun 1950-1992 Varietas (tahun lepas) Gajah (1950) Macan (1950) Kidang (1950) Banteng (1950) Rusa (1983) Anoa (1983) Tapir (1983) Pelanduk (1983) Tupai (1983) Kelinci (1987) Jepara (1989) Landak (1989) Mahesa (1991) Badak (1991) Komodo (1991) Biawak (1991) Trenggiling (1992) Simpai (1992) Zebra (1992)
Umur polong tua Hasil rata-rata Bobot 100 biji (hari) (t/ha) (g) 100 100 100 100 100-110 100-110 95-100 95-100 95-100 95 89-97 89 95-100 95-103 80-90 80-90 90 95 95-100
1,8 1,8 1,8 1,8 1,9 1,8 1,9 2,0 2,0 2,3 1,2 1,8 1,6 2,0 1,4-3,3 1,1-3,4 1,8 1,9 2,4
53 47 49 48 45 56 57 56 45 45 43 43 46 48 35
Reaksi ketahanan penyakit Layu bakteri
Karat
Bercak daun
T T T T T T T T T M AT AT T T T T AT AT -
AR AR AR AR T T R R R T T M M T T M
AR AR AR AR T T R R R AT R R R M M
T = tahan, AT = agak tahan, M = moderat/sedang, AR = agak rentan, R = rentan Sumber: Kasim dan Djunainah (1993)
BULETIN AGROBIO
66 sama dengan varietas (Sumarno et al., 2000).
Gajah
Benih kacang tanah untuk keperluan petani diadakan dan diatur oleh Direktorat Bina Produksi dan perbanyakannya dilakukan di Balai Benih Induk dan Balai Benih di daerah berupa benih sertifikasi, yaitu benih bermutu dan sehat. Untuk mendapatkan benih sehat yang bebas penyakit benih utama, yaitu virus belang (PStV) harus dipilih dari tanaman yang bebas dari serangan virus tersebut di lapang. Benih kacang tanah memiliki keunggulan karena dapat disimpan lama sampai satu tahun dalam bentuk polong kering dengan kadar air 9%. Penu-runan mutu benih karena polong atau biji yang kurang kering (di atas 12%) umumnya akan terkena se-rangan jamur Aspergillus flavus, pe-nyebab timbulnya racun afla (afla-toksin) yang berbahaya bagi kese-hatan ternak dan manusia yang mengonsumsinya. PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN ATAU HAMA SECARA TERPADU Program pengendalian hama secara terpadu bertujuan mendidik dan memberdayakan petani agar menjadi ahli pengendalian hama terpadu (PHT) melalui pemantauan sendiri keadaan organisme pengganggu tanaman (OPT) di lapang dan mengambil keputusan sebagai hasil analisis ekosistem untuk mela-kukan tindakan pengendalian, per-lu atau tidak dikendalikan OPT ter-sebut dari fase ke fase pertumbuh-an tanaman. Berbagai OPT, yaitu patogen penyebab penyakit, hama serangga, dan tikus serta gulma dapat menjadi faktor pembatas produksi kacang tanah. Penyakit utama yang sering muncul ialah penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) penyebab kematian
tanaman muda, penyakit karat (Puccinia arachidis), bercak daun (Cercosporidium personatum), penyebab daun cepat gugur dan penyakit belang oleh virus (Peanut Stripe Virus/PStV) yang menyebabkan daun menguning dan menurunkan hasil. Virus ini dapat ditularkan melalui benih atau kutu daun (Aphis craccivora). Penggunaan varietas tahan sangat dianjurkan. Teknik bercocok tanam dengan pola padi-palawija-padi (sawah) atau palawija-kacang tanah (tegalan) dengan cara menanam serempak pada satu hamparan dan tepat waktu tanam dapat memutuskan siklus hidup patogen-patogen tersebut sehingga dapat mengurangi kehilangan hasil yang diakibatkannya. Bila serangan cukup besar dan mencapai ambang ekonomi (20%), perlu dilakukan pengendalian secara hayati yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan mikroba antagonistik seperti Pseudomonas fluorescens, Saccharomyces cerevisiae, Bacillus subtilis, Xanthomonas sp. atau Actinomycetes; atau mengaplikasi fungisida sistemik menurut dosis anjuran seperti triadimefon (Bayleton), bitertanol (Baycor), mankozeb + karbendazim (Delsene MX-200) atau fenetrazol (Folicur) untuk karat dan bercak daun serta bakterisida streptomycin (Agrept) untuk penyakit layu. Hama serangga utama yang muncul pada fase muda ialah kutu daun (Aphis craccivora) sebagai vektor virus belang kacang tanah (PStV) dan kutu daun hitam (Orosius argentatus) sebagai vektor mikoplasma, penyebab penyakit sapu setan yang menyebabkan polong tidak terbentuk. Pada fase lebih lanjut, daun sering dimakan oleh ulatgrayak (Spodoptera litura), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), pengorok daun (Bilola subsecirella, Aproaerema modicella), penggulung daun (Lamprosema indicata),
VOL 4, NO. 2 dan pengisap daun (Empoasca sp.). Pada waktu yang sama, perlu dila-kukan pemantauan di lapang. Apa-bila terdapat banyak musuh alami yang dapat berperan sebagai pene-kan populasi hama tersebut maka pestisida tidak digunakan atau di-batasi pemakaiannya secara bijak-sana. Keberadaan musuh alami berupa predator antara lain laba-laba, capung, semut, belalang sembah, tabuhan, kumbang Coccinellidae, dan kumbang Carabidae serta para-sitoid Apanteles sp. Apabila tidak dapat menekan hama di bawah ambang ekonomi (2-5 ekor ulat/ tanaman), maka perlu dilakukan aplikasi insektisida. Untuk mence-gah serangan tikus yang sering ter-jadi pada pola padikacang tanah-padi (sawah), petani di Jawa Barat biasanya menggunakan batang pi-sang yang digelindingkan pada ta-naman sehingga menyulitkan tikus masuk dan merusak polong bernas dalam tanah atau memberi pengemposan asap pestisida pada lubang-lubang persembunyian tikus, sedangkan masalah gulma dapat diatasi dengan dua kali penyiangan pada umur 3 dan 5-6 minggu setelah tanam (mst) disertai pembumbunan tanaman sesudahnya. BIAYA PRODUKSI KACANG TANAH Biaya produksi kacang tanah rata-rata per hektar di Indonesia pa-da tahun 1996 sebesar Rp 327.560 atau 22,50% dari total nilai produksi sebesar Rp 1.455.601. Perbandingan antara total nilai produksi dengan biaya produksi per hektar kacang tanah kira-kira 5 : 1. Persentase pe-ngeluaran biaya produksi tersebut menurun sebesar 24,08 % apabila dibandingkan dengan pengeluaran biaya produksi tahun 1995 dan 27,97% (tahun 1994). Alokasi biaya produksi relatif rendah dibanding-
2001
M. SUDJADI DAN Y. SUPRIATI: Perbaikan Teknologi Produksi Kacang Tanah
kan dengan kebutuhan optimal biaya produksi kacang tanah, yaitu untuk pengadaan sarana produksi berupa pestisida dan pupuk. Biaya produksi di tingkat petani terutama dipengaruhi oleh keterbatasan modal untuk meningkatkan intensifikasi usahatani kacang tanah. Penguasaan teknologi budi daya oleh petani tanpa disertai dengan kemampuan modal yang memadai merupakan kendala yang sangat penting dalam upaya pengembangan produksi kacang tanah. Alokasi biaya produksi kacang tanah per hektar pada tahun 1996 disajikan pada Tabel 3. KEUNTUNGAN PENERAPAN TEKNOLOGI MAJU
Timur tahun 1996 memerlukan biaya produksi sekitar Rp 715.000/ ha dengan hasil 1,81 t/ha yang memberikan keuntungan sebesar Rp 1.276.000/ha. Tingkat pengembalian marjinal penggunaan teknologi maju sebesar 402%. Perbandingan biaya produksi dan keuntungan cara tradisional petani dengan penerapan teknologi maju pada lahan kering di Tuban, Jawa Timur ialah 1,9 : 2,8 atau 2 : 3. Dengan lain perkataan, diperoleh keuntungan hasil dua kali lipat dengan menggunakan teknologi maju dibandingkan dengan teknologi tradisional yang hanya memperoleh keuntungan satu kali lipat (Tabel 4). KESIMPULAN
Hasil akhir penerapan suatu teknologi ialah nilai keuntungan usahatani, sebagai sumber pendapatan petani. Usahatani kacang tanah dengan menerapkan teknologi budi daya yang optimal pada lahan kering, di Kabupaten Tuban, Jawa
1. Kacang tanah sebagai salah satu komoditas pangan penting yang mempunyai nilai gizi dan ekonomi tinggi, perlu ditingkatkan upaya pengembangannya karena dibutuhkan oleh masyarakat konsumen dan juga dapat me-
2.
3.
4.
Tabel 3. Alokasi biaya produksi kacang tanah pada tahun 1996 Jenis pengeluaran
Volume
Biaya (Rp)
Benih Pestisida Pupuk buatan Pupuk kandang/hijau Upah Lain-lain
45,97 kg 0,09 l 72,87 kg
97.218 1.000 33.280 1.597 142.898 51.585
Jumlah biaya produksi per hektar
5.
327.578
Tabel 4. Biaya produksi dan keuntungan menggunakan teknologi tradisional dan teknologi maju di lahan kering Tuban, Jawa Timur pada tahun 1996 Uraian Tenaga kerja HOK Rp/ha Sarana produksi (Rp/ha) Total biaya: Produksi: Fisik (kg/ha) Nilai (Rp/ha) Keuntungan (Rp/ha) Pengembalian marjinal (%) Rasio B/C Sumber: Adisarwanto (1996)
Teknologi tradisional
Teknologi maju
94 286.000 231.000 517.000
136 408.000 307.000 715.000
1.050 997.500 480.500 1,9
1.810 1.991.000 1.276.000 402 2,8
6.
67
ningkatkan kesejahteraan petani sebagai masyarakat produsen. Pengembangan kacang tanah dapat dilakukan melalui intensifikasi yang difokuskan pada lahan sawah, lahan kering, dan lahan masam dengan tujuan utama adalah meningkatkan produksi dan memperbaiki kualitas polong. Pada lahan sawah dianjurkan untuk menggunakan varietas Gajah dan Kelinci dengan pupuk 25 kg urea + 50 kg TSP + 50 kg KCl/ha pada jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pengendalian hama pe-nyakit dilakukan apabila diperlu-kan, sedangkan pengairan di-berikan lima kali dengan interval 10-15 hari. Pada lahan kering dianjurkan untuk menggunakan varietas lokal atau varietas Tuban dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm atau populasi 250.000 tanaman/ha. Pupuk yang digunakan adalah 50 kg urea + 75 kg TSP + 75 kg KCl/ha. Untuk mengurangi kehilangan hasil karena serangan hama dan penyakit dianjurkan menggunakan methyl thiophanate 70% dan monocrotophos 150 g/l pada umur 7-9 minggu, sedangkan carbofuran 3% diberikan sebelum tanam. Pada lahan masam, hal yang paling utama harus dilakukan adalah ameliorasi tanah dengan menggunakan zat pembenah tanah (soil conditioner) seperti bahan organik, pupuk hijau, dan kapur, sehingga ketersediaan unsur hara menjadi lebih baik bagi kacang tanah. Masih ada kendala yang menjadi hambatan bagi petani dalam membudidayakan kacang tanah, yaitu masalah modal dan pema-saran hasil panen. Untuk itu, di-perlukan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kepen-tingan petani
BULETIN AGROBIO
68 agar petani selalu bergairah untuk melajutkan dan meningkatkan usahatani kacang tanah. DAFTAR PUSTAKA Adie, M., T. Adisarwanto, dan Sumarno. 1995. OFR kacang tanah untuk identifikasi budi daya kacang tanah di lahan kering. Makalah Balittan Malang No. 95-100. 26 hlm. Adisarwanto, D.M. Arsyad, dan Sumarno. 1996. Pengembangan paket teknologi budi daya kacang tanah. Dalam Saleh et al. (Eds.). Risalah Rapat Seminar Nasional Prospek Pengembangan Agribisnis Kacang Tanah di Indonesia. Edisi Khusus Balitkabi 7:70-87. Arsyad, D.M., Ig.V. Sutarto, S.A. Rais, dan L. Sumarsono. 1983. Perbaikan teknologi budi daya kacang tanah di lahan sawah Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dalam Syam et al. (Eds.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan 5:1509-1514. Asahi, Y. 1977. Differential response of peanut varieties to sub soil acidity. KNES 14:4-19. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. 1998. Tiga peneliti Balitbio mendapat penghargaan pemerintah. Warta Balitbio 6:1. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. 1999. Produk unggulan. Warta Balitbio 8:2. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. 2000. Pupuk hayati BioLestari, sebentar lagi mengge-ser pupuk kimia. Warta Balitbio 10:1. Biro Pusat Statistik. 1990. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Impor, Ekspor: 1990. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 1993a. Statistik Indonesia 1993. Statistical Year Book of Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 1993b. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Impor, Ekspor: 1993. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1997. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Impor, Ekspor: 1997. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 1998. Statistik Indonesia 1998. Statistical Year Book of Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Djaenudin, D. dan M. Sudjadi. 1987. Sumberdaya lahan pertanian tercadang di empat pulau besar dalam menghadapi tahun 2000. Jurnal Litbang Pertanian VI(3):55-61. Harsono, A., T. Adisarwanto, dan N. Saleh. 1993. Keragaan teknologi budi daya kacang tanah di lahan kering. Dalam Syam et al. (Eds.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan 5:1515-1526. Heriyanto dan H. Subagio. 1998. Prospek usahatani kacang tanah di Indonesia. Dalam Teknologi untuk Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Kacang Tanah. Edisi Khusus Balitkabi 12:1-13. Kasim, H. dan Djunainah. 1993. Deskripsi varietas unggul Palawija. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
VOL 4, NO. 2 Sudjadi, M. 1989. Efikasi fungisida folicur 250 EC terhadap penyakit bercak daun Cercospora dan karat pada kacang tanah. Registrasi Fungisida Kepada Komisi Pestisida. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sumarno. 1993. Status kacang tanah di Indonesia. Dalam Astanto et al. (Eds.). Kacang Tanah. Monograf Balittan Malang 12:1-8. Sumarno, I.N. Oka, N. Sunarlin, A.K.M. Sharma, M. Syam, and I. Manwan. 1988. The importance of grain legumes in food crop production. Workshop on the National Coordinated Research Program on Corn and Legumes. 102 p. Sumarno, M. Adi, N. Saleh, dan T. Adisarwanto. 2000. Penerapan metodologi penelitian adaptif budi daya kacang tanah di lahan petani. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 19(2):51-58. Sutarto, Ig.V. 1985. Perpaduan tepatguna kapur dan pupuk NPK plus (Mo, Mg, dan S) di lahan masam pada kacang tanah. Seminar Balittan Bogor Tahun 1985. PadiPalawija 1:99-117. Sutarto, Ig.V., Y. Supriati, dan S. Hutami. 1993. Hasil penelitian budidaya kacang tanah. Dalam Syam et al. (Eds.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan 5:1502-1507.