PERANAN ISTERI DALAM MEMENUHI NAFKAH KELUARGA (Studi Kasus di Desa Gunung Sugih, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung)
Skripsi Diajukan pada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Desi Amalia NIM: 107044101899
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011M
PERANAN ISTERI DALAM MEMENUHI NAFKAH KELUARGA (STUDI KASUS DI DESA GUNUNG SUGIH, KECAMATAN KEDONDONG, KABUPATEN PESAWARAN, PROPINSI LAMPUNG) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Desi Amalia NIM: 107044101899
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Drs.H.A. Basiq Djalil, SH. Ma NIP. 195505051982031012
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata satu (S1) di Uinversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Uinversitas Islam Negeri Syarif (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hsil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Juli 2011
DESI AMALIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat sehat dan hidayah serta inayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi. Salawat serta salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW serta seluruh keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman. Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih atas keterlibatan semua pihak yang telah membantu penulis penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sepatutnya mengucapkan terima kasih kepada Bapak: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. 2.
Drs. H. A. Basiq Djalil,SH,MA, selaku Ketua jurusan yang sekaligus menjadi dosen pembimbing skripsi ini, yang telah mencurahkan tenaga dan fikirannya serta meluangkan waktunya dalam penysusunan skrpisi ini dari awal hingga akhir dan Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku
Sekretaris Jurusan Peradilan Agama dan
Administrasi Keperdataan Islam.
i
3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan studi di kampus ini. 4.
Pimpinan dan staf karyawan perpustakaan utama, perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Iman Jama yang telah membantu dan menyediakan bahan-bahan bacaan untuk penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Yunizar, dan Supiadi, selaku Kepala Desa (Kades) dan Kepala Dusun (Kadus) desa Gunung Sugih, yang telah bersedia memberikan data-data kelurahan. Tak lupa kepada narasumber masyarakat Desa Gunung Sugih yang telah bersedia memberikan waktunya untuk diwawancarai.
6.
Kedua orang tua saya Ayah dan Mama, yang telah membesarkan dan mendidik ananda dengan limpahan kasih sayang, perhatian yang tulus dan do’a,Kakak serta Adik-adikku tersayang, Laili, Fajri, Fitri, Syukron yang selalu memberikan semangat dan motivasi, serta membimbing penulis hingga mampu untuk menjadi yang terbaik.
7. Sahabat dan Saudara-saudara ku di, IAIN Lampung, UNILA, Senen, Bogor, Jakarta dan Lampung yang senantiasa memberikan doa dan dukungan positifnya, yang pada akhirnya dapat mewujudkan apa yang diharapkan selama ini. 8. Rekan-rekan mahasiswa konsentrasi Peradilan Agama B yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis hingga penulis berhasil menyusun skripsi ini. ii
9. Sahabat-sahabat yang pernah tinggal bersama dalam perantauan selama penulis kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;k Dewong, Tri, teh Afni, Pipit Aiza, K Syakillah dan K novi terima kasih atas bantuannya selama bersama, semoga silaturahmi ini tetap berjalan sampai maut yang memisahkan. 10. Exspecially sahabat-sahabat Delima tercinta, yaitu: Mariah, Astrian Widiyantri, Mariam Mahdalina, Tajul Muttaqin dan Laila Wahdah yang selalu menemani hari-hariku selama kuliah dalam suka dan duka, semoga persahabatan dan ukhuwah diantara kita akan tetap terjalin hingga akhir hayat kita amien. Atas segala bimbingan dan bantuan semua pihak
semoga Allah SWT
membalas dengan pahala yang berlipat ganda, Amin.
Jakarta,
Juli 2011
Penulis
Desi Amalia
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
7
D. Review Studi Terdahulu ....................................................................
8
E. Metode Penelitian.............................................................................. 11 F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12
BAB II
PRINSIP UMUM TENTANG NAFKAH A. Pengertian Nafkah ............................................................................. 13 B. Macam-Macam Nafkah ..................................................................... 18 C. Ukuran -Ukuran Nafkah .................................................................... 25 D. Konsep Nafkah dalam Undang-Undang Perkawinan ...................... 29
BAB III
POTRET DESA GUNUNG SUGIH A. Latar Belakang Sejarah Singkat ........................................................ 41 B. Letak Geografis Desa Gunung Sugih ................................................ 42 C. Sistem Kemasyarakatan .................................................................... 43
v
D. Kebudayaan dan Adat Istiadat .......................................................... 47 E. Pandangan Masyarakat Desa Gunung Sugih tentang Peranan Isteri Dalam Memenuhi Nafkah Keluarga ................................................ 50
BAB IV
NAFKAH ISTERI DALAM KELUARGA A. Peranan Isteri Dalam Memenuhi Nafkah Keluarga ......................... 53 B. Tinjauan Undang-Undang Perkawinan ............................................ 56 C. Kedudukan Nafkah Isteri di dalam Keluarga .................................... 59 D. Analisis Penulis ................................................................................ 62
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................... 66 B. Saran-Saran ....................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 69 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Permohonan Izin Penelitian ........................................................... 71 2. Surat Keterangan Desa Gunung Sugih .................................................... 72 3. Pedoman Wawancara .............................................................................. 73 4. Hasil Wawancara .................................................................................... 74 5. Foto Peneliti dengan Masyarakat Desa Gunung Sugih ...........................
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud. Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.1 Pembentukan keluarga merupakan peristiwa hukum perdata dalam arti karena pembentukan keluarga itu merupakan persetujuan dua pihak
untuk
mendukung hak-hak mereka dan melaksanakan kewajiban yang menjadi beban mereka. Berhubungan dengan itu, maka dengan persetujuan tersebut akan dimungkinkan mengikuti kehendak masing-masing secara terbuka, dan perikatan yang diadakan bisa menggunakan sistem terbuka. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang mempersatukan dua insan yang berlainan jenis antara laki-laki dan 1
Achmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995) hal.
13-14
1
2
perempuan serta menjadikannya hidup bersama, hal ini merupakan sunatullah yang mana setiap kehidupan didunia ini adalah saling berpasangan. Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan, karena pada dasarnya perkawinan melibatkan dua pihak untuk mengadakan kesepakatan hidup bersama dalam membina keluarga (rumah tangga) sebagai suami-isteri. Seiring dengan berubahnya cara pandang masyarakat terhadap peran dan posisi kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat, maka kini sudah banyak kaum perempuan yang berakrir, baik dikantor pemerintah maupun swasta, bahkan ada yang berkarir di kemiliteran dan kepolisian, sebagaimana kaum laki-laki. Kehidupan modern tidak memberi peluang untuk membatasi gerak kaum perempuan.2 Dengan adanya hidup bersama antara suami dan isteri tentunya akan timbul beberapa hal yang terkadang sejalan atau bahkan bertentangan dengan sifat dari keduanya. Maka dari itu, sangatlah perlu antara suami dan isteri untuk saling mengerti serta memahami apa yang menjadi hak dan apa yang menjadi kewajibannya. Karena dengan jalan seperti itulah keduanya dapat mengisi kehidupan mereka dengan membangun keluaga yang harmonis. Ada tiga macam hak dalam hubungan suami-istri. Pertama, hak-hak istri yang wajib ditunaikan suami. Kedua, hak-hak suami yang wajib ditunaikan istri.
2
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer,(Jakarta: Ghalia Indonesia 2010) cet ke-1, hal. 62
3
Ketiga, hak-hak bersama antara suami dan istri. Dr Abd al-Qadr Manshur, mengungkapkan, hak dan kewajiban suami-istri itu merupakan ketentuan agung dari Allah SWT, dan selaras dengan tabiat dan kodrat keduanya. Dalam hubungan suami isteri dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan begitu pula isterinya mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula si isteri mempunyai beberapa kewajiban. Adanya hak dan kewajiban antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga itu dapat dilihat dalam bebrapa ayat al-AQur’an dan beberapa hadis Nabi. Hak suami merupakan kewajiban bagi isteri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak bagi isteri. Dalam kaitan ini terdapat tiga hal.3 1. Kewajiban suami terhadap isterinya, yang merupakan hak isteri dari suaminya 2. Kewajiban isteri terhadap suaminya, yang merupakan hak suami dari isterinya 3. Hak bersama suami isteri 4. Kewajiban bersama suami isteri. Adapun kewajiban suami terhadap isterinya dapat dibagi kedalam dua bagian: 1. Kewajiban yang bersifat materi yang disebut nafqah 2. Kewajiban yang tidak bersifat materi Dalam hal kaitannya dengan kewajiban suami memberi nafkah kepada keluarganya, yang mana nafkah sendiri merupakan kewajiban suami terhadap
3
hal. 160
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,( Jakarta: Prenada Media, 2007),
4
isterinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi. Kewajiban memberi nafkah oleh suami kepada isterinya yang berlaku dalam fiqh didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan isteri. Begitu pula halnya hak dan kewajiban suami isteri ini telah ditaur di dalam dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Hal ini pun diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80 ayat 1-4 yang menyatakan bahwa: “ suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama (1), suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (2), suami wajib memberi pendidikan agama yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa (3), sesuai dengan penghasilan suami menanggung: nafkah, kiswah tempat kediaman isteri, biaya rumah tangga dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak (4).4 Akan tetapi jika dilihat dari realitas yang ada pada saat ini banyak para suami yang mengabaikan kewajibannya khususnya dalam hal memenuhi nafkah keluarganya. Oleh sebab itu jika kita lihat realitas yang ada pada saat ini banyak para isteri yang ikut berperan serta dalam memenuhi nafkah keluarga. Hal ini
4
133
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2007) hal.
5
tentunya sangat tidak relefan dengan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perkawinan yang ada pada saat ini, yang mana nafkah tersebut merupakan kewajiban dari seorang suami kepada keluarganya.5 Hal inilah yang banyak terjadi pada masyarakat desa Gunung Sugih kecamatan Kedondong, yang mana para isteri sangat berperan aktif dalam hal memberi nafkah kepada keluarga, bahkan mereka sampai rela menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) demi memenuhi nafkah keluarga, sementara suami mereka
tidak peduli terhadap
nafkah keluarganya.6 Bukan berarti seorang isteri itu tidak mempunyai kewajiban terhadap keluarganya. Seorang istri pun memiliki kewajiban atau tugas dalam perannya sebagai istri maupun ibu. Adapun tugas istri dalam kaidah yang universal, seperti tertuang pada kitab al-Zhilal antara lain; mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat anak-anaknya. Sebuah tugas yang cukup berat serta penting. Untuk memikul beban ini, Allah membekali perempuan dengan perasaan lemah lembut dan kasih sayang. Dua faktor inilah yang membuat mereka sanggup merespons dengan cepat keinginan dan kebutuhan putra putrinya. Maka itu, dinilai adil jika kemudian suami kebagian tugas untuk menjaga, mengayomi serta membimbing istri dan anak-anak. Inilah pula bagian dari hak istri dari suami, yakni merasa terlindungi.7 5
https// www.artikel kesetaraan gender.go.id
6
data ini di dapat berdasarkan hasil survey di Desa Gunung Sugih, kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung 7
https// www. journal islami.com
6
Namun tidak semua yang kita rencanakan dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Termasuk dalam hal memenuhi nafkah ini, pada awal pernikahan mungkin suami mampu menafkahi keluarga dengan penghasilannya. Namun apa daya bila dikemudian hari si suami sudah tidak memiliki sumber penghasilan lagi dan perannya memberi nafkah diganti oleh isteri. Kemudian akan timbul suatu pertanyaan apakah seorang isteri memiliki peranan
dalam
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Atas dasar motivasi dan persoalan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan mengangkatnya dalam sebuah skripsi. Hal ini mengingat banyaknya fenomena suami yang melalaikan kewajiban nya memberi nafkah kepada isteri. Kemudian judul yang diangkat penulis dalam skripsi ini adalah “Peranan Isteri Dalam Memberi Nafkah Keluarga (Studi Kasus di Desa Gunung Sugih Kabupaten Pesawaran)”.
B. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: Baik dalam Al-Qur’an atau Hadits maupun Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 34 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 80 menjelaskan bahwa kewjiban yang memberi nafkah itu adalah suami, bukan isteri sedangkan isteri memiliki kewajiban yang lain, akan tetapi hal tersebut berbeda dengan kenyataannya, karena pada kenyataannya yang terjadi di Desa Gunung Sugih itu yang memberi nafkah adalah isteri .
7
Rumusan tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Sejauh mana peranan isteri di desa Gunung Sugih dalam menafkahi keluarganya? 2. Bagaimana pandangan KHI & Undang-Undang Perkawainan dalam hal peranan isteri memberi nafkah kepada keluarga? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi isteri dalam hal memberi nafkah kepada keluarga?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal hal apa saja yang mempengaruhi isteri dalam memberi nafkah kepada keluarganya, dan mengetahui bagaimana pandangan Undang-Undang Perkawainan menyikapi hal tersebut. Dalam sebuah penelitian sudah pastinya memiliki tujuan dan manfaat yang hendak dicapai. a. Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syari’ah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Mengetahui konsep nafkah Perkawinan di Indonesia
menurut fikih dan Undang-Undang
8
c. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi isteri dalam menafkahi keluarganya d. Mengetahui sejauh mana peranan isteri dalam menafkahi keluarganya 2. Manfaat penelitian: a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembaca pada umumnya dan mahasiswa Uin pada khususnya. b. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi tolak ukur pada masyarakat mengenai peranan isteri dalam memenuhi nafkah keluarga, yang mana nafkah tersebut merupakan kewajiban dari seorang suami c. Sebagai bahan referensi bagi masyarakat yang ingin tahu kewajibankewajibannya dalam mentaati hukum tanpa ada salah satu yang ditinggalkan.
D. Metode Penelitian Untuk menghasilkan data yang valid, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia.8
8
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 20
9
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor atau interaksi-interaksi sosial yang terjadi di dalamnya.9 2. Lokasi Penelitian Desa Gunung Sugih kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran. 3. Sumber Data a. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.10 Data ini meliputi interview dengan beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui hal adat desa Gunung Sugih dan kepala Desa setempat. b. Data Sekunder Data
sekunder
adalah
data
yang
diperoleh
dengan
cara
membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah AlQur’an, Hadis, buku-buku ilmiah, Undang-undang Kompilasi Hukum Islam ( KHI ), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan. 9
Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003),hal. 36 10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta:UI-press, 1986), hal. 51
10
4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara: a. Wawancara (Interview), yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.11 Dalam hal ini, penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu: kepala Desa Gunung Sugih, suami yang melalaikan kewajubannya dalam memberi nafkah keluarga, isteri yang mencari nafkah keluarganya, dan dan tokoh masyarakat setempat. b. Dokumenter dan bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian. 5. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga didapat suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini. 6. Teknik Penulisan Data penulisan proposal skripsi ini, penulis mengacu kepada buku pedoman Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
), hal. 135
Lexy. J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
11
E. Review Study Terdahulu Raden Nugraha (104044101405) Isteri Memberi Nafkah Kepada Keluarga Dalam Persepektif Hukum Islam. Pada skripsi ini dibahas mengenai pandangan hukum Islam terhadap isteri yang memberi nafkah kepada keluarga, kemudian membahas pula pendapat para ulama terhadap kewajiban-kewajiban suami kepada keluarganya. Perbedaan skripsi ini denagn judul yang penulis angkat adalah bahwa pada skripsi ini lebih menekan kan tentang pandangan hukum Islam (Fiqh) terhadap nafkah isteri, sedangkan pada skripsi saya peranan isteri dalam memberi nafkah keluarga serta relefansinya dengan tanggung jawab nafkah dalam sisitem UndangUndang Perkawinan di Indonesia Ahmad Faiz Hamka (103044128019), Perkara Cerai Gugat Dengan Alasan Suami Tidak Memberi Nafkah Menurut Hukum Islam ( Studi Analisis Putusan No 73/pdt.G/PAJT) Pada skripsi ini dibahas tinjauan hukum Islam perihal tanggung jawab suami khususnya kewajiban memberi
nafkah kepada isteri atau keluarga.
Kemudian membahas pula kadar nafkah yang harus dipenuhi seorang suami, dan apakah dengan tidak tercapainya kadar nafkah tersebut bisa dijadikan alasan oleh isteri untuk mengajukan perceraian. Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat ialah jika pada skripsi ini dibahas mengenai kadar nafkah yang harus dipenuhi oleh seorang suami terhadap kelurganya, sedangkan pada skripsi saya sejauh mana peranan isteri dalam hal memenuhi kebutuhan rumah tangga.
12
F. Sistematika Penulisan Secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu: BAB PERTAMA Merupakan bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah, pembatasan
dan
perumasan
masalah,
tujuan
dan
dan
manfaat
penelitian,metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB KEDUA Menjelaskan teori-teori yang berkaitan dengan nafkah, yang meliputi pengertian nafkah, ukuran-ukuran nafkah, hak dan kewajiabn suami isteri dalam berumah tangga, konsep nafkah dalam undang-undang perkawinan. BAB KETIGA Sejarah singkat dan geografis desa Gunung Sugih, sistem kemasyarakatan, kebudayaan dan adat istiadat konsep nafkah isteri dalam keluarganya. BAB KEEMPAT Peranan isteri dalam memberi nafkah keluarganya, kaitannya dengan nafkah isteri dengan tanggung jawab suami di dalam Undang-Undang Perkawinan yang ada. BAB KELIMA Di dalam bab lima ini terdapat suatu kesimpulan atas jawaban perumusan masalah dan saran-saran yang berhubungan dengan pelaksanaan nafkah, penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lain-lain.
BAB II PRINSIP UMUM TENTANG NAFKAH
A. Pengertian Nafkah Kata nafkah berasal dari kata anfaqa, yang artinya pengeluaran.1 Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau di belanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Ulama fikih sepakat bahwa nafkah minimal yang harus dikeluarkan adalah yang dapat memenuhi kebutuhan pokok, yakni makanan, pakaian, dan tempat tinggal. untuk kebutuhan yang terkahir ini, menurut ulama fikih tidak harus milik sendiri, melainkan boleh dalam bentuk kontrakan, apabila tidak mampu untuk memliki sendiri.2 Seorang suami diwajib memberi nafkah kepada anak dan istrinya, sebagaimana firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
233 2 Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”. ( Qs. Al-Baqarah/2: 233 )
Dari ayat di atas maka dapat disimpulkan bahwa nafkah itu merupakan sebuah kewajiban yang harus diberikan oleh seorang suami terhadap istrinya. Dan
1
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Progresif, 1997), cet. Ke-14, hal. 1548 2
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam ( Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), cet Ke- 1 Hal. 1281
13
14
nafkah itu adalah sebuah kebutuhan dan keprluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat.3 Hadits Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “Sesungguhnya Rasilullah SAW bersabda ketika haji wada‟ : Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah di dalam urusan perempuan. Karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah. Kamu telah menghalalkan kemaluan (kehormatan) mereka dengan kalimat Allah. Wajib bagi mereka (istri-istri) untuk tidak memasukkan ke dalam rumahmu orang yang tidak kamu sukai. Jika mereka melanggar yang tersebut pukullah mereka, tetapi jangan sampai melukai. Mereka berhak mendapatkan nafkah dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma‟ruf." (HR. Muslim)4
Kewajiban memberi nafkah oleh suami kepada isterinya yang berlaku dalam fiqh di dasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan isteri. Prinsip ini mengikuti alur piker bahwa suami itu adalah pencari rezeki, rezeki yang diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya isteri bukan penacari rezeki dan untuk memenuhi keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah. Yang dimaksud dalam pengertian nafkah menurut yang disepakati ulama adalah belanja untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok 3
Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, terj. M. Abdul Ghoffar E.M. (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001), cet. ke-1. hal. 383 4
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawinan Idaman (Jakarta: Qisti press,2010), hal. 122
15
pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan, dan papan. Selain dari tiga hal pokok tersebut jadi perbincangan di kalangan ulama. 5 Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang yang berkewajiban menurt kebiasaan masing-masing tempat.6 Tentang wajibnya nafkah, jumhur fuqaha sependapat atasnya. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang empat perkakara yaitu: tentang waktu wajib nafkah, kadar nafkah, orang yang berhak menerima nafkah, dan orang yang wajib mengeluarkan nafkah.7Agar seorang isteri berhak menerima nafkah dari suaminya, di syaratkan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam ikatan perkawinan yang sah; 2. Menyerahkan dirinya kepada suaminya; 3. Suaminya dapat menikmati dirinya; 4. Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki suaminya (kecuali kalau suami bermaksud merugikan isteri dengan membawanya pindah, atau membahayakan keselamatan diri dan hartanya) 5. Keduanya saling dapat menikmati.8
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia” ( Jakarta: Prenada Media, 2007), hal. 166 6
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,1994). Cetke- 27, hal. 421
7
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: dar al-Jiil, 1998), cet ke-1, hal. 518
8
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawinan Idaman, (Jakarta: Qisti Press, 2010), hal. 121
16
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, nafkah hukunya tidak wajib.9 Kemudian hendaklah seoarang suami melaksanakan hal-hal sebagai berikut kepada isteri: 1. Memberikan wasiat, memerintahkan, mengingatkan dan menyenangkan hati isteri; 2. Suami hendaknya memberikan nafkah isterinya sesuai kemampuan, usaha, dan kekuatannya; 3. Suami hendaknya dapat menahan diri tidak mudah marah, apabila isteri menyaktinya; 4. Suami hendaknya menundukan dan menyenangkan hati isteri dengan menuruti kehendaknya dengan baik; 5. Suami hendaknya menyuruh isteri melakukan perbuatan yang baik; 6.
Suami hendaknya mengajar isterinya apa yang menjadi kebutuhan agama dari hukum bersuci;
7. Suami harus mengajarkan berbagai macam ibadah kepada isteri; 8. Suami hendaknya mengajarkan budi pekerti yang baik kepada keluarganya. 10 Nafkah merupakan salah satu hal yang wajib dipenuhi dan ditanggung jawab sepenuhnya oleh suami terhadap isterinya, hal ini telah ditetapkan oleh AlQur‟an, hadits dan ijma‟ sebagaimana firman Allah:
9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Daar al-fath,1996), juz ke- 2, hal. 79
10
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawinan Idaman, (Jakarta: Qisti press,2010), hal. 122
17
233 2 Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Baqarah/2: 233)11
Maksud ayat di atas adalah bahwa kewajiban sebagai suami memberikan nafkah dan pakaian adalah sebagai dasar atas hubungan suami isteri apabila menurut nafkah itu merupakan kewajiban suami yang harus dipenuhi selama tuntutan itu masih wajar dalam pelaksanaan pemberian nafkah hendaknya dengan cara yang baik, kemudian suami dalam memberikan nafkah tidak merasa terbebani karena dalam pemberian nafkah terhadap isteri menurut kemampuan suami.12
11
12
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Semarang: CV. Asy Syifa, 1999) hal. 57 H.S. Al-Hamdani, Risalah Nikah,(Jakarta: Pustaka Amani,2001), hal. 151
18
Sedangkan mengenai waktu memberi nafkah, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa nafkah itu menjadi wajib apabila suami telah menggauli atau mengajak bergaul dan isteri termasuk orang yang dapat digauli dan suami telah dewasa. Ij‟ma‟ menetapkan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isteriisteri mereka apabila telah baligh dan isteri tidak nusyuz, sebab apabila isteri usyuz kepada suami maka isteri berhak mendapatkan nafkah dari sang suami.13
B. Macam-macam Nafkah 1. Nafkah Materil Adapun yang termasuk kedalam nafkah materil itu adalah: a. Suami wajib memberi nafkah, kiswah dan tempat tinggal. Seorang suami diberi beban untuk memberikan nafkah kepada isterinya berupa sandang, pangan, papan dan pengobatan yang sesuai dengan lingkungan, zaman dan kondisinya; b. Suami wajib memberikan biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan c. Biaya pendidikan bagi anak.14
13
Talib al-Hamdani, Risalatun Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani,1998), hal. 124
14
Yusuf Al-Qardawi, Panduan Fikih Perempuan, (Jogjakarta: Salma Pustaka, 2004) cet ke-
1, hal. 152
19
Kewajiban seorang suami harus memberikan tempat tinggal (nafkah papan), memberikan makanan dan minuman sesuai dengan kemampuannya kepada isterinya, sebagaimana terdapat firman Allah SWT. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233:
233 2 Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”. (Qs. Al-Baqarah: 233 )15 Adapun seorang isteri berhak menerima nafkah dari suaminya, apabila memenuhi syarat-syarat: a. Dalam ikatan perkawinan yang sah; b. Menyerahkan dirinya kepada suaminya; c. Suaminya dapat menikmati dirinya; d. Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki suaminya (kecuali kalau suaminya itu bermaksud merugikan istri dengan membawanya pindah, atau membahayakan keselamatan diri dan hartanya); dan e. Keduanya saling dapat menikmati.16
15
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah ((Semarang: CV. Asy Syifa, 1999) hal.
16
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut: Daar al-fath,1996), juz ke- 2, hal. 80
57
20
2. Nafkah Non Materil Adapun kewajiban seorang suami terhadap isterinya itu yang bukan merupakan kebendaan adalah sebagai berikut: a. Suami harus berlaku sopan kepada isteri, menghormatinya serta memperlakukannya dengan wajar; Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 223:
223 2 Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.....” (Qs. Al-Baqarah/2: 223)17 b. Memberi suatu perhatian penuh kepada isteri; c. Setia kepada isteri dengan cara menjaga kesucian suatu pernikahan dimana saja berada; d. Berusaha mempertinggi keimanan, ibadah, dan kecerdasan seorang isteri; e. Membimbing isrteri sebaik-baiknya; f. Memberi kemerdekaan kepada istri untuk berbuat, bergaul ditengahtengah masyarakat; g. Suami hendaknya memaafkan kekurangan isteri; dan suami harus melindungi isteri dan memberikan semua keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.18
17
18
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah(Semarang: CV. Asy Syifa, 1999) hal. 54 Slamet Abidin, Fikih Munakahat I, (Bandung, Pustaka Setia,1999), hal. 171
21
3. Nafkah Dalam Kehidupan Rumah Tangga Modern Secara terminology nafkah dalam konteks fiqih bermakna harta yang dibelanjakan untuk keperluan orang-orang yang menjadi tanggung jawab sesorang, berupa sandang, pangan, papan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.19 Pemahman fiqh klasik menempatkan nafkah sebagai sumber kewajiban syar‟i yang ditujukan kepada laki-laki (Suami, Ayah, dan Majikan). Kewajiban laki-laki sebagai pemberi nafkah dan hukum-hukum lain seputar nafkah biasanya didasarkan pada firman Allah SWT
34 4 Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memlihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena itu Allah telah memelihara mereka. Wanitawanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa/4: 34)20
19
Abdurrahman Al-Jazuari, Fiqh „Ala Madzahib Al-Arba‟ah, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), juz ke-4, hal. 426 20
123
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Semarang: CV. Asy Syifa, 1999) hal.
22
Ayat di atas berbicara tentang kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Kepemimpinan terbentuk berdasarkan asumsi kewajiban nafkah yang diemban suami atas isteri dan keluarganya. Banyak ulama tafsir mengkaitkan antara kewajiban nafkah dan superioritas laki-laki (suami) dan inferioritas perempuan (isteri). Jatuhnya kewajiban nafkah kepada suami karena laki-laki dianggap sebagai manusia yang sanggup melakukan pekerjaan otot dan otak. Isteri tidak berkewajiban untuk memberi nafkah lantaran perempuan dianggap sebagai manusia lemah dan kurang akal. Imam Syafi‟i berkata: Allah Azza Wajalla telah menetapkan agar lakilaki (suami) menunaikan semua kewajiban dengan cara yang ma‟ruf (patut). Adapun definisi patut adalah memberikan pemilik hak keperluannya, menunaikan
dengan
sukarela
bukan
karena
terpaksa,
serta
tidak
menampakkan sikap tidak senang. Apabila salah satu sifat ini ditinggalkan maka seseorang dianggap berlaku zhalim (aniaya), karena seseorang yang menunda menunaikan hak orang lain sementara ia melakukan hal itu maka hal itu termasuk kezhaliman.21 Padahal dalam konteks kelurga modern seperti sekarang, pembiayaan nafkah kesehatan dan perawatan organ reproduksi sama pentingnya dengan kebutuhan makan dan minum (pangan). Sehingga, pendekatan pendekatan yang selama ini digunakan fiqh harus dilebarkan cakupannya.22
21
22
Imam Syafi‟i, Al-Umm, (Beirut: Daar al-Fikr, 1990, Juz ke-5) hal. 93 H. Zaini Ahmad Noeh, Pengadilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: PT, tth), hal. 218
23
Nafkah dalam keluarga juga harus terkait langsung dengan tujuan pernikahan: sakinah, mawaddah, warahmah. Nafkah merupakan salah satu unsur penting dalam membentuk keluarga. Karena itu kewajiban nafkah seharusnya berawal dari asumsi baik, seperti perwujudan sikap saling mencintai dan tanggung jawab, bukan berdasarkan asumsi inferioritas salah satu pihak (perempuan). Jika nafkah dipahami sebagai kewajiban suami yang diakibatkan kelemahan isteri maka, itu berarti tujuan keluarga yang berdasarkan asas saling menghormati belum tercapai. Keluarga juga mestinya terbentuk berasaskan kesetaraan, kerjasama saling mendukung, dan membahagiakan. Tidak ada keuntungan sepihak. Asumsi yang menyatakan isteri bagai barang sewaan tidak dapat dibenarkan. Sebab mengaggap isteri sebagai barang sewaan adalah sama dengan merendahkan martabat isteri. Suami isteri harus dapat menempatkan posisi masing-masing dalam kerangka kerjasama yang setara.23 Islam tidak pernah meninggalkan sesuatu begitu saja. Islam pasti meletakkan hukum dan peraturan-peraturan tertentu. Perempuan juga dapat keluar rumah untuk bekerja karena unsur yang mendesak seperti tidak ada orang yang dapat mencukupi kebutuhannya atau memberi nafkah kepadanya, ia juga tidak boleh melakukan hal tersebut dengan cara mendesak-desak dan berbaur dengan kaum laki-laki atau bekerja pada waktu-waktu tidak pantas
23
121
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi kiai atas Wacana Agama dan Gender, hal.
24
bagi kaum perempuan yang berada diluar ruamh. Masyarakat muslim seharusnya membantu para perempuan untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan.24 Beban kehidupan yang berat seharusnya diupayakan penyelesaiannya oleh suami-isteri. Nafkah dapat dilakukan dan diupayakan bersama. AlQur‟an memang menyebut kewajiban nafkah hanya pada suami, namun redaksi bahasa yang digunakan hanyalah informasi (khabariyah), bukan ketetapan. Informasi yang dimaksud pada masa ayat ini turun para suami dan ayah pada umumnya merupakan tulang punggung satu-satunya keluarga. Dalam konteks Indonesia kini, realitasnya telah banyak isteri dan ibu yang kian dituntut untuk memenuhi nafkah keluarga, lantaran suami atau ayah kehilangan pekerjaan atau karena masalah ekonomi lain, suka atau tidak suka. Para imam madzhab juga menetapkan fiqh nafkah secara kaku. Mekanisme penafkahan keluarga seringkali berdasarkan asas al‟Urf (tradisi atau kebiasaan). Dengan pendekatan al‟Urf ini sesungguhnya agama membuka peluang besar bagi perempuan (isteri) untuk berkreasi secara setara dengan para laki-laki (suami). Berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) mengupayakan nafkah keluarga bersama-sama. 25
24
Syaikh Mutawalli As-Sya‟rawi, Fiqh Perempuan Muslimah Busana dan Perhiasan Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, hal. 142 25
hal. 27
Syaikh, Munir Al-Ghadban, Manhaj Haraki(Jakarta: Maktabah al-Manan,1984), cet ke- 1,
25
C. Ukuran-Ukuran Nafkah Kaidah dasar dalam hal ini adalah Firman Allah SWT dalam Surat AtThalaq:7
7 65 Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At-Thalaq/65: 7)26
236 2 Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Baqarah/2: 236)27 Juga sabda Rasulullah kepada Hindun yang artinya:
Ambillah yang bisa mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik”28
26
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Semarang: CV. Asy Syifa, 1999) hal.
27
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Semarang: CV. Asy Syifa, 1999) hal. 58
946
28
M. Hamidy, Terjemahan Nailul Authar, Himpunan Hadis-Hadis hukum, (Surabaya: T. Bina ilmu) cet ke-5, hal. 2466
26
Dalam soal nafkah ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Nafkah harus mencukupi kebutuhan isteri dan anak-anak secara patut, hal ini tentunya berbeda-beda berdasarkan kondisi, tempat dan waktu 2. Nafkah harus berdasarkan kemampuan suami Para ahli fikih banyak yang membahas panjang lebar dalam menentukan kadar wajib nafkah. Mereka merincinya berdasarkan tradisi dan zaman yang berlaku saat ini.29 Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syara‟, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami isteri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.30 Imam Syafi‟i berpendapat bahwa nafkah itu ditentukan besarnya. Atas orang kaya dua mud,31 atas orang yang sedang satu setengah mud dan orang yang miskin satu mud. Perbedaan pendapat ini disebabkan ketidakjelasan nafkah dalam hal ini, antara disamakan dengan pemberian makan dalam kafarat atau denagn pemberian pakaian. Demikan itu karena fuqaha sependapat bahwa pemberian pakaian itu tidak ada batasnya, sedang pemberian makanan itu ada batasnya.32
29
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, , (Beirut: dar al-Jiil, 1998), cet ke-1 hal. 518
30
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, , (Beirut: dar al-Jiil, 1998), cet ke-1hal. 518
31
1 mud= + 1,5 kg
32
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: dar al-Jiil, 1998), cet ke-1 hal .519
27
Dalam bagian ini fuqaha berselisih pendapat tentang nafkah untuk pelayan isteri, apakah telah menjadi kewajiban suami dan jika menjadi kewajiban maka berapa besarnya?. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa suami wajib memberi nafkah pelayan isteri, jika isteri tersebut termasuk pelayan orang yang mandiri. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kebutuhan rumah tangga menjadi tanggungan isteri (setelah memperoleh nafkah).33 Fuqaha yang mewajibakan pemberian untuk pelayan isteri berselisih pendapat tentang banyaknya pelayanan isteri yang harus ditanggung. Segolongan fuqaha berpendapat bahwa yang harus ditanggung adalah satu pelayan. Sedang pendapat lainnya mengatakan dua, jika memang isteri hanya bisa dibantu oleh dua pelayan. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan Abu Tsur.34 Telah terjadi perbedaan pendapat antara madzhab mengenai adanya ukuran nafkah dan peniadaannya. Jumhur ulama berpendapat untuk meniadakan ukuran nafkah, kecuali dengan istilah secukupnya. Berkenaan dengan hal ini Imam Syafi‟i mengatakan: “ bagi orang yang miskin dan berada dalam kesuliatan adalah satu mud. Sementara bagi orang yang berada dalam kemudahan adalah dua mud, dan berada di antara keduanya adalah satu setengah mud. Sedangkan menurut Abu Hanifah: “Bagi orang yang berada dalam kemudahan memberikan tujuh sampai delapan dirham dalam satu bulannya dan bagi yang berada dalam kesulitan memberikan empat sampai lima dirham pada setiap bulannya. “Sebagian dari sahabat beliau (Abu Hanifah) mengemukakan. “Ukuran ini di 33
Ibnu Rusyd, Bidayatul muntahid, (Beirut: dar al-Jiil, 1998), cet ke-1 hal. 518
34
Ibnu Rusyd, Bidayatul muntahid, (Beirut: dar al-Jiil, 1998), cet ke-1 hal. 518
28
berikan untuk kebutuhan makanan dan untuk selain makanan memakai ukuran secukupnya.”35 Di dalam kitab Ar-Raudhah disebutkan: “Yang benar adalah pendapat yang menyatakan tidak diperlukan adanya ukuran tertentu.” Hal ini disebabkan adanya perbedaan waktu, tempat, keadaan dan kebutuhan dari setiap individu. Tidak diragukan lagi, bahwa pada waktu tertentu terkadang lebih mementingkan makanan dari pada yang lainnya. Demikian halnya dengan tempat, terkadang ada sebagian keluarga yang membiasakan keluarganya makan dua kali dalam satu hari. Di lain tempat, ada yang membiasakan tiga kali dalam satu hari dan ada juga yang samapai empat kali dalam satu hari. Tidak berbeda halnya dengan keadaan yang terkadang pada masa paceklik lebih memerlukan adanya penentuan ukuran makanan dibandingkan ketika pada masa subur. Sedangkan pada individu, ada sebagian orang yang kebutuhan makanannya satu sha‟ atau lebih, ada juga yang setengah sha‟ dan sebagian lainnya kurang dari itu. Perbedaan tersebut diketahui melalui penelitian. 36 Dengan melihat adanya perbedaan tersebut, maka penetapan ukuran tertentu bagi kewajiban pemberian nafkah merupakan suatu tindakan yang zhalim.37 Selain itu, tidak ada ketentuan syair‟at yang menetapkan ukuran tretntu terhadap pemebrian nafkah. Sebaliknya, Rasulullah menggunakan istilah 35
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), hal.
36
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, , (Beirut: dar al-Jiil, 1998), cet ke-1 hal. 518
452 37
hal. 453
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007),
29
secukupnya dengan memberikan syarat dilakukan dengan cara yang baik. Dalil yang melandasinya adalah riwayat dari „Aisyah, dimana Hindun pernah menuturkan kepada Rasulullah Shalallu Alaihi wa Sallam:
Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Ia memberikan kepadaku nafkah yang tidak mencukupi bagi diriku dan anak-anak ku, kecuali aku mengambil sebagian hartanya tanpa sepengatuhan dirinya. Lalu beliau bersabda: “Ambillah hartanya sehingga dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Muttafaq „Alaih)38 Hadits ini membolehkan penggunaan istilah secukupnya dengan syarat dilakukan dengan cara yang baik. Cara yang baik disini sama sekali tidak menyebutkan sesuatu pada ukuran tertentu. Akan tetapi, melainkan sesuatu yang dianggap baik sesuai dengan situasi, kondisi, tempat dan waktu.
D. Konsep Nafkah dalam Undang-Undang Perkawinan 1. Ketentuan Nafkah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Undang-undang Nomor 1 Tahun 197439 tentang perkawinan
yang
merupakan hukum terapan di Pengadilan Agama hanya mengatur secara umum hak dan kewajiban suami isteri. Ketentuan tentang hal ini dapat dijumpai dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34. Pada pasal 30 dijelaskan:
38
Mu‟ammal Hamidy, Terjemahan Nailul Authar, Himpunan Hadis-Hadis Hukum,( Surabaya. PT. Bina Ilmu) cet ke- 5, hal. 2465 39
Diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun 1974. Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3019 Tahun 1974
30
“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat” Undang-undang ini terkait erat dengan kenyataan sosial masyarakat yang memandang bahwa melaksanakan perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan sebagian dari ketentuan agama, karena itu seluruh kewajiban yang timbul sebagai akibat perkawinan harus dipandang sebagai kewajiban luhur untuk menegakkan masyarakat”. Dalam pengelolaan rumah tangga undang-undang menempatkan suami isteri pada kedudukan yang seimbang. Artinya masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam keluarga dan masyarakat. Ini diungkapkan dalam pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kemitraan (partnership) antara suami isteri. Kedudukan yang seimbang tersebut disertai perumusan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab (pasal 31 ayat 3). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga40 dan isteri adalah ibu rumah tangga. Perkataan „ibu rumah tangga‟ tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan dan tidak boleh pula diartikan isteri yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk bekerja di luar rumah tangga tangganya dilarang melakukan pekerjaan tersebut. 41 Sebagai isteri ia berhak melakukan pekerjaan di luar rumah tangga asal saja ia tidak melupakan fungsinya sebagai ibu rumah tangga yang secara kodrati dapat menyambung cinta, kasih sayang di antara suami dan anak dalam usaha mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedang suami sebagai 40
41
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, hal. 67-68 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dengan peraturan pelaksanaannya, hal 15
31
pemimpin42 menjadi penanggung jawab penghidupan dan kehidupan isteri dan keluarga disertai nasehat dan perhatian dalam usahanya secara bersama dengan isteri untuk kebahagiaan rumah tangga. Untuk mengembangkan fungsi masing-masing, suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (pasal 32 ayat 1) yang ditentukan secara bersama-sama (pasal 32 ayat 2). Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan hukum perdata43dan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat yang mengharuskan isteri tinggal di rumah suaminya. Undangundang menganggap musyawarah dalam menentukan tempat tinggal adalah sejalan dengan ketentuan sebelumnya yang menempatkan suami dalam kedudukan seimbang dalam melakukan setiap perbuatan yang mempunyai akibat hukum kepada suami isteri tersebut. Ketentuan tentang hak dan kewajiban juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan yaitu pada pasal 33 yang berbunyi: “Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain”. Pasal ini mengisyaratkan bahwa ketika suami isteri telah mempunyai kedudukan yang sama dalam perkawinan, maka antara suami isteri harus ada 42
Laki-laki diberi hak untuk memimpin disebabkan bahwa Allah telah memberikan kaum laki-laki kelebihan-kelebihan tertentu dan kemampuan memberi nafkah keluarga. Namun kepemimpinan laki-laki khususnya dalam keluarga tidak mutlak, tetapi terkait oleh kemampuan bergaul secara baik, rasa kasih sayang, rasa tanggung jawab terhadap kaum wanita. Lihat: M. Atho Mudzar dkk [ed.], Wanita dalam Masyarakat Indonesia hal 53. 43
Lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 106 dan 107 yang mengharuskan isteri patuh dengan tinggal serumah dengan suami di tempat di manapun suami bertempat tinggal. hal. 27
32
saling hormat menghormati, saling setia yang merupakan kebutuhan lahir dan batin masing-masing suami isteri. Penulis berpandangan bahwa dari beberapa pasal yang telah di kemukakan di atas, undang-undang telah menekankan bahwa perolehan hak terkait erat dengan penunaian kewajiban, walaupun hak-hak yang tersebut di atas adalah hak-hak yang dirasakan (non materil), bukan dimiliki (materil). Dalam pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diatur kebutuhan yang dapat diakses langsung dari suami isteri: Ayat (1) “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Ayat (2) “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya”.44 Pasal ini tidak menyebut kewajiban suami isteri bersifat kebutuhan lahir dengan terminologi “nafkah”45 tetapi keperluan hidup berumah tangga. Namun secara jelas yang dimaksudkan adalah apa yang dibutuhkan isteri untuk memenuhi keperluan pokok bagi kelangsungan hidupnya. Yang menarik dalam ketentuan pasal ini tidak ditetapkannya batasan maksimal dan minimal46 nafkah yang menjadi kewajiban suami terhadap isteri, tetapi
44
45
46
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya, hal 15 Anton M. Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia , hal. 93.
Di kalangan ulama, Ibnu Qayyim al-Jauziah termasuk golongan yang tidak menetapkan batas minimal dan maksimal nafkah. Hal ini dikembalikan kepada kebiasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Yang menjadi dasar bagi Ibnu Qayyim adalah nash al-Quran surat alThalaq/65: 7 dan hadis Hindun, Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, alih bahasa:. Abdurrahman dan A. Haris, hal 462.
33
didasarkan kepada keadaan masing-masing suami isteri. Hal ini dimaksudkan agar ketentuan ini tetap aktual dan dapat dipergunakan dalam menyahuti kebutuhan dan rasa keadilan yang diharapkan masyarakat. Sejalan dengan kewajiban suami tersebut di atas, maka kewajiban isteri adalah mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya, hal tersebut merupakan hak suami. Bagian terakhir tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam Undangundang Perkawinan ini adalah mengatur tentang kemungkinan suami isteri untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan apabila masing-masing suami isteri melalaikan kewajibannya. Hal itu merupakan jaminan terhadap hak masing-masing suami isteri apabila hak tersebut terabaikan. Dalam bagian lain dari undang-undang ini yaitu dalam Bab VIII yang mengatur tentang putusnya perkawinan serta akibatnya antara lain memuat tentang ketentuan tentang kewenangan pengadilan untuk mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri (pasal 41 huruf c). Ketentuan yang terdapat dalam pasal ini memberikan kemungkinan kepada pengadilan untuk menetapkan kewajiban pada suami untuk memberikan sesuatu bagi bekas isterinya setelah terjadi perceraian tanpa merinci batasan kewajiban tersebut sampai kapan dan juga tidak memberikan batasan maksimal dan minimal kewajiban tersebut.47 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan hak dan kewajiban 47
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya, hal. 19
34
suami isteri yang bersifat materil dan immateril. Kewajiban materil mencakup hak untuk memperoleh tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga, sedangkan hak yang bersifat immateril mencakup hak untuk diperlakukan secara seimbang dan baik. Semangat Undang-Undang ini juga mengisyaratkan bahwa perolehan hak adalah setelah menunaikan kewajiban. Perpanjangan pembayaran kewajiban dan penerimaan hak dapat dilakukan pengadilan bagi bekas suami atau isteri setelah terjadi perceraian. Pemenuhan kewajiban di satu sisi dan penerimaan hak di sisi lain bukan hanya sebagai kewajiban moral dalam sebuah perkawinan, tetapi dapat dituntut ke pengadilan apabila masingmasing suami isteri merasa dirugikan.
2. Ketentuan Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam Meskipun keberadaan dan kedudukan Pengadilan Agama semakin mantap dengan didukung perundang-undangan yang jelas, namun dalam mengambil keputusan hakim belum mempunyai dasar pijak yang seragam. Berdasarkan Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/1/735, maka usaha untuk penyeragaman tersebut telah dimulai dengan menganjurkan
kepada para hakim
untuk
menerapkan
atau
menggunakan 13 kitab kuning sebagai pedoman dalam mengambil keputusan.48
48
https// www.badilag net.com
35
Dengan merekomendasikan 13 kitab tersebut, keseragaman belum sepenuhnya tercapai, sementara itu dirasakan kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Untuk menyahuti kebutuhan tersebut, maka usaha penyeragaman diperluas dengan menambahkan kitab-kitab mazhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya, membandingkannya dengan yurisprudensi Pengadilan Agama dan fatwa ulama. Usaha ini kemudian dihimpun dan diterapkan sebagai hukum terapan yang kemudian dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam.49 Di antara hal yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam adalah hak dan kewajiban suami isteri yang telah diatur secara rinci, karena Kompilasi Hukum Islam dibuat untuk menegaskan dan melengkapi hukum materil yang ada sebelumnya (yang diharapkan dapat) sebagai hukum terapan yang diberlakukan bagi umat Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam telah dibedakan dan dikelompokkan hak dan kewajiban bersama antara suami isteri, hak suami, hak isteri, serta kedudukan masing-masing suami isteri. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam pasal 77 sampai dengan pasal 84.50 Ketentuan ini mempertegas bahwa kewajiban suami isteri terhadap anak (hak anak dari orang tua) bukan hanya sebatas kewajiban moral, tetapi kewajiban hukum untuk kemashlahatan anak sebagai orang yang belum berdaya mengurus dirinya.
132-133
49
https// www.badilag net.com
50
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta: Akademik Pressindo, 2007 hal.
36
Pada bagian ketiga diatur kewajiban suami yaitu dalam pasal 80, yang terdiri dari 7 ayat. Ayat-ayat yang merupakan pengulangan yaitu pasal 80 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam adalah pengulangan dari ketentuan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, sedangkan ayat-ayat yang lain merupakan ketentuan baru yang belum diatur sebelumnya. Adapun hal yang diatur dalam kedua ayat tersebut adalah: “Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri secara bersama.”Meskipun ditegaskan bahwa suami adalah pembimbing dalam menyelesaikan urusan rumah tangga namun dalam hal tertentu tidak serta merta suami dapat memutuskan segala hal tanpa musyawarah. Dalam pasal 80 ayat (3) dijelaskan pula: “Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa”.51 Selain kewajiban memberikan bimbingan kepada isteri, suami juga berkewajiban memberikan pendidikan agama kepada isteri. Kalau suami kebetulan tidak punya kemampuan memberikan pendidikan tersebut, suami memberi kesempatan kepada isteri untuk mendapatkan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan dalam hidup sebagai isteri dan anggota masyarakat. Berbeda dengan ketentuan yang ada sebelumnya (pasal 34 ayat 1, padanannya pasal 80 ayat 2) yang hanya menjelaskan bahwa suami 51
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta: Akademik Pressindo, 2007 hal. 133
37
berkewajiban memenuhi keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, maka dalam pasal 80 ayat (4) dijelaskan: “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.52 Melalui ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa keperluan berumah tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan. Ketentuan pasal ini juga mempertegas anggapan bahwa nafkah itu hanya untuk biaya makan, karena di samping nafkah masih ada biaya rumah tangga, dan hal ini juga tidak sejalan dengan ketentuan etimologi nafkah yang telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia yang berarti pengeluaran. Mengenai kewajiban suami terhadap isteri di atas, Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa kewajiban dalam pasal di atas mulai berlaku sejak adanya tamkin sempurna. Ketentuan ayat ini menjelaskan bahwa secara yuridis formal suami berkewajiban memenuhi (pasal 84 ayat 4 huruf a) dan apabila isteri itu terikat oleh suatu perkawinan yang sah, dan isteri mempunyai kapasitas serta telah berperan sebagai isteri.53
52
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta: Akademik Pressindo, 2007, hal.
53
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta: Akademik Pressindo, 2007 hal. 133
133
38
Apabila ia tidak dapat berperan sebagai isteri, baik karena ia kurang atau tidak mepunyai kapasitas untuk itu, atau ia mepunyai kapasitas dimaksud tetapi enggan berperan sebagai isteri maka kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya menjadi gugur karena isteri dikategorikan nusyuz. Ketentuan itu diatur dalam pasal 80 ayat (5) yaitu: “Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. Kalau dalam pasal ini sikap isteri yang menyebabkan gugur hak nafkah, maka dalam pasal 80 ayat (6) diatur bahwa isteri dapat mebebaskan suami dari kewajiban terhadap dirinya.54 Bagian keempat dari hak dan kewajiban suami isteri mengatur tentang masalah tempat kediaman. Pada pasal 81 ayat (1) sebagai penjabaran dari ketentuan pasal 80 ayat (4) dijelaskan: “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.”55 Ketentuan pasal ini menjelaskan batas akhir kewajiban suami untuk menanggung tempat kediaman yaitu sampai masa iddah, baik iddah raj‟i maupun ba‟in tidak dijelaskan oleh pasal ini, namun melalui pasal 149 yang mengatur “akibat talak”, pada sub b pasal tersebut dijelaskan: “Bila mana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: (b) memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.56 54
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta: Akademik Pressindo, 2007 hal. 132
55
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta: Akademik Pressindo, 2007, hal. 133
56
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta: Akademik Pressindo, 2007 hal. 149
39
Melalui penjelasan pasal ini dapat dipahami bahwa kewajiban untuk memenuhi maskan adalah hingga akhir iddah talak raj‟i. Jadi tempat kediaman itu adalah tempat tinggal yang layak selama dalam ikatan perkawinan, iddah talak atau iddah wafat. Pasal 81 ayat (2) pasal ini menjelaskan pula bahwa selama masa iddah wafat, isteri berhak mendapatkan maskan. Kemudian dalam pasal 81 ayat 3 diatur fungsi tempat kediaman adalah untuk melindungi anak-anak, tempat menyimpan harta kekayaan dan tempat mengatur dan menata alat rumah tangga. Kewajiban suami untuk menyediakan kediaman itu mencakup pula kewajiban untuk melengkapi peralatan rumah tangga, maupun sarana penunjang lainnya ( pasal 81 ayat 4).57 Meskipun pada dasarnya setiap kewajiban suami merupakan hak bagi isteri, namun secara khusus Kompilasi Hukum Islam mengatur pula kewajiban isteri yaitu pada pasal 83. Dalam ayat (1) dijelaskan bahwa kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas yang dibenarkan hukum Islam. Sedangkan dalam ayat (2) dijelaskan: “Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Hemat penulis rumusan pasal ini sengaja dibuat sedemikian rupa agar Kompilasi Hukum Islam tetap aktual dan dapat mengantisipasi
57
berbagai
kemungkinan
sejalan
dengan
perkembangan
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta: Akademik Pressindo, 2007, hal. 133
40
masyarakat yang ada, namun yang jelas penekanan pasal ini mengacu kepada kewajiban yang bersifat intern rumah tangga.58 Sebagaimana sudah diuraikan di atas bahwa kewajiban suami gugur karena isteri nusyuz, maka melalui pasal 84 ayat (1) dijelaskan bahwa kewajiban suami dapat berlaku kalau isteri tidak nusyuz. Sebagai pasal yang mengatur kewajiban isteri, maka pasal ini seyogyanya ditempatkan sebagai pasal-pasal tentang kewajiban suami. Karena nusyuz akan menyebabkan hilangnya sebagian hak-hak isteri, maka penetapan isteri nusyuz harus didasarkan kepada bukti yang sah. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur secara rinci mencakup jenis kewajiban, kapan mulai berlaku, kemungkinan gugur hak, kemungkinan merelakan hak oleh isteri, dan batas akhir berlaku hak-hak tersebut serta kemungkinan berlaku kembali hak-hak bagi isteri.
58
133
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta: Akademik Pressindo, 2007, hal.
BAB III POTRET DESA GUNUNG SUGIH
A. Latar Belakang Sejarah Singkat Desa Desa Gunung Sugih mulanya adalah merupakan kebumian1 dari kesebatinan2 Sangun Liyu.3 Negeri Way Lima yang ada pada masa itu berstatus pemekonan Gunung Sugih yang dikenal dengan nama kampung Gunung Sugih negeri Way Lima dan pada saat itu atas pejuang para sesepuh, tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat hingga tahun 1918 mutlak berstatus dengan nama kampung Gunung Sugih negeri Way Lima4. Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan mengalami beberapa kali pergantian pemimpin sejak tahun berdirinya hingga saat ini terjadi 17 kali pergantian pimpinan antara lain dapat disebutkan sebagai berikut: Daftar Tabel Nama-Nama Kepala Desa Gunung Sugih5 NO MASA JABATAN 1 Tahun 1918 s/d 1921 2 Tahun 1921 s/d 1928 3 Tahun 1928 s/d 1935 1
NAMA KEPALA DESA dan GELAR SAHRI USMAN (Raden Mulya) M. ARIF YUSUF( Gelar Raden Sakuan)
Kebumian disini maksudnya satu kesatuan
2
Kesaibatinan itu merupakan istilah adat lampung yang artinya kaya, maksudnya disini orang terpandang, atau tempat tinggal dari kepala suku yang biasa disebut dengan sebatin 3
Sangun liyu itu artinya dilewati, maksudnya untuk ktempat kepala suku atau kepala adat melewati beberapa desa salah satunya adalah desa Gunung Sugih 4
5
Arsip Kelurahan Gunung Sugih Arsip Kelurahan Gunung Sugih
41
42
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Tahun 1935 s/d 1945 Tahun 1945 s/d 1968 1968 s/d 1968 1968 s/d 1973 Tahun 1973 s/d 1975 Tahun 1975 s/d 1979 Tahun 1979 s/d 1980 Tahun 1980 s/d 1988 Tahun 1988 s/d 1998 Tahun 1988 s/d 1997 Tahun 1997 s/d 1998 Tahun 1998 s/d 2006 Tahun 2007 s/d 2013
M. NUH (Gelar Mangku Batin) RIDWAN MAJID BAIHAQQI THOYIB (Gelar Batin Jayakrama) SAHIBI HARUN SALEH BUKHARI SYUKUR HARUN SALEH HARIRI HASAN HERLI MURNI A. RAKHMAN AKHYAR HERLI MURNI HERLI MURNI YUNIZAR SY (Gelar Raden Panjikesuma
B. Letak Geografis Desa Gunung Sugih Desa Gunung Sugih adalah salah satu desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran. Dan merupakan Desa yang terletak di daerah yang strategis dimana wilayah yang dilalui jalan propinsu berdekatan dengan ibukota kecamatan. Adapun jarak menuju Ibu Kota Kecamatan Kedondong + 1 KM, jarak Ibu Kota Kabupaten Pesawaran + 16 KM dan Ibu Kota Propinsi Lampung (Bandar Lampung) + 35KM Adapun luas wilayah desa + 600 Ha yang terdiri atas
Pemukiman Penduduk
: 300 Ha
Perkebunan Rakyat
: 50 Ha
Persawahan
: 140 Ha
Peladangan/ Tanah kering
: 12 Ha
Perikanan/ Kolam
: 10 Unit
43
Kuburan
: 3 Ha6
Adapun Batas-Batas Wilayah Desa Gunung Sugih Kecamatan Kedondong itu adalah: -
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Teba Jawa
-
Sebelah Selatan berbatsan dengan Desa Pasar Baru
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pesawaran7
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kertasana
C. Sistem Kemasyarakatan Jumlah penduduk Desa Gunung Sugih terdiri dari: 3428 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga 675 KK yang terdiri dari 1650 Laki-laki dan 1778 Perempuan. Adapun penduduk pertahun mencapai 1% angka yang relative kecil dikarenakan kerja sama antar aparat desa dan petugas keluarga berencana (PPKBD dan OLKB) serta Dinas Kesehatan dan Instansi terkait dukungan dan kesdaran masyarakat yang sangat tinggi dari pasangan usia subur (pus) yang telah menjadi akseptor KB.
6
Arsip Kelurahan Gunung Sugih
7
Arsip Kelurahan Gunung Sugih
44
Tabel Jumlah Penduduk Desa Gunung Sugih8 NO
NAMA DUSUN
JUMLAH PENDUDUK
1
Dusun I Gn. Sugih Induk
1250 Jiwa
2
Dusun II Kuripan
498 Jiwa
3
Dusun III Gn. Raya
1259 Jiwa
4
Dusun IV Kemuning
421 jiwa
Tingkat pendidikan masyarakat Desa gunung Sugih adalah sebagai berikut: NO 1
TINGKAT PENDIDIKAN PENDUDUK Jumlah Penduduk buta huruf
JUMLAH 90 orang
2
Jumlah Penduduk masih sekolah dan pra sekolah
1241 orang
3
Jumlah penduduk tidak tamat SD
61 orang
4
Jumlah Penduduk tamat SD
1025 orang
5
Jumlah Penduduk tamat SLTP
494 orang
6
Jumlah Penduduk tamat SLTA
291 orang
7
Jumlah Penduduk tamat D.III
56 orang
8
Jumlah Penduduk tamat S.I
41 orang
Desa Gunung sugih merupakan Desa Pertanian, maka mata pencaharian sebagian besar penduduk adalahg petani. Berikut Tabel Mata Pencaharian Masyarakat Desa Gunung Sugih.9 NO
8 9
PEKERJAAN
JUMLAH
1
Petani
570 Orang
2
Pedagang
55 Orang
3
Pegawai Negri Sipil (PNS)
65 Orang
Arsip Kelurahan Gunung Sugih Arsip Kelurahan Gunung Sugih
45
4
Buruh Tani
95 Orang
5
Pengrajin
62 Orang
6
Montir
15 Orang
7
Peternak
25 orang
8
Buruh/Swasta
78 Orang
Wilayah pemerintahan Desa gunung sugih dibagi 4 dusun atau 6 rukun warga (RW) dengan jumlah rukun tetangga (RT) banyak dan jarak antar dusun 0,5 KM. Berikut pembagian Wilayah Desa Gunung Sugih10 NO 1
NAMA RW/DUSUN Dusun I Gn. Sugih Induk
JUMLAH RT 4
2
Dusun II Kuripan
3
3
Dusun III gunung Raya
4
4
Dusun IV Kemuning
2
Dalam mewujudkan Visi dan Misi Desa Gunung Sugih, maka dibutuhkan kondisi kehidupan masyarakat yang aman dan terpelihara. Kondisi ini telah tercipta melalui proses sejarah yang tercermin dari nilai-nilai social budaya dalam etos kerja masyarakat Desa Gunung Sugih kecamatan kedondong Kabupaten Pesawaran, yang meliputi: 11 Gotong royong, yang merupakan suatu budaya kerja orang Indonesia pada umumnya dan masyarakat Gunung Sugih khususnya sejak zaman dahulu sampai
10
Arsip Kelurahan Gunung Sugih
11
Arsip Kelurahan Gunung Sugih
46
sekarang masih tetap dilaksanakan, dan nilai budaya ini perlu untuk dikembangkan dan dilestarikan serta diterapkan, karena budaya kerja secara bersama-sama akan memperoleh hasil yang lebih baik dari pada bekerja sendirisendiri. Efektif dan Efisien, pembangunan suatu daerah akan berhasil apabila aspek efektif dan efisien selalu diperhatikan baik dalam penggunaan sumber daya maupun dalam proses pemanfaatan hail. Hal inilah yang dilakukan pada masyarakat Desa Gunung Sugih, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran. Akuntabilitas, yang merupakan salah satu aspek/ nilai penting dalam pelaksanaan kebijkan program pembangunan sehingga hasil kinerjanya harus dapat dibertanggung
jawabkan
kepada
semua
pihak.
Transparansi,
dengan
berhembusnya reformasi pembangunan di segala bidang, maka aspek/ nilai keterbukaan
dari
setiap
program/
kegiatan
pembangunan
perlu
untuk
disosialisasikan, sehingga setiap program/ kegiatan dapat diketahui oleh masyarakat luas. Etos Kerja, yang merupakan kunci keberhasilan dalam pembangunan, dimana etos kerja dibutuhkan bagi semua stakeholder pertanian mulai dari petani, keluarga tani, kelompok tani, serta petugas dan peneliti. Nilai Religius, yang sangat berperan penting dalam pembangunan mental dan spiritual masyarakat. Serta besarnya peran pimpinan golongan agama dalam membina masyarakat.12
12
Arsip Kelurahan Gunung Sugih
47
D. Kebudayaan dan Adat Istiadat Dalam kehidupan bermasyarakat, di desa Gunung Sugih
terdapat
beberapa adat (kebiasaan) yang sering dilakukan oleh para warganya. Adapun kebiasaan-kebiasaan tersebut itu adalah: 1. Acara Peringatan Hari Besar Islam Sebelum acara penyambutan hari besar Islam, masyarakat desa Gunung Sugih terlebih dulu membentuk susunan ketua panitia, pembentukan ketua panitia biasanya dilaksanakan di rumah bapak Kepala Desa dan dilakukan satu bulan sebelum acara berlangsung dan dilakukan dengan cara bermusyawarah yang dipimpin oleh sesepuh13 kampung. Hari-hari besar Islam yang biasanya diperingati di desa Gunung Sugih adalah acara maulid, isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW, penyambutan Bulan Suci Ramadhan dan acara 1 (satu) muharam. Adapun jenis kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan hari besar Islam biasanya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti melakukan ceramah agama, dan biasanya ada perlombaan-perlombaan dari anak-anak di sekitar warga desa Gunung Sugih. Di dalam setiap melaksanakan kegiatan peringatan hari besar islam ini masyarakat desa Gunung sugih selalu bekerja sama anatar setiap warga, hal ini karena masyarakat desa gunung sugih menganut sistem gotong royong. 14
13
Sesepuh adalah tokoh masyarakat yang paling berpengaruh di Kampungnya dan biasanya sesepuh itu merupakan ulama/ustad. 14
Wawancara dengan Bapak Yunizar, selaku Kepala Desa Gunung Sugih, 15 April 2011
48
2. Tradisi Perkawinan Mengenai tradisi perkawian di desa Gunung Sugih ini tentunya masih menganutu sistem adat Lampung kesaibatinan. Mengenai tradisi perkawinan ini ada beberapa tahapan yang sering digunakan pada masyarakat lampung, khususnya masyarakat yang tinggal di desa gunung sugih ini yaitu: Tahap Perkenalan Bila seorang jejaka merasa tertarik pada seorang gadis maka si jejaka tersebut akan mencari cara agar dapat mendekati si gadis. Dengan cara dating kerumah si gadis tersebut dan langsung bertemu atau menghadap orang tua si gadis tersebut, kemudian si jejaka itu menyatakan niatnya bahwa ia merasa tertarik dengan sigadis tersebut. Kemudian jika orang tua dari sigadis tersebut merasa sudah cocok dengan si jejaka tersebut, maka orang tua dari sigadis tersebut menyuruh si jejaka tersebut untuk dating kembali dengan membawa keluarganya. Untuk dating yang kedua kalinya ini, biasa nya si jejaka hanya dating dengan paman nya saja, untuk meyakinkan bahwa ia akan meminang atau melamar gadis tersebut. Pada saat inilah ditentukan waktu yang tepat untuk melamarnya, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak Melamar Setelah keduanya saling menyukai maka pihak orangtua pria datang untuk melamar yang disebut juga tahap nunang. Pada saat ini pihak mempelai pria juga membawa oleh-oleh berupa uang, dodol, dan sekapur sirih. Pada saat
49
acara lamaran itulah langsung menetapkan waktu untuk untuk pelaksanaan akad atau hari H. 15
Upacara Pernikahan Upacara pernikahan diadakan di depan penghulu yang dilanjutkan dengan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita.selang waktu 3 hari biasanya pihak keluarga pria dating kerumah mempelai wanita untuk menjemput pengantin kerumah pihak pria, dan penganti wanita pada saat kerumah pihak pria tidak diantar oleh kedua orang tuanya, melainkan dengan sauadara atau perwakilan dari pihak orang tua. Dan dirumah mempelai pria inilah biasanya acara adat mulai dilaksanakan. Pada malam harinya kleuraga pihak pria biasanya mengadakan acara ngebubur, dengan membuat bubur kacang hijau dan bubur maju, tujuan acara seperti ini adalah untuk mengenalkan kepada pihak kerabat dan tetangga di sekitar rumah tempat tinggal mempelai pria, karena biasanya pengantin akan tinggal di rumah orang tua pihak pria. Dan ke esokan harinya diadakan upacara adat arak-arakan. Pengantin di arak dari rumah kepala suku menuju rumah orang tua mempelai pria. Pada saat tiba di rumah orang tua mempelai pria, maka pengantin di dukan diatas kasur, dan pada saat ini perwakilan dari keluarga mempelai pria memberikan
15
Wawancara dengan Bapak Putra selaku tokoh adat di Desa Gunung Sugih, 5 Mei 2011
50
gelar atau adok kepada pengantin dengan di saksikan keluarga besar kedua belah pihak.16
E. Pandangan Masyarakat Desa tentang Peranan Isteri dalam Memenuhi Nafkah Keluarga Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Gunung Sugih Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran, mengenai turut serta isteri dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga tetntunya sangat baik, seperti yang di ungkapkan oleh ibu Khasiyah, yang menyatakan bahwa, isteri itu harus dapat membantu suami ketika dalam kesulitan, misalnya jika penghasilan suami tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maka isteri pun dapat bekerja untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, jadi kebutuhan ekonomi keluarga itu tidak hanya di bebankan pada suami saja, karena urusan rumah tangga itu adalah tanggung jawab suami isteri bersama.17 Begitu pula halnya dengan ibu Rita yang menyatakan bahwa, jika hanya bersandarkan pada penghasilan suami saja, tentunya kebutuhan ekonomi keluarga tidak akan bisa tercukupi, oleh sebab itu alangkah baiknya jika isteri itu harus ikut berperan aktif juga dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apalagi suami tidak memeliki pekerjaan tetap, seperti yang banyak terjadi di desa ini, rata-rata
16
17
Wawancara dengan bapak Putra selaku tokoh adat Desa Gunung Sugih, 5 Mei 2011 Wawancara dengan Ibu Khasiyah, Gunung Sugih, 8 April 2011
51
suami bekerja sebagai petani, tukang ojek, Buruh Tani, yang jika dilihat hasilnya pun tidak seberapa untuk memenuhi nafkah keluarga. 18. Hal ini tentunya berbeda dengan pernyataan dari ibu radiyah, yang menyatakan bahwa biar bagaimanapun suami harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan nafkah keluarga, khususnya bagi biaya pendidikan anak-anak. Ia mengungkapkan ini di karenakan ia melihat bahwa di desa gunung sugih ini sebenarnya penghasilan suami itu bisa mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga, akan tetapi rata-rata dari para suami disini bekerjanya tidak semanagt atau bisa di katakana bermalas-malasan, sehingga hal itulah yang membuat tidak tercukupinya kebutuhan ekonomi rumah tangga. Seorang isteri itu tidak di bebankan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga, ia hanya mengatur biaya penghasilan suami.19 Ungkapan ibu Radiyah pun tentunya tidak jauh berbeda denagn apa yang dinyatakan oleh bapak Mamat, yang merupakan salah satu tokoh Agama di Desa Gunung Sugih, beliau menyatakan bahwa, yang seharusnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga itu adalah bapak atau suami, karena itu sudah merupakan tanggung jawab dari seoarang kepala rumah tangga. Seoarang yang sudah menyatakan siap untuk berumah tangga maka ia pun akan sudah siap untuk menafkahi keluarganya, dan tentunya ia sudah memiliki penghasilan yang cukup untuk memberi makan keluarga, walaupun ia hanya seorang petani atau tukang 18
Wawancara dengan Ibu Rita, Gunung Sugih, 9 April 2011
19
Wawancara dengan Ibu Radiyah, Gunung Sugih, 13 April 2011
52
ojek sekalipun. Dan isteri tentunya harus dapat mengatur dengan baik mengenai keuangan rumah tangga, sehingga mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Jika seorang isteri tidak dapat mengatur keuangan rumah tangga nya, maka berapa pun penghsailan dari suami baik besar maupun kecil tentu tidak akan pernah tercukupi untuk kebutuhan rumah tangga. Hal ini terjadi hanya di sebagian kecil masyarakat desa gunung sugih ini. Rata-rata para kepala keluarga di desa gunung sugih ini melibatkan isterinya untuk bekerja membantu mereka (suami), bahkan tidak jarang penghasilan si isteri itu melebihi dari penghasilan suami, tentunya ini sangat bertolak belakang dengan tanggung jawab dari seoarang suami.20
20
Wawancara dengan bapak Mamat , Gunung Sugih, 15 April 2011
BAB IV NAFKAH ISTERI DI DALAM KELUARGA
A. Peranan Isteri Dalam Memenuhi Nafkah Keluarga Wanita secara harfiah disebut kaum perempuan. Kaum yang amat dihormati dalam konsepsi Islam. Sebab, pada telapak kaki wanita (ibu)terletak surga. Kaum wanita disebut pula dengan kaum hawa. Wanita juga lebih banyak menggunakan pertimbangan emosi dan perasaan dari pada akal pikrannya. Wanita adalah lambang, kesejukan, kelembutan, dan cinta kasih. Wanita memiliki kesamaan dalam berbagai hak dengan pria, namun sebagai wanita ia memiliki kodrat dan berbagai keterbatasan dibanding laki-laki. Menurut Yusuf Qardhawi wanita telah disiapkan Allah memiliki perasaan yang sensitif untuk mendukung tugas-tugas keibuannya. Ada jabatan-jabatan penting yang tidak diberikan kepada wanita oleh Allah seperti jabatan kenabian dan kerasulan. Namun kekurangan yang ada pada diri wanita tidak akan mengurangi derajatnya untuk meraih posisi dan jabatan penting seperti kaum pria. Wanita secara kodrati memiliki kelemahan-kelemahan tertentu sehingga ia harus rela dipimpin oleh kaum pria, terutama dalam konteks hubungan rumah tangga. Rumah tangga sebagai kerajaan kecil dari suatu keluarga, memang sudah selayaknya dipimpin oleh seorang pria. Namun demikian, derajat kepemimpinan pria atas wanita bukanlah derajat kemuliaan, melainkan lebih kepada derajat
53
54
tanggung jawab dan tugas secara fungsional sebagai kepala keluarga. Dalam hal kepemimpinan ini, kadangkala wanita merindukan pada kepemimpinan pria (suaminya) dalam segala hal. Pria secara kodrati memang dituntut memiliki keunggulan dan kelebihan dari wanita, agar ia dianggap layak sebagai tempat sandaran wanita (istrinya).1Peran dan tugas perempuan dalam keluarga secara garis besar dibagi menjadi peran wanita sebagai ibu, sebagai istri, dan anggota masyarakat. Dalam kesempatan kali ini pembicaraan lebih ditekankan pada tugas perempuan dalam mengurus urusan rumah tangga. Agar dapat melakukan peran atau tugasnya dengan baik, maka perlu dihayati benar mengenai sasaran dan tujuan dari peran itu. 2 Di samping itu, perempuan harus menguasai cara atau teknik memainkan peran atau melaksanakan tugasnya, disesuaikan dengan setiap situasi yang dihadapinya. Sebagai ibu, pendidik anak-anak perempuan harus mengetahui porsi yang tepat dalam memberikan kebutuhan-kebutuhan anaknya, yang disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Sikap maupun perilakunya harus dapat dijadikan contoh bagi anak-anaknya. Sebagai seorang istri, wanita harus menumbuhkan suasana yang harmonis, tampil bersih, memikat dan mampu mendorong suami untuk hal-hal yang positif. Sebagai anggota masyarakat, wanita diharapkan peran sertanya dalam masyarakat. Keberhasilan melakukan peran di atas, tentunya
1
Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah,( Jakarta: Penamadani, 2004), cet ke-, hal. 6
2
Badri, et al., Kiprah Wanita Islam dalam Keluarga, Karir dan Masyarakat, hal. 120
55
bukan merupakan hal yang mudah, yang penting adalah kemauan dan usaha untuk selalu belajar. Wanita (isteri) adalah pemimpin dalam urusan ruamh tangga, sedangkan suami adalah pemimpin dalam urusan keluarga. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah yang artinya “ Setiap Manusia keturunan adam adalah kepala, Maka seorang pria adalah kepala keluarga, sedangkan wanita kepala rumah tangga” (HR. Abu Hurairah). Dalam praktiknya, kepemimpinan dan tugas-tugas keluarga itu lebih banyak dilakukan oleh pihak wanita. Dengan kelemah-lembutannya, seorang wanita sebagai ibu rumah tangga dan berpern sebagai faktor penyeimbang kaum pria dalam kehidupan keluarga, wanita dapat menegrjakan apa yang tidak dapat dikerjakan oleh pria, seperti mengatur urusan rumah tangga, memasak, mengasuh dan mendidik anak-anak, menyiapkan keperluan suami dan anaknya, dan sebagainya.3 Fungsi dan tugas didalam urusan rumah tangga ini bisa didelegasikan kepada orang lain (pembantu), namun tetap berada dalam kordinasi sang isteri. Alangkah bahagianya sebuah rumah tangga saat suami isteri dapat menyerasikan tugas kerumahtanggaannnya dengan penuh kasih sayang. Suami keluar rumah untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan isteri tinggal dirumah merawat rumah tangga dengan setia. Namun di dalam masyarakat perkotaan tak sedikit wanita karir yang ikut sibuk bekerja dirumah tangga sebagaimana suaminya. Hal ini tentunya menjadi 3
Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah,( Jakarta: Penamadani, 2004), cet ke-, hal. 7
56
tidak
masalah
asalkan
sang
isteri
bisa
mendelegasikan
tugas-tugas
kerumahtanggaannya kepada pembantu dan familinya. Jika memiliki keluarga besar atau kebetulan menjadi pejabat penting, biasanya mereka memiliki seorang kepala urusan rumah tangg, orang ini bertugas mengatur anggaran belanja dan menú serta ursan rumah tangga sehari-hari. Isteri cukup menerima laporan dan memonitor perkembangan supaya urusan rumah tangga bisa berjalan sebagaimana mestinya.4
B. Tinjauan Undang-Undang Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, di samping memuat kewajiban suami menafkahi isteri juga memuat ketentuan tentang harta bersama. Di mana semua harta yang diperoleh selama dalam perkawinan, menjadi harta bersama suami isteri. Hal ini tertuang dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam.5 Dalam pengelolaan rumah tangga undang-undang menempatkan suami isteri pada kedudukan yang seimbang. Artinya masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam keluarga dan masyarakat. Ini diungkapkan dalam pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), hal ini mengindikasikan bahwa 4
Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah,( Jakarta: Penamadani, 2004), cet ke-, hal. 8
5
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya, hal. 15
57
terdapat kemitraan (partnership) antara suami isteri. Kedudukan yang seimbang tersebut disertai perumusan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab (pasal 31 ayat 3). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga6 dan isteri adalah ibu rumah tangga. Perkataan „ibu rumah tangga‟ tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan dan tidak boleh pula diartikan isteri yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk bekerja di luar rumah tangga tangganya dilarang melakukan pekerjaan tersebut. Sebagai isteri ia berhak melakukan pekerjaan di luar rumah tangga asal saja ia tidak melupakan fungsinya sebagai ibu rumah tangga yang secara kodrati dapat menyambung cinta, kasih sayang di antara suami dan anak dalam usaha mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedang suami sebagai pemimpin7 menjadi penanggung jawab penghidupan dan kehidupan isteri dan keluarga disertai nasehat dan perhatian dalam usahanya secara bersama dengan isteri untuk kebahagiaan rumah tangga. Untuk mengembangkan fungsi masing-masing, suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (pasal 32 ayat 1) yang ditentukan secara bersama-sama (pasal 32 ayat 2). Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan hukum perdata8dan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat yang mengharuskan isteri tinggal di rumah suaminya. Undang-undang menganggap
6
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, hal. 67-68
7
M. Atho Mudzar dkk [ed.], Wanita dalam Masyarakat Indonesia hal. 53.
8
R. Subekti, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, hal 27
58
musyawarah dalam menentukan tempat tinggal adalah sejalan dengan ketentuan sebelumnya yang menempatkan suami dalam kedudukan seimbang dalam melakukan setiap perbuatan yang mempunyai akibat hukum kepada
suami
isteri tersebut. Ketentuan tentang hak dan kewajiban juga diatur dalam Undangundang Perkawinan yaitu pada pasal 33 yang berbunyi: “Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain”.9 Namun demikian, sekali pun memberi nafkah merupakan kewajiban suami dan menjadi hak istri dan anak, tidak serta-merta anak dan istri bisa menuntut secara semena-mena. Kewajiban suami yang menjadi hak istri itu dilaksanakan sesuai dengan kemampuan suami. Namun demikian, jika terbukti suami berbuat aniaya, tidak memberi nafkah untuk anak dan istrinya sesuai dengan kemampuannya, istri diperbolehkan untuk mengambil bagiannya itu sebanyak yang mencukupi untuk diri dan anaknya secara wajar.10 Dengan adanya ketentuan tentang harta bersama, membawa konsekuensi bahwa semua harta yang diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan menjadi harta bersama suami isteri tanpa melihat siapa yang mengusahakan perolehan harta tersebut. Artinya suami dan isteri sama-sama punya hak dalam mengelola, mengatur dan mempergunakan harta tersebut.11
9
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya, hal. 15
10
https// www.republika.com
11
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), hal 133
59
C. Kedudukan Nafkah Isteri di dalam Keluarga Pertumbuhan ekonomi yang tidak berimbang disertai perkembangan kebutuhan rumah tangga merupakan tantangan yang selalu dihadapi oleh masyarakat terutama daerah transisi antara daerah pedesaan dan perkotaan, maka untuk mempertahankan hidup pada taraf sederhana, baik pria maupun wanita dan anak-anak sebagai anggota rumah tangga melakukan beragam jenis kegiatan untuk memenuhi kebutuhan, di antaranya adalah kegiatan mencari nafkah di sector informal. Hal ini merupakan pilihan utama karena sektor formal tidak mampu rnenatnpung tenaga kerja mereka di samping itu, karena mereka pada umumnya kemampuannya kurang memenuhi persyaratan.12 Keterbatasan daya serap sektor formal yang kemudian menyebabkan semakin sempitnya kesempatan kerja disektor formal itu, menyebabkan angkatan kerja yang tidak tertampung disektor tersebut terpaksa memilih bekerja di sektorsektor informal dengan balas jasa yang rendah. Di sektor pertanian, dengan semakin sempitnya lahan pertanian yang cukup atau dikuasai oleh para petani yang masih cukup besarnya pekerja di sector pertanian, menyebabkan tingkat kesejahteraan petani menurun. Sebagian dari mereka, karena penghasilannya belum mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga tangganya, dari sektor pertanian beralih ke sektor diluar pertanian baik yang bersifat tetap maupun yang bersifat musitnan. 13
12
M. Taufiqi, Jurnal Aplikasi Management, hal 217
13
M. Taufiqi, Jurnal Aplikasi Management, hal 218
60
Namun, seperti apa yang telah dikemukakan sebelumnya, sektor usaha non pertanian dan sektor formal amat terbatas daya serapnya, sehingga tidak ada pilihan lain dan banyak di antara mereka memanfaatkan peluang kerja di sektor informal. Sektor informal dalam perekonomian. Terutama peranannya sebagai penyelamat dari ketidakmampuan sektor formal di dalam penyediaan kesempatan kerja yang menadai dan sebagai sumber penghasilan rumah tangga. Dapat pula dilihat bahwa peran serta wanita dalam sektor informal khususnya yang ditangani wanita belum ada kemajuan karena produktivitasnya yang masih rendah. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang melatar belakangi masuknya wanita ke sektor informal yaitu pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah. Kenyataan tersebut di atas mendorong untuk melihat profil kedudukan wanita dalam ekonomi rumah tangga khususnya yang bekcrja di sektor informal di Kecamatan Kedondong. Faktor sosial ekonomi seperti modal yang terbatas, pendidikan keterampilan yang rendah serta norma atau nilai yang berlaku di masyarakat, menyebabkan wanita lebih banyak memanfaatkan kesempatan kerja sektor informal.14 Wanita yang terlibat dalam pekerjaan mencari nafkah akan mempengaruhi pola kerja rumah tangga, dengan demikian akan mempengaruhi pula fungsi wanita iu sendiri. Wanita yang disatu sisi bekerja mencari nafkah tetapi tetap menjadi orang pertama dalam kegiatan rumah tangga disebut dengan peran ganda. Dengan peran ganda tersebut berarti wanita memberikan sumbangan yaitu
yang
langsung
memberikan
penghasilan
namun
memungkinkan
berlangsungnya kegiatan produktif. Wanita yang berperan ganda dan masih 14
https// www.journal pdii.lipi.go.id
61
memilih sektor informal sebagai tempat mencari nafkahi, menciptakan peluang kerja bagi dirinya sendiri maupun anggota rumah tangga lainnya. Pilihan bekerja sector informal ini, memungkinkan anggota rumah tangga ikut terlibat bekerja, kemungkinan penghasilan rumah tangga juga semakin besar. Dalam ha1 pola kerja, di sektor informal sebagai ternpat mencari nafkah yang mempunyai ciri-ciri antara lain: jam kerja tidak teratur, lokasi biasanya tidak jauh dari tempat tinggal, dalam bekerja tenaga kerjanya bekerja dan berusaha sendiri atau dibantu oleh tenaga kerja keluarga dan sifatnya yang mudah keluar masuk dalam suatu pekerjaan, mempunyai "kecocokan" dengan pola kerja wanita yang dituntut untuk berperan ganda yakni di sampingsebagai pencari nafkah, tetap dapat melakukan pekerjaan rumah tangga dan kegiatan sosial. Dengan demikian, wanita yang bekerja di sektor informal tetap dapat menjaga keutuhan dan kemantapan rumah tangganya. Keterlibatan wanita dalaln pencarian nafkah dalam ha1 ini pencarian nafkah disektor informal menunjukkan peranan wanita semakin nyata dalam alokasi ekonomi, karena wanita mempunyai pendapatan pribadi yang berpengaruh terhadap alokasi kekuasaan atau peranannya dalam pengambilall keputusan didalam keluarg
di rumali tangga. Hal tersebut mencerminkan peningkatan
terliadap sikap kemandirian serta percaya diri dari wanita yang pada akhirnya akan meningkatkan statusnya. 15
15
https// www.kesetaraan gender.com
62
D. Analisis Penulis Ikatan perkawinan yang sah menyebabkan suami harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istrinya, memberi belanja kepadanya selama ikatan suami istri itu masih terjalin. Akan tetapi, faktor-faktor tertentu yang terdapat pada masyarakat yang berbeda-beda dapat menimbulkan pergeseran fungsi seseorang dalam keluarga. Ada kalanya suami kurang mampu memenuhi kebutuhan nafkah keluarga, sehingga istri berperan aktif dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kenyataan ini banyak terjadi di desa Gunung Sugih, dan bahkan di daerah-daerah lain. Pertanyaan yang timbul adalah seberapa besar peran istri dalam pemenuhan kebutuhan nafkah keluarga, dan bagaimana pandangan ulama setempat dalam menyikapi hal tersebut. Dalam pengelolaan rumah tangga undang-undang menempatkan suami isteri pada kedudukan yang seimbang. Artinya masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam keluarga dan masyarakat. Ini diungkapkan dalam pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kemitraan (partnership) antara suami isteri. Kedudukan yang seimbang tersebut disertai perumusan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab (pasal 31 ayat 3). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Perkataan „ibu rumah tangga‟ tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan dan tidak boleh pula diartikan isteri yang mempunyai kemauan dan kemampuan
63
untuk bekerja di luar rumah tangga tangganya dilarang melakukan pekerjaan tersebut. Sebagai isteri ia berhak melakukan pekerjaan di luar rumah tangga asal saja ia tidak melupakan fungsinya sebagai ibu rumah tangga yang secara kodrati dapat menyambung cinta, kasih sayang di antara suami dan anak dalam usaha mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedang suami sebagai pemimpin menjadi penanggung jawab penghidupan dan kehidupan isteri dan keluarga disertai nasehat dan perhatian dalam usahanya secara bersama dengan isteri untuk kebahagiaan rumah tangga. Untuk mengembangkan fungsi masing-masing, suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (pasal 32 ayat 1) yang ditentukan secara bersama-sama (pasal 32 ayat 2). Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan hukum perdata dan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat yang mengharuskan isteri tinggal di rumah suaminya. Undangundang menganggap musyawarah dalam menentukan tempat tinggal adalah sejalan dengan ketentuan sebelumnya yang menempatkan suami dalam kedudukan seimbang dalam melakukan setiap perbuatan yang mempunyai akibat hukum kepada suami isteri tersebut. Ketentuan tentang hak dan kewajiban juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan yaitu pada pasal 33 yang berbunyi: “Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain”.
64
Pasal ini mengisyaratkan bahwa ketika suami isteri telah mempunyai kedudukan yang sama dalam perkawinan, maka antara suami isteri harus ada saling hormat menghormati, saling setia yang merupakan kebutuhan lahir dan batin masing-masing suami isteri. Nafkah adalah semua pengeluaran pembelanjaan seseorang atas orang yang menjadi tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan pokok yang diperlukan, sebagaimana suami wajib menafkahi istrinya. Pemenuhan kebutuhan nafkah keluarga merupakan tanggung jawab suami. Akan tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu para istri terkadang tidak tega mengandalkan pemenuhan kebutuhan hanya dari pihak suami. Mereka (para istri) terdorong untuk membantu pihak suami demi kesejahteraan keluarga, dengan menekuni berbagai bidang pekerjaan. Hal ini terlihat dengan banyaknya istri di desa Gunung Sugih yang bekerja yaitu: 3428 jiwa
dari 675 KK (Kepala
Keluarga). Prosentase pemenuhan kebutuhan keluarga yang diperoleh istri ada yang mencakup 100%, dan ada yang hanya sebagian dalam memenuhi kebutuhan keluarga, artinya hanya membantu suami. Motivasi istri dalam usaha memenuhi kebutuhan nafkah keluarga pada umumnya hampir sama, yaitu membantu meringankan beban ekonomi keluarga, walaupun dalam pelaksanaannya ada yang melakukannya dengan keikhlasan, dan juga keterpaksaan, maupun karena ada faktor lain. Ulama di desa Gunung Sugih, kec. Kedondong , kab. Pesawaran, dalam menyikapi adanya istri yang bekerja didasarkan pada alasan-alasan tertentu.
65
Dalam hal ini, ulama tidak membolehkan secara mutlak terhadap istri yang bekerja karena terdapat catatan-catatan (syarat-syarat) tertentu yang harus dipenuhi oleh istri yang bekerja. Tidak ada nash atau dalil-dalil yang secara khusus melarang istri untuk bekerja apalagi jika bekerjanya istri karena keterpaksaan tertentu (kesulitan ekonomi, ataupun karena tidak ada orang menanggung nafkah atas keluarganya). Akan tetapi mereka harus tetap berpegang teguh pada kodratnya sebagai seorang perempuan, sebagai istri dari suami dan sebagai pendidik dari anak-anaknya demi terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Istri ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga tidak sesuai dengan kaidah dasar yang ada, karena bekerja (mencari nafkah) merupakan tanggung jawab dan kewajiban suami. Akan tetapi hal ini juga tidak bertentangan dengan aturan Islam
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari analisis sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa: 1. Peranan isteri dalam memenuhi nafkah keluarga di Desa Gunung tentunya sangat berperan penting karena tanpa keikut sertaan isteri dalam mencari nafkah maka tentunya kebutuhan ekonomi keluarga sangat kuarang, apalagi bagi para suami yang melalaikan tugas dan tanggung jawab nya dalam mencari nafkah untuk keluarga. Dengan isteri ikut mencari nafkah maka ia telah membantu suaminya dalam memenuhi nafkah rumah tangga mereka. 2. Dalam pengelolaan rumah tangga Undang-Undang menempatkan suami isteri pada kedudukan yang seimbang. Artinya masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam keluarga dan masyarakat. Ini diungkapkan dalam pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kemitraan (partnership) antara suami isteri. Kedudukan yang seimbang tersebut disertai perumusan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab (pasal 31 ayat 3). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Perkataan ‘ibu rumah
66
67
tangga’ tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan dan tidak boleh pula diartikan isteri yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk bekerja di luar rumah tangga tangganya dilarang melakukan pekerjaan tersebut. 3. Ada beberapa hal yang mempengaruhi isteri dalam hal keikut sertaan mereka dalam mencari nafkah keluarga, diantaranya: ada yang mencari nafkah karena untuk membantu suami dan meringankan beban suami mereka, di zaman yang sudah maju seperti saat ini yang kesemuanya serba mahal dan membutuhkan biaya tentunya tidak cukup jika mengandalkan penghasilan dari suami saja yang memiliki pekerjaan tidak tetap, dan suami yang bermalas-malasan dalam bekerja, bahkan tidak jarang suami yang melalaikan kewajiban nya dalam mencari nafkah keluarga, sehingga mengharuskan mereka untuk bekerja dan ikut serta dalam memenuhi ekonomi keluarga, tetapi ada pula yang mencari nafkah karena keikhlasannya, walaupun suami tidak bekerja namun ikhlas menggantikan peranan suami dalam hal mencari nafkah keluarga. Bahkan ada pula yang bekerja karena kesenangan nya dalam bekerja dan memang sudah menjadi hobi nya. Tetapi untuk para mantan TKW mereka bekerja karena ingin merubah nasib.
B. Saran 1. Seorang suami hendaknya bertanggung jawab kepada isteri dan anak-anaknya, dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga, khususnya biaya pendidikan anak, serta isteri pun harus bisa menemani suami dalam suka
68
maupun duka, dengan jalan menumbuhkan kemampuan mencari nafkah ketika ekonomi sudah menurun. 2. Peringatan kepada suami untuk tidak melalaikan kewajiban nya dalm hal mencari nafkah kepada keluarga nya, dan tidak membiarkan isteri untuk bekerja keluar negri. 3. Suami yang bertanggung jawab dan setia, merupakan idaman para isteri dimanapun. Dalam hal ini suami yang memberikan nafkah dengan cara meninggalkannya,
hendaknya
tidak
memutuskan
komunikasi,
tanpa
komunikasi bisa terjadi kesalahfahaman yang berakibat fatal, dan hal yang penting memberikan tinggalan (uang belanja) selama ditinggal. Bagi isteri yang hanya mengandalkan penghasilan hanya dari suami saja sangat butuh kepada materi yang diberikan oleh suami, lain halnya dengan isteri yang berkarir.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Semarang: CV. Asy Syifa, 1999 Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet ke-2. Al-Hadad, al-Tahrir, “Wanita Dalam Syari‟at dan Masyarakat”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Al-Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2001. Al-Juzari, Abdurrahman Fiqh „Ala Madzahib Al-Arba‟ah, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), juz ke-4 Al-Mashri, Syaikh Mahmud, Perkawinan Idaman, Jakarta: Qisthi Press, 2010. Al-Qardhawi, Yusuf Panduan Fikih Perempuan, (Jogjakarta: Salma Pustaka, 2004) cet ke- 1 Ash hofa, Burhan, “Metode Penelitian Hukum”, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. As-Subki, Ali Yusuf, “Fiqh Keluaraga, Pedoman Berkeluarga dalam Islam”, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010, cet ke-1. Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006, cet ke-5. Doi, A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet ke-1. Ghazaly, Abdurrahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet ke-1. Harjono,Anwar, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1968, cet ke-2. Hamidy, Mu‟ammal, Terjemahan Nailul Authar (Himpunan Hadis-Hadis Hukum), Surabaya: Pt. Bina Ilmu, cet ke-5. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut : Dar Al-Jiil, 1989, cet ke-1. Indra, Hasbi, Potret Wanita Shalehah, Jakarta: Penamadani, 2004, cet ke-3. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademik Pressindo, 2007.
69
70
Kuzaeri, Achmad, “Nikah Sebagai Perikatan”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Lexy. J. Moloeng,” Metodologi Penelitian Kualitatif”, Rosdakarya, 2004.
Bandung: Remaja
Manan, Abdul, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet ke-5. Mughniyah, M. Jawad, Fiqh Lima Madzhab, Beirut: Penerbit Lentera, 2004, cet ke11. M. Zein, Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah), Jakarta: 2004, cet ke-1. Ni‟am, Asrarun, ”Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan”, Jakarta: eLSAS, 2008. Nuruddin, Amiur, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kasus Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No 1/1974 sampai KHI), Jakarta: Prenada Media, 2004, cet ke-1. Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Beirut: Daar al-Fath, 1996, juz ke-2. Sanggona, Bambang, “Metode Penelitian Hukum”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Sidi, Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, yang Sakinah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, cet ke-1. Sumiarni, Endang, Kajian Hukum Islam yang Berkeadilan Gender, Yogyakarta: Wonderfull Publishing Company, 2004. Soekanto, Soerjono, “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta: UI-Press, 1986. Syafe‟i, Imam, Al-Umm, Beirut: Daar al-Fikr, 1990, Juz ke-5. Syarifuddin, Amir, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, Media, 2007.
Jakarta: Prenada
Turmudzi, Imam, Sunan Turmudzi, Beirut: Daar al-Fikr, 1993. Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Persepektif Al-qur‟an, Jakarta: Paramadina, 2001, cet ke-2.
71
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. „Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita Edisi Lengkap, Beirut: Pustaka Al-Kautasar Buku Islam Utama, 1996, cet ke-1. Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997. Yanggo. Huzaemah Tahido, Fiqh Perempuan Kontemporer, Indonesia, 2010, cet ke-1. https// www.republika.com M. Taufiqi, Jurnal Aplikasi Management https// www.journal pdii.lipi.go.id https// www.kesetaraan gender.com https// www.badilag net.com
Jakarta: Ghalia
LAMPIRAN-LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA Nama : ST Waktu : 15 April 2011 pukul 13.00 WIB Tempat : di kediaman ibu ST 1. Apa pekerjaan ibu saat ini? Saya hanya seoarang penjual sayuran di pasar 2. Berapa penghasilan hasil bekerja ibu? Yah penghasilan sih tidak seberapa ya 3.
Apakah dengan penghasilan ibu yang tidak seberapa tersebut dapat mencukupi kehidupan ekonomi keluarga? yah seperti itu lah, terkadang cukup, tapi terkadang juga tidak
4. Apa yang menjadi alasan ibu untuk bekerja? Alasan saya tu bekerja, karena untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, dan yang pastinya membantu suami saya. 5. Apa pekerjaan suami ibu? Suami saya hanya seorang tukang ojek, dengan penghasilan yang tidak seberapa, dan tentunya inilah yang mengharuskan saya untuk bekerja, guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, khusus nya biaya pendidikan anak 6. Berapa penghasilan suami ibu? Gak tentu, terkadang 30 ribu perhari, tapi terkadang juga dibawah itu 7. Sudah berapa lama ibu bekerja? Kurang lebih sudah hampir 5 tahun 8. Berapa Tanggungan Keluarga ibu? Saya tuh punya 5 orang anak yang masih sekolah. Yang masih membutuhkan biaya pendidikan yang besar. 9. Apakah ibu mengetahui bahwa mencari nafkah itu adalah tugas seorang suami? Kalau itu ya saya tau, tapi ya mau gimana lagi suami saya kan kerja nya malas-malasan, udah penghasilan nya kecil, terus kerjanya malas-malasan jadi ya saya yang bekerja mencari nafkah ini, kalau saya gak kerja kan mau makan apa anak-anak saya, belum lagi untuk biaya pendidikan nya. 10. Apakah suami ibu mengizinkan ibu untuk bekerja? Ya pastinya dia izinin, bahkan saya bekerja ini di suruh dengan suami saya, yah walaupun saya kadang suka kesel juga sih, tapi yah mau gimana lagi, mungkin ini emang udah nasib saya. 75
HASIL WAWANCARA Nama
: RT
Waktu : 10 April 2011, pukul 18.30 Tempat : di kediaman ibu RT 1. Apa pekerjaan ibu saat ini? Baru-baru ini saya bekerja sebagai penjual kue 2. Sebelumnya ibu bekerja apa? Sebelumnya saya menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia 3. Berapa lama ibu menjadi seoarang TKW? Yah kurang lebih sekitar 4 tahunan 4. Apa yang menjadi alasan ibu untuk bekerja sebagai seoarang Tenaga Kerja di Luar Negeri? Yang pastinya saya bekerja di luar negeri tu ingin meruabah nasib keluarga saya 5. Pada saat ibu menjadi seoarang TKW apa pekerjaan suami ibu? Suami saya bekerja mengurus kebun dan sawah saudara nya. 6. Apakah pada saat itu suami ibu mengizinkan ibu menjadi seorang TKW? Diawalnya suami saya tidak mengizinkan, namun setelah saya berbicara baikbaik dengan suami saya, akhirnya dia mengizinkan kan saya 7. Apa yang menjadi alasan suami ibu mengizinkan ibu menjadi seorang TKW? Yah alasan dia
tentunya sama seperti saya, karena ingin merubah nasib
keluarga, dan yang pastinya membantu dia (suami) dalam mencari nafkah 8. Berapa penghasilan suami ibu saat mengurus kebun milik saudaranya? Gak tentu, kalau hasil panen nya bagus yah besar, cuamn kalau hasil panen nya lagi kuarang bagus yah sedikit 9. Apakah dengan penghasilan tersebut cukup untuk memenuhi nafkah keluarga? Mungkin kalau untuk makan saja cukup, tapi kalau untuk biaya yang lain tentunya sangat kurang, apalagi biaya pendidikan anak
76
10. Berapa jumlah anak ibu? Saya tu punya 2 oarang anak yang masih kecil, yang tua anak saya sekarang sudah kelas 4 sd, sedangkan yang nomor 2 baru masuk sekolah sd 11. Lalu siapa yang mengurus anak ibu pada saat ibu menjadi seoarang TKW? Pada waktu anak saya tinggal dan diurus denagn bapak nya dan ibu saya 12. Apakah ibu mengetahui bahwa mengurus anak itu adalah tugas dari seoarng ibu, sedangkan yang mencari nafkah itu tugas dari seorang ayah atau suami? Kalau masalah itu saya tahu 13. Lalu jika ibu mengetahui mengapa harus ibu yang pergi menjadi seoarang TKW, mengapa tidak suami ibu saja? Awalnya memang suami saya yang akan pergi, namun setelah di fikir-fikir ternyata tenaga kerja yang banyak di butuhkan di luar negeri itu mayoritas menjadi seorang baby sister atau pembantu rumah tangga, hanya bisa dilakukan oleh seoarang wanita 14. Selama ibu menjadi TKW berapa penghasilan ibu, dan apakah ibu rutin mengirimkan penghasilan ibu untuk keluarga? Pada saat itu penghasilan saya perbulan nya kurang lebih sekitar satu juta sampai satu juta limaratus ribu, tentu nya tidak tiap bulan saya mengirimkan nya, yah paling 3 atau 4 bulan sekali saya baru menirimkan uang untuk keluarga saya di rumah 15. Apakah dengan penghsilan ibu tersebut, kebutuhan ekonomi keluarga tercukpi? Alhamdulillah cukup, bahkan lebih dari cukup 16. Lalu bagaimana dengan penghasilan ibu saat ini, apakah dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga? Ya Alhamdulillah cukup, dengan hasil tabungan saya selama saya bekerja menjadi menjadi seorang TKW di luar negeri, maka saya membuka usaha kecil-kecilan denagn berjualan kue yang di taro di beberapa warung sekitar rumah saya
77
HASIL WAWANCARA
Nama
: AS
Waktu : 1 Mei 2011 pukul 16.00 WIB Tempat : di tempat kediaman ibu AS
1. Apa pekerjaan ibu saat ini? Seperti yang adek lihat sendiri, saya hanya seoarng tukang jahit baju 2. Berapa penghasilan bekerja ibu? Penghasilan saya gak tentu, kalau lagi banyak orderan bisa mencapai sekitar 200ribu sampai 300 ribu gitu, tapi kalau lagi sepi yah paling hanya 50 ribu saja 3. Apakah dengan penghasilan segitu dapat dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga? Yah Alhamdulillah cukup, tapi terkadang juga kurang , tergantung kebutuhan juga sih 4. Apa pekerjaan suami ibu saat ini? Suami saya hanya seorang petani kecil-kecilan 5. Berapa penghasilan suami ibu? Penghasilan nya gak tentu, kalau hasil panen nya bagus yah lumayan 6. Lalu apakah dengan penghasilan yang tidak menentu tersebut dapat mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga? Kalau hanya menghasilkan dari hasil panen saja pastinya kurang, maka dari itu saya juga kerja, ungtungnya saya bisa menjahit, jadi saya buka usaha jahit deh 7. Selain menjadi seorang petani, apakah suami ibu memiliki pekerjaan lain? Kalau waktu dulu selain petani suami saya juga seorang tukang ojek, tapi sekarang udah gak lagi, soalnya motor udah di jual, buat nambahin buka usaha ngejait ini, jadi dia sekarang cuma seorang petani
78
8. Sudah berapa lama ibu menjadi seorang tukang jahit? Kalau saya buka usaha jahitan sendiri itu baru, yah kira-kira 1 tahunan inilah, sebelumnya saya bekerja di tempat orang lain 9. Apa yang menjadi alasan ibu untuk bekerja sebagai seorang tukang jahit? Yang pastinya saya tidak ingin melihat anak-anak saya terlantar dan kekurangan, dan satu lagi saya ingin membantu suami saya dalam mencukupi nafkah keluarga 10. Berapa tanggungan ibu? Saya punya 3 orang anak yang kesemuanya masih sekolah dan masih membutuhkan biaya yang besar 11. Apakah ibu mengetahui bahwa mencari nafkah itu tugas dari seorang suami? Ya taulah, masa gak tau. 12. Apakah suami ibu mengizinkan ibu untuk bekerja? Sangat mengizinkan, kata dia sih saya tu gak boleh manja dan jangan ketergantungan dengan suami, yah kan tau sendiri gak selamanya hasil panen tu bagus, kalau hasil panen lagi bagus ya lumayan tapi kalau lagi enggak mau gimana, makanya suami saya tu sampe rela jual motor buat bantuin saya buka usaha ini.
79
HASIL WAWANCARA
Nama
: MN
Waktu : 5 Mei 2011, pukul 16.30 Tempat : di kediaman ibu ST
1. Apa pekerjaan ibu saat ini? Seperti yang diliat sendiri saya seorang wiraswasta, tepatnya saya buka warung sendiri di depan rumah 2. Berapa penghasilan ibu? Wah kalau penghasilan sih gak tentu ya des 3. Apakah dengan penghasilan yang tidak tentu tersebut dapat mencukupi kehidupan ekonomi keluarga? Kalau ditanya masalah cukup atau gak nya se menurut teteh mah tergantung kita nya aja, kalau kita bisa memanfaatkan dan mengaturnya dengan baik ya cukup, tapi kalau enggak ya kurang 4. Apa pekerjaan suami teteh saat ini? Suami teteh tu supir travel des 5. Berapa penghasilan suami teteh sekarang? Kalau masalah penghasilan pastinya teteh kurang tau des, tapi yang pastinya kalau si ria (anak teteh) minta uang untuk bayaran sekolah suami teteh selalu ngasih 6. Apakah suami teteh tidak pernah menceritakan penghasilan nya pada teteh? Jarang des 7. Berapa uang yang seringsuami teteh kasih ke teteh untuk urusan rumah tangga? Suami teteh tu biasanya tiap bulan suka ngasih ke teteh tu sekitar 500ribu sampai 1 juta gitu des
80
8. Apakah dengan uang yang segitu dapat mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga? Yah tergantung, kadang cukup kadang juga enggak, mungkin kalau untuk urusan uang makan dan uang listrik atau air ya cukup, tapi kalau untuk masalah yang lain kurang, makanya saya juga ikut buka usaha, agar tidak mengandalkan penghasilan dari suami teteh aja 9. Apa yang menjadi alasan teteh untuk buka usaha warung seperti ini? Yang pastinya teteh tu gak mau ketergantungan dengan suami teteh, dan pastinya teteh tu pengen bantu suami teteh 10. Sudah berapa lama teteh buka usaha warung ini? Udah lumayan lama juga des, ada kali 5 tahunan. 11. Apakah suami teteh mengizinkan teteh untuk buka usaha warung ini? Yah diawal se dia gak setuju teteh tu buka warung, tapi teteh coba ngomong baik-baik dengan suami teteh, akhirnya dia ngizinin des, lagian kan kalau ngandelin dari hasil dia aja ya gak cukup, kan gak tiap hari dia bawa mobil, kadang seminggu tu cuma sekali, bahkan pernah juga sangking sepinya nyaris sebulan tu cuma sekali dia nyupir, dah gitu suami teteh kan orang nya rada males gitu des, yah desi tau sendirilah, gimana suami teteh, hehehe.
81
HASIL WAWANCARA
Nama
: PT
Waktu : 20 Juni 2011, pukul 19.00WIB Tempat : di tempat kediaman ibu Zahra 1. Apa pekerjaan ibu saat ini? Kan desi tau kalau ibu tu cuma seorang buruh cuci dan tukang urut 2. Berapa penghasilan ibu? Kalau ngomongin masalah penghasilan ibu tuh, pastinya gak tentu des 3. Apakah dengan penghasilan yang tidak tentu itu dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga? Yah Al-hamdulillah cukup 4. Apa pekerjaan suami ibu saat ini? Suami ibu tu Cuma seoarang penjual barang bekas 5. Berapa penghasilan suami ibu? Gak tentu des 6. Lalu apakah dengan penghasilan yang tidak tentu itu dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga? Sebenernya sih kurang, tapi ya di syukuri aja dengan apa yang ada 7. Sudah berapa lama ibu bekerja? Udah lumayan lama juga ya des, mungkin 7 tahunan ada kali des 8. Apa yang menjadi alasan ibu untuk bekerja? Ibu tu kerja karena semata-mata untuk membantu suami ibu dalam mencari nafkah untuk keluarga, ibu tu kasihan banget liat suami ibu, udah badan capek tapi hasilnya enggak seberapa.
82