PERANAN KAPITA LAU DI KERAJAAN KONAWE (1725 – 1904)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Serjana Kependidikan Pada Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
OLEH:
RANTI AMIR A1A2 08 014
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2012
i
HALAMAN PERSETUJUAN Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II serta dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo.
Kendari,
2012
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Aswati M., M.Hum NIP. 19621022 199003 2 002
Basrin Melamba, S.Pd.,M.A NIP. 19771015 2005011 001
Mengetahui: Ketua Jurusan Pendidikan IPS
Edy Karno, S.Pd., M.Pd NIP. 19720817 200012 1 001
ii
SKRIPSI
PERANAN KAPITA LAU DI KERAJAAN KONAWE (1752-1904) OLEH Nama NIM Program Studi
: RANTI AMIR : A1A2 08 014 : Pendidikan Sejarah
Telah dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi pada Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo pada hari Rabu tanggal 10 Oktober 2012, berdasarkan Surat Keputusan Dekan FKIP Unhalu Nomor: 1252/SK/UN29.1/PP/2012, tertanggal 05 Oktober 2012 dan dinyatakan Lulus.
PANITIA UJIAN Tanda Tangan Ketua
: Dr. H. Mursidin T., M.Pdd
(…………….…….....)
Sekretaris
:Pendais Hak, S.Ag, M.Pd
(…………….…...…..)
Anggota
: 1. Drs. H. Abd Rauf Suleiman, M.Hum
(……………...….…..)
2. Dra. Aswati M., M.Hum
(……………....……..)
3. Basrin Melamba, S.Pd., M.A.H
(……………....……..)
Kendari, Oktober 2012 Mengetahui, Dekan FKIP Unhalu
Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si NIP. 19601231 198610 1 001
iii
KATA PENGANTAR Pujisyukur
penulis
panjatkan
kehadirat
Allah SWT
yang telah
melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini yang berjudul ―Peranan Kapita Lau di KerajaanKonawe (1725-1904)‖ di bawah bimbingan Dra. Aswati M., M.Hum, dan Basrin Melamba, S.Pd, M.A. masing-masing sebagai pembimbing I dan pembimbing II. Banyak pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta, Almarhum Amir Donggo dan Ibunda tercinta Minahasa, dan orang tua wali Supriadi yang telah memberikan pengorbanan, perjuangan untuk menyekolahkan penulis sejak kecil dan selalu memberi dorongan, semangat serta iringan do’a sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga kepada kakakkakak penulis yang tercinta, Muli, Atin, Aco, Ramlan Amir, Masrudin serta adikadik yang tercinta Mira Asmara, Tasrin, dan Rut. Serta kepada keluaraga bapak H. Mansur Ladanu A.Md, Hj. Sarimuna S.Pd, dan semua keluarga yang tidak dapat penulis sebutkan yang selama ini telah memberikan kasih sayang, perhatian, keikhlasan dan do’a yang diberikan. Penulis mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada bapak Marudin TahaS., S.Sos, selaku camat Sampara, Arsamid Al Ashur, Sapiudin Pasaeno, dan H. Abdullah Djusin atas kesediaannya meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara dan memberikan keterangan kepada penulis sehubungan dengan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
iv
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas bimbingan dan arahan baik yang berupa material ataupun moril sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam proses perkuliahan sampai selesainya skripsi ini secara berturut-turut: 1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S, selaku Rektor Universitas Haluoleo 2. Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo 3. Edy Karno, S.Pd, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial 4. Dra. Aswati M., M.Hum, selaku ketua program studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo. 5. Buhari La Bia, S.Pd, selaku staf Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo. 6. Seluruh staf pengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah dan di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo terkhusus kepada Drs La Ode Baenawi, M.Pd selaku penasehat akademik penulis, terima kasih atas didikan dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa. 7. Seluruh staf administrasi yang bertugas di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo
v
8. Rekan-rekan mahasiswa program studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo angkatan 2008, khususnya ―Pratiwi Adnan, Anna Putri, Wilda, Asrianti, Ambo Sakka, NurLupiana S.Pd, Arman 07‖ dan semua teman-teman yang tidak dapat ditulis satu-persatu namanya, yang telah memberikan dukungan moril. 9. Teman-teman yang tercinta Endri, Peri, Niken, Elis, Rahmi S.Sos, Tahlan Indrajaya, Srirahayu, Nati, Putu, Risma, dan yang terkhusus Wawan Adrianto yang telah memberikan dorongan dan motivasi. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karenaitu saran dan kritik yang konstruktif dari berbagai pihak sangat diharapkan demi kesempurnaannya, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya. Demikian ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah diberikan kepada penulis semoga mendapat imbalan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT, Amien YaRabbal Alamin.
Kendari,
Penulis
vi
2012
ABSTRAK Ranti Amir (A1A2 08 014), dengan judul ―Peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe, 1725-1904‖, dibawah bimbingan Dra. Aswati M., M.Hum dan Basrin Melamba, S.Pd, M.A, masing-masing selaku Pembimbing I danPembimbing II. Permasalahan dalam penelitian ini adalah(1) Bagaimana latar belakang terbentuknya Kapita Lau di kerajaan Konawe? (2) Bagaimana struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe? (3) bagaimana Peranan dan fungsi Kapita Lau di KerajaanKonawe? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan tahapan Heuristik (pengumpulan sumber sejarah), kritik sumber baik kritik eksternal maupun internal, interpretasi dan Historiografi. Penelitian ini menunjukkan bahwa, latar belakang terbentuknya Kapita Lau sejak masa pemerintahan Mokole Tebawo. Dibentuk dalam rangka mengamankan wilayah kerajaan Konawe di kawasan laut termasuk sungai. Dan mengontrol keamanan di beberapa kawasan pelabuhan tradisional kerajaan Konawe. Untuk keperluan itu maka dibentuklah jabatan yang membidangi dan memimpin masalah urusan kemaritiman kerajaan Konawe dengan Panglima Angkatan Laut (Kapita Lau) atau juga lebih dikenal nama kapita Bondoala. Struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu merupakan pejabat dibawah Mokole yang diberikan jabatan menjadi wakil raja yang menjabat jabatan Panglima Perang. Adapun wilayah-wilayah pemerintahan Kapita Lau (Bontoala) berkedudukan di Sampara dan mempertahankan daerahdaerah pesisir/pantai yaitu: Sampara, Poasia, Moramo, Kolono, Laeya, dan Andoolo. Wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggung jawab Sapati Ranomeeto dan Kapita Lau untuk menjalankan pemerintahan dengan baik. Adapun peranan kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu meliputi di bidang pemerintahan, ekonomi, politik, Hankam dan sosial budaya. Peran dan fungsi Kapita Lau di kerajaan Konawe yaitu: (a). Di bidang birokrasi dan politik tradisional Konawe, ikut mengamankan stabilitas pemerintahan baik di wilayah Kerajaan Konawe bahagian Timur (Ranomeeto) maupun daerah-daerah lainnya di sekitar pantai Utara dan Selatan Kerajaan Konawe. (b) Di bidang ekonomi, ikut menggerakkan roda perekonomian dalam lalu lintas perdagangan antara Kerajaan Konawe dengan dunia luar seperti Bungku, Makassar, Ternate, Bone, dan Buton. (c) Dibidang politik, ikut menstabilkan kekacauan yang timbul dalam Kerajaan Konawe(d) Di bidang Hankam bersama-sama Buton dan Bone, menghadapi serangan-serangan dari laut yang ingin menyerang kerajaan Konawe, Butonatau Bone, terutama dengan Kerajaan Ternate, Banggai, Luwu, dan Selayar yang selalu memihak kepada Kerajaan Gowa. (e) Di bidang sosial budaya, Kapita Lau berperan untuk meningkatkan hubungan kekerabatan antara orang-orang BugisTolaki-Tiworo, melalui perkawinan. Selain peran tersebut, Kapita Lau juga berfungsi sebagai panglima angkatan laut kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita Lau yang memiliki pasukan angkatan Laut ± 1000 orang, berkedudukan di Pu’usambalu, Sambara (yang sekarang ini disebut Pohara).
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………… HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ KATA PENGANTAR …………………………………………………… ABSTRAK ………………………………………………………………... DAFTAR ISI ……………………………………………………………... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………………………...........……………… B. Rumusan Masalah ......……………………………………... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ….......……………………... BAB IITINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kemaritiman …………………………………........ B. Konsep Peranan …………………………………........……. C. Konsep Pertahanan dan Keamanan ………….......………… D. Teori Kepemimpinan………………….........………………. E. Konsep Kepemimpinan Tolaki …........……………………... F. Penelitian Terdahulu ……….......…………………………... BAB IIIMETODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian .....………………………… B. Pendekatan Penelitian .....………………………………… C. Langkah – langkahPenelitian ....………………………… BAB IVGAMBARAN UMUM KERAJAAN KONAWE A. Keadaan Geografis ......................................…………………. B. Keadaan Demografis ....................................……………...... C. Keadaan Sosial Budaya ........……………………………….. D. Struktur Organisasi Pemerintahan Kerajaan Konawe ........…. BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN A. Latar Belakang Kapita Lau di Kerajaan Konawe......…….... B. Struktur Pelaksanaan Tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe ..……………………………………………….... C. Peranan dan Fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe .......… a. Aspek Politik dan Birokrasi .....…………………………. b. Peranan di bidang Ekonomi ............................................. c. Dibidang Pertahanan dan Keamanan .....……………..... BAB VIPENUTUP A. Kesimpulan ..........…………………………………………. B. Saran……………........…………………………………….. C. Implikasi Skripsi Terhadap Pembelajaran Sejarah Dan Muatan Lokal di Sekolah .................................................. DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN-LAMPIRAN viii
i ii iii iv vii viii
1 6 6 8 10 12 13 14 16 21 21 21 25 27 32 41 57 65 72 74 76 78 85 87 87
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya tidak dapat melepaskan diri dari sejarah, sebab sejarah merupakan petunjuk dalam perjalanan menyongsong kehidupan sekarang dan kehidupan akan datang. Sejarah membantu dalam memahami dan merekontruksi peristiwa.Peristiwa yang terjadi pada masa lampau baik sejara individual maupun kelompok, yang kemudian dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan dimasa kini. Dalam perspektif kesejarahan, pembangunan disegala bidang kehidupan yang sedang giat-giatnya dilaksanakan, merupakan mata rantai perjalanan sejarah bangsa indonesia pada masa lampau. Dengan demikian, pembangunan yang tengah dilaksanakan itu merupakan rangkaian perjalanan masa lampau dari bangsa kita yang bukan hampa akan nilai-nilai sejarah. Realitas kehidupan masa lampau yang dapat dipersaksikan hingga masa kini perlu kiranya diungkapkan secara jelas melalui penelitian ilmiah. Oleh karena itu, kehadiran ilmu sejarah sangat penting untuk mengungkapkan dan menuntun pemahaman kita tentang berbagai aktivitas manusia baik dari segi ekonomi, sosial-budaya dan segi politik maupun pertahanan keamanan. Khusus bidang pertahanan dan keamanan sebagai unsur penting dalam perkembangan kehidupan suatu masyarakat manusia, baik secara individual maupun secara kolektif. Hal ini merupakan salah satu segi kehidupan manusia yang perlu dikaji ulang agar diperoleh pengetahuan tentang berbagai usaha
1
menangkal berbagai serangan, tantangan dan hambatan yang dapat mengacaukan kehidupan masyarakat. Sudah merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap orang selalu berusaha untuk melindungi diri demikian pula suatu bangsa, negara maupun kerajaan pada masa lampau, selalu berusaha mempertahankan diri dengan sistem pertahanan dan keamanan yang sebaik-baiknya. Dalam upaya mempertahakan diri tersebut maka setiap bangsa, negara atau kerajaan di dunia ini tentu saja akan mempunyai pola sistem pertahanan dan keamanan yang berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi geografis dan karakter pimpinan yang sedang memegang tampuk pemerintahan. Demikian pula Bangsa Indonesia dengan sistem pertahanan dan keamanan yang dikembangkannya mempunyai perbedaan yang mencolok dengan bangsabangsa lain di dunia. Dalam uapaya memperkuat sistem pertahanan dan keamanan khususnya dalam menangkal musuh atau serangan bangsa lain, maka bangsa Indonesia sangat memperhatikan kondisi geografis disamping kekuatan-kekuatan lain yang kesemuanya terwujud dalam sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Kepulauan Indonesia yang terletak antara benua Asia dan Australia sering diumpamakan sebagai sebuah jembatan diantara kedua benua tersebut. Kepulauan Indonesia terletak antara dan
garis lintang utara dan
garis Lintang Selatan serta
garis Bujur Timur, merupakan gugus kepulauan terbesar di dunia.
Daratan Indonesia kurang lebih 1.904.000 kilo meter persegi, dibagi menjadi empat satuan geografis. Satuan pertama, meliputi kepulauan Sumatra Barat, yaitu
2
Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, termasud pulau-pulau kecil di sekitarnya. Satuan kedua meliputi, kepilauan Sunda Kecil, yaitu pulau-pulau disebelah tenggara, dari Lombok sampai timur (Suroyo, 2007: 23-24) Sehingga sejarah maritim memegang peranan penting dalam upaya menelusuri hubungan lintas budaya antara satu komunitas dengan komunitas lain, baik antar daearah maupun antar pulau, yang menjadi dasar bagi proses integrasi; dan dalam perjalanan waktu menjadi satu bangsa Indonesia (dahulu disebut Nusantara) merupakan gugusan kepulauan yang menempatkan laut sebagai penghubung, dan bukan sebagai pemisah (Suroyo, 2007) Pada masa lampau di Indonesia terdapat banyak kerajaan-kerajaan yang tersebar diberbagai daerah. Tercatat dalam sejarah bahwa di Indonesia terdapat banyak kerajaan-kerajaan besar maupun kerajaan kecil. Diketahui dalam sejarah bahwa dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedua kerajaan itu memiliki kontribusi yang besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia karena dua cikal-bakal Negara Indonesia adalah berasal dari kedua kerajaan tersebut. Kerajaan Sriwijaya tercatat dalam perkembangannya banyak menguasai beberapa daerah kekuasaan. Hal itu dikarenakan selain kerajaan Sriwijaya memiliki pasukan yang hebat juga peran seorang raja yang dibantu oleh beberapa penjabat kerajaan salah satunya adalah peran mentri (Senopati). Hal tersebut juga terjadi pada sistem pemerintahan kerajaan Majapahit yang berkuasa hampir seluruh wilayah di Nusantara pada masa lalu karena peran raja dan peran para pejabat atau perdana mentri (Senopati).
3
Dengan latar belakang kebesaran dan kejayaan yang pernah diraih oleh Kerajaan tersebut, dan sebagai suatu episode dalam mata rantai sejarah masa lalu Nusantara, maka sudah tentu kronologis peristiwa maupun Kerajaan tersebut sangat penting diungkapkan keberadaannya dan keterkaitannya dengan Sejarah Nasional, peristimewa dalam kaitannya dengan soal peranan dan nilai-nilai kepemimpinan dari para pemimpinnya. Dengan kajayan sejarah maritim diawali dari masa kerajaan maritim Sriwijaya hingga kerajaan-kerajaan Aceh, Goa (Makassar), dan Ternate terlihat sebuah benang merah hubungan pelayaran dan perdagangan antar pulau; diikuti dengan hubungan ekonomi, sosial, budaya, serta pasang surut kekuasaan politik. Sehingga proses tersebut menghasilkan integrasi yang bersifat regional, sebuah embrio menuju integrasi nasional pada masa Indonesia merdeka. Nilai-nilai kepemimpinan dan kesejarahan lainnya dari para pemeran sejarah Kerajaan tersebut terasa penting untuk diangkat kepermukaan khususnya kerajaan Konawe. Sejarah Kerajaan Konawe beserta para tokoh-tokoh pemerannya telah banyak diungkapkan oleh penulis Sejarah Lokal di daerah ini, namun upaya-upaya tersebut masih perlu untuk ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas penelitiannya. Salah satu aspek kesejarahan Kerajaan Konawe yang nampaknya masih perlu untuk ditingkatkan intensitas penelitiannya adalah peranan dari segi-segi kepemimpinan dari beberapa tokoh legendaris Kerajaan Konawe lainnya selain seperti Raja Tebawo dan Raja Lakidende sudah diketahui tokoh-tokoh tersebut sangat besar fungsi dan peranan mereka dalam mendukung keberhasilan Raja dalam memimpin Kerajaan.
4
Istilah Sulawesi tenggara sebagai kawasan secara historis dibentuk oleh posisi geografis dan peran kekuasaan lembaga kerajaan (Rabani, 2010: 15). Pada masa lampau pernah ada beberapa kerajaan diantaranaya seperti Kerajaan Buton, Kerajaan Muna, kerajaan Konawe, dan Kerajaan Mekongga. Pada masing-masing kerajaan
tersebut,
dapat
kita
amati
ketika
raja
dalam
menjalankan
pemerintahannya di bantu oleh beberapa penjabat kerajaan. Kerajaan atau kesultanan Buton, raja dibantu oleh beberapa orang mentri (bonto/bontona), sedangkan pada kerajaan Konawe raja biasa dibantu oleh tangan besi raja (Kapita), begitu pula di kerajaan Konawe, yang dibantu oleh “Siwole Mbatohu dan Opitu Dula batuno Konawe” atau yang disebut Empat Sisi Wilayah Besar dan Tujuh Dewan Kerajaan Konawe (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 49). Dibeberapa daerah di kenal jabatan yang mempunyai masalah pertahanan dan keamanan di laut seperti di Buton di kenal Kapita Lao, sedangkan di Kerajaan Konawe Sejak zaman Mokole Tebawo kerajaan Konawe telah membentuk panglima angkatan laut yang disebut Kapita Lau atau juga lebih dikenal Kapita Bondoala. Berkedudukan di Pu’usambalu Sambara/Sampara. Pada zaman itu dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita Bondoala (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 54) Aspek permasalahan dan kajian Peran Kapita Lau mengingat luasanya ruang lingkup permasalahan serta untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dalam pembahasan masalah penelitian ini, oleh karena itu untuk membatasi dan menghindari permasalahan itu, tulisan ini membatasi pembahasan dari tahun 1725-1904. Penetapan temporal tahun 1725-1904 karena pada kurun waktu
5
tersebut dibentuknya suatu jabatan dimana Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut) yang memiliki peran yang cukup besar di Kerajaan Konawe. Batasan Spasial (tempat) dalam penelitian ini mencakup lokalitas kawasan Konawe dengan spasial penelitian pada kelurahan Sampara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe yang merupakan tempat kedudukan Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut). Sedangkan batasan tematis dalam penelitian ini adalah sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana latar belakang terbentuknya Kapita Lau di Kerajaan Konawe? b. Bagaimana struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di kerajaan Konawe? c. Bagaiman peranan dan fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan penelitian Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: a.
Untuk mengetahui latar belakang terbentuknya Kapita Lau di Kerajaan Konawe
b.
Untuk mengetahui sturktur pelaksanaan tugas Kapita Lau Kerajaan Konawe
6
c.
Untuk mengetahui peran dan fungsi Kapita Lau terhadap Kerajaan Konawe
2.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang disusun dalam bentuk karya tulis ilmiah ini
diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Bermanfaat sebagai bahan masukan untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang sejarah lokal daerah Sulawesi Tenggara khususnya peran Kapita Lau di Kerajaan Konawe b. Manfaat Praktis 1.
Bagi kalangan pemerintah, yaitu sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran melalui istansi terkait untuk dijadikan bahan dokumen dalam upaya melestarukan nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara umumnya dan Sejarah Konawe Khususnya sebagai bagian dari Kebudayaan Nasional.
2.
Bagi kalangan akademis, yaitu sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran serta bahan perbandingan dalam penelitian tentang sejarah lokal/daerah yang telah ada sebelumnya, khususnya yang berkaitan tentang sejarah masa lalu Kerajaan Konawe.
3.
Bagi kalangan masyarakat, sebagai bahan informasi kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat Konawe tentang Peran Kapita Lau di Kerajaan Konawe.
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA A.
Konsep Kemaritiman Laut tidak hanya sebagai alat pemersatu bangsa, tetapi ia juga telah
memainkan peranan yang besar dalam sejarah pertumbuhan masyarakat dan bangsa Indonesia. Lewat laut pula berbagai peradaban dan kebudayaan dari berbagai belahan dunia, seperti India, Cina, Arab, dan kemudian dari Eropa masuk kenegara ini. Di samping itu, Laut juga menjadi lahan tempat sebagian besar orang Indonesia, langsung atau tidak langsung mencari nafkah. Menurut Gusti Asnan (2007: 6) dunia maritim adalah sebuah dunia yang luas, dalam, sukar ditebak sebab ia bisa tenang memberikan kedamaian dan rezeki bagi anak manusia. Hal ini seperti yang dikemukakan A.B. Lapian (dalam Gusti Asnan, 2001: 7) bahwa ada tujuh aspek maritim yang berlaku didalam masyarakat di berbagai pelosok dunia, yaitu perdagangan, pelayaran, perkapalan, tradisi bahari, mitologi laut, perompakan dan perikanan. Sedangkan Baharuddin Lapo Menambahkan satu aspek lagi, yakni hukum laut. Seperti yang dikemukakan oleh Suwardi (2008: 123) dalam bukunya yang bejudul Mengabdi pada Ilmu dan Profesi Sejarah mengenai Bugis dalam sejarah di kepulauan ini, jika dikaitkan dengan kemaritiman dam migrasi,orang Bugis sepertinya tidak bisa dilepaskan dengan laut. Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai (Coastal Baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang
8
mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda. Namun ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara (Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 (Sumber : Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, Rokhmin Dahuri, 2003) Seperti dalam pepata Melayu mengatakan: ―Kalau tak ada laut, hampalah perut” “kalau tak ada hutan, binasalah badan” “kalau binasa hutan yang lenbat, rusak lembaga hilanglah adat” (Suardi MS, dkk, 2008: 81) B.
Konsep Peranan Istilah peranan dapat diartikan sebagai serangkaian aksi-aksi yang
dilakukanoleh seseorang atau kelompok orang yang diberi tugas dan kekuatan untuk menjadi ―bapak masyarakat‖ dalam menjalankan fungsi-fungsi kepercayaan dan wewenang yang diberikan kepadanya. Peranan juga lebih cenderung dimaknai sebagai suatu perilaku seseorang dalam suatu kegiatan atau aktifitas tertentu. Peranan ialah perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu. Peranan-peranan yang tepat dipelajari sebagai bagian dari proses sosialisasi dan kemudian diambil alih oleh individu (Cohen, 1983: 82). Dengan demikian, peran adalah suatu pola tindakan sebagai suatu respon yang ditampilkan oleh seseorang atau sekelompok orang, dimana tindakan ini membawa suatu efek atau dampak. Senada dengan itu, Koentjaraningrat dalam
9
Saragih (1990: 172) bahwa peran adalah ciri khas yang ditampilkan atau dipentaskan oleh individual dalam kedudukannya dimana ia berhadapan dengan individu-individu lain dalam kedudukannya. Selanjutnya peranan dirumuskan sebagai suatu rangkaian perilaku yang teratur, yang ditimbulkan karena suatu jabatan tertentu atau karena adanya suatu organisasi. Sejalan dengan itu maka peranan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai wujud pelaksanaan dari fungsi dan status seseorang atau sekelompok orang yang menonjol dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Pendapat Gros Etol yang dikutip oleh Paulus Wirutomo (1982: 99) mengemukakan pengertian peranan sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang meliputi kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan hubungan dari norma-norma dalam masyarakat. Maksudnya kita diwajibkan melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat dalam pekerjaan kita, didalam keluarga kita dan di dalam peranan-peranan lainnya. Selanjutnya Merton dalam Saragih (1990: 32) berpendapat bahwa peran (role zet) yang dimainkan seseorang akan mencakup beberapa hal, yaitu (1) posisi dan status seseorang dalam struktur sosial tertentu, (2) presepsi bagaimana seseorang dalam memandang peranannya, dan (3) tata cara memainkannya dan berbagai harapan yang muncul dalam masyarakat terhadap peran yang dimainkan. Status ialah kedudukan sosial individu dalam suatu kelompok atau biasa juga diartikan sebagai suatu tingkat sosial dari suatu kelompok dibandingkan dengan
kelompok-kelompok
lainnya.
10
Kedudukan
status
individu
akan
menentukan hak-hak dan hak-hak istimewa seseorang dalam masyarakat (Cohen, 1983: 82). Bertolak dari berbagai konsep peranan diatas, maka dalam kaitannya dengan peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe sebagai panglima angkatan laut dengan menampilkan kinerja yang diharapkan dalam melaksanakan tugastugasnya dengan baik C.
Konsep Pertahanan dan Keamanan Sistem pertahanan dan keamanan baik ditinjau secara individu kelompok
bahkan pada seluruh Negara memiliki arti penting bagi kelangsungan kehidupan manusia. Mereka berusaha untuk berbuat baik, dari segi lahiriah dan batiniah untuk mempertahankan diri atas berbagai ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam. Dari pernyataan tersebut maka pertahanan merupakan salah satu upaya pencapaian ketahanan nasional suatu bangsa. Ketahanan nasional adalah kondisi dimana suatu bangsa selalu dinamis yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu menyeimbangkan ketahanan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak langsung yang membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan Negara (Surbakti Akhadiat, 1984: 42). Berdasarkan pendapat diatas dapat memberikan pemahaman bahwa pertahanan dan keamanan suatu bangsa atau kerajaan mutlak diperlukan adanya, karena pertahanan dan keamanan dapat memegang peranan yang sangat penting dan cukup strategis dalam pemerintahan suatu Negara atau kerajaan. Demikian
11
pula dengan keberadaan Kapita Lau di Kerajaan Konawe mempunya peranan yang sangat penting dan cukup strategis dalam meningkatkan sistem pertahanan dan keamanan Kerajaan Konawe, baik dalam bidang kelautan, maupun dalam bidang sosial budaya, sebagaimana Tugas Kapita Lau (panglima angkatan laut) yang menjunjung tinggi stabilitas keutuhan Kerajaan Konawe. D. Teori Kepemimpinan Kepemimpinan mengandung suatu pengertian kemampuan seseorang untuk menuntun atau membimbing orang lain baik secara individu maupun secara kelompok. Oleh karena itu kepemimpinan muncul bersamaan dengan lahirnya kelompok atau organisasi. Sehubungan dengan itu Pamudji (1986: 152) mengemukakan bahwa seorang pemimpin menggerakkan pengikut dengan harapan bahwa ia berhasil mencapai tujuan organisasi akan dapat menguntungkan sehingga setiap anggota masyarakat akan terjadi suatu interaksi. Sejalan dengan itu Yayat Hayati (2008: 2) mengemukakan bahwa dalam setiap organisasi terdapat tiga unsur dasar yaitu: a) orang-orang (sekumpulan orang) b) kerja sama c) serta tujuan yang akan dicapai Seorang pemimpin harus ditopang oleh unsur-unsur yang bersumber dari dalam dirinya (bakat atau sifat) dan kondisi sosial sekitarnya. Kedua unsur akan bersatu dan berproses sampai tampilnya seseorang menjadi pemimpin. Sejalan dengan itu munculnya seorang pemimpin dalam suatu masyarakat yang membangun karena ia memiliki sifat-sifat karismatik, yaitu timbul karena
12
kesaktian atau kekuatan yang dianggap luar biasa, yang menurun sebagai warisan dari leluhurnya. Sejalan dengan itu Uchajana (1986: 32) mengemukakan bahwa, sebuah kepemimpinan tradisional adalah pemimpin yang tumbuh berdasarkan sejarah. Selanjutnya Kartono (2003: 49) mengemukakan bahwa ―kepemimpinan‖ adalah kegiatan mempengaruhi orang orang agar mereka mau melakukan kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan, kepemimpinan adalah kegiatan yang mempengaruhi orang-orang agar mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok, kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia, dan kemampuan kemampuan untuk membimbing orang. Sejalan dengan itu Suradinata (1995: 11) mengemukakan, kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengendalikan, mempengaruhi pikiran, atau tingkah laku orang lain dan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya Pasolong (2010: 5) mengemukakan bahwa, kepemimpinan adalah cara atau teknik yang di gunakan pemimpin dalam mempengaruhi pengikut atau bawahannya dalam melakukan kerja sama mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dari uraian di atas dapat member pemahaman bahwa kepemimpinan lahir sebagai ekspresi kharismatik dari sifat yang dimiliki oleh seseorang, sehingga mampu memberikan gemah kepada orang lain untuk tunduk dan patut terhadap segala tindakannya. Kharismatik yang dimilikinya dapat dijadikan sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi orang yang dipimpinnya, sehingga menjadikan
13
pemimpin itu semakin memperkokoh kekuasaannya, dan semakin kuat kekuasaan seseorang semakin tinggi pula kualitas kepemimpinan yang dimilikinya. E.
Konsep Kepemimpinan Tolaki Sondang P. Siagian (2003: 43) mengemukakan bahwa seorang pemimpin
yang demokratik, dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan organisasional mendorong para bawahannya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Efektivitas kepemimpinan dari para pemimpin yang bersangkuntan merupakan suatu hal yang sangat didambakan oleh oleh semua pihak organisasi atau didalam kepemimpinan suatu Kerajaan. Selanjutnya Uchjana (1981: 1) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol perasaan atau tingkah laku orang lain. Kepemimpinan tradisional hanya dijumpai pada masyarakat besar maupun pada masyarakat kecil, contohnya kepemimpinan tradisional Kapita Lau (panglima angkatan laut) di Kerajaan Konawe. Sejalan dengan itu, Abdurrauf Tarimana (1993: 189-191) mengemukakan bahwa dasar dan tujuan kepemimpinan Tradisional Orang Tolaki, adalah: (1) petono’a (kemanusiaan), yakni kemanusiaan menurut pe’oliwi ari ine mbue (ajaran dari pesan-pesan leluhur), (2) ponano ana niowai, tono nggapa, romeromeno wonua (kehendak orang banyak), dan (3) medulu, mepoko’aso (kesatuan dan persatuan). Secara konstitusional dasar kepemimpinan itu adalah ajaran adat, yang tercakup dalam Kalo sebagai pu’uno o sara (adat pokok orang tolaki). Kalo
14
sebagai adat pokok adalah sumber dari segala adat-istiadat orang tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka (1993: 191) Adapun tujuan kepemimpinan dalam masyarakat Tolaki tersebur di atas adalah mewujudkan masyarakat yang bersatu, makmur, dan sejahtera. Orang Tolaki menggambarkan wujud masyarakat yang bersatu sebagai suatu masyarakat di mana hubungan antara orang seorang, keluarga dengan keluarga, dan golongan dengan golongan senantiasa terjalin suasana yang disebut medudulu (saling bersatu), mete’alo-alo (saling menanam budi), samaturu (saling ikut serta dalam usaha kepentingan bersama), mombeka pona-pona ako (saling harga menghargai), dan
mombekamei-meiri’ako
(saling
kasi
mengkasihi).
Mereka
juga
menggambarkan wujud masyarakat yang makmur melalui apa yang disebut suasana mondaweako (padi melimpah), kiniku nebanggona (banyak kerbau, ternak melimpah), olo waworaha (banyak kebun tanaman jangka panjang), tapohiu o epe (banyak areal tanaman sagu), kadu mbinokono (cukup barangbarang pakaian dan perhiasan), melaika’aha (mempunyai rumah yang besar), ndundu karandu tumotapa rari (bunyi gong di tengah malam, tawa dan teriakan yang ramai dalam pesta). Dalam usaha mewujudkan ketiga tujuan kepemimpinan dalam masyarakat Tolaki, seorang pemimpin tradisional orang tolaki harus mampuh menjalankan tiga prinsipkepemimpinan yang disebut: mo’ulungako (mengajak orang banyak yang dipimpinnya), mohiasako (menggerakkan tenaga orang banyak yang dipimpinnya), dan momboteanako (mengmbala orang banyak yang dipimpinnya). Sebagai seorang pemimpin yang mengajak orang banyak, maka ia adalah seorang
15
yang disebut positaka (tauladan yang baik bagi orang banyak); demikuan sebagai seorang pemimpin yang menggerakkan orang banyak, maka ia adalah seorang yang disebut pohaki-haki (pemberi semangat bagi orang banyak), dan begitu pula sebagai seorang pemimpin mengembala orang banyak, maka ia adalah seorang yang disebut tani’ulu (pemegang tali kendali) (Tarimana, 1993: 189-191) F.
Penelitian Terdahulu (Historiografi) Pada penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Abdul Kadir
Laossong dengan judul skripsi Peranan Barata Lohia Terhadap Kerajaan Muna. Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kerajaan Muna pada zaman dahulu merupakan salah satu kerajaan yang ada di Nusantara yang memiliki sistem pertahanan keamanan yang strategis disebut Barata. Barata tersebut merupakan basis pertahanan yang ada di lingkungan kerajaan Muna. Barata-barata tersebut terdiri dari Barata Lohia, Barata Lahontohe, dan Barata Wasolangka. Ketiga Barata tersebut merupakan tempat yang sangat strategis dan memiliki daya pendukung di bidang pertahanan keamanan dalam menjaga integrasi kerajaan Muna. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Alimudin dengan judul skripsi Peran Bontona Pada Masa Kesultanan Buton (1538-1960). Dalam penelitiannya mengatakan bahwa Bantona Siompu awalnya adalah sebuah kerajaan kecil disekitar wilayah Kerajaan Buton. Namun kemudian Bantona Siompu bergabung menjadi anggota Siolimbona dan menyatakan bernaung dibawa kekuasaan kerajaan Buton disebabkan adanya ancaman besar dari bajak laut Tobelo.
16
Bergabungnya Kerajaan Siompu di bawah pemerintahan kerajaan Buton membuat status siompu berubah dari kerajaan menjadi Kadie atau wilayah bagian kekuasaan Buton yang dikepalai oleh seorang Bonto. Setelah Siompu bergabung di Kerajaan Buton kemudian menambah eksistensi Buton menjadi semakin kuat untuk membendung serangan bajak laut Tobelo. Hal
ini
membuat
Siompu
memegang
peranan
penting
dalam
mempertahankan keutuhan wilayah kerajaan Buton. Peranan Bontona Siompu diantaranya dalam pemerintahan sebagai kepala kadie, dalam bidang pertahanan yaitu membantu Matana Surumba Wabula di daerah pertahanan bagian selatan, dibidang pelayaran dan perdagangan mengurus kegiatan izin pelayaran dan perdagangan, sedangkan dibidang sosial dan budaya sebagai tokoh masyarakat Siompu yang mengurus tentang pendidikan, agama dan ekonomi masyarakat. Penelitian lain, yaitu penenlitian yang telah dilakukan oleh Gatrima di kerajaan Konawe. Dengan judul Perana Taridala sebagai Kapita Ana Molepo atau Panglima Angkatan Darat pada masa Pemerintahan raja Tebawo di Kerajaan Konawe. Dalam penelitiannya ia mengemukakan bahwa Kapita Ana Molepo adalah jabatan yang diberikan oleh kerajaan Konawe kepada Taridala sebagai panglima angkatan darat yang bertugas dan bertanggung jawap kepada raja Tebawo di bidang pertahanan dan keamanan kerajaan. Taridala bukan hanya sebagai panglima angkatan darat (Kapita Ana Molepo) tetapi juga sebagai dewan penasehat raja/kerajaan (O’Pitu Dula Batu) yang berkedudukan di Uepay.
17
Peranan Kapita Anamolepo dalam soal taktik dan strategi pertahanan dan keamanan kerajaan lebih banyak diarahkan pada tugas-tugas memulihkan kedaulatan wilayah kerajaan sehingga hampir seluruh masa jabatannya dihabiskan dimedan pertempuran guna merebut kembali daerah-daerah yang diduduki atau ingin memisahkan diri itu, dengan memimpin langsung peasukan kerajaan selama kurang lebih 2 tahun lamanya. Namun setetelah berhasil merebut kembali wilayah-wilayah tersebut kemudian Taridala menghilang beberapa tahun karena berselisi dengan raja Tebawo. Kemudian Gatriama mengemukakan bahwa selain memainkan peranan yang sangat besar dalam pemulihan kedaulatan kerajaan Konawe melalui berbagai taktik dan strategi pertahanan dan keamanan yang diterapkannya, juga Taridala membantu stabilitas politik dalam negeri, bidang penyelenggaraan pemerintahan, bidang sosial budaya dan juga bidang ekonomi bersama-sama dengan aparat kerajaa lainnya. Keberhasilan Taridala dalam menjalankan tugas Fungsionalnya sebagai panglima angkatan darat kerajaan Konawe selai didorang oleh factor kekeluargaan yang dekat (putra raja Tebawo dari istri ketiga) juga lebih disebabkan oleh factor kepemimpinan yang memiliki sifat-sifat pemberani. Tegar, jujur, karismatik, adil, demokratis tapi tegas, arif dan bijaksana. Kemidian penelitian yang dilakukan oleh Nurlupiana dengan judul Peranan Tutuwi Motaha (Pengawal Raja) di Kerajaan Konawe pada Abad XVIIXX. Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa jabatan Tutuwi Motaha atau komandan pengawal kerajaan di Istana muncul sejak abad ke-17 pada masa pemerintahan Mokole Tebawo (Sangia Inato). Tutuwi Motaha masuk dalam
18
struktur Opitu Dula Batuno Konawe.Berkedudukan di Anggaberi yang pertama kali dijabat oleh Pakandeate atau Inowehi. Pada masa Lakidende II pejabat Polapi Wungguaro dan Petumbu Lara Dati digabung kedalam jabatan Tutuwi Motaha bertindak sebagai pimpinan pengawal kerajaan di istana. Nurlupiana juga mengemukakan bahwa peran dan fungsi Tutuwi Motaha ini yaitu: 1) berfungsi sebagai panglima pertahanan kerajaan Konawe dilingkungan istana, 2) sebagai protokoler kerajaan seperti mengatur rapat, perjalana Mokole atau raja, 3) mengamankan lingkungan istana, raja dan keluarganya. Perannya yaitu: 1) bersama Taridala (Kapita Anamolepo) memadamkan pemberontakan Surumaindo di Lawata, 2) membantu kerajaan Bone pada saat perang dengan Goa sehingga mendapat gelar Pakanre Ate (Pakandeate) artinya pemakan hati, 3) fungsi lainnya sebagai penutup, menjaga, dan melestarikan kelangsungan kerajaan. Sifat-sifat jabatan Tutuwi Motaha yaitu memangku jabatan secara teruji, tabah, ulet, berani, cekatan dalam hal sebagai pendamping Mokole, dan bertanggung jawab terhadap keamanan raja. Kondisi jabatan Tutuwi Motaha sesudah kemunduran kerajaan Konawe yaitu pada masa Lakindende II tetap berlangsung meski pejabat Tutuwi Motaha ini menjadi pelaksana raja dengan beberapa faktor sehingga beliau menjadi pelaksana raja dan melaksanakan beberapa kebijakan yaitu mengetus beberapa bangsawan Konawe membuka dan memimpin wilayah. Selanjutnya jabatan Tutuwi Motaha ini dilanjutkan oleh Saria (putra Pakandete), dilanjutkan oleh Pagala, kemudian dijabat oleh Saranggai dan terakhir dijabat oleh La Andara
19
mulai dari Hindia Belanda hingga berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Konawe/Laiwoi. Dengan bertolak pada penelitian yang telah dilakukan oleh Abdul Kadir Lassong, Alimudin, Gatrima dan Nurlupiana telah banyak memberikan motivasi bagi peneliti untuk mengungkapkan sejarah Kapita Lau di Kerajaan Konawe dan historiografi tentang Panglima Angkatan Laut belum banyak diungkapkan. Hal ini yang mendorong penulis untuk menelitinya.
20
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe, Kabupaten Konsel,
Kabupaten Konawe Utara karena daerah ini merupakan bekas wilayah Konawe dan waktu penelitian pada bulan Maret sampai bulan Mei 2012 B.
Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
struktural yang mempelajari dua domain yaitu domain peristiwa (iven) dan domain struktural. C.
Langkah – langkah Penelitian 1. Metode Penelitian Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah
menurut Ernest Bernheim yang dikutip oleh Helius Sjamsuddin dan Ismaun (2007: 19) yaitu (1) Heuristiek, yaitu mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah, (2) Kritiek, yaitu menganalisis secara kritis sumbersumber sejarah, (3) Auffassung, yaitu penanggapan terhadap fakta-fakta sejarah yang dipungut dari dalam sumber sejarah, dan (4) Darstellung, yaitu penyajian cerita yang memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau. Adapun tahapan kerjanya adalah sebagai berikut: a.
Pengumpulan sumber (Heuristik)
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mendapatkan dan mengumpulkan sumber yang berkaitan dengan peran Kapita Lau di Kerajaan
21
Konawe. Dalam kegiatan ini, pengumpulan data dilakukan dengan langkah sebagai berikut: 1. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu mengkaji beberapa buku, makalah, disertasi serta laporan hasil penelitian yang ada lerevansinya dengan judul dan masalah dalam penelitan ini. 2. Penelitian lapangan (Field Research), yaitu mengadakan penelitian secara langsung dilokasi penelitian guna menghimpun data atau informasi yang berkaitan erat dengan topik. Kajian dalam penelitian ini menggunakan beberapa Tradisi Lisan (Oral Tradition) yang dilakukan dengan cara, yaitu dengan melakukan wawancara kepada lima orang (informan) yang benyak megetahui tentang obyek yang diteliti dalam hal ini mengenai latar belakang Kapita Lau dan peranannya di Kerajaan Konawe pada tahun 1725 – 1904. b. Kritik Setelah sumber terkumpul, maka tahap berikutnya adalah verifikasi atau kritik atau keabsahan sumber tersebut. Verifikasi sumber lilakukan dengan dua cara yaitu sebagai berikut: 1) Kritik ekstern (autentisitas), yaitu dimaksudkan sebagai kritik terhadap keaslian sumber data yang diperoleh. Dalam hal ini dilakukan analisis terhadap suatu sumber data dengan meneliti penampilan luarnya seperti kertasnya, gaya tulisannya, tintannya, bahasa, kalimat, kata-kata, dan segi penampilan luar lainnya
22
2) Kritik intern, (Kredibilitas sumber), yaitu dimaksudkan sebagai kritikan terhadap kebenaran isi sumber itu, apakah informasi (data) yang diberikan oleh sumber itu dapat diterima kebenarannya ataukah tidak. Dalam hal ini dilakukan analisis mengenai hubungan antara fakta sejarah yang termuat dalam sumber itu sendiri c.
Auffassung (Intepretasi)
Setelah data lolos dari proses kritik atau penilaian, maka ditemukan sejumlah keterangan atau informasi tentang masalah yang diteliti. Langkah berikutnya setelah kritik sumber tersebut adalah interpretasi, yang dilakukan dengan dua cara yaitu: 1.
Analisis, yaitu menguraikan, dimana keterangan atau informasi yang diperoleh tersebut diuraikan terlebih dahulu kemudian dari uraian tersebut dapat disusun beberapa fakta sejarah
2.
Sintesis, yaitu menyatukan, dimana setelah fakta sejarah ditemukan tindakan selanjutnya adalah fakta sejarah tersebut dihubungkan dan dikombinasikan antara satu dengan yang lain hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Penafsiaran data ini sangat penting untuk memperoleh suatu kesimpulan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
d. Darstellung (Tahapan penulisan) Tahapan terakhir dari rangkaian metode penelitian sejarah adalah tahap penulisan (Darsellung) yaitu kegiatan menyusun atau penulisan terhadap data dan fakta yang telah lolos seleksi dan sudah melewati tahap penafsiran sehingga dapat menjadi suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
23
2. Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian yang digunakan penulis mengacu pada tiga kategori sumber yaitu sebagai berikut: a.
Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk buku, arsip, skripsi serta laporan hasil penelitian yang relevan dan mendukung perolehan data hasil penelitian ini. Sumber-sumber tertulis tersebut diperoleh di perpustakaan daerah maupun di tempat penelitian ini.
b.
Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui studi keterangan lisan (tradisi lisan) berupa cerita rakyat (folklore), nyanyian rakyat (folksong) dan kepercayaan rakyat (folkbelieve) dengan para informan yang dianggap memiliki kemampuan untuk memberikan keteranagan terhadap masalah yang diteliti.
c.
Sumber visual, yaitu data yang diperoleh melalui hasil pengamatan langsung terhadap berbagai sarana pendukung yang berkaitan dengan peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe.
24
BAB IV GAMBARAN UMUM KERAJAAN KONAWE A. Keadaan Geografis Kerajaan Konawe Daerah Konawe adalah merupakan suatu wilahyah kerajaan yang terletak di jasirah Tenggara daratan Sulawesi Tenggara yang sekaran ini sebagian besar menjadi daerah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kota Kendari. Adapun batas-batas administrasi wilayah kerajaan Konawe akan dijelaskan lebih lanjut. Pada zaman Mokole More Wekoila bersama suaminya Ramandalangi atau Langgai Moriana, menyatukan negeri-negeri disekitarnya, sehingga terbentang luas wilayah kerajaan Konawe yang meliputi batas-batasnya : a. Pada bagian Utara berbatasan dengan wilayah kekuasaan kerajaan Mori (Tomori), kerajaan Matano, kerajaan Baebunta di pesisir danau Towuti dan danau Matano. b. Di sebelah timur berbatasan dengan kerajaan Bungku dan Kerajaan Banggai (di Sulawesi Tengah), serta laut Maluku dan laut Banda. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Tiworo, dan Kekuasaan kerajaan Moronene. d. Sebelah Barat dengan kerajaan Luwu (Palopo), teluk Bone dan wilayah kekuasaan Kerajaan Mekongga di sekitar Kolumba. (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 23) Jika ditinjau dari segi pertahanan, maka letaknya sangat strategis karena letaknya berada di tengah-tengah kekuatan politik kerajaan lain, sedangkan Ibu Kota Kerajaan Konawe di Unaaha terletak di tengah-tengah wilayah pada daratan
25
yang luas yang diapit oleh dinding alam berupa hutan dan pegunungan. Pada masa pemerintahan Mokole Tebawo abad XVII, di tetapkan suatu perangkat penguasaan batas-batas wilayah kerajaan yang disebut ―Siwole Mbatohu‖ yang meliputi: a. Tambo I’Losoanao Oleo atau Gerbang Timur adalah wilayah Ranomeeto. b. Tampo I’Tepuliano Oleo atau gerbang Barat adalah wilayah Wawo Latoma. c. Bharata I Hana atau barata kanan adalah wilayah Tonga Una. d. Barata I Moeri atau barata kiri adalah wilayah Asaki/Lambuya. Bagian wilayah tersebut nampaknya merupakan suatu strategi pertahanan keamanan yang sangat cermat dan tepat, hal ini tentunya merupakan suatu pemikiran yang dinilai tidak ketinggalan dalam alam kemajuan sekarang ini. Kemudian pada zaman Mokole Tebawo dengan gelar Sangia Inato wilayah kekuasaan kerajaan Konawe meliputi: 1. Bagian utara mulai dari tapal batas dari barat ke Timur berbatasan dengan: Mathana, Lambatu, Epeeha, Bahodopi, Matarape, Waeya (Salabangka). 2. Bagian Timur berbatasan mulai dari daerah Utara ke Selatan: Pulau Labengki, Pulau Tiga, Menui, Labuhan Tobelo, Wia-Wia, Pulau Towea. 3. Bagian Selatan dimulai dari Timur kea rah Barat berbatasan dengan: Gunung Rompu-Rompu (Taubonto), Gunung Tari-Tari, Tanggetada, Dawi-Dawi sampai Teluk Bone. 4. Bagian Barat dimulai dari arah Selatan kearah Utara: Tolala, Patikala, Porehu, Nuha, Baebunta, Matana. (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 24)
26
Berikut batas-batas daerah Konawe menurut perjanjian antara Kerajaan Laiwoi dengan Hindia Belanda yang termuat dalam perjanjian panjang Long Contract isi bahwa bangsa Belanda mengakui daerah kekuasaan Raja Laiwui: dibagian Utara sampai Tobungku, dibagian Barat sampai Luwu, termasuk daratan Sulawesi yang berbatasan dengan Buton, bagian selatan sampai Tiworo, dan bagian Timur sampai dengan Wawonii dan Laut Banda. Demikian pula pulaupulau termasuk pandaan, Nambo, Bokori, Saponda, Madilau, Saponda Madora, Dangedangeang, pulau Hari, Cempeda, dan Tomowu. Diakui pula suku-suku bangsa yang mendiami pulau-pulau tersebut kedaulatannya. (Melamba, Aswati, dkk, 2012: 25). B.
Keadaan Demografis Kerajaan Konawe Secara geografis suku Tolaki mendiami wilayah daratan Sulawesi bagian
Tenggara, yang mendiami beberapa daerah kabupaten yaitu Kabupaten Konawe, Kota Kendari, Konawe Selatan, Konawe Utara, Ko laka, Ko laka Utara, dan Ko laka T imur. Beberapa daerah Kabupaten tersebut berada di daerah daratan Sulawesi bagian Tenggara. Ada dua pendapat mengenai asal-usul penduduk di Nusantara. Pertama, bahwa asal usul penduduk Nusantara adalah dari ras paleo Mongo lo id, yang berbahasa Austronesia, dan berasal dari sekitar daerah Yunan di Cina Selatan. Pendapat kedua menyebutkan bahwa penduduk asli Indonesia adalah ras Negrito dan ras Widdide. Dari kedua ras tersebut terjadi percampuran, yang selanjutnya terjadi lagi percampuran, dengan ras-ras pendatang lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa t idak ada lagi suku asli Indonesia.
27
Pendapat pertama bahwa penduduk yang berdiam antara pulau-pulau Taiwan Utara, Indonesia di Selatan, Madagaskar, Ras Paleo Mongolo id, berbahasa Austronesia dan berasal sekitar Yunan di Cina Selatan, Dr. J Brandes, mengemukakan bahwa pulau Taiwan di Utara, Indonesia di Selatan Madagaskar di bagian Barat, dan pulau di Asia Fasifik sampai Di Amerika Lat in di Timur. Menurut H. Kern dan Penduduk asli Indonesia adalah Ras Negrito dan ras Widdide ciri kulit hitam berambut keriting seperti orang Kubu di Sumatera. Ras Weddide ciri rambut berombak, berbadan kecilkulit sedikit sawo matang. Ras inilah yang melakukan migrasi kearah selatan masuk wilayah Nusantara termasuk daerah Sulawesi. Wilayah Sulawesi telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu diperkirakan bahwa penduduk pada zaman purba ini merupakan campuran berbagai ras yang datang dari berbagai penjuru. Ras Austro Melanesoid yang datang dari arah selatan (migrasi dari pulau Jawa) dengan ciri khas kapak genggam yang terbuat dari batu yang berbentuk lonjong dan senang memakan binatang kerang, maupun ras Paleo Mongoloid yang datang melalui arah utara (migrasi dari kepulauan sangir dengan ciri khas alat-alat flakes dan ujung panah dan isinya bergerigi. Termasuk dalam gelombang penyebaran penduduk Indonesia yang pertama kali dan merupakan pendukung dari kebudayaan Mesolitikum. Di daerah Sulawesi Tenggara telah memiliki penghuni tetap sejak zaman prasejarah. Dalam buku Profil propinsi RI dijelaskan bahwa ciri-ciri fisik penduduk asli Sultra memiliki kemiripan dengan suku-suku bangsa asli Indonesia lainnya yang berasal dari campuran antara bangsa dan bangsa Negriod. Penduduk
28
asli keturunan kedua ras tersebut kemudian berkembang menjadi suku. Suku baru menyusul datangnya gelombang perpindahan ras bangsa Proto-Melayu pada tahun 3.000 SM dan Deutro Melayu pada sekitar 300 SM (Rudini, 1992: 10). Suku bangsa Tolaki termasuk ras Mongoloid jika dilihat dari ciri-ciri antropologis dan tinggalan arkeologisnya. Dari berbagai sumber tulisan hasil penelitian mengenai asal-usul dan persebaran suku Tolaki yang dilaksanakan baik olah para peneliti/penulis barat (misionaris zending Kristen Belanda) maupun para peneliti Indonesia termasuk para ilmuwan lokal, menjelaskan tentang asal-usul suku Tolaki adalah berasal dari Hon Bin, Tiongkok Selatan pada tahun 6.000 tahun SM. Menurut beberapa pendapat, penduduk suku Tolaki berasal dari daerah/wilayah sekitar Tongkin perbatasan antara Birma-Kamboja Tiongkok bagian selatan, setelah melalui perjalanan dalam rentang waktu yang cukup panjang melewati ke pulauan Hiruku Jepang ke kepulauan di Filipina Selatan, pulau-pulau yang tersebar rapat di bagian Timur Sulawesi dengan menggunakan perahu-perahu cadik yang sederhana melalui sungai Lasolo dan kemudian secara bergelombang tiba dan membangun pemukiman sekitar danau Mahalona dan danau Matana (Rudini 1992: 24). Dijelaskan bahwa dari rombongan awal yang tiba di danau Mahalona dan danau Matana atau sekitar pegunungan Verbeek inilah yang kemudian disusul oleh kedatangan rombongan kedua pada 4.000 tahun SM, dan terakhir rombongan ketiga pada 2.000 tahun SM, yang kemudian mendesak rombongan awal tadi pada 6.000 SM, yaitu yang menjadi leluhur puak-puak orang Tolaki sehingga mendesak dan mnyebar dalam berbagai pecahan rombongan sebagaimana yang
29
kemudian dikenal dengan lahirnya berbagai pecahan suku-suku yang bertebaran di seluruh pelosok bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat Sulawesi seperti Sulusuku Toraja, To Ba’da, To mori, To Bungku, To Nsea, To Mohon, To Kia, To Moronene, Tolaki dan Sebagainya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Albert C. Kruyt bahwa semua suku-suku bangsa yang ada di pulau Sulawesi yang menggunakan ponem bahasa ―To‖ artinya ―orang‖ seperti To Luwuk, To Banggai, To Mori, To Nsea, To Mohon, To Bungku, To Moronene, To laki dan sebagainya memiliki hubungan darah atau asal-usul yang sama yaitu berasal usul dari Moro Filipina Selatan yang sejak 6.000 tahun SM, telah tiba di utara (sekitar sungai Mekongga) kemudian melanjutkan perjalanan secara bergelombang masuk ke daratan pulau Sulawesi dari arah Timur dan kemudian karena desakan peperangan, serangan penyakit dan sebab-sebab persaingan lalu terpecah-pecah menyebar ke seluruh arah dan pemukiman-pemukiman yang baru itulah kemudian mereka membangun kehidupan kelompok yang melahirkan berbagai perpecahan suku-suku dengan adat-istiadat dan bahasa yang berbeda-beda.
Tradisi lisan
orang Tolaki menjelaskan bahwa kedatangan rombongan pertama suku Tolaki berasal dari utara (pedalaman sekitar danau Matana dan Mahalona) melalui dua jalur yaitu yang melalui daerah Mori, Bungku selanjutnya memasuki bahagian Timur laut daratan Sulawesi Tenggara dan yang melalui danau Towuti kearah selatan dan bermukim beberapa lama di darah Rahambuu. Dari sana terbagi dua serombongan mengikuti lereng gunung Watukila lalu membelok ke arah Barat Daya sampailah di tempat-tempat yang mereka namakan Lambo, Lalolae, Silea yang kelak menjadi masyarakat Mekongga (Kolaka), rombongan lainnya turun
30
mengikuti kali besar (dalam bahasa Tolaki disebut Konawe Eha) dan berkonsolidasi di suatu tempat yang kemudian disebut Andolaki. Rombongan ini kemudian bermigrasi dan mendesak orang Tokia, Tomoronene, dan Toare yang akhirnya mereka tiba di Unaaha. Menurut tradisi lisan pemimpin mereka bernama Larumbesi atau lebih dikenal dengan nama Tanggolowuta (Rudini, 1992) Sedangkan wilayah persebaran orang Tolaki telah diuraikan oleh Prof. Dr. H. Abdurrauf Tarimana bahwa dari Andolaki inilah orang Tolaki kemudian terpencar ke Utara sungai Routa ke barat sampai Konde’eha sampai olo-oloho atau Konawe lewat Ambekairi dan Asinua, dan ke Timur sampai di Latoma sampai Asera. Orang Tolaki yang kemudian menyebar ke wilayah Timur meliputi wilayah Kendari Selatan di Pu’unggaluku, Tinanggea, Kolono dan Moramo serta yang menyeberang ke pulau Wawonii. (Tarimana, 1985: 37-38). Pada perkembangan penduduk
terjadi migrasi berupa para pendatang
beberapa suku bangsa seperti bangsa Bugis, Makassar, Toraja dan beberapa kelompok etnis lainnya yang datang dari daerah Sulawesi Selatan. Ada juga yang datang dari daerah Sulawesi Tengah, Jawa, Maluku dan dari Kabupaten dalam wilayah Sulawesi Tenggara sendiri seperti Muna dan Buton. Dalam kesimpulannya Basrin Melamba, M.A menjelaskan tentang asal usul Tolaki bahwa Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae,
31
diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih banyak situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi. Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa dari pada artefak di Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan, gerabah, porselin baik itu buatan Cina, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu pemujaan, terdapat beberapa gambar atau dengan misalnya binatang, tapak tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras Mongoloid, yang datang ditempat ini melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah Sulawesi, hingga masuk daratan Sulawesi Tenggara. (Melamba, Aswati, dkk, 2012: 495) C. Keadaan Sosial Budaya a) Stratifikasi Sosial atau Pelapisan Sosial Suku Tolaki Stratifikasi terjadi oleh karena adanya kebiasaan hubungan secara teratur dan tersusun, sehingga setiap orang dalam setiap saat mempunyai siatuasi yang menentukan hubungannya dengan oran lain secara vertikal maupun horizontal
32
dalam masyarakatnya. Masyarakat Tolaki adalah merupakan kelompok etnis terbesar jumlahnya di Daerah Sulawesi Tenggara. Wilayah pemukimannya meliputi keseluruhan daratan semenanjung Sulawesi Tenggara, yaitu daerah Kabupaten Konawe. Orang-orang Tolaki diangkat sebagai penduduk asli di Daerah Kendari karena merekalah yang termasuk penduduk tertua di daerah tersebut. Mereka itulah memenuhi pelosok-pelosok desa serta mendominisir kebudayaan Daerah Kabupaten Kendari sejak dahulu hingga sekarang ini. Di dalam mereka berpola serta berinteraksi antara sesama telah melahirkan kelompok-kelompok masyarakat dan tumbuh serta berkembang di desa mana mereka berada. Karena manusia dalam usahanya tidak pernah terlepas dari kodratnya, ternyata antara individu maupun kelompok terdapat penonjolanpenonjolan sosial yang tidak merata. Akibat dari perbedaan-perbedaan itu, batasbatas antara kelompokpun semakin jelas. Terkadang sesuatu kelompok sosial mempunyai disiplin yang ketat, sehingga anggota dari kelompok yang satu sulit untuk menerobos kelompok sosial yang lain. Di sinilah berawalnya kelas-kelas dalam masyarakat yang hampir tidak dapat dibedakan dengan kasta-kasta yang dianut oleh daerah-daerah lain. Di antara kelas-kelas masyarakat itu ada yang dipandang lebih tinggi (super class), kelas menengah (middle class), dan kelas yang paling rendah. Di dalam masyarakat Tolaki, kelas-kelas ini terdiri dari : -
Golongan Anakia (bangsawan)
-
Golongan Pu’utobu (bangsawan menengah)
33
-
Golongan Tonodadio (rakyat biasa)
-
Golongan bawah atau o’ata Di samping tiga golongan tersebut di atas, ada lagi satu golongan yang
merupakan tingkatan sosial yang paling di bawah, yaitu golongan ata (budak). Apabila kita meneliti pelapisan masyarakat tersebut di atas, maka yang menjadi dasar pelapisan masyarakat pada masa lalu adalah faktor keturunan. Seorang Pempunyai kedudukan dalam pelapisan tertentu karena keturunanya. Sekian faktor kerukunan, faktor keaslian (status Kependudukan), juga menjadi salah satu dasar yang kuat di dalam menentukan kedudukan seseorang di dalam masyarakat Tolaki. Pada zaman kerajaan, pelapisan masyarakat Tolaki sangat ketat. Sangat jarang terjadi salah seorang anggota dari kelompok bawah (Tonodadio) yang dapat memasuki kelompok yang paling atas (Anakia). Apalagi kelompok yang paling bawah sangat tertutup kemungkinannya untuk dapat bergerak naik menyatu dengan tingkat masyarakat di atasnya (vertimobility). Sistem kelas mencerminkan suatu masyarakat di mana kesempatan untuk naik tangga sosial lebih sukar dan hampir tertutup (Dr. Phil. Asrid S. Susanto; 1983 : 66). Sampai pada zaman Pemerintahan Belanda, sistem kelas/golongan dalam masyarakat Tolaki tetap dipertahankan. Bahkan sistem pelapisan masyarakat ini dijadikan
tameng
Belanda
di
dalam
pemerintahannya (politik adu-domba).
34
melaksanakan
pratktek
politik
Pada masa pemerintahan Belanda, golongan Bangsawan Pri-Bumi merupakan lapisan masyarakat ke-dua sesudah tingkatan/kedudukan bangsa Belanda sendiri. Golongan bangsawan diberikan kedudukan yang lebih istimewa dari pada golongan masyarakat lainnya dalam komunitas suku Tolaki. Hanya keluarga dari golongan bangsawan itulah yang boleh mendapatkan pendidikan. Akibatnya, jurang-jurang pemisah antara golongan masyarakat yang satu dengan golongan lainnya semakin dalam.Seolah-olah masyarakat Pri-Bumi terutama lapisan masyarakat bawah, sudah ditakdirkan sebagai bangsa atau golongan yang diperhamba. Sebaliknya golongan bangsawan utamanya orang-orang Belanda di satu pihak memiliki status yang teramat tinggi. Karena keanggotaan seseorang dalam suatu kelas atau kasta, maka orangorang itu dapat bergerak dalam berbagai kelompok dengan berbagai hak dan kewajiban (Soekandar,1983 : 67). Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dimana setiap warga Indonesia memperoleh kembali hak-hak azasinya, maka sistem kelas di dalam masyarakat Tolaki yang sangat merugikan itu berangsur-angsur terkikis oleh semangat demokrasi dan jiwa Pancasila itu sendiri. Dalam setiap masyarakat akan ditemukan atau berkembang dengan sendirinya stratifikasi sosial; hanya masyarakat-masyarakat yang sangat kecil dan homogen yang tidak mempunyai stratifikasi. Stratifikasi terjadi dengan makin meluasnya masyarakat dengan makin terjadinya pembagian pekerjaan. Di dalam masyarakat Tolaki sejak dahulu telah terbentuk stratifikasi yang berdasar kepada pembagian pekerjaan, yaitu :
35
-
Kelompok petani sederhana;
-
Kelompok peternak (mbuwalaka);
-
Kelompok penguasa (keluarga ningrat);
-
Keluarga kaya;
-
Keluarga pendekar; dan
-
Beberapa bentuk kelompok/keluarga lain. Dalam interaksi sosial, antara kelompok/keluarga tersebut di atas terjadi
gerak sosial (social mobility) yang tidak terbatas baik secara vertikal maupun horizontal. Kelompok-kelompok seperti ini tidak secara resmi atau secara organisasi. Karena itu satu sama lainnya menganggap sama-sama sederajat, saling bergaul dengan akrab. Hal ini disebabkan karena antara mereka saling membutuhkan serta saling bergantungan satu sama lain. Setelah masyarakat Indonesia memasuki alam hidup yang baru, dimana unsur pengetahuan menempati kedudukan teratas dalam sistem stratifikasi, maka terbentuklah pula kelompok cendikia, kelompok pegawai, disamping kelompokkelompok lainnya yang berdasar pada jenis pekerjaan/mata pencaharian. Sebagai akibat gerak sosial (sosial movement), maka terjadilah perubahan-perubahan status seperti: anggota petani beralih menjadi pegawai sedang petani penggarap beralih menjadi pedagang atau peternak. Dalam sistem kepemimpinan Tolaki, seorang (Raja) Mokole, sebelum memangku jabatannya, ia tinotonao (disumpah) oleh seorang tonomotu’o (seorang sesepuh
pamangku
adat)
dalam
fungsinya
sebagia
mewakili
rakyat
keseluruhannya dihadapan sidang pelantikan, yang dihadiri oleh segenap aparatur
36
kerajaan yang telah disebutkan di atas, yaitu: Siwole Mbatohuu, Pitu dula batu, tolu mbulo anakia mbuutobu, dan tolu etu la’usa. Berikut ini inti dari sumpah bahwa, ―…ia akan menaati adat dan hukum yang berlaku, dan sebaliknya rakyat bersumpah akan menaati segela kebijaksanaan dan perintah raja. Apabila raja melanggar adat dan hukum yang berlaku maka Jahelah yang akan memanskan nyawanya, besilah yang akan memotong lehernya, aranglah yang akan menodai mukanya dan tanahlah tempatnya dikuburkan; sebaliknya jikalau rakyat yang melanggar kebijaksanaan dan perintah raja maka kemiskinan, kepapaan dan kepunahan yang akan menimpah mereka‖ (Tarimana, 1989: 188-189). Disini tampak gejala adanya hubungan struktural dan fungsional antara raja dan rakyat, suatu politic contract (perjanjian politik dan pemerintah). Raja akan berhasil mewujudkan tujuan kepemimpinannya apabila taat terhadap pula rakyat akan menjadi makmur dan sejahtera apabila menaati kebijaksanaan dan perintah raja. Raja diperlakukan oleh rakyatnya laksana matahari, yang mampu memancarkan sinar keberkahannya ke seluruh penjuru negeri dan segenap penduduknya. Melalui keberkahan yang ada pada seorang raja, rakyat mendapatkan berhak dari Allah SWT, karena raja dipandang sebagai wakilNya di bumi. Permaisuri (isteri raja) dipandang oleh orang Tolaki, sebagai bukan, yang memancarkan sinar rayuan cinta dan kasih sayangnya ke seluruh penjuru negeri dan rakyatnya sebagai anak negeri. Sedangkan putera-puteri raja adalah laksana bintang-bintang yang bertaburan di langit di waktu malam. Mereka dipandang sebagai putera-puteri mahkota kerajaan, yang akan meneruskan pucuk
37
kepemimpinan negeri kerajaan. Kita seringkan ungkapan-ungkapan seorang pemangku adat, ketika ia menghadap raja, permaisuri, yang dikelilingi oleh putera-puterinya, katanya:―..iee inggomiu mberi’ou sangia, mata oleo, mata wula, ana wula…(maksudnya: wahai engkau yang dipertuan agung, dewa, matahari, bulan dan bintang-bintang. Abdurrauf Tarimana, (1993: 89). Mereka juga memandang seorang raja sebagai pu’uno okasu (kayu pokok, pohon besar tempat berlindungnya rakyat), sebagai petumbono olipu (tiang agungnya negeri), ponggorahino wonua (kayu pokok, pohon besar tempat berlindungnya rakyat), sebagai petumbuno olipu (tiang agungnya negeri), ponggorahino wonua (tokohnya kerajaan), pu’u watu (pokoknya batu yang agung, maksudnya: sumber kekuatan rakyat). Sebaliknya raja memandang rakyat sebagai rome-romeno wonua (sumber kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan negeri), maksudnya bahwa rakyatlah yang berfungsi dalam memproduksi dalam bidang ekonomi. Tanpa rakyat adalah musahil bagi negeri itu menjadi sejahtera, termasuk didalamnya raja dan keluarganya, serta seluruh aparat kerajaan, abdi negeri, dan abdi masyarakat. Mereka juga dipandang oleh raja dan aparat negeri sebagai wuta mokorano wonua (potensi kekuatan dan pertahanan negeri) dalam menghadapi segala ancaman musuh, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Demi kesejahteraan dan keselamatan negeri dan rakyatnya, dalam kehidupannya, maka Mokole (Raja) harus lebih banyak berdoa, bersamadi, berzikir kepada Allah SWT, agar rakyatnya senantiasa hidup tenteram dan damai. Bila ternyata rakyat di suatu
38
negeri, kata orang Tolaki, sering fitnah, timbul wabah penyakit, panen tidak jadi, maka hal itu berarti raja tidak betul, artinya sudah lupa tugas dan kewajibannya. b) Agama dan Kepercayaan Sebelum masuknya agama Islam, dan Kristen, suku Tolaki telah menganut kepercayaan yang percaya kepada dewa-dewa (sangia) yang dianggap menguasai alam dan kehidupan manusia. Mereka juga percaya kepada mahluk-mahluk halus, arwah nenek moyang dan kepercayaan kepada kekuatan sakti, dikalangan masyarakat Tolaki disebut sangia. Ada tiga sangai pencipta alam, sangia wonua (dewa negeri), sangia mokora (dewa pemelihara alam). Disamping ketiga sangia tersebut masyarakat Tolaki percaya pula akan adanya sangi-sangia yang lainnya yaitu: 1. Sangia ilosoano oleo yang berkuasa diufuk timur 2. Sangia itepuliano oleo yang berkuasa diufuk barat 3. Sangia I puri wuta yang berkuasa diperut bumi 4. Sangia ipuri tahi yang berkuasa didasar laut 5. Sangia ilahuene yang berkuasa diatas langit 6. Sangia mbongae yang membawa penyakit terhadap manusia 7. Sangia mbae atau sangia sanggoleo mba yang menghidupkan dan memelihara padi-padian. Selain dewa-dewa tersebut di atas, orang Tolaki percaya pula adanya Dewi Kesejahteraan yang disebut Sanggoleo Mbae (Dewi Padi). Di daerah Konawe, tidak berkembang lagi kepercayaan-kepercayaan seperti yang disebutkan di atas. Kecuali oleh beberapa orang dukun yang masih terkadang memuja pada
39
dewa di saat melaksanakan upacara pengobatan secara magis. Sekarang penduduknya memeluk agama Islam, sedang di daerah ini juga terdapat penduduk yang menganut agama Kristen. Upacara-upacara magis-tradisional yang sering-sering dilaksanakan di lingkungan masyarakat pedesaan, bukanlah merupakan manivestasi kepercayaan masyarakat setempat. Upacara mosehe dan mooli yang sering dilakukan oleh para pawang (dukun kampung), adalah salah satu cara pemberian sesajian serta permohonan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat secara tradisional. Oleh masyarakat Tolaki, menghargai tradisi nenek moyang adalah wajar sekalipun tidak berarti untuk kembali menghidupkan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang yang sifatnya mempersekutukan Tuhan. (Melamba, Aswati, dkk, 2011) Pada masa kini komunitas suku Tolaki masyoritas menganut agama Islam, dan agama Kristen. Sebelum menganut agama samawi, suku Tolaki memiliki kepercayaan kepada dewa-dewa atau sangia yang menguasai makro kosmos dan kehidupan manusia. Pada masa lalu pada umumnya masyarakat suku Tolaki menganut kepercayaan berupa : Ada tiga sangia utama yakni: sangia mbuu (dewa pokok) sebagai pencipta alam, sangia wonua (dewa negeri) sebagai pemelihara alam, dan Sangia mokora (dewa pemusnah alam). Kepercayaan animisme lainnya seperti, meyakini roh-roh yang mendiami semua benda, yang disebut Sanggoleo, mengenai dewa sangia, sangia maupun sanggoleo baik yang jahat maupun yang baik, seperti sanggoleo mbae, dan sangia mbongae. Tradisi pengayauan seperti halnya beberapa suku bangsa di Nusantara antara lain Batak, Toraja, Dayak dan
40
beberapa suku bangsa di Irian Jaya, ada unsur ―Koppensnellen‖ (mengayau atau penggal kepala) mongae. Meskipun pada saat ini mereka sudah menganut agama Islam dan Kristen, tetapi sisa-sisa kepercayaan itu masih hidup. Bahkan kepercayaan itu dapat bersifat sinkretisme yaitu konsep kepercayaan agama samawi bercampur dengan konsep kepercayaan lama. Kepercayaan diatas itu termaksud kepercayaan animisme dan dinamisme yang sampai sekarang masih sering dijumpai dalam masyarakat suku Tolaki. Dewasa ini penduduk Tolaki pada umumnya sudah menganut agama islam sejak Mokole Lakidende II, agama Kristen sejak abad ke19 Hindu dan Budha. D.
Struktur Organisasi Pemerintahan Kerajaan Konawe a) Sistem Politik dan Birokrasi. Praktek kepemimpinan Tolaki tampak dalam kebijaksanaan politik dan
pemerintahan. Sistem politik dan kepemimpinan negeri Tolaki adalah apa yang disebut: 1. mohopulei wonua. 2. mombulesako lono nggapa. 3. mosiwi-siwi tono meohai. Ini disebut politik dalam negeri, mereka juga mengenal dan mengembangkan sistem politik luar negeri. Sistim politik luar negeri tampak dalam praktek apa yang disebut: 1. mombekatia-tiari’ako (saling memberi upeti antara kerajaan dengan kerajaan), misalnya antara kerajaan Konawe dengan kerajaan Bone,
dengan kerajaan Luwu. 2. mombekatawa-tawani’ako (saling
memberi bantuan perang). 3. membekapagu paguru’ako (saling menukar ahli dalam ilmu dan pengetahuan)
41
Dengan mohopulei wonua dimaksud membina, mengayomi negeri dan penduduknya, agar senantiasa dalam keadaan yang kompak dan bersatu. Fungsi ini diperanani oleh Mokole (Raja) dan perlengkapannya, ialah Sulemandara (Perdana Menteri), dan empat timur, di barat, di utara dan di selatan kerjaan. Dengan mombulesako tono nggapa dimaksud menghimpun, mengelompokkan rakyat, orang banyak, penduduk agar mereka senantiasa bersatu dan saling berhubungan diantara satu sama lainnya. Fungsi ini diperanani oleh Puutobu (Kepala Wilayah, Distrik) dengan aparat perlengkapannya, ialah posudo (wakil), dan pabitara (aparat hukum, hakim). Ada 30 wilayah, sebagaimana telah saya kemukakan
pada
bagian
sebelumnya.
Sedangkan
dengan
mosiwi-siwi
to’onomeohai dimaksud membujuk, merukunkan kelangan keluarga luas agar mereka senantiasa hidup dalam suatu suasana persaudaraan, cinta-mencintai, saling akrab diantara keluarga inti yang satu dengan lainnya, sampai pada jaringan keluarga satu keturunan nenek-moyang. Fungsi ini diperanani oleh Tonomotuo (orang yang dituakan, kepala kampung, kepala desa), Pabitara (juru bicara), Tusawuta (aparat pertanian), Tamalaki (aparat pertahanan dan keamanan), o’tadu (pengintai musuh), mbu’akoi (dukun umum), mbuawai (dukun penyakit), mbusehe (dukun upacara), dan tolea (juru bicara dalam perkawinan). Ada 300 buah kampung didalam 30 wilayah pu’utobu setingkat kecamatan. Dalam pandangan kepeminpinan tradisional kepemimpinan disimbolkan: sebagai induk pohon besar (pu’uno okasu) madsudnya pelindung rakyat; rakyat adalah rome-romeno wonua (pembuat makmur bagi negeri), maksudnya pemberi jaminan hidup bagi pemerintah melalui produksinya; dan pemamngku adat
42
sebagai tanggi wotolu (teman seiring), maksudnya penasehat pemerintah dan pembela rakyat. Gagasan adanya perjanjian segi tiga ini bersumber dari ajaran Allah SWT (ombu sameena) melalui pesan leluhur (Tarimana, 1985: 225). Untuk merealisasikan prinsip-prinsip kesatuan dan persatuan ini setiap raja (mokole) yang memegang tampuk pemerintahan kerajaan mengarahkan tujuan politik dan pemerintahannya terhadap usaha pencapaian apa yang disebut mohopulei wonua, mombulesako tonononggapa, dan mosiwi-siwi tono tono meohai. Maksud konsep mohopulei wonua yaitu membina, memelihara, membangun negeri secara keseluruhannya, tidak hanya manusianya tetapi terhadap semua mahluk. Hal ini maksudnya untuk mewujudkan dan mempertahankan
kesatuan
dan
persatuan
serta
menciptakan
suasana
kesinambungan hubungan antara manusia dengan manusia dengan lingkungan alamnya baik alam nyata maupun alam gaib. Hubungan luar negeri, dengan kerajaan tetangga, melalui pertukaran upeti, bantuan perang, dan pertukaran latihan diperankan oleh masing-masing Kapita Ana Molepo (Panglima Angkatan Darat), Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut), dan tutuwi Motaha, Polapi Wungga’arono Wuta Konawe (Panglima Pertahanan dan Keamanan Istana Mokole). Untuk mewujudkan ketiga sistem politik dan pemerintahan dalam negeri, demikian luar negeri, terurai di atas, maka seorang Mokole atau Sulemandara, Sapati, Sabandara, Ponggawa, dan Inowa, demikian halnya para aparat pitu dula batu (Menteri), seterusnya Kapita Ana Molepo, Kapita Lau, para Puutobu, dan para Tonomotuo, ia disyaratkan oleh norma
43
kepemimpinan, bahwa ia adalah:1. pasitaka (contoh, teladan). 2. pohiasoka, pohaki pehaki (penggerak, pemberi semangat), dan 3. tani’ulu (pengendali). Dengan pasitaka dimaksud bahwa seorang pemimpin Tolaki adalah pola yang patut diatur oleh yang dipimpin (rakyat), karena ia adalah orang yang moseka (berani), pindara (pandai), mandara (ahli, trampil, cekatan), mota’u (berilmu), pandita (kaya akan pengetahuan baik mengenai dunia maupun mengenai akhirat), yang nyata dan yang gaib), kobaraka (mubarak, sakti), pinonaa’ko (disegani). Dengan pohiasako dimaksud seorang pemimpin Tolaki yang mampu menggerakkan orang yang dipimpinnya (rakyat) untuk secara bersama-sama melakukan pekerjaan dengan giat dan bersemangat dalam berbagai bidang
kegiatan
sehari-hari
dalam
upaya
memenuhi
kebutuhan
hidup
bermasyarakat dan berbangsa. Dan dengan pohaki-haki dimaksud seorang pemimpin Tolaki yang mampu memberikan dorongan, pengaruh bagi yang dipimpinnya rakyat, agar mereka bangkit berjuang untuk mengatasi dan memecahkan segala tantangan, hambatan, kesulitan dan bahkan masalah yang timbul dan dialami akibatnya oleh masyarakat, bangsa di masakininya, dalam rangka menghadapi masa depannya. Untuk itu maka seorang pemimpin Tolaki disyaratkan juga agar ia memiliki kemampuan dalam hal apa yang diungkapkan oleh orang Tolaki.....anomosekaki mengokoro ira’ino tono dadio, keno pebitara ano me’naki, tanda, mendoda, ano mo’api-api, iamo wanggehanu, anio pombenasaki noteeto pali tumo’orikee ohawo laa tinulara. Keno paraluu, anotoorikeeki bunggamanisi, polulu une, ano ehe’iki toono, meiringgee...(Tarimana, 1993)
44
Maksudnya lebih kurang bahwa ia harus berani berdiri di depan umum, orang banyak, bila ia berbicara maka harus nyaring suaranya, terang, jelas dan berapi-api, jangan ia pemalu, agar ia merasa bahwa dialah yang paling tahu apa yang sedagn dibicarakan (biarpun ternyata ada kekurangannya). Kalau perlu, agar ia mengetahui (ilmu) daya penarik, penggoda, agar ia disukai orang, disayangi. Sedangkan dengan tani’ulu (pengendali) dimaksud bahwa seorang pemimpin Tolaki disyaratkan agar aia mampu mengendalikan, mengarahkan ke depan, ke kanan, ke kiri, kalau perlu menghentikan dan menarik mundur ke belakang orang yang dipimpinnya, kemudian dilepaskannya lagi, begitulah seterusnya. Hal itu tergantung pada dirinya, yang melihat bahwa dengan cara demikian, rakyat yang dipimpinnya melangkah maju menurut situasi dan kondisi lingkungan dan tuntutan kebutuhan yang berlaku namun ia tetap berpegang teguh pada prinsip norma, sistem hukum, dan aturan-aturan khusus yang berlaku, yang segalanya bersumber dari ajaran Allah SWT. melalui agama, adat istiadat. Selain persyaratan rohaniah, mental psikologis terurai diatas, juga seorang peimpin Tolaki disyaratkan bahwa ia secara biologik-genetik, adalah keturunan bangsawan, atau paling kurang keturunan golongan menengah, pemangku adat, keturunan tonomotuo. Ia sama sekali tidak memenuhi syarat, jika ia keturunan budak (o’ata), kecuali ia dalam gari silsilah keturunan telah melepas diri sampai tujuh turunan karena kawin-mawin dengan keturunan golongan menengah, dan atau dengan keturunan golongan bangsawan, namun sangat jarang terjadi. Badan yang sehat, tidak mengidam penyakit menular, kuat tisik, biarpun tidak tinggi dan kekar tubuh, asal ia tampaknya tampan dan gagah, merupakan syarat bagi orang
45
Tolaki untuk menjadi seorang pemimpin. Bahkan orang Tolaki berkata: ―mohewutokaa mano upirahi-rahi,‖ artinya ―kecil-kecil orangnya namun ia adalah andalan.‖ Ia laksana ―saha mohewu mano morere‖ (cabe rawit tetapi sangat pedis rasanya). Adalah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin, kata orang Tolaki, biarpun persyaratan lainnya tersebut di atas, apabila seseorang itu cacat fisik, misalnya ada tanda atau bekas luas di mukanya, jari terpotong atau berangkai, dan atau ia tangan kiri, makan dengan tangan kiri, memegang dengan kiri (left handed), apalagi kalau ia mandul, atau banci. b. Wilayah Persekutuan Masyarakat Tolaki. Suatu hukum adat Tolaki pada masa lalu memilki wilayah hukum adat dengan istilah-istilah A’nggalo, O’napo, O’tobu, dan wonua. Istilah-istilah tersebut yang berarti bagian-bagian wilayah yang diduduki dan dikuasai oleh sekelompok masyarakat hukum adat suku bangsa Tolaki untuk didiami dalam jangka waktu terbatas, adapaun wilayah yang dimaksud adalah: a) Wilayah persekutuan A’nggalo, yaitu lembah nggarai yang penghuninya terdiri 4 – 7 kepala keluarga yang merupakan satu keluarga asal dari satu nenek moyangnya sendiri. Wilayah yang dikuasai ini secara ideal dapat bertahan berkat adanya tokoh tiga pemimpin bertanggungjawab
yang bertindak dan
sebagai pengaman dan penyelamat atas segala
ancaman yang membahayakan kelompok kecil yang bersangkutan. Tiga tokoh itu dinamakan Tamalaki, Mbuakoi, dan Mbusehe. b) Wilayah persekutuan O’napo, yaitu suatu wilayah lembah yang secara hukum adat (osara) dikuasai dan diduduki oleh gabungan kelompok yang
46
mendiami anggalo. Sebagaimana halnya anggalo, o’napo ini merupakan suatu wilayah yang dapat dikuasai dan bertahan lama berkat adanya tiga tokoh pemimpin yaitu Tonomotuo, pabitara, dan Tamalaki yang berasal dari anggalo yang lebih terampil dari anggalo lainnya tadi. c) Wilayah persekutuan Pu’utobu, yaitu wilayah gabungan o’napo yang biasanya pula terdiri dari 4-7 o’napo yang letaknya berdekatan satu sama lainnya. Pemimpin wilayah persekutuan pu’utobu di sebut Pu’utobu (kepala wilayah). Seorang pemimpin Pu’utobu yang berfungsi sebagai koordinator seluruh wilayah yang dibantu oleh tiap tonomotuo dan pabitara (juru bicara adat) dari setiap O’napo. d) Wilayah persekutuan Wonua (negeri), yaitu negeri kerajaan Konawe yang didalamnya terdapat wilayah-wilayah otobu (distrik), o’napo (desa), dan sejumlah
wilayah
a’nggalo
(kampung
lembah)
sebagai
wilayah
persekutuan tempat tinggal. Istilah-istilah lain yang memiliki hubungan dengan istilah wonua adalah to wonua, artinya orang negeri, penduduk negeri. Pu’u wonua yang berarti ibu negeri, pusat negeri, ibu kota, dan istilah tapu’u wonua yang berarti orang pertama
mendiami negeri
Konawe. Sedangkan yang dimaksud wonua sorume adalah negeri yang wilayah daerahnya banyak ditumbuhi
anggrek sebagai bahan untuk
membuat tikar, topi, dan sebagainya dan warnanya kuning seperti emas murni. Sejalan dengan itu Basrin Melamba didalam bukunya yang berjudul Tolaki di Konawe (2011: 48) mengemukakan bahwa dengan menerapkan suatu struktur
47
dan sistem pemerintahan baru yaitu Siwole Mbatohuu dan Opitu Dula Batuno Wuta Konawe (Empat sisi Wilayah besar dan 7 dewan kerajaan Konawe). Siwole Mbatohu yang memiliki arti, yaitu talam atau wadah tempat menyimpan Kalo berbentuk persegi empat dengan empat sudut yang melambangkan daerah kekuasaan daerah kekuasaan Kerajaan Konawe yang membagi wilayah Konawe terdiri dari empat wilayah kekuasaan. Dalam pelaksanaannya Sabandara Buburanda ditugaskan di wilayah Barat untuk memerintah dan menjaga daerah Konawe dari daerah barat dari ekspansi Luwu. Kekuasaan Kerajaan Konawe merupakan lingkaran konsentrik, mulai dari tingkatan Wonua atau negeri yang berpusat di istana Kerajaandi Unaaha dipegang langsung oleh Mokole. Dibantu oleh pejabat Siwole Mbatohu di empat penjuru daerah kekuasaan kerajaan. Sesudah Wonua yaitu wilayah O’tobu dipimpin oleh seorang Pu’utobu (Melamba, Aswati, dkk, 2011) Pada zaman raja Tebawo, O’tobu di daerah ini berjumlah 30 (tiga puluh) wilayah Tobu dan wilayah pada tingkat O’napo yang dipimpin oleh Kapala Napo dengan gelar Tonomotuo, semacam wilayah pemerintahan tingkat desa pada zaman Belanda menjadi Kambo yang dipimpin oleh kapala Kambo atau kepala kampung. Setelah mokole Tebawo naik tahta dibentuknya tanah kerajaan Konawe yang sangat luas sebagai suatu bentuk persegi empat, yang perlu mendapat pelayanan dari pemerintah pusat kerajaan untuk menjamin ide tersebut maka pada tahun 1609 dibentuklah perangkat penguasa wilayah di empat penjuruh di kerajaan Konawe dikenal dengan sebutan Siwole Mbatohuu.
48
Dapat dijelaskan bahwa ketiga Puluh (30) wilayah daerah bawahan Pu’utobu adalah sebagai berikut: 1. Ranomeeto membawahi Pu’utobu-pu’utobu: a. Poasia
d. Laeya
b. Moramo
e. Wawonii
c. Kolono
f. Konda
2. Latoma membawahi Pu’utobu-pu’utobu: a. Arombu
c. Asera
b. Pu’ulemo Ue’esi
d. Lalowata
3. Tongauna membawahi pu’utobu-pu’utobu: a. Toriki b. Anggaberi c. Lasolo 4. Asaki membawahi pu’utobu-pu’otobu: a. Puriala
d. Lalohao
b. Rate-rate
e. Angata
c. Andoolo 5. Uepay, membawahi pu’utobu-pu’utobu: a. Anggopiu b. Mooreha c. Tudaone 6. Sambara (Sampara), membawahi pu’utobu-pu’utobu: a. Limbo
49
b. Rawua c. Besu 7. Kasipute, membawahi pu’tobu-pu’utobu: a. Palarahi
c. Kasipute
b. Anggotoa
d. Teteona
Disamping itu ada satu daerah khusus (Abuki) membawahi pu’utobu-pu’utobu: a. Asolu b. Unaasi (Lasada) c. Walay. (Chalik,dkk. 19978:20-21) Pembagian wilayah pu’utobu tersebut diatas, menurut Muslimin Su’ud (1989: 93) hanya dilihat dari segi lokasi/letak geografis yaitu tempat dimana pejabat dewan adat kerajaan bermukim namun dilihat dari segi hirarki jabatan dan tanggung jawab pelaksanaan tugasnya, sesuai yang ditentukan/ditetapkan Sidang Dewan Adat Kerajaan yang dimaksud ke 30 wilayah pu’utobu yang secara organisatoris bertanggung jawab melalui ke empat pejabat penguasa wilayah masing-masing, (Ranomeeto, Latoma, Tongauna danAsaki) dan bukan melalui dewan adat kerajaan, maka susunan dan pembagiannya adalah sebagai berikut: 1.
Wilayah Gerbang Timur kerajaan (Ranomeeto) membawahi pu’utobupu’utobu: a. Poasia
f. Moramo
b. Kolono
g. Laeya
c. Wawonii
h. Konda
50
d. Andaroa (Sambara)
i. Besu (Sambara)
e. Lemo (Sambara) 2.
Wilayah Gerbang Barat kerajaan (Latoma) membawahi pu’utobupu’utobu:
3.
a. Arombu
d. Waworaha
b. Pu’ulemo (Kolaka Utara)
e. Ue’esi
c. Lawata (Lalowata)
f. Laloeha (Kolaka)
Wilayah sayap kanan kerajaan (Tongauna) membawahi Pu’utobupu’utobu: a. Toriki
e. Anggaberi
b. Kasipute
f. Anggotoa
c. Wawotobi
g. Teteona
d. Lasolo/Andumowu 4.
Wilayah sayap kiri (asaki) membawahi Pu’utobu-pu’utobu: a. Puriala
e. Angata
b. Lalohao
f. Rate-rate
c. Tinondo
g. Morehe
d. Kowioha. (Su’ud, 1989: 72-73) Menurut Muslimin Su’ud selanjutnya, bahwa ke—30 pejabat Pu’utobu diatas, sepanjang menyangkut tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, mereka hanya bertanggungjawab kepada raja/mokole melalui ke-4 penguasa dimasing-masing wilayahnnya (Sapati, Sabandara, Ponggawa, dan Inowa),
51
Pada dasarnya konsep Siwole Mbatohuu sesungguhnya telah dipersiapkan sebelum Sangia Inato dilantik menjadi Mokole atau Raja oleh pendahulunya yaitu Mokole Melamba dengan gelar Letengapa, Lolamoa, Sangia Nggondombara, Tawe eha yang memerintah pada tahun 1539-1602. Konsep awal Siwole Mbatohu pada masa raja Melamba dalam membentuk struktur yag belum lengkap sebagai berikut: 1.
Pembagian pusat-pusat pemerintahan dibawah pimpinan beberapa Mokole atau raja yaitu: a. Pemerintahan pusat dipegang oleh Mokole I’Larisomba atau anakia Meita. b. Pemerintahan daerah/wilayah dipegang oleh Ndotongano Wonua. c. Pemerintahan daerah kerajaan Konawe, dipegang oleh Anangguro Metipu Wuta I’Konawe, Wonua ngguluku Lipu I’Loronii I’Unaaha
2.
Wilayah-wilayah kekuasaan atau kerajaan Lokal meliputi: a. Wulele Ngasu Dawa, Wuanggasu Wula ( turunan kayu jawa, tunas ayau buah negeri emas) yang berpusat di Mowewe. b. Pano dewa wulaa (sisa pengaruh kerajaan jawa terdampar) yang berpusat di andoolo). c. Tolalo nggasu wulaa (Turunan Raja Pulau emas yang mengasingkan diri) yang berpusat di abuki (Alosika) yang dibantu turunan to’onomotuo (tetua adat setempat) di Walay. d. Meosadaki isi Peopati Mohewu (putri raja yang mungil tetapi cantik) berkedudukan di Puriala.
52
e. Tamburu nggasu dawa, pala-malamba mengga (beduk yang terbuat dari kayu jawa yang menyala-nyala) berpusat atau berkedudukan di Asolu. f. Polia-lia langi ana somba wulaa (turunan cucu bangsawan dari pulau emas yang bertingkat atau berstatus) berkedudukan di Arombu. g. Tundu mbassi nununggu (pelabuhan laut) di daerah Lasolo dan Lembo daerah Mboo. (Melamba, Aswati, dkk, 2011) Struktur pemerintahan di atas merupakan cikal bakal Siwole Mbatohuu dan O Pitu Dula Batuno Konawe tergambar bahwa kondisi pemerintahan wilayah Kerajaan Konawe pada periode sebelum Sangia Inato, yaitu: a. Bahwa kerajaan Konawe pada saat itu berstatus sebagai kerajaan vasal atau vasal staat dari suatu kerajaanluar Konawe berpusat dijawa menurut prediksi kerajaan Majapahit, ataukah di Sulawesi Selatan yang diduga berpusat di Bone dan kedaulatan Luwu. b. Bahwa para bangsawan atau anakia kerajaan Konawe pada periode itu memiliki relasi geneologi dengan raja-raja di Jawa. c. Bahwa keturunan bangsawan tersebut memiliki daerah kekuasaan yang terpisah dengan pusat pemerintahan di Unaaha di bawah Mokole Sangia Mbinauti. Pada perkembangan selanjutnya, keenam tahun menjelang
pelantikan
Mokole Tebawo dengan gelar Sangi Inato, Sangia Mbinauti (raja yang dipayungi) bernama Mokole Maago, menyempurnakan lagi konsep tersebut menjadi konsep
53
persiapan ―Siwole Mbatohu Opitu Dula Batuno Konawe‖ yang lebih sempurna dan lengkap dengan struktur sebagai berikut: 1.
Mokole atau Sangia berpusat di Inolobu Nggadue Unaaha.
2.
Inae Sinumo Wuta Mbinotiso Towu Tinorai (pengganti Mokole atau Sangia) berkedudukan di Abuki.
3.
Sulemandara (perdana mentri) berkedudukan di Puu’osu.
4.
Opitu Dula Batuno Konawe (tujuh dewan kerajaan) yang tersiri dari: a. Pelapi Wungguaro (komandan pengawal kerajaan) berkedudukan di Tuoy. b. Tusa Wuta (penjabat yang membidangi pertanian) di Wawotobi ke Kasipute. c. Bite Kinalumbi (pengadilan) di Anggotoa. d. Kotu Bitara (hakim pemutus perkara) berkedudukan di Wonggeduku. e. Putumbu Laradati (kejaksaan) di Lalosabila atau Tuoy. f. Bite Metado (penjabat penghubung seperti Mokole, dewan Kerajaan para Mentri) berkedudukan di Tudaone. g. Tusa
Laradati
(penjabat
bagian
intelejen
atau
kepolisian)
berkedudukan di Unaasi/Palarahi. h. Kapia Anamolepo (panglima angkatan darat) berkedudukan di Uepai. i.
Kapita Lau (panglima angkatan laut) berkedudukan di Puu Sambalu, Sambara atau Pohara .
j.
Tu’oy (sekretariat kerajaan meliputi pengawal dan urusan rumah tangga kerajaan) berkedudukan di Toriki Anggaberi dan Tuoy.
54
Pemberlakuan konsep tersebut hanya berlangsung selama kurang lebih dua belas tahun, selanjutnya diadakan perubahan, melalui musyawarah atas usul Lelesuwa sebagai Kotubitara. Maka ditetapkan konsep struktur baru kerajaan Konawe Siwole Mbatohuu O’pitu Dula Batuno Wuta Konawe konsep ini dianggap lebih baik dan sempurna khususnya tentang pembagian kekuasaan dan wewenang. Seperti yang ditulis oleh Basrin, dkk di dalam bukunya yang berjudul Sejarah Tolaki di Konawe menjelaskan bahwa Dalam konsep struktur pemerintahan Siwole Mbatohu dan O’pitu Dula Batuno Konawedapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Struktur tingkat kerajaan (wonua) atau negeri yang terdiri dari: a) Mokole sebagai raja atau sebagai kepala negeri atau pemerintah tertinggi. b) Dewan kerajaan yang disebut ―Opitu dula Batuno Konawe‖ yang disebut Anakia Momboindi Parenda Mokole yang aparatnya terdiri dari 1) Sulewata Mandara atau Sulemandara, selaku perdana mentri yang dijabat
pertama kali oleh Sulemandara Kalenggo. Jabatan ini
dikenal juga dengan sebutan Lopa-lopa Wula, Palako Lumeledo, Metemba Nggolo Sara, Pebite Ngginalumbi, Sumusule Wonua, Mandara Hii Wuta Konawe yang berkedudukan di Pu’Osu. 2) Pembantu Mokole di wilayah bagian timur dengan gelar sapati, merangkap sebagai pemimpin wilayah kerajaan Konawe bagian Timur yang disebut ―Motombi-tombi Nggilo, Mebandera Wulaa,
55
Tambo I’Losoanao Oleo‖ yang pertama dijabat oleh Sapati Sorumba. 3) Pembantu Mokole di wilayah Barat penjabatnya bergelar Sabandara atau Sabannara (Syabandar), sekaligus sebagai pimpinan wilayah bagian Barat yang disebut Taune Napo Wulaa, Ore-ore Mebubu, Tampo Itepiliano Oleo yang dijabat pertama kali oleh Sabandara Buburanda. 4) Pembantu mokole di wilayah Utara (Sisi Kanan) yang disebut ponggawa, merangkap sebagai pemimpin wilayah di bagian Utara (sisi kanan) kerajaan Konawe yang disebut Melingge-lingge Bara Metuka Ndambosisi, Tambosisi Ruromoro Opua Mepambai Barata I’Hana yang dijabat pertama kali oleh Ponggawa Paluwu. 5) Pembantu raja diwilayah bagian Selatan (Sisi Kiri) kerajaan Konawe yang disebut atau bergelar I’Nowa merangkap sebagai kepala wilayah bagian Selatan (kiri) yang disebut Tetoremba-remba Nggilo, Toko Wula Wulaa, Merembirembi Eno Mekalambi Wulaa, Simburu
Nggati
Nggilo
Patirangga
Wulaa
Rahambaha
Monggasono Wuta Konawe Barata I’Moeri yang disebut atau bergelar Kapita Anamolepo Wuta I Asaki dengan pimpinan pertama Taridala. 6) Panglima angkatan darat Kerajaan Konawe yang digelar Kapita Anamolepo, berkedudukan di Uepai yang pertama kali dijabat oleh Kapita Anamolepo Taridala.
56
7) Panglima angkatan Laut Kapita Sambara Wuta Konawe, kerajaan Konawe yang bergelar Tanoopa Moloro, Tadohopa Nduosa, Lomalaea Ndahi Membandera Waea Kapita Lau, berkedudukan di Puusambalu Sambara atau Sampara (wilayah bagian Timur kerajaan Konawe) yang dijabat pertama kali oleh Kapita Lau Haribau. Para pejabat tersebut dibantu oleh beberapa pejabat yang berstatus menteri muda, sedangkan pejabat tersebut berstatus sebagai pejabat tingkat Wonua mereka memiliki otoritas atau wewenang yaitu: a. Menteri sekertaris kerajaan bergelar Tu’oy yang pertama kali di jabat oleh Tuoi Podada berkedudukan di Tu’oy b. Iwoy Solombule, Waa Solo Mbendua, uha Bite Metado, Pesurino Wuta Konawe. Mentri urusan peertanian kerajaan yang bergelar Tusawuta, berkedudukan di Kasipute yang dijabat pertamakali oleh Anakia Ndusawuta Latuo gelar Tawe Terumba Raha Mboluloaa. c. Mentri urusan kehakiman atau begian peradilan pada tingkat kerajaan yang bergelar Kotubitara berkedudukan di Wonggeduku, yang pertama kali dijabat oleh Kotubitara Lelesuoa. d. Owati Anggotoa oleh Tainoa berkedudukan sebagai hakim. Keempat pejabat tersebut bertanggung jawab atau berada dalam koordinasi dengan Sulemandara atau sebagai ketua dewan kerajaan Opitu Dula Batuno Konawe (Melamba, dkk, 2011: 48-55) Berdasarkan bentuk-bentuk tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa dengan diterapkannya sistem dan struktur organisasi Siwole Mbatohu dan Opitu
57
Dula Batu, maka penyelenggaraan administrasi pemerintahan kerajaan yang dipimpin oleh raja Tebawo dapat berjalan lancar dan mampu menciptakan stabilitas keamanan selama masa pemerintahannya bahkan dapat menjadikan kerajaannya yang makmur, kuat dan tersohor yang sekaligus menjadikan namanya sebagai salah satu seorang raja Konawe yang terkenal dimana-mana yang atas dasar itu sepeninggal beliau, Ia diberikan gelar dengan sebutan ―Tebawo‖ (yang tersohor diman-mana)
58
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Latar Belakang Terbentuknya Kapita Lau Di Kerajaan Konawe Hampir setiap kerajaan tradisional di Nusantara pada masa lalu kita temukan
suatu jabatan yang kusus mengurus laut atau bidang kemaritiman, seperti di Buton (Kapita Lao), seperti dikerajaan Mataram, Demak, Buton, Ternate,termasuk di Kerajaan Konawe terdapat pengawal raja yang disebut Kapita Lau yang pertama kali di jabat oleh Haribau berkedudukan di Sambara/Sampara. Secara etimologi Kapita Lau terdiri atas dua suku kata yaitu Kapita yang berarti Kapten, dan Lau yang berarti Laut dari bahasa portugis yaitu Kapitein berarti pimpinan suatu pasukan militer. Kata Kapitein kemudian diserap dalam bahasa melayu menjadi Kapten. Djafar (2009: 25) mengemukakan dalam bahasa Tolaki Kapita berarti pimpinan suatu pasukan tertentu atau dapat pula berarti pimpinan. Misalnya Kapita Anamolepo, Kapita Bondoala, Kapita Laiwoi (Lasandara), Kapita Lanowulu, Kapita Mayoro, dan Laeya. Di kesultanan Buton dikenal Kapita Lao, dan di kerajaan Muna dikenal dengan Kapita Lahia. Jabatan Kapita Lau ini muncul pada zaman pemerintahan Mokole Tebawo, kerajaan Konawe telah membentuk Panglima Angkatan Laut (Kapita Lau) atau juga
lebih
dikenal
Kapita
Bondoala.
Berkedudukan
dipu’usambalu
Sambara/Sampara. Pada saat itu dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita Bondoala. Kapita Bondoala merupakan gelar Kapita Lau (Panglima angkatan laut) Kerajaan Konawe yang diberikan oleh masyarakat Konawe setelah ia kembali dari peperangan bersama Kesultanan Buton, Kerajaan Bone (Arung
59
Palaka), melawan Gowa dan berhasil menduduki salah satu wilayah kerajaan Gowa yang bernama ―Bontoala‖ pada tahun 1667 (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 58). Pada waktu Mokole Lakidende II dengan gelar Sangia Nginoburu, mengirim utusan ke Bone untuk membantu raja Bone melawan Belanda pada perang Bone pertama oleh raja Lakidende kemudian menunjuk Tosugi dari Anggaberi untuk memimpin rombongan tersebut yang dibantu oleh Haribau putra Ndawuto dari Sambara, menunjuk La Besi dan La Taripa selaku juru bahasa. Ekspedisi Bone waktu itu dipimpin oleh seorang Ratu perempuan yang bernama Imanung Arung Data Matinrowe Wikesi. Sekembalinya mereka dari Bone maka Tosugi berganti nama menjadi Pakandeate (Pakandreate) dan Haribau bergelar Kapita Bondoala. Dan La Besi oleh raja Lakidende memperkenankan menyebarkan agama Islam di bagian Timur kerajaan Konawe di lembah aliran sungai Andabia dan Anggasuru yang dibantu oleh putranya yang bernama Bakealu (Melamba, Aswati, dkk, 2011) Sejalan dengan itu seperti dalam bukunya Arsamid yang berjudul Sejarah Pemerintahan Kabupaten Konawe (2003: 7) mengemukakan bahwa, jabatan Kapita Lau ini berada dibawah pejabat Sulemandara, kemudian lebih disempurnakannya melalui sidang dewan kerajaan. Seluruh wilayah kerajaan Konawe dibagi dalam empat (4) bagian wilayah besar yang disebut Siwole Mbatohu’u (penguasa wilayah besar dan menjadi dewan pertimbangan Mokole), masing-masing:
60
1. Tambo Ilosoano Oleo, yaitu gerbang Timur berpusat di Ranome’eto, pimpinannya bergelar Sapati. 2. Tambo Itepuli’ano Oleo, yaitu gerbang Barat berpusat di Wowa Latoma, pimpinannya bergelar Sabandara. 3. Barata Ihana, yaitu Batara Kanan berpusat di tonga’una, pimpinannya bergelar Ponggawa. 4. Barata Imoeri, yaitu Barata Kiri berpusat di Asaki (Lambuya), pimpinannya bergelar Inowa. Selain itu ditetapkan pula 7 (tujuh) pejabat kerajaan yang disebut Opitu Dula Batu, masing-masing: 1. Sulemandara, perdana menteri dan urusan Luar Negeri, berkedudukan di puu’osu. 2. Tutuwi Motaha, Menteri Pertahanan berkedudukan di Anggaberi. 3. Tusawuta, Menteri Pertahanan berkedudukan di Kasipute. 4. Petumbu
Lara
Dati,
Menteri
Kehakiman
berkedudukan
di
Tuda’one/konawe. 5. Bite Kinalumbi, Menteri Penerangan berkedudukan di Kasipute. 6. Kapita Anamolepo, Menteri Panglima Angkatan Darat berkedudukan di Uepay. 7. Kapita Lau/Kapita Bondoala, Menteri Panglima Angkatan Laut, yang berkedudukan di Sambara (Melamba, Aswati, dkk, 2011)) Berikut penjelasan keadaan Kapita Lau pada masa pemerintahan Mokole Lakidende dengan gelar Sangia Ngginoburu. Setelah naik tahta Raja/Mokole
61
Lakidende terdapat penambahan beberapa jabatan di bidang pertahanan Darat dan Laut yaitu pengangkatan beberapa Kapita (kapita) Ngapa (Pelabuhan) yang rawan bagi serangan dari, laut yaitu : (1) Kapita Lanowulu di Lanowula Lakara Kecamatan Tinanggea sekarang, Kapita Lembo, Kecamatan Lasolo, Kapita Asera di Otole Bandaeha Kecamatan Lasolo di Andumowu dan seorang Kapita Darat di wilayah darat di wilayah Barat Latoma yang disebut Kapita Sanggona yang ditugaskan untuk menjaga. serangan Kerajaan Luwu dari Utara. Jabatan-jabatan tersebut bersama personilnya diangkat/dilantik oleh Panglima Angkat an Darat Kerajaan Konawe termasuk adiknya sendiri Panglima Angkatan Laut (Melamba, Aswati, dkk, 2011). Kapita Lau Haribau menempatkan pasukan-pasukan Laut yang dipimpin oleh seorang Kapita Ngapa (penguasa pelabuhan). 1). Kapita Ngapa I Langga Ala di Andumowu di Lasolo 2). Kapita Ngapa I Lapoto di Poasia/Lepo-Lepo 3). Kapita Ngapa I Mbatono di Ngapa, Pamandati/Lainea 4). Kapita Ngapa I Tamadoro di Lanowulu, di Andoolo/Tinanggea. Kapita-kapita (komandan) pelabuhan Kerajaan Konawe, tersebut berbeda dengan sistem pertahanan darat yang diatur oleh Kapita Anamolepo (I’Taridala) yang juga menempatkan beberapa Kapita Darat di Asera yang dijabat oleh Kapita Lapotiki berkedudukan di Wiwirano, dan Kapita Darat Sanggona I’Lapombili I (bukan Pombili II) yang berkedudukan di Sanggona. Salah satu tugas dari para Kapita Ngapa tersebut, adalah menjaga serangan (Pasukan-pasukan kerajaan Ternate) dengan misi Islam yaitu yang dikenal dengan
62
bajak-bajak laut ―Tobelo‖ yang sejak tahun 1496, di zaman sebelum Islam tiba Ternate (1521), atau di zaman Mokole La Marundu, selalu mengadakan serangan melalui bagian timur kerajaan Konawe, terutama setelah terjadi peristiwa Kapita Galileo (Kerajaan Ternate) melarikan seorang putri bangsawan dari Konawe (Wasitau I) adik kandung Puluase, kemudian dalam pelayarannya menuju Ternate bersama dengan orang-orang Tobelo, ketika singgah untuk mengambil air minum di Ngapaaha di Pamandati/Lainea, berkat jasa seorang mata-mata Raja Tiworo, putri raja Mekongga, yang kemenakannya juga dari raja Tebawo, sempat direbut dan dilarikan juga oleh pasukan Raja Tiworo Sugimanuru yang secara kebetulan ada berlabuh di Ngapaaha, dan peristiwa itulah yang menyebabkan Raja Tebawo menginstruksikan kepada kapita Haribau untuk mempercepat penempatan penugasan-penugasan kapita-kapita di ke-5 pelabuhan tersebut di atas, dengan membangun
benteng-benteng
batu
di
Andumowu,
Lembo,
Poasia,
Pamandati/Ngapaaha, dan Lanowulu yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan ditempat-tempat tersebut (Tarimana, 1993). Selain menempatkan pasukan dan membangun benteng, juga menggalakkan lalulintas perdagangan atau perekonomian penduduk di wilayah setempat guna memperkuat posisi kekuatan perekonomian Kerajaan Konawe, melalui sistem barter dengan para pedagang dari Buton, dan Bone, yang datang dengan maksud untuk berdagang. Menurut Muslimin Su’ud (1988) bahwa khusus menyangkut latar belakang perbedaan versi mengenai siapa Haribau (Kapita Lau/Kapita Bondoala), siapa yang melahirkannya, dan siapa saudara-saudara kandungnya dan bagaimana
63
status persaudaraan mereka dengan Taridala, Surunggiha dan Haribau, berdasarkan penelitiannya, diperoleh keterangan sebagai berikut : Bahwa meskipun masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai kebenaran tentang berapa jumlah sesungguhnya isteri Raja Tebawo, namun dugaan bahwa seluruh raja-raja bawahan atau pejabat teras Kerajaan Konawe utamanya penguasa Wilayah “Siwole Mbatohuu‖ dan pada pejabat ―O’Pitu Dulu Batu‖ (7 anggota dengan Adat Kerajaan), Inea Sinumo (Putera Mahkota) Kota Bitara (Mahkamah Agung) dan para penguasa-penguasa Wilayah Pu’utobu yang 34 orang, sesuai dengan sistem teokrasi (raja menjalankan sistem teokrasi karena Mokole Tebawo merupakan raja yang pertama memeluk agama islam) yang berlaku di zaman raja-raja dahulu, adalah benar bahwa mereka itu haruslah dari keluarga dekat Raja Tebawo, termasuk di sini Kapita Lau/Kapita Bondoala yaitu Haribau (Melamba, dkk, 2011) Berdasarkan sumber di atas, maka sesuai dengan keterangan-keterangan yang telah diteliti kebenarannya, menunjukkan bahwa Raja Tebawo dalam membangun
kerajaannya,
telah
menempatkan/mengangkat
para
pejabat
kerajaannya yang hanya terdiri dari saudara-saudara sekandungnya, dan dari anakanaknya dari beberapa isterinya sebagai berikut : 1) Sebagai penasihat utama, diangkat saudara Kandungnya lain Ibu adalah Lele Suwa yaitu sebagai Kotu Bitara (Mahkama Agung) berkedudukan di Wonggeduku; 2) Sebagai teknokrat/ahli pemikirannya, diangkat/ditunjuk La Isapa, yang juga saudara kandungnya, berlainan ibu dengan Raja Tebawo dan Lele Suwa;
64
3) Dari Bone diberitakan bahwa Raja Tebawo/Sangia Inato yang beribu Wesangguni bersaudara kandung dengan Raja Bone (Arung Pone) ke V, La Tenri Sukki Mapayunge (1510-1535), tapi lain ibu, yaitu karena Raja Tebawo/Sangia Inato atau La Tenri Sangeang Dabali, beribu Pandangguni (Puteri Raja Tolaki dari turunan Wetenri Lakke juga dari Abuki) sedang Arung Pone V beribu Bone Luwu dari Tenri Wali (Arung Kaju), maka Raja Tebawo naik takhta di Kerajaan Konawe (tanah leluhur ibunya) pada usia yang sudah lanjut yaitu berusia 67 tahun, karena itu sebelum menjadi Raja Konawe, ia telah mempunyai beberapa isteri dari turunan-turunan Raja Tolaki, Luwu, bahkan dari Tiworo di Kerajaan Muna. B.
Struktur Pelaksanaan Tugas Kapita Lau Di Kerajaan Konawe Dalam struktur dan sistem pemerintahan tersebut terlihat bahwa Kapita Lau
termasuk salah satu dari anggota Pitu Dula Batu, yang letaknya cukup strategis dalam tinjauan keamanan khususnya terhadap ancaman dari luar melalui laut di sebelah Timur Kerajaan dimana kawasan ini pada periode abad XVI-XVII menjadi rebutan oleh berbagai kerajaan/bangsa, seperti dari Ternate/Tobelo, Bungku, dan Gowa yang saling merebut hegemoni di Kawasan Timur Nusantara ini. Dengan demikian penetapan wilayah ini sebagai salah satu basis pertahanan Kerajaan Konawe sangat tepat, baik untuk menjaga keselamatan rakyat maupun dalam memelihara hubungan dengan Kerajaan lain, karena pada saat itu Sampara sebagai salah satu pusat perdagangan maritime Kerajaan Konawe yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai kerajaan (Melamba, Aswati, dkk, 2011).
65
Suatu strategi yang dilakukan oleh Mokole Tebawo pada awal pemerintahannya adalah dengan mendahulukan pelantikan aparat pemerintahan yang menangani pertahanan keamanan ini seperti: Tutuwi Motaha, Kapita Anamolepo, dan Kapita Lau. Kemudian oleh Panglima/menteri ini kemudian membentuk pos-pos pertahanan keamanan di daerah sepanjang pantai khususnya di
wilayah
Tambo
i
Losoano
Oleo
(gerbang
timur)
dan
sekaligus
menunjuk/melantik komandannya yang dikenal Kapita Mayora di Lembo, Poasia, Ngapaaha, dan Lanowulu. Penempatan pos-pos tersebut berada di bawah Komando Pertahanan Kapita Lau, bahkan dalam perkembangannya kemudian ditambah lagi beberapa pos yang dianggap rawan dan strategis bagi pertahanan dan keamanan kerajaan. Haribau selaku Kapita Lau pada periode ini, selain ia juga berasal dari keluarga istana, juga beliau merupakan seorang pemimpin yang cerdas, arif, bijaksana, dan memiliki pengalaman dalam bidang kemaritiman karena ia sering melakukan pelayaran ke kerajaan-kerajaan tetangga. Tugas dan tanggung jawab Kapita Lau ini cukup strategis bagi kerajaan, karena selain menjaga keamanan juga sekaligus harus mampu menjadi duta-duta bangsa dalam menjalin hubungan dengan dunia luar, khususnya dalam memperlancar perdagangan antara daerah-daerah Konawe dengan kerajaan lain dan menjalin hubungan dengan Kerajaan Konawe, seperti Buton, Muna, Tiworo, dan Bone. Sejalan dengan fungsi dan kedudukan kapita Bondoala dalam sistem pemerintahan kerajaan Konawe dimasa pemerintahan raja Tebawo, untuk
66
menjaga masuknya musuh, baik yang datang melalui darat maupun melalui laut, yang menjaga keamanan di Timur jauh dari kerajaan dan di Barat jauh dari kerajaan di tetapkan dua panglima perang, yakni Panglima Perang di Darat yang disebut Kapita Ana Molepo (Kapten Anak Muda) yang berkedudukan di Ue’pai. Panglima Perang dilaut yang disebut Kapita Lau (Kapten Laut) yang berkedudukan di Pulusabila, Sampara,(Wawancara dengan Sapiudin Pasaeno, 21 April 2012) Kapita yaitu merupakan perwakilan raja Mokole atau merupakan tangan kanan yang menjadi kepercayaan raja sebagai wakil yang menjabat jabatan panglima perang dibidang tertentu, yang di jabat oleh golongan bangsawan Tulen (Anakia Songo). Kapita bertugas memerangi dan menghancurkan musuh-musuh baik dari dalam negeri maupun dari luar Kerajaan dalam menjalankan tugasnya Kapita dibantu oleh Tamalaki sebagai prajurit-prajurit yang gagah berani dan O’tadu yang mengatur strategi perang. Tamalaki merupakan prajurit-prajurit yang gagah berani, sebagai penjaga keamanan dan pertahanan kerajaan dalam keadaaan bahaya maupun dalam keadaan aman. Menjaga keselamatan Raja, terutama dalam melakukan perjalanan Dinas kedaerah-daerah dan melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang oleh pejabat-pejabat yang ada dalam kerajaan Kerajaan Konawe. Tamalaki ini ada dari golongan bangsawan maupun dari golongan To’ononggapa, bahkan dari golongan budak pun, apabila dapat memiliki keberanian dan telah bebas status ata-nya itu (Tarimana, 1993).
67
Selanjutnya, O’tadu merupakan seorang yang mempunyai keahlian strategi perang, ahli nujum dan ahli siasat perang agar dengan mudah mengalahkan dan menghancurkan musuh-musuh kerajaan Konawe. Tugas lainnya menentukan waktu-waktu mana yang baik dan buruk untuk berangkat berlayar, musim berburu, musim berladang, dan sebagainya. Dalam sumber sebagaimana yang telah dikemukakan dua orang Kapita, yaitu Kapita Lau dan Kapita Ana Molepo masing-masing dijabat oleh Haribau sebagai Panglima Perang Laut (Melamba, Aswati, dkk, 2011). Konsep Tambo I losoano Oleo adalah pintu terbitnya matahari, yaitu wilayah kekuasaan sebelah Timur Kerajaan Konawe, yang dikuasai oleh seorang raja yang bergelar Sapati. Sapati ini dikenal dengan nama samarannya kowuna nggona I’a Ranomeeto, sebagai wilayah kecamatan Ranomeeto sekarang ini. Pemerintahan Sapati kowuna nggona I’a, berkedudukan di Pu’u Mbopondi, Ranomeeto, Malandeo,
denganpejabat-pejabat Tebau,
Wemaho,
dan
sebagai Mangu.
berikut:
Sorumba,
Melamba,
Pemerintahan daerah Sapati
Ranomeeoto, dengan kerja sama Kapita Lau (Bontoala) di Sampara, membawahi beberapa pemerintahan wilayah (Pu’utobu) yaitu: Sampara, Poasia, Moramo, Kolono, Laeya danWowonii. Wilayah-wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggungjawab Sapati Ranomeeto untuk menjalankan pemerintahan dengan baik sesuai instruksiinstruksi yang diberikan oleh Mokole sebagai pimpinan yang tertinggi dalam kerajaan Konawe.
68
Sistem pemerintahan yang didasarkan atas musyawarah, kegotongroyongan sangat diutamakan dimana hubungan persahabatan dengan Bone dilaksanakan oleh Pakandeate dan Haribau. Pada tahun 1905 Saranani mangkat dengan meninggalkan satu orang istri yakni Balea dan 4 orang anak masing-masing tiga orang putra dan satu orang putri. Setelah mangkatnya Saranani maka kepemimpinan Anggaberi menjadi Tutuwi Motaha dari Pakandeate beralih ke keturunan Rakawula. Akan tetapi pada tahun tersebut jabatan Tutuwi Motaha sudah tidak berfungsi lagi menjadi panglima kerajaan Konawe seperti pada masamasa pemerintahan raja-raja Konawe dulu. Hal ini disebabkan oleh para bangsawan pada masing-masing daerah tidak lagi mengakui akan eksistensi Mokole atau raja apalagi setelah Saranani mangkat pada tahun 1904. Keadaan ini berlangsung hingga berkuasanya pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1905. Diamana posisi pejabat mengalami perubahan adalah sebagai berikut: 1. Sapati Ranomeeto dijabat oleh Maho putri Tebawo di Wilayah Gerbang Timur 2. Sabandara Latoma di jabat Tanggapili di Wilayah Gerbang Barat 3. Ponggawa I’una dijabat oleh Lagarai di sisi Kanan 4. Inowa Asaki dijabat oleh Ipapa Tawe Simbau disisi Kiri Adapun pergeseran posisi pejabat Pitu Dula Batuno Konawe antara lain sebagai berikut: 1. Tutuwi Motaha di jabat oleh Sariah di Abuki 2. Kotu Bitara atau Wati dijabat oleh Rambi di Wonggeduku
69
3. Kapita Ana Molepo di Tongauna 4. Kapita Bondoala di jabat oleh Rambidi Pohara 5. Pabitara 6. Rakahi Mbetumbu di jabat oleh Eha (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 208213) Sehingga keadaan tersebut diatas bertambah rumit karena wilayah Konawe bagianTimur yaitu wilayah Ranomeeto telah memisahkan diri dan mendirikan kerajaan baru yang bernama Laiwoi yang dipimpin pertama kali oleh Lamangu yang mengadakan perjanjian pertama dengan Belanda yang disebut Long Contract. Demikian sejarah Kapita Lau di Kerajaan Konawe sejak tahun 17251904. Kepemimpinan Kapita Bondoala, dalam masyarakat Tolaki Sampara, tidak banyak ditemukan riwayat historisnya, namun dengan mempelajari riwayat kehebatan peperangan antara Kerajaan Gowa dengan Raja Bone (Arung Palakka) yang dibantu oleh pasukan Kerajaan Buton dan Konawe yang disajikan dalam suatu Seminar Sejarah di Ujung Pandang oleh : Prof. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH dengan judul : ―Inovasi Orang-orang Bugis pada Abad ke XVI-XVII di Wilayah Timur dan Barat Sulawesi‖ dimana di dalamnya ikut dijelaskan mengenai perang antara Sultan Hasanuddin dari Gowa dengan Arung Palakka yang dibantu dengan 13.000 pasukan gabungan dari Buton, pasukan ―Tompo Tikka‖ (Konawe), Sula, Tidore, Pada akhirnya, keberanian pasukan-pasukan Gowa yang dipertahankan oleh Karaeng Bontomaranu secara mati-matian di daerah Sombaopu dan Bontoala, dalam 3 dan 4 hari saja telah diduduki oleh
70
pasukan Arung Palakka yang dipimpin oleh La Tomparina Arung Atakka, Daeng Pabila, Arung Maruang Marowanging, La Sambara Arung Ri Tompo Tikka (Kapita Bondoala) bersama Kapita Lau Buton, Matanajo, dan Kapita Lau La Jiapaloe serta Kapten De Brill dan Spellman, dengan memakan korban kedua belah pihak yang sangat besar (A. Zainal Abidin Farid, 1987 : 16). Dari keterangan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Kapita Bondoala dalam kedudukannya sebagai seorang Panglima Angkatan Laut memiliki salah satu sifat kepemimpinan militer yaitu sifat pemberani sebagaimana dibuktikannya pada peristiwa Perang Gowa di atas. Berikut diuraikan keberhasilan kapita Lau dalam memimpin jabatan sebagai penguasa atau yang mengatur wilayah sungai laut dan pesisir kerajaan Konawe. Konsep-konsep keberhasilan pemimpin pasukan, namun dari ungkapan-ungkapan nyanyian berupa epos orang Tolaki yang tergambar melalui nyanyian kukuaha dan taenango wuwutu mata dupa dari Anggaberi/Toriki, dapat dipetik beberapa kunci keberhasilan para Tamalaki orang Tolaki, yaitu para pemimpin orang Tolaki antara lain : 1. Hanggari no wutu ahu meratu dawa kasu artinya namun apa yang terjadi, peluru atau senjata ditujukan kepadanya bagaikan asap dan daun kayu yang berguguran, maksudnya kebal atau mempan tidak dimakan besi. 2. Anoamba tutoko meranggamii wodoh, maa au mbaokee kaa iee, no langgai mosoro wungguaro mokapa, artinya, maka tatkala ia menyerang musuh, tidaklah musuh diberi ampun kecuali langsung ditebas batang lehernya habishabisan.
71
3. Anoamba susuka, tepalimondoloako, mau mbaakokaa, iee no langgai membiri, tamalaki melosika, artinya, dan manakala terpaksa harus mundur maka musuh tak dapat berkesempatan untuk memukul balik karena gesitnya. 4. Mano sa lolosono oleo, tumotareano o’manu, ano tepotudoto okuro, tuduito perondua, maa hapokaa iee, no tetopa rarai, nokukutii kasai, mondaurakoito doworo, langgai masuana, pomberahi-rahia, wungguaro momea, pitu nduda babuno. (Wawancara Arsamid, 14 April 2012), yang artinya, maka manakala musuh telah dikalahkan dan semua lawan telah dikalahkan, perang dianggap telah berakhir maka duduklah panglima bersama pasukan dengan senjata diistirahatkan lalu bersorak-soraklah mereka bersama pasukan sebagai tanda kegembiraan dan seterusnya. Dari ungkapan tersebut diatas dapat diketahui keberhasilan seorang Tamalaki (pemimpin perang) orang-orang Tolaki dimasa lalu terletak pada: a.
Keberanian (moseka)
b.
Memiliki ilmu siasat motau lese.
c.
Memiliki perlengkapan senjata yang kuat
d.
Kekompakan bersama pasukan yang dipimpinnya Sifat-sifat tersebut diatas dimiliki oleh pejabat Kapita Lau dalam memimpin
dan mengamankan wilayahnya.
C. Peranan dan Fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe Setelah menguraikan secara panjang lebar mengenai asal usul dari Kapita Bondoala (I’Haribau) di atas, dapat kita pahami bahwa kedudukan Kapita Lau di Sambara/Sampara merupakan tempat pertahanan yang merupakan pintu masuk
72
yang datang melalui laut, karena pada saat itu Sampara sebagai salah satu pusat perdagangan maritim Kerajaan Konawe yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai kerajaan dan sebagai penghubung dunia luar, juga untuk menjaga masuknya musuh, baik yang dating melalui darat maupun melalui laut, yang menjaga keamanan di Timur Jauh kerajaan dan di Barat di tetapkan dua panglima Perang, yakni Panglima Perang di Darat yag disebut Kapita Anamolepo (Kapten Anak Muda) yang berkedudukan di Ue’pai, dan Panglima Perang di Laut yang di sebut Kapita Lau (Kapten Laut) yang berkedudukan di Pulusabila, Sambara (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 83). Maka dari uraian tersebut sekaligus dapat menjelaskan bahwa fungsi dan kedudukan Kapita Bondoala, dalam sistem pemerintahan Kerajaan Konawe di masa pemerintahan Raja Tebawo, adalah : a. Sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita Lau yang mempunyai Pasukan Angkatan Laut kurang lebih 1.000 orang, berkedudukan di Pu’usambalu (Pohara) Sampara. b. Selain sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Konawe, juga sebagai Anggota Dewan Adat Kerajaan (O’Pitu Dula Batu), bersama Buburanda (Sabandara Latoma), Sorumba (Sapati Ranomeeto), Taridala (Kapita Anamolepo
Uepai),
Paluwu
(Ponggawa
Tongauna),
Kalenggo
(Sulemandara/Sekretaris Kerajaan) dan Latuo (Tusa Wuta/Menteri Besar Pertanian Kerajaan Konawe). c. Maka sebagai Anggota Dewan Adat Kerajaan Konawe, Kapita Lau/Kapita Bondoala, adalah sebagai salah seorang pengambil keputusan penting dalam seluruh sistem kebijaksanaan politik dalam dan luar negeri Kerajaan Konawe,
73
disamping tugasnya sendiri sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan, yang sewaktu-waktu memimpin pasukannya, seperti yang telah ditunjukkannya dalam membantu Kerajaan Buton/Wolio, ketika bersama dengan pasukan Arung Palakka (La Tenri Tata) bersama Spelman melakukan serangan terhadap Kerajaan Gowa, pada tahun 1967. Peranan Kapita Bondoala dalam Kerajaan Konawe pada Masa Raja Tebawo kita dapat melihat dalam berbagai aspek yaitu: a) Aspek Politik dan Birokrasi Tradisional Berdasarkan sumber yang penulis peroleh dari penelitian diketahui bahwa, peranan Haribau (Kapita Bondoala) yang dapat ditelusuri pada masa pemerintahan Sangia Inato (Raja Tebawo) antara lain : 1) Di bidang politik luar negeri kerajaan, ia pernah membawa misi Kerajaan Konawe mewakili Raja Tebawo, untuk mengingat perjanjian kerja sama ekonomi dan pertahanan dengan Kerjaaan Bone, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. 2) Di bidang politik dalam negeri, adalah Kapita Bondoala yang bersama dengan kakaknya Kapita Anamolepo (Taridala) yang bertindak pergi mengambil Raja Lakidende yang sedang belajar Islam di Buton setelah ia kembali dari Bone, untuk didudukkan sebagai pengganti Raja Tebawo, sepeninggal dunia Raja Tebawo, karena timbul kericuhan/perebutan kekuasaan antara Raja Latoma dan Raja Sorumba dari Ranomeeto, untuk naik takhta mengantikan Raja Tebawo, namun karena kedua raja tersebut tidak mendapat dukungan luas dari raja-raja bawahan lainnya, maka
74
Haribau bersama kakaknya Taridala sebagai orang kuat (militer) Kerajaan Konawe, lalu secara diam-diam berlayar mencari/menjemput Lakidende yang sementara belajar di Buton dan mengantarnya datang ke Konawe, lalu mendudukkannya sebagai Raja Konawe menggantikan Raja Tebawo; Dengan prakarsa kedua bersaudara tersebut, maka amanlah Kerajaan Konawe yang telah 12 tahun mengalami kevakuman kepemimpinan (raja) sehingga pemerintahan Kerajaan Konawe dapat berlanjut selama kurang lebih 67 tahun di masa Raja Lakidende (Melamba, dkk, 2011). Seperti telah disinggung dalam uraian di atas, bahwa kedudukan Kapita Bondoala dalam sistem pemerintahan Kerajaan Konawe di masa pemerintahan Raja Tebawo, adalah selain sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan, jua ia sebagai Anggota Dewan Adat Kerajaan Konawe bersama 6 orang anggota lainnya. Berdasarkan kedudukan tersebut, maka dari berbagai penuturan sejarah masa lalu Sampara, dapat diketahui mengenai beberapa kegiatan/peran yang dimainkan oleh Kapita Bondoala di bidang pemerintahan, antara lain : -
Bertindak sebagai utusan Raja Tebawo untuk menandatangani kerja sama ekonomi dan pertahanan dengan Kerajaan Bone di Watampone
-
Membantu Sapati Ranomeeto (Sormba) dalam mengamankan/menata pemerintahannya di seluruh wilayah Tambo I’Losoano Oleo, dari batas Lemo Bajo/Lasolo-Wolasi.
-
Memberikan laporan secara teratur kepada Raja Tebawo melalui Sidang Dewan Adat Kerajaan, tentang keamanan laut wilayah timur Kerajaan Konawe dari serangan-serangan musuh (Ternate, Tidore, Luwu, Bangai)
75
-
Mengusulkan terbentuknya aparat penguasa pelabuhan dengan Gelar Kapita Ngapa yang berada di bawah koordinasi Kapita Lau, untuk pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Konawe di bagian timur Kerajaan Konawe, yaitu
:
Kapita
Ngapa
di
Bandaeha/Lembo;
Kapita
Ngapa
di
Andumowu/Lasolo; Kapita Ngapa di Poasia/Lepo-Lepo; Kapita Ngapa di Ngapaaha/Pamandati (Lainea) dan Kapita Ngapa di Lanowulu/ Tinanggea; usul mana dapat disetujui dan dilantik oleh Haribau, atas nama Raja Tebawo, bukan sebagai atas nama Panglima Angkatan Laut Kerajaan (Muslimin Su’ud, 1988). Tugas-tugas sipil pemerintahan di atas, dijelaskan oleh Kapita Bondoala, pada saat-saat ia tidak melaukan tugas sebagai Panglima Angkatan Laut, dengan 16 buah perahu ―Lambo‖ yang disebut oleh orang Tolaki dengan perahu ―Manulambu‖ yang diberikan/dihadiahkan oleh Raja Bone, ketika ia berkunjung ke Bone pada masa itu. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa peranan Kapita Bondoala dalam bidang politik pada masa Raja Tebawo cukup besar andilnya, terutama dalam rangka menjamin kesinambungan Kerajaan Konawe setelah meninggalnya Raja Tebawo menyongsong naiknya Raja Lakidende b)
Di Bidang Ekonomi Dari berbagai sumber penuturan sejarah masa lalu Kerajaan Konawe,
khususnya dari pulau Menuy, dari Buton dan dari Salabangka, diperoleh informasi yang menceriterakan bahwa perahu-perahu yang memuat sagu, daun agel, dan buah-buahan pisang, serikaya, dan kelapa, sejak masa Kapita Laudi daerah
76
tersebut telah selalu didatangi oleh para pedagang naik perahu asal Wowa Sambara dan Pasambala (Pu’usambalu) yang diawali oleh sebagian orang Bugis dan sebagian orang Taloki (bukan Tolaki) untuk berbarter/mengganti dengan ikan, garam, dengan segala barang keramik dari Buton, Menui, dan Salabangka. Dari Ternate seorang Tetua Adat Ternate, Kapita Haribau, asal Konawe Wasambara. Sejak lama telah dikenal oleh ceritera-ceritera penduduk di hampir semua daerah pesisir pantai pulau-pulau Maluku Utara, sebagai seorang Bajak Laut yang ditakuti oleh bajak-bajak laut Tobelo (Halmahera, Bacan) dan Tidore, karena di samping selalu muncul dengan tujuan berdagang ia sekaligus juga selalu menimbulkan huru hara bila ia akan diganggu oleh pedagang-pedagang saingannya. Seorang informan menjelaskan bahwa nenek mereka yang tiba di Lemobajo dari Bajoe/Bone, pada tahun 1636, karena perang Bone-Gowa, telah menceriterakan, kalau nenek mereka itu tiba di Lemobajo Lasolo, telah berkenalan dan tukar menukar tanda mata serta keperluan ekonomi dengan Haribau, dengan bukti adanya sebilah parang Taawu (parang panjang) ukuran 1,60 meter panjang sebagai kenang-kenangan dari Kapita Haribau, melalui nenek mereka yang tetap mereka simpan dan pelihara sebagai tanda mata Kapita Bondoala (H. Abdullah Djusin, wawancara 17 Mei 2012). Dari uraian di atas menggambarkan bahwa Kapita Bondoala, selain sebagai Panglima Angkatan Laut, juga sebagai pameran dalam kegiatan ekonomi perdagangan dengan dunia luar Kerajaan Konawe, sekurang-kurangnya bertindak
77
sebagai pengawal/pengawas dalam lalu lintas ekonomi perdagangan dari daerahdaerah luar kerajaan. c)
Di Bidang Pertahanan dan Keamanan Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa Kapita
Bondoala, dalam kedudukannya sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Konawe (Kapita Lau), sangat besar peranannya dalam mengamankan kerajaan dari berbagai serangan dari luar terutama dari Kerajaan Ternate, Banggai dari timur yang terkenal dengan bajak laut mereka yang disebut ―To Belo‖ di mana mendorong Haribau, melakukan upaya-upaya sebagai berikut : 1. Membangun beberapa pelabuhan penjaga serangan seperti mendirikan pelabuhan;
Andumowu/Lasolo,
Lembo/Bandaeha/Lasolo,
Lepo-Lepo
Kendari/Poasia, Ngapaaha/Tinanggea dan Lanowulu/Tinanggea dengan menempatkan komandan-komandan pelabuhan yang diberi gelar dengan ―Kapita Ngapa‖. 2. Pulang balik ke Bone, untuk mencari perahu-perahu layar ―Lambo‖ untuk dijadikan sebagai alat/kapal penyerang musuh. 3. Membangun Pangkalan Angkatan Laut yang tangguh di Pu’usambalu Pohara. 4. Memberikan bantuan pasukan Angkatan Laut dengan memimpin sendiri terhadap Kerajaan Bone dan Buton seperti yang telah dijelaskan di atas. 5. Melakukan patroli terus menerus sambil berdagang di pulau-pulau sekitar wilayah timur Kerajaan Konawe seperti di Salabangka, Ternate, Menui dan daerah-daerah lain bersama dengan pasukannya.
78
6. Bersama dengan Angkatan Darat Kerajaan Konawe, bahu membahu mengatasi kericuhan yang terjadi, antara raja-raja bawahan sewaktu Raja Tebawo meninggal dunia, untuk tetap menegakkan kesinambungan pemerintahan Kerajaan Konawe (Melamba, dkk, 2011). Kegiatan-kegiatan tersebut di atas, menunjukkan bahwa Kapita Bondoala sangat besar peranannya dalam menciptakan kestabilan politik-politik Kerajaan Konawe pada masa pemerintahan Raja Tebawo baik pada awal-awal pelaksanaan tugasnya maupun pada masa-masa sesudah pemerintahan Raja Tebawo. d) Di Bidang Sosial Budaya Di bidang sosial budaya, salah satu dari berbagai peranan Kapita Bondoala yang hingga saat ini masih terasa adalah sumbangannya dalam menjadikan wilayah Sampara sebagai salah satu pintu asimilasi dan sirkulasi antara orangorang Tolaki dengan orang-orang Bugis, dengan catatan-catatan sejarah sebagai berikut : 1) Menjadikan wilayah Sampara (Sambara) (melalui muara Sungai Sampara) sebagai pelabuhan komunikasi/transportasi lalu lintas perdagangan antara pedagang-pedagang orang Bugis dengan para pedagang Ternate sebelum terjadi perang antara Kerajaan Buton dengan Kerajaan Ternate. 2) Menjadikan Pelabuhan Sampara sebagai pintu masuknya rombonganrombongan orang Bugis di Kerajaan Konawe sejak tahun 1459 rombongan I yang dipimpin oleh Madukala yang kemudian kawin dengan Wesangguni dari Abuki, lalu melahirkan Raja Tebawo/Sangia Inato, menyusul datangnya rombongan orang Bugis ke II yang dipimpin oleh Daeng Manabung pada
79
tahun 1612 menyusul datangnya rombongan Arung Baku pada tahun 1781 dan seterusnya, yang kesemuanya melalui Sampara baru kemudian menyebar ke Lepo-Lepo, Tiworo, Torobulu-Tinanggea, kemudian masuk ke pedalaman daratan Sulawesi bagian Tenggara (Tanah Konawe) kemudian ke Buton-Muna bahkan ke Mekongga karena mereka tidak dapat melewati jalur Kolaka, disebabkan kuatnya pengaruh kekuasaan Luwu di daerahdaerah Pitumpanua (Mekongga); 3) Menerima penempatan sejumlah tiga puluh tujuh Kepala Keluarga orang Tiworo yang datang dari pulau-pulau Tiworo, di wilayahnya yaitu di Desa Lalonggaluku, setelah berkembang biak di Parauna selama 12 tahun, akibat timbul perselisihan dengan penduduk asal Kulahi Anggotoa, sehingga sejak saat itu terjadi perkawinan dengan penduduk asli di sepanjang sungai Pohara-Muara Sampara dengan keturunan-keturunan orang Tiworo; 4) Membuka lebar-lebar pantai timur Ranomeeto untuk menerima pelarianpelarian orang Bugis dari Sulawesi Selatan akibat perang hebat antara Kerajaan Bone (Arung Palakka) dengan Kerajaan Gowa, seperti yang sekarang ini berkembang di beberapa tempat seperti di Bungkutoko, Kendari, Lepo-Lepo, Mata, dan Toronipa. Panglima angkatan laut Kapita Sambara Wuta Konawe, kerajaan Konawe yang bergelar ‖Tanoopa moloro, Tadohopa Nduosa, Lomalaea Ndahi Membandera Waea Kapita Lau”, berkedudukan di Puu Sambalu Sambara atau Sampara (Wilayah bahagian Timur kerajaan Konawe) yang di jabat pertama oleh
80
Kapita Lau Haribau dan dilanjutkan oleh pejabat Kapita lau hingga kapita Tehaho sebagai kapita terakhir. Para pejabat tersebut diatas dibantu oleh beberapa pejabat yang berstatus menteri muda, sedangkan pejabat tersebut berstatus sebagai pejabat tingkat wonua mereka memiliki otoritas atau wewenang. Menguasai dan berwewenang terhadap beberapa pelabuhan laut di kerajaan Konawe. Koordinasi untuk urusan persenjataan para o’tadu dan tamalaki dibawah pengawasan Kapita lau, yaitu dengan cara memesan kepada kepala urusan persenjataan kerajaan Konawe yang disebut ‖Parewano wuta Konawe‖ yang berkedudukan di Sanggona yang dijabat oleh seorang to’ono motuo dari Sanggona. Jika ada tamu yang datang berkunjung di Ranomeeto sebagai pejabat Sapati yaitu Sorumba maka jika tamu tersebut ingin ke Unaaha menemui raja atau mokole Konawe terlebih dahulu harus melalui pengetahuan Kapita Lau karena jalan satu-satunya untuk ke Unaaha melalui Sampara dan Puu Mbopondi. Relasi dengan pejabat Sabandara (sabannara) pejabat Syah bandar berkedudukan di Wowalatoma yaitu melalui jalur koordinasi karena Sabandara menguasai hilir sungai Konaweeha yang merupakan urat nadi ekonomi Kerajaan Konawe, sedangkan Sampara atau sambara sebagai Hulu kali Konaweeha. Jika terjadi ancama di daerah Wawolatoma dan beberapa Tobu wilayah kekuasaannya maka akan dikirim pasukan dari sampara melalui laut. Termasuk jika akan ke daerah Asera dan Wiwirano terlebih dahulu harus memberitahu anakia sabandara karena daerah ini merupakan wilayah bawahan atau o’tobu. Contohnya pada
81
waktu akan di tempatkan pelabuhan dan pimpinannya di wilayah ini terlebih dahulu dilaksanakan komunikasi dan meminta persetujuan dari Kapita lau kepada pejabat Sabandara. Koordinasinya melalui mokole pemerintahan pusat di Unaaha. Untuk membentuk pertahanan di wilayah Lasolo maka pejabat Kapita Lau harus melaukukan koordinasi dengan pejabat barata ihana, karena tobu Lasolo di bawah kekuasaan Barata I’hana yang berkedudukan di Tongauna Lalonggowuna. Hal ini pula berlaku pada saat membentuk dan menunjuk kapita Ngapa Aha dan Kapita Lanowulu maka pejabat kapita ini mengkoordinasikan tugasnya kepada pimpinan penguasa Barata Imoeri yaitu pejabat panglima angkatan darat yang bergelar Kapita Anamolepo. Tugas menjaga dan mengamankan wilayah laut merupakan tugas dari masing-masing kapita Lanowulu dan Kapita Ngapa di Tinanggea Konawe bagian selatan tetapi masalah pemungutan bea atau penghasilan pajak pelabuhan hasilnya diserahkan ke pejabat Kapita Anamolepo untuk selanjutnya diserahkan ke Unaaha. Demikian sistem koordinasi dan hiraki relasi kekuasaan pejabat Kapita Lau dengan beberapa pejabat Siwole mbatohu di kerajaan Konawe dengan tetapi menganut asa koordinasi dan saling mengetahui tugas, fungsi dan kewenangan dari pejabat tersebut, dan saling membantu apabila terjadi gangguan keamanan dan pertahanan. Menyangkut kesinambungan dan keberlangsungan pejabat kapita lau pada zaman kerajaan Laiwoi berstatus sebagai pejabat wilayah Tobu di Sampara, sebenarnya secara internal dalam kerajaan Konawe mereka masih menganggap diri sebagai Kapita lau di tingkat kerajaan atau wonua. Tetapi pada zaman pemerintahan kerajaan Laiwoi oleh pemerintah Hindia Belanda kedudukan Kapita
82
Lau di pindahkan dari Sampara ke Poasia dengan pejabatnya bernama Bunggasi atau Boenggasi. Hal ini dilakukan agar pemerintah Hindia Belanda mudah dalam pengontrol kegiatan pejabat ini karena di khawatirkan akan menyusun kekuatan karena berada agak sedikit jauh dari Kota Kendari tempat kedudukan controleur atau tuan petor dalam bahasa Tolaki disebut tua mbetoro. (Basrin Melamba, wawancara 29 September 2012). Keseluruhan peristiwa-peristiwa sejarah yang penulis uraikan di atas, merupakan jasa-jasa dari Kapita Bondoala bersama turunan-turunannya di belakang hari, sehingga Kecamatan Sampara sampai saat ini adalah merupakan salah satu wilayah orang Tolaki yang paling banyak warganya sebagai turunanturunan Bugis-Tolaki yang tak dapat lagi dibedakan apakah ia sebagai orang Bugis, ataukah sebagai orang Tolaki, akibat telah berasimilasi secara turun temurun selama beberapa abad yang lalu. Untuk mengenang Kapita Lau di kerajaan Konawe, di tengah-tengah masyarakat Konawe terdapat banyak nyanyian yang menceritakan tentang peranan Kapita Lau salah satunya yaitu nyanyian Kukua Hano Tolaki, yang menceritrakan keberadaan Kapita Lau. Masayarakat Sampara mempunyai lapangan sepak bola yang disebut Lapangan Haribau dan daerah-daerah Lainnya seperti di Kelurahan Bandoala terdapat Lapnagan yang dinamakan Lapangan Pasaeno. Selain lapangan terdapat juga makam Kapita Lau perempuan Waanggo (Kapita Lau ke V), dan makam Tolunggae (Kapita Lau ke VI) yang berada di kelurahan Laosu tepatnya di desa Lalonggaluku, dan di desa Wawolimbue
83
kecamatan Sampara juga terdapat makam Pasaeno yang merupakan Kapita Lau yang ke IV. Gambarnya dapat dilihat pada Lampiran hasil penelitian ini.
84
BAB VI PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Latar belakang terbentuknya Kapita Lau,Secara etimologi Kapita Lau terdiri atas dua suku kata yaitu Kapita yang berarti Kapten, dan Lau yang berarti Laut. Sedangkan menurut tradisi masyarakat Tolaki bahwa Kapita Lau adalah Menteri atau Panglima Angkatan Laut Kerjaaan Konawe. Istilah Kapita dikenal dalam bahasa Portugis yang berarti kapten yaitu pimpinan suatu pasukan. Di Kerajaan Konawe beberapa jabatan yang mengenal kapita seperti Kapita Anamolepo, Kapita Bondoala, Kapita Larambe, Kapita Lanowulu, Kapita Ngapaaha, dan terakhir Kapita Lasandara di kerajaan Laiwoi. Jabatan Kapita Lau ini muncul pada zaman pemerintahan Mokole Tebawo, kerajaan Konawe telah membentuk Panglima Angkatan Laut (Kapita Lau) atau juga lebih dikenal kapita Bondoala. Ia masuk dalam struktur Opitu Dula Batuno Konawe, berkedudukan di Pu’usambalu Sambara/Sampara yang pertama kali dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita Bondoala. Kapita Bondoala, adalah merupakan gelar dari Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut) Kerajaan Konawe yang diberikan oleh masyarakat Konawe, setelah ia kembali dari peperangan bersama Buton, Bone (Arung Palakka), melawan Gowa dan berhasil menduduki salah satu wilayah Kerajaan Gowa yang bernama ―Bontoala‖, pada tahun 1667.
85
2.
Struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu merupakan tangan besi Mokole atau tangan kanan yang menjadi kepercayaan raja sebagai wakil yang menjabat jabatan Panglima Perang. Adapun wilayah-wulayah pemerintahan Kapita Lau (Bontoala) di Sampara yaitu: Sampara, Poasia, Moramo, Kolono, dan Laeya. Wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggung jawab Sapati Ranomeeto dan Kapita Lau untuk menjalankan pemerintahan dengan baik.
3.
Peranan dan fungsi Kapita Lau di kerajaan Konawe yaitu: Berfungsi sebagai panglima angkatan laut kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita Lau yang memiliki pasukan angkatan Laut ± 1000 orang, berkedudukan di Pu’usambalu, Sambara (yang sekarang ini disebut Pohara). Selain itu peranan Kapita Lau di beberapa aspek sebagai berikut: a. Di bidang birokrasi dan politik tradisional Konawe, bahwa Kapita Lau Haribau sangat besar peranannya dalam membantu kakaknya Taridala mengamankan stabilitas pemerintahan baik di wilayah Kerajaan Konawe bahagian timur (Ranomeeto) maupun daerah-daerah lainnya di sekitar pantai Utara dan Selatan Kerajaan Konawe. b. Di bidang ekonomi, ikut menggerakkan roda perekonomian kerajaankerajaan dalam lalu lintas perdagangan antara Kerajaan Konawe dengan dunia luar. c. Di
bidang
politik,
ikut
menstabilkan/menciptakan/mengamankan
kekacauan/perpecahan politik yang timbul dalam negeri Kerajaan Konawe, setelah meninggalnya Raja Tebawo pada tahun 1599.
86
d. Di bidang Hankam ikut bersama-sama Buton dan Bone, dalam menghadapi serangan-serangan dari laut yang ingin menyerang kerajaan Konawe, Buton atau Bone, terutama dengan Kerajaan Ternate, Banggai, Luwu, Muna, dan Selayar yang selalu memihak kepada Kerajaan Gowa. e. Di bidang sosial budaya, Kapita Lau Haribau, merupakan jembatan meningkatnya hubungan asmilasi antara orang-orang Bugis-TolakiTiworo, melalui perkawinan yang dilanjutkan dengan para turunanturunan penggantinya di kemudian hari. f. Bersama Tosugi dari Anggaberi pernah memimpin rombongan ke Bone untuk membantu raja Bone melawan Belanda. B.
Saran-Saran Berdasarkan pada pokok-pokok pikiran diatas maka beberapa saran,
berkenaan dengan masalalu bahwa perang penting searang pengawal raja menduduki posisi penting bagi kelangsungan kepemimpinan dan ketahanan seorang raja. Maka jika dilihat kondisi kekinian maka peran-peran tersebut masih berkesinambungan untuk itu negara harus memperbaiki sistem pengawal pejabat sekarang ini jabatan pengawal raja memperlihatkan kesinambungan fungsi dan perannya guna mengatur kondisi dalam menjaga keselamatan pemimpinnya. C.
Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah dan Muatan Lokal di Sekolah Pembangunan diberbagai sektor pada era reformasi sekarang ini Nampak
mengalami peningkatan yang cukup signifikan hal ini disebabkan oleh tuntutan kebutuhan yang makin hari makin diraskan oleh masyarakat. Dengan makin
87
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia sebagian besar melupakan masa lamapau. Masa lampau itu adalah sesuatu yang kuno yan tidaka pantas lagi untuk dilakukan pada masa sekarang. Padahal apa yang terjadi pada masa lampau itu dapat dijadikan sebagai pengalaman dalam menjalani hidup di masa kini dan masa yang akan datang kesalahan-kesalahan yan terjadi dimasa lampau tidak terulang lagi dimasa kini dan masa yang akan datang. Perkembangan zaman yang begitu pesat baik dalam segi pengetahuan maupun teknologi brdampak pula pada dunia pendidikan dewasa ini. Seiring dengan tuntutan zaman tersebut para pendidik (guru) diharapakan dapat dituntut untuk senantiasa memiliki budi pekerti luhur, disiplin, mandiri dan profesional, karena apa yang dilakukan guru disekolah dapat dijadikan panutan oleh muridmuridnya untuk itu para pendidik (guru) diharapkan mampu menjadi teladan bagi muridnya. Penulisan peranan seorang tokoh dalam masyrakat sekitarnya bisa dijadikan contoh bagi peserta didik sehingga mereka bisa lebih dekat mengenal tokoh sejarah didaerah mereka terlebih dahulu sebelum mengenal tokoh sejarah didaerah lain (Nasional). Dalam hal ini dengan memahami nilai-nilai sejarah yang tertanam dalam kehidupan masyarakat baik aspek politik, ekonomi maupun sosial budaya mempunyai daya tarik yang sangat penting dalam memperluas wawasan dan pengetahun kita serta dapat mempertebal rasa kecintaan terhadap bangsa dan Negara. Bila kita melihat kembali bagaimana peranan seorang tokoh dalam hal ini Haribau (kapita Lau) dalam upaya mempertahankan dan menjaga keamanan
88
kerajaan serta memperluas kekuasaannya yang tentu saja tanpa melupakan kesejahteraan rajanya karena segala yang dilakukan oleh Haribau (Kapita Lau) adalah semata-mata dari kemaslahatan kerajaan. Apa yang diciptakan oleh para leluhur kita diamas lamapau yang juga menjadi ciri khas dari sebuah daerah itu terlepas dari keuletan, kedisiplinan, serta kepatuhan mereka pada aturan yang telah dibuat. Implikasi hasil penelitian terhadap pembelajaran sejarah disekolah dapat di ajarkan pada tingkat SMP Kelas VII Semester I berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan kompetensi dasar yaitu: kemampuan menguraikan
proses
perkembangan
Agama,
mengharagai
peninggalan-
peninggalan sejarahnya. Dengan indikatornya yaitu : a) menyusun kronologi perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, b) mengidentifiaksi persamaan dan perbedaan bentuk dan ciri-ciri peninggalan sejarah yang bercorak Islam di berbagai daerah. Dari enam kali pertemuan materi ini dibahas pada pertemuan ke-4 dan ke-5. Adapun strategi yang diterapkan guru dalam mengajarkan materi ini adalah dengan menggunakan metode ceramah, studi lapangan, diskusi kelompok dan Tanya jawab. Hal ini dimaksud agar siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan itu dari guru tapi juga dapat memperoleh pengetahuan itu dengan cara pengalaman studi lapangan diskusi dan tanya jawab. Namun dalam proses diskusi, guru tetap mengontrol dan juga mengarahkan siswa jika mereka mengalami kesulitan dalam diskusi sehingga ada kerja sama antara guru dan siswa.
89
Relevansi dengan pengajaran sejarah di SMP adalah konsep mata pelajaran sejarah yang menanamkan pengetahuan kepada siswa yang seperti menyangkut sikap dan tingkah laku dalam bermasyarakat. Sikap-sikap yang seperti ini bisa dijadikan sebagai panutan seperti sikap dan kearifan Haribau (Kapita Lau) dalam pembinaan sosial, politik, Agama dan budaya dalam kerajaan Konawe yang tercermin saat beliau memerintah. Sehubungan dengan ini maka nilai yang dapat dipetik dari penelitian ini dunia pendidikan akhlak yang dimiliki dalam kehidupan nantinya akan direalisasikan kepada peserta didik yang masih duduk dibangku-bangku sekolah. Guru didalam menerapkan metode pembelajaran sejrah tidak harus fakum tetapi guru tersebut harus relatif dalam membawa pemikiran siswa pada masalah yang sedang dijelaskan dan untuk mempermudah hal itu maka guru dapat menggunakan metode karya wisata, dimana siswa diajak mengunjungi tempattempat bersejarah (situs sejarah) yang berkaitan dengan materi yang dibawakan dan dari kunjungan tersebut siswa mendapat banyak manfaat seperti: siswa bisa rekreasi tapi sekaligus juga belajar karena siswa tidak saja mengetahui teori dan materi yang dijelaskan tapi juga praktenya dengan melihat langsung objek yang dibahas. Dengan demikian maka pengajaran sejarah merupakan dasar bagi pendidik dalam masalah pembangunan jiwa generasi muda dengan membangkitkan kesadaran bahwa mereka adalah generasi penerus cita-cita bangsa. Peranan seorang tokoh Haribau (Kapita Lau) merupakan asset sejarah local yang perlu diketahui oleh generasi muda sekarang.
90
DAFTAR PUSTAKA Anonim , 2007. Sejarah dan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara: Kendari: Badan Riset Provensi Sultra Andi, Zainal Abidin Farid, 1987. Inovasi Orang-orang Bugis pada abad ke XVIXVII. Di wilayah Timur dan barat Sulawesi. Alimudin, 2011. Peran Bontona Siompu Pada masa Kesultanan Buton. Skripsi FKIP Unhalu: Kendari Al-Ashur, Arsamid, 2003. Sejarah Pemerintahan Kabupaten Konawe. Lembaga Adat Tolaki Kabupaten Konawe Cohen, Bruce, 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Bina Aksara Djafar, Arnita, 2009. Pengaruh Portugis di Maluku. Yogyakarta: Ombak Gatrima, 2000.Peranan Taridala sebagai Kapita Ana Molepo atau Panglima Angkatan Darat pada masa Pemerintahan Raja Tebawo di Kerajaan Konawe (1602-1668). Skripsi Unhalu. Kendari Gusti, Asnan, 2001. Dunia Maritum Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Ombak Kartodirjo, Sartono, 1986. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta Kartono, Kartini, 2003. Kepemimpinan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta Lassong, Abdul Kadir, 1996. Peran Barata Lohia Terhadap Kerajaan Muna. Skripsi FKIP Unhalu: Kendari Melamba, Basrin, Aswati, dkk, 2011. Sejarah Tolaki di Konawe. Yogyakarta: Teras Mokodompit, Eddy, 1973. Perinsip Kepemimpinan. Universitas Hasanuddin: Ujung Pandang Nurlupiana, 2011.Peranan Tutuwi Motaha (Pengawaol Raja) di Kerajaan Konawe pada Abad XVII-XX. Skripsi Unhalu. Kendari Pasolong, Harbani, 2010. Kepemimpinan Birokrasi. Alfabeta cv: Bandung Pamudji, 1986. Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara Rabani, La Ode, 2010. Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Ombak: Yogyakarta
91
Rudini, 1992. Profil Provinsi Nusantara, Sulawesi Tenggara. Jakarta. Depdagri Saragih, Partogih, 1990. Peran Kepemimpinan dan Daya Adaptasi Terhadap Modernisasi. Jakarta: Medya Asri Siagian, Sondang P., 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: PT Rineka Cipta Suprihadi Sastrosupono. 1982. Menghampiri Kebudayaan. Bandung: Penerbit Alumni. Suradinata, Ermaya, 1997. Pemempin dan Kepemimpinan Pemerintahan. Gramedia Pustaka: Jakarta Suroyo, Djuliati, dkk, 2007. Sejarah Maritim Indonesia 1. Semarang: Jeda Susanto, Arsid S., 1983. Perubahan Sosial. Jakarta: Grafiti Su’ud, Muslimin, 1988. Aneka Ragaman Kebudayaan Tolaki. Kendari Balai penelitian Unhalu Suwardi, MS, dkk, 2008. Mengabdi pada Ilmu dan Profesi Sejarah Demi Daerah dan Bangsa.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Syamsudin, Helius, 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak Tamburaka, Rustam, dkk, 2003. Sejarah Sultra dan 40 Tahun Sultra Membangun. Jakarta: Pemda Sultra Kerja sama dengan Pt. Antam Tbk. Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka Tawulo, Asrul, 1987. Stratifikasi sosial dan struktur pemerintahan Menurut Adat Tolaki –Konawe ; Kabupaten Kendari. (Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo).
Uchjana, Onang Efendy, 1981. Kepemimpinan dan Komunikasi. Bandung: Bina Insan Wirutomo, Paulus, 1982. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: Cv Rajawali Yayat, Hayati Djadmiko, 2008. Perilaku Organisasi. Bandung: Alfabeta http://greenreefsindonesia.blogspot.com/2008/06/dasar-hukum-laut-ndonesia.html
92
DAFTAR INFORMAN 1.
2.
3.
4.
5.
Nama
: Arsamid Al Ashur
Lahir
: Tawanga 1943
Alamat
: Kelurahan Latoma, Kecamatan Unaaha
Keterangan
: Budayawan Tolaki
Nama
: Sapiudin Pasaeno
Lahir
: 1923
Alamat
: Kapoiala
Keterangan
: Tokoh adat
Nama
: Drs. H. Melamba Tombili
Lahir
: 1949
Alamat
: Pohara
Keterangan
: Turunan Kapita Lau
Nama
: H. Abdullah Djusin
Lahir
: 1942
Alamat
: Kelurahan Bondoala
Keterangan
: Ketua LPM
Nama
:Sapiudin T
Lahir
: 1960
Alamat
: Kelurahan Konawe
Keterangan
: Puutobu
93
SUSUNAN YANG PERNAH MENJABAT SEBAGAI KAPITA LAU DI KETAJAAN KONAWE Haribau (KL I)
Rambi (KL II)
Maho (KL III)
Pasaeno (KL IV)
Waanggo (KL V)
Tolunggae (KL VI)
Ndawuto (KL VII)
Latombili (KL VIII)
Pasiala (KL IX)
Sumuro (KL X)
Tehaho (KL XI) (Muslimin Su’ud, 1988)
94
GLOSARIUM Ama
: Ayah
Anakia
: Gelar bagi golongan bangsawan di kerajaan Mekongga
Andolaki
: Pemukiman awal Tolaki
Anggalo
: Pemukiman lembah/ngarai yang penghuninya terdiri empat sampai tujuh kepala keluarga yang merupakan satu rumpun keluarga dari satu keturunan. Jumlah wilayah pemukiman anggalo mencapai ribuan.
Bokeo
: Suatu gelar raja dikerajaan Mekongga, kata Bokeo diartikan buaya yang oleh masyarakatnya diidentikkan dengan penguasa air “mbu iwoi” dalam bahasa Tolaki.
Datu
: Penguasa, gelar yang digunakan untuk penguasa Luwu.
Districk
: Bagian dari wilayah Onderrafdeeling yang dipimpin seorang kepala districk dengan gelar Mokole, di Jawa disebut Wedana atau Demang.
Ina
: Ibu
Kalo
: Pilin rotan kecil berjumlah tiga batang yang dililit, digunakan sebagai simbol setiap aktivitas kebudayaan suku Tolaki Mekongga
Kapala Kambo
: Kepala Kampung
Kapita
: Jabatan dalam Kerajaan Konawe yang bertanggung jawab pada bidang pertahanan dan keamanan di laut, daratan, maupun pejabat raja II.
Kotubitara
: Menteri bidang kehakiman
Lakina
: Gelar bangsawan di Wawonii
Mokole
: Gelar jabatan di Kerajaan Mekongga yang berkuasa pada tingkat wilayah distrik (gelar kepala distrik)
Mosehe
: Upacara Tolak Bala
Oata
: Budak
Onapo
: Suatau wilayah pemukiman lembah yang secara hukum adat di kuasai dan diduki oleh gabungan kelompok yang
95
mendiami anggalo.Adapun jumlah pemukiman wilayah o’napo mencapai ratusan. O’tadu
: Ahli siasat Perang
O’tobu
: pemukiman wilayah gabungan o’napo yang biasanya terdiri dari empat atau tujuh pemukiman o’napo yang saling berdekatan letaknya satu sama lain, biasanya jumlah wilayah o’tobu ini mencapai puluhan. Di kerajaa Mekongga terdapat 7 wilayah tobu yang dipimpin oleh seorang pu’tobu, selanjutnya pada masa pemerintah Hindi Belanda ketujuh wilayah ini dijadikan wilayah Distrik.
Pabitara
: Juru bicara
Pu’tobu
: Gelar jabatan di tingkat distrik zaman kerajaan Mekongga.
Pitudula Batuno Konawe : Tujuh Anggota Dewan Konawe Sapati
: Jabatan dalam kerajaan Mekongga, Buton, Laiwui yang mendampingi raja semacam perdana mentri dan patih.
Sabandara
: Syabandar jabatan dikerajaan Mekongga yang bertugas memungut bea masuk perahu dan mengatur perdagangan.
Sangia
: Gelar ini umumnya dipakai sebagai sebutan seorang raja setelah mangkat.
Siwole Mbatohu
: struktur pemerintahan kerajaan Konawe terdiri empat wilayah Kerajaan.
Tamalaki
: Prajurit pemberani
Tolaki
: Orang pemberani/laki-laki pemberani
Tolea
: Ahli urusan adat perkawinan
Tomanurung
: ―yang turun (dari dunia atas)‖. Tokoh dunia atas yang turun ke bumi dan menjadi penguasa pertama di kerajaan Mekongga dan Konawe.
To’ono Motuo
: Orang yang dituakan atau jabatan setingkat desa (napo) di kerajaan Mekongga, kepala wilayah setingkat napo bawahan di kerajaan Mekongga.
Tusawuta
: Mentri Pertanian
Wonua
: Negeri.
96
97
Gambar 1: Makam Raja Lakidende II yang berada di Kelurahan Arombu Kecamatan Unaaha
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, tanggal 17 April 2012) Gambar 2: Makam Waanggo (Kapita Lau Perempuan Ke V) yang berada di desa Lalonggaluku kelurahan Laosu Kecamatan Bondoala
Koleksi Pribadi penulis di ambil pada tanggal 16 September 2012 (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)
98
Gambar 3: Makam Tolunggae (Kapita Lau VI) yang berada di desa Lalonggaluku Kecamatan Bondoala
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, tanggal 16 September 2012) Gambar 4: Makam Pasaeno (Kapita Lau ke VII) yang berada di desa Wawolimbue Kecamatan Sampara
99
Gambar 5: Lapangan Pasaeno yang berada di kelurahan Laosu kecamatan Bondoala
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, tanggal 15 September 2012) Gambar: Lapangan Haribau (Lama) sebelum dipindahkan yang berada di kecamatan Sampara
Koleksi pribadi penulis di ambil pada tanggal 16 september 2012
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)
100
Gambar: Lapangan Haribau (sekarang) yang berada di kecamatan sampara
Koleksi pribadi penulis di ambil pada tanggal 16 September
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis) Gambar: Wawancara dengan Arsamid Al Ashur
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, 14 April 2012)
101
Gambar : Wawancara dengan H. Abdullah Djusin tanggal 17 Mei 2012
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Peneliti) Gambar : Wawancara denganSapiudin Pasaeno, 21 April 2012
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Peneliti)
102