PERBAIKAN FUNGSI PADA PENUAAN HIPOKAMPUS TIKUS YANG DIPERANTARAI GLUTATION DENGAN PEMBERIAN DIPEPTIDA ALANIL-GLUTAMINA
SUNARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 1
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perbaikan Fungsi pada Penuaan Hipokampus Tikus yang Diperantarai Glutation dengan Pemberian Dipeptida Alanil-Glutamina adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012 Sunarno NRP B161070031
ABSTRACT SUNARNO. Improvements of Aged Hippocampus Functions by Improvement of Glutathione Levels in Rats Supplemented with Alanine-Glutamine Dipeptide. Under Direction of WASMEN MANALU, NASTITI KUSUMORINI, and DEWI RATIH AGUNGPRIYONO. Increased age or oxidative stress decreases the functions of the hippocampus. One way to improve the function of the aging hippocampus is to increase the level of glutathione in the hippocampus. Alanine-glutamine dipeptide was reported to increase the levels of glutathione in the hippocampus. This experiment was designed to obtain the optimum concentrations of alanineglutamine dipeptide supplementation that can increase the levels of glutathione in the hippocampus, to obtain an improvement of histo-morphology, mitochondrial structure, learning-memory and motor activity ability, concentrations of alanineglutamine dipeptide in the plasma or the hippocampus after administration of 7% alanine-glutamine dipeptide, both in physiological aging or oxidative stress rats. This first experiment was designed to obtain the optimum concentration of alanine-glutamine dipeptide supplementation i.e., 7% that was used in the second experiment. The second experiment was conducted in a completely randomized design with 2x2x2 factorial arrangement. The first factor was the age of rats, consisted of 2 levels i.e., 12 and 24 months. The second factor was oxidative stress consisted of 2 levels, i.e., without or with oxidative stress. The third factor was alanine-glutamine dipeptide, consisted of 2 concentrations, i.e. 0% and 7%. The results showed that administration of 7% alanine-glutamine dipeptide gave the highest increase in the levels of glutathione in the hippocampus either in young (58.76%) or aged (125.81%) rats or in normal (76.47%) or oxidativestressed (97.26%) rats. Supplementation of 7% alanine-glutamine dipeptide increased concentrations of alanine-glutamine dipeptide in the plasma and in the hippocampus of young (52.66%, 39.10%) or aged (32.90%, 52.91%) rats, in normal (46.46%, 47.71%) or oxidative-stressed (39.69%, 42.31%) rats. Supplementation of 7% alanine-glutamine dipeptide improved viability, mortality, and the length of the axons in young (4.11%, 37.07%, 12.58%) or aged (6.91%, 37.85%, 32.84%) rats or in normal (3.25%, 29.21%, 21.04%) or oxidativestressed (7.80%, 43.01%, 25.56%) rats, and mediated the presence of normal mitochondrial or mitochondrial with total damage in normal aged (90%, 0%) rats or oxidative-stressed aged (46.67, 16.67%) rats. Supplementation of 7% alanineglutamine dipeptide improved response time needed to find a feed in young (42.32%) or aged (65.82%) rats, in normal (87.74%) or oxidative-stressed (33.11%) rats, improved travel distance, stereotypic time, ambulatory time, and resting time in young (93.32%, 88.56%, 87.69%, and 48.48%) or aged (92.81%, 56.83%, 71.73%, and 117.04%) rats, in normal (94.18%, 75.75%, 75%, 75.72%) or oxidative-stressed (91.82%, 73.63%, 77.2%, and 71.33%) rats. This research concluded that the administration of 7% alanine-glutamine dipeptide increased the concentration of alanine-glutamine dipeptide and glutathione levels in the hippocampus that mediated the improvements of functions of the aging hippocampus in rats. Keywords:
alanine-glutamine dipeptide, glutathione, histo-morphology, mitochondrial, aging, oxidative stress, hippocampus function
RINGKASAN SUNARNO. Perbaikan Fungsi pada Penuaan Hipokampus Tikus yang Diperantarai Glutation dengan Pemberian Dipeptida Alanil-Glutamina. Dibimbing oleh WASMEN MANALU, NASTITI KUSUMORINI, dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif merupakan dua faktor utama penyebab penurunan fungsi atau penuaan hipokampus otak. Penurunan fungsi hipokampus diperantarai oleh gangguan homeostasis glutation sebagai akibat penurunan konsentrasi glutamina atau dipeptida alanil-glutamina dalam plasma darah dan hipokampus. Penurunan level glutation berdampak pada perubahan histo-morfologi dan struktur mitokondria. Penurunan fungsi hipokampus mempunyai korelasi dengan perubahan kemampuan belajarmengingat dan aktivitas motorik. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan mengkaji penurunan fungsi hipokampus otak dari aspek fisiologi, histo-morfologi, seluler, dan tingkah laku. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki fungsi pada penuaan hipokampus dengan menggunakan asam amino penyedia prekursor glutation (dipeptida alanil-glutamina), baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Dipeptida alanil-glutamina digunakan untuk menyediakan glutamina dalam hipokampus yang dapat membantu meningkatkan sintesis glutation di hipokampus. Peningkatan laju sintesis glutation dapat menyebabkan peningkatan level glutation dan memberi dampak pada perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus. Metode untuk mendapatkan respons fisiologi, seperti penentuan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dalam plasma darah dan hipokampus dengan menggunakan metode preparasi dan pengukuran absorbansi maksimum pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 630 nm, sedangkan level glutation hipokampus diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Untuk penentuan respons histo-morfologi hipokampus, yang meliputi viabilitas dan mortalitas neuron dilakukan dengan prosedur pemrosesan sediaan histologi dengan pewarnaan umum hematoksilin-eosin, sedangkan untuk pengukuran panjang akson digunakan prosedur pemrosesan histologi dengan pewarnaan khusus perak nitrat Bielschowsky. Untuk melengkapi data-data histomorfologi dilakukan penentuan respons seluler pada hipokampus dengan metode preparasi sampel blok TEM (transmission electron microscope) dilanjutkan dengan pengamatan terhadap profil struktur mitokondria. Berdasarkan ciri-ciri morfologi, ukuran (diameter mitokondria), struktur membran luar, membran dalam, dan krista mitokondria, dibuat pengelompokan profil mitokondria neuron menjadi 3 macam, yang meliputi mitokondria normal, mitokondria dengan kerusakan sebagian, dan mitokondria dengan kerusakan total. Data-data yang berkaitan dengan perilaku diukur dengan menggunakan alat uji fourth arm maze dan optovarimex. Alat uji fourth arm maze digunakan untuk penentuan respons waktu yang diperlukan oleh tikus percobaan dalam menemukan pakan dalam ruang uji yang menggambarkan kemampuan navigasi dan pengenalan pada suatu objek. Kedua kemampuan ini mempunyai keterkaitan dengan kemampuan belajar dan mengingat. Alat uji optovarimex yang dikoneksikan dengan software autotract pada komputer digunakan untuk penentuan aktivitas motorik, yang
meliputi jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat. Data-data fisiologi, histo-morfologi, dan perilaku dianalisis dengan analisis ragam pada taraf 5% dengan menggunakan software The SAS System versi 9. Profil mitokondria neuron dianalisis dengan menggunakan analisis pemeringkatan (scoring) deskriptif kualitatif. Perbaikan respons fisiologi, histo-morfologi, seluler, dan perilaku mempunyai keterkaitan dengan peningkatan level glutation dan dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui perbaikan fungsi hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Pemberian dipeptida alanil-glutamina secara intravena dapat memberi peningkatan ketersediaan glutamina di hipokampus. Glutamina akan dikonversi menjadi asam glutamat dan asam amino ini bersama-sama dengan sisteina dan glisina secara bertahap digunakan untuk mendukung sintesis glutation di hipokampus. Hasil pemberian berbagai konsentrasi dipeptida alanil-glutamina menunjukkan bahwa konsentrasi dipeptida alanil-glutamina 7% memberi pengaruh paling optimal pada perbaikan fungsi hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Konsentrasi paling optimal dipeptida alanil-glutamina ditentukan berdasarkan status fungsi hipokampus terbaik mengacu pada level glutation tertinggi pada kedua kondisi penuaan. Hasil penelitian memberi bukti bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi peningkatan tertinggi level glutation hipokampus, baik pada tikus dengan umur lebih muda (58.76%) atau tua (125.81%), tikus normal (76.47%) atau stres oksidatif (97.26%), lebih tinggi dibanding kontrol dan konsentrasi 3% atau 5%. Glutation hipokampus dengan level optimal mempunyai korelasi dengan peningkatan pertahanan seluler pada radikal bebas, pemeliharaan integritas seluler, peningkatan efisiensi mitokondria, dan merupakan indikator penting peningkatan harapan masa hidup. Dengan demikian glutation dapat memperantarai perlambatan penuaan, baik penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Sebagai antioksidan endogen, efektivitas glutation sangat dipengaruhi oleh ketersedian prekursor glutation di hipokampus. Selain sisteina dan glisina, asam glutamat diketahui sebagai prekursor glutation hasil konversi dari glutamina. Keberadaan glutamina dalam hipokampus mempunyai korelasi dengan konsentrasi glutamina atau dipeptida alanil-glutamina, baik dalam plasma darah atau hipokampus. Peningkatan level glutation di hipokampus memberi gambaran peningkatan glutamina di hipokampus yang mempunyai korelasi dengan tingginya konsentrasi dipeptida alanil-glutamina, baik dalam plasma darah atau di hipokampus. Hasil penelitian memberi bukti bahwa pemberian dipeptida alanilglutamina 7% secara efektif memberi peningkatan konsentrasi dipeptida alanilglutamina plasma dan hipokampus, baik pada tikus muda (52.66% dan 39.10%) atau tua (32.90% dan 52.91%), tikus normal (46.46% dan 47.71%) atau stres oksidatif (39.69% dan 42.31%). Ketersediaan dipeptida alanil-glutamina dalam plasma darah dan hipokampus dapat memperbaiki keseimbangan nitrogen, sintesis protein, morfologi jaringan, dan menyediakan kebutuhan asam glutamat yang digunakan untuk peningkatan level glutation yang penting dalam proses perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Sebagai faktor kunci dalam pemeliharaan integritas seluler dan pemeliharaan efisiensi mitokondria, glutation dapat memperantarai terjadinya
perbaikan pada indikator-indikator penuaan lainnya. Efektivitas antioksidan ini sangat dipengaruhi oleh keseimbangan kapasitas antara antioksidan dan oksidan di dalam tubuh dan ketersediaan glutamina atau dipeptida alanil-glutamina. Hasil penelitian memberi bukti bahwa level glutation hipokampus yang tinggi hasil pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% mampu memperantarai peningkatan viabilitas, penurunan mortalitas, dan peningkatan panjang akson, baik pada tikus muda (4.11%, 37.07%, 12.58%) atau tua (6.91%, 37.85%, dan 32.84%), tikus normal (3.25%, 29.21%, dan 21.04%) atau stres oksidatif (7.80%, 43.01%, dan 25.56%). Antioksidan ini juga memperantarai kehadiran profil mitokondria normal dan mitokondria dengan kerusakan total menjadi 90% dan 0% pada tikus umur tua normal atau 41.67% dan 16.67% pada tikus umur tua stres oksidatif. Peningkatan mitokondria normal dan penurunan mitokondria dengan kerusakan total merupakan bukti bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% berpengaruh efektif dalam mencegah dan memperbaiki perubahan struktur mitokondria yang dipicu oleh peningkatan umur atau stres oksidatif. Perbaikan mitokondria dapat terjadi melalui mekanisme penurunan produksi radikal bebas yang diperantarai oleh glutation, pemeliharaan dan peningkatan integritas atau sintesis membran fosfolipid mitokondria yang dikatalisis oleh fosfolipase. Perbaikan respons histo-morfologi dan profil mitokondria memberi peran penting pada peningkatan fungsi kognitif hipokampus. Peningkatan fungsi kognitif hipokampus ditandai dengan peningkatan proses mengingat, kemampuan navigasi, dan penyelesaian pada tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi kognitif. Kondisi ini memberi perubahan perilaku pada tikus-tikus percobaan yang dicirikan dengan perilaku menjadi lebih adaptif, tenang, dan lebih menghemat energi. Perbaikan perilaku ini mencerminkan perbaikan kemampuan belajarmengingat dan aktivitas motorik yang diketahui dari perbaikan respons waktu yang diperlukan untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze, penurunan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan peningkatan waktu istirahat. Hasil penelitian memberi bukti bahwa pemberian dipeptida alanilglutamina 7% berpengaruh pada peningkatan level glutation yang memperantarai perbaikan respons waktu dalam menemukan pakan, baik pada tikus muda (42.32%) atau tua (65.82%), tikus normal (87.74%) atau stres oksidatif (33.11%), demikian pula memberi perbaikan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat, baik pada tikus muda (93.32%, 88.56%, 87.69%, dan 48.48%) atau tua (92.81%, 56.83%, 71.73%, dan 117.04%), tikus normal (94.18%, 75.75%, 75%, dan 75.72%) atau stres oksidatif (91.82%, 73.63%, 77.2%, dan 71.33%). Perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik mempunyai keterkaitan dengan perbaikan kondisi neurofisiologi dan neuroanatomi yang diperantarai oleh peningkatan level glutation di hipokampus. Perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik ditandai perbaikan fungsi sel-sel neuron di bagian cornu ammonis hipokampus hasil dari pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina. Kata kunci: dipeptida alanil-glutamina, glutation, histo-morfologi, mitokondria, penuaan, stres oksidatif, fungsi hipokampus
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya 2. tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
PERBAIKAN FUNGSI PADA PENUAAN HIPOKAMPUS TIKUS YANG DIPERANTARAI GLUTATION DENGAN PEMBERIAN DIPEPTIDA ALANIL-GLUTAMINA
SUNARNO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Drh. Hera Maheswari, MSc Drh. Ekowati Handharyani, MS, PhD, APVet Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS Dr. Simson Tarigan, MSc
HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi
Nama NRP
: Perbaikan Fungsi pada Penuaan Hipokampus Tikus yang Diperantarai Glutation dengan Pemberian Dipeptida Alanil-Glutamina : Sunarno : B161070031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Wasmen Manalu, PhD Ketua
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Anggota
drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD, APVet Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr.
Tanggal Ujian: 26 Juni 2012
Tanggal Lulus: 19 Juli 2012
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 ini ialah antipenuaan, dengan judul Perbaikan Fungsi pada Penuaan Hipokampus Tikus yang Diperantarai Glutation dengan Pemberian Dipeptida Alanil-Glutamina. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD, Ibu Dr. Dra. Nastiti Kusumorini, dan Ibu drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD, APVet selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap Pimpinan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Ketua Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Ketua Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, serta Ibu Dr. Dra. Nastiti Kusumorini selaku Ketua Program Studi/Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO). Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Diponegoro, Dekan beserta segenap Pembantu Dekan Fakultas Sains dan Matematika, dan Ketua Jurusan Biologi atas dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan pendidikan di Program Doktor, Sekolah Pascasarjana IPB. Demikian pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa S-3 Program Studi/Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO) dan teknisi, baik di Laboratorium Fisiologi maupun Laboratorium Patologi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Eddy yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian di Kandang Hewan Percobaan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak atas dukungannya, kepada ibu, istri, dan anak-anak penulis Anisah Izdihar Nukma, Devi Fitria Nurhaliza, Ayda Fauziyah Salsabila, dan Meutia Letvina Zen serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Semoga Allah SWT memberkahi. Amin.
Bogor, Agustus 2012 Sunarno
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 22 September 1973 sebagai anak bungsu dari pasangan Suyono dan Lugiyem. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Diponegoro, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2000, penulis diterima di Departemen Biologi pada Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik indonesia. Penulis bekerja sebagai dosen di Universitas Diponegoro Semarang sejak tahun 1998. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis ialah Fisiologi Hewan. Selama mengikuti program S-3, penulis telah menulis beberapa karya ilmiah. Dua artikel telah diterbitkan dengan judul Peran Alanin-Glutamin Dipeptida dalam Mengoptimalkan Level Glutation di Hipokampus dan Hubungannya dengan Status Fungsi Hipokampus pada Penuaan Fisiologis dan Penuaan Akibat Stres Oksidatif pada Jurnal Sains Medika, Vol. 3. No. 2 tahun 2012 (ISSN: 2085-1545) dan judul artikel berikutnya adalah Pengoptimalan Kinerja Motorik pada Penuaan Fisiologis dan Penuaan Akibat Stres Oksidatif dengan Alanin-Glutamin Dipeptida dan Hubungannya dengan Perbaikan Fungsi Hipokampus pada Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 6. No. 1. tahun 2012 (Terakreditasi Dirjen Dikti S.K. No. 81/Dikti/Kep/2011. Artikel lain berjudul Perbaikan Respons Seluler pada Penuaan Hipokampus yang Diperantarai Glutation Hasil Pemberian Alanin-Glutamin Dipeptida akan diterbitkan pada Jurnal Veteriner Vol. 14. No. 1 tahun 2013 (Terakreditasi Dirjen Dikti S.K. No. 81/Dikti/Kep/2011). Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3 penulis.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................ i DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii PENDAHULUAN ...................................................................................................1 Latar Belakang ...............................................................................................1 Perumusan Masalah .......................................................................................2 Tujuan Penelitian ...........................................................................................3 Hipotesis Penelitian........................................................................................4 Kebaruan (Novelty) ........................................................................................4 Manfaat Penelitian .........................................................................................4 Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................................5 TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................7 Penuaan .........................................................................................................7 Tanda-Tanda Penuaan Hipokampus ..............................................................7 Struktur Hipokampus .....................................................................................9 Sumber Spesies Oksigen Reaktif dan Radikal Bebas di Hipokampus .........10 Potensi Glutation sebagai Antioksidan di Hipokampus ...............................11 Metabolisme Glutation .................................................................................13 Mekanisme Pertahanan Antioksidan Glutation di Hipokampus ..................15 Hubungan Level Glutation dengan Penuaan Hipokampus ..........................16 Perubahan Neuroanatomi dan Neurofisiologi pada Penuaan Hipokampus .17 Bioenergetik dan Dinamika Mitokondria dalam Sel-Sel Neuron ................19 Perubahan Struktur Mitokondria Neuron pada Penuaan Hipokampus ........20 Kebutuhan Mitokondria pada ATP dalam Mekanisme Patologi Seluler .....21 Potensi Glutamina atau Dipeptida Alanil-Glutamina ..................................23 Metabolisme Glutamina ...............................................................................26 Alur Aktivitas Penelitian ..............................................................................27 Perbaikan Level Glutation Hipokampus Tikus pada Penuaan Fisiologis dan Penuaan Akibat Stres Oksidatif dengan Pemberian Dipeptida Alanil-Glutamina .29 Abstrak ..........................................................................................................29 Abstract .........................................................................................................30 Pendahuluan ..................................................................................................30 Bahan dan Metode.........................................................................................32 Hasil dan Pembahasan...................................................................................33 Simpulan .......................................................................................................41 Daftar Pustaka ...............................................................................................41 Profil Dipeptida Alanil-Glutamina Plasma dan Hipokampus Tikus pada Penuaan Fisiologis dan Penuaan Akibat Stres Oksidatif dengan Pemberian Dipeptida Alanil-Glutamina Eksogen ....................................................................45
i
Abstrak ..........................................................................................................45 Abstract .........................................................................................................45 Pendahuluan ..................................................................................................46 Bahan dan Metode.........................................................................................48 Hasil dan Pembahasan...................................................................................49 Simpulan .......................................................................................................54 Daftar Pustaka ...............................................................................................55 Perbaikan Histo-Morfologi dan Mitokondria Neuron Hipokampus Tikus pada Penuaan Fisiologis dan Penuaan Akibat Stres Oksidatif dengan Pemberian Dipeptida Alanil-Glutamina.................................................................57 Abstrak ..........................................................................................................57 Abstract .........................................................................................................58 Pendahuluan ..................................................................................................58 Bahan dan Metode.........................................................................................61 Hasil dan Pembahasan...................................................................................63 Simpulan .......................................................................................................75 Daftar Pustaka ...............................................................................................75 Perbaikan Kemampuan Belajar-Mengingat dan Aktivitas Motorik Tikus pada Penuaan Fisiologis dan Penuaan Akibat Stres Oksidatif dengan Pemberian Dipeptida Alanil-Glutamina ...................................................................................79 Abstrak ..........................................................................................................79 Abstract .........................................................................................................80 Pendahuluan ..................................................................................................80 Bahan dan Metode.........................................................................................83 Hasil dan Pembahasan...................................................................................84 Simpulan .......................................................................................................95 Daftar Pustaka ...............................................................................................96
PEMBAHASAN UMUM ......................................................................................99 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................114 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................117 LAMPIRAN .........................................................................................................125
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Rataan level glutation hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif ......................................................34 2 Rataan level glutation hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian dipeptida alanil-glutamina..................................................................................................36 3 Rataan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina eksogen ...............................................................................................................50 4 Respons histo-morfologi hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina ..................................................................63 5 Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan umur tikus 24 bulan normal (tanpa stres oksidatif) atau stres oksidatif ..........................................................71 6 Respons waktu untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina.....................85 7 Respons aktivitas motorik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina ..................................................................86
iii
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagian-bagian hipokampus tikus .....................................................................10
2 Fungsi glutation sebagai antioksidan ...............................................................12 3 Metabolisme glutation......................................................................................13 4 Skema interaksi antara sel astrosit dengan neuron dalam metabolisme glutation ...........................................................................................................14 5 Keseimbangan pembentukan spesies oksigen reaktif dan sistem antioksidatif .....................................................................................................15 6 Alur aktivitas penelitian ...................................................................................27 7
Level glutation hipokampus hasil interaksi antara level umur tikus dan level stres oksidatif ....................................................................................34
8
Level glutation hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0%, 3%, 5%, dan 7% dengan level umur tikus ................................................37
9
Level glutation hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0%, 3%, 5%, dan 7% dengan level stres oksidatif ...........................................39
10 Konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ...........................................................................................52 11 Konsentrasi dipeptida alanil-glutamina hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ...........................................................................................53 12 Metode penentuan viabilitas, mortalitas neuron pada pewarnaan hematoksilin-eosin dan pengukuran panjang akson neuron pada pewarnaan perak nitrat Bielschowsky ................................................................................62 13 Respons viabilitas neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ...........................................................................................................67 14 Respons mortalitas neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ............................................................................................................68
v
15 Respons panjang akson neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ............................................................................................................70 16 Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% atau 7% dengan umur tikus 24 bulan normal atau stres oksidatif. ..................................................................................................72 17 Respons waktu yang diperlukan tikus untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ........................89 18 Respons jarak tempuh tikus dalam ruang optovarimex hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ...................................................................................90 19 Respons waktu stereotif tikus dalam ruang optovarimex hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% atau 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ...................................................................................90 20 Respons waktu ambulatori tikus dalam ruang optovarimex hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ...................................................................................90 21 Respons waktu istirahat tikus dalam ruang optovarimex hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan level umur tikus atau level stres oksidatif ...................................................................................91
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Prosedur penentuan level glutation hipokampus ...........................................125
2 Prosedur penentuan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus ....................................................................................................126 3 Prosedur pemrosesan sediaan histologi hipokampus dengan pewarnaan hematoksilin-eosin .........................................................................................127 4 Prosedur pemrosesan sediaan histologi hipokampus dengan pewarnaan perak nitrat Bielschowsky .............................................................................128 5 Prosedur preparasi blok sampel hipokampus transmission electron microscope (TEM) untuk melihat struktur mitokondria neuron ....................130 6 Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan umur tikus 24 bulan dalam kondisi normal (tanpa stres oksidatif) .........................................................................132 7
Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan umur tikus 24 bulan yang mendapat perlakuan stres oksidatif.................................................................................133
8
Profil mitokondria neuron hipokampus pada tikus umur 12 bulan tanpa stres oksidatif (normal) ..................................................................................134
vii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Penuaan akibat peningkatan umur dan stres oksidatif menjadi masalah kesehatan bagi manusia. Penuaan telah diketahui dapat menurunkan fungsi sel, jaringan, dan kemampuan fisiologis tubuh. Penuaan diawali dengan kerusakan pada tingkat molekul, seperti DNA, protein, dan lipid sampai dengan kerusakan tingkat seluler dan organ yang disebabkan oleh oksidasi yang terjadi secara berkelanjutan. Kerusakan ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan kematian sel dan memperpendek umur biologis (Petit dan Hampe 2006). Penuaan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif. Dalam kehidupan normal, kedua jenis penuaan ini dapat berdiri sendiri atau saling berinteraksi. Penuaan fisiologis ialah penuaan yang disebabkan oleh faktor peningkatan umur. Peningkatan umur mempunyai korelasi dengan peningkatan gangguan sinyal ekstraseluler atau intraseluler, perubahan kerangka sel, penurunan aktivitas enzim, dan gangguan regulasi ekspresi gen. Berbagai macam gangguan ini secara bertahap berakibat pada penurunan level antioksidan glutation, disfungsi sel, degenerasi, penurunan kemampuan fisiologis, dan kematian sel (Dringen et al. 2000; Schulz et al. 2000). Penuaan akibat stres oksidatif melibatkan produksi radikal bebas secara berlebihan di dalam tubuh yang dipicu oleh stres fisik, psikis, maupun bentuk stres lainnya. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan komponen organik sel, penurunan aktivitas enzim-enzim intraseluler, dan memperantarai penurunan level glutation. Penurunan level glutation dapat mengganggu fungsi sel, terutama sel yang rentan pada stres oksidatif, seperti sel-sel neuron di hipokampus (Barja 2004; Jiang et al. 2004). Hipokampus merupakan bagian otak yang paling cepat mengalami penurunan fungsi akibat penuaan (Liu et al. 2010). Penurunan fungsi hipokampus ditandai dengan penurunan level glutation (Dringen et al. 2000). Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif menjadi fenomena menarik untuk diteliti terkait dengan gangguan homeostasis glutation dan penurunan status fungsi hipokampus. Berdasarkan hal tersebut penggunaan suatu bahan yang bersifat stabil selama di dalam tubuh, mampu melintasi sawar darah otak, dapat
2
dimanfaatkan oleh neuron, dan berpotensi meningkatkan level glutation merupakan sebuah alternatif untuk memperbaiki penurunan fungsi pada penuaan hipokampus. Bahan yang memenuhi kriteria tersebut ialah dipeptida alanilglutamina. Dipeptida alanil-glutamina perlu dicoba untuk memperbaiki fungsi pada penuaan hipokampus, karena bahan ini berfungsi sebagai penyedia prekursor glutation (Daren et al. 2007). Glutamina merupakan asam amino non-esensial yang dibutuhkan pada setiap proses di dalam tubuh. Glutamina merupakan penyedia neurotransmiter asam glutamat atau prekursor untuk sintesis asam nukleat dan glutation (Mates et al. 2002). Perlakuan glutamina atau dipeptida alanil-glutamina secara tidak langsung dapat memperantarai peningkatan energi seluler, melindungi struktur dan fungsi mitokondria, granula-granula sitoplasma, retikulum endoplasma kasar, dan menurunkan produksi radikal bebas. Dipeptida alanil-glutamina diketahui dapat meningkatkan level glutation dalam sel-sel hati dan mempercepat proses penyembuhan pada hewan yang luka (Roth et al. 2002; Jun et al. 2006). Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa dipeptida alanil-glutamina dapat memperantarai perbaikan fungsi pada jaringan atau organ tubuh yang mengalami penurunan fungsi, baik yang disebabkan oleh peningkatan umur atau stres oksidatif. Dipeptida alanil-glutamina menarik untuk diteliti sebagai upaya untuk mendapatkan informasi tentang hubungan antara asam amino ini dengan level glutation dan status fungsi hipokampus. Status fungsi hipokampus dapat diketahui dari beberapa indikator, yang meliputi konsentrasi glutamina atau dipeptida alanilglutamina plasma darah atau hipokampus, level glutation hipokampus, profil histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus, kemampuan belajar atau mengingat, dan aktivitas motorik. Perumusan Masalah Penuaan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif. Penuaan fisiologis ditandai dengan penurunan kondisi fisiologis tubuh dan penurunan fungsi sel atau jaringan karena faktor peningkatan umur, sedangkan penuaan akibat stres oksidatif berkaitan dengan pembentukan radikal bebas secara berlebihan yang berdampak secara cepat pada penurunan fungsi sel atau jaringan di dalam tubuh. Kedua macam
3
penuaan ini dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi hipokampus sehingga neuron hipokampus mengalami degenerasi atau mengalami penurunan kemampuan fisiologis, bahkan dapat berakibat pada kematian. Perubahan struktur dan fungsi hipokampus akibat penuaan diawali dari perubahan konsentrasi glutamina atau dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus, penurunan level glutation, perubahan histo-morfologi, dan struktur mitokondria. Perubahan struktur dan fungsi hipokampus mempunyai korelasi dengan perubahan tingkah laku, yang meliputi kemampuan belajar atau mengingat dan aktivitas motorik. Berdasarkan hal tersebut, pemberian perlakuan untuk meningkatkan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dan sintesis glutation di hipokampus merupakan sebuah alternatif untuk
memperbaiki
fungsi
pada penuaan
hipokampus. Salah satu bahan yang mempunyai potensi tersebut ialah dipeptida alanil-glutamina. Bahan ini bersifat stabil selama berada di dalam tubuh, dapat melintasi sawar darah otak, dan diduga secara efektif dapat meningkatkan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dan glutation di hipokampus. Selanjutnya, meningkatnya konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dan glutation di hipokampus dapat memperantarai perbaikan profil histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus, kemampuan belajar atau mengingat, dan aktivitas motorik. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan profil glutation hipokampus untuk penentuan status fungsi hipokampus dan mendapatkan konsentrasi paling optimum dipeptida alanilglutamina yang dapat meningkatkan level glutation hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. 2. Mendapatkan gambaran konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma darah dan hipokampus hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina eksogen, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. 3. Mendapatkan gambaran perbaikan histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif.
4
4. Mendapatkan gambaran perbaikan kemampuan belajar atau mengingat, dan aktivitas motorik hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Hipotesis Penelitian 1. Terdapat perbedaan level glutation dan status fungsi hipokampus antara penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif. Pemberian konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dapat meningkatkan level glutation hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif 2. Pemberian
konsentrasi
dipeptida
alanil-glutamina
eksogen
dapat
meningkatkan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma darah dan hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. 3. Pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dapat memberi perbaikan
respons
histo-morfologi
dan
struktur
mitokondria
neuron
hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. 4. Pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dapat memberi perbaikan respons kemampuan belajar atau mengingat, dan aktivitas motorik, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Kebaruan (Novelty) Penelitian tentang penuaan hipokampus yang terkait glutation pada penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif merupakan hal baru dan belum dilakukan oleh peneliti lain. Kebaruan dari penelitian ini adalah bahwa konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dan level glutation optimum di hipokampus dapat memperantarai perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus yang tercermin dari perbaikan respons histo-morfologi, struktur mitokondria neuron hipokampus, kemampuan belajar-mengingat, dan aktivitas motorik. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah tentang potensi dipeptida alanil-glutamina pada perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Perbaikan fungsi hipokampus ditandai dengan peningkatan konsentrasi glutamina
5
atau dipeptida alanil-glutamina dan level glutation di hipokampus. Beberapa indikator lainnya juga mengalami peningkatan, yang meliputi perbaikan respons histo-morfologi, struktur mitokondria, kemampuan belajar atau mengingat, dan aktivitas motorik. Dengan demikian, dipeptida alanil-glutamina dapat dijadikan sebagai solusi alternatif untuk meningkatkan level glutation hipokampus atau pada jaringan lain sebagai upaya memberi penanganan permasalahan penuaan, baik penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif yang banyak terjadi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi informasi tentang hewan model penuaan dengan melakukan modifikasi perlakuan pada hewan muda dengan menggunakan indikator-indikator yang merupakan penanda penuaan sehingga penelitian tentang penuaan dapat dilakukan dalam skala yang lebih luas, mudah, dan cepat. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penentuan level glutation hipokampus pada tikus umur 6, 12, 18, dan 24 bulan, baik normal atau yang diberi perlakuan stres oksidatif digunakan sebagai indikator pada penentuan status fungsi hipokampus. Penentuan konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina berdasarkan peningkatan level glutation terbaik di hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Penentuan level glutation dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. 2. Penentuan
konsentrasi
dipeptida
alanil-glutamina
plasma
darah
dan
hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina eksogen dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. 3. Pengamatan respons histo-morfologi hipokampus (viabilitas dan mortalitas neuron) dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin, sedangkan perubahan panjang akson neuron dengan menggunakan pewarnaan perak nitrat Bielschowsky. Pengamatan respons struktur mitokondria dengan menggunakan transmission electron microscope (TEM). Pengamatan respons histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus dilakukan pada tikus yang
6
mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina 4. Penentuan kemampuan belajar dan mengingat pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina berdasarkan pengamatan pada respons waktu yang diperlukan tikus untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze. Pengamatan aktivitas motorik dengan melakukan pengamatan pada parameter jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat dalam alat uji optovarimex yang dikoneksikan pada komputer dengan menggunakan software AUTOTRACT
7
TINJAUAN PUSTAKA Penuaan Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif merupakan dua faktor utama penyebab penurunan fungsi berbagai sistem tubuh. Penuaan sistem tubuh ditandai dengan penurunan konsentrasi makromolekul dalam sel tubuh, seperti DNA, lipid, protein, antioksidan, dan lain-lain. Dalam jangka panjang penuaan dapat menyebabkan kematian sel. Selain itu, penuaan juga dapat menginduksi akumulasi deposit-deposit metabolit pada jaringan sehingga mengganggu fungsi jaringan. Perubahan-perubahan tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada sistem tubuh yang berakibat pada kematian sel (Ricklefs 2008). Miller dan O'Callaghan (2005) melaporkan, penuaan dapat menyebabkan penurunan fungsi berbagai sistem tubuh, yang meliputi endokrin, kognitif, motorik, sistem saraf pusat, dan lain-lain. Hipokampus merupakan bagian otak yang mempunyai peran penting dalam fungsi kognitif dan berperan dalam mengontrol umpan balik pada respons stres. Kujoth et al. (2007) melaporkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada jaringan dan memicu perubahan perilaku pada individu. Kerusakan oksidatif pada jaringan dapat mengganggu proses oksidasi-fosforilasi di mitokondria, penurunan produksi ATP, dan peningkatan kebutuhan energi metabolisme secara keseluruhan (Serra et al. 2003; Speakman et al. 2004; Balaban et al. 2005). Hasil penelitian Sohal dan Weindruch (1996) menunjukkan bahwa kerusakan oksidatif pada jaringan dapat menurunkan kandungan berbagai macam enzim dan antioksidan. Tanda-Tanda Penuaan Hipokampus Hipokampus merupakan bagian otak yang mempunyai fungsi penting dalam mendukung fungsi otak. Untuk dapat berfungsi secara optimal, hipokampus memerlukan
berbagai
bahan
organik
sebagai
sumber
energi
untuk
mempertahankan integritas neuron. Berkaitan dengan hal tersebut, hipokampus memerlukan oksigen dalam jumlah yang besar (Djavadian 2004; Ahmed dan Mehta 2009). Kondisi ini menjadi penyebab hipokampus bersifat rentan pada efek samping yang ditimbulkan oleh proses oksidasi bahan organik atau oksidasi
8
parsial dalam proses metabolisme. Dringen et al. (2000) melaporkan neuronneuron otak mampu mengonsumsi oksigen 20% dari kebutuhan oksigen seluruh tubuh meskipun organ ini hanya menempati 2% dari total volume tubuh. Hipokampus sebagai bagian otak membutuhkan banyak oksigen untuk menopang keberadaan neuron-neuron penyusunnya. Radikal-radikal bebas yang terbentuk selama proses oksidasi dan oksidasi parsial dalam proses metabolisme dapat menyerang neuron-neuron hipokampus yang mengandung banyak lipid dengan asam-asam lemak rantai panjang tidak jenuh. Radikal-radikal bebas yang terbentuk selama proses oksidasi dapat menyebabkan peroksidasi lipid, menimbulkan kerusakan protein, maupun asam amino intraseluler yang diikuti dengan terjadinya deaktivasi, modifikasi, dan terganggunya proses metabolisme (Pamplona et al. 2004). Hasil penelitian Liu et al. (2010) menunjukkan bahwa stres oksidatif dapat menyebabkan peningkatan peroksidasi lipid dan akumulasi deposit-deposit metabolit yang bersifat neurotoksik. Stres oksidatif dapat mengganggu aktivitas enzim Ca2+ATPase yang berperan dalam proses regulasi konsentrasi Ca2+ intraseluler dan gangguan ini
dapat menginduksi terjadinya
degenerasi neuron di hipokampus. Protein dan asam amino di hipokampus otak, seperti glutation, asam glutamat, sisteina, dan glisina sangat peka pada serangan oksidan dan radikal bebas. Radikal-radikal bebas dapat menyerang asam-asam amino pada protein, sehingga protein mengalami modifikasi secara struktural. Secara berurutan perubahan protein dapat menyebabkan terjadinya agregasi, degradasi, dan fragmentasi yang menjadi penyebab gangguan pada aktivitas enzim (Jiang et al. 2004). Bukti penelitian menunjukkan bahwa pengaruh radikal bebas pada protein dapat menyebabkan rantai reaksi radikal bebas yang mengganggu homeostasis kalsium, kalium, natrium, dan pengambilan glukosa. Munculnya berbagai macam gangguan ini dapat menimbulkan pengaruh merusak pada protein dan lipid membran sel, modifikasi membran dan fungsi seluler, dan akhirnya menyebabkan kematian neuron hipokampus (Pamplona et al. 2004; Liu et al. 2010). Hipokampus mampu berfungsi sepanjang umur hidup suatu hewan. Bukti ini merupakan indikasi bahwa hipokampus memiliki sistem antioksidan yang selalu bekerja secara aktif. Namun, fungsi sistem antioksidan dapat menurun
9
ketika terjadi gangguan keseimbangan antara pembentukan spesies oksigen reaktif dengan proses-proses antioksidatif. Gangguan ini dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kekacauan neurologis dan memicu terjadinya penuaan. Perubahan orientasi metabolisme glutation merupakan bukti paling nyata terjadinya kekacauan
neurologis,
penurunan
fungsi
mitokondria,
patogenesis,
dan
munculnya tanda-tanda penuaan (Schulz et al. 2000). Struktur Hipokampus Secara sitoarsitektur, hipokampus tersusun atas empat bagian utama, yaitu girus dentat (the dentate gyrus/DG), bagian hipokampus sesungguhnya (the hipocampus proper) atau cornu ammonis (CA), kompleks subikulum, dan korteks entortinal (the entorthinal cortex). Girus dentat terdiri atas 3 lapisan: (1) lapisan molekuler, terdiri atas bagian paling luar, tengah, dan lapisan submolekuler paling dalam (outer moleculer layer/OML, middle moleculer layer/MML dan inner moleculer sub-layer/IML); (2) lapisan sel-sel granula, dan (3) hilus atau lapisan polimorfik. Neuron-neuron utama pada DG adalah bergranula dengan ukuran kecil berbentuk elips. Bagian cornu ammonis dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu CA1, CA2, dan CA3. Kompleks subikulum dibagi menjadi 3 bagian, antara lain subikulum, presubikulum, dan parasubikulum (Xavier dan Costa 2009). Sel-sel neuron hipokampus tersusun menjadi dua bagian utama, yaitu bagian inferior dan superior. Dendrit apikal pada sel-sel granula berbentuk kerucut. Spina dendrit memiliki cabang yang terarah menuju ke bagian superfisial pada lapisan molekuler. Bagian paling ujung distal dari bagian apikal dendrit adalah bagian fisura hipokampus. Lapisan CA1, CA2, dan CA3 atau lapisan piramid sel memiliki sejumlah besar neuron. Lapisan CA3 terdiri atas dua bagian, yaitu stratum radiatum dan sub-lapisan yang paling distal adalah stratum lakunosum-molekuler. Lapisan ventrolateral yang menuju ke lapisan sel-sel piramid adalah stratum orien. Stratum orien dalam lapisan CA1 terletak di bagian dorsal menuju ke lapisan sel-sel piramid dan bagian ventral yang menuju ke lapisan sel-sel piramid ada 2 sub-lapisan, yaitu stratum radiatum proksimal dan stratum lakunosum molekuler distal. Sub-bagian pada hipokampus dihubungkan oleh sejumlah besar input dengan arah disatukan dalam satu jalur yang disebut dengan jalur trisinaptik. Aliran informasi ke dalam hipokampus dimulai dari
10
lapisan II dan III pada korteks entortinal menuju ke lapisan molekuler paling luar dan tengah pada DG, sel-sel granula pada DG terarah menuju stratum lusidummolekuler pada CA3 melalui serabut-serabut saraf, sel-sel piramid CA3 terarah menuju stratum radiatum pada CA2 dan CA1 melalui input kolateral Schaffer, dan akhirnya sel-sel piramid CA1 terarah menuju korteks entortinal (Knierim et al. 2006, Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011).
Gambar 1 Bagian-bagian hipokampus tikus. Daerah C pada hipokampus merupakan girus dentat, sedangkan D dan E ialah CA3 dan CA1. Girus dentat terdiri atas 3 lapisan, yaitu outer moleculer layer (OML), middle moleculer layer (MML), dan inner moleculer sublayer (IML). Bagian CA3 dan CA1 terdiri atas stratum lusidum lankunosum molekuler (SL-M), stratum radiatum (SR), stratum lusidum (SL), dan stratum orien (SO) (Xavier dan Costa 2009).
Sumber Spesies Oksigen Reaktif dan Radikal Bebas di Hipokampus Secara umum, spesies oksigen reaktif dapat ditemukan pada semua sistem biologis. Spesies oksigen reaktif mempunyai ciri-ciri fisiologis, reaktivitas, atau waktu paruh biologis yang berbeda sesuai tempat pembentukannya. Mitokondria, nitrit oksida sintetase, metabolisme asam arakidonat, xantin oksidase, monoamina oksidase, dan enzim-enzim P450 adalah sumber spesies oksigen reaktif di hipokampus. Spesies oksigen reaktif meliputi molekul-molekul anorganik, seperti radikal anion superoksida, hidrogen peroksida (H2O2), radikal-radikal hidroksil,
11
alkoksil, radikal peroksil, dan lain-lain. Produksi spesies oksigen reaktif yang berlebihan dapat menyebabkan stres oksidatif dan berdampak pada kerusakan makromolekul, peroksidasi lipid, modifikasi protein, penurunan antioksidan intraseluler, seperti glutation, dan memicu kematian sel (Pamplona et al. 2004). Neuron-neuron di hipokampus memiliki berbagai macam antioksidan yang mempunyai kemampuan mempertahankan dan memelihara keseimbangan spesies oksigen reaktif dan mencegah kerusakan oksidatif akibat radikal-radikal bebas, baik dalam kondisi fisiologis normal atau stres oksidatif. Pemeliharaan keseimbangan spesies oksigen reaktif dapat terjadi melalui mekanisme pemindahan H2O2, superoksida, dan pencegahan pembentukan radikal hidroksil yang mempunyai reaktivitas tinggi (Zhu et al. 2006; Liu et al. 2010). Potensi Glutation sebagai Antioksidan di Hipokampus Glutation merupakan antioksidan seluler utama dan terdapat melimpah dalam sitoplasma, nukleus, dan mitokondria sel neuron otak. Glutation mempunyai fungsi penting dalam memindahkan dan menyimpan bentuk sisteina dalam reaksi detoksifikasi xenobiotik dan isomerisasi. Bukti lain menjelaskan bahwa glutation mempunyai peran penting dalam memelihara potensi reaksi redoks seluler dengan cara menyimpan gugus sulfhidril dalam bentuk reduksi pada protein sitosol (Hand 2007). Selain berfungsi sebagai antioksidan, glutation juga berfungsi sebagai antitoksin, mendukung fungsi imun, dan memelihara integritas sel. Glutation diketahui dapat secara signifikan mengurangi kehilangan neuron motorik. Hasil penelitian Schulz et al. (2000) melaporkan bahwa glutation berperan dalam melindungi neuron dari stres oksidatif. Dringen et al. (2000) melaporkan bahwa glutation dapat mendetoksifikasi spesies oksigen reaktif atau radikal bebas hasil dari proses metabolisme dalam neuron dan astrosit. Proses detoksifikasi oleh glutation dapat terjadi melalui beberapa cara, antara lain dengan cara memutus, menghambat, dan menghentikan reaksi radikal bebas, reduksi peroksida, dan berkonjugasi dengan senyawasenyawa elektrofilik (Hayes et al. 1999). Selain itu, glutation juga berperan dalam proses metabolisme pada sumber karbon aromatik, mengeluarkan senyawasenyawa toksik dari dalam sel, dan berfungsi sebagai kofaktor untuk sejumlah enzim-enzim penting yang terlibat dalam jalur detoksifikasi. Guven dan Kaya
12
(2005) melaporkan ada tiga enzim yang terlibat dalam proses detoksifikasi bersama glutation, yaitu glutation reduktase, glutation-S-transferse, dan glutation peroksidase. Glutation mampu menyediakan berbagai macam cara pertahanan pada sel, tidak hanya pertahanan pada spesies oksigen reaktif atau radikal bebas, namun juga pertahanan pada hasil-hasil metabolit yang bersifat toksik. Glutation dan berbagai macam enzim antioksidan membentuk sistem pertahanan antioksidan pada semua sel. Sistem pertahanan antioksidan yang kuat penting untuk melindungi sel-sel otak dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif atau radikal bebas hasil metabolisme aerob (Zeevalk et al. 2010). Glutation sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi neurofisiologi, metabolisme, kemampuan mengingat, dan neurodegenerasi yang terjadi seiring dengan peningkatan umur (Bjork et al. 2006).
Gambar 2 Fungsi glutation sebagai antioksidan. Reaksi glutation non-enzimatik dengan radikal bebas (R.) dan reaksi donor elektron untuk reduksi peroksida (ROOH) dalam reaksi yang dikatalisis oleh glutation peroksidase. Glutation (GSH) dibentuk kembali dari GSSG oleh glutation reduktase dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor (Dringen et al. 2000). Selama proses detoksifikasi, glutation bereaksi secara langsung dengan radikal-radikal bebas melalui dua jenis reaksi yang berbeda, yaitu non-enzimatis dan enzimatis. Reaksi non-enzimatis menghasilkan radikal bebas yang bersifat stabil dan mencegah reaksi lanjutan radikal bebas, sedangkan reaksi enzimatis melibatkan donor elektron dalam reaksi reduksi peroksida dan dikatalisis oleh glutation peroksidase menghasilkan glutation disulfida (GSSG), senyawasenyawa bergugus hidroksil (ROH), dan H2O. GSH dibentuk kembali dari GSSG melalui reaksi enzimatis dan dikatalisis oleh flavoenzim glutation reduktase (GR)
13
dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Melalui reaksi enzimatis dengan melibatkan glutation peroksidase dan glutation reduktase, glutation secara terus menerus dihasilkan secara berulang (Dringen 2000). Metabolisme Glutation Glutation disintesis melalui proses berurutan dengan melibatkan dua enzim utama, yaitu γ-glutamycysteine synthetase dan glutathione synthetase, masing-masing memerlukan ATP sebagai kosubstrat. Enzim γ-glutamycysteine synthetase menggunakan asam glutamat dan sisteina sebagai substrat untuk menghasilkan dipeptida glutamil-sisteina (γ-GluCys). Melalui reaksi lanjutan, produk dipeptida disintesis dengan glisina menjadi glutation (GSH) oleh glutation sintetase. Glutation selanjutnya digunakan sebagai substrat untuk ektoenzim γ-glutamyltransferase (γ-GT). Reaksi antara glutation, akseptor gugus γ-glutamil (X), dan γ-GT menghasilkan dipeptida sisteinil-glisina (CysGly). Melalui jalur reaksi yang berbeda, glutation intraseluler dikonjugasikan oleh glutation-Stransferase dengan xenobiotik atau senyawa-senyawa endogen (Y) menghasilkan konjugat glutation-xenobiotik atau konjugat glutation-senyawa endogen (GS-Y). Metabolisme glutation seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Metabolisme glutation. (1) Reaksi sintesis dipeptida glutamil-sisteina oleh glutamil-sisteina sintetase. (2) Reaksi sintesis glutation oleh glutation sintetase. (3) Reaksi glutation, akseptor gugus γ-glutamil (X), dan γ-GT untuk membentuk dipeptida sisteinil-glisina (CysGly) atau reaksi antara konjugat dengan enzim γ-GT menghasilkan dipeptida Y-CysGly. (4) Hidrolisis dipeptida sisteinil-glisina oleh dipeptidase menjadi sisteina dan glisina. (5) Reaksi konjugasi glutation oleh glutation-S-transferase dengan xenobiotik atau senyawa endogen (Y) menghasilkan konjugat glutation-xenobiotik atau glutation-senyawa endogen (GS-Y) (Dringen et al. 2000)
14
Produk konjugat berfungsi sebagai substrat γ-GT pada
reaksi enzimatis dan
menghasilkan dipeptida Y-CysGly. Dipeptida CysGly hasil dari kedua proses tersebut kemudian dihidrolisis oleh enzim dipeptidase menjadi
asam amino
glisina dan sisteina. Glisina dan sisteina digunakan kembali untuk sintesis glutation secara berulang (Dringen et al. 2000; Dringen 2000).
Gambar 4 Skema interaksi antara sel astrosit dengan neuron dalam metabolisme glutation. Metabolisme glutation intraseluler membutuhkan substrat glutamina (Gln), asam glutamat (Glu), sisteina (Cys), γ-glutamilsisteina (γ-GluCys), dan sisteinil-glisin (CysGly). Metabolisme glutation ekstraseluler melibatkan reaksi antara glutation, ektoenzim γ-glutamyltransferase (γ-GT), dan akseptor gugus γ-glutamil (X) (Dringen et al. 2000).
Sintesis GSH melibatkan interaksi metabolik antara sel-sel astrosit dan neuron, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Sel-sel astrosit mempunyai peran penting dalam menyediakan glutamina dan CysGly ekstraseluler dari GSH untuk pemenuhan kebutuhan peptida-peptida sebagai upaya mendukung sintesis GSH dalam neuron. Glutamina berfungsi menjamin ketersediaan asam glutamat yang dibutuhkan untuk sintesis glutation melalui proses secara berurutan dalam neuron. GSH ekstraseluler berfungsi sebagai substrat penting untuk ektoenzim γGT sel-sel astrosit. Reaksi antara GSH, ektoenzim γGT, dan akseptor gugus γ-glutamil menghasilkan dipeptida CysGly. Dipeptida CysGly tersedia untuk neuron dalam konsentrasi sangat kecil dan bersifat sangat efisien. Konsentrasi CysGly menyebabkan waktu paruh maksimal GSH dalam neuron lebih rendah dibanding sel-sel astrosit. Hal ini mengindikasikan bahwa neuron lebih efisien dalam menggunakan peptida dibanding sel-sel astrosit. Dipeptida CysGly selanjutnya
15
dihidrolisis oleh ektopeptidase neuron menghasilkan peptida sisteina dan glisina. Peptida sisteina dan glisina dipindahkan ke dalam neuron dengan menggunakan peptida transporter melalui proses transpor yang bergantung pada sodium. Melalui proses secara berurutan sisteina dan glisina digunakan sebagai substrat untuk sintesis GSH dalam neuron. Pada sisi lain, dipeptida CysGly hasil reaksi antara GSH ekstraseluler, akseptor gugus γ-glutamil, dan γGT digunakan kembali oleh sel-sel astrosit untuk sintesis GSH. Peptida transporter dalam sel-sel astrosit memberi respons untuk membantu proses pemindahan CysGly. Hidrolisis intraseluler CysGly menghasilkan sisteina dan glisina yang berfungsi sebagai substrat untuk sintesis glutation dalam sel-sel astrosit. Selain substrat sisteina dan glisina, sintesis GSH dalam sel-sel astrosit membutuhkan substrat yang diambil dari asam glutamat ekstraseluler yang berasal dari neuron (Dringen et al. 2000). Mekanisme Pertahanan Antioksidan Glutation di Hipokampus Glutation dan enzim-enzim yang berkaitan dengan metabolisme glutation membentuk sistem pertahanan antioksidan dan berfungsi melindungi sel dari kerusakan oksidatif akibat spesies oksigen reaktif atau radikal bebas. Hipokampus sebagai bagian utama otak membutuhkan sistem pertahanan antioksidan yang kuat untuk memelihara keseimbangan spesies oksigen reaktif akibat dari metabolisme aerob (Zeevalk et al. 2010). Keseimbangan pembentukan spesies oksigen reaktif dan sistem antioksidatif, seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Stres oksidatif Anion superoksida H2O2 OHROMalonaldehida
ONOOGSSG
Pertahanan antioksidan Superoksida dismutase GSH peroksidase GSH-S-transferase Asam askorbat
GSH GSSG reduktase
mmmmmm Kematian sel
Bertahan hidup
Gambar 5 Keseimbangan pembentukan spesies oksigen reaktif dan sistem antioksidatif (Schulz et al. 2000)
16
Sel-sel astrosit dan neuron mempunyai sistem glutation sebagai pengganti katalase yang berfungsi mengeliminasi hidrogen peroksida (Dringen et al. 2000). Proses eliminasi hidrogen peroksida diikuti pembentukan GSSG dari GSH. Sel-sel astrosit dan neuron pada hipokampus otak mempunyai persamaan kemampuan detoksifikasi hidrogen peroksida (H2O2), namun sel-sel astrosit mempunyai kapasitas lebih tinggi dibanding neuron. Efisiensi sistem glutation neuron pada detoksifikasi peroksida lebih rendah dibanding sel-sel astrosit. Sel-sel astrosit berfungsi membantu melindungi neuron dari toksisitas yang diinduksi oleh spesies oksigen reaktif atau radikal bebas dengan rasio kemampuan 1 sel astrosit melindungi 20 neuron (Dringen et al. 2000; Dringen 2000). Hubungan Level Glutation dengan Penuaan Hipokampus Penurunan level glutation akibat kerusakan oksidatif dapat memicu perubahan struktur hipokampus. Penurunan level glutation dapat menyebabkan produksi peroksida dan peningkatan Ca2+ intraseluler yang memicu kematian neuron. Stres oksidatif menyebabkan peningkatan spesies oksigen reaktif yang berpengaruh langsung pada penurunan level glutation hipokampus. Peningkatan spesies oksigen reaktif juga menyebabkan gangguan potensial transmembran mitokondria dan penurunan fungsi mitokondria (Schulz et al. 2000). Peningkatan umur dapat menyebabkan penurunan level glutation dalam otak, termasuk di hipokampus. Penurunan level glutation di hipokampus dapat menyebabkan degenerasi neuron dan memicu munculnya tanda-tanda penuaan (Bjork et al. 2006). Penurunan level glutation pada kondisi penuaan akibat stres oksidatif dapat mencapai 30-40% dibanding kondisi normal. Sebanyak 40% level glutation mengalami penurunan dalam neuron-neuron hipokampus sebagai dampak penuaan akibat stres oksidatif (Hjelle et al. 1994). Beberapa kasus penuaan menunjukkan bahwa sintesis glutation di hipokampus mengalami gangguan yang terindikasi dari meningkatnya aktivitas γ-glutamyltranspeptidase
(γGT).
γGT adalah
ektoenzim
membran
yang
mengkatalisis transfer gugus γ-glutamyl dari glutation atau glutation konjugat ke dalam molekul aseptor (Dringen et al. 2000). Glutation ekstraseluler berfungsi sebagai substrat untuk ektoenzim γGT astrosit. Produk reaksi γGT, dipeptida cysteinylglycine dihidrolisis menjadi sisteina dan glisina, diambil dan digunakan
17
oleh neuron untuk sintesis glutation. Neuron tidak dapat mengambil glutation secara langsung, peningkatan aktivitas γGT diduga merupakan kompensasi dari peningkatan regulasi dalam rangka menyediakan prekursor dipeptida bagi neuron untuk mendukung proses sintesis glutation lebih banyak lagi. Pelepasan glutation dan terjadinya peningkatan aktivitas γGT menginisiasi tahapan patogenesis di hipokampus yang memicu munculnya tanda-tanda penuaan (Dringen et al. 2000). Penelitian lain menemukan bukti bahwa penuaan mempunyai hubungan erat dengan kerusakan sistem oksidasi-fosforilasi pada mitokondria. Penurunan level glutation merupakan awal gangguan proses oksidasi-fosforilasi, sebaliknya peningkatan level glutation memberi peningkatan proses oksidasi-fosforilasi. Penurunan level glutation pada mitokondria dapat menyebabkan pembentukan spesies oksigen reaktif yang berpotensi menghambat sistem oksidasi-fosforilasi. Demikian pula, penurunan level glutation menjadi penyebab terjadinya peningkatan ukuran dan degenerasi mitokondria pada tikus neonatal. Patogenesis penuaan hipokampus disebabkan oleh dua gangguan utama, yaitu gangguan primer dan sekunder. Gangguan primer berupa gangguan homeostasis glutation, sedangkan gangguan sekunder berupa penghambatan sistem oksidasi-fosforilasi (Serra et al. 2003; Speakman et al. 2004; Balaban et al. 2005). Perubahan Neuroanatomi dan Neurofisiologi pada Penuaan Hipokampus Gangguan kognitif pada penuaan mempunyai keterkaitan dengan hilangnya sebagian neuron-neuron di hipokampus. Kardower (2001) melaporkan bahwa individu berumur tua dengan gangguan fungsi kognitif mengalami kehilangan 40% neuron di bagian korteks entortinal hipokampus. Gangguan fungsi kognitif ditandai dengan penurunan kemampuan belajar atau mengingat dan perubahan hubungan sinaptik neuron-neuron penyusun hipokampus. Sinapssinaps neuron memiliki sifat sangat labil, mempunyai kemampuan merespons pada perubahan lingkungan mikro dalam otak, dan menghasilkan keteraturan sirkuit neuron-neuron secara terus-menerus. Plastisitas sinaptik mempunyai peran penting pada simpanan informasi, mendukung proses belajar atau mengingat, dan kemampuan kognitif. Gangguan belajar dan mengingat pada hewan-hewan berumur tua diakibatkan terjadinya perubahan sinaptik neuron-neuron penyusun hipokampus. Sebagai komponen dasar utama interneuron, sinaps-sinaps
18
mempunyai dua peran penting dalam mendukung fungsi otak, yaitu proses dan transmisi informasi. Sinaps tersusun atas dua komponen utama, yaitu presinaptik dan postsinaptik. Komponen presinaptik terdiri atas akson dengan terminal presinaptik yang mengandung vesikel-vesikel neurotransmiter, sedangkan komponen postsinaptik terdiri atas spina dendrit dan dendrit atau sel somatik yang mengandung reseptor-reseptor neurotransmiter dan protein-protein sinyal. Dalam hipokampus, sebagian besar sinaps terletak pada spina dendrit yang menjulur dari bagian dendrit (Nicholson 2004; Serrano dan Klann 2004). Penuaan diidentikkan dengan gangguan kompleks pada sistem sensorik dan motorik, yang meliputi penurunan kemampuan pendengaran, penglihatan, kekuatan otot, dan kemampuan merespons. Penurunan kemampuan sensorikmotorik ditandai dengan perubahan dalam sistem transduksi dan output. Perubahan kognisi yang berkaitan dengan penuaan tidak selalu berkaitan dengan lesi hipokampus otak atau hilangnya neuron. Penuaan fisiologis ditandai oleh hilangnya beberapa elemen-elemen neuron, yang meliputi perubahan jumlah dan percabangan akson, ukuran kontak-kontak sinaptik, pergeseran waktu, dan tingkat transmisi pada struktur-struktur neuron. Kedudukan transmisi dan fungsi konektif antara neuron-neuron menentukan ketepatan pemrosesan sensoris, kemampuan komputasional, dan reliabilitas output motorik. Secara bergantian, perubahan kedudukan transmisi dan fungsi konektif dapat menyediakan kontrol pada perilaku saat darurat yang merepresentasikan mekanisme merekam, mencatat, dan mengintegrasikan pengalaman (Miller dan O’Callaghan 2005; Reas et al. 2011). Penuaan
pada
manusia
ditandai
dengan
penurunan
kemampuan
pembangkitan amplitudo respons-respons sensorik dan peningkatan responsrespons yang bersifat laten. Perubahan laten yang terjadi pada transmisi sistem sensoris dapat menyebabkan gangguan pada proses-proses informasi sensoris yang bersifat sementara. Bukti penelitian telah melaporkan bahwa penuaan pada tikus ditandai oleh penurunan kecepatan konduksi, yaitu kecepatan potensial aksi yang berjalan di sepanjang akson neuron, terutama neuron-neuron motorik. Penurunan kecepatan konduksi disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada selaput mielin (Knierim et al. 2006; Bisaz et al. 2009; Reas et al. 2011).
19
Penurunan fungsi kognitif mempunyai hubungan erat dengan peningkatan umur. Penurunan fungsi kognitif berdampak pada penurunan kualitas hidup dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan. Bukti penelitian menunjukkan bahwa peningkatan umur berpengaruh nyata pada penurunan kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan kemampuan kognitif. Kajian secara neurofisiologi menunjukkan bahwa individu dengan umur lebih dari 60 tahun sering mengalami gangguan memori dan kesulitan mengulang kejadiankejadian yang baru saja terjadi (memori episodic). Fungsi kognitif terkait dengan beberapa aspek, seperti kemampuan belajar dan mengingat, memperhatikan, suasana hati, motivasi, dan perencanaan. Perubahan-perubahan kognitif mempunyai hubungan erat dengan hipokampus otak. Perubahan secara anatomi, fisiologi, dan biokimia dalam hipokampus memberi kontribusi pada kemampuan kognitif (Miller dan O’Callaghan 2005; Knierim et al. 2006). Hobin et al. (2006) melaporkan bahwa hipokampus memiliki peran penting dalam proses belajar, mengingat, dan perilaku yang berhubungan dengan kemahiran. Lebih lanjut dilaporkan bahwa bagian ventral hipokampus mempunyai hubungan timbal balik dengan amigdala dan berfungsi memediasi proses belajar atau mengingat. Sebagai bagian penting otak, hipokampus mempunyai peran dominan dalam menentukan kemahiran
(acquisition),
upaya
mendapatkan
kembali
informasi
ruang,
konsolidasi, dan penyimpanan memori. Fungsi-fungsi tersebut dapat diketahui melalui uji radial arm maze (Villarreal et al. 2004; Kiray 2005). Bioenergetik dan Dinamika Mitokondria dalam Sel - Sel Neuron Mitokondria merupakan organel yang berperan dalam respirasi seluler dan banyak ditemukan pada semua organisme aerobik. Organel ini mampu menggunakan oksigen sangat efisien dan sebagai akseptor akhir elektron dari nutrisi dalam proses rantai transpor elektron. Tranpor elektron berfungsi mempertahankan keberadaan ATP dari proses reduksi dan oksidasi pada nutrisi (Wallace 2005). Mitokondria mempunyai dua membran, yaitu membran dalam dan luar, ruang intermembran, dan matriks. Matriks mitokondria berisi DNA mitokondria (mtDNA) dan mengkode protein penting untuk replikasi dan transduksi energi meskipun sebagian besar protein mitokondria dikode oleh DNA inti. Secara fisiologis, mitokondria bersifat kompleks dan mempunyai peran
20
penting dalam menentukan bioenergetik jaringan seluler dan cascade sinyal tertentu untuk menjaga kelangsungan hidup. Selain itu, mitokondria adalah organel sel yang bersifat dinamis (Bolanos et al. 2009). Mitokondria merupakan sumber energi ATP terbesar pada sel. Rantai trasnpor
elektron
pada
mitokondria
mempunyai
peran
penting
dalam
mempertahankan keberadaan energi redoks nutrisi dalam bentuk gradien elektrokimia di membran dalam mitokondria. Gradien tersebut digunakan untuk memfosforilasi ADP menjadi ATP. Selain berperan dalam produksi energi, mitokondria adalah organel sel yang terus mengalami siklus fisi dan fusi. Mitokondria secara terus-menerus melakukan proses komunikasi dengan mitokondria lainnya sebagai usaha memenuhi kebutuhan energi sel, mencegah kerusakan sel akibat spesies oksigen atau nitrogen reaktif, mencegah peningkatan ion Ca2+ intraseluler atau mutasi DNA mitokondria (Bolanos et al. 2009). Mitokondria mempunyai peran penting bagi keberlanjutan fungsi neuron. Neuron mempunyai aktivitas spesifik, yaitu membersihkan Ca2+ dan Na+ sitosol secara terus-menerus dengan cara memompa ion-ion keluar sel dengan pengeluaran ATP tinggi. Proses ini terjadi secara bersamaan dengan proses biosintesis, pelepasan atau pengembalian kembali neurotransmiter yang berguna dalam pembangkitan potensial aksi. Berbeda dari sel lainnya, neuron tidak melakukan proses glikolisis untuk memberi peningkatan ATP ketika bioenergetik mitokondria mengalami disfungsi dan sangat bergantung pada energi dari mitokondria lainnya (Chen et al. 2007; Hoppins et al. 2007; Twig et al. 2008). Perubahan Struktur Mitokondria Neuron pada Penuaan Hipokampus Mitokondria adalah organel sel berbentuk kapsul tempat penghasil energi dari metabolisme aerobik yang melibatkan rantai respirasi dan enzim-enzim ATP sintase. Mitokondria paling banyak ditemukan dalam sel yang aktif melakukan metabolisme, seperti pada neuron hipokampus otak. Mitokondria mengisi sekitar 40% volume sel dan sekitar 10% bobot tubuh manusia dewasa (Serra et al. 2003). Mitokondria memerlukan 1-2% oksigen dalam kondisi respirasi normal untuk membentuk superoksida. Diperkirakan 0.2%-2% oksigen yang dikonsumsi dikonversi menjadi anion superoksida pada proses rantai transpor elektron (Balaban et al. 2005). Spesies oksigen reaktif seluler dalam kondisi basal
21
diperkirakan mendekati 90% dari mitokondria dalam sel-sel yang sehat pada laju respirasi yang tinggi. Munculnya tanda-tanda penuaan di hipokampus mempunyai keterkaitan dengan penurunan efisiensi protein coupling dalam proses oksidasifosforilasi dan peningkatan produksi superoksida. Radikal bebas dapat merusak membran dalam mitokondria. Kerusakan struktur mitokondria menjadi penyebab mitokondria tidak dapat berfungsi secara normal dan akhirnya dicerna oleh lisosom. Efisiensi lisosom untuk mencerna mitokondria abnormal mengalami penurunan seiring dengan peningkatan umur. Hewan berumur tua mempunyai sel yang memiliki sedikit mitokondria, memiliki mitokondria berukuran lebih besar dari normal dan bersifat inefisien. Inefisiensi mitokondria dapat memicu penurunan produksi energi dan peningkatan produksi radikal bebas (Speakman et al. 2004; Balaban et al. 2005). Radikal-radikal bebas dari mitokondria dapat merusak protein seluler, lipid, DNA, dan semua komponen organik dalam neuron hipokampus otak. Kerusakan mitokondria meliputi kerusakan protein kompleks rantai respirasi, membran mitokondria, dan DNA mitokondria (mtDNA) yang memicu munculnya tanda-tanda penuaan (Serra et al. 2003). Mitokondria merupakan organel sel paling peka terhadap stres oksidatif karena organel ini mempunyai kebutuhan oksigen sangat tinggi. Selain itu, mitokondria diketahui sebagai sumber penyedia radikal bebas secara terus menerus, terutama di membran dalam. Terganggunya sistem enzimatis, aktivitas protein, dan disfungsi mitokondria oleh stres oksidatif secara otomatis mengganggu sistem glutation yang berperan dalam pertahanan seluler dari radikal bebas. Kondisi ini akhirnya memicu munculnya tanda-tanda penuaan di hipokampus (Speakman et al. 2004; Balaban et al. 2005; Kujoth et al. 2007). Kebutuhan Mitokondria pada ATP dalam Mekanisme Patologi Seluler Energi seluler dalam bentuk ATP dihasilkan melalui proses oksidasifosforilasi yang digunakan untuk mendukung proses seluler kompleks yang membutuhkan banyak energi. Mitokondria mempunyai beberapa fungsi penting, antara lain menyediakan ATP untuk mendukung fungsi seluler, terlibat dalam homeostasis ion-ion Ca2+, dan menghasilkan atau mengeliminasi spesies oksigen reaktif. Selain itu, mitokondria dapat mengintegrasikan dan melepaskan sinyal mematikan yang dapat menyebabkan kematian sel. Penyediaan ATP, pengambilan
22
atau pelepasan ion-ion Ca2+ adalah fungsi fisiologis penting bagi mitokondria neuron otak. Hasil penelitian melaporkan bahwa gangguan fungsi mitokondria dapat menginduksi kerusakan seluler dan berdampak pada kejadian-kejadian patologis, seperti penyakit neurodegeneratif dan penuaan. Gangguan fungsi mitokondria ditandai dengan penurunan energi seluler, gangguan homeostasis ionion Ca2+, dan terbentuknya spesies oksigen reaktif dalam jumlah berlebihan di dalam sel yang bersifat sitotoksik (Chinopoulos dan Vizi 2009). Dalam kondisi mitokondria masih utuh, aliran elektron melalui rantai respirasi dapat membentuk gradien elektrokimia proton. Gradien elektrokimia ini merupakan komponen utama membran dengan potensial 150-180 mV. Gradien elektrokimia proton mengendalikan proses hidrolisis ATP oleh ATPase yang berfungsi sebagai ATP sintase dan mendukung fosforilasi ADP menjadi ATP. Namun, mitokondria yang memiliki gangguan respirasi atau kebocoran membran dalam, ATPase tidak berperan dalam hidrolisis ATP dan hanya berperan dalam pemeliharaan level sub-optimal potensial membran dengan memompa proton keluar dari matriks. Aktivitas ATPase secara terbalik dan berkelanjutan dapat menyebabkan peningkatan konsumsi cadangan ATP seluler sehingga memicu gangguan pada tingkat sel, krisis energi, dan kematian sel. Bukti penelitian menunjukkan bahwa disfungsi mitokondria dikaitkan dengan kematian sel. Disfungsi mitokondria secara bertahap dapat memicu pelepasan molekul-molekul penanda sinyal kematian dan penghentian hidrolisis ATP yang akhirnya menyebabkan kematian sel lebih cepat. Integritas membran pada mitokondria normal dan utuh mempunyai fungsi sangat penting dalam mencegah kebocoran membran dalam dan pembalikan proses hidrolisis ATP oleh ATPase sehingga ATP dapat digunakan secara efektif untuk mendukung potensial membran (Chinopoulos dan Vizi 2009). Kegagalan respirasi seluler merupakan indikator penurunan fungsi neuron di hipokampus. Penghambatan pada rantai respirasi mengakibatkan penurunan potensial membran dan penurunan ini sebagai upaya untuk mencegah atau mengurangi tingkat penghambatan pada rantai respirasi. Dalam kondisi ini, ATPase mengawali fungsi sebagai pompa proton dan berperan dalam hidrolisis ATP. Glikolisis adalah sumber energi utama ATP selama muncul gangguan pada
23
rantai transpor elektron dan mempunyai peran penting pada pemeliharaan jangka panjang terhadap fungsi-fungsi yang bergantung ATP, terutama Na+/K+ATPase di membran plasma dan hidrolisis ATP oleh ATPase. Neuron pada hipokampus mempunyai kebergantungan pada kapasitas glikolitik untuk bertahan hidup selama gangguan pada rantai respirasi (Chinopoulos dan Vizi 2009). Stres oksidatif dan faktor lain dapat menyebabkan terjadinya pembalikan proses ATPase dalam kondisi patologis yang berhubungan dengan penurunan fungsi neuron akibat penuaan. Bukti penelitian menunjukkan bahwa stres oksidatif mempunyai peran dalam patologi penyakit neurodegenerasi. Stres oksidatif merupakan kejadian awal dalam patologi penuaan dan penyakit kepikunan. Ketidakcukupan energi akibat konsumsi ATP mitokondria berakibat pada peningkatan transpor ion-ion Ca2+ melalui membran plasma masuk ke dalam sel. Peningkatan ion-ion Ca2+ intraseluler dapat mengganggu regulasi ion-ion Ca2+ dan homeostasis Na+. Gangguan regulasi pada ion-ion Ca2+ dan homeostasis Na+ menyebabkan kerusakan sel-sel saraf. Peningkatan permintaan ATP yang terjadi secara bersamaan dengan konsumsi ATP di mitokondria dapat berakibat pada kematian sel. Stres oksidatif yang terjadi bersamaan dengan beban Na+ sitoplasma dapat menyebabkan penurunan ATP, potensial membran, dan gangguan regulasi Ca2+ dan Na+ di terminal saraf (Chinopoulos dan Vizi 2009). Potensi Glutamina atau Dipeptida Alanil-Glutamina Glutamina merupakan asam amino non-esensial yang terdapat melimpah sebagai asam amino bebas dalam tubuh dan berfungsi sebagai regulator proses sintesis protein, asam lemak, glikogen, homeostasis asam-asam amino, berpartisipasi dalam proses transaminasi, dan mempunyai banyak fungsi penting lainnya di dalam tubuh. Glutamina atau dipeptida alanil-glutamina menyediakan gugus amida untuk sintesis beberapa metabolit, meliputi gula-amino, purina, pirimidina, dan nukleotida. Glutamina dalam bentuk dipeptida alanil-glutamina bersifat larut dalam air dan stabil dalam kondisi panas (Kulkarni et al. 2005; Jun et al. 2006; Roth 2008). Glutamina atau dipeptida alanil-glutamina juga dilibatkan dalam pemeliharaan dan sintesis antioksidan intraseluler utama glutation yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan oksidan-oksidan, seperti spesies oksigen reaktif dengan antioksidan, mempertahankan integritas seluler, dan
24
mencegah kerusakan jaringan (Jun et al. 2006; Cruzat et al. 2007; Schade et al. 2009; Fernandes et al. 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa glutamina merupakan prekursor untuk GABA yang mempunyai aksi sebagai neurotransmiter inhibitori yang menimbulkan efek tenang, prekursor asam glutamat, glutation, dan vitamin B6 yang mempunyai peran penting dalam proses transaminasi asam-asam amino dan semua proses metabolisme asam-asam amino (Wang et al. 2007). Sebagai asam amino non-esensial, glutamina dapat disintesis dalam sitosol pada beberapa jaringan tubuh melalui reaksi biokimia yang dikatalisis oleh enzim glutamina sintetase (Schade et al. 2009). Glutamina sintetase adalah enzim yang berperan dalam metabolisme asam glutamat dan memelihara homeostasis asam glutamat dalam otak untuk mencegah kondisi eksitotoksik. Sintesis glutamina dari asam glutamat dan amonia dalam sel-sel astrosit hipokampus otak penting untuk melindungi neuron selama peningkatan level amonia darah yang bersifat toksik. Sejumlah organ dilibatkan dalam sintesis glutamina, seperti otot rangka, paruparu, hati, dan jaringan adiposa yang membutuhkan peran glutamina sintetase (Cruzat et al. 2007). Meningkatnya kebutuhan glutamina biasanya terjadi selama stres fisik dan metabolik, meliputi pascaoperasi atau pembedahan, trauma, luka bakar, infeksi, kelaparan, malnutrisi, dan setelah melakukan aktivitas berlebihan. Stres oksidatif akibat sakit dapat memicu penurunan konsentrasi glutamina dalam tubuh lebih dari 50% dibanding kondisi normal, sementara konsentrasi dalam plasma menurun sekitar 20%. Stres oksidatif pada jaringan otak akibat aktivitas berlebihan dapat menyebabkan penurunan konsentrasi glutamina. Cruzat et al. (2007) melaporkan bahwa perlakuan aktivitas yang panjang dan intensif dapat menyebabkan penurunan konsentrasi glutamina plasma dan otot. Menurunnya konsentrasi glutamina atau dipeptida alanil-glutamina menimbulkan konsekuensi menurunnya pertahanan seluler pada radikal bebas oksigen (Andreasen et al. 2009; Schade et al. 2009). Suplementasi glutamina atau dipeptida alanilglutamina selama kondisi stres oksidatif dapat meningkatkan konsentrasi glutamina, membantu proses sintesis protein, keseimbangan nitrogen, memberi pengaruh anabolik yang dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan kondisi fisiologis tubuh. Hasil penelitian Flaring et al. (2003) menunjukkan bahwa
25
pemberian glutamina pascapembedahan abdominal dapat meningkatkan level glutation dan mempercepat pemulihan stres metabolik. Meningkatnya konsentrasi glutamina dalam tubuh akan menghasilkan pengaruh anabolik untuk membangun tubuh. Tersedianya glutamina dapat mencegah terjadinya pengaruh katabolik yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada berbagai jaringan tubuh. Glutamina atau dipeptida alanil-glutamina diketahui dapat meningkatkan fungsi sistem saraf, menstimulasi dan meningkatkan fungsi sistem imun, mendukung proliferasi sel, melindungi integritas mikrovaskuler, dan memelihara fungsi glikogenik. Fungsi glikogenik mempunyai peran penting dalam menyeimbangkan level gula dalam darah, menyeimbangkan asam basa antarjaringan, dan meningkatkan fungsi saluran pencernaan (Andreasen et al. 2009; Schade et al. 2009; Fernandes et al. 2010). Glutamina atau dipeptida alanin-glutamina juga berpengaruh pada pusat nafsu makan dan mampu mendetoksifikasi amonia yang merupakan penyebab kerusakan otak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian glutamina dalam bentuk dipeptida alanin-glutamina 3% dapat mempertahankan simpanan glutation dan menurunkan mortalitas sel-sel hati. Pemberian glutamina atau dipeptida alanin-glutamina dapat meningkatkan transpor asam amino dan ion-ion sodium ke dalam sel yang memicu perubahan komposisi protein intraseluler dan volume sel, mendukung sintesis protein, dan meningkatkan ketersediaan substrat untuk beberapa sistem yang dilibatkan dalam proses perbaikan jaringan (Cruzat et al. 2007). Glutamina dapat memelihara aktivitas NA+-K+ dan Ca+-ATPase, meningkatkan energi metabolisme seluler, melindungi struktur dan fungsi mitokondria, retikulum endoplasma kasar, menurunkan produksi radikal bebas oksigen, mencegah kerusakan sel, dan memperbaiki sel-sel hati (Jun et al. 2006). Glutamina melalui asam glutamat, sisteina, dan glisina merupakan asam amino prekursor untuk sintesis asam-asam nukleat dan glutation (Dringen et al. 2000). Sebagai metabolit utama, glutamina mempunyai pengaruh pada berbagai jalur molekuler yang berbeda. Glutamina dapat meningkatkan stabilitas mRNA, mempengaruhi potensial redoks pada sel dengan meningkatkan sintesis glutation, menginduksi pengaruh anabolik seluler dengan peningkatan volume sel, dan mengaktifkan protein kinase (Roth 2008). Glutamina dapat melintasi sawar darah otak, meningkatkan level glutamina intraseluler, dan mendukung sintesis
26
glutation. Glutamina masuk ke dalam otak melalui sistem transpor N yang bergantung Na+ (Roth et al. 2002; Wang et al. 2007). Metabolisme Glutamina Glutamina adalah asam amino non-esensial yang penting untuk sintesis protein dan sebagai metabolit utama yang digunakan dalam proses transaminasi asam-asam amino melalui α-ketoglutarat dan asam glutamat. Glutamina dapat disintesis dari asam amino lain, terutama asam amino yang memiliki rantai bercabang dan asam glutamat dalam sitoplasma sel. Glutamina merupakan metabolit penting dalam metabolisme amonia dan mempunyai peran krusial dalam detoksifikasi amonia (Roth 2008). Metabolisme glutamina dalam tubuh melibatkan dua jalur utama, yaitu melalui jalur langsung dan asam glutamat. Melalui jalur langsung, glutamina dikonversi menjadi beberapa metabolit turunannya, seperti histidina, triptofan, nukleotida, gula amino, dan glikoprotein. Adapun melalui jalur asam glutamat, glutamina dikonversi menjadi asam glutamat dan α-ketoglutarat yang selanjutnya melalui siklus Krebs diubah menjadi CO2 dan H2O untuk menghasilkan ATP. Cruzat et al. (2007) melaporkan, glutamina dibutuhkan sebagai sumber energi untuk mendukung sintesis nukleotida. Melalui jalur asam glutamat yang lain, glutamina dikonversi menjadi γ-amino butyric acid (GABA), glutation, asam folat, dan poliglutamat. Proses deaminasi glutamina melalui glutaminase menghasilkan asam glutamat, prekursor GABA atau inhibitor neurotransmiter. Prolina yang dihasilkan dari siklisasi asam glutamat menghasilkan kolagen dan jaringan ikat. Proses transaminasi dan deamidasi glutamina mempunyai peran utama dalam transpor amonia intraseluler dan interseluler. Glutamina dapat berfungsi sebagai pembawa nitrogen untuk aktivitas fisikokimia dan penghasil energi ATP interorgan, intraseluler, dan interseluler. Dalam kondisi keterbatasan oksigen, glutamina berperan sebagai sumber karbon dan penghasil ATP yang memberi kontribusi pada homeostasis glukosa. Transpor amida nitrogen dari glutamina melalui reaksi amidotransferase berperan dalam biosintesis purina dan pirimidina, sintesis DNA, dan RNA (Kulkarni et al. 2005; Melis 2008).
27
Alur Aktivitas penelitian Alur aktivitas penelitian disertasi ini dikelompokkan menjadi 4 tahapan besar, seperti disajikan pada Gambar 6.
Aklimasi Hewan Uji
Hewan model penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif (tikus umur 6, 12, 18, dan 24 bulan)
Pemberian secara intravena konsentrasi dipeptida alanilglutamina (0, 3, 5, dan 7)% mengacu dosis 1.66 g/kg bb per hari pada manusia
Hewan model penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif (tikus umur 12 dan 24 bulan)
1. Level glutation hipokampus
Status fungsi hipokampus tertinggi dan terendah
Konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina
Hewan model penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif (tikus umur 12 dan 24 bulan)
1. Respons konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus
2. Respons histomorfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus
3. Respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik
Perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif
Gambar 6 Alur aktivitas penelitian
29
PERBAIKAN LEVEL GLUTATION HIPOKAMPUS TIKUS PADA PENUAAN FISIOLOGIS DAN PENUAAN AKIBAT STRES OKSIDATIF DENGAN PEMBERIAN DIPEPTIDA ALANIL-GLUTAMINA Sunarno1, Wasmen Manalu2, Nastiti Kusumorini2, Dewi Ratih Agungpriyono3 1
Program Doktor Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 2 Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 3 Mayor Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah Pascasarjana, IPB
ABSTRAK Penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif menyebabkan penurunan fungsi hipokampus yang ditandai penurunan level glutation hipokampus di bawah ambang batas normal. Salah satu cara untuk meningkatkan level glutation hipokampus adalah meningkatkan konsentrasi prekursor glutation. Salah satu senyawa penyedia prekursor glutation adalah dipeptida alanil-glutamina. Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan profil glutation hipokampus yang dapat digunakan sebagai indikator penentuan status fungsi hipokampus dan mendapatkan konsentrasi paling optimum dari pemberian dipeptida alanil-glutamina yang dapat meningkatkan level glutation hipokampus, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Tikus-tikus percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan ukuran 4x2 (penelitian pendahuluan) dan 2x2x4 (penelitian lanjutan). Faktor pertama adalah umur tikus yang terdiri atas 4 level, yaitu 6, 12, 18, dan 24 bulan untuk penelitian pendahuluan dan 2 level, yaitu 12 dan 24 bulan untuk penelitian lanjutan. Faktor kedua adalah stres oksidatif yang terdiri atas 2 level, yaitu tanpa atau dengan stres oksidatif (penelitian pendahuluan dan lanjutan). Faktor ketiga adalah pemberian dipeptida alanil-glutamina yang terdiri atas 4 konsentrasi, yaitu 0%, 3%, 5%, dan 7% (hanya untuk penelitian lanjutan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus umur 12 bulan mempunyai level glutation hipokampus dengan peningkatan tertinggi dibanding tikus umur 6 bulan, baik dalam kondisi normal (34.58%) atau stres oksidatif (34.25%), sedangkan tikus umur 24 bulan menghasilkan level glutation hipokampus dengan penurunan tertinggi, baik dalam kondisi normal (31.62%) atau stres oksidatif (13.70%). Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi peningkatan tertinggi level glutation hipokampus, baik pada tikus dengan umur lebih muda (58.76%) atau tua (125.81%), tikus normal (76.47%) atau stres oksidatif (97.26%). Kesimpulan penelitian ini adalah penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif menghasilkan penurunan level glutation hipokampus. Status fungsi hipokampus tertinggi dan terendah hasil penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif terdapat pada tikus umur 12 bulan dan 24 bulan (mengacu pada level glutation tertinggi di hipokampus). Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% dapat meningkatkan level glutation hipokampus dan memperantarai perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus, baik penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Kata kunci: dipeptida alanil-glutamina, glutation, penuaan fisiologis, penuaan akibat stres oksidatif, fungsi hipokampus
30
ABSTRACT Physiological aging or aging due to oxidative stress causes a decrease in hippocampal function that was characterized by a decrease in hippocampal glutathione levels below the normal threshold. One way to increase glutathione levels in the hippocampus is to increase the concentrations of glutathione precursor. One of glutathione precursors is alanine-glutamine dipeptide. This research was designed to obtain the profile of glutathione in the hippocampus to determine the status of hippocampal function and to obtain the most optimum concentration of alanine-glutamine dipeptide supplementation to improve glutathione levels in the hippocampus of aged and oxidative-stressed rats. The experimental rats were assigned into a completely randomized design with 4x2 (preliminary research) and 2x2x4 (advanced research) factorial arrangement. The first factor was the age of the experimental rats, consisted of four levels i.e., 6, 12, 18, and 24 months for the preliminary research and two levels i.e., 12 and 24 months for the advanced research. The second factor was oxidative stress consisted of two levels, i.e., without or with oxidative stress (preliminary and advanced research). The third factor was the level of alanine-glutamine dipeptide administration consisted of four concentrations, i.e. 0%, 3%, 5%, and 7% (only for the advanced research). The results showed that rats with the age of 12 months had the highest increase in glutathione levels in the hippocampus compared to those with the age of 6 months, both in normal conditions (34.58%) or oxidative stress (34.25%), whereas rats with the age of 24 months had the highest decrease in glutathione levels in the hippocampus, both in normal conditions (31.62%) or oxidative stress (13.70%). Administration of 7% alanineglutamine dipeptide gave the highest increase in the levels of glutathione in the hippocampus either in younger (58.76%) or aged (125.81%) rats or in normal (76.47%) and in oxidative-stressed rats (97.26%). It was concluded that the physiological aging and aging due to oxidative stress resulted in decreased levels of glutathione in the hippocampus. The highest and the lowest statuses of hippocampal functions as results of physiological aging and aging due to oxidative stress were found in rats with the age of 12 months and 24 months (refers to the highest levels of glutathione in the hippocampus). Administration of 7% alanine-glutamine dipeptide increased glutathione levels in the hippocampus and they mediated the improved function of the aging hippocampus, both physiological aging and aging due to oxidative stress. Key words: alanine-glutamine dipeptide, glutathione, physiological aging, oxidativestress aging, hippocampal functions PENDAHULUAN Penuaan fisiologis akibat peningkatan umur dan penuaan akibat stres oksidatif merupakan dua faktor utama penyebab penurunan fungsi hipokampus. Penurunan fungsi hipokampus ditandai dengan penurunan level glutation sampai di bawah ambang batas normal. Penurunan fungsi hipokampus dapat menyebabkan penurunan fungsi berbagai sistem tubuh, yang meliputi endokrin, kognitif, dan motorik yang diawali dari kerusakan pada tingkat molekul, seperti DNA, protein,
31
lipid sampai dengan kerusakan pada tingkat seluler, organ-organ, dan sistem organ (Miller dan O'Callaghan 2005; Ricklefs 2008; Liu et al. 2010; Zeevalk et al. 2010). Beberapa hasil penelitian melaporkan, penurunan fungsi hipokampus pada kasus kepikunan dan penuaan mempunyai keterkaitan dengan perubahan sistem dan aktivitas enzim, gangguan keseimbangan antara antioksidan dan oksidan, serta penurunan level glutation (Pamplona et al. 2004; Zhu et al. 2006; Liu et al. 2010). Level glutation pada berbagai jaringan tubuh lainnya juga diketahui mengalami penurunan, terutama pada kasus penyakit degenerasi dan penuaan. Dengan demikian, glutation merupakan faktor kunci dalam proses penuaan dan mempunyai keterkaitan dengan sejumlah perubahan yang terjadi selama penuaan (Dringen et al. 2000). Penuaan tidak dapat dihindari, tetapi dapat diperlambat. Salah satu cara penanganan penuaan adalah meningkatkan level glutation hipokampus. Berbagai pilihan bahan antipenuaan telah dilakukan untuk memperlambat penurunan fungsi hipokampus. Salah satu cara kerja bahan antipenuaan adalah menyediakan asam amino yang dapat digunakan untuk mendukung sintesis glutation sehingga level glutation di hipokampus dapat ditingkatkan. Senyawa yang memiliki potensi seperti ini ialah dipeptida alanil-glutamina (Berg et al. 2006). Dipeptida alanil-glutamina ialah bentuk lain dari glutamina yang diketahui sebagai penyedia prekursor glutation (Jun et al. 2006; Daren et al. 2007; Fernandes et al. 2010). Sebagai penyedia prekursor glutation, dipeptida alanil-glutamina mempunyai peran menyediakan glutamina dalam hipokampus. Glutamina dapat dikonversi menjadi asam glutamat dan bersama-sama dengan sisteina dan glisina digunakan untuk sintesis glutation (Dringen et al. 2000). Dipeptida alanil-glutamina bersifat stabil selama berada di dalam tubuh, lebih cepat mengalami hidrolisis, mampu melintasi sawar darah otak, dapat dimanfaatkan oleh neuron secara langsung, dan mampu meningkatkan level glutation di hipokampus (Berg et al. 2006). Pemberian dipeptida alanil-glutamina diharapkan dapat meningkatkan level glutation hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Dengan demikian, dipeptida alanil-glutamina dapat digunakan untuk memperlambat penuaan dan mencegah terjadinya penyakit neurodegeneratif. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan profil glutation hipokampus untuk penentuan status fungsi hipokampus dan mendapatkan konsentrasi optimum
32
dipeptida alanil-glutamina yang dapat meningkatkan level glutation hipokampus, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di kandang Hewan Percobaan dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Juni-Desember 2010. Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: pakan pelet komersial, garam fisiologis (NaCl 0,9%), akuades, dipeptida alanil-glutamina, natrium karbonat, kalium sianida, glutation standar, asam metafosfat, dan NaCl. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kandang tikus dan perlengkapannya, jarum suntik, spuit injeksi, satu set alat bedah, gelas ukur, botol stok larutan uji, wadah untuk sampel organ, tabung reaksi, rak tabung reaksi, lemari es, freezer, sentrifus, vorteks, penangas air, timbangan digital, timbangan analitik, dan spektrofotometer. Penelitian dibagi menjadi penelitian pendahuluan dan lanjutan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial. Penelitian pendahuluan terdiri atas 2 faktor dengan ukuran 4x2 dan 4x ulangan, sedangkan penelitian lanjutan terdiri atas 3 faktor dengan ukuran 2x2x4 dan 3x ulangan. Faktor pertama ialah umur tikus yang terdiri atas 4 level, yaitu 6, 12, 18, dan 24 bulan (penelitian pendahuluan) dan 2 level, yaitu 12 dan 24 bulan (penelitian lanjutan). Faktor kedua ialah stres oksidatif yang terdiri atas 2 level, yaitu tanpa atau dengan stres oksidatif (penelitian pendahuluan dan lanjutan). Faktor ketiga ialah pemberian dipeptida alanil-glutamina yang terdiri atas 4 konsentrasi, yaitu 0%, 3%, 5%, dan 7% dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia (hanya untuk penelitian lanjutan). Penelitian diawali dengan aklimasi tikus jantan strain Sprague dawley selama satu minggu. Selama aklimasi, tikus percobaan diberi pakan pelet komersial dan air minum secara ad libitum. Pembuatan hewan model penuaan fisiologis dilakukan dengan cara tanpa memperlakukan tikus dengan perlakuan stres oksidatif. Adapun pembuatan hewan model penuaan akibat stres oksidatif dilakukan dengan cara tidak memberi pakan pada tikus selama 7 hari, tikus hanya diberi air minum secara ad libitum, dan setiap hari tikus diberi perlakuan aktivitas berenang dalam air di ember tertutup selama 15 menit. Dipeptida alanil-glutamina diberikan secara intravena
33
selama 12 hari dengan cara menyuntikkan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina pada vena ekor setelah tikus diberi perlakuan tanpa atau dengan stres oksidatif. Stok larutan dipersiapkan setiap hari, disimpan pada suhu 4ºC dalam lemari es. Di akhir perlakuan, tikus-tikus dikorbankan dan dilanjutkan dengan pengambilan hipokampus. Untuk mendapatkan level glutation hipokampus dilakukan penentuan level glutation dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Prosedur preparasi dan penentuan level glutation hipokampus mengacu pada metode yang telah dilakukan oleh Feoli et al. (2010). Level glutation hipokampus pada penelitian pendahuluan dan lanjutan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam pada taraf 5% dengan menggunakan software The SAS System versi 9. Level glutation hipokampus pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif mempunyai keterkaitan dengan status fungsi hipokampus. Konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina ditentukan berdasarkan peningkatan level glutation terbaik di hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan level glutation hipokampus pada penelitian pendahuluan disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa umur dan stres oksidatif terkait interaksinya berpengaruh signifikan pada penurunan level glutation hipokampus (P<0.05). Pengamatan level glutation hipokampus oleh pengaruh umur diperoleh bukti bahwa tikus umur 12 bulan mempunyai level glutation tertinggi, yaitu 0.0100 mg/mg atau mengalami peningkatan 34.56% dibanding tikus umur 6 bulan. Adapun tikus umur 24 bulan mempunyai level glutation terendah, yaitu 0.0052 mg/mg jaringan atau mengalami penurunan 30.74% dibanding tikus umur 6 bulan, dan 48.56% dibanding tikus umur 12 bulan. Penurunan secara signifikan level glutation hipokampus juga terjadi pada tikus yang mengalami stres oksidatif (P<0.05). Tikus dengan stres oksidatif menghasilkan level glutation hipokampus 0.0008 mg/mg jaringan atau mengalami penurunan 94.42% dibanding tikus normal. Penurunan level glutation hipokampus pada tikus umur tua atau tikus dengan stres oksidatif menandakan bahwa peningkatan umur atau stres oksidatif mempengaruhi perubahan morfologi dan biokimiawi di hipokampus yang memicu penurunan level glutation.
34
Tabel 1 Rataan level glutation hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif.
6 12 Umur (bulan)
18 24 Faktor utama dan interaksi
Level stres oksidatif TS S TS S TS S TS S U S U-S
Level glutation hipokampus (mg/mg bobot basah jaringan) 0.01420 ± 0.0071 0.00073 ± 0.0008 0.01911 ± 0.0020 0.00098 ± 0.0040 0.01149 ± 0.0030 0.00070 ± 0.0001 0.00971 ± 0.0020 0.00063 ± 0.0001 * * *
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. TS: tanpa stres oksidatif, S: stres oksidatif, U: umur. Tanda * (P<0.05): berpengaruh signifikan.
Peningkatan umur tikus, yaitu 12 bulan dari 6 bulan yang diikuti stres oksidatif menghasilkan level glutation tertinggi di hipokampus, yaitu 0.00098 mg/mg jaringan, meningkat sebesar 34.25%, lebih tinggi dibanding umur tikus lainnya namun lebih rendah dibanding kondisi normal. Bukti ini menggambarkan bahwa tikus umur 12 bulan memiliki kondisi fisiologis yang optimum dibanding umur tikus lainnya. Adapun peningkatan umur tikus, yaitu 24 bulan dari 6 bulan yang diikuti stres oksidatif menghasilkan level glutation hipokampus terendah, yaitu 0.00063 mg/mg jaringan, menurun sebesar 13.70% dengan tingkat penurunan lebih tinggi dibanding umur tikus lainnya (Gambar 7). 0.01911
Level glutation (mg/mg jaringan)
0.02000 0.01500
0.01420 0.01149 0.00971
0.01000 0.00500 0.00073
0.00098
0.00070
0.00063
0.00000 6
12 18 Level umur tikus (bulan)
24
Gambar 7 Level glutation hipokampus hasil interaksi antara level umur tikus (hitam) dan level stres oksidatif (abu-abu)
35
Dringen et al. (2000) melaporkan bahwa kondisi fisiologis yang optimum dapat mendukung laju sintesis antioksidan glutation di hipokampus. Sintesis glutation melibatkan glutation disulfida dalam sel neuron oleh reaksi yang dikatalisis oleh flavoenzim glutation reduktase. Sintesis glutation juga melibatkan prekursor glutation, seperti asam glutamat, sisteina, dan glisina melalui reaksi yang dikatalisis oleh glutamil-sisteina sintetase dan glutation sintetase. Bukti penelitian lain melaporkan tentang kisaran penurunan level glutation hipokampus yang merupakan indikator terjadinya stres metabolik dan gangguan keseimbangan antara kapasitas antioksidan dan oksidan di dalam otak. Penurunan level glutation pada kisaran 30%40% merupakan indikator stres metabolik dan gangguan keseimbangan antara kapasitas antioksidan dan oksidan (Dringen et al. 2000). Secara bebas, peningkatan umur atau stres oksidatif pada penelitian ini menghasilkan stres metabolik dan gangguan keseimbangan antara kapasitas antioksidan dan oksidan, namun dalam kondisi interaksi ditemukan level penurunan glutation yang lebih rendah. Hal ini berarti, tikus umur tua yang mengalami stres oksidatif masih memiliki sistem antioksidan glutation yang dapat bekerja secara efektif. Bukti ini diperkuat oleh hasil penelitian yang melaporkan bahwa sistem antioksidan glutation dapat bekerja efektif di sepanjang umur hewan. Efektivitas sistem ini bergantung pada jenis dan tingkat stres, ketersediaan prekursor glutation atau proses-proses lain yang terlibat dengan sistem ini (Dringen et al. 2000). Hasil pengamatan level glutation hipokampus pada penelitian lanjutan disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan data pada Tabel 2 terlihat bahwa umur dan stres oksidatif menurunkan level glutation hipokampus secara signifikan, dan ditemukan interaksi antara umur dengan stres oksidatif (P<0.05). Pada tikus umur 24 bulan terlihat bahwa level glutation hipokampus mengalami penurunan signifikan mencapai 26.34% dibanding tikus umur 12 bulan. Penurunan level glutation hipokampus juga terjadi pada tikus yang mengalami stres oksidatif dengan tingkat penurunan sebesar 7.05% dibanding tikus tanpa stres oksidatif. Hasil ini lebih rendah dibanding penurunan level glutation pada tikus dengan kondisi yang sama pada penelitian pendahuluan, yaitu 94.42%. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh jumlah level umur tikus, jumlah ulangan, variasi potensi fisiologis pada setiap umur tikus, maupun faktor-faktor lain yang tidak diketahui. Adapun peningkatan umur tikus,
36
yaitu 24 bulan dari 12 bulan yang diikuti stres oksidatif menghasilkan penurunan level glutation hipokampus sebesar 24.77%. Tabel 2 Rataan level glutation hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian dipeptida alanil-glutamina Stres oksidatif
Ala-Glu (%)
TS
0 3 5 7 0 3 5 7 0 3 5 7 0 3 5 7 U S A U-S A-U A-S A-U-S
12 S
Umur (bulan) TS
24 S
Faktor utama
Interaksi
Level lutation hipokampus (mg/mg bobot basah jaringan) 0.0105 ± 0.00016 0.0111 ± 0.00088 0.0112 ± 0.00084 0.0158 ± 0.00056 0.0088 ± 0.00065 0.0099 ± 0.00042 0.0108 ± 0.00032 0.0149 ± 0.00027 0.0065 ± 0.00039 0.0068 ± 0.00051 0.0076 ± 0.00020 0.0142 ± 0.00038 0.0058 ± 0.00045 0.0064 ± 0.00017 0.0074 ± 0.00027 0.0138 ± 0.00053 * * * * * * TN
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Ala-Glu: dipeptida alanil-glutamina, TS: tanpa stres oksidatif, S: stres oksidatif, A: dipeptida alanil-glutamina, U: umur. Tanda * (P<0.05): berpengaruh signifikan, TN: tidak signifikan.
Penurunan level glutation hipokampus pada tikus umur 24 bulan, tikus stres oksidatif, dan interaksinya menandakan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya berpengaruh pada perubahan-perubahan morfologi dan biokimiawi di hipokampus yang memicu penurunan level glutation. Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang mendukung pendapat tersebut. Balaban et al. (2005) melaporkan stres oksidatif dan peningkatan umur mempunyai dampak pada perubahan struktur, jumlah, dan penurunan efisiensi mitokondria. Sultana et al. (2006) melaporkan bahwa penurunan efisiensi mitokondria dapat menyebabkan
37
penurunan aktivitas enzim-enzim dalam siklus Krebs dan rantai transpor elektron. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan energi seluler dan gangguan metabolisme glutation di hipokampus (Speakman et al. 2004). Gangguan metabolisme glutation menyebabkan penurunan level glutation di hipokampus (Schulz et al. 2000). Pengamatan level glutation hipokampus oleh pengaruh dipeptida alanilglutamina memperlihatkan peningkatan hasil signifikan dan ditemukan interaksi antara dipeptida alanil-glutamina dengan umur atau stres oksidatif (P<0.05). Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina mampu meningkatkan level glutation hipokampus. Level glutation tertinggi terlihat pada pemberian dipeptida alanil-glutamina 7%, meningkat 85.76% dibanding kontrol dan lebih tinggi dibanding hasil konsentrasi lainnya. Bukti penelitian ini menunjukkan bahwa level glutation hipokampus sangat dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan prekursor glutation. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cruzat dan Tirapegui (2009) yang melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina sebagai prekursor glutation dapat meningkatkan konsentrasi glutamina intraseluler dan level glutation. Berg et al. (2006) melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina mampu melintasi sawar darah otak, dapat dimanfaatkan neuron, dan secara efektif dapat meningkatkan level glutation hipokampus. Dalam neuron hipokampus, dipeptida alanil-glutamina akan dihidrolisis oleh ektopeptidase neuron menjadi glutamina yang secara bertahap akan diambil sebagai prekursor untuk sintesis glutation (Dringen et al. 2000). 0.0154
Level glutation (mg/mg jaringan)
0.016 0.012
0.0097
0.0140
0.0110
0.0105
0.008
0.0062
0.0075
0.0066
0.004 0.000 12
24 Level umur tikus (bulan)
Gambar 8 Level glutation hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanilglutamina 0% (biru), 3% (hijau), 5% (biru muda), dan 7% (ungu) dengan level umur tikus.
38
Pengamatan lebih lanjut menunjukkan bukti bahwa tikus umur 12 bulan dan 24 bulan mengalami peningkatan signifikan level glutation hipokampus setelah diberi dipeptida alanil-glutamina (P<0.05). Level glutation tertinggi terlihat pada tikus umur 12 bulan setelah diberi dipeptida alanil-glutamina 7%, meningkat 58.76% dibanding kontrol, sedangkan tikus umur 24 bulan memiliki peningkatan level glutation lebih tinggi, yaitu 125.81% (Gambar 8). Perbedaan level glutation pada tikus umur 12 bulan dan 24 bulan setelah diberi dipeptida alanil-glutamina menunjukkan adanya interaksi antara kedua faktor tersebut. Hasil penelitian ini memberi bukti bahwa tikus umur tua yang mengalami penurunan fungsi hipokampus masih mampu memberi respons pada dipeptida alanilglutamina yang diberikan. Kemampuan dalam merespons dipeptida alanil-glutamina eksogen diduga berkaitan dengan upaya sel-sel neuron hipokampus dalam mempertahankan homeostasis glutation atau mengembalikan fungsi sistem antioksidan glutation dalam rangka memperlambat terjadinya penurunan fungsi hipokampus. Mekanisme ini melibatkan ketersediaan dipeptida alanil-glutamina dalam jumlah banyak yang digunakan untuk mendukung laju sintesis glutation di hipokampus. Dringen et al. (2000) dan Shulz et al. (2000) melaporkan bahwa hipokampus otak memiliki mekanisme untuk mengembalikan fungsi sistem antioksidan sebagai upaya untuk memperlambat proses penuaan. Salah satu sistem antioksidan yang dapat kembali bekerja secara efektif ialah sistem antioksidan glutation. Namun, efektivitas antioksidan ini sangat bergantung pada tingkat ketersediaan prekursor glutation di dalam otak melalui pemberian prekursor glutation, jumlah dan aktivitas enzim yang terlibat dalam sintesis glutation, dan penurunan tingkat gangguan intraseluler. Secara umum, hasil penelitian memberi gambaran bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina dapat meningkatkan level glutation dan memperbaiki fungsi hipokampus. Meningkatnya level glutation hipokampus mempunyai keterkaitan dengan meningkatnya harapan hidup (Dringen et al. 2000). Dengan demikian, pemberian dipeptida alanil-glutamina efektif dapat memperlambat penuaan hipokampus yang berkaitan dengan penuaan fisiologis. Pada penelitian ini juga diamati level glutation hipokampus pada tikus tanpa atau dengan stres oksidatif setelah diberi dipeptida alanil-glutamina. Diperoleh bukti
39
bahwa dipeptida alanil-glutamina dapat meningkatkan level glutation secara signifikan, baik pada tikus stres oksidatif atau tanpa stres oksidatif (P<0.05). Tikus tanpa stres oksidatif memiliki level glutation hipokampus lebih tinggi dibanding tikus dengan stres oksidatif setelah diberi dipeptida alanil-glutamina, namun memiliki peningkatan level yang lebih rendah. Level glutation tertinggi terdapat pada tikus tanpa stres oksidatif setelah diberi dipeptida alanil-glutamina 7%, meningkat 76.47% dibanding kontrol, sedangkan tikus dengan stres oksidatif memiliki
Level glutation (mg/mg jaringan)
peningkatan level glutation sebesar 97.26% (Gambar 9). 0.0150
0.0160 0.0120 0.0085
0.0144
0.0094
0.0090
0.0073
0.0080
0.0091
0.0082
0.0040 0.0000 TS
S Level stres oksidatif
Gambar 9 Level glutation hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanilglutamina 0% (biru), 3% (hijau), 5% (biru muda), dan 7% (ungu) dengan level stres oksidatif.
Hasil penelitian ini memberi bukti bahwa meningkatnya stres metabolik pada hipokampus akan diikuti oleh kemampuan sel-sel neuron hipokampus untuk mengembalikan fungsi sistem antioksidan glutation. Mekanisme ini melibatkan ketersediaan prekursor glutation dalam jumlah yang banyak untuk mendukung laju sintesis glutation di hipokampus. Andreasen et al. (2009) dan Schade et al. (2009) melaporkan bahwa tingkat ketersediaan prekursor glutation yang optimum yang didukung oleh jumlah dan aktivitas enzim alanil-glutamina sintetase atau glutation sintetase dapat meningkatkan laju sintesis glutation dan level glutation di hipokampus (Dringen et al. 2000; Schulz et al. 2000). Berdasarkan hal tersebut, pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% sangat berperan dalam menyediakan prekursor glutation di hipokampus dalam mendukung peningkatan laju sintesis
40
glutation dan level glutation pada tikus stres oksidatif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina dan berbagai sistem yang mendukung kapasitas antioksidan glutation dapat memelihara homeostasis dan meningkatkan level glutation pada berbagai jaringan tubuh yang mengalami stres metabolik akibat stres oksidatif (Roth et al. 2002; Balaban et al. 2006; Jun et al. 2006). Dengan demikian, pemberian dipeptida alanil-glutamina secara efektif dapat meningkatkan level glutation di hipokampus dan dapat memperantarai perlambatan penuaan hipokampus yang berkaitan dengan stres oksidatif. Sistem antioksidan glutation mempunyai mekanisme kerja sangat efisien dalam menghambat, mencegah, dan memutus produksi radikal bebas atau rantai reaksi radikal bebas. Antioksidan ini mempunyai peran penting dalam pemeliharaan kapasitas ambang antara level antioksidan dan oksidan di dalam jaringan, baik akibat peningkatan umur atau stres oksidatif. Pemeliharaan ini melibatkan peran antioksidan katalase, superoksida dismutase, dan tingkat ketersediaan prekursor yang menopang level glutation di dalam jaringan (Dringen et al. 2000; Schulz et al. 2000). Semakin tinggi tingkat ketersediaan prekursor glutation maka level glutation akan semakin meningkat. Kondisi ini berpengaruh pada penurunan radikal bebas dan kerusakan oksidatif pada komponen biologis membran sel. Penurunan radikal bebas mempunyai korelasi dengan peningkatan integritas membran, jumlah dan stabilitas molekul reseptor membran, protein-protein yang berinteraksi dengan reseptor, pemeliharaan proses-proses seluler yang berhubungan dengan integritas sitoskelet, ekspresi gen, maupun aktivitas enzim yang terlibat dalam proses-proses di sitosol maupun proses respirasi seluler (Bjork et al. 2006; Cruzat dan Tirapegui 2009). Dalam kondisi optimal, siklus pembentukan glutation dan penurunan radikal bebas berjalan sangat efisien dengan melibatkan enzim alanil-glutamina sintetase, glutation sintetase, akseptor gugus glutamil, glutation-S-transferase, glutation peroksidase, glutation reduktase, dan kofaktor NADPH (Dringen et al. 2000; Schulz et al. 2000). Secara keseluruhan, hasil penelitian ini memberi bukti bahwa dipeptida alanil-glutamina secara efektif dapat meningkatkan level glutation hipokampus, baik pada tikus umur 12 bulan atau 24 bulan, pada tikus normal atau stres oksidatif. Level glutation yang meningkat setelah diberi dipeptida alanil-glutamina menunjukkan bahwa sistem antioksidan glutation pada hipokampus masih dapat bekerja secara
41
efektif, baik pada tikus umur tua atau stres oksidatif. Pemberian dipeptida alanilglutamina 7% memberi hasil tertinggi pada level glutation di hipokampus, lebih tinggi dibanding konsentrasi lainnya. Hal ini berarti, pemberian dipeptida alanilglutamina 7% memberi hasil terbaik pada perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus, baik pada penuaan fisiologis maupun penuaan akibat stres oksidatif. SIMPULAN Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif memberi penurunan level glutation hipokampus. Status fungsi hipokampus tertinggi dan terendah hasil penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif terdapat pada tikus umur 12 bulan dan 24 bulan mengacu pada level glutation tertinggi di hipokampus. Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi hasil terbaik pada level glutation hipokampus yang dapat memperantarai perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus tikus, baik penuaan fisiologis maupun penuaan akibat stres oksidatif. DAFTAR PUSTAKA Andreasen AS, Pedersen ST, Mortensen OH, van Hall G, Moseley PL, Pedersen BK. 2009. The effect of glutamine infusion on the inflammatory response and HSP70 during human experimental endotoxaemia. Critic Care 13(10):1186-7696. Balaban RS, Nemoto S, Finkel T. 2005. Mitochondria, oxidants, and aging. Cell 120: 483-495. Berg A, Rooyakcers O, Norberg A, Wernerman J. 2006. Elimination kinetics of Lalanyl-L-glutamine in ICU patients. Biomed Life Sci 29(3):221-228. Bjork K, Saarikoski ST, Arlinde C, Kovanen L, Osei-Hyiaman D, Ubaldi M, Reimers M, Hyytia P, Heilig M, Sommer WH. 2006. Glutathione-S-transferase expression in the brain: possible role in ethanol preference and longevity. J Fas 4:1826-1835 Cruzat VF, Tirapegui JO. 2009. Effects of oral supplementation with glutamine and alanyl-glutamine on glutamine, glutamate, and glutathione status in trained rats and subjected to long-duration exercise. Nutrition 25:428-435. Daren KH, Dhaliwalm R, Andrew DRD, Drover J, Cote H, Wischmeyer P. 2007. Optimizing the dose of glutamine dipeptides and antioxidants in critically ill patients: a phase I dose-finding study. J Parent Ent Nut 31(2):109-118.
42
Dringen R, Gutterer JM, Hirrlinger J. 2000. Glutathione metabolism in brain metabolic interaction between astrocytes and neurons in the defense against reactive oxygen species. Eur J Biochem 267:4912-4916. Feoli AM, Siqueira IR, Almeida L, Tramontina AC, Vanzella C, Sbaraini S, Schweigert ID, Netto CA, Perry ML. 2010. Effects of protein malnutrition on oxidative status in rat brain. Nutrition 22:160-165. Fernandes V, Rogero MM, Tirapegui J. 2010. Effects of supplementation with free glutamine and the peptide alanyl-glutamine on parameters of muscle damage and inflammation in rats submitted to prolonged exercise. Cell Biochem Funct 28:24-30. Jun C, Dai CL, Zhang X, Cui K, Xu F, Xu YQ. 2006. Alanyl-glutamine dipeptide inhibits hepatic ischemia-reperfusion injury in rats. Word J Gastroent 12(9): 1373-1378. Liu J, Wanga A, Li L, Huang Y, Xue P, Hao A. 2010. Oxidative stress mediates hippocampal neuron death in rats after lithium–pilocarpine-induced status epilepticus. Seizure 19:165-172 Miller DB, O'Callaghan JP. 2005. Aging, stress and the hippocampus. Ageing Res Rev 4 (2):123-40. Pamplona R, Portero-Otin M, Sanz A, Requena J, Barja G. 2004. Modification of the longevity-related degree of fatty acid unsaturation modulates oxidative damage to proteins and mitochondrial DNA in liver and brain. Exp Gerontol 39:725-733. Ricklefs RE. 2008. The evolutionary ecology of senescence: the evolution of senescence from a comparative perspective. Funct Ecol 22:379-392. Roth E, Oehler R, Manhart N, Exner R, Wessner B, Strasser E, Spittler A. 2002. Regulative potential of glutamine relation to glutathione metabolism Nutrition 18(3):217-221. Schade RSM, Grundling M, Pavlovic D, Starke K, Wendt M, Retter S, Murphy M, Suchner U, Spassov A, Gedrange T, Lehmann CH. 2009. Glutamine and alanylglutamine dipeptide reduce mesenteric plasma extravasation, leukocyte adhesion and tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) release during experimental endotoxemia. J Physiol Pharmacol 60(8):19-24. Schulz JB, Lindenau J, Seyfried J, Dichgans J. 2000. Glutathione, oxidative stress, and neurodegeneration. Eur J Biochem 267:4904-4911. Speakman JR, Talbot DA, Selman C, Snart S, McLaren JS, Redman P, Krol E, Jackson DM, Johnson MS, Brand MD. 2004. Uncoupled and surviving: individual mice with high metabolism have greater mitochondrial uncoupling and live longer. Aging Cell 3:87-94.
43
Sultana R, Perluigi M, Butterfield DA. 2006. Protein oxidation and lipid peroxidation in brain of subjects with Alzheimer's disease: insights into mechanism of neurodegeneration from redox proteomics. Antioxid Redox Signal 8:2021-2037. Zeevalk GD, Bernard LP, Guilford FT. 2010. Liposomal glutathione provides maintenance of intracellular glutathione and neuroprotection in mesencephalic neuronal cells. Neurochem Res DOI 10.1007/s11064-010-0217-0. Zhu JH, Zhang X, Mcclung JP, Lei XG. 2006. Impact of Cu,Zn-superoxide dismutase and Se-dependent glutathione peroxidase-1 knockouts on acetaminophen-induced cell death and related signaling in murine liver. Exp Biol Med 231:1726-1732.
44
45
PROFIL DIPEPTIDA ALANIL-GLUTAMINA PLASMA DAN HIPOKAMPUS TIKUS PADA PENUAAN FISIOLOGIS DAN PENUAAN AKIBAT STRES OKSIDATIF DENGAN PEMBERIAN DIPEPTIDA ALANIL-GLUTAMINA EKSOGEN Sunarno1, Wasmen Manalu2, Nastiti Kusumorini2, Dewi Ratih Agungpriyono3 1
Program Doktor Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 2 Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 3 Mayor Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah Pascasarjana, IPB
ABSTRAK Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif ditandai dengan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus di bawah ambang batas normal. Kondisi ini berdampak pada penurunan ketersediaan glutamina intraseluler dan level glutation hipokampus. Salah satu cara untuk meningkatkan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus, serta level glutation hipokampus adalah melalui pemberian dipeptida alanilglutamina eksogen. Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan gambaran konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus dan hubungannya dengan level glutation hipokampus setelah pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina eksogen, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Tikus-tikus percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan ukuran 2x2x2. Faktor pertama adalah umur tikus percobaan yang terdiri atas 2 level, yaitu 12 dan 24 bulan. Faktor kedua adalah stres oksidatif yang terdiri atas 2 level, yaitu tanpa atau dengan stres oksidatif. Faktor ketiga adalah pemberian dipeptida alanilglutamina yang terdiri atas 2 konsentrasi, yaitu 0% dan 7%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% secara efektif memberi peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus, baik pada tikus muda (52.66% dan 39.10%) atau tua (32.90% dan 52.91%), tikus normal (46.46% dan 47.71%) atau stres oksidatif (39.69% dan 42.31%). Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus serta peningkatan level glutation hipokampus. Peningkatan level glutation hipokampus menunjukkan perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Kata kunci: dipeptida alanil-glutamina, glutation, penuaan fisiologis, penuaan akibat stres oksidatif, fungsi hipokampus ABSTRACT Physiological aging or aging due to oxidative stress decreases alanineglutamine dipeptide concentrations in the plasma and in the hippocampus. These conditions cause the decreased avaibility of glutamine in the cell and glutathione levels in the hippocampus. One way to increase the concentration of alanineglutamine dipeptide in the plasma and in the hippocampus, as well as increase in
46
the levels of glutathione in the hippocampus, is through the administration of alanine-glutamine dipeptide exogenously. This study was designed to obtain the concentration profile of alanine-glutamine dipeptide in plasma and hippocampus and their relation to hippocampal glutathione levels after the optimum concentrations of alanine-glutamine dipeptide supplementation in aged or oxidative-stressed rats. The experimental rats were assigned into a completely randomized design with 2x2x2 factorial arrangement and three replications. The first factor was the age of the experimental rats, consisted of two levels i.e., 12 and 24 months. The second factor was oxidative stress consisted of two levels, i.e., without or with oxidative stress. The third factor was the concentration of alanine-glutamine dipeptide administration consisted of 2 concentrations, i.e. 0% and 7%. The results showed that administration of 7% alanine-glutamine dipeptide effectively increased concentrations of alanine-glutamine dipeptide in the plasma and in the hippocampus of young (52.66% and 39.10%) or aged (32.90% and 52.91%) rats, in normal (46.46% and 47.71%) or in oxidative-stress (39.69% and 42.31%) rats. This research concluded that administration of 7% alanine-glutamine dipeptide increased the concentrations of alanine-glutamine dipeptide in the plasma or in the hippocampus and increased the levels of glutathione in the hippocampus. The increased levels of glutathione in the hippocampus improved functions of the aging hippocampus, both in physiological aging or aging due to oxidative stress. Key words: alanine-glutamine dipeptide, glutathione, physiological aging, oxidative-stress aging, hippocampal functions
PENDAHULUAN Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif merupakan dua faktor utama penyebab penurunan fungsi hipokampus. Penurunan fungsi hipokampus ditandai dengan penurunan viabilitas neuron, peningkatan mortalitas neuron, berkurangnya panjang akson neuron, penurunan kemampuan belajar dan mengingat, penurunan aktivitas motorik, serta kerusakan struktur mitokondria neuron hipokampus. Salah satu penyebab penurunan beberapa indikator fungsi hipokampus tersebut adalah penurunan level glutation. Penurunan level glutation hipokampus dipicu oleh penurunan konsentrasi glutamina atau dipeptida alanilglutamina dalam hipokampus dan plasma darah (Anonim 2001; Rosenzweig dan Barnes 2003; Miller dan O'Callaghan 2005; Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011). Penuaan pasti akan terjadi, namun dapat diupayakan untuk diperlambat. Salah satu cara penanganan penuaan adalah meningkatkan ketersediaan glutamina atau dipeptida alanil-glutamina plasma, hipokampus, dan glutation hipokampus di
47
atas ambang batas normal. Ketersediaan glutamina atau dipeptida alanil-glutamina plasma, hipokampus, dan level glutation hipokampus berguna untuk mendukung integritas dan fungsi neuron yang berdampak pada perbaikan fungsi hipokampus (Wang et al. 2007; Roth 2008). Salah satu cara kerja bahan antipenuaan adalah menyediakan asam amino yang dapat digunakan untuk meningkatkan glutamina atau dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus. Peningkatan kedua senyawa ini dapat memberi peningkatan level glutation hipokampus sehingga penurunan beberapa indikator fungsi hipokampus dapat diperbaiki. Senyawa yang memiliki potensi seperti ini ialah dipeptida alanil-glutamina (Berg et al. 2006). Dipeptida alanil-glutamina ialah bentuk lain dari glutamina yang diketahui sebagai penyedia glutamina intraseluler yang digunakan untuk mendukung sintesis glutation di dalam tubuh (Jun et al. 2006; Daren et al. 2007; Fernandes et al. 2010). Sebagai prekursor glutation, dipeptida alanil-glutamina mempunyai peran menyediakan glutamina dalam hipokampus. Glutamina dapat dikonversi menjadi asam glutamat dan bersama-sama dengan sisteina dan glisina digunakan untuk sintesis glutation (Dringen et al. 2000). Dipeptida alanil-glutamina mempunyai sifat stabil selama mengalami proses di dalam tubuh, lebih cepat mengalami proses hidrolisis, mampu melintasi sawar darah otak, dan dapat menyediakan kebutuhan glutamina yang digunakan untuk meningkatkan sintesis glutation dalam neuron. Selain itu, dipeptida alanil-glutamina juga berpengaruh pada peningkatan viabilitas neuron, penurunan mortalitas neuron, peningkatan panjang akson, perbaikan kemampuan belajar dan mengingat, aktivitas motorik, penurunan protein amiloid, dan perbaikan kerusakan struktur mitokondria (Anonim 2001; Rosenzweig dan Barnes 2003; Miller dan O'Callaghan 2005; Berg et al. 2006; Reddy 2009; Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011). Pemberian
dipeptida
alanil-glutamina
diharapkan
dapat
memberi
peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus, serta peningkatan level glutation hipokampus, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Dengan demikian, dipeptida alanilglutamina dapat digunakan untuk memperbaiki beberapa indikator yang berkaitan dengan penurunan fungsi hipokampus, dapat memperlambat penuaan, dan mencegah terjadinya penyakit neurodegeneratif.
48
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus, dan korelasinya dengan level glutation hipokampus hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di kandang Hewan Percobaan dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Juni-Desember 2010. Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: pakan pelet komersial, garam fisiologis (NaCl 0,9%), akuades, dipeptida alanil-glutamina, larutan Krebs, dan asam perklorat. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kandang tikus dan perlengkapannya, jarum suntik, spuit injeksi, satu set alat bedah, gelas ukur, botol stok larutan uji, botol sampel organ, lemari es, freezer, vorteks, timbangan digital, timbangan analitik, water bath, sentrifus, dan spektrofotometer. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial yang terdiri atas 3 faktor dengan ukuran 2x2x2. Faktor pertama ialah umur tikus yang terdiri atas 2 level, yaitu 12 dan 24 bulan. Faktor kedua ialah perlakuan tanpa atau dengan stres oksidatif. Faktor ketiga ialah pemberian dipeptida alanil-glutamina yang terdiri atas 2 konsentrasi, yaitu 0% dan 7%. Aklimasi hewan uji, pembuatan hewan model penuaan, dan metode pemberian dipeptida alanil-glutamina dilakukan sama seperti pada penelitian tahap pertama. Di akhir perlakuan, tikus-tikus dikorbankan dan dilanjutkan dengan pengambilan sampel plasma darah dan hipokampus. Penentuan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma darah dan hipokampus dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm sesuai prosedur yang telah dilakukan oleh Wang et al. (2010) dengan beberapa modifikasi. Hasil penentuan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif dianalisis dengan prosedur analisis varian pada taraf 5% dengan menggunakan software The SAS System versi 9. Peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus berbanding lurus dengan level
49
glutation hipokampus dan dapat memicu perbaikan beberapa indikator penuaan yang berkaitan dengan fungsi hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif dapat menyebabkan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dalam plasma dan hipokampus sampai di bawah ambang batas normal. Penurunan senyawa ini dalam plasma dan hipokampus merupakan indikator penurunan level glutation hipokampus. Dalam penelitian ini digunakan konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dengan harapan dapat meningkatkan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus dan meningkatkan level glutation hipokampus pada kedua kondisi penuaan. Hasil pengamatan dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus serta level glutation hipokampus disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan data pada Tabel 3 terlihat bahwa umur atau stres oksidatif menyebabkan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus dan ditemukan interaksi antara keduanya (P<0.05). Peningkatan umur tikus, yaitu umur 24 bulan dari 12 bulan menyebabkan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus sebesar 13.31% dan 14.48%. Demikian pula pengaruh stres oksidatif juga memberi hasil yang sama. Stres oksidatif pada tikus menyebabkan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus (P<0.05), berturut-turut 11.39% dan 11.48%, lebih rendah dibanding tikus normal. Adapun tikus umur 24 bulan yang mengalami stres oksidatif mempunyai penurunan konsentrasi dipeptida alanilglutamina plasma dan hipokampus sebesar 15.99% dan 10.48%, lebih tinggi dibanding tikus umur 12 bulan. Hal ini berarti konsentrasi dipeptida alanilglutamina yang terdapat dalam darah atau hipokampus mengalami penurunan sebagai akibat peningkatan umur dan stres oksidatif. Penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus diikuti penurunan level glutation. Sunarno et al. (2012) melaporkan bahwa peningkatan umur tikus 24 bulan atau stres oksidatif menyebabkan penurunan level glutation hipokampus sebesar 48.56% atau 94.42% dibanding umur tikus 12 bulan atau tikus normal. Adapun interaksi antara umur tikus 24 bulan dan stres oksidatif menghasilkan
50
penurunan level glutation hipokampus sebesar 35.71% dibanding tikus umur 12 bulan pada kondisi yang sama. Tabel 3 Rataan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina eksogen Stres Ala-Glu Ala-Glu plasma Ala-Glu oksidatif (%) (mmol/L) hipokampus (µmol/g bobot basah jaringan) TS 0 0.510 ± 0.036 5.510 ± 0.050 12 7 0.780 ± 0.053 7.833 ± 0.076 S 0 0.465 ± 0.021 4.817 ± 0.076 Umur 7 0.710 ± 0.036 6.533 ± 0.104 (bulan) TS 0 0.480 ± 0.020 4.300 ± 0.100 24 7 0.670 ± 0.026 6.657 ± 0.140 S 0 0.437 ± 0.035 4.060 ± 0.053 7 0.550 ± 0.050 6.100 ± 0.020 U * * Faktor utama S * * A * * U-S * * Interaksi A-U * * A-S * * A-U-S TN TN Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Ala-Glu: dipeptida alanil-glutamina, TS: tanpa stres oksidatif, S: stres oksidatif, A: dipeptida alanil-glutamina, U: umur. Tanda * (P<0.05): berpengaruh signifikan, TN: tidak signifikan.
Hasil penelitian ini memberi bukti bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya memberi pengaruh pada mobilisasi dipeptida alanilglutamina dari tempat-tempat penyimpanan di dalam tubuh ke dalam sistem sirkulasi darah. Sebagian besar dipeptida alanil-glutamina dari sistem sirkulasi darah diduga ditranspor menuju ke hipokampus, karena bagian otak ini paling membutuhkan substrat glutamina. Kondisi ini berdampak pada penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dalam darah. Dalam hipokampus, dipeptida alanil-glutamina dikonversi secara bertahap menjadi glutamina dan asam glutamat. Asam amino ini selanjutnya digunakan untuk mendukung sintesis glutation di hipokampus. Tingkat kebutuhan glutamina yang tinggi menyebabkan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina di hipokampus. Glutation
51
sebagai sistem antioksidan mempunyai peran penting dalam pertahanan seluler pada radikal bebas akibat peningkatan umur, stres oksidatif, dan interaksi antara keduanya. Namun, adanya ketidakseimbangan antara kapasitas antioksidan dan oksidan menyebabkan laju perbaikan fungsi hipokampus lebih rendah dibanding laju kerusakan oksidatif. Selanjutnya, kondisi ini memberi dampak pada penurunan level glutation di hipokampus. Beberapa penelitian memberi bukti yang menguatkan pendapat ini. Jun et al. (2006) melaporkan bahwa stres metabolik dapat menyebabkan penurunan konsentrasi glutamina, baik yang bersirkulasi dalam darah maupun yang terdapat dalam jaringan. Penurunan ini telah diketahui sebagai bagian dari upaya penggunaan glutamina untuk melindungi jaringan tubuh dari kerusakan oksidatif sekaligus melakukan perbaikan morfologi maupun fungsi jaringan. Dipeptida alanil-glutamina sebagai bentuk lain glutamina juga mengalami hal yang sama. Lebih lanjut dilaporkan bahwa gangguan keseimbangan antara kapasitas antioksidan glutation dan laju kerusakan oksidatif menyebabkan perbaikan fungsi pada sel-sel yang mengalami penurunan fungsi (cell injury) tidak dapat optimal, tidak terkecuali sel-sel neuron di hipokampus (Schluz et al. 2000; Kulkarni et al. 2005; Jun et al. 2006; Lemberg dan Fernandez 2009). Hal ini akhirnya menyebabkan level glutation di hipokampus menjadi menurun. Pada penelitian ini diamati pula konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina dan interaksi antara dipeptida alanil-glutamina dengan umur atau stres oksidatif. Data pada Tabel 8 terlihat bahwa konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus mengalami peningkatan sebesar 43.23% dan 45.14% dibanding kontrol setelah diberi konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina (P<0.05). Peningkatan konsentrasi senyawa ini pada plasma dan hipokampus juga terlihat pada hasil interaksi antara konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dan tikus umur 24 bulan yang mencapai 32.90% dan 52.91% dibanding kontrol, sedangkan pada tikus umur 12 bulan masing-masing mengalami peningkatan sebesar 52.66% dan 39.10% (P<0.05) (Gambar 10 dan 11). Peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus akibat pengaruh konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina atau interaksi antara konsentrasi
52
optimum senyawa ini dan umur menginduksi peningkatan level glutation di
Dipeptida alanil-glutamina (mmol/L)
hipokampus.
0.745
0.760 0.570
0.725
0.630
0.610 0.488
0.459
0.495
0.451
0.380 0.190 0.000 12
24
Level umur tikus (bulan)
TS
S
Level stres oksidatif
Gambar 10 Konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif. Sunarno et al. (2012) melaporkan bahwa level glutation hipokampus akibat pengaruh konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina mengalami peningkatan 85.76% dibanding kontrol. Hasil dengan pola yang sama juga terjadi pada interaksi antara dipeptida alanil-glutamina dengan umur. Pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia menghasilkan peningkatan level glutation hipokampus sebesar 58.76% pada tikus umur 12 bulan, lebih tinggi dibanding kontrol, sedangkan tikus umur 24 bulan mengalami peningkatan 125.81%. Hasil penelitian ini memberi bukti adanya korelasi positif antara konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus dengan level glutation hipokampus setelah diberi konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina eksogen. Selain itu juga ditemukan bukti bahwa tingkat penurunan konsentrasi dipeptida alanilglutamina plasma dan hipokampus serta level glutation hipokampus di bawah kondisi normal dapat diperbaiki kembali ke kondisi normal bahkan dapat ditingkatkan setelah diberi konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina eksogen. Bukti ini menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina eksogen sangat diperlukan dalam penanganan penuaan yang
53
disebabkan oleh peningkatan umur (penuaan fisiologis). Hasil penelitian ini sesuai hasil penelitian Mates et al. (2002) yang melaporkan bahwa pemberian glutamina eksogen mempunyai peran penting dalam memelihara keseimbangan konsentrasi glutamina plasma dan otak serta meregulasi metabolisme oksidatif otak. Lebih lanjut dilaporkan bahwa glutamina tidak hanya penting sebagai sumber energi tetapi juga sebagai prekursor asam glutamat yang digunakan untuk meningkatkan
Dipeptida alanil-glutamina (µml/g bb jaringan)
sintesis glutation di hipokampus. 7.183
7.400 5.550
7.245
6.379
5.164 4.180
4.905
6.317 4.439
3.700 1.850 0.000 12
24
Level umur (bulan)
TS
S
Level stres oksidatif
Gambar 11 Konsentrasi dipeptida alanil-glutamina hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau stres oksidatif. Interaksi antara konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dengan stres oksidatif memberi hasil peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus (P<0.05). Tikus dengan stres oksidatif mengalami peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus sebesar 39.69% dan 42.31% setelah diberi konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina eksogen, lebih tinggi dibanding kontrol, namun masih lebih rendah dibanding tikus normal yang mengalami peningkatan 46.46% dan 47.71% (Gambar 10 dan 11). Peningkatan konsentrasi senyawa ini, baik pada plasma atau hipokampus, berbanding lurus dengan level glutation di hipokampus. Sunarno et al. (2012) melaporkan, tikus dengan stres oksidatif mengalami peningkatan level glutation hipokampus sebesar 97.26% setelah diberi konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina eksogen, lebih tinggi dibanding kontrol, sedangkan tikus normal
54
mengalami peningkatan 76.47%. Bukti ini semakin memperjelas bahwa konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus berbanding lurus dengan level glutation hipokampus. Perbedaan peningkatan konsentrasi senyawa ini pada tikus normal atau stres oksidatif setelah diberi konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina eksogen menunjukkan adanya interaksi antara kedua faktor tersebut. Peningkatan konsentrasi senyawa ini dalam plasma dan hipokampus juga melibatkan faktor eksogen dan endogen. Dalam arti, selain berasal dari dipeptida alanil-glutamina eksogen, senyawa ini juga dapat berasal dari hasil biosintesis di dalam tubuh. Bukti ini diperkuat oleh hasil penelitian yang melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina adalah bentuk lain glutamina yang merupakan asam amino non-esensial. Sifat non-esensial mempunyai arti bahwa senyawa ini dapat disintesis di dalam tubuh (Kulkarni et al. 2005). Lebih lanjut dilaporkan bahwa saluran pencernaan adalah organ utama yang berperan dalam pemrosesan nitrogen di dalam tubuh yang memberi kontribusi secara nyata pada suplai glutamina maupun dipeptida alanil-glutamina di dalam darah dan berbagai jaringan tubuh lainnya, termasuk hipokampus (Lemberg dan Fernandez 2009). Peningkatan konsentrasi senyawa ini dalam plasma dan hipokampus dapat mendukung proses penggabungan beberapa asam amino menjadi protein. Secara klinis perbaikan konsentrasi glutamina, baik dalam darah atau jaringan dapat memperbaiki keseimbangan nitrogen, sintesis protein, dan morfologi jaringan, termasuk sintesis glutation di hipokampus. Demikian pula perbaikan level glutation pada jaringan tubuh, termasuk hipokampus secara umum digunakan untuk pemeliharaan integritas sistem imun, integritas seluler jaringan, dan kesehatan normal jaringan (Kulkarni et al. 2005; Lemberg dan Fernandez 2009). SIMPULAN Pemberian
dipeptida
alanil-glutamina
7%
memberi
peningkatan
konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus serta peningkatan level glutation hipokampus. Peningkatan level glutation hipokampus dapat memperantarai perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus tikus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif.
55
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Benefits ot the amino acid L-glutamine. Sci Mind 28:04-15. Berg A, Rooyakcers O, Norberg A, Wernerman J. 2006. Elimination kinetics of L-alanyl-L-glutamine in ICU patients. Biomed Life Sci 29(3):221-228. Daren KH, Dhaliwalm R, Andrew Day RD, Drover J, Cote H, Wischmeyer P. 2007. Optimizing the dose of glutamine dipeptides and antioxidants in critically ill patients: a phase I dose-finding study. J Parent Ent Nut 31(2):109-118. Dringen R, Gutterer JM, Hirrlinger J. 2000. Glutathione metabolism in brain metabolic interaction between astrocytes and neurons in the defense against reactive oxygen species. Eur J Biochem 267:4912-4916. Fernandes V, Rogero MM, Tirapegui J. 2010. Effects of supplementation with free glutamine and the peptide alanyl-glutamine on parameters of muscle damage and inflammation in rats submitted to prolonged exercise. Cell Biochem Funct 28:24-30. Ito HT, Schuman EM. 2011. Functional division of hippocampal area CA1 via modulatory gating of entorhinal cortical inputs. Hippocampus 9:1-15. Jun C, Dai CL, Zhang X, Cui K, Xu F, Xu YQ. 2006. Alanyl-glutamine dipeptide inhibits hepatic ischemia-reperfusion injury in rats. Word J Gastroenterol 12 (9):1373-1378. Kulkarni C, Kulkarni KS, Hamsa BR. 2005. L-Glutamic acid and glutamine: exciting molecules of clinical interest. Indian J Pharmacol 37(3):148-154. Mates JM, Gomez CP, de Casto IN, Asenjo M, Marquez J. 2002. Glutamine and its relationship with intracellular redox status, oxidative stress and cell proliferation/death. J. Biochem Cell Biol 34(5):439-458. Miller DB, O'Callaghan JP. 2005. Aging, stress and the hippocampus. Ageing Res Rev 4(2):123-40. Reddy PH. 2009. Amyloid beta, mitochondrial structural, and functional dynamics in Alzheimer's disease. Exp Neurol 218:286–292. Rosenzweig ES, Barnes CA. 2003. Impact of aging on hippocampal function: plasticity, network dynamics, and cognition. Prog Neurobiol 69:143. Roth R. 2008. Non nutritive effects of glutamine. J Nutr 138:2025S-2031S. Schulz JB, Lindenau J, Seyfried J, Dichgans J. 2000. Glutathione, oxidative stress, and neurodegeneration. Eur J Biochem 267:4904-4911.
56
Sunarno, Manalu W, Kusumorini N, Agungpriyono DR. 2012. Peran alaninglutamin dipeptida dalam mengoptimlakan level glutation di hipokampus dan hubungannya dengan status fungsi hipokampus pada penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif. Sains Med 4(1):157-165. Wang H, Jia G, Huang L, Wu C, Wang K. 2010. Study on the absorption and transport of different glutamine dipeptides in small intestine of weaned piglets. J Anim Plant Sci 7(1):751-759. Wang L, Maher TJ, Wurtman, Richard J. 2007. Oral L-glutamine increases GABA level in striatal tissue and extracelluler fluid. Fas J 21:1227-1232. Xavier GF, Costa VCI. 2009. Dentate gyrus and spatial behaviour. Neurosci 33: 768–769.
57
PERBAIKAN HISTO-MORFOLOGI DAN MITOKONDRIA NEURON HIPOKAMPUS TIKUS PADA PENUAAN FISIOLOGIS DAN PENUAAN AKIBAT STRES OKSIDATIF DENGAN PEMBERIAN DIPEPTIDA ALANIL-GLUTAMINA Sunarno1, Wasmen Manalu2, Nastiti Kusumorini2, Dewi Ratih Agungpriyono3 1
Program Doktor Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 2 Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 3 Mayor Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah Pascasarjana, IPB
ABSTRAK Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif menyebabkan penurunan level glutation yang berdampak pada gangguan histo-morfologi dan struktur mitokondria di hipokampus. Gangguan histo-morfologi dan struktur mitokondria di hipokampus ditandai dengan penurunan viabilitas, peningkatan mortalitas, pemendekan akson, dan perubahan struktur mitokondria. Salah satu cara untuk memperbaiki gangguan histo-morfologi dan struktur mitokondria di hipokampus adalah meningkatkan level glutation melalui peningkatan konsentrasi senyawa penyedia prekursor glutation. Salah satu senyawa penyedia prekursor glutation adalah dipeptida alanil-glutamina. Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan gambaran perbaikan histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus dengan pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Tikus-tikus percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan ukuran 2x2x2 dan 3x ulangan. Faktor pertama adalah umur tikus yang terdiri atas 2 level, yaitu 12 dan 24 bulan. Faktor kedua adalah stres oksidatif yang terdiri atas 2 level, yaitu tanpa atau dengan stres oksidatif. Faktor ketiga adalah pemberian dipeptida alanil-glutamina yang terdiri atas 2 konsentrasi, yaitu 0% dan 7%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi perbaikan viabilitas, mortalitas, dan panjang akson neuron hipokampus, baik pada tikus muda (4.11%, 37.07%, 12.58%) atau tua (6.91%, 37.85%, dan 32.84%), tikus normal (3.25%, 29.21%, dan 21.04%) atau stres oksidatif (7.80%, 43.01%, dan 25.56%), demikian pula memberi perbaikan profil mitokondria neuron hipokampus yang ditandai dengan peningkatan profil mitokondria normal dan penurunan mitokondria dengan kerusakan total, baik pada tikus umur tua normal (90% dan 0%) atau stres oksidatif (46.67% dan 16.67%). Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% mampu meningkatkan level glutation yang memperantarai perbaikan histo-morfologi dan struktur mitokondria pada penuaan hipokampus, baik penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Kata kunci: dipeptida alanil-glutamina, viabilitas neuron, mortalitas neuron, akson neuron, mitokondria, glutation, penuaan fisiologis, penuaan akibat stres oksidatif, fungsi hipokampus
58
ABSTRACT Physiological aging or aging due to oxidative stress decreases glutathione levels in the hippocampus which has impact on the hippocampal neurons histomorphology and mitochondrial structures. These disorders are characterized by the decreased viability, increased mortality, the shortening of the axons, and changes in mitochondrial structure of hippocampal neurons. One way to improve histo-morphology and mitochondrial stucture of hippocampal neurons is to increase glutathione levels by increasing the concentrations of glutathione precursors. One of glutathione precursors is alanine-glutamine dipeptide. This research was designed to study the responses of hippocampal neurons as indicated by histo-morphology and mitochondrial structure after the the supplementation of optimum concentrations of alanine-glutamine dipeptide in aged or oxidativestressed rats. The experimental rats were assigned into a completely randomized design with 2x2x2 factorial arrangement and three replications. The first factor was the age of the experimental rats, consisted of two levels i.e., 12 and 24 months. The second factor was oxidative stress consisted of two levels, i.e., without or with oxidative stress. The third factor was alanine-glutamine dipeptide administration consisted of 2 concentrations, i.e. 0% and 7%. The results showed that administration of 7% alanine-glutamine dipeptide improved viability, mortality, and the length of neuronal axons in young (4.11%, 37.07%, and 12.58%) or aged (6.91%, 37.85%, and 32.84%) rats, in normal (3.25%, 29.21%, and 21.04%) or in oxidative-stress (7.80%, 43.01%, and 25.56%) rats. The structures of neuronal mitochondria were also improved as were indicated by the increased number of normal mitochondria and the decreased number of totally damaged mitochondria in normal (90% and 0%) or in oxidative-stress (46.67% and 16.67%) rats. This research concluded that 7% alanine-glutamine dipeptide administration increased glutathione levels in the hippocampus that mediated the improvement of histo-morphology and structure of mitochondria in the aging hippocampus, both in physiological aging or aging due to oxidative stress. Key words: alanine-glutamine dipeptide, neuron viability, neuron mortality, the length of axon, glutathione, physiological aging, oxidative-stress aging, hippocampal functions PENDAHULUAN Gangguan neurodegeneratif yang berkaitan dengan peningkatan umur atau stres oksidatif, secara klinis ditandai dengan penurunan fungsi hipokampus (Reddy 2009). Penurunan fungsi hipokampus ditandai dengan penurunan level glutation hipokampus sampai di bawah ambang batas normal. Penurunan level glutation hipokampus berdampak pada gangguan respons histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus. Gangguan respons ini ditandai dengan penurunan viabilitas, peningkatan mortalitas, pemendekan akson neuron, dan perubahan struktur mitokondria (Anonim 2001; Rosenzweig dan Barnes 2003;
59
Reddy 2009) dan banyak ditemukan pada neuron-neuron piramida di bagian tanduk Ammon atau cornu ammonis (CA) hipokampus. Cornu ammonis hipokampus tersusun atas 3 bagian utama, yaitu CA1, CA2, dan CA3 (Djavadian 2004; Knierim et al. 2006). Penurunan respons histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan aktivitas motorik, endokrinologi, kemampuan kognitif, dan meningkatkan risiko terjadinya penyakit neurodegeneratif (Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011). Selain terjadi pada individu, penuaan juga terjadi pada tingkat organ atau sistem organ. Organ atau sistem organ mempunyai periode penuaan yang berbeda satu dengan lainnya. Dari berbagai organ di dalam tubuh, hipokampus merupakan organ yang paling cepat mengalami penuaan. Hipokampus merupakan wilayah otak paling rentan pada perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan penuaan. Penuaan pada hipokampus ditandai oleh perubahan plastisitas sinaptik atau hubungan interneuron, kepadatan populasi neuron, dan perubahan morfologi neuron dari kondisi normal (Rosenzweig dan Barnes 2003). Penuaan merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat. Selain dapat menurunkan kinerja, penuaan dapat menurunkan daya tahan tubuh, menyebabkan gangguan koordinasi dan regulasi, serta meningkatkan kerentanan sistem tubuh pada berbagai gangguan dari lingkungan. Penuaan tidak dapat dihindari tetapi dapat diperlambat. Salah satu cara penanganan penuaan adalah dengan mengenal indikator-indikator yang berhubungan dengan penuaan. Salah satu indikator penting penuaan adalah glutation. Seiring dengan penuaan, level glutation dalam tubuh semakin menurun, terutama level glutation hipokampus. Pada umur tua dan stres oksidatif, level glutation hipokampus dapat menurun di bawah ambang batas normal. Dringen et al. (2000) melaporkan bahwa penuaan dapat menurunkan level glutation mencapai 30-40% dari kondisi normal. Berdasarkan hal tersebut salah satu cara untuk menangani penuaan adalah dengan meningkatkan level glutation hipokampus. Berbagai pilihan bahan antipenuaan telah dilakukan untuk memperlambat penurunan fungsi hipokampus. Salah satu cara kerja bahan antipenuaan adalah menyediakan asam amino yang dapat digunakan untuk mendukung sintesis glutation sehingga level glutation di
60
hipokampus dapat ditingkatkan. Senyawa yang memiliki potensi seperti ini ialah dipeptida alanil-glutamina (Berg et al. 2006). Dipeptida alanil-glutamina ialah bentuk lain dari glutamina yang diketahui sebagai penyedia prekursor glutation di dalam tubuh (Jun et al. 2006; Daren et al. 2007; Fernandes et al. 2010). Sebagai penyedia prekursor glutation, dipeptida alanil-glutamina mempunyai peran menyediakan glutamina dalam hipokampus. Glutamina dapat dikonversi menjadi asam glutamat dan bersama-sama dengan sisteina dan glisina digunakan untuk sintesis glutation di hipokampus (Dringen et al. 2000). Glutation hipokampus berfungsi mempertahankan integritas seluler, meminimalisasi kerusakan membran biologis sel akibat radikal bebas, dan meningkatkan respons atau fungsi seluler (Schulz et al. 2000). Dipeptida alanilglutamina mempunyai sifat stabil selama mengalami proses di dalam tubuh, lebih cepat mengalami proses hidrolisis, mampu melintasi sawar darah otak, dapat dimanfaatkan oleh neuron secara langsung, dan mampu meningkatkan level glutation di hipokampus (Berg et al. 2006). Hasil penelitian Sunarno et al. (2012) melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia memberi peningkatan level tertinggi glutation dan perbaikan fungsi hipokampus, baik pada tikus umur 12 atau 24 bulan, tikus normal atau stres oksidatif. Mengacu pada penelitian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina, yaitu 7% dengan pembanding dipeptida alanil-glutamina 0% (kontrol). Pemberian dipeptida alanilglutamina 7% diharapkan dapat memperbaiki respons histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus yang ditandai dengan peningkatan viabilitas neuron, penurunan mortalitas neuron, peningkatan panjang akson, dan perbaikan stuktur mitokondria neuron. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran perbaikan respons histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus hasil dari pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Perbaikan respons histomorfologi dan struktur mitokondria neuron diperantarai oleh peningkatan level glutation hipokampus dan perbaikan ini merupakan indikasi perbaikan fungsi
61
pada penuaan hipokampus, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di kandang Hewan Percobaan dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor mulai dari bulan Juni-bulan Desember 2010. Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: pakan pelet komersial, garam fisiologis (NaCl 0.9%), akuades, dipeptida alanil-glutamina, buffer formalin
10%,
hematoksilin-eosin,
perak
nitrat,
amonium
hidroksida,
formaldehida, asam sitrat, asam nitrat, alkohol, parafin, silol, entellan, propilen oksida, resin Spur, glutaraldehid, osmium tetraoksida, K3Fe(CN)6, cacodylate buffer, dan sukrosa. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kandang tikus dan perlengkapannya, jarum suntik, spuit injeksi, satu set alat bedah, gelas ukur, gelas objek, botol stok larutan uji, wadah untuk sampel organ, gelas penutup, freezer, vorteks, timbangan digital, timbangan analitik, mikrotom, mikroskop cahaya, dan mikroskop elektron. Rancangan penelitian, aklimasi hewan uji, pembuatan hewan model penuaan, dan metode pemberian dipeptida alanil-glutamina dilakukan sama seperti pada penelitian tahap kedua. Di akhir perlakuan, tikus-tikus dikorbankan dan dilanjutkan dengan pengambilan hipokampus bagian kiri. Untuk mendapatkan gambaran respons viabilitas dan mortalitas neuron hipokampus, dilakukan pembuatan sediaan histologis dengan metode pewarnaan hematoksilin-eosin (Humason 1972), sedangkan respons perubahan panjang akson neuron dengan pewarnaan perak nitrat Bielschowsky (Lourbopoulos et al. 2007). Untuk melengkapi data-data dari pewarnaan umum dan khusus dilakukan pembuatan sediaan histologis khusus mitokondria dengan prosedur preparasi blok mikroskop elektron transmisi atau Transmission Electron Microscope (Owens et al. 2007). Sediaan yang sudah diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin dan perak nitrat Bielschowsky diamati dan didokumentasikan dengan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan kamera. Penentuan viabilitas, mortalitas, dan pengukuran akson dengan menggunakan software MacBiophotonics ImageJ pada
62
5 lapang pandang yang merupakan bagian utama hipokampus dengan luas setiap lapang pandang ± 0.1 mm2. Viabilitas neuron ditentukan berdasarkan afinitas optimal neuron pada pewarnaan hematoksilin-eosin yang memberi respons warna ungu atau biru pada bagian inti dan merah muda pada sitoplasma. Mortalitas neuron ditentukan berdasarkan afinitas neuron pada satu pewarnaan saja, yaitu hematoksilin yang memberi respons warna biru pada seluruh bagian neuron. Pengukuran panjang akson dilakukan terhadap 5 neuron pada 5 lapang pandang pada bagian cornu ammonis (CA) hipokampus sehingga total neuron yang diukur berjumlah 25. Pengukuran panjang akson dimulai dari bagian axon hillock sampai dengan terminal akson. Penentuan viabilitas, mortalitas, dan panjang akson neuron di hipokampus ditunjukkan pada Gambar 12. Sediaan histologis khusus mitokondria diamati dan didokumentasikan dengan mikroskop elektron transmisi dengan perbesaran 20.000x. Penentuan profil mitokondria dilakukan dengan menggunakan sistem pemeringkatan (scoring) berdasarkan pengamatan jumlah mitokondria (5-10) pada 2 lapang pandang dari satu neuron hasil dokumentasi. Pengamatan mitokondria meliputi, ciri-ciri morfologi, ukuran (diameter mitokondria), struktur membran luar, membran dalam, dan krista mitokondria. Berdasarkan hasil pemeringkatan diperoleh 3 profil mitokondria, yaitu mitokondria normal, mitokondria dengan kerusakan sebagian, dan mitokondria dengan kerusakan total (Aliev et al. 2009).
2
1
A
3
100 µm
B
100 µm
Gambar 12 Metode penentuan viabilitas (tanda panah angka 1), mortalitas (tanda panah angka 2) neuron pada pewarnaan hematoksilin-eosin (A), dan pengukuran panjang akson (tanda panah angka 3) neuron pada pewarnaan perak nitrat Bielschowsky (B). Perbesaran 40x.
63
Hasil penentuan respons viabilitas, mortalitas, dan panjang akson neuron hipokampus dianalisis dengan analisis ragam pada taraf 5% dengan menggunakan software The SAS System versi 9. Profil mitokondria dianalisis dengan metode pemeringkatan (scoring) deskriptif kualitatif. Perbaikan respons viabilitas, mortalitas, panjang akson, dan struktur mitokondria neuron diperantarai oleh peningkatan level glutation dan merupakan indikator perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus. HASIL DAN PEMBAHASAN Hipokampus merupakan bagian otak yang rentan mengalami penurunan fungsi akibat penuaan. Penuaan pada hipokampus ditandai dengan gangguan respons histo-morfologi. Dalam penelitian ini digunakan konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dengan harapan dapat memperbaiki respons histomorfologi pada penuaan hipokampus. Hasil pengamatan respons histo-morfologi pada penuaan hipokampus setelah
pemberian konsentrasi optimum dipeptida
alanil-glutamina disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Respons histo-morfologi hipokampus pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina Stres oksidatif TS 12 S Umur (bulan) TS 24 S
Faktor utama
Interaksi
AlaGlu (%) 0 7 0 7
Viabilitas (%)
Mortalitas (%)
Panjang akson (µm)
94.4 ± 2.1 95.2 ± 3.1 85.6 ± 2.6 92.2 ± 3.9
5.6 ± 3.2 4.8 ± 0.9 14.4 ± 3.6 7.8 ± 2.7
128.3 ± 3.9 166.2 ± 4.2 112.8 ± 3.9 154.1 ± 3.6
0 7 0 7 U S A U-S A-U A-S A-U-S
85.5 ± 3.1 90.6 ± 4.6 83.6 ± 3.6 90.2 ± 3.6 * * * * * * TN
14.5 ± 3.1 9.4 ± 1.1 16.4 ± 2.5 9.8 ± 2.9 * * * * * * TN
114.6 ± 2.4 127.8 ± 4.9 105.3 ± 4.5 119.8 ± 2.1 * * * * * * TN
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Ala-Glu: Dipeptida alanil-glutamina, TS: tanpa stres oksidatif, S: stres oksidatif, A: dipeptida alanil-glutamina, U: umur. Tanda * (P<0.05): berpengaruh signifikan, TN: tidak signifikan.
64
Berdasarkan data pada Tabel 4 terlihat bahwa peningkatan umur atau stres oksidatif
dapat
menurunkan
secara
signifikan
respons
histo-morfologi
hipokampus dan ditemukan interaksi antara keduanya (P<0.05). Penurunan respons histo-morfologi hipokampus ditandai dengan penurunan viabilitas, peningkatan mortalitas, dan berkurangnya panjang akson neuron. Pada tikus umur 24 bulan, terlihat bahwa respons viabilitas, mortalitas, dan panjang akson neuron hipokampus mengalami penurunan dibanding tikus umur 12 bulan. Respons viabilitas, mortalitas, dan panjang akson neuron pada tikus umur 24 bulan berturut-turut turun sebesar 4.77%, 53.8%, dan 16.71% dibandingkan tikus umur 12 bulan. Stres oksidatif juga menyebabkan penurunan viabilitas, peningkatan mortalitas, dan berkurangnya panjang akson neuron, berturut-turut sebesar 3.83%, 40.84%, dan 8.39%. Adapun stres oksidatif pada tikus umur 24 bulan menyebabkan penurunan viabilitas, peningkatan mortalitas, dan berkurangnya panjang akson, berturut-turut 2.25%, 18.07%, dan 15.90%. Penurunan respons histo-morfologi hipokampus akibat peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya diawali dari penurunan level glutation hipokampus. Hasil penelitian Sunarno et al. (2012) menunjukkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya berpengaruh signifikan pada penurunan level glutation hipokampus. Lebih lanjut dilaporkan bahwa tikus umur tua (24 bulan) mengalami penurunan level glutation hipokampus yang mencapai 48.56% dibanding tikus umur muda (12 bulan). Penurunan level glutation hipokampus juga terjadi pada tikus dengan stres oksidatif dengan tingkat penurunan mencapai 94.42% dibanding tikus normal. Adapun interaksi antara umur tikus 24 bulan dan stres oksidatif menghasilkan penurunan level glutation hipokampus sebesar 35.71% dibanding tikus umur 12 bulan pada kondisi yang sama. Penurunan level glutation hipokampus dapat menurunkan pertahanan seluler pada radikal bebas yang terbentuk selama proses peningkatan umur atau stres oksidatif. Akibatnya, komponen organik sel akan mengalami kerusakan, transpor lintas membran terganggu, terjadi penurunan efisiensi mitokondria, dan penurunan energi seluler yang berdampak pada perubahan signifikan integritas neuron dan kematian neuron. Kondisi ini ditandai dengan penurunan viabilitas,
65
peningkatan mortalitas, dan berkurangnya panjang akson, seperti hasil pada penelitian ini. Beberapa peneliti menguatkan pendapat ini. Markham (2005) melaporkan bahwa penurunan antioksidan glutation hipokampus secara tidak langsung dapat menginduksi peningkatan ion kalsium di mitokondria. Peningkatan ion kalsium dapat menyebabkan pembentukan spesies oksigen reaktif, seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal-radikal hidroksil, dan lain-lain. Radikalradikal bebas ini dapat memicu penurunan fungsi mitokondria dengan mengganggu proses transpor elektron dan oksidasi-fosforilasi pada neuron-neuron penyusun hipokampus. Bukti penelitian lain menunjukkan, gangguan rantai transpor elektron dan oksidasi-fosforilasi dapat menyebabkan penurunan energi seluler, akumulasi deposit metabolit yang bersifat neurotoksik, dan pembentukan radikal bebas yang berdampak pada kerusakan komponen neuron, atropi neuron, reduksi cabang-cabang dendrit dan akson neuron, serta penurunan jumlah neuron, terutama di bagian cornu ammonis hipokampus (Bjork et al. 2006; Kujoth et al. 2007; Liu et al. 2010). Bukti-bukti penelitian ini semakin memperjelas bahwa interaksi antara umur tua dan stres oksidatif berpotensi menurunkan level glutation hipokampus dan penurunan antioksidan ini dapat mengganggu integritas neuron dan respons histo-morfologi hipokampus. Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% dan interaksi antara alaninglutamin dipeptida dengan umur atau stres oksidatif mampu memperbaiki respons histo-morfologi hipokampus, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif (P<0.05). Data pada Tabel 4 terlihat bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi perbaikan respons histomorfologi hipokampus dengan peningkatan viabilitas, penurunan mortalitas, dan peningkatan panjang akson secara berturut-turut 5.46%, 37.54%, dan 23.17%, lebih baik dibanding kontrol. Perbaikan respons histo-morfologi hipokampus hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina mempunyai hubungan dengan peningkatan ketersediaan glutamin intraseluler dan level glutation di hipokampus. Beberapa bukti penelitian memperkuat pendapat ini. Sunarno et al. (2012) melaporkan bahwa pemberian dipeptida alanilglutamina 7% dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia
66
mampu memberi peningkatan level glutation hipokampus 85.76%, lebih tinggi dibanding kontrol. Peningkatan level glutation berdampak pada perbaikan sistem pertahanan seluler pada radikal bebas, baik melalui reaksi non-enzimatik maupun melalui
donor
elektron
yang
melibatkan
enzim
glutation
peroksidase.
Meningkatnya sistem pertahanan ini merupakan indikasi perbaikan integritas seluler dan respons seluler (Dringen et al. 2000; Schulz et al. 2000). Berg et al. (2006) juga melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina akan dihidrolisis oleh ektopeptidase neuron menjadi glutamina yang secara bertahap akan diambil sebagai prekursor untuk sintesis glutation. Ketersediaan glutamina di hipokampus hasil konversi dari dipeptida alanil-glutamina dapat memelihara homeostasis asam glutamat di hipokampus untuk mencegah efek neuroeksitotoksik (Cruzat et al. 2007). Ketersediaan glutamina juga dapat meningkatkan sintesis protein yang digunakan untuk mendukung regenerasi sel-sel neuron di hipokampus (Andreasen et al. 2009; Schade et al. 2009; Fernandes et al. 2010). Lebih lanjut dilaporkan bahwa glutamina mempunyai peran penting dalam regenerasi protein, perbaikan, dan pertumbuhan. Ketersediaan glutamina juga dapat mendukung proses penggabungan beberapa asam amino menjadi protein. Secara klinis, ketersediaan glutamina
dalam
jaringan
dapat
memperbaiki
keseimbangan
nitrogen,
kemampuan sintesis protein, dan morfologi jaringan, termasuk sintesis glutation di hipokampus. Perbaikan level glutation pada jaringan tubuh, termasuk hipokampus, secara umum digunakan untuk pemeliharaan integritas sistem imun, integritas seluler jaringan, dan kesehatan normal jaringan (Kulkarni et al. 2005; Lemberg dan Fernandez 2009). Selain terbukti dapat meningkatkan level glutation hipokampus, dipeptida alanil-glutamina 7% memberi perbaikan respons histo-morfologi hipokampus pada tikus umur 12 bulan dan 24 bulan yang ditandai dengan peningkatan viabilitas, penurunan mortalitas, dan peningkatan panjang akson neuron. Bukti ini menunjukkan adanya interaksi antara konsentrasi dipeptida alanil-glutamina eksogen dengan peningkatan umur. Respons ketiga parameter histo-morfologi pada tikus umur 12 bulan lebih tinggi dibanding tikus umur 24 bulan, namun memiliki tingkat perbaikan yang lebih rendah. Pemberian konsentrasi optimum senyawa ini memberi perbaikan respons ketiga parameter histo-morfologi,
67
berturut-turut 4.11%, 37.07%, dan 12.58%, lebih baik dibanding kontrol, sedangkan tikus umur 24 bulan memiliki tingkat perbaikan yang lebih tinggi,
Viabilitas neuron (%)
berturut-turut 6.91%, 37.85%, dan 32.84% (Gambar 13, 14, dan 15). 100
90.02 93.72
84.57 90.41
89.97 92.89
84.63 91.23
12
24
TS
S
75 50 25 0
Level umur tikus (bulan)
Level stres oksidatif
Gambar 13 Respons viabilitas neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif Perbaikan respons histo-morfologi hasil interaksi antara konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dengan peningkatan umur mempunyai keterkaitan dengan peningkatan level glutation di hipokampus. Sunarno et al. (2012) melaporkan, pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia memberi peningkatan level glutation hipokampus pada tikus umur 12 bulan dan 24 bulan berturut-turut 58.76% dan 125.81%, lebih tinggi dibanding kontrol. Peningkatan level glutation ini menunjukkan adanya proses pemulihan homeostasis glutation di hipokampus sebagai upaya untuk meminimalisasi risiko metabolik yang disebabkan oleh radikal bebas. Hal tersebut mengakibatkan sebagian besar substrat metabolik yang berhubungan dengan sintesis glutation dan perbaikan respons seluler akan bergerak ke arah hipokampus untuk mempertahankan keseimbangan kapasitas antara antioksidan dan oksidan sehingga tingkat mortalitas dapat ditekan, viabilitas dan panjang akson dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Beberapa hasil penelitian memperkuat pendapat ini. Jun et al. (2006) melaporkan dipeptida alanil-glutamina mempunyai kemampuan meningkatkan respons sel dan mempertahankan level glutation dalam jaringan tubuh, meningkatkan energi metabolisme seluler, melindungi struktur dan fungsi mitokondria, melindungi granula-granula dalam sitoplasma, retikulum endoplasma kasar, dan menurunkan
68
produksi radikal-radikal bebas. Cruzat dan Terapegui (2009) melaporkan glutamina dilibatkan dalam pemeliharaan dan sintesis antioksidan glutation yang berfungsi mempertahankan keseimbangan kapasitas antara antioksidan dan oksidan, mempertahankan integritas seluler, dan mencegah kerusakan jaringan. Pada penelitian ini juga diamati respons histo-morfologi hipokampus hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina, baik pada tikus tanpa atau dengan stres oksidatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons histomorfologi hipokampus mengalami perbaikan setelah diberi dipeptida alanilglutamina 7%. Tikus tanpa stres oksidatif menunjukkan respons histo-morfologi yang lebih baik dibanding tikus dengan stres oksidatif, namun memiliki tingkat perbaikan yang lebih rendah. Tingkat perbaikan respons viabilitas, mortalitas, dan akson neuron pada tikus tanpa stres oksidatif setelah diberi dipeptida alanilglutamina 7%, berturut-turut 3.25%, 29.21%, dan 21.04%, sedangkan pada tikus dengan stres oksidatif berturut-turut 7.80%, 43.01%, dan 25.56% (Gambar 13, 14, dan 15). Perbedaan atau peningkatan respons histo-morfologi setelah pemberian konsentrasi optimum pada tikus normal atau stres oksidatif menunjukkan adanya interaksi antara kedua faktor tersebut. Beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa perbaikan respons histo-morfologi pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif mempunyai hubungan erat dengan level glutation hipokampus. Berdasarkan hal tersebut perbaikan respons histomorfologi hasil pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% diperantarai oleh
Mortalitas neuron (%)
peningkatan level glutation hipokampus. 15.43
16 12
9.98
15.37 9.59
10.03
8.76
7.1
6.28
8 4 0 12
24
Level umur tikus (bulan)
TS
S
Level stres oksidatif
Gambar 14 Respons mortalitas neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif
69
Sunarno et al. (2012) melaporkan bahwa pemberian dipeptida alanilglutamina 7% pada tikus tanpa stres oksidatif (normal) dan stres oksidatif dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia mampu meningkatkan level glutation hipokampus berturut-turut 76.47% dan 97.26%, lebih tinggi dibanding kontrol. Peningkatan level glutation hipokampus berbanding lurus dengan respons histo-morfologi hipokampus. Hasil penelitian Jun et al. (2006) melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina yang diberikan pada tikus yang mengalami stres oksidatif dapat meningkatkan aktivitas antioksidan glutation, meningkatkan ATP seluler, memperbaiki penurunan fungsi sel. Lebih lanjut dilaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina dapat mendukung pemenuhan kebutuhan glutamina intraseluler neuron hipokampus yang digunakan untuk sintesis glutation dan asam-asam nukleat yang diperlukan memelihara integritas dan regenerasi neuron. Pemeliharaan integritas dan regenerasi akson melibatkan pengaturan ion kalsium melalui Ca2+-ATPase, pengaktifan cAMP, dan jaluran pensinyalan protein kinase intraseluler yang berpengaruh pada ekspresi gen, perubahan protein sitoskelet, dan molekul-molekul intraseluler (Neumann et al. 2011). Molekul-molekul intraseluler terlibat dalam mempertahankan kehidupan neuron melalui mekanisme umum yang melibatkan molekul-molekul perantara intraseluler. Perubahan yang terjadi pada molekul perantara ini berpengaruh pada fosforilasi protein sitoskelet dan mampu menginduksi pertumbuhan pada akson yang mengalami disfungsi (Horner dan Gage 2000). Ketersediaan glutamina atau dipeptida alanil-glutamina di hipokampus mempunyai peran penting dalam meningkatkan sintesis asam nukleat di nukleus (Bjork et al. 2006). Peningkatan sintesis senyawa ini secara berurutan dapat meningkatkan ekspresi gen dan protein fungsional atau struktural. Selanjutnya, peningkatan protein fungsional dan struktural dapat mendukung laju sintesis glutation melalui peningkatan jumlah reseptor membran dan enzim-enzim metabolisme yang terkait glutation. Selain itu, peningkatan kedua jenis protein ini juga dapat mendukung perbaikan integritas membran sel atau organel, proses metabolisme yang bersifat kompleks, maupun protein sitoskelet sehingga secara bertahap dapat menginduksi terjadinya regenerasi pada sel-sel neuron yang mengalami penurunan fungsi akibat stres oksidatif maupun peningkatan umur.
Panjang akson neuron (µm)
70
160.13
180 135
120.54
147.01 109.97
123.80
121.46
136.91 109.04
90 45 0 12
24
Level umur tikus (bulan)
TS
S
Level stres oksidatif
Gambar 15 Respons panjang akson neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif
Selain respons viabilitas, mortalitas, dan perubahan panjang akson, penelitian ini juga mengamati respons struktur mitokondria neuron di hipokampus. Berdasarkan data pada Tabel 5 dan Gambar 16 terlihat bahwa peningkatan umur memberi pengaruh pada perubahan struktur mitokondria. Perubahan struktur mitokondria pada tikus umur 24 bulan normal (tanpa stres oksidatif) ditandai dengan kehadiran mitokondria normal 33%, mitokondria dengan kerusakan sebagian 59%, dan mitokondria dengan kerusakan total 8%. Adapun perubahan struktur mitokondria pada tikus umur 24 bulan yang mendapat perlakuan stres oksidatif ditandai dengan kehadiran mitokondria normal, mitokondria dengan kerusakan sebagian, dan total, berturut-turut 0%, 26.8%, dan 73.2%. Hasil penelitian ini memberi bukti bahwa tikus umur tua (24 bulan) dalam kondisi normal telah mengalami perubahan struktur mitokondria. Mitokondria dengan tingkat kerusakan sebagian ditemukan lebih dominan dibanding mitokondria normal atau mitokondria dengan kerusakan total. Demikian pula pada tikus umur 24 bulan yang mendapat perlakuan stres oksidatif juga mengalami perubahan struktur mitokondria. Mitokondria yang ditemukan semuanya abnormal dan tidak ditemukan mitokondria normal. Mitokondria dengan tingkat kerusakan total ditemukan lebih dominan dibanding mitokondria dengan tingkat kerusakan sebagian. Perubahan struktur mitokondria pada tikus umur tua dengan tingkat kerusakan yang cukup tinggi merupakan dampak dari penurunan pertahanan
71
seluler pada radikal bebas yang diperantarai oleh penurunan level antioksidan glutation hipokampus. Penurunan level glutation hipokampus akibat peningkatan umur dapat memicu kerusakan komponen organik sel, memberi dampak terganggunya proses transpor lintas membran, penurunan efisiensi mitokondria, dan penurunan energi seluler (Aliev et al. 2009). Penurunan efisiensi dan energi seluler pada mitokondria memberi gambaran adanya kerusakan mitokondria dengan tingkat kerusakan sebagian. Tabel 5 Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan umur tikus 24 bulan normal (tanpa stres oksidatif) atau stres oksidatif Normal Dipeptida alanilglutamina (%)
Mitokondria normal (%)
Mitokondria dengan kerusakan sebagian (%)
Mitokondria dengan kerusakan total (%)
0
33
59
8
7
90
10
0
Stres oksidatif 0
0
26.8
73.2
7
Ciri-ciri mitokondria
41.67
Morfologi normal, memiliki diameter 400 – 500 nm, memiliki membran luar dan dalam, dan krista mitokondria
41.67
Morfologi abnormal, memiliki diameter lebih dari 500 nm, mengalami pembengkakan (swelling), penurunan proporsi krista, memiliki membran luar dan dalam
16.67
Morfologi abnormal, memiliki diameter lebih dari 500 nm, mitokondria tampak kosong atau tidak ditemukan krista mitokondria, mengalami pembengkakan (swelling) yang diikuti kerusakan membran
Profil Struktur mitokondria
McBride et al. (2006) melaporkan, perubahan struktur mitokondria pada penuaan akibat peningkatan umur ditandai dengan pembengkakan mitokondria. Pembengkakan ini dipicu oleh gangguan pada fosfolipase, yaitu enzim yang berperan dalam proses perbaikan membran fosfolipid mitokondria. Beck et al.
72
(2011) melaporkan, mitokondria yang mengalami pembengkakan diketahui mengandung sitokrom c dalam jumlah berlebihan yang memicu degenerasi krista mitokondria (Aliev et al. 2009). a a b a b 400 nm
A1
400 nm
A2
c
b c
a B1
400 nm
B2
400 nm
Gambar 16 Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% atau 7% dengan umur tikus 24 bulan normal atau stres oksidatif. A1 dan A2 secara berurutan merupakan profil mitokondria hipokampus pada tikus umur 24 bulan normal setelah diberi dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7%. B1 dan B2 ialah profil mitokondria hipokampus pada tikus umur 24 bulan yang mengalami stres oksidatif setelah diberi dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7%. Tanda panah menunjukkan mitokondria. Ditemukan beberapa mitokondria, yang meliputi (a) mitokondria normal, (b) mitokondria dengan kerusakan sebagian, dan (c) mitokondria dengan kerusakan total.
Penuaan fisiologis yang diiringi dengan stres oksidatif dapat memicu pembentukan spesies oksigen reaktif dengan tingkat produksi lebih tinggi dibanding kondisi normal. Spesies oksigen reaktif dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan rantai reaksi radikal bebas yang memicu ketidakseimbangan
73
antara kapasitas antioksidan endogen, seperti glutation dan oksidan-oksidan di dalam sel, seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal-radikal hidroksil, dan lain-lain. Kondisi ini dapat menginduksi kerusakan mitokondria yang berdampak pada gangguan yang lebih besar pada proses oksidasi-fosforilasi, kegagalan mitokondria dalam memelihara dan mempertahankan kebutuhan energi seluler, dan penurunan secara nyata fungsi neuron hipokampus. Kegagalan pemeliharaan dan kebutuhan energi oleh mitokondria memberi gambaran adanya perubahan struktur mitokondria yang didominasi oleh kerusakan sebagian atau kerusakan total. Perubahan struktur mitokondria dengan tingkat kerusakan sebagian secara spesifik ditandai dengan degenerasi krista atau pembengkakan ukuran mitokondria. Adapun mitokondria dengan tingkat kerusakan total ditandai dengan degenerasi krista secara menyeluruh dan pembengkakan ukuran yang diikuti terjadinya kerusakan membran fosfolipid (Beck et al. 2011). Lebih lanjut dilaporkan bahwa kerusakan struktur mitokondria dapat terjadi sebagai akibat peningkatan ion Ca2+ intraseluler yang diperantarai penurunan level glutation. Kondisi ini berdampak pada kebocoran membran mitokondria yang memicu kerusakan struktur mitokondria (Green dan LaFerla 2008). Pada penelitian ini juga diamati respons mitokondria neuron hipokampus pada tikus umur 24 bulan normal hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons mitokondria neuron hipokampus mengalami perbaikan setelah diberi dipeptida alanilglutamina 7%. Perbaikan struktur mitokondria ditandai dengan kehadiran mitokondria normal menjadi 90%, mitokondria dengan kerusakan sebagian 10%, sedangkan mitokondria dengan kerusakan total tidak ditemukan atau 0%. Adapun perbaikan mitokondria pada tikus umur 24 bulan dengan stres oksidatif yang diberi dipeptida alanil-glutamina 7% terlihat bahwa konsentrasi senyawa ini mampu memberi perbaikan struktur mitokondria pada sel-sel neuron hipokampus. Perbaikan struktur mitokondria ditandai dengan kehadiran mitokondria normal mencapai 41.67%, mitokondria dengan kerusakan total menjadi 16.67%, sedangkan mitokondria dengan kerusakan sebagian menjadi 41.67%. Peningkatan mitokondria normal dan penurunan mitokondria dengan kerusakan total merupakan bukti bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% berpengaruh efektif dalam
74
mencegah dan memperbaiki perubahan struktur mitokondria yang dipicu oleh peningkatan umur atau stres oksidatif. Perbaikan mitokondria dapat terjadi melalui mekanisme penurunan produksi radikal bebas yang diperantarai oleh glutation,
pemeliharaan
dan
peningkatan
integritas
membran
fosfolipid
mitokondria, atau sintesis membran fosfolipid mitokondria yang dikatalisis oleh enzim fosfolipase. Ada dua jalur metabolisme yang diketahui terlibat dalam perbaikan struktur dan fungsi mitokondria neuron hipokampus dan mempunyai keterkaitan dengan dipeptida alanil-glutamina. Jalur pertama berkaitan dengan sintesis glutation. Glutation dapat bereaksi secara langsung dengan radikal-radikal bebas dalam reaksi enzimatik dan donor elektron dalam reduksi atau penurunan produksi radikal bebas yang dikatalisis oleh glutation peroksidase (Dringen et al. 2000). Penurunan radikal-radikal bebas ini dapat menurunan kerusakan oksidatif pada komponen biologis sel, termasuk komponen biologis pada mitokondria. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa peningkatan level glutation dapat memperbaiki integritas seluler dan mekanisme transpor lintas membran sel, memperbaiki proses oksidasi-fosforilasi, dan struktur mitokondria neuron hipokampus (Sultana et al. 2006; Jun et al. 2006). Adapun jalur kedua berkaitan dengan jalur metabolisme asam glutamat yang terlibat secara langsung dalam sintesis asam nukleat yang memberi kontribusi peningkatan ekspresi fosfolipase. Peningkatan protein ini mempunyai peran penting dalam sintesis membran fosfolipid mitokondria (Jun et al. 2006; Cruzat dan Terapegui (2009). Kedua jalur metabolisme ini akhirnya berpengaruh pada penurunan tingkat abnormalitas pada mitokondria. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dapat meningkatkan level glutation dan menginduksi perbaikan membran fosfolipid mitokondria yang selanjutnya dapat memperantarai perbaikan struktur dan fungsi mitokondria pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Profil mitokondria pada tikus umur 24 bulan, baik normal atau stres oksidatif hasil pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% mewakili profil mitokondria pada tikus umur 12 bulan. Dengan potensi fisiologis yang lebih baik, perbaikan struktur mitokondria neuron hipokampus pada tikus umur 12 bulan
75
dapat terjadi lebih cepat dengan derajad perbaikan yang lebih baik dibanding tikus umur 24 bulan. Adanya perbaikan pada indikator seluler hipokampus pada tikus umur tua normal atau stres oksidatif memberi bukti bahwa dipeptida alanilglutamina 7% merupakan senyawa yang mampu meningkatkan level glutation dan mampu memperbaiki kerusakan struktur mitokondria, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. SIMPULAN Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% secara efektif dapat memberi perbaikan respons histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus yang ditandai dengan peningkatan viabilitas, penurunan mortalitas, peningkatan panjang akson, dan perbaikan struktur mitokondria. Perbaikan respons histomorfologi dan struktur mitokondria diperantarai oleh peningkatan level glutation hipokampus. Berdasarkan perbaikan respons histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% dan level glutation optimum di hipokampus dapat memperbaiki fungsi pada penuaan hipokampus tikus, baik penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. DAFTAR PUSTAKA Aliev G, Palacios HH, Walrafena B, Lipsitt AE, Obrenoviche ME, Morales L. 2009. Brain mitochondria as a primary target in the development of treatment strategies for Alzheimer disease. J Biochem Cell Biol 41: 1989-2004. Andreasen AS, Pedersen-Skovsgaard T, Mortensen OH, van Hall G, Moseley PL, Pedersen BK. 2009. The effect of glutamine infusion on the inflammatory response and HSP70 during human experimental endotoxaemia. Critical Care 13(10):1186-7696. Anonim. 2001. Benefits ot the amino aid L-glutamine. Sci Mind 28:04-15. Beck G, Sugiura Y, Shinzawa K, Kato S, Setou M, Tsujimoto Y, Sakoda S, Akamaru HS. 2011. Neuroaxonal dystrophy in calcium-independent phospholipase A2β deficiency results from insufficient remodeling and degeneration of mitochondrial and presynaptic membranes. J Neurosci 31 (31):11411–11420. Berg A, Rooyakcers O, Norberg A, Wernerman J. 2006. Elimination kinetics of L-alanyl-L-glutamine in ICU patients. Biomed Life Sci 29(3):221-228.
76
Bjork K, Saarikoski ST, Arlinde C, Kovanen L, Osei-Hyiaman D, Ubaldi M, Reimers M, Hyytia P, Heilig M, Sommer WH. 2006. Glutathione-Stransferase expression in the brain: possible role in ethanol preference and longevity. J Fas 4:1826-1835 Cruzat VF, Tirapegui JO. 2009. Effects of oral supplementation with glutamine and alanyl-glutamine on glutamine, glutamate, and glutathione status in trained rats and subjected to long-duration exercise. Nutrition 25:428-435. Cruzat VF, Rogero MM, Borges MC, Tirapegui J. 2007. Current aspects about oxidative stress, physical exercise and supplementation. Rev Bras Med Esporte 13(5):304e-210e. Daren KH, Dhaliwalm R, Andrew Day RD, Drover J, Cote H, Wischmeyer P. 2007. Optimizing the dose of glutamine dipeptides and antioxidants in critically ill patients: a phase I dose-finding study. J Parent Ent Nut 31(2): 109-118. Dringen R, Gutterer JM, Hirrlinger J. 2000. Glutathione metabolism in brain metabolic interaction between astrocytes and neurons in the defense against reactive oxygen species. Eur J Biochem 267:4912-4916. Djavadian RL. 2004. Serotonin and neurogenesis in the hippocampal dentate gyrus of adult mammals. Acta Neurobiol Exp 64:189-200. Fernandes V, Rogero MM, Tirapegui J. 2010. Effects of supplementation with free glutamine and the peptide alanyl-glutamine on parameters of muscle damage and inflammation in rats submitted to prolonged exercise. Cell Biochem Funct 28:24-30. Green KN, LaFerla FM. 2008. Linking calcium to Abeta and Alzheimer's disease. Neuron. 59:190-194. Horner PJ, Gage FH. 2000. Regenerating the damaged central nervous system. Nature 407:963-970. Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. San Fransisco: Freeman WH and Co.
Ito HT, Schuman EM. 2011. Functional division of hippocampal area CA1 via modulatory gating of entorhinal cortical inputs. Hippocampus 9:1-15. Jun C, Dai CL, Zhang X, Cui K, Xu F, Xu YQ. 2006. Alanyl-glutamine dipeptide inhibits hepatic ischemia-reperfusion injury in rats. Word J Gastroenterol 12(9):1373-1378
77
Knierim JJ, Lee I, Hargreaves EL. 2006. Hippocampal place cells: paralles input streams, subregional processing, and implications for episodic memory. Hippocampus 16:755-764. Kujoth GC, Bradshaw PC, Haroon S, Prolla TA. 2007. The role of mitochondrial DNA mutations in mammalians aging. Plos Genet 23:e24. Kulkarni C, Kulkarni KS, Hamsa BR. 2005. L-Glutamic acid and glutamine: exciting molecules of clinical interest. Indian J Pharmacol 37(3):148-154. Lemberg A, Fernandez MA. 2009. Hepatic encephalopathy, ammonia, glutamate, glutamine and oxidative stress. Ann Hepatol 8(2):95-102. Liu J, Wanga A, Li L, Huang Y, Xue P, Hao A. 2010. Oxidative stress mediates hippocampal neuron death in rats after lithium–pilocarpine-induced status epilepticus. Seizure 19:165-172 Lourbopoulos A, Grigoriadis S, Symeonidou C, Deretzi G, Taskos N, Shohami E, Grigoriadis N. 2007. Modified Bielschowsky silver impregnation combined with hematoxylin or cresyl violet counterstaining as a potential tool for the simultaneous study of inflammation and axonal injury in the central nervous system. J Aristotle Univer Med 34(1):31-39 Markham JA. 2005. Sexually dimorphic aging of dendritic morphology in CA1 of hippocampus. Hippocampus 15:97. McBride HM, Neuspiel M, Wasiak S. 2006. Mitochondria: more than just a power house. Curr Biol 16:R551-R560. Neumann B, Nguyen KCQ, Hall DH, Yakar AB, Hilliard MA. 2011. Axonal regeneration proceeds through specific axonal fusion in transected C. elegans neurons. Develop Dynam 240:1365-1372. Owen KN, Cunningham DE, Macdonald G, Rubel EW, Raible DW, Pujol R. 2007. Ultrastructural analysis of aminoglycoside-induced hair cell death in the zebrafish lateral line reveals an early mitochondrial response. J Comp Neurol 502:522-543. Reddy PH. 2009. Amyloid beta, mitochondrial structural, and functional dynamics in Alzheimer's disease. Exp Neurol 218:286-292. Rosenzweig ES, Barnes CA. 2003. Impact of aging on hippocampal function: plasticity, network dynamics, and cognition. Prog Neurobiol 69:143. Schade RSM, Grundling M, Pavlovic D, Starke K, Wendt M, Retter S, Murphy M, Suchner U, Spassov A, Gedrange T, Lehmann CH. 2009. Glutamine and alanyl-glutamine dipeptide reduce mesenteric plasma extravasation, leukocyte
78
adhesion and tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) release during experimental endotoxemia. J Physiol Pharmacol 60(8):19-24. Schulz JB, Lindenau J, Seyfried J, Dichgans J. 2000. Glutathione, oxidative stress, and neurodegeneration. Eur J Biochem 267:4904-4911. Sultana R, Perluigi M, Butterfield DA. 2006. Protein oxidation and lipid peroxidation in brain of subjects with Alzheimer's disease: insights into mechanism of neurodegeneration from redox proteomics. Antioxid Redox Sign 8:2021-2037. Sunarno, Manalu W, Kusumorini N, Agungpriyono DR. 2012. Peran alaninglutamin dipeptida dalam mengoptimlakan level glutation di hipokampus dan hubungannya dengan status fungsi hipokampus pada penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif. Sains Med 4(1):157-165 Xavier GF, Costa VCI. 2009. Dentate gyrus and spatial behaviour. Neuroscience 33:768-769.
79
PERBAIKAN KEMAMPUAN BELAJAR-MENGINGAT DAN AKTIVITAS MOTORIK TIKUS PADA PENUAAN FISIOLOGIS DAN PENUAAN AKIBAT STRES OKSIDATIF DENGAN PEMBERIAN DIPEPTIDA ALANIL-GLUTAMINA Sunarno1, Wasmen Manalu2, Nastiti Kusumorini2, Dewi Ratih Agungpriyono3 1
Program Doktor Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 2 Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 3 Mayor Ilmu Biomedis Hewani, Sekolah Pascasarjana, IPB
ABSTRAK Penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif menyebabkan penurunan level glutation hipokampus yang berdampak pada penurunan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik. Penurunan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik dapat diketahui dari peningkatan respons waktu yang dibutuhkan untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze, peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan penurunan waktu istirahat dalam ruang optovarimex. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik adalah meningkatkan level glutation. Salah satu senyawa penyedia prekursor glutation adalah dipeptida alanil-glutamina. Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan gambaran perbaikan fungsi hipokampus melalui pengamatan respons kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik dari pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Tikus-tikus percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan ukuran 2x2x2. Faktor pertama adalah umur tikus yang terdiri atas 2 level, yaitu 12 dan 24 bulan. Faktor kedua adalah stres oksidatif yang terdiri atas 2 level, yaitu tanpa atau dengan stres oksidatif. Faktor ketiga adalah pemberian dipeptida alanil-glutamina yang terdiri atas 2 konsentrasi, yaitu 0% dan 7%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi perbaikan respons waktu dalam menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze, baik pada tikus muda (42.32%) atau tua (65.82%), tikus normal (87.74%) atau stres oksidatif (33.11%), demikian pula memberi perbaikan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat dalam ruang optovarimex, baik pada tikus muda (93.32%, 88.56%, 87.69%, dan 48.48%) atau tua (92.81%, 56.83%, 71.73%, dan 117.04%), tikus normal (94.18%, 75.75%, 75%, dan 75.72%) atau stres oksidatif (91.82%, 73.63%, 77.2%, dan 71.33%). Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi peningkatan level glutation yang dapat memperantarai perbaikan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik. Perbaikan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik terkait dengan perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus, baik penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Kata kunci:
dipeptida alanil-glutamina, kemampuan belajar dan mengingat, aktivitas motorik, glutation, penuaan fisiologis, penuaan akibat stres oksidatif, fungsi hipokampus
80
ABSTRACT Physiological aging or aging due to oxidative stress decreases glutathione levels in the hippocampus which causes the decrease in ability to learn and memory or motor activity. The decrease in ability to learn and memory or motor activity could be evaluated from the increase in response time needed to find feed in fourth arm maze space, the increase in travel distance, stereotypic time, ambulatory time, and resting time in optovarimex space. One way to increase the ability to learn and memory or motor activity is to increase the levels of glutathione. One of glutathione precursors is alanine-glutamine dipeptide. This research was designed to study the ability to learn and memory or motor activity after the administration of the optimum concentrations of alanine-glutamine dipeptide in aged or oxidative-stressed rats. The experimental rats were assigned into a completely randomized design with 2x2x2 factorial arrangement. The first factor was the age of the experimental rats, consisted of two levels i.e., 12 and 24 months. The second factor was oxidative stress consisted of two levels, i.e., without or with oxidative stress. The third factor was alanine-glutamine dipeptide administration consisted of 2 concentrations, i.e. 0% and 7%. The results showed that administration of 7% alanine-glutamine dipeptide improved response time needed to find feed inside fourth arm maze space in young (42.32%) or aged (65.82%) rats, in normal (87.74%) or oxidative-stress (33.11%) rats, as well as improved distance travel, stereotypic time, ambulatory time, and resting time inside optovarimex space in young (93.32%, 88.56%, 87.69%, and 48.48%) or aged (92.81%, 56.83%, 71.73%, and 117.04%) rats, in normal (94.18%, 75.75%, 75%, and 75.72%) or oxidative-stress (91.82%, 73.63%, 77.2%, and 71.33%) rats. This research concluded that administration of 7% alanine-glutamine dipeptide increased the glutathione levels in the hippocampus and they mediated the improved ability to learn and memory or motor activity. The improved ability to learn and memory or motor activity was related to the improved function in the aging hippocampus, both in physiological aging or aging due to oxidative stress. Key words: alanine-glutamine dipeptide, ability to learn and memory, motor activity, glutathione, physiological aging, oxidative-stress aging, hippocampal functions
PENDAHULUAN Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif merupakan dua faktor utama penyebab penurunan fungsi hipokampus. Penurunan fungsi hipokampus ditandai dengan penurunan level glutation sampai di bawah ambang batas normal. Penurunan level glutation hipokampus berdampak pada penurunan fungsi neuron-neuron di bagian cornu ammonis hipokampus. Cornu ammonis (CA) hipokampus tersusun atas 3 bagian utama, yaitu CA1, CA2, dan CA3. Bagian ini mempunyai peran penting dalam koordinasi dan regulasi proses-proses yang berkaitan dengan fungsi kognitif (Djavadian 2004; Knierim et al. 2006).
81
Penurunan fungsi kognitif menyebabkan gangguan kemampuan belajarmengingat dan aktivitas motorik (Miller dan O'Callaghan 2005; Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011). Gangguan kemampuan belajar-mengingat dapat diketahui dari penurunan kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi kognitif. Cruzat et al. (2007) melaporkan bahwa penurunan respons waktu yang dibutuhkan tikus untuk menemukan pakan dalam ruang fourt arm maze menunjukkan penurunan fungsi kognitif hipokampus. Gangguan aktivitas motorik pada uji optovarimex ditandai dengan peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan penurunan waktu istirahat (Wedzony et al. 2000; Chang et al. 2006). Dewasa ini, penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti, terutama yang berkaitan dengan penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik ditandai dengan gangguan pada proses mengingat,
gangguan
navigasi
ruangan,
dan
penurunan
kemampuan
menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi kognitif. Beberapa gangguan tersebut berpengaruh pada penurunan kemampuan untuk mengenali objek dalam suatu ruang yang berdampak pada peningkatan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan suatu objek. Gangguan fungsi kognitif juga dapat berdampak pada peningkatan agresivitas hewan dalam mencari tempat pakan dan minum, mencari tempat perlindungan, adaptasi pada lingkungan, dan dapat menyebabkan inefisiensi energi. Miller dan O’Callaghan (2005) melaporkan, penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik berbanding lurus dengan penurunan level glutation dan penurunan fungsi hipokampus. Penuaan akibat peningkatan umur tidak dapat dihindari, tetapi dapat diperlambat. Demikian pula penuaan akibat stres oksidatif juga dapat ditangani. Salah satu cara penanganan penuaan adalah dengan meningkatkan level glutation hipokampus di atas ambang batas normal. Berbagai pilihan bahan antipenuaan telah dilakukan untuk memperlambat penurunan fungsi hipokampus, seperti penggunaan prekursor glutation, glutation monoetil ester, bahan-bahan herbal, dan lain-lain. Salah satu cara kerja bahan antipenuaan adalah menyediakan asam amino yang dapat digunakan untuk mendukung sintesis glutation sehingga level
82
glutation di hipokampus dapat ditingkatkan. Senyawa yang memiliki potensi seperti ini ialah dipeptida alanil-glutamina (Berg et al. 2006). Dipeptida alanil-glutamina ialah bentuk lain dari glutamina yang diketahui sebagai penyedia prekursor glutation di dalam tubuh (Jun et al. 2006; Daren et al. 2007; Fernandes et al. 2010). Sebagai penyedia prekursor glutation, dipeptida alanil-glutamina mempunyai peran menyediakan glutamina dalam hipokampus. Glutamina dapat dikonversi menjadi asam glutamat dan bersama-sama dengan sisteina dan glisina secara bertahap digunakan untuk sintesis glutation (Dringen et al. 2000). Dipeptida alanil-glutamina mempunyai sifat stabil selama mengalami proses di dalam tubuh, cepat mengalami proses hidrolisis, mampu melintasi sawar darah otak, dapat dimanfaatkan oleh neuron secara langsung, dan mampu meningkatkan level glutation di hipokampus (Berg et al. 2006). Hasil penelitian Sunarno et al. (2012) melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia memberi peningkatan level tertinggi glutation dan perbaikan fungsi hipokampus, baik pada tikus umur 12 atau 24 bulan, tikus normal atau stres oksidatif. Mengacu pada penelitian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dipeptida alanil-glutamina 7% dengan pembanding dipeptida alanil-glutamina 0% (kontrol). Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% diharapkan dapat memperbaiki respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik yang ditandai dengan perbaikan respons waktu yang digunakan hewan uji dalam menemukan pakan pada ruangan fourth arm maze, penurunan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan peningkatan waktu istirahat tikus-tikus percobaan pada uji optovarimex. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik pada pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik mempunyai keterkaitan dengan peningkatan level glutation hipokampus dan dapat digunakan sebagai indikator perbaikan fungsi hipokampus, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif.
83
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di kandang Hewan Percobaan dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Juni-Desember 2010. Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: pakan pelet komersial, akuades, alkohol, dan dipeptida alanil-glutamina. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kandang tikus dan perlengkapannya, jarum suntik, spuit injeksi, gelas ukur, botol stok larutan uji, lemari es, timbangan digital, alat uji fourth arm maze, dan alat uji optovarimex. Rancangan penelitian, aklimasi hewan uji, pembuatan hewan model penuaan, dan metode pemberian dipeptida alanil-glutamina dilakukan sama seperti pada penelitian tahap kedua. Di akhir perlakuan, kemampuan belajar dan mengingat tikus-tikus percobaan diuji dengan menggunakan alat fourth arm maze mengacu pada prosedur yang dilakukan oleh Kiray (2005) dan Villarreal et al. (2004). Uji kemampuan belajar dan mengingat diawali dengan mengadaptasikan tikus-tikus percobaan pada peralatan uji fourth arm maze sampai tikus-tikus dapat menemukan pakan pada tempat pakan dengan waktu maksimal 15 menit. Tempat pakan selalu diberi pakan pelet komersial dalam keadaan segar. Tikus-tikus percobaan yang telah diadaptasikan dan berhasil menemukan pakan dalam waktu 15 menit di kelompokkan dan diberi perlakuan tanpa atau dengan stres oksidatif selama 7 hari, dilanjutkan dengan pemberian dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% selama 12 hari. Uji kemampuan belajar-mengingat dilakukan setelah akhir perlakuan. Waktu yang dibutuhkan oleh tikus percobaan untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze dicatat, diolah, dan dianalisis untuk menentukan perbaikan kemampuan belajar-mengingat. Adapun uji aktivitas motorik diawali dengan mengadaptasikan tikus-tikus percobaan pada peralatan uji optovarimex di bawah kondisi standar dalam ruang gelap selama 10 menit. Tikus-tikus percobaan yang telah diadaptasikan dikelompokkan dan diberi perlakuan tanpa atau dengan stres oksidatif selama 7 hari dan dilanjutkan dengan pemberian dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% selama 12 hari. Di akhir perlakuan, dilakukan uji aktivitas motorik kembali
84
dengan menggunakan alat optovarimex yang dikoneksikan pada layar monitor dengan menggunakan software AUTOTRACT. Parameter aktivitas motorik yang diukur meliputi jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat (Wedzony et al. 2000; Chang et al. 2006). Hasil penentuan beberapa parameter yang berkaitan dengan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik dianalisis dengan analisis varian pada taraf 5% dengan menggunakan software The SAS System versi 9. Perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik diperantarai oleh peningkatan level glutation dan dapat digunakan sebagai indikator perbaikan fungsi hipokampus pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan belajar-mengingat dan
aktivitas motorik mempunyai
hubungan erat dengan level glutation hipokampus. Hipokampus terdiri atas neuron-neuron yang mempunyai peran penting dalam mempertahankan fungsi sistem glutation dan terlibat dalam tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi kognitif, meliputi kemampuan belajar-mengingat, navigasi, dan aktivitas motorik. Peningkatan umur atau stres oksidatif menyebabkan penurunan fungsi hipokampus. Hasil pengamatan indikator kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik disajikan pada Tabel 6 dan 7. Data pada Tabel 6 dan 7 menunjukkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif berpengaruh signifikan pada penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik, demikian pula interaksi antara umur dengan stres oksidatif juga menunjukkan hasil yang sama (P<0.05). Penurunan kemampuan belajarmengingat terlihat pada tikus umur 24 bulan, tikus dengan stres oksidatif atau interaksi antara keduanya yang ditandai dengan peningkatan respons waktu yang diperlukan untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze. Respons waktu mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 85.85%, 71.85%, dan 59.37%. Hal ini berarti tikus umur 24 bulan, tikus dengan stres oksidatif, atau tikus umur 24 bulan yang mengalami stres oksidatif memerlukan waktu yang lebih lama dalam menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze dibanding tikus umur 12 bulan, tikus normal, atau tikus umur 12 bulan yang mengalami stres oksidatif.
85
Tabel 6 Respons waktu untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina Stres Ala-Glu Respons waktu oksidatif (%) (detik) TS 0 98.67 ± 33.28 12 7 11.33 ± 5.03 S 0 131.33 ± 9.74 Umur 7 121.33 ± 17.07 (bulan) TS 0 241.00 ± 6.23 24 7 30.33 ± 15.50 S 0 261.33 ± 28.69 7 141.33 ± 3.33 U * Faktor utama S * A * U-S * Interaksi A-U * A-S * A-U-S TN Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Ala-Glu: dipeptida alanil-glutamina, TS: tanpa stres oksidatif, S: stres oksidatif, A: dipeptida alanil-glutamina, U: umur. Tanda * (P<0.05): berpengaruh signifikan, TN: tidak signifikan.
Pada tikus 24 bulan juga terjadi peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, dan ambulatori berturut-turut 250.09%, 0.67%, dan 195.21%, sedangkan waktu istirahat mengalami penurunan sebesar 26.23%. Adapun tikus dengan stres oksidatif mengalami peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, dan ambulatori berturut-turut 15.67%, 16.63%, dan 13.7%, sedangkan waktu istirahat mengalami penurunan 8.40%. Demikan pula tikus umur 24 bulan dengan stres oksidatif juga mengalami peningkatan respons ketiga parameter histo-morfologi hipokampus berturut-turut 259.60%, 5.62%, dan 174.39%, sedangkan waktu istirahat menurun sebesar 32.69% (Tabel 7). Hasil penelitian ini memberi gambaran secara jelas bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya dapat menimbulkan dampak serius pada penurunan fungsi kognitif hipokampus yang dapat diketahui dari penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Penurunan fungsi kognitif hipokampus diakibatkan oleh penurunan fungsi sel-sel neuron di bagian cornu
86
ammonis hipokampus yang diperantarai penurunan level glutation hipokampus. Dalam ruang uji fourth arm maze dan optovarimex tikus tampak agresif, gelisah, tidak tenang, cemas, dan melakukan gerakan dengan pola yang tidak teratur. Tabel 7 Respons aktivitas motorik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina Stres oksidatif TS 12 S Umur (bulan)
AlaGlu (%) 0 7 0 7
Jarak tempuh (cm) 267 ± 149 6±2 272 ± 36 30 ± 6
Waktu stereotif (detik) 182 ± 110 17 ± 16 220 ± 25 29 ± 8
Waktu ambulatori (detik) 57 ± 8 7±3 73 ± 31 9±6
Waktu istirahat (detik) 386 ± 14 566 ± 41 373 ± 17 564 ± 27
TS
0 867 ± 458 152 ± 12 159 ± 109 236 ± 37 7 60 ± 14 64 ± 14 47 ± 6 527 ± 11 S 0 1.011 ± 898 163 ± 11 177 ± 36 204 ± 63 7 75 ± 12 72 ± 14 48 ± 9 428 ± 99 U * * * * Faktor utama S * * * * A * * * * U-S * * * * Interaksi A-U * * * * A-S * * * * A-U-S TN TN TN TN Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Ala-Glu: dipeptida alanil-glutamina, TS: tanpa stres oksidatif, S: stres oksidatif, A: dipeptida alanil-glutamina, U: umur. Tanda * (P<0.05): berpengaruh signifikan, TN: tidak signifikan. 24
Hasil penelitian Sunarno et al. (2012) menunjukkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya menyebabkan penurunan secara signifikan level glutation di hipokampus. Peningkatan umur, yaitu tikus umur 24 bulan dibanding tikus umur 12 bulan menyebabkan penurunan level glutation hipokampus mencapai 48.56%. Penurunan level glutation juga terjadi pada tikus stres oksidatif, dengan penurunan mencapai 94.42% dibanding tikus tanpa stres oksidatif (normal). Adapun interaksi antara umur tikus 24 bulan dan stres oksidatif menghasilkan penurunan level glutation hipokampus sebesar 35.71% dibanding tikus umur 12 bulan pada kondisi yang sama. Penurunan level glutation hipokampus berdampak pada gangguan substrat-substrat seluler dan perubahan neurofisiologi, seperti plastisitas sinaptik, perubahan hubungan sinaptik, perubahan
elektrofisiologi,
maupun
perubahan
proporsi
neurokimia
di
hipokampus. Gangguan substrat seluler dapat mengganggu proses metabolisme,
87
integritas neuron, dan penurunan fungsi neuron, sedangkan perubahan neurofisiologi dapat mengganggu sinyal yang berkaitan dengan kinerja motorik, navigasi, kemampuan mengenali objek, dan pemrosesan informasi. Moyer dan Brown (2006) melaporkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya dapat menyebabkan penurunan level glutation hipokampus. Penurunan antioksidan ini dapat menurunkan pertahanan seluler pada radikal bebas yang berdampak pada gangguan struktur dan fungsi neuron. Gangguan ini berpengaruh pada penurunan kondisi neurofisiologis. Penurunan kondisi neurofisiologis berdampak pada penurunan fungsi hipokampus, terutama sel-sel neuron di bagian cornu ammonis. Penurunan fungsi di bagian ini dapat mengganggu berbagai macam tugas yang berkaitan dengan fungsi hipokampus, seperti navigasi dalam ruang radial arm maze (Miller dan O'Callaghan 2005; Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011). Lebih lanjut dilaporkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya dapat menyebabkan penyimpangan perilaku dan penurunan plastisitas sinaptik yang diperantarai oleh penurunan level glutation di hipokampus. Penurunan plastisitas sinaptik diawali dari hiperpolarisasi dan peningkatan aktivitas neuron yang bergantung ion kalsium di hipokampus (Wati 2006). Penurunan plastisitas sinaptik menyebabkan penurunan kekuatan sinaptik yang berakibat terganggunya proses-proses yang berkaitan dengan kinerja motorik, penurunan kemampuan merespons perubahan lingkungan mikro dalam hipokampus, dan gangguan proses penyimpanan informasi (Turner et al. 2003; Wolf 2005; Burke dan Barnes 2006; Reddy 2009, Schimanski dan Barnes 2010). Shukitt (2004) melaporkan keberadaan sinapssinaps di dalam hipokampus sangat menentukan baik dan buruknya kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Perubahan sinaptik akibat peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya menyebabkan penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik yang diperantarai oleh penurunan level glutation hipokampus seperti bukti pada penelitian ini. Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi pengaruh signifikan pada perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik (P<0.05). Perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik pada tikus-tikus percobaan ditandai dengan perbaikan respons waktu untuk menemukan pakan
88
dalam ruang fourth arm maze, perbaikan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat, berturut-turut 58.44%, 92.93%, 74.62%, 76.18%, dan 73.61%. Hal ini berarti tikus-tikus yang diberi dipeptida alanil-glutamina 7% lebih cepat atau mengalami peningkatan kecepatan dalam menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze dibanding kontrol. Tikus yang diberi dipeptida alanil-glutamina 7% tampak lebih nyaman, tenang, dan bergerak dengan pola yang teratur pada ruang uji optovarimex. Perilaku ini menggambarkan adanya penurunan agresivitas dan peningkatan kemampuan beradaptasi di lingkungan. Perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik memberi bukti bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% mempunyai peran penting pada penyediaan glutamina intraseluler yang diperlukan untuk peningkatan sintesis glutation hipokampus. Tingkat ketersediaan glutamina dan glutation yang tinggi dapat mempercepat efek anabolik sebagai upaya untuk mempertahankan integritas seluler yang mempunyai korelasi dengan perbaikan kemampuan belajarmengingat dan aktivitas motorik. Sunarno et al. (2012) melaporkan, pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia memberi peningkatan signifikan level glutation hipokampus, mengalami peningkatan 85.76% dibanding kontrol. Peningkatan level glutation hipokampus merupakan indikasi perbaikan fungsi sel-sel neuron di bagian cornu ammonis hipokampus yang mempunyai peran penting dalam kemampuan belajarmengingat dan aktivitas motorik. Bukti-bukti penelitian menunjukkan hasil yang menguatkan pendapat ini. Turner et al. (2003) melaporkan bahwa perbaikan integritas seluler di hipokampus yang diperantarai oleh peningkatan level glutation memberi peran penting dalam peningkatan plastisitas sinaptik dan penguatan hubungan sinaptik. Kondisi ini dapat mendukung peningkatan kemampuan rangsang neuron, transmisi sinaptik, dan perbaikan regulasi perilaku yang berkaitan dengan perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Geinisman (2004) melaporkan, peningkatan integritas seluler di hipokampus mempunyai keterkaitan dengan perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Mekanisme perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik melibatkan sel-sel neuron di bagian cornu ammonis hipokampus. Dalam
89
ketersediaan glutamina dan glutation yang optimum, sel-sel di bagian cornu ammonis hipokampus dapat secara efektif melakukan fungsi penggabungan memori dan penyimpanan informasi, terutama memori dan informasi mengenai objek, ruang, atau tempat. Efektivitas proses ini merupakan indikasi perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. 251.17
Respons waktu (detik)
260
130
196.33
169.84
195
131.33
115 66.33
85.83
65
20.83
0 12
24
Level umur tikus (bulan)
TS
S
Level stres oksidatif
Gambar 17 Respons waktu yang diperlukan tikus untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze hasil interaksi antara dipeptida alanilglutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif
Interaksi dipeptida alanil-glutamina dengan umur dan stres oksidatif tidak berpengaruh signifikan pada perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Adapun interaksi antara dipeptida alanil-glutamina dan umur memberi pengaruh signifikan (P<0.05). Berdasarkan data pada Tabel 6 terlihat bahwa tikus umur 12 bulan lebih cepat dalam menemukan pakan dibanding tikus umur 24 bulan, namun memiliki perbaikan respons waktu yang lebih rendah. Perbaikan respons waktu tikus umur 12 bulan sebesar 42.32%, lebih baik dibanding kontrol, namun lebih rendah dibanding perbaikan respons waktu tikus umur 24 bulan yang mencapai 65.83%. Hal ini berarti tikus umur 12 dan 24 bulan lebih cepat dalam menemukan pakan dibanding kontrol. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tikus umur 12 bulan setelah diberi dipeptida alanil-glutamina 7% mengalami perbaikan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat, berturut-turut 93.32%, 88.56%, 87.69%, dan 48.48%, lebih baik dibanding kontrol, sedangkan tikus umur 24 bulan secara umum mengalami tingkat perbaikan yang lebih rendah berturut-turut
90
92.81%, 56.83%, 71.73%, dan 117.04% (Gambar 17, 18, 19, dan 20). Perbaikan
Jarak tempuh (cm)
respons aktivitas motorik berkisar 50% - 90%. 939
960 480
641.5
567
720 269.5
240
67.5
18
52.5
33
0 12
24
TS
Level umur tikus (bulan)
S
Level stres oksidatif
Waktu stereotif (detik)
Gambar 18 Respons jarak tempuh tikus dalam ruang optovarimex hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif
200 150 100 50 0
191.5
167
157.5 68
12
24
TS
Level umur tikus (bulan)
50.5
40.5
23
S
Level stres oksidatif
Waktu ambulatori (detik)
Gambar 19 Respons waktu stereotif tikus dalam ruang optovarimex hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif
168
180 90
125
108
135 65
47.5
45
28.5
27
8
0 12
24
Level umur tikus (bulan)
TS
S
Level stres oksidatif
Gambar 20 Respons waktu ambulatori tikus dalam ruang optovarimex hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% (hitam) dan 7% (abuabu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif
Waktu istirahat (detik)
91
565
580 435
311
220
290
546.5
477.5
380.5
496 289.5
145 0 12
24
Level umur tikus (bulan)
Gambar 21
TS
S
Level stres oksidatif
Respons waktu istirahat tikus dalam ruang optovarimex hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif
Bukti ini memperjelas bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% berpengaruh pada perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Tikus yang diberi dipeptida alanil-glutamina 7% tampak tenang dan lebih cepat dalam menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze. Bukti ini menunjukkan bahwa tikus percobaan memiliki kemampuan navigasi dan cara mengenali objek pakan yang lebih baik dibanding kontrol. Kemampuan ini mempunyai keterkaitan dengan terpeliharanya sistem memori dan informasi di dalam sel-sel neuron hipokampus, terutama di bagian cornu ammonis. Hasil penelitian ini juga memberi bukti bahwa perbaikan respons aktivitas motorik akibat peningkatan umur tidak hanya melibatkan ketersediaan glutamina hasil biosintesis endogen, namun sangat bergantung pada bahan-bahan eksogen yang dapat dikonversi menjadi glutamina, seperti dipeptida alanil-glutamina. Roth et al. (2002) dan Fernandes et al. (2010) melaporkan pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dapat meningkatkan glutamina plasma dan simpanan glutamina dalam jaringan tubuh. Simpanan glutamina yang tinggi dapat memberi peningkatan level glutation (Mates et al. 2002; Schuster et al. 2009). Pendapat ini sesuai hasil penelitian Sunarno et al. (2012) yang melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% yang diberikan dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia dan diberikan secara intravena menghasilkan peningkatan level glutation hipokampus pada tikus paruh umur (12 bulan) dan tikus tua (24 bulan) berturut-turut 58.76% dan 125.81%, lebih tinggi dibanding kontrol. Peningkatan level antioksidan ini sebagai bukti
92
bahwa hipokampus memiliki simpanan glutamina yang tinggi sebagai hasil pemberian dipeptida alanil-glutamina eksogen. Peningkatan level glutation hipokampus merupakan indikasi perbaikan kondisi neurofisiologis yang terlibat dalam perbaikan fungsi kognitif di hipokampus. Munckhof et al. (2003) melaporkan, kondisi fisiologis yang optimum mempunyai peran penting dalam mengontrol perilaku yang ditandai dengan peningkatan kenyamanan, penurunan tingkat kecemasan, perilaku tenang, dan lebih mudah dalam mengenali objek yang terletak dalam suatu ruang. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% dapat meningkatkan level glutation hipokampus dan memperbaiki kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik pada penuaan akibat peningkatan umur (penuaan fisiologis). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina yang diberikan dapat meningkatkan ketersediaan glutamina hipokampus yang berguna untuk mendukung proses-proses yang berkaitan dengan sintesis glutation, perbaikan jaringan, perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Selain itu diduga bahwa dipeptida alanilglutamina yang diberikan tidak mengalami kerusakan selama bersirkulasi, dapat ditranspor secara efektif menuju hipokampus, secara efektif dapat dikonversi menjadi glutamina, dan dapat dimanfaatkan oleh sel-sel neuron secara langsung untuk sintesis glutation, terutama sel-sel neuron di bagian cornu ammonis. Berg et al (2006) melaporkan, dipeptida alanil-glutamina mempunyai sifat stabil selama mengalami proses di dalam tubuh, lebih cepat mengalami hidrolisis, mampu melintasi sawar darah otak, dapat dimanfaatkan oleh neuron secara langsung, dan mampu meningkatkan level glutation di hipokampus. Perbaikan sel-sel neuron di bagian cornu ammonis berbanding lurus dengan perbaikan kemampuan belajarmengingat dan aktivitas motorik. Schneider et al. (2006) dan Salim et al. (2010) melaporkan bahwa perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik merupakan indikasi perbaikan kondisi neurofisiologi dan neuroanatomi hipokampus, meliputi kepadatan spina dendrit, percabangan neuron, transmisi impuls saraf, dan mekanisme depolarisasi atau repolarisasi membran. Cruzat dan Tirapegui (2009) melaporkan bahwa perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik melibatkan jalur metabolisme glutation
93
atau asam glutamat. Kedua jalur metabolisme ini mempunyai peran penting dalam mendukung peningkatan aktivitas sinaps, produksi molekul sinyal, dan jumlah koneksi sinaps pada neuron-neuron di hipokampus. Hal ini dapat mendukung tercapainya kondisi yang lebih optimum, baik pada proses transmisi impuls saraf, berjalannya potensial aksi dalam membran postsinaptik, maupun peningkatan kemampuan dalam merespons pada stimulus. Perbaikan hubungan sinaptik antara neuron, neuroanatomi, dan proses neurofisiologis memberi gambaran perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik pada tikus-tikus percobaan. (Bjork et al. 2006). Stres oksidatif menghasilkan penurunan respons kemampuan belajarmengingat dan aktivitas motorik, sebaliknya pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dapat memberi perbaikan respons kemampuan belajarmengingat dan aktivitas motorik. Hasil penelitian ini juga menemukan bukti bahwa interaksi antara konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dengan stres oksidatif dapat memberi perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik (P<0.05). Tikus normal yang diberi konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina mengalami perbaikan respons waktu sebesar 87.74%, lebih baik dibanding kontrol dan lebih tinggi dibanding tikus dengan stres oksidatif yang hanya mencapai 33.11% (Gambar 15). Hal ini berarti tikus normal dan stres oksidatif yang diberi dipeptida alanil-glutamina lebih cepat dalam menemukan pakan dibanding kontrol. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tikus normal mengalami perbaikan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat, berturut-turut sebesar 94.18%, 75.75%, 75%, dan 75.72%, lebih baik dibanding kontrol, sedangkan tikus dengan stres oksidatif mengalami perbaikan, berturut-turut sebesar 91.82%, 73.63%, 77.2%, dan 71.33% (Gambar 17, 18, 19, dan 20). Perbaikan aktivitas motorik pada tikus normal atau tikus stres oksidatif berkisar 70%-95%. Hal ini berarti secara keseluruhan tikus-tikus percobaan telah mengalami penurunan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan perbaikan waktu istirahat yang lebih optimal. Perbaikan respons aktivitas motorik ditandai dengan perbaikan perilaku yang meliputi cepat beradaptasi dalam ruang uji optovarimek, memiliki perilaku tenang, tidak cemas, tidak agresif, dan
94
memiliki pergerakan dengan pola yang teratur. Perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik mempunyai keterkaitan dengan peningkatan level glutation di hipokampus. Dengan demikian, peningkatan level glutation memperantarai perubahan-perubahan neurofisiologi dan neuroanatomi yang berkaitan dengan perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina pada tikus normal atau tikus dengan stres oksidatif mampu memperbaiki kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Kemampuan ini mempunyai korelasi dengan peningkatan level glutation, kondisi neurofisiologi, dan neuroanatomi di hipokampus. Dengan demikian, konsentrasi optimum
dipeptida
alanil-glutamina
yang
diberikan
dapat
mendukung
ketersediaan glutamina hipokampus yang terlibat dalam sintesis glutation, pemulihan kondisi neurofisiologi, dan neuroanatomi (Schneider et al. 2006; Salim et al. 2010). Sunarno et al. (2012) melaporkan bahwa pemberian dipeptida alanilglutamina 7% dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia, baik pada tikus normal atau stres oksidatif memberi peningkatan level glutation hipokampus berturut-turut 97.26% dan 76.47%, lebih baik dibanding kontrol. Peningkatan
level
glutation
hipokampus
memberi
indikasi
peningkatan
pertahanan seluler, integritas seluler, plastisitas sinaptik, perbaikan kemampuan penggabungan memori, penyimpanan informasi, dan navigasi yang mempunyai korelasi langsung dengan perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik (Turner et al. 2003; Geinisman 2004; Miller dan O'Callaghan 2005) . Pemulihan kondisi neurofisiologi dan neuroanatomi di hipokampus dapat terjadi melalui jalur metabolisme glutation maupun pembentukan neurotransmiter yang terkait upaya memberi respons optimum pada ruang. Dringen et al. (2000) dan Schulz et al. (2000) melaporkan bahwa peningkatan level glutation di otak, termasuk
di
hipokampus,
dapat
meningkatkan
pertahanan
seluler
dan
pemeliharaan pada integritas membran sel, organel-organel bermembran maupun protein sitoskelet. Bersama-sama dengan enzim antioksidan lainnya, seperti glutation reduktase, glutation-S-transferse, glutation peroksidase, katalase maupun superoksida dismutase, antioksidan glutation membentuk sistem pertahanan
95
antioksidan pada sel neuron sebagai upaya pemeliharaan dan perbaikan fungsi neuron (Guven dan Kaya 2005). Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa level optimum glutation dapat memperantarai optimalisasi fungsi membran, organel bermembran, protein sitoskelet maupun proses-proses dalam neuron yang mempunyai korelasi dengan perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Selain diperlukan sebagai bahan baku dalam sintesis asam nukleat, asam glutamat dapat berfungsi sebagai neurotransmiter dalam proses transmisi impuls saraf, terutama di neuron-neuron pada bagian cornu ammonis hipokampus (Dringen et al. 2000; Bjork et al. 2006). Ketersediaan glutamina atau dipeptida alanil-glutamina yang optimum di hipokampus dapat meningkatkan konsentrasi asam glutamat melalui proses konversi glutamina atau dipeptida alanil-glutamina. Konsentrasi asam glutamat yang optimum dapat meningkatkan transmisi impuls saraf dan peningkatan nilai ambang terhadap neurotransmiter yang berdampak pada peningkatan kemampuan beradaptasi pada ruang fourth arm maze atau ruang uji optovarimex. Peningkatan kemampuan adaptasi ditandai oleh perbaikan respons waktu dalam menemukan pakan, penurunan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat menjadi lebih optimal. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini memberi bukti bahwa pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina memberi pengaruh signifikan pada perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik, baik pada tikus umur 12 bulan atau 24 bulan, pada tikus normal (tanpa stres oksidatif) atau tikus dengan stres oksidatif. Perbaikan respons kemampuan belajarmengingat dan aktivitas motorik mempunyai keterkaitan dengan perbaikan kondisi neurofisiologi dan neuroanatomi yang diperantarai peningkatan level glutation di hipokampus. Perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik ditandai perbaikan fungsi sel-sel neuron di bagian cornu ammonis hipokampus hasil dari pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina. SIMPULAN Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% dapat meningkatkan level glutation hipokampus dan secara efektif dapat memberi perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Berdasarkan hal tersebut konsentrasi
96
dipeptida alanil-glutamina 7% dan level optimum glutation di hipokampus dapat memperbaiki fungsi pada penuaan hipokampus tikus, baik penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. DAFTAR PUSTAKA Berg A, Rooyakcers O, Norberg A, Wernerman J. 2006. Elimination kinetics of L-alanyl-L-glutamine in ICU patients. Biomed Life Sci 29(3):221-228. Burke SN, Barnes CA. 2006. Neural plasticity in the aging brain. Nat Rev Neurosci 7:30. Bjork K, Saarikoski ST, Arlinde C, Kovanen L, Osei-Hyiaman D, Ubaldi M, Reimers M, Hyytia P, Heilig M, Sommer WH. 2006. Glutathione-Stransferase expression in the brain: possible role in ethanol preference and longevity. J Fas 4:1826-1835 Chang CC, Yi CC, Hui CH, Fa YL, Full YC, Han CL, Cho YC, Sun SW, Shou DL. 2006. Methimazole alleviates hepatic encephalopathy in bile-duct ligated cirrhotic rats. J Chin Med Assoc 69(12):563-568. Cruzat VF, Tirapegui JO. 2009. Effects of oral supplementation with glutamine and alanyl-glutamine on glutamine, glutamate, and glutathione status in trained rats and subjected to long-duration exercise. Nutrition 25:428-435. Cruzat VF, Rogero MM, Borges MC, Tirapegui J. 2007. Current aspects about oxidative stress, physical exercise and supplementation. Rev Bras Med Esporte 13(5):304e-210e. Daren KH, Dhaliwalm R, Andrew DRD, Drover J, Cote H, Wischmeyer P. 2007. Optimizing the dose of glutamine dipeptides and antioxidants in critically ill patients: a phase I dose-finding study. J Parent Ent Nut 31(2):109-118. Djavadian RL. 2004. Serotonin and neurogenesis in the hippocampal dentate gyrus of adult mammals. Acta Neurobiol Exp 64:189-200. Dringen R, Gutterer JM, Hirrlinger J. 2000. Glutathione metabolism in brain metabolic interaction between astrocytes and neurons in the defense against reactive oxygen species. Eur J Biochem 267:4912-4916. Fernandes V, Rogero MM, Tirapegui J. 2010. Effects of supplementation with free glutamine and the peptide alanyl-glutamine on parameters of muscle damage and inflammation in rats submitted to prolonged exercise. Cell Biochem Funct 28:24-30. Geinisman Y. 2004. Aging, spatial learning, and total synapse number in the rat CA1 stratum radiatum. Neurobiol Aging 25:407.
97
Guven A, Kaya N. 2005. Determination of reduced glutathion, glutathione-Stransferase and selenium levels in goose liver cells with damage induced by carbon tetrachloride and ethanol. Turk J Vet Anim Sci 29:1233-1238. Ito HT, Schuman EM. 2011. Functional division of hippocampal area CA1 via modulatory gating of entorhinal cortical inputs. Hippocampus 9:1-15. Jun C, Dai CL, Zhang X, Cui K, Xu F, Xu YQ. 2006. Alanyl-glutamine dipeptide inhibits hepatic ischemia-reperfusion injury in rats. Word J Gastroent 12(9): 1373-1378 Kiray M. 2005. Deprenyl and the relationship between its effects on spatial memory, oxidant stress and hippocampal neurons in aged male rats. Physiol Res 55:205. Knierim JJ, Lee I, Hargreaves EL. 2006. Hippocampal place cells: paralles input streams, subregional processing, and implications for episodic memory. Hippocampus 16:755-764. Mates JM, Gomez CP, de Casto IN, Asenjo M, Marquez J. 2002. Glutamine and its relationship with intracellular redox status, oxidative stress and cell proliferation/death. J Biochem Cell Biol 34(5):439-458. Miller DB, O'Callaghan JP. 2005. Aging, stress and the hippocampus. Ageing Res Rev 4(2):123-40. Moyer JR, Brown TH. 2006. Impaired trace and contextual fear conditioning in aged rats. Behav Neurosci 120:612. Munckhof VDP, Kelvin CL, Marie LS, Montgomery J, Blanchet PJ, Sadikot AF, Drouin J. 2003. Pitx3 is required for motor activity and for survival of a subset of midbrain dopaminergic neurons. Develop Disease 130:2535-2542. Reddy PH. 2009. Amyloid beta, mitochondrial structural, and functional dynamics in Alzheimer's disease. Exp Neurol 218:286-292 Roth E, Oehler R, Manhart N, Exner R, Wessner B, Strasser E, Spittler A. 2002. Regulative potential of glutamine relation to glutathione metabolism Nutrition 18(3):217-221. Salim S, Sarraj N, Taneja M, Saha K, Tejada SMV, Chugh G. 2010. Moderate treadmill exercise prevents oxidative stress-induced anxiety-like behavior in rats. Behav Brain Res 208:545-552 Schimanski LA, Barnes CA. 2010. Neural protein synthesis during aging: effects on plasticity and memory. Front Aging Neurosci 2:26.
98
Schneider T, Turczak J, Przewłocki R. 2006. Environmental enrichment reverses behavioral alterations in rats prenatally exposed to valproic acid: issues for a therapeutic approach in autism. Neuropsychopharmacol 31:36-46. Schulz JB, Lindenau J, Seyfried J, Dichgans J. 2000. Glutathione, oxidative stress, and neurodegeneration. Eur J Biochem 267:904-4911. Schuster H, Blanc MC, Rousselot DB, Nakib S, Tourneau AL, Furst P, Cynober L, Bandt JPD. 2009. Protective effects of glutamine dipeptide and α-tocopherol against ischemia-reperfusion injury in the isolated rat liver. Clinic Nut 28(3):331-337. Shukitt HB. 2004. Effect of age on the radial arm water maze-a test of spatial learning and memory. Neurobiol Aging 25:223. Sunarno, Manalu W, Kusumorini N, Agungpriyono DR. 2012. Peran alaninglutamin dipeptida dalam mengoptimlakan level glutation di hipokampus dan hubungannya dengan status fungsi hipokampus pada penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif. Sains Med 4(1):157-165 Turner PR, O'Connor K, Tate WP, Abraham WC. 2003. Roles of amyloid precursor protein and its fragments in regulating neural activity, plasticity and memory. Prog Neurobiol 70(1):1-32. Villarreal JS, Dykes JR, Barea-Rodriguez EJ. 2004. Fischer 344 rats display agerelated memory deficits in trace fear conditioning. Behav Neurosci 118:1166. Wati H. 2006. A decreased survival of proliferated cells in the hippocampus is associated with a decline in spatial memory in aged rats. Neurosci 399:171. Wedzony K, Mackowiak M, Zajaczkowski W, Fijal K, Chocyk A, Czyrak A. 2000. An antagonist of 5-HT1A serotonin receptors, attenuates psychotomimetic effects of MK-801. Neuropsychopharmacology 23:547-59. Wolf OT. 2005. Subjective memory complaints in aging are associated with elevated cortisols levels. Neurobiol Aging 26:1357. Xavier GF, Costa VCI. 2009. Dentate gyrus and spatial behaviour. Neurosci 33:768-769.
99
PEMBAHASAN UMUM Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif merupakan dua faktor utama penyebab penurunan fungsi hipokampus. Hasil penelitian ini telah menemukan adanya korelasi antara penurunan fungsi hipokampus dengan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina, baik dalam plasma darah atau hipokampus. Berkurangnya konsentrasi senyawa ini menyebabkan penurunan ketersediaan glutamina dalam hipokampus yang berpengaruh secara langsung pada penurunan level glutation hipokampus. Penurunan level glutation hipokampus pada tikus umur tua atau tikus stres oksidatif menandakan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya berpengaruh pada perubahan-perubahan morfologi dan biokimiawi di hipokampus yang memicu penurunan level glutation hipokampus. Penurunan level antioksidan ini dalam hipokampus memperantarai terjadinya penurunan fungsi hipokampus yang dapat dilihat dari indikator respons histo-morfologi, perubahan struktur mitokondria, kemampuan belajar atau mengingat, dan aktivitas motorik. Hasil penelitian telah menemukan bukti bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya menghasilkan penurunan level glutation hipokampus. Pada tikus umur 24 bulan terlihat bahwa level glutation hipokampus mengalami penurunan signifikan sebesar 48.56% dibanding tikus umur 12 bulan. Penurunan level glutation hipokampus juga terjadi pada tikus yang mengalami stres oksidatif dengan tingkat penurunan sebesar 94.42% dibanding tikus normal. Adapun interaksi antara umur tikus 24 bulan dengan stres oksidatif menghasilkan penurunan level glutation hipokampus sebesar 35.71% dibanding tikus umur 12 bulan pada kondisi yang sama. Hasil penelitian ini memberi bukti bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya berpengaruh pada perubahan-perubahan morfologi dan biokimiawi di hipokampus yang memicu penurunan level glutation. Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang mendukung pendapat tersebut. Balaban et al. (2005) melaporkan, peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya mempunyai dampak pada perubahan struktur, jumlah, dan penurunan efisiensi mitokondria. Sultana et al. (2006) melaporkan bahwa penurunan efisiensi mitokondria dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim
100
dalam siklus Krebs dan rantai transpor elektron. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan energi seluler dan gangguan metabolisme glutation di hipokampus (Speakman et al. 2004). Gangguan metabolisme glutation menyebabkan penurunan level glutation di hipokampus (Schulz et al. 2000). Hasil penelitian ini memberi bukti bahwa tikus umur tua atau stres oksidatif masih memiliki sistem antioksidan glutation yang dapat bekerja secara efektif. Bukti ini diperkuat oleh hasil penelitian yang melaporkan bahwa sistem antioksidan glutation dapat bekerja secara efektif di sepanjang umur hewan. Efektivitas sistem ini bergantung pada jenis dan tingkat stres, ketersediaan prekursor glutation atau proses-proses lain yang terlibat dan mempengaruhi sintesis glutation (Dringen et al. 2000). Hasil penelitian berikutnya berhasil menemukan adanya korelasi antara penurunan level glutation hipokampus dengan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma darah atau hipokampus. Peningkatan umur tikus, yaitu umur 24 bulan dari 12 bulan menyebabkan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma darah dan hipokampus sebesar 13.31% dan 14.48%. Adapun stres oksidatif pada tikus menyebabkan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma darah dan hipokampus sebesar 11.39% dan 11.48, lebih rendah dibanding tikus normal. Demikian pula, tikus umur 24 bulan yang mengalami stres oksidatif mempunyai penurunan konsentrasi dipeptida alanilglutamina plasma dan hipokampus sebesar 15.99% dan 10.48%, lebih tinggi dibanding tikus umur 12 bulan pada kondisi yang sama. Hal ini berarti konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dalam plasma atau hipokampus mengalami penurunan sebagai akibat peningkatan umur, stres oksidatif, dan interaksi antara keduanya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya telah menyebabkan gangguan metabolik di beberapa organ tubuh, terutama di hipokampus. Selama gangguan metabolik, sejumlah besar dipeptida alanil-glutamina akan ditranspor menuju ke beberapa jaringan tubuh yang paling membutuhkan. Senyawa ini digunakan untuk mendukung proses-proses yang terlibat dalam melindungi jaringan tubuh dari pengaruh kerusakan yang disebabkan oleh stres oksidatif. Namun, adanya gangguan pada transpor lintas membran, hambatan metabolisme glutation, dan perbaikan fungsi hipokampus dari kondisi kerusakan oksidatif yang tinggi menyebabkan
101
ketidakseimbangan antara substrat yang dibutuhkan dan proses perbaikan. Beberapa kondisi tersebut akhirnya menyebabkan penurunan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina di plasma darah, di hipokampus, dan penurunan level glutation hipokampus. Beberapa penelitian memberi bukti yang menguatkan pendapat ini. Jun et al. (2006) melaporkan bahwa stres metabolik dapat menyebabkan penurunan konsentrasi glutamina, baik yang bersirkulasi dalam darah atau jaringan. Penurunan ini telah diketahui sebagai bagian dari upaya penggunaan glutamina atau dipeptida alanil-glutamina untuk melindungi jaringan tubuh dari kerusakan oksidatif sekaligus melakukan perbaikan morfologi atau fungsi jaringan. Lebih lanjut dilaporkan bahwa kebutuhan glutation yang tinggi sebagai upaya untuk melindungi sel-sel yang mengalami penurunan fungsi (cell injury) akibat peningkatan umur dan stres oksidatif. Kondisi ini menjadi penyebab terjadinya penurunan level glutation dalam jaringan, tidak terkecuali hal ini juga terjadi pada sel-sel neuron di hipokampus (Schluz et al. 2000; Kulkarni et al. 2005; Jun et al. 2006; Lemberg dan Fernandez 2009). Hasil penelitian ini juga menemukan beberapa indikator histo-morfologi yang menunjukkan penurunan fungsi hipokampus. Penurunan fungsi hipokampus diperantarai oleh penurunan level glutation hipokampus. Indikator
histo-
morfologi pada beberapa tikus percobaan tampak menurun, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Penurunan indikator histo-morfologi ditandai dengan penurunan viabilitas, peningkatan mortalitas, dan berkurangnya panjang akson neuron terutama di bagian cornu ammonis hipokampus yang mempunyai peran penting dalam regulasi fungsi kognitif dan aktivitas motorik. Pada tikus umur 24 bulan terlihat bahwa respons viabilitas tampak menurun, mortalitas tampak meningkat, dan diikuti berkurangnya panjang akson neuron, berturut-turut 4.77%, 53.8%, dan 16.71% dibanding tikus umur 12 bulan. Stres oksidatif juga menyebabkan penurunan viabilitas, peningkatan mortalitas, dan berkurangnya panjang akson neuron, berturut-turut 3.83%, 40.84%, dan 8.39%. Adapun tikus umur 24 bulan yang mengalami stres oksidatif mempunyai penurunan viabilitas, peningkatan mortalitas, dan berkurangnya panjang akson, berturut-turut 2.25%, 18.07%, dan 15.90%. Bukti ini menguatkan pendapat dari beberapa penelitian terdahulu yang melaporkan bahwa neuron pada bagian cornu
102
ammonis hipokampus sangat rentan pada stres metabolik, baik yang disebabkan oleh peningkatan umur, stres oksidatif, atau interaksi antara keduanya. Gangguan respons histo-morfologi diawali dari penurunan fungsi mitokondria dan gangguan proses oksidasi-fosforilasi pada neuron-neuron penyusun hipokampus. Tanpa adanya penanganan, gangguan ini dapat menyebabkan penurunan energi seluler, akumulasi metabolit yang bersifat neurotoksik, dan pembentukan radikal bebas. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada komponen neuron, atropi neuron, berkurangnya cabang dendrit, dan mielin pada akson neuron atau penurunan jumlah neuron, terutama di bagian cornu ammonis hipokampus (Markham 2005; Bjork et al. 2006; Kujoth et al. 2007; Liu et al. 2010). Buktibukti penelitian ini semakin memperjelas bahwa interaksi antara umur tua dan stres oksidatif tidak hanya berpotensi menurunkan level glutation hipokampus, namun juga mengganggu integritas neuron dan histo-morfologi hipokampus. Penurunan respons histo-morfologi hipokampus mempunyai keterkaitan dengan kerusakan struktur mitokondria. Kerusakan mitokondria mempunyai korelasi dengan gangguan oksidasi-fosforilasi, penurunan energi seluler, gangguan integritas seluler, dan kerusakan akson neuron yang dapat berakibat pada kematian neuron. Hasil pengamatan struktur mitokondria memberi bukti bahwa penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif menyebabkan penurunan respons histo-morfologi yang mempunyai keterkaitan dengan kerusakan struktur mitokondria. Hasil penelitian ini menemukan bukti bahwa kerusakan struktur mitokondria ditemukan pada tikus umur tua (24 bulan), baik dalam kondisi normal atau stres oksidatif. Perubahan struktur mitokondria pada tikus umur 24 bulan normal ditandai dengan kehadiran mitokondria normal, mitokondria dengan kerusakan sebagian, dan mitokondria dengan kerusakan total berturutturut sebesar 33%, 59%, dan 8%. Hasil penelitian ini memberi bukti bahwa tikus umur tua (24 bulan) dalam kondisi normal telah mengalami perubahan struktur mitokondria. Mitokondria dengan kerusakan sebagian ditemukan lebih dominan dibanding mitokondria normal atau mitokondria dengan kerusakan total. Pengamatan profil mitokondria pada tikus umur 24 bulan dengan stres oksidatif ditemukan perubahan struktur mitokondria yang ditandai dengan kehadiran
103
mitokondria dengan kerusakan total dan sebagian, berturut-turut 73.2% dan 26.8% dan tidak ditemukan mitokondria normal (0%). Hasil penelitian ini memberi bukti bahwa stres oksidatif memberi pengaruh pada kerusakan mitokondria neuron dengan tingkat kerusakan yang sangat tinggi. Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa tikus umur tua (24 bulan) dalam kondisi stres oksidatif memiliki derajad kerusakan struktur mitokondria yang lebih besar dibanding tikus umur tua yang normal. Beberapa penelitian telah menguatkan pendapat ini. Aliev et al. (2009) melaporkan bahwa penuaan fisiologis yang diiringi dengan stres oksidatif dapat memicu pembentukan spesies oksigen reaktif dengan tingkat produksi lebih tinggi dibanding kondisi normal. Spesies oksigen reaktif dalam jumlah berlebihan dapat memicu ketidakseimbangan antara kapasitas antioksidan glutation dan oksidan-oksidan di dalam sel. Kondisi ini dapat menginduksi kerusakan struktur mitokondria dan menimbulkan dampak yang lebih besar pada proses oksidasi-fosforilasi, kegagalan mitokondria dalam memelihara dan mempertahankan kebutuhan energi seluler, dan penurunan secara nyata fungsi neuron hipokampus. Kegagalan pemeliharaan dan kebutuhan energi oleh mitokondria memberi gambaran adanya kerusakan mitokondria dengan kerusakan yang didominasi oleh kerusakan sebagian atau total. Kerusakan mitokondria dengan kerusakan sebagian secara spesifik ditandai dengan degenerasi krista atau pembengkakan ukuran mitokondria. Adapun mitokondria dengan kerusakan total ditandai dengan degenerasi krista secara menyeluruh dan pembengkakan ukuran yang diikuti terjadinya kerusakan membran fosfolipid (Beck et al. 2011). Kerusakan struktur mitokondria juga dapat terjadi sebagai akibat peningkatan ion-ion Ca2+ intraseluler yang diperantarai penurunan level glutation. Kondisi ini berdampak pada kebocoran membran mitokondria yang memicu kerusakan struktur mitokondria (Green dan LaFerla 2008). Penurunan respons histo-morfologi dan kerusakan mitokondria neuron hipokampus mempunyai keterkaitan dengan penurunan respons fungsi kognitif yang ditandai dengan penurunan kemampuan belajar-mengingat. Hasil penelitian telah membuktikan adanya hubungan tersebut. Melalui uji dalam ruang fourth arm maze berhasil ditemukan bukti bahwa tikus umur tua atau stres oksidatif membutuhkan waktu lebih lama dalam menemukan pakan. Tikus umur 24 bulan,
104
tikus yang mengalami stres oksidatif atau tikus umur 24 bulan yang mengalami stres oksidatif membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze. Waktu yang dibutuhkan untuk menemukan pakan naik sebesar 85.85%, 71.85%, dan 59.37% dibanding tikus umur 12 bulan, tikus normal, atau tikus umur 12 bulan yang mengalami stres oksidatif. Bukti ini memberi gambaran bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya dapat menimbulkan dampak serius pada penurunan kemampuan belajar dan mengingat. Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang mendukung pendapat tersebut. Moyer dan Brown (2006) melaporkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya dapat menyebabkan penurunan plastisitas sinaptik yang berakibat pada penyimpangan perilaku tikus dan gangguan navigasi dalam ruang fourth arm maze. Penurunan plastisitas sinaptik diawali dari hiperpolarisasi dan peningkatan aktivitas neuron yang bergantung ion kalsium di hipokampus (Wati 2006). Kondisi ini berdampak pada penurunan kekuatan sinaptik yang berpotensi mengganggu kinerja motorik, kemampuan merespons pada perubahan lingkungan mikro di hipokampus, dan proses penyimpanan informasi (Turner et al. 2003; Wolf 2005; Burke dan Barnes 2006; Reddy 2008, Schimanski dan Barnes 2010). Shukitt (2004) melaporkan keberadaan sinaps-sinaps di hipokampus sangat menentukan baik dan buruknya kemampuan belajar dan mengingat. Perubahan sinaptik akibat peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya menyebabkan penurunan kemampuan belajar dan mengingat seperti telah dibuktikan pada penelitian ini. Penurunan respons histo-morfologi hipokampus memperantarai terjadinya gangguan pada aktivitas motorik. Tikus umur tua atau tikus yang mengalami stres oksidatif tampak mengalami gangguan pada aktivitas motorik yang dapat dilihat dari peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan penurunan waktu istirahat pada ruang optovarimex. Jarak tempuh, waktu stereotif, dan ambulatori pada tikus umur 24 bulan naik sebesar 250.09%, 0.67%, dan 195.21%, sedangkan waktu istirahat turun sebesar 26.23%. Adapun pada tikus yang mengalami stres oksidatif jarak tempuh, waktu stereotif, dan ambulatori naik sebesar 15.67%, 16.63%, dan 13.7%, sedangkan waktu istirahat turun sebesar
105
8.40%. Peningkatan respons ketiga parameter tersebut juga tampak pada tikus umur 24 bulan yang mengalami stres oksidatif, berturut-turut 259.60%, 5.62%, dan 174.39%, sedangkan waktu istirahat turun sebesar 32.69%. Hal ini berarti telah terjadi penyimpangan perilaku pada tikus sebagai akibat peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya. Dalam ruang optovarimex tikus tampak gelisah, tidak tenang, cemas, melakukan gerakan-gerakan dengan pola yang tidak teratur, dan bergerak kesegala arah. Penyimpangan perilaku mempunyai hubungan erat dengan gangguan neurofisiologi. Gangguan neurofisiologi, meliputi penurunan plastisitas sinaptik, gangguan sinyal, elektrofisiologi, dan pemeliharaan komposisi neurokimia di hipokampus (Miller dan O'Callaghan 2005). Bukti ini diperkuat oleh hasil penelitian Wati (2006) yang melaporkan bahwa perubahan perilaku akibat peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya diawali dari perubahan kemampuan merespons lingkungan mikro di hipokampus sebagai akibat hiperpolarisasi dan peningkatan aktivitas neuron yang tergantung ion kalsium atau penurunan plastisitas sinaptik di hipokampus. Penurunan kondisi neurofisiologi berdampak pada penurunan fungsi hipokampus, terutama sel-sel neuron di bagian cornu ammonis. Penurunan fungsi di bagian ini dapat memberi penurunan respons aktivitas motorik (Miller dan O'Callaghan 2005; Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011). Gangguan aktivitas motorik ditandai dengan peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan penurunan waktu istirahat (Wedzony et al. 2000; Chang et al. 2006). Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif berdampak pada penurunan respons fisiologis, baik penurunan konsentrasi dipeptida alanilglutamina dalam plasma darah atau hipokampus dan juga level glutation hipokampus. Penurunan respons fisiologis dapat memperantarai penurunan respons histo-morfologi dan kerusakan struktur mitokondria. Pada tingkat individu, gangguan fisiologis, histo-morfologi, dan struktur mitokondria di hipokampus akibat penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif menyebabkan perubahan atau penyimpangan perilaku, baik yang berkaitan dengan kemampuan belajar-mengingat atau respons aktivitas motorik. Namun, penurunan fungsi hipokampus pada kedua kondisi penuaan ini masih dapat diperbaiki atau
106
diperlambat mengingat setiap individu memiliki sistem antioksidan glutation yang bekerja secara aktif di sepanjang umur hidup. Untuk memperbaiki fungsi pada penuaan hipokampus telah digunakan dipeptida alanil-glutamina yang mempunyai mekanisme kerja meningkatkan ketersediaan glutamina di hipokampus, sehingga level glutation di hipokampus dapat ditingkatkan. Hasil penelitian ini telah memberi bukti bahwa peningkatan level glutation hipokampus mampu meningkatkan sistem pertahanan antioksidan pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif dan memperantarai perbaikan fisiologis respons histo-morfologi, struktur mitokondria, kemampuan belajar-mengingat, dan aktivitas motorik. Dipeptida alanil-glutamina yang memberi pengaruh terbaik pada peningkatan level glutation hipokampus dan beberapa indikator perbaikan fungsi hipokampus lainnya pada penelitian ini adalah dipeptida alanil-glutamina 7%. Konsentrasi ini selanjutnya disebut sebagai konsentrasi optimum. Hasil pengamatan level glutation hipokampus pada tikus umur tua (24 bulan) atau tikus yang mengalami stres oksidatif memberi bukti bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% mampu meningkatkan level glutation hipokampus sebesar 125.81% dan 97.26%, namun level glutation hipokampus masih lebih rendah dibanding tikus umur 12 bulan atau tikus normal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan level glutation hipokampus yang tinggi pada tikus umur tua atau stres oksidatif masih dapat ditingkatkan dengan pemberian dipeptida alanil-glutamina 7%. Peningkatan level antioksidan ini diduga melibatkan berbagai sistem yang terkait dengan penyediaan substrat glutamina intraseluler, konversi glutamina menjadi asam glutamat, dan enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme glutation. Dringen et al. (2000) dan Shulz et al. (2000) melaporkan bahwa otak atau bagian-bagiannya memiliki mekanisme untuk mengembalikan fungsi sistem antioksidan sebagai upaya untuk memperlambat proses penuaan. Namun, efektivitas antioksidan ini sangat bergantung pada tingkat ketersediaan prekursor glutation di dalam otak melalui pemberian prekursor glutation eksogen, jumlah dan aktivitas enzim yang terlibat dalam sintesis glutation, dan penurunan tingkat gangguan intraseluler. Andreasen et al. (2009) dan Schade et al. (2009) melaporkan bahwa ketersediaan prekursor glutation yang optimum dapat
107
meningkatkan laju sintesis glutation dan memberi peningkatan pengaruh anabolik untuk mempercepat pemulihan kondisi fisiologis tubuh. Cruzat dan Tirapegui (2009) melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina sebagai prekursor glutation eksogen dapat meningkatkan konsentrasi glutamina intraseluler dan level glutation. Berg et al. (2006) melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina mampu melintasi sawar darah otak, dapat dimanfaatkan oleh neuron, dan secara efektif dapat meningkatkan level glutation hipokampus. Dalam neuron hipokampus, dipeptida alanil-glutamina akan dihidrolisis oleh ektopeptidase neuron menjadi glutamina yang secara bertahap akan diambil sebagai prekursor untuk sintesis glutation (Dringen et al. 2000). Secara umum, hasil penelitian ini memberi gambaran bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% dapat meningkatkan level glutation di hipokampus dan memperbaiki fungsi hipokampus, baik pada tikus umur muda, tua, tikus normal, atau tikus stres oksidatif. Meningkatnya level glutation hipokampus mempunyai keterkaitan dengan meningkatnya harapan hidup (Dringen et al. 2000). Perbaikan semua indikator yang berkaitaan dengan perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus diperantarai oleh peningkatan level glutation hipokampus yang terkait dengan peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dalam plasma dan hipokampus. Indikator fisiologis ini memberi dampak pada perbaikan fungsi hipokampus pada kedua kondisi penuaan. Hasil penelitian ini memberi bukti bahwa pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina eksogen menyebabkan peningkatan dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus. Tikus umur tua (24 bulan) atau tikus yang mengalami stres oksidatif yang diberi konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina eksogen mengalami peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma, berturut-turut 32.90% dan 39.69%, sedangkan dalam hipokampus, konsentrasi senyawa ini berturut-turut naik menjadi 52.91% dan 42.31%. Peningkatan konsentrasi senyawa ini tampak lebih tinggi dibanding kontrol, namun tikus pada kedua kondisi ini mempunyai konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus yang masih lebih rendah dibanding tikus umur muda (12 bulan) atau tikus normal. Peningkatan konsentrasi senyawa ini, baik pada plasma atau hipokampus melibatkan faktor eksogen dan endogen dan berbanding lurus dengan peningkatan
108
level glutation dan perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus. Dalam arti, selain berasal dari dipeptida alanil-glutamina eksogen, senyawa ini juga dapat berasal dari hasil biosintesis di dalam tubuh. Bukti ini diperkuat oleh hasil penelitian yang melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina atau glutamina merupakan asam amino non-esensial. Sifat non-esensial mempunyai arti bahwa senyawa ini dapat disintesis di dalam tubuh (Kulkarni et al. 2005). Lebih lanjut dilaporkan bahwa saluran pencernaan adalah organ utama yang berperan dalam pemrosesan nitrogen di dalam tubuh yang memberi kontribusi secara nyata pada mobilisasi glutamina maupun dipeptida alanil-glutamina ke dalam darah dan berbagai jaringan tubuh lainnya, termasuk hipokampus (Lemberg dan Fernandez 2009). Secara klinis, perbaikan konsentrasi glutamina, baik dalam plasma darah maupun hipokampus, dapat memperbaiki keseimbangan nitrogen, kemampuan sintesis protein, dan morfologi jaringan, termasuk sintesis glutation di hipokampus. Demikian pula perbaikan level glutation pada jaringan tubuh, termasuk hipokampus secara umum digunakan untuk pemeliharaan integritas sistem imun, integritas seluler, dan kesehatan normal jaringan (Kulkarni et al. 2005; Lemberg dan Fernandez 2009). Peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dan level glutation hipokampus dapat memperantarai perbaikan respons histo-morfologi hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Perbaikan tersebut ditandai dengan peningkatan viabilitas, penurunan mortalitas, dan peningkatan panjang akson neuron. Tikus umur tua (24 bulan) yang diberi konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina tampak mengalami peningkatan viabilitas, penurunan mortalitas, dan peningkatan panjang akson neuron, berturutturut 6.91%, 37.85%, dan 32.84%, sedangkan pada tikus dengan stres oksidatif ketiga parameter tersebut naik sebesar 7.80%, 43.01%, dan 25.56%. Peningkatan respons histo-morfologi hipokampus tampak lebih baik dibanding kontrol, namun tikus pada kedua kondisi ini mempunyai respons histo-morfologi yang lebih rendah dibanding tikus umur muda (12 bulan) atau tikus normal. Perbaikan histomorfologi diduga terkait dengan upaya pemulihan homeostasis glutation untuk meminimalisasi risiko metabolik yang disebabkan oleh peningkatan umur atau stres oksidatif. Hal tersebut mengakibatkan sebagian besar substrat metabolik yang berhubungan dengan sintesis glutation dan perbaikan respons histo-
109
morfologi ditranspor menuju hipokampus untuk mempertahankan keseimbangan kapasitas antara antioksidan dan oksidan sehingga tingkat mortalitas dapat ditekan dan viabilitas serta panjang akson dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Beberapa hasil penelitian memperkuat pendapat ini. Hasil penelitian Jun et al. (2006) menunjukkan bahwa dipeptida alanilglutamina yang diberikan pada tikus yang mengalami stres metabolik akibat peningkatan umur atau stres oksidatif dapat meningkatkan aktivitas antioksidan glutation, meningkatkan ATP seluler, dan memperbaiki penurunan fungsi sel. Lebih lanjut dilaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina dapat mendukung pemenuhan kebutuhan glutamina intraseluler neuron hipokampus yang digunakan untuk sintesis asam nukleat yang diperlukan untuk regenerasi. Regenerasi akson melibatkan pengaturan ion kalsium melalui Ca2+-ATPase, pengaktifan cAMP, dan jaluran pensinyalan protein kinase intraseluler yang berpengaruh pada ekspresi gen, perubahan protein sitoskelet, dan molekul intraseluler (Neumann et al. 2011; Jun et al. 2006). Molekul intraseluler terlibat dalam mempertahankan kehidupan neuron melalui mekanisme umum yang melibatkan molekul perantara intraseluler. Perubahan yang terjadi pada perantara molekul intraseluler akan mempengaruhi fosforilasi protein sitoskelet yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan pada akson (Horner dan Gage 2000). Ketersediaan glutamina juga dapat meningkatkan sintesis protein yang digunakan untuk mendukung regenerasi sel-sel neuron di hipokampus (Andreasen et al. 2009; Schade et al. 2009; Fernandes et al. 2010). Ketersediaan glutamina dalam hipokampus yang tinggi dapat meningkatkan energi seluler, secara efektif dapat menyediakan prekursor nitrogen untuk sintesis purina dan pirimidina, dapat meningkatkan sintesis RNA, sintesis vitamin B3, memproteksi jaringan tubuh dari stres oksidatif, dan mempercepat perbaikan dan regenerasi sel (Anonim 2001). Secara klinis, ketersediaan glutamina dalam jaringan dapat memperbaiki keseimbangan nitrogen, kemampuan sintesis protein, dan morfologi jaringan, termasuk sintesis glutation di hipokampus (Kulkarni et al. 2005; Lemberg dan Fernandez 2009). Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% berpengaruh pada perbaikan struktur mitokondria sel-sel neuron hipokampus tikus. Perbaikan struktur mitokondria pada tikus umur 24 bulan dalam kondisi normal ditandai dengan
110
kehadiran mitokondria normal sebesar 90%, mitokondria dengan kerusakan sebagian 10%, sedangkan mitokondria dengan kerusakan total tidak ditemukan atau 0%. Adapun perbaikan struktur mitokondria pada tikus umur 24 bulan yang mengalami stres oksidatif ditandai dengan kehadiran mitokondria normal naik sebesar 41.67%, mitokondria dengan kerusakan total turun sebesar 16.67%, sedangkan mitokondria dengan kerusakan sebagian ditemukan sebesar 41.67%. Peningkatan mitokondria normal dan penurunan mitokondria dengan kerusakan total merupakan bukti bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% berpengaruh efektif dalam mencegah dan memperbaiki struktur mitokondria yang dipicu oleh peningkatan umur atau stres oksidatif. Perbaikan mitokondria dapat terjadi melalui mekanisme penurunan produksi radikal bebas yang diperantarai oleh glutation,
pemeliharaan
dan
peningkatan
integritas
membran
fosfolipid
mitokondria, atau sintesis membran fosfolipid mitokondria yang dikatalisis oleh enzim fosfolipase. Ada dua jalur metabolisme yang diketahui terlibat dalam perbaikan struktur dan fungsi mitokondria neuron hipokampus dan mempunyai keterkaitan dengan dipeptida alanil-glutamina. Jalur pertama berkaitan dengan sintesis glutation. Glutation dapat bereaksi secara langsung dengan radikal-radikal bebas dalam reaksi enzimatik dan donor elektron dalam reduksi atau penurunan produksi radikal bebas yang dikatalisis oleh glutation peroksidase (Dringen et al. 2000). Penurunan radikal-radikal bebas ini dapat menurunan kerusakan oksidatif pada komponen-komponen biologis sel, termasuk komponen biologis pada mitokondria. Adapun jalur kedua berkaitan dengan jalur metabolisme asam glutamat yang terlibat secara langsung dalam sintesis asam nukleat yang memberi kontribusi peningkatan ekspresi fosfolipase. Peningkatan protein ini mempunyai peran penting dalam sintesis membran fosfolipid mitokondria (Jun et al. 2006; Cruzat dan Terapegui (2009). Kedua jalur metabolisme ini akhirnya berpengaruh pada penurunan tingkat abnormalitas pada mitokondria. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dapat meningkatkan level glutation dan menginduksi perbaikan membran fosfolipid mitokondria yang selanjutnya dapat memperantarai perbaikan struktur
111
dan fungsi mitokondria pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis maupun penuaan akibat stres oksidatif. Peningkatan level glutation hipokampus dapat memperantarai perbaikan fungsi kognitif tikus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif setelah diberi konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina. Perbaikan fungsi kognitif ditandai dengan perbaikan kemampuan belajar dan mengingat. Perbaikan kemampuan ini ditandai dengan perbaikan respons waktu yang dibutuhkan oleh tikus untuk menemukan pakan pada uji dalam ruang fourth arm maze. Perbaikan respons waktu pada tikus umur 24 bulan atau tikus stres oksidatif naik sebesar 65.83% dan 33.11%, namun waktu yang dibutuhkan untuk menemukan pakan masih lebih lama dibanding tikus umur 12 bulan atau tikus normal. Hal ini berarti tikus umur 24 bulan yang diberi dipeptida alanil-glutamina 7% membutuhkan waktu lebih cepat untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze dibanding kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina pada tikus umur tua atau stres oksidatif berpengaruh pada perbaikan kemampuan belajar dan mengingat. Kemampuan ini mempunyai korelasi dengan perbaikan integritas neuron, peningkatan
plastisitas
sinaptik,
kemampuan
penggabungan
memori,
penyimpanan informasi, dan navigasi (Turner et al. 2003; Geinisman 2004). Perbaikan kemampuan belajar dan mengingat merupakan bukti bahwa pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina memberi pengaruh pada penyediaan glutamina intraseluler untuk peningkatan sintesis glutation hipokampus. Tingkat ketersediaan glutamina dan glutation yang tinggi dapat meningkatkan efek anabolik. Peningkatan efek anabolik mempunyai peran penting dalam mempertahankan integritas seluler dan mempunyai korelasi dengan perbaikan
kemampuan
belajar
dan
mengingat.
Bukti-bukti
penelitian
menunjukkan hasil yang menguatkan pendapat ini. Geinisman (2004) melaporkan, peningkatan integritas seluler di hipokampus mempunyai keterkaitan dengan perbaikan kemampuan belajar dan mengingat. Mekanisme perbaikan kemampuan belajar dan mengingat melibatkan sel-sel neuron di bagian cornu ammonis hipokampus. Dalam ketersediaan glutation, glutamina, dan aktivitas enzim yang optimum, sel-sel di bagian cornu ammonis hipokampus dapat secara efektif
112
melakukan fungsi penggabungan memori dan penyimpanan informasi, terutama memori dan informasi mengenai objek, ruang, atau tempat. Efektivitas proses ini merupakan indikasi perbaikan kemampuan belajar dan mengingat. Van Den Munckhof et al. (2003) melaporkan, kondisi fisiologis yang optimum mempunyai peran penting dalam mengontrol perilaku yang ditandai dengan peningkatan kenyamanan, penurunan tingkat kecemasan, perilaku tenang, dan lebih mudah dalam mengenali objek yang terletak dalam suatu ruang. Perbaikan
respons
histo-morfologi
hipokampus
yang
diperantarai
peningkatan level glutation hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina juga memberi dampak pada perbaikan aktivitas motorik. Perbaikan aktivitas motorik pada tikus umur 24 bulan ditandai penurunan jarak tempuh, waktu stereotif, dan waktu ambulatori, berturut-turut turun sebesar 92.81%, 56.83%, 71.73%, sedangkan waktu istirahat naik sebesar 117.04%. Adapun pada tikus stres oksidatif jarak tempuh, waktu stereotif, dan waktu ambulatori berturutturut turun sebesar 91.82%, 73.63%, dan 77.2%, sedangkan waktu istirahat naik sebesar 71.33%. Perbaikan respons aktivitas motorik tikus pada kedua kondisi tersebut
lebih baik dibanding kontrol dan secara umum masih lebih rendah
dibanding tikus umur 12 bulan atau tikus normal. Hal ini berarti secara keseluruhan tikus-tikus percobaan telah mengalami penurunan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan peningkatan waktu istirahat yang lebih optimal. Perbaikan respons aktivitas motorik ditandai dengan perbaikan perilaku yang meliputi cepat beradaptasi dalam ruang uji optovarimex, memiliki perilaku tenang, tidak cemas, tidak agresif, dan memiliki pergerakan dengan pola yang teratur. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa perbaikan perilaku mempunyai
keterkaitan
dengan
perbaikan
kondisi
neurofisiologi
dan
neuroanatomi di hipokampus (Salim et al. 2010; Schneider et al. 2006). Dengan demikian, konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina yang diberikan dapat mendukung ketersediaan glutamina pada bagian hipokampus yang terlibat dalam pemulihan kondisi neurofisiologi dan neuroanatomi. Perbaikan respons aktivitas motorik memberi bukti bahwa konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina mempunyai peran penting pada penyediaan glutamina intraseluler yang diperlukan untuk peningkatan sintesis glutation
113
hipokampus. Sel-sel neuron di bagian cornu ammonis hipokampus terlibat secara langsung dalam proses-proses neurofisiologi yang berkaitan dengan perbaikan aktivitas motorik (Miller dan O'Callaghan 2005; Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011). Ketersediaan glutamina dimanfaatkan oleh sel-sel neuron cornu ammonis
hipokampus
untuk
mendukung
proses
oksidasi-fosforilasi
di
mitokondria dan proses pembentukan asam glutamat yang diperlukan untuk sintesis glutation di hipokampus (Mates et al. 2002). Tingkat ketersediaan glutamina dan glutation yang tinggi dapat mempercepat efek anabolik yang berguna dalam mempertahankan integritas seluler. Integritas seluler mempunyai korelasi langsung dengan perbaikan aktivitas motorik. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa perbaikan level glutation dan respons aktivitas motorik akibat peningkatan umur tidak hanya melibatkan ketersediaan glutamina hasil biosintesis endogen, namun sangat bergantung pada bahan-bahan eksogen yang dapat dikonversi menjadi glutamina, seperti dipeptida alanil-glutamina. Fernandes et al. (2010) dan Roth et al. (2002) melaporkan, pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina dapat meningkatkan glutamina plasma dan simpanan glutamina dalam jaringan tubuh. Simpanan glutamina yang tinggi dapat memberi peningkatan level glutation (Schuster et al. 2009). Data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tikus-tikus percobaan telah mengalami perbaikan respons aktivitas motorik dengan tingkat perbaikan yang sangat tinggi.
Hal ini berarti bahwa konsentrasi optimum dipeptida alanil-
glutamina yang diberikan dapat meningkatkan ketersediaan glutamina dalam hipokampus yang berguna untuk mendukung proses-proses yang berkaitan dengan pemulihan jaringan dan perbaikan aktivitas motorik. Selain itu diduga bahwa dipeptida alanil-glutamina yang diberikan tidak mengalami kerusakan selama bersirkulasi, dapat ditranspor secara efektif menuju hipokampus, secara efektif dapat dikonversi menjadi glutamina, dan dimanfaatkan oleh sel-sel neuron secara langsung, terutama sel-sel neuron di bagian cornu ammonis. Berg et al (2006) melaporkan, dipeptida alanil-glutamina mempunyai sifat stabil selama mengalami proses di dalam tubuh, lebih cepat mengalami proses hidrolisis, mampu melintasi sawar darah otak, dapat dimanfaatkan oleh neuron secara langsung, dan mampu meningkatkan level glutation hipokampus. Perbaikan neuron di bagian cornu
114
ammonis berbanding lurus dengan perbaikan aktivitas motorik. Salim et al. (2010) dan Schneider et al. (2006) melaporkan bahwa perbaikan aktivitas motorik merupakan
indikasi
perbaikan
kondisi
neurofisiologi
dan
neuroanatomi
hipokampus, yang meliputi mekanisme depolarisasi dan repolarisasi membran, kepadatan spina dendrit, percabangan neuron, dan transmisi impuls saraf. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% mampu memperbaiki respons fisiologis, baik melalui peningkatan ketersediaan dipeptida alanil-glutamina di hipokampus atau level glutation di hipokampus. Level optimum glutation di hipokampus dapat memperantarai perbaikan respons histo-morfologi, seluler, fungsi kognisi, atau aktivitas motorik pada penuaan hipokampus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif.
SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif menghasilkan penurunan level glutation hipokampus. Status fungsi hipokampus tikus tertinggi dan terendah hasil penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif terdapat pada tikus umur 12 bulan dan 24 bulan. 2. Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% pada tikus dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia menghasilkan peningkatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dan level glutation tertinggi pada penuaan hipokampus tikus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif 3. Konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dan level glutation optimum di hipokampus pada tikus dapat memperantarai perbaikan secara optimal respons histo-morfologi, struktur mitokondria, kemampuan belajar atau mengingat, dan aktivitas motorik. 4. Penanganan penurunan fungsi pada penuaan hipokampus, baik yang disebabkan oleh peningkatan umur maupun stres oksidatif dapat dilakukan secara kuratif dengan pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanilglutamina.
115
Secara keseluruhan, konsentrasi dipeptida alanil-glutamina dan level glutation optimum dapat memperantarai perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus tikus, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Untuk memperoleh gambaran yang lebih luas dan komprehensif tentang perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus disarankan dilakukan penelitian lanjutan tentang penentuan glutation disulfida dalam hipokampus untuk mendapatkan rasio glutation dan glutation disulfida. Selain itu, juga disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemberian dipeptida alanil-glutamina dengan konsentrasi di atas 7% dan penggunaan dipeptida atau asam amino lain yang merupakan prekursor glutation, seperti dipeptida alanil-sisteina dan dipeptida alanil-glisina. Penggunaan dipeptida-dipeptida ini dapat dilakukan secara preventif maupun kuratif sebagai upaya perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus, terutama pada kasus-kasus yang berkaitan dengan penuaan fisiologis, penuaan akibat stres oksidatif, dan kepikunan.
116
117
DAFTAR PUSTAKA Ahmed OJ, Mehta MR. 2009. The hippocampal rate code: anatomy, physiology, and theory. Trends Neurosci 32(6):329-338. Aliev G, Palacios HH, Walrafena B, Lipsitt AE, Obrenoviche ME, Morales L. 2009. Brain mitochondria as a primary target in the development of treatment strategies for Alzheimer disease. J Biochem Cell Biol 41: 1989-2004. Andreasen AS, Pedersen ST, Mortensen OH, van Hall G, Moseley PL, Pedersen BK. 2009. The effect of glutamine infusion on the inflammatory response and HSP70 during human experimental endotoxaemia. Critic Care 13(10):11867696. Anonim. 2001. Benefits ot the amino acid L-glutamine. Sci Mind 28:04-15. Balaban RS, Nemoto S, Finkel T. 2005. Mitochondria, oxidants, and aging. Cell 120:483-495. Barja G. 2004. Aging in vertebrates, and the effect of caloric restriction: a mitochondrial free radical production-DNA damage mechanism. Biol Rev Camb Philosoph Soc 79:235-251. Beck G, Sugiura Y, Shinzawa K, Kato S, Setou M, Tsujimoto Y, Sakoda S, Akamaru HS. 2011. Neuroaxonal dystrophy in calcium-independent phospholipase A2β deficiency results from insufficient remodeling and degeneration of mitochondrial and presynaptic membranes. J Neurosci 31 (31):11411–11420. Berg A, Rooyakcers O, Norberg A, Wernerman J. 2006. Elimination kinetics of L-alanyl-L-glutamine in ICU patients. Biomed Life Sci 29(3):221-228. Bisaz R, Conboy L, Sandi C. 2009. Learning under stress: a role for the neural cell adhesion molecule NCAM. Neurobiol Learn Mem 91(4):333-342. Bjork K, Saarikoski ST, Arlinde C, Kovanen L, Osei-Hyiaman D, Ubaldi M, Reimers M, Hyytia P, Heilig M, Sommer WH. 2006. Glutathione-Stransferase expression in the brain: possible role in ethanol preference and longevity. J Fas 4:1826-1835. Bolanos JP, Moro MA, Lizasoain I, Almeida A. 2009. Mitochondria and reactive oxygen and nitrogen species in neurological disorders and stroke: therapeutic implications. Adv Drug Deliv Rev 30:1-17. Burke SN, Barnes CA. 2006. Neural plasticity in the aging brain. Nat Rev Neurosci 7:30.
118
Chang CC, Yi CC, Hui CH, Fa YL, Full YC, Han CL, Cho YC, Sun SW, Shou DL. 2006. Methimazole alleviates hepatic encephalopathy in bile-duct ligated cirrhotic rats. J Chin Med Assoc 69(12):563-568. Chen XJ, Wu YA, Chen FW, Chen FL, Huang Y, Huang XL, Ma XL, Chen T. 2007. Novel human pathological mutations. Hum Genet 122:548. Chinopoulos C, Vizi VA. 2009. Mitochondria as ATP consumers in cellular pathology. Biochim Biophys Acta 30:1-7. Cruzat VF, Tirapegui JO. 2009. Effects of oral supplementation with glutamine and alanyl-glutamine on glutamine, glutamate, and glutathione status in trained rats and subjected to long-duration exercise. Nutrition 25:428-435. Cruzat VF, Rogero MM, Borges MC, Tirapegui J. 2007. Current aspects about oxidative stress, physical exercise and supplementation. Rev Bras Med Esporte 13(5):304e-210e. Daren KH, Dhaliwalm R, Andrew DRD, Drover J, Cote H, Wischmeyer P. 2007. Optimizing the dose of glutamine dipeptides and antioxidants in critically ill patients: a phase I dose-finding study. J Parent Ent Nut 31(2):109-118. Djavadian RL. 2004. Serotonin and neurogenesis in the hippocampal dentate gyrus of adult mammals. Acta Neurobiol Exp 64:189-200. Dringen R. 2000. Metabolism and functions of glutathione in brain. Neurobiol 62:649-671. Dringen R, Gutterer JM, Hirrlinger J. 2000. Glutathione metabolism in brain metabolic interaction between astrocytes and neurons in the defense against reactive oxygen species. Eur J Biochem 267:4912-4916. Feoli AM, Siqueira IR, Almeida L, Tramontina AC, Vanzella C, Sbaraini S, Schweigert ID, Netto CA, Perry ML. 2010. Effects of protein malnutrition on oxidative status in rat brain. Nutrition 22:160-165. Fernandes V, Rogero MM, Tirapegui J. 2010. Effects of supplementation with free glutamine and the peptide alanyl-glutamine on parameters of muscle damage and inflammation in rats submitted to prolonged exercise. Cell Biochem Funct 28:24-30. Flaring UB, Rooyackers OE, Wernerman J, Hammarqvist F. 2003. Glutamine attenuates post-traumatic glutathione depletion in human muscle. Clin Sci 104:275-82. Geinisman Y. 2004. Aging, spatial learning, and total synapse number in the rat CA1 stratum radiatum. Neurobiol Aging 25:407.
119
Green KN, LaFerla FM. 2008. Linking calcium to Abeta and Alzheimer's disease. Neuron 59:190-194. Guven A, Kaya N. 2005. Determination of reduced glutathion, glutathione-Stransferase and selenium levels in goose liver cells with damage induced by carbon tetrachloride and ethanol. Turk J Vet Anim Sci 29:1233-1238. Hand CE. 2007. Investigations into intracellular thiols of biological importance. Ontario, Canada. Hlm.1-195. Hayes JD, McLellan LI. 1999. Glutathione and glutathione-dependent enzymes represent a co-ordinately regulated defence against oxidative stress. Biomed Res 31(4):273-300. Hjelle OP, Chaudhry FA, Ottersen OP. 1994. Antisera to glutathione: characterization and immunocytochemical application to the rat cerebellum. Eur J Neurosci 6:793-804. Hobin JA, Ji J, Maren S. 2006. Ventral hippocampal muscimol disrupts contextspecific fear memory retrieval after extinction rats. Hippocampus 16:01-10. Hoppins S, Lackner L, Nunnari J. 2007. The machines that divide and fuse mitochondria. Ann Rev Biochem 76:751-780. Horner PJ, Gage FH. 2000. Regenerating the damaged central nervous system. Nature 407:963-970. Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. San Fransisco: Freeman WH and Co.
Ito HT, Schuman EM. 2011. Functional division of hippocampal area CA1 via modulatory gating of entorhinal cortical inputs. Hippocampus 9:1-15. Jiang JM, Wang Z, Dong D. 2004. Effects of AGEs on oxidation stress and antioxidation abilities in cultured astrocytes. Biomed Environ Sci 17:79-86. Jun C, Dai CL, Zhang X, Cui K, Xu F, Xu YQ. 2006. Alanyl-glutamine dipeptide inhibits hepatic ischemia-reperfusion injury in rats. Word J Gastroent 12(9): 1373-1378. Kordower JH. 2001. Loss and atrophy of layer II entorhinal cortex neurons in elderly people with mild cognitive impairment. Ann Neurol 49:202. Kiray M. 2005. Deprenyl and the relationship between its effects on spatial memory, oxidant stress and hippocampal neurons in aged male rats. Physiol Res 55:205.
120
Knierim JJ, Lee I, Hargreaves EL. 2006. Hippocampal place cells: paralles input streams, subregional processing, and implications for episodic memory. Hippocampus 16:755-764. Kujoth GC, Bradshaw PC, Haroon S, Prolla TA. 2007. The role of mitochondrial DNA mutations in mammalians aging. Plos Genet 23:e24. Kulkarni C, Kulkarni KS, Hamsa BR. 2005. L-Glutamic acid and glutamine: exciting molecules of clinical interest. Indian J Pharmacol 37(3):148-154. Lemberg A, Fernandez MA. 2009. Hepatic encephalopathy, ammonia, glutamate, glutamine and oxidative stress. Annals of Hepatol 8(2):95-102. Liu J, Wanga A, Li L, Huang Y, Xue P, Hao A. 2010. Oxidative stress mediates hippocampal neuron death in rats after lithium–pilocarpine-induced status epilepticus. Seizure 19:165-172. Lourbopoulos A, Grigoriadis S, Symeonidou C, Deretzi G, Taskos N, Shohami E, Grigoriadis N. 2007. Modified Bielschowsky silver impregnation combined with hematoxylin or cresyl violet counterstaining as a potential tool for the simultaneous study of inflammation and axonal injury in the central nervous system. J Aristotle Univer Med 34(1):31-39. Markham JA. 2005. Sexually dimorphic aging of dendritic morphology in CA1 of hippocampus. Hippocampus 15:97. Mates JM, Gomez CP, de Casto IN, Asenjo M, Marquez J. 2002. Glutamine and its relationship with intracellular redox status, oxidative stress and cell proliferation/death. J Biochem Cell Biol 34(5):439-458. McBride HM, Neuspiel M, Wasiak S. 2006. Mitochondria: more than just a power house. Curr Biol 16:R551–R560. Melis GCL. 2008. The metabolic pathway of (alanyl-) glutamine into citrulline and arginine in surgical patients (Thesis). The Netherlands: Vrije Universiteitz. Miller DB, O'Callaghan JP. 2005. Aging, stress and the hippocampus. Ageing Res Rev 4(2):123-40. Moyer JR, Brown TH. 2006. Impaired trace and contextual fear conditioning in aged rats. Behav Neurosci 120:612. Munckhof VDP, Kelvin CL, Marie LS, Montgomery J, Blanchet PJ, Sadikot AF, Drouin J. 2003. Pitx3 is required for motor activity and for survival of a subset of midbrain dopaminergic neurons. Develop Disease 130:2535-2542.
121
Neumann B, Nguyen KCQ, Hall DH, Yakar AB, Hilliard MA. 2011. Axonal regeneration proceeds through specific axonal fusion in transected C. elegans neurons. Develop Dynamics 240:1365-1372. Nicholson DA. 2004. Reduction in size of perforated postsynaptic densities in hippocampal axospinous synapses and age-related spatial learning impairments. J Neurosci 24:7648. Owen KN, Cunningham DE, Macdonald G, Rubel EW, Raible DW, Pujol R. 2007. Ultrastructural analysis of aminoglycoside-induced hair cell death in the zebrafish lateral line reveals an early mitochondrial response. J Comp Neurol 502:522-543. Pamplona R, Portero-Otin M, Sanz A, Requena J, Barja G. 2004. Modification of the longevity-related degree of fatty acid unsaturation modulates oxidative damage to proteins and mitochondrial DNA in liver and brain. Exp Gerontol 39:725-733. Petit RJ, Hampe A. 2006. Some evolutionary consequences of being a tree. Ann Rev Eco Evol Syst 37:187-214. Reas ET, Gimbel S, Hales JB, Brewer JB. 2011. Search-related suppression of hippocampus and default network activity during associative memory retrieval. Front Hum Neurosci 112:1-13. Reddy PH. 2009. Amyloid beta, mitochondrial structural, and functional dynamics in Alzheimer's disease. Exp Neurol 218:286-292. Ricklefs RE. 2008. The evolutionary ecology of senescence: the evolution of senescence from a comparative perspective. Funct Ecol 22:379-392. Rosenzweig ES, Barnes CA. 2003. Impact of aging on hippocampal function: plasticity, network dynamics, and cognition. Prog Neurobiol 69:143. Roth R. 2008. Non nutritive effects of glutamine. J. Nut 138:2025S-2031S. Roth E, Oehler R, Manhart N, Exner R, Wessner B, Strasser E, Spittler A. 2002. Regulative potential of glutamine relation to glutathione metabolism Nutrition 18(3):217-221. Salim S, Sarraj N, Taneja M, Saha K, Tejada SMV, Chugh G. 2010. Moderate treadmill exercise prevents oxidative stress-induced anxiety-like behavior in rats. Behav Brain Res 208:545-552. Schade RSM, Grundling M, Pavlovic D, Starke K, Wendt M, Retter S, Murphy M, Suchner U, Spassov A, Gedrange T, Lehmann CH. 2009. Glutamine and alanyl-glutamine dipeptide reduce mesenteric plasma extravasation, leukocyte
122
adhesion and tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) release during experimental endotoxemia. J Physiol Pharmacol 60(8):19-24. Schimanski LA, Barnes CA. 2010. Neural protein synthesis during aging: effects on plasticity and memory. Front Aging Neurosci 2:26. Schneider T, Turczak J, Przewłocki R. 2006. Environmental enrichment reverses behavioral alterations in rats prenatally exposed to valproic acid: issues for a therapeutic approach in autism. Neuropsychopharmacol 31:36-46. Schulz JB, Lindenau J, Seyfried J, Dichgans J. 2000. Glutathione, oxidative stress, and neurodegeneration. Eur J Biochem 267:904-4911. Schuster H, Blanc MC, Rousselot DB, Nakib S, Tourneau AL, Furst P, Cynober L, Bandt JPD. 2009. Protective effects of glutamine dipeptide and α-tocopherol against ischemia-reperfusion injury in the isolated rat liver. Clinic Nut 28(3):331-337. Serra V, Zglinicki T, Lorenz M, Saretzki G. 2003. Extracellular superoxide dismutase is a major antioxidant in human fibroblasts and slows telomere shortening. J Biol Chem 278:6824-6830. Serrano F, Klann E. 2004. Reactive oxygen species and synaptic plasticity in the aging hippocampus. Ageing Res Rev 3:431. Shukitt HB. 2004. Effect of age on the radial arm water maze-a test of spatial learning and memory. Neurobiol Aging 25:223. Sohal RS, Weindruch R. 1996. Oxidative stress, caloric restriction, and aging. Science 273:59-63. Speakman JR, Talbot DA, Selman C, Snart S, McLaren JS, Redman P, Krol E, Jackson DM, Johnson MS, Brand MD. 2004. Uncoupled and surviving: individual mice with high metabolism have greater mitochondrial uncoupling and live longer. Aging Cell 3:87-94. Sultana R, Perluigi M, Butterfield DA. 2006. Protein oxidation and lipid peroxidation in brain of subjects with Alzheimer's disease: insights into mechanism of neurodegeneration from redox proteomics. Antioxid Redox Sign 8:2021-2037. Sunarno, Manalu W, Kusumorini N, Agungpriyono DR. 2012. Peran alaninglutamin dipeptida dalam mengoptimlakan level glutation di hipokampus dan hubungannya dengan status fungsi hipokampus pada penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif. Sains Med 4(1):157-165.
123
Turner PR, O'Connor K, Tate WP, Abraham WC. 2003. Roles of amyloid precursor protein and its fragments in regulating neural activity, plasticity and memory. Prog Neurobiol 70(1):1-32. Twig G, Elorza A, Molina AJ, Mohamed H, Wikstrom JD, Walzer G, Stiles L, Haigh SE, Katz S, Las G, Alroy J, Wu M, Py BF, Yuan J, Deeney JT, Corkey BE, Shirihai OS. 2008. Fission and selective fusion govern mitochondrial segregation and elimination by autophagy. Embo J 27:433-446. Villarreal JS, Dykes JR, Barea-Rodriguez EJ. 2004. Fischer 344 rats display agerelated memory deficits in trace fear conditioning. Behav Neurosci 118:1166. Wallace DC. 2005. A mitochondrial paradigmof metabolic and degenerative diseases, aging, and cancer: a dawn for evolutionary medicine. Annu Rev Genet 39:359-407. Wang H, Jia G, Huang L, Wu C, Wang K. 2010. Study on the absorption and transport of different glutamine dipeptides in small intestine of weaned piglets. J Anim Plant Sci 7(1):751-759. Wang L, Maher TJ, Wurtman, Richard J. 2007. Oral L-glutamine increases GABA level in striatal tissue and extracelluler fluid. Fas J 21:1227-1232. Wati H. 2006. A decreased survival of proliferated cells in the hippocampus is associated with a decline in spatial memory in aged rats. Neurosci 399:171. Wedzony K, Mackowiak M, Zajaczkowski W, Fijal K, Chocyk A, Czyrak A. 2000. An antagonist of 5-HT1A serotonin receptors, attenuates psychotomimetic effects of MK-801. Neuropsychopharmacology 23:547-59. Wolf OT. 2005. Subjective memory complaints in aging are associated with elevated cortisols levels. Neurobiol Aging 26:1357. Xavier GF, Costa VCI. 2009. Dentate gyrus and spatial behaviour. Neurosci 33:768-769. Zeevalk GD, Bernard LP, Guilford FT. 2010. Liposomal glutathione provides maintenance of intracellular glutathione and neuroprotection in mesencephalic neuronal cells. Neurochem Res DOI 10.1007/s11064-0100217-0. Zhu JH, Zhang X, Mcclung JP, Lei XG. 2006. Impact of Cu,Zn-superoxide dismutase and Se-dependent glutathione peroxidase-1 knockouts on acetaminophen-induced cell death and related signaling in murine liver. Exp Biol Med 231:1726-1732.
124
125
LAMPIRAN Lampiran 1 Prosedur penentuan level glutation hipokampus (Feoli et al. 2010) Preparasi dan penentuan level glutation hipokampus diawali dengan pengambilan dan penyiapan sampel hipokampus. Sampel hipokampus ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang memiliki volume 10 mL. Sampel hipokampus dalam tabung reaksi dihomogenisasi dengan menggunakan vorteks untuk mendapatkan homogenat. Larutan asam metafosfat 2% sebanyak 0.75 mL ditambahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi homogenat dan selanjutnya dijenuhkan dengan NaCl jenuh sebanyak 0.25 mL. Larutan dikocok dan disentrifus pada kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit, dilanjutkan proses filtrasi untuk mendapatkan filtrat berupa supernatan. Filtrat diambil 0.5 mL dilanjutkan dengan penentuan level glutation sesuai prosedur preparasi pembuatan blanko. Prosedur preparasi pembuatan blanko diawali dengan menyiapkan reagen blanko, yaitu 0.75 mL larutan asam metafosfat 2% yang telah ditambah dengan NaCl jenuh sebanyak 0.25 mL. Tabung reaksi kemudian dimasukkan ke dalam penangas air pada suhu 60ºC selama 5-10 menit. Larutan natrium nitroprusida 5 mM sebanyak 0.25 mL ditambahkan ke dalam tabung reaksi dan kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan vorteks. Larutan dalam tabung reaksi yang sudah homogen kemudian ditambah dengan larutan campuran natrium karbonat dan kalium sianida (Na2CO3:KCN) dengan perbandingan 1:1 sebanyak 0.25 mL dan dihomogenisasi kembali. Larutan yang sudah homogen digunakan untuk penentuan absorbansi dari sampel dan beberapa level glutation standar dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Pembuatan level glutation standar berada pada kisaran antara 0-10 mM dengan cara melarutkan glutation standar dengan akuades. Masing-masing sebanyak 0.5 mL dari level glutation standar digunakan untuk penentuan absorbansi dan dilanjutkan dengan pembuatan kurva standar untuk menentukan level glutation pada sampel hipokampus.
126
Lampiran 2 Prosedur penentuan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma dan hipokampus (Wang et al. 2010). Preparasi dan penentuan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina pada plasma darah dan hipokampus diawali dengan anestesi tikus. Tikus percobaan yang sudah dianestesi menggunakan kloroform dikorbankan dan dilanjutkan dengan pengambilan darah dan hipokampus. Pengambilan hipokampus dilakukan dengan cara memotong hipokampus yang terletak di bagian ventral medio-lateral. Sampel hipokampus kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi larutan garam fisiologis (NaCl 0.9%). Hipokampus yang sudah dipotong dibilas dengan larutan Krebs. Larutan Krebs mengandung komposisi bahan (g/L), meliputi: NaCl, 8.0; KCl, 0.3; CaCl2, 0.2; MgCl2, 0.2; glucose, 7.0; HEPES, 6.0, pH7.2. Sampel plasma darah dan hipokampus, masing-masing dimasukkkan ke dalam tabung reaksi (volume 10 mL) secara terpisah yang mengandung larutan Krebs. Setiap tabung reaksi kemudian diinkubasi selama 1 jam pada temperatur 37ºC menggunakan water bath tunggal. Larutan inkubasi dari setiap tabung reaksi kemudian dididihkan selama 5 menit, didinginkan dan dihomogenasi dengan homogenizer untuk mempersiapkan cairan homogenat jaringan hipokampus. Selanjutnya, cairan homogenat jaringan hipokampus dididihkan kembali dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian dideproteinasi dengan asam perklorat 6%, dan disentrifus pada kecepatan 10.000 rpm/menit selama 15 menit. Supernatan diambil dan disimpan pada suhu -70ºC untuk pendeteksian dipeptida alanilglutamina. Konsentrasi dipeptida alanil-glutamina jaringan hipokampus dideteksi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. Prosedur preparasi pembuatan blanko sesuai
prosedur preparasi sampel tanpa
menggunakan sampel darah dan hipokampus. Pembuatan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina standar berada pada kisaran antara 0.1-1.0 mM dengan cara melarutkan dipeptida alanil-glutamina standar dengan akuades. Masing-masing sebanyak 0.5 mL dari konsentrasi dipeptida alanil-glutamina standar digunakan untuk penentuan absorbansi dan dilanjutkan dengan pembuatan kurva standar untuk menentukan konsentrasi dipeptida alanil-glutamina plasma darah dan hipokampus.
127
Lampiran 3 Prosedur pemrosesan sediaan histologi hipokampus dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (Humason 1972) dengan beberapa modifikasi Prosedur pemrosesan sediaan histologi hipokampus dengan pewarnaan hematoksilin-eosin
diawali
dengan
pengambilan
dan
penyiapan
sampel
hipokampus bagian kiri. Sampel hipokampus kemudian difiksasi dalam larutan buffer formalin 10% selama 24 jam, diikuti proses dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat masing-masing selama 2 jam dan clearing dengan silol minimal 2 jam sebelum dilakukan embedding dalam parafin. Blok jaringan dipotong setebal 10 µm menggunakan mikrotom, kemudian diletakkan di atas gelas objek sehingga diperoleh irisan jaringan yang dikehendaki. Irisan jaringan pada slide selanjutnya dideparafinasi pada silol dengan 3x ulangan masing-masing selama 3 menit, diikuti rehidrasi dengan memasukkan ke dalam alkohol bertingkat. Sebelum pewarnaan, potongan jaringan pada slide dicuci dengan air mengalir selama 1 menit diikuti pencelupan singkat ke dalam akuades. Pewarnaan preparat dengan prosedur pewarnaan hematoksilin-eosin meliputi, pencelupan ke dalam larutan hematoksilin, pencucian dengan air dilanjutkan pencelupan ke dalam pewarna eosin selama ¼-2 menit. Kemudian, dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat, diikuti dengan pencelupan ke dalam silol 3x ulangan masingmasing selama 20 detik, kemudian ditetesi dengan entellan dan ditutup dengan gelas penutup. Sediaan yang sudah diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin diamati dan didokumentasikan dengan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan kamera. Penentuan viabilitas dan mortalitas neuron dengan menggunakan software MacBiophotonics ImageJ pada 5 lapang pandang yang merupakan bagian utama hipokampus dengan luas setiap lapang pandang ± 0.1 mm2. Viabilitas neuron ditentukan berdasarkan afinitas optimal neuron pada pewarnaan hematoksilin-eosin yang memberi respons warna ungu atau biru pada bagian inti dan merah muda pada sitoplasma. Mortalitas neuron ditentukan berdasarkan afinitas pada satu pewarnaan saja yaitu hematoksilin yang memberi respons warna biru pada seluruh bagian neuron.
128
Lampiran 4
Prosedur pemrosesan sediaan histologi hipokampus dengan pewarnaan perak nitrat Bielschowsky (Lourbopoulos et al. 2007).
Prosedur pemrosesan sediaan histologi hipokampus dengan pewarnaan perak nitrat Bielschowsky mengacu pada prosedur yang dilakukan oleh Lourbopoulos et al. (2007) dengan beberapa modifikasi. Pemrosesan sediaan histologi hipokampus bagian kiri dengan pewarnaan khusus perak nitrat diawali dengan pembuatan larutan stok dan reagen. Larutan stok dan reagen yang dipersiapkan meliputi, larutan stok perak nitrat (perak nitrat 5 g dengan akuades 50 mL), larutan amonium hidroksida 1% (ammonium hidroksida 1 mL dengan akuades 100 mL), larutan stok pengembang (formaldehid 20 mL, asam sitrat atau trisodium dihidrat 0.5 g, asam nitrat 2 tetes, akuades 100 mL), dan larutan kerja pengembang (larutan stok pengembang 8 tetes, ammonium hidroksida 8 tetes, akuades 50 mL). Tahap berikutnya adalah mempersiapkan irisan jaringan pada slide dengan ketebalan 10 μm. Irisan jaringan pada slide kemudian dideparafinasi dan direhidrasi dengan menggunakan silol 3x ulangan, alkohol absolut, alkohol 96%, alkohol 70% dilanjutkan dicuci 3 kali dalam akuades masing-masing selama 3 menit. Slide dimasukkan ke dalam 50 mL larutan perak nitrat 10% hangat temperatur 40ºC (dalam inkubator) dan pewarnaan selama semalam. Irisan jaringan menjadi berwarna cokelat terang atau gelap. Slide-slide dimasukkan kembali ke dalam akuades dan dicuci sebanyak 3x, masing-masing selama 3 menit. Ke dalam larutan perak nitrat ditambahkan amonium hidroksida setetes demi setetes secukupnya sampai terbentuk presipitasi dan warna mendung. Slideslide dimasukkan ke dalam larutan perak nitrat yang sudah ditambah amonium hidroksida dan diinkubasi kembali dalam inkubator pada temperatur 40ºC selama 1-2 jam sampai irisan jaringan berwarna cokelat. Slide-slide dimasukkan ke dalam larutan kerja pengembang kurang lebih selama 1 menit atau kurang dari
1 menit
(reaksi akan terjadi sangat cepat, setiap slide diamati di bawah mikroskop). Slideslide dicelupkan selama 1 menit dalam larutan amonium hidroksida 1% untuk menghentikan reaksi perak. Slide-slide dicuci dalam akuades 3x ulangan masingmasing selama 3 menit. Irisan jaringan pada slide didehidrasi dan dijernihkan
129
dengan alkohol 70%, 96%, alkohol absolut, dan silol 3x ulangan masing-masing 2 menit dan kemudian di mounting dengan entellan. Sediaan
yang
sudah
diwarnai
dengan
pewarnaan
perak
nitrat
Bielschowsky diamati dan didokumentasikan dengan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan kamera. Pengukuran panjang akson dengan menggunakan software MacBiophotonics ImageJ pada 5 lapang pandang pada bagian cornu ammonis (CA) hipokampus dengan luas setiap lapang pandang ± 0.1 mm2. Pengukuran panjang akson dilakukan terhadap 5 neuron pada 5 lapang pandang pada bagian cornu ammonis (CA) hipokampus sehingga total neuron yang diukur berjumlah 25. Pengukuran panjang akson dimulai dari bagian akson hillok sampai dengan terminal akson.
130
Lampiran 5 Prosedur preparasi blok sampel hipokampus transmission electron microscope (TEM) untuk melihat struktur mitokondria neuron (Owens et al. 2007) Preparasi blok sampel hipokampus TEM diawali dengan proses fiksasi. Sampel hipokampus bagian kiri dimasukkan ke dalam botol yang berisi larutan 2.5% glutaraldehid (dalam 0.1 M cacodylate buffer dan 3% sukrosa) selama 2 jam pada suhu 4ºC dan dilakukan pengocokan. Sampel kemudian dibilas dengan 0.1 M cacodylate buffer dan 3% sukrosa berulang sampai 4x masing-masing selama 15 menit pada suhu 4ºC sambil dilakukan pengocokan. Sampel hipokampus yang sudah dibilas kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi larutan 2% osmium tetraoksida dan K3Fe(CN)6 dalam buffer selama 2 jam pada suhu 4ºC sambil dilakukan pengocokan. Sampel diambil dan dibilas kembali dengan 0.1 M cacodylate buffer dan 3% sukrosa berulang sampai 3x masingmasing selama 15 menit pada suhu 4ºC sambil dilakukan pengocokan. Setelah tahap fiksasi selesai, sampel kemudian didehidrasi. Dehidrasi sampel dilakukan pada suhu 4ºC sambil dilakukan pengocokan. Dehidrasi sampel menggunakan etanol bertingkat, yaitu 10%, 20%, dan 30% selama 5 menit. Dehidrasi sampel dilanjutkan pada etanol 40% selama 10 menit dan etanol 50% selama 10 menit atau satu malam. Dehidrasi sampel terus dilanjutkan pada etanol 60%, 70%, 80%, 95% (2x) masing-masing selama 10 menit. Dehidrasi diakhiri dengan memasukkan sampel ke dalam etanol absolut (2x) masing-masing selama 20 menit. Setelah dehidrasi selesai, dilakukan infiltrasi pada sampel hipokampus. Setiap tahap infiltrasi dilakukan selama 30 menit pada suhu kamar. Tahap infiltrasi dilakukan 3x dengan menggunakan etanol absolut yang dicampur dengan propilen oksida dengan perbandingan 2:1, 1:1, dan 1:2. Infiltrasi tahap akhir hanya menggunakan propilen oksida. Setelah tahap infiltrasi selesai, selanjutnya dilakukan embedding pada sampel hipokampus. Tahap embedding diawali dengan memasukkan sampel jaringan hipokampus ke dalam larutan yang mengandung propilen oksida yang dicampur dengan resin Spurs dengan perbandingan 1:1 pada suhu kamar selama 30 menit. Setengah dari larutan tersebut diambil dan ditambahkan resin Spur murni dalam jumlah yang sama dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar. Larutan yang tersisa dibersihkan dan diganti dengan resin Spur murni, dan dibiarkan selama semalam pada ruang hampa. Sampel
131
jaringan hipokampus kemudian dimasukkan ke dalam tabung blok. Selanjutnya, sampel dimasukkan kembali ke dalam resin Spur murni selama 48 jam pada suhu 60ºC dalam ruang hampa. Blok sampel hipokampus kemudian dipotong dengan ultramikrotom dengan ketebalan 90 nm, kemudian diwarnai dengan 1% toluidin biru dalam 1% sodium borat. Sediaan neuron hipokampus diberi kontras warna dengan 5% uranil asetat dalam 50% metanol selama 20 menit, kemudian dibilas dengan 50% metanol dan diberi counterstain 0.3% tembaga sitrat dalam 0.1 N NaOH selama 4 menit. Sediaan neuron hipokampus kemudian dibilas dengan akuades, diuji dan dianalisis dengan mikrosokop elektron dan difoto. Untuk mendapatkan gambaran struktur mitokondria, film (negatif) dari hasil foto discan pada 600 dpi untuk mendapatkan gambar digital positif (profil struktur mitokondria).
132
Lampiran 6 Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% dengan umur tikus 24 bulan dalam kondisi normal (tanpa stres oksidatif)
A1
400 nm
A2
400 nm
B1
400 nm
B2
400 nm
Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanilglutamina dengan umur tikus 24 bulan normal. A1 dan A2 interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dengan umur tikus 24 bulan normal, B1 dan B2 interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 7% dengan umur tikus 24 bulan normal. Ditemukan beberapa mitokondria, yang meliputi mitokondria normal (tanda panah putih), mitokondria dengan kerusakan sebagian (tanda panah kuning), dan mitokondria dengan kerusakan total (tanda panah merah).
133
Lampiran 7 Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanil-glutamina dengan umur tikus 24 bulan yang mendapat perlakuan stres oksidatif
A1
400 nm
B1
400 nm
A2
B2
400 nm
400 nm
Profil mitokondria neuron hipokampus hasil interaksi antara dipeptida alanilglutamina dengan umur tikus 24 bulan yang mendapat perlakuan stres oksidatif. A1 dan A2 interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 0% dengan umur tikus 24 bulan stres oksidatif, B1 dan B2 interaksi antara dipeptida alanil-glutamina 7% dengan umur tikus 24 bulan stres oksidatif. Ditemukan beberapa mitokondria, yang meliputi mitokondria normal (tanda panah putih), mitokondria dengan kerusakan sebagian (tanda panah kuning), dan mitokondria dengan kerusakan total (tanda panah merah).
134
Lampiran 8 Profil mitokondria neuron hipokampus pada tikus umur 12 bulan tanpa stres oksidatif (normal)
400 nm
Profil mitokondria neuron hipokampus pada tikus umur 12 bulan tanpa stres oksidatif (normal). Tanda panah menunjukkan mitokondria normal.