PERATURAN DAERAH KOTA BAU-BAU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG PENETAPAN HARI JADI KOTA BAU-BAU DAN PERUBAHAN PENULISAN BAU-BAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAU–BAU, Menimbang
: a.
bahwa Kota Bau-Bau sebagai daerah otonom yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2001 tentang
Pembentukan Kota
Bau-Bau, sampai saat ini belum ditetapkan tanggal, bulan dan tahun sebagai Hari Jadi Kota Baubau;
b.
bahwa keberadaan Kota Bau-Bau merupakan proses sejarah panjang dari adanya peran wilayah yang memiliki struktur dan sistem sesuai dengan perkembangan pada zamannya;
c.
bahwa penetapan Hari Jadi Kota Bau-Bau dapat diperingati setiap tahun, sebagai bagian dari jati diri dan eksistensi daerah, disamping berperan sebagai faktor integrasi masyarakat juga dapat memotivasi peningkatan pembangunan daerah;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, b, dan c perlu dibentuk Peraturan Daerah Kota Bau-Bau tentang Hari Jadi Kota Baubau dan Perubahan Penulisan Bau-Bau;
Mengingat
: 1.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Bau–Bau (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4120);
3.
Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 1
4.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4549);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BAU-BAU dan WALIKOTA BAU-BAU MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PENETAPAN HARI JADI KOTA BAU-BAU DAN PERUBAHAN PENULISAN BAU-BAU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1.
Daerah adalah Kota Bau-Bau.
2.
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Bau-Bau.
3.
Walikota adalah Walikota Bau-Bau.
4.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjut disingkat DPRD adalah DPRD Kota Bau-Bau;
5.
Hari Jadi Kota Bau-Bau adalah tanggal, bulan dan tahun yang mempunyai nilai sejarah penting bagi masyarakat Kota Bau-Bau.
6.
Hari Ulang Tahun Kota Bau-Bau adalah Peringatan Hari Jadi Kota Bau-Bau yang
dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya. 2
BAB II HARI JADI KOTA BAU-BAU Pasal 2 (1). Hari Jadi Kota Bau-Bau adalah tanggal 17 Oktober atau 1542 Masehi. (2). Penetapan tanggal 17 Oktober yang dimaksud pada ayat (1) adalah berdasarkan pada tanggal Undang-Undang Pembentukan Kota Bau-Bau sebagai Daerah Otonom tanggal 17 Oktober 2001. (3). Penetapan tahun 1542 yang dimaksud pada ayat (1) adalah berdasarkan pada tahun pelantikan Sultan Buton I, Murhum tanggal 1 Ramadhan 948 H atau 19 Desember 1542. Pasal 3 (1)
Peringatan Hari Jadi Kota Bau-Bau yang dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya disebut Hari Ulang Tahun.
(2)
Tatacara pelaksanaan Hari Ulang Tahun sebagaimana pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Walikota. B A B III TEMA HARI ULANG TAHUN Pasal 4
(1)
Dalam setiap pelaksanaan Hari Ulang Tahun Kota Bau-Bau, Walikota menetapkan suatu tema untuk dapat mendorong semangat persatuan dan kesatuan masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, meningkatkan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat dan memperkuat jati diri daerah serta jati diri masyarakat Kota Bau-Bau.
(2)
Tema yang ditetapkan sebagaimana pada ayat (1) dapat dibagi dalam beberapa sub tema sesuai dengan situasi dan kebutuhan. BAB IV PERUBAHAN PENULISAN DAN PELAFALAN BAU-BAU Pasal 5
(1). Penulisan Bau-Bau berubah menjadi Baubau. (2). Penulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berdasarkan pada Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Pasal 6 Pelafalan Baubau menggunakan bunyi Bilabial Tanhambat Bersuara
3
BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 7 (1) Peringatan Ulang Tahun Kota Baubau setiap tanggal, bulan dan tahun sudah mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah ini. (2) Penulisan nama Kota Baubau sudah dapat digunakan dalam naskah dinas, surat, cap/stempel dinas, produk hukum daerah, papan nama kantor, papan nama usaha dan lain-lain, sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai tekhnis pelaksanaannya akan diatur dalam Peraturan Walikota. Pasal 9 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Baubau. Ditetapkan di Baubau pada tanggal, 16 Oktober 2010 WALIKOTA BAUBAU, Ttd MZ. AMIRUL TAMIM Diundangkan di Baubau pada tanggal, 18 Oktober 2010 SEKRETARIS DAERAH KOTA BAUBAU,
Ttd SUHUFAN
LEMBARAN DAERAH KOTA BAUBAU TAHUN 2010 NOMOR 02
4
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BAU-BAU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG PENETAPAN HARI JADI KOTA BAU-BAU DAN PERUBAHAN PENULISAN BAU-BAU
I. UMUM Pada mulanya, Baubau merupakan pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal abad ke-15 (1401 – 1499). Buton mulai dikenal dalam Sejarah Nasional karena telah tercatat dalam naskah Negara Kertagama Karya Prapanca pada tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi, dimana terbentang taman, didirikan lingga dan saluran air, Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertamakali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13. Buton sebagai negeri tujuan kelompok Mia Patamiana mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah kota Bau – Bau) serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif). Dalam periodisasi sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 5
Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Lakilaponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960. II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1
: Cukup jelas
Pasal 2
: Cukup jelas
Pasal 3
: Cukup jelas
Pasal 4
: Cukup jelas
Pasal 5
: Cukup jelas
Pasal 6 Pasal 7
: Bilabial Tanhambat Bersuara : bunyi yang bersekutu dalam ucapannya bibir atas dengan bibir bawah dengan lambang ḃ (bha) : Cukup jelas
Pasal 8
: Cukup jelas
Pasal 9
: Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 2
6
Bilabial : bunyi yang bersekutu dalam ucapannya bibir atas dengan bibir bawah Berdasarkan halangan , maka bunyi konsonan dapat dibedakan menjadi bunyi konsonan stop, geseran, afrikatif, getar dan lateral. Pembagian bunyi konsonan berdasarkan keempat faktor di atas : a. Bunyi konsonan bilabial , bersuara , oral , stop , dengan lambang (b) b. Bunyi konsonan bilabial , stop , tak bersuara dengan lambang (p) c. Bunyi konsonan bilabial nasal , bersuara dengan lambang (m) d. Bunyi konsonan apiko alveolar , oral , stop , bersuara dengan lambang (d) e. Bunyi konsonan apiko alveolar , oral , stop , bersuara dengan lambang (n) f. Bunyi konsonan apiko alveolar, letus,oral, tak bersuara dilambangkan dengan (t) g. Bunyi konsonan apiko alveolar,desis, oral tak bersuara dilambangkan dengan (s) h. Bunyi konsonan apiko , alveolar, tril (getar), bersuara, oral dengan lambing (r) i. Bunyi konsonan apiko ahrolan ( likwida ), oral, bersuara dengan lambing (l) j. Bunyi konsonan fronto palatal , nasal , bersuara dengan lambang (n) k. Bunyi konsonan fronto palatal , oral , bersuara dengan lambang (j) l. Bunyi konsonan fronto palatal , oral , tak bersuara dengan lambang (c) m. Bunyi konsonan dorso velar , letus , oral , tak bersuara dilambangkan dengan (k) n. Bunyi konsonan dorso velar , letus , oral , bersuara dilambangkan dengan (g) o. Bunyi konsonan dorsovelar, bersuara , nasal , dengan lambing (n) p. Bunyi konsonan glotal stop, tak bersuara dengan lambing (?) q. Bunyi konsonan glotal frikatif ( geseran ), tak bersuara dengan lambang (h)
Proses morfofonemik yang terjadi pada verba pada hakikatnya berupa asimilasi nasal. Asimilasi terjadi ketika morfem terikat (prefiks) ma- bergabung dengan morfem bebas (verba) yang mulai dengan bunyi konsonan tertentu. Bunyi konsonan tertentu itu adalah bunyi konsonan bilabial bersuara [b], bunyi konsonan labio-dental tidak bersuara [f], bunyi konsonan alveolar hambat tidak bersuara [t], bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d], bunyi konsonan alveolar getar [r], bunyi konsonan velar hambat tidak bersuara [k], atau bunyi konsonan velar frikatif tidak bersuara [kh].
Proses morfofonemik, baik mutasi yang terjadi pada nomina maupun asimilasi nasal yang terjadi pada verba, umumnya menunjukkan suatu pola/kaidah yang bisa dipreksi secara logis. Hubungan 7
tempat artikulasi (place of articulation), kesamaan cara artikulasi (manner of articulation), dan kesamaan dalam hal kebersuaraan memegang peranan penting dalam proses morfofonemik dalam bahasa Nias.
8