A.13
PERAN ORANG TUA DALAM PERKEMBANGAN MORAL ANAK (KAJIAN TEORI KOHLBERG) Retno Dwiyanti Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto
[email protected]
Abstraksi.Tujuan penulisan artikel ini untuk mengkaji perkembangan moral anak yang dikembangkan oleh Kohlberg. Penilaian moral dalam perkembangannya, yaitu apa yang dianggap baik (seharusnya dilakukan) dan tidak baik (tidak pantas dilakukan) anak, oleh Kohlberg dibagi dalam stadium yang berbeda-beda.Kohlberg membagi perkembangan moralitas ke dalam 3 tingkatan yang masing-masing di bagi menjadi 2 stadium. Tingkat I. Penalaran moral yang pra-konvensional. stadium 1. Orientasi patuh dan takut hukuman; stadium 2. Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental. Tingkat II. Penalaran moral yang konvensional. Stadium 3. Orientasi anak atau person yang baik; stadium 4. Orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial. Tingkat III. Penalaran moral yang post-konvensional. Stadium 5. Orientasi kontrol legalitas; stadium 6. Orientasi yang mendasarkan atas prinsip dan konsiensia sendiri. Menurut Kohlberg stadium ini akan selalu dilalui oleh setiap anak, jadi merupakan hal yang universal, yang ada dimana-mana, mungkin tidak pada urutan usia yang sama namun perkembangannya selalu melalui urutan itu. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama bagi tumbuh kembangnya anak. Anak akan berkembang optimal apabila mereka mendapatkan stimulasi yang baik dari keluarga. Oleh karena itu pola parenting yang tepat dapat dijadikan sarana untuk perkembangan moral anak. Keluarga berfungsi mengembangkan moral anak yang dibentuk secara sosial melalui accepting, preserving, taking, exchanging dan biophilous. Kata kunci : Tingkatan, Perkembangan moral, Parenting
Perkembangan moral merupakan hal
Menurut Al-Halwani (1995) anak memiliki
yang sangat penting bagi perkembangan
kebiasaan meniru yang kuat terhadap seluruh
kepribadian dan sosial anak untuk menuju
gerak dan perbuatan dari figur yang menjadi
kedewasaannya (Monk, Knoers & Haditono,
idolanya.
2006). Masalah moral merupakan salah satu aspek
penting
yang
tumbuh
menirukan perbuatan yang dilakukan oleh
kembangkan dalam diri anak. Berhasil
kedua orang tuanya, saudara dekat serta
tidaknya penanaman nilai moral pada masa
kerabat
kanak-kanak akan sangat menentukan baik
demikian itu perlu mendapat perhatian
buruknya perilaku moral seseorang pada
tersendiri, karena perkambangan moral anak
masa
akan sangat ditentukan oleh kondisi dan
selanjutnya
perlu
di
Seorang anak secara naluriah akan
(Hermansyah,
2001).
161
yang
terdekat.
Realitas
yang
162 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
situasi yang terdapat dalam keluarganya. Hal
pada anak, dalam artian cara yang ditempuh
ini berkaitan dengan kedudukan keluarganya
sering tidak mengindahkan prinsip-prinsip
sebagai lingkungan yang pertama dan utama
penanaman
bagi anak (Mardiya, 2005). Dengan asumsi
perkembangan anak, selain itu mereka juga
bahwa
sosial
kurang memahami pencapaian perkembangan
terkecil yang memberikan pondasi primer
anaknya yang berimbas pada permasalahan
bagi perkembangan anak, maka pola asuh
anak.
orangtua yang diterapkan pada anak akan
perkembangan
moral
sangat
interpersonal,
yang
keluarga
merupakan unit
berpengaruh pada
perkembangan
nilai
moral
Menurut
sesuai
Santrock
dengan
(2007),
memiliki
dimensi
mengatur
aktifitas
moralitasnya. Bila pola asuh yang diterapkan
seseorang ketika dia tidak terlibat dalam
pada anak baik maka akan membentuk
interaksi sosial dan dimensi interpersonal
kepribadian anak yang baik pula. Sedangkan
yang
bila orang tua salah dalam menerapkan pola
penyelesaian konflik.
asuh
akan
berdampak
buruk
pada
mengatur
interaksi
Sedangkan
Harlock
sosial
dan
(1980)
perkembangan moral anak (Widayanti dan
mengungkapkan bahwa perkembangan moral
Iryani, 2005).
mempunyai aspek kecerdasan dan aspek
Dari perkembangan moral ini, anak akan
mengetahui
bagaimana
impulsif, anak harus belajar apa saja yang
berpikir
benar dan yang salah. Perkembangan moral
mengenai konsep benar dan salah, dan
pada awal masa kanak-kanak masih dalam
bagaimana mereka bertindak juga melalui
tingkat rendah. Hal ini disebabkan karena
suatu proses. Proses itulah yang dinamakan
perkembangan intelektual anak-anak belum
dengan penalaran moral (suatu pemikiran
mencapai titik di mana ia dapat mempelajari
mengenai benar atau salah) yang nantinya
atau menerapkan prinsip-prinsip abstrak
akan melahirkan perilaku moral, yaitu suatu
tentang benar dan salah. Ia juga tidak
tindakan benar dan salah yang sesuai dengan
mempunyai
norma dalam masyarakat. Hasil penelitian
peraturan-peraturan karena tidak mengetahui
Zeitlin (2000) menunjukkan bahwa anak
manfaatnya sebagai anggota kelompok sosial.
yang diasuh dengan baik akan memiliki
Karena tidak mampu mengerti masalah
tingkat perkembangan yang baik pula.
standar moral, anak-anak harus belajar
Dewasa ini banyak orang tua tidak mengetahui
ataupun
kurang
dorongan
untuk
mengikuti
berperilaku moral dalam pelbagai situasi
paham
yang khusus. Ia hanya belajar bagaimana
mengenai perkembangan moral anaknya
bertindak tanpa mengetahui mengapa. Awal
(Mardiya, 2010). Karena kekurangpahaman
masa kanak-kanak ini ditandai dengan apa
tersebut menyebabkan para orang tua tidak
yang oleh Piaget disebut “moralitas melalui
bijak dalam menanamkan nilai-nilai moral
paksaan”. Selanjutnya, setelah mereka cukup
Peran Orangtua dalam Perkembangan Moral Anak | 163 Dwiyanti, R. [hal.161-169] besar,
mereka
harus
diberi
penjelasan
mengapa ini benar dan salah. Pada
perkembangan
sengaja,
baik
pendidikan, moral
ini
oleh
keluarga,
lembaga
komunitas-komunitas
lembaga
pengajian,
atau
lainnya
yang
Kohlberg membagi perkembangan moralitas
bersinggungan dengan masyarakat (Abdulah,
ke
1992).
dalam tiga
konvensional, pascakonvensional,
tingkatan yaitu
pra-
konvensional,
dan
dan setiap
tingkatan
memiliki dua tahapan (Santrock, 2007). Berdasarkan
uraian
diatas,
Perkembangan
moral
adalah
perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah.
maka
Perkembangan
moral
rumusan masalahnya adalah bagaimana peran
intrapersonal,
yang
orang tua dalam perkembangan moral anak
seseorang ketika dia terlibat dalam interaksi
berdasarkan kajian teori Kohlberg.
sosial
dan
dimensi
memiliki
dimensi
mengatur
aktifitas
interpersonal
yang
mengatur interaksi sosial dan penyelesaian Perkembangan Moral Secara kebahasaan perkataan moral
konflik.
Perkembangan
moral
berkaitan
dengan aturan-atuaran dan ketentuan tentang
berasal dari ungkapan bahasa latin yaitu
apa
yang
seharusnya
dilakukan
oleh
mores yang merupakan bentuk jamak dari
seseorang dalam berinteraksi dengan orang
perkataan mos yang berarti adat kebiasaan.
lain (Santrock, 2007).
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia
Menurut Kohlberg (dalam Monks, dkk,
dikatakan bahwa moral adalah penentuan
2002) perkembangan insan kamil melalui 6
baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
stadium dan stadium ini akan selalu dilalui
Istilah moral biasanya dipergunakan untuk
oleh setiap anak, jadi merupakan hal yang
menentukan batas-batas suatu perbuatan,
universal, yang ada di mana-mana; mungkin
kelakuan, sifat dan perangai yang dinyatakan
tidak pada urutan usia yang sama namun
benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak
perkembangannya selalu melalui urutan itu.
layak, patut maupun tidak patut. Moral
Kohlberg
membagi
perkembangan
adalah suatu aturan atau tata cara hidup yang
moralitas ke dalam 3 tingkatan yang masing-
bersifat normatif (mengatur/mengikat) yang
masing dibagi menjadi 2 stadium hingga
sudah ikut serta bersama kita seiring dengan
keseluruhannya menjadi 6 stadium. Pada
umur yang kita jalani, sehingga titik tekan
masing-masing
”moral” adalah aturan-aturan normatif yang
tersendiri, seperti yang ditampilkan pada
perlu ditanamkan dan dilestarikan secara
tabel 1.
tahapan
memiliki
ciri
164 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
Tabel 1. Perkembangan Moral Kohlberg Tingkatan Tingkatan I. Penalaran moral pra konvensional. Mendasarkan pada objek di luar diri individu sebagai ukuran benar atau salah.
Stadium Stadium 1. Orientasi patuh dan takut hukuman. Suatu tingkah laku dinilai benar bila tidak dihukum dan salah bila perlu dihukum. Seseorang harus patuh pada otoritas karena otoritas tersebut berkuasa. Stadium 2. Orientasi Naif egoistis/hedonism instrumental. Masih mendasarkan pada orang atau kejadian di luar diri individu, namun sudah memperhatikan alasan perbuatannya, misalnya mencuri dinilai salah, tetapi masih bisa dimaafkan bila alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenangi. Ada yang menamakan stadium ini sebagai stadium hedonistik instrumental.
Tingkat II. Penalaran moral yang konvensional. Mendasarkan pada pengharapan sosial, yaitu suatu perbuatan dinilai benar bila sesuai dengan peraturan yang ada dalam masyarakat.
Stadium 3. Orientasi anak atau person yang baik. Anak menilai suatu perbuatan itu baik bila ia dapat menyenangkan orang lain, bila ia dapat dipandang sebagai anak wanita atau anak laki-laki yang baik, yaitu bila ia dapat berbuat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain atau oleh masyarakat. Stadium 4. Orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial. Anak melihat aturan sosial yang ada sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan. Seorang dipandang bermoral bila ia “melakukan tugasnya” dan dengan demikian dapat melestarikan aturan dan sistem sosial.
Tingkatan III. Penalaran moral yang postkonvensional. Memandang aturan-aturan yang ada dalam masyarakat tidak absolut, tetapi relatif; dapat diganti oleh yang lain.
Stadium 5. Orientasi control legalistis. Memahami bahwa peraturan yang ada dalam masyarakat merupakan ckntrol (perjanjian) antara diri orang dan masyarakat. Individu harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi sebaliknya masyarakat juga harus menjamin kesejahteraan individu. Peraturan dalam masyarakat adalah subjektif. Stadium 6. Orientasi yang mendasarkan atas prinsip dan konsiensia sendiri. Peraturan dan norma adalah subjektif, begitu pula batasan-batasannya adalah subjektif dan tidak pasti. Dengan demikian maka ukuran penilaian tingkah laku moral adalah konsiensia orang sendiri, prinsipnya sendiri lepas daripada segala norma yang ada. Kohlberg menyebut prinsip ini sebagai prinsip moral yang universal, suatu norma moral yang dasarnya ada dalam konsiensia orangnya sendiri.
Dalam hal tingkah laku konformistis , masing-masing
stadium
hukuman, sedangkan pada stadium kedua
membawa
anak cenderung bersikap untuk memperoleh
konsekuensi. Pada stadium pertama, anak
hadiah atau untuk dipandang sebagai anak
cenderung
baik.
menurut
untuk
menghindari
Memasuki
stadium
ketiga,
anak
Peran Orangtua dalam Perkembangan Moral Anak | 165 Dwiyanti, R. [hal.161-169] bersikap konformistis untuk menghindari
berlaku pula terhadap anak-anaknya. Para
celaan dan untuk disenangi orang lain, hingga
orang tua dipastikan memiliki harapan-
kemudian pada stadium empat, anak bersikap
harapan terhadap anak-anak yang dilahirkan
konformistis untuk mempertahankan sistem
dan
peraturan sosial yang ada dalam kehidupan
menginginkan sang anak menjadi orang yang
bersama. Perilaku pada stadium kelima sudah
patuh, taat dan berbakti terhadap orang tua,
terbentuk dan tidak lagi sebagai usaha
berperilaku baik, disiplin dan sebagainya.
memenuhi perjanjian bersama yang ada
dibesarkannya.
Harapan
dan
Misalnya,
keinginan
mereka
orangtua
dalam peraturan sosial, demikian halnya pada
terhadap anak-anaknya di masa depan inilah
stadium
yang akan banyak mempengaruhi bagaimana
keenam
dimana
anak
tidak
melakukan sesuatu karena perintah dan
mereka
memperlakukan
norma dari luar, melainkan karena keyakinan
memberi tugas dan tanggung jawab, serta
sendiri.
pemenuhan
terhadap
anak-anaknya,
kebutuhan
anak-
anaknya, baik fisik maupun non fisik. Peran Orang Tua Dalam Perkembangan
Termasuk didalamnya, dalam menanamkan
Moral Anak
nilai-nilai moral pada anak, agar anak
Manusia
pribadi
memiliki pemahan yang baik terhadap nilai
sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk
dan norma yang akan membawa pengaruh
sosial,
baik
manusia
adalah
makhluk
tidak akan lepas
dari
terhadap moralitas anak sehingga
lingkungan kehidupan sosial yang penuh
mereka
dengan nilai, peraturan dan norma. Nilai,
lingkungannya.
peraturan
dan
harmonis
di
Berdasarkan tingkatan perkembangan
membedakan
moral menurut Kohlberg (dalam Monks, dkk,
mana yang baik dan yang buruk, mana yang
2002) pada tingkat II (penalaran moral yang
benar dan mana yang salah, mana yang jika
konvensional),
dilakukan berdosa mana yang tidak dilakukan
pengharapan sosial, yaitu suatu perbuatan
tidak berdosa.
dinilai benar bila sesuai dengan peraturan
manusia
tersebut
hidup
sangat
diperlukan
norma
dapat
untuk
Orang tua (ayah dan Ibu) sebagai pemimpin
sekaligus
keluarga,
dipastikan
harapan
atau
pengendali memiliki
yang
mendasarkan
pada
yang ada dalam masyarakat. Pada stadium 3.
sebuah
Orientasi anak atau person yang baik, anak
harapan-
menilai suatu perbuatan itu baik bila ia dapat
keinginan-keinginan
yang
menyenangkan orang lain, bila ia dapat
hendak dicapai di masa depan. Harapan dan
dipandang sebagai anak wanita atau anak
keinginan tersebut ibarat sebuah cita-cita,
laki-laki yang baik, yaitu bila ia dapat
sehingga orangtua akan berusaha sekuat
berbuat seperti apa yang diharapkan oleh
tenaga untuk mencapainya. Hal tersebut
orang lain atau oleh masyarakat. Pada
166 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
stadium 4. Orientasi pelestarian otoritas dan
optimal
aturan sosial, anak melihat aturan sosial yang
stimulasi yang baik dari keluarga. Oleh
ada sebagai sesuatu yang harus dijaga dan
karena itu pola parenting yang tepat dapat
dilestarikan. Seorang dipandang bermoral
dijadikan sarana untuk perkembangan moral
bila ia “melakukan tugasnya” dan dengan
anak. Keluarga berfungsi mengembangkan
demikian dapat melestarikan aturan dan
moral anak yang dibentuk secara sosial
sistem sosial.
melalui
Untuk menciptakan moral yang baik
apabila
mereka
accepting,
mendapatkan
preserving,
taking,
exchanging dan biophilous (Alwisol, 2006).
bagi anak adalah menciptakan komunikasi
Perkembangan moralitas pada tingkat I
yang harmonis antara orangtua dan anak,
yaitu penalaran moral yang pra-konvensional,
karena itu akan menjadi modal penting dalam
yang mendasarkan pada objek di luar diri
membentuk moral. Kebanyakan ketika anak
individu sebagai ukuran benar atau salah.
beranjak
tidak
Pada stadium 1. Orientasi patuh dan takut
mengingat ajaran-ajaran moral diakibatkan
hukuman, suatu tingkah laku dinilai benar
tidak adanya ruang komunikasi dialogis
bila tidak dihukum dan salah bila perlu
antara dirinya dengan orangtua sebagai “guru
dihukum.
pertama” yang mestinya terus memberikan
otoritas karena otoritas tersebut berkuasa.
pengajaran moral. Jadi, titik terpenting dalam
Berdasarkan perkembangan moralitas tingkat
membentuk
moral
I ini, orangtua akan menggunakan pola asuh
lingkungan
sekitar
remaja
atau
dewasa,
sang rumah,
anak
adalah
setelah
itu
yang
Seseorang
cenderung
harus
kaku
patuh
(otoriter)
pada
untuk
lingkungan sekolah dan terakhir adalah
merealisasikan keinginan-keinginannya. Pola
lingkungan masyarakat sekitar.Namun, ketika
asuh yang dimaksud dapat direfleksikan
dilingkungan rumahnya sudah tidak nyaman,
dalam bentuk perlakuan fisik maupun psikis
biasanya anak-anak akan memberontak di
terhadap anak-anaknya. Hal ini tercermin
luar rumah (kalau tidak di sekolah, pasti di
dari tutur kata, sikap, perilaku dan tindakan
lingkungan masyarakat). Oleh karena itu,
mereka terhadap sang anak.
agar tidak terjadi hal seperti itu sudah
Wagiman menjelaskan pendapatnya
kewajibannya orang tua membina interaksi
Neil A.S. Summerheil, bahwa hukuman fisik
komunikasi yang baik dengan sang buah hati
merupakan suatu usaha untuk memaksakan
supaya di masa mendatang ketika mereka
kehendak. Walaupun tujuan utamanya untuk
memiliki masalah akan meminta jalan keluar
menegakkan disiplin anak, tindakan ini dapat
kepada orang tuanya.
berakibat sebaliknya, yaitu anak menjadi
Keluarga
merupakan
lingkungan
frustrasi. Selanjutnya, anak hanya merespons
sosial pertama dan utama bagi tumbuh
pada tujuan hukuman itu sendiri. Banyak
kembangnya anak. Anak akan berkembang
anak merasa bahwa menerima hukuman
Peran Orangtua dalam Perkembangan Moral Anak | 167 Dwiyanti, R. [hal.161-169] badan tidak terhindarkan, sehingga mereka
dewasa atau kurang matang. Sedangkan pada
menjadi resisten (kebal) terhadap hukuman
pengasuhan
tersebut. Hukuman badan tidak membuat
(Permisive-indulgent parenting), orangtua
mereka melaksanakan suatu aktivitas dengan
sangat terlibat dengan anaknya tetapi sedikit
baik. Sebaliknya, anak akan cenderung
sekali menuntut atau mengendalikan mereka.
membiarkan
daripada
Biasanya orangtua yang demikian akan
melakukannya. Ganjaran fisik ini justru bisa
memanjakan, dan mengizinkan anak untuk
berakibat buruk. Bahkan, dapat mendorong
melakukan apa saja yang mereka inginkan.
anak untuk meneruskan dan meningkatkan
Gaya pola asuh ini menunjukkan bagaimana
tingkah lakunya
Hukuman
orangtua sangat terlibat dengan anaknya,
bentuk
tetapi menempatkan sedikit sekali kontrol
pertanggungjawaban atas perbuatan yang
pada mereka. Metode pengelolaan anak ini
melanggar batasan-batasan yang ditetapkan.
cenderung membuahkan anak-anak nakal
haruslah
dirinya
dihukum
yang salah.
dipandang
sebagai
Menurut Steinberg
permisif
yang
pemurah
(1993) model
yang manja, lemah, tergantung dan bersifat
pengasuhan yang menekankan pada hukuman
kekanak-kanakan secara emosional. Dampak
termasuk
selanjutnya
dalam
akan
mengalami
parenting style. Ibu tidak ingin menguraikan
penyimpangan-penyimpangan
perilaku,
mengapa mereka melakukan suatu tindakan
misalnya suka tidak masuk sekolah atau tidak
termasuk mengapa ibu menghukum anak.
pulang ke rumah. Dengan demikian anak
Dalam
metode
menerapkan
kategori
Authoritarian
parenting
disiplin
dengan
ini
ibu
menunjukkan pengendalian diri yang buruk
kaku
dan
dan tidak bisa menangani kebebasan dengan
kekerasan, menggunakan hukuman fisik dan ancaman. Ibu
anak
baik.
juga memberi hukuman
Menurut Trisusilaningsih (2009) pola
dengan cara menghindarkan afeksi dari anak
asuh orangtua memiliki pengaruh yang
dalam waktu tertentu serta menjauhi anak.
sangat besar terhadap perkembangan moral
Pada pola asuh permisif menurut
anak, karena orangtua dengan model pola
Maccoby & Martin (1993) bahwa pada pola
asuh otoriter akan cenderung menghasilkan
asuh
kelalaian
anak dengan ciri kurang matang, kurang
(Permisive-neglectfull parenting), ibu tidak
kreatif dan inisiatif, tidak tegas dalam
memonitor
ataupun
menentukan baik buruk, benar salah, suka
mendukung perilaku anaknya. Ibu tidak
menyendiri, kurang supel dalam pergaulan,
mempedulikan perilaku anak, sehingga anak
ragu-ragu dalam bertindak atau mengambil
juga tidak tahu apakah perilakunya sesuai
keputusan karena takut dimarahi. Sementara
dengan norma sosial atau tidak. Akibatnya
anak yang diasuh dengan pola permisif
anak memiliki self esteem yang rendah, tidak
menunjukkan gejala cenderung terlalu bebas
permisif
yang
perilaku
penuh
anaknya
168 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
dan sering tidak mengindahkan aturan,
Simpulan
kurang rajin beribadah, cenderung tidak
1.
Perkembangan moral menurut Kohlberg
sopan, bersifat agresif, sering mengganggu
pada tingkat II, yang mendasarkan pada
orang lain, sulit diajak bekerjasama, sulit
pengharapan sosial, keluarga berfungsi
menyesuaikan diri dan emosi kurang stabil.
mengembangkan
Sedangkan anak yang diasuh dengan pola
dibentuk secara sosial melalui accepting,
demokratis menunjukkan kematangan jiwa
preserving,
yang baik, emosi stabil, memiliki rasa
biophilous,
tanggungjawab
yang
besar,
mudah
2.
moral
taking,
anak
yang
exchanging dan
Perkembangan moralitas pada tingkat I,
bekerjasama dengan orang lain, mudah
yang mendasarkan pada objek di luar
menerima saran dari orang lain, mudah diatur
diri individu sebagai ukuran benar atau
dan taat pada peraturan atas kesadaran
salah, orangtua memiliki peran yang
sendiri.
besar terhadap perkembangan moral
Menurut
keluarga
anak, yang dapat diidentifikasi melalui
memiliki peranan utama didalam mengasuh
tutur kata, sikap dan perbuatan mereka
anak, di segala norma dan etika yan berlaku
terhadap anak.
didalam
Effendi
lingkungan
(1995)
masyarakat,
dan
budayanya dapat diteruskan dari orang tua
Saran
kepada anaknya dari generasi-generasi yang
1.
disesuaikan
dengan
perkembangan
bisa
masyarakat.
mengontrol
dan
memberikan
pendidikan moral yang tepat untuk
Keluarga memiliki peranan penting
anaknya sesuai dengan tahapan-tahapan
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan moral dalam keluarga
Bagi keluarga, khususnya orang tua agar
perkembangan anak. 2.
Bagi para peneliti diharapkan dapat
perlu ditanamkan pada sejak dini pada setiap
mengkaji lebih lanjut tentang nilai-nilai
individu. Walau bagaimana pun, selain
moral yang dilakukan oleh seorang anak
tingkat pendidikan, moral individu juga
tidak hanya dilihat dari hal-hal yang
menjadi tolak ukur berhasil tidaknya suatu
nampak saja, tetapi dilihat juga dari
pembangunan.
penalaran moralnya.
Peran Orangtua dalam Perkembangan Moral Anak | 169 Dwiyanti, R. [hal.161-169] DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A.(1992). Filsafat Islam : Kajian Ontologis, Epistemologis,. Aksiologis, Historis Perspektif, Yogyakarta : LESPI. Al-Halwani, A.F. (1995). Melahirkan Anak Saleh. Mitra Pustaka, Jakarta Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian, Malang : UMM Effendi, Suratman, Ali Thaib, Wijaya, Dan B. Chasrul Hadi. (1995). Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayan. Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta. Hermansyah. (2001). Pengembangan Moral. Depdiknas, Jakarta. Maccoby, E. E., & Martin, J. A. (1993). “Socialization in the context of the family: Parent–child interaction”. In P. H. Mussen (Ed.) & E. M. Hetherington (Vol. Ed.), Handbook of child psychology: Vol. 4. Socialization, personality, and social development (4th ed., pp. 1-101). New York: Wiley. Monks, F.J., Knoers, A.M.P., Haditono, S.R. (2002). Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Mardiya. (2005). “Buramnya Wajah Keluarga Kita”. Artikel. Kedaulatan Rakyat 17 April 2005 halaman 8. Santrock, John W. (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga Trisusilaningsih, E. (2009). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Moral Anak. Laporan Penelitian. Mardiya.wordpress.com Widayanti, S.Y.M dan Iryani, S.W. (2005). Pengaruh Pola Asuh Orangtua terhadap Kenakalan Anak B2P3KS, Yogyakarta. Wagiman, http://keluargasyifa.blogspot.com, diakses 24 Mei 2010