PERAN SEKTOR KEHUTANAN DI INDONESIA DALAM PERUBAHAN IKLIM Role of Forestry Sector in Indonesia on Climate Change Ari Wibowo1) dan/and Rufi'ie2) 1)
Pusat Litbang Hutan Tanaman Kampus Balitbang, Jl. Gunung Batu No. 5, PO Box 331, Bogor 16610 Telp. 0251-7520005 Fax. 0251-7520005, E-mail :
[email protected] 2) Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta Jl. Palagan Tentara Pelajara Km 15, Purwobinangun, Sleman, Yogyakarta Telp. 0274-895954, Fax. 0274 896080 Naskah masuk : 23 Mei 2008 ; Naskah diterima : 27 September 2008
ABSTRACT Climate change occurs due to the increase of green house gasses (GHGs) concentration namely CO2, CH4, N2O, HFC, PFC and SF6 in the atmosphere. The GHGs emission is produced mainly from the process of development and industry that use fossil fuel as well as the activities of land use, land use change and forestry. For global level, study by Stern (2007) showed that the highest source of emission originated from energy sector including electrical power plant, 24 %, industry, 14 %, transportation 14 %, construction 8 % and other energy sources 5 %. Emission from non-energy sector consisted of forestry, 18 %, agriculture 14 % and waste 3 %. In Indonesia, according to The First National Communication (1999), forestry sector contributed the highest emission or about 72 % of total GHGs emission. In Indonesia, forest area that cover 137 million ha or 60 % of total area of Indonesia has been providing tangible and intangible benefits that include wood and non woof forest products, and intangible benefits such as micro-climate, hydrological function, soil fertility and source of biodiversity. In the context of climate change, forestry has contibution as source of emission and sink of carbon. Deforestation and degradation will increase source of emission meanwhile afforestation, reforestation, other planting activities and forest conservation will increase sink of carbon. Mitigation of climate change for forestry sector is therefore directed for the activities to increase sink and to reduce source. Keywords: Climate change, forestry sector, green house gasses, mitigation
ABSTRAK Perubahan iklim terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yaitu CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6 di atmosfer. Emisi GRK dihasilkan terutama dari proses pembangunan dan industri yang menggunakan bahan bakar fosil serta kegiatan perubahan penggunaan lahan dan kehutanan. Pada tingkat global hasil kajian Stern (2007) menunjukkan hasil sumber emisi terbesar berasal dari sektor eneri termasuk pembangkit listik, 24 %, industri, 14 %, transportasi, 14 %,konstruksi 8 % dan sumber energi lainnya 5 %. Emisi dari sektor non-energi terdiri dari kehutanan, 18 %, pertanian 14 % dan limbah 3 %. Di Indonesia, menurut The First National Communication (1999), sektor kehutanan dan perubahan lahan berkontribusi terbesar terhadap emisi atau sekitar 72 % dari total emisi GRK. Di Indonesia, kawasan hutan yang mencapai luas 137 juta ha atau 60 % dari luas total daratan Indonesia telah memberikan manfaat yang dapat dihitung termasuk kayu dan hasil hutan bukan kayu, serta manfaat yang tidak dapat dihitung seperti fungsi iklim mikro, hidrologi, kesuburan tanah serta sumber keanekaragaman hayati. Di dalam konteks perubahan iklim, sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai sumber emisi juga sebagai penyerap karbon. Deforestasi dan
23
Tekno Hutan Tanaman Vol.1 No.1, November 2008, 23 - 32
degradasi akan meningkatkan emisi sementara aforestasi, reforestasi, kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan akan meningkatkan serapan karbon. Mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan oleh sebab itu diarahkan kepada kegiatan untuk meningkatkan serapan karbon dan mengurangi sumber emisi. Kata Kunci: Perubahan iklim, sektor kehutanan, gas rumah kaca, mitigasi
I. PENDAHULUAN
Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Saat ini perubahan iklim telah menimbulkan bencana baru bagi manusia. Musim kemarau yang semakin panjang serta musim penghujan yang relatif pendek dengan intensitas hujan yang tinggi merupakan bukti nyata adanya perubahan iklim. Hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, pemanasan muka laut serta banjir dan longsor. Berbagai studi menyebutkan bahwa negara berkembang yang akan paling menderita karena tidak mampu membangun struktur untuk beradaptasi, walaupun dampak perubahan iklim juga dirasakan negara maju (IPCC, 2006; Stern, 2007). Perubahan iklim ini terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yaitu CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6 di atmosfer. Peningkatan emisi diakibatkan oleh proses pembangunan dan industri berbahan bakar migas (BBM) yang semakin meningkat dan kegiatan penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (LULUCF = Land Use, Land Use Change and Forestry yang sekarang disebut sebagai AFOLU = Agriculture, Forestry and Land Use). Hasil studi oleh Stern (2007) untuk tingkat dunia, menunjukkan sumber emisi terbesar berasal dari sektor energi yaitu pembangkit listrik 24 %, industri 14 %, transportasi 14 %, konstruksi 8 % dan sumber energi lain 5 %. Emisi dari sektor non energi yaitu perubahan lahan termasuk kehutanan 18 %, pertanian 14 % dan limbah 3 %. Di Indonesia, sektor kehutanan mengemisi gas rumah kaca yang cukup besar, sekitar 72 % emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari sektor LULUCF (Indonesia: The First National Communication, 1999). Bahkan hasil review Peace (2007) menyebutkan emisi GRK dari sektor kehutanan sebesar 85 % dari total emisi GRK, meskipun hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut melalui hasil inventarisasi GRK. Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 137 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia (Departemen Kehutanan, 2007). Hutan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan manusia saat ini dan di masa yang akan datang. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan sink. Tulisan ini memberikan gambaran kondisi umum kehutanan di Indonesia dan perannya terhadap perubahan iklim, sebagai isu penting di dunia yang memerlukan kontribusi semua pihak untuk mengatasinya.
II. KONDISI DAN UPAYA PELESTARIAN HUTAN DI INDONESIA
2.1. Kondisi Hutan Indonesia 2.1.1. Luas dan Tipe Hutan Indonesia adalah negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil and Zaire, yaitu seluas 137 juta hektar, yang meliputi 10% dari total hutan tropis di dunia. Hutan mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global. Dalam tataran global, keanekaragaman hayati
24
Peran sektor kehutanan di Indonesia dalam perubahan iklim Ari Wibowo dan Rufi'ie
Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah Columbia sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Di Indonesia luas hutan meliputi 60 % dari luas seluruh wilayah Indonesia. Hutan di Indonesia memiliki peranan yang penting, tidak hanya sebagai sumber pembangunan ekonomi dan sumber kehidupan masyarakat, tetapi juga sebagai pemelihara lingkungan global. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki mega diversity dan memiliki lahan gambut yang sangat luas. Luas hutan menurut fungsinya tersaji pada Tabel 1. Tabel (Table) 1 Luas hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya (Forest area in Indonesia according to the function) (Sumber /Source : Departemen Kehutanan 2007)
No 1 2 3 4 5
Fungsi Hutan/Forest Function Kawasan suaka alam + Kawasan Pelestarian Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi Jumlah
Luas/Area (Ha) 23 537 832 31 604 032 22 502 724 36 649 918 22 795 961 137 090 468
Berdasarkan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan dibagi ke dalam kelompok hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi dengan pengertian sebagai berikut: Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan Konservasi terdiri dari: Kawasan suaka alam berupa cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM), kawasan pelestarian alam berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (THR) dan Taman Wisata Alam (TWA); serta Taman Buru. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK). Berdasarkan ekosistemnya hutan di Indonesia dibagi dalam kategori sebagai berikut : Hutan hujan dataran rendah : Jenis hutan ini banyak ditemukan di bagian barat Indonesia, Sumatera dan Kalimantan yang dicirikan dengan curah hujan tinggi, pada dataran rendah. Jenis tanah podsolik, latosol dan aluvial. Jenis pohonnya antara lain : Shorea spp, Eusideroxylon zwagery, Pometia pinnata, Intsia bijuga, Agathis spp., Pterocarpus indicus, Octomeles sumatrana, Diospyros celebica, dan jenis lainnya. Hutan rawa: Dijumpai di dekat muara sungai, sering tergenang air dan kaya bahan organik. Jenis tanah Gley humus, dan aluvial. Jenis penting: Alstonia pneumatopora, Campnosperma macrohylla, Dyera lowii, Palaquium leiocarpum, Shorea balangeran, dan Lophopetalum multinervium. Hutan rawa gambut: Jenis tanah tanah gambut yang kaya bahan organik ketebalan 1 - 20 m. Tanah tergenang air gambut berwarna coklat kekuningan. Jenis tanah organosol, dengan jenis pohon penting yaitu ramin (Gonystylus bancanus). Hutan rawa gambut menyimpan cadangan karbon yang besar pada tanah dan tegakan. Hutan mangrove atau bakau: Ditemukan pada tanah aluvial berpasir di tepi pantai dan dipengaruhi oleh air laut/payau. Jenis yang penting antara lain Avicenia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp. Ceriops tagal dan Xylocarpus granatum. Hutan hujan dataran tinggi : Hutan yang berada pada ketinggian 500 - 1000 m di atas permukan laut. Jenis tanah latosol, podsolik atau litosol dan iklim basah. Jenis penting diantaranya Quercus spp., Agathis damara, Altingia exelsa dan jenis lain.
25
Tekno Hutan Tanaman Vol.1 No.1, November 2008, 23 - 32
2.1.2. Sumbangan Sektor Kehutanan terhadap Pembangunan Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. BPS (2000) menunjukkan devisa sektor kehutanan pada pelita VI /1992 - 1997 tercatat sebesar US$ 16.0 milyar, atau sekitar 3,5% dari PDB nasional. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Sebagai akibatnya laju degradasi hutan antara tahun 1997 - 2003 diperkirakan sebesar 2,83 juta hektar per tahun dengan devisa hanya sebesar US$ 13.24 milyar, atau terjadi penurunan sebesar 16,6 persen (Bappenas, 2003). Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB nasional selama jangka waktu 1997-2006 tertera pada Tabel 2 berikut: Tabel (Table) 2. Konstribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB (Contributor of forestry sector on Bruto Domestic Income)
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005* 2006**
PDB Kehutanan ( x Rp. 1 milliar) 9.806,5 11.700,5 13.803,8 16.343,0 16.962,1 17.602,4 18.414,6 20.290,0 22.561,8 30.017,0
PDB Total (x Rp. 1 milliar) 627.695,9 955.753,9 1.099.731,8 1.389.769,9 1.646.322,0 1.821.833,0 2.013.674,6 2.295.826,2 2.784.960,4 3.338.195,7
Kontribusi Sektor Kehutanan (%) 1,56 1,22 1,26 1,18 1,03 0,97 0,91 0,88 0,81 0,90
Keterangan (Remark) : *) angka sementara, **) angka sangat sementara Sumber (Source) : Departemen Kehutanan /Ministry of Forestry (2007)
2.2. Deforestasi dan Degradasi sebagai ancaman terhadap kelestarian hutan Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Di sisi lain, sebagaimana negara berkembang lainnya hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan ekonomi yang dikhawatirkan akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan yang memperbesar emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan. Sampai dengan saat ini, di Indonesia masih terjadi deforestrasi dan degradasi hutan yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Pada periode tahun 1985 s/d 1987, penurunan penutupan vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan pada periode 1997 s/d 2000 terjadi selain di Sumatera dan Kalimantan, juga di Papua, yang selanjutnya secara umum terjadi penurunan angka rata-rata penurunan penutupan vegetasi hutan pada periode 2000 s/d 2005. Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh kebakaran dan perambahan hutan; Illegal loging dan illegal trading yang antara lain didorong oleh adanya permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional dan global; adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain; dan adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan dan pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (PHL).
26
Peran sektor kehutanan di Indonesia dalam perubahan iklim Ari Wibowo dan Rufi'ie
Gambar (Figure) 1. Deforestasi di lima pulau besar Indonesia/Deforestation in 5 big islands in Indonesia (Sumber/Souirce : RAN-PI, 2007)
2.3. Upaya Pelestarian Hutan dan Kaitannya dengan Mitigasi Perubahan Iklim Menyadari pentingnya peran hutan terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan termasuk perannya dalam mitigasi perubahan iklim, pemerintah telah berupaya menangani permasalahan di bidang kehutanan antara lain dengan menetapkan kebijakan pemberantasan pencurian dan perdagangan kayu illegal, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, serta desentralisasi sektor kehutanan. Kebijakan tersebut telah dituangkan dalam rencana strategis kehutanan pada periode kabinet Gotong Royong yang lalu. Untuk periode tahun 2005-2009 telah disusun Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan, yang memberi arah pembangunan kehutanan periode tersebut. Renstra-KL ini juga memperhatikan lima kebijakan prioritas pembangunan kehutanan 2005-2009 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VII/2004, yaitu: - Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal; - Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan; - Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan; - Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan; - Pemantapan Kawasan Hutan. Lima kebijakan prioritas tersebut bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari. Upaya pengelolaan hutan secara lebih baik melalui penerapan PHL sejalan dengan upaya mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan (Trextler et al., 2000), yang meliputi : Pengelolaan sumberdaya hutan yang ada secara lebih baik; memperluas penutupan hutan; dan Penggunaan bahan bakar kayu sebagai pengganti bahan bakar fosil. Patosaari (2007), juga menyampaikan hal senada, yang menyebutkan kegiatan yang dapat dilakukan oleh sektor kehutanan untuk mitigasi perubahan iklim, yaitu : - Pengelolaan hutan dengan jenis yang secara potensial dapat menyerap karbon - Pembangunan hutan melalui kegiatan reforestasi dan aforestasi - Mengurangi laju deforestasi dan mengembalikan penutupan hutan - Menciptakan iklim investasi dan akses pasar yang mendukung produk-produk kehutanan yang lestari - Peningkatan penggunaan produk kehutanan seperti bioenergi dan kayu yang tahan lama sebagai substitusi terhadap penggunaan bahan yang kurang ramah lingkungan. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yang lestari, Departemen Kehutanan sedang berupaya untuk membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), sebagai institusi pengelola hutan di tingkat tapak dalam bentuk unit-unit pengelolaan hutan (KPH) pada sebagian besar kawasan hutan produksi dan hutan lindung, khususnya di luar Jawa. Secara umum, pengertian KPH adalah merupakan areal/wilayah yang didominasi oleh hutan dan mempunyai batas yang jelas, yang dikelola untuk memenuhi serangkaian tujuan yang ditetapkan secara
27
Tekno Hutan Tanaman Vol.1 No.1, November 2008, 23 - 32
eksplisit sesuai dengan rencana pengelolaan jangka panjang. Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi komitmen pemerintah dan masyarakat (para pihak), yang telah dimandatkan melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut, KPH telah menjadi prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan lestari (PHL) karena KPH merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya. Melalui pembangunan KPH diharapkan dapat dicapai sasaran yaitu; 1). Mengurangi degradasi hutan; 2). Tercapainya PHL; 3). Meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal; 4) Stabilisasi penyediaan hasil hutan; 5). Mengembangkan tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan hutan; 6). Percepatan rehabilitasi dan reforestasi; dan 7). Memfasilitasi akses pada pasar karbon.
III. PERANAN HUTAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan sink. Dalam pengelolaan hutan lestari penyerapan karbon merupakan jasa yang dapat diberikan oleh sektor kehutanan. Sebaliknya kegiatan kehutanan yang berhubungan dengan serapan karbon akan mendukung pengelolaan hutan lestari. Misalnya kegiatan aforestasi, reforestasi dan mencegah deforestasi. Pada First National Communication (1999) dilaporkan, tahun 1990an emisi karbon dari sektor kehutanan sekitar 0.14 Gt C (atau sekitar 60-70 persen total emisi CO2). Berdasarkan pulau, emisi karbon dari sektor kehutanan terbesar terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Meskipun hutan menjadi pengemisi karbon, hutan juga dapat berfungsi sebagai penyerap karbon melalui proses foto-sintesis, serta kemampuannya untuk menyerap karbon lebih lama dibandingkan tanaman semusim atau tahunan, sehingga menurunkan emisi karbon dan meningkatkan kapasitas serapan karbon merupakan pilihan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. 3.1. Sebagai Sumber Emisi Gas Rumah Kaca Kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 137 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia, mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung dan 5,4 % angkatan kerja tidak langsung, sektor kehutanan merupakan salah satu tulang punggung ekonomi nasional pada periode 1985 - 1995. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan manusia saat ini dan di masa yang akan datang. Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan. Deforestasi di negera berkembang khususnya di negara tropik tercatat berkontribusi terhadap sekitar 20 % emisi karbon global. Dari hasil review oleh Stern (2007), emisi dari deforestasi dapat mencapai 40 Gt CO2 antara 2008-2012. Hal ini akan meningkatkan kadar CO2 di atmosfer sebanyak 2ppm jika upaya-upaya mitigasi tidak dilakukan dengan baik. Hasil studi Houghton (2003) dalam PEACE (2007) memperkirakan bahwa emisi GRK dari perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land Use Change and Forestry/LUCF) di Indonesia pada tahun 2003
28
Peran sektor kehutanan di Indonesia dalam perubahan iklim Ari Wibowo dan Rufi'ie
Vegetasi hutan merupakan penyimpan karbon terbesar dengan cadangan 80 persen dari jumlah karbon di dunia (Mukna, 1999). Dalam suatu kebakaran hutan terjadi peristiwa kimia yang mengubah biomassa hutan menjadi CO2, uap air serta menghasilkan panas. Ward dan Yokelson (1996) menyajikan data tentang rata-rata emisi yang dikeluarkan dalam pembakaran biomas, sebagaimana tertera pada Tabel 3. CO2 dan NH4 adalah gasgas rumah kaca (green house gasses) yang berpengaruh terhadap terjadinya pemanasan global. Besarnya jumlah CO2 dan CO yang dihasilkan dari kebakaran hutan yang mencapai 96 % memberikan kontribusi yang nyata terhadap terjadinya peningkatan suhu akibat efek rumah kaca. Tabel (Table) 3. Data rata-rata emisi yang dikeluarkan oleh pembakaran biomas (Average data of emission resulted by biomass - burning) Nama Senyawa Karbon dioksida Karbon monoksida Methana Amonia Asam asetik Hidrogen sianida Metanol Propana Etana Formaldehyd Phenol Asam formic 2 – Hydroxyethanal Karbon sulfida Ethana
Formula
Persentase dari total (%)
CO2 CO CH4 NH3 CH3COOH HCN CH3OH C3H6 C2H4 HCHO C6H6O HCOOH C2H4O2 CS C2H2
78,82 17,10 1, 22 0.93 0,31 0,29 0,28 0,15 0,14 0,13 0,11 0,07 0,03 0,02 0,01
Dieterle dan Heil (1998) mengungkapkan bahwa dalam kebakaran hutan yang terjadi tahun 1997 di Sumatera dan Kalimantan dilepaskan emisi sebanyak jutaan ton dan berakumulasi di atmosfer. Perkiraan emisi yang dihasilkan tertera pada Tabel 4. Tabel (Table) 4. Perkiraan emisi yang dihasilkan dari kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan tahun 1997 (Estimated emission resulted by forest fire in Sumatera and Kalimantan in 1997)
Jenis Emisi Karbon dioksida Karbon monoksida Partikel Ozon Amonia Nitrogen oksida
Jumlah Emisi ( * sampai ** ton) 85 sampai 316 juta 7 sampai 52 juta 4 sampai 16 juta 2 sampai 12 juta 0,1 sampai 4 juta 0,2 sampai 1,5 juta
Keterangan (Remark) : * Perkiraan hanya dari kebakaran hutan, ** 30 persen dari areal yang terbakar adalah kebakaran hutan gambut
3.2. Peranan Hutan sebagai Penyerap Karbon (Carbon Sink) Kegiatan di sektor kehutanan yang secara potensial dapat menekan terjadinya perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu konservasi, peningkatan serapan karbon dan substitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan biomas. Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi dan
29
Tekno Hutan Tanaman Vol.1 No.1, November 2008, 23 - 32
degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan serapan dilakukan melalui kegiatan perluasan hutan tanaman. Kegiatan yang telah dilakukan untuk menunjang peningkatan peran hutan sebagai penyerap karbon adalah misalnya Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), pembangunan HTI, hutan rakyat, agroforestry dan kegiatan penanaman lainnya. Secara spesifik hasil penelitian Hadiwinoto et al. (2005) menunjukkan bahwa stok karbon pada biomass di atas permukaan tanah di hutan alam sekunder tua (carbon stock in the aboveground biomass of old secondary forest), di hutan alam sekunder usia pertengahan (middle-age secondary forest), dan di hutan alam sekunder muda (young secondary forest) masing-masing diperkirakan sekitar 71,55 ton/ha, 39,86 ton/ha dan 38,99 ton/ha. Tomich et al. (2001), menyampaikan kapasitas beberapa jenis pemanfaatan lahan di Sumatera dalam menyerap karbon, seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel (Table) 5. Kapasitas beberapa jenis pemanfaatan lahan di Sumatera dalam menyerap karbon (Capacity of some land utilization in Sumatera in carbon sequestation)
Tipe Penggunaan Lahan
Skala Pengamatan
Hutan alam Hutan kemasyarakatan Hutan bekas tebangan Agroforestry karet Agroforestry karet * Monokultur karet Monokultur kelapa sawit Sawah/hortikultur Ketela pohon
25 ha 35 ha hutan kemasyarakatan 35,000 ha hutan konsesi Petak-petak 1-5 ha Petak-petak 1-5 ha Petak-petak 1-5 ha 35,000 ha kebun sawit Petak-petak 1–2 ha Petak-petak 1–2 ha
Rata-rata Serapan Karbon (t/ha) 254 176 150 116 103 97 91 74 39
Sumber (Source): Tomich et al. 2001
Pada hutan tanaman, menunjukkan kandungan karbon yang bervariasi pada berbagai jenis pohon pada umur, kerapatan tegakan dan lokasi yang berbeda (Tabel 6). Tabel (Table) 6. Biomasa dan kadar karbon per hektar dari beberapa jenis tanaman di beberapa lokasi dan umur (Biomas and carbon per hectare of some species on some location and ages)
Jenis/ Lokasi Mahoni (Sumsel) Mangium (Sumsel) Sungkai (Sumsel) Sungkai (Lampung) Puspa (Lampung) Kemiri (Lampung) Pinus (Jatim) Mahoni (Jatim) Sengon (Jatim) Gmelina (Sulsel) Pinus (Sulsel) Eukaliptus (Sulsel)
Umur (tahun) 20 6 10 25 25 25 14 16 8 4 13 21
Kerapatan (N/ha) 1.111 1.111 1.111 1,666 1,666 312 622 533 711 1600 977 577
Biomasa (ton/ha) 405,98 199,69 83,94 182,57 182,92 406,13 167,88 155,03 268,63 179,35 81,60 136,42
Sumber (Source) : Gintings dan/and Prajadinata (2002, 2003, 2004, 2005)
30
Kandungan Karbon (ton/ha) 202,99 99,85 41,97 91,29 91,46 203,08 83,94 77,51 134,31 89,69 40,80 68,21
Jumlah karbon/ (ton/ha/th) 10,15 16,64 4,20 9,40 8,38 6,45 5,99 4,84 16,79 22,42 3,14 3,24
Peran sektor kehutanan di Indonesia dalam perubahan iklim Ari Wibowo dan Rufi'ie
IV. PENUTUP
Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 137 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia. Hutan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap karbon. Berbagai studi secara nasional dan internasional telah dan akan terus dilaksanakan untuk meningkatkan peran Indonesia khususnya sektor kehutanan dalam menghadapi perubahan iklim. Salah satu mekanisme yang saat ini menjadi perhatian adalah mekanisme penurunan emisi dari pencegahan deforestasi dan degradasi (REDD).
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2007. Cadangan, Emisi, dan Konservasi Karbon pada Lahan Gambut. Makalah pada Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta 2007. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, IBSAP, Dokumen Nasional. Jakarta. Badan Planologi Kehutanan. 2002. Peta Vegetasi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Departemen Kehutanan. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia 1993-1997. Jakarta Boer, R. 2001. Opsi Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor kehutanan dan Aspek Metodologi Proyek Karbon Kehutanan. Prosiding Lokakarya Tindak Lanjut Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto 18 September 2001. Departemen Kehutanan. Jakarta Boer, R. Masripatin, N. T. June And E. N. Dahlan. 2001. Greenhouse Gases Mitigation Technologies in Forestry: Status, Prospects And Barriers of Their Implementation In Indonesia. In Ministry Of Environment (2001). Identification Of Less Greenhouse Gasses Emission Technologies In Indonesia. Ministry of Environment, Jakarta. CIFOR. 2001. A Shared Research Agenda for Landuse, Landuse Change, Forestry and CDM. CIFOR. Bogor Departemen Kehutanan. 2007. Mengenal IFCA. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/IFCA/IFCA. htm. Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Jakarta. Dieterle, G dan Heil. A. 1998. Impacts of Large Scale Forest and Land Fires in Indonesia 1997 on Regional Air Pollution. International Cross Sectoral Forum on Forest and Fire Management in Southeast Asea. Jakarta. Direktorat Perencanaan Kehutanan. 1983. Potensi dan Distribusi Kayu Komersial Indonesia. Buku 3 Ramin. Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Pertanian. Jakarta. First National Communication. 1999. The Indonesia First National Communication to the UNFCCC. Indonesia.
31
Tekno Hutan Tanaman Vol.1 No.1, November 2008, 23 - 32
Gintings, A.N dan S. Prajadinata. 2002, 2003, 2004 dan 2005. Assessment of the Potency of Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate Change. Interim Reports. Cooperation between Forest and Nature Conservation Research and Development Center (FNCRDC) and Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center (JIFPRO). Hadiwinoto, H. 2005. Strengthening Institutional Capacity In Monitoring, Assessment and Reporting on the Progress Toward Sustainable Forest Management. Bureau of International Cooperation and Investment, Ministry Of Forestry, Republic Of Indonesia IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IGES, Japan. IPCC. Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003. Jakarta Lubis, I and I.N.N. Suryadiputra. 2003. Efforts in Integrated Management of Burned Over Peat Swap Forest in Berbak-Sembilang Area. In Suyatno, U. Chokkalingam and P. Widodo, eds.) Proceeding of Workshop: Fire in Peat Land of Sumatera: Issues and Solutions. CIFOR. Menteri Kehutanan. 2005. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tanggal 14 Pebruari 2005: Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009 Ministry of Environment. 2001. Identification of Less Greenhouse Gases Emission Technologies in Indoensia. Ministry of Environment, Jakarta. Ministry of Environment. 2003. National Strategy Study on CDM Forestry Sector. Ministry of Environment, Jakarta. Mukna, H.S. 1999. Forest Fire ; Impact to Climate Change. BPPT Second International Conference on Science and Technology for the Assessment of Global Climate Change and Its Impact on Indonesian Continent. Jakarta. Nukman, A. 1998. Role of Health Sector to Prevent Adverse Health Impact on Haze in Indonesia. International Cross Sectoral Forum on Forest Fire Management in Southeast Asia. Jakarta. Patosaari, P. 2007. Forestry Action in Mitigation of Climate Change. The 60th Annual DPI/NGO Conference, New York PEACE. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya. RAN-PI. 2007. Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim. Kementerian Negara KLH. Jakarta Retnowati, E. 1998. Kontribusi Hutan Tanaman Eucalyptus grandis Maiden sebagai Rosot Karbon di Tapanuli Utara. Buletin Penelitian Hutan No. 611/1998. Sekretariat CDM Departemen Kehutanan. 2003. Status Penelitian dan Kajian tentang CDM Kehutanan dan proyek karbon berbasis hutan lainnya di Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. Stern, N. 2007. The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge Tomich, T.P., H. de Foresta, K. Dennis, D. Murdiyarso, Q.M. Katterings, F. Stolle, Suyanto, and M. van Noordwijk, M. 2001. Carbon sequestration for conservation and development in Indonesia. Submitted to American Journal of Alternative Agriculture. Trexler, M. C., L. H. Kosloff, and R. Gibbon. 2000. Forestry after the Kyoto Protocol: A review of key questions and issues. In “Climate Change and Development” (L. Gomez-Echeverri, ed.), pp. 131-152. UNDP. Ward, D.E. and R.J. Yokelson. 1996. Progress in Smoke Characterization and Modelling. AFM Conference on Transboundary Pollution. Kuala Lumpur.
32