PERANAN ACHIEVEMENT MOTIVATION TRAINING DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME TENAGA PENDIDIK : UPAYA REVOLUSI MENTAL DI SEKOLAH POLISI NEGARA Abstract The role of educators are vital in molding non-com officers that are knowledgeable, skillful, able, firm, with admirable attitudes and behaviors in their line of duty as police officers. Dispositions as educators because of warrants from superiors to teach at the state police academy, gives the impression that those personels felt put aside by the state police. This in turn cause the educators’ behaviors to be unprofessional in the teaching-learning process which will then influence the quality of the non-com police officers. This research aims to to test the role of the adaptation of the Achievement Motivation Training in increasing educators’ professionalism. This research used the One-Group Pretest-Posttest Design. Data analysis used to test the hypothesis of this research is the Wilcoxon Signed Rank Test. The participants of this research are 18 educators that were actively teaching in the State Police Academy in Lubuk Bunter, Bangka Belitung Island. Results from the wilcoxon analysis showed that there were changes in the pretest mean (µ=102,67 ) and posttest (µ=133,33) with z calculation > z table (-3,727 > -1,645) which means that there is an increase in educatiors’ professionalism after implementing the achievement motivation training. Key words : achievement motivation training, achievement motivation, professionalism, State Police Academy Educators.
Abstrak
Peran tenaga pendidik menjadi hal pokok dalam memberikan pengajaran dan pendidikan untuk pembentukan Bintara Polri yang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan, ketangguhan, sikap dan perilaku terpuji dalam rangka melaksanakan tugas kepolisian.. Penempatan sebagai tenaga pendidik karena turunnya surat perintah untuk mengajar di Sekolah Polisi Negara memunculkan kesan bahwa personel merasa dibuang. Hal ini menyebabkan perilaku tenaga pendidik dalam proses belajar mengajar siswa menjadi tidak profesional sehingga berpengaruh pada kualitas pendidikan dalam pembentukan Bintara Polri. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peranan adaptasi Achievement Motivation Training dalam meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik. Penelitian ini menggunakan desain eksperimen One-Group Pretest-Posttest Design. Analisis data untuk menguji hipotesis penelitian ini menggunakan analisis statistik dengan teknik Wilcoxon Signed Rank Test. Partisipan dalam penelitian ini yaitu 18 orang tenaga pendidik yang aktif mengajar di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Lubuk Bunter, Kepulauan Bangka Belitung. Hasil analisis data wilcoxon menunjukkan adanya perubahan skor rerata pretest (µ=102,67 ) dan posttest (µ=133,33) dengan z hitung > z tabel (-3,727 > -1,645) artinya terjadi peningkatkan profesionalisme tenaga pendidik di Sekolah Polisi Negara setelah dilakukannya achievement motivation training. Kata kunci : achievement motivation training, motivasi berprestasi, profesionalisme, tenaga pendidik sekolah polisi negara.
Tumbangnya masa orde baru menuju era reformasi membawa banyak dampak perubahan sosial yang ditandai dengan lahirnya berbagai partai politik dan rakyat memiliki kebebasan dalam menyuarakan hak-hak politiknya. Reformasi juga memiliki dampak pada tubuh Polri (Polisi Republik Indonesia), salah satunya yaitu perubahan struktur Polri sebagai institusi sosial yang bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) juga sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat serta berperan dalam penegakan hukum. Harapan masyarakat mengenai profesionalisme Polri dalam menjalankan tugas secara mandiri terwujud sejak tanggal 1 Juli 2000, saat itu Presiden RI meresmikan pemisahan Polri dari Departemen Pertahanan dan TNI/ABRI untuk menjadi institusi independen dan mandiri. Pemisahan tersebut dikukuhkan melalui TAP MPR No. VII/2000 dan UU Polri No. 2/2002. Jadi kenyataan Polri dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks dimana, Polisi hingga saat ini masih belum maksimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Membahas mengenai profesionalisme Polri, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane dalam sebuah headline news di sebuah surat kabar mengungkapkan bahwa krisis keamanan dan krisis kepercayaan kepada Polri masih terjadi disepanjang 2014. Keluhan terhadap sikap, perilaku dan kinerja aparat kepolisian masih menjadi persoalan klasik yang tidak kunjung bisa diatasi Polri (Riyadi, 2014). Angka kriminalitas, terutama yang menggunakan senjata api masih cukup tinggi. Hal ini menunjukkan peredaran senjata api ilegal di Indonesia pada 2014 masih tinggi. Konflik sosial di masyarakat
eskalasinya juga meningkat. Angka pencurian kendaraan bermotor (curanmor) juga relatif tinggi. Kejahatan narkoba makin mengkhawatirkan, walau Polri terus menerus melakukan penangkapan, kejahatan narkoba tetap saja tinggi. Hal terssebut juga didukung oleh data statistik Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir Kepolisian selalu menempati urutan kedua institusi yang paling banyak dilaporkan di masyarakat, hingga pertengahan 2014 dari 3.021 laporan yang masuk, 390 atau sebanyak 12,4% aduan masyarakat terkait pelayanan Kepolisian (Panggabean, 2014). Sebagian besar individu di kepolisian berkomitmen untuk memberikan pelayanan publik secara terhormat dan kompeten. Namun, dalam setiap lembaga kepolisian selalu terdapat unsur ketidakjujuran, kurangnya profesionalisme, dan perilaku kriminal. Hal tersebut menjadi tolak ukur apakah sebuah Negara sudah mampu dikatakan baik dengan aparatur pemerintahan yang tidak bermoral dengan professionalism yang rendah (Gottschalk, 2011). Prof. Reckless menjelaskan bahwa disiplin suatu bangsa hanya bisa tumbuh apabila Negara memiliki Angkatan Kepolisian yang baik (Rahardi, 2014). Hal serupa juga dijelaskan oleh Kepala Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Bangka Belitung dalam sebuah headline news mengatakan bahwa : “Sosok polisi yang ideal serta profesional dalam menjalankan tugas tentunya sangatlah diharapkan oleh setiap masyarakat. Oleh karenanya dalam menjalani tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat setiap anggota polisi dituntut sepenuhnya untuk senantiasa dapat mengabdi kepada negara khususnya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Untuk menjadi seorang anggota Polri melalui proses yang panjang, selain proses seleksi yang sangat ketat, fisik yang sehat, serta psikologi yang baik, juga harus ditunjang dengan mental dan kepribadian yang matang”.(Prakasa, 2013)
Dalam menciptakan sumber daya Polri yang arif, bijaksana, bermoral, profesional, dan mandiri semuanya dimulai dari proses pendidikan dan pelatihan yang didapat. Oleh karena itu tubuh kepolisian perlu melakukan pembenahan diri salah satunya dengan mengedepankan pendidikan dan pelatihan kepolisian sebagai upaya revolusi mental di Lembaga Pendidikan Polri. Hal tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (SDM) nomor: Kep/ 115/VI/2015 tentang Pemberlakuan pedoman etika berperilaku Polri sebagai penggerak Revolusi mental. Revolusi mental saat ini menjadi sebuah jargon yang sedang hangat diperbincangkan di berbagai media. Revolusi mental dalam bahasa yang lebih sederhana adalah sebuah pembaharuan mentalitas, istilah ini sebenarnya sudah ada sejak dari perkembangan dan praktek pergerakan ideologi maupun dalam ajaranajaran agama dan kepercayaan besar di dunia (Buana, 2014). Secara Psikologis, manusia cenderung resisten dengan perubahan, apalagi drastis dan mendasar (Sinamo, 2015). Menurut Psikolog Dr. Kartini Kartono (dalam Sinamo, 2015), orang yang memiliki mental sehat adalah yang mampu bertindak efisien, memiliki tujuan hidup yang jelas, konsep diri yang baik, koordinasi antara segenap potensi dengan usaha-usahanya, regulasi diri, integritas kepribadian, dan batin yang tenang. Revolusi mental dilaksanakan melalui internalisasi nilai-nilai dasar pada individu, keluarga, insititusi sosial, masyarakat hingga lembaga-lembaga negara. Nilai-nilai dasar yang dimaksud meliputi semangat memajukan bangsa, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, sikap optimis, profesional, inovatif, kerja sama dan gotong royong, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan kemaslahatan bersama. Salah satu
Lembaga Negara yang melakukan upaya revolusi mental yaitu, Lembaga Pendidikan Polri. Peran seorang Tenaga pendidik di Lembaga pendididkan kepolisian memiliki tugas seperti merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi proses pembelajaran serta melakukan pembimbingan, pelatihan dan penelitian dalam bidangnya sehingga para tenaga pendidik mampu menciptakan sumber daya manusia yang unggul untuk melahirkan Insan Bhayangkara yang profesional, mandiri, dan bermoral. Dalam Psikologi Pendidikan, Tenaga pendidik berperan dalam memberi dukungan emosional dan kognitif, memberi materi yang berarti dan menarik untuk dipelajari dan dikuasai, dan memberi dukungan yang cukup bagi terciptanya kemandirian dan inisiatif siswa (Santrock, 2004). Peran tenaga pendidik dalam pendidikan Bintara Polri menjadi sangat signifikan, mereka lah yang memberikan pengajaran dan mengubah seseorang yang bukan siapa-siapa menjadi “siapa-siapa”. Dalam arti, tenaga pendidik mampu merubah orang biasa seperti siswa lulusan sekolah menengah atas menjadi seorang yang berpengaruh di masyarakat, yaitu seorang Bintara Polri yang dengan hanya menggerakkan tangan ke atas, semua kendaraan yang melintas akan berhenti seketika. Bintara Polri merupakan etalase dalam institusi kepolisian Republik Indonesia karena 70% polisi yang bertugas langsung pada masyarakat adalah Bintara. Hal tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Kalemdikpol Nomor 205/ IV/2015 menjelaskan bahwa profil lulusan Bintara Polri berkualifikasi sebagai pelaksana teknis tugas umum kepolisian dan pengendalian massa. Jadi, pendidikan pembentukan Bintara Polri menjadi sangat penting untuk diteliti karena merupakan pendidikan dasar dalam pembentukan Polri sebelum mencapai pendidikan lanjutan,
sehingga kualitas Polri ini sangat bergantung pada bagaimana tenaga pendidik di SPN dalam memberikan pengajaran serta memberikan contoh teladan yang baik kepada para siswa calon Bintara Polri. Fenomena saat ini yang terjadi di Sekolah Polisi Negara adalah krisis mental pada peran seorang tenaga pendidik. Penempatan sebagai tenaga pendidik karena turunnya surat perintah untuk mengajar di Sekolah Polisi Negara memunculkan kesan bahwa personel merasa dibuang. Para tenaga pendidik berpikir bahwa bertugas di SPN tidak bisa berkembang karena lokasi SPN terletak di daerah terpencil, ditambah lagi menjadi seorang tenaga pendidik itu gajinya sangat kecil. Hal tersebut menjadi penyebab perilaku tenaga pendidik dalam proses belajar mengajar siswa menjadi tidak profesional sehingga berpengaruh pada kualitas pendidikan dalam pembentukan Bintara Polri. Pernyataan di bawah ini merupakan hasil wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 02 Juli 2015 dengan salah seorang tenaga pendidik yang berinisial PLK yang pernah mengajar di Sekolah Polisi Negara Lubuk Bunter : “Sistem pemilihan personel untuk menjadi seorang Tenaga pendidik adalah dengan cara “cabutan”. Awalnya saya dinas di Lalu Lintas yang notabene dalam kepolisian itu tugas di sana merupakan “primadona” karena merupakan lahan basah. Kemudian turun surat perintah bahwa harus menjadi seorang Tenaga pendidik. Jadi, saya merasa terpaksa ketika harus bertugas sebagai Tenaga pendidik, akhirnya saya mengajar dengan setengah hati dan sekedar menjalani serta menggugurkan kewajiban, dibetah-betahin aja”. Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh salah satu tenaga pendidik yang saat ini masih aktif mengajar di sekolah polisi Negara. Beliau menyampaikan keluhan dan perasaannya sebagai seorang tenaga pendidik di depan forum pertemuan saat kegiatan
kunjungan Sekolah Polisi Negara Lubuk Bunter ke Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada pada tanggal 29 November 2015. “Kesan yang masih melekat pada seorang tenaga pendidik yang mengajar di Sekolah Polisi Negara adalah kami merasa dibuang dan dipencilkan sehingga mengajar menjadi sebuah beban bagi saya”. Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa pendidikan kepolisian merupakan bagian dari memaksa dan dipaksa. Hal tersebut mampu membawa dampak negatif pada hasil belajar yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran dan pendidikan di Sekolah Polisi Negara. Rusak susu sebelanga oleh nilai setitik, kualitas tenaga pendidik yang buruk ataupun materi ajar yang diberikan hanya seadanya maka akan mempengaruhi para lulusannya. Pernyataan lain juga diungkapkan oleh salah seorang mantan siswa yang pernah melaksanakan pendidikan Brigadir Polisi, di bawah ini merupakan kutipan langsung dari hasil wawancara yang sudah dilakukan : “Ketika masa pendidikan di SPN, sejauh ini proses belajar mengajar di sana berjalan dengan baik dan lancar. Namun, saya pernah mendapat doktrin dari para senior yang bertugas sebagai tenaga pendidik, ketika jam istirahat dan duduk bersama mengatakan bahwa menjadi seorang polisi tidak seenak yang dibayangkan jadi kadang seragam yang digunakan bisa kamu manfaatkan.” Penanaman doktrin demi kepentingan sesuatu merupakan proses pembodohan dan mematikan sikap kritis siswa calon Bintara Polri. Padahal, melalui pendidikan ini lah pola pikir dan sikap mental untuk bertanggung jawab, kritis, dan solutif mampu ditingkatkan dalam mengemban tugas yang profesional agar berguna bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam aturannya, tenaga pendidik polisi diijinkan untuk menggunakan kekuasaannya dalam keadaan yang sesuai. Oleh karena itu, pendidikan
memiliki peran yang cukup bermakna dalam membuat sebuah kebijakan (Rydberg &Terrill, 2010). Peran tenaga pendidik yang diharapkan yaitu mampu mencetak calon-calon Bintara Polri yang profesional sehingga mampu menjalankan tugas kepolisian dengan baik sesuai dengan etika kepolisian yang berlandaskan kepada Tribrata. Agar proses pendidikan di Sekolah polisi Negara berlangsung dengan baik, tenaga pendidik harus memenuhi persyaratan seperti memiliki kualifikasi akademik, memiliki kompetensi, memiliki srtifikasi pendidik dari Depdiknas atau Internal Polri, serta sehat jasmani dan rohani. Dalam psikologi pendidikan, seorang tenaga pendidik harus menguasai beragam perspektif dan strategi, serta harus bisa mengaplikasikannya secara fleksibel. Hal tersebut membutuhkan dua pendukung utama (Santrock, 2004), yaitu : a. Pengetahuan dan Keahlian Profesional Tenaga pendidik yang efektif menguasai materi pelajaran dan keahlian atau keterampilan mengajar yang baik;
Memiliki strategi pengajaran yang baik dan
didukung oleh metode penetapan tujuan, rancangan pengajaran, dan manajemen kelas; Tahu bagaimana cara memotivasi, berkomunikasi, dan berhubungan secara efektif dengan siswa-siswa dari beragam latar belakang budaya; Memahami cara menggunakan teknologi yang tepat guna di dalam kelas selama proses pengajaran.
b. Komitmen dan Motivasi Aspek ini mencakup sikap yang baik dan perhatian kepada siswa. Komitmen dan motivasi dapat membantu Gadik untuk melewati masa-masa yang sulit dan melelahkan dalam mengajar. Gadik yang efektif juga memiliki kepercayaan diri
terhadap kemampuan mereka dan tidak akan membiarkan emosi negatif melunturkan motivasi mereka. Gadik yang efektif akan membawa sikap positif dan semangat ke dalam kelas. sifat-sifat ini mudah menular dan membantu membuat suasana kelas menjadi nyaman bagi siswa. Semakin baik seorang Gadik menjadi pendidik maka semakin berharga pekerjaan Anda sebagai seorang tenaga pendidik. Jika seorang Gadik semakin dihormati dan sukses di mata siswa, maka seorang Gadik akan merasa semakin bertambah komitmen. Seorang Tenaga pendidik dituntut untuk memiliki kemampuan sebagai seorang pendorong dalam mencapai tujuannya baik untuk pribadi maupun untuk organisasinya. Hal tersebut merupakan salah satu karakteristik seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi. Menurut McClelland (1987) pengertian motivasi berprestasi (achievement motivation) diartikan sebagai usaha mencapai sukses atau berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan yang dapat berupa prestasi orang lain maupun prestasi sendiri. McClelland (1987) juga menjelaskan bahwa motivasi berprestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang sehingga motivasi berprestasi akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengerahkan semua kemampuan energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang maksimal. Beberapa karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi adalah sebagai berikut (McClelland, 1987): (1) Perasaan yang kuat untuk mencapai tujuan; (2) Bertangungjawab; (3) Evaluatif; (4) Mengambil resiko yang cenderung moderat; (5) Kreatif dan inovatif; (6) Menyukai tantangan. Cigularov (2008) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah Competitive
Acquisitiveness, Status, dan Excellence. Akhirnya, orang yang mendapat skor tinggi pada faktor Excellence bercita-cita untuk kinerja yang luar biasa dibidangnya, di mana tujuan kewirausahaan tidak penting dan di mana keunggulan produk adalah penting. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa motivasi berprestasi tinggi pada
personil polisi yang bertugas sebagai detektif dan patrol memberikan pengaruh positif terhadap pencapaian tujuan dalam melakukan tugas yang menantang (Karami, Ismail, Omar, Wahiza, dkk., 2012; Socorro, 2012). Dalam hasil penelitian pada profesi lain, ditemukan bahwa motivasi berprestasi juga berpengaruh pada karyawan perusahaan, hal ini seperti disampaikan dalam hasil penelitian Sharma & Bansal (2012) menjelaskan bahwa Manajer perusahaan yang kehilangan motivasi berprestasi cenderung mempengaruhi sikap kerja mereka menjadi lebih negatif sehingga manajer tidak berusaha untuk mengambil peluang pertumbuhan sebagai tantangan dan sarana untuk belajar atau menimba ilmu. Akhirnya, manajer kekurangan semangat untuk mengambil tantangan tugas, tidak memiliki keberanian dalam mengambil tantangan hidup dan tidak menemukan makna dalam pekerjaan mereka. Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa motivasi berprestasi memiliki pengaruh penting dalam menjalankan tugas sebuah profesi, ketika seseorang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi maka akan berpengaruh positif pada pelaksanaan tugasnya dan ketika seseorang memiliki motivasi berprestasi yang rendah maka sikap kerja orang tersebut cenderung negatif. Terbukti bahwa peran motivasi berprestasi sangat penting bagi terciptanya profesionalisme dalam bekerja. Di Amerika Serikat, sebutan standar profesional telah
menggantikan istilah internal affair di sebagian instansi Kepolisian. Hal ini menggambarkan pemikiran baru pada sebagian petugas polisi berpendidikan akademis. Pemikiran tersebut harus lebih mencerminkan polisi profesional yang mampu bertanggung jawab secara moral dan etika kepada masyarakat dan keinginan untuk mandiri, menggunakan standar profesionalnya sendiri (Thibault, Lynch, & Mc Bridl, 2001). Sosiolog Emil Durkheim (dalam Barker & Charter, 1999) mengatakan bahwa tidak ada bentuk kegiatan sosial yang dapat dilaksanakan tanpa disiplin moral yang tepat, termasuk polisi memiliki mandat etika yang penting yang mengatur perilaku mereka. Menjadi lebih profesional berarti meningkatkan kemampuan dalam menangani pekerjaan kepolisian, dan hal ini akan mendekatkan polisi kepada dunia pendidikan sebagai sumber untuk meningkatkan kemampuan tersebut (Rahardjo & Tabah, 1993). Dalam
setiap
profesi
mensyaratkan
adanya
landasan
moral
dalam
menjalankan profesinya. Polisi sebagai profesi merupakan sebuah pekerjaan yang harus memiliki kemampuan profesi agar dalam melaksanakan tugas pokok kepolisian sesuai dengan etika profesi. Hal ini tercantum dalam Undang-undang Kepolisian Pasal 31 No. 2 Tahun 2002. Berkaitan dengan pembinaan profesi Polri, seluruh anggota Bhayangkara wajib memiliki sikap dan perilaku yang sesuai etika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa definisi profesionalisme pada kepolisian dapat diukur menggunakan dimensi profesionalisme (Carlan & Lewis, 2009; Hall, 1968), kelima dimensi tersebut yaitu : 1) Pandangan terhadap organisasi (Referent Organization); 2) Keyakinan dalam melayani masyarakat (Beliefe in Public Service); 3) Keyakinan dalam meregulasi diri (Beliefe in Self-regulation); 4) Perasaan
keterpanggilan (Sense of Calling); 5) Kemandirian (Autonomy). Profesionalisme dan integritas seorang perwira polisi di Malaysia memiliki korelasi positif terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang sesuai dengan kode etik profesi karena dalam integritas sendiri terdapat komponen prinsip kekuatan moral, penilaian moral, dan etika perilaku yang semuanya merupakan bagian dari kode etik, hal tersebut akan berfungsi untuk melengkapi peran dan tanggung jawab polisi dalam mencapai integritas tingkat tinggi (Evans, 2008; Othman, Omar, Azam, Ibrahim, dkk., 2014). Dalam hal ini tugas, hak, dan kewajiban seorang tenaga pendidik sudah tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Sistem Pendidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 31 ayat (1), (2), dan (3). Ketika seorang tenaga pendidik telah melaksanakan tugas dan kewajibannya di Lembaga Pendidikan Polri, maka seorang tenaga pendidik perlu memenuhi haknya salah satunya adalah
mengikuti pendidikan dan pelatihan
pengembangan sesuai dengan peraturan dalam sistem pembinaan personel/sumber daya manusia Polri. Prioritas pembinaan karier dan pendidikan sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas. Moral yang rendah, profesionalisme yang lemah, serta gelombang keluhan yang tidak perlu dan faktor-faktor seperti hubungan yang negatif dengan kelompok masyarakat dan rekan sejawat semuanya mencerminkan kebutuhan akan pelatihan. Pelatihan profesional memegang tempat yang penting karena fakta bahwa kualitas instruksi memainkan bagian besar dalam memenuhi tugas-tugas tertentu. Sebuah pelatihan yang menyeluruh untuk aparat penegak hukum mampu membuktikan memberi manfaat besar dari berbagai sudut pandang seperti sosial, organisasi, dan
individual (Coleman & Cotton, 2014; Thibault, Lynch, & Mc Bridl, 2001; Udrea, 2014). Di Indonesia, Pelatihan di bidang kepolisian pernah dilakukan oleh Ramdhani dan Paramastri (2007) dalam penelitiannya mengenai Pelatihan Keterampilan Psikologik untuk Meningkatkan Profesionalisme Polri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan psikologik yang didesain khusus untuk para anggota Polri ini efektif untuk meningkatkan konsep diri dan keterampilan sosial taruna dan taruni Akademi Kepolisian. Pelatihan lain pada Polri juga pernah diteliti oleh Rizkiasdi (2011) mengenai efektifitas Pelatihan Membangun Kepercayaan terhadap Atasan menunjukkan bahwa 31, 2% pelatihan tersebut mampu memberikan sumbangan terhadap peningkatan skor motivasi kerja polisi pada kelompok eksperimen setelah diberikan perlakuan. Perubahan organisasi pada organisasi sektor publik seringkali sulit untuk dicapai, bahkan ketika perubahan dapat membantu organisasi mencapai misinya. Sebagian besar pendekatan untuk perubahan organisasi mencoba untuk mencari penyebab anggota polisi tentang proses kebiasaan yang sudah nyaman agar mampu berpikir secara berbeda. Seringkali, pendekatan perubahan organisasi berdasarkan pada keyakinan bahwa ada sesuatu yang salah dan perlu diperbaiki (Fry, Nisiewicz, & Vitucci, 2006). Dalam rangka meningkatkan profesionalisme Polri khususnya para Tenaga Pendidik di Lembaga pendidikan Polri menarik untuk dilakukan Pelatihan Motivasi Berprestasi (Achievement Motivation Training) sebagai upaya revolusi mental dalam mencapai misi organisasi. Menurut McClelland (1987) Achievement motivation training merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
menyemangati individu agar memiliki konsep berprestasi dalam merencanakan langkah untuk peningkatan prestasi. Achievement motivation training
telah
digunakan dibanyak pengaturan yang berbeda dengan berbagai jenis individu, termasuk eksekutif perusahaan, pengusaha kecil, pengusaha minoritas dan perempuan, mahasiswa sekolah bisnis, polisi, dan pekerja sosial. Hal ini juga telah digunakan di negara-negara lain. Bahkan, pertama kali digunakan pada tahun 1963 dengan pengusaha India (McClelland, 1987). Model
ini
terutama
menargetkan
kompetensi
motivasi
berprestasi,
Achievement motivation training merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menyemangati individu agar memiliki konsep berprestasi dalam merencanakan langkah untuk peningkatan prestasi. Menurut McClelland (1963) keberhasilan program perubahan motivasi terdiri dari empat elemen : 1) Achievement syndrome, 2) Self-study in relation to the motive, 3) Planning and goal setting, 4) Group support. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep motivasi berprestasi dari McClelland sebagai dasar teori penelitian karena konsep motivasi berpretasi yang dikemukakan McClelland mampu menjelaskan kondisi permasalahan para tenaga pendidik yang kehilangan semangat dalam mengajar karena memiliki perasaan bahwa dirinya adalah sebagai buangan sehingga tenaga pendidik kurang memiliki kesadaran akan makna dari tugasnya sebagai pendidik yang akhirnya ketika menjalanakan tugas pendidikan kurang mampu mengembangkan diri, tidak menemukan kepuasan dalam mengajar para siswa calon Bintara Polisi. Hal tersebut menunjukkan adanya sifat yang tidak profesional dalam menjalankan tugas sebagai tenaga pendidik. Oleh karena itu, achievement motivation training diberikan untuk membantu para tenaga
pendidik dalam mengembangkan diri sehingga memberikan kesadaran akan pentingnya motivasi berprestasi dalam bekerja dan dapat menimbulkan perubahan pandangan terhadap diri tenaga pendidik sehingga tenaga pendidik mampu bekerja secara profesional. Alasan lain adalah karena
McClelland juga telah banyak
menggunakan teori motivasi berprestasi untuk riset dengan setting organisasi dan perusahaan sehingga penulis memiliki pemahan yang lebih jelas menganai konsep motivasi berprestasi yang akan diukur. Pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah pendekatan humanistik. Pendekatan ini bersifat konstruktif, kognitif, dan memengaruhi proses. Sementara itu, konsep humanistik juga sangat mengutamakan kemampuan dan potensi seseorang saat mereka memilih dan mencari kontrol atas hidup mereka. Para ahli teori humanistik membuat asumsi bahwa penelitian terhadap seseorang haruslah secara holistik, artinya untuk memahami seseorang, maka harus mempelajari perilaku, pikiran, serta perasaan mereka. Asumsi berikutnya ialah bahwa pilihan manusia, kreativitas, dan aktualisasi diri merupakan area penting untuk diteliti. Pendekatan humanis sangat menekankan pada kesadaran diri seseorang (Weiner dalam Schunk, 2012). Hal penting dalam teori humanistik adalah motivasi penting dalam memenuhi kebutuhan dasar, tetapi pilihan yang lebih besar tersedia ketika seseorang mencoba memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan peneliti melalui wawancara mengenai kondisi tenaga pendidik dan siswa, peneliti memilih SPN Lubuk Bunter sebagai tempat penelitian karena kondisi di sana menunjukkan bahwa aspek profesionalisme yang masih lemah adalah kebanggaan terhadap profesi sebagai
tenaga pendidik dan perbuatan negatif tenaga pendidik terhadap hak siswa. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme sesuai dengan tugas pokok Tenaga pendidik berdasarkan Perkap Nomor 4 Tahun 2010 pasal 31, Achievement Motivation Training pada penelitian ini disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan terhadap aspek profesionalisme yang sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 31 dan 34. Materi yang disiapkan lebih ditekankan pada pengenalan terhadap diri dan kebutuhan diri, kebutuhan untuk berprestasi dalam menjalankan tugas sebagai seorang tenaga pendidik, menumbuhkan keyakinan diri dalam mencapai target para pendidik untuk mencapai tujuan hidup yang lebih bermakna. Pelatihan motivasi berprestasi ini dilakukan dengan metode pembelajaran melalui pengalaman atau disebut dengan metode Experiential Learning. Metode tersebut menjadi prinsip dasar pelatihan motivasi berprestasi yang dipercaya membuat pelajaran dapat berjalan dengan efektif dan memberikan efek jangka panjang (Kolb & Kolb, 2008). Hal ini disebabkan oleh dua aspek: Pertama, peserta mendapatkan pengalaman konkrit, berkesempatan untuk mengembangkan makna pribadi dari pengalaman konkrit tersebut, lalu melihat benang merahnya dengan konsep yang dipelajari. Kedua, peserta terlibat dalam proses umpan balik ketika menghasilkan perilaku sesuai konsep yang diajarkan sehingga mendorong peserta untuk menampilkan perilaku tersebut seterusnya (Kolb, dkk., 2008). Tahapan dari experiential learning adalah : Experiencing, Generalizing, Publishing, Applying. Penelitian mengenai efektifitas pelatihan motivasi berprestasi (Achievement Motivation Training) telah banyak digunakan dalam berbagai setting, beberapa hasil
penelitian tersebut diantaranya adalah : Koentjoro (1987) melakukan penelitian mengenai pengaruh Achievement Motivation Training (AMT) terhadap peningkatan asertivitas
mahasiswa
Fakultas
Psikologi
UGM.
Hasil
penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa AMT mampu meningkatkan asertvitas kelompok eksperimen dengan rerata 3,179 sedangkan rerata kelompok kontrol sebesar -2,444. Sampel yang digunakan pada penelitian tersebut yaitu 28 orang kelompok eksperimen dan 36 orang kelompok kontrol. Dalam studi evaluasi lain menunjukkan bahwa achievement motivation training mampu menunjukkan perbedaan skor motivasi berprestasi anggota perusahaan antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan (Andhini, 2013; Fidiyati, Harahap, & Rohayati, 2015). Berdasarkan uraian di atas, Achievement Motivation Training diharapkan mampu berperan dalam peningkatan profesionalisme Tenaga Pendidik Kepolisian Republik Indonesia. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya perubahan mental di lingkungan penididikan Polri untuk menciptakan Insan Bhayangkara yang mandiri, bermoral, dan profesional. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pelatihan motivasi berprestasi (Achievement Motivation Training) mampu meningkatan profesionalisme tenaga pendidik.