1
Peranan Kecerdasan Emosi, Kepuasan Kerja dan Kepemimpinan Tranformasional Terhadap Organizational Citizenship Behavior Perawat Dewi Masruroh
Intisari Perkembangan industri rumah sakit yang sangat pesat menyebabkan persaingan bisnis rumah sakit menjadi sangat tajam. Oleh karena itu, perawat dituntut untuk menampilkan perilaku organizational citizenship behavior (OCB), karena OCB mendukung efektivitas organisasi. Beberapa penelitian telah menemukan kecerdasan emosi, kepuasan kerja dan kepemimpinan transformasional berperan terhadap OCB. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peranan kecerdasan emosi, kepuasan kerja dan kepemimpinan transformasional terhadap OCB perawat. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosi, kepuasan kerja dan kepemimpinan transformasional secara bersama-sama merupakan prediktor dari OCB perawat. Penelitian ini merupakan studi lapangan yang akan menggunakan metodologi kuantitatif, dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner OCB, kecerdasan emosi, kepuasan kerja dan kepemimpinan transformasional. Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi ganda. Hasil analisis data terhadap 146 responden menyatakan bahwa variabel kecerdasan emosi, kepuasan kerja dan kepemimpinan transformasional secara bersama sama secara signifikan dapat memprediksi OCB perawat (F = 16,062, p < 0,05) dengan kontribusi sebesar 24,4 %. Kata Kunci : Organizational Citizenship Behavior, Kecerdasan Emosi, Kepuasan Kerja, dan Kepemimpinan Transformasional
Pengantar Perkembangan industri rumah sakit yang sangat pesat menyebabkan persaingan bisnis rumah sakit menjadi sangat tajam, baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Rumah sakit merupakan organisasi penyedia jasa kesehatan. Bagi organisasi penyedia jasa, kualitas pelayanan adalah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Hal ini disebabkan karena konsumen pengguna jasa berharap mendapatkan pelayanan dengan kualitas terbaik (Zeithmal & Bitner, 1996). Oleh karena itu, rumah sakit berupaya memberikan pelayanan yang memuaskan agar pelanggan tetap menggunakan jasa rumah sakit dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. _________________ Korespondensi untuk artikel penelitian ini dapat dialamatkan melalui email:
[email protected]
2
Hasil survei mengenai tingkat loyalitas pelanggan kesehatan (pasien) terhadap rumah sakit dan dokter yang dilakukan oleh Majalah SWA dan Onbee Marketing Research pada bulan Februari sampai Maret 2013 menunjukkan bahwa kualitas pelayanan merupakan faktor utama bagi seorang pelanggan dalam memilih sebuah rumah sakit sebagai mitra kesehatan bagi dirinya dan keluarga. Survei yang melibatkan 2.917 responden menemukan bahwa pelanggan menyatakan akan kembali lagi ke rumah sakit yang dikunjunginya karena kualitas pelayanan sebanyak 28 %, lokasi sebanyak 19 %, dokter sebanyak 13 %, sudah terbiasa sebanyak 7 %, kondisi kesehatan sebanyak 7 %, harga sebanyak 7 %, fasilitas sebanyak 7 %, afiliansi kantor asuransi sebanyak 6 %, tidak ada alasan sebanyak 4 %, dan rekomendasi dokter sebanyak 2 %, dan kualitas rumah sakit sebanyak 1 % (Anjaris, 2013). Kualitas pelayanan adalah suatu ukuran seberapa tepat tingkat pelayanan yang ditawarkan oleh perusahaan atau penyedia pelayanan dapat memenuhi standar pelayanan yang diharapkan pelanggan. Cara meningkatkan kualitas pelayanan dengan memahami dan memperlakukan karyawan lini depan dengan tepat karena karyawan yang memiliki kontak dengan pelanggan adalah sumber kunci bagi perusahaan jasa. Pada saat terjadi interaksi antara pelanggan dengan karyawan lini depan, maka kinerja perusahaan pada saat itu sepenuhnya ditentukan oleh kinerja karyawan tersebut. Hal ini dikarenakan kinerja karyawan pada saat itu akan menentukan apakah konsumen akan mengkonsumsi lagi jasa tersebut pada kesempatan berikutnya (Gronroos, 2000). Dalam industri rumah sakit, perawat merupakan karyawan lini depan yang lebih sering berinteraksi dengan pasien, sehingga kinerja perawat berperan penting pada keberhasilan sebuah rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan bagi pelanggan. Keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan tidak hanya ditentukan oleh perilaku karyawan yang menjadi tugas sesuai deskripsi pekerjaannya (in role behavior), tetapi perilaku karyawan yang berada di luar deskripsi kerjanya (extra role behavior) juga mendukung berfungsinya suatu organisasi (Kartz dalam Robert & Hogan, 2002; Sloat, 1999). Perilaku karyawan di luar tugas yang tercantum
pada
deskripsi
pekerjaannya
organizational citizenship behavior (OCB).
disebut
Organ
(1998)
dengan
3
Beberapa penelitian menemukan adanya pengaruh positif OCB terhadap efektivitas organisasi (Khan, Afzal & Zia, 2010; Wall & Niehoff, 2000; Chahal & Mehta, 2010). Pengaruh OCB terhadap efektivitas organisasi dijelaskan oleh Podsakoff dan MacKenzie (1997) karena perilaku OCB yang dilakukan oleh karyawan dalam suatu organisasi dapat meningkatkan produktivitas rekan kerja dan manajerial, mengurangi kebutuhan penambahan karyawan dalam menjaga produktivitas suatu unit kerja, meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan orang-orang terbaik, meningkatkan stabilitas kinerja
organisasi
dan
meningkatkan
kemampuan
organisasi
untuk
menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Chu, Lee, Hsu dan Chen (2005) mengemukakan empat alasan mengapa OCB penting pada rumah sakit. Pertama, rumah sakit mengalami gejolak perubahan. Rumah sakit akan tutup jika tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi. Penutupan rumah sakit bisa diselamatkan jika karyawan mereka menampilkan OCB karena perilaku OCB dipercaya mendukung inovasi dan peningkatkan ketanggapan pada konsumen dan kebutuhan organisasi. Kedua, tugas tenaga kesehatan yang sangat kompleks. Kualitas pelayanan bergantung pengalaman dan keahlian yang dimiliki tenaga kesehatan, serta interaksi dan integrasi diantara mereka. OCB menjadi penting karena OCB memfasilitasi pencapaian tujuan rumah sakit dan peningkatan kinerja rumah sakit. Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan penekanan biaya rumah sakit. Keberhasilan rumah sakit tidak dilihat dari jumlah ruang inap yang terisi, tetapi dilihat dari perilaku menolong antar tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan sehingga tercapai efisiensi. Perilaku OCB sangat penting karena berkontribusi pada efisiensi penggunaan SDM yang terbatas dan peningkatan produktivitas organisasi. Keempat, kualitas pelayanan menjadi sebuah fokus utama dalam rumah sakit, sehingga keterlibatan tenaga kesehatan penting dalam menjamin kualitas rumah sakit. OCB dianggap sangat diperlukan dalam meningkatkan hubungan positif di antara karyawan dan keterlibatan karyawan dalam aktifitas organisasi. OCB yang ditampilkan karyawan berkaitan erat dengan persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan (Torlak & Koc, 2007). Dalam rumah sakit, Cholil (2011), menemukan adanya pengaruh OCB terhadap kualitas pelayanan. Lebih lanjut Cholil (2011) menyatakan bahwa dampak positif penerapan OCB
4
pada
kualitas
pelayanan
di
rumah
sakit
didasarkan
pada
perspektif
permasalahan internal, untuk kesuksesan proses pertukaran dan pelayanan dengan pasien harus diawali dari efektivitas proses pertukaran/interaksi internal antar karyawan dan antar karyawan dengan rumah sakit secara keseluruhan dan pada gilirannya kesuksesan pelayanan eksternal antara karyawan dengan pasien akan terwujud. Penampilan perilaku menolong misalnya akan mempercepat proses sosialisasi interaksi antara karyawan dengan pasien secara tepat, sehingga perawat lebih cepat tanggap dalam memberikan pelayanan sesuai dengan harapan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa OCB penting di rumah sakit karena mendukung efektivitas rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. OCB didefinisikan oleh Robbins dan Judge (2008) sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Menurut Podsakoff, Mackenzie, Paine dan Bachrach (2000), OCB adalah perilaku individu yang fleksibel, tidak secara langsung diketahui atau dihargai oleh sistem reward yang formal di organisasi, namun secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap efektivitas organisasi. Greenberg dan Baron (2003) mendefinisikan OCB sebagai perilaku yang bersifat informal, melebihi harapan normal organisasi dan semuanya itu pada akhirnya dapat menjadikan kesejahteraan organisasi. Aspek OCB menurut Organ, Podsakoff dan MacKinzie (2006) sebagai berikut; (1) altruism, yaitu perilaku menolong rekan kerja khususnya yang berhubungan dengan tugas di luar tanggung jawabnya dalam organisasi; (2) civicvirtue, yaitu perilaku yang menunjukkan partisipasi dan kepedulian terhadap keberlangsungan hidup organisasi; (3) conscientiousness, yaitu perilaku yang menguntungkan perusahaan yang melebihi persyaratan dasar atau minimum pekerjaan dalam mematuhi aturan kerja; (4) courtesy, yaitu perilaku yang dapat mencegah
timbulnya
konflik
interpersonal
dalam
organisasi;
dan
(5)
sportsmanship, yaitu perilaku yang menunjukkan daya toleransi yang tinggi terhadap organisasi sehingga karyawan akan berperilaku positif dan menghindari keluhan. LePine, Erez dan Johnson (2002) dan Oetama (2007) membedakan OCB menjadi dua. Pertama, organizational citizenship behavior towards individual (OCBI)
yang
target
perilakunya
tertuju
pada
individu
tertentu
yang
5
berkepentingan dengan organisasi dan bermanfaat bagi peningkatan efektifitas dan efisiensi organisasi. OCBI ini ditandai dengan perilaku altruism dan courtesy. Kedua, organizational citizenship behavior towards organization (OCBO) yang target perilakunya tertuju secara langsung terhadap organisasi dan bermanfaat bagi peningkatan efektifitas dan efisiensi organisasi. OCBO ini ditandai dengan perilaku sportsmanship, civicvirtue dan conscientiousness. Menurut Oetama (2007), prinsip OCB mengarah kepada indikasi bahwa perilaku individu sebagai anggota organisasi yang termasuk dalam kriteria OCBI merupakan hubungan timbal balik dari individu tersebut terhadap perlakuan organisasi. Peran lebih dan yang melampaui penugasan formal dari dimensi OCB yang terbesar adalah unsur kesukarelaan dari individu tersebut dalam melakukan aktivitas yang tidak tercantum di sistem penghargaan formal organisasi. Secara garis besar terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kemunculan OCB para karyawan, yaitu faktor dari dalam diri individu dan faktor dari luar diri individu. Berdasarkan hasil penelitian, faktor dari dalam individu yang berpengaruh terhadap OCB antara lain kepribadian (Ariani, 2010; Elanain, 2008; Elanain, 2009; Wright & Sablynski, 2008), suasana hati (Glomb, Bhave, Miner & Wall, 2011; Williams & Shiaw, 1999), kecerdasan emosi (Sahafi, Danaee, Sariak & Haghollahi, 2011; Sahafi, Danaee, Sariak & Haghollahi, 2012) dan kepuasan kerja (Danan, 2007; Feather & Rauter, 2004; Hall, Zinko, Perryman & Ferris, 2009; Lowery, Beadles, & Krilowicz, 2002; Miao, 2011, Schappe, 1998; Shokrkon & Naami, 2009), Sementara faktor di luar yang berpengaruh terhadap
OCB diantaranya
adalah kepemimpinan (Burton,
Sablynski & Sekiguchi, 2008; Donaldson, Ensher & Grant-Vallone, 2000; Eliyana, 2010; Jiao, Richards & Zhang, 2011; Kent & Chelladurai, 2001; Moddasir & Singh, 2008; Schnake, Dumler & Cochran, 1993; Truckenbrodt, 2000), ketidaknyamanan kerja (Feather & Rauter, 2004; Reisel, Probst, Chia, Maloles & Konig, 2010) dan status kerja (Cho & Johanson, 2008; Feather & Rauter, 2004; Moorman & Harland, 2002; Stamper & Dyne, 2001). Penelitian ini mengkaji secara mendalam mengenai OCB yang dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan kepuasan kerja sebagai faktor dari dalam individu, sedangkan faktor dari luar individu yang mempengaruhi OCB adalah kepemimpinan transformasional (Eliyana, 2010; Kent & Chelladurai, 2001; Moddasir & Singh, 2008).
6
Faktor pertama yang mempengaruhi OCB yang dikaji dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosi. Emosi merupakan suatu kondisi mental yang melibatkan aspek biologis, psikologis, maupun kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2007). Oleh karena itu, emosi akan berpengaruh terhadap pikiran dan tindakan individu. Kemampuan individu dalam mengelola emosi baik emosi yang muncul dari dirinya sendiri maupun dari orang lain disebut kecerdasan emosi. Hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan OCB telah ditemukan oleh para peneliti sebelumnya (Carmeli & Josman, 2006; Chin, Anantharaman & Tong, 2011; Sumiyarsih, Mujiarsih, & Ariati., 2012; Yaghoubi, Mashinchi & Hadi, 2011). Sumiyarsih dan kawan-kawan (2012) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki kecerdasan emosional, akan merasakan emosi yang positif dan menyenangkan (senang, bersemangat, aktif, percaya diri) sehingga menunjukkan kecenderungan membantu rekan kerja lain, lebih kooperatif dalam bekerja dengan divisi atau rekan kerja lain sehingga dapat meningkatkan kinerja. Hubungan antara aspek kecerdasan emosi dengan OCB dijelaskan dalam penelitian Chin dan kawan-kawan (2011). Aspek kecerdasan emosi dalam penelitiannya adalah (1) emotional recognition and expression, yaitu kemampuan mengenal emosi dirinya sendiri; (2) understanding others emotions, yaitu kemampuan mengenal dan memahami emosi orang lain; (3) emotions direct cognition, yaitu kemampuan menggabungkan informasi yang terjadi di dalam dan di luar tempat kerja; (4) emotional management, yaitu kemampuan mengelola emosi diri dan orang lain; dan (5) emotional control, yaitu kemampuan mengendalikan emosi negatif. Hasil penelitian Chin dan kawan-kawan (2011) menunjukkan bahwa: (1) Semua aspek kecerdasan emosi berhubungan dengan altruism dan aspek emotional direct cognition yang mempunyai hubungan paling besar. Hal ini dikarenakan aspek emotional direct cognition meningkatkan alasan dan membantu mereka dalam perilaku menolong; (2) Semua aspek kecerdasan emosi
berpengaruh
dengan
conscientiousness
kecuali
aspek
emotional
recognition and expression. Hal ini dikarenakan aspek emotional recognition and expression menunjukkan efektivitas karyawan dalam berkomunikasi dan memperlihatkan emosi mereka di tempat kerja, sedangkan conscientiousness menunjukkan bagaimana karyawan mengelola waktu dan taat pada peraturan
7
organisasi, seperti kedisiplinan, kehati-hatian, ketuntasan, pengorganisasian, pertimbangan yang mendalam dan kebutuhan untuk berprestasi; (3) Semua aspek kecerdasan emosi berhubungan dengan sportsmanship kecuali aspek emotions direct cognition. Hal ini dikarenakan aspek emotion direct cognition memberi kesan bahwa karyawan memiliki kesadaran terhadap kejadian-kejadian di dalam dan di luar organisasi, sedangkan pada aspek sportsmanship karyawan bisa mengekspresikan ketidaksenangan terhadap kejadian atau keputusan yang dibuat oleh top manajemen dan hal itu mempengaruhi suasana hati dan sikap mereka; (4) Semua aspek berhubungan dengan courtesy dan aspek emotions direct cognition mempunyai hubungan yang paling besar. Hal ini dikarenakan aspek
emotions
direct
cognition
menggambarkan
bagaimana
karyawan
menggabungkan semua informasi yang diperoleh dengan baik sehingga mampu berperilaku sesuai dengan peraturan perusahaan; dan (5) Semua aspek berhubungan dengan courtesy dan aspek emotional control mempunyai hubungan
paling
tinggi.
Hal
ini
dikarenakan
aspek
emotional
control
menunjukkan bagaimana karyawan mampu mengendalikan emosi-emosinya di tempat kerja dengan baik sehingga mereka mampu mengendalikan emosinya dari pengaruh pemikirannya sendiri. Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan
dari
dirinya
sendiri
maupun
orang
lain
dan
menggunakan perasaan-perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan (Goleman, 2005). Menurut Weisinger (1998), kecerdasan emosi merupakan kecerdasan menggunakan emosi, di mana seseorang secara sengaja mengelola emosi kemudian menggunakannya untuk membantu membimbing tingkah laku dan berpikir dalam mengarahkan pencapaian hasil yang lebih tinggi. Sementara definisi kecerdasan emosi menurut Mayer dan Salovey (1997) adalah suatu kemampuan untuk menganalisa emosi, dan beremosi untuk mengembangkan pola pikir. Pada penelitian ini, kecerdasan emosi didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk mengenali emosi diri dan orang lain, kemudian mengelola emosi tersebut serta menggunakannya untuk memandu pemikiran dan perilaku di tempat kerja. Pada penelitian ini kecerdasan emosi dijelaskan dengan teori “ability model” dari Mayer dan Salovey. Mayer dan Salovey dalam teori “ability model” menjelaskan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan memproses dan
8
memanfaatkan emosi dalam proses berpikir dan berperilaku. Teori “ability model” terdiri empat kemampuan dasar yang terangkum dalam dua faktor. Faktor pertama adalah experiental emotional intelligence yang di dalamnya terdiri atas perceiving emotion dan using emotion facilitating of thinking. Faktor kedua adalah strategic emotional intelligence yang terdiri atas understanding emotions dan managing emotions. Menurut Mayer dan Salovey (2004), individu dengan experiental emotional intelligence mempunyai keterampilan yang tinggi dalam menyadari emosi mereka, mengenali emosi, dan menggunakan emosi mereka untuk proses mempertimbangkan sesuatu. Sedangkan individu dengan strategic emotional intelligence memiliki keterampilan untuk memahami emosi dan menggunakan emosi secara efektif untuk mengelola emosi dirinya sendiri dan orang lain. Mayer dan Salovey (2004) menjelaskan perceiving emotion sebagai kemampuan merasakan emosi dalam diri sendiri dan orang lain secara akurat. Pada perceiving emotion diperlukan informasi yang disampaikan dengan petunjuk seperti ekspresi wajah, nada suara dan bahasa tubuh. Perceiving emotion termasuk kemampuan mengekspresikan emosi secara efektif dengan beberapa petunjuk. Lebih lanjut Mayer dan Salovey (2004) menjelaskan using emotions facilitating of thinking sebagai kemampuan menggunakan emosi untuk, memudahkan
berpikir,
menyelesaikan
masalah
dan
membuat
suatu
pertimbangan. Using emotions facilitating of thinking menunjuk pada kemampuan menggunakan emosi untuk mengalihkan perhatian ke peristiwa penting, membangkitkan
emosi
yang
memudahkan
pengambilan
keputusan
dan
menggunakan perbedaan emosi untuk mendorong perbedaan pendekatan untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, using emotions facilitating of thinking diperlukan untuk menggabungkan gambaran mental dan emosi serta mengetahui bagaimana emosi mempengaruhi proses kognitif seperi pertimbangan secara deduktif, penyelesaian masalah, kreativitas, dan komunikasi (Lopes, Brackett, Nezlek, Schutz & Salovey, 2003) Understanding emotions dijelaskan Mayer dan Salovey (2004) sebagai kemampuan memahami emosi, baik perubahannya maupun perpaduannya. Understanding emotions menunjukkan kemampuan untuk memahami hubungan antara jenis-jenis emosi dan mengenali penyebab dan konsekuensi dari emosi. Managing emotions dijelaskan Mayer dan Salovey (2004) sebagai kemampuan
9
mengatur emosi dan situasi emosional yang melibatkan diri sendiri dan orang lain. Pada pengaturan emosi diri dan orang lain dilakukan dengan melembutkan emosi negatif dan menambah emosi yang menyenangkan, tanpa menekan atau membesar-besarkan informasi dalam pencapaian tujuan. Faktor lain yang mempengaruhi karyawan melakukan perilaku OCB adalah kepuasan kerja (Feather & Rauter, 2004; Hall, dkk., 2009; Danan, 2007; Miao, 2011, Schappe, 1998; Shokrkon & Naami, 2009). Hubungan kepuasan kerja dengan OCB secara sederhana dijelaskan oleh Robbins dan Jugde (2008) bahwa pada dasarnya kepuasan kerja bergantung pada gambaran-gambaran mengenai hasil, perlakuan, dan prosedur-prosedur yang adil. Ketika individu merasa bahwa proses dan hasil-hasil organisasional tersebut adil, maka berkembanglah rasa percaya. Ketika muncul rasa percaya, maka individu tersebut lebih bersedia untuk terlibat secara sukarela dalam perilaku-perilaku yang melebihi persyaratan kerja formal. Kepuasan kerja diartikan sebagai tanggapan emosional seseorang terhadap aspek-aspek di dalam atau pada keseluruhan pekerjaannya (Nawawi, 1998). Menurut Krietner dan Kinicki (2004), kepuasan kerja adalah respon afektif atau emosional dari sebuah pekerjaan. Salah seorang bisa merasakan kepuasan di satu aspek dan di aspek yang lain. Sementara Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan positif tentang suatu pekerjaan yang merupakan hasil evaluasi dari beberapa karakteristik. Tangkilisan (2005) mendefinisikan kepuasan kerja adalah tingkat rasa puas individu bahwa mereka mendapat imbalan yang setimpal dari bermacam-macam aspek situasi pekerjaan dari organisasi tempat mereka bekerja. Luthans (2006) berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Menurut Teori Herzberg, terdapat dua faktor yang menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan, yaitu: pertama, faktor motivator merupakan karakteristik pekerjaan berkaitan dengan kepuasan pekerjaan, yaitu sejumlah kebutuhan yang apabila dipenuhi akan menimbulkan kepuasan tetapi jika tidak dipenuhi akan mengurangi kepuasan, seperti prestasi kerja, promosi, tanggung jawab, pengakuan, dan kerja itu sendiri. Kedua faktor hygiene merupakan karakteristik pekerjaan berkaitan dengan ketidakpuasan pekerjaan, yaitu sejumlah kebutuhan yang apabila dipenuhi tidak akan meningkatkan motivasi,
10
tetapi jika tidak dipenuhi akan menimbulkan kepuasan, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan pribadi, keamanan kerja, kebijakan administrasi, gaji, status, supervisi, dan kondisi kerja. Baik faktor motivator dan hygiene sangat penting bagi pemeliharaan tingkat kepuasan pegawai. Kedua faktor ini selalu berjalan seiring dengan aktivitas kerja seseorang dalam organisasinya. Kinicki, McKee-Ryan dan Carson (2002) mengemukakan lima aspek kepuasan kerja yang dapat digunakan sebagai faktor-faktor untuk mengukur kepuasan kerja. Aspek kepuasan kerja tersebut adalah (1) pekerjaan itu sendiri (work it self), yaitu faktor yang berhubungan dengan tugas kerja yang dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan menerima tanggung jawab, (2) Atasan (supervision), yaitu faktor yang berhubungan dengan kemampuan atasan untuk membantu dan mendukung pekerja atau bawahannya. (3) Rekan kerja (workers), merupakan faktor yang berhubungan dengan persahabatan yang kompeten dan saling mendukung yang terjalin dengan rekan kerja, (4) Promosi (promotion), merupakan faktor yang berhubungan dengan adanya kesempatan untuk berkembangan dan memperoleh peningkatan karir selama bekerja. (5) Gaji (pay), merupakan faktor yang berhubungan jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayaran. Karyawan cenderung melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab kerjanya apabila mereka merasa puas dengan pekerjaannya, menerima perlakuan sportif dan penuh perhatian dari pada pengawas, dan percaya bahwa mereka diperlakukan adil oleh organisasi (Sloat, 1999). Pendapat Sloat (1999) tersebut mengindikasikan bahwa selain kepuasan terhadap pekerjaannya dan kepercayaan terhadap keadilan organisasi, perilaku pemimpin yang sportif dan penuh perhatian juga dapat mendukung terciptanya OCB. Pemimpin yang sportif dan penuh perhatian merupakan ciri pemimpin transformasional (Robbins & Judge, 2008). Modassir dan Singh (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa karyawan dalam sebuah organisasi yang dipimpin dengan gaya kepemimpinan transformasional menunjukkan OCB secara alami. Humairah (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional lebih cocok digunakan di rumah sakit dari pada gaya kepemimpinan transaksional, karena kepala ruangan memperlakukan perawat sebagai mitra yang juga harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dijalankan sehingga meningkatkan
11
keterampilan perawat dalam menjalankan tugas-tugasnya dan mengatasi setiap kesulitan yang ditemukan di lapangan. Pemimpin yang mencurahkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para pengikutnya dan kebutuhan pengembangan dari masing-masing pengikutnya dengan cara memberikan semangat dan dorongan untuk mencapai tujuannya disebut kepemimpinan transformasional (Robbins, 2007). Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan seorang pemimpin dalam mengembangkan dan mengarahkan potensi dan kemampuan bawahan untuk mencapai bahkan melampaui tujuan organisasi (Dvir, Eden dan Avalio, 2002). O’Leary (2001) mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang digunakan oleh seorang manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi sepenuhnya baru. Kepemimpinan transformasional merupakan kemampuan seorang pemimpin memberikan inspirasi dan motivasi pada bawahannya untuk mencapai hasil lebih baik dari yang direncanakan (Rivai, 2004). Avolio dan Bass (1991) mengemukakan empat aspek kepemimpinan transformasional, yaitu: (1) kharismatik, menunjukkan kekuatan dari dalam diri pemimpin yang dapat mempengaruhi dan memotivasi serta menimbulkan emosiemosi yang kuat pada bawahannya untuk melaksanakan pekerjaannya dengan baik; (2) perhatian individual, menunjukkan kemampuan pemimpin dalam memberikan dukungan, membesarkan hati, dan memberikan petunjuk-petunjuk dan pelaksanaan tugas, serta mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan pekerjaannya; (3) stimulasi intelektual, menunjukkan kemampuan pemimpin untuk meningkatkan kesadaran, menumbuhkan kreativitas dalam berfikir, memberikan kebebasan pada bawahan untuk mengemukakan pendapat dalam upaya menghadapi permasalahan sesuai dengan perspektif dan pola pikirnya; dan (4) motivasi inspirasional, menunjukkan kemampuan pemimpin dalam memberikan penjelasan mengenai sebuah gagasan yang menarik dengan menggunakan contoh pengalaman, sehingga bawahan dapat memperoleh gambaran untuk menyelesaikan setiap pekerjaan dan mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi pada saat menjalankan pekerjaannya. Berdasarkan teori dan hasil penelitian yang telah dipaparkan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kecerdasan emosi, kepuasan kerja, dan
12
gaya kepemimpinan transformasional secara bersama-sama mampu menjadi prediktor variabel organizational citizenship behavior perawat. Manfaat praktis yang diharapkan dapat membantu organisasi untuk meningkatkan OCB perawat dengan
memperhatikan
kecerdasan
emosi,
kepuasan
kerja
dan
gaya
kepemimpinan transformasional yang mempengaruhi OCB, sehingga rumah sakit dapat mencapai tujuan organisasinya. Lebih lanjut, manfaat teoritis penelitian ini adalah diharapkan dapat menjadi sumber referensi untuk meningkatkan OCB dan memunculkan ide-ide baru untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Penelitian ini membahas keterkaitan antara kecerdasan emosi, kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan transformasional dengan organizational citizenship behavior. Pengaruh kecerdasan emosi, kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap OCB dijelaskan dengan teori kognisi. Menurut teori kognisi, individu harus memproses segala informasi yang diterimanya dari pengindraan melalui kesadaran (kognisi) sebelum dijadikan respon atau reaksi (Sarwono, 2002). Menurut teori kognisi, OCB yang ditampilkan perawat adalah hasil dari pemprosesan secara kognitif kemampuan individu mengelola emosi dari diri sendiri dan orang lain (manajemen, dokter, pasien, atau keluarga pasien). reaksi positif atau menyenangkan dari aspek-aspek pekerjaan yang diterimanya
dan
gaya
kepemimpinan
atasan
yang
mendukung
dan
memperhatikan kebutuhan bawahan. Perawat yang mampu memiliki kecerdasan emosi akan merasa empati terhadap rekan kerja dan situasi yang dialami oleh organisasi, aspek-aspek pekerjaan yang dirasa adil menimbulkan kepuasan sehingga menimbulkan persepsi positif terhadap pekerjaannya, dan kepemimpinan yang mendukung dan memperhatikan kebutuhan bawahannya menimbulkan perawat merasa diterima di lingkungan kerjanya. Semua hal itu diproses secara kognitif sehingga perawat tersebut merasa menjadi bagian dari perusahaan tempat bekerja dan pada akhirnya bersedia melakukan tugas diluar tanggung jawabnya dengan sukarela demi efektivitas organisasi. Dengan demikian, peneliti menduga ada pengaruh positif antara kecerdasan emosi, kepuasan kerja dan kepemimpinan transfromasional sebagai variable independen terhadap organizational citizenship behavior sebagai varibel dependen (Gambar 1).