PERANCANGAN SISTEM KERJA PADA USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) MAKANAN UNTUK MEMENUHI HACCP (STUDI KASUS : UKM SYAFRIDA PRODUSEN SNACKS) Dinar Nilam Sari, Sri Gunani Partiwi, dan Janti Gunawan Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email:
[email protected] ;
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk industri unggulan ekspor. Namun perkembangan UKM menjadi eksportir, terkendala permasalahan sertifikasi Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) sebagai salah satu syarat ekspor ke negara maju. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Syafrida merupakan UKM yang bergerak di bidang makanan ringan dan saat ini berupaya mengembangkan target pemasaran untuk ekpor. Hasil pengamatan menunjukkan faktor yang menjadi kendala pemenuhan sertifikat HACCP yaitu tata letak lantai produksi yang belum standar, pengaturan fasilitas kerja yang tidak teratur, waktu produksi yang tidak menentu, dan sistem kebersihan yang belum memadai. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi sistem kerja eksisting dan merancang sistem kerja perbaikan. Pendekatan yang digunakan adalah tujuh prinsip HACCP yang selanjutnya sebagai input metode perencanaan fasilitas, penenentuan waktu standar dengan menggunakan stopwatch time study, dan simulasi sebagai alat pengujian sistem perbaikan. Hasil penelitian dengan menggunakan simulasi menunjukkan bahwa jumlah output antara sistem eksisting dengan sistem perbaikan adalah sama namun dengan kualitas produk yang jauh lebih baik pada sistem perbaikan. Hal ini menunjukan bahwa hasil penerapan sistem perbaikan tidak mempengaruhi sistem eksisting dan layak untuk diterapkan. Kata kunci : UKM, Perancangan Sistem Kerja, Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), Perencanaan Fasilitas, Stopwatch Time Study, Simulasi ABSTRACT Small and Medium Enterprise (SME) has an important role for economy of Indonesia and also potential to be developed to superior export product. However, to become an exporter, SME constrained by certification issues of Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) as one of the requirements for exporting products to developed countries. Syafrida is an SME engaged in the snack production, which currently working to develop its export market. Observations show that constraints to compliance with HACCP requirements are nonstandardized layout of production floor, irregular setting of working facilities, erratic production time, and inadequate sanitation systems. Therefore, evaluation of existing work system and its improvement are needed. Approaches used are the seven principles of HACCP which hereinafter as the input for facilities planning, standard time determination using stopwatch time studies, and simulation for testing the proposed solution. Results show that output of existing system and proposed solution has the same number yet better quality of finished product for proposed solution. It shows that proposed solution do not affect the existing systems and feasible to implement. Keywords : SME, Work System Design, Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), Facilities Planning, Stopwatch Time Study, Simulation
1.
Pendahuluan Usaha Kecil Menengah (UKM) memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Jatim (2009), sektor UKM dan koperasi menyumbang lebih dari setengah yaitu 53,32% dari total
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia pada tahun 2009 yang mencapai Rp 621 triliun. Dari gambar 1, terlihat bahwa UKM dalam peranannya terhadap perekonomian nasional adalah sangat penting dibandingkan dengan usaha besar sekalipun. UKM juga memiliki kontribusi terhadap ekspor suatu
negara. Berikut merupakan data BPS yang menunjukkan susunan komposisi PDB nasional pada tahun 2009, yaitu :
Gambar 1 Grafik Komposisi PDB Nasional Tahun 2009 (BPS Provinsi Jawa Timur, 2011)
Berdasarkan Berita Resmi Statistik (2004), peran UKM terhadap ekspor non migas nasional sebesar 19,9% (setara dengan Rp 75,86 triliun) pada tahun 2003. Beberapa produk unggulan terbanyak adalah pada produk kerajinan, pakaian jadi (garmen), dan makanan/minuman. Namun, produk unggulan UKM yaitu pada produk makanan/minuman tidak berkorelasi positif dengan nilai ekspor makanan ringan yang menempati urutan tiga terbawah dari komoditas produk. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kendala bagi perkembangan UKM yang bergerak di bidang pangan. Salah satu permasalahan tersebut antara lain produk makanan/minuman UKM belum memenuhi sertifikasi Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) sebagai salah satu syarat ekspor (Hafsah, M.J., 2004). Sertifikasi HACCP merupakan minimum requirement agar suatu produk pangan dapat diekspor ke pasar dunia seperti Eropa, Amerika, Jepang, dan negara lain yang menerapkan persyaratan ketat terhadap kesehatan, keamanan, dan higienitas makanan (Zuhri, 2009). HAACP merupakan sistem jaminan mutu yang mendasarkan pada kesadaran bahaya (hazard) yang bermula dari berbagai titik atau tahapan produksi tertentu sehingga perlu dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya yang mungkin terjadi. HACCP juga sangat penting terutama sebagai akses untuk menembus pasar internasional. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Syafrida merupakan UKM yang bergerak di bidang makanan terutama jenis snack atau makanan ringan. Beberapa produk yang dijual antara lain jenis kacang-kacangan (mente, atom,
kapri, koro), jagung, keripik (kentang dan bentul), kerupuk, belinjo, dan beberapa jenis lainnya. Saat ini, UKM Syafrida berencana untuk melakukan ekspansi daerah pemasaran sampai dengan ekspor ke negara lain. Namun untuk mengadakan perluasan ke negara lain, UKM masih terkendala dengan diharuskannya memiliki sertifikat HACCP. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala terkait dengan upaya mendapatkan sertifikat HACCP. Beberapa kendala tersebut ditinjau berdasarkan infrastruktur dan sistem. Permasalahan yang terkait dengan infrastruktur yaitu tata letak lantai produksi yang belum standar dan masih tersusun seperti dapur pada industri rumahan pada umumnya (gambar 2) serta pengaturan fasilitas kerja yang tidak teratur sesuai urutan proses produksinya. Sedangkan permasalahan yang terkait dengan sistem yaitu masalah sistem jaminan kebersihan yang belum memadai dengan kurangnya fasilitas sanitasi dan baju produksi seperti penutup kepala, masker, dan sarung tangan, waktu produksi yang tidak menentu sehingga belum dapat terukur jumlah produktivitas per bulannya, serta penggunaan alat dan mesin yang belum digunakan secara optimal yaitu terdapat beberapa mesin yang jarang atau bahkan tidak lagi digunakan sehingga hanya tersimpan saja di gudang.
Gambar 2 Lantai Produksi
Berdasarkan permasalahan yang terdapat pada UKM, pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi terhadap sistem kerja eksisting dan merancang sistem kerja perbaikan berdasarkan HACCP yang sesuai dengan level unit usaha, dan selanjutnya diharapkan mampu memberikan informasi dan usulan perbaikan mengenai sistem kerja yang sesuai standar HACCP.
2
Ruang lingkup yang digunakan dalam pembahasan penelitian antara lain adalah terdiri dari batasan dan asumsi. Batasan yang digunakan antara lain : 1. Aspek yang diamati pada operasional perusahaan yaitu proses, waktu proses, dan tata letak UKM. 2. Pengamatan dilakukan pada unit produksi pusat yaitu rumah utama UKM dan produk yang diamati adalah kacang mete. 3. Aspek mengenai analisis biaya tidak diperhatikan pada rancangan sistem kerja perbaikan. Adapun asumsi yang digunakan adalah rata-rata output produksi dan volume penjualan perbulan pada data historis UKM mampu merepresentasikan keadaan sebenarnya dan tidak terjadi perubahan kebijakan pada saat pengamatan dilakukan. 2.
Metodologi Penelitian Metodologi penelitian ini meliputi tahapantahapan proses penelitian yang dilakukan dalam melakukan penelitian agar proses penyusunan penelitian dapat sistematis, terstruktur, dan terarah. 2.1 Tahap Pendahuluan Dalam penelitian ini, tahap pendahuluan terdiri dari identifikasi dan perumusan masalah, penetapan tujuan penelitian, studi literatur, dan studi lapangan. Tahap identifikasi dan perumusan masalah yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap lantai produki pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Syafrida. Dari pengamatan dan wawancara dengan pemilik usaha, ditemukan beberapa permasalahan yaitu belum adanya sertifikasi resmi yang dimiliki oleh UKM. Tidak adanya sertifikasi ini menyebabkan UKM tidak dapat melakukan ekspor ke negara lain karena hal tersebut merupakan suatu persyaratan ekspor. Selain itu, permasalahan lain telah diuraikan pada penjabaran sebelumnya.. Berdasarkan identifikasi permasalahan yang terdapat pada UKM, selanjutnya dilakukan penatapan tujuan penelitian yaitu melakukan evaluasi sistem kerja eksisting dan merancang sistem kerja perbaikan ditinjau berdasarkan prinsip HACCP dan perencanaan fasilitas sehingga dapat memenuhi standar HACCP bagi skala Unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Studi literatur mencakup studi terhadap beberapa jurnal dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan prinsip HACCP (Hazard And Critical Control Point), beberapa tinjauan umum mengenai bahan baku produksi yang digunakan (dalam hal ini adalah kacang mete dan air), metode perancangan fasilitas menggunakan Systematic Layout Planning (SLP), penentuan waktu standar dengan stopwatch time study, dan konsep simulasi. Sedangkan studi lapangan bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai permasalahan yang terdapat pada UKM, aktivitas kerja yang dilakukan, dan kondisi eksisting dari alat dan tata letak fasilitas. 2.2 Tahap Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data terdiri dari dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan mangamati secara langsung proses dan diagram alir produksi, layout produksi, pengukuran waktu aktual proses produksi, dan melalui media wawancara dengan pihak UKM. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan data historis mengenai bahan baku produk yang digunakan serta data historis penjualan atau output produksi yang dihasilkan 2.3 Tahap Pengolahan Data Pada tahap ini, data yang didapatkan diolah sesuai metode yang telah ditetapkan yaitu dengan prinsip-prinsip HACCP dan selanjutnya digunakan sebagai input pada pengolahan perencanaan fasilitas. Prinsip HACCP yang terdiri dari tujuh langkah yaitu : 1. Analisis bahaya dan identifikasi tindakan pencegahan. Identifikasi bahaya yang dilakukan adalah terkait kandungan mikrobiologi, kimia, dan fisika pada kandungan pangan serta berdasarkan pengamatan dan diskusi dengan ahli. Lalu tindakan pengendalian dilakukan untuk mengendalikan bahayabahaya tertentu dengan tindakan pengawasan. 2. Identifikasi titik-titik pengendalian kritis (Critical Control Point/CCP) Penentuan CCP pada sistem HACCP dapat dibantu dengan menggunakan bagan keputusan yang menyatakan pendekatan pemikiran yang logis.
3
3.
Penetapan batas kritis (critical limit) Penentapan batas kritis adalah sesuai dengan acceptance level atau reject level dari spesifikasi suatu bahan baku yang digunakan. 4. Penetapan prosedur pemantauan terhadap setiap CCP Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan terjadwal dari CCP yang dibandingkan terhadap batas kritisnya. Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali pada CCP. 5. Penetapan tindakan korektif Tindakan korektif dilakukan untuk memperbaiki sesuatu yang tidak sesuai batas kritis sehingga dapat memenuhi batas kritis penerimaan yang ditetapkan. Tindakan-tindakan harus memastikan bahwa CCP telah berada di bawah kendali. 6. Penetapan prosedur verifikasi Penentapan prosedur verifikasi, prosedur pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACP bekerja secara efektif. 7. Penetapan sistem pencatatan Pencatatan dan pembuktian yang efektif serta akurat adalah penting dalam penerapan HACCP. Prosedur harus didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi. Konsep perencanaan fasilitas adalah digunakan untuk merancang tata letak atau layout lantai produksi agar memenuhi standarisasi HACCP. 2.4 Tahap Perancangan Sistem Kerja Terdapat dua macam output yaitu pembuatan rancangan HACCP dan perancangan tata letak (layout) dan fasilitas. Pembuatan rancangan HACCP antara lain terdiri dari penentuan titik kritis (CCP), tindakan koreksi terhadap penyimpangan, dan Standard Operational Procedure (SOP) untuk tiap titik yang dianggap dapat menimbulkan bahaya sebagai upaya pencegahan dari kondisi yang lebih buruk. Sedangkan perancangan tata letak
(layout) dan fasilitas adalah berupa layout lantai produksi. Selanjutnya dari hasil yang didapatan tersebut lalu dilakukan pengujian dengan menggunakan simulasi dan input waktu standar proses. 2.5 Tahap Analisis Data Pada tahapan ini akan dilakukan analisis dan pembahasan mengenai rekomendasi perbaikan yang dipilih. Analisis di mulai dari analisis mengenai pengolahan data dan perancangan yang dilakukan yaitu rancangan HACCP serta perancangan tata letak (layout) dan fasilitas sampai dengan analisis terhadap usulan rekomendasi perbaikan sistem. 2.6 Tahap Penarikan Kesimpulan dan Saran Dari hasil analisis dan pembahasan tersebut, selanjutnya akan ditarik suatu simpulan untuk menjawab tujuan penelitian yang dilakukan. Selain itu, dilengkapi juga dengan saran dan rekomendasi yang dapat dijadikan bahan masukan bagi penelitian selanjutnya. 3.
Pengumpulan dan Pengolahan Data Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data sesuai dengan kondisi eksisting Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terutama pada lantai produksi. Kemudian data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan prinsip HACCP untuk selanjutnya digunakan sebagai input pada perencanaan fasilitas. 3.1 Identifikasi Kondisi Eksisting Pada penelitian ini, pengamatan dilakukan di UKM Syafrida. Kondisi eksiting ini selanjutnya menjadi acuan untuk melaksanakan penelitian terkait adanya gap antara standar yang ditetapkan dengan kondisi yang ada di UKM tersebut. 3.1.1 Profil Usaha Kecil dan Menengah UKM Syafrida merupakan UKM yang bergerak dalam bidang produksi makanan ringan. Beberapa produknya telah dipasarkan sampai pada supermarket besar seperti Hero dan Superindo. UKM Syafrida merupakan suatu Usaha Dagang yang berdiri pada tahun 1987 dengan pendirinya bernama Nur Fadilah. Dengan total karyawan saat ini sekitar 23 orang, terdiri dari 8 orang pria dan 15 orang perempuan. Latar belakang karyawan yang bekerja pada UKM sangat beragam, mulai dari
4
ibu rumah tangga, warga sekitar yang menganggur, pemuda lingkungan sekitar, dan kerabat dari pemilik UKM. Dalam kaitannya dengan upaya memenuhi standarisasi HACCP, pada kondisi eksisting saat ini UKM telah terdaftar sebagai badan usaha dan mememiliki Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Surabaya. Selain itu, juga telah memiliki nomor usaha dari Departemen Kesehatan (Depkes). UKM Syafrida memiliki tiga rumah yang digunakan sebagai home industry. o Rumah 1 : sebagai pusat yang memproduksi, mengumpulkan bahan baku, dan mendistribusikan barang jadi. Rumah 1 ini merupakan tempat dilakukan penelitian dan memiliki luas 600m2 dengan panjang 60 m serta lebar 10 m. o Rumah 2 : berfungsi untuk membantu rumah 1, lebih terfokus pada tempat penyimpanan plastik-plastik kemasan makanan dan terdapat satu mesin yaitu mesin untuk membuat jagung. o Rumah 3 : berfungsi sebagai toko sekaligus terdapat produksi penggorengan dengan skala kecil. Pada penelitian ini difokuskan pengamatan pada rumah 1 sebagai pusat produksi utama. Alamat rumah 1 ini terletak pada Jl. Manyar Sabrangan 79 Surabaya. Gambaran denah letak rumah 1 UKM dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3 Denah Lokasi UKM
3.1.2 Tata Letak Eksisting UKM Pengamatan dan pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada rumah utama UKM yang berperan sebagai pusat produksi. Rumah utama terdiri dari dua lantai yaitu lantai
pertama adalah pusat proses produksi dan lantai kedua terdiri dari kamar tidur dan ruang keluarga, walaupun masih terdapat ruang warehouse bahan baku sebagai tempat kardus packaging yang belum digunakan. Di bawah ini merupakan gambaran layout eksisting lantai produksi serta warehouse pada UKM.
Gambar 4 Tata Letak UKM Eksisting
Pada lantai produksi, keseluruhan area dan mesin yang digunakan untuk berproduksi berada pada wilayah khusus yang terpisah, namun untuk area packaging yang terdapat mesin seller di dalamnya dan mesin expired masih menjadi satu dengan warehouse produk jadi serta wilayah office yaitu meja administrasi. Selain itu, karena sifatnya yang masih home industry, area pribadi seperti kamar tidur masih berada menjadi satu dengan lantai produksi. Area pribadi inilah yang memisahkan lantai produksi dengan area packaging dan mesin expired tersebut. 3.1.3 Deskripsi Produk Produk yang dijual oleh UKM Syafrida terdiri dari 23 macam. Dari 23 produk yang dijual tersebut, hanya dua yang diproduksi sendiri yaitu yang berbahan dasar kacang mete dan jagung, sedangkan produk lainnya berasal dari pihak ketiga sebagai pemproduksi.
5
Penelitian ini difokuskan pada produk yang diproduksi sendiri dan merupakan produk unggulan karena sempat menembus pasar negara Selandia Baru serta memiliki kapasitas output terbesar (rata-rata 450 kg tiap bulan), yaitu kacang mete. Berikut merupakan deskripsi produk kacang mete yang dihasilkan.
Berikut merupakan gambar Operation Process Chart (OPC) kacang mete:
Tabel 1 Deskripsi Produk Nama Umum Bagaimana dikonsumsi
Tipe Kemasan/ Packaging
Lamanya umur produk
Dimana produk dijual Konsumen Konten Pada Label Kemasan
Karakteristik Induk
Storage & distribusi Bahan Baku Pembuatan
Syafrida Camilan Penambah Selera Diproses dan secara langsung dikonsumsi (tidak perlu dimasak sebelum dikonsumsi) - Plastik pack (100 gr) - Plastic Pack (200 gr) - Poly Prophylene and caligo bk (5 kg) - Poly Prophylene and caligo bk (10 kg) Kurang lebih 6 bulan, pada temparatur normal. (at ambient temperature). Pasar makanan dan supermarket Retailer, Umum - Tanggal Expired - Ingredient - Berat Produk - Kode barcode - Tempat produksi - Nomer usaha dari Depkes RI Fisik : Garing/Krispy, warna kecoklatan tidak gosong, ukuran panjang 2,5 cm lebar 1,5 cm dan diameter 0,7 cm, rasa asin dan gurih Suhu kamar/270C dan kondisi kering Kacang mete Bawang putih Garam Minyak goreng
3.1.4 Deskripsi Proses Pada fokus produk amatan yaitu kacang mete, terdiri dari langkah proses produksi untuk mengolah dari bahan baku kacang mete sampai dengan produk jadi kacang mete dalam kemasan yang siap untuk dijual. Langkah proses produksi tersebut digambarkan dalam Operation Process Chart (OPC) yang mencakup aliran proses produksi serta terdapat ukuran produk, nama proses, alat dan mesin yang digunakan, dan waktu proses yang didapatkan dari perhitungan waktu standar pada subbab selanjutnya. Berdasarkan gambar 3.3, proses produksi diletakkan di samping kanan simbol proses (lingkaran) dan di bawahnya diberi keterangan alat atau mesin yang digunakan untuk melakukan proses produksi. Input atau bahan baku yang digunakan untuk melakukan proses dituliskan sebagai keterangan pada garis yang masuk pada proses produksi. Waktu proses dituliskan pada samping kiri simbol proses.
Gambar 5 OPC Pembuatan Kacang Mete
3.2 Pelaksanaan HACCP Berikut merupakan penerapan tujuh prinsip HACCP pada kondisi UKM eksisting. Terdiri dari prinsip pertama yaitu identifikasi bahaya (penentuan bahaya dan penentuan signifikasi bahaya), prinsip kedua penentuan titik Critical Control Point (CCP), dan prinsip ketiga sampai dengan prinsip ketujuh yang terangkum dalam tabel penyelesaian model HACCP. 3.2.1 Penentuan Bahaya Penentuan bahaya merupakan prinsip 1 HACCP yang dilakukan untuk memudahkan prinsip 2 yaitu identifikasi CCP (Critical Control Point). Bahaya yang dianalisis meliputi bahaya biologi (mikroba), bahaya kimia, dan bahaya fisik. Penentuan jenis bahaya didapatkan dari studi literatur mengenai uji laboratorium terhadap bahan baku terkait, melalui brainstorming dengan pihak expert dalam hal
6
ini adalah sharing dengan trainer pelatihan HACCP, dan melalui wawancara dengan pihak UKM serta melakukan pengamatan langsung mengenai kemungkinan bahaya yang terjadi. Sedangkan penentuan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi agar bahaya tidak muncul adalah didapatan melalui studi literatur dan melalui brainstorming dengan pihak expert. Analisis bahaya dilakukan secara spesifik untuk tiap bahan baku dan proses produksi. Bahan baku yang digunakan yaitu kacang mete dan air, sedangkan proses produksi adalah sesuai langkah proses yang tercantum pada gambar 5 mengenai OPC pembuatan kacang mete. Berikut merupakan tabel proses penerimaan bahan baku dan bahaya potensial yang dapat ditimbulkan. Tabel 2 Proses Penerimaan Bahan Baku Kacang Mete dan Bahaya Potensialnya Bahaya Jenis Bahaya Sumber Bahaya Tindakan Pencegahan B/K/F*) Kelembapan udara • Certificate of Analysis Mikrobiologi B dan udara bebas, (COA) patogen proses pembusukan • Analisis laboratorium Proses menghilangkan • Certificate of Analysis Residu pestisida K hama dan proses (COA) dan Afltaoksin pembusukan • Analisis laboratorium • Check list Plastik dari • Certificate of Analysis kemasan bahan Proses pengiriman (COA) baku, kotoran dari dari supplier sampai F • alat transportasi dengan penerimaan di Inspeksi/sortir baik dengan manual/visual pengiriman (mur, UKM maupun dengan alat baut, kerikil) (mesin separator)
*) Keterangan : B : Bahaya Biologi (Mikrobiologi) K : Bahaya Kimia
F : Bahaya Fisik
3.2.2 Penentuan Signifikasi Bahaya Penentuan signifikasi bahaya dibuat berdasarkan potensi bahaya yang berhubungan dengan bahan baku yang diolah maupun dengan proses pengolahan tersebut. Data analisis bahaya ini dibuat berdasarkan identifikasi bahaya bahan baku dan proses yang telah ditampilkan pada subbab 3.2.1. Penentuan signifikasi didapatkan dari penarikan kesimpulan atas peluang terjadi bahaya dan tingkat keparahan yang ditimbulkan yang dikategorikan dalam tiga tingkatan yaitu Rendah, Sedang, dan Tinggi (Low, Medium, High). Berdasarkan perpotongan tingkat kejadian dengan tingkat keparahan, dapat ditarik
kesimpulan bahaya dikatakan kurang signifikan, cukup signifikan, dan bahaya signifikan. Bahaya signifikan merupakan bahaya yang harus segera mungkin dilakukan tindakan pencegahan agar dapat mengurangi maupun mencegah timbulnya bahaya yang selanjutnya dilakukan identifikasi titik pengendalian kritis. Berikut merupakan tabel penentuan signifikasi untuk proses penerimaan bahan baku yang dilakukan untuk masing-masing bahaya. Tabel 3 Penentuan Signifikasi Bahaya (Proses) Bahaya*
B
K
F
Peluang Keparahan Tindakan Terjadi Signifikansi L/M/H** Pencegahan L/M/H** • Certificate of Cukup signifikan, Analysis Mikrobiologi M L karena (COA) patogen tingkat • Analisis kejadian laboratorium • Certificate of Signifikan, Residu Analysis karena pestisida dan L (COA) H tingkat aflatoksin • Analisis keparahan laboratorium • Check list • Certificate of Cukup Analysis Plastik dari signifikan, (COA) kemasan L M karena • Inspeksi/sortir bahan baku, tingkat manual/visual kotoran lain keparahan dan alat (mesin separator) Penyebab Bahaya
Keterangan : *) Jenis bahaya : B = Biologi, K = Kimia, F = Fisik **) Tingkat Peluang Terjadi dan Tingkat Keparahan : L = Low, M = Medium, H = High
3.2.3 Identifikasi Titik-Titik Pengendalian Kritis (Critical Control Point/CCP) Penentuan CCP pada penelitian adalah dengan menggunakan pohon keputusan CCP (decesion tree analysis) yang berisi langkah pertanyaan-pertanyaan yang akan menentukan apakah suatu tahap dengan bahaya signifikan tertentu merupakan CCP atau bukan dan diverifikasi oleh judgement expert. Pohon CCP yang berisi pertanyaan berbeda antara langkah pertanyaan untuk bahan baku dengan langkah pertanyaan untuk proses. Berdasarkan penentuan signifikasi bahaya yang telah didapatkan pada subbab 3.2.2, pertanyaan-pertanyaan pada pohon keputusan CCP hanya diaplikasikan pada tahap yang ditentukan sebagai bahaya signifikan. Berikut merupakan gambar pohon keputusan (decision tree analysis) CCP untuk proses produksi.
7
Gambar 6 Decision Tree Process (NACMCF, 2007)
Berikut merupakan tabel identifikasi titiktitik pengendalian kritis untuk proses penerimaan bahan baku. Tabel 4 Penentuan CCP untuk Proses Penerimaan Bahan Baku Proses
Peneri maan bahan baku
Bah aya
K
Peny ebab Baha ya
Resid u pestis ida dan aflato ksin
Kateg ori Resiko / Signifi kasi
Signifi kan, karena tingkat kepara han yang ditimb ulkan
P 1
P 2
Y Y
P 3
P 4
Gambar 7 CCP Pada OPC Kacang Mete
Sta tus CC P
Alasan Keputus an
CC P4
Karena proses ini adalah tahapan yang dirancan g secara khusus untuk menghil angkan atau mengura ngi bahaya
Berikut merupakan OPC yang menunjukkan proses yang termasuk dalam CCP yang ditunjukkan dengan proses berwarna merah.
3.2.4 Penyelesaian Model HACCP Setelah ditentukan dua prinsip HACCP yaitu identifikasi bahaya dan penentuan CCP, lalu perlu ditetapkan prinsip-prinsip selanjutnya yaitu penentuan critical limit atau batas kritis (prinsip 3), monitoring/pemantauan (prinsip 4), corrective action/tindakan perbaikan (prinsip 5), record keeping/pencatatan (prinsip 6), dan verifikasi (prinsip 7). Penerapan prinsip 3 sampai dengan 7 adalah dilakukan hanya pada bahaya dan proses yang merupakan CCP. Prinsip 3 yang merupakan batas kritis tiap CCP merupakan batas dimana produk dikatakan aman dan tidak aman yang nilainya didapatkan dari literatur. Pada penelitian ini batas kritis didapatkan dari rekomendasi FAO atau WHO dan rekomendasi SNI mengenai range batas yang terukur.
8
Prinsip 4 merupakan sistem monitoring atau pemantauan yng dilakukan terhadap CCP yang berisi 4W1H yaitu apa produk yang dipantau, dimana atau pada proses apa pemantauan dilakukan, bagaimana proses pemantauan berjalan, kapan atau berapa kali frekuensi dalam melakukan pemantauan, dan siapa yang bertugas melakukan pemantauan. Pada penelitian ini yang dipantau sebagian besar adalah kacang mete dari sebelum maupun sesudah dikemas, air, dan bahan plastik packaging. Prinsip 5 merupakan tindakan koreksi yang dilakukan terhadap produk atau proses apabila terdapat kecenderungan batas kritis terlampaui. Beberapa hal terkait dengan tindakan koreksi antara lain melakukan proses selanjutnya dengan kondisi tertentu karena bahaya masih dapat ditoleransi, melakukan proses down grade atau penurunan kualitas produk akhir yang dapat digunakan untuk proses lain dan melakukan proses reject atau dibuang karena cemaran tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat dilakukan down grade. Prinsip 6 merupakan penentuan verifikasi yang mencegah kejadian tersebut agar tidak terjadi lagi. Terdapat dua hal yang diperhatikan dalam melakukan proses ini yaitu apa proses verifikasi yang dapat dilakukan dan siapa yang bertanggung jawab untuk melakukannya. Prinsip 7 merupakan sistem dokumentasi yang didalamnya menyimpan bukti bahwa sistem telah terlaksana dengan baik. Dokumentasi juga dapat dikatakan penyimpanan/record pelaksanaan HACCP sebelumnya terutama pada proses verifikasi. Berikut merupakan tabel penyelesaian model HACCP untuk proses penerimaan bahan baku : Tabel 5 Model HACCP (Prinsip 1-3) Prinsip Prinsip 1 Prinsip 3 2 Bahan Baku/ Proses
Bahaya
Tindakan Pencegahan
• Certificate K of Analysis (Residu Penerimaan (COA) pestisida bahan baku • Analisis dan aflatoksin) laboratoriu m
CCP
Batas Kritis
Rekomendasi FAO/ WHO untuk CCP4 insectisiders and farm/gants
Tabel 6 Model HACCP (Prinsip 4) Prinsip 4 Pemantauan Apa
Dimana
Penerimaan Kacang bahan baku mete dan di lab
Bagaimana
Kapan
Pemeriksaan COA, inspeksi produk, dan Setiap analisis kedatangan kimia truk sampel produk di lab.
Siapa
Operator penerima dan Operator lab
Tabel 7 Model HACCP (Prinsip 5-7) Prinsip 5
Prinsip 6
Tindakan Koreksi
Verifikasi (Apa & Siapa) • COA dan hasil analisis lab
• Bila masih dapat ditoleran si maka konfirma si ke pihak supplier • Reject bila tidak dapat ditoleran si dan terdapat aflatoksi n
Prinsip 7 Dokumentasi • COA • Unloading report • Report of analysis
Manajer UKM, Quality Control
4.
Perancangan Sistem Kerja Perancangan sistem kerja merupakan output pada penelitian ini. Beberapa rancangan sistem kerja ini terdiri dari rancangan HACCP yaitu penentuan Critical Control Point yang telah didapatkan dari pengolahan HACCP, Standar Operational Procedure yang berisi langkah operasi kerja yang aman yang berisi tindakan pencegahan yang dilakukan pada identifikasi bahaya, perancangan tata letak fasilitas produksi yang sesuai dengan rekomendasi berdasarkan prinsip HACCP, dan output hasil secara kuantitatif apabila rancangan sistem kerja perbaikan diterapkan dengan simulasi 4.1 Perencanaan Fasilitas Pada perencanaan fasilitas, akan didapatkan rancangan layout yang sesuai untuk mengatasi permasalahan dan memenuhi prosedur yang berlaku sesuai HACCP. Perbaikan layout dilakukan dengan
9
menggunakan pendekatan metode prosedural Systematic Layout Planning (SLP). Sebelum melakukan pengolahan dengan SLP, terlebih dahulu dilakukan penetapan fasilitas dan kebutuhan ruang sehingga di dapat luas tiap ruangan. Berikut merupakan beberapa fasilitas eksisting ditambahkan dengan fasilitas perbaikan sesuai hasil pengolahan HACCP. Tabel 8 Penetapan Fasilitas UKM No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Fasilitas Areal parkir/loading unloading produk Warehouse Raw Material Warehouse WIP Warehouse Produk Jadi Tempat cuci tangan pekerja Ruang ganti pekerja Kamar Mandi Ruang/area office (admin, meeting, QC) Tempat pengupasan kulit luar Tempat menjemur bahan baku Tempat oven Tempat pembumbuan awal Tempat penggorengan wajan Tempat mesin penggorengan Tempat penerisan minyak Tempat pendinginan Tempat pengaduk bumbu Tempat packaging produk Tempat seller Tempat pembuat kode expired Mushola Pantry Tempat sanitasi/pencucian alat produksi Taman
Hasil perhitungan kebutuhan ruang yang dihitung berdasarkan dimensi tiap fasilitas pada tiap ruang produksi dengan mempertimbangkan aisle, didapatkan kebutuhan luas untuk tata letak eksisting adalah 599,93 m2 yang sesuai dengan luas eksisting yaitu 600 m2. . Selanjutnya dilakukan pengolahan sesuai urutan pada metode SLP. Langkah pertama adalah pembuatan diagram ARC (Activity Relationship Diagram) yang menggambarkan hubungan kedekatan antar fasilitas, mesin, dan ruangan sesuai dengan pendefinisian alasan dan penjabaran kode kedekatan. Wilayah yang harus berdekatan merupakan wilayah dengan proses saling berurutan dan harus didekatkan untuk meminimalisir terjadinya potensi bahaya dari lingkungan serta area yang digunakan pada proses sebelum melalui proses CCP tidak boleh berdekatan atau mengalami kontak dengan area setelah proses CCP karena hal tersebut akan menyebabkan proses kontaminasi silang. Langkah kedua adalah pembuatan Diagram ARD ini menggambarkan hubungan kedekatan
antara fasilitas, mesin, dan ruangan melalui simbol-simbol yang telah disepakati yaitu berupa garis dan warna tertentu Penggambaran ARD dilakukan dengan menampilkan hasil yang bersifat mutlak baik untuk didekatkan maupun untuk dijauhkan berdasarkan hasil rekap ARC Terlihat pada gambar diagram ARD bahwa pada garis yang berwarna merah, wilayah-wilayah tersebut mutlak untuk didekatkan. Sedangkan bagi garis yang berwarna coklat menyatakan bahwa wilayah tersebut tidak boleh berdekatan.
Gambar 8 ARD (Activity Relationship Diagram)
Langkah ketiga adalah pembuatan Space Relationship Diagram yang melanjutkan hasil ARD sebelumnya dan memasukkan hasil perhitungan luas yang didapatkan sebelumnya. Berikut merupakan hasil tata letak UKM perbaikan :
Gambar 9 Tata Letak Perbaikan UKM
10
Gambar 9 Tata etak Perbaikan UKM Lanjutan
4.2 Penetapan Waktu Standar Penetapan waktu standar, digunakan untuk mengetahui waktu produksi dan material handling proses kerja. Untuk mendapatkan waktu standar operasi kerja, dilakukan beberapa langkah yaitu pengambilan data kondisi eksisting, selanjutnya dilaukan uji keseragaman data dan uji kecukupan data, lalu ditentukan performance rating, dan didapatkan waktu standar yang dibutuhkan untuk melakukan operasi kerja. berikut merupakan rekap waktu standar hasil pengolahan dengan metode stopwatch time study : Tabel 9 Hasil Perhitungan Waktu Standar
4.3 Simulasi Simulasi diperlukan untuk mengetahui jalannya sistem tanpa mempengaruhi jalannya sistem tersebut. Pada saat merancang software Arena, terlebih dulu harus diketahui mengenai distribusi waktu tiap proses. Waktu tiap proses serta waktu material handlingnya didapatkan dari penentuan waktu standar. Waktu tersebut kemudian dikonversi ke dalam input analyzer
yaitu tools dalam Arena yang digunakan untuk mengetahui distribusi data waktu yang digunakan. Rancangan model arena pada sistem eksisting dan sistem perbaikan adalah sama karena urutan proses kerja dan material handling adalah sama. Begitu juga dengan waktu proses antara sistem eksisting dan sistem perbaikan. Perbedaan hanya pada waktu material handling karena jarak antara proses kerja di sistem eksisting dan sistem perbaikan berbeda sesuai dengan layout perbaikan yang diusulkan. Waktu material handling perbaikan didapatkan dengan menggunakan rumus s= v.t. Dimana pada kondisi eksisting, didapatkan jarak (s) antar stasiun kerja dari hasil pengukuran dan didapatkan waktu (t) material handling berdasarkan hasil pengamatan. Jika jarak dan waktu untuk tiap proses diketahui, maka didapatkan kecepatan (v) untuk tiap material handling antar stasiun yang dilakukan. Dengan kecepatan yang diasumsikan sama dan dengan pengukuran jarak perbaikan, didapatkan waktu material handling perbaikan. Selanjutnya, dilakukan pengujian terhadap hasil model arena yaitu dengan melakukan verifikasi dan validasi. Uji verifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan tools run-check pada software Arena atau dengan menekan tombol F4 pada keyboard. Berikut merupakan tampilan monitor ketika dilakukan verifikasi pada model Arena.
Gambar 10 Verifikasi Model Arena
Sedangkan uji validasi merupakan pengujian yang dilakukan dengan perhitungan statistik. Uji validasi dilakukan dengan metode paired-t confidence interval yang membandingkan antara program pada model eksisting dengan real system. Berikut
11
merupakan tabel yang menggambarkan perbandingan hasil output pada real system dengan hasil simulasi eksisting.
nilai hw yaitu 66,471. Berikut merupakan rentang signifikan perbandingan kedua model
Tabel 10 Perbandingan output real sistem dengan simulasi eksisting (satuan kg)
− 1,2 − 66,471 ≤ µ(1− 2 ) ≤ −1,2 + 66,471
x(1− 2 ) − hw ≤ µ(1− 2 ) ≤ x(1− 2 ) + hw
− 67,671 ≤ µ(1− 2 ) ≤ 65,28 Karena nilai 0 berada dalam rentang µ1 − µ2, maka dapat dikatakan µ1=µ2 yang berarti terima H0. H0 merupakan kondisi dimana µ1 dan µ2 adalah sama. Kesimpulannya bahwa model eksisting sama dengan model rekomendasi perbaikan. 5.
Dengan level signifikan α = 0,05 dan nilai t yang didapatkan dari tabel student-t
tn −1,α / 2 = t4, 0.025 = 3,495
, maka didapatkan nilai hw yaitu 18,998. Berikut merupakan perhitungan rentang signifikan dengan confident interval 95% :
x(1− 2 ) − hw ≤ µ(1− 2 ) ≤ x(1− 2 ) + hw
6,2 − 18,998 ≤ µ(1− 2 ) ≤ 6,2 + 18,998 − 12,8 ≤ µ(1− 2 ) ≤ 25,2 Karena nilai 0 berada dalam rentang µ1 − µ2, maka dapat dikatakan µ1 − µ2 = 0. Sesuai dengan dasar teori bahwa H0: µ1=µ2, maka keputusan yang diambil adalah terima H0. H0 merupakan kondisi dimana µ1 dan µ2 adalah sama. Kesimpulannya bahwa model real system sama dengan model simulasi eksisting yang telah dibuat. Selanjutnya, uji validasi dilakukan menggunakan teknik comparing system dengan menggunakan pendekatan Bonferroni yang membandingkan antara model eksisting dengan model perbaikan. Tabel 11 Perbandingan simulasi sistem eksisting dengan perbaikan (satuan kg)
Dengan formulasi rumus hw yang sama dan dengan menggunakan α/3=0,02, didapatkan
Analisis Data Analisis yang dilakukan adalah berdasarkan perancangan sistem kerja terhadap HACCP beserta rekomendasi sistem perbaikan dari pengolahan data yang telah dilakukan. 5.1 Analisis Rancangan HACCP Berdasarkan hasil pengolahan mengenai penentuan CCP untuk bahan baku dan proses, didapatkan sepuluh bahaya yang memiliki status CCP. Bahaya tersebut antara lain : 1. Residu pestisida pada bahan baku kacang mete 2. Aflatoksin pada bahan baku kacang mete 3. Logam berat pada air 4. Residu pestisida dan aflatoksin pada proses penerimaan bahan baku 5. Mikrobiologi patogen pada proses penggorengan 6. Bahan pengemas dan tempelan stiker untuk merk pada proses packaging produk 7. Benda asing seperti rambut dan logam pada proses packaging produk 8. Jamur dan mikrobiologi pathogen (kapang dan bakteri) pada proses penyimpanan produk 9. Aflatoksin pada proses penyimpanan produk 10. Serangga dan hewan pengerat pada proses penyimpanan produk Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan dan pengumpulan data yang telah dilakukan, terdapat gap antara kondisi eksisting dengan perancangan HACCP untuk mengatasi titik-titik kritis di atas. Gap tersebut antara lain : 1) Pada proses penerimaan bahan baku, walaupun telah terdapat proses inspeksi, namun inspeksi yang dilakukan masih secara manual oleh operator melalui visual untuk melihat kondisi busuk tidaknya
12
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
kacang mete. Tetapi tidak ada jaminan dari supplier yaitu tidak memiliki COA serta tidak dilakukan uji laboratorium guna mengetahui kandungan yang tidak terlihat (mikrobiologi dan kimia). Kualitas air yang digunakan sebagai sanitasi atau pencucian bahan baku adalah air bersih yang berasal dari air ledeng PDAM, tanpa dilakukan uji laboratorium guna mengetahui kandungan di dalamnya. Pengaturan mengenai suhu telah dilakukan yaitu dengan menggunakan bantuan alat termometer dan pengaturan waktu bagi penggorengan telah sesuai yaitu sampai masak sekitar 2 jam. Namun, belum pernah dilakukan pengujian guna menguji kandungan mikroba di dalamnya. Kemasan plastik packaging adalah pada supplier yang tidak memiliki sertifikat plastik yang aman bagi makanan dan belum pernah dilakukan uji kandungan kimia. Inspeksi pada packaging hanya melalui visual operator yang mensortir jika ada produk yang remuk dan ada tidaknya kotoran lain. Belum terdapat alat inspeksi metal detector untuk mengetahui kemungkinan kontaminasi karena mesin sebagian besar berbahan dasar logam. Tidak adanya SOP bagi operator sebelum memasuki ruang produksi. Sebagian operator telah menggunakan masker dan penutup kepala tapi hanya pada operator di bagian packaging karena keterbatasan fasilitas dan tidak adanya ruang ganti. Penggunaan sistem FIFO telah sebagian besar diterapkan namun bagi pembersihan dan pemantauan suhu serta kelembapan secara teratur belum dilakukan. Pada infrastruktur, lantai produksi berada pada tempat yang terbuka tanpa adanya penutup sehingga benda asing dan hewan lain bisa saja mencemari produk. Selain itu, pengaturan tata letak yang belum teratur dan berurutan menyebabkan berpeluang terjadinya kontaminasi silang. Hal ini ditunjukkan pada gambar 4.13 Layout UKM eksisting. Prosedur pencatatan telah dilakukan secara tertur namun masih hanya sebatas penerimaan barang, keuangan, dan pengiriman barang. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kualitas dan kebersihan
produk seperi laporan pengujian dan maintenance masih belum dilakukan. 10) Prosedur sistem reject dilakukan pada produk yang telah busuk dengan membuangnya di tempat sampah dan bagi produk yang remuk di down grade dengan menjualnya dengan harga yang lebih murah kepada penjual kue. 5.2 Analisis Rekomendasi Perbaikan Berdasarkan pengolahan dan analisis data mengenai evaluasi sistem eksisting, didapatkan beberapa alternatif perbaikan terhadap kondisi eksisting dalam upaya memenuhi HACCP. Rekomendasi perbaikan yang diusulkan adalah berkaitan dengan kondisi dalam jangka waktu dekat dapat diterapkan oleh UKM. Beberapa usulan perbaikan tersebut antara lain : 1. Re-layout lantai produksi yang membedakan pintu antara aliran keluar masuk pekerja dengan material serta tata letak lantai produksi yang sesuai dengan aliran proses 2. Rancangan Standar Operational Procedure pada tiap proses produksi 3. Penambahan ruang sanitasi khususnya bagi pekerja yaitu wastafel cuci tangan dan kamar mandi 4. Adanya ruang ganti pekerja sebelum memasuki lantai produksi 5. Pakaian pekerja yang standar sebelum memasuki lantai produksi (sarung tangan, apron, masker, baju pekerja, penutup kepala) 6. Adanya pengawasan dan pengujian yang dilaksanakan secara berkala baik dari pihak internal dengan adanya departemen quality control maupun pihak eksternal bekerja sama dengan laboratorium yang menguji bahan makanan 7. Penggunaan alat inspeksi metal detector untuk mendeteksi adanya kandungan logam pada proses packaging 8. Penggunaan termometer dan rh meter untuk mengukur suhu serta kelembapan udara terutama pada warehouse. 9. Mencari informasi mengenai supplier yang memiliki Certificate of Analysis (COA) 6.
Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian, beberapa simpulan yaitu :
dapat
diambil
13
1. Beberapa faktor yang menjadi hambatan UKM dalam memenuhi HACCP adalah infrastruktur (tata letak) lantai produksi yang tidak standar, waktu produksi yang tidak menentu, pengaturan fasilitas kerja yang tidak teratur, dan jaminan kebersihan operator dan fasilitas produksi yang belum memadai. 2. Perancangan sistem kerja perbaikan untuk memenuhi HACCP adalah melalui tahap prinsip-prinsip HACCP dengan identifikasi Critical Control Point yaitu pada proses penerimaan bahan baku, penggorengan, packaging, dan penyimpanan kemudian hasil pengolahan HACCP menjadi input pada rancangan layout dan fasilitas yang selanjutnya dilakukan pengujian. 3. Rekomendasi sistem kerja perbaikan yang diusulkan antara lain adalah penentuan Critical Control Point (CCP) dan model HACCP, re-layout lantai produksi, perancangan Standar Operational Procedure, dan Good Manufacturing Practices. 4. Hasil pengujian dengan simulasi menunjukkan bahwa output jumlah produk yang dihasilkan antara sistem eksisting dengan sistem perbaikan adalah sama namun kualitas produk yang dihasilkan jauh lebih baik pada sistem perbaikan karena telah menerapkan prinsip HACCP. Saran yang dapat diajukan bagi pelaksanaan penelitian selanjutnya antara lain : 1. Penelitian dapat dilanjutkan dengan memperhatikan faktor biaya dan mengarah pada faktor efisiensi. 2. Perancang alat yang berhubungan dengan tindakan pencegahan bahaya seperti metal detector, mesin separator, dan pengusir hewan. 3. Penelitian dapat dilanjutkan dengan memperbaiki faktor manajemen seperti manajemen sumber saya manusia dan manajemen kompensasi yang mengatur masalah kepegawaian. 7. Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur 2011, Perkembangan Ekspor dan Impor Jawa Timur November 2010, Diakses pada tanggal 26 Januari 2011, http://www.jatimprov.go.id/index.php.
Badan Standarisasi Nasional 1998, Sistem Analisa Bahaya dan Pegendalian Titik Kritis (HACCP) Serta Pedoman Penerapannya, Jakarta : Badan Standarisasi Nasional, Diakses pada tanggal 28 Februari 2011, http://www.ebookpangan.com/EBOOK%20GRATIS/Ebook%20Pangan/sni %2001-4852-1998%20%20HACCP.pdf. Berita Resmi Statistik 2004, Indikator Makro Ekonomi Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2003, Berita Resmi Statistik No. 21/VII/24 Maret 2004, Diakses pada tanggal 16 Maret 2011, http://www.scribd.com/doc/49940573/ukm. Dinas Komunikasi dan Informatika 2009, BPS Tambah Survei UKM Mulai 2011, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Media Indonesia, Diakses pada tanggal 30 Januari 2011, http://www.depkop.go.id/index.php?option =com_content&view=article&id=487:bpstambah-survei-ukm-mulai2011&catid=50:bind-berita&Itemid=97. Garudafood 2009, HACCP Manual MM.0103.4.1, Quality Assurance Departement PT. Garudafood Putra Putri Jaya Divisi Biskuit, Diakses pada tanggal 1 Juli 2011, http://www.slideshare.net/ArvionWinchest er/manual-haccp-iso-22000 Hafsah, M.J. 2004, Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Infokop Nomor 25 Tahun XX 2004, Diakses pada tanggal 16 Maret 2011, http://www.smecda.com/deputi7/file_Infok op/EDISI%2025/pengemb_UKM.pdf. Harell, C Ghosh, Biman K, Bowden, & Royce 2003, Simulation Using Promodel ed 2nd, Mc Grow Hill. Heragu, S. 2006, Facilities Design (Second Edition), New York : iUniverse, Inc. Muslim, E. dan Dienni N. 2006, ‘Perancangan Metode & Tempat Kerja Bagian Packaging Produk Bumbu A di PT XYZ Dengan
14
Menerapkan Prinsip Ergonomi’, Prosiding Seminar Nasional Ergonomi-K3, Surabaya : Kampus ITS, pp.08-1 - 08-9. NACMCF 1997. Hazard Analysis and Critical Control Point Principle and Guidelines, National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF), Diakses pada tanggal 29 April 2007, http://www.cfsan.fda.gov/comm/nacmcfp.h tml Oktaviani, N. 2007. Kajian Pustaka Penerapan Sistem Analisis Hazard dan Titik Kendali Kritis (HACCP) Terhadap Penyediaan Air Bersih di Indonesia Studi Kasus IPAM Ngagel III PDAM Kota Surabaya, Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Pierson, M. D. and D. A. Corlett, Jr (eds) 1992, HACCP Principles and Applications, Chapman & Hall, Inc., New York. Rafinaldy, N. 2011, UKM Didorong Lempar Produk Ke Luar Negeri, Diakses pada tanggal 30 Januari 2011, http://www.kabarbisnis.com/anekabisnis/2 816458UKM_didorong_lempar_produk_ke _luar_negeri.html
Sudarmaji 2005, ‘Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point’ : Jurnal Kesehatan Lingkungan FKM UNAIR Vol 1 No. 20 Suharna, C. 2006, Kajian Sistem Manajemen Mutu Pada Pengolahan Ikan Jambal Roti di Pangandaran Kabupaten Ciamis, Semarang : Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Diakses pada tanggal 10 April 2011. http://www.uajy.ac.id/jurnal/jti/2000/4/3/p df/2000_4_3_6.pdf Wignjosoebroto, S. 2008, Teknik Tata Cara dan Pengukuran Kerja. Surabaya : Guna Widya. Wignjosoebroto, S. 2009, Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan (Edisi Ketiga). Surabaya : Guna Widya. Zuhri, S. 2009, Ekspor UKM Hadapi Hambatan Nontarif. Jakarta : Bisnis Indonesia. Diakses pada tanggal 11 Maret 2011. http://www.smecda.com/deputi7/BERITA %20KUKM/get8.asp?id=721
Rakhmawati 2008, Perbaikan Proses Produksi Pada Tepung Terigu Dengan Pendekatan Lean dan HACCP Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Produk (Studi Kasus : Pada PT. Bogasari Flour Mills Surabaya), Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Sari, I.D. 2006, Perancangan Sistem Kerja Yang Efektif Untuk Peningkatan Produktivitas Pada Departemen Stitching PT. Trisulack Pack Indah (Maspion Unit III), Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Schiber 1987, Why Lean need Simulation, The Institut of Electrical and Electronics Engineering.
15