PERAN STRESS MANAGEMENT TERHADAP KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF A.M. Diponegoro Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Abstrak Kesejahteraan subjektif mencerminkan evaluasi individu terhadap kehidupan mereka, termasuk di dalamnya kebahagiaan, emosi yang mengenakkan, kepuasan hidup dan tidak banyak dirasakan emosi yang tidak menyenangkan. Para peneliti mengukur evaluasi individu dari reaksi kognisi dan emosi mereka. Kesejahteraan subjektif nampak bertambah penting dalam dunia demokrasi dimana penduduknya ingin hidup dalam keadaan terpenuhi kebutuhan dirinya sesuai dengan evaluasi terhadap keadaan dirinya, tidak sekedar dinilai oleh pembuat kebijakan, pimpinan atau pakar. Semakin banyak manusia terpenuhi kebutuhan biologisnya, semakin banyak diantara mereka yang memikirkan kebahagiaan hidupnya. Salah satu variabel yang dianggap berperan terhadap kebahagiaan adalah kemampuan individu untuk mengelola stresnya (stress management). Tulisan ini menyajikan secara singkat keterkaitan stress management dengan kesejahteraan subjektif. Kata Kunci : kesejahteraan subjektif, manajemen stres, kepuasan hidup, emosi
Abstract Subjective well being represents people’s evaluations of their lives, and included happiness, pleasant emotions, life satisfaction, and a relative absence of unpleasant moods and emotions. Researchers gauge a person’s evaluation of his or her life by his cognitive and emotional reactions. Subjective well being is increasingly important in a democratic world in which we want people to live fulfilling lives as evaluated by themselves, not simply as judged by policy makers, autocrats, or experts. As people in the world come to meet their basic biological needs, they become increasingly concerned with happiness and fulfillment. Traditionally, researchers interested in stress management and well being have examined the psychological and physical consequences of stressors and other negative events. Recent theorizing has suggested that processes linked to positive events may have independent and important associations with well being and stress management. This paper will explain brief explanation and relation between stress management and subjective well being. Key words: subjective well being, stress management, life satisfaction, emotion
Peran Stres Management ........ (AM. Diponegoro)
\ 137[ [
Pendahuluan Sangat jarang perhatian para peneliti psikologi begitu terfokus pada suatu topik penelitian seperti yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Topik yang dimaksud adalah kebahagiaan atau dalam bahasa ilmiahnya kesejahteraan subjektif Para peneliti setelah memperhatikan mereka yang memiliki skor tinggi dalam kesejahteraan subjektif menunjukkan gejala yang positif dalam kehidupan individu, mereka mulai menfokuskan bahagaimana meningkatkan kesejahteraan subjektif. Stress management dianggap salah satu faktor yang mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif. Misalnya studi yang dilakukan terhadap penderita kanker payudara menunjukkan bahwa Penelitian terhadap orang yang terkena kanker payudara menunjukkan stress management dapat meningkatkan kualitas hidup atau kesejahteraan subjektif pasien. Artikel ini menggambarkan hubungan antar stress management dengan kesejahteraan subjektif. Pertama akan dijelaskan tentang aspek-aspek kesejahteraan subjektif, hasil penelitian dan teori yang berkenaan dengannya. Kedua akan dibahas bagaimana stress management dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif individu. Organisasi ilmuwan terbesar di dunia, Amerika.American Psychological Association (APA) memaparkan akibat tekanan-tekanan hidup atau stres di kalangan masyarakat dan remaja di Amerika yang cukup menyedihkan. Menurut survei nasional di AS sekitar 3 juta peristiwa kekerasan yang kebanyakan muncul dari stres yang terlalu berat terjadi di lingkungan sekolah setiap tahun, atau 16.000 peristiwa kekerasan di sekolah terjadi setiap hari atau satu peristiwa setiap 6 menit (APA Public Communications, 1999). Kekerasan tersebut dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup dramatis (Abrahamson et al., 2002). Di kalangan orang \ 138[ [
dewasa dan anak-anak ternyata juga tidak berbeda jauh. Di Indonesia, seiring dengan peningkatan perilaku kekerasan karena meningkatkan tekanan kehidupan masyarakat, perilaku kekerasan di kalangan siswa juga meningkat. Perilaku kekerasan tersebut adalah perkelahian siswa antar sekolah, pembunuhan, pelecehan seksual, dan bunuh diri. Berbagai bentuk peristiwa kekerasan itu secara umum sudah sering terjadi, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah (Talib, 2003). Pemenuhan kebutuhan fisik ternyata bukan jalan yang tepat karena mengakibatkan stres semakin meningkat (Myers, 2003). Remaja Amerika Jepang, dan negara kaya yang lain nampaknya lebih sering merasa tidak nyaman daripada “pendahulu” mereka. (Myers, 2004 ). Memasuki millennium baru, negara-negara di dunia umumnya Harus memilih antara hidup dengan sedikit stres dan bahagia atau kaya raya tetapi terkena virus affluenza (Boven dan Gilovich, 2003). Peringatan ini diberikan oleh para ilmuwan yang bergabung dalam kelompok psikologi positif. Kelompok psikologi positif yang muncul dari ide Seligman, mantan presiden American Psychological Association, ber usaha untuk mengatasi tekanan hidup yang di alami ummat manusia dengan menumbuhkan aspek positif dalam kehidupan manusia. Kesejahteraan subjektif Kesejahteraan subjektif atau kebahagiaan saat ini merupakan topik yang cukup hangat dibicarakan para ahli psikologi dengan label subjective well being (swb) (Diener dan Diener, 2003). Istilah kesejahteraan subjektif menurut Diener merupakan istilah ilmiah dari kebahagiaan. Penggunaan istilah kesejahteraan subjektif, bukan kebahagiaan untuk menghindari kerancuan, karena kebahagiaan dapat bermakna ganda (Diener, 2000). HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
Saat ini psikologi positif memiliki pusat studi emosi (Emotion centre) yang erat kaitannya dengan kesejahteraan subjektif. Berbagai bentuk emosi positif diteliti guna meningkatkan kesejahteraan subjektif individu. Salah satu studi yang dilakukan adalah membangun emosi moral positif (Haidt, 2003). Kesejahteraan subjektif juga merupakan studi kesehatan mental dan fisik yang penting (Contrada et al., 2004a). Diener (2000) dan Myers (2000), dan sejumlah psikolog sosial menyebut subjective well being sebagai “ilmu pengetahuan tentang kebahagiaan “(science of happiness). Individu yang memiliki kesejahteraan subjektif tinggi, ternyata merasa bahagia dan senang dengan teman dekat dan keluarga. Individu tersebut juga kreatif, optimis, kerja keras, tidak mudah putus asa, dan tersenyum lebih banyak daripada individu yang menyebut dirinya tidak bahagia (Argyle, 2001) Individu yang bahagia cenderung untuk tidak memikirkan diri sendiri, tidak memiliki banyak musuh, akrab dengan individu lain, dan lebih suka menolong (Myers, 2003). Keadaan jasmani individu yang bahagia lebih sehat, cepat sembuh dari penyakit dan lebih tahan menghadapi penyakit dibandingkan individu yang tidak bahagia (Myers, 2004). Individu yang bahagia cenderung melihat kepada individu yang lebih rendah dalam urusan materi. Apabila individu tersebut memberikan reaksi positif, misalnya dengan memberikan kelebihan yang dimiliki, maka akan meningkatkan emosi positif yang lain (Haidt, 2003). Penelitian tentang kesejahteraan subjektif dalam jurnal-jurnal yang terbit kemudian tidak selalu konsisten dengan istilah kesejahteraan subjektif. Istilah bahagia (happy) dan kebahagiaan (happiness) masih sering dipakai dalam banyak penelitian (Myers, 2003). Dalam psikologi positif kesejahteraan subjektif menjadi salah satu pusat perhatian,
karena kesejahteraan merupakan aspek positif individu.Menurut Diener (2000) kesejahteraan subjektif dapat didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif terhadap kehidupan. Evaluasi kognitif orang yang bahagia berupa kepuasan hidup yang tinggi, evaluasi afektifnya adalah banyaknya afek positif dan sedikitnya afek negatif yang dirasakan (Diener et al., 1999). Komponen kesejahteraan subjektif. Diener dan Scollon (2003) menyebut dua komponen utama kesejahteraan subjektif, yaitu kepuasan hidup dan afek. Uraian di bawah ini akan membahas masing-masing komponen ditinjau dari pandangan ahli psikologi. a. Afek. Perasaan (feeling) dan emosi (emotion) merupakan bagian integral dari pengalaman manusia. Istilah perasaan mengarah pada macam-macam emosi dalam aktivitas keseharian (Diener, 2000). Selanjutnya Tellegen et al. (1988) menyatakan bahwa setiap pengalaman emosional akan berkaitan dengan aspek afektif atau feeling-tone, yang dapat bervariasi antara sangat menyenangkan sampai dengan sangat tidak menyenangkan. Afek dengan demikian berkaitan erat dengan emosi. Pengaruh emosi akan dapat dilihat melalui parameter fisiologis, gerak mental atau observasi perilaku (Cacioppo et al., 1999) dan ekspresi wajah (Prawitasari, 2000a). Selanjutnya Chwalisz et al. (1988) menemukan bahwa orang yang mengalami luka berat atau mengalami trauma berat untuk beberapa saat dirinya akan didominasi oleh afek negatif. Dalam waktu beberapa minggu afek akan kembali ke posisi semula. Fujita, et al. (1991) menemukan bahwa intensitas afek untuk pria dan wanita berbeda. Lebih jauh lagi
Peran Stres Management ........ (AM. Diponegoro)
\ 139[ [
Suh et al. (1998) dan Cousin (1989) menemukan bahwa emosi seseorang sangat dipengaruhi budaya dimana dia tinggal. Berkaitan dengan afek maka sering muncul istilah mood (Diener et al., 1999). Dalam istilah mood tercakup pengertian yang lebih khusus, yakni suatu kondisi perasaan yang berulang-ulang tetapi dengan intensitas yang bisa dikatakan masih ringan. Afek dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada atau yang dianut. Afek orang beragama akan dipengaruhi oleh nilai-nilai agamanya. Menurut Diener (2000) afek adalah gabungan dari mood dan emosi. Menurut Myers (2003) afek dapat dibagi dua, afek positif dan afek negatif. Afek positif menunjuk pada pengertian bahwa seseorang merasa bersemangat, aktif, dan waspada. Afek positif yang tinggi ditandai oleh energi yang tinggi, penuh konsentrasi dan kenyamanan; sedangkan afek positif yang rendah ditandai oleh kesedihan dan keletihan (Tellegen et al., 1988). Manusia umumnya selalu ingin mengalami afek positif dan mempertahankannya dalam waktu yang lama. Usaha-usaha yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya ditujukan untuk mendapatkan rasa senang dan mempertahankannya (Egloff, et al., 2003). Penelitian Costa dan McCrae (1980) menyimpulkan bahwa dua kecenderungan perilaku manusia, yakni kecepatan dan kekuatan, berhubungandengan afek positif dan tidak berhubungan dengan afek negatif. Tellegen et al.(1988) menyebut 10 kata sifat yang memiliki daya ungkap terhadap afek positif. Sepuluh macam kata sifat adalah attentive (penuh perhatian), interested (berminat), alert (siaga atau waspada), excited (bergairah), enthusiastic (antusias), inspired (terinspirasi), proud (bangga), strong \ 140[ [
(kuat), active (aktif) dan determined (teguh pendirian). Afek negatif menunjuk pada pengertian adanya ketegangan dan ketidaknyamanan sebagai akibat dari macam-macam mood yang tidak mengenakkan seperti marah, direndahkan, tidak disukai, rasa bersalah, takut dan gelisah (Tellegen et al., 1988). Pendapat serupa dikemukakan oleh Costa dan McCrae (1980) bahwa emosionalitas, kemarahan dan lemahnya kontrol berhubungan dengan afek negatif yang tinggi. Kata-kata sifat untuk mengetahui afek negatif seseorang adalah: distressed (tegang), upset (kecewa), guilty (rasa bersalah), scared (ngeri), hostile (bermusuhan), irritable (mudah tersinggung), ashamed (malu), jittery (gugup), ner vous (gelisah) dan afraid(takut) (Tellegen et al., 1988). Menurut Costa dan McCrae (1980), afek positif dan afek negatif saling berdiri sendiri dalam mempengaruhi kebahagiaan seseorang. b. Kepuasan hidup. Menurut Sheldon dan Houser-Marko (2001) kepuasan hidup akan tercapai kalau terdapat kesesuaian antara apa yang dicita-citakan dengan kenyataan. Kesesuaian itu dapat menyangkut prestasi atau dimensi kehidupan yang lain. Seperti kepuasan terhadap keluarga, kepuasan terhadap sekolah dan kepuasan terhadap kawan. Kepuasaan hidup ini dicerminkan dengan optimisme diri yang dimiliki oleh individu (Seligman, 2002). Kepuasan hidup menurut Diener et al. (1999) merupakan hasil dari perbandingan antara segala peristiwa yang dialami dengan harapan dan keinginan. Individu yang dapat menyesuaikan diri dan memiliki kepribadian yang terintegrasi dengan baik cenderung untuk merasa HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
lebih puas dengan kehidupannya. Csikszentmihalyi (1999) menyatakan bahwa semakin banyak aktivitas positif yang dilakukan oleh seseorang, makin besar pulalah kepuasan hidupnya. Selain kesehatan fisik seseorang haruslah memiliki kesehatan mental yang baik untuk dapat menikmati pengalamanpengalamannya. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ahli psikologi mengenai kepuasan hidup. Sekelompok ahli menyatakan bahwa kepuasan hidup sangat berkaitan erat dengan emosi seseorang. Ahli lain cenderung mengaitkan dengan aspek kognitif. Dalam tulisan ini kepuasan hidup diartikan sebagai evaluasi kognitif individu dalam menikmati pengalamanpengalamannya di masa lalu dan sekarang. Individu yang puas memiliki penilaian bahwa apa yang sudah dicapai atau diperolehnya sudah sesuai dengan harapan atau cita-citanya dan memandang secara positif kehidupannya di masa yang akan datang. Teori-teori kebahagiaan dibangun dari kedua proses kebahagiaan yaitu teori bottomup dan teori top-down. a. Teori bottom-up. Diener (1984) membedakan antara proses topdown dan bottom-up yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Faktor-faktor bottom-up yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif adalah peristiwaperistiwa luar, situasi, dan pengaruh demografis. Pendekatan bottomup dibangun atas ide Wilson bahwa ada kebutuhan-kebutuhan manusia yang bersifat mendasar dan umum, bila kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi, maka dia akan berbahagia (Diener, 2000). Menurut Diener dan Scollon (2003) kebutuhan dasar individu bervariasi
tergantung budaya, nilai hidup, dan kepercayaan. Menur ut teori bottom-up, kesejahteraan subjektif hanya sebagai akumulasi kegembiraan yang kecil-kecil. Pendekatan ini menjelaskan, bahwa tatkala seseorang menilai apakah kehidupannya bahagia atau tidak, beberapa kalkulasi mental digunakan untuk menjumlah kegembiraankegembiraan dan penderitaan-penderitaan yang pernah dialami (Diener, et al. 2001). Bermacam-macam penelitian dengan pendekatan bottom-up telah dilakukan. Faktor-faktor luar yang pernah diteliti adalah penghasilan dan kekayaan (Swinyard et al., 2001), kesehatan (Contrada et al., 2004a), prestasi belajar (Crocker et al., 2003), dan penampilan fisik (Diener et al., 1999). Hasil-hasil yang ditunjukkan dalam penelitian tersebut adalah bahwa faktor-faktor eksternal dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif walaupun dalam jumlah sedikit. b. Teori top-down. Para peneliti sering kecewa terhadap pengaruh yang relatif kecil dari variabel-variabel eksternal. Karena efeknya yang kecil maka para peneliti berpaling pada daerah top-down. Pada beberapa dekade terakhir, peneliti mulai beralih mengeksplorasi daerah dalam diri manusia. Misalnya nilainilai hidup, tujuan dan kepribadian individu (Diener dan Diener, 2003). Diener dan Scollon, 2003 menyebut pendekatan ini dengan teori top-down, yaitu seseorang menikmati kesenangan sebab dia bahagia, bukan sebaliknya. Struktur dalam diri manusia seperti nilai hidup, faktor genetik, temperamen dan kepribadian menyeluruh diang gap mempengaruhi cara orang bereaksi terhadap suatu peristiwa. Sebagai contoh, Individu yang optimis, riang mungkin akan
Peran Stres Management ........ (AM. Diponegoro)
\ 141[ [
menafsirkan sejumlah besar peristiwa c. Teori kegiatan (flow). Teori ini menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif merupakan hasil samping (by product) kegiatan manusia (Diener, 1984). Misalnya individu yang memberikan pertolongan terhadap orang yang sangat susah, atau terjepit dalam peristiwa kebakaran, dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif pada pelakunya (Haidt, 2003). Tema yang sering muncul dalam teori kegiatan atau aktivitas adalah kesadaran-diri (self awareness) akan mengurangi kesejahteraan subjektif. (Csikszentmhalyi dan Figurski dalam Diener, 1984). Menurut pendekatan ini, seseorang harus berkonsentrasi pada aktivitas atau kegiatan, dan kesejahteraan subjektif akan meningkat dengan sendirinya sebagai hasil samping. Csikszentmhalyi (1999) memberi nama teori kegiatan dengan teori flow. Kegiatan akan nampak menggembirakan bila kegiatan tersebut memberikan tantangan yang sesuai atau sebanding dengan tingkat kemampuan individu. Kegiatan jika terlalu mudah, maka akan muncul kebosanan, bila terlalu sulit, kecemasan akan muncul. Individu yang akan ditingkatkan kesejahteraan subjektifnya perlu memperoleh kegiatan yang sesuai dengan kemampuan optimalnya. d. Teori senang dan susah. Suatu hal yang telah diketahui umum adalah bahwa orang yang ingin bahagia harus mengalami kesusahan terlebihdahulu. Peribahasa mengatakan bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Diener (1984) memberikan alasan mengapa keadaan bahagia dan tidak bahagia harus dikaitkan. Ia merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh Diener, Larsen, Levine, \ 142[ [
dan Emmons, bahwa orang yang mengalami kesejahteraan subjektif secara mendalam adalah mereka yang mengalami emosi negatif yang mendalam. e. Teori perbandingan. Teori ini menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif merupakan hasil dari suatu perbandingan antara beberapa standar dan kondisi aktual. Jika kondisi aktual melebihi standar maka akan muncul rasa senang. Bila dihubungkan dengan kepuasan hidup, perbandingan mungkin dilakukan secara sadar, sedang bila dihubungkan afek, perbandingan dengan suatu standar mungkin terjadi secara tidak sadar. apabila individu menggunakan orang lain sebagai standar. Apabila ia merasa lebih baik dari orang lain ia akan bahagia. Dalam teori adaptasi, orang menggunakan masa lalu sebagai standar. Jika saat ini kondisi seseorang lebih baik dari masa lalu,orang akan bahagia (Brickman et al., 1978). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa teori-teori kesejahteraan subjektif dapat menjelaskan mengapa orang merasa bahagia dan dapat digunakan bagaimana menumbuhkan kebahagiaan atau meningkatkan kesejahteraan subjektif. Teori tertentu sering memperjelas teori yang lain. Stress Management dan Kesejahteraan Subjektif Stress adalah bagian dari kehidupan manusia. Segala sesuatu yang terjadi pada fisik maupun lingkungan, yang merupakan gelombang-gelombang kehidupan, menuntut manusia untuk menyesuaikan diri. Stress merupakan reaksi awal dari penyesuaian diri tersebut. Jadi stres merupakan respon non spesifik tubuh yang muncul saat dibutuhkan dan merupakan sesuatu yang normal Sedikit HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
stress membuat manusia menjadi waspada dan ini dibutuhkan agar dia mampu memotivasi diri, menyesuaikan diri, dan segera mencari cara untuk mengatasinya. Stress jenis ini dinamakan eustress, yaitu stress yang membuat seseorang jadi bertambah kuat dan mampu menyesuaikan diri. Karena tubuh merespon berbagai bentuk stres fisik atau psikologis, berbagai perubahan pada tubuh dapat diprediksikan. Seperti meningkatnya denyut jantung, naiknya tekanan darah (sistole dan diastole) serta sekresi hormon perangsang. Respon terhadap stres ini terjadi apakah stres itu sifatnya negatif (distress) atau positif (eustres). Beberapa penyebab stress (stressor) bersumber dari masalah kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketidakharmonisan rumah tangga, kehidupan kota yang padat dan berpolusi, beban studi dan pekerjaan, atau kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Bisa juga berasal dari kejadian-kejadian spesifik, yang menguntungkan maupun yang tidak. Namun demikian bila seseorang gagal menyesuikan diri terhadap stress, artinya ia tidak mampu menyelesaikan persoalannya, tidak dapat mencapai harapan-harapannya, menderita, serta merasa tertekan, maka stressnya itu sudah membahayakan, atau sudah masuk dalam kategori distress. Karena itu penting untuk mengetahui gejala-gejala stress sehingga stress yang positif (eustress) tidak sampai berlanjut dan berkembang menjadi stress yang negatif (distress.) Gejala-gejala Stress Gejala-gejala ini sering berantai dan berkembang selama waktu tertentu hingga mencapai tingkatan yang sulit dibedakan dari keadaan (tingkah laku) nor mal. Gejala fisiknya berupa nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, mencret, sembelit,
letih yang tidak beralasan, sakit kepala, dan salah urat. Sedangkan gejala-gejala yang berwujud perilaku misalnya perasaan bingung, cemas, sedih, jengkel, salah paham, tak berdaya, tak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, merasa tidak menarik, kehilangan semangat. Bisa juga berupa kesulitan dalam konsentrasi, berpikir jernih dalam membuat keputusan. Bahkan, sampai pada hilangnya kreativitas, gairah dalam penampilan, dan minat terhadap orang lain. Dalam kajian psikologi positif, stres dikendalikan dengan cara menumbuhkan potensi positif yang ada pada diri manusia. Misalnya dengan menawarkan perilaku positif, seperti memaafkan, bersyukur, sadar secara total terhadap keadaan yang ada di sekitarnya. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan subjektif individu. Stres akan lebih mudah dikendalikan saat seseorang nyadari datangnya stres di awal. Ada sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan agar stres dapat terkelola dan meningkatkan kesejahteraan subjektif individu: 1. melakukan gerakan yang menyenangkan dan ber manfaat. Misalnya berjalan, membantu orang yang kesusahan. Menurut teori flow dalam psikologi positif, perilaku ini akan meningkatkan kesejahteraan subjektif individu (Csikszentmihalyi,1999). Individu tak perlu harus mengikuti kelas aerobik formal. Aktivitas apapun yang bersifat positif dan membuat berkeringat disebut aerobik. Apabila Individu hanya duduk seharian di kantor, lari naik turun tangga selama beberapa menit akan membuat Individu merasa jauh lebih baik.Berjalan kaki ke kantor (dari tempat parkir) juga cukup membuat rileks. Tubuh manusia dirancang untuk bergerak, bukan sekadar duduk seharian
Peran Stres Management ........ (AM. Diponegoro)
\ 143[ [
penuh. Latihan fisik ini dapat menguras habis hormon adrenalin yang diproduksi saat kita tegang atau stres. 2. Mengkonsumsi makanan yang seimbang, banyak kandungan serat seperti sayur dan buah, biji-bijian dan menghindari makanan yang berbahaya seperti alkohol. Menurut Myers (2003), makanan tersebut merupakan makanan yang dikonsumsi mereka yang aktif beribadah dan membuat mereka lebih tahan stres dan lebih sehat. 3. Berdoa, dan berkomunikasi dengan Tuhan dan melakukan kegiatan keagamaan secara bersama-sama serta menumbuhkan nilai-nilai moral seperti pemaaf, bersyukur, berperilaku gembira, aktif menolong individu yang membutuhkan (Haidt, 2003). Banyak ahli psikologi terutama di kalangan psikologi positif meyakini, bahwa berdoa, pasrah, dan bersyukur mer upakan cara yang jitu untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif (kebahagiaan) dan mereduksi stres. Menurut Myers ada beberapa alasan mengapa agama diperlukan dalam pengelolaan stres 4. Berkeluarga dengan penuh kesetiaan. Kesimpulan Tulisan ini membahas peran pengelolaan stres terhadap kesejahteraan subjektif. Apabila cara mengelola stres benar, maka berdasar penelitian terdahulu akan meningkatkan kesejahteraan subjektif individu
Daftar Pustaka Abraido-Lanza, A.F., Vasquez, E., & Echeverria, S.E. (2004). En las manos dios (in God’s hands): Religious and other forms of coping among latinos with arthritis. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 72, 91-102. Anderson, C.A., Carnagey, N.L., & Eubanks, J. (2003). Exposure to violent media:The effect of songs with violent Lyrics on aggressive thoughts and feelings. Journal of Personality and Social Psychology, 84, 960-971. Argyle, M. (2001). The Psycholog y of Happiness. New York: Taylor & Francis. Oishi, S., Diener, E., Lucas, R.E., & Suh, E.M. 1999. Cross cultural variations in predictors of life satisfaction: Perspective from needs and values.Personality and Social Psychology Bulletin, 25, 980-990. Boven, L.V., & Gilovich, T. (2003). To do or to have? That is the question. Journal Personality and Social Psychology, 85, 1193-1202. Buss, D.M. (2000). The evolution of happiness, American Psychologist, 55, 15-23. Csikszentmihalyi, M. (1999). If we are so rich, why aren’t we happy? American Diener, E. 2000. Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55, 34-43. Diener, E. & Scollon, C. (2003). Subjective well being is desirable, but not the summun bonum. Paper delivered at the University of Minnesota interdisciplinary Workshop on Well-Being, October 23 - 25, 2003, Minneapolis.
\ 144[ [
HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (2003). Counting blessings versus burdens:An experimental investigation of gratitude and subjective well-being indaily life. Journal of Personality and Social Psychology, 84, 377-389. Hagerty, M. R. (2000). Social comparisons of income in one’s community: evidence from national surveys of income and happiness. Journal of Personality and Social Psychology, 78, 764-771. Haidt, J. (2003). Elevation and the positive psychology of morality. In C. L. M. Haidt, J. & Keltner, D. (2003). Awe/ Responsiveness to Beauty and Excellence. In C. Peterson and M. E. P. Seligman (Eds.) The VIA taxonomy of strengths.Cincinnati, OH: Values In Action Institute. Keltner, D., & Haidt, J. (2003). Approacing awe, a moral, spiritual, and aesthetic emotion. Cognition and Emotion, 17, 297-314. Koenig, H.G., Hays, J.C., Larson, D.B., George, L.K., Cohen, H.J., McCullough ,M., Meador, K., & Blaze, D.G. (1999). Does religious attendance prolong 259 survival?: A six-year follow-up study of 3,968 older adults. Journal of Gerontology, 54, 370-377. Lyubomirsky, S. (2001). Why Are Some People Happier Than Others?: The Role of Cognitive and Motivational Processes in Well-Being. American Psychologist, 56, 122-161. Menurut lyubo, orang yang lebihbagagia memiliki cognitive structuring lebih dibanding yang tidak McCullough, M. E., Emmons, R. A., & Tsang, J. (2002). The grateful disposition: A conceptual and empirical topography. Journal of Personality and Social Psychology, 82, 112-127.
McCullough, M. E., Tsang, J., & Emmons, R. A. (2004). Gratitude in intermediate affective terrain: Links of grateful moods to individual differences and daily emotional experience. Journal of Personality and Social Psychology, 86,295-309. McCullough, M.E., Kilpatrick, S.D., Emmons, R.A., & Larson, D.B. (2001b). Is gratitude a moral affect? Psychological Bulletin, 127 , 249-266. Myers, D.G. (2000). Funds, friends, and faith of happy people. American Psychologist, 55, 56-67 Myers, D.G. (2003). Social Psychology. Boston: McGraw-Hill. Myers, D. G. 2004 in press. American Paradox. New York: Worth publishers. Oishi, S., Diener, E., Lucas, R.E., & Suh, E.M. (1999). Cross cultural variations in predictors of life satisfaction: Perspective from needs and values.Personality and Social Psychology Bulletin, 25, 980-990. Seligman, M.E.P. (2002). Progress Report. Retrieved from www.positivepsychology.org. Seligman, M.E.P. (2006). Positive Psychology, Positive Prevention, and Positive Therapy. pp 3-12 in The Handbook of Positive Psychology eds. Snyder, C.R., Lopez, S.J.. Oxford: Oxford University Press Ltd. Snyder C.R. (2002) The Handbook of Positive Psychology. Oxford: Oxford University Press Ltd. Sharon Judkins, Christy Massey, Burlean Huff. Hardiness, Stress, and Use of IllTime Among Nurse Managers: Is There a Connection? Nursing Economics. Pitman:Jul/Aug 2006. Vol. 24, Iss. 4, p. 187-192 (6 pp.)
Peran Stres Management ........ (AM. Diponegoro)
\ 145[ [