PERAN SERTA PUSTAKAWAN DALAM MENDUKUNG METODE DAN SISTEM PEMBELAJARAN SERTA BAGAIMANA MENINGKATKAN PROFESIONALISMENYA1 Oleh : Tarkus Suganda Gurubesar Fitopatologi dan Pemerhati Perpustakaan Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor 45363
[email protected]
1. Pendahuluan ....................................................................................................................... 1 2. Perubahan Peran Perpustakaan dan Pustakawan ............................................................... 2 3. Model Kolaborasi Pustakawan Dengan Dosen dan Peneliti .............................................. 4 3.1 Kolaborasi Dalam Bidang Pembelajaran ...................................................................... 4 3.2 Kolaborasi Dalam Bidang Riset .................................................................................... 4 4. Sistem dan Metode Pembelajaran Kaitannya dengan Tugas Pustakawan ......................... 5 4.1 Bagaimana dengan Informasi Berbasis Web? .............................................................. 6 4.2 Pustakawan Sebagai Periset ......................................................................................... 7 5. Bagaimana Menjadi Pustakawan Profesional (Dengan Segala Keterbatasan)? .................. 8 5.1 Belajar mengunduh dan mengelola kepustakaan layak akademik ............................... 8 5.2 Belajar menggunakan piranti lunak manajemen kepustakaan ..................................... 9 5.3 Belajar melakukan riset terkait kepuasan dan harapan pengguna ............................... 9 5.4 Memulai kontak dan berinisiatif menjalin kerjasama dengan dosen dan periset ......... 9 6. Penutup .............................................................................................................................. 9 7. Daftar Pustaka .................................................................................................................. 10
1. Pendahuluan Tentang perpustakaan, peribahasa mengatakan bahwa “perpustakaan adalah jantungnya suatu perguruan tinggi”. Perpustakaan pendidikan di perguruan tinggi Amerika Serikat dimulai ketika John Harvard menyumbangkan 300 bukunya ke Harvard University. Perpustakaan pendidikan dibentuk sejalan dengan ditetapkannya kurikulum pendidikan, yang memerlukan adanya buku bacaan pendukung penjelasan yang diberikan dosen di dalam kelas (Weiner, 2005). Perpustakaan pendidikan dianggap sebagai cermin dari suatu institusi pendidikan. Kemajuan perkembangan suatu institusi pendidikan dapat dilihat dari pertumbuhan, asimilasi dan diversifikasi perpustakaannya (Shitflett, 1994).
1 Makalah disajikan dalam diskusi Forum Pustakawan Unpad, Fakultas Pertanian, Kamis 14 April 2016
1
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada awalnya, perpustakaan pendidikan memang ditujukan sebagai pelengkap dari proses pendidikan di perguruan tinggi, sehingga isinya adalah buku-buku teks yang berkaitan dengan materi ajar yang disampaikan dalam kurikulum pendidikan. Baru setelah perguruan tinggi melaksanakan riset selain pendidikan (pengajaran), pada akhir abad ke-19, perpustakaan di perguruan tinggi mengubah perannya menjadi tempat menyimpan dokumen hasil-hasil riset yang dipicu oleh publikasi Darwin berjudul “Origin of the Species” (Weiner, 2005). Sejak itu, fungsi perpustakaan bagi perguruan tinggi menjadi semakin penting, dikarenakan riset mewajibkan adanya studi kepustakaan terhadap pengetahuan yang sudah terdokumentasikan sebelumnya. Dengan demikian, sesuai sejarah pembentukannya, fungsi perpustakaan adalah “tempat menyimpan dan memelihara” koleksi kepustakaan berupa buku teks dan publikasi hasil riset, sehingga pustakawan dapat dikatakan sebagai seseorang yang bertugas mencatat, kodifikasi (berdasarkan metode Dewey), dan memelihara pustaka-pustaka yang ada.
2. Perubahan Peran Perpustakaan dan Pustakawan Seiring dengan semakin berkembangnya pendidikan dan riset, peran perpustakaan juga menjadi semakin penting. Hal ini tergambar dari ucapan Dr. Shankar Dayal, salah seorang mantan Presiden India yang mengatakan bahwa sebuah perpustakaan lebih penting dibandingkan dengan sebuah perguruan tinggi, karena perpustakaan dapat berfungsi tanpa adanya perguruan tinggi, sementara perguruan tinggi tidak akan dapat berfungsi tanpa sebuah perpustakaan (http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/20017/11/11_ch%204.pdf). Tujuan utama dari sebuah perpustakaan bagi perguruan tinggi adalah melayani secara efisien seluruh sivitas akademika di perguruan tinggi tersebut terhadap kebutuhan akan informasi, baik dalam bidang pendidikan maupun riset (aktivitas akademik). Oleh karena itu, peran perpustakaan saat ini, terutama dengan adanya teknologi informasi, berubah menjadi: 1. Tempat mengakses internet dan komputer 2. Tempat penyimpanan buku-buku langka 3. Tempat layanan jasa informasi 4. Tempat pendigitalisasian manuskript 5. Tempat layanan jasa peminjaman antar perpustakaan Dengan berubahnya fungsi sebuah perpustakaan bagi sebuah institusi perguruan tinggi, maka peran seorang pustakawan juga berubah. Oleh karena tujuan utama perpustakaan adalah melayani pemangku kepentingannya, maka sudah otomatis tugas utama seorang pustakawan adalah menjadikan perpustakaannya dapat menjalankan fungsi pelayanannya dengan sebaik-baiknya. Artinya, paradigma lama bahwa seorang pustakawan tugasnya hanya mencatat, memberikan kodifikasi dan memelihara koleksi kepustakaan, juga ikut berubah. Di perguruan tinggi luar negeri, seorang pustakawan ditempatkan sebagai seorang professional yang harus memiliki pendidikan khusus. Ia disetarakan dengan seorang dosen, yang harus memiliki keterampilan melaksanakan Tridharma. Pustakawan di luar negeri harus
2
melakukan riset, mengajar mahasiswa (bahkan juga kalau perlu mengajar dosen) tentang strategi dan teknik mengakses informasi, dan sesuai tupoksinya, harus melakukan pelayanan kepada kliennya, yaitu pengguna jasa perpustakaan. Perpustakaan sejatinya diadakan untuk mendukung misi institusi dalam menghasilkan pengetahuan dan manusia yang dibekali dengan pengetahuan untuk melayani masyarakat dan kemajuan kehidupan manusia. Fungsi utama sebuah perpustakaan kampus adalah mendukung misi, visi, dan tujuan universitas (Jain, 2013). Jain (2013) juga meringkas bagaimana perbedaan perpustakaan antara perpustakaan tradisional dengan perpustakaan Abad XXI, sebagai berikut:
No 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Perpustakaan Tradisional
Perpustakaan Abad XXI
Kepustakaan berasal dai katalog penerbit
Permintaan pengguna melalui jurnal berlangganan, promosi penerbit dan jurnal akses bebas (open access) Koleksinya terutama buku dan jurnal Online database, multimedia Pustakawan bekerja sebagai spesialis Pustakawan sebagai penghubungan koleksi buku dosen Manajemen informasi berbasis ruang Internet – tidak terbatas oleh ruang dan perpustakaan waktu Informasi dan aksesnya terbatas Sangat banyak dan hampir tidak terbatas Sistem peminjaman antar perpustakaan Peminjaman menggunakan elektronik secara manual Sangat tergantung kepada sumber Sangat tergantung kepada format tercetak elektronik dan digital Pelayanan hanya selama jam kantor Sering berupa 24/7 (24 jam 7 hari seminggu) Menggunakan katalog kartu untuk OPAC (Online Public Access mencari informasi Catalogue) Meja pelayanan tradisional 24/7 online dan pelayanan virtual Pengkatalogan tradisional Rseource Description and Access Perpustakaan merupakan ruang baca yang Informasi, pengetahuan, digital untuk tenang membuat pembelajaran Pengguna perpustakaan mudah mencari Perpustakaan menggunakan berbagai informasi jenis aktivitas Bujet umumnya untuk beli buku dan jurnal Membeli e-resources Pencarian menggunakan pustakawan Berbasis web Jurnal tercetak e-journal dan OAJ Koleksi berupa buku, seri, dan literatur Berbentuk digital Pustakawan sbg pencatat, pemelihara dan Pustakawan sebagai pendukung pelayan pelanggan pendidikan Informasi koleksi melalui brosur dan daftar Website koleksi
3
3. Model Kolaborasi Pustakawan Dengan Dosen dan Peneliti Dengan adanya perubahan peran dan fungsi perpustakaan yang berimbas kepada perubahan tugas dan fungsi pustakawannya, yaitu bahwa pustakawan dapat dianggap mitra bagi dosen (dalam menunjang proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang diinginkan) dan periset (dalam menunjang kepustakaan pendukung riset), maka terdapat beberapa model kolaborasi antara pustakawan dengan dosen dan periset.
3.1 Kolaborasi Dalam Bidang Pembelajaran Menurut Montiel-Overall (2005) ada empat model kolaborasi antara dosen dengan pustakawan dalam bidang pembelajaran, yaitu : A. Model Koordinasi Dalam model ini, dosen dan pustakawan berkoordinasi dalam menyelenggarakan suatu kegiatan, misalnya tentang pengenalan tugas dan fungsi perpustakaan agar mahasiswa mengenal lokasi, fungsi dan berbagai jenis layanan yang diberikan oleh perpustakaan, dalam kaitannya dengan proses pembelajaran. B. Model Kooperasi (Kerjasama) Dalam model ini, dosen berkoordinasi dengan pustakawan dalam menyediakan kepustakaan yang diperlukan untuk suatu mata kuliah tertentu. Biasanya dosen menyerahkan daftar kepustakaan (buku atau artikel jurnal) untuk disiapkan di perpustakaan – dinamakan sebagai reserved. Dosen kemudian menginformasikan kepada mahasiswa bahwa kepustakaan yang diperlukan sudah disediakan di perpustakaan, sehingga ketika mahasiswa mengunjungi perpustakaan, pustakawan sudah siap dengan kepustakaan yang dimaksud. C. Model Pembelajaran Terintegrasi Dalam model ini, sebagian dari materi pembelajaran dilaksanakan oleh pustakawan, baik dalam jam pertemuan rutin atau dianggap sebagai sebuah kegiatan praktikum. Sebagai contoh, dalam materi perkuliahan, dosen mewajibkan mahasiswa menulis makalah yang didukung oleh kepustakaan. Dosen dapat saja mengambil satu kali tatap muka untuk menjelaskan kepada mahasiswa bagaimana caranya mengakses informasi dengan baik dan benar. Tetapi, penjelasan tentang materi ini, dapat juga dilakukan oleh pustakawan, sementara dosen lebih fokus ke pembahasan materi ajarnya. D. Model Kurikulum Terintegrasi Model kurikulum terintegrasi adalah jika peranan dan fungsi pustakawan dalam menunjang pembelajaran dijadikan salah satu mata kuliah yang terintegrasi kedalam kurikulum secara resmi.
3.2 Kolaborasi Dalam Bidang Riset Sedangkan bentuk kolaborasi antara periset dengan pustakawan dapat berbentuk permintaan dari periset kepada pustakawan untuk membantu mencarikan dan mengompilasi kepustakaan tentang topik risetnya. Untuk keperluan penulisan proposal riset, dibutuhkan adanya kajian pustaka untuk mendukung keabsahan suatu riset. Demikian pula untuk
4
pembahasan hasil riset. Pustakawan juga sangat berperan bagi periset untuk mencarikan jurnal-jurnal yang sesuai dan memenuhi kaidah publikasi ilmiah sebagai tempat bagi periset untuk mempublikasikan hasil risetnya. Selain itu, pustakawan juga dapat membantu penyebarluasan hasil riset, baik untuk keperluan penyebarluasan ilmu pengetahuan maupun sebagai pemasaran kinerja si periset.
4. Sistem dan Metode Pembelajaran Kaitannya dengan Tugas Pustakawan Sebagaimana sudah disampaikan, pustakawan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan kualitas pembelajaran dosen dalam mencapai kompetensi yang ingin dicapai oleh pembelajaran tersebut. Di masa lalu pembelajaran berlangsung terisolasi. Dosen mengajar di kelas dan materi yang diajarkan dosen dianggap sudah memenuhi kebutuhan mahasiswa untuk menguasai materi ajar tersebut. Dosen juga dianggap secara otomatis menguasai semua hal, dari kegiatan mencari bahan ajar sampai ke stategi, prinsip atau metode pembelajarannya, sehingga dosen dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi. Namun perubahan hidup di Abad XXI yang semakin kompleks, menuntut pembelajaran tidak lagi sebagaimana yang dipaparkan di atas. Dosen bukan lagi merupakan sumber informasi satu-satunya tentang materi ajar. Selain itu, tatap muka antara mahasiswa dan dosen di kelas sangat terbatas waktunya, sehingga tidaklah mungkin bagi seorang dosen dapat memaparkan secara jelas seluruh materi ajar di kelas. Diperlukan kesempatan tambahan bagi mahasiswa untuk mencari informasi tambahan sebagai pelengkap dan pemerkaya pemahamannya tentang materi ajar tersebut. Perpustakaan merupakan tempat yang tepat untuk keperluan tersebut. Namun, satu hal yang perlu difahami adalah perpustakaan diperlukan jika dosen menerapkan system pembelajaran yang mengharuskan mahasiswa menambah wawasan atau kedalaman pemahamannya di luar jam kuliah. Jika dosen hanya mengujikan materi yang diberikannya di ruang kuliah, mahasiswa tidak akan merasa membutuhkan jasa layanan perpustakaan. Adanya perubahan paradigma pembelajaran dari teacher-centered learning atau TCL (dosen sebagai satu-satunya sumber informasi) menjadi student-centered learning atau SCL, yaitu pembelajaran yang menuntut mahasiswa sebagai fihak yang aktif dalam pembelajaran, akan menempatkan pustakawan menjadi mitra dalam proses pembelajaran. Dalam SCL, mahasiswa harus dapat mencari bacaan-bacaan yang berkaitan dengan materi ajar sebelum mahasiswa masuk ke ruang kelas. Kelas hanya menjadi ajang diskusi, dan peran dosen akan lebih sebagai mentor serta fasilitator dan verifikator proses pembelajaran. Pada sistem pembelajaran TCL, semua informasi tentang materi ajar dikumpulkan oleh dosen. Sistem ini banyak memiliki keterbatasan : a. Waktu tatap muka sangat terbatas; b. Dosen hanya menyampaikan point-point pentingnya saja, sementara konteksnya dalam kehidupan atau kaitannya dengan ilmu lain sangat kurang; c. Keterikatan mahasiswa (student engagement) terhadap materi ajar, umumnya hanya seminggu sekali. Dengan metode ini, mahasiswa hanya belajar dari catatan dosen. Hal ini lebih parah lagi jika dosen tidak memberikan tugas terstruktur yang harus dikerjakan mahasiswa sebagai
5
pekerjaan rumah. Kalaupun ada dosen yang memberikan penugasan kepada mahasiswa untuk, katakanlah membuat makalah yang didukung oleh kepustakaan, pada umumnya dosen tidak memberikan pelatihan tentang bagaimana mencari kepustakaan yang baik dan layak secara akademik. Tidak heran jika kemudian makalah yang dibuat mahasiswa kualitasnya sangat rendah secara akademik. Penulis, menyadari keterbatasan ini, selalu menghabiskan 1 x tatap muka untuk melatih mahasiswa tentang melek informasi (information literacy) terutama berbasis internet. Namun upaya ini masih kurang maksimal karena jumlah mahasiswa yang cukup banyak sementara waktu sedikit. Jika pustakawan dapat mengambil alih tugas ini, maka akan terjadi kolaborasi yang sangat baik antar dosen dengan pustakawan, sehingga pustakawan menjadi bagian integral dari proses pembelajaran. Sementara itu, dalam pembelajaran metode SCL, aktivitas kelas terdiri atas bermacam-macam kegiatan, di antaranya adalah perkualiahan, perkuliahan dan diskusi, brainstorming, panel pakar, penggunaan film, diskusi kelas, studi kasus, role play, survei, dll. Jelas sekali bahwa dalam metode SCL, materi ajar yang diberikan dosen memerlukan informasi tambahan yang harus diperoleh dari luar kelas, salah satunya dari perpustakaan. Dengan demikian, dalam sistem pembelajaran SCL, pelibatan perpustakaan sebenarnya merupakan suatu keharusan. Hasil sudi yang dilakukan oleh Soria et al., (2013) menunjukkan bahwa IPK rata-rata mahasiswa semester I yang menggunakan jasa perpustakaan paling tidak sekali dalam 1 semester adalah 3,18 sementara IPK mahasiswa yang tidak menggunakan jasa perpustakaan hanya 2,98.
4.1 Bagaimana dengan Informasi Berbasis Web? Tidak dapat dipungkiri bahwa kini mahasiswa (maupun dosen) lebih cenderung memanfaatkan informasi yang diperoleh dari web, contohnya dengan bantuan mesin pencari Google. Pencarian informasi melalui Google, atau dikenal sebagai ‘googling’ bahkan sudah dianggap setara dengan riset kepustakaan (Mostafa, 2005). Statistik hasil study menunjukkan bahwa Google sudah menjadi pilihan dosen dan mahasiswa untuk kebutuhan riset mereka dibandingkan penggunaan katalog dan sitasi pangkalan data (database) yang ada di perpustakaan (Griffiths and Brophy, 2005). Hasil survey yang dilaporkan oleh OCLC (2005) menunjukkan bahwa 89% pencarian informasi oleh mahasiswa dilakukan melalui mesin pencari berbasis internet dan 68% diantaranya dilakukan melalui Google. Di Indonesia sendiri, contohnya Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset, termasuk Universitas Padjadjaran, telah menyediakan beberapa pangkalan data (contohnya Ebsco, Pubmed, dll) yang berlangganan sangat mahal, termasuk pangkalan data Garuda, tetapi tingkat pengaksesannya sangat rendah. Penulis sendiri juga lebih menyukai Google. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, cukup ribet untuk dapat mengakses pangkalan data, karena seseorang harus terdaftar sebagai anggota, melalui proses login, dan juga tidak selalu informasi yang kita inginkan tersedia. Sering, walaupun ada hanya berupa abstraknya saja. Kedua, akses ke pangkalan data sering hanya dapat dilakukan kalau tersambung secara online ke internet institusi, menjadikannya hambatan jika ingin mengakses dari luar kampus. Jika harus mengakses dari perpustakaan (kalau seandainya semua perpustakaan terkoneksi ke pangkalan data tersebut), jam pelayanan perpustakaan juga dibatasi oleh jam kerja pustakawannya. Data yang dipaparkan diatas memang merupakan fakta yang menunjukkan menurunnya peranan pustakawan dan perpustakaan sebagai penyedia informasi. Namun
6
ada sisi yang dapat dimanfaatkan oleh pustakawan dalam perannya sebagai penyedia layanan informasi akademik. Satu hal yang harus diketahui adalah bahwa informasi yang ada di internet, yang diperoleh dengan cara googling, tidak semuanya memenuhi kaidah layak akademik. Hal ini lah yang belum atau tidak diketahui oleh kebanyakan mahasiswa bahkan oleh dosen. Karena kebelumtahuannya, belum banyak dosen yang menjelaskan kepada mahasiswanya persyaratan layak akademik dari suatu informasi yang diambil dari internet. Wikipedia, contohnya. Untuk keperluan akademik, Wikipedia belum dikategorikan layak akademik, karena dalam Wikipedia masih disediakan fasilitas ‘edit’, artinya informasinya belum dianggap benar. Demikian juga informasi yang berasal dari blog. Ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi jika suatu informasi dapat dianggap layak akademik. Disinilah pustakawan dapat memainkan peranannya, untuk menjelaskan dan melatih cara mencari kepustakaan layak akademik dari internet, dan bahkan dapat menyediakan jasa pencarian kepustakaan yang layak akademik. Pustakawan juga dapat memberikan pelatihan manajemen kepustakaan, contohnya menggunakan Ednote, Mendeley, dll. Tentunya dengan syarat pustakawannya sendiri memang telah menguasai keterampilan-keterampilan tersebut.
4.2 Pustakawan Sebagai Periset Jabatan seorang pustakawan sekarang dikategorikan sebagai tenaga fungsional, yang sebagaiamana sudah dikemukakan diatas, memiliki tugas berupa tridharma, yaitu pengajaran, penelitian (riset) dan pelayanan kepada pengguna (sebagai ganti dari pengabdian kepada masyarakat dalam Tridharmanya dosen). Sebagai tenaga fungsional seharusnya, sebagaimana dosen, seorang pustakawan harus memenuhi semua unsur untuk mengajukan kenaikan jabatannya. Pertanyaannya, riset seperti apa yang dapat dilakukan oleh pustakawan? Eldredge (2004), menyatakan bahwa pustakawan pada saat ini bukan hanya dapat, tetapi juga dituntut untuk dapat melakukan riset dalam bidang kepustakaan. Dalam makalahnya, Eldredge memaparkan bahwa terdapat banyak sekali metode riset yang dapat dipilih oleh pustakawan, a.l. studi kasus, analisis, biografi, audit, bibiomining (penggalian data), analisis sitasi, disain kohort, analisis gap, dll. Lalu mengapa pustakawan harus melakukan riset? Menurut Tenopir (available at http://libraryconnect.elsevier.com/sites/default/files/LC_Tenopir_Librarians_Do_Research_T oo.pdf), beberapa alasan mengapa seorang pustakawan harus melakukan riset dalam bidang kepustakaan, yaitu : a. Untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan b. Karena harus bermitra dengan peneliti c. Bekerjasama dengan pustakawan dari berbagai tempat d. Mengusulkan hibah pembiayaan perpustakaan e. Mendapatkan kum angka kredit sebagai fungsional f. Sebagai prpfesional bidang informasi, pustakawan seyogyanya mampu membantu kliennya melaksanakan riset : mereview literatur, mengumpulkan data, dan menganalisis temuannya. Untuk kepentingan pribadinya, pustakawan harus terus melakukan riset untuk mengetahui: g. Kualitas dan dampak dari pelayanannya h. Menentapkan dan mengukur misi dan rencana perpustakaan
7
i. Mengukur keefektifan sebuah usaha j. Mengukur perubahan lingkungan k. Menambah niai tambah program perpustakaan
5. Bagaimana Menjadi Pustakawan Profesional (Dengan Segala Keterbatasan)?
Telah dipaparkan diatas bahwa seorang pustakawan adalah seorang dengan jabatan fungsional yang bertugas menjadi mitra bagi dosen dalam pembelajaran dan riset, serta sumber informasi bagi pemangku kepentingan (dosen, mahasiswa, publik, dan pimpinan perguruan tinggi). Pustakawan juga harus menguasai dasar pelayanan dan manajemen perpustakaan, memiliki jiwa kepemimpinan dan inovasi, menguasai Bahasa asing, paling tidak Bahasa Inggris, teori penulisan makalah, teknologi informasi, dan banyak lagi. Sayangnya, perhatian dan pemahaman ini belum banyak dimiliki oleh pimpinan perguruan tinggi, bahkan oleh sesame tenaga kependidikan non kepustakaan. Masih banyak yang memandang sebelah mata tentang betapa pentingnya peran seorang pustakawan bagi perkembangan suatu perguruan tinggi. Tidak heran jika seorang pustakawan tiba-tiba dipindahkan ke suatu jabatan yang tidak ada kaitannya dengan hal-ihwal perpustakaan, dan penggantinya adalah tenaga kependidikan yang sama sekali tidak faham tentang perpustakaan. Hal ini tentunya berakibat kepada upaya menjadikan seorang pustakawan menjadi seorang professional. Namun demikian, dengan segala keterbatasan yang ada, bukan berarti seorang pustakawan tidak dapat meningkatkan profesionalitasnya. Dengan mempertimbangkan perubahan paradigm pembelajaran, riset, dan manajerial di atas, berikut adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh seorang pustakawan dalam meningkatkan profesionalismenya dalam memberikan pelayanan informasi kepada yang membutuhkannya.
5.1 Belajar mengunduh dan mengelola kepustakaan layak akademik Salah satu syarat pustaka layak akademik adalah pustaka yang telah diformat PDF, baik artikel jurnal maupun buku teks. Seorang pustakawan harus memiliki target googling artikel PDF, misalnya 20 file per hari. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan Google, dengan memasukan ‘kata pencari” atau “kalimat pencari” yang diakhiri dengan kata PDF. Contoh : “biological control of plant disease PDF”. Cara lain untuk memperoleh akses ke file-file dalam bentuk PDF adalah dengan menggunakan situs (http://www.freefullpdf.com/), yang secara otomatis hanya menghasilkan pustaka-pustaka dalam format PDF. Terdapat berbagai sumber informasi tidak berbayar yang ada dalam internet. Jadi keharusan membayar atau membeli artikel janganlah menjadi hambatan. Jika sekalinya menempukan situs jurnal atau penerbit yang memberikan akses bebas bayar, catatlah alamatnya untuk dikunjungi secara berkala ke depannya untuk mengakses informasi terbarunya. File-file artikel yang terkumpul kemudian dipilah dan dikumpulkan kedalam folder yang sesuai. Hasilnya dapat disosialisasikan kepada klien (dosen, mahasiswa, atau pengunjung umum), bahwa perpustakaan kini memiliki kepustakaan-kepustakaan tersebut.
8
5.2 Belajar menggunakan piranti lunak manajemen kepustakaan Sebagaimana telah disampaikan, terdapat berbagai piranti lunak manajemen kepustakaan, dari yang berbayar (contohnya Endnote - sangat ditentukan oleh kebijakan pimpinan, mau tidaknya menyediakan piranti lunaknya), sampai ke yang gratis (contohnya Mendeley, Colwiz, Zotero, dll). Penulis menyarakan Mendeley sebagai piranti lunak gratisan yang cukup bagus untuk manajemen kepustakaan. Dengan menggunakan Mendeley, kita dapat menyitir kepustakaan yang sudah dimiliki langsung kedalam Microsoft Word serta sekaligus membuat Daftar Pustakanya dalam hitungan detik.
5.3 Belajar melakukan riset terkait kepuasan dan harapan pengguna Sebagaimana sudah disampaikan, tupoksi seorang pustakawan adalah memberikan pelayanan terbaik untuk mendukung pelaksanaan tridharma sivitas akademika dan penyajian data bagi pengambilan keputusan yang akan diambil pimpinan. Metode riset sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan survey secara online (daring). Hal ini sekarang sangat mudah dilakukan dengan menggunakan piranti lunak gratis bernama Survey Monkey (dapat diunduh dari www.surveymonkey.com). Dengan menggunakan piranti lunak ini, kita hanya tinggal membuat daftar pertanyaannya untuk diisi secara daring, dan kita dapat sekaligus memperoleh data hasil survey jika sudah ada responden yang meresponnya.
5.4 Memulai kontak dan berinisiatif menjalin kerjasama dengan dosen dan periset Sudah dipaparkan diatas bahwa pustakawan dapat berperan sebagai mitra bagi dosen dan periset dalam pelaksanaan tridharma. Penulis belum memiliki kesempatan untuk menjelaskan perihal ini kepada para dosen. Namun dalam kesempatan ini, tidak ada salahnya jika pustakawan, baik secara langsung berbicara dengan dosen dan periset maupun melalui pimpinan fakultas atau departemen, untuk menjajagi kerjasama, dalam berbagai model, sebagaimana dipaparkan di atas. Selain itu, untuk menjadi bahan agar dosen dan periset tertarik dengan jasa layanan informasi yang ditawarkan, pustakawan dapat memperlihatkan hasil kerjanya berupa koleksi file-file PDF yang telah berhasil dikumpulkannya. Kegiatan ini juga termasuk salah satu tugas baru seorang pustakawan, yaitu memasarkan hasil kerjanya.
6. Penutup Sebenarnya visi dan misi sebuah perpustakaan pendidikan tidak begitu banyak berubah dari masa ke masa. Perubahan yang signifikan terjadi dalam cara pelayanannya, yaitu lebih ke pemanfaatan teknologi informasi. Perubahan paradigma pembelajaran di era teknologi informasi menggeser fungsi perpustakaan menjadi: a. Tempat mengakses internet dan komputer b. Tempat penyimpanan buku-buku langka c. Tempat layanan jasa informasi d. Tempat pendigitalisasian manuskript e. Tempat layanan jasa peminjaman antar perpustakaan
9
Berdasarkan paparan diatas, pustakawan memiliki peran baru dalam dunia akademik, yaitu Menurut Abels et al., (2003), seorang pustakawan di Abad XXI harus memiliki kompetensi profesional informasi, yang terdiri atas keterampilan: a. mengelola organisasi informasi b. mengelola sumberdaya informasi c. mengelola pelayanan informasi d. menerapkan alat dan teknologi informasi Di Indonesia, terutama di Unpad, semua orang hampir sepakat bahwa perpustakaan dan pustakawan memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan akademik dan manajerial, namun belum direfleksikan dalam bentuk tindakan nyata. Perhatian untuk meningkatkan peran dan fungsi pustakawan dan perpustakaan belum dibuktikan dengan penyiapan tenaga pustakawan yang professional. Namun dengan segala keterbatasan yang ada, masih banyak cara untuk meningkatkan profesionalitas pustakawan, selama masih ada kemauan yang kuat untuk meningkatkan kemampuan dalam diri seorang pustakawan. Sebagaimana seorang dosen, seorang pustakawan harus dapat mendukung kecendikiaan sambil dirinya sendiri harus menjadi seorang cendikia. Untuk dapat mendukung mahasiswa dalam pembelajaran, seorang pustakawan harus terlebih dahulu menjadi seorang pembelajar. Untuk itu, sebagaimana dikemukakan oleh Maltaouthong et al., (2012), mengingat sangat pentingnya peranan pustakawan sebagai ukuran kemajuan sebuah universitas, maka pimpinan universitas harus memberikan pelatihan kepada para pustakawan agar secara efektif dapat mengajar dan mengorganisasi aktivitas untuk mempromosikan pengetahuan dan pemahaman tentang melek informasi bagi dosen dan mahasiswa.
7. Daftar Pustaka Canadian Association of research Libraries. 2010. Core Competencies for 21st Century CARL Librarians. Dickerson, D. 2006. How academic libraries help faculty teach and students learn, the 2005 Colorado Academic Library Impact Study. Library Research Service. Colorado Department of Education. Georgas, H. 2013. Google vs. the library: student preferences and perceptions when doing research using Google and Federated Search Tool. Libraries and the Academy 13(2):165-185. Griffiths, JR and Brophy, P. 2005. Student searching behavior and the Web: Use of academic resources and Google, Library Trends 53(4): 539–55. Jain, P. (2013). A paradigm shift in the 21st century academic libraries and librarians: prospectus and opportunities. European Journal of Academic Research, 1(3):133147. Maltaouthong, T, Tumasuk, K, and Tachamanee, Y. 2012. The roles of university libraries in supporting the integration of information literacy in the course instruction. Malaysian Journal of Library & Information Science 17(1):51-64. Montiel-Overall, P. 2005. A theoretical understandingof teacher and librarian collaboration (TLC). School Libraries Worldwide 11(2):24-28.
10
Mostafa, J. 2005. Seeking better Web searches, Scientific American, volume 292, number 2, pp. 67–73.http://dx.doi.org/10.1038/scientificamerican0205-66. OCLC, 2005. Perceptions of libraries and information resources, Dublin, Ohio: OCLC, at http://www.oclc.org/reports/2005perceptions.htm, accessed 12 March 2009. Parkes, D. 2013. Future librarians, future skills: skilling librarians for the 21st century. SCONUL Focus 58:37-38. Schonfeld, R and Guthrie, K. 2006. Survey of U.S. higher education faculty attitudes and behaviors. New York: Ithaka, athttp://dx.doi.org/10.3886/ICPSR22700, accessed 10 April 2016. Shiflett, OL. 1994. Academic libraries. In Encyclopedia of Library History, edited by J. Wayne A. Wiegand and Donald G. Davis. New York: Garland. Soria, KM, Fransen, J, and Nackerud, S. 2013. Library use and undergraduate student coutcomes: new evidence for students’ retention and academic success.Libraries and teh Academy 13(2):147-164. Weiner, SG. 2005. The history of academic libraries in the United States: a review of the literature. Library Philosophy and Practice 7(2). Available at http://www.webpages.uidaho.edu/~mbolin/weiner.html.
-tsg-
11