Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah Oleh Saraswati
1
Abstrak Optimisme negara maju akan pulihnya ekonomi melalui peningkatan ekonomi nasional (GDP) pasca perang dunia ke II, telah menghasilkan konsep-konsep perencanaan pengembangan wilayah berupa penataan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan industri yang dikenal dengan Growth Pole dan Growth Center dengan asumsi penetesan perkembangan dan memicu daerah belakangnya (center periphery). Akan tetapi konsep ini lambat laun ditentang oleh berbagai konsep dan fakta di lapangan bahwa penetesan dan peningkatan PDB saja tidak mampu menjawab berbagai permasalahan kesejahteraan, keadilan, dan pertumbuhan itu sendiri. Optimisme tersebut bergeser ke arah perencanaan pembangunan yang menitik beratkan pada pentingnya nilai kesejahteraan, keadilan, pemerataan, dan pelibatan sumberdaya lokal. Perencanaan pembangunan yang pada awalnya lebih bersifat kebijakan dari “atas” atau Development from Above dan mengalami beberapa kegagalan, telah memunculkan gagasan perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan potensi lapisan bawah atau Development from Below. Development from Below ini sering juga disebut sebagai Bottom up planning atau Bottom up Approach dalam perencanaan pengembangan wilayah. Pertimbangan Kearifan Lokal dalam Perencanaan Wilayah, merupakan salah satu pengisian pelibatan sumberdaya lokal, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia dalam perencanaan pembangunan, karena di dalamnya ada landasan pengetahuan lokal (local knowledge) yang diperkirakan telah berkembang sebagai potensi perencanaan bagi masyarakat setempat dalam menghadapi persoalan wilayahnya. Paper ini mengantar untuk menjelaskan peranan kearifan lokal dalam pengembangan wilayah berbasis sumberdaya lokal. Kata Kunci : Kearifan Budaya Lokal, Perencanaan Pengembangan Wilayah.
1
Penulis adalah Dosen tetap pada Jurusan Teknik Planologi, Fakultas Teknik, Universitas Islam Bandung.
Jurnal PWK Unisba
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
1. Pendahuluan Pada awal perkembangannya, Perencanaan Wilayah (Regional Planning) dikemas sebagai salah satu upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi negara-negara yang hancur akibat Perang Dunia ke II, khususnya di negara-negara Eropa dan negara “barat” lainnya. Konsep industrial growth pole dan growth center yang menekankan pada pembangunan industri leading di wilayah paling strategis, peningkatan GDP (Gross Domestic Product), dan kebijaksanaan dari “atas” (development from above) dianggap sebagai salah satu cara ampuh untuk mempercepat pertumbuhan dan pemulihan ekonomi wilayah (Streeten, 1981; Singer, 1981). Akan tetapi kenyataannya kebijaksanaan tersebut telah menciptakan kesenjangan antar wilayah dan antar lapisan masyarakat yang semakin hari semakin besar, kesenjangan pendapatan per kapita yang semakin lebar, penghasilan penduduk perdesaan yang semakin menurun bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat perkotaan, dan permasalahan wilayah lainnya (Misra, 1981; O.M. Mathur, 1979, Fu Chen Lo & Kamal Shalih, 1978; Friedman & Douglass, 1978, Gunder, Frank, Baran, Amin, dalam Todaro, 1981). Keadaan di atas telah melahirkan suatu kritik terhadap pola pemikiran lama, bahwa GDP atau peningkatan ekonomi secara agregatif, belum mampu menjawab persoalan wilayah secara esensial, bahkan menimbulkan permasalahan baru yang tidak kalah peliknya. Hal ini terlihat pula pada saat terjadinya krisis multi dimensi di beberapa negara, khususnya negara berkembang seperti Indonesia dan Jurnal PWK Unisba
kawasan Asia lainnya. Pusat-pusat kegiatan ekonomi dan industri malah merupakan wilayah yang mendapatkan dampak paling besar dari krisis yang terjadi (Nurzaman, 2002). Oleh sebab itulah munculnya paradigma baru dalam perencanaan pengembangan wilayah yang lebih menekankan pada pengembangan lokal (local development) yang disambut baik sebagai wacana alternatif dalam menyelesaikan konflik ketimpangan antar wilayah, kesenjangan kesejahteraan, rasa keadilan, dan persoalan sosial ekonomi kemasyarakatan lainnya dalam peningkatan kinerja pengembangan wilayah.
2. Kritik
terhadap
Penerapan
Teori Perencanaan Wilayah Keterkaitan teori dan praktek pada akhirnya menjadi dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam perencanaan, dan menjadi sebuah disiplin yang terus berubah dan berkembang sesuai dengan aktivitas manusia yang membawanya agar semakin dekat dan sesuai dengan tuntutan aktivitas dan permasalahan wilayahnya (Alexander, 1986). Oleh sebab itu, baik secara ruang, aktivitas, manusia, dan berbagai elemen lokasi harus dipertimbangkan dalam proses perencanaan. Pengertian perencanaan wilayah (regional planning) atau pengembangan wilayah (regional development) telah mengalami banyak perkembangan. Pergerakan pemikiran pendekatan perencanaan wilayah mulai dibahas sejak tahun 1920 an pada saat pemikiran
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
pendekatan perencanaan wilayah dinyatakan secara formal (Friedman, 1978). Berdasarkan sejarah, konsep perencanaan wilayah muncul dan berkembang sebagai reaksi terhadap kondisi lingkungan yang buruk akibat revolusi industri yang terjadi saat itu, dan bukan berkembang atas teori khusus tentang perencanaan pengembangan wilayah. Keadaan ini mengilhami gagasan awal dalam keinginan untuk memiliki lingkungan hunian yang lebih baik dan lebih nyaman. Maka munculah konsep-konsep perkotaan yang lebih pantas untuk didiami. Konsep perkotaan ini tidak dapat diselesaikan secara sektoral dan oleh satu disiplin ilmu saja, akan tetapi membutuhkan kajian yang lebih luas dari sekedar sektoral, yaitu menyangkut ruang (spatial/space) yang lebih luas. Sehingga disinyalir bahwa kesadaran akan lahirnya konsepsi perencanaan wilayah atau regional planning adalah pada saat munculnya konsep utopian planning (Munford, Odum, Adam, 1925). Sejak saat itu pula konsep demi konsep bermunculan, di antaranya adalah konsep garden city dari Ebenezer Howard, spatial planning system (Perroux, Rondinelli, Boudeville, Cristaller,1950); dalam konsep Industrial Growth Pole, Growth Center, Center Periphery dan lain-lain. Tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah mahluk sosial di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial tersebut bukan hanya satu, melainkan setiap warga masyarakat dapat menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut, dan dalam masyarakat itu sendiri Jurnal PWK Unisba
kecenderungannya adalah membentuk kelas–kelas atau kelompok–kelompok sosial. Oleh Marxis, kelas-kelas tersebut dipandang sebagai kelompok individu atau kelompok kesatuan sosial yang pada dasarnya bukan ditentukan semata– mata oleh tempatnya dalam proses produksi maupun dalam bidang ekonomi, akan tetapi ditentukan oleh tempatnya dalam kesatuan praktek sosial dalam arti menurut tempatnya dalam kesatuan politik dan ideologi. (Poulantzas, dalam Gidden, 1987: 46). Oleh E Alexander, masyarakat dipandang sebagai bentuk organisasi yang satu dengan organisasi lainnya, di mana suatu organisasi dihubungkan oleh lokasi geografis (Alexander, dalam Catanese, 1984: 169). Hubungan ini diperkuat dengan adanya berbagai organisasi dan politik setempat sehingga membentuk suatu upaya perencanaan pada tingkat masyarakat. Sedangkan perencanaan seringkali diseting oleh fihak luar dengan anggapan bahwa secara konseptual masyarakat hanya tinggal melaksanakan konsep tersebut dengan sukarela. Inilah yang kemudian sering menghasilkan kegagalan perencanaan untuk berumur lebih panjang. Keadaan ini didukung juga oleh pendapat Ernest Alexander (Alexander,1986) yang menjelaskan tentang peran dan fungsi perencana untuk memahami bagaimana interaksi masyarakat terbentuk guna menghasilkan suatu keputusan. Pandangan pertama adalah apa yang disebut sebagai etilist, dimana pandangan ini melihat adanya keputusan–keputusan masyarakat sebagai produk dari sekelompok kecil individu–individu yang mempengaruh
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
dan seringkali mewakili dari golongan atas. Pandangan kedua memandang pengambilan keputusan masyarakat sebagai permainan pluralist dari berbagai kelompok kepentingan dari individu–individu yang berbeda. Pandangan ketiga yaitu yang memandang masyarakat sebagai gelanggang interaksi antara kelompok dan kepentingan yang melembaga atau terorganisir, dengan kebijaksanaan sebagai hasil dari strategi-strategi mereka. Pandangan–pandangan yang berbeda tersebut merupakan kerangka konseptual bagi perencanaan dalam konteks masyarakat, di mana konteks perencanaan berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya, antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya, dan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Oleh sebab itu perencanaan yang berbasis lokal akan dapat memberikan kesempatan adanya pandangan - pandangan baru di luar pemikiran para perencana. Perencanaan seringkali memberi terlalu sedikit akses terlibatnya pengetahuan lokal yang mungkin sebenarnya belum tertangkap sebagai perencanaan yang taat azas, atau sesuai dengan perilaku lingkungan masyarakatnya. Perencanaan juga seringkali memberi manfaat yang pendek, keadilan yang rendah, dan tidak membangkitkan multiflier lokal. Produk perencanaan seringkali juga sulit diterima, sulit difahami dan sulit dijalankan. (Widiarto, 2001). Dalam prosesnya, perencanaan nampak bergerak dari kesejahteraan daerah (place prosperity) ke kesejahteraan masyarakat (people prosperity), dari kesejahteraan ekonomi Jurnal PWK Unisba
(economic welfare) ke upaya-upaya pembangunan berkelanjutan (sustainablity), dan dari perencanaan authoritative ke pemberdayaan sosial (empowerment society). Pergerakan ini menandakan adanya kesadaran bahwa perencanaan tidak dapat diformulasikan oleh pihak perencana saja akan tetapi harus dikomunikasikan dengan berbagai lapisan terkait dengan membuka ruang yang luas bagi masyarakat atau publik. Dan perencanaan tidak sepantasnya selalu didominasi oleh kebijakan yang datangnya dari luar atau dari atas. Kebijakan dari atas pada dasarnya sering diartikan sebagai kontrol dan intervensi pemerintah yang sentralistis. Kontrol dan intervensi dari pemerintah seringkali menghasilkan “Goverment failure” (Widiarto, 2001). Keadaan demikian dapat menjadi bumerang bagi proses memaksimasi progress dan meminimasi konflik. Informasi yang mencukupi, rasionalitas yang memadai, tidak mendominasi, tidak banyak hambatan, dan memberi akses yang baik bagi setiap kalangan yang memerlukan. Oleh sebab itu di dalam perencanaan diperlukan “guiding norms” dan “public guidance”, serta sikap dan kemampuan perencana untuk memahami dan menterjemahkan paradigma yang terjadi dengan baik. sehingga pemahaman spatial planning dapat terhindar dari “goverment failure”.
3. Peranan Lokal
Kearifan dalam
Budaya
Perencanaan
Wilayah Kearifan atau kebijaksanaan yang secara kosa kata berpadanan
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
dengan kata “wisdom” dalam bahasa Inggris, mengandung arti perhimpunan kefilsafatan atau pengetahuan ilmiah (accumulated philosophic or scientific learning), yang juga diartikan sebagai “a wise attitude or course of action” (suatu tingkah laku yang bijaksana atau jalan tindakan yang benar). Dalam Webster’s new collegate dictionary 1979, dijelaskan bahwa dalam kata “wisdom” terkandung suatu pengetahuan ilmiah, yaitu suatu pengetahuan yang benar secara metodologis dan sistematis. Pengetahuan yang demikian dapat diterima oleh akal sehat (logika) dan dapat diuji secara empiris. Selanjutnya jika pengetahuan ini menyatu dengan kepribadian seseorang atau masyarakat, maka orang atau masyarakat tersebut cenderung bertingkah laku bijaksana. Tingkah laku bijaksana merupakan suatu wujud atau bentuk yang berasal dari pemikiran-pemikiran mendalam atau pertimbangan-pertimbangan yang sangat hati-hati, artinya suatu tingkah laku itu terjadi menurut keputusan akal pikiran. Dalam kearifan, yang pertama kali muncul adalah atas dorongan kemauan, pemahaman dan lalu disesuaikan dengan perasaan. Tingkah laku arif atau bijaksana ini mengandung nilai-nilai kebenaran (sebagai tuntutan akal pikiran), kebaikan (sebagai tuntutan kemauan), dan keindahan (sebagai tuntutan perasaan). Jadi tindakan arif atau bijaksana adalah tingkah laku yang benar, baik, dan indah. Dengan nilai kebenaran tercipta suatu tingkah laku secara tepat terarah kepada sasaran; dengan nilai kebaikan tercipta suatu perbuatan menjadi berguna; dan dengan nilai keindahan suatu perbuatan membuat kesemarakan, tidak memaksa, wajar, dan selalu Jurnal PWK Unisba
menarik bagi siapapun (Suhartono, 2004). Kearifan dapat dijadikan sumber ilmu dan diharapkan menjadi salah satu sumberdaya yang mampu berkontribusi terhadap krisis ilmu pengetahuan dan krisis metodologi dalam perencanaan pembangunan. Hal ini sejalan dengan prinsip utama perencanaan, yaitu harus dirancang untuk manusia (Human beings) (O’Harrow,1949 dalam Berger,1981), karena perencanaan tidak sekedar normatif (ought to be) atau bagaimana produk perencanannya (how planning is), tapi harus intrepretatif, aplikatif, adaptif dan pembelajaran (Friedman,1987) Habermas juga berpendapat bahwa perencanaan pembangunan secara esensial merupakan tugas moral yang fungsi utamanya adalah untuk membantu dalam membentuk dan menginterpretasikan norma-norma sosial. Oleh karena itu, maka perencana terutama harus mengembangkan kriteria dan metode-metode untuk menganalisa dengan tepat antara tindakan-tindakan yang mungkin untuk dilakukan dengan kebutuhan dasar manusia di lingkungannya. Di samping itu, perencana harus memperhatikan metodametoda yang tepat untuk memvalidasi konsensus yang dicapai dalam masalahmasalah yang dihadapi (Hemmens, 1980 : 2-3). Setiap manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, baik secara individu maupun kelompok selalu mempunyai cita-cita dan rencana karena adanya dorongan oleh pranata kehidupan yang ada di sekitarnya. Pranata kehidupan itu sendiri merupakan hasil akumulasi dari masyarakat sebagai orang dan kelompok yang mempunyai identitas
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
diri, yang dapat dibedakan antara kelompok orang yang satu dengan yang lainnya, serta hidup dalam suatu wilayah dan budaya tertentu yang terbentuk dari kelompok individu (Suparlan, 1998). Pranata inilah yang seringkali terabaikan, padahal di dalamnya dapat saja termuat pandangan perencanaan pembangunan yang baik dan sesuai. Inilah yang kemudian dapat dirangkum sebagai kearifan lokal dalam perencanaan. Definisi pengembangan wilayah saat ini secara fundamental harus dirubah. Pengembangan tidak lagi hanya sebagai penghormatan terhadap masalah memodernisasikan masyarakat yang tradisional, tidak lagi semata sebagai duplikasi intensifikasi energi dan sumberdaya alam, pembangunan yang terpisah dari pembangunan masyarakat. Pembangunan haruslah mengakui dan melibatkan keadaan lokal, menumbuhkan potensi perkembangan yang ada dan dibangkitkan secara internal, kontribusi institusi dan pengetahuan lokal. Keadaan ini harus inheren secara erat dengan keberlanjutan pembangunan. Hal ini didukung oleh pernyataan bersama dalam UNEP 1995 (Dowdeswell Quoted in UNEP 1995: 9, dalam Furze, Lacy, and Birckhead, 1996) sebagai berikut: “...pembangunan berkesinambungan hanya akan berhasil pada satu skala bilamana mereka memperhatikan faktorfaktor sosial budaya lokal yang mempengaruhi cara rakyat berinteraksi dengan lingkungannya. Faktor faktor tersebut mencakup Jurnal PWK Unisba
akses pada ..sumberdaya penting dan pertanyaan tentang pemberdayaan atau tingkat kontrol yang diusahakan rakyat terhadap sumberdaya tersebut, serta proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya alam wilayahnya. (Dietz, 1998:42) Demikian juga John Friedman (1965) menyatakan bahwa, dalam suatu tindakan perencanaan, maka perencana bergerak ke depan sebagai pribadi atau sebagai agen otonom. Dimana ukuran keberhasilannya akan banyak bergantung pada keterampilannya dalam melakukan hubungan antar pribadi. Perencanaan pembangunan wilayah pada dasarnya adalah sebuah kegiatan perencanaan yang berlangsung melalui proses kebudayaan yang terwujud di dalam dan melalui pranata sosial yang terdapat pada kehidupan penduduk di suatu wilayah (Suparlan, 1998: 25). Hal ini berdasarkan keyakinan bahwa nlainilai budaya setempat merupakan sumber inspirasi utama bagi terbentuknya semangat dan pengetahuan lokal (indigenous knowlendge), sehingga masyarakat lokal akan memiliki kemampuan untuk memperkuat daya adaptasinya (adaptive capacity) terhadap berbagai perubahan, baik internal maupun eksternal. Dengan demikin penduduk lokal dapat mengembangkan pranata sosial yang ada untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks tersebut, keberadaan pengetahuan lokal dalam
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
pembangunan sesungguhnya memiliki peran dan arti penting yang sejajar dengan pengetahuan ilmiah modern (Dietz, 1998:41). Sebagai sebuah sumberdaya, nilai-nilai budaya lokal dapat ditempatkan sebagai salah satu kekuatan penggerak (driving force) bagi kemajuan wilayah, terutama dalam mengembangkan kapabilitas, kompetensi, dan reputasi wilayah. Penguasaan nilai-nilai budaya lokal dapat dijadikan instrumen untuk menciptakan kepribadian dan mental penduduk yang senantiasa mau untuk terus belajar (learning nation). Proses pembelajaran ini penting agar dapat menciptakan daya saing suatu wilayah. Oleh karena itu proses kemajuan ekonomi lokal tidak dapat dipisahkan dari peningkatan kemampuan sumberdaya manusia (human capital). Kemajuan ekonomi seharusnya diintepretasikan sebagai refleksi dari kemajuan pengetahuan manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Kuznets (1966, dalam Alam, 1999) yang menyatakan bahwa kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu segera dipertimbangkan aspek lainnya seperti institusional, kultural, dan sosial sebagai capital stock pembangunan. Dalam prakteknya, pengelolaan pembangunan wilayah dan pengetahuan lokal (traditional knowledge) mempunyai keterkaitan yang cukup signifikan dengan konsep perencanaan wilayah. Banyak pengetahuan lokal yang sekarang menghilang secara cepat seiring dengan berpulangnya para pencetusnya (possessors). Menjadi catatan penting, bahwa sejalan dengan lenyapnya pengalaman praktis yang sebenarnya tanpa biaya ini, bersamaan Jurnal PWK Unisba
dengan berlalunya waktu, seharusnya menjadi pertimbangan yang arif, karena selain memberikan pengaruh pada keuntungan sosial ekonomi, juga pada industri dan pembelajaran sosial, dan juga merupakan esensi dari pembangunan itu sendiri. (Johannes, 1989. h 9, dalam Kay and Alder, 1999, h. 132). Sangat banyak wilayah yang memiliki kelompok budaya yang berbeda antar satu kawasan dengan kawasan lain di dunia. Wilayah-wilayah ini memiliki nilai-nilai kebudayaan yang kuat dan berpengaruh dalam pembangunan wilayahnya, khususnya banyak dijumpai pada masyarakat non barat (non western cultures), dengan tingkat kepercayaan, keagamaan, dan perilaku yang sangat berarti dalam menyelesaikan masalah mereka secara efektif dan efisien. (Kay and Alder, 1999. h. 133). Dalam pemikiran post positivist (Allmendingr, 2002) pengetahuan lokal juga dijadikan sebagai salah satu kontributor dalam Indigenous Planning Theory, yang didukung oleh Social Scientific Philosophy dan Social Theory yang memadai sebagai bagian dari kerangka teoritis dalam perencanaan. Potensi untuk mengaplikasikan pengetahuan masyarakat dalam masalah perencanaan secara tradisional merupakan pengetahuan sederhana, tapi sangat banyak dan sebaiknya menjadi penyeimbang bagi pengembangan teknik, bentuk, penelitian dan dinamisasi masyarakat dalam mengurangi kerusakan lingkungan sebelum keputusan akan diambil (Johannes, 1989 dalam Kay and Alder, 1999, h. 135). Oleh sebab itu diperlukan suatu integrasi antara pengetahuan lokal, kebudayaan,
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
kepercayaan, dan perilaku yang ada ke dalam proses perencanaan dan pengelolaan wilayah sebagai bahan pertimbangan bijaksana dalam optimasi keuntungan bersama antara program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat (Kay and Alder, 1999. h.137). Oleh sebab itulah maka pertimbangan budaya lokal, yang salah satunya dapat dituangkan dalam penggalian terhadap kearifan lokal, sebagai bagian dari traditional knowledge atau indegenous knowledge dapat dilibatkan dalam konsep perencanaan komunikatif, dan dapat menjadi bagian dari perencanaan kolaboratif sebagai upaya pembelajaran bersama yang saling menguntungkan (mutual learning) di antara keduanya. Dalam proses ini, perencana dapat memetik makna-makna perencanaan yang sudah dimiliki masyarakat lokal untuk kemudian dijadikan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan bidang perencanaan, sekaligus memberikan tempat bagi terlaksananya saling belajar dan saling mengevaluasi hasil perencanaan..
4. Pergeseran Pembangunan
Secara teoritis, kajian kearifan budaya lokal sebagai bagian dari perencanaan wilayah berbasis lokal berada pada garis kerja pembangunan dari bawah (development from below), sebagai kritik terhadap ketidak berhasilan pembangunan dari atas (development from above), dalam menjawab kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar, kerangka kerja teoritis (theoritical framework) sebagai konsepsi kajian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
PERGESERAN PENDEKATAN DLM PEMBANGUNAN WILAYAH KONSEP AWAL
PARADIGMA BARU
Development from Above
Development from Below
Industrial Growth Pole Growth Center Central Place Theory Center Periphery, dll
Trickling Down
Economic Wellfare Local Economic
Backwash
Local Development Export Processing Zone Community Based
Development (LED)
Development (CBD), dll
Indsutri padat Modal + Investasi Asing
Ketergantungan Jurnal PWK Unisba Wilayah
Krisis, investasi pergi, Ketimpangan, ketidak merataan pembangunan, ketidak adilan, dll
Paradigma
Masyarakat Aktif & Berperan Membangkitkan Kekuatan Sendiri
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
Kearifan Lokal dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah
Konsep Perencanaan Pembangunan Berbasis Kemampuan dan Budaya Lokal
Sumber: Intrepretasi Penulis dari berbagai sumber.
5. Kesimpulan Kita dapat tersesat bila kita terus menerus mengdopsi konsep perencanaan bangsa lain tanpa menoleh produk pemikiran bangsa sendiri, yang siapa tahu di dalamnya terdapat pelajaran yang bisa dipetik bersama sebagai pemikiran perencanaan yang lebih arif dan sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Jika kita mengamini saja istilah-istilah perencanaan tanpa mengkritisinya dan tidak pernah curiga dengan kemungkinan tidak tepatnya konsep tersebut dengan budaya kita, maka bisa jadi kita terdampar pada posisi yang tidak diharapkan. Jangan sampai menyerap teori perencanaan sebagai suatu dogma, akan tetapi harus dikaji dan difikirkan secara terus menerus. Kearifan lokal dalam perencanaan dapat dijadikan alternatif saling belajar antara perencana dengan klient, dalam hal ini masyarakat lokal, dan dapat dijadikan salah satu sumber pengetahuaan perencanaan berbasis kearifan lokal. Dapat diyakini bahwa di dalam kesederhanaan pemikiran masyarakat lokal, ada terkandung Jurnal PWK Unisba
makna-makna perencanaan untuk menjadikan masa depan yang lebih baik. Perencanaan adalah mankind, karena setiap orang adalah planner. Maka hasil pemikiran yang berorientasi pada “masa depan” yang lebih baik, secara normatif adalah produk perencanaan. Jika kearifan berorientasi ke depan, memberikan kehidupan manusia yang lebih baik, mengandung rasionalitas yang memadai, dan merupakan konsep perencanaan pembangunan yang indegenous, mengapa tidak untuk dijadikan alternatif perencanaan dan dikolaborasikan dengan pemahaman perencanaan yang dianggap lebih rasional dan merupakan “knowledge of science”. Dalam proses perencanaan, pembelajaran sosial (social learning) lebih ditujukan pada masyarakat yang akan mendapat pelajaran dari “perencana” melalui proses dan hasil perencanaan. Padahal tidak tertutup kemungkinan perencana dapat belajar dari masyarakat melalui kearifan lokal dalam konsep-konsep perencanaannya. Selain pelibatan pengetahuan lokal
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
dalam perencanaan diharapkan dapat menjadi kajian untuk menangkap makna-makna perencanaan yang lebih sesuai dengan perencanaan lokal, juga tidak sedikit persoalan yang akan menjadi kendala di dalam pelaksanannya. Salah satu bentuk hambatan yang dapat dihadapi oleh kemungkinan ini, adalah tidak adanya dukungan kebijakan dan bentuk kemauan politik (political will) yang mau memberi ruang yang cukup bagi pertimbangan budaya lokal sebagai kekayaan konsep perencanaan.
Jurnal PWK Unisba
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
12.
Bahan Bacaan 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Alexander, Ernest. R., 1986, Approach To Planning, Introducing Current Planning Theories, concepts, and Issues, Gordon and Breach Science Publishers Allmendinger, Philip, 2001, Planning In The Postmodern Times, Routledge Allmendinger, Philip, 2002, Toward Post-Positivist Typology of Planning Theory, SAGE Publication, 1 (1). 77-99. Burchell, Robert. W. and Sternlieb, George., ed., 1979, Planning Theory in The 1980's, a search for future directions., Center For urban Policy Research. Catanese Anthony J & Snyder, 1989. Urban Planning (terjemahan) penerbit Erlangga, Bandung. Churchuman C.W. 1968. The Systems Aproach, Delll publishing CO. New York. Conyers, Diana, 1984. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta. Dietz, T. 1998. Pengakuan atas Hak Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Insist PRESS dan REMDEC Faludi, Andreas., 1983, A Reader in Planning Theory., Pergamon Press, Oxford. Forester, John, 1989, Planning in The Face of Power, University of California Press Forsyth, Ann., 1999, Administrative Discretion and Urban and Regional Planners’ values, Journal of Planning Literature, XIV-5-15, Columbus.
Jurnal PWK Unisba
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
French, Peter W., 2004, The Changing nature of, and approaches to, UK Coastal management at the start of the twenty-first century, The Geographical Journal. Friedman, John. 1965. Regional Development Theory (a case study of venezuela). Friedman, John. and Douglas, Mike, 1978, Agropolitan Development, Towards a new Strategy for Regional Planning in Asia, in Fu Chen Lo and Kamal Solih (ed). Growth Pole Strategy and Regional Development Policy, Asian Experience and Alternative Approaches, Pergamon Press, Oxford, England. Friedman, John., 1987, Planning in The Public Domain, From Knowledge to Action, Princeton University Press. Fu Chen Lo dan Kamal Solih, 1976. Kutub-kutub Pertumbuhan dan Kebijaksanaan Regional dalam Sistem Ekonomi Dualistik yang terbuka Teori Barat dan Kenyataan di Asia. Lembaga Penerbit FE - UI. Furze, Brian, De Lacy, Terry, and Birckhead, Jim. 1996. Culture, Conservation, and Biodiversity. The Social Dimension of Linking Local Level Development and Conservation trough Protected Areas. Wiley Handy, Charles. B., 1980, Understanding Organization, Penguin Books, New Zealand. Harun, Uton Rustan, 2001. Arti Perencanaan Dalam Kerangka Social Planning. Artikel Semiloka peran dan Kompetensi Perencanaan Dalam Penmbangunan daerah dan Nasional. ASPI-GTZ-UNISBA.
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Healey, Patsy. 1997. Collaborative Planning, Shaping Places in Fragmanted Societies. Planning Environtment Cities.. Healey, Patsy. 2000. Planning Theory and Urban and Regional Dynamics : A Comment on Yiftachel and Huxley. International Journal of Urban and Regional Research. 24 (4). Hemmens, George C. 1983. Public Planning, university of North carolina at chapel Hill, 1980, Dalam Andreas Faludi “A Reader in planning Theoty “Pergamon Press Oxford. Hendler, Sue. ed., 1995, Planning Ethics, A reader in Planning Theory Practice and Education., New Brunswick, New Jersey Kahn, Afred J. 1983. Theory And Practice of Social Planning, Russel Sage Foundation, New York, Dalam Andreas Faludi “A Reader in planning Theory “Pergamon Press Oxford. Kamal Solih, et al. 1978. Decentralization Policy, Growth Pole Approach, and Resource Frontier Development: A Synthesis of the response in fourth Southeast Asian Countries, in Fu Chen Lo and Kamal Solih (ed), Growth Pole Strategy and Regional Development Policy, Asian Experience and Alternative Approaches. Pergamon Press, Oxford, England. Kay, Robert and Alder, Jacqueline., 1999, Coastal Planning and Management, E & FN SPON. An imprint of Routledge, London and New York. Mandelbaum, Seymour. J, Mazza, Luigi, Burchel, Robert. W., ed., 1996, Exploration in Planning Theory., Center For urban Policy Research. New Brunswick
Jurnal PWK Unisba
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
Manners, Robert. A. terjemahan oleh David Kaplan., 2002, Teori Budaya, Pustaka Pelajar. Mazza, Luigi., 2002, Technical Knowledge and Planning Actions, Milan Polytechnic, Italy (I): 11-26, SAGE Publication Misra, R.P. and Honjo. M. ed. 1981. Changing Perception in Development Problems, Maruzen Asia, Nagoya, Japan. Nurzaman, Siti Sutriah. 2002. Perencanaan Wilayah di Indonesia, pada masa sekitar krisis. Penerbit ITB, Bandung.
Singer, 1981. Thirty Years of Changing thought on Development Problems, in Misra R.P and Honjo.M (ed). Changing Perception in Development Problems, Maruzen Asia, Nagoya, Japan. Soedjito, Bambang Bintoro. Materi Kuliah PL 778 : Advanced Seminar on Planning Theory, S2 PWK ITB, Bandung 1992.
Streeten, Paul P. 1981; Development Ideas in Historical Perspective, in Misra R.P and Honjo.M (ed). Changing Perception in Development Problems, Maruzen Asia, Nagoya, Japan. Suhartono, Suparlan. 2004. Dasardasar Filsafat. Ar-Ruzz, Jogjakarta. Sujarto, Djoko, Materi Kuliah PL 601. Planning Process and Practice. S2 PWK ITB Bandung 1990. Sujarto, Djoko., 2001, Perencanaan Tata Ruang Wilayah dan Kota Dan Esensinya Dalam Orientasi Pendidikan Perencanaan , Artikel Semiloka peran dan Kompetensi Perencanaan Dalam Penmbangunan daerah dan Nasional. ASPI-GTZ-UNISBA.
Peranan Pertimbangan Kearifan Budaya Lokal dalam Perencanaan Wilayah
38.
39.
40.
41.
42.
43.
Suparlan, P. 1998. Kemajemukan, Hipotesis Budaya Dominan dan Kesukubangsaan. Jurnal Antropologi Indonesia No. 58, Tahun XXIII. Hal 13-20. Depok, Jurusan Antropologi FISIP UI. Suparlan, P. 1998. Model Sosial Budaya bagi Penyelenggaraan Transmigrasi di Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia No. 57, Tahun XXII. Hal 20-48. Depok, Jurusan Antropologi FISIP UI. Todaro, Michael. 1981. Economic Development in the Third World. Longman Inc, New York. Wheeler M, Stephen. Perspektif Regional Planning : a call to reevaluate the field. Berkeley Planning Journal No. 14, 2000 Widiarto, 2001. Arti Perencanaan Wilayah dan Kota Ditinjau dari Dimensi Ekonomi , Artikel Semiloka peran dan Kompetensi Perencanaan Dalam Penmbangunan daerah dan Nasional. ASPI-GTZ-UNISBA. Woltjer, Johan., 2000, Consensus Planning, The Relevance of Communicative Planning Theory in Duch Infrastructure Development., Ashgate.
Jurnal PWK Unisba