PERBAIKAN KUALITAS NUTRISI JAGUNG MENGGUNAKAN MEKANISME FISIK DAN FERMENTASI Rhizopus oligosporus SERTA PEMANFAATANNYA DALAM FORMULASI PAKAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
REZA SAMSUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perbaikan Kualitas Nutrisi Jagung Menggunakan Mekanisme Fisik dan Fermentasi Rhizopus oligosporus Serta Pemanfaatannya dalam Formulasi Pakan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2011
Reza Samsudin NIM C 151 090 271
ABSTRACT REZA SAMSUDIN. Improvement of corn quality using physical mechanism and fermentation with Rhizopus oligosporus and its utilization in tilapia (Oreochromis niloticus) feed. Under direction of NUR BAMBANG PRIYO UTOMO and MIA SETIAWATI. Growth performance of fish is highly influenced by the quality of feed, which is determined dominantly by the quality of feedstuff. The research was conducted to evaluate both physical mechanism and fermentation with Rhizopus oligosporus on corn quality and utilization of fermented corn meal by R. oligosporus in feed on the growth of tilapia Oreochromis niloticus. The research containing three steps. First step was using physical mechanism there were soaked, boiled, steamed, and control. The best result from the first step was used in second step, fermented with R. oligosporus. The result was used in third step for biological test. Ten tilapia with 5.0±0.14 g/fish initial body weight were used and stocked in each of fifteen aquaria. The aquaria were equipped with water heater and recirculation system. This research used a complete randomized design with five treatments (0%, 5%, 10%, 15%, and 20% of fermented corn meal) and three replications. The parameters were specific growth rate, feed consumption, feed conversion ratio, protein efficiency ratio, protein retention, fat retention, phosphorus and calcium retention, hepatosomatic index, survival rate, the digestibility of total feed, protein, phosphorus, and calcium. The result showed at first step that steaming gave the best result to reducing phytic acid and increasing digestibility, second step showed fermentation could increasing phosphorus and calcium, protein content, reducing phytic acid and crude fiber fraction also increasing corn digestibility. The third step result showed that 10-15% fermented corn meal in feed gave the best specific growth rate, feed conversion ratio, protein efficiency ratio, protein retention, and protein digestibility (P<0.05). Fat retention, hepatosomatic index, and survival rate were not significantly different (P>0.05) among treatments. The feed up to 15% fermented corn meal level gave the best growth for tilapia fingerling. Keywords: Physical mechanism, fermented corn meal, Rhizopus oligosporus, growth, tilapia
RINGKASAN REZA SAMSUDIN. Perbaikan Kualitas Nutrisi Jagung Menggunakan Mekanisme Fisik dan Fermentasi Rhizopus oligosporus Serta Pemanfaatannya dalam Formulasi Pakan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Dibimbing oleh NUR BAMBANG PRIYO UTOMO dan MIA SETIAWATI Ketersediaan pakan ikan yang efektif, efisien, ramah lingkungan, dan dengan harga yang terjangkau perlu diperhatikan. Pakan mempengaruhi aspek biologis maupun aspek ekonomis karena biaya produksi terbesar untuk pengadaan pakan. Untuk mencapai hal ini perlu diusahakan peningkatan penggunaan bahan baku lokal asal nabati antara lain jagung. Jagung memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan bahan pakan lain diantaranya diproduksi sepanjang tahun dengan jumlah produksi yang cukup tinggi serta diproduksi hampir diseluruh wilayah Indonesia. Untuk meningkatkan mutu jagung maka diperlukan pengolahan baik menggunakan proses fisik maupun biologis. Penelitian terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah pengolahan jagung menggunakan mekanisme fisik yaitu perendaman, perebusan dan pengukusan. Parameter yang diamati pada tahap pertama adalah analisis proksimat jagung, analisis fraksi serat kasar, kandungan fosfor dan kalsium, asam fitat, amilosa dan amilopektin, serta nilai kecernaan (kecernaan total, protein, energi, dan bahan). Selanjutnya hasil terbaik tahap pertama digunakan pada tahap kedua. Tahap kedua adalah fermentasi bahan tahap pertama menggunakan Rhizopus oligosporus. Uji pendahuluan tahap kedua adalah penentuan dosis dan lama fermentasi. Tahap kedua fermentasi menggunakan R. oligosporus dengan dosis 109 spora/sel dan masa fermentasi lima hari. Parameter yang diuji pada tahap kedua meliputi analisis proksimat jagung, analisis fraksi serat kasar, kandungan fosfor dan kalsium, asam fitat, serta nilai kecernaan (kecernaan total, protein, energi, dan bahan). Tahap ketiga merupakan uji biologis jagung hasil fermentasi pada ikan nila. Perlakuan yang digunakan yaitu kandungan jagung fermentasi sebesar 0, 5, 10, 15, dan 20% dari total formulasi pakan. Ikan nila dengan bobot awal rata-rata 5,0±0,14 gram/ekor dengan padat penebaran 10 ekor dipelihara pada akuarium bervolume 60 liter. Ikan uji diberi pakan sekenyangnya dengan frekuensi pemberian pakan tiga kali sehari. Parameter yang diamati meliputi konsumsi pakan, konversi pakan, pertumbuhan spesifik, rasio efisiensi protein, retensi (protein, lemak, fosfor, kalsium), kecernaan (total, protein, fosfor, kalsium, energi), indeks hepatosomatik, gula darah selama 24 jam, glikogen hati, serta tingkat kelangsungan hidup ikan uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknik pengukusan dapat memperbaiki kualitas jagung. Pengukusan tidak mempengaruhi analisis proksimat jagung serta kandungan fosfor dan kalsium (P>0,05). Pengukusan mampu menurunkan kandungan asam fitat serta meningkatkan kecernaan (total, protein, energi, dan bahan) secara signifikan (P<0,05). Selanjutnya hasil tahap satu digunakan pada tahap kedua. Fermentasi jagung menggunakan R. oligosporus mampu meningkatkan kandungan protein pakan. Fermentasi juga mampu meningkatkan kandungan fosfor dan kalsium, menurunkan asam fitat, menurunkan kandungan selulosa, lignin, dan acid detergent fiber (ADF) serta meningkatkan nilai kecernaan jagung (total, protein, energi, dan bahan) secara
signifikan (P<0,05). Namun fermentasi juga meningkatkan fraksi serat kasar yang lain yaitu hemiselulosa dan neutral acid fiber (NDF). Hasil tahap tiga menunjukkan bahwa penggunaan jagung fermentasi sebesar 10-15% dalam formulasi pakan memberikan nilai terbaik (P<0,05) pada parameter tingkat konsumsi pakan, rasio efisiensi protein, pertumbuhan spesifik, konversi pakan, retensi (protein, kalsium dan fosfor), nilai kecernaan (total, protein, kalsium dan fosfor). Penggunaan pakan dengan kandungan jagung fermentasi yang berbeda tidak mempengaruhi (P>0,05) nilai indeks hepatosomatik dan tingkat kelangsungan hidup ikan uji.
Kata kunci : Mekanisme fisik, jagung pertumbuhan, ikan nila
fermentasi,
Rhizopus
oligosporus,
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERBAIKAN KUALITAS NUTRISI JAGUNG MENGGUNAKAN MEKANISME FISIK DAN FERMENTASI Rhizopus oligosporus SERTA PEMANFAATANNYA DALAM FORMULASI PAKAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
REZA SAMSUDIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Dinamella Wahyuningrum, S.Si, M.Si
Judul Tesis
:
Nama : NIM : Program Studi :
Perbaikan Kualitas Nutrisi Jagung Menggunakan Mekanisme Fisik dan Fermentasi Rhizopus oligosporus Serta Pemanfaatannya dalam Formulasi Pakan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Reza Samsudin C151 090 271 Ilmu Akuakultur
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si Ketua
Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 5 Desember 2011
Tanggal Lulus: 21 Desember 2011
PRAKATA
Puji dan syukur dari segenap keikhlasan hati penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-NYA dan shalawat serta salam kepada Rasulullah Muhammad SAW sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Perbaikan Kualitas Bahan Baku Jagung Menggunakan Mekanisme Fisik dan Fermentasi Rhizopus oligosporus Serta Pemanfaatannya dalam Formulasi Pakan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing yaitu Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si dan Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si. Terima kasih diucapkan kepada Dr. Dinamella Wahyuningrum M.Si sebagai Penguji Luar Komisi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada BPSDM-KKP yang telah berkenan memberikan beasiswa bagi penulis. Terima kasih diucapkan kepada Dr. Estu Nugroho, Dr. Tri Heru Prihadi dan Dr. Rudi Gustiano, Ir. Ningrum Suhenda, MS., Drs. Hidayat Djajasewaka, Dr. Zafril Imran Azwar, Dr. Mas Tridjoko Sunarno, Dra. Kusdiarti, M.Si, Prof. Dr. Fatuchri Sukadi. Terima kasih kepada rekan-rekan teknisi: Rizki Maulana A.md, Teguh A.md, Aditya S.Pi, Hendra, Pak Usman, Ibu Ati beserta rekan-rekan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) yang telah banyak mendukung penelitian ini. Terima kasih diucapkan kepada Yuki Hana Eka Frandy, S.Pi yang telah berkenan mengoreksi tulisan ini. Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada kepada teman-teman Akuakultur 2009 atas masukanmasukan dan dukungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian. Kiranya Allah SWT akan membalas kebaikan semua yang telah membantu penulis selama ini.
Bogor, Desember 2011
Reza Samsudin
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta dari ayah Abdul Soleh dan ibu Suryatin. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan S1 lulus dari Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bertugas di BRPBAT-KKP, Ka. Instalasi Riset Plasma Nutfah Perikanan Budidaya, Cijeruk, Bogor (2007-2009) dan
sebagai peneliti di BRPBAT-KKP (2004-
sekarang). Penulis aktif mengikuti berbagai seminar/semiloka terkait dengan bidang keilmuan yang penulis tekuni diantaranya Seminar Nasional Bioteknologi IPB, Seminar Nasional Perikanan UGM (2006-2009), Seminar Nasional Perikanan Univ. Brawijaya (2008), Seminar Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (20092011), Seminar Nasional Ikhtiologi (2010), Seminar Nasional Limnologi LIPI (2009-2010), Seminar International Rural Aquaculture SEAFDEC (2006). Penulis juga aktif dalam mengikuti berbagai pelatihan terkait dengan bidang keahlian diantaranya Aquaculture Nutrition MasterClass I AIT-ATSE-NACAFAO (2006), Rural Aquaculture Development SEAFDEC (2009), Aquaculture Nutrition MasterClass II CSIRO-FAO (2009), BIMTEK Penulisan Karya Ilmiah (2005), Pelatihan Tata Operasional dan Standar Keselamatan Laboratorium (2009), dan lain sebagainya. Penulis pernah menjadi narasumber pada beberapa kegiatan diantaranya IPTEKMAS budidaya baung di Sumatera Selatan (2007), IPTEKMAS pakan untuk budidaya nilem di Purwokerto (2008), Pelatihan Pembuatan dan Manajemen pemberian pakan Kab. Bogor (2007), Diseminasi teknologi pakan di Tasikmalaya (2009). Beberapa karya tulis ilmiah telah penulis publikasikan baik sendiri maupun bersama tim diantaranya pada Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (akreditasi A), Berita Biologi LIPI (akreditasi), Indonesian Journal Research of Aquaculture (terakreditasi), Jurnal Limnologi, serta berbagai prosiding nasional.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... vii DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................. Hipotesis ................................................................................................ Ruang Lingkup .......................................................................................
1 3 3 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan nutrisi ikan nila ..................................................................... Jagung ..................................................................................................... Perlakuan fisik ........................................................................................ Fermentasi ............................................................................................. Rhizopus oligosporus .............................................................................
5 7 12 13 14
BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Percobaan ................................................................. Prosedur Penelitian ................................................................................. Mekanisme fisik untuk meningkatkan kualitas jagung ....................... Mekanisme Fermentasi Tepung Jagung ............................................. Uji Pertumbuhan dan Kecernaan pada Ikan Nila ............................... Analisis Data ..........................................................................................
17 17 17 19 21 26
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I. Mekanisme fisik untuk meningkatkan kualitas jagung .................... Tahap II. Mekanisme fermentasi tepung jagung ............................................ Tahap III. Uji pertumbuhan dan kecernaan pada ikan nila .........................
27 35 45
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN ................................................................................................
57 59 67
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Komposisi kimia per bagian biji jagung ...............................................
9
2
Komposisi kimia dan nutrisi beberapa jenis jagung ..............................
10
3
Kandungan amilosa dan amilopektin pada beberapa jenis jagung .........
10
4
Kandungan asam amino beberapa jenis jagung ....................................
11
5
Kandungan mineral pada beberapa galur jagung ..................................
12
6
Komposisi pakan acuan dan pakan uji pada uji kecernaan (%) .............
18
7
Komposisi pakan acuan dan pakan uji pada uji kecernaan setelah proses fermentasi (%) ..................................................................................... 21
8
Komposisi pakan percobaan ................................................................
22
9
Analisis proksimat jagung hasil perlakuan fisik ...................................
27
10
Kandungan amilosa, amilopektin, serta rasio keduanya pada jagung hasil perlakuan fisik ............................................................................
30
Nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan pada jagung hasil perlakuan fisik ....................................................................................
31
Nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan jagung sebelum dan setelah fermentasi................................................................................
40
Konsumsi pakan, laju pertumbuhan spesifik, konversi pakan, sintasan, dan rasio efisiensi protein ikan uji selama masa pemeliharaan .............
45
14
Kualitas air akuarium selama masa pemeliharaan ................................
50
15
Kebutuhan asam amino esensial ikan nila dan kandungan asam amino esensial pakan uji ................................................................................
53
11 12 13
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Struktur biji jagung ...............................................................................
8
2
Kandungan fosfor jagung hasil perlakuan fisik ......................................
28
3
Kandungan kalsium jagung hasil perlakuan fisik ...................................
28
4
Fraksi serat kasar hasil perlakuan fisik ..................................................
29
5
Kandungan asam fitat jagung hasil perlakuan fisik ................................
31
6
Analisis proksimat jagung sebelum dan setelah fermentasi dengan dosis yang berbeda ........................................................................................ 35
7
Analisis proksimat jagung sebelum dan setelah fermentasi dengan lama waktu fermentasi yang berbeda .............................................................
36
8
Kandungan asam fitat jagung sebelum dan setelah fermentasi ...............
37
9
Kandungan fosfor serta kalsium jagung sebelum dan setelah fermentasi
37
10 Kandungan neutral detergent fiber (NDF) dan hemiselulosa jagung sebelum dan setelah fermentasi .............................................................
38
11 Kandungan lignin, selulosa, dan acid detergent fiber (ADF) jagung sebelum dan setelah fermentasi .............................................................
39
12 Mekanisme hidrolisis asam fitat oleh fitase ...........................................
42
13 Retensi nutriea ikan nila selama masa penelitian ...................................
47
14 Indeks hepatosomatik ikan nila setiap perlakuan selama penelitian .......
47
15 Kadar glukosa darah ikan uji selama 24 jam masa pengamatan .............
48
16 Kadar glikogen hati ikan uji sebelum dan setelah masa pemeliharaan....
49
17 Kecernaan nutriea pada setiap perlakuan selama masa pemeliharaan.....
50
18 Pola asam amino pakan dan pola kebutuhan asam amino ikan nila ........
53
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) 69
2
Penentuan kadar NDF (Neutral Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) .................................................................................................... 70
3
Penetapan kadar Lignin ........................................................................
71
4
Prosedur analisis proksimat ..................................................................
72
5
Penentuan Kadar Asam Fitat ....................................................................
75
6
Kadar glukosa darah ikan selama 24 jam ..............................................
76
7
Analisis proksimat jagung hasil perlakuan fisik ....................................
77
8
Kandungan dan hasil analisis statistik neutral detergent fiber (NDF) jagung perlakuan fisik .........................................................................
78
9
Kandungan dan hasil analisis statistik Acid detergent fiber (ADF) jagung perlakuan fisik .......................................................................... 79
10 Kandungan dan hasil analisis statistik lignin jagung perlakuan fisik ......
80
11 Kandungan dan hasil analisis statistik selulosa jagung perlakuan fisik ..
81
12 Kandungan dan hasil analisis statistik hemiselulosa jagung perlakuan fisik ...................................................................................................... 13 Anova dan uji lanjut kecernaan bahan jagung perlakuan fisik ...............
82 83
14 Anova dan uji lanjut kecernaan total, protein, dan energi jagung perlakuan fisik ......................................................................................
84
15 Kandungan dan analisis statistik asam fitat pada perlakuan fermentasi ..
87
16 Data dan analisis statistik fraksi serat kasar jagung sebelum dan setelah Fermentasi ............................................................................................
88
17 Kandungan dan analisis statistik kalsium dan fosfor jagung sebelum dan setelah fermentasi .................................................................................
89
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan nila merupakan salah satu ikan air tawar yang banyak dibudidayakan di masyarakat (Gustiano et al. 2008). Penyebaran budidaya ikan nila hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan memasukkan ikan nila sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya untuk mencapai visi produksi perikanan 2009-2014. Produksi ikan nila yang ditargetkan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014 sebesar 1.242.900 ton dengan kenaikan produksi pertahun rata-rata 27%. Untuk mendukung target tersebut maka diperlukan beberapa input produksi salah satunya pakan (Azwar dan Rostika 2010). Ketersediaan pakan ikan yang efektif, efisien, ramah lingkungan, dan dengan harga yang terjangkau perlu diperhatikan. Pakan mempengaruhi aspek biologis maupun aspek ekonomis karena biaya produksi terbesar adalah untuk pengadaan pakan (Suprayudi 2010). Pembudidaya mengharapkan memperoleh pakan yang relatif murah sesuai dengan kemampuan daya belinya. Data Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) menunjukkan bahwa hampir seluruh komponen bahan pakan ikan masih diimpor. Hal ini berdampak pada tingginya harga pakan ikan di dalam negeri (Indradjaja 2010). Untuk mencapai hal ini perlu diusahakan peningkatan penggunaan bahan baku lokal asal nabati antara lain jagung. Jagung memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan bahan pakan lain diantaranya diproduksi sepanjang tahun dengan jumlah produksi yang cukup tinggi serta diproduksi hampir diseluruh wilayah Indonesia (Widowati et al. 2005). Produksi jagung Indonesia pada tahun 2010 mencapai hampir 20 juta ton (Kementerian Pertanian 2010). Daerah produksi jagung meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia dengan sentra produksi terbesar berada di propinsi Lampung, Gorontalo, dan Jawa Timur (Suarni dan Firmansyah 2005). Kandungan gizi utama jagung adalah pati (7273%) dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30% dan 70-75% (Suarni dan Widowati 2009). Selain pati, jagung juga mengandung protein (8-11%), asam lemak linoleat (omega-6), vitamin A, vitamin E, dan beberapa mineral esensial.
Namun jagung memiliki beberapa kelemahan diantaranya proteinnya berkisar antara 6-11% (Widowati et al. 2005), kecernaan tepung jagung berkisar 58-72 % (Suhenda et al. 2010). Jagung juga memiliki zat anti nutrisi seperti asam fitat (Baruah et al. 2004) dimana asam fitat membentuk kompleks dengan protein dan asam amino, sehingga akan mengurangi kecernaan protein (Ravindran 2000). Karbohidrat merupakan sumber energi yang relatif murah namun informasi penggunaannya dalam proses metabolisme dan pencernaannya pada ikan nila sedikit tersedia (NRC 1977). Selain itu, kecernaan karbohidrat pada ikan relatif rendah (Halver 1976). Selanjutnya, kulit ari jagung mengandung serat kasar yang tinggi, yaitu 86,7% yang terdiri dari hemiselulosa (67%), selulosa (23%), dan lignin 0,1 % (Burge dan Duensing 1989). Untuk meningkatkan mutu jagung maka diperlukan pengolahan baik menggunakan proses fisik maupun biologis. Proses pengolahan secara fisik (perendaman, perebusan, dan pengukusan) mampu meningkatkan nilai kecernaan tepung jagung (Suarni 2005; Zinn et al. 2008). Pengolahan secara biologis melalui fermentasi merupakan proses yang relatif murah dan proses ini dengan cara dan dosis yang sesuai mampu menyederhanakan karbohidrat kompleks, membentuk protein sehingga nilai gizi bahan pakan yang difermentasi lebih tinggi dari bahan asalnya (Winarno et al. 1980). Organisme yang banyak digunakan untuk fermentasi bahan yang mengandung karbohidrat tinggi adalah kapang dari jenis Rhizopus oligosporus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan R. oligosporus mampu meningkatkan protein substrat, mengurangi kandungan asam fitat, serta meningkatkan kecernaan bahan yang difermentasi (Suhenda et al. 2009). Sejak ikan nila diketahui mampu memanfaatkan nutriea yang berasal dari bahan nabati (Olvera-Novoa et al. 1997; Fagbenro 1998; Twibell and Brown 1998; El-Sayed 1999; Fontainhas-Fernandes 1999; Ogunji and Wirth 2000; Maina et al. 2002; Gonzales Jr. et al. 2007) diharapkan jagung yang telah melalui pengolahan secara fisik dan biologis/fermentasi dapat digunakan dengan baik oleh ikan nila. Akhir penelitian diharapkan diperoleh pakan yang dapat menekan biaya produksi ikan nila.
Perumusan Masalah Jagung merupakan salah satu bahan baku yang dapat digunakan dalam pakan ikan. Secara umum jagung memiliki ketersediaan yang cukup tinggi, tersedia sepanjang tahun serta memiliki kelimpahan yang hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Permasalahan yang ada saat ini jagung yang memiliki kandungan protein yang rendah, adanya anti nutrisi (asam fitat), serta tingkat kecernaan jagung secara umum lebih rendah dibandingkan beberapa bahan baku pakan lainnya. Berdasarkan permasalahan yang ada maka diperlukan teknik pengolahan baik secara fisik (perendaman, perebusan, dan pengukusan) serta biologis (fermentasi) untuk meningkatkan kualitas jagung sebagai bahan baku pakan ikan. Hasil penelitian Suarni (2005) menunjukkan melalui proses fisik, fraksi serat kasar pada jagung dapat berubah sehingga mampu meningkatkan kecernaan tepung jagung. Suhenda et al. (2010) menunjukkan bahwa penggunaan proses fermentasi pada jagung mampu meningkatkan kandungan protein, menurunkan kandungan asam fitat, serta meningkatkan kecernaan pakan pada ikan mas. Oleh karena itu, penggunaan mekanisme fisik (rendam, rebus, kukus) dan biologi (fermentasi menggunakan R.oligosporus) pada jagung diharapkan dapat meningkatkan protein bahan, mengurangi zat anti nutrisi, serta meningkatkan kecernaan jagung.
Pada penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan penggunaan jagung dalam pakan ikan nila dan akhirnya dapat menekan biaya produksi budidaya ikan nila.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui dan menguji mekanisme fisik (rendam, rebus, kukus) yang terbaik untuk mengurangi zat anti nutrisi serta meningkatkan kecernaan jagung 2. Mengetahui kombinasi mekanisme fisik yang dilanjutkan dengan fermentasi R. oligosporus untuk meningkatkan kualitas jagung. 3. Mengetahui dan menguji penggunaan kadar jagung yang optimal hasil perlakuan fisik dan fermentasi dengan R. oligosporus terhadap kualitas pakan dan kinerja pertumbuhan ikan nila.
Manfaat penelitian Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peningkatan kualitas jagung melalui proses fisik dan biologis serta kadar yang optimal dalam pakan untuk memberikan laju pertumbuhan dan efisiensi pakan yang maksimal pada ikan nila. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah penggunaan tepung jagung hasil pengolahan fisik dan biologis yang optimal dalam pakan dapat memberikan laju pertumbuhan dan efisiensi pakan yang maksimal pada ikan nila. Ruang Lingkup Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap penggunaan mekanisme fisik dalam pengolahan jagung, tahap kombinasi penggunaan mekanisme fisik yang dilanjutkan dengan fermentasi dan tahap pengujian pengaruh penggunaan jagung hasil tahap satu dan dua terhadap kualitas pakan dan kinerja pertumbuhan ikan nila.
TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila Kebutuhan nutrisi ikan akan terpenuhi dengan adanya pakan. Komponen pakan yang berkontribusi terhadap penyediaan materi dan energi tumbuh adalah protein, karbohidrat dan lemak. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah ukuran ikan, suhu air, kadar pemberian pakan, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein (Furuichi 1988). Protein merupakan molekul kompleks yang terdiri dari asam amino esensial dan non esensial. Protein adalah nutrien yang sangat dibutuhkan untuk perbaikan jaringan tubuh yang rusak, pemeliharaan protein tubuh untuk pertumbuhan, materi untuk pembentukan enzim dan beberapa jenis hormon, dan juga sebagai sumber energi (NRC 1993). Sekitar 65-75% dari tubuh ikan dalam berat kering merupakan protein (Halver 2001). Ikan menggunakan protein secara efisien sebagai sumber energi (Lovell 1989). Pertumbuhan maksimum pada ikan nila didapat dengan level protein 3550%, tetapi level optimum dalam pakan komersil untuk ukuran juvenil sampai dengan dewasa biasanya 25-35% (Popma & Lovshin 1996). Pada kolam atau tambak yang memiliki pakan alami yang dapat menyumbangkan protein bagi ikan, kadar protein yang memadai untuk ikan dapat berkisar antara 20-25% (Webster & Lim 2002). Jika ikan kekurangan sumber protein, maka pertumbuhan akan terhambat dikarenakan protein
yang
dimakan
oleh
ikan akan digunakan untuk
mempertahankan fungsi jaringan tubuh yang lebih penting. Hal ini bahkan dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot ikan karena protein yang terkandung dalam jaringan tubuh ikan dipecah kembali untuk mempertahankan fungsi jaringan tubuh yang lebih penting tersebut (NRC 1993; Halver 2001). Lemak merupakan salah satu makronutrien bagi ikan karena selain berfungsi sebagai sumber energi non protein dan asam lemak esensial, juga berfungsi memelihara bentuk dan fungsi fosfolipid, membantu dalam absorpsi vitamin yang larut dalam lemak dan mempertahankan daya apung tubuh (NRC 1993; Halver 2001).
Lemak pakan merupakan sumber asam lemak esensial yang dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan metabolisme tubuh (NRC 1993). Satu gram lemak memiliki energi dalam pakan (gross energy) sebesar 9.4 kkal, sedangkan dalam protein dan karbohidrat sebesar 5.6 dan 4.1 kkal (Watanabe 1988). Jenis asam lemak yang dibutuhkan ikan di antaranya asam lemak omega 3 dan omega 6, berupa asam linolenat, asam linoleat, EPA dan DHA. Akan tetapi menurut Takeuchi et al. (1983) dalam Watanabe (1988), jenis asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh ikan nila adalah asam lemak linoleat. Kadar lemak sebesar 5% sudah mencukupi untuk kebutuhan ikan nila, tetapi jika kadar lemak dalam pakan
ditingkatkan menjadi 12% akan memberikan pengaruh berupa
perkembangan maksimal pada ikan nila (Webster & Lim 2002). Menurut Lovell (1989), sumber lemak yang baik untuk ikan nila adalah berasal dari minyak nabati seperti minyak jagung atau minyak kedelai yang memiliki kandungan asam linoleat yang ditunjukkan dengan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan minyak ikan yang memiliki kandungan EPA. Kekurangan kadar asam lemak omega 3 dan 6 pada pakan dapat menyebabkan nafsu makan ikan menurun, pertumbuhan lambat, pembengkakan, pucat dan timbunan lemak di hati. Karbohidrat
merupakan
sumber
energi
yang
murah
dan
dapat
menggantikan atau menghemat penggunaan protein (protein sparing effect) yang lebih mahal sebagai sumber energi (Millamena 2002). Menurut NRC (1993), karbohidrat dalam pakan dapat berupa serat kasar atau bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). BETN mengandung banyak gula dan pati yang bersifat mudah dicerna sedangkan serat kasar kaya akan lignin dan selulosa yang sukar untuk dicerna. Lovell (1989) mengemukakan bahwa pemberian tingkat energi yang optimum dalam pakan sangat penting karena kelebihan dan kekurangan energi dapat menurunkan pertumbuhan ikan. Pemanfaatan karbohidrat oleh ikan berbeda-beda bergantung pada kompleksitas karbohidrat. Kadar optimum karbohidrat dalam pakan sulit untuk ditentukan karena protein dan lemak mendahului fungsi karbohidrat sebagai sumber energi (Furuichi 1988). Ikan-ikan karnivora tidak mampu memanfaatkan
karbohidrat kompleks sebagai sumber energi utama dalam pakannya pada level yang tinggi. Ikan-ikan omnivora dan herbivora dapat mencerna karbohidrat yang berasal dari tumbuhan (Yamada 1983). Ikan-ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat optimum pada tingkat 10-20% dalam pakannya sedangkan ikan-ikan omnivora mampu memanfaatkan karbohidrat optimum sebesar 30-40% dalam pakan (Furuichi 1988). Komponen lain yang dibutuhkan dalam pakan ikan yaitu vitamin dan mineral. Jumlah vitamin dan mineral yang dibutuhkan dalam pakan sangatlah kecil namun kehadirannya dalam pakan sangat penting karena dibutuhkan untuk tumbuh dan menjalankan beberapa fungsi tubuh. NRC (1993) menjelaskan bahwa mineral merupakan senyawa yang digunakan untuk proses respirasi, osmoregulasi dan pembentukan kerangka tulang. Vitamin merupakan senyawa organik kompleks yang diperlukan untuk pertumbuhan normal, reproduksi, kesehatan dan metabolisme secara umum.
Jagung Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, sesuai ditanam di wilayah bersuhu tinggi, dan pematangan tongkol ditentukan oleh akumulasi panas yang diperoleh tanaman. Luas pertanaman jagung di seluruh dunia lebih dari 100 juta ha, menyebar di 70 negara, termasuk 53 negara berkembang. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai lingkungan. Jagung tumbuh baik di wilayah tropis hingga 50° LU dan 50° LS, dari dataran rendah sampai ketinggian 3.000 m di atas permukaan laut (dpl), dengan curah hujan tinggi, sedang, hingga rendah sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al. 1996).
Struktur biji jagung Secara struktural, biji jagung yang telah matang terdiri atas empat bagian utama, yaitu perikarp, lembaga, endosperm, dan tip kap (Gambar 1). Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama proses pembentukan biji. Pada waktu kariopsis masih muda, sel-selnya kecil dan tipis, tetapi sel-sel itu berkembang seiring dengan bertambahnya umur biji. Pada taraf
tertentu lapisan ini membentuk membran yang dikenal sebagai kulit biji atau testa/aleuron yang secara morfologi adalah bagian endosperm. Bobot lapisan aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji (Inglett 1987). Lembaga merupakan bagian yang cukup besar. Pada biji jagung tipe gigi kuda, lembaga meliputi 11,5% dari bobot keseluruhan biji. Lembaga ini sendiri sebenarnya tersusun atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio (embryonic axis). Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85%, hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury endosperm) dan bagian yang keras (homy endosperm) (Wilson 1981). Lembaga terdiri atas plumula, radikel, dan skutelum, yaitu sekitar 10% dan perikarp 5%. Perikarp merupakan lapisan luar biji yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10% protein (Mertz 1972). Setiap tip cap adalah bagian yang menghubungkan biji dengan janggel. Lapisan aleuron, perikarp, dan lembaga mengandung protein dengan kadar yang berbeda. Lembaga juga mengandung lemak dan mineral (Inglett 1987). Menurut Widowati et al. (2005) kulit ari jagung dicirikan oleh kandungan serat kasar yang tinggi, yaitu 86,7%, yang terdiri atas hemiselulosa (67%), selulosa (23%), dan lignin (0,1%). Di sisi lain, endosperma kaya akan pati (87,6%) dan protein (8%), sedangkan kadar lemaknya relatif rendah (0,8%). Lembaga dicirikan oleh tingginya kadar lemak (33%), protein (18,4%), dan mineral (10,5%). Gambaran komposisi proksimat bagian jagung disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1. Struktur biji jagung (Widowati et al. 2005)
Tabel 1. Komposisi nutriea per bagian biji jagung Nutriea
Bagian Jagung Endosperma
Lembaga
Kulit ari
Tip cap
8 0,8 2,7 0,3 87,6 0,62
18,4 33,.2 8,8 10,5 8,3 10,8
3,7 1 86,7 0,8 7,3 0,34
9,1 3,8 1,6 5,3 1,6
Protein (%) Lemak (%) Serat Kasar (%) Abu (%) Pati (%) Gula (%)
Komposisi kimia dan nilai nutrisi jagung Komposisi kimia dan nilai nutrisi jagung sangat bervariasi, tergantung pada jenis jagung yang diuji (Widowati et al. 2005). Analisis kimia fraksi-fraksi biji jagung menunjukkan bahwa masing-masing fraksi mempunyai sifat yang berbeda. Dalam proses pengolahan dengan menghilangkan sebagian dari fraksi biji jagung akan mempengaruhi nilai nutrisi produk akhirnya. Secara umum komponen nutrisi yang terkandung dalam biji jagung meliputi pati, protein, lemak, serat, vitamin serta mineral. Komposisi kimia beberapa jenis jagung disajikan pada Tabel 2. Komposisi nutrisi utama pada jagung adalah pati, hampir 70% kandungan jagung berupa pati (Mangunwidjaja 2003). Komponen karbohidrat lain adalah gula sederhana yaitu glukosa, sukrosa, dan fruktosa, berkisar 1-3% dari bobot biji. Komposisi amilosa dan amilopektin di dalam biji jagung terkontrol secara genetik. Secara umum baik jagung yang memiliki tipe endosperma dent maupun flint mengandung amilosa 25-30% dan amilo pektin 70-75%. Namun jagung ketan (waxy maize) mengandung 100% amilopektin (Widowati et al. 2005). Pati jagung terdiri dari dua jenis polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan rantai glukosa yang panjang tetapi tidak bercabang sedangkan amilopektin strukturnya
bercabang.
Amilopektin merupakan polisakarida
bercabang dan titik percabangannya lebih banyak dibandingkan dengan amilosa (Dziedzic dan Kearsley 1995). Komposisi serta perbandingan amilosaamilopektin pada beberapa jenis jagung disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Komposisi kimia dan nutrisi beberapa jenis jagung Varietas jagung
Kandungan nutrisi (%) Air
Abu
Protein
Serat Kasar
Kristalin 10,50 1,70 10,30 2,20 Floury 9,60 1,70 10,70 2,20 Starchy 11,20 2,90 9,10 1,80 Manis 9,50 1,50 12,90 2,90 Pop 10,40 1,70 13,70 2,50 Hitam 12,30 1,20 5,20 1,00 Srikandi putih 10,08 1,81 9,99 2,99 Srikandi Kuning 11,03 1,85 9,95 2,97 Anoman 10,07 1,89 9,71 2,05 Lokal Pulut 11,12 1,99 9,71 3,02 Lokal non Pulut 10,09 2,01 8,78 3,12 Bisi 2 9,70 1,00 8,40 2,20 Lemuru 9,80 1,20 6,90 2,60 Sumber : Widowati et al. (2005); Suharyono et al. (2005)
Lemak
Karbohidrat
5,00 5,40 2,20 3,90 5,70 4,40 5,05 5,10 4,56 4,96 4,92 3,60 3,20
70,30 70,40 72,80 69,30 66,00 75,90 73,07 72,07 73,77 72,81 74,20 75,10 76,30
Tabel 3. Kandungan amilosa dan amilopektin pada beberapa jenis jagung Varietas Srikandi putih Srikandi Kuning Anoman Lokal non Pulut Lokal Pulut Sukmaraga Sumber : Suarni (2005)
Amilosa (%)
Amilopektin (%)
31,05 30,14 29,91 28,50 4,25 34,55
68,95 69,86 70,08 71,50 95,75 65,45
Komponen terbesar kedua setelah pati pada jagung adalah protein. Komponen ini terkonsentrasi pada lembaga. Protein jagung terdiri dari lima fraksi yaitu fraksi albumin (7%), globulin (5%), nitrogen non protein (7%), prolamin (55%), dan residu protein (5%) dari total protein (Widowati et al. 2005). Pada umumnya jagung memiliki kandungan lisin dan metionin yang rendah dibandingkan dengan jenis serealia lainnya. Kandungan asam amino lengkap biji jagung disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan asam amino beberapa jenis jagung Asam amino
Varietas jagung Srikandi Putih
Aspartat 0,83 Glutamat 2,28 Serin 0,48 Histidin 0,45 Glisin 0,53 Threonin 0,34 Arginin 0,60 Alanin 0,89 Tirosin 0,36 Methionin 0,28 Valin 0,53 Fenilalanin 0,54 Isoleusin 0,48 Leusin 1,41 Lisin 0,43 Triptofan 0,13 Sumber : Suarni & Firmansyah (2005)
Srikandi Kuning
Lokal non pulut
0,86 2,27 0,46 0,43 0,52 0,31 0,58 0,87 0,34 0,27 0.52 0,55 0,49 1,39 0,43 0,12
0,44 0,64 0,19 0,49 0,20 0,11 0,20 0,19 1,05 0,38 0,44 1,58 0,13 0,24 0,20 0,04
Serat kasar dan mineral Kandungan serat kasar tertinggi diperoleh dari bagian kulit ari jagung. Widowati et al. (2005) melaporkan bahwa kandungan kulit ari (bran) jagung terdiri atas 75% hemiselulosa dan 25% selulosa serta 0,1 lignin. Kadar serat kasar pada jagung tanpa kulit ari (dehulled) sangat rendah dibandingkan dengan biji utuh. Kadar abu jagung sekitar 1,3%. Kadar mineral jagung dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lembaga jagung mengandung mineral jauh lebih tinggi dibandingkan dengan endosperma. Kandungan mineral yang paling utama adalah fosfor serta beberapa mineral lain dalam bentuk potasium dan magnesium fitat (Suarni 2005).
Tabel 5. Kandungan mineral pada beberapa galur jagung Varietas/Galur Bisma Maros sintetik Gumarang Kresna Lamuru Koasa (lokal) Sumber : Suarni (2005)
Kandungan mineral (mg/100 g) Fe
Ca
P
K
2,6 2,4 2,7 3.6 2,5
22,2 20,4 20,8 23,8 22,2 28,7
240 250 230 245 250 233
280 305 275 295 290 300
Perlakuan fisik Beberapa usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan baku pangan/pakan diantaranya melalui proses fisik. Proses fisik yang sering kali digunakan dalam pengolahan bahan pangan diantaranya melalui proses pemanasan basah. Suarni (2005) menggunakan proses pemanasan/ pengukusan biji jagung untuk meningkatkan daya cerna jagung. Proses perebusan dan pengukusan dapat memutuskan beberapa ikatan terutama ikatan hidrogen sehingga dalam suatu bahan, molekul-molekul kompleks dapat terpecah menjadi molekul yang lebih sederhana serta mengakibatkan perubahan fisik pada bahan yang diberi perlakuan. Beberapa bahan terutama serat yang larut dalam air akan larut dalam air rebusan sehingga mengurangi bahan tersebut dalam bahan pangan yang direbus. (Lehninger 1982). Selama proses pengukusan terjadi pemutusan beberapa rantai amiloglukosa sehingga pati mengalami gelatinisasi. Hal ini mengakibatkan pati yang terkandung dalam jagung lebih mudah dicerna dibandingkan dengan jagung yang tidak melalui proses pengukusan (Zinn 1990). Proses pengukusan pada jagung mengakibatkan kenaikan nilai kecernaan N, meningkatkan kecernaan karbohidrat total, serta menurunkan kandungan serat netral (NDF) (Zinn et al. 2008). Selain melalui proses pemanasan, dalam pengolahan hasil pertanian terutama serealia sering juga digunakan proses perendaman (Mangunwidjaja 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa melalui proses perendaman, mampu memperlunak kulit ari biji jagung serta melarutkan beberapa bahan anti nutrisi
yang larut dalam air. Hasil penelitian Johnston & Singh (2004) menunjukkan bahwa melalui proses perendaman, biji jagung memiliki nilai kecernaan yang lebih tinggi. Melalui proses perendaman, biji jagung mengalami penurunan kandungan serat kasar, peningkatan proses germinasi, serta terjadi proses perubahan struktur pati yang terdapat dalam jagung (Johnston & Singh 2004). Hemiselulosa dan substansi pektin mampu mengikat air selama proses perendaman, selanjutnya larut ke dalam air rendaman (Aini et al. 2009). Fermentasi Fermentasi adalah proses pengolahan yang memanfaatkan aktivitas metabolisme mikroba untuk menghasilkan senyawa antara, produk akhir, metabolit sekunder, maupun biomassa. Fermentasi timbul sebagai hasil metabolisme aeraob dan anaerob dimana beberapa mikroba dapat mencerna bahan baku energinya (umumnya glukosa) yang berasal dari substrat tempat mikroba itu berada (Buckle 1987). Fermentasi hanya dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba pada substrat yang sesuai (Rahayu et al. 1992). Serat substrat terpenting adalah sebagai sumber energi dan bahan pembentuk sel dan produk metabolisme (Rachman 1989). Bahan pangan umumnya merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba serta terjadinya fermentasi pada bahan tersebut dan akan mengakibatkan perubahan sifat bahan pangan tersebut. Menurut Buckle (1987), fermentasi dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan dari segi mutu baik aspek gizi maupun daya cerna, serta dapat meningkatkan daya simpan. Mikroba yang banyak digunakan sebagai inokulum fermentasi adalah kapang, bakteri, khamir, dan ganggang. Pemilihan inokulum yang akan digunakan berdasarkan pada komposisi media, tehnik proses, aspek gizi, dan aspek ekonomi (Tannenbeum et al. 1975). Penggunaan kapang sebagai inokulum fermentasi banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, dan kadar asam nukleat rendah (Scherllat 1975). Pertumbuhannya pun mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut dan berwarna (Fardiaz 1989). Rachman (1989) juga menyatakan bahwa melalui fermentasi bahan pangan akan mengalami perubahan fisik dan kimia yang menguntungkan seperti terbentuknya rasa dan aroma tertentu.
Pemilihan mikroba yang akan digunakan dalam proses fermentasi sangat penting karena : 1. Pada substrat dan kondisi yang cocok, mikroba dapat tumbuh dengan cepat dan berkembang biak. 2. Mikroba menghasilkan enzim yang dapat merubah sifat bahan pakan 3. Kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan metabolisme mikroba secara komparatif harus sederhana.
Rhizopus oligosporus Menurut Gandjar (1977), makanan sebagai hasil fermentasi tradisional di Indonesia seperti tempe, kecap, tape, dan oncom banyak menggunakan Rhizopus oligosporus sebagai inokulum. Inokulum tempe yang digunakan untuk serealia sebagai medianya biasanya dibuat dalam bentuk bubuk dan disebut inokulum bubuk. Daya pembentukan spora R. oligosporus paling baik pada substrat busa. Kandungan spora inokulum ini berkisar antara 107-108 spora per gram (Gandjar et al. 2006). Inokulum tempe merupakan inokulum spora kapang dan memegang peranan penting dalam pengolahan tempe karena dapat mempengaruhi mutu tempe yang dihasilkan. Jenis kapang yang memegang peranan penting dalam pembuatan tempe adalah R. oligosporus dan Rhizopus oryzae (Rachman 1989). Kuswanto dan Sudarmadji (1989) juga menyatakan bahwa kapang R. oligosporus dikenal sebagai jamur tempe yang mempunyai sifat menguntungkan karena selain sifat proteolitik juga menghasilkan zat antibiotik bakteri-bakteri gram negatif yang bersifat patogen. R. oligosporus bersifat proteolitik yang menghasilkan enzim protease dan enzim ini merombak senyawa yang komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga terjadi peningkatan kadar nitrogen dan asam amino. Kapang dalam pertumbuhannya memperoleh karbon dan nutriea dari substrat untuk merangsang pertumbuhan kapang sehingga diharapkan terjadi pertumbuhan kapang yang optimum dan peningkatan kandungan zat-zat makanan substrat yang lebih baik dari sebelumnya (Amri 1998).
Pada fermentasi, peranan masing-masing kapang sangat ditentukan oleh enzim-enzim yang dihasilkannya. Kegiatan fisiologis seperti penyusunan bahan organik, pencernaan makanan, pembongkaran zat makanan dapat berlangsung jika kapang mempunyai sifat-sifat umum enzim antara lain bekerjanya khusus yaitu mengubah
suatu zat tertentu dan aktivitasnya dipengaruhi oleh pH, suhu,
konsentrasi, dan substrat (Dwijoseputro 1976). R. oligosporus menghasilkan senyawa anti bakteri tahan panas pada tempe. Hal ini berarti R. oligosporus menghasilkan antibiotik dan menghambat pertumbuhan organisme penyebab penyakit seperti Staphylococcus aureus. Menurut Steinkraus (1983) R. oligosporus mempunyai karakteristik yang unik yaitu pertumbuhan pesat diperoleh pada suhu 30-35oC, aktivitas proteolitiknya kuat sehingga mampu menghasilkan cita rasa, aroma, dan tekstur yang khas pada tempe serta aktivitas lipolitik tinggi menghasilkan senyawa antioksidan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suhu minimum untuk pertumbuhan R. oligosporus 12oC dan maksimum 42oC. Nilai pH optimum untuk mendukung pertumbuhannya berkisar antara 4-5 aktivitas proteolitik yang optimum untuk
R. oligosporus
berada dalam kisaran pH 3,0-5,5 dan tercapai maksimum selama 72-96 jam.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan bulan Agustus–November 2011. Rangkaian penelitian dilaksanakan di Laboratorium Basah Nutrisi Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT), Bogor. Analisis proksimat, glukosa, glikogen dilaksanakan di Laboratorium Kimia Nutrisi Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Analisis fraksi serat kasar dan asam fitat dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB, dan Laboratorium Pusat Antar Universitas-Bioteknologi, IPB.
Prosedur Penelitian Secara umum penelitian ini terdiri dari tiga tahapan kegiatan yaitu tahap penggunaan mekanisme fisik dalam pengolahan jagung, tahap penggunaan mekanisme biologis (fermentasi), serta tahap uji coba pada hewan uji.
Tahap I: Mekanisme fisik untuk meningkatkan kualitas jagung Mekanisme fisik yang digunakan dalam peningkatan kualitas jagung antara lain melalui proses perendaman, perebusan, serta pengukusan (Suarni, 2005). Perlakuan perendaman dilakukan dengan cara merendam jagung pipilan menggunakan air selama 30 menit. Jagung ditimbang sebanyak 3,5 kg selanjutnya dimasukkan kedalam wadah berisi air. Perendaman dilakukan sampai seluruh jagung terendam seluruhnya. Perebusan jagung dilakukan dengan cara merebus air sampai mendidih (100oC). Selanjutnya jagung dimasukkan ke dalam air mendidih dan dibiarkan selama 30 menit. Setelah 30 menit jagung diangkat dan ditiriskan. Pengukusan jagung dilakukan dengan mempersiapkan pengukus sampai air pengukus benarbenar mendidih, kemudian jagung dimasukkan kedalam pengukus selama 30 menit. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan tiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Perlakuan yang dilakukan adalah :
Perlakuan A : Jagung tanpa perlakuan
Perlakuan B : Jagung direndam selama 30 menit
Perlakuan C : Jagung direbus selama 30 menit
Perlakuan D : Jagung dikukus selama 30 menit
Setelah dilakukan proses fisik maka jagung diuji nilai kecernaanya berdasarkan Watanabe (1988). Untuk proses uji kecernaan dipergunakan pakan acuan (reference diet) yang terdiri dari pakan komersial serta pakan uji (test diet) yang terdiri dari 70% pakan acuan dan 30% bahan pakan uji. Pengujian kecernaan menggunakan 15 buah akuarium berukuran 60x60x40 cm yang dilengkapi dengan aerasi. Ikan yang digunakan adalah ikan nila dengan bobot individu rata-rata 5,0± 0,14 g dan padat tebar 20 ekor/akuarium. Ikan nila diaklimasi selama 8 hari dan diberi pakan uji. Setelah proses aklimasi, dilakukan pengumpulan feses selama 14 hari. Pengambilan feses dilakukan dengan cara penyiphonan satu jam setelah pemberian pakan. Feses yang diperoleh disentrifuse selama 5 menit pada 5000 rpm, selanjutnya disimpan dalam frezeer pada suhu -20oC. Selanjutnya dilakukan analisis kandungan protein, serat kasar, Cr 2O3, fosfor, serta kalsium. Tabel 6 menampilkan komposisi pakan acuan dan pakan uji. Tabel 6. Komposisi pakan acuan dan pakan uji pada uji kecernaan (%). Bahan Pakan komersial Jagung kontrol Jagung kukus Jagung rebus Jagung rendam Pengikat Cr2O3 Jumlah
acuan 96,5 0 0 0 0 3 0.5 100
Perlakuan/ Pakan Jagung Jagung Jagung kontrol kukus Rebus 66,5 66,5 66,5 30 0 0 0 30 0 0 0 30 0 0 0 3 3 3 0,5 0,5 0,5 100 100 100
Jagung rendam 66,5 0 0 0 30 3 0,5 100
Dalam mekanisme fisik parameter yang diamati yaitu : 1. Analisis proksimat lengkap jagung. 2. Analisis kandungan asam fitat jagung. 3. Analisis kandungan P dan Ca jagung. 4. Analisis kandungan selulosa, hemiselulosa, lignin, Neutral Detergent Fiber (NDF), dan Acid Detergent Fiber (ADF) (Van Soest, 1991) jagung. 5. Nilai kecernaan jagung hasil perlakuan fisik.
Tahap II: Mekanisme Fermentasi Tepung Jagung Penentuan Dosis dan Lama Fermentasi Tepung Jagung Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui dosis dan lama waktu terbaik untuk meningkatkan protein tepung jagung. Kapang yang digunakan dalam fermentasi tepung jagung adalah Rhizopus oligosporus (Suhenda 2010). Kapang ini diperoleh dari Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Sebelum digunakan R. oligosporus dikultur pada media PDA (potatoes dekstrose agar). R. oligosporus dikultur dalam cawan petri selama 7 hari sampai terbentuk spora. Selanjutnya spora yang terbentuk dihitung dengan menggunakan haemositometer untuk menentukan dosis fermentasi yang diinginkan (Suhenda et al. 2010). Penentuan dosis dilakukan melalui pengenceran berseri sehingga diperoleh dosis R. oligosporus yang diinginkan.
Dosis R. oligosporus yang
digunakan yaitu 107, 109, dan 1011 spora/ml. Fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan spora R. oligosporus yang sudah dilarutkan dalam 100 ml akuades ke dalam 1000 gram tepung jagung. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 40% dari biomassa tepung jagung. Tepung jagung diaduk secara merata kemudian dimasukkan ke dalam plastik pembungkus. Sebelum diinkubasi plastik yang berisi tepung jagung diberi lubanglubang kecil untuk mengeluarkan uap air yang dihasilkan selama proses fermentasi. Inkubasi tepung jagung dilakukan pada suhu ruangan. Proses pembalikan tepung jagung dilakukan setiap dua hari sekali agar R. oligosporus tumbuh seragam. Lama waktu fermentasi dalam fase ini yaitu 3, 5, dan 7 hari. Setiap waktu pengamatan, jagung terfermentasi diamati perubahan fisik yang terjadi
diantaranya kerapatan dan keseragaman tumbuhnya R. oligosporus serta ada tidaknya spora yang tumbuh pada jagung yang difermentasi. Pada setiap waktu pengamatan tepung jagung yang difermentasi diambil dan dianalisis proksimat lengkap. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak Lengkap (RAL). Bagian pertama berupa perlakuan yaitu dosis fermentasi 107, 109, dan 1011 spora/ml dan bagian kedua berupa perlakuan lama waktu fermentasi yaitu 3, 5, dan 7 hari. Tiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Dosis dan waktu fermentasi yang menghasilkan protein tertinggi digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya.
Fermentasi tepung jagung hasil perlakuan fisik Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kualitas tepung jagung menggunakan fermentasi setelah melalui mekanisme fisik. Tepung jagung hasil perlakuan fisik terbaik dari Tahap 1 difermentasi menggunakan R. oligosporus dengan dosis dan lama fermentasi hasil percobaan sebelumnya. Tepung jagung dicampur dengan spora R. oligosporus dengan dosis 109 spora/ml kemudian ditambahkan air sebanyak 40% dari biomassa tepung jagung yang difermentasi (Suhenda 2009). Selanjutnya tepung jagung dimasukkan ke dalam kantung plastik polietilen dan diinkubasi selama lima hari yang diperoleh dari perlakuan sebelumnya. Sama seperti halnya pada Tahap I, setelah dilakukan proses fermentasi maka jagung diuji nilai kecernaanya berdasarkan Watanabe (1988). Untuk proses uji kecernaan dipergunakan pakan acuan (reference diet) yang terdiri dari pakan komersial serta pakan uji (test diet) yang terdiri dari 70% pakan acuan dan 30% bahan pakan uji. Komposisi pakan acuan dan pakan uji disajikan pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Komposisi pakan acuan dan pakan uji pada uji kecernaan setelah proses fermentasi (%). Perlakuan/ Pakan Bahan Pakan komersial Jagung kukus + Fermentasi Pengikat Cr2O3 Jumlah
96,5
Jagung Hasil kukus + fermentasi 66,5
0
30
3 0,5 100
3 0,5 100
Acuan
Dalam percobaan ini parameter yang diamati antara lain : 1. Analisis proksimat lengkap jagung sebelum dan sesudah perlakuan 2. Analisis kandungan asam fitat jagung sebelum dan sesudah perlakuan 3. Analisis kandungan P dan Ca jagung sebelum dan sesudah perlakuan 4. Analisis kandungan selulosa, hemiselulosa, lignin, Neutral Detergent Fiber (NDF), dan Acid Detergent Fiber (ADF) (Van Soest et al. 1991) jagung sebelum dan sesudah perlakuan 5. Nilai kecernaan bahan hasil perlakuan dengan fermentasi.
Tahap III. Uji Pertumbuhan dan Kecernaan pada Ikan Nila Uji Pertumbuhan Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah pakan formulasi dengan isoprotein (29,16±0,2%), isolipid (6,24±0,33%) dan isoenergi (GE, 3574±43,97 Kkal/kg). Pakan diformulasikan agar mengandung semua nutriea yang esensial untuk pertumbuhan. Air ditambahkan pada bahan baku pakan dan setelah tercampur dengan baik dicetak menjadi bentuk pelet kemudian dikeringkan dan dibuat menjadi crumble. Pakan dalam wadah yang kering dan tertutup. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Lima pakan uji digunakan sebagai perlakuan yaitu pakan tanpa tambahan jagung fermentasi dan pakan dengan penambahan tepung jagung fermentasi dengan dosis 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Setiap perlakuan mempunyai tiga ulangan. Ikan diberi pakan tiga kali sehari yaitu pada pukul 08.00; 12.00; dan pukul 16.00.
Tabel 8. Komposisi pakan percobaan Bahan pakan
Jagung Fermentasi (%) 0
5
10
15
20
Tepung ikan
11
14
17
20
23
Bungkil Kedelai
35
30
25
20
15
Jagung fermentasi
0
5
10
15
20
Dedak padi
20
20
20
20
20
Pollard
23
20
17
15
12
Vitamin mix
2
2
2
2
2
Mineral mix
1
1
1
1
1
Minyak ikan
2
2
2
1
1
Tapioka
6
6
6
6
6
100
100
100
100
100
Protein (%)
29.38
28.99
29.16
29.34
28.95
Lemak (%)
5.80
6.18
6.64
6.10
6.47
3613.55
3610.19
3594.78
3534.09
3520.74
Jumlah
GE (kKal/kg)
Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) strain BEST (Bogor Enhanced Strain Tilapia). Ikan uji diperoleh dari Instalasi Riset Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Ikan uji memiliki bobot awal 5,0±0,14 gram/ekor. Sebelum digunakan untuk penelitian ikan uji diadaptasikan dalam bak fiber bervolume 1 m3 yang dilengkapi dengan aerasi dan sistem resirkulasi. Ikan uji diadaptasikan selama dua minggu, diberi pakan menggunakan pakan komersial dengan protein pakan 28% (berat kering). Wadah yang digunakan adalah akuarium berukuran 60x60x50 cm sebanyak 24 buah, yang masing-masing diisi air bervolume 90 liter dan dilengkapi sistem resirkulasi dan heater. Pengaturan dan penempatan wadah perlakuan dilakukan secara acak dengan menggunakan bilangan acak (Steel & Torrie, 1993). Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari sebanyak at satiation. Penyesuaian bobot biomassa ikan uji dilakukan dengan sampling setiap 10 hari sekali. Jumlah pakan yang diberikan dicatat untuk mendapatkan data konsumsi pakan, efisiensi pakan dan retensi protein. Percobaan pertumbuhan ini dilakukan selama 40 hari.
Penggantian air di tandon filter dilakukan setiap tgai hari sekali, dan penyiponan kotoran dilakukan setiap hari. Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal, tengah dan akhir masa pemeliharaan meliputi suhu, pH, oksigen terlarut dan amoniak, kesadahan, alkalinitas, dan karbondioksida. Parameter kinerja pertumbuhan yang diamati adalah:
Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) Laju pertumbuhan spesifik ikan uji dihitung mengikuti rumus yang digunakan oleh Mundheim et al. (2004) yaitu: (ln Wt – ln Wo) x 100% T LPS = laju pertumbuhan spesifik (%) Wt = rata-rata bobot individu pada akhir penelitian (g) Wo = rata-rata bobot individu pada awal penelitian (g) T = lama waktu pemeliharaan (hari) Jumlah Konsumsi Pakan LPS (%)
=
Jumlah pakan yang dikonsumsi ikan uji dihitung dengan cara menimbang pakan yang diberikan setiap hari, dan juga pakan yang tersisa setiap hari sebagai pengurangnya. Jumlah keseluruhan pakan yang dikonsumsi pada setiap unit percobaan selama 40 hari dicatat sebagai data jumlah konsumsi pakan.
Retensi Protein Nilai retensi protein dihitung berdasarkan persamaan Takeuchi (1988) sebagai berikut :
RP(%) =
[(F-I)/P] x 100%
RP F I P
retensi protein (%) jumlah protein tubuh ikan pada akhir penelitian (g) jumlah protein tubuh ikan pada awal penelitian (g) jumlah protein yang dikonsumsi ikan (g)
= = = =
Retensi lemak Nilai retensi protein dihitung berdasarkan persamaan Takeuchi (1988) sebagai berikut : RL(%) =
[(F-I)/P] x 100%
Keterangan : RL = retensi lemak (%) F = jumlah lemak tubuh ikan pada akhir penelitian (g)
I P
= =
jumlah lemak tubuh ikan pada awal penelitian (g) jumlah lemak yang dikonsumsi ikan (g)
Rasio Efisiensi Protein Rasio efisiensi protein dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut : REP =
Pi Pp
Keterangan : REP = rasio efisiensi protein Pi = protein yang diakumulasikan dalam tubuh ikan (g) Pp = Protein yang diberikan selama masa pemeliharaan (g)
Indeks Hepatosomatik Indeks hepatosomatik dihitung dengan cara membandingkan bobot ikan total dengan bobot hati. Pertama-tama ikan ditimbang bobotnya, setelah itu ikan dibedah diatas permukaan es. Pembedahan dilakukan dengan hatihati dan secepat mungkin. Selanjuntya hati ditimbang. Nilai indeks hepatosomatik dihitung berdasarkan persamaan berikut : IH =
HP W
Keterangan : IH = Indeks hepato-pankreas HP = bobot hepato-pankreas (g) W = bobot ikan (g) Konversi pakan Perhitungan konversi pakan didasarkan pada NRC (1977), yaitu besarnya rasio perbandingan antara pertambahan bobot ikan yang didapatkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi ikan. KP Keterangan : KP = Wt = Wo = D = JKP =
=
konversi pakan biomassa ikan pada akhir pemeliharaan (g) biomassa ikan pada awal pemeliharaan (g) bobot ikan yang mati selama penelitian (g) Jumlah pakan yang diberikan selama penelitian (g)
Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Huisman (1987) yaitu: SR(%) = Keterangan; Nt = No =
Nt x 100% No jumlah ikan pada akhir penelitian (ekor) jumlah ikan pada awal penelitian (ekor)
Uji Kecernaan Protein, phosfor, kalsium, dan Total Pakan Pengujian daya cerna pakan oleh ikan nila dilakukan secara terpisah dari uji pertumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan pengumpulan feses tidak mengganggu pertumbuhan ikan uji. Akuarium yang digunakan untuk uji kecernaan berukuran lebih besar, yaitu 100x60x50 cm. Pembuatan pakan percobaan untuk uji kecernaan dilakukan sama seperti pakan untuk uji pertumbuhan, namun ditambahkan 0,5% Cr2O3 sebagai indikator kecernaan. Pakan diberikan pada ikan selama 3 minggu dan pengumpulan feses mulai dilakukan pada hari ketujuh dengan cara menyedot feses di dasar akuarium dengan selang kecil dan ditampung di ember. Selanjutnya feses yang mengendap di dasar ember disaring dan dikumpulkan dalam botol film. Feses yang terkumpul dikeringkan dalam oven pada suhu 110oC (selama 4-6 jam), dan dianalisis kandungan Cr2O3 dan kadar proteinnya. Penghitungan nilai kecernaan berdasarkan Takeuchi (1988): KT KN Keterangan : KT = KN = a = a’ = b = b’ =
= =
100 x (1 – b/b’) 100 x [1 – (a’/a x b/b’)]
kecernaan total (%) kecernaan nutrien (%) kadar nutrien dalam pakan (bobot kering) kadar nutrien dalam feses (bobot kering) kadar indikator Cr2O3 dalam pakan (% bobot kering) kadar indikator Cr2O3 dalam feses (% bobot kering)
Analisis Data Data hasil uji pertumbuhan, retensi lemak, retensi protein, konsumsi pakan, rasio efisiensi protein, indeks hepatosomatik dan kecernaan pakan dianalisis secara statistika dengan Anova dan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%. Analisis data menggunakan piranti lunak SPSS ver 16,00.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I: Mekanisme fisik untuk meningkatkan kualitas jagung Penelitian tahap satu bertujuan untuk meningkatkan kecernaan jagung sebagai salah satu pakan ikan nila. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah beberapa perlakuan fisik pada jagung (perendaman, perebusan, dan pengukusan) tidak memberikan pengaruh terhadap hasil analisis proksimat jagung (P>0,05). Data analisis proksimat lengkap jagung hasil perlakuan fisik disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Analisis proksimat jagung hasil perlakuan fisik Perlakuan/ jenis mekanisme fisik Parameter A (Kontrol) B (Rendam) C (Rebus) a a Protein (%) 8,64 ± 0,35 * 9,83 ± 1,51 9,57 ± 1,27 a a a Lemak (%) 4,02 ± 0,03 3,31 ± 0,10 4,10 ± 0,05 a Serat kasar 6,39 ± 0,53 a 6,56 ± 0,94 a 6,21 ± 0,36 a (%) Abu (%) 3,64 ± 0,30 a 3,62 ± 0,14 a 3,36 ± 0,14 a 77,74 ± 0,55 75,68 ± 2,61 BETN (%) 76,77 ± 1,13 a a a
D (Kukus) 8,48 ± 0,31 a 3,70 ± 0,15 a 6,45 ± 0,07 a 3,66 ± 0,11 a 76,71 ± 0,28 a
* Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05) Kandungan protein jagung antar perlakuan berkisar antara 8,48-9,83% sedangkan kandungan lemak berkisar antara 3,31-4,10%. Hasil yang sama diperoleh pada kandungan serat kasar, abu, dan BETN yang menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Nilai serat kasar, abu, dan BETN jagung hasil pengolahan fisik berturut-turut 6,21-6,56%, 3,36-3,64%, dan 75,68-77,74%. Kandungan fosfor dan kalsium Fosfor dan kalsium merupakan mineral yang banyak terkandung dalam jagung. Hasil percobaan menunjukkan bahwa beragam perlakuan fisik (perendaman, perebusan, dan pengukusan) tidak mempengaruhi kandungan fosfor dan kalsium jagung (P>0,05). Kandungan fosfor pada jagung berkisar antara 0,310,34% sedangkan kandungan kalsium jagung berkisar antara 0,031-0,045%. Data hasil analisis kandungan fosfor dan kalsium jagung disajikan pada Gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Kandungan fosfor jagung hasil perlakuan fisik
Gambar 3. Kandungan kalsium jagung hasil perlakuan fisik Fraksi serat kasar Fraksi serat kasar yang diamati meliputi kandungan neutral detergent fiber (NDF), acid detergent fiber (ADF), hemiselulosa, lignin, dan selulosa. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan fisik tidak mempengaruhi kandungan fraksi serat kasar (P>0,05). Kandungan NDF dan ADF berturut-turut 36,7238,30% dan 4,81-5,49%. Kandungan hemiselulosa pada bahan uji berkisar antara 31,20-32,94%. Kandungan selulosa dan lignin jagung uji berturut-turut 1,441,55% dan 3,51-3,67%. Data fraksi serat kasar disajikan pada Gambar 4.
a)
b)
c)
d)
e)
Gambar 4. Fraksi serat kasar hasil perlakuan fisik; a) Neutral detergent fiber (NDF), b) Acid detergent fiber (ADF), c) Lignin, d) Selulosa, e) Hemiselulosa
Amilosa dan Amilopektin Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pendukung pati (starch). Kandungan amilosa jagung pada penelitian ini berkisar antara 31,2533,21% dari total pati. Sedangkan kandungan amilopektin berkisar antara 66,7968,75% dari total pati. Rasio amilosa:amilopektin pada jagung perlakuan berkisar antara 0,455-0,497. Kandungan amilosa, amilopektin, serta rasio keduanya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Kandungan amilosa (%), amilopektin (%), serta rasio keduanya pada jagung hasil perlakuan fisik Perlakuan/ jenis mekanisme fisik A B C Parameter (Kontrol) (Rendam) (Rebus) D (Kukus) Amilosa (%) 31,25 31,31 32,47 33,21 Amilopektin (%) 68,75 68,69 67,53 66,79 Rasio amilosa:amilopektin 0,455 0,456 0,481 0,497 Asam fitat Penggunaan perlakuan fisik yang berbeda memberikan pengaruh terhadap kandungan asam fitat jagung (P<0,05). Kandungan asam fitat terendah diperoleh
pada jagung yang diberi perlakuan pengukusan yaitu sebesar 4,76% namun nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan perebusan dengan kandungan asam fitat sebesar 4,88%. Kandungan asam fitat tertinggi diperoleh pada jagung kontrol dengan kandungan asam fitat sebesar 7,71%. Data lengkap kandungan asam fitat pada penelitian ini disajikan pada Gambar 5. Kecernaan Penggunaan perlakuan fisik yang berbeda mempengaruhi nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan uji (P<0,05). Penggunaan perlakuan pengukusan pada jagung memberikan nilai terbaik bagi nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan (tanpa dibandingkan dengan pakan acuan). Nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan pada perlakuan pengukusan berturut-turut 70,82%, 76,94%, 78,22%, dan 65,79%. Nilai kecernaan terendah diperoleh pada kontrol (tanpa perlakuan) dengan nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan berturut-turut 61,12%, 71,11%, 74,13%, dan 56,23% (Tabel 11).
Gambar 5. Kandungan asam fitat jagung hasil perlakuan fisik Tabel 11. Nilai kecernaan total (%), protein (%), energi (%), dan bahan (%) pada jagung hasil perlakuan fisik Perlakuan/ jenis mekanisme fisik Kecernaan (%) A (Kontrol) B (Rendam) C (Rebus) D (Kukus) d c c 61,12±1,13 * 63,83±1,47 67,83±0,52 70,82±0,66b Total c bc b 74,11±1,49 75,19±0,72 76,34±0,94 76,94±0,65b Protein 74,13±0,99d 74,85±0,46cd 76,24±1,07c 78,22±1,05b Energi 56,23±1,13b 58,96±1,36ab 63,82±0,48ab 65,79±0,52a Bahan * Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Pembahasan
Serat merupakan komponen dari karbohidrat setelah dipisahkan dari komponen bahan ekstrak tanpa nitrogen. Pemberian perlakuan rendam, rebus, dan kukus pada jagung tidak mempengaruhi fraksi serat kasar jagung (Tabel 9). Hal ini disebabkan bahwa struktur serat terutama lignin dan selulosa merupakan struktur yang kompleks. Walaupun ikatan pada lignin dan selulosa didominasi oleh ikatan hidrogen (α 1,4 glikosidik), namun lignin dan selulosa membentuk untai berpilin ganda (double helix) sehingga mekanisme fisik biasa kurang efektif dalam memutus dan menguraikan lignin dan selulosa. Serat kasar pada jagung terbagi menjadi serat kasar yang larut dalam air (soluble fiber) seperti pektin, gum, serta β glukan dan serat yang tidak larut dalam air (insoluble fiber) seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Hampir sepertiga serat pada jagung merupakan serat makanan yang larut sedangkan sisanya yang terbanyak merupakan serat makanan yang tidak larut dalam air (Prosky & De Vries 1992). Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa perebusan bahan dasar pakan yang banyak mengandung serat kasar pada suhu 100oC selama 30 menit belum mampu mereduksi komponen serat kasar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan enzim selulase baru mampu memutus ikatan yang ada pada serat kasar dan mengurangi kandungan serat kasar dalam bahan pakan (Maina et al. 2002; Pantaya et al. 2011). Selanjutnya karena proses pengolahan secara fisik tidak mempengaruhi kandungan fraksi serat maka hal ini mengakibatkan kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam jagung tidak berbeda nyata (Tabel 9; P>0,05). Penggunaan mekanisme fisik yang berbeda juga tidak mempengaruhi kandungan protein kasar, lemak kasar, dan abu jagung yang diberi perlakuan. Hasil ini memperkuat hasil penelitian Suarni (2005a) yang menyebutkan bahwa penggunaan teknik perebusan dan pengukusan jagung pada suhu 100 oC tidak mempengaruhi kandungan nutriea jagung. Stabilitas ini disebabkan struktur karbohidrat yang salah satunya terdiri dari kandungan serat bersifat massif sehingga sulit terurai pada suhu pemanasan dibawah 100oC. Selain karbohidrat, protein yang terkandung pada jagung secara kimiawi lebih stabil. Stabilitas molekul protein disebabkan molekul protein lebih banyak mengandung ikatan kovalen sehingga pemanasan pada suhu tertentu sulit
mengubah struktur protein, terutama tipe protein dengan kandungan asam amino tipe D (dekstro) yang banyak terkandung pada tumbuhan (Winarno 2002). Suarni (2005a) menyatakan bahwa pengolahan jagung menggunakan mekanisme fisik menyebabkan terjadinya perubahan pada struktur jagung. Selain itu penggunaan mekanisme fisik terutama pengolahan fisik-basah (perebusan dan pengukusan) dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada bentuk dan fisik jagung. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggunaan mekanisme fisik yang berbeda pada jagung mengakibatkan terjadinya penurunan kandungan asam fitat. Perlakuan perebusan dan pengukusan mampu menurunkan asam fitat (Gambar 5; P<0,05). Penurunan kandungan asam fitat terbesar diperoleh pada perlakuan pengukusan (38,26%) dan perlakuan perebusan (36,71%). Asam fitat (mioinositol heksakisfosfat (C6H8O24P6)) merupakan anti nutrisi yang terkandung dalam kacang-kacangan dan serealia termasuk pada jagung. Asam ini merupakan tipe asam yang stabil, tahan terhadap pemanasan, tidak mudah larut pada pH netral, serta dapat menurunkan aktifitas enzim protease dengan protein (asam amino) yang berikatan dengan asam fitat (Ravindran 2000). Hasil penelitian ini memperkuat penelitian Greiner & Konietzny (2006) yang menunjukkan bahwa melalui pemanasan basah (perebusan dan pengukusan) mampu memecah ikatan pada struktur asam fitat sehingga menurunkan kandungan asam fitat pada jagung dan kedelai. Perendaman jagung juga mampu menurunkan kandungan asam fitat walaupun tidak signifikan dengan kontrol (tanpa perlakuan). Hal ini disebabkan karena durasi perendaman kurang maksimal. Perendaman jagung selama 6-10 jam mampu menurunkan kandungan asam fitat sebesar 72,34 % (Greiner & Konietzny 2006). Perendaman mampu merangsang proses perkecambahan pada jagung serta merangsang terbentuknya fitase (purple acid phytase/ 6-phytase) pada kandung lembaga sehingga menghidrolisis asam fitat yang terdapat pada jagung (Mullaney & Ullah 2007). Selain asam fitat, pada penelitian ini diamati pula kandungan amilosa, amilopektin serta rasio keduanya (Tabel 10). Amilosa dan amilopektin merupakan fraksi pati yang sama-sama homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Amilosa merupakan fraksi pati yang larut dalam air, mempunyai struktur lurus
dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa berbentuk lurus sedangkan amilopektin merupakan fraksi pati dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa berbentuk percabangan yang tidak larut dalam air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan
amilosa jagung berkisar antara 31,25-33,21% sedangkan kandungan amilopektin berkisar antara 68,75-66,79%. Kandungan amilosa dan amilopektin pada jagung sangat bervariasi, tergantung pada jenis dan strain jagung (Watson 1984; Widowati et al. 2005). Rasio antara amilosa dan amilopektin mempengaruhi sifat amilograf
dari
jagung.
Semakin
tinggi
kandungan
amilopektin
maka
mengakibatkan semakin tinggi tingkat gelatinisasi dari pati. Pada pati dengan kadar amilopektin yang terlalu tinggi, jika diberi pemanasan akan mengakibatkan proses gelatinisasi yang tinggi, ditandai bahan baku tersebut sangat rekat sehingga cukup sulit dicerna oleh hewan (Winarno 2002). Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin tinggi nilai kecernaan pati pada bahan baku pakan. Pada percobaan ini terlihat dengan metode perebusan dan pengukusan terjadi peningkatan rasio amilosa amilopektin. Winarno (2002) menyatakan melalui pemanasan maka granula-granula yang terdapat dalam pati terhidrolisis sehingga terjadi perubahan struktur pati dan mengalami proses gelatinisasi. Pemanasan basah pada suhu 71110 oC pati jagung akan mengalami gelatinisasi yang optimal (Zobel, 1984). Penggunaan mekanisme fisik yang berbeda mempengaruhi nilai kecernaan bahan, total, protein, dan energi (Tabel 11). Nilai kecernaan protein, energi, bahan dan total diperoleh pada penggunaan mekanisme pengukusan. Hal ini didukung pada beberapa parameter sebelumnya seperti penurunan asam fitat dan peningkatan rasio amilosa amilopektin pada mekanisme pengukusan. Penurunan kandungan asam fitat mampu meningkatkan kandungan protein tercerna. Gugus fosfor yang berikatan dengan asam fitat membentuk ikatan kompleks (kompleks dengan ikatan elektrostatik) dengan asam amino terutama asam amino residu lisin dan arginin. Selanjutnya kompleks ini akan berikatan dengan gugus karboksil residu aspartat dan asam glutamat (Cheriyan 1980; Vats & Banarjee 2004). Semakin menurunnya kandungan asam fitat mengakibatkan semakin banyaknya protein yang dapat dicerna oleh ikan. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai kecernaan protein jagung yang diberi perlakuan pengukusan. Selanjutnya peningkatan rasio amilosa dan amilopektin mampu meningkatkan kecernaan
karbohidrat (pati). Karbohidrat yang dicerna selanjutnya dibakar menjadi energi dalam tubuh ikan nila sehingga meningkatkan nilai kecernaan energi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schaeffer et al. (2009) bahwa ikan nila mampu memanfaatkan karbohidrat yang berasal dari jagung dan mengkonversi karbohidrat tersebut menjadi energi secara efisien.
Tahap II: Mekanisme Fermentasi Tepung Jagung Penentuan Dosis dan Lama Fermentasi Tepung Jagung Setelah difermentasi jagung, seluruh nilai analisis proksimat mengalami perubahan. Kenaikan protein tertinggi diperoleh pada fermentasi jagung menggunakan Rhizopus oligosporus dengan dosis spora sebesar 109 spora/ml. Hal yang serupa terjadi pada kandungan lemak kasar dimana fermentasi jagung oleh R. oligosporus pada dosis 109 spora/ml memberikan pertambahan lemak kasar tertinggi. Nilai bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) cenderung turun pada penggunaan dosis R. oligosporus 109 spora/ml. Perubahan nilai analisis proksimat jagung yang difermentasi dengan dosis yang berbeda ditampilkan pada Gambar 6 berikut.
Gambar 6. Analisis proksimat jagung sebelum dan setelah fermentasi dengan dosis yang berbeda
Selain menentukan dosis dilakukan pula penentuan lama waktu fermentasi yang mampu menghasilkan peningkatan protein kasar tertinggi. Dari percobaan yang dilakukan diketahui bahwa peningkatan protein tertinggi diperoleh pada jagung yang difermentasi selama lima hari. Kandungan lemak kasar tertinggi diperoleh pada jagung yang difermentasi pada hari ketiga. Kadar serat kasar tertinggi diperoleh pada jagung yang difermentasi pada hari ketujuh. Berdasarkan data hasil uji pendahuluan maka pada tahap kedua digunakan fermentasi jagung dengan dosis R. oligosporus 109 spora/ml dan lama fermentasi selama lima hari. Data perubahan nilai analisis proksimat jagung yang difermentasi dengan lama waktu yang berbeda ditampilkan pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7. Analisis proksimat jagung sebelum dan setelah fermentasi dengan lama waktu fermentasi yang berbeda Asam fitat, fosfor, dan kalsium Setelah difermentasi dengan dosis 109 spora/ml dan lama fermentasi selama lima hari diperoleh data kandungan asam fitat, fosfor dan kalsium sebagai berikut. Penggunaan teknik fermentasi memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap penurunan kandungan asam fitat serta peningkatan kandungan fosfor dan kalsium (Lampiran 15 dan 17). Asam fitat mengalami penurunan 58,82% dibandingkan dengan kandungan asam fitat sebelum fermentasi yaitu dari 4,76% menjadi 1,96%. Kalsium mengalami peningkatan sebesar 18,52% dibandingkan dengan sebelum fermentasi yaitu dari 0,054% menjadi 0,064%. Fosfor juga mengalami tren yang sama seperti kalsium. Fosfor mengalami peningkatan sebesar 41,09% dibandingkan dengan jagung sebelum difermentasi yaitu dari
0,195% menjadi 0,331%. Data penurunan kandungan asam fitat serta kenaikan kandungan fosfor dan kalsium disajikan pada Gambar 8 dan 9 berikut.
Gambar 8. Kandungan asam fitat jagung sebelum dan setelah fermentasi
Gambar 9 Kandungan fosfor serta kalsium jagung sebelum dan setelah fermentasi Fraksi serat kasar Penggunaan fermentasi jagung oleh R. oligosporus memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan fraksi serat kasar kecuali NDF. Fermentasi jagung oleh R. oligosporus tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan kandungan NDF. Kandungan NDF sebelum dan sesudah fermentasi berkisar antara 36,01-38,40%. Kandungan hemiselulosa mengalami
peningkatan setelah proses fermentasi. Kandungan hemiselulosa sebelum fermentasi bernilai 31,20% kemudian meningkat menjadi 36,13% setelah dilakukan fermentasi. Penggunaan teknik fermentasi jagung oleh R. oligosporus mampu menurunkan kandungan ADF secara nyata (P<0,05). Kandungan ADF mengalami penurunan sebesar 41,19% dimana sebelum fermentasi sebesar 3,35% kemudian menjadi 1,97%. Selulosa mengalami penurunan sebesar 79,45% dibandingkan antara sebelum fermentasi (1,46%) dan setelah fermentasi (0,30%). Lignin juga mengalami penurunan antara sebelum dan setelah fermentasi. Penurunan kandungan lignin sebesar 52,60% dibandingkan sebelum fermentasi (4,81%) dan setelah fermentasi (2,28%). Kandungan fraksi serat kasar secara lengkap disajikan pada Gambar 10 dan 11 (Lampiran 16).
Gambar 10. Kandungan neutral detergent fiber (NDF) dan hemiselulosa jagung sebelum dan setelah fermentasi
Gambar 11. Kandungan lignin, selulosa, dan acid detergent fiber (ADF) jagung sebelum dan setelah fermentasi Kecernaan Kecernaan merupakan salah satu parameter yang diukur pada penggunaan teknik fermentasi.
Penggunaan fermentasi jagung oleh R. oligosporus
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kecernaan jagung (P<0,05). Nilai kecernaan total meningkat sebesar 5,13% antara sebelum fermentasi (70,82%) dengan setelah fermentasi (74,45%). Nilai kecernaan protein meningkat sebesar 3,24% antara sebelum fermentasi (76,94%) dibandingkan dengan setelah fermentasi (79,43%). Penggunaan teknik fermentasi mampu meningkatkan nilai kecernaan energi sebesar 2,90% antara sebelum fermentasi (78,22%) dengan setelah fermentasi (80,49%). Nilai kecernaan bahan mengalami kenaikan sebesar 4,64% antara nilai kecernaan bahan sebelum fermentasi (65,79%) dengan setelah proses fermentasi (69,99%). Nilai pengukuran lengkap kecernaan total, protein, energi, dan bahan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan jagung sebelum dan setelah fermentasi Kecernaan (%) Total
Perlakuan A (sebelum fermentasi) B (setelah fermentasi) c 70,82±0,66 * 74,45±0,29b
76,94±0,65c 79,43±0,84b Protein 78,22±1,05c 80,49±0,84b Energi 65,79±0,52b 68,99±1,48a Bahan * Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05) Pembahasan Fermentasi jagung menggunakan kapang R. oligosporus mengakibatkan perubahan nutriea yang terkandung di dalam jagung. Seperti kapang lainnya, R. oligosporus mampu menggunakan berbagai macam bahan organik yang terkandung dalam substrat untuk mendukung perkembangan hidupnya. Gandjar et al (2006) mengemukakan bahwa R. oligosporus mampu menggunakan karbon, nitrogen, sulfur, serta berbagai bahan organik lainnya menjadi bahan yang diasimilasikan untuk mendukung pertumbuhan R. oligosporus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa R. oligosporus mampu memanfaatkan sumber karbon yang berasal dari karbohidrat menjadi jaringan tubuh kapang. Hal ini ditandai dari penurunan kandungan karbohidrat dan terjadinya kenaikan nutriea lain seperti protein dan lemak (Gambar 6). Peningkatan biomassa tubuh kapang pada substrat mengakibatkan peningkatan kandungan bahan pakan yang difermentasi oleh R. oligosporus. Kandungan protein kapang terdiri dari beberapa bagian diantaranya pada lapisan sekunder hifa yang mengandung protein dan glikoprotein (Alexopoulos et al. 1996). Penggunaan kapang dengan dosis yang tinggi (1011 spora/ml) mengakibatkan peningkatan kandungan serat kasar. Hal ini disebabkan karena pada kepadatan yang tinggi kapang tumbuh dengan cepat kemudian berkompetisi nutrisi. Pada kondisi nutrisi yang semakin berkurang disertai peningkatan kandungan alkohol pada media maka mengakibatkan kapang segera membentuk spora. Spora kapang sebagian besar terdiri dari serat terutama dari golongan hemiselulosa. Maka semakin banyak spora yang dihasilkan semakin tinggi kandungan serat kasar bahan. Hal ini yang menjadi ciri khas fermentasi menggunakan kapang (Farley & Ikasari 1992; Eklund-Jonsson et al. 2008; Fadahunsi 2009). Selain dosis fermentasi, lama waktu fermentasi mempengaruhi kualitas bahan yang difermentasi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa fermentasi jagung selama lima hari memberikan peningkatan protein yang tertinggi dibandingkan
dengan tiga atau tujuh hari. Semakin lama waktu fermentasi cenderung menghasilkan serat kasar yang semakin tinggi pula. Hal ini menunjang hasil penelitian yang dilakukan Suhenda et al. (2009) yang memperlihatkan bahwa lama waktu fermentasi terbaik dedak padi menggunakan R. oligosporus diperoleh pada hari kelima. Semakin lama waktu fermentasi semakin banyak spora yang dihasilkan dan semakin tinggi kandungan serat kasar bahan pakan. Pada hari kelima diduga R. oligosporus sedang mengalami fase deselerasi atau fase stasioner sedangkan pada hari ketujuh R. oligosporus sudah memasuki fase kematian dipercepat sehingga mengalami penurunan jumlah hifa yang hidup serta peningkatan jumlah spora. Gandjar et al (2006) menyatakan bahwa fase deselerasi dan fase stasioner merupakan fase yang terbaik untuk memanen biomassa kapang dan senyawa-senyawa yang dihasilkan kapang. Hidrolisis asam fitat oleh enzim fitase yang dihasilkan oleh R. oligosporus diharapkan dapat meningkatkan kemampuan ikan untuk memanfaatkan jagung dalam pakan. Asam fitat merupakan antinutriea yang banyak terdapat pada kacang-kacangan, serealia, dan bahan pakan yang berasal dari nabati. Keberadaan asam fitat menyebabkan menurunkan kecernaan protein, mengurangi ketersediaan mineral bervalensi dua (P, Ca, Fe, Zn, Mn) bagi ikan (Baruah et al. 2004; Ravindran et al. 2000). Selain secara langsung menghambat penyerapan protein melalui kompleks fitat-fosfat-asam amino, secara tidak langsung asam fitat menghambat kerja enzim tripsin sehingga mengganggu pemecahan protein yang tidak berikatan dengan asam fitat (Conrad et al. 1996). Pada percobaan ini menunjukkan bahwa penggunaan R. oligosporus dalam fermentasi jagung mampu mereduksi kandungan asam fitat sebanyak 58,82%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh Suhenda et al. (2010) bahwa R. oligosporus mampu mengurangi kandungan asam fitat dalam bahan pakan sampai dengan 50%. Mullaney & Ullah (2007) menyebutkan bahwa beberapa kapang termasuk R. oligosporus mampu memproduksi fitase terutama fitase dari tipe histidine acid phytase yang mampu menghidrolisis asam fitat. Histidine acid phytase merupakan fitase dari kelas 3-fitase. Enzim ini menghidrolisis asam fitat mulai dari rantai Cradikal ketiga. Sehingga hasil hidrolisis asam fitat ini dapat berbentuk mio inositol
penta, tetra, tri, di, dan monofosfat (Baruah et al. 2004) seperti diilustrasikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Mekanisme hidrolisis asam fitat oleh fitase (Baruah et al. 2004) Pemecahan gugus fosfat pada asam fitat oleh fitase mengakibatkan ketersediaan fosfor dan kalsium meningkat (Gambar 9). Hasil percobaan menunjukkan bahwa setelah difermentasi oleh R. oligosporus kandungan fosfor jagung meningkat sebesar 18,25%. Enzim fitase membantu melepaskan mineralmineral yang berikatan dengan asam fitat menjadi mineral terlarut seperti P, Ca, Zn, Mg, dan Fe sehingga dapat dimanfaatkan oleh ikan. Hal yang sama juga diperlihatkan hasil penelitian Samsudin (2009) dimana penggunaan fitase komersial sebesar 1500 FTU dalam pakan ikan nila mampu meningkatkan ketersediaan fosfor organik bagi ikan nila. Selain fosfor, kalsium dalam jagung juga mengalami peningkatan. Hasil percobaan menunjukkan kandungan kalsium mengalami peningkatan sebesar 41,09%. Penggunaan fitase yang berasal dari R. oligosporus mampu untuk meningkatkan ketersediaan mineral kalsium dan seng sehingga mencegah terjadinya defisiensi kedua mineral tersebut terutama pada hewan monogastrik yang diberi pakan sumber protein nabati (El-Gindy et al. 2009). Fermentasi jagung menggunakan R. oligosporus berpengaruh nyata terhadap fraksi serat kasar. Selulosa pada jagung mengalami penurunan sebesar 79,45% setelah difermentasi menggunakan R. oligosporus (Gambar 11). Hal ini mengindikasikan bahwa R. oligosporus mampu menghasilkan enzim selulase
yang mampu menghidrolisis selulosa yang terkandung pada jagung. Selulosa merupakan salah satu komponen yang terdapat banyak pada tumbuhan. Selulosa adalah polimer
yang tersusun dari unit-unit
glukosa yang bergabung
menggunakan ikatan α-1,4-glikosida. Enzim selulase terdiri dari enzim endoglukanase dan eksoglukanase.
R.
oligosporus
menghasilkan enzim
endoglukanase (EC 3.2.1.4) atau dikenal 1,4-α-D-glucan-4-glucanohydrolase, mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi. Eksoglukanase, termasuk 1,4-α-D-glucan glucanohydrolase (EC 3,2,1,74) (selodekstrinase)
dan
1,4-α-D-glucan
cellobiohydrolase
(EC
3.2.1.91)
(selobiohidrolase), mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan atau glukosa. Enzim α-glukosidase (EC 3.2.1.21) (α-glukosida glukohidrolase) mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Gandjar et al. 2006). Selain selulosa, lignin dan ADF pada jagung mengalami penurunan setelah difermentasi menggunakan R. oligosporus. Lignin mengalami penurunan sebesar 52,60% dibandingan kandungan lignin sebelum fermentasi. ADF mengalami penurunan sebesar 41,19% dibandingkan dengan sebelum difermentasi (Gambar 11). Lignin pada jagung sebagian besar terkandung pada bagian kulit ari (Martinez et al. 2001; Suarni & Widowati 2009). Seperti halnya selulosa, lignin merupakan bagian dari serat yang sangat sulit dicerna oleh ikan. Lignin merupakan makromolekul yang tersusun atas kumpulan monolignol, disintesis oleh tumbuhan dan berada dalam dinding sel tumbuhan (Hatfield & Chaptman 2009). Kapang menghidrolisis lignin menggunakan enzim lignin peroksidase, manganase peroksidase, dan lakalase (Ohkuma et al. 2001) sehingga menjadi beberapa bagian yang bisa dicerna oleh hewan. Berbeda dengan penurunan kandungan selulosa, lignin, dan ADF, kandungan hemiselulosa dan NDF mengalami peningkatan setelah proses fermentasi. Kandungan hemiselulosa meningkat sebesar 15,80% dibandingkan sebelum fermentasi. Hal ini disebabkan akibat peningkatan biomassa R. oligosporus selama proses fermentasi berlangsung. Gandjar et al. (2006) menyebutkan bahwa dinding sel kapang terdiri dari serat kasar terutama dari jenis
hemiselulosa dan kitin (polisakarida). Peningkatan biomassa R. oligosporus berakibat pada kenaikan jumlah hemiselulosa pada bahan yang difermentasi dan hal ini dapat mengindikasikan banyaknya dinding sel kapang yang terbentuk selama proses fermentasi. Hal serupa juga diperoleh oleh Indariyanti (2011) pada fermentasi bungkil inti sawit menggunakan Trichoderma harzianum dimana kandungan hemiselulosa mengalami peningkatan sebesar 185,21% dibandingkan kandungan hemiselulosa sebelum difermentasi. Penurunan kandungan asam fitat serta kandungan serat kasar pada jagung yang difermentasi oleh R. oligosporus mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai kecernaan jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein, energi, bahan dan total mengalami peningkatan setelah dilakukan fermentasi. Nilai kecernaan protein meningkat 3,24% dibandingkan dengan jagung sebelum difermentasi. Penurunan kandungan asam fitat mengakibatkan ketersediaan protein yang dapat diserap ikan meningkat. Selama proses hidrolisis asam fitat oleh fitase, protein serta mineral polivalen dibebaskan. Selanjutnya protein yang tidak terikat oleh asam fitat dapat dicerna ikan dan diasimilasi menjadi jaringan tubuh. Kecernaan energi meningkat sebesar 2,90% dibandingkan sebelum fermentasi. Hal ini terkait dengan penurunan serat kasar serta hidrolisis beberapa komponen serat kasar dari molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana sehingga mampu dimanfaatkan ikan sebagai sumber energi. Lovell (2002) menyatakan bahwa ikan nila mampu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang efektif untuk mendukung pertumbuhannya. Tahap III. Uji Pertumbuhan dan Kecernaan pada Ikan Nila Pertumbuhan, konversi pakan, dan sintasan Nilai laju pertumbuhan spesifik, konversi pakan, konsumsi pakan, rasio efisiensi protein, serta sintasan ikan uji yang diperoleh selama penelitian ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13 Konsumsi pakan (g), laju pertumbuhan spesifik (%), konversi pakan, sintasan (%) dan rasio efisiensi protein ikan uji selama masa pemeliharaan Perlakuan/ kadar jagung fermentasi dalam pakan (%) Parameter A (0) B (5) C (10) D (15) E (20) b* a Konsumsi pakan 93,67±5,86 90,67±4,62 120,00±10,58 128,00±8,00 103,67±8,96 b
b a (g) Laju pertumbuhan 2,55±0,14b 2,50±0,17b 3,31±0,11a 3,55±0,17a 2,77±0,18b spesifik (%) Konversi pakan 1,63±0,05b 1,63±0,08b 1.41±0,07a 1,35±0,03a 1,60±0,06b a a a a Sintasan (%) 100±0,0 100±0,0 100±0,0 100±0,0 100±0,0a Rasio efisiensi 2,09±0,07 b 2,12±0,10 b 2,44±0,13 a 2,53±0,05 a 2,17±0,08 b protein * Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05) Penggunaan tepung jagung fermentasi mempengaruhi pertumbuhan
spesifik ikan nila (P<0,05). Nilai laju pertumbuhan spesifik penggunaan jagung fermentasi 10% dan 15% berturut-turut 3,31% dan 3,55%. Kedua perlakuan ini berbeda nyata dengan laju pertumbuhan spesifik ikan uji yang menggunakan jagung fermentasi 0%, 10%, dan 20% dengan nilai berturut-turut 2,55%, 2,50%, dan 2,77%. Pola yang sama terjadi pada parameter konversi pakan. Penggunaan jagung fermentasi 10% dan 15% memberikan nilai konversi pakan 1,41 dan 1,35. Nilai konversi pakan pada pakan yang mengandung jagung fermentasi 10% dan 15% berbeda nyata dengan pakan yang mengandung jagung fermentasi 0%, 5%, dan 20% dengan nilai konversi pakan berturut-turut 1,63; 1,63; dan 1,60 (P<0,05). Tepung jagung fermentasi mempengaruhi konsumsi pakan ikan uji (P<0,05). Nilai konsumsi pakan pada pakan yang mengandung jagung fermentasi 10% dan 15% berturut-turut 120 gram dan 128 gram. Kedua perlakuan ini berbeda nyata dengan penggunaan jagung fermentasi 0%, 5%, dan 20% dengan nilai konsumsi pakan berturut-turut 93,67 gram 90,67 gram, dan 103,67 gram. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada parameter rasio efisiensi protein. Penggunaan jagung fermentasi mempengaruhi nilai rasio efisiensi protein (P<0,05). Penggunaan jagung fermentasi 10% dan 15% dalam pakan memberikan nilai rasio efisiensi protein berturut-turut 2,44 dan 2,53. Kedua nilai ini berbeda nyata dengan penggunaan jagung fermentasi 0%, 5%, dan 20% dengan nilai rasio efisiensi protein berturut-turut 2,09; 2,12; dan 2,17. Penggunaan jagung fermentasi dalam pakan tidak mempengaruhi nilai sintasan (kelangsungan hidup) ikan uji (P>0,05).
Retensi Nutriea
Nilai retensi nutriea yang diamati selama masa pemeliharaan meliputi retensi protein, retensi lemak, retensi fosfor, dan retensi kalsium. Besaran nilai retensi nutriea selama masa pemeliharaan disajikan pada Gambar 13. Penggunaan jagung fermentasi mempengaruhi (P<0,05) nilai retensi protein. Penggunaan jagung fermentasi 10% dan 15% dalam pakan uji memberikan nilai retensi berturut-turut 41,73% dan 44,02%. Kedua nilai ini berbeda nyata dengan penggunaan jagung fermentasi dengan kadar 0%, 5%, dan 20% dalam pakan dengan nilai retensi protein berturut-turut 38,04%, 35,62%, dan 34,43%. Penggunaan jagung fermentasi dalam pakan tidak mempengaruhi nilai retensi lemak (P>0,05). Nilai retensi lemak selama masa pemeliharaan berkisar antara 84,69%-86,57%. Selain mempengaruhi nilai retensi protein, penggunaan jagung fermentasi mempengaruhi nilai retensi fosfor dan kalsium (P<0,05%). Penggunan jagung fermentasi sebesar 10%, 15%, dan 20% memberikan nilai retensi fosfor berturutturut 85,62%, 86,47%, dan 85,63%. Nilai retensi fosfor terendah diperoleh pada pakan yang tidak menggunakan jagung fermentasi (jagung fermentasi 0%) dengan nilai retensi fosfor 80,10%. Penggunaan jagung fermentasi 10% dan 15% dalam pakan menghasilkan nilai retensi kalsium berturut-turut 63,71% dan 65,08%. Kedua nilai ini berbeda nyata dibandingkan dengan penggunaan jagung fermentasi 0% dan 5% dengan nilai retensi kalsium berturut-turut 59,15% dan 59,62%. Penggunaan jagung fermentasi dalam pakan tidak mempengaruhi nilai indeks hepatosomatik (P>0,05). Besarnya nilai indeks hepatosomatik untuk masing-masing perlakuan berturut-turut A 2,01%, perlakuan B 1,92%, perlakuan C 1,88%, perlakuan D 2,00%, dan perlakuan E 1,93% (Gambar 14).
a )
b )
Gambar 13. Retensi nutriea ikan nila selama masa penelitian: a) retensi protein, b) retensi lemak, c) retensi fosfor, dan d) retensi kalsium
Gambar 14. Indeks hepatosomatik ikan nila setiap perlakuan selama penelitian
Penggunaan jagung fermentasi dengan tingkat yang berbeda memberikan pola glukosa darah ikan selama 24 jam yang relatif sama antar perlakuan. Pola glukosa darah setiap jam pengamatan mengalami variasi antar perlakuan. Kadar glukosa darah ikan nila mencapai kadar tertinggi diperoleh setelah sembilan jam pemberian pakan. Selanjutnya kadar glukosa darah terus mengalami penurunan hingga jam ke-24 setelah pemberian pakan. Gambaran glukosa darah selama 24 jam pengamatan disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Kadar glukosa darah ikan uji selama 24 jam masa pengamatan
Penggunaan jagung fermentasi pada tingkat yang berbeda dalam pakan ikan nila tidak mempengaruhi kadar glikogen hati. Namun terjadi perbedaan yang nyata kadar glikogen hati antara sebelum dengan setelah pemberian pakan. Kadar glikogen hati setelah pemberian pakan selama 40 hari berkisar antara 12,4612,82%. Glikogen hati mengalami peningkatan 430,21-445,53% dibandingkan dengan kadar glikogen sebelum perlakuan. Gambaran glikogen hati sebelum dan setelah perlakuan ditampilkan pada Gambar 16.
Gambar 16. Kadar glikogen hati ikan uji sebelum dan setelah masa pemeliharaan Kecernaan Nutriea Kecernaan yang diamati pada penelitian ini meliputi kecernaan pakan total, kecernaan protein, kecernaan fosfor, dan kecernaan kalsium. Nilai kecernaan nutriea disajikan pada Gambar 17. Penggunaan jagung fermentasi mempengaruhi nilai kecernaan total, protein, fosfor, dan kalsium (P<0,05). Nilai kecernaan total tertinggi diperoleh pada penggunaan jagung fermentasi sebesar 76,90% sedangkan nilai kecernaan total terendah diperoleh pada perlakuan tanpa penggunaan jagung fermentasi sebesar 72,15%. Nilai kecernaan protein tertinggi diperoleh pada penggunaan jagung fermentasi 15% sebesar 83,89% sedangkan nilai kecernaan protein terendah diperoleh pada perlakuan tanpa penggunaan jagung fermentasi sebesar 81,32%. Nilai kecernaan fosfor tertinggi diperoleh pada penggunaan jagung fermentasi 15% sebesar 25,60% namun nilai ini tidak berbeda nyata dengan penggunaan jagung fermentasi 10% sebesar 25.18%. Nilai kecernaan fosfor terendah diperoleh pada penggunaan jagung fermentasi 5% yaitu sebesar 24,18%. Nilai kecernaan kalsium tertinggi diperoleh pada penggunaan jagung fermentasi 15% sebesar 21.04% sedangkan nilai kecernaan kalsium terendah diperoleh pada perlakuan tanpa penggunaan jagung fermentasi yaitu sebesar 19,27%.
a)
b)
Gambar17. Kecernaan nutriea pada setiap perlakuan selama masa pemeliharaan: a) kecernaan total, b) kecernaan protein, c) kecernaan fosfor, dan d) kecernaan kalsium
c)
d) Kualitas Air Kualitas air yang diukur selama masa pemeliharaan meliputi suhu, kandungan
oksigen
terlarut,
pH,
amonia,
kesadahan,
alkalinitas,
dan
karbondioksida. Nilai kualitas air secara lengkap disajikan pada Tabel 14. Secara umum kualitas air masih dalam kisaran optimum untuk pemeliharaan ikan nila. Tabel 14. Kualitas air akuarium selama masa pemeliharaan Parameter kualitas air Kisaran nilai o Suhu ( C) 28,9-30,1 Oksigen terlarut (mg/l) 4,43-6,20 pH 6,81-7,29 Ammonia (mg/l) 0,021-0,026 Kesadahan (mg/l) 103,22-140,31 Alkalinitas (mg/l) 96,34-102,10 Karbondioksida (mg/l) 2,30-4,31
Pembahasan Ikan membutuhkan nutriea untuk memenuhi kebutuhan energi harian, pemeliharaan tubuh, pertumbuhan, dan reproduksi. Seluruh nutriea yang diperlukan ikan berasal dari pakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi pakan tertinggi diperoleh pada penggunaan jagung fermentasi 10% dan 15% (Tabel 13). Semakin banyak pakan yang dikonsumsi maka semakin banyak pula nutriea yang masuk ke saluran pencernaan sehingga berdampak pada
pertumbuhan ikan. Energi yang tersisa dari pemeliharan dan energi untuk aktivitas harian dikonversi menjadi jaringan baru sebagai bentuk pertumbuhan pada ikan. Pakan yang dikonsumsi ikan tidak seluruhnya dapat digunakan dan dikonversi menjadi energi. Sebagian pakan yang tidak tercerna dikeluarkan dalam bentuk feses. Nilai kecernaan pakan memegang peranan penting dalam ketersediaan nutriea dan energi bagi ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung jagung fermentasi 10-15% dalam pakan memberikan nilai kecernaan total, kecernaan protein, kecernaan fosfor, dan kecernaan kalsium terbaik bagi ikan nila (Gambar 17). Semakin banyak pakan yang dapat dicerna maka semakin banyak nutriea yang dapat diserap oleh tubuh ikan. Peningkatan nilai kecernaan total dan protein pakan disebabkan adanya proses fermentasi tepung jagung oleh Rhizopus oligosporus. Kapang ini mampu memecah nutriea kompleks menjadi nutriea yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna ikan. Tingginya kecernaan fosfor dan kecernaan kalsium terkait dengan kemampuan R. oligosporus menghasilkan enzim fitase. Enzim ini mampu memutus ikatan kompleks asam fitat-fosfor/kalsium sehingga meningkatkan ketersediaan serta kecernaan fosfor dan kecernaan kalsium. Nutriea yang tercerna selanjutnya dikatabolisme menjadi molekul-molekul sederhana dan sebagian dibakar menjadi energi. Molekul-molekul yang tidak digunakan memasuki proses anabolisme untuk dibentuk menjadi jaringan baru. Banyaknya jaringan baru yang terbentuk menggambarkan banyaknya nutriea yang disimpan dalam tubuh ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai retensi protein tertinggi diperoleh pada penggunaan tepung jagung fermentasi 10-15% dalam pakan (Gambar 13). Penggunaan tepung jagung fermentasi yang berbeda tidak mempengaruhi nilai retensi lemak. Data ini sejalan dengan hasil penelitian Suhenda et al. (2010) yaitu penggunaan jagung yang difermentasi dengan R. oligosporus memberikan nilai retensi protein yang terbaik pada ikan mas. Besarnya nilai retensi protein berpengaruh terhadap nilai rasio efisiensi protein. Pada penelitian ini diketahui bahwa nilai rasio efisiensi protein terbaik diperoleh pada perlakuan penggunaan tepung jagung fermentasi 10-15% yaitu sebesar 2,442,53. Semakin besar protein yang diretensi maka semakin besar efisien penggunaan protein.
Asam amino yang terkandung dalam pakan rata-rata berada dibawah kebutuhan asam amino ikan nila (Tabel 15). Asam amino pakan yang memiliki kelimpahan cukup tinggi antara lain arginin, leusin, dan valin. Sedangkan asam amino pakan yang memiliki kelimpahan cukup rendah antara lain histidin, metionin, dan triptofan. Namun jika diperhatikan kandungan asam amino esensial kelima jenis pakan memiliki pola yang sama dengan pola kebutuhan asam amino ikan nila kecuali lisin (Gambar 18). Lovell (2002) mengemukakan bahwa selain jumlah protein, pola asam amino yang terdapat dalam pakan mempengaruhi penggunaan asam amino dalam tubuh ikan. Semakin mirip pola asam amino pakan dengan pola kebutuhan asam amino ikan atau pola asam amino tubuh ikan mengakibatkan penggunaan protein untuk asimilasi protein tubuh menjadi lebih efisien. Selain protein, karbohidrat juga dapat disimpan di dalam tubuh ikan dalam bentuk glikogen atau dikonversi menjadi lemak. Glikogen umumnya disimpan di otot dan di hati. Penyimpanan glikogen di dalam hati dapat menyebabkan penambahan nilai indeks hepatosomatik. Pada penelitian ini penggunaan tepung jagung fermentasi dengan tingkat yang berbeda tidak mempengaruhi nilai indeks hepatosomatik (Gambar 14; P>0,05). Hal ini disebabkan pakan uji yang digunakan memiliki kandungan energi, lemak, protein, dan karbohidrat yang sama. Sol Novoa et al. (2004) menjelaskan bahwa tingkat karbohidrat dan lemak pakan yang berbeda mampu mempengaruhi nilai indeks hepatosomatik pada ikan sebagai bentuk penimbunan karbohidrat (glikogen) dan lemak di dalam hati.
Tabel 15. Kebutuhan asam amino esensial ikan nila dan kandungan asam amino esensial pakan uji. Asam amino esensial Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin
Asam amino esensial pakan perlakuan
Kebutuhan AAE nila*
A (0%)
B (5%)
C (10%)
D (15%)
E (20%)
4,200 1,720 3,110 3,390 5,120 2,680 3,750
2,008 0,800 1,546 2,248 1,842 0,528 1,353
1,940 0,795 1,481 2,207 1,818 0,543 1,309
1,871 0,790 1,417 2,166 1,793 0,557 1,264
1,723 0,775 1,321 2,123 1,768 0,543 1,225
1,734 0,780 1,288 2,085 1,745 0,586 1,175
Threonin Triptofan Valin
3,750 1,000 2,800
1,157 0,393 1,535
1,141 0,373 1,497
1,124 0,354 1,458
1,103 0,327 1,446
1,091 0,315 1,382
* El-Sayed (2006)
Gambar 18. Pola asam amino pakan dan pola kebutuhan asam amino ikan nila Pengukuran kandungan glukosa darah selama 24 jam menunjukkan pola yang sama antar perlakuan pakan dengan kandungan jagung fermentasi yang berbeda (Gambar 15). Kadar glukosa darah terus naik sampai jam kesembilan setelah pemberian pakan. Selanjutnya kadar glukosa terus mengalami penurunan hingga jam ke-24. Karbohidrat kompleks yang berasal dari pakan dipecah menjadi karbohidrat sederhana seperti disakarida dan monosakarida. Selanjutnya di dan monosakarida dalam bentuk glukosa diserap melalui usus dan masuk ke dalam aliran darah. Hasil yang berbeda diperoleh Wright Jr et al. (1998) bahwa pemberian glukosa pada ikan nila melalui penyuntikan intramuskular dengan dosis 2000 mg/kg tubuh ikan menyebabkan kenaikan gula darah sampai jam ke-6 setelah pemberian. Bahkan pemberian pakan dengan kadar karbohidrat tinggi menyebabkan puncak glukosa darah diperoleh pada jam ke-36 setelah pemberian pakan pada ikan Chinook Salmon (Mazur et al. 1992). Kemampuan ikan dalam menyerap dan menggunakan glukosa tidak sebaik pada mamalia terutama ruminan. Banyak faktor yang mempengaruhi penyerapan dan efisiensi
penggunaan glukosa pada ikan diantaranya jenis ikan, tipe dan jumlah karbohidrat yang terdapat dalam pakan, kondisi lingkungan, serta keberadaan hormon insulinglukagon (Sol Novoa et al. 2004). Setelah glukosa diserap ke dalam darah selanjutnya insulin mengubah glukosa darah menjadi glikogen baik di hati maupun di otot. Penggunaan jagung fermentasi yang berbeda tidak mempengaruhi kadar glikogen di hati. Namun terjadi peningkatan kadar glikogen hati antara sebelum perlakuan dengan setelah perlakuan. Peningkatan kadar glikogen hati berkisar antara 430,21-445,53%. Peningkatan kadar glikogen hati mengindikasikan bahwa pakan yang diberikan mengandung energi yang berasal dari karbohidrat sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan sisa energi yang ada disimpan dalam bentuk glikogen disamping dikonversi menjadi lemak. Ikan nila cenderung menyimpan sisa energi dalam bentuk glikogen, sedangkan ikan patin cenderung mengkonversi glukosa menjadi lemak (Furuichi & Yone 1981). Glukosa hasil pencernaan karbohidrat diserap ke dalam aliran darah, dan selanjutnya akan digunakan untuk metabolisme. Metabolisme glukosa sangat dikontrol oleh hormon. Pada hewanhewan endotermik, homoestatis glukosa darah dikontrol sangat baik. Homeostasis ini terutama dikontrol oleh insulin dan glukagon yang disekresikan oleh pankreas. Hormon-hormon tersebut juga terdapat pada ikan, tetapi homoestasi glukosa darah belum jelas. Insulin dan somatostatin menyebabkan penurunan kadar glukosa darah (hipoglikemia). Glukosa ini akan digunakan secara cepat pada jaringan atau diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam hati (Furuichi & Yone 1981). Semakin banyak pakan yang dikonsumsi disertai tingginya nilai kecernaan pakan mengakibatkan meningkatnya energi dan nutriea yang dapat diubah menjadi jaringan baru. Semakin banyak jaringan baru yang terbentuk mengakibatkan semakin tingginya laju pertumbuhan ikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan jagung fermentasi 10% dan 15% memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai laju pertumbuhan spesifik dengan nilai laju pertumbuhan spesifik sebesar 3,31% dan 3,55% Laju pertumbuhan ini diikuti pula dengan nilai konversi pakan 1,35 dan 1,41. Penggunaan tepung jagung fermentasi tidak mempengaruhi nilai sintasan ikan uji.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Penggunaan proses pengukusan mampu memperbaiki kualitas jagung dengan menurunkan kandungan asam fitat dan meningkatkan kecernaan bahan. 2. Fermentasi jagung menggunakan R. oligosporus pada dosis 109 spora/ml selama 5 hari mampu meningkatkan protein bahan, menurunkan kandungan asam fitat, selulosa, lignin, dan acid detergent fiber (ADF) serta mampu meningkatkan kecernaan jagung. 3. Tepung jagung fermentasi sampai dengan 15% dapat dimanfaatkan dalam pakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan nila.
Saran 1. Penggunaan inokulum padat R. oligosporus untuk mempermudah proses fermentasi skala lapang. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji penggunaan jagung fermentasi sebagai salah satu bahan penyusun pakan ikan pada skala lapang.
DAFTAR PUSTAKA
Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2009. Hubungan sifat kimia dan rheologi tepung jagung putih dengan fermentasi spontan butiran jagung. Forum Pascasarjana IPB vol 32(1): 33-43. Alexopoulos SJ, Mims CW, Blackwell C. 1996. Introductory mycology. 4th edition. John Wiley & Sons Inc. New York. Pp 868. Amri M. 1998. Peningkatan kualitas daun talas (Alocasia sp) melalui fermentasi sebagai bahan pakan ikan. Jurnal Perikanan Universitas Bung Hatta (1): 20-26. Azwar ZI, dan Rostika R. 2010. Ketersediaan dan peningkatan kualitas bahan baku pakan ikan dan udang. Semiloka nutrisi pakan ikan dan udang. Bogor, 26 Oktober 2010. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia. Jakarta. Baruah K., Sahu NP, Pal AK, and Debnath D. 2004. Dietary phytase: an ideal approach for cost effective and low polluting aquafeed. NAGA World Fish Center Quartedy. 27 (3 and 4): 15-19. Buckle KA. 1987. Ilmu Pangan. DGHP/IDP. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 365 p. Burge RM. and Duensing WJ. 1989. Processing and dietary fiber ingredient application of corn bran. Cereal Foods World. 34: 535-538. Cheriyan M. 1980. Phytic acid interaction in food systems. CRC Crit. Rev. food. Conrad B, Savchenko RS, Breves R, Hofeweister J. 1996. A T7 specific inducible protein expression system for Bacillus subtilis. Mol. Gen. Genet. 250: 230236. Dowswell CR., Paliwal RL, and.Cantrell RP. 1996. Maize in The Third World. Westview Press. Dwidjoseputro D. 1987. Microbiological studies of Indonesian ragi. Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengabdian Masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dziedzie SZ. and Kearsley MW. 1995. The technology of starch production. In S. Z. Dziedzie and M. W. Kearsley (Eds.). Handbook of starch hydrolysis products and their derivatives. Blackie Academic and Professional, London.
Eklund-Johsson C, Sanberg AS, Hulthen L, Alminger ML. 2008. Tempe fermentation of whole grain barley increased human iron absorption and in vitro iron availability. The Open Nutrition Journal 2:42-47. El-Gindy AA, Ibrahim ZM, Ali UF, and El-Mahdy OM. 2009. Extracellular phytase production by solid state cultures of Malbranchea sulfurea and Aspergillus niveus on cost-effective medium. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 5(1): 42-62. El-Sayed, A. 1999. Alternative dietary protein sources for farmed tilapia Oreochromis spp. Aquaculture 179:149-168. _________. 2006. Tilapia culture. CABI Publishing. Wallingford. pp 293. Fadahunsi IF. 2009. Effect of soaking, boiling, and fermentation with Rhizopus oligosporus on the water soluble vitamin content of bambara groundnut. Pakistan Journal of Nutr 8(6): 835-840. Fagbenro, O. 1998. Apparent digestibility of various legume seed meals in nile tilapia (Oreochromis niloticus) diets. Aquaculture International 6:83-87. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Diterbitkan kerjasama antara PAU IPB dengan LSI IPB Bogor. Farley PC & Ikasari L. 1992. Regulation of the secretion of Rhizopus oligosporus extracellular carboxyl proteinase. Journal of General Microbiology 138: 2539-2544. Fontainhas-Fernandes A, Goomes E, Reis-Henriques M, and Coimbra J. 1999. Replacement of fish meal by plant proteins in the diet of Nile tilapia: Digestibility and growth performance. Aquaculture International 7:57-67. Furuichi M, Yone Y. 1981. Change of blood sugar and plasma insulin levels of fishes in glucose tolerance test. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish. 47: 761-764. ________. 1988. Fish Nutrition. Di dalam : Watanabe T, editor. Fish Nutrition and Mariculture, editor. Kanagawa International Fisheries Training Centre. JICA. Hlmn 3-77. Gandjar I. 1977. Fermentasi biji Mucuna pruriens D.C. dan pengaruhnya terhadap kualitas protein. Disertasi. Institut Teknologi Bandung. ________. Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi. Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 238 p. Gustiano R., Arifin OZ, Nugroho E. 2008. Pelepasan varietas nila “Balitkanwar”. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Pusat Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Departemen Kelautan dan Perikanan RI.
Gonzales Jr JM, Pascual FM, Robinson EH. 2007. Evaluation of fish meal-free diets for first feeding nile tilapia, Oreochromis niloticus. Journal of Applied Aquaculture, Vol. 19(3): 89-99. Greiner R and Konietzny U. 2006. Phytase for food application. Food Technol. Biotechnol 44(2): 125-140. Halver JE. 1976. The nutritional requirement of cultivated warmwater and coldwater fish spesies, In T. V. R. Pilley and W. A. Dill (Eds.) Advances in Aquaculture. Fishing NewsBook Ltd. Farm Ham., p.574-580. ________. 2001. Fish Nutrition. Academic Press Inc. University of Washington. Seattle Washington. Hlmn 62-132. Hatfield RD, Chaptman AK. 2009. Comparing corn types for differences in cell wall characteristics and p-coumaroylation of lignin. J.Agric.Food Chem. 57: 4243-4249. Huisman EA. 1987. Principles of Fish Production. Department of Fish Culture and Fisheries, Wageningen Agriculture University, Wageningen, Netherland. 170p. Indradjaja DD. 2010. Upaya Penyediaan pakan untuk mendukung target produksi perikaan 353. Makalah disampaikan pada Forum Pakan 2010, 22-25 November 2010. Direktorat Produksi, Ditjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Inglett GE 1987. Kernel, Structure, Composition and Quality. Ed. Corn: Culture. Processing and Products. Avi Publishing Company, Westport. Johnston DB, and Vijay S. 2004. Enzymatic milling of corn: optimization of soaking, grinding, and enzyme incubation steps. Cereal Chem. 81(5):626– 632. Kuswanto KR. dan Sumardji S. 1989. Proses-proses mikrobiologi pangan. Pusat Antar Universitas. Pangan dan Gizi. Universitas Gajahmada. 574 p. Lehninger AL 1982. Principles of Biochemistry. Dasar-dasar Biokimia Jilid I, diterjemahkan oleh M. Thenawijaya. Penerbit Erlangga. Jakarta. Lovell RT. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. Auburn University. Van Nostrand Reinhold. New York. P 260 _________. 2002. Diet and fish husbandry. in. Halver JE & Hardy RW (editors). 2002. Fish nutrition. 3rd ed. Academic Press.San Diego. pp 839.
Mangunwidjaja D. 2003. Teknologi dan diversifikasi pengolahan jagung. Temu Usaha Pengusaha Jagung. Direktorat Jendral Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Maina J, Beames R, Mbugua P, Iwama G, and Kisia S. 2002. Digestibility and feeding value of some feed ingredients fed to tilapia (Oreochromis niloticus L.). Aquaculture Research 33:853-862. Martinez R, Mendoza S, Reguera E, Ortiz P, Martinez JL. 2001. Kinetic approach to nixtamalization of corn pericarp. Cereal Chem. 78(2): 107-110. Mazur CN, Higgs DA, Plisetskaya E., March BE. 1992. Utilization of dietary starch and glucose tolerance in juvenile chinook salmon Oncorhynchus tshawytscha. of different strains in seawater. Fish Physiol. Biochem. 10: 303-313. Merts. 1972. Recent improvement in corn protein. In: G.E. Inglett. (Ed.). Symposium Seed Protein. The AVI Publ. Co. Inc. New York. Millamena OM, Coloso RM and Pascual FP. 2002. Nutrition in Tropical Aquaculture, Essentials of Fish Nutrition, Feeds, and Feeding of Tropical Aquatic Species. Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan, Iloilo, Philippines. Mullaney EJ and Ullah AHJ. 2007. Phytase: attributes, catalytic mechanism and application. in Turner BL, Richardson AE and Mullaney EJ (editors). 2007. Inositol phosphatase: Lingking Agriculture and Environment. CAB international. pp 97-110. [NRC]. National Research Council. 1977. Nutrient Requirements of Warmwater Fishes. National Academy of Sciences. Washington DC. Hlmn 78. [NRC]. National Research Council. 1993. Nutrient Requirement of Fish. National Academic Press. Washington DC. Hlmn 115.
Ogunji J and Wirth M. 2001. Alternative protein sources as substitutes for fishmeal in the diet of young tilapia Oreochromis niloticus (Linn.). The Israeli Journal of Aquaculture 53:34-43. Ohkuma M, Maeda Y, Johjima T, Kudo T. 2001. Lignin degradation and role of white fungi: Study on an efficient symbiotic system in fungus-growing termites and its application to bioremediation. Rik Rev. 42:39-43. Olvera-Novoa M, Pereira-Pacheco F, Olivera-Castillo L, Perez-Flores V, Navarro L, and Samano J. 1997. Cowpea (Vigna unguiculata) protein concentrate as replacement for fish meal in diets for tilapia (Oreochromis niloticus) fry. Aquaculture 158:107-116.
Popma T, Lovshin LL. 1996. Worldwide Prospect for Commercial Production of Tilapia. Research and Development Series No. 41. Department of Fisheries and Allied Aquacultures Auburn University. Alabama. Pantaya P, Dehai L, Ying M. 2011. Impact on enzymatic hydrolysis on the crystal structure and thermal and textural properties of corn starch. African Journal of Biotechnology. 10(17):3430-3435. Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantri, Fardiaz S. 1992. Teknologi fermentasi produk pertanian. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. 142 p. Rahman A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. 186 p. Ravindran V. 2000. Effect of natuphos phytase on the bioavailability of protein and amino acids- a review. Monogastric Research Centre Institute of Food, Nutrition, and Human Health, Massey University, Palmerston North New Zealand. 1-10. Samsudin R. 2009. Penggunaan fitase dalam berbagai dosis dalam pakan untuk menunjang pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya. p 23-28. Schaeffer TW, Brown ML, Rosentrater KA. 2009. Performance characteristics of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) fed diets containing graded levels of fuel-based distillers dried grains with solubles. J. of Aquaculture Feed Science and Nutr. 1(4): 78-83. Scherllat JA. 1975. Fungal protein from corn waste effluents. Wageningen universiten, H. Veen man and B. S. Zoned pubs. Sol Novoa M., Encarnacio´n Capilla, Pablo Rojas, Joan Baro, Joaquim Gutie´rrez, Isabel Navarro. 2004. Glucagon and insulin response to dietary carbohydrate in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). General and Comparative Endocrinology 139: 48–54. Steel RGD and Torrie JH. 1993. Principles and procedures of McGrawHill London.
statistic.
Steinkraus KH. 1983. Handbook of indigenous fermented foods. Marcel-Dekker Inc. New York and Bassel. 352 p. Suarni. 2005a. Pengaruh proses pemanasan beras jagung sebagai peubah nilai nutrisi. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. p 419-423.
_____. 2005b. Karakteristik fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. p 440-444. _____. dan Firmansyah IU. 2005. Pengaruh umur panen terhadap kandungan nutrisi biji jagung beberapa varietas. Hasil penelitian Balitsereal Maros. unpublished. 14 p. _____. dan Widowati S. 2009. Struktur, komposisi, dan nutrisi jagung. http:// Balitsereal. litbang. deptan. go.id/b jagung/tigonal. Diunduh tanggal 9 Februari 2009. Suprayudi MA. 2010. Pengembangan penggunaan bahan baku lokal untuk pakan ikan/ udang. Semiloka nutrisi pakan ikan dan udang. Bogor, 26 Oktober 2010. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia. Jakarta. Suharyono SU, Nurdin, Arief RW dan Murhadi. 2005. Protein quality of Indonesian common maize does not less superior to quality protein maize. Makalah pada 9th ASEAN Food Conference. Jakarta 8-10 Agustus 2005. Suhenda N, Samsudin R., Melati I. 2009. Peningkatan kualitas bahan nabati (dedak padi dan dedak polar) melalui proses fermentasi (Rhyzopus oligosporus) dan penggunaannya dalam pakan ikan mas (Cyprinus carpio). Disajikan dalam Seminar Hasil-Hasil Penelitian Diknas, Jakarta. _______, Melati I, Samsudin R. 2010. Peningkatan mutu tepung jagung melalui proses fermentasi dengan menggunakan tiga jenis kapang berbeda sebagai bahan baku pakan ikan mas (Cyprinus carpio). Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 24 Juli 2010, PN-20 : 1-5. Takeuchi T. 1988. Laboratory Work-Chemical Evaluation of Dietary Nutrients, p 179-233. In Watanabe, T. (ed): Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo. Departement of Aquatics Bioscience Tokyo University of Fisheries. JICA. Tannenbeum SR, Wang DLC. 1975. Single Sell Protein. The Massachussets Institute of Technology. Press. London. Twibell RG, and Brown PB. 1998. Optimum dietary crude protein for hybrid tilapia Oreochromis niloticus _ O. aureus fed all-plant diets. Journal of the World Aquaculture Society 29:9-16.
Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber and non starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J. Dairy. Sci. 74: 3583-3597. Vats P and Banarjee UC. 2004. Production studies and catalytic properties of phytases (myo-inositolhexakisphosphate phosphoshydrolases): an overview. Enzyme and Microbial Tech. 35: 3-14. Watanabe T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Kanagawa International Fisheries Training Centre. JICA. Watson SA. 1984. Corn and sorghum starch production. in. Whistler RL, Bemiller JN, Paschall EF (editors). 1984. Starch: Chemistry and Technology. Academic Press. New York. pp 417-465. Webster CD, Lim C. 2002. Nutrient Requirement and Feeding of Finfish for Aquaculture. British Library. London, UK. Widowati S, Santosa BA, dan Suarni. 2005. Mutu gizi dan sifat fungsional jagung. Prosiding Seminar Nasional Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 343-350. Wilson CM. 1981. Variations in soluble endosperm proteins of corn (Zea mays L.) in breeds as detected by disc gel electrophoresis. Cereal Chem. 58(5):401-408. Winarno, FG. 2002. Kimia pangan dan gizi. Gramedia. Jakarta. 220p. _______., Fardiaz S dan Fardiaz D. 1980. Gramedia.
Pengantar teknologi
pangan.
Wright Jr JR., O’Hali W, Yang H, Han X, Bonen A., 1998. GLUT-4 deficiency and absolute peripheral resistance to insulin in the teleost fish tilapia. Gen. Comp. Endocrinol. 111: 20-27. Yamada R. 1983. Pond production systems: feeds and feeding practices in warmwater fish ponds. In. Lannan JE, Smitherman RO, Tchobanoglous G, editors. Principles and Practices of Pond Aquaculture, A State of the Art Review. Pond Dynamics / Aquaculture CRSP, Program Management Office, Oregon State University, Marine Science Center, Oregon. Hlmn 117-144. Zinn RA. 1990. Influence of steaming time on site of digestion of flaked corn in steers. J Anim Sci (68):776-781.
_______, Salinas J, Montano M, Corona L. 2008. Influence of tempering and steaming requirements of flaked corn for feedlot cattle diets. J. Anim. Vet. Adv 7 (1): 68-76. Zobel, HF. 1984. Gelatinization of starch and mechanical properties of starch pastes. in. Whistler RL, Bemiller JN, Paschall EF (editors). 1984. Starch: Chemistry and Technology. Academic Press. New York. pp 153-305.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H2SO4 1 N 2. Aseton Cara Kerja 1. Timbang sampel bentuk tepung lolos ayakan 30 mesh sebanyak 1 gram dan masukkan kedalam erlenmeyer. 2. Tambahkan 100 ml larutan ADF; didihkan pada pendingin tegak selama 60 menit 3. Saring melalui filter gelas 2-G-3; endapan yang diperoleh dicuci dengan akuades panas beberapa kali. 4. Endapan dicuci kembali dengan aseton beberapa kali 5. keringkan filter gelas dan endapan dalam oven 100oC sampai diperoleh berat yang tetap (sekitar 8 jam), timbang. 6. Abukan endapan pada tanur yang bersuhu 450-500oC hingga diperoleh berat yang tetap (sekitar 3 jam), timbang. Perhitungan a : berat filter dan endapan setelah dikeringkan (gram) b : berat filter dan endapan setelah diabukan c : berat awal sampel (gram) Persen kadar ADF =
a b x 100 c
Lampiran 2. Penentuan kadar NDF (Neutral Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan NDF 18.61 gram EDTA-2Na, 6.81 gram Na2B4O7.10H2O, 30 gram sodium lauril sulfat, 4.56 gram Na2HPO4, dan 10 ml 2-etoksi-etanol dilarutkan sampai 1 liter, sehingga pH 6.8-7.1. 2. Larutan α-amilase 1 gram α-amilase dimasukkan dalam 1 liter buffer fosfat yaitu 0,067 M buffer fosfat (KH2PO4-Na2HPO4). pH 7.0±0.05 3. Aseton Cara Kerja 1. Timbang 0.5 gram sampel bentuk tepung lolos ayakan 30 mesh dan masukkan kedalam erlenmeyer 2. Tambahkan 30 ml larutan α-amilase dan inkubasi pada suhu 40oC selama 16 jam (semalam) 3. Tambahkan 200 ml larutan NDF dan 0.5 gram Na2 SO3 4. Refluks campuran pada pendingin tegak selama 60 menit 5. Saring campuran melalui filter gelas 2-G-3 dan cuci dengan akuades panas beberapa kali. 6. Bilas endapan dengan aseton beberapa kali 7. Keringkan filter dan endapan pada oven yang bersuhu 100 oC sampai diperoleh berat yang tetap (sekitar 8 jam), timbang 8. Abukan filter dan endapan pada tanur yang bersuhu 450-500oC sampai diperoleh berat yang tetap (sekitar 3 jam) timbang. Perhitungan a : Berat filter dan endapan setelah dikeringkan (gram) b : Berat filter dan endapan setelah diabukan (gram) w : Berat sampel awal (gram) Persen kadar NDF =
a b x 100 w
Lampiran 3. Penetapan kadar Lignin (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF (lihat penetapan ADF) 2. Larutan H2SO4 72% (w/v) 3. Aseton
Cara Kerja 1. Timbang 0.5 gram sampel berbentuk tepung lolos ayakan 30 mesh, masukkan ke dalam erlenmeyer/ labu didih. 2. Tambahkan 100 ml larutan ADF 3. Refluks pada pendingin tegak selama 60 menit 4. Saring melalui filter gelas 2-G-4 5. Tempatkan filter gelas yang berisi residu pada gelas piala 100 ml 6. Tambahkan 25 ml H2SO4 72% dingin (15 oC) ke dalam filter gelas, aduk dengan menggunakan gelas pengaduk sampai terbentuk pasta halus. Biarkan gelas pengaduk berada dalam filter gelas. 7. Biarkan selama 3 jam pada suhu 20-23 oC sambil diaduk-aduk setiap 1 jam sekali. 8. Dengan bantuan vacum lakukan penyaringan. Cuci residu dengan air panas sampai filtrat bebas asam (cek dengan kertas lakmus). Jangan lupa cuci bagian pinggir filtrat dan gelas pengaduk dengan air panas. 9. Bilas residu dengan aseton 2-3 kali. 10. Keringkan filter gelas dalam oven 100oC sampai diperoleh berat tetap, masukkan ke dalam desikator kemudian timbang. 11. Masukkan filter ke dalam tanur 450-500 oC sampai diperoleh berat tetap, biarkan agak dingin, masukkan desikator, timbang. Perhitungan Persen kadar Lignin
=
ab W
x 100
a = Berat filter dan residu setelah dikeringkan (gram) b = Berat filter dan residu setelah diabukan (gram) W = Berat awal sampel (gram)
Lampiran 4. Prosedur analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar serat kasar) mengikuti metode Takeuchi (1988). a. Prosedur analisis kadar air -
-
Cawan dipanaskan pada suhu 110oC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam cawan, kemudian ditimbang (B). Cawan dan sampel dipanaskan tanpa penutup pada suhu 110 oC selama 2 jam, kemudian didinginkan dalam desikator sampai suhu ruang dan timbang. Proses tersebut diulang sampai beratnya konstan (C). Kadar air (%) = (B-C) x 100 (B-A)
b. Prosedur analisis kadar abu -
-
Cawan porselin dipanaskan pada suhu 600 oC selama 1 jam di dalam muffle furnase, kemudian dibiarkan suhu muffle furnase turun sampai 110oC , selanjutnya cawan porselin dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 1 sampai 2 gram dan dimasukkan ke dalam cawan, kemudian ditimbang (B). Cawan porselin dan sample dipanaskan di dalam muffle furnase pada suhu 600oC selama 1 jam, kemudian dibiarkan sampai samalam. Cawan porselin + sample dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang (C). Kadar abu (%) = C x 100 (B-A)
c. Prosedur analisis protein c.1. Tahap Oksidasi -
-
-
Sampel ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjehldahl, salah satu dari labu digunakan sebagai blanko dan tidak diisi dengan sample. Tiga gram katalis (K2SO4 + Cu SO4.H2O dengan rasio 9:1) dan 10 ml H2SO4 pekat ditambahkan. Labu Kjeldahl dipanaskan pada suhu 400 oC selama 0,5 sampai satu jam, kemudian pemanasan dilanjutkan lagi selama 3 sampai 4 jam sehingga terjadi perubahan warna menjadi hijau bening. Larutan ditambah dengan 20 ml air destilata dan didinginkan. Setelah dingin diencerkan dengan air destilata sampai 100 ml.
c.2.Tahap Destilasi -
-
-
-
Beberapa tetes H2SO4 ditambahkan ke dalam botol A yang sebelumnya telah diisi setengah bagian dengan air destilata untuk menghindari amoniak lingkungan, kemudian dididihkan selama 10 menit. Botol erlenmeyer (F) yang berisi 10 ml H2SO4 0,05 N ditetesi 2 sampai 3 tetes indikator (methyl red / methyl blue), disiapkan untuk menampung NH 3 yang dibebaskan. 5 ml larutan sampel dimasukkan ke botol D melalui corong C, kemudian corong C dicuci dengan air destilata. 10 ml larutan NaOH 30% ditambahkan melalui corong C dan corong C dicuci kembali dengan air destilata, kemudian antara corong C dan botol D ditutup dengan cara dijepit. Campuran alkalin dalam botol destilasi dipanaskan dengan uap selama minimum 10 menit estela kondensasi terlihat pada kondensor. Larutan dalam erlenmeyer dititrasi dengan larutan NaOH 0,05 N dan catat hasilnya. Prosedur titrasi yang sama juga dilakukan pada blanko. Kadar protein (%) = 0,0007*1 x (Vb – Vs) x F x 6,25*2 x 20 x 100 S Di mana : Vs = volume NaOH 0,05 N untuk sampel F = faktor koreksi untuk larutan standar NaOH 0,05 N S = berat sampel (g) *1 = setiap ml NaOH 0,05 N equivalent dengan 0,0007 g nitrogen *2 = faktor nitrogen, protein diasumsikan pada 16% nitrogen, faktor 6,25 (100/16) digunakan untuk mengkonversi total nitrogen ke total protein.
d. Prosedur Analisis Lemak
-
Labu ekstraksi dipanaskan pada suhu 110 oC selama 1 jam, setelah itu didinginkan selama 30 menit dalam desikator. Labu dipanaskan kembali selama 30 menit dan dinginkan, kemudian ditimbang. Proses tersebut diulang sampai tidak ada perbedaan bobot labu (lebih kecil dari dari 0,3 mg). Bobot labu ekstraksi (A). Sampel ditimbang sebanyak 1 sampai 2 gram dan dimasukkan ke dalam tabung filter kemudian ditutup dengan lapisan tipis dari katon absorbent dan dikeringkan dalam oven pada suhu 90 sampai 100 oC selama 2 sampai 3 jam. Tabung filter ditempatkan di dalam ruang ekstraksi dari alat soxhlet dan dihubungkan dengan kondensor labu ekstraksi yang telah diisi dengan 100 ml petrolium ether, sebelumnya ether dipanaskan terlebih dahulu pada labu ekstraksi dalam water bath pada suhu 60 sampai 70oC selama 16 jam. Labu ekstraksi dipanaskan pada suhu 100oC, kemudian ditimbang (B)
-
Kadar lemak (%) =
-
-
-
(B-A) x 100 Berat sampel
e. Prosedur analisis serat kasar -
-
-
-
-
-
-
-
-
Kertas filter dipanaskan dalam oven pada suhu 110oC, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Dipanaskan kembali selama 30 menit dan dinginkan, kemudian ditimbang. Proses tersebut diulang sampai tidak ada perbedaan bobot (lebih kecil dari 0,3 mg). Cawan porselin dipanaskan pada suhu 550 oC selama 1 jam di dalam muffle furnase, kemudian dibiarkan suhu muffle furnase turun sampai 110 oC, selanjutnya cawan porselin dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Sampel sebanyak 1 sampai 2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, (kalau kandungan lemak sampel > 1% dilakukan ekstraksi dengan larutan ether untuk memindahkan lemak), tambahkan 200 ml H 2SO4 1,25% panas dan 1 ml iso-amyl alkohol sebagai agen antifoam. Labu dihubungkan dengan kondensor dan dididihkan selama 30 menit, labu diputar secara periodik agar bahan tidak mengendap. Labu dipindah dan cairan disaring melalui filter fiber nilon dalam sebuah corong, kemudian dicuci sebanyak 3 kali berturut-turut dengan 40 sampai 50 ml air panas. Residu yang terdapat dalam filter dipindahkan ke dalam labu original yang berisi sedikit air panas dan ditambahkan dengan 50 ml NaOH 5% panas dan 1 ml iso-amyl alkohol, kemudian diencerkan dengan 200 ml air panas. Selanjutnya labu dididihkan dan cairan disaring kembali dengan filter fiber nilon, kemudian dicuci sebanyak 5 kali berturut-turut dengan 40 sampai 50 ml air panas. Residu yang terdapat pada filter dipindahkan dalam kertas filter dan dicuci dengan air, tambahkan 15 ml alkohol dan 10 ml ether. Selanjutnya dikeringkan pada suhu 110 oC sampai tercapai bobot konstan. Kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselin dipanaskan dalam muffle furnace pada suhu 550 oC selama 1 jam atau sampai beratnya konstan, kemudian didinginkan. Kadar serat kasar (%) = Berat yang hilang selama pembakaran Berat sampel
x 100
Lampiran 5. Penentuan Kadar Asam Fitat Kadar asam fitat ditentukan dengan metoda Davies dan Reid, (1979) . Ekstrak untuk analisis diperoleh dengan cara berikut: sampel dalam bentuk tepung sebanyak 1 g disuspensikan dalam 50 ml air larutan HNO3 0,5 M. Suspensi ini diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam pada suhu ruang kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh digunakan untuk menetapkan kadar asam fitat, Penentuan kadar asam fitat dilakukan dengan cara berikut. Dalam tabung reaksi yang berisi 0,5 ml filtrat, ditambahkan 0,9 ml HNO3 0,5 ml dan 1 ml FeCl3. Kemudian tabung reaksi ditutup, lalu direndam dalam air mendidih selama 20 menit. Setelah didinginkan, ditambah 5 ml amil alkohol dan 1 ml larutan amonium tiosianat. Selanjutnya disentnifus pada kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Setelah terbentuk dua lapisan, lapisan amil alkohol diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer (Coleman junior 11 Spectrophotometer G-20) pada panjang gelombang 465 nmdengan blangko amil alkohol, 15 menit setelah penambahan amonium tiosianat. Hasil yang diperoleh dibandingkan pada kurva standar Na-fitat yang diperoleh dengan cara seperti di atas. Untuk pembuatan kurva standar Na-fitat, konsentrasi larutan Na-fitat yang digunakan adalah 0,025 mM, 0,05 mM, 0,075 mM, 0,1 mM, 0,125 mM, 0,15 mM, 0,175mM dan 0,2 mM. Kadar asam fitat dalam sampel dinyatakan dalam mg/g bahan kering.
Lampiran 6. Kadar glukosa darah ikan selama 24 jam perlakuan 0%
rerata sd 5%
rerata sd 10%
rerata sd 15%
rerata sd 20%
rerata sd
0 87 90 85 87.33 2.52
3 136 145 141 140.67 4.51
6 172 166 159 165.67 6.51
jam ke9 12 188 173 173 159 175 162 178.67 164.67 8.14 7.37
87 90 85 87.33 2.52
132 155 142 143.00 11.53
169 177 158 168.00 9.54
199 177 184 186.67 11.24
172 169 166 169.00 3.00
145 142 144 143.67 1.53
120 130 98 116.00 16.37
111 99 112 107.33 7.23
80 85 85 83.33 2.89
87 90 85 87.33 2.52
130 136 135 133.67 3.21
171 177 166 171.33 5.51
186 194 191 190.33 4.04
185 188 179 184.00 4.58
132 155 148 145.00 11.79
118 121 132 123.67 7.37
86 115 92 97.67 15.31
80 91 89 86.67 5.86
87 90 85 87.33 2.52
122 132 128 127.33 5.03
166 172 177 171.67 5.51
198 192 194 194.67 3.06
181 184 182 182.33 1.53
146 151 151 149.33 2.89
122 130 132 128.00 5.29
112 119 116 115.67 3.51
86 92 91 89.67 3.21
87 90 85 87.33 2.52
129 136 135 133.33 3.79
159 167 171 165.67 6.11
188 195 191 191.33 3.51
182 185 178 181.67 3.51
161 164 156 160.33 4.04
126 135 131 130.67 4.51
113 125 119 119.00 6.00
88 92 82 87.33 5.03
15 144 135 141 140.00 4.58
18 122 99 116 112.33 11.93
21 102 98 95 98.33 3.51
24 80 80 86 82.00 3.46
Lampiran 7. Analisis proksimat jagung hasil perlakuan fisik PROTEIN (%)
LEMAK (%)
ABU (%)
SERAT KASAR (%)
BETN* (%)
KONTROL
8.24
4.00
6.52
3.29
77.95
KONTROL
8.90
4.01
5.80
3.86
78.15
KONTROL
8.78
4.06
6.84
3.76
77.11
Rerata
8.64
4.02
6.39
3.64
77.74
s.d.
0.35
0.03
0.53
0.30
0.55
RENDAM
8.74
3.32
6.24
3.62
77.08
RENDAM
9.20
3.21
5.82
3.48
77.29
RENDAM
11.55
3.40
7.62
3.76
72.67
Rerata
9.83
3.31
6.56
3.62
75.68
s.d.
1.51
0.10
0.94
0.14
2.61
REBUS
8.68
4.05
6.62
3.20
77.45
REBUS REBUS
9.00 11.02
4.15 4.09
6.04 5.96
3.42 3.47
77.39 75.46
Rerata
9.57
4.10
6.21
3.36
76.77
s.d.
1.27
0.05
0.36
0.14
1.13
KUKUS
8.84
3.63
6.46
3.63
76.44
KUKUS
8.27
3.87
6.38
3.78
76.70
KUKUS
8.33
3.59
6.52
3.56
77.00
Rerata
8.48
3.70
6.45
3.66
76.71
s.d.
0.31
0.15
0.07
0.11
0.28
PERLAKUAN
* Keterangan : BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen)
Lampiran 8. Kandungan dan hasil analisis neutral detergent fiber (NDF) jagung perlakuan fisik Ulangan 1 2 3 Rerata s.d.
Kontrol 37.83 38.34 38.72 38.30 0.45
Perlakuan (jenis mekanisme fisik) Rendam Rebus 37.63 35.35 37.22 38.12 38.61 36.68 37.82 36.72 0.71 1.39
Kukus 37.33 38.22 35.24 36.93 1.53
ANOVA NDF Sum of Squares Between (Combined) Groups
Linear Term Quadratic Term
df
F
Sig.
4.985
3
1.662 1.338
.329
Contrast
4.061
1
4.061 3.269
.108
Deviation
.924
2
.462
.372
.701
Contrast
.357
1
.357
.287
.606
Deviation
.566
1
.566
.456
.519
9.938
8
1.242
Within Groups Total
14.922 11
Uji lanjut/ post hoc NDF Uji Lanjut Duncan Subset for alpha = 0.05 Perlakuan
N
1
3
3
36.7167
4
3
36.9300
2
3
37.8200
1
3
38.2967
Sig.
Mean Square
.141
Uji lanjut menggunakan perbandingan nilai tengah perlakuan
Lampiran 9. Kandungan dan hasil analisis acid detergent fiber (ADF) jagung perlakuan fisik Ulangan
Kontrol
Perlakuan (jenis mekanisme fisik) Rendam Rebus
Kukus
1 2
5.28 6.31
5.52 3.86
5.52 5.21
5.45 3.77
3
4.87
5.28
4.93
5.21
Rerata s.d.
5.49 0.74
4.89 0.90
5.22 0.30
4.81 0.91
ANOVA ADF Sum of
Mean
Squares Between
df
Square
F
Sig.
(Combined)
.881
3
.294
.518
.682
Linear
Contrast
.432
1
.432
.762
.408
Deviation
.449
2
.224
.396
.686
.027
1
.027
.048
.832
.422
1
.422
.744
.414
Within Groups
4.536
8
.567
Total
5.417
11
Groups
Term
Quadratic Contrast Term
Deviation
Lampiran 10. Kandungan dan hasil analisis statistik lignin jagung perlakuan fisik Ulangan
Perlakuan (jenis mekanisme fisik) Rendam Rebus 3.32 3.77
1
Kontrol 3.65
Kukus 3.24
2
3.64
3.24
3.67
3.04
3
3.35
3.96
3.58
3.77
Rerata
3.55
3.51
3.67
3.35
s.d.
0.17
0.39
0.10
0.38
ANOVA Lignin Sum of Squares Between (Combined)
Mean Df
Square
F
Sig.
.160
3
.053
.634
.613
Contrast
.027
1
.027
.320
.587
Deviation
.133
2
.067
.791
.486
Contrast
.060
1
.060
.717
.422
Deviation
.073
1
.073
.866
.379
Within Groups
.672
8
.084
Total
.832
11
Groups
Linear Term Quadratic Term
Lampiran 11. Kandungan dan hasil analisis statistik selulosa jagung perlakuan fisik Perlakuan (jenis mekanisme fisik)
Ulangan Kontrol
Rendam
Rebus
Kukus
1 2
1.63 1.32
1.57 1.29
1.33 1.66
1.52 1.31
3
1.43
1.47
1.65
1.55
Rerata s.d.
1.46 0.16
1.44 0.14
1.55 0.19
1.46 0.13
ANOVA Selulosa Sum of Squares Between
Mean Df
Square
F
Sig.
(Combined)
.020
3
.007
.270
.845
Linear
Contrast
.002
1
.002
.066
.804
Deviation
.018
2
.009
.372
.700
.004
1
.004
.151
.707
.014
1
.014
.593
.463
Within Groups
.194
8
.024
Total
.214
11
Groups
Term
Quadratic Contrast Term
Deviation
Lampiran 12. Kandungan dan hasil analisis statistik hemiselulosa jagung perlakuan fisik Ulangan
Kontrol 32.55 34.38 30.63 32.52 1.88
1 2 3 Rerata s.d.
Perlakuan (jenis mekanisme fisik) Rendam Rebus 34.07 30.25 30.47 31.39 34.29 31.45 32.94 31.03 2.14 0.68
Kukus 31.88 31.69 30.03 31.20 1.02
ANOVA hemiselulosa Sum of Squares Between
df
Mean Square
F
Sig.
(Combined)
8.153
3
2.718
1.131
.393
Linear Contrast
5.174
1
5.174
2.154
.180
2.979
2
1.489
.620
.562
.048
1
.048
.020
.891
2.930
1
2.930
1.220
.302
Within Groups
19.219
8
2.402
Total
27.372
11
Groups
Term
Deviation
Quadr Contrast atic Term
Deviation
Lampiran 13. Anova dan uji lanjut kecernaan bahan jagung perlakuan fisik
ANOVA Kecernaan bahan Sum Squares Between Groups
of df
Mean Square
F
Sig.
(Combined)
172.953
3
57.651
63.833
.000
LContrast i Deviation n e a r
168.740
1
168.740
186.833
.000
4.213
2
2.107
2.333
.159
7.225 180.178
8 11
.903
T e r m Within Groups Total
Multiple Comparisons Dependent Variable: kecernaan 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) laku (J) laku Tukey HSD
1
2
3
4
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
2
-2.73000
*
.77595
.032
-5.2149
-.2451
3
-7.59000*
.77595
.000
-10.0749
-5.1051
4
-9.56000
*
.77595
.000
-12.0449
-7.0751
1
2.73000*
.77595
.032
.2451
5.2149
3
-4.86000
*
.77595
.001
-7.3449
-2.3751
4
-6.83000*
.77595
.000
-9.3149
-4.3451
1
7.59000
*
.77595
.000
5.1051
10.0749
2
4.86000*
.77595
.001
2.3751
7.3449
4
-1.97000
.77595
.127
-4.4549
.5149
1
9.56000*
.77595
.000
7.0751
12.0449
2
6.83000*
.77595
.000
4.3451
9.3149
3
1.97000
.77595
.127
-.5149
4.4549
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Lampiran 14. Anova kecernaan total, protein, dan energi jagung perlakuan fisik ANOVA Sum of Squares total
Between Groups
(Combined) Linear Term
.000
Contrast
14.784
1
14.784
16.797
.002
Deviation
484.177
3
161.392
183.371
.000
8.801
10
.880
507.763
14
409.903
4
102.476
80.262
.000
Contrast
130.542
1
130.542
102.244
.000
Deviation
279.361
3
93.120
72.935
.000
12.768
10
1.277
422.671
14
230.236
4
57.559
73.224
.000
(Combined)
Total
Within Groups Total
Sig.
141.728
Within Groups
Between Groups
F
124.740
Linear Term
energi
Square 4
Total Between Groups
df
498.961
Within Groups
protein
Mean
(Combined) Linear
Contrast
39.514
1
39.514
50.268
.000
Term
Deviation
190.722
3
63.574
80.875
.000
7.861
10
.786
238.097
14
Multiple Comparisons 95% Confidence Interval
Mean Difference Dependent Variable
(I) lakus (J) lakus
(I-J)
total
1
2
16.56667
3
13.87000
4
Tukey HSD
2
3
4
5
protein
Tukey
1
HSD
2
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
*
.76600
.000
14.0457
19.0876
*
.76600
.000
11.3490
16.3910
9.85333
*
.76600
.000
7.3324
12.3743
5
6.86667
*
.76600
.000
4.3457
9.3876
1
-16.56667
*
.76600
.000
-19.0876
-14.0457
3
-2.69667
*
.76600
.035
-5.2176
-.1757
4
-6.71333
*
.76600
.000
-9.2343
-4.1924
5
-9.70000
*
.76600
.000
-12.2210
-7.1790
1
-13.87000
*
.76600
.000
-16.3910
-11.3490
2
2.69667
*
.76600
.035
.1757
5.2176
4
-4.01667
*
.76600
.003
-6.5376
-1.4957
5
-7.00333
*
.76600
.000
-9.5243
-4.4824
1
-9.85333
*
.76600
.000
-12.3743
-7.3324
2
6.71333
*
.76600
.000
4.1924
9.2343
3
4.01667
*
.76600
.003
1.4957
6.5376
5
-2.98667
*
.76600
.020
-5.5076
-.4657
1
-6.86667
*
.76600
.000
-9.3876
-4.3457
2
9.70000
*
.76600
.000
7.1790
12.2210
3
7.00333
*
.76600
.000
4.4824
9.5243
4
2.98667
*
.76600
.020
.4657
5.5076
2
14.37333
*
.92259
.000
11.3370
17.4097
3
13.30000
*
.92259
.000
10.2637
16.3363
4
12.14667
*
.92259
.000
9.1103
15.1830
5
11.54333
*
.92259
.000
8.5070
14.5797
1
-14.37333
*
.92259
.000
-17.4097
-11.3370
3
-1.07333
.92259
.771
-4.1097
1.9630
4
-2.22667
.92259
.189
-5.2630
.8097
5
-2.83000
.92259
.071
-5.8663
.2063
3
4
5
energi
Tukey
1
HSD
2
3
4
5
1
-13.30000
*
.92259
.000
-16.3363
-10.2637
2
1.07333
.92259
.771
-1.9630
4.1097
4
-1.15333
.92259
.725
-4.1897
1.8830
5
-1.75667
.92259
.374
-4.7930
1.2797
1
-12.14667
*
.92259
.000
-15.1830
-9.1103
2
2.22667
.92259
.189
-.8097
5.2630
3
1.15333
.92259
.725
-1.8830
4.1897
5
-.60333
.92259
.962
-3.6397
2.4330
1
-11.54333
*
.92259
.000
-14.5797
-8.5070
2
2.83000
.92259
.071
-.2063
5.8663
3
1.75667
.92259
.374
-1.2797
4.7930
4
.60333
.92259
.962
-2.4330
3.6397
2
10.88667
*
.72391
.000
8.5042
13.2691
3
10.16000
*
.72391
.000
7.7775
12.5425
4
8.77000
*
.72391
.000
6.3875
11.1525
5
6.79667
*
.72391
.000
4.4142
9.1791
1
-10.88667
*
.72391
.000
-13.2691
-8.5042
3
-.72667
.72391
.848
-3.1091
1.6558
4
-2.11667
.72391
.088
-4.4991
.2658
5
-4.09000
*
.72391
.002
-6.4725
-1.7075
1
-10.16000
*
.72391
.000
-12.5425
-7.7775
2
.72667
.72391
.848
-1.6558
3.1091
4
-1.39000
.72391
.367
-3.7725
.9925
5
-3.36333
*
.72391
.006
-5.7458
-.9809
1
-8.77000
*
.72391
.000
-11.1525
-6.3875
2
2.11667
.72391
.088
-.2658
4.4991
3
1.39000
.72391
.367
-.9925
3.7725
5
-1.97333
.72391
.119
-4.3558
.4091
1
-6.79667
*
.72391
.000
-9.1791
-4.4142
2
4.09000
*
.72391
.002
1.7075
6.4725
3
3.36333
*
.72391
.006
.9809
5.7458
4
1.97333
.72391
.119
-.4091
4.3558
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Lampiran 15. Kandungan dan analisis statistik
asam fitat pada perlakuan
fermentasi
Ulangan
Sebelum
Setelah
1 2 3 Rerata s.d.
5.721 4.381 4.182 4.76 0.84
2.12 1.98 1.77 1.96 0.18
ANOVA Fitat Sum of Squares Between Groups
(Combined) Linear Term
Within Groups Total
Contrast
df
Mean Square
F
Sig.
11.799
1
11.799 32.254
.005
11.799
1
11.799 32.254
.005
1.463
4
13.263
5
.366
Lampiran 16. Data dan analisis statistik fraksi serat kasar sebelum dan setelah fermentasi Ulangan Sebelum 1 Sebelum 2 Sebelum 3 Rerata s.d.
NDF 37.33 35.46 35.24 36.01 1.15
ADF 5.45 3.77 5.21 4.81 0.91
Setelah 1 Setelah 2 Setelah 3 Rerata s.d.
38.33 37.16 39.72 38.40 1.28
2.23 2.44 2.16 2.28 0.15
Parameter uji Lignin Hemiselulosa 3.24 31.88 3.04 31.69 3.77 30.03 3.35 31.20 0.38 1.02 1.89 2.11 1.92 1.97 0.12
Selulosa 2.21 0.73 1.44 1.46 0.74
36.1 34.72 37.56 36.13 1.42
0.34 0.33 0.24 0.30 0.06
ANOVA Sum of
NDF
ADF
Lignin
Hemiselulosa
Selulosa
Mean
Squares
df
Square
F
Sig.
Between Groups
8.592
1
8.592
5.803
.074
Within Groups
5.923
4
1.481
Total
14.515
5
Between Groups
9.627
1
9.627
22.736
.009
Within Groups
1.694
4
.423
Total
11.320
5
Between Groups
2.843
1
2.843
36.322
.004
Within Groups
.313
4
.078
Total
3.156
5
Between Groups
36.408
1
36.408
23.854
.008
Within Groups
6.105
4
1.526
Total
42.513
5
Between Groups
2.007
1
2.007
7.285
.054
Within Groups
1.102
4
.275
Total
3.109
5
Lampiran 17. Kandungan dan analisis statistik kalsium dan fosfor sebelum dan setelah jagung di fermentasi Parameter uji
Perlakuan
kalsium
fosfor
1 2 3
0.059 0.047 0.055 0.05 0.01
0.211 0.160 0.213 0.19 0.03
1 2 3
0.064 0.071 0.071 0.07 0.00
0.351 0.326 0.315 0.33 0.02
Sebelum
Rerata s.d Setelah
Rerata s.d
ANOVA
kalsium
fosfor
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
.000
1
.000
12.578
.024
Within Groups
.000
4
.000
Total
.000
5
Between Groups
.028
1
.028
44.652
.003
Within Groups
.002
4
.001
Total
.030
5