TESIS
METODE PEMERIKSAAN HISTOMORFOMETRI MENDETEKSI PERBAIKAN MATRIKS TULANG PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus) JANTAN HIPOGONAD SETELAH TERAPI SULIH TESTOSTERON
M. NAJIB DJALALUDDIN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
1
2
TESIS
METODE PEMERIKSAAN HISTOMORFOMETRI MENDETEKSI PERBAIKAN MATRIKS TULANG TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus) JANTAN HIPOGONAD SETELAH TERAPI SULIH TESTOSTERON
M. NAJIB DJALALUDDIN NIM : 1290761045
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
3
TESIS
METODE PEMERIKSAAN HISTOMORFOMETRI MENDETEKSI PERBAIKAN MATRIKS TULANG TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus) JANTAN HIPOGONAD SETELAH TERAPI SULIH TESTOSTERON
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
M. NAJIB DJALALUDDIN NIM : 1290761045
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 Lembar Pengesahan : TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 16 Februari 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
4
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, SpAnd, FAACS KEMD NIP. 194612131971071001
Prof.
Dr.dr.A.A.Gede
Budhiarta,
NIP.194412211972061001
Mengetahui : Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, SpAnd, FAACS Sp.S(K) NIP. 194612131971071001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, NIP. 195902151985102001
SpPD-
5
Tesis ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal131 Januari 2015
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 029/UN14.4/HK/2015 tertanggal 2 Januari 2015 /UN14.4/HK/2013
Ketua
: Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS
Anggota : Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH Prof. Dr.dr.A.A.Gede Budhiarta, SpPD-KEMD Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes.
6
7
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian untuk penyusunan tesis yang berjudul : Metode Pemeriksaan Histomorfometri Dapat Mendeteksi Perbaikan Matriks Tulang pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Jantan Hipogonad Setelah Menjalani Terapi Sulih Testosteron Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD sebagai Rektor Universitas Udayana dan Prof. dr. A.A. Rake Sudewi, Sp.S (K) sebagai Direktur Program Pascasarjana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS, sebagai pembimbing I atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi, serta memberikan bimbingan dan saran yang sangat besar manfaatnya dalam penelitan dan penyusunan tesis ini dengan penuh perhatian dan kesabaran, juga. Terima
kasih
sebesar-besarnya
pula
penulis
sampaikan
kepada
Prof.
Dr.dr.A.A.Gede Budhiarta, SpPD-KEMD sebagai dosen pembimbing II atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi, serta memberikan bimbingan, saran, dan motivasi dengan penuh perhatian dan kesabaran untuk penelitian dan penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih secara tulus juga penulis haturkan kepada : 1. Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, MSc, Sp.And sebagai dosen dan penguji tesis atas ilmu, motivasi, dan bimbingan yang sangat berguna terutama secara teknis untuk menyelesaikan studi dan penyusunan tesis. 2. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH sebagai dosen dan penguji tesis atas ilmu, bimbingan, saran, dan koreksi yang diberikan kepada penulis dalam menjalani pendidikan dan menyelesaikan tesis. 3. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes. sebagai dosen dan penguji tesis atas ilmu, bimbingan dan saran yang sangat bermanfaat untuk menyelesaikan studi dan penyelesaian tesis.
8
4. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, sebagai Koordinator Laboratory Animal Unit atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi, serta memberikan bimbingan dan saran yang sangat besar manfaatnya dalam penelitan dan penyusunan tesis ini dengan penuh perhatian dan kesabaran, juga banyak membantu dalam menyediakan fasilitas tempat, peralatan dan bantuan teknis untuk terlaksananya penelitian. 5. I Gede Wiranatha, S.Si, dari bagian Animal Unit Farmakologi Universitas Udayana yang banyak membantu dalam menyediakan fasilitas tempat, peralatan, serta bimbingan dalam proses penelitian dan pemeliharaan hewan coba. 6. Drh. IB Oka Winaya dari bagian Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang banyak membantu dalam penelitian terutama dalam pemeriksaan histomorfometri. 7. dr.I.G.K Nyoman Arijana, staf Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah membantu dalam medapatkan informasi tentang
histomorfometri,
terima
kasih
untuk
segala
masukan
dan
kerjasamanya 8. Staf Dosen Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu dalam penyusunan tesis terutama dalam bidang pengolahan data (statistik). 9. Seluruh dosen
Ilmu Biomedik Kedokteran Anti Penuaan atas ilmu dan
bimbingan yang sangat bermanfaat, serta ucapan terima kasih kepada seluruh staf atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama studi. Pada kesempatan ini penulis juga
mengucapkan terima kasih yang
tulus
disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah
dasar sampai perguruan tinggi.
Akhirnya penulis
menyampaikan terima kasih yang besar kepada keluarga dan kerabat tercinta : Almarhum bapak, (Alm. H.Djalaluddin), Ibu (Hj. St. Khadijah), Mertua tercinta (Muhammad Kadir dan Hj. Nuralam) istri tercinta Wahyuni Kalam dan anak-anak tersayang, M. Alfhadir Zhafran dan Najwa Aqila, juga untuk kakak dan adik,
9
Alm. Prof. Dr. M. Noor Djalaluddin, Juheriah Noor, Aisyah Djalaluddin, H. Moh. Ramli Idris, M.Natsir Djalaluddin, Syulastri Guntur, Alm. Fatimah Djalaluddin, Abd. Latif, Amnah Djalaluddin, Halimah Djalaluddin, Safri, Alkausar Kalam, Nur Indah Yanti, Riani Muin, Astuty, Arnita, Zuryatun Faizah, H. Joko Heru, Hj. Rien Ayana, Zainuddin Abbas, Suardi Nurdin, Hasbi, Muh. Basri, Irjan, Fadli, serta kerabat dan keluarga yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas doa, cinta, toleransi, dan dukungan moril dan materil yang sangat luar biasa selama penulis menjalani studi dan menyelesaikan tesis. Terima kasih tak terhingga juga kepada seluruh staf Program Pasca Sarjana Kekhususan Anti Aging Medicine Universitas Udayana atas segala dukungan dan bantuan yang sangat besar dalam menyelesaikan studi program magister ini. Tidak lupa terima kasih juga penulis ucapkan untuk teman-teman mahasiswa Anti Aging Medicine atas persahabatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis
mengharapkan
masukan/ide,
kritik
yang
membangun
untuk
memperbaikinya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya dan kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang Kedokteran Anti Penuaan pada khususnya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat dan berkat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga. Denpasar,Januari 2015 Penulis
10
ABSTRAK METODE PEMERIKSAAN HISTOMORFOMETRI MENDETEKSI PERBAIKAN MATRIKS TULANG TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus) JANTAN HIPOGONAD SETELAH MENJALANI TERAPI SULIH TESTOSTERON Penuaan adalah proses fisiologis yang dialami oleh seluruh makhluk hidup. Terdapat hubungan antara usia dengan perubahan yang terjadi pada poros hipothalamus – pituitari - organ target. Semua organ akan menyusut dan bermanifestasi dalam bentuk penurunan level hormon, antara lain penurunan level hormon testosteron yang dapat menyebabkan berbagai kelainan, diantaranya adalah hipogonadisme yang dapat menyebabkan osteoporosis (terutama pada kaum pria). Beberapa institusi kedokteran telah merekomendasikan penggunaan terapi sulih testosteron pada pria hipogonad, termasuk osteoporosis. Histomorfometri merupakan salah satu metode pemeriksaan histologis yang dapat dipergunakan untuk menilai kualitas tulang dan mengevaluasi efek pengobatan terhadap mineralisasi tulang dan rekonstruksi mikroarsitektur tulang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa metode pemeriksaan histomorfometri dapat mendeteksi perbaikan matriks tulang tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan hipogonad setelah menjalani terapi sulih testosteron. Penelitian adalah merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Post-test only Control Group Design. Dalam penelitian ini digunakan 32 ekor tikus (post orchidectomi selama 12 minggu) sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing berjumlah 16 ekor, yaitu kelompok kontrol (pemberian placebo oral selama 12 minggu, diberikan setiap hari, 2 kali sehari) dan kelompok perlakuan (pemberian TU selama 12 minggu, diberikan setiap hari, 2 kali sehari). Berdasarkan hasil penelitian setelah perlakuan didapatkan bahwa rerata kepadatan matriks tulang tikus yang diberi plasebo oral adalah 285,36 ± 65,67 µM dan rerata kelompok perlakuan adalah 427,56 ± 76,25 µM. Analisis kemaknaan dengan uji t-independen menunjukkan bahwa nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa rerata matriks tulang kedua kelompok sesudah diberikan oral plasebo dan testoterone undecanoate oral berbeda secara bermakna (p<0,05). Metode pemeriksaan histomorfometri dapat mendeteksi perbaikan matriks tulang tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan hipogonad setelah menjalani terapi sulih testosteron. Disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan metode pemeriksaan histomorfometri dengan metode lain yang telah direkomendasikan untuk pemeriksaan efek terapi sulih testosteron terhadap mikroarsitektur matriks tulang yang mengalami osteoporosis akibat hipogonadisme. Kata kunci: testosterone undecanoate oral, Kepadatan matriks tulang, Histomorphometri tulang ABSTRACT HISTOMORPHOMETRY EXAMINATION METHOD
11
TO DETECT BONE MATRIX IMPROVEMENT IN WHITE RATS (Rattus norvegicus) MALE HYPOGONADAL AFTER THE TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY
Aging is a physiological process that is experienced by all living things. There is a relationship between age and changes in hypothalamic-pituitary-axis target organ. All organs will shrink and manifest in the form of a decrease in hormone levels, such as a decrease in testosterone levels which can lead to various disorders, such as hipogonadism which can lead to osteoporosis (especially in men). Some medical institutions have recommended the use of testosterone replacement therapy is effective and safe for a few important things in hypogonadal men, including osteoporosis. histomorphometry is one of the histological examination can be used to assess bone quality and evaluate the treatmen effect of mineralized done and bone microarsitecture reconstruction. The purpose of this research to know that method of histomorphometry exam can detect bone matrix repair in white male rats (Rattus norvegicus) hypogonadal after undergoing testosterone replacement therapy. The study was an experimental study using the Post-test only control group design. This study used 32 rats (post orchidectomi for 12 weeks) as a sample, which divided into two (2) groups each with 16 rats, ie the control group (placebo orally for 12 weeks, administered daily, 2 times a day ) and treatment group (TU administration for 12 weeks, administered daily, 2 times a day). The results after treatment showed that the average density of the bone matrix mice given oral placebo was 285.36 ± 65.67 lm and the mean treatment group was 427.56 ± 76.25 lm. The predictive analysis with independent t-test showed that the value of p = 0.000. This means that the average of the two groups after bone matrix given oral placebo and testosterone undecanoate orally significantly different (p <0.05). Histomorphometry inspection method can detect the repair of bone matrix in rats (Rattus norvegicus) hypogonadal males after undergoing testosterone replacement therapy. It is on recommended that further research is conducted to compare histomorphometry method with another method that has been recommended for examination of therapeutic effects of testosterone on the microarsitecture bone matrix that is experiencing osteoporosis due to hipogonadism Keywords: oral testosterone undecanoate, density of bone matrix, bone Histomorphometri
12
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ………………………………………………………..
i
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………….… …..
ii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………
iii
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………..
iv
ABSTRAK …………………………………………………………………..
vii
ABSTRACT …………………………………………………………………. viii DAFTAR ISI ……………………………………………………..…..........
ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………..…. …..
xiv
DAFTAR TABEL ……………………………………………….….……..
xv
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………...……..
xvi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..
xvii 1
1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………….…...
1
1.2 Rumusan Masalah .………………………………..………...……….
6
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………...…………
6
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………….
6
1.4.1 Manfaat Akademis………………………………………………
6
1.4.3 Manfaat untuk Penelitian ………………………………………..
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………… 2.1 Proses Penuaan. ………………………………………………………. 2.1.1 Teori Proses Penuaan …………………………………………...
7 7 7
13
2.1.2
Tahap Proses Penuaan ………………………………………….
2.2 HormonTestosteron…………………………………………………… 2.2.1
13
Pengaturan Sekresi Hormon dari Hipothalamus dan Kelenjar Hipofisis ………………………………………………………
2.2.2
11
18
Hubungan Timbal Balik Sekresi LH dan FSH Kelenjar Hipofisis Anterior oleh Testosteron …………………………..
19
2.2.3 Defesiensi Andrgen (Hipogonadism) dan Terapi Sulih Testosteron ……………………………………................................
20
Efek Samping Testosteron ……………………………………
22
2.2.4
2.3 Matriks Tulang dan Osteoporosis …………………………………..
24
2.3.1
Faktor Resiko Osteoporosis …………………………..………
27
2.3.2
Osteoporosis pada Pria ……………………………………….
31
2.3.3
Kriteria Diagnostik ……………………………………………
32
2.3.4 Histomorfometri
Tulan
pada
Osteoporosis
………………………..
34 2.3.5
Patogenesis …………………………………………………....
35
2.3.6
Penyebab ………………………………………………………
37
2.3.7
Penatalaksanaan ……………………………………………….
40
2.3.7.1 Terapi Nonfarmakologis ……………………………………. 2.3.7.2 Terapi Farmakologis…………………………………………..
2.4 Hewan Coba Tikus…………..…...……………..………….……….
40 41
44
14
2.4.1
Penggunaan Tikus (RattusNorvegicus) di Laboratorium ……..
44
2.4.2
Pemberian Makanan dan Air Minum Tikus di Laboratorium …
45
2.4.3
Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium ………….....
46
2.4.4
Orchidectomidan Osteoporosis pada Tikus Jantan …………...
47
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS.………
49
3.1
Kerangka Berpikir .……………..…………..…………….….…......
49
3.2
Konsep Penelitian……………………………………………..…….
51
3.3
Hipotesis Penelitian …………………………………………..…….
52
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………..
53
4.1
Rancangan Penelitian ………………………………………………..
53
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian …………..…………………………..
54
4.3
Populasi dan Sampel Penelitian …………………………………….
54
4.3.1 Subjek Penelitian..………………………………………………
54
4.3.2 Kriteria Subjek ………………………………………..............
54
4.3.3 Besaran Sampel ……………………………………………….
55
4.3.4 Teknik Penentuan Sampel ………………………………………
55
4.4 Variabel……………………...………………………………………..
56
4.4.1
Klasifikasi Variabel …………………………………………….
56
4.4.2
Defenisi Operasional Variabel ………………………………….
56
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian …………………………....……… 4.5.1 Bahan Penelitian ……………………………………………......
57 57
15
4.5.2 Instrumen Penelitian ………………………………………….. Tata Cara Penelitian………………..…………………….…...…....
58
4.6.1
Pemberian Perlakuan ………………………………………….
58
4.6.2
Perhitungan Dosis Oral Testosterone Undecanoate (TU) untuk
4.6
4.7
57
Subjek Penelitian ………………………………………………
59
4.6.3
Alur Penelitian …………………………………………………
60
4.6.4
Mekanisme Kerja Penelitian ………………………………….
61
4.6.4.1 Orchidectomi pada Tikus …………………………….
61
4.6.4.2 Histomorfometri Tulang Tikus .………………………
61
AnalisisData………………………………...……………..…..
62
BAB V HASIL PENELITIAN ………………………………………..…
63
5.1
Uji Normalitas Data ………………………………………………...
63
5.2
Uji Homogenitas Data antar Kelompok …………………………...
64
5.3 Uji Efek Pemberian Plasebo Oral dan Pemberian Oral Testosterone Undecanoate Terhadap Peningkatan Matriks Tulang
64
BAB VI PEMBAHASAN ……………………………………………..…
67
6.1
Subyek Penelitian ……………………………………………………. 6.2 Osteoporosis Tikus Post Orchidectomi …………………………
67 68
6.3 Pemberian Oral Testosterone Undecanoate (TU) ……………. 6.4
69
Pemberian Oral Testosterone Undecanoate (TU) Terhadap Peningkatan Kepadatan Matriks Tulang …………………..
69
6.5 Manfaat Testosterone Undecanoate dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging Medicine …………………………………………….
71
16
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………
75
7.1 Simpulan ……………………………………………………………..
75
7.2
Saran ………………………………………………………………….
75
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
76
LAMPIRAN ………………………………………………………………
80
17
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Halaman : Struktur Tulang Vertebra L3 pada Wanita…….…..... 28
Gambar 3.1
: Kerangka Konsep Penelitian ..…….……………......
51
Gambar 4.1
: Rancangan Penelitian ………………………….…....
53
Gambar 4.2
: Alur Penelitian …….. …………………………..…...
60
Gambar 5.1
: Gambaran Histomorfometri ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,.
65
Gambar 5.2
: Rerata Kepadatan Matriks Tulang antar Kelompok Setelah Perlakuan ……………………………………..
66
18
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Halaman Estimasi Skor Resiko Osteoporosis pada Pria…………… 30
Tabel 2.2
Organisasi Kesehatan Dunia dalam Diagnostik Kategori BMD…………………………………………..
33
Tabel 2.3
Penyebab Osteoporosis pada Pria………………………
38
Tabel 2.4
Data Biologis Tikus……………………………………..
45
Tabel 2.5
Mineral dalam Makanan Tikus..………………………….
46
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas ……………………………………
63
Tabel 5.2
Hasil Uji Homogenitas ………………………………….
64
Tabel 5.3
Hasil Uji Efek …………………………………………...
65
19
DAFTAR SINGKATAN
AAM
: Anti Aging Medicine
A4M
: American Academy of Anti Aging Medicine
BMD
: Bone Mineral Density
DEXA
: Dual-energy x-ray absorptiometry
DHEA
: Dehydroepiandrosterone
DNA
: Deoxy nucleic acid
FRAX
: Fracture Risk Assessment Tool
FSH
: Follicle Stimulating Hormone
GH
: Growth Hormone
GnRH
: Gonadotropine Releating Hormone
HGH
: Human Growth Hormone
HRT
: Hormone replacement therapy
IGF-1
: Insulin Growth Factor-1
IHH
: Idiopatik hypogonadisme hypogonadisme
LH
: Luteinizing Hormone
MORES : The Male Osteoporosis Risk Estimation Score PCOS
: Polycystic Ovary Syndrome
PSA
: Prostate-specific antigen
SHBG
: Sex Hormone Binding Globulin
TU
: Testosterone undecanoate
20
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ………………….
2.
Konversi Perhitungan Dosis untuk Beberapa Jenis Hewan
Halaman 80
dan Manusia …… ... ... …………………………………………
81
3.
Data Hasil Penelitian …………………………………………….
82
4.
Gambaran Histomorfometri Diafise Tulang Femur Kelompok Kontrol ……………………………………………………………
5.
83
Gambaran Histomorfometri Diafise Tulang Femur Kelompok Perlakuan ………………………………………………………….
84
6
Hasil Output SPSS ………………………………………………..
85
7.
Foto-foto saat Melakukan Penelitian …………………………….
86
8.
Andriol Testocaps ………………………………………………..
88
21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebanyakan orang beranggapan bahwa menjadi tua adalah suatu proses yang memang harus terjadi, sehingga mereka terkadang dengan pasrah dan bahkan bersikap tidak peduli terhadap akibat serta gejala dari proses penuaan
yang
terjadi. Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian mencetuskan berbagai penyakit dan akhirnya membawa kepada kematian. Penuaan (aging) adalah proses fisiologis yang dialami oleh seluruh makhluk hidup (Wibowo, 2003). Untuk pertama kalinya dalam sejarah kedokteran, aging dilihat sebagai suatu penyakit yang dapat diperlambat (Morgan, 2003). Menurut WHO (1996) terdapat interaksi antara gaya hidup, penyakit, pekerjaan, dan penuaan biologis. Adanya aging maka terjadi dua fenomena yaitu penurunan fisiologik tubuh dan peningkatan terjadinya penyakit (Fowler, 2003). Akibatnya terjadi gangguan terhadap kulit, selaput lendir, panca indera, otot, tulang, sistem kardiovaskuler, sistem imun (perubahan respon netrofil, makrofag, dan limfosit), sistem metabolisme glukosa, sistem gastrointestinal, reproduksi, fungsi otak-saraf dan sensorik (Baziad, 2003; Goldman and Klatz, 2007). Anti-aging medicine menanggapi dan memperlakukan penuaan sebagai salah satu penyakit yang dapat dihindari, diobati, dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat,dan kualitas hidup dipertahankan (Pangkahila, 2007).
22
Banyak teori yang menjelaskan manusia dapat mengalami proses penuaan, diantaranya teori radikal bebas dan teori neuroendokrin. Menurut teori radikal bebas, suatu organisme menjadi tua karena akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut, sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas adalah deoxy nucleic acid (DNA), lemak, dan protein (Goldman and Klatz, 2007). Menurut teori neuroendokrin yang berdasarkan pada peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh (Goldman and Klatz, 2007) Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stress, dan kemiskinan. Tetapi, kalau faktor penyebab itu dapat dihindari, maka proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat serta kualitas hidup yang baik dapat dipertahankan, dengan
23
demikian usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Dengan melihat berbagai faktor di atas, maka kita dapat menentukan faktor mana yang dapat dihindari atau diatasi agar proses penuaan dapat dicegah atau diperlambat. Radikal bebas dapat diatasi dengan antioksidan, gaya hidup yang tidak sehat ditinggalkan, diet yang tidak sehat dihindari, dan jika hormon yang berkurang diatasi dengan pengobatan, maka dengan demikian proses penuaan yang penting telah disingkirkan (Pangkahila, 2007). Terdapat hubungan antara usia dengan perubahan yang terjadi pada poros hipothalamus – pituitari - organ target. Semua organ akan menyusut dan bermanifestasi dalam bentuk penurunan level hormon, seperti yang telah ditemukan oleh para ilmuwan bahwa proses aging tidak mungkin terlepas dari penurunan hormon-hormon seperti DHEA (dehydroepiandrosterone), HGH (Human Growth Hormone), estrogen, progesteron, testosteron, tiroid, dan melatonin (Morgan, 2003). Anti Aging Medicine menggunakan pengobatan saat terdapat indikasi medis, di antaranya dengan cara menganjurkan pemberian nutrisi makanan, suplemen yang tepat dan natural hormone replacement therapy (HRT). HRT yang diberikan adalah hormon yang cukup sederhana yang secara biokimia identik dengan apa yang terdapat dalam tubuh saat usia tigapuluhan tahun dan juga penting bagi para tenaga dokter untuk tetap memonitor kadar hormon melalui darah dan tes urin (Morgan, 2003).
24
Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama dalam sirkulasi darah. Hormon testosteron pada umumnya dikaitkan dengan aspek seksual dan reproduksi dalam hidup manusia. Meskipun ini benar, tetapi tidak berarti testosteron hanya berfungsi pada sistem seksual dan reproduksi, tetapi berperan juga pada tulang, otak, otot, lemak, sistem hematopoesis dan sistem imun (Pangkahila, 2007). Dari berbagai penelitian terbukti bahwa pemberian terapi sulih hormon dapat mencegah terjadinya pengeroposan tulang, penyakit jantung koroner, stroke, demensia, dan kanker usus besar, sehingga dengan sendirinya meningkatkan kualitas hidup (Baziad,2003). Khususnya pada tulang, peningkatan kadar testosteron yang sangat besar pada saat pubertas atau setelah penyuntikan testosteron yang lama, menyebabkan tulang menjadi menebal dan mengendapkan sejumlah besar garam kalsium tambahan.
Testosteron
menyebabkan
retensi
meningkatkan kalsium.
jumlah
Karena
total
matriks
kemampuan
tulang
testosteron
dan untuk
meningkatkan ukuran dan kekuatan tulang, testosteron sering digunakan pada usia lanjut untuk mengobati osteoporosis (Guyton and Hall, 2000). Beberapa
institusi
kedokteran
telah
merekomendasikan
penggunaan
testosterone undecanoate oral yang efektif dan aman untuk beberapa hal penting pada pria hipogonad, termasuk osteoporosis, Dengan demikian adalah penting untuk mengetahui penggunaan testosteron yang efektif dan aman (Wang et al., 2013).
25
Untuk memahami mekanisme di balik kehilangan massa tulang terkait usia, kita harus memahami bahwa tulang pada orang dewasa terus diperbaharui melalui reorganisasi internal dimana tulang melalui mekanisme resorpsi osteoklastik lokal diikuti oleh pembentukan osteoblastik (remodeling). Penilaian terhadap rekonstruksi dari tahap resorptif dan formatif dapat dilakukan melalui metode pemeriksaan histomorfometri (Steiniche, 1995). Histomorfometri dapat dipergunakan untuk menilai kualitas tulang dan mengevaluasi efek pengobatan terhadap mineralisasi tulang dan rekonstruksi mikroarsitektur tulang. Selain itu, histomorfometri dipergunakan untuk penilaian kuantitatif dari perubahan terkait pengobatan di beberapa indeks remodeling tulang pada tingkat sel dan jaringan (Chavassieux, 2000). Seperti diketahui bahwa hingga saat ini telah banyak dilakukan penelitian tentang efek testosteron terhadap perbaikan matriks tulang, terutama pada pria hipogonad yang mengalami osteoporosis, akan tetapi metode pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian tersebut adalah kebanyakan menggunakan metode pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) atau dengan CT-Scan, sehingga dengan demikian informasi atau data ilmiah mengenai efek testostesteron terhadap mikroarsitektur matriks tulang terutama dalam aspek sitologi dan histologi adalah sangat minim dan dianggap belum optimal. Berlandaskan pada beberapa teori dan pendapat tersebut diatas, membuat penulis
merasa
perlu
untuk
mengetahui
bahwa
metode
pemeriksaan
histomorfometri mendeteksi perbaikan matriks tulang pada tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan hipogonad setelah terapi sulih testosteron
26
1.2 Rumusan Masalah Apakah metode pemeriksaan histomorfometri mendeteksi perbaikan matriks tulang tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan hipogonad setelah terapi sulih testosteron ?
1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bahwa metode pemeriksaan histomorfometri mendeteksi perbaikan matriks tulang tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan hipogonad setelah menjalani terapi sulih testosteron
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Akademis Diharapkan dari hasil penelitian ini didapatkan data yang dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk memberikan informasi ilmiah bahwa metode pemeriksaan histomorfometri mendeteksi perbaikan matriks tulang tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan hipogonad setelah menjalani terapi sulih testosteron
1.4.3 Untuk Penelitian Hasil penelitian dapat menjadi dasar untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut.
27
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Proses Penuaan 2.1.1 Teori Proses Penuaan (Aging) Usia harapan hidup yang lebih panjang disertai kualitas hidup yang optimal inilah konsep baru dari Ilmu Kedokteran Anti Penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM). Anti Aging Medicine ini didefinisikan sebagai bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan definisi Anti Aging Medicine tersebut, tampak bahwa terdapat paradigma yang baru. Yakni diantaranya manusia bukanlah orang terhukum yang terperangkap dalam takdir genetik dan penuaan dapat dianggap sama dengan penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula (Pangkahila, 2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, padahal usia sebenarnya bertambah. Dengan demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007).
7
28
Aging secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik, dan aging tidak dapat dihindarkan, berjalan dengan kecepatan yang berbeda tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung dari kesehatan individu (Fowler, 2003). Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti Aging Medicine) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungan dengan aging yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003). Menurut Goldman and Klatz (2007) ada 4 teori pokok dari aging, yaitu: 1) Teori “Wear and Tear” Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, tulang dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel. 2) Teori Neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan
29
bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh. 3) Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup. 4) Teori Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein. Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada
30
daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas. Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003), adalah : 1) Faktor lingkungan a. Pencemaran lingkungan yang berwujud bahan-bahan polutan dan kimia sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga akan mempercepat penuaan. b. Pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari berbagai penelitian ternyata suara bising akan mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin dan mampu menyebabkan apoptosis di berbagai jaringan tubuh. c. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya penyediaan air bersih akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk meningkatkan kekebalan. d. Pemakaian obat-obat/jamu yang tidak terkontrol pemakaiannnya sehingga menyebabkan turunnya hormon tubuh secara langsung atau tidak langsung melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback mechanism). e. Sinar matahari secara langsung yang dapat mempercepat penuaan kulit dengan hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen kulit. 2) Faktor diet/makanan. Jumlah nutrisi yang tidak optimal, jenis, dan kualitas makanan yang banyak menggunakan pengawet, pewarna, perasa dari bahan kimia terlarang. Zat beracun dalam makanan dapat menimbulkan kerusakan berbagai organ tubuh, antara lain organ hati.
31
3) Faktor genetik Genetik seseorang sangat ditentukan oleh genetik orang tuanya. Tetapi faktor genetik ternyata dapat berubah karena infeksi virus, radiasi, dan zat racun dalam makanan / minuman / kulit yang diserap oleh tubuh. 4) Faktor psikis Faktor stres ini ternyata mampu memacu proses apoptosis di berbagai organ/ jaringan tubuh. 5) Faktor organik Secara umum, faktor organik adalah : rendahnya kebugaran / fitness, pola makan kurang sehat, penurunan GH (Growth Hormone) dan IGF-1 (Insulin Growth Factor-1), penurunan testosteron, penurunan melatonin secara konstan setelah usia 30 tahun dan menyebabkan gangguan circadian clock (ritme harian), selanjutnya kulit dan rambut akan berkurang pigmentasinya dan terjadi pula gangguan tidur, peningkatan prolaktin yang sejalan dengan perubahan emosi dan stres, perubahan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH).
2.1.2 Tahap Proses Penuaan Proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan perubahan fisik maupun psikis. Menurut Pangkahila (2007), proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut: 1) Tahap Subklinik (usia 25-35 tahun): Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal
32
bebas yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. 2) Tahap Transisi (usia 35-45 tahun): Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner, dan diabetes. 3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas): Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen, dan juga hormon tiroid. Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami
33
kegagalan. Ketidak mampuan menjadi faktor utama sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan. Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses penuaan. Lebih jauh, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 2007).
2.2 Hormon Testosteron Kata ”hormon” berasal dari Bahasa Yunani yang berarti membangkitkan untuk beraktivitas. Sesuai dengan defenisi klasiknya, hormon adalah suatu zat yang disintesis dari satu organ dan diangkut oleh sistem sirkulasi untuk bekerja di jaringan lain. Namun, deskripsi ini terlalu membatasi karena hormon dapat bekerja pada sel-sel disekitarnya (kerja parakrin) dan pada sel tempat hormon tersebut berasal (kerja autokrin) tanpa harus masuk ke sirkulasi sistemik. Telah berkembang beragam hormon, masing-masing dengan mekanisme kerja dan biosintesis, penyimpanan, sekresi, pengangkutan serta metabolisme tersendiri untuk menghasilkan respon homeostasis (Murray et al., 2012). Hormon disintesis di organ-organ yang dirancang semata-mata untuk tujuan spesifik,
misalnya
tiroid
menghasilkan
hormon
triiodotironin,
adrenal
menghasilkan hormon glikokortikoid dan mineralokotikoid serta hipofisis menghasilkan hormon TSH, FSH, LH, ACTH, GH dan Prolaktin. Sebagian organ
34
dirancang untuk melakukan dua atau beberapa fungsi yang berbeda, tetapi berkaitan erat. Contohnya, ovarium menghasilkan oosit matang dan hormon reproduktif estradiol dan progesteron. Testis menghasilkan spermatozoa matang dan testosteron (Murray et al., 2012). Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama di dalam sirkulasi darah. Testosteron pada umumnya dikaitkan dengan aspek seksual dan reproduksi dalam hidup manusia. Meskipun ini benar, tetapi tidak berarti testosteron hanya berfungsi pada sistem seksual dan reproduksi, selain itu juga pada otak, tulang, otot, lemak, sistem hematopoesis, dan sistem imun (Pangkahila, 2007). Hormon testosteron tidak hanya dihasilkan oleh pria, melainkan juga oleh wanita. Pada pria, lebih 95 persen hormon androgen diproduksi di dalam testis oleh sel Leydig, dan sisanya diproduksi oleh korteks adrenalis. Pada wanita, androgen diproduksi sebanyak 0.2 - 0.3 mg/hari, 25 persen oleh ovarium, 25 persen oleh kelenjar adrenalis, dan 50 persen oleh konversi perifer dari prehormone androstenedione dan precursor dehydroepiandrosterone (DHEA). Androstenedione diproduksi di dalam ovarium (50 persen), sedangkan DHEA diproduksi hampir seluruhnya di kelenjar adrenalis (90-95 persen) (Sperrof, 2004). Pada umumnya, testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat maskulinisasi tubuh. Penyuntikan sejumlah besar hormon kelamin pria ke dalam hewan yang hamil menyebabkan perkembangan organ-organ seksual jantan walaupun janinnya betina (Guyton and Hall, 2000).
35
Testosteron menyebabkan sifat-sifat kelamin sekunder, yang membedakan pria dari wanita (Guyton and Hall, 2000), yaitu: a.
Pengaruh pada penyebaran rambut tubuh : Testosteron menyebabkan pertumbuhan rambut (1) di atas pubis, (2) ke atas sepanjang linea alba kadang-kadang sampai ke umbilikus dan di atasnya, (3) pada wajah, (4) biasanya pada dada, dan (5) kurang sering pada bagian tubuh yang lain, seperti punggung. Testosteron juga menyebabkan rambut pada bagian tubuh lainnya sehingga menjadi lebih menyebar.
b.
Pengaruh pada suara : Testosteron yang disekresi oleh testis atau disuntikkan ke dalam tubuh menyebabkan hipertrofi mukosa laring dan pembesaran. Pengaruh terhadap suara pada awalnya secara relatif menjadi tidak sinkron, suara serak, tetapi secara bertahap berubah menjadi suara maskulin yang khas.
c.
Pengaruh pada kulit dan pertumbuhan akne : Testosteron meningkatkan ketebalan kulit di seluruh tubuh dan meningkatkan kekasaran jaringan subkutan. Testosteron meningkatkan kecepatan sekresi beberapa atau mungkin semua kelenjar sebasea. Yang paling penting adalah kelebihan sekresi oleh kelenjar sebasea wajah, karena kelebihan sekresi di wajah ini dapat menyebabkan akne.
d.
Pengaruh pada pembentukan protein dan perkembangan otot : Salah satu karakteristik yang paling penting pada pria adalah perkembangan peningkatan muskulatur mengikuti masa pubertas, rata-rata sekitar 50 persen massa otot pria meningkat melebihi massa otot wanita. Hal ini juga
36
berhubungan dengan peningkatan protein di bagian lain dari tubuh yang tidak berotot. Banyak perubahan pada kulit juga disebabkan oleh penumpukan protein pada kulit, dan pada suara mungkin juga terutama disebabkan oleh fungsi anabolik protein testosteron. Terjadi peningkatan berat badan karena peningkatan massa otot dan retensi sodium dan air. Respon muskular ini terjadi karena meningkatnya diameter dari serabut otot. Karena pengaruh testosteron yang sangat besar pada muskulatur tubuh, testosteron (atau yang lebih sering disebut androgen sintetik) digunakan secara luas oleh atlet untuk meningkatkan kinerja otot mereka. Penggunaan ini sangat membahayakan karena efek berbahaya yang panjang akibat kelebihan testosteron. Testosteron juga digunakan pada usia tua sebagai hormon peremajaan untuk meningkatkan kekuatan dan tenaga otot. e.
Pengaruh pada pertumbuhan tulang dan retensi kalsium : Setelah peningkatan sirkulasi testosteron yang sangat besar pada saat pubertas atau setelah penyuntikan
testosteron
yang
lama,
tulang
sangat
menebal
dan
mengendapkan sejumlah besar garam kalsium tambahan. Jadi, testosteron meningkatkan jumlah total matriks tulang dan menyebabkan retensi kalsium. Peningkatan dalam matriks tulang diyakini dari fungsi anabolik protein umum
testosteron
dan
pengendapan
garam-garam
kalsium,
menghasilkan peningkatan matriks tulang secara sekunder.
yang Karena
kemampuan testosteron untuk meningkatkan ukuran dan kekuatan tulang, testosteron sering digunakan pada usia lanjut untuk mengobati osteoporosis.
37
f.
Pengaruh pada metabolisme basal : Penyuntikan testosteron dalam jumlah besar dapat meningkatkan kecepatan metabolisme basal sampai 15 persen. Peningkatan kecepatan metabolisme tersebut mungkin disebabkan oleh pengaruh
tidak
langsung
testosteron
terhadap
anabolisme
protein,
peningkatan kuantitas protein, terutama enzim, meningkatkan aktifitas semua sel. Testosteron juga telah banyak digunakan untuk mengobati berbagai macam anemia. g.
Pengaruh pada sel darah merah : Ketika testosteron jumlah normal disuntikkan pada orang dewasa yang dikastrasi, jumlah sel-sel darah merah per milimeter kubik meningkat 15 sampai 20 persen, juga, rata-rata pria memiliki 700.000 sel-sel darah merah per milimeter kubik lebih banyak daripada rata-rata wanita. Perbedaan ini sebagian mungkin disebabkan oleh peningkatan kecepatan metabolisme setelah pemberian testosteron dan bukan efek langsung testosteron terhadap pembentukan sel-sel darah merah.
h.
Pengaruh pada elektrolit dan keseimbangan cairan : Banyak hormon steroid dapat meningkatkan reabsorpsi natrium pada tubulus distal ginjal. Testosteron memiliki pengaruh tersebut tetapi hanya derajat kecil bila dibandingkan dengan mineralkortikoid adrenal. Meskipun demikian, setelah pubertas, darah dan volume cairan ekstraseluler pada pria sedikit meningkat dalam hubungannya dengan berat badan.
38
2.2.1
Pengaturan Sekresi Hormon dari Hipotalamus dan Kelenjar Hipofisis
Anterior Bagian utama dari pengaturan fungsi seksual baik pada pria maupun wanita dimulai dengan sekresi hormon pelepas gonadotropin (GnRH = Gonadothropin Releasing Hormone) oleh hipotalamus. Hormon ini selanjutnya merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon lain yang disebut hormon-hormon gonadotropin: (1) Luteinizing Hormone (LH) dan (2) Follicle Stimulating Hormone (FSH) (Guyton and Hall, 2000). GnRH disekresikan secara intermiten selama beberapa menit setiap satu sampai tiga jam. Intensitas perangsangan hormon ini ditentukan dalam dua cara: (1) oleh frekuensi dari siklus sekresi dan (2) oleh jumlah GnRH yang dilepaskan pada setiap siklus. Sekresi LH oleh kelenjar hipofisis anterior juga merupakan suatu siklus, yaitu sekresi LH hampir selalu mengikuti pelepasan bertahap dari GnRH. Sebaliknya, peningkatan dan penurunan sekresi FSH hanya sedikit mengikuti fluktuasi sekresi GnRH; di samping itu, sekresi FSH berubah lebih lambat setelah beberapa jam sebagai respons terhadap perubahan jangka panjang dari GnRH. Karena hubungan antara sekresi GnRH dan sekresi LH yang jauh lebih dekat, GnRH juga telah dikenal secara luas sebagai hormon pelepas LH (Guyton and Hall, 2000).
39
2.2.2
Hubungan Timbal Balik Sekresi LH dan FSH Kelenjar Hipofisis
Anterior oleh Testosteron Testosteron yang disekresikan sebagai respons terhadap LH mempunyai efek timbal balik dalam menghentikan sekresi LH oleh hipofisis anterior. Efek timbal balik itu terjadi dalam dua cara: 1. Sejauh ini bagian penghambatan yang lebih besar dihasilkan dari efek langsung testosteron terhadap hipotalamus dalam menurunkan sekresi GnRH. Keadaan ini sebaliknya secara bersamaan menyebabkan penurunan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior, dan penurunan LH akan menurunkan sekresi testosteron. Jadi, bilamana sekresi testosteron menjadi terlalu banyak, melalui hipotalamus dan kelenjar hipofisis, efek umpan balik negatif otomatis ini akan mengurangi sekresi testosteron kembali ke kadar normalnya. Sebaliknya, terlalu sedikit testosteron akan menyebabkan hipotalamus menyekresikan sejumlah besar GnRH, disertai dengan peningkatan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior. 2. Testosteron mungkin juga mempunyai efek umpan balik negatif yang lemah, yang bekerja secara langsung pada kelenjar hipofisis anterior sebagai tambahan terhadap efek umpan balik hipofisis anterior terhadap hipotalamus. Umpan balik hipofisis ini diduga secara khusus menghentikan sekresi LH. Akibatnya, sejumlah kecil pengaturan sekresi testosteron diyakini terjadi dalam cara yang sama (Guyton and Hall, 2000).
40
2.2.3
Defesiensi Androgen (Hipogonadisme) dan Terapi Sulih Testosteron
Perubahan aktivitas dari poros hipotalamus-hipofise-gonadal pada pria terjadi lebih lambat. Seiring dengan penuaan, kadar serum total dan free testosterone tampak menurun. Andropause atau hipogonadisme terjadi karena penurunan jumlah dan kemampuan sekresi sel Leydig. Penurunan serum total testosteron ini mulai berdampak setelah umur 40 tahun. Kadar free testosterone juga menurun sehubungan dengan peningkatan SHBG (Sex Hormone Binding Globulin). Gejala-gejala pada defisiensi androgen pada pria: a.
Menurunnya aktivitas dan libido (sexual desire)
b.
Menurunnya ereksi spontan dan mengecilnya testis
c.
Berkurangnya tinggi badan dan bone mineral density
d.
Berkurangnya kekuatan otot, hot flushes dan berkeringat
e.
Berkurangnya energi, motivasi, dan inisiatif
f.
Depresi dan perasaan sedih
g.
Konsentrasi dan daya ingat menurun, serta gangguan tidur
h.
Anemia ringan (normokromik, normositer)
i.
Peningkatan lemak tubuh dan indeks massa tubuh(Guytonand Hall, 2000). Penyebab utama hipogonadisme adalah kegagalan testis (hipogonadisme
primer), hipofisis dan / atau kegagalan hipotalamus (hipogonadisme sekunder), serta disfungsi yang berkaitan dengan usia (umumnya kombinasi hipogonadisme primer dan sekunder) (Bebb, 2011). Penyebab paling umum dari hipogonadisme primer termasuk sindrom Klinefelter, distrofi myotonic, anorchidism bawaan, dan radiasi atau kemoterapi induksi hipogonadisme (Bebb, 2011).
41
Penyebab bawaan umum dari hipogonadisme sekunder meliputi sindrom Kallmanns dan idiopatik hipogonadisme-hipogonadisme (IHH). Penyebab diperoleh
hipogonadisme
sekunder
meliputi
onset
dewasa
IHH,
hematochromatosis, dan tumor hipofisis, termasuk prolaktinoma (Bebb, 2011). Hipogonadisme mempengaruhi sekitar 40% dari pria berusia 45 tahun atau lebih tua, meskipun kurang dari 5% dari orang-orang yang benar-benar didiagnosis dan diobati untuk kondisi tersebut. Meskipun terdapat beberapa kontroversi, terapi sulih testosteron telah ditetapkan sebagai pengobatan utama yang aman dan efektif untuk hipogonaidisme (Bebb, 2011). Pengobatan terapi sulih untuk hipogonadisme dapat diberikan melalui beberapa sediaan preparat, antara lain : injeksi testosteron ester, testosteron transdermal (gel atau patch), atau testosteron oral dalam bentuk testosteron undecanoate. Semua sediaan preparat tersebut diberikan dalam dosis yang tepat sehingga memungkinkan pasien memperoleh manfaat dan memiliki berbagai pilihan untuk dipergunakan (Bebb, 2011). Beberapa
jenis
sediaan
.
preparat
pemberian
testosteron
yang
direkomendasikan untuk terapi penggantian/sulih testosteron adalah sebagai berikut : a.
Gel : 5 sampai 10 gram gel testosteron diterapkan setiap hari.
b.
Tablet : 80 mg testosteron undecanoate diminum dua kali sehari dengan makanan (Bebb, 2011).
c.
Injeksi 1000 mg testosterone undecanoate intramuskular yang diberikan pada pada minggu ke- 0 , 6 , 18 , 30 dan minggu ke- 42 dapat meningkatkan komponen kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad,
42
khususnya vitalitas ( mencerminkan tingkat energi ), fungsi sosial dan peran fungsi fisik. Meskipun skor komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan peningkatan signifikan secara statistik, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan pada minggu ke-30, hingga minggu ke-48 menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Tong, 2012) Terapi sulih testosteron dianjurkan untuk pria yang mengalami sindroma defisiensi androgen, agar dapat memperbaiki fungsi seksual dan kepadatan tulang. Hasil terapeutik sebaiknya dapat meningkatkan kadar testosteron sampai kadar 400-800 mg/dl untuk pria dewasa muda. Untuk pria dewasa tua sebaiknya mencapai kadar yang lebih rendah yaitu 300-500 mg/dl (Bhasin et al., 2006). Terapi sulih testosteron pada umumnya dilakukan dalam jangka panjang, dan memerlukan pemeriksaan evaluasi dan monitor yang teratur, termasuk pemeriksaan kadar hormon dan reaksi yang terjadi (Bhasinet al., 2006).
2.2.4 Efek Samping Testoteron Efek samping dalam penggunaan injeksi testosteron dosis tinggi berbeda pada setiap individu.
Menurut Gooren dan Polderman (1990), Gejala-gejala
hiperandrogen adalah: 1. Efek pada gonadotropin, spermatogenesis, dan fungsi seksual 2. Efek pada metabolisme dan beberapa sistem organ: a. Efek anabolik (efek pada keseimbangan nitrogen, perkembangan otot, dan sebagainya)
43
b. Efek pada hematopoesis dan formasi trombus c. Retensi air dan garam d. Efek metabolik lainnya (termasuk efek pada ginjal, pernapasan, dan metabolisme tulang) 3. Efek virilisasi 4. Mempengaruhi sistem saraf pusat 5. Efek terhadap hepar dan hipersensitifitas 6. Efek teratogenik Efek samping testosteron dosis tinggi antara lain hirsutisme, acne, dan alopecia, dan yang berkaitan dengan sistem reproduksi wanita yaitu amenore dan infertilitas. Hiperandrogenisme juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler yang serius (seperti hipertensi, penyakit mikrovaskuler, dan dislipidemi), dan penyakit metabolik lainnya (seperti Diabetes Melitus tipe 2). Kondisi yang umumnya terjadi pada hiperandrogenisme pada usia reproduksi adalah penyakitpenyakit ovulatori dan Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) (Goodman, 2001) Pemberian testosteron sebaiknya tidak diberikan pada wanita postmenopause yang tidak mendapatkan terapi sulih estrogen. Awalnya, pemberian estrogen saja dapat memperbaiki gejala-gejala postmenopause, seperti mengurangi kekeringan vagina, dan kemudian untuk meningkatkan fungsi seksualnya dibutuhkan terapi androgen. Selanjutnya, pemberian testosteron saja akan menekan SHBG yang dapat meningkatkan timbulnya efek samping (Goodman, 2001)
44
2.3 Matriks Tulang dan Osteoporosis Tulang merupakan salah satu jaringan terkeras di dalam tubuh manusia dan hanya di bawah tulang rawan dalam kemampuannya untuk menahan beban yang diterimanya. Sebagai unsur utama kerangka tubuh, tulang menyokong struktur tubuh, melindungi organ vital seperti yang terdapat di dalam rongga tengkorak dan dada, serta mengandung sumsum tulang, di mana sel-sel darah dibentuk (Mescher, 2010) Tulang membentuk rangka tubuh yang mengandung 99 % kalsium total tubuh dan bertindak sebagai suatu cadangan kalsium. Konsentrasi kalsium di dalam darah dan jaringan sangat stabil. Terjadi pertukaran terus menerus di antara kalsium darah dan kalsium tulang. Kalsium yang diabsorbsi dari makanan, yang mungkin dapat meningkatkan kalsium darah, cepat diendapkan di dalam tulang atau diekskresikan di dalam feses atau urin. Kalsium di dalam tulang dimobilisasikan bila kalsium darah berkurang (Mescher, 2010). Matriks tulang mengandung bahan anorganik yang merupakan sekitar 50% berat kering matriks tulang, terdiri dari kalsium, fosfor, bikarbonat, sitrat, magnesium, kalium dan natrium. Kalsium dan fosfor membentuk kristal hidroksiapatit yang terletak di samping fibril kolagen. Bahan organik terdiri dari serabut kolagen (95%) dan zat dasar amorf yang mengandung glikosaminoglikan yang berhubungan dengan protein. Glikosaminoglikan tulang adalah kondroitin 4sulfat, kondroitin 6-sulfat dan keratin sulfat (Mescher, 2010). Hubungan hidroksiapatit dengan serabut kolagen bertanggung jawab untuk kekerasan dan resistensi dari tulang. Setelah tulang mengalami dekalsifikasi,
45
bentuknya tetap, tetapi akan menjadi sama lunaknya dengan tendo. Pengeluaran bagian organik dari matriks tersebut menghasilkan tulang dengan bentuk semula, akan tetapi menjadi rapuh dan mudah patah. Osteoblas bertanggung jawab untuk sintesa komponen organik matriks tulang. Matriks yang baru disintesa tetapi belum mengalami kalsifikasi dan terletak di dekat osteoblas disebut osteoid atau prebone (Mescher, 2010). Defesiensi kalsium pada orang dewasa menyebabkan osteomalasia yang ditandai dengan kurangnya kalsifikasi tulang yang baru dibentuk dan dekalsifikasi parsial matriks tulang yang sudah mengalami kalsifikasi. Berbeda dengan osteoporosis yang ditandai dengan penurunan massa tulang yang disebabkan oleh penurunan pembentukan tulang atau resorpsi tulang atau kedua-duanya. Pada osteoporosis, perbandingan mineral dan matriks adalah normal (Mescher, 2010). Kalsium tulang dimobilisasikan dengan dua mekanisme, yang pertama merupakan pemindahan biasa dari ion kristal hidroksiapatit ke cairan interstitial, dari tempat tersebut kemudian kalsium masuk ke dalam darah. Mekanisme kedua untuk memobilisasikan kalsium tergantung pada efek hormon yang bekerja pada tulang. Hormon paratiroid menggiatkan dan meningkatkan jumlah sel yang melakukan resorpsi (osteoklas) matriks tulang, dengan akibat pelepasan kalsium (Mescher, 2010) Hormon lain, kalsitonin, yang disintesa oleh sel jernih ( clear cell, C cell) kelenjar tiroid, dianggap menghambat resorbsi matriks dengan meningkatkan pembentukan matriks dan pengendapan kalsium (Mescher, 2010).
46
Di samping hormon paratiroid dan kalsitonin. Hormon pertumbuhan yang diproduksi lobus anterior hipofisis yang fungsinya merangsang pertumbuhan tulang rawan epifiseal. Sebagai akibatnya, dengan berkurangnya hormon pertumbuhan selama bertahun-tahun akan menyebabkan pitutary dwarfism, dan berlebihannya hormon pertumbuhan menyebabkan gigantism karena pertumbuhan tulang panjang yang berlebihan (Mescher, 2010). Hormon seks, baik pria (androgen) maupun wanita (estrogen), mempunyai efek kompleks pada tulang dan pada umumnya merupakan perangsang pembentukan
tulang,
Mereka
mempengaruhi
waktu
munculnya
dan
perkembangan pusat osifikasi. Jadi kematangan seks sebelum waktunya yang dapat disebabkan oleh tumor penghasil hormon seks atau pemberian hormon seks yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan badan, karena tulang rawan epifiseal cepat digantikan dengan tulang (Mescher, 2010) Osteoporosis adalah gangguan di mana hilangnya kekuatan tulang yang dapat menyebabkan patah tulang. Ulasan ini mengkaji mekanisme pathogenetik fundamental yang mendasari gangguan ini, yang meliputi: (a) kegagalan untuk mencapai kekuatan kerangka optimal selama pertumbuhan dan perkembangan tulang, (b) resorpsi tulang yang berlebihan yang mengakibatkan hilangnya massa tulang dan gangguan arsitektur, dan (c) kegagalan untuk menggantikan kehilangan massa tulang karena gangguan dalam pembentukan tulang. Defisiensi estrogen dan testosteron diketahui memainkan peran penting dalam pengembangan osteoporosis,
sedangkan
kalsium
dan
kekurangan
vitamin
D
dan
hiperparatiroidisme sekunder juga berkontribusi. Ada beberapa mekanisme yang
47
mendasari regulasi remodeling tulang, dan ini tidak hanya melibatkan sel osteoblastik dan osteoklastik tetapi juga sel-sel sumsum lainnya, selain interaksi hormon sistemik, sitokin lokal, faktor pertumbuhan, dan faktor transkripsi. Polimorfisme dari sejumlah besar gen telah dikaitkan dengan perbedaan dalam massa tulang dan kerapuhan (Raisz, 2005). 2.3.1 Faktor Risiko Osteoporosis Peningkatan kehilangan massa tulang (Gambar 2.1) saat menopause, memberi risiko yang lebih besar untuk terjadinya osteoporosis pada wanita dibandingkan pada pria, dan penyakit ini paling sering terlihat pada wanita pasca menopause. Beberapa faktor risiko terjadinya osteoporosis adalah sebagai berikut: a. Usia b. Kerapuhan setelah fraktur Sebelumnya c. Riwayat ibu patah tulang pinggul d. Riwayat terapi glukokortikoid oral yang lama e. Merokok f. Konsumsi alkohol g. Rheumatoid arthritis h. Tergantung pada kepadatan mineral tulang i. Hipogonadisme j. Malabsorpsi k. Penyakit endokrin l. Penyakit ginjal kronis m. Penyakit hati kronis
48
n. Penyakit paru obstruktif kronis o. Imobilitas p. Obat-obatan (inhibitor aromatase, terapi deprivasi androgen)(Poole, 2006).
Gambar 2.1 Struktur tulang vertebra L3 pada wanita umur 31 tahun (atas) dan wanita 70 tahun dengan osteoporosis (Poole, 2006)
Keputusan mengenai pengobatan harus didasarkan pada risiko mutlak fraktur. Pengukuran kepadatan mineral tulang merupakan faktor kunci dalam pengambilan keputusan. Sebuah kelompok kerja WHO telah mengidentifikasi faktor-faktor risiko klinis yang dapat digunakan untuk meramalkan risiko fraktur secara terpisah dari kepadatan mineral tulang pada kedua jenis kelamin, penggunaan faktor-faktor ini bersama dengan kepadatan mineral tulang dianggap untuk memperbaiki ramalan fraktur dibandingkan dengan penggunaan kepadatan mineral tulang sendiri. FRAX (Fracture Risk Assessment Tool) adalah alat yang
49
digunakan untuk penilaian resiko patah tulang yang menggabungkan faktor risiko klinis dengan usia serta untuk pengukuran kepadatan mineral tulang pada pria usia 50 tahun atau lebih tua (FRAX adalah alat penilaian resiko patah tulang untuk suatu negara atau kelompok etnis tertentu yang direkomendasikan WHO) . Alat ini adalah yang terbaik tambahan untuk pengukuran densitas mineral tulang dalam menghitung risiko patah tulang pinggul pada pria. Penanda hayati seperti kadar testosteron rendah dan rendahnya kadar 25-hidroksivitamin D juga bermanfaat dalam memprediksi peningkatan risiko fraktur (Ebeling, 2008). Insiden patah tulang pinggul pada pria meningkat secara substansial setelah usia 70 tahun. Selain usia, faktor risiko osteoporosis pada pria meliputi berat badan rendah (yaitu, indeks massa tubuh kurang dari 20 sampai 25 kg per m2), penurunan berat badan lebih dari 10 persen dari berat badan normal, aktivitas fisik, penggunaan kortikosteroid yang lama, terapi penurunan kadar androgen (misalnya, untuk kanker prostat), fraktur kerapuhan sebelumnya, dan cedera tulang belakang (Rao et al., 2010). The American College of Physicians mengusulkan bahwa para dokter memulai penilaian risiko periodik pada pria yang lebih tua sebelum usia 65 tahun, didasarkan
pada
meta-analisis,
absorptiometry (DEXA)
merekomendasikan
dual-energy
x-ray
pada pria yang mengalami peningkatan risiko
osteoporosis (Rao et al., 2010). The Male Osteoporosis Risk Estimation Score (MORES) adalah pendekatan klinis berguna untuk mengidentifikasi pria 60 tahun dan lebih tua yang berisiko osteoporosis dan mengidentifikasi siapa yang harus dirujuk untuk
50
konfirmasi DEXA. MORES menggunakan sistem skoring sederhana (Tabel 2.1) yang mencakup tiga variabel : umur, berat badan, dan riwayat penyakit paru obstruktif kronik. Dalam sebuah studi yang mengevaluasi utilitas klinis, nilai 6 atau lebih besar mengakibatkan sensitivitas secara keseluruhan 93 persen (95% confidence interval [CI], 85-97 persen) (Rao et al., 2010).
Tabel 2.1 Estimasi Skor Resiko Osteoporosis pada Pria (Rao et al., 2010). Faktor Resiko Usia
Skor
≤55 tahun
0
56 – 74 tahun
3
≥75 tahun
4
Kehadiran Penyakit Paru Obstruktif kronik
3
Berat Badan : ≤70 kg
6
70 – 80 kg
4
>80 kg
0
Keterangan : Total skor 6 poin atau lebih besar adalah ambang batas skrining untuk dual-energi x-ray absorptiometry.
51
2.3.2 Osteoporosis pada Pria Osteoporosis merupakan masalah penting dan sering diabaikan oleh kaum pria. Meskipun resiko seumur hidup dari patah tulang pinggul lebih rendah pada pria dibandingkan pada wanita, pria dua kali lebih mungkin meninggal setelah patah tulang pinggul. Pengukuran kepadatan mineral tulang dengan T-score -2,5 atau kurang mengindikasikan osteoporosis. Pria yang didiagnosis dengan osteoporosis harus dievaluasi untuk mengetahui penyebab sekunder dari kehilangan massa tulang (Rao et al., 2010). Studi longitudinal menunjukkan bahwa pada pria setelah usia 70 tahun proses pengeroposan tulang akan menjadi lebih cepat; keropos tulang yang cepat lebih umum disebabkan karena kekurangan kadar testosteron atau estradiol. Berbeda dengan keropos tulang pada wanita, yang kehilangan trabekula dengan cepat, sedangkan pada pria kehilangan tulang karena trabekula rmenipis secara perlahan. Pemeliharaan jumlah trabekular pada pria dapat membantu menjelaskan resiko yang lebih rendah untuk mengalami patah tulang. Pada pria, kehilangan trabekular tulang dimulai lebih awal, dalam kaitan dengan sistem yang mengatur pertumbuhan, misalnya pada faktor pertumbuhan (IGF-1), sedangkan kortikal tulang terjadi kemudian (85% terjadi setelah 50 tahun), berkaitan dengan penurunan testosteron dan ketersediaan hayati estrogen serta peningkatan remodeling tulang (Ebeling, 2008). Osteoporosis pada pria terjadi dari interaksi yang kompleks dari berbagai faktor, termasuk kekurangan hormon seks yang berkaitan dengan usia, genetika, dan gaya hidup (misalnya, aktivitas fisik, penggunaan tembakau dan alkohol yang
52
berlebihan), serta faktor resiko tertentu (misalnya, pemakaian kortikosteroid yang lama)
yang
menyebabkan
berkurangnya
massa
tulang
dan
gangguan
microarchitectural. Pria yang bertambah tua, produksi estradiol dan testosteron menurun. Tidak seperti pada wanita, yang mengalami penurunan mendadak dari kadar estrogen saat menopause yang menyebabkan berkurangnya massa tulang dengan cepat (Rao et al., 2010).
2.3.3 Kriteria Diagnostik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan kriteria diagnostik untuk osteoporosis (Tabel 2.2) dengan menggunakan kepadatan mineral tulang/Bone Mineral Density (BMD). Penilaian pengukuran BMD dilaporkan dalam T-score dan Z-score. T-score adalah jumlah standar deviasi di atas atau di bawah rata-rata BMD kalangan orang dewasa muda yang sehat,sesuai untuk jenis kelamin dan ras (bukan usia). Ini mengklasifikasikan pasien dalam tiga kategori diagnostik : BMD normal, massa tulang yang rendah (yaitu, osteopenia), atau osteoporosis. Untuk menentukan osteoporosis, the International Society for Clinical Densitometry merekomendasikan menggunakan BMD mutlak dan T-score -2,5 atau kurang. Namun, umumnya disepakati bahwa T-score berguna untuk mengidentifikasi pria yang berisiko tinggi untuk terjadinya fraktur (Rao et al., 2010).
53
Tabel 2.2 Organisasi Kesehatan Dunia Dalam Diagnostik Kategori BMD (Rao et al., 2010).
Kategori Diagnostik
Kriteria
Massa tulang normal
BMD dalam 1 standar deviasi referensi berarti untuk orangdewasa muda (T-score ≥ -1.0)
Massa tulang yang
BMD> 1,0 sampai <2,5 standar deviasi di bawah rata-rata untuk orang dewasa muda (T-score<-1,0 dan> -2.5)
Rendah (osteopenia) Osteoporosis
BMD ≥ 2,5 standar deviasi di bawah rata-rata untuk orang dewasa muda (T-score ≤ -2.5
Osteoporosis berat
BMD ≥ 2,5 standar deviasi di bawah rata-rata untuk orang dewasa muda di hadapan satu atau lebih patah tulang
BMD = Bone Mineral Density
Z-score menggambarkan BMD pasien sebagai jumlah standar deviasi di atas atau di bawah rata-rata untuk usia, jenis kelamin, dan ras. Sebuah
Z-score
dari
-2.0 atau kurang di bawah kisaran yang diharapkan untuk usia, dan mungkin meningkatkan kemungkinan bentuk sekunder osteoporosis. Z-score yang penting untuk diagnosis osteoporosis pada anak-anak dan pada pria yang lebih muda dari 50 tahun (Rao et al., 2010).
54
2.3.4 Histomorfometri Tulang pada Osteoporosis Histomorfometri tulang adalah alat yang dalam kemampuannya dipergunakan untuk menilai kualitas tulang dan untuk mengevaluasi efek pengobatan terhadap mineralisasi tulang dan mikroarsitektur tulang. Selain itu, histomorfometri dipergunakan untuk penilaian kuantitatif dari perubahan terkait pengobatan di beberapa indeks remodeling tulang di tingkat sel dan jaringan (Chavassieux, 2000). Untuk memahami mekanisme di balik kehilangan massa tulang terkait usia, kita harus mengakui bahwa tulang pada orang dewasa terus diperbaharui melalui reorganisasi internal dimana tulang melalui mekanisme resorpsi osteoklastik lokal diikuti oleh pembentukan osteoblastik (remodeling). Rekonstruksi tahap resorptif dan formatif dapat dilakukan dengan metode histomorfometri. Dengan proses remodeling tulang dapat diperoleh gambaran melalui 3 mekanisme, yaitu : 1. Keropos tulang reversibel tergantung pada besarnya ruang renovasi, yang merupakan jumlah tulang diserap dan belum direformasi selama urutan renovasi 2. Penipisan trabekula secara ireversibel 3. Hilangnya seluruh elemen trabekular secara ireversibel disebabkan oleh banyaknya resorpsi dan perforasi trabekular . Massa tulang berkurang secara signifikan sebesar 20-30 % pada pasien osteoporosis postmenopause dengan patah tulang belakang dibandingkan dengan kontrol normal (Steiniche, 1995).
55
Telah dilakukan analisis histomorphometric dengan menggunakan sampel biopsi tulang dari 51 pria eugonadal dengan osteoporosis idiopatik. Usia rata-rata mereka adalah 54 (kisaran 29-73) tahun. Delapan puluh dua persen pasien memiliki riwayat patah tulang, dan 57 % memiliki patah tulang belakang. Volume tulang, ketebalan trabekula, ketebalan dinding, dan ketebalan osteoid secara signifikan berkurang pada pria osteoporosis dibandingkan dengan pria yang sehat. Kedalaman erosi adalah serupa, seperti parameter remodeling tulang pada tingkat pembentukan tulang, tingkat aposisi mineral, dan frekuensi aktivasi. Pada pria osteoporosis, ketebalan osteoid berkorelasi dengan kepadatan mineral tulang pada tulang belakang lumbal ( R ( 2 ) = 0,19, P <0,01 ), bersama-sama dengan ketebalan dinding, dua parameter dapat menjelaskan 27 % dari variasi kepadatan mineral tulang pada tulang lumbal (Pernow et al.., 2009). Sebagai kesimpulan, histomorfometri tulang pada osteoporosis idiopatik pria ditandai dengan unit struktural tulang yang tipis, yang mungkin menunjukkan disfungsi osteoblas (Pernow et al., 2009).
2.3.5 Patogenesis Kerapuhan tulang dapat merupakan hasil dari : (a) kegagalan untuk menghasilkan massa kerangka yang optimal dan kekuatan selama pertumbuhan, (b) resorpsi tulang yang berlebihan mengakibatkan penurunan massa tulang dan kerusakan microarchitectural dari kerangka, dan (c) respon formasi yang memadai untuk meningkatkan resorpsi selama remodeling tulang (Raisz, 2005).
56
Untuk memahami bagaimana resorpsi tulang yang berlebihan dan dapat mengakibatkan terjadinya kerapuhan tulang, maka perlu untuk memahami proses remodeling tulang, yang merupakan kegiatan utama dari sel tulang kerangka dewasa. Remodeling tulang dapat terjadi baik pada permukaan tulang trabekular yang tidak teratur maupun dalam tulang kortikal, proses dimulai dengan aktivasi prekursor hematopoietik menjadi osteoklas, yang biasanya membutuhkan interaksi dengan sel-sel dari osteoblastik. Karena penyerapan dan pembalikan fase remodeling tulang yang pendek dan waktu yang dibutuhkan untuk penggantian osteoblastik tulang panjang, setiap peningkatan dalam tingkat remodeling tulang akan berakibat pada hilangnya massa tulang. Resorpsi yang berlebihan juga dapat menyebabkan hilangnya struktur trabekular, sehingga tidak ada template untuk pembentukan tulang. Dengan demikian, ada beberapa cara di mana peningkatan resorpsi osteoklastik dapat menyebabkan kerapuhan tulang. Namun, tingginya tingkat penyerapan tidak selalu terkait dengan kehilangan tulang, misalnya, selama percepatan pertumbuhan pubertas. Oleh karena itu respon pembentukan massa tulang selama renovasi merupakan komponen penting dari patogenesis osteoporosis (Raisz, 2005). Banyak bukti yang telah dikumpulkan dalam dekade terakhir bahwa androgen dapat bertindak secara langsung pada tulang/osteoblas melalui reseptor androgen dan juga secara tidak langsung melalui penghambatan perekrutan prekursor osteoklas, serta dimungkinkan bertindak terutama pada periosteal dan situs kortikal. Mekanisme spesifik terhadap androgen pada tulang tetap belum sepenuhnya dapat dipahami (Mauras et al., 1999).
57
.Menurut Dupree dan Dobs (2004), bahwa testosteron lokal akan dikonversi menjadi 5 α - dihidrotestosteron, yang lebih agresif berikatan dengan reseptor androgen, atau diaromatisasi menjadi estradiol. Hal ini adalah menjadi penyebab penting terjadinya osteoporosis pada pria hypogonad. Insiden osteoporosis pada pria secara tidak langsung berhubungan dengan penurunan kadar testosteron yang beredar. Karena androgen dapat meningkatkan proliferasi dan diferensiasi osteoblas, serta menghambat aktivitas osteoklas (perekrutan dan sinyal). Dengan demikian
penurunan kepadatan tulang mungkin dapat terjadi pada keadaan
hypogonadisme. Dalam studi in vitro menunjukkan bahwa androgen dapat meningkatkan proliferasi dan mengurangi apoptosis osteoblas melalui regulasi protein kinase B. Ini juga memainkan peran penting dalam proses mineralisasi, yang merupakan tahap diferensiasi akhir osteoblas. Androgen juga mencegah paratiroid-induced untuk pembentukan osteoklas dan penurunan aktivitas resorpsi tulang osteoklas melalui deaktivasi enzim lisosom (Wang et al., 2013).
2.3.6 Penyebab Hipogonadisme, penggunaan kortikosteroid, merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, asupan kalsium rendah, dan kekurangan vitamin D adalah penyebab sekunder umum dari osteoporosis pada pria. Sebuah anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium rutin dapat mengidentifikasi penyebab paling sekunder. Evaluasi laboratorium awal pada semua pria yang didiagnosis dengan osteoporosis harus mencakup hitung darah lengkap, tes fungsi
58
hati, dan pengukuran thyroid-stimulating hormone, testosteron serum, kreatinin, kalsium, dan tingkat serum 25-hidroksivitamin D. Mengukur kalsium urin 24 jam dan kadar kreatinin untuk mengidentifikasi hiperkalsiuria dapat diindikasikan pada pria dengan osteoporosis idiopatik yang terjadi sebelum usia 60 tahun, atau jika metode diagnostik awal gagal untuk menentukan penyebab massa tulang yang rendah. Sampai dengan 40 persen kasus osteoporosis pada pria adalah primer atau idiopatik. (Tabel 2.3) Tabel 2.3 Penyebab Osteoporosis pada Pria (Rao et al., 2010).
Penyebab Umum Kortikosteroid Riwayat Keluarga Pola hidup Hipogonadisme primer atau sekunder
Kekurangan vitamin D dan asupan kalsium yang rendah
Khusus : Obat anti epilepsi
Petunjuk Klinis dan Tes Minimal 5 mg sehari prednisone untuk> 3 bulan Riwayat keluarga fraktur minimal-trauma Merokok, konsumsi alkohol yang tinggi (misalnya,> 2 gelas minuman perhari) Kadar testosteron rendah, penggunaan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, opioid, terapi kekurangan androgen) Serum 25-hydroxyvitamin D <30 ng per mL [74.88 nmol per L]; setelah koreksi untuk penyakit ginjal, kalsium urin <50 mg sehari menunjukkan kalsium tidak memadai dan / atau asupan vitamin D
Penggunaan phenytoin (Dilantin), fenobarbital, primidone (Mysoline), atau carbamazepine (Tegretol) (Mysoline), or carbamazepine (Tegretol)
Penyakit hati kronis atau penyakit ginjal
Peningkatan enzim hati atau kelainan lain dari tes fungsi hati; peningkatan kreatinin
Sindrom Cushing
Urin 24 jam untuk kortisol bebas, mempertimbangkan pengujian pada pria dengan tanda-tanda klinis sindrom Cushing dan patah tulang belakang jelas
59
Penyebab Gangguan makan
Petunjuk Klinis dan Tes Indeks massa tubuh (<20 sampai 25 kg per m2), berat badan, hipotensi, gangguan elektrolit Infeksi HIV Antibodi HIV positif, pengobatan dengan inhibitor protease Hiperkalsiuria Kalsium urin tinggi (> 250 mg per hari) asupan kalsium berlebihan atau vitamin D, atau gangguan ginjal retensi kalsium Malabsorpsi (misalnya, Rendahnya tingkat serum 25-hidroksivitamin D dan / penyakit celiac) atau kalsium urin, antibodi transglutaminase jaringan positif Mastositosis Fraktur, osteoporosis, dan nyeri tulang, tingkat tryptase serum yang tinggi (> 20 ng per mL [20 mcg per L]) Multiple myeloma atau Anemia, insufisiensi ginjal, kalsium tinggi dan tingkat gammopathies monoklonal sedimentasi eritrosit, protein imunoglobulin normal lainnya (protein M) pada serum dan urin elektroforesis protein Transplantasi organ
Penggunaan agen imunosupresif (misalnya, siklosporin [Sandimmune], tacrolimus [Prograf]) Osteogenesis imperfect Fraktur, gangguan pendengaran, kolagen tipe I yang positif tes genetik Osteomalacia Serum 25-hydroxyvitamin D mungkin sangat rendah (<15 ng per mL [37,44 nmol per L]); tinggi normal atau meningkat alkaline phosphatase dan normal rendah atau kalsium serum rendah atau fosfor Hiperparatiroidisme Hormon paratiroid tinggi (mungkin disebabkan oleh primer atau sekunder kalsium yang tidak memadai dan / atau asupan vitamin D), kalsium dan fosfor serum mungkin normal atau tinggi Rheumatoid arthritis atau Arthritis faktor tinggi, peptida siklik citrullinated, dan ankylosing spondylitis tingkat sedimentasi eritrosit Tirotoksikosis atau tiroksin Rendah thyroid-stimulating hormone, T4 bebas tinggi Tipe 1 atau diabetes mellitus 2
Puasa glukosa yang tinggi, glukosa acak, atau A1C
Catatan: pengujian tambahan untuk penyebab sekunder didasarkan pada evaluasi laboratorium klinis atau rutin. Pengujian laboratorium awal harus mencakup hitung darah lengkap, uji fungsi hati, dan thyrotropin, serum testosteron, 25hydroxyvitamin D, kalsium, dan kadar kreatinin (mempertimbangkan pengukuran kalsium urin 24 jam dan kreatinin). HIV = human immunodeficiency virus.
60
2.3.7 Penatalaksanaan Keputusan mengenai pengobatan osteoporosis harus didasarkan pada evaluasi klinis, pemeriksaan diagnostik, penilaian risiko patah tulang, dan pengukuran kepadatan mineral tulang. Farmakoterapi dianjurkan untuk pria dengan osteoporosis dan untuk pria berisiko tinggi dengan massa tulang yang rendah (osteopenia) dengan T-score -1 sampai -2.5. Bifosfonat adalah agen lini pertama untuk mengobati osteoporosis pada pria. Teriparatide (yaitu, rekombinan hormon paratiroid manusia) adalah pilihan untuk pria dengan osteoporosis berat. Terapi sulih testosteron bermanfaat bagi pria dengan osteoporosis dan hipogonadisme. Asupan kalsium dan vitamin D harus dianjurkan pada semua pria untuk mempertahankan massa tulang. Pria dapat dianjurkan untuk memperbaiki pola hidup, termasuk latihan beban, membatasi konsumsi alkohol, dan berhenti merokok. Strategi pencegahan fraktur harus dilaksanakan pada pria yang lebih tua dengan risiko yang lebih besar (Rao et al., 2010). 2.3.7.1 Terapi Non-farmakologis Pencegahan umum dan perbaikan pola hidup berlaku untuk semua pria. Pada pria tua yang sehat, latihan dengan intensitas tinggi, ketahanan progresif, latihan menahan beban, atau keduanya meningkatkan densitas mineral tulang. Metaanalisis dari uji coba menunjukkan bahwa latihan keseimbangan dan kekuatan mengurangi risiko jatuh di antara usia tua. Strategi pencegahan jatuh, meskipun di luar lingkup dari kajian ini, harus dilaksanakan. Pelindung pinggul telah diusulkan sebagai cara untuk mengurangi risiko patah tulang pinggul untuk para usia lanjut, tapi percobaan yang telah dilakukan dengan melibatkan pria usia
61
lanjut dan perempuan penghuni panti jompo tidak menunjukkan manfaat yang bermakna (Ebeling, 2008). Suplemen kalsium dan vitamin D sering dianjurkan untuk mempertahankan kepadatan mineral tulang. Rekomendasi mendukung suplementasi dengan Kolekalsiferol pada dosis 800-2.000 IU per hari, dengan tujuan menjaga tingkat serum 25-hidroksivitamin D di 30 ng per mililiter atau lebih. Asupan kalsium harian yang direkomendasikan untuk pria dengan osteoporosis adalah 1200-1500 mg (Ebeling, 2008). 2.3.7.2 Terapi farmakologis Terapi farmakologis ditunjukkan pada pria dengan T-score di bawah -2,5 atau
dengan
patah
tulang
belakang.
Kebanyakan
ahli
juga
akan
merekomendasikan pengobatan untuk pria dengan osteopenia dan fraktur non vertebral setelah trauma minimal (Ebeling, 2008). Bisfosfonat, sebuah percobaan acak,
yang melibatkan 241 orang
hipogonadisme atau eugonadal dengan osteoporosis menunjukkan bahwa pengobatan dengan 10 mg alendronate per hari selama 2 tahun meningkatkan densitas mineral tulang pada tulang belakang dan leher femoralis dan secara bermakna mengurangi insidensi radiologis,, fraktur vertebral pada 2 tahun (0,8%, vs 7,1% pada kelompok plasebo). Percobaan ini tidak didukung untuk menilai penurunan patah tulang lainnya (Ebeling, 2008). Agen Anabolik, percobaan menunjukkan bahwa pemberian subkutan 20 ug dari teriparatid (hormon paratiroid) setiap hari meningkatkan kepadatan mineral tulang belakang dan tulang femur proksimal pada pria hipogonadal atau
62
eugonadal dengan osteoporosis. Dalam studi tindak lanjut, terapi sebelumnya dengan teriparatid dikaitkan dengan penurunan risiko sedangatau berat fraktur vertebral. Data mengenai dampak teriparatid pada fraktur nonvertebral pada pria adalah kurang. Peningkatan kepadatan mineral tulang dirangsang dengan terapi hormon paratiroid pada pria akan tetapi ditumpulkan ketika hormon paratiroid diberikan dengan alendronat. Setelah terapi hormon paratiroid dihentikan, permulaan terapi risedronat direkomendasikan, karena strategi ini menghasilkan keuntungan yang lebih dalam peningkatan kepadatan mineral tulang. Efek samping dari teriparatid, yang ringan, antara lain : pusing dan kram pada kaki (pada kurang dari 10% pasien). Peningkatan risiko osteosarkoma diamati dengan teriparatid dalam studi onkogenisitas pada tikus, tetapi tidak pernah ditunjukkan pada manusia. Agen ini cocok untuk pria dengan osteoporosis berat dan pada mereka yang tidak bisa ditolerir dengan pemberian bifosfonat (Ebeling, 2008). Terapi sulih testosteron, studi testosteron pada pria dengan osteoporosis adalah terbatas, dan tak ada satupun yang menggunakan fraktur sebagai titik akhir primer. Pengaruh testosteron pada massa tulang kortikal dan trabekular adalah terbesar bila digunakan dalam remaja hipogonadal. Dalam studi 3 tahun atas pria hipogonadal usia lebih dari 65 tahun, yang menerima terapi sulih testosteron pengganti mengalami 8,9% peningkatan yang lebih besar dalam densitas mineral tulang tulang belakang mereka dibanding dengan yang menerima plasebo. Dalam sebuah studi pengamatan selama 2 tahun pada pria hypogonad, studi pencitraan resonansi magnetik menunjukkan bahwa terapi testosteron dikaitkan dengan perbaikan dalam konektifitas trabekular (Ebeling, 2008).
63
Terapi sulih testosteron meningkatkan BMD pada pria yang memiliki tingkat testosteron rendah. Sebuah meta-analisis dari delapan percobaan melibatkan 365 orang, menunjukkan bahwa testosteron intramuskular dikaitkan dengan kenaikan delapan persen BMD lumbal dibandingkan dengan plasebo (95% CI, 4 sampai 13 persen). Sejauh ini, manfaat testosteron telah terlihat hanya dengan formulasi intramuskular. Nilai terapi testosteron pada pria dengan kadar testosteron normal adalah kontroversial (Rao et al., 2010). Beberapa institusi kedokteran telah merekomendasikan bahwa serangkaian uji klinis dilakukan untuk membantu menentukan kemanjuran testosteron selama beberapa hasil penting, termasuk pada tulang. Dosis rendah TU (20 mg, per hari) pada pria osteoporosis lansia dengan testosteron serum yang rendah efektif meningkatkan massa tulang belakang lumbal dan leher femoralis dan meningkatkan turnover tulang mereka, mirip dengan pengobatan dengan dosis standar TU (40 mg, per hari). Tidak ada efek samping pada kelenjar prostat termasuk antigen spesifik prostat ditemukan. Dosis rendah TU mungkin menjadi protokol terapi dengan pertimbangan biaya yang efektif dan aman untuk mengobati osteoporosis pria tua. Uji klinis lebih lanjut dari besar sampel, dan jangka panjang pada efikasi dan keamanan pengobatan undecanoate testosterone dosis rendah pada pria osteoporosis tua dengan serum testosteron rendah (Wanget al., 2013). Lifestyle : Semua pria harus diberi konseling pada langkah-langkah pola hidup, seperti berhenti merokok dan membatasi konsumsi alkohol menjadi kurang dari dua gelas per hari. Latihan beban dapat meningkatkan BMD pada usia lanjut.
64
Hal ini juga penting untuk menerapkan strategi pencegahan jatuh (misalnya, kiprah
pelatihan),
meminimalkan
penggunaan
obat
psikotropika,
dan
menghilangkan bahaya lingkungan (Rao et al., 2010).
2.4 Hewan Coba Tikus 2.4.1 Penggunaan Tikus (Rattus Norvegicus) di Laboratorium Penggunaan tikus atau rat (Rattus Norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya, dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek (Malole and Pramono, 1989). Tikus (Rattus Norvegicus) galur Wistar lebih besar dari famili tikus umumnya, di mana tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor dan berat 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan dapat hidup selama 4 tahun (Kusumawati, 2004). Berikut adalah data biologis tikus:
65
Tabel 2.4 Data Biologis Tikus (Malole dan Pramono, 1989; Kusumawati, 2004)
KARAKTERISTIK Berat badan Jantan Betina Berat lahir Lama hidup Temperatur tubuh Kebutuhan air Kebutuhan makanan Frekuensi denyut jantung Frekuensi respirasi Tidal volume Pubertas Saat dikawinkan Jantan Betina Lama siklus birahi Lama kebuntingan Jumlah anak perkelahiran Umur sapih
UKURAN ( gram ) ( gram ) ( gram ) ( tahun ) (oC) (ml/100g BB) (g/100g BB ) (permenit) (permenit) (ml) (hari)
: : : : : : : : : : :
300-400 250-300 5-6 2,5-3 35,9-37,5 8-11 5 330-480 66-114 0,6-1,25 50-60
(hari) (hari) (hari) (hari)
: : : : : :
65-110 65-110 4-5 21-23 6-12 21
(hari)
2.4.2 Pemberian Makanan dan Air Minum Tikus di Laboratorium Bahan dasar makanan tikus dapat bervariasi misalnya : protein 20-25% (tetapi hanya 12%, kalau protein itu lengkap berisi semua asam amino esensial dengan konsentrasi benar), lemak (5%), pati (45-50%), serat kasar (kira-kira 5%), abu (4-5%), vitamin A (4.000 IU/Kg), vitamin D (1.000 IU/Kg), alfa tokoferol (30 mg/Kg), asam linoleat (3 mg/Kg), tiamin (4 mg/Kg), riboflavin (3 mg/Kg), pantotenat (8 mg/Kg), vitamin B12 (50 ug/Kg), biotin (10 ug/Kg), piridoksin (40300 ug/Kg), dan kolin (1000 mg/Kg). Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus,
66
di Indonesia dipakai makanan ayam petelur (kandungan protein 17%) yang mudah diperoleh di toko makanan ayam (Malole dan Pramono, 1989) dan pemberian air minum tikus ad libitum. Keperluan mineral tikus tercantum dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.5 Mineral dalam Makanan Tikus (Malole dan Pramono, 1989).
Mineral
Kebutuhan
Kalsium
0,5%
Fosfor
0,4%
Magnesium
400 mg/Kg
Kalium
0,36%
Natrium
0,05%
Tembaga
5,0%
Yodium
0,15 mg/Kg
Besi
35,0 mg/Kg
Mangan
50,0 mg/Kg
Seng
12,0 mg/Kg
2.4.3 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium (Ngatidjan, 2006) antara lain : 1. Kandang tikus harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah menyerap air, pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi. 2. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan
67
fisiologi tikus (suhu, kelembaban, dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari). 3. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram, luas lantai tiap ekor tikus adalah 600 cm², tinggi 20,0 cm. 4. Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang. Aspek kesejahteraan tikus laboratorium meliputi: 1.
Bebas dari rasa sakit
2.
Bebas dari rasa haus dan lapar
3.
Bebas dari penyakit
Pengendalian penyakit pada tikus antar lain: 1.
Sering mengganti alas tidur dan membersihkan kandang
2.
Merawat tikus dengan cara yang higienis, yaitu tangan perawat harus selalu bersih
3.
Memperhatikan secara seksama gejala-gejala sakit, misalnya berat badan turun atau gejala lain seperti sukar bernapas dan mencret
4.
Setelah pengambilan darah dilakukan, tikus sebaiknya diberikan vitamin seperti asam folat dan B12
5.
Untuk mengurangi rasa sakit pada saat pengambilan darah dapat diberikan alkohol pada area yang akan diinjeksi.
2.4.4 Orchidectomi dan Osteoporosis pada Tikus Jantan Pada manusia, hipogonadisme merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteoporosis. Orchidectomi pada tikus dapat mengakibatkan hipogonadisme yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara resorpsi dan
68
pembentukan matriks tulang, sehingga selanjutnya akan menyebabkan terjadinya keropos tulang atau osteoporosis (Moreauet al., 2001). Penggunaan model hewan yang diperlukan dalam melakukan penelitian untuk menjelaskan lebih lanjut tentang patogenesis kehilangan massa tulang yang disebabkan oleh defisiensi androgen. Orchidectomi pada tikus telah diusulkan untuk mensimulasikan pria yang mengalami osteoporosis karena hipogonadisme (Moreau et al., 2001). Keropos tulang pada tikus jantan yang telah diorchidectomi menjadi lebih jelas pada minggu ke-16 dengan penurunan massa tulang sebesar -12,7%(p <0,001). Dengan membandingkan dengan nilai-nilai BMD yang dipertimbangkan, maka penurunan itu signifikan pada minggu ke-16 (P <0,01). Dari penelitian yang telah dilakukan, penurunan massa tulang dibuktikan pada seluruh kerangka dan pada isolasi tulang tibia hanya pada 8 minggu. Temuan dari penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh penelitian lain dengan menggunakan model tikus yang diorchidectomi (Moreau et al., 2001).
69
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir Setelah mencapai dewasa, secara alamiah sebagian komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya justru terjadi penurunan karena proses penuaan. Banyak faktor yang menyebabkan penuaan antara lain adalah faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen meliputi aging process, penyakit degeneratif, gangguan poros hipotalamus-hipofise-organ, dan genetik. Sedangkan faktor eksogen antara lain keadaan umum yang tidak baik, gaya hidup tidak sehat, umur, stres, dan penyakit. Kerangka berpikir pada penelitian ini berdasarkan teori bahwa terjadinya suatu perubahan fungsi dari semua organ tubuh yang menurun adalah merupakan bagian dari proses penuaan (aging) yang terjadi karena banyak faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain. Salah satunya adalah adanya gangguan poros hipotalamus-hipofise-organ yang menyebabkan penurunan kadar hormon di dalam tubuh, termasuk salah satunya adalah penurunan kadar hormon testosteron (hipogonad) yang dapat menimbulkan berbagai akibat, antara lain terjadinya proses pengeroposan tulang atau osteoporosis terutama pada kaum pria. Selain
adanya gangguan poros hipotalamus – hipofise - testis yang
menyebabkan penurunan kadar hormon testosteron (hipogonad) di dalam tubuh yang dapat mengakibatkan osteoporosis pada pria, penurunan fungsi sel-sel
49
70
Leydig, pola hidup dan kebiasaan buruk, antara lain : kebiasaan merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, asupan kalsium yang rendah, serta penggunaan obat golongan glukokortikoid jangka panjang dapat pula menjadi faktor penyebab kerusakan matriks dan struktur trabekular tulang yang dapat
menyebabkan
terjadinya osteoporosis pada pria. Dari
beberapa
penelitian
yang
kebanyakan
menggunakan
metode
pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) atau dengan CT-Scan menyatakan bahwa terapi sulih testosterone undecanoate oral dapat diberikan untuk memperbaiki matriks tulang pada pria yang hipogonad sesuai dengan dosis yang telah dianjurkan. Akan tetapi informasi ilmiah dari penelitian tersebut mengenai efek testosteron terhadap mikroarsitektur matriks tulang pada pria hipogonad terutama dari aspek sitologi dan histologi adalah sangat minim dan dianggap belum optimal. Untuk mengetahui efek testosteron dari aspek histologi tersebut, tentunya dibutuhkan suatu metode pemeriksaan histologi yang dapat memberikan informasi yang akurat, presisi dan lebih detail. Dalam hal ini metode pemeriksaan histomorfometri dapat menjadi pilihan. Histomorfometri tulang merupakan alat yang dalam kemampuannya dapat dipergunakan untuk menilai dan mengevaluasi kualitas serta kuantitas daripada efek pengobatan terhadap mineralisasi tulang dan mikroarsitektur tulang serta perubahan yang terkait dengan efek pengobatan terhadap beberapa indeks remodeling tulang baik pada tingkat sel maupun pada jaringan.
71
3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan penjelasan di atas, maka melalui metode pemeriksaan histomorfometri dapat diperoleh gambaran histologis, bahwa pemberian terapi sulih testosterone undecanoate oral dapat memperbaiki kerusakan atau meningkatkan kepadatan matriks tulang pada tikus jantan dewasa hipogonad (dapat dilihat pada Skema 3.1). v
Testosterone undecanoate oral Faktor Endogen : - Genetik - Gangguan poros hipotalamus-hipofisetestis - Penyakit degeneratif - Aging Process - Disfungsi sel-sel Leydig - Orchidectomi
Faktor Eksogen : - Keadaan umum tidak baik - Gaya hidup tidak sehat - Umur - Stres - Penyakit - Penggunaan glukokortikoid lama
Tikus (Rattus Norvegicus) jantan hipogonad dengan osteoporosis Perbaikan atau peningkatan kepadatan matriks tulang pada pemeriksaan histomorfometri
Skema 3.1 Konsep Penelitian
72
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah : Metode pemeriksaan histomorfometri mendeteksi perbaikan matriks tulang tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan hipogonad setelah terapi sulih testosteron
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan Post-test only Control Group Design (Marczyk et al., 2005). Pada kelompok subyek penelitian yang sebelumnya dilakukan orchidectomi sehingga terjadi hipogonad dan osteoporosis, dilakukan alokasi sampel secara random sehingga didapatkan dua kelompok. Satu kelompok sebagai kelompok kontrol yang diberikan plasebo oral, kelompok yang lain sebagai kelompok perlakuan yang diberikan testosterone undecanoate oral dengan dosis yang digunakan setelah dikonversi dari dosis manusia. Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
P0
P
S
RA
P1
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Keterangan: P
=
Populasi tikus jantan dewasa umur 90 hari, berat badan 200-250 gram
S
=
Sampel tikus setelah 12 minggu post orchidectomi yang telah mengalami hipogonad dan osteoporosis, berat badan rata-rata 250 gram
73
74
RA =
Random Alokasi
P0
=
Kontrol dengan pemberian plasebo oral
P1
=
Perlakuan dengan diberi testosterone undecanoate oral
O1
=
Kepadatan matriks tulang setelah 12 minggu diberikan plasebo oral, post test kelompok kontrol
O2
=
Kepadatan matriks tulang setelah 12 minggu diberikan testosterone undecanoate oral, post test kelompok perlakuan
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran
Universitas
Udayana.
Pemeriksaan
histomorfometri
dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah tikus yang sesuai dengan sampel yang telah ditentukan dalam penelitian. 4.3.2 Kriteria Subjek Sampel dalam penelitian ini adalah tikus jantan dewasa yang telah diorchidectomi sehingga mengalami osteoporosis karena hipogonad, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut :
75
Kriteria Inklusi : a.
Tikus jantan putih dewasa (Rattus Norvegicus dari galur Wistar) yang telah diorchidectomi sehingga mengalami osteoporosis karena hipogonad
b.
Umur 90 hari sebelum diorchidectomi
c.
Berat badan 200-250 gram.
Kriteria Eksklusi : apabila tikus sakit sebelum dilakukan penelitian. Kriteria Drop out : apabila tikus mati pada saat penelitian. 4.3.3 Besaran Sampel Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan rumus (Federer, 2008) : (n-1) x (t-1) ≥ 15 n = jumlah replikasi t = jumlah perlakuan Perhitungan sebagai berikut (n-1) x (2-1) ≥ 15, jadi n=16. Jumlah sampel per kelompok adalah 16 ekor tikus. Tiap kelompok ditambah dua ekor sebagai cadangan. Ada dua kelompok, jadi total jumlah sampel adalah 36 ekor tikus. 4.3.4 Teknik Penentuan Sampel Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut : a)
Dari populasi tikus (Rattus Norvegicus) diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi.
b)
Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara random untuk mendapatkan jumlah sampel.
76
c)
Dari sampel yang telah dipilih kemudian dilakukan orchidectomi sehingga mengalami hipogonad hingga terjadi osteoporosis
d)
Dari sampel yang telah mengalami osteoporosis karena hipogonad dipilih kemudian dibagi menjadi dua kelompok secara random yaitu kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat perlakuan, masing-masing kelompok dengan jumlah sampel.
4.4 Variabel 4.4.1 Klasifikasi Variabel 1.
Variabel bebas
: Testosterone undecanoate oral
2.
Variabel tergantung
: Kepadatan Matriks Tulang
3.
Variabel kontrol
:
a. Varian tikus (Rattus Norvegicus) post orchidectomi yang telah mengalami osteoporosis karena hipogonad b. Jenis kelamin, umur, berat badan tikus c. Suhu, kelembaban, nutrisi, kandang 4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1. Testosterone undecanoate Oral adalah suatu bentuk sediaan testosteron oral sebesar 40 mg, diberikan setiap hari secara oral dengan dosis 0,90 mg, pemberian dilakukan dua kali sehari selama 12 minggu 2. Kepadatan matriks tulang yang meliputi ketebalan trabekula, ketebalan dinding tulang, dan ketebalan osteoid diamati melalui histomorfometri pada tulang femur kanan atau
kiri dengan menggunakan mikroskop cahaya
77
Olympus CX 41 dengan kamera Olympus DP 12 dan kamera Optilab edisi upgrade, pembesaran 100 kali. Pemeriksaan histomorfometri dilakukan oleh Ahli Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, 3. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jantan putih (Rattus Norvegicus) dari galur Wistar post orchidectomi yang telah mengalami osteoporosis karena hipogonad, umur 90 hari sebelum diorchidectomi, berat badan rata-rata 250 gram setelah 12 minggu post orchidectomi. 4. Kualitas dan kuantitas kandang adalah kandang pemeliharaan dengan atap dari kawat, dilengkapi dengan tempat makanan dan minuman, dan disediakan satu kandang untuk 5 (lima) ekor tikus. 5. Kualitas dan kuantitas makanan berupa pakan ayam petelur dan minuman yang diberikan secara tak terbatas (ad libitum). Suhu ruang tikus dipertahankan 20-25 ºC, kelembaban dan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari, aliran udara dalam ruang harus lemah dan mantap (ruang berventilasi baik dengan penyinaran normal). 4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian 4.5.1 Bahan Penelitian 1. Testosterone undecanoate oral 2. Plasebo 3. Tulang femur tikus setelah diberikan perlakuan dan palasebo 4.5.2 Instrumen Penelitian 1. Kandang tikus dengan kelengkapan tempat makanan dan minuman 2. Sarung tangan
78
3. Set peralatan orchidectomi 4. Set alat pemeriksaan histomorfometri tulang tikus 5. Kamera digital 4.6 Tata Cara Penelitian Penelitian dilakukan sebagai berikut: 4.6.1 Pemberian Perlakuan 1. Sejumlah sampel tikus diadaptasi selama satu minggu, dengan 4-5 ekor tikus dalam satu kandang, diberikan makanan standar dan minum ad libitum. Selanjutnya tikus diorchidectomi hingga terjadi
osteoporosis karena
hipogonad 2. Setelah terjadi osteoporosis karena hipogonad (12 minggu post orchidectomi), berat badan sampel ditimbang dan selanjutnya secara random tikus dibagi menjadi dua kelompok sebagai kelompok kontrol dan kelompok testosterone undecanoate oral (kelompok perlakuan). 3. Kelompok kontrol dirawat tanpa memberikan perlakuan dan hanya diberikan plasebo oral (gliserin) dua kali sehari selama 12 minggu, selanjutnya kelompok perlakuan diberikan testosterone undecanoate oral diberikan setiap hari secara oral dengan dosis 0,90 mg, pemberian dilakukan dua kali sehari selama 12 minggu 4. Cara pemberian testosterone undecanoate oral dan plasebo oral (gliserin) pada tikus putih yaitu dengan cara memegang leher bagian belakang dengan tangan kiri sedemikian rupa sehingga kulit itu terjepit ibu jari dan telunjuk. Ini diperkuat dengan jepitan pangkal ibu jari dengan ibu jari lainnya pada kulit
79
punggung dan ekor dikait dengan kelingking tangan kiri tersebut (Ngatidjan, 2006). Bahan uji diberikan peroral dengan sonde. Sonde dimasukkan dengan hati-hati sampai di lambung. Setelah yakin jarum masuk ke dalam lambung dan tidak ke paru, barulah bahan uji di dalamnya dipompakan ke luar (Ngatidjan, 2006). 5. Apabila dalam pelaksanaan penelitian didapatkan sampel tikus yang menderita sakit atau kurang sehat, maka tikus segera dikarantinakan dan dilakukan pengobatan oleh dokter hewan. 6. Kedua kelompok diambil untuk dilakukan pemeriksaan histomorfometri terhadap kepadatan matriks tulang setelah mendapatkan plasebo oral dan testosterone undecanoate oral selama 12 minggu 7. Dilakukan analisis statistik. 8. Setelah pengambilan sampel tulang femur pada tikus, selanjutnya tikus dieuthanasia dengan menggunakan penthotal (dosis : 40 mg/kg berat badan). Demikian selanjutnya hingga dilakukan penguburan sebagaimana layaknya.
4.6.2 Perhitungan Dosis Testosterone Undecanoate Oral
Untuk Subjek
Penelitian Perhitungan dosis digunakan konversi dari manusia (berat badan 70kg) ke tikus (200 gr) adalah 0,018. Dosis manusia 40 mg testosterone undecanoate oral, setelah dikonversi pada tikus dengan berat rata-rata 250 gram menjadi 250/200 x 0.018 x 40 mg = 0,90 mg (Laurence, dalam Ngatidjan, 2006).
80
Sediaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah testosterone undecanoate oral. Kelompok P1 diberi testosterone undecanoate oral diberikan peroral saat tikus makan sebesar 0,90 mg dua kali sehari. Untuk kelompok kontrol, masingmasing tikus diberi plasebo oral dua kali sehari. Pemberian testosterone undecanoate oral dilakukan setiap hari selama 12 minggu dengan pemberian dua kali sehari. Pada perlakuan minggu ke-12, selanjutnya dilakukan pemeriksaan histomorfometri kepadatan matriks tulang tikus.
4.6.3 Alur Penelitian Tikus jantan dewasa setelah 12 minggu post orchidectomi
Post Treatment
Kelompok Kontrol
Kelompok Perlakuan
Pemberian placebo oral selama 12 minggu diberikan setiap hari, 2 kali sehari
Pemberian testosterone undecanoate oral selama 12 minggu diberikan setiap hari, 2 kali sehari
- Pengambilan sampel tulang untuk pemeriksaan histomorfometri kepadatan matriks tulang yang meliputi pengukuran ketebalan matriks tulang
Analisis
Skema 4.2 Alur Penelitian
81
4.6.4 Mekanisme Kerja Penelitian 4.6.4.1 Orchidectomi pada Tikus Tikus diorchidectomi dengan membuat sayatan pada kulit sekitar scrotum yang sebelumnya dilakukan pemberian anastesi dengan menggunakan ketamin (dosis : 30 mg/ 200 gram berat badan tikus), selanjutnya dibuat 2 ligasi pada pembuluh darah bagian atas testis lalu potong diantara 2 ligasi tersebut, selanjutnya buah zakar dikeluarkan, kemudian bekas sayatan ditutup (Moreau et al., 2001).
4.6.4.2 Histomorfometri Tulang pada Tikus Bahan dan Metode: Untuk analisis histologis, sediaan tulang femur dari tikus yang telah dieuthanasia dengan menggunakan penthotal (dosis : 40 mg/kg berat badan), dibuffer dengan menggunakan 4% formaldehida pada 4°C dan kemudian didekalsifikasi selama 3 hari dalam 0,45 M fosfat buffered EDTA, selanjutnya diproses untuk embedding parafin. Dipotong dengan tebal 10µm dan diwarnai dengan hematoksilin-eosinatau pewarnaan TRACP (Ida-Yonemochi et al., 2004). Analisis histomorfometri dilakukan sesuai dengan kriteria standar (Parfitt et al., 1987). Pengukuran histomorfometri dilakukan di zona standar, kecuali trabekula yang terhubung ketulang kortikal dengan menggunakan Gambar Raster dan Program Software Image J.
82
4.7 Analisis Data Dalam penelitian ini semua data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS for windows. Analisis data dalam penelitian meliputi: 1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk statistik analitis (uji hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki. Analisis deskriptif dilakukan dengan program SPSS. Pemilihan penyajian data dan uji hipotesis tergantung dari normal tidaknya distribusi data. 2. Analisis normalitas data Uji normalitas data dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk oleh karena sampel tiap kelompok kurang dari 30. 3. Uji Homogenitas 4. Uji Komparasi
83
BAB V HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan 32 ekor tikus (post orchidectomi selama 12 minggu) sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masingmasing berjumlah 16 ekor, yaitu kelompok kontrol (pemberian placebo oral selama 12 minggu, diberikan setiap hari, 2 kali sehari) dan kelompok perlakuan (pemberian testosterone undecanoate oral) selama 12 minggu, diberikan setiap hari, 2 kali sehari). Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, dan uji komparasi.
5.1 Uji Normalitas Data Data kepadatan matriks tulang, dengan diberi plasebo oral dan perlakuan dengan oral testosterone undecanoate diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Matriks Tulang dari Kelompok Plasebo Oral dan Kelompok Testoterone Undecanoate Oral
Kelompok Subjek
n
P
Keterangan
Plasebo Oral
16
0.940
Normal
Oral Testoterone Undecanoate
16
0.472
Normal
84
5.2
Uji Homogenitas Data Antar Kelompok
Data kepadatan matriks tulang setelah pemberian plasebo oral dan testoterone undecanoate oral antar kelompok
sesudah perlakuan diuji
homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s Test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil Uji Homogenitas Matriks Tulang Antar Kelompok Testosterone Undecanoate Oral Sesudah Perlakuan dan Kelompok Plasebo Oral
Variabel
dF
p
Keterangan
Testoterone Undecanoate Oral
0,30
0,637
Homogen
Plasebo Oral
0,10
0,637
Homogen
5.3
Uji Komparasi Terhadap Pemberian Plasebo Oral dan Pemberian
Testoterone Undecanoate Oral Terhadap Peningkatan Matriks Tulang Analisis uji komparasi berdasarkan rerata kepadatan matriks tulang antar kelompok sesudah diberikan plasebo oral dan testosterone undecanoate oral secara bersamaan. Oleh karena data berdistribusi normal, maka uji komparasi yang dipergunakan adalah uji t-independent antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan untuk masing-masing kelompok. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada tabel 5.3.
85
Tabel 5.3 Rerata Kepadatan Matriks Tulang Antar Kelompok Plasebo Oral dan Kelompok Testosterone Undecanoate Oral Sesudah Perlakuan
N
Rerata Kepadatan Matriks Tulang (µM)
SB
T
P
Plasebo Oral
16
285,36
65,67
17,383
0,001 0,000
Testosterone Undecanoate Oral
16
427,56
76,25
22,430
Kelompok Subjek
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata kepadatan matriks tulang tikus yang diberi plasebo oral adalah 285,36 ± 65,67 µM dan rerata kelompok perlakuan adalah 427,56 ± 76,25 µM. Analisis kemaknaan dengan uji tindependen menunjukkan bahwa nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa rerata matriks tulang kedua kelompok sesudah diberikan oral plasebo dan testosterone undecanoate oral berbeda secara bermakna (p<0,05). osteoid periosteum
trabekula
endosteum trabekula
Gambaran histomorfometri kelompok kontrol dengan ukuran ketebalan matriks tulang 276,702 µM
endosteum
osteoid periosteum
Gambaran histomorfometri kelompok perlakuan dengan ukuran ketebalan matriks tulang 505,756 µM
Gambar 5,1 Gambaran Histomorfometri
86
427,56
450 400 350
285,36
300 250 200 150 100 50 0
Oral Testosterone Undecanoate
Plasebo Oral
Diagram 5.2 Rerata Kepadatan Matriks Tulang Antar Kelompok Plasebo Oral dan Kelompok Testosterone Undecanoate Oral Seteleh Perlakuan
87
BAB VI PEMBAHASAN 6.1
Subjek Penelitian Dalam penelitian ini digunakan tikus putih (Rattus Norvegicus) galur
wistar, jantan, dewasa, sehat , berumur 90 hari, selanjutnya tikus diorchidectomi dan dibiarkan tanpa perlakuan selama 12 minggu. Penggunaan tikus dikarenakan ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan coba lainnya, yakni tikus tidak dapat muntah karena struktur yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kendung empedu (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Penggunaan tikus atau rat (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian (Malole dan Pramono, 1989). Tikus jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan, dapat tinggal sendirian di dalam kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit, tetapi karena hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam percobaan tikus lebih menguntungkan (Kusumawati, 2004). Tikus wistar juga memiliki karakteristik yang mirip dengan manusia dalam fisiologi dan respon endokrin sehingga sering digunakan dalam eksperimen biologi sebagai organisme model (Nilandari, 2009). Jumlah sampel awal yang digunakan sebanyak 32 ekor tikus Wistar (post orchidectomi selama 12 minggu), yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-
67
88
masing berjumlah 16 ekor tikus Wistar.
Kelompok pertama yaitu kelompok
kontrol (P0) yang diberikan plasebo oral berupa gliserin sebanyak 1 cc/ hari selama 12 minggu dan kelompok perlakuan (P1) yang diberikan testosterone undecanoate oral (TU) dengan dosis 0,90 mg/hari. pemberian dilakukan dua kali sehari selama 12 minggu. Selama penelitian hewan coba tidak ada yang mengalami drop out.
6.2 Osteoporosis Tikus Post Orchidectomi Penggunaan model hewan yang diperlukan dalam melakukan penelitian untuk menjelaskan lebih lanjut tentang patogenesis kehilangan massa tulang yang disebabkan
oleh
defisiensi
androgen.
Orchidectomi
pada
tikus
telah
direkomendasikan untuk mensimulasikan pria yang mengalami osteoporosis karena hipogonadisme (Moreau et al., 2001). Keropos tulang pada tikus jantan yang telah diorchidectomi menjadi lebih jelas pada minggu ke-16 dengan penurunan massa tulang sebesar -12,7% (p <0,001). Dengan membandingkan dengan nilai-nilai BMD yang dipertimbangkan, maka penurunan itu signifikan pada minggu ke-16 (P <0,01). Dalam penelitian yang telah dilakukan, penurunan massa tulang dibuktikan pada seluruh kerangka dan pada isolasi tulang tibia hanya pada 8 minggu. Temuan dari penelitian tersebut sesuai dengan yang dilaporkan oleh penelitian lain dengan menggunakan model tikus yang diorchidectomi (Moreau et al.,2001)
89
6.3. Pemberian Testosterone Undecanoate Oral Testosterone undecanoate oral yang dipakai pada penelitian ini berbentuk kapsul lunak. Dosis satu kapsul adalah sebesar 40 mg, dimana volume satu kapsul adalah sebesar 1 (satu) cc. Pada penelitian ini seluruh sampel kelompok perlakuan diberikan testosterone undecanoate oral dengan dosis 0,9 mg per hari sebanyak dua kali, dengan menggunakan sonde selama 12 minggu..
Untuk memudahkan pemberian
testosterone undecanoate oral, maka dilakukan pengenceran dengan gliserin. Jika untuk mendapatkan dosis sebesar 0,9 mg dalam volume 1 cc maka diperlukan gliserin sampai volume mencapai 44,44 cc, dimana perhitungan sebagai berikut : X cc larutan = 40 mg TU 1 cc larutan = 0,9 mg TU X = volume larutan setelah diencerkan X = 40/ 0,9 = 44,44 cc Pada kelompok kontrol diberikan plasebo yang berupa gliserin sebanyak 1 (satu) cc / kali / hari dengan menggunakan sonde selama 12 minggu. Selama perlakuan kedua kelompok tetap diberikan diet tinggi kalori.
6.4 Pemberian Testosterone
Undecanoate Oral Terhadap
Peningkatan
Kepadatan Matriks Tulang Hasil penelitian dan analisis data pada kelompok kontrol dan perlakuan menunjukkan bahwa uji normalitas (Uji Shapiro Wilk) dan homogenitas (Levene
90
test) untuk kelompok kontrol dan perlakuan masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05). Uji
perbandingan
sesudah
diberikan
perlakuan
berupa
testosterone
undecanoate oral antara kedua kelompok menggunakan uji t-independen. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata kepadatan matriks tulang tikus yang diberi plasebo oral adalah 285,36 ± 65,67 µM dan rerata kelompok perlakuan adalah 427,56 ± 76,25 µM. Analisis kemaknaan dengan uji tindependen menunjukkan bahwa nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa rerata matriks tulang kedua kelompok sesudah diberikan oral plasebo dan testosterone undecanoate oral berbeda secara bermakna (p<0,05). Hasil analisis pada kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan (p<0,05). Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan kepadatan matriks tulang secara bermakna pada kelompok perlakuan. Testosteron lokal akan dikonversi menjadi 5 α - dihidrotestosteron, yang lebih agresif berikatan dengan reseptor androgen, atau diaromatisasi menjadi estradiol. Hal ini adalah menjadi penyebab penting terjadinya osteoporosis pada pria hipogonad. Insiden osteoporosis pada pria secara tidak langsung berhubungan dengan penurunan kadar testosteron yang beredar. Karena androgen dapat meningkatkan proliferasi dan diferensiasi osteoblas, serta menghambat aktivitas osteoklas (perekrutan dan sinyal). Dengan demikian penurunan kepadatan tulang dapat terjadi pada keadaan hipogonadisme (Dupree and Dobs, 2004). Peningkatan matriks tulang pada kelompok perlakuan pada penelitian ini
91
dapat
disebabkan
karena
androgen
(testosterone
undecanoate)
dapat
meningkatkan proliferasi dan mengurangi apoptosis osteoblas melalui regulasi protein kinase B. Ini juga memainkan peran penting dalam proses mineralisasi, yang merupakan tahap diferensiasi akhir osteoblas. Androgen juga mencegah paratiroid-induced untuk pembentukan osteoklas dan penurunan aktivitas resorpsi tulang osteoklas melalui deaktivasi enzim lisosom (Wang et al., 2013).
6.5 Manfaat Testosterone Undecanoate Oral dan Metode Pemeriksaan Histomorfometri dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging Medicine Pemberian testosterone undecanoate secara oral menunjukkan perbedaan kepadatan matriks tulang antara kelompok kontrol dan perlakuan pada tikus jantan wistar post orchidectomi (hipogonad). Hipogonad adalah merupakan salah satu akibat dari proses penuaan, hal ini dapat terjadi karena adanya gangguan pada poros hipothalamus – hipofise – Sel Leydig. Salah satu akibat daripada hipogonad pada kaum pria adalah terjadinya osteoporosis dengan berbagai komplikasinya (antara lain : fraktur) Dengan pertimbangan bahwa sediaan testosterone undecanoate oral yang banyak dijumpai di pasaran serta mudah untuk mengkonsumsinya, maka pemberian terapi sulih testosterone undecanoate oral dapat menjadi salah satu pilihan dalam menangani osteoporosis akibat hipogonad pada kaum pria sehingga komplikasi terutama risiko fraktur dapat dihindari.
Dengan penanganan
osteoporosis akibat hipogonad pada pria dan menghindari komplikasi fraktur dan komplikasi lainnya, maka hal ini tentunya akan dapat meningkatkan kualitas
92
hidup dan memperpanjang usia harapan hidup, dengan demikian dapat memperbaiki sekaligus memperlambat proses penuaan. Penggunaan terapi sulih testosterone undecanoate oral untuk memperbaiki atau meningkatkan kepadatan matriks tulang pada penderita osteoporosis pada kaum pria tetap harus diperhatikan mengingat penyebab osteoporosis adalah multifaktorial. Dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan pemeriksaan kadar testosterone serta pemeriksaan laboratorium terkait lainnya sebelum melakukan terapi sulih testosterone undecanoate oral. Histomorfometri tulang merupakan alat yang dalam kemampuannya dapat dipergunakan untuk menilai dan mengevaluasi kualitas serta kuantitas daripada efek androgen terhadap mineralisasi tulang dan mikroarsitektur tulang serta perubahan yang terkait dengan efek pengobatan terhadap beberapa indeks remodeling tulang baik pada tingkat sel maupun pada jaringan. Metode pemeriksaan histomorfometri yang dipergunakan pada penelitian ini tidaklah semata-mata kepada tujuan diagnostik, akan tetapi lebih berorientasi kepada analisis efek dari terapi sulih testosteron terhadap kepadatan dan mikroarsitektur matriks tulang, lebih khusus pengamatan kepada aspek histologi. Saat ini banyak penelitian tentang terapi sulih testosteron terhadap osteoporosis kausa hipogonad, akan tetapi menurut data dan informasi yang diperoleh, kebanyakan atau hampir semua dari penelitian tersebut menggunakan metode pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) atau dengan CT scan, yang tentunya metode ini sangatlah tidak mendukung terutama dari aspek sitologi dan
93
histologi untuk menganalisa efek dari testosteron terhadap komponen organik dan mikroarsitektur dari matriks tulang. Hasil penelitian yang menggunakan metode pemeriksaan histomorfometri ini, jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang menggunakan metode pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) atau dengan CT-Scan sepintas terlihat sama, yakni keduanya memberikan hasil peningkatan matriks tulang, akan tetapi pada dasarnya mempunyai beberapa perbedaan, antara lain bahwa hasil pemeriksaan matriks tulang dengan menggunakan metode Bone Mineral Density (BMD) atau dengan CT-Scan sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral (terutama kalsium) pada matriks tulang, sedangkan hasil pada pemeriksaan dengan metode histomorfometri tidak dipengaruhi oleh kandungan mineral dari matriks tulang, melainkan komponen organik dan mikroarsitektur matriks tulang, antara lain kolagen, trabekula, osteoblas, osteoid, osteosit dan osteoklas. Perlu diketahui bahwa, defesiensi kalsium pada orang dewasa dengan komponen organik dan mikroarsitektur yang normal akan menyebabkan osteomalasia (bukan osteoporosis) yang ditandai dengan kurangnya kalsifikasi tulang yang baru dibentuk dan dekalsifikasi parsial matriks tulang yang sudah mengalami kalsifikasi. Berbeda dengan osteoporosis yang ditandai dengan penurunan massa yang disebabkan oleh penurunan pembentukan komponen organik dan mikroarsitektur tulang atau resorpsi tulang atau kedua-duanya. Pada osteoporosis, perbandingan mineral dan matriks adalah normal atau konstan. Dengan demikian hasil pemeriksaan matriks tulang yang menggunakan metode pemeriksaan histomorfometri adalah menjadi sangat penting untuk bisa
94
memberikan informasi ilmiah yang lebih rinci dan lebih akurat kepada ilmu pengetahuan khususnya kepada Anti Aging Medicine menyangkut efek atau mekanisme kerja testosteron terhadap komponen organik dan mikroarsitektur matriks tulang yang selama ini dianggap bahwa penjelasan ilmiah tentang mekanisme tersebut adalah masih belum optimal. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi/data ilmiah yang sekaligus dapat menjadi motivator kepada peneliti lain untuk menggali lebih dalam dan detail secara sitologi dan histologi tentang analisis efek daripada terapi sulih testosteron terhadap komponen organik dan mikroarsitektur matriks tulang.
95
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka metode pemeriksaan histomorfometri terhadap matriks tulang hipogonadisme dan osteoporosis dengan pemberian terapi sulih testosterone undecanoate oral, didapatkan simpulan sebagai berikut : Metode pemeriksaan histomorfometri mendeteksi perbaikan matriks tulang tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan hipogonad setelah terapi sulih testosteron 7.2 Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan metode pemeriksaan histomorfometri dengan metode pemeriksaan lain yang telah direkomendasikan untuk pemeriksaan efek terapi sulih testosteron terhadap mikroarsitektur matriks tulang yang mengalami osteoporosis akibat hipogonadisme. 2. Kalau memungkinkan dapat dilakukan penelitian pada manusia melalui penggunaan metode histomorfometri untuk mendapatkan
data ilmiah
yang lebih detail dan lebih akurat mengenai perubahan struktur organik dan mikroarsitektur matriks tulang terhadap efek terapi sulih testosteron.
75
96
DAFTAR PUSTAKA
Baziad, A. 2003. Menopause dan Andropause. Cetakan pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. hlm. 177-185,196-205. Bebb, R. A. 2011. Testosteron Deficiency : Practical Guidelines for Diagnosis and Treatment. BCMJ. Vol. 53. p. 474-479. Availlable from : http://www.hemj. org/articles/testosterone-deficiency-practical-guidelines-diagnosis-andtreatment, Accesed October, 23, 2013 Bhasin, S. Cunningham, G.R.,Haves, F.J., Matsumoto, A.M., Snyder, P. J., Swerdlof, R. S., Montori, V. M., 2006. Testosterone Therapy in Adult Men with Androgen Deficiency Syndromes: an Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab. 91. p. 1995-2010. Availlable from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16720669. Accesed Sepetember, 19, 2013 Chavassieux, P. M., Arlol, M. E., Roux, J. P., Portero, N., Daifotis, A., Yates, A.J. Handy, N. A. T., Malice, Marie-Pierre., Freedhom, D., Meunier, P. J. 2000 Effects of Alendronate on Bone Quality and Remodeling in Glucocorticoid-Induced Osteoporosis: A Histomorphometric Analysis of Transiliac Biopsies. Volume 15, Issue 4, Pages 754–762. Availlable from : http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1359/jbmr.2000.15.4.754/full. Accesed, December, 2013 Dupree, K., Dobs, A. 2004. Osteopenia and Male Hypogonadism. Rev Urol.2004; 6(Suppl 6): S30–S34. Availlable from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc /articles/PMC1472878/ Accesed October, 23, 2013 Ebeling, P. R. 2008. Osteoporosis in Men. N. Engl. J. Med. 358:1474-1482 Federer, W. 2008. Statistic and society: data collection and interpretation. Edisi ke-2 Fowler, B. 2003. Functional and Biological Markers of Aging. In: Klatz, R. 2003. Anti-Aging Medical Therapeutics volume 5. Chicago: the A4M Publications. p. 43. Goldman, R., Klatz, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia: Advantage Quest. p. 65-66. Goodman, N.F.,MD. 2001. Medical Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis and Treatment of Hyperandrogenic Disorders. Vol. 7 No.2. p. 121-124.
97
Granner, D. K. 2012. Keragaman Sistem Endokrin. In : Murray, R. K., Granner, D. K., Rodwell, V. W., editors. Biokimia Harper (Brahm U. Pendit, Alih Bahasa). 27th edition. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran. p. 455477. Guyton, A.C., Hall, J.E. 2000. Textbook of Medical Physiology. 10th edition. WB Saunders Company; 81:1283-1302. Ida-Yonemochi, H., Ishibashi, O., Sakai, H., Saku, T. 2004. Recruitment of Osteoclasts in the Mandible of Osteopetrotic (op/op) Mice. Eur J Oral Sci 112 : 148-155. Klatz, 2003. Anti-Aging Revolution. Section One : on Aging. Chapter 1. Theories on Aging. p. 20-23. Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Malole, M.B.M., Pramono, C.S.U. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Jabar. Institut Pertanian Bogor: 104-112. Marczyk, G.,Matteo, D.,Festinger, D. 2005. Essential of Research Design and Methodology. Vol.2. John Wiley & Sons.p.105. Mauras, N., Hayes, V. Y., Vieira, N. E., Yergey, A. L., O’brein, K. O. 1999. Profound Hypogonadism Has Significant Negative Effects on Calcium Balance in Males : A Calcium Kinetic Study. JBMR. Vol. 14, issue 4, p.577-582. Availlable from : http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10,1359/ jbmr.1999.14.4.577/full Accesed October, 23, 2013 Mescher, A. L. 2010 Junqueira’s Basic Histology. 12th Edition. Singapore: Mc. Graw Hill Medical, p. 121-139.
Printed in
Moreau, M. F., Libouban, H., Legrand, E., Basle, M. F., Audran, M., Chappard, D. 2001. Lean, Fat and Bone Masses are Influenced by Orchidectomy in the Rat. A Densitometric X-Ray Absorptiometric Study. J Musculoskel Neuron Interact : 1(3) : 209-213 Morgan, R. 2003. Hormone Replacement Therapy: A Primer – DHEA, Estrogen, HGH, Therapeutics volume 5. Chicago: the A4M Publications. p. 325-327, 330-332. Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium Dalam Toksikologi. Yogyakarta. Penerbit Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.
98
Pangkahila,W. 2007. Anti-aging Medicine: Memperlambat Meningkatkan Kualitas Hidup. hal. 24-28, 70-74.
Penuaan
Parfitt, A. M., Drezner, M. K., Glorieux, F. H., Kanis, J. A., Malluche, H., Meunier P. J., Ott, S. M., Recker, R. R. 1987. Bone Histomorphometry : Standardization of Nomenclature, Symbols, and Units. J Bone Miner Res: 2, Number 6. p : 595-610. Pernow, Y., Hauge, E. M., Linder, K., Dahl, E., Saaf, M. 2009. Bone Histomorphometry in Male Idiophatic Osteoporosis. Calcif Tissue Int. : 84(6) : 430-438. Poole, K. E. S. 2006. Osteoporosis and Its Management. BMJ. Vol. 333(7581). p.:1251-1256.Availlablefrom http://www.bmj.com/content/333/7581/1251. Accessed September, 20, 2013. Raisz, L. G. 2005. Pathogenesis of Osteoporosis : Concepts, Conflicts, and Prospects. Published in J Clin Invest. Vol. 115(12). p. : 3318-3325. Availlable from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1297264/ Accessed October, 23, 2013. Rao, S. S., Budhwar, N., Ashfaque, A. 2010. Osteoporosis in Men. Am Fam Physician : 82(5) : 503-508. Availlable from : http://www.aafp.org/afp/ 2010/0901/p503.html. Accessed October, 23, 2013. Smith , J. B. , Soesanto Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia ( UI Press). h. 30 – 32 , 43-44, 54,57. Speroff, L. 2004. Clinical Gynaecologic Endocrinology and Infertility. 6th. Ed. Amerika Serikat: Lippincott Williams & Wilkins, p. 48-50; 67-68; 71-78; 879-880. Steiniche, T. 1995. Bone Histomorphometry in the Patophysiological Evaluation of Primary and Secondary Osteoporosis and Various Treatment Modalities. APMIS Suppl. : 51 : 1-44. Tong, Seng-Fah., Ng, Chink-Jenn, Lee., Boon-Cheok, Lee., Vena-KM, Khoo, FeMing., Lee, Eng-Giap., Tan, Hui-Meng. 2012. Effect of long-acting testosterone undecanoate treatment on quality of life in men with testosterone deficiency syndrome: a double blind randomized controlled trial. Asian Journal of Andrology (2012) 14, 604–611;; Availlable from : http://www.nature.com/aja/journal/v14/n4/abs/aja/2011178a.html. Accesed, December, 2013
99
Wang, Yan-Jiao., Zhan, Jun-Kun., Huang, W., Wang, Y., Liu, Y., Wang, S., Tan, P., Tang, Zhi-Yong, and LiuGeriatric, You-Shuo. 2013. Clinical Study Effects of Low-Dose Testosterone Undecanoate Treatment on Bone Mineral Density and Bone Turnover Markers in Elderly Male Osteoporosis with Low Serum Testosterone. International Journal of Endocrinology. Vol 2013. Article ID 570413. 6 pages. Availlable from : http://www.hindawi.com/journals/ije/2013/570413/. Accessed October, 23, 2013. Wibowo, S. 2003. Andropause: Keluhan, Diagnosis dan Penanganannya. Dalam: The Concepts of Anti Aging and How to Make Without Disorder. Jakarta: FKUI. hal. 11-17. World Health Organization. 1996. Penuaan dan Kapasitas Kerja. Jakarta: EGC. hal.2.
100
Lampiran 1 :
101 Lampiran 2 KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS UNTUK BEBERAPA JENIS HEWAN DAN MANUSIA (LAURENCE & BACHARACH, 1964)
Menci t 20 gr
Tikus 200 gr
Marmot 400 gr
Kelinc i 1,5 kg
Kucin g 2 kg
Kera 4 kg
Anjing 12 kg
Manusi a 70 kg
Mencit 20 gr
1.0
7.0
12.25
27.8
29.7
64.1
124.2
387.9
Tikus 200 gr
0.14
1.0
1.74
3.9
4.2
9.2
17.8
56.0
Marmot 400 gr
0.08
0.57
1.0
2.25
2.4
5.2
10.2
31.5
Kelinci 1,5 kg
0.04
0.25
0.44
1.0
1.08
2.4
4.5
14.2
Kucing 2 kg
0.03
0.23
0.41
0.92
1.0
2.2
4.1
13.0
Kera 4 kg
0.016
0.11
0.19
0.42
0.45
1.0
1.9
6.1
Anjing 12 kg
0.008
0.06
0.1
0.22
0.24
0.52
1.0
3.1
Manusia 70 kg
0.002 6
0.018
0.031
0.07
0.076
0.16
0.32
1.0
(Dalam Kusumawati, 2004).
102
LAMPIRAN 3
DATA HASIL PENELITIAN
NO KODE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA TFA
PENINGKATAN MATRIK TULANG FEMUR PASCA PMBERIAN TESTOTERON HISTOMORFOMETRI KODE HISTOMORFOMETRI (µM) (µM) 333,613 TFT 406,040 308,515 TFT 350,321 244,989 TFT 505,756 146, 313 TFT 480,071 357,016 TFT 454,434 254, 578 TFT 403,767 248,561 TFT 435,549 335,119 TFT 560,896 420,193 TFT 392,778 287,746 TFT 327,254 357,016 TFT 585,409 237,234 TFT 403,580 266,791 TFT 432,146 268,527 TFT 310,460 282,500 TFT 408,881 217,049 TFT 383,652
103
LAMPIRAN 4 Gambaran Histomorfometri Diafise Tulang Femur Kelompok Kontrol
Gambaran Histomorfometri Diafise Tulang Femur Kelompok Kontrol
104
Gambaran Histomorfometri Diafise Tulang Femur Kelompok Perlakuan
105
Lampiran 5 Hasil Output SPSS Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
Df
Shapiro-Wilk Sig.
Statistic
Df
Sig.
Plasebo Oral
1,00
,110
16
,200
*
,977
16
,940
Testosterone
2,00
,159
16
,200
*
,949
16
,472
undecanoate *. This is a lower bound of the true significance. Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic
df1
,228
df2 1
Sig. 30
,637
T-Test One-Sample Statistics N Oral Placebo Oral
Testoterone
Undecanoate
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
16
2.8536E2
65.66566
16.41642
16
4.2756E2
76.24710
19.06178
One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Mean t Oral Placebo Oral Undecanoate
Df
Sig. (2-tailed)
Difference
Difference Lower
Upper
17.383
15
.000
285.36000
250.3692
320.3508
22.430
15
.000
427.56212
386.9329
468.1913
Testoterone
106
LAMPIRAN 6 FOTO-FOTO SAAT MELAKUKAN PENELITIAN
Gambar saat melakukan orchidectomi pada subjek penelitian
Gambar saat pengambilan sampel tulang femur subjek penelitian
107
Subjek Penelitian (Rattus Norvegicus)
Subjek Penelitian saat penimbangan berat badan
108
LAMPIRAN 7 Andriol Testocaps - Oral Testosterone Undecanoate Capsules Nama Dagang
: Andriol Testocaps
Nama Generik
: TestosteroneUndecanoate
Kemasan
: 30 x 40 mg Andriol oral capsules
Diproduksi oleh : Organon