PERANAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP KASUS PEMBUNUHAN JURNAL
Nama NIM Departemen Email Pembimbing
: Winda Anastasya D.P : 100200418 : Hukum Pidana :
[email protected] : 1. Dr. M. Hamdan, SH.,M.Hum 2. Dr. M. EkaPutra, SH.,M.Hum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
1
ABSTRAKSI Winda Anastasya D P1 M. Hamdan2 M. Eka Putra3 Skripsi yang berjudul Peranan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Rangka Penyidikan Terhadap Kasus Pembunuhan. Membahas tentang sejauh mana peranan dari ilmu kedokteran kehakiman dalam membantu penyidik untuk mengungkap suatu perkara pidana khusus terhadap tindak pidana pembunuhan di tingkat penyidikan. Ada kecenderungan yang menarik untuk dikaji didalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Peranan ilmu kedokteran kehakiman menjadi kian menonjol dan semakin seringnya di gunakan dalam mengungkap suatu perkara pidana. Hal inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis skripsi ini dengan beberapa permasalahan yaitu mengenai bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang ilmu kedokteran pada tahap penyidikandan mengapa diperlukan ilmu kedokteran kehakiman dalam penyidikan kasus tindak pidana pembunuhan. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahanpermasalahan diatas adalah penelitian hukum normatif. Penulis melakukan kajian berdasarkan kepada literatur yang ada dan undang-undang yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Ilmu kedokteran kehakiman disebut juga dengan Ilmu Kedokteran Forensik yang banyak berhubungan dengan bidang hukum dan peradilan. ilmu kedokteran kehakiman merupakan kumpulan ilmu hukum pengetahuan medis dan paramedis yang menunjang pelaksanaan penegak hukum. Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat terjadi tindak pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka, pemeriksaan mayat, pemeriksaan korban yang sudah dikubur dan digali kembali, pemeriksaan barang bukti, dan memberikan kesaksian dalam siang pengadilan) dan pemeriksaan barang bukti yang harus diterangkan harus secara tertulis yaitu visum et repertum. Kata kunci : Kedokteran Kehakiman, Penyidikan, Pembunuhan.
1 2
Utara
3
Mahasiswa Depertemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dosen Pembimbing I Dan Ketua Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Dosen Pembimbing II Dan Ketua Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera
Utara
2
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ....................................................................................................
i
ABSTRAKSI ...................................................................................................
ii
BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................
1
A. Latar Belakang ......................................................................
1
B. Rumusan Masalah .................................................................
3
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan.............................
3
D. Metode Penelitian ...............................................................
4
BAB II : HASIL PEMBAHASAN..............................................................
7
A. Diperlukannya Ilmu Kedokteran Dalam Penyidikan Kasus Pidana Pembunuhan.................................................................
7
B. Proses Penyidikkan Suatu Tindak Pidana Pembunuhan Dan Kaitannya Dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman…………..
14
BAB III : PENUTUP.....................................................................................
21
A. Kesimpulan ......................................................................
21
B. Saran .................................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
3
24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini membawa kesejahteraan bagi umat manusia di segala bidang kehidupan tetapi juga menimbulkan akibat yang tidak diharapkan. Salah satu akibat yang tidak diharapkan tersebut adalah meningkatnya kuantitas maupun kualitas mengenai cara atau teknik pelaksanaan tindak pidana, khusunya yang berkaitan dengan upaya pelaku tindak pidana dalam usaha meniadakan sarana bukti, sehingga tidak jarang dijumpai kesulitan bagi para petugas hukum untuk mengetahui identitas korban. Dalam proses penyidikan suatu tindak pidana, mengetahui identitas korban merupakan hal yang sangat penting. Dengan mengetahui identitas korban merupakan sebagai langkah awal penyidikan sehingga dapat dilakukan langkahlangkah selanjutnya. Apabila identitas korban tidak dapat diketahui, maka sebenarnya penyidikan menjadi tidak mungkin dilakukan. Selanjutnya apabila penyidikan tidak sampai menemukan identitasnya identitas korban, maka dapat dihindari adanya kekeliruan dalam proses peradilan yang dapat berakibat fatal. Selain itu mengetaui identitas korban untuk berbagai kehidupan sosial misalnya asuransi, pembagian dan penentuan ahli waris, akte kelahiran, pernikahan dansebagainya keterangan identitas mempunyai arti penting pula, yaitu untuk mengetahui bahwa keterangan itu benar-benar keterangan yang dimaksud untuk memperoleh yang menjadi haknya maupun untuk memenuhi kewajibannya. Dalam ilmu kedokteran forensik dikenal pemeriksaan identifikasi yang merupakan bagian tugas yang mempunyai arti cukup penting. Identifikasi adalah suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah cirri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Disitulah semua, identifikasi mempunyai arti penting baik ditinjau dari segi untuk kepentingan forensic maupun non-forensik. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, mengingat pada tahap pembuktian
4
tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum. Maka tata cara pembuktian tersebut terikat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Hal ini sebagaimana ditentukan pula dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat 2 menyatakan “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut UndangUndang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”. Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1). Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, terdapat pada Pasal 180 ayat(1). Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas dapat pula diartikan sebagai bantuan dari bidang ilmu kedokteran forensik guna menemukan identitas korban dan menentukan bagaimana terjadinya suatu tindak pidana yang telah di alami oleh korban tersebut, yang dalam hal ini seperti yang telah kita ketahui yaitu dilakukan oleh orang – orang yang terlah ahli dibidang ilmu kedokteran forensik tersebut. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Untuk dapat mengetaui dan dapat membantu dalam proses penydikan, maka dalam perkara pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia diperakukan khusus, yaitu Ilmu Kedokteran Forensik. Ilmu kedokteran forensik dalam pengungkapan suatu kasus pembunuhan, menunjukkan peranan yang cukup penting bagi tindakan pihak kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak kepolisian dalam mengusut suatu kasus pembunuhan tersebut. Proses penegakan hukum dan keadilan adalah merupakan suatu usaha ilmiah dan bukan sekedar common-sense, non scientific belaka. Dengan demikian dalam perkara pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia
5
bantuan dokter dengan pengetahuan ilmu forensik yang dimilikinya sebagaimana tertuang dalam Visum et Repertum yang dibuatnya mutlak diperlukan.4 Selain bantuan dari Ilmu kedokteran Foernsik tersebut tertuang di dalam bentuk Visum et Repertum, maka bantuan dokter dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sangat diperlukan didalam upaya mencari kejelasan dan kebenaran materiil yang selengkap – lengkapnya dalam suatu perbuatan / tindak pidana yang telah terjadi. Dengan demikian dalam melakukan pemeriksaan ditempat kejadian perkara, saat dilakukan interogasi dan rekonstruksi bantuan dokter dengan pengetahuan yang dimilkinya juga diperlukan.5 Dalam perkara pembunuhan, si korban yang merupakan subjek hukum yang telah kehilangan hak untuk hidup, hal ini berarti bahwa seseorang korban yang telah meninggal dunia merupakan barang bukti, dan disalin ke dalam bentuk visum et repertum, sesuai dengan definisinya, maka ilmu kedokteran forensik yang digunakan dalam menentukan identitas korban serta mencari tahu penyebab kematian korban sangat bermanfaat dalam pembuktian suatu perkara berdasarkan hukum acara.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan dengan latar belakang yang telah disesuaikan di atas, maka permasaahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Mengapa Diperlukan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Penyidikan Kasus Tindak Pidana Pembunuhan? 2. Bagaimana Proses Penyidikan Terhadap Kasus Pembunuhan Berdasarkan Ilmu Kedokteran Kehakiman?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarakan uraian latar belakang permasalhan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui Mengapa Diperlukan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Penyidikan Suatu Kasus Tindak Pidana Pembunuhan. 2. Untuk Mengetahui Bagaimana Proses Penyidikan Terhadap Kasus Pembunuhan Berdasarkan Ilmu Kedokteran Kehakiman. Adapun manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta perkembangan hukum pidana pada khususnya mengenai peranan ilmu kedokteran forensik dalam 4
Abdul Mun’im Idries, Agung Legowo Tjiptomoanoto, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyelidikan, Penerbit CV. Sagung Seto, Jakarta. 2011, hal. 2 5 Ibib.,
6
pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan, serta dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut tentang hal tersebut. 2. Manfaat Praktis 1. Hasil penulisan ini di harapkan dapat menjadi masukan kepada penyidik dalam memperoleh keteranga yang lebih rinci mengenai hal-hal yang diperlukan dalam proses penyidikan melalui ilmu kedokteran forensik. 2. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi masyarakat sehubung dengan pelaksanaan identifikasi terhadap korban khususnya terhadap korban tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh dokter yang telah ahli dibidang kedokteran forensik.
D. Metode Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan. 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum terdiri atas penelitian hukum normatif atau doktriner dan empiris, yaitu:6 a. Penelitian hukum normatif yang mencakup: 1) Penelitian terhadap asas-asas hukum, 2) Penelitian terhadap sistematika hukum, 3) Penelitian terhadap tahap singkronisasi hukum, 4) Penelitian sejarah hukum, dan 5) Penelitian perbandingan hukum. b. Penelitian hukum empiris yang mencakup: 1) Penenelitian terhadap identifikasin hukum (hukum tidak tertulis), 2) Penelitian terhadap efektifitas hukum. Pendekatan sebuah penelitian ditentukan berdasarkan perumusan permasalahannya. Jika jawaban dan rumusan masalahnya dicari melalui studi peraturan perundang-undangan semata, maka pendekatan penelitiannya menggunakan hukum normatif. Jika jawaban dan rumusan permasalahannya dicari melalui penelitian lapangan, maka pendekatan penelitiannya menggunakan hukum empiris. Apabila datanya dicari melalui studi pustaka dan penelitian lapangan, maka pendekatan penelitiannya adalah perpaduan antara hukum normatif dan hukum empiris. 7 6
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 22 Muslan Abdurrahman, Sosiologi Dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, malang, 2009. Hal. 94. 7
7
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.8 Penelitian hukum yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah mencoba mengkaji mengenai peranan ilmu kedokteran kehakiman dalam proses penyidikan terhadap kasus pembunuhan berdasarkan hukum positif berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku hukum. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang mengungkapkan peratiran perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian dan hukum dalam pelaksanaannya didalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian. 9 penelitian yang bersifat deskriptif menguraikan sifat dan fakta yang sebenarnya dari suatu objek penelitian untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatau gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 10 3. Sumber Data Data adalah keterangan yang benar dan nyata, atau bahan yang dapat dijadikan dasar kajian. 11 Adapun kegunaan data adalah untuk memperoleh gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan, serta untuk membuat keputusan atau memecahkan masalah. 12 Sumber data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan seperti melalui wawancara atau hasil observasi. 13 Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan. Data sekunder itu dapat dibagi menjadi :14 a. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian, berupa undnag-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain. 8
Zainuddin Ali, Ibid, hal. 105 Ibid, hal. 105-106. 10 Amiruddin, dkk, Pengantar Metode penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, 2004. hal. 25. 11 http://www.kbbi.web.id/data, diakses pada tanggal 14 Desember 2015. 12 Muslim Abdurrahman, Op.,Cit, hal. 111. 13 Bambang waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. 1996, hal. 16. 14 Zainuddin Ali, Op.,Cit.hal. 106. 9
8
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi, buku-buku, tulisan ilmiah hukum, dan semua dokumen yang merupakan hasil kajian dari berbagai media. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisikan konsepkonsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan baku sekunder seperti kamus dan ensiklopedia. 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Metode penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan cara menelaah buku-buku, karangan ilmiah, artikel-artikel yang dimuat dalam majalah maupun koran yang dimuat diberbagai media massa maupun dimuat di website-website internetb serta peratiran perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan skripsi ini. •
Analisa Data Analisa data dalam penulisan skripsi ini menggunakan analisa kualitatif. Analisa data kualitatif adalah suatu proses untuk menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dari data tersebut serta mencari dan menemukan pola hubungan-hubungan dan temuan-temuan umum sehingga data tersebut mempunyai makna yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.
9
BAB II : HASILPENLITIAN
A. DIPERLUKAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN PENYIDIKAN KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
DALAM
Ilmu pengetahuan kedokteran kehakiman adalah kedokteran Forensik yang merupakan terjemahan dari Gerechtelijk Geneeskunde atau Forensic Medicine (legal medicine or medical juriceprudence) yang merupakan cabang kedokteran khusus yang berkaitan dengan interaksi antara medis dan hokum. Dalam hal ini terdapat 2 cabang : Clinic Forensic Medicine yang berhubungan dengan manusia hidup dan dari Clinical Pathology yang berhubungan dengan mayat. Fungsi ilmu kedokteran kehakiman adalah membuat suatu perkara menjadi jelas, yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materil yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan ataupun suatu tindak pidana yang terjadi. Sedangkan ilmu kedokteran kehakiman adalah bagian dari penyidikan, dan penyidikan itu sendiri adalah suatu proses untuk mempelajari dan mempelajari apa yang telah terjadi dimasa lampau dan dalam kaitannya dengan tujuan dari penyelidikan itu sendiri, sehingga untuk menghasilkan penyidikan yang benarbenar valid penyidik dengan seyogyanya harus melakukan penyidikan dengan sebaik-baiknya. Dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada penyidik, umumnya penyidik memanfaatkan ilmu kedokteran kehakiman untuk mendapatkan sumbersumber informasi yang dapat membuat jelas dan terang tentang suatu perkara, sesuai dengan fungsi dari ilmu kedokteran kehakiman itu sendiri. Sumber –sumber informasi yang dipakai untuk mengetahui apa yang telah terjadi antara lain adalah :15 1. Barang-barang bukti (physical evidence) seperti : a. Anak peluru b. Bercak darah c. Jejak (impression) dari alat, jejak ban, jejak sepatu d. Narkoba e. Tumbuh-tumbuhan 2. Dokumen serta catatan-catatan, seperti : a. Cek palsu b. Surat penculikan c. Tanda-tanda pengenal lainnya d. Catatan tentang ancaman 15
Abdul Mun’im Idries Agung Legowo Tjiptomoanoto, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, CV. Sagung Seto, Jakarta. 2011. hal. 4.
10
3. Orang-orang seperti : a. Korban b. Saksi-saksi mata c. Si tersangka pelaku kejahatan Untuk dapat memanfaatkan sumber-sumber informasi tersebut tentu diperlukan pemahaman dan bantuan dari ilmu kedokteran kehakiman yang memiliki berbagai bidang kajian, seperti pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik, dokumen yang dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi, jurisprudensi, psikologi, kimia, fisika, dan khususnya dalam tindak pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia diperlakukan pemahaman serta penguasaan prinsip-prinsip dasar dari ilmu kedokteran kehakiman yang praktis oleh penyidik, maupun secara keseluruhan dalam arti bantuan dikter dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya merupakan sumbangan yang besar artinya dalam penyidikan demi terwujudnya tujuan dari penyidikan itu sendiri, yaitu membuat terang dan jelas suatu perkara). Seperti diketahui bahwa penyidik adalah merupakan pusat dan pimpinan dalam penyidikan. Semua aktifitas atau kegiatan serta tindakan yang diambil dalam mencari kejelasan seperti yang dimaksud adalah sepenuhnya tergantung dari kebutuhan atau sesuai dengan kebutuhan bagi penyidikan. Perlu tidaknya suatu pemeriksaan atau langkah-langkah yang harus diambil dan sampai sejauh mana bantuan ahli diperlukan dalam usaha mencari kejelasan seperti yang dimaksud dalam ilmu kedokteran kehakiman, penyidikan yang menentukan. Ini tidaklah berarti bahwa penyidik menutup diri dari dari setiap pendapat atau saran yang disampaikan oleh ahli, yang sesungguhnya merupakan partner yang berguna dalam penyidikan suatu perkara tindak pidana. Berpijak pada kenyataan diatas, berhasil atau tidaknya penggunaan ilmu kedokteran kehakiman dalam penyidikan ditentukan oleh kualitas penyidik, dan mengingat bahwa dalam penyidikan sering dibutuhkan bantuan dari berbagai ilmu pengetahuan maka dengan demikian diperlukan kriteria yang harus ada pada setiap penyidik, agar dapat menjadi seorang penyidik yang baik, yaitu :16 1. Cerdas 2. Mempunyai keinginan tinggi untuk mengetahui dan memiliki imajinasi 3. Memiliki pengamatan yang tajam serta ingatan yang kuat 4. Mengetahui tentang kehidupan dan masyarakatnya 5. Menguasai teknik yang dibutuhkan 6. Memiliki ketabahan 7. Harus bebas dari prasangka dan sikap berat sebelah 8. Memiliki kejujuran dan keberanian 9. Cukup peka dan tanggap serta penuh pertimbangan 10. Memiliki kondisi fisik yang baik dan penampilan yang rapi 11. Mempunyai kemampuan membuat laporan tertulis dengan baik 16
http://www.negarahukum.com/hukum/penyidik-dan-penyidikan.html, diakses pada tanggal 23 desember 2015 pada pukul 12.00 wib.
11
Bantuan ilmu kedokteran kehakiman dalam penyidikan perkara tindak pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia dalam garis besarnya dapat dibagi menurut tahapan-tahapan sebagai berikut, yaitu :17 1. Pada pemeriksaan di Tempat kejadian Perkara (TKP) 2. Pada pemeriksaan korban baik pemeriksaan terhadap korban yang telah menjadi mayat maupun pada pemeriksaan korban kejahatan seksual. 3. Penganiyayaan dan lain sebagainya 4. Pada saat dilakukannya rekontruksi suatu kejahatan dan interogasi. Ilmu kedokteran kehakiman adalah cabang spesialitik ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakkan hukum, terutama pada bidang hukum pidana. Proses penegakkan hukum dan keadilan merupakan suatu usaha ilmiah, dan bukan sekedar common sense, non scientific belaka. Dengan demikian, dalam penegakkan keadilan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan Ilmu kedokteran kehakiman yang dimilikinya amat diperlukan. Peranan dari kedokteran kehakiman dalam penyelesaian perkara di pengadilan adalah membantu hakim dalam menemukan dan membuktikan unsurunsur yang didakwakan dalam pasal yang diajukan oleh penuntut. Serta memberikan gambaran bagi hakim mengenai hubungan kausalitas antara korban dan pelaku kejahatan dengan mengetahui laporan dalam visum et repertum. Disamping itu, diperoleh hasil bahwa dalam setiap praktek persidangan yang memerlukan keterangan dari kedokteran kehakiman tidak pernah menghadirkan ahli dalam bidang ini untuk diajukan disidang pengadilan sebagai alat bukti saksi. Implikasi teoritis persoalan ini adalah bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan suatu perkara yang memerlukan keterangan dokter forensik, hanya memerlukan keterangan yang berupa visum et repertum tanpa perlu menghadirkan dokter yang bersangkutan disidang pengadilan. Sedangkan implikasi praktisnya bahwa hal ini dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam menangani perkara yang memerlukan peran dari kedokteran forensik. Tugas pokok seorang dokter dalam bidang kedokteran kehakiman adalah membantu pembuktian melalui pembuktian ilmiah termasuk dokumentasi informasi/prosedur, dokumentasi fakta, dokumentasi temuan, analisis dan kesimpulan, presentasi (sertifikasi). Dinilai menurut waktu penyelidikan hingga persidangan dokter peran sebagi berikut :18 1. Masa Penyelidikan Pemeriksaan di TKP dan analisis data yang ditemukan 2. Masa Penyidikan 17
Abdul Mun’im Idries Agung Legowo Tjiptomoanoto, Op.,Cit hal. 6 Harun M, Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta. 1999. hal. 34. 18
12
Pembuatan visum et repertum dan BAP saksi ahli 3. Masa Persidangan Dokter berperan dalam memberikan keterangan ahli, sebagai sebagai saksi ahli pemeriksa, menjelaskan visum et repertum, menjelaskan kaitan temuan VeR dengan temuan ilmiah alat bukti sah lainnya. Dokter juga berperan menjelaskan segala sesuatu yang belum jelas dari sisi ilmiah. Peran profesi kedokteran kehakiman berkaitan dengan melibatkan pengetahuan patologi forensik dan patologi klinik. Profesi kedokteran forensik bias juga mencakup ruang lingkup bukan peradilan yaitu berperan dalam identifikasi, keterangan medis, uji keayahan, dan pemeriksaan barang bukti lainnya. Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan begitu juga halnya terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan luka tubuh manusia, untuk menentukan kapan saat terjadi luka dan apakah luka tersebut disebabkan oleh tindak kejahatan diperlukan alat yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Berangkat dari ketidakmampuan untuk mengungkap semuanya itu, hukum memerlukan bantuan dari disiplin ilmu pengetahuan lain, yaitu kedokteran, tentunya bantuan ilmu kedokteran bukan hanya terbatas untuk hal-hal semacam itu, melainkan segala persoalan yang berhubungan dengan luka, kesehatan dan nyawa seorang yang diakibatkan oleh suatu kejahatan yang selanjutnya diterangkan oleh dokter dalam rangka penyelesaian perkara pidana. Cara yang dapat dilakukan untuk pembuktian perkara pidana antara lain adalah meminta bantuan dokter sebagai saksi yang dapat membuat keterangan tertulis dalam bentuk visum et repertum dan memberikan keterangan persidangan sebagai saksi ahli. Artinya, bahwa ilmu pengetahuan kedokteran sangat berperan dalam membantu penyidik, kejaksaan, dan hakim dalam hal yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu kedokteran. Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga memiliki peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung kepada keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan pemerkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik dalam mengungkapkan lebih lanjut kasus tersebut. Identifikasi kedokteran kehakiman merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas
13
seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Dalam pelaksanaan identifikasi, ilmu kedokteran kehakiman sangat berperan terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang rusak, membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan massal, bencana alam, huru hara yang mengakibatkan banyak korban meninggal, serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Ilmu kedokteran kehakiman yang menangani tindak criminal di anggap sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari segi wujud perbuatannya maupun alat yang digunakannnya memerlukan penanganan secara teknis dengan menggunakan bantuan diluar ilmu hukum pidana maupun acara pidana. Pada umumnya suatu laboratorium kriminalistik mencakup bidang ilmu kedokteran kehakiman, kimia forensik dan ilmu fisika forensik. Bidang kimia forensik mencakup juga analisa racun (toksikologi forensik), sedangkan ilmu fisika forensic mempunyai cabang yang amat luas termasuk : balistik forensik, ilmu sidik jari, fotografi forensik. Apabila terjadi suatu kasus kejahatan, khususnya yang terjadi terhadap kasus tindak pidana pembunuhan, maka pada umumnya timbul pertanyaanpertanyaan seperti : 1. Peristiwa apa yang terjadi ? 2. Dimana terjadinya ? 3. Bilamana terjadinya ? 4. Dengan alat apa yang dilakukannnya ? 5. Bagaimana melakukannnya ? 6. Mengapa perbuatan tersebut dilakukan ? 7. Siapa yang melakukan ? Dengan pertanyaan-pertanyaan yang terjadi ini tidak semua dapat dijawab langsung dan dijelaskan oleh penyidik hanya dengan melaksanakan penyidik biasa, sehingga sangatlah diperlukan bantuan dari ahli lain yaitu menggunakan ilmu kedokteran kehakiman yang secara pasti akan dapat memberikan keterangan yang jelas atas pertanyaan diatas melalui pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksaan ilmu kedokteran itu sendiri serta dengan menggunakan hasil pemeriksaan dari laboratorium bilamana itu diperlukan dalam membantu pihak penyidik untuk menemukan hasil pemeriksaan yang lebih pasti. Sehingga akan lebih memudahkan penyidik dalam menentukan tindak pidana apakah yang telah terjadi, dan juga mempermudah untuk menindak lanjuti kasus pembunuhan yang telah terjadi tersebut. Selain itu identifikasi kedokteran kehakiman juga berperan dalam berbagai kasus seperti pembunuhan. Identitas seorang yang dipastikan bila paling sedikit
14
dua metode yang digunakan memberikan hasil positif (tidak meragukan). Identifikasi dalam Ilmu Kedokteran kehakiman meliputi :19 1) Pemeriksaan sidik jari Sidik jari atau finger prints dapat menentukan identitas secara pasti oleh karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun pada kasus saudara kembar satu telur. Keterbatasannya hanyalah cepat rusak/membusuknya tubuh. Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik jari antemortem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang sebaik-baiknya terhadap jari tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik jari, misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan kantong plastik. 2) Metode visual Metode ini termasuk metode sederhana dan mudah dikerjakan dengan memperlihatkan jenazah terutama wajah korban kepada keluarga korban atau pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah yang tidak rusak berat dan belum membusuk, sehingga masih mungkin dikenali wajah dan bentuk tubuhnya oleh lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan mengingat adanya kemungkinan faktor emosi yang turut berperan untuk membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut. 3) Pemeriksaan Dokumen Dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, Paspor) dan sejenisnya, yang kebetulan ditemukan dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. Perlu diingat pada kecelakaan massal, dokumen yang ada dalam saku seorang laki-laki lebih bermakna bila dibandingkan dengan dokumen yang terdapat didalam tas seorang wanita karena dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang berada dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang bersangkutan dikarenakan tas tersebut bias saja terlempar dan smapai ke dekat jenazah orang lain. 4) Pemeriksaan Pakaian Pada identifikasi melalui pakaian yang dikenakan oleh Koran apabila menggunakan pencatatan yang baik dan teliti seperti model, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu dapat merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban. 5) Pemeriksaan perhiasan Metode identifikasi dengan menggunakan metode ini merupakan metode identifikasi yang baik, walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus. Inisial yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si pemberi ataupun pemilik cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban. 6) Identifikasi Medik Metode ini selalu dapat di pakai dan memiliki nilai tinggi dalam hal ketepatannya terutama jika korban memiliki status medis (medical record, 19
Abdul Mun’im Idries Agung Legowo Tjiptomoanoto, Op.,Cit hal. 2.
15
antemortem record) yang baik, karena selain dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara/modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar-X) sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Jenis kelamin perkiraaan umur, tinggi dan berat badan serta warna rambut dan mata di klasifikasikan dalam tanda medis yang umum. Sedangkan sifat yang lebih khusus adalah bentuk cacat fisik, bekas operasi, tumor, tattoo, dan lain sebagainya. 7) Pemeriksaan Pencatatan Gigi Pemeriksaan ini meliputi data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigidan sebagainya. Seperti hal nya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan dengan data pembanding antemortem. 8) Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serolog pada prinsipnya bertujuan untuk menentukan golongan darah jenazah, dimana pada umumnya golongan darah seseorang dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani, dan cairan tubuh lainnya. Orang yang demikian termasuk golongan darah yang secretor, 75-80% dari penduduk termasuk dalam golongan ini. Pada mereka yang termasuk non-sekretor penentuan golongan darah hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan golongan darahnya saja. Pemeriksaan ini buat penyidik sangatlah penting, khususnya pada kasus-kasus pembunuhan, kejahatan seksual dan kasus tabrak lari serta penculikan bayi. Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan pemeriksaan sidik DNAyang akurasinya sangat tinggi. 9) Metode Eksklusi Metode eksklusi ini digunakan untuk korban missal seperti bencana alam atau kecelakaan missal. Selain identifikasi dalam ilmu kedokteran kehakiman yang digunakan dalam menentukan suatu kasus tindak pidana pembunuhan, terdapat pula keterangan mengenai tanda-tanda kematian, jenis-jenis kematian, penyebab dan cara kematian, perkiraan waktu kematian, pemeriksaan korban kriminalitas. a. Tanda-tanda kematian b. Jenis-jenis kematian c. Penyebab dan cara kematian d. Perkiraan waktu kematian e. Pemeriksaan korban kriminalitas
16
B. PROSES PENYIDIKKAN SUATU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN KAITANNYA DENGAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN Penyidikan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan penyidikan merupakan cara untuk mengumpulkan buktibukti awal untuk mencari tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan saksi-saksi yang mengetahui tentang tindak pidana tersebut. Menurut Lilik Mulyadi, dari batasan pengertian (begripd bepaling) sesuai tersebut dengan konteks Pasal 1 angka 2 KUHAP, dengan kongkret dan factual dimensi penyidikan tersebut dimulai ketika terjadinya tindak pidana sehingga melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut :20 1. Tindak pidana yang telah dilakukan 2. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delict) 3. Cara tindak pidana dilakukan 4. Dengan alat apa tindak pidana dilakukan 5. Latar belakang sampai tindak pidana dilakukan. 6. Siapa pelakunya Tata cara penyidikan dilakukan segera setelah laporan atau pengaduan adanya tindak pidana. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP). Penyidikan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil diberi petunjuk oleh penyidik Polri. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindakan pidana, sedangkan dalam penyidikan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu tersevut melaporakan hal itu kepada penyidik Polri. Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu tersebut harus segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (1) s/d (3) KUHAP).21
20
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007. hal. 55. 21 Muhammad Taufik dan Suharsril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bokor, Ghalia Indonesia, 2010. hal. 24.
17
Dalam hal penyidik telah mulai melakukanpenyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindakan pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak dapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindakan pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Dalam hal penghentian tersebut dilakukan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu tersebut harus segera menyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik Polr (Pasal 107 ayat (1) s/d (3) KUHAP).22 Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta menemukan dan menentukan pelakunya. 23 Pada tahap penyidikan ini, untuk pertama kali saksi mulai dihadirkan untuk didengar dan diperksa seperti terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) butir g KUHAP. Pasal 116 s/d Pasal 121 KUHAP juga diatur masalah-masalah yang berkaitan dengan pemeriksaan saksi dan tersangka. Sebagaimana tujuan Hukum Acara Pidana yang tertuang dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang menyatakan bahwa :”Tujuan dan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acar pidana secar jujurdan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.24 Berdasarkan tujuan tersebut, maka hal ini menuntut aparat penegak hukum yang berwenang menangani dan memeriksa suatu perkara pidana pada setiap tahap pemerisakaanya agar dapat bertindak secara jujur dan tepat dalam rangka menemukan dan mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana dan akhirnya dapat memberikan putusan yang tepat yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dalam pemeriksaan penyidikan yang didalamnya dilakukan serangkaian tindakan oleh aparat penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, pada proses ini dapat dilakukan merupakan langkah awal yang sangat penting dan menentukan dalam menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Terhadap suatu peristiwa atau perbuatan yang diduga 22
Ibid. hal. 26 Yahya Harahap, Op. cit., hal. 143-144 24 Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta. Karya Unipress. 1982. hal. 20. 23
18
melanggar hukum pidana, pengusutan kebenaran materiil terhadap peristiwa tersebut dilakukan pada tahap penyidikan. Proses penyidikan dapat dimulai dan dilaksanakan apabila penyidik telah mendapatkan dasar atau pedoman tersebut. Dasar atau pedoman bagi penyidik untuk memulai suatu penyidikan yaitu adanya kemungkinan sumber tindakan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP sebagai berikut : 1. Kedapatan tertangkap tangan. (Pasal 1 butir 19 KUHAP). 2. Adanya laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP). 3. Adanya pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP). 4. Diketahui sendiri atau dari pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik. Pada proses penyidikan, penyidik mempunyai tugas yang sangat penting ayitu mencari dan mengumpulkan bukti-bukti serta menemukan tersangkanya. Dari bukti-bukti tersebut akan semakin jelas diketahui terjadinya suatu tindakan pidana. Bukti-bukti ini pula yang diajukan kepersindangan oleh penuntut umum sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena itu bukti yang dikumpulkan oleh penyidik harus kuat, apabila penyidik mengalami kesulitan dalam pemerisaan karena sifat perkaranya memiliki kekhususan serta pada perkara tindak pidana perkosaan, dimana harus dibutktikan adanya unsur persetubuhan penyidik dapat meminta bantua dokter spesialis untuk membuat visum et repertum dalam rangka memastikan unsur tersebut. Didalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, sering kali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tersebut yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan maslaah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Seorang ahli dibutuhkan dalam memberikan keterangan yang berkaitan dengan kemampuan dan keahliannya untuk membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof.A. Karim Nasution menyatakan: “Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas dari pada orang lain, namun pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya, maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada soal-soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim dimuka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang-orang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu. Agar tugas-tugas menurut Hukum Acara Pidana dapat dilaksanakn dengan sebaik-baiknya maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para
19
penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut.25 Menurut ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1), yang menyatakan “dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada Pasal 1801 ayat (1) yang menyatakan :”dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul disidang pengadilan, hakim ketua siding dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”. Keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada Pasal 1 butir ke 28 KUHAP, yang menyatakan : “keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksan pendahuluan dan pada tahap pemriksan lanjutan disedang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu Hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya. Dalam sistem pengadilan pidana yang berlaku di Indonesia, peradilan perkara pidana diawali oleh penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tunggal (lebih tepatnya penyidik umum) yang dilakukan oleh Kepelisian (Polri), dalam kasus-kasus khusus (tindak kejahatan ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia) pihak kejaksaan dapat melakukan penyidikan. Upaya penyidikan pada umumnya bermuara pada proses penuntutan dan diusul oleh proses pengadilan. Proses ini dikenal sebagi upaya litigasi. Upaya penyidikan dilakukan setelah suatu peristiwa atau kejadian dianggap peristiwa hukum, yaitu peristiwa atau kejadian yang dapat menggangu kedamaian hidup antar pribadi, lingkup antar pribadi khususnya antara seseorang (memikul kepentingan pribadi) dihadapkan dengan masyarakat atau negara yang memikul suatu kepentingan umum).26 25
Hamdan Njowito, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta. Gramedia Pustaka Tama,
1992. hal. 7. 26
B. Sempurna, Laboratorium Kriminalistik Sebagai Saran Pembuktian Ilmiah, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pembangunan Kewirausahaan Melalui
20
Penyelesaian kasus kriminal diperlukan pembuktian peristiwa kasus yang terjadi sampai membuktikan pelaku yang terlibat dalam tindak kriminal tersebeut. Pembuktian dari suatu perkara pidana adalah upaya untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana yang diperkarakan dan bahwa di terdakwalah pelaku tindak pidana tersebut. Pembuktian dilakukan dengan mengajukan alat bukti yang sah kedepan persidangan. Guna mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, dalam pembukti (penyidikan dan pemeriksan bukti fisik) harus dilakukan pembuktian secara ilmiah. Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang sesuai dengan hukum, yaitu memenuhi prinsip “admissibility” (dapat diterima) sebagaimana diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 ayat (1) menyebutkan bahwa alat bukti yang sah terdiri dari 5 jenis yaitu : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Pada proses penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana, penyidik mempunyai wewenang untuk : mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara (KUHAP Pasal 7 ayat 1 sub h). 1) Pasal ini perlu dikaitkan dengan KUHAP Pasal 120 ayat 1: dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat diminta orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. 2) Pada pasal tersebut tidak disebutkan TKP, kantor atau dimana? 3) Bantuan yang diminta dapat berupa pemeriksaan di TKP atau di Rumah sakit. Pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. 4) Hasil pemeriksanaan di TKP disebut dengan visum et repertum TKP. Manfaat Pemeriksaan TKP, yaitu : 1. Menentukan saat kematian, 2. Menentukan pada saat itu sebab akibat tentang luka, 3. Mengumpulkan barang bukti, 4. Menentukan cara kematian Prosedur permintaan pemeriksaan TKP : 1) Untuk menyingkat waktu permintaan bantuan ahli dapat dilakukan secara lisan atau telpon, 2) Disusul dengan tertulis, 3) Dokter dijemput dan diantar kembali oleh penyidik. Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Bagi Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta. hal. 12.
21
4) Untuk pemeriksan ini, terutan dikota besar sedapat-dapatnya dokter didampingi oleh penyidik serandah-rendanhya berpangkat “Letnan Dua” (Inspektur Dua). Ilmu kedokteran kehakiman adalah cabang spesialistik ilmu kedokteran yang memenfaatkan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum. Proses penegakan hukum dan keadilan merupakan suatu usaha ilmiah, dan bukan sekedar common sense, nonscientific belaka. Dengan demikian, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan. Pada saat dokter menerima permintaan bantuan alhi dari penyidik dalam suatu penyidikan kasus tindak pidana maka dokter harus mencatat :27 1. Tanggal dan dokter menerima permintaan bantuan; 2. Cara permintaan bantuan tersebut (telepon atau lisan); 3. Nama penyidik yang minta bantuan; 4. Jam saat doketr tiba di TKP; 5. Alamat TKP dan macam tempatnya (missal : sawah, gudang, rumah dst); 6. Hasil pemeriksaan. Tindakan yang dilakukan seorang dokter ahli TKP yaitu : 1. Pemeriksaan doketr harus berkoordinasi dengan penyidik, 2. Menentukan kornam masih hidup atau sudah mati, 3. Bila hidup, selamatkan dulu, 4. Bila meninggal dibiarkan asal tidak mengganggu lalu lintas, 5. Jangan memindahkan jenasah sebelum seluruh pemeriksaan TKP selesai, 6. TKP diamankan oleh penyidik agar dokter dapat memeriksa dengan tenang, 7. Apabila yang berkepentingan dikeluarkan dari TKP, 8. Dicatat identitas orang tersebut. Pada saat pemeriksaan mayat, seorang dokter ahli akan memeriksa mayat dan sekitarnya serta mencatat : 1) Lebam mayat, 2) Kaku mayat, 3) Suhu tubuh korban, 4) Luka-luka, 5) Membuat sketsa atau foro, 6) Mencari dan mengumpulkan barang bukti (Trece Evident), 7) Dokter tetap berkordinasi dengan penyidik, terutama bila ada team Labfor, 8) Dokter membantu mencari barang bukti, missal racun, anak peluru dll, 9) Segala yang ditemukan diserhakn pada penyidik, 27
http://iramyantiginting.blogspot.co.id/2014/06/visum-et-repertum-ver.html, diakses pada tanggal 12 Januari 2016, pada pukul 13.55 wib.
22
10) Dokter dapat meminjam barang bukti tersebut, 11) Selesai pemeriksaan, TKP ditutup missal selama 3 X 24 jam, 12) Korban dibawa ke Rumah Sakit dengan disertai permohonan visum et repertum. pada Visum et repertum disingkat Ver adalah keterangan tertukis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran kehakikamn atau kedokteran forensik atar permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasrakan keilmuannya dan di abwah sumpah, untuk kepentingan pro yustisia. Visum et repertum kemudian digunakan bukti yang sah secara hukum mengenai keadaan terakhir korban penganiayaan, pemerkosaan, maupun korban yang berakibat kematian dan nyatakan oleh dokter setelah memeriksa (korban). Khusus untuk perempuan Visum et repertum termasuk juga pernyataan oleh dokter apakah seseorang masih perawan atau tidak.
23
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan terhadap permasalahan yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis akhirnya sampai pada suatu kesimpulan dari pembahasan. Kesimpulan tersebut akan di uraikan lebih lanjut dalam poin – poin sebagai berikut : 1.
Ilmu Kedokteran Kehakiman atau kedokteran Forensik merupakan cabang kedokteran khusus yang berkaitan dengan interaksi antara medis dan hukum yang berfungsi untuk membuat suatu perkara jelasm yaitu, dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan ataupun suatu tindak pidana yang terjadi, selain itu ilmu kedokteran kehakiman adalah merupakan bagian dari penyidikan. Dalam menjalankan tugas penyidik, umumnya penyidik memanfaatkan ilmu kedokteran kehakiman untuk mendapatkan sumber-sumber informasi yang dapat membuat jelas dan terang tentang suatu perkara.
2.
Tindakan penyidikan merupakan cara untuk mengumpulkan bukti-bukti awal untuk mencari tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan saksisaksi yang mengetahui tentang tindak pidana. Tata cara penyidikan dilakukan segera setelah laporan atau pengaduan adanya tindak pidana, kemudian penyidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP). Penyidikan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil diberi petunjuk oleh penyidik Polri. Dasar atau pedoman bagi penyidik untuk memulai penyidikan yaitu Kedapatan Tertangkap Tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP), adanya laporan (Pasan 1 butir 25 KUHAP), adanya pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP), diketahui sendiri atau dari pemberitahuana, atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik. Pada saat dokter menerima permintaan bantuan ahli dari penyidik dalam suatu penyidikan kasus tindak pidana maka dokter harus mencatat beberapa hal penting seperti tanggal dan jam doketr menerima permintaan bantuan, cara permintaan bantuan tersebut (telpon atau lisan), nama penyidik yang minta bantuan, jam saat dokter tiba di TKP, alamat TKP dan macam tempatnya hasil pemeriksaan. Kemudian keseluruhan hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh dokter ahli Kehakiman atau ahli forensik tertulis dalam suatu laporan yang disebut dengan vissum et repertum.
24
B. Saran Diperlukan pengaturan secara lebih jelas mengenai saksi ahli terkhususnya terhadap penggunaan ilmu kedokteran kehakiman, mengenai pengertian, peranan, tujuan dan fungsinya serta bagaimana kedudukan dari hasil penyidikan dengan menggunakan ilmu kedokteran kehakiman itu. Hal ini dikarenakan banyak hal dan bahkan tidak ada pengaturan khusus yang terdapat di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang ilmu kedokteran kehakiman sehingga dalam penggunaannya masih memakai pasal – pasal yang hanya berkaitan dengan pemberian keterangan dari saksi ahli yang secara jelas kita ketahui dalam pasal tersebut sangat sederhana sekali.
25
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Amir, Amri, 1979, Memasyarakatkan Ilmu Kedokteran Kehakiman, ttp. Ali Zainuddin, 2010. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Amiruddin, 2004, Pengantar metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Bassar. M. Sudradjat, 1984. Tindak-tindak Pidana Tertuntu di Dlam KUHP. Remaja Karya, Bandung. Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Eka Putra, Muhammad, 2010, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU press, Medan. Hamzah, Andi, 1993, Hukum Acara Pidana, Arikha Media Cipta, Jakarta. Harahap, Rajo, 1981, Buku I Seminar/Lokakarya : Visum Et Repertum di Tinjau dari Segi Praktek Peradilan Dan Kekuatannya Sebagai Alat Bukti, diselenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara bekerja sama dengan Kepolisian Ri, Kejaksaan Tinggi, pengadilan Tinggi, Kanwil, Dep.Kes., Prop. Sumatera Utara, Pada tangga 9-12 Pebruari 1981. Badian Kedokteran Kehakiman Fakultas Hukum USU/RS. Dr.Pirngadi, Medan. Harahap, M. Yahya, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUAP Dibidang penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta. Husein, Harun M, 1991, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta Idries, Abdul Mun’im dan Agung Legowo Tjiptomoanoto, 2011. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan,CV. Sagung Seto, Jakarta. Lamintang, P.A. F, 1997, Dasar – dasar hukum pidana Indonesia, PT.Citra Aditiya Bakti., Bandung. Legowo, Tjiptomartono Agung, 1982, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta: Karya Unipres.
26
Marpaung, Leden, 1991, Unsur – unsur perbuatan yang dapat dihukum (delik), Sinar Grafika, Jakarta. Perdanakusuma, Musa, 1984, Bab-bab tentang kedokteran kehakiman forensik Indonesia, Jakarta. Refisis, Serenity Deliver, 2010, Analisa Hukum Terhadap Putusan Dalam Tindak Pidana Pembunuhan, USU Press, Medan. R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli dan Vissum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung. Syarief, H. Nurbama, 2004, Diktat Ilmu Kedokteran Kehakiman,UPT. Penerbitan dan Percetakan USU (USU Press), Medan. Satyo, Alfred C, 2004, Sejarah Ilmu Kedoteran Kehakiman, UPT. Penerbitan dan Percetakan USU (USU PRESS), Medan. Setiady, Tholib, 2009, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Cet Ke-2, Bandung. Waluyo Bambang, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. B. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. C. Internet http://www.lawskripsi.com/article.php http://www.meillyssach.co.cc/2010/visum-et-repertum.html, http://permanaikhsan.blogspot.com, http://ferli1982,wordpress.com/2011/03/06/visum-et-repertum/
27