PERAN NIKOTIN DOSIS RENDAH TERHADAP PROFIL GLUKOSA DARAH DAN INSULIN SERTA PERUBAHAN JARINGAN PANKREAS DAN HATI MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) OBES
CHUSNUL CHOLIQ
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Peran Nikotin Dosis Rendah Terhadap Kadar Glukosa Darah dan Insulin serta Perubahan Jaringan Pankreas Dan Hati Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Obes adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tulisan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tulisan ini.
Bogor, Juli 2012
Chusnul Choliq P063070011
ABSTRACT CHUSNUL CHOLIQ. The Role of Low Dose Nicotine on The Profile of Blood Glucose and Insulin, and Alteration of Pancreas and Liver Tissues of Obese Cynomolgus Monkey (Macaca fascicularis). Under supervison DONDIN SAJUTHI, IRMA HERAWATI SUPARTO, DEWI APRI ASTUTI and RETNO WULANSARI.
Study of low dose nicotine intervention and its effect on blood and cellular level of obese cynomolgus monkeys has never been reported. The aims of this study were to evaluate the role of low dose nicotine on the profile of blood glucose, insulin level and cellular level alteration of pancreatic and hepatic tissue of obese cynomolgus monkey. Fourteen adult (aged 6–8 years) males cynomolgus monkeys grouped based on their Body Mass Index (BMI) into preobese (BMI=23.65–25.00) and obese (BMI ≥ 26.00) were used. Animals were grouped into four groups subsequently preobese with nicotine (pOb+), obese with nicotine (Ob+), preobese without nicotine (pOb-) and obese without nicotine (Ob-). Nicotine groups were fed with high fat diet mixed with nicotine dose 0.75 mg/kg body weight/day for three months and other groups without nicotine were fed monkey chow as control. Blood samples were collected every month for glucose analysis and insulin analysis at the end of study before necropsy was performed. Pancreatic and hepatic tissues were processed histologically and stained with hematoxylin-eosin and immunohistochemical method. The results showed that blood glucose significantly decreased (P<0.05) on the nicotine group, 28.37% (preobes) and 33.72% (obes) based on treatment duration compared to control group. Based on color intensity of granules cytoplasm of insulin producing cells or immunoreactive β-cells showed that non nicotine group were more reactive than those with nicotine group. As a conclusion, there was positive effect of low dose nicotine in maintaining the blood glucose level in normal range by stimulation of islet cells proliferation to maintain the production of insulin in the pancreatic islet. Nicotine low dose also affect to the hepatic parenchymal tissue that showed moderate level of hydrophic and fat degeneration, and necrosis. However, there were found hepatic cell regeneration. Key words: nicotine, cynomolgus monkey, animal model, obesity
RINGKASAN CHUSNUL CHOLIQ. Peran Nikotin Dosis Rendah Terhadap Profil Glukosa Darah dan Insulin serta Perubahan Jaringan Pankreas dan Hati Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Obes. Dibawah bimbingan DONDIN SAJUTHI, IRMA HERAWATI SUPARTO, DEWI APRI ASTUTI dan RETNO WULANSARI. Nikotin merupakan alkaloid toksik yang diekstrak dari daun kering tanaman tembakau (Nicotiana tobacum), berbentuk senyawa amin yang terdiri dari cincin piridin dan pirolidin. Jutaan orang di seluruh dunia terpapar nikotin melalui asap rokok atau inhalasi bahan toksik. Nikotin dapat melalui barier darah otak (blood brain barrier) dan diedarkan keseluruh bagian otak sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan yang cukup lama dan berdampak buruk pada perokok pasif. Nikotin yang masuk melalui asap rokok menyebabkan berbagai pengaruh negatif seperti gangguan kardiovaskular, saraf dan fungsi endokrin melalui efek pada sistem saraf pusat dan perifer. Namun, nikotin murni per oral yang dikonsumsi dengan dosis rendah akan meningkatkan kadar adrenocorticotropic hormone (ACTH), epinefrine dan kortisol dalam plasma. Dampak pemberian nikotin pada reseptor nikotin asetilkolin (nAch) pada sel-β pankreas akan meningkatkan segregasi dan rekonstruksi inositol fosfat dan karena itu meningkatkan sensitivitas kalsium dalam sel yang mengaktifkan sel-β untuk merilis insulin. Selain itu, efek perifer dari nikotin asetilkolin akan merangsang reseptor di sistem saraf parasimpatis dan simpato-adrenal. Hal ini juga mempengaruhi hati melalui sekresi epinefrin yang menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa dari hati ke aliran darah, serta terjadinya pelepasan insulin dari pankreas akibat sekresi epinefrin dan norepinefrin dari medula adrenal. Studi terakhir menunjukkan adanya efek positif nikotin pada kadar serum insulin tikus Wistar, sehingga penting dipelajari pengaruhnya pada manusia yang mengalami hipoinsulinemia. Saat ini banyak masyarakat di negara berkembang, seperti Indonesia mengalami masalah obesitas dan diabetes. Kejadian terus meningkat setiap tahun karena adanya perubahan pola makan, yaitu mengkonsumsi pangan tinggi energi tanpa diimbangi aktivitas fisik yang seimbang. Perubahan pola makan dalam jangka waktu lama menimbulkan risiko terjadinya sindroma metabolik akibat obesitas. Efek yang ditimbulkan akibat obesitas dapat berhubungan dengan penurunan kualitas hidup dan sebagai faktor pemicu terjadinya berbagai penyakit, antara lain kardiovaskuler, diabetes melitus, dan hipertensi. Nikotin akan mempunyai efek positif bagi kesehatan apabila digunakan dalam dosis yang tepat dan aman karena nikotin memiliki margin of safety atau batas pemakaian yang luas antar spesies dan dapat menimbulkan toksisitas pada manusia bila mencapai 60 mg/kg bobot badan. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diketahui pengaruh nikotin dosis rendah (0.75 mg/kg bobot badan) terhadap profil glukosa dan insulin dalam darah serta gambaran sel-sel penghasil hormon insulin (sel-β) yang imunoreaktif pada pulau Langerhans pankreas dan sel-sel parenkim hati monyet ekor panjang (MEP) sebagai hewan model yang mengalami obesitas. Penelitian menggunakan 14 ekor MEP jantan umur 6–8 tahun dengan berat badan antara 4.8–6 kg. Seluruh hewan coba dikelompokkan menurut indeks massa tubuh (IMT), yaitu preobes (IMT=23.65– 25.00) dan obes (IMT≥ 26.00). Hewan preobes dan obes masing-masing sebanyak lima ekor diperoleh dari penelitian sebelumnya. Perlakuan pemberian nikotin dosis rendah (0.75 mg/kg bb) selama tiga bulan, dilakukan terhadap kelompok preobes (pOb+) dan obes
(Ob+). Hewan dikandangkan secara individu, serta memperoleh pakan energi tinggi (4200 kalori). Kelompok kontrol masing-masing sebanyak dua ekor, dikelompokkan atas preobes tanpa nikotin (pOb-) dan obes tanpa nikotin (Ob-). Hewan obes kontrol mengalami obesitas secara alami dengan pakan bersumber dari monkey chow. Seluruh prosedur perlakuan telah ditetapkan oleh Komisi Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan dari PT IndoAnilab nomor: 04– IA–ACUC–09, dan kontrol dengan prosedur standar ACUC penangkaran. Penelitian ini menggunakan rancangan splitplot in time dengan waktu sebagai faktor (sub plot) pengulangan. Uji antar kelompok dilakukan dengan membandingkan dua kelompok perlakuan digunakan Uji-t dengan taraf pegujian 95% (=0.05). Pada kelompok hewan yang memperoleh nikotin, analisis kimia darah dilakukan terhadap peubah gula darah dan insulin. Pengambilan data gula darah dilakukan pada awal penelitian sebagai data awal (baseline) dan setiap bulannya selama tiga bulan. Untuk pengambilan darah, hewan dianestesi dengan ketamin HCl dosis 10 mg/kg bb yang diinjeksikan intramuskular. Sampel darah diambil melalui vena femoralis sebanyak 3 ml pada tabung venoject tanpa antikoagulan, disentrifus, kemudian dianalisis kadar glukosa darah dan insulin. Kadar glukosa darah dianalisis dengan metode oksidasi enzimatik (glukosa oksidase = GOD) menggunakan kit glukosa nomor katalog 112191, sedangkan kadar insulin darah dianalisis dengan metode electro chemiluminescence immunoassay “ECLIA” menggunakan elecsys cobas® immunoassay analyzer. Pada akhir penelitian, hewan dieutanasi dengan pentobarbital® dosis 30 mg/kg bb secara intravena dan dinekropsi untuk pengambilan sampel jaringan. Organ pankreas dan hati dibuat contoh sediaan untuk melihat perubahan gambaran jaringan, Sampel dicuci dengan NaCl fisiologis, difiksasi dalam larutan paraformaldehid 4% selama tiga hari dan disimpan dalam alkohol 70% sebagai stopping point sampai proses selanjutnya. Sediaan jaringan pankreas dan hati diproses secara histologi standar kemudian diwarnai dengan hematoksilin-eosin (HE). Khusus sediaan jaringan pankreas juga diwarnai secara imunohistokimia (IHK) menggunakan antibodi terhadap insulin (1:1 500) dengan metode avidin-biotin-peroxidase complex (ABC) menurut Hsu et al. (1981). Pewarnaan IHK menggunakan kit Horseradish peroxidase (HRP) yang dilabel dengan streptovidin dari Starr Trek Universal Detection System Biocare Medical. Pengamatan pada organ pankreas dilakukan terhadap distribusi pulau Langerhans, penghitungan luas area positif insulin dan penghitungan jumlah sel-β dengan pewarnaan IHK. Banyaknya pulau Langerhans setiap lapangan pandang didapatkan dengan menghitung jumlahnya menggunakan asumsi perhitungan besaran pulau Langerhans dengan ukuran kecil (jumlah sel kurang dari 25 sel), sedang (jumlah sel antara 25 sampai 50 sel), dan besar (jumlah selnya lebih besar dari 50 sel). Penghitungan sel-β pada pulau Langerhans pada sediaan yang diwarnai dengan IHK dilakukan pada pulau Langerhans berukuran sedang karena jumlahnya paling banyak menggunakan software Adobe® Photoshop® CS4. Jumlah sel-β yang imunoreaktif dihitung dengan kriteria adanya butir-butir berwarna coklat pada sitoplasma, baik ditemukan inti maupun tidak. Penghitungan luas area positif insulin dilakukan dengan menghitung persentase intensitas warna yang ditimbulkan oleh reaksi antigen-antibodi dari insulin pada pulau Langerhans menggunakan software MBF_ImageJ. Pengamatan pada organ hati dilakukan terhadap susunan sel hati (hepatosit), sinusoid dan jaringan lemak sekitar sel hati. Pengamatan antara lain meliputi perubahan pada parenkim hati berupa ada tidaknya degenerasi hidropis, degenerasi lemak, regenerasi sel dan kematian sel atau nekrosa. Hasil pengamatan
dianalisis secara deskriptif dengan bantuan software MBF_ImageJ dihitung masing-masing perubahan pada parenkim. Kerusakan ringan apabila kurang dari 30%, kerusakan sedang antara 30% dan sampai 60% dan kerusakan berat lebih dari 60%. Semua hasil pengamatan pada organ pankreas dan hati selanjutnya dipotret dengan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan alat fotografi (Nikon Eclipse E-600W). Hasil pengamatan didapat kadar glukosa darah berbeda nyata dipengaruhi oleh waktu pemberian nikotin (P<0.05). Kelompok hewan preobes (pOb+) mengalami penurunan kadar glukosa darah yang bermakna sesudah pemberian nikotin, yaitu sebesar 20.2 mg/dl (28.37%) dari 71.20 mg/dl menjadi 51.00 mg/dl dan pada kelompok obes (Ob+) sebesar 17.60 mg/dl (33.72%) dari 52.20 mg/dl menjadi 34.60 mg/dl. Hasil analisis insulin pada bulan terakhir penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (P<0.05), kelompok (pOb+) dan Ob(+) kadar rerata insulin masing-masing 12,34 μIU/ml dan 13.41 μIU/ml, lebih rendah dibandingkan dengan kelompok (pOb-) dan (Ob-), yaitu 37.04 μIU/ml dan 112.9 μIU/ml, sedangkan kisaran normal insulin 21.24+13.6 μIU/ml. Hasil pengamatan histopatologi pada pankreas memperlihatkan persentase luas area positif yang lebih besar pada kelompok nikotin masing-masing sebesar 45.47 % dan 50.95% pada kelompok (pOb+) dan (Ob+) dibandingkan kelompok (pOb-) dan (Ob-) yaitu sebesar 39.87% dan 33.63% yang menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). Jumlah sel-β pada kelompok (pOb+) dan (Ob+), yaitu 203.2 sel dan 266.9 sel menunjukkan jumlah yang berbeda nyata secara statistik (P<0.05) dibandingkan kelompok (pOb-) maupun (Ob-), yaitu 180 sel dan 101,6 sel. Gambaran histologi hati pada kelompok preobes dengan nikotin (pOb+) memperlihatkan terjadinya degenerasi hidropis (41.96%) dan degenerasi lemak (26.50%) pada hepatosit, dengan tingkat regenerasi hepatosit sebesar 6.74% dan kematian sel (apoptosis atau nekrose) sebesar 33.93%. Pada kelompok obes dengan nikotin (Ob+) dijumpai degenerasi hidropis (30.15%) dan degenerasi lemak (30.74%) dengan tingkat regenerasi hepatosit dan kematian sel sedikit lebih rendah yaitu sebesar 6.36% dan 31,78% dibandingkan (pOb+). Adapun pada kelompok tanpa nikotin memperlihatkan tingkat kerusakan hati yang relatif lebih rendah. Pada (pOb-) terjadi degenerasi hidropis (38%) dan degenerasi lemak (17.62%) dengan tingkat regenerasi hepatosit sebesar 13.11% dan kematian sel sebesar 41,39%. Adapun pada (Ob-) dijumpai degenerasi hidropis (49.69%) dan degenerasi lemak (20.37%) dengan tingkat regenerasi hepatosit hanya 3.61%, dan tingkat kematian sel 25.78%. Disimpulkan bahwa pemberian nikotin dosis rendah (0.75 mg/kg bb) selama tiga bulan pada monyet ekor panjang obes menyebabkan penurunan kadar glukosa darah perifer, dapat mempertahankan jumlah sel-β, mengoreksi nilai insulin dan menghambat terjadinya hiperglikemia. Penambahan jumlah sel-β akibat pemberian nikotin tidak selalu disertai peningkatan produksi insulin oleh masing-masing sel-β. Insulin diproduksi cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran normal. Sementara pada kelompok tanpa nikotin, kadar glukosa darah dipertahankan dalam kisaran normal karena adanya kompensasi dari sel-β yang jumlahnya sedikit untuk meningkatkan produksi insulin. Pemberian nikotin dosis rendah cukup memberikan dampak pada parenkim hati berupa degenerasi hepatosit dan perlemakan, namun masih memungkinkan terjadinya regenerasi sel. Kata kunci : nikotin, monyet ekor panjang, hewan model, obesitas
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERAN NIKOTIN DOSIS RENDAH TERHADAP PROFIL GLUKOSA DARAH DAN INSULIN SERTA PERUBAHAN JARINGAN PANKREAS DAN HATI MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) OBES
CHUSNUL CHOLIQ
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. drh. Erni Sulistiawati, Sp.P1 (Pusat Studi Satwa Primata LPPM IPB) 2. Dr. drh. Hera Maheswari, MSc. (Fakultas Kedokteran Hewan IPB)
Penguji Pada Ujian Terbuka : 1. Dr. dr. Anwar Wardi W, SpS (Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta) 2. Drh. Adi Winarto, Ph D (Fakultas Kedokteran Hewan IPB)
Judul Penelitian
: Peran Nikotin Dosis Rendah Terhadap Profil Glukosa Darah dan Insulin serta Perubahan Jaringan Pankreas dan Hati Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Obes
Nama Mahasiswa :
Chusnul Choliq
NIM
P063070011
:
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Ketua
Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Anggota
drh. Retno Wulansari, MS, Ph.D Anggota
Diketahui:
Ketua Program Mayor Primatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Agr.
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
30 Juli 2012
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul “Peran Nikotin Dosis Rendah Terhadap Profil Glukosa Darah dan Insulin serta Perubahan Jaringan Pankreas dan Hati Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Obes”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Primatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada komisi pembimbing Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D selaku ketua, Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS. Ibu Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS dan drh. Retno Wulansari, MSi, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing yang dengan tulus telah memberikan bimbingan, nasihat, dorongan semangat serta menyediakan waktu selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh Erni Sulistiawati, Sp.P1 dan Dr. drh. Hera Maheswari, MSc. atas kesediaannya menelaah disertasi ini serta menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup serta kepada Bapak Dr. dr. Anwar Wardy Warongan, Sp.S dan drh. Adi Winarto, Ph.D pada Ujian Terbuka. Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan beserta pimpinan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Ketua Program Mayor Primatologi SPs IPB, Ketua Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, FKH-IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan jenjang Doktor di IPB. Secara khusus, penulis sangat berterimakasih kepada Ketua Bagian beserta staf Penyakit Dalam FKH-IPB, atas ijin, pengertian, dorongan semangat maupun bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan staf PT Wanara Satwa Loka, PT IndoAnilab Bogor, PT Bimana, pimpinan dan staf Pusat Sudi Satwa Primata LPPM IPB dan Ketua Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi atas dukungan dan fasilitas materi penelitian dan tempat pengerjaan materi penelitian sampai selesai. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir Anik Juraidah, MSi atas bantuannya dalam analisis data, Dr. dr. Anwar Wardy W, SpS, Dr. drh Erni Sulistiawati, SpP1 dan drh. Adi Winarto, Ph.D yang telah membantu menelaah naskah untuk penerbitan di Jurnal Veteriner sebagai bagian dari penulisan disertasi. Terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. drh. Silvia A Prabandari, Lis Rosmanah, MSi dan Pak Rahmat di Laboratorium Patologi PSSP LPPM IPB serta Sdr. Rudi dari Labortorium Riset Bagian Anatomi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB dan Malni Sovinar mahasiswa bimbingan, atas segala bantuan yang diberikan dalam penyelesaian pekerjaan di laboratorium. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Eva Harlina, MSi dan drh. Vetnizah Yuniantito, Ph.D atas diskusi dan pemanfaatan software yang sangat bemanfaat. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman Tim penelitian monyet obes (Ir. Saniwu, MSi, Ir. Ria Oktarina, MSi, Ir. Devi Piyoh,
MS, Dr. dr. Anwar Wardy SpS dan drh. Agus Lelana SpMP, MSi), teman-teman mahasiswa Pascasarjana PRM, mbak Yanti, Yana dan Alfian atas dukungan administrasi serta kepada semua pihak atas bantuan dan dukungan yang diberikan. Semoga kebaikan yang diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa BPPS dan biaya penyelesaian program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Kepada bapak dan bapak mertua (alm), ibu dan ibu mertua, dan kakakkakak serta adik-adik, penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya atas doa restu dan dorongan semangat yang tak henti-hentinya telah diberikan. Akhirnya, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, disertasi ini kupersembahkan kepada istri tercinta Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi dan anakanakku tersayang M Hanief Hilmy, ST., M Fahmi Arsyada, Rizqa Chairina dan M Mursyidan Fanany, atas cinta kasih, pengertian, kesabaran, dorongan semangat dan dukungan yang selalu diberikan, khususnya selama menempuh pendidikan ini. Betapa berharganya waktu yang telah diberikan Sang Pemberi waktu untuk dimanfaatkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya sebelum datang kendala yang menghadang berhentinya waktu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahunan.
Bogor, Juli 2012
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sidoarjo pada tanggal 30 Mei 1962 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara keluarga Bapak Mochamad Cholil Rahmad (Alm) dan Ibu Malichah. Pada tahun 1981, penulis menamatkan pendidikan di SMA Negeri 6 Surabaya dan pada tahun yang sama lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Perintis II. Selanjutnya pada tahun 1982 penulis diterima menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1985, dilanjutkan dengan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (Koasistensi) dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 1987. Pendidikan Magister (S2) bidang Sains Veteriner ditempuh di Sekolah Pascasarjana IPB dan gelar Magister Sains diperoleh pada tahun 1992. Penulis mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di MMA IPB dan memperoleh gelar Magister Manajemen Agribisnis pada tahun 1997. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan program Doktor pada Program Mayor Primatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1987 sampai sekarang penulis masih aktif berprofesi sebagai staf pengajar di Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan program pascasarjana penulis telah menghasilkan beberapa karya ilmiah yang dipublikasikan melalui seminar dan jurnal ilmiah. Karya ilmiah yang berjudul “Evaluasi hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai hewan model penyakit obesitas” telah dipresentasikan dalam bentuk poster pada Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional (KIVNAS) XI PDHI tahun 2010. Karya ilmiah berjudul “Penurunan kadar gula darah pada monyet ekor panjang kegemukan dengan pemberian nikotin dosis rendah” akan diterbitkan di Jurnal Veteriner Volume 14, No. 3, Edisi September tahun 2013. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari penelitian disertasi ini.
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ………….................................................................................
ix
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xv
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................ Tujuan ................................................................................................ Manfaat .............................................................................................. Hipotesis ............................................................................................ Kerangka Pemikiran ...........................................................................
2 4 5 5 5 6
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
7
Obesitas ............................................................................................... Indeks massa tubuh ...................................................................... Tipe Obesitas ............................................................................... Nikotin ................................................................................................ Karakteristik nikotin .................................................................... Patofisiologi nikotin ..................................................................... Metabolisme nikotin ..................................................................... Organ Pankreas dan Hati ..................................................................... Pankreas ....................................................................................... Hati ............................................................................................... Fungsi pankreas dan hati dalam metabolisme ............................... Metabolisme karbodidrat ............................................................... Metabolisme lipid ......................................................................... Hewan Model ................................................................................ Satwa Primata sebagai Hewan Model ..................................................
7 8 9 10 10 11 12 15 15 16 17 18 22 24 24
METODA PENELITIAN ..............................................................................
27
Tempat dan Waktu ............................................................................... Materi dan Metode Penelitian .............................................................. Materi Penelitian protein .............................................................. Metode Penelitian ..........................................................................
27 27 27 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
32
Glukosa Darah ....................................................................................... Kadar Insulin ......................................................................................... Histopatologi ..................................................................................
32 33 35
xiv
Distribusi pulau Langerhans pankreas ........................................... Area positif insulin ........................................................................ Jumlah Sel-β pankreas ................................................................... Hati ..............................................................................................
35 36 38 41
PEMBAHASAN UMUM ...........................................................................
53
SIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
53
Simpulan ............................................................................................... Saran ......................................................................................................
53 53
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
54
LAMPIRAN ..................................................................................................
61
xv
DAFTAR TABEL
Halaman 1
xvi
Klasifikasi berat badan dan IMT (indeks massa tubuh) orang Asia ......................................................................................................
9
DAFTAR GAMBAR 1
Halaman Kerangka Pemikiran ............................................................................ 6
2
Strukur kimia nikotin ...........................................................................
10
3
Jalur metabolisme nikotin pada sel hati manusia...................................
14
4
Skema bagian-bagian pankreas dan kumpulan kelenjar asini dan pulau Langerhans ……………………………………………………..
16
Skema lobulasi hati dengan hepatosit yang tersusun radier dan daerah segitiga Kiernan ..................................................................................
17
6
Glikogenesis ..........................................................................................
20
7
Glikogenesis melalui siklus Cori .........................................................
21
8
Sintesis asam lemak hati dari karbohidrat melalui mitokondria …......
22
9
Formasi very low density lipo protein (VLDL) di sel hati ....................
23
10
Morfologi MEP (M. fascicularis) betina (A) dan jantan (B) dewasa....
25
11
Rerata kadar glukosa darah monyet ekor panjang preobes dan obes dengan intervensi nikotin cair dosis rendah ..........................................
32
Grafik rerata kadar insulin MEP preobes dan obes kelompok nikotin (pOb+/Ob+) dan kelompok tanpa nikotin (pOb-/Ob-).. ........................
34
Grafik rerata distribusi pulau Langerhans pankreas MEP preobes dan obes kelompok nikotin (pOb+/Ob+) dan kelompok tanpa nikotin (pOb-/Ob-). ..........................................................................................
35
Grafik rerata area positif insulin pankreas MEP preobes dan obes kelompok nikotin (pOb+/Ob+) dan kelompok tanpa nikotin (pOb/Ob-). ....................................................................................................
36
Sel-sel imunoreaktif terhadap insulin pada pulau Langerhans pankreas MEP preobes (pOb+) dan obes (Ob+) dengan pemberian nikotin (A-C) dan preobes (pOb-) dan obes (Ob-) tanpa nikotin (BD) .........................................................................................................
37
Grafik rerata jumlah sel-β pankreas MEP preobes dan obes kelompok nikotin (pOb+/Ob+) dan kelompok tanoa nikotin (pOb/Ob) ......................................................................................................
39
Histopatologi hati monyet ekor panjang preobes. A. Kelompok nikotin (pOb+) dan B. tanpa nikotin (pOb-). .......................................
41
Grafik persentasi lesio pada parenkim hati MEP obes dengan nikotin (Ob+) dan tanpa nikotin (Ob-) ............................................................
42
5
12 13
14
15
16
17 18
xvii
19 20
xviii
Histopatologi hati monyet ekor panjang obes. A, Kelompok nikotin (Ob+) dan B. tanpa nikotin (Ob-). .........................................................
43
Grafik persentase lesio pada parenkim hati MEP preobes dengan nikotin (pOb+) dan tanpa nikotin (pOb-). .............................................
43
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Lembar Persetujuan ACUC .................................................................
61
2
Tabel hasil uji-t kadar glukosa pada kelompok Ob- dan pOb- .............
62
3
Tabel hasil uji-t kadar glukosa pada kelompok Ob+ dan Ob+ ............
62
4
Tabel rataan jumlah pulau Langerhans, area positif (%) dan kadar insulin (µIU/ml) MEP akhir penelitian ................................................
62
5
Tabel hasil Anova pulau Langerhans pankreas MEP ..........................
63
6
Tabel hasil Anova kadar insulin MEP ..................................................
63
7
Tabel hasil uji LSD pada kadar insulin kelompok Ob-/Ob+ dan pObdan pOb+ MEP selama penelitian ........................................................
63
xix
PENDAHULUAN Latar Belakang Nikotin merupakan alkaloid toksik yang diekstrak dari daun kering tanaman tembakau (Nicotiana tobacum) (Karlsson & Ahrén 1998), berbentuk senyawa amin yang terdiri dari cincin piridin dan pirolidin. Tanaman tembakau merupakan tanaman tropis yang awalnya berasal dari Amerika dan telah menyebar luas termasuk ke Indonesia. Produksi tembakau di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat, sehingga sejak tahun 1990 Indonesia telah menjadi salah satu negara produsen utama tembakau dunia. Produksi yang terus meningkat telah membuat Indonesia termasuk urutan ke-enam negara produsen utama tembakau dunia menggantikan Soviet (USSR) pada tahun 2007 (Rachmat & Nuryanti 2009). Tanaman ini telah sejak lama digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan rokok atau insektisida. Oleh karenanya jutaan orang di seluruh dunia telah terpapar nikotin melalui asap rokok dan juga melalui inhalasi insektisida yang diformulasi dari bahan tembakau. Nikotin yang masuk melalui asap rokok pada umumnya tidak murni, tetapi bercampur dengan bahan-bahan lain yang terkandung dalam tembakau yang turut terbakar. Nikotin yang terserap melalui paru-paru dapat menembus barier darah otak (blood brain barrier) dan diedarkan ke seluruh bagian otak. Nikotin bersifat adiktif, sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan yang cukup lama pada perokok dan berdampak buruk pada perokok pasif. Nikotin per inhalasi ini menyebabkan berbagai pengaruh negatif seperti gangguan kardiovaskular, saraf dan fungsi endokrin melalui efek pada sistem saraf pusat dan perifer (Benowitz 1986). Berbagai pengaruh negatif nikotin ini telah menyebabkan dikeluarkannya larangan merokok atau dikuranginya konsumsi rokok, oleh beberapa negara. Hal tersebut secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi aktivitas ekonomi, terutama petani tembakau di negara-negara produsen. Namun selain efek negatif yang ditimbulkan, telah diketahui jika nikotin juga memiliki pengaruh positif dalam pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin murni yang dikonsumsi per oral dengan dosis rendah akan meningkatkan kadar adrenocorticotropic hormone (ACTH), epinefrin dan kortisol
1
dalam plasma (Morgan et al. 2004). Menurut Yoshikawa et al. (2005), konsumsi nikotin efektif melepaskan asetilkolin dari vesikel sinaptik dalam otak tikus. Pengikatan nikotin pada reseptor nikotinik presinaptik dari terminal saraf kolinergik berpengaruh terhadap meningkatnya pelepasan asetilkolin. Selain itu pemberian nikotin juga akan mempengaruhi reseptor nikotin asetilkolin (nAch) di sel-β pancreas yang akan meningkatkan segregasi dan rekonstruksi inositol fosfat, sehingga meningkatkan sensitivitas kalsium dalam sel (Hamaguchi et al. 2003). Efek perifer dari nikotin asetilkolin adalah merangsang reseptor di parasimpatis dan simpatio-adrenal sistem saraf (Arendash et al. 1995). Hal ini akan mempengaruhi hati melalui sekresi epinefrin yang menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa dari hati ke aliran darah (Benowitz 1986), serta terjadinya pelepasan insulin dari pankreas akibat sekresi epinefrin dan norepinefrin dari medula adrenal (Iguchi et al. 1986; Benowitz 1986). Studi terakhir menurut Hossein (2011) menunjukkan adanya efek positif nikotin pada kadar serum insulin tikus Wistar, sehingga penting dipelajari pengaruhnya pada manusia yang mengalami hipoinsulinisme. Berdasarkan studi epidemiologi diprediksi jumlah pasien penderita diabetes di dunia akan meningkat mencapai 300 juta pada 2025 (Zimmet et al. 2001). Menurut data tahun 2006, diperkirakan 2.1% penduduk di dunia menderita diabetes dan sekitar 60% berada di Asia. Penderita diabetes ini seringkali dikaitkan dengan kejadian obesitas. World Health Organization (WHO 2006) pada tahun 2005, melaporkan terdapat 1,6 miliar orang dewasa (berumur lebih dari 15 tahun) menderita overweight dan sedikitnya 400 juta diantaranya tergolong obes. Proyeksi tahun 2015, diperkirakan terdapat 2.3 miliar orang dewasa yang memiliki berat badan berlebih dan sebanyak 700 juta diantaranya tergolong obes. Saat ini banyak masyarakat di negara berkembang, seperti Indonesia mengalami masalah obesitas dan diabetes (WHO 2007). Kejadian obesitas dan diabetes terus meningkat setiap tahun karena adanya perubahan pola makan yang mengandung tinggi karbohidrat, lemak, protein, dan penurunan aktivitas fisik dalam bentuk kerja dan mobilitas. Perubahan pola makan tersebut dalam jangka waktu lama disertai penurunan aktivitas fisik akan menimbulkan risiko terjadinya sindroma metabolik yang mengakibatkan obesitas.
2
Efek yang ditimbulkan akibat obesitas dapat berhubungan dengan penurunan kualitas hidup dan sebagai faktor pemicu terjadinya berbagai penyakit, antara lain kardiovaskuler, diabetes melitus, dan hipertensi. Obesitas dan diabetes dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetik, gaya hidup, lingkungan, psikologis, sosial dan budaya (Racette et al. 2003). Beberapa penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini memberikan hasil positif pemanfaatan nikotin dalam pengobatan. Pribadi (2008), menyatakan bahwa senyawa nikotin dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk mengatasi sindroma metabolik pada tikus dan mencit yang disebabkan oleh konsumsi pakan tinggi karbohidrat, protein, dan lemak. Nikotin akan mempunyai efek positif bagi kesehatan apabila digunakan dalam dosis yang tepat dan aman. Nikotin memiliki margin of safety atau batas pemakaian yang luas dan dapat menimbulkan toksisitas bila mencapai 60 mg/kg bobot badan (Balfour et al. 2000) Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh pemberian nikotin cair dosis rendah (0.75 mg/kg bobot badan) secara per oral, terhadap profil glukosa darah, kadar insulin darah dan gambaran sel-sel penghasil hormon insulin (sel-β) yang imunoreaktif pada pulau Langerhans pankreas dan sel-sel parenkim hati monyet ekor panjang (MEP), sebagai hewan model yang mengalami obesitas. MEP dimanfaatkan sebagai hewan model dalam penelitian karena memiliki banyak kemiripan secara anatomis dan fisiologis dengan manusia (Roth et al. 2004). MEP merupakan hewan endemik Indonesia yang populasinya cukup besar dan sudah berhasil ditangkarkan untuk dimanfaatkan sebagai hewan model beberapa penelitian penyakit pada manusia. Penggunaan MEP sebagai hewan model untuk diekstrapolasikan pada penyakit manusia, diharapkan memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan hewan model lainnya, mengingat faktor kedekatan filogeni, kemiripan struktur anatomi dan proses fisiologis pada keduanya.
3
Perumusan Masalah Masalah obesitas telah mendapat perhatian yang cukup besar dari para peneliti dan berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasinya, baik dari sisi perbaikan nutrisi, perilaku makan dengan diet ketat maupun cara medis untuk menurunkan bobot badan. Obesitas juga memiliki resiko gangguan metabolik antara lain resistensi insulin, dislipidemi, hipertensi dan resiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Berbagai upaya pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan obat alternatif yang bertujuan menurunkan bobot badan dengan resiko minimal, salah satunya adalah pemberian nikotin cair dosis rendah. Nikotin merupakan alkaloid yang ditemukan pada tembakau yang seringkali dipandang sebagai senyawa yang menyebabkan pengaruh negatif bila dikonsumsi, terutama secara per inhalasi. Hal ini karena nikotin yang dikonsumsi dengan cara merokok memiliki pengaruh adiktif atau ketergantungan, bahkan bisa berakibat fatal bila digunakan secara berlebihan. Apabila diberikan dengan dosis rendah per oral, nikotin murni memiliki pengaruh positif sebagai bahan farmakoterapi yang dapat mempengaruhi nafsu makan dan mengatur metabolisme umum yang berkaitan dengan kebutuhan energi. Gambaran pengaruhnya terhadap metabolisme karbohidrat dan lemak telah banyak diteliti pada hewan model tikus dengan melihat fungsi sel-sel dalam organ hati. Secara fisiologis, metabolisme di dalam tubuh yang melibatkan berbagai sistem organ terjadi secara terintegrasi, sehingga dapat mempertahankan homeostasis. Apabila intervensi nikotin dosis rendah memberikan pengaruh yang positif, seperti nilai glukosa yang dapat menunjukkan status metabolisme, maka secara histopatologis diduga akan memberikan gambaran yang juga baik terhadap sel-sel penghasil hormon dan enzim pencernaan pada hewan model. Melalui penelitian dengan menggunakan hewan model monyet ekor panjang (MEP) obes diharapkan dapat menjelaskan mekanisme secara seluler dan molekuler kerja nikotin, khususnya pada organ pankreas dan hati, dalam proses timbulnya gangguan dan perbaikan metabolisme pada hewan percobaan.
4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek positif pemberian nikotin dosis rendah (0.75 mg/kg bobot badan) secara per oral terhadap: 1. Profil glukosa dan insulin darah 2. Gambaran histopatologi pulau Langerhan pankreas 3. Gambaran
histopatologi
hati
yang
berperan
dalam
metabolisme
karbohidrat dan lemak akibat paparan nikotin.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat pada perkembangan terapi dalam dunia kedokteran. Pemanfaatan nikotin murni dalam dosis rendah untuk terapi dapat merubah anggapan bahwa nikotin hanya memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Secara tidak langsung hasil penelitian ini diharapkan akan berpengaruh positif khususnya bagi para petani tembakau, jika banyak negara memberlakukan larangan merokok.
Hipotesis Pemberian nikotin dosis rendah per oral 0.75 mg/kg bobot badan pada hewan model obes akan memperbaiki metabolisme glukosa dengan memperbaiki sel-β pankreas dan parenkim hati.
5
Kerangka Pemikiran
Masalah Obesitas Monyet Ekor Panjang sebagai Hewan Model
Penyebab : Gaya hidup, Pola makan, Genetik, Perilaku, Sosial budaya
Resiko : Psikososial, Sindroma Metabolik, Penyakit Degeneratif Pemecahan masalah
Non Medis: Diet ketat rendah kalori, Aktivitas ditambah, Perubahan pola makan dan gaya hidup
Medis: Tindakan operatif, Pemberian obatobatan, Pemberian NIKOTIN
NIKOTIN Dosis Rendah (0.5-0.75 mg/kg) bb)
NIKOTIN Dosis Terapi Pengganti
Hewan Model Dosis Rendah per Oral
Organ Pankreas & Hati: Histopatologi Jaringan
Kimia Darah:
Glukosa & Insulin
ANALISIS Uji-t (kimia darah) Deskriptif (histopatologi jaringan)
INTERPRETASI
Gambar 1. Kerangka pemikiran dan alur penelitian 6
TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Obesitas merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan penumpukan lemak tubuh secara berlebih sehingga menyebabkan berat badan jauh melebihi normal, yang diakibatkan oleh adanya ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan yang diperlukan oleh tubuh (Adam 2006). Menurut Racette et al. (2003), obesitas disebabkan oleh bebarapa faktor, yaitu genetik, tingkah laku, lingkungan, fisiologi, sosial dan budaya. Hasil penelitian World Health Organization (WHO) tahun 2007, menyimpulkan
bahwa
tingkah laku dan
lingkungan merupakan faktor utama penyebab obesitas dalam dua dekade ini, meskipun Maes et al. (1977) memperkirakan bahwa faktor genetik memberikan kontribusi 50% - 90% dalam perubahan indeks massa tubuh (IMT), suatu nilai yang dapat dijadikan sebagai patokan obesitas. Obesitas dapat disebabkan oleh adanya peningkatan asupan makanan dan penurunan aktivitas fisik. Asupan makanan semakin meningkat karena ketersediaan makanan yang semakin banyak dan mudah didapat, sementara aktivitas fisik semakin berkurang sehingga mengakibatkan rendahnya energi yang digunakan, sebagai akibatnya adalah obesitas (Chen et al. 2000). Menurut WHO (2006), banyaknya asupan makanan yang mengandung lemak, karbohidrat dan rendahnya asupan vitamin, mineral dan micronutrients juga dapat mengakibatkan terjadinya obesitas. Jaringan lemak (adipose) telah diketahui berperan pada pengaturan proses homeostasis energi, yaitu suatu proses yang membutuhkan keseimbangan antara asupan energi (asupan makanan) dan pengeluaran energi (metabolisme dan gerak), serta ukuran cadangan energi (massa lemak) dalam tubuh (Wood dan Seeley 2002). Faktor lain yang sering dijumpai pada kasus obesitas adalah adanya kondisi resistensi insulin. Menurut Adriansjah dan Adam (2006), sindroma metabolik adalah sekelompok kelainan metabolik baik lipid maupun non-lipid yang merupakan faktor resiko penyakit kardiovaskular pada manusia, yang terdiri atas obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (kadar trigliserida tinggi dan kadar kolesterol HDL rendah), hipertensi dan glukosa plasma yang abnormal. Resiko penyakit
7
kardiovaskuler juga meningkat pada penderita resistensi insulin karena cenderung berkembang menjadi intoleransi glukosa, hipertrigliseridemia, konsentrasi HDL yang rendah, hipertensi dan mengarah pada keadaan gangguan koagulasi darah dan peradangan (Reaven 2006) Resiko dari obesitas adalah resiko psikososial dan resiko medis. Dewasa ini resiko psikososial sudah banyak disadari oleh masyarakat, namun sebaliknya dengan resiko medis. Orang obes cenderung sering sakit akibat adanya kelainan metabolik. Kelainan metabolik tersebut umumnya berupa resistensi terhadap insulin yang muncul pada jaringan lemak. Efek lain dari kurangnya pengaruh insulin adalah adanya kenaikan kadar asam lemak bebas (free faty acid-FFA) dan gliserol (Sukanto et al. 1996). Obesitas juga dapat disebabkan oleh virus, seperti yang dilaporkan oleh Dhurandhar (2001). Virus penginfeksi lemak ini berasal dari golongan adenovirus-36. Adenovirus biasanya ditularkan melalui udara, kontak langsung, bahkan lewat air. Cara penularan virus lemak ini sama seperti flu biasa, yaitu dari seorang yang terinfeksi kepada orang lain yang tidak terinfeksi. Virus ini cenderung lebih banyak menyerang orang yang gemuk, meskipun bukan berarti orang kurus tidak dapat terinfeksi virus ini. Pola makan yang tepat dengan gizi seimbang, serta berolahraga dan istirahat cukup, merupakan cara yang tepat guna mencegah infeksi virus ini. Terdapat dua jenis virus yang dapat menyebabkan obesitas, yaitu SMAM-1 avian adenovirus dan adenovirus-36 pada manusia (Dhurandhar 2001). Penelitian pada nonhuman primates, yaitu rhesus monkey (Macaca mullata) jantan dan marmosets (Callithrix jacchus) jantan yang diinfeksi dengan dua jenis virus tersebut menunjukan adanya efek peningkatan berat badan dan penurunan kadar kolesterol pada serum darah (Dhurandhar et al. 2002).
Indeks massa tubuh (IMT) Menurut Adam (2006) banyak cara untuk menentukan seseorang obes atau tidak, tetapi cara yang paling mudah secara medis adalah dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT). Selain dengan menggunakan IMT, obesitas juga dapat diukur dengan menentukan distribusi jaringan lemak, yaitu obes sentral atau perifer.
8
Penilaian berat badan dengan menggunakan IMT sangat cocok diterapkan bagi orang-orang yang ingin mengetahui kondisi berat badan ditinjau dari kesehatan. Klasifikasi berat badan dan IMT untuk orang Asia menurut WHO (2000) dapat dilihat pada Tabel 1. IMT dihitung dengan membagi bobot badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2), namun untuk monyet ekor panjang dilakukan modifikasi perhitungan menurut Kavanagh et al. (2007) yaitu dengan membagi bobot badan (kg) dengan kuadrat tinggi duduk (m2). Tabel 1 Klasifikasi berat badan dan indeks massa tubuh orang Asia Klasifikasi Berat Badan Kurus (underweight) Normal (ideal) Overweight: Pre Obes Obes tipe 1 Obes tipe 2
IMT (kg/m2)
Resiko Penyakit
≤ 18,5 18,5 – 22,9 ≥ 23,0 23,0 – 24,9 25,0 – 29,9 ≥ 30,0
Rendah Rata-rata Meningkat Sedang Berbahaya
Sumber: Adam (2006) Tipe obesitas Lemak di dalam tubuh terutama dideposit pada dua tempat yang berbeda, yaitu di bagian perut (abdomen) dan di bagian paha atas (gluteus). Pada pria, lemak tubuh banyak dideposit di bagian atas tubuh, yaitu bagian perut, disebut sebagai obesitas sentral atau dikenal juga sebagai obesitas tipe android (bentuk apel). Pada wanita, lemak kebanyakan dideposit di bawah perut, seperti pinggul, pantat dan paha. Tipe obesitas seperti ini dinamakan obesitas tipe gynecoid (bentuk pir) yang umumnya ditemukan pada wanita.
Pada obesitas sentral
penimbunan lemak di abdomen, terdapat baik subkutan maupun intra abdominal. Jaringan intra abdominal terdiri atas lemak intraperitoneal (omentum dan mesenterik) dan retroperitoneal. Pemeriksaan baku obesitas sentral dapat dilakukan dengan cara pencitraan menggunakan computed tomogrphy (CT-scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI) maupun densitometri (DXA). Pemeriksaan tersebut cukup praktis tetapi membutuhkan biaya yang mahal. Cara lain yang dapat dilakukan, yaitu dengan cara antropometri sederhana. Ada dua cara antropometri, yaitu dengan cara mengukur lingkar pinggang atau menghitung indeks rasio lingkar pinggang terhadap pinggul (RPP). Pengukuran lingkar pinggang lebih praktis dan terbukti dapat mendeteksi adanya penimbunan lemak
9
abdominal lebih baik dibandingkan RPP. Pada orang Asia, jika lingkar pinggang pada pria ≥ 90 cm dan wanita ≥ 80 cm, akan meningkatkan resiko komplikasi metabolik (Adam 2006). Menurut Adam (2006) ada hubungan yang erat antara obesitas sentral dan faktor resiko terhadap penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus tipe-2, terganggunya toleransi terhadap glukosa, hipertensi dan dislipidemi. Diabetes merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau apabila tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Diabetes melitus melibatkan gangguan hormonal yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah (hiperglikemia). Pada kondisi diabetes yang tak terkontrol, lama kelamaan dapat menyebabkan kerusakan serius pada sistem organ tubuh. Organ-organ tubuh akan berfungsi baik pada kadar gula optimum (90-110 mg/dl) dalam aliran darah. Apabila glukosa dalam darah mencapai kadar sangat tinggi atau sangat rendah akan memberikan efek buruk pada tubuh. Nikotin Karakteristik nikotin Nikotin adalah alkaloid kelompok amin yang disusun oleh cincin-cincin piridin dan pirolidin dengan rumus kimia C10H14N2; 1 metil-2(3-piridil) pirolidin atau α-piridil β-N-asetil pirolidin (Gambar 2). Nikotin memiliki berat molekul 162.23 dan titik didih 247.3 oC
dan secara alami ditemukan pada
tumbuhan tembakau. Dalam tembakau senyawa ini berikatan dengan asam malat atau asam sitrat dan di alam senyawa ini berbentuk cairan tak berwarna sampai kekuning-kuningan atau coklat yang bila terkena cahaya membentuk cairan seperti minyak yang sangat higroskopis. Senyawa ini larut dalam air, alkohol, eter, khloroform, kerosin dan pelarut lain (Mahajoeno 2000).
Gambar 2. Strukur kimia nikotin
10
Nikotin murni dapat diperoleh dengan cara penyulingan biasa atau penyulingan vakum (Mahajoeno 2000). Nikotin pertama kali diekstrak pada daun kering tanaman tembakau dan bersifat toksik (Karlsson dan Ahren 1998). Tembakau termasuk ke dalam famili Solanaceae, genus Nicotiana dan spesies Nicotiana tabacum. Kandungan nikotin pada berat kering daun tembakau adalah sekitar 5%. Senyawa ini memiliki batas aman (margin of safety; MOS) yang relatif luas. Dosis toksik atau mematikan pada hewan penelitian adalah 60 mg/kg berat badan. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa nikotin dapat melewati membran biologis termasuk barrier otak (blood brain barrier) dan diedarkan ke seluruh bagian otak (Balfour et al. 2000). Ahli neurosain memprediksi bahwa nikotin akan menjadi obat yang aman untuk dikonsumsi setiap hari pada penderita berbagai macam penyakit seperti Alzheimer, Parkinson, demensia-strok, anxiety, depresi bahkan nyeri dan kegemukan serta dalam dosis tertentu merangsang nafsu-makan (appetizer). Induksi nikotin dalam dosis rendah terukur dapat menurunkan lesitin dan terjadi penurunan deposit kolesterol, namun dosis yang tinggi dapat meningkatkan ikatan platelet-CO yang mengakibatkan terjadi hipoksia karena afinitas terhadap Hb juga meningkat (Cuming 2003). Grunberg et al. (1984) menyatakan bahwa ada dugaan nikotin dapat mengurangi bobot badan melalui sekurang-kurangnya dua mekanisme, yaitu dengan mengurangi nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme. Hal ini diduga karena adanya peran nikotin yang mengakibatkan pelepasan serotonin, suatu neurotransmiter sistem syaraf yang berfungsi mengatur nafsu makan, tidur, dan metabolisme secara umum. Patofisiologi nikotin Tembakau mengandung Nikotin-S murni, suatu alkaloid yang secara alami juga ditemukan pada daun tanaman terong. Namun dalam bentuk rokok, asapnya mengandung isomer-RR (10%) sebagai akibat pembakaran tembakau. Nikotin-S lebih kuat dibandingkan stereo-isomer (RR). Nikotin bersifat basa lemah dengan pH 8.0. Pada pH fisiologis (pH 7.4), 31 % nikotin tidak berbentuk ion dan dapat dengan mudah diserap melalui membran sel. Secara stereospesifik nikotin berikatan dengan reseptor asetilkholin (Ach) di ganglion otonom, medulla adrenal, neuromuscular junction dan otak. Pada pH 5.5 (asam), nikotin berbentuk ion, dan tidak dapat melewati membran sel secara cepat. Jadi absorbsi melalui membran sel tergantung pH dan biasanya bersifat alkali dengan pH 8.5.
11
Penyerapan melalui alveoli sangat cepat, segera setelah inhalasi nikotin. Ini disebabkan oleh pH yang alkali dan luas permukaan alveoli yang memfasilitasi nikotin menembus membran mukosa. Absorbsi dalam lambung kurang baik karena keasaman lambung membuat nikotin berbentuk ion, sedangkan dalam usus lebih baik karena pH lebih alkalis dan permukaan penyerapan yang luas (Hukkanen et al. 2005). Pada pemberian nikotin per oral, konsentrasi yang tinggi di dalam darah akan didapatkan setelah satu jam. Nikotin yang larut dalam cairan fisiologis memungkinkan diserap melalui membran mulut. (Fenster et al. 1997; Yildiz 2004). Setelah absorbsi, nikotin masuk aliran darah dengan pH 7.4. pada pH tersebut sekitar 69% nikotin beada dalam bentuk terionisasi (polar) dan 31% dalam bentuk non polar yang akan berikatan dengan protein kurang dari 5% (Benowits et al, 1982). Nikotin didistribusikan dalam tubuh secara ekstensif pada jaringan dalam volume tetap rata-rata 2.6 l/kg (Hukkanen et al. 2005). Bukti secara patologis menunjukkan bahwa pada tubuh perokok, afinitas tertinggi ditemui nikotin dalam hati, ginjal, limpa dan paru-paru, sedangkan paling rendah dijumpai pada jaringan adiposa (Urakawa et al. 1994). Konsentrasi kotinin paling tinggi dijumpai di hati, sedangkan pada jaringan otot konsentrasi nikotin dan kotinin hampir sama dengan konsentrasinya dalam darah. Metabolisme nikotin Masuknya nikotin ke dalam aliran darah melalui sirkulasi pulmonal dari asap rokok, tidak melewati vena porta atau vena sistemik. Jarak antara waktu merokok sampai masuknya nikotin ke otak adalah sekitar 10 sampai 20 detik, lebih pendek dibandingkan bila disuntikkan secara intravena (Benowitz 1990; 1996). Nikotin masuk secara cepat ke otak, kemudian konsentrasinya segera turun setelah beredar ke seluruh jaringan tubuh. Nikotin bila diaplikasikan secara oral akan lambat diabsorbsi karena dalam lambung akan diprotonisasi (ionisasi) oleh cairan asam lambung, tetapi akan cepat diabsorbsi dalam usus karena pH nya lebih alkalis dan luas permukaannya lebih besar. Pemberian nikotin dalam kapsul atau cairan konsentrasi tertingi dicapai setelah satu jam (Benowitz et al. 1991; Zins et al. 1997 dan Dempsey et al. 2004). Bioavailabilitas nikotin secara oral sekitar 20-45% (Benowitz et al. 1991; Zins et al. 1997) karena melalui metabolisme dalam hati lebih dahulu. Kotinin lebih polar dibanding nikotin
12
sehingga dimetabolisir lebih lambat dan sedikit mengalami proses metabolisme setelah pemberian oral. Ekskresi nikotin melalui ginjal dipengaruhi oleh pH urin dan sebanyak 35-80% berupa metabolit primer, yaitu kotinin dan nikotin-Noksida. Kedua zat ini tidak mempunyai efek farmakologis. Metabolisme nikotin terutama dilakukan di hati. Nikotin dimetabolisir secara ekstensif menjadi sejumlah metabolit dalam hati, dan metabolit yang terutama diidentifikasi ada enam jenis metabolit (Gambar 3). Secara kuantitatif, metabolit nikotin yang paling penting pada kebanyakan spesies mamalia adalah derivat laktam yang disebut kotinin. Sekitar 70 sampai 80% nikotin pada manusia dikonversi menjadi kotinin (Benowits & Jacob 1994). Diperlukan dua langkah untuk transformasi nikotin menjadi kotinin. Pertama, diperantarai oleh sistem sitokrom P450 untuk menghasilkan ion nikotin-∆1’(5’)iminium yang setara dengan 5”-hidroksi kotinin (Murphy 1973; Brandange & Lindblom 1979; Peterson et al. 1987). Kedua, katalisasi oleh oksidase aldehida (AOX) sitoplasma (Gorrod & Hibberd 1982). Ion nikotin iminium merupakan alkylating agent yang dapat berperan dalam farmakologi nikotin (Jacob et al. 1997). Metabolit lain dari nikotin adalah Nikotin N’-oksida (NNO), meskipun hanya 4-7% nikotin yang diserap oleh perokok akan dimetabolisir melalui jalur ini (Benowitz et al. 1994). Konversi nikotin ke nikotin N’-Oksida melibatkan flavinmonooxygenase-3 (FMO3). Jalur ini sangat selektif pada manusia untuk isomer trans (Cashman et al. 1992). Hanya isomer trans dari nikotin N’-oksida yang dideteksi dalam urin setelah pemberian nikotin melalui infusi, plester transdermal atau rokok. Selanjutnya nikotin N’-oksida tidak dimetabolisir tetapi didaur ulang menjadi nikotin. Percobaan pemberian nikotin N’-oksida melalui suntikan atau oral ternyata diekskresikan kembali dalam jumlah besar melalui urin tanpa ada perubahan bentuk metabolit.
13
Gambar 3 Jalur metabolisme nikotin pada sel hati manusia. Sumber : http://www.pharmgkb.org/index.jsp Selain itu, nikotin juga dimetabolisme oleh paru-paru, limpa, ginjal dan terendah terdapat pada jaringan adiposa (Hukkanen et al. 2005). Nikotin diubah menjadi kotinin oleh enzim sitokhrom yang disebut CYP2A6. Enzim ini secara mendasar mengurangi jumlah nikotin dalam tubuh. Kurang lebih 80% metabolisme nikotin dilakukan oleh enzim sitokrom CYP2A6 yang merupakan kunci utama dalam pengobatan kasus-kasus adiksi perokok dengan cara menurunkan level rasio nikotin dalam darah (Yano et al. 2005). Menurut Valenca et al. (2008) nikotin dimetabolisir melalui berbagai jalur, dan kotinin merupakan hasil utama jalur oksidasi C dari biotransformasi nikotin. Selain di hati yang merupakan organ utama dalam biotransformasi nikotin, metabolisme nikotin juga terjadi di paru-paru dan ginjal. Metabolisme nikotin pada primata non-human mirip dengan manusia. Pada monyet jenis macaca waktu paruhnya sama dengan manusia (Seaton et al. 1991) dan pada monyet hijau Afrika memetabolisme nikotin 80-90% melalui enzim serupa CYP2A6, tetapi kadar protein hati empat kali lebih tinggi dibandingkan manusia sehingga mengakibatkan formasi kotinin dua kali lipat (Schoedel et al. 2003). Beberapa penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa nikotin dosis rendah yang masuk ke dalam tubuh selain melalui paru-paru (merokok), memberikan hasil yang cukup baik untuk secara perlahan-lahan
14
mengurangi adiksi nikotin akibat rokok, maupun dalam memperbaiki gangguan metabolisme, terutama karbohidrat dan lemak, pada kasus obesitas. Beberapa metode yang digunakan adalah dengan cara mengkonsumsi nikotin sebagai pengganti rokok (nicotine replacement therapy). Cara mengkonsumsi nikotin dalam sediaan berupa permen karet (chewing gum), plester nikotin (topical petch) dan semprot hidung (nasal spray) (Balfour et al. 2000; Valenca et al. 2008). LD50 dari nikotin adalah 50 mg/kgbb untuk tikus dan 3 mg/kgbb untuk mencit dan 40-60 mg /kg bb dapat menjadi dosis mematikan untuk manusia dewasa (IPCS ICHEM 1991). Organ Pankreas dan Hati Pankreas Pankreas merupakan organ aksesoris sistem pencernaan, bersama dengan hati, yang terletak di ruang abdomen. Organ ini berbentuk panjang ramping, terletak retroperitoneal menempel di antara duodenum, lambung dan hati, serta dapat dibagi atas tiga bagian yaitu kaput (kepala), korpus (badan), dan kauda (ekor). Pankreas merupakan kelenjar tubuloasinar yang disusun oleh dua macam sel dasar yang mempunyai fungsi berbeda, yaitu sel eksokrin dan sel endokrin. Sel-sel eksokrin (asinar) bertipe sel serous dengan sitoplasma bersifat basofilik dengan inti terletak di basal. Sel-sel ini berkelompok membentuk kelenjar asini dan berfungsi menghasilkan getah pankreas, terutama enzim seperti lipase, amilase dan protease. Kelenjar asini membentuk bagian eksokrin pankreas dan merupakan bagian yang terbesar. Adapun sel-sel endokrin berkelompok membentuk bagian endokrin yang disebut pulau Langerhans dan tersebar di antara asini. Sel-sel endokrin dapat dibedakan atas sel , dan serta dikenali dengan sitoplasmanya yang berwarna lebih pucat, berjumlah sedikit sekitar 1-2% dan menghasilkan hormon, terutama insulin (sel ) dan glukagon (sel ) yang penting untuk metabolisme karbohidrat (Telford & Bridgman 1995). Sekreta dari kelenjar asini pankreas akan disekresikan melalui ductus intercalatus lalu ke ductus interlobularis dan selanjutnya bermuara pada ductus pancreaticus utama (ductus Wirsung). Saluran ini akan bersatu dengan ductus choledochus untuk mengalirkan sekreta ke duodenum melalui ampula Vater (Gambar 4). 15
Gambar 4 Skema bagian-bagian pankreas dan kumpulan kelenjar asini dan pulau Langerhans. (Sumber: http://media-2.web.britannica.com/eb-media/ 17/74317-004-9B143D52.jpg) Hati Hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan secara anatomi tersusun atas beberapa lobus hepatis seperti lobus sinister, quadratus, dexter dan caudatus. Hati merupakan kelenjar asesoris organ pencernaan yang terletak di bagian kranioventral ruang abdomen, berbatasan dengan diafragma dan menutupi sebagian atau seluruh lambung (Dyce et al.1996). Secara mikroskopis hati tersusun atas banyak lobulus yang masing-masing dibatasi oleh jaringan ikat interlobularis. Dalam setiap lobulus, sel-sel hati (hepatosit) tersusun secara radier dengan vena centralis sebagai pusat, dan membentuk sinusoid (ruangan) pada batas antara setiap barisan sel hati. Dinding sinusoid disusun setidaknya oleh dua macam sel, yaitu: 1) sel Kupffer yang berperan dalam memfagosit benda-benda asing seperti fragmen sel darah merah, 2) sel endotel yang saling overlaping dan tidak berhubungan erat satu sama lain (discontinuous) memiliki celah yang memungkinkan molekul protein darah yang berukuran 150-400 nm untuk melewatinya, tetapi tidak dapat dilewati sel-sel darah atau platelet. Selain itu juga ditemukan adanya sel endotel khusus yang diduga ikut berperan dalam melapisi dinding sinusoid (Telford & Bridgman 1995).
16
Pada pertemuan antara tiga buah lobulus hati membentuk daerah imajiner berbentuk segitiga (segitiga Kiernan ) yang berisi unsur-unsur vena, arteri, saluran empedu dan buluh limfe (Gambar 5). Selain fungsi metabolisme dan detoksifikasi obat atau bahan beracun yang masuk
melalui saluran pencernaan, hati juga
merupakan organ tempat metabolisir sel-sel darah merah yang mati untuk diubah menjadi empedu (Telford & Bridgman 1995).
Gambar 5 Skema lobulasi hati dengan hepatosit yang tersusun radier dan daerah segitiga Kiernan.(Sumber:http://www.as.miami.edu/chemistry/2086/ Chap%2024/Chapter%2024- newPART2.htm) Organ hati, seperti halnya pankreas, memiliki fungsi sebagai kelenjar eksokrin dan endokrin. Sebagai kelenjar eksokrin, hati menghasilkan empedu yang berperan penting dalam emulsifikasi lemak. Adapun sebagai kelenjar endokrin, hati bukan menghasilkan hormon, tetapi menghasilkan protein yang terkandung plasma darah seperti fibrinogen, protrombin dan albumin (Telford & Bridgman 1995). Fungsi pankreas dan hati dalam metabolisme Pankreas dan hati merupakan organ asesoris sistem pencernaan yang terletak di ruang abdomen. Kedua organ ini terutama berperan dalam membantu proses pencernaan atau metabolisme bahan makanan atau bahan lain yang masuk bersama makanan menjadi molekul sederhana (monosakarida, asam lemak dan asam amino) yang dapat diserap di usus terutama yeyunum sehingga dapat digunakan oleh tubuh.
17
Pankreas merupakan kelenjar ganda, yaitu sebagai kelenjar endokrin sekaligus eksokrin. Sebagai kelenjar endokrin pankreas menghasilkan beberapa macam hormon, terutama insulin dan glukagon yang berperan penting dalam proses metabolisme gula. Sebagai kelenjar eksokrin pankreas menghasilkan beberapa macam enzim untuk pencernaan karbohidrat (amilase), lemak (lipase) dan protein (tripsinogen) (Colville & Bassert
2002). Khusus untuk proses
pencernaan lemak, agar enzim lipase dapat bekerja optimal, maka diperlukan cairan empedu yang dihasilkan oleh hati untuk mengemulsikan lemak, sehingga memperluas permukaan kontak dengan enzim (Telford & Bridgman 1995). Aktivitas masing-masing organ dapat berubah sesuai kondisi di dalam tubuh yang melibatkan asupan makanan, metabolisme seluler dan kadar berbagai unsur di dalam darah. 1. Metabolisme karbohidrat Sekresi insulin
dimulai ketika makanan dicerna, meskipun absorpsi
glukosa belum berjalan maksimal. Sekresi insulin ini distimulasi oleh kerja peptida lambung untuk memastikan bahwa hati dan jaringan lain disiapkan untuk memetabolisir glukosa yang masuk dari usus. Sejumlah besar glukosa yang masuk ke hati melalui buluh darah portal setelah makan (postprandial) akan dialirkan ke sinusoid hati. Oleh pengaruh insulin, glukosa dalam hati langsung disintesis menjadi glikogen. Jumlah glikogen yang dapat disimpan dalam hati terbatas, dan pada keadaan normal tidak lebih dari 10% dari total berat hati. Pada manusia hal ini direpresentasikan sebagai 100 g glikogen, dan secara proporsional jumlahnya sama dengan simpanan glikogen hati pada spesies lain. Jika jumlah glukosa yang masuk dalam jumlah besar, maka diperlukan upaya lain untuk menjaga konsenrasi glukosa darah. Sintesis Asam lemak merupakan salah satu mekanisme alternatif untuk mengurangi kadar glukosa darah. Konversi glukosa menjadi asam lemak merupakan proses yg irreversible (Cunningham & Klein 2007). Glikolisis Setelah diabsorbsi molekul glukosa memasuki serangkain reaksi dan dioksidasi secara sempurna menjadi CO2 dan H2O dan energi. Pemecahan glukosa ini dikatakan sebagai glikolisis. Satu molekul glukosa bila dioksidasi
18
menjadi 686 kilokalori energi kinetik (aktif). Kebanyakan energi dikeluarkan selama metabolisme karbohidrat disimpan dalam bentuk energi yang mengandung fosfat seperti ATP. Dalam proses oksidasi glukosa beberapa tahap kimia terlibat dan masing-masing tahap dikatalis oleh enzim spesifik. Tahap pertama masing-masing molekul glukosa menghasilkan dua molekul asam piruvat: Glukosa + 2 ADP + 2 PO4 1 asam piruvat + 2ATP + 4H Energi bersih yang dihasilkan adalah 2 molekul ATP. Rangkaian reaksi yang terlibat dalam glikolisis secara keseluruhan dikenal dengan Embden Mayerhof Pathway. Proses-proses yang terjadi adalah proses anaerob yang tidak memerlukan oksigen.
Setelah glukosa diubah menjadi asam piruvat
tahap berikutnya mengkonversi asam piruvat menjadi asetil koenzim A. Asam piruvat + Koenzim A asetil koenzim A + 2H Reaksi ini memerlukan ATP, tetapi bukan ATP umum. Sekarang asetil koenzim A memasuki rangkaian reaksi tahap lain yang disebut siklus asam sitrat atau siklus Kreps.
Siklus ini merupakan proses aerob dan akhir
produksinya adalah CO2,H2O dan energi dalam bentuk ATP detail tahap reaksi seperti pada gambar 6. Hasil dari proses ini adalah 38 molekul ATP namun yang digunakan hanya 55% dari energi kinetik yang dilepas selama proses reaksi. Disamping jalur Embden Meyerhof, ada jalur lain untuk glikolisis yang disebut Hexosa monophosphatet shunt (HMP). Jalur ini terjadi dalam hati, kelenjar mamariadan jaringan adiposa mamalia. Memperhatikan fraksi dari glukosa yang dioksidasi pada jalur ini, pada jalur HMP, pertama glukosa 6 fosfat memasuki proses dehidrogenasi dan dekarboksilasi menjadi ribosa 5 fosfat (pentosa). Pada fase berikutnya ribose 5-fosfat dikonversi kembali menjadi glukosa 6-fosfat oleh serangkaian reaksi intermedier. Pada jalur HMP, nikotinamid
adenin
dinukleotida
fosfat
(NADP)
digunakan
untuk
menggantikan NAD sebagai akseptor hidrogen. Jalur ini bekerja bukan sebagai sumber energi tapi sebagai sumber reaksi kimia.
19
Glikogenesis Glikogenesis adalah proses pembentukan glikogen yang terjadi pada hati dan otot. Pertama glukosa difosforilasi menjadi glukosa 6-fosfat kemudian dikonversi
menjadi
glukosa
1-fosfat
oleh
reaksi
katalisasi
dari
fosfoglukomutase. Selanjutnya glukosa 1-fosfat bereaksi dengan uridin trifosfat (UTP) membentuk uridin difosfat glukosa (UDPG). Setelah ini enzim glikogen sintase bereaksi dengan UDPG dan membentuk suatu glikosida yang berikatan dengan 1 karbon yang diaktivasi glukosa dan 4 karbon glukosa residu dari glikogen melepaskan uridin di fosfat (UDP). Rangkaian proses glikogenesis dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
Gambar 6 Glikogenesis (modifikasi dari Rastogi 2007), Glikogen dalam hati tidak hanya dibentuk dari gula sederhana, tetapi juga dari asam laktat yang dihasilkan dari otot. Asam laktat dihasilkan selama otot berkontraksi dan melalui aliran darah sampai ke hati yang selanjutnya dikonversi menjadi glikogen. Glikogen dalam hati dapat dikonversi menjadi glukosa dan glukosa diubah menjadi glikogen otot yang pada gilirannya diubah kembali menjadi asam laktat dan sebagian ditransformasi kembali menjadi glikogen hati. Proses ini melibatkan jalur yang dikenal sebagai siklus Cori. Bagan siklus Cori dapat dilihat pada Gambar 7. 20
Gambar 7 Glikogenesis melalui jalur siklus Cori (http://pharma.kolon.co.kr:8080/test/upload/news_infor/cori-1.jpg) Glukoneogenesis Glikogen hati dibentuk tidak hanya dari sumber-sumber selain karbohidrat, tetapi juga dari protein dan lemak. Konversi dari protein menjadi glikogen disebut glukoneogenesis. Menurut Rastogi (2007) glukoneogenesis dapat terjadi secara simultan dengan glikogenolisis dalam hati. Kelebihan protein akan dimetabolisir dalam jalur metabolisme karbohidrat dan dapat dikonversi menjadi glukosa atau glikogen melalui proses pembalikan glikolisis. Glukoneogenesis sangat penting dan biasanya terjadi pada saat cadangan glikogen mengalami kekurangan. Dalam proses glukoneogenesis kelebihan protein, pertama dihidrolisis menjadi asam amino yang kemudian di deaminasi dan selanjutnya dimetabolisme melalui jalur karbohidrat dan lemak.
Selain
protein, lemak juga merupakan sumber yang bisa dikonversi menjadi glukosa namun dalam jumlah terbatas. Konversi merupakan bagian yang penting dari proses oksidasi asam lemak rantai panjang dalam mitokondria. Selanjutnya gliserol bereaksi dengan ATP membentuk gliserol fosfat yang dioksidasi menjadi gliseraldehid 3-fosfat.
Proses beruikutnya adalah oksidasi untuk
dirubah menjadi asam piruvat atau dikonversi menjadi glikogen dengan cara reaksi pembalikan dari bagian jalur glikolisis.
21
2. Metabolisme Lipid Sistesis asam lemak dari glukosa dimulai dengan glikolisis.
Jalur ini
menghasilkan dua molekul piruvat dari setiap satu molekul glukosa yang dikonsumsi. Piruvat kemudian masuk ke dalam mitokondria yang diaktifkan asetil koenzim A (asetil CoA) untuk masuk ke dalam sikus Krebs. Akan tetapi untuk mendapatkan energi selama periode absorbsi banyak asetilCoA diaktivitasi dalam siklus Krebs untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan, sehingga kelebihan asetilCoA bergabung dengan oksaloasetat membentuk sitrat yg penting untuk reaksi siklus Krebs pertama (Gambar 8). Selanjutnya, melalui reaksi siklus Krebs, selama periode absorbsi banyak sitrat ditranspor keluar mitokondria masuk kedalam sitosol. Sekali masuk sitosol, masingmasing molekul sitrat berkontribusi terhadap dua karbon untuk mensintesis asam lemak. Sisa molekul sitrat yang ada kembali ke mitokondria untuk dimanfaatkan selanjutnya.
Sitrat bertindak sebagai karier molekul untuk
transpor dua unit karbon keluar mitokondria karena asetil CoA tidak dapat melalui membran mitokondria secara langsung.
Gambar 8 Sintesis asam lemak hati dari karbohidrat melalui mitokondria (Sumber: Cunningham & Klein 2007).
22
Beberapa tahap penting dalam konversi glukosa menjadi asam lemak diperantarai oleh insulin. Penting untuk diketahui bahwa konversi glukosa menjadi asam lemak bersifat irreversible, artinya karbohidrat dapat diubah menjadi lemak, tetapi lemak tidak dapat diubah langsung menjadi karbohidrat. Hati merupakan sisi penting dari sintesis asam lemak pada beberapa spesies. Sintesis langsung asam lemak juga terjadi pada jaringan adiposa. Sekali terbentuk dalam hati, asam lemak harus ditranspor ke jaringan adiposa untuk disimpan atau ke jaringan lain (misal otot) untuk langsung dimanfaatkan produksi energi.
Karena asam lemak tidak larut dalam darah, beberapa
mekanisme transpor khusus diperlukan untuk distribusinya. Mekanisme ini melalui formasi hepatik dari lipoprotein serum yang kaya dengan trigliserida (TG), yang dikenal dengan very low density lipoprotein (VLDL) (Gambar 9). Lipoprotein yg kaya TG ini lebih padat dibanding lipoprotein lainnya dalam serum darah.
Gambar 9 Formasi very low density lipo protein (VLDL) di sel hati. (Sumber: Cunningham & Klein 2007). Organ usus, hati dan pankreas merupakan organ-organ yang secara langsung terlibat dalam metabolisme makanan, sehingga masuknya bahan-bahan lain seperti obat atau racun bersama makanan akan secara langsung mempengaruhi khususnya sel-sel pada organ-organ tersebut. Menurut Imei et al. (2009) metabolisme dalam tubuh tidak terjadi secara bebas pada berbagai organ, 23
tetapi ada koordinasi dan regulasi antar-organ yang merupakan bentuk komunikasi antar organ. Suatu hasil studi terkini menunjukkan adanya hubungan komunikasi antar organ hati dan pankreas dalam mengkompensasi respon sel-β pada tikus sebagai hewan model obes. Salah satu media komunikasi yaitu aktivasi kinase pengatur sinyal ekstrasel hati (extracellular signal-regulated kinase=ERK) yang meningkatkan fosforilasi pada hati tikus hewan model. Apabila sel tubuh membutuhkan energi, maka enzim lipase akan menghidrolisis triasilgliserol menjadi gliserol dan asam lemak, kemudian menuju ke pembuluh darah untuk dialirkan ke sel-sel tubuh, selanjutnya dibakar dan menghasilkan energi, CO2, dan H2O. Konsumsi lemak yang mengandung tinggi energi dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya kelebihan energi dan kelebihan tersebut akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga memicu terjadinya peningkatan bobot badan (Frandson 1993; Almatsier 2003). Lemak yang berada di dalam jaringan adiposa merupakan bentuk cadangan energi potensial. Trigliserida (triasilgliserol) merupakan sumber utama lemak pada makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan (98-99%). Lemak yang diperoleh dari makanan akan dicerna di duodenum oleh kerja enzim lipase dari pankreas. Selain dari lemak energi yang diperlukan oleh sel juga dapat diperoleh dari protein. Protein akan dimetabolisisr untuk menghasilkan asam amino yang kemudian mengalami deaminasi atau pelepasan gugus amino (NH2) di dalam hati untuk menghasilkan asam keton dan amonia (NH3). Asam keton yang dihasilkan masuk ke dalam siklus Krebs untuk membentuk energi pada saat karbohidrat banyak terpakai atau dapat membentuk piruvat yang akhirnya menghasilkan glukosa melalui proses glikogenesis, sedangkan amonia akan diubah menjadi urea (Frandson 1993; Almatsier 2003) yang akan dikeluarkan dari tubuh melalui urin. Sisa-sisa ikatan karbon selanjutnya akan diubah menjadi lemak yang kemudian disimpan di tubuh. Dengan demikian, konsumsi protein secara berlebihan dalam jangka waktu lama juga dapat memicu terjadinya penimbunan lemak di jaringan adiposa (Guyton 1996; Almatsier 2003).
24
Hewan Model Satwa primata sebagai hewan model Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah satwa primata yang berjalan dengan empat kaki (quadrupedalism), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang badan dan kepala, serta memiliki bantalan duduk (ischial callosity) yang melekat pada tulang duduk (ischium) (Napier & Napier 1985). Monyet ini memiliki warna rambut bervariasi dari coklat kekuningan pucat atau abu-abu sampai coklat gelap. Warna rambut di bagian ventral tubuh lebih pucat dan rambut di atas mahkota kepala tumbuh kearah belakang yang sering berbentuk jambul (crest) yang lancip. Monyet jantan memiliki cambang dan kumis, sedangkan yang betina memiliki jenggot (Gambar 10).
A
B
Gambar 10 Morfologi MEP (M. fascicularis) betina (A) dan jantan (B) dewasa. Modifikasi dari Sumber : A. Martinparrsnaturepics.com, B. Anonim Monyet ini lebih banyak melakukan aktivitas disiang hari (diurnal). Sebagian besar aktivitasnya dilakukan di atas tanah (terrestrial), dan sebagian lagi pada pohon (arboreal). Primata ini termasuk hewan frugivora (makanan utama buah-buahan), tetapi karena kesukaannya memakan berbagai jenis makanan hewan seringkali juga dianggap sebagai omnivora. Selain itu primata ini memiliki kantong pipi sebagai tempat penyimpanan makanan sementara. Selain buahbuahan, jenis pakan lainnya berupa serangga, bunga rumput, jamur, kepiting, moluska, akar, biji, dan telur (Napier & Napier 1985). Monyet ini dapat hidup di
25
hutan primer, hutan sekunder, hutan mangrove serta dapat hidup disekitar perkampungan masyarakat (Rowe 1996). Satwa primata merupakan hewan model yang paling baik untuk digunakan pada penelitian-penelitian penyakit pada manusia, karena kedekatan filogeni serta kemiripan struktur anatomi dan fisiologis antara satwa primata dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1993). Satwa primata merupakan hewan model yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian obesitas. Berbeda dengan tikus, penggunaan hewan model primata yang berukuran besar dan jangka waktu hidupnya lebih lama, memungkinkan pengambilan sampel untuk waktu penelitian yang panjang (Wagner et al. 1996). Penelitian menggunakan primata sebagai hewan model obes masih jarang dilakukan, penelitian lain yang dilakukan oleh Kaufman et al. (2007) menggunakan juvenile bonnet macaques (Macaca radiata) untuk mengetahui faktor stress sebagai salah satu penyebab obesitas dan terjadinya resistensi insulin. MEP memiliki bentuk anatomi, fungsi hati dan pankreas serta vaskularisasinya mirip dengan manusia, namun berukuran lebih kecil. Monyet ekor panjang dianggap mempunyai kemiripan gen dengan manusia sehingga baik untuk digunakan dalam berbagai riset penyakit, farmasi dan perilaku. Bennett et al. (1995) menyatakan bahwa nilai ilmiah satwa primata untuk penelitian biomedis diperoleh dari persamaan ciri anatomi dan fisiologi karena kedekatan hubungan filogenetik dan perbedaan evolusi yang pendek.
26
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan penelitian bersama yang dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan hewan laboratorium menjadi obes dengan pemberian pakan tinggi energi selama 12 bulan (Februari 2008 – Januari 2009). Tahap prekondisi sebelum perlakuan dilakukan selama satu bulan pada bulan Februari 2009. Tahap kedua, adalah perlakuan pemberian nikotin yang dilakukan selama tiga bulan (Maret – Juni 2009). Penelitian dilakukan di fasilitas hewan laboratorium satwa primata PT. IndoAnilab Taman Kencana Bogor, sedangkan analisis kimia darah dan histomorfologi dilakukan di Laboratorium Patologi Pusat Studi Satwa Primata dan Laboratorium Riset Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan – Institut Pertanian Bogor.
Materi dan Metode Penelitian Materi Penelitian Penelitian ini menggunakan 14 ekor monyet ekor panjang (M. fascicularis) jantan umur 6–8 tahun dengan berat badan awal antara 4.8–6 kg yang diperoleh dari Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM IPB. Hewan semua dalam keadaan sehat secara klinis dan telah melalui screening kesehatan dan dinyatakan bebas dari penyakit menular seperti tuberculose (TBC). Metode Penelitian Seluruh prosedur perlakuan yang melibatkan hewan model percobaan dilakukan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan oleh Animal Care and Use Committee (ACUC) yang merupakan Komisi Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan dari PT IndoAnilab dengan nomor protokol: 04–IA–ACUC–09, sedangkan untuk hewan kontrol mengikuti prosedur standar ACUC dalam penangkaran. 1. Kelompok perlakuan Seluruh hewan percobaan dikelompokkan menurut indeks massa tubuh (IMT), yaitu preobes (IMT=23.65– 25.00) dan obes (IMT≥26.00). Hewan obes
27
dan preobes sebanyak masing-masing lima ekor diperoleh dari penelitian sebelumnya. Perlakuan pemberian nikotin dosis rendah per oral dalam makanan (0.75 mg/kg bb) selama tiga bulan, dilakukan terhadap kelompok preobes (pOb+) dan obes (Ob+). Hewan dikandangkan secara individu, serta memperoleh pakan lemak tinggi (4200 kalori). Kelompok kontrol masing-masing sebanyak dua ekor, dikelompokkan atas preobes tanpa nikotin (pOb-) dan obes tanpa nikotin (Ob-). Hewan obes kontrol mengalami obesitas secara alami dengan pakan bersumber dari monkey chow. Hewan dikandangkan secara individu, serta memperoleh pakan standar monkey chow. 2. Analisis kimia darah Analisis kimia darah dilakukan terhadap peubah gula darah dan insulin. Pengambilan data gula darah dilakukan pada awal penelitian sebagai data awal (baseline) dan setiap bulannya selama tiga bulan. Sebelum pengambilan darah, hewan dianestesi dengan Ketamin HCl dosis 10 mg/kg berat badan (bb) yang diinjeksikan secara intramuskular. Sampel darah diambil melalui vena femoralis sebanyak 3 ml pada tabung venoject tanpa antikoagulan lalu disentrifus, untuk selanjutnya dianalisis kadar glukosa darah, sedangkan insulin dikonfirmasi pada akhir penelitian. Kadar glukosa darah dianalisis dengan metode oksidasi enzimatik (glukosa oksidase = GOD) menggunakan kit glukosa nomor katalog 112191,
sedangkan
kadar
insulin
darah
dianalisis
dengan
metode
electrochemiluminescence immunoassay “ECLIA” menggunakan elecsys cobas® immunoassay analyzer. 3. Gambaran histopatologi organ pankreas dan hati Pada akhir penelitian hewan dinekropsi untuk pengambilan sampel organ. Hewan dianestesi dengan Ketamin HCl dosis 10 mg/kg bb yang diinjeksikan secara intramuskular, selanjutnya dieutanasi dengan Pentobarbital® dosis 30 mg/kg bb secara intravena. Organ pankreas dan hati disampling untuk melihat perubahan gambaran histopatologi akibat perlakuan nikotin tersebut. Sampel organ pankreas dan hati dicuci dengan NaCl fisiologis, selanjutnya difiksasi dalam larutan paraformaldehid 4% selama tiga hari dan disimpan dalam alkohol 70% sebagai stopping point sampai proses selanjutnya.
28
Sampel jaringan pankreas diambil dari bagian kepala (caput), badan (corpus) dan ekor (cauda), sedangkan jaringan hati diambil dari lobus dextra dekat dengan ductus choledochus, masing-masing dengan ukuran ± 1 x 0.5 cm. Sampel organ kemudian diproses menurut standar histologi. Pertama didehidrasi dengan cara direndam dalam alkohol konsentrasi bertingkat mulai dari 70% sampai dengan 100%. Selanjutnya dijernihkan dalam silol dan ditanam (embedding) dalam parafin sehingga menjadi blok parafin. Blok parafin disayat menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 μm, lalu dilekatkan pada gelas obyek yang sudah dilapisi (coating) dengan gelatin dan diinkubasikan semalam dalam inkubator. Sediaan jaringan pankreas dan hati kemudian diwarnai dengan hematoksilin-eosin (HE). Khusus sediaan jaringan pankreas juga diwarnai secara imunohistokimia (IHK) menggunakan antibodi terhadap insulin (1:1 500) dengan metode avidin-biotin-peroxidase complex (ABC) menurut Hsu et al. (1981). Pewarnaan IHK menggunakan kit Horseradish peroxidase (HRP) yang dilabel dengan streptovidin dari Starr Trek Universal Detection System Biocare Medical. Secara ringkas prosedur imunohistokimia yang dikerjakan adalah sebagai berikut : Setelah proses penghilangan parafin (deparafinisasi), sediaan diinkubasi dengan 0.3% hidrogen peroksida (H2O2) dalam methanol selama 15 menit. Setelah pencucian dengan larutan bufer fosfat (PBS) sediaan diinkubasi dengan bufer sitrat pada suhu 100oC (microwave) selama 20 menit, kemudian dialiri air kran 5 menit, aquades 5 menit dan dicuci dengan PBS 3 kali selama 2 menit. Selanjutnya sediaan ditetesi dengan goat normal serum (20-30µl) selama 15 menit sebagai background sniper, kemudian diinkubasi dengan antibodi primer terhadap insulin (20-30 µl) selama 60 menit pada suhu 4 oC dalam ‘dark chamber’. Setelah dicuci dengan PBS 3 kali 2 menit, tahap selanjutnya adalah inkubasi sediaan masing-masing dengan Trekkie Universal Link insulin (20-30 µl) selama 20 menit. Sediaan dicuci kembali dengan PBS 3 kali 2 menit, kemudian diinkubasi dengan Trek-Avidin
HRP
selama
10
menit.
Reaksi
komplemen
yang
terjadi
divisualisasikan dengan pemberian 3,3 diaminobenzidine tetrahidrokhlorida (DAB)-H2O2 (Betazoid DAB) selama 2-3 menit sambil dilihat dengan mikrospkop dan kembali dicuci dengan aquades 5 menit. Sediaan kemudian di counter-stain dengan hematoksilin Dellafield selama 15 detik lalu didehidrasi dengan alkohol
29
konsentrasi bertingkat, dijernihkan dengan silol dan ditutup (mounting) dengan gelas penutup. Pengamatan dilakukan untuk menentukan secara kualitatif lokasi, distribusi dan frekuensi relatif sel-sel yang imunoreaktif terhadap insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas dan pada sel-sel asinar pankreas. 4. Analisis gambaran histopatologi organ pankreas dan hati Hasil dari pewarnaan HE dianalisis secara deskriptif sedangkan pewarnaan IHK dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Pada pengamatan organ pankreas dan hati dengan pewarnaan HE, diamati struktur umum organ dan perubahanperubahan yang terjadi akibat perlakuan. Adapun pengamatan pada pewarnaan IHK dilakukan terhadap gambaran sel-sel penghasil hormon insulin (sel-β) yang imunoreaktif pada pulau Langerhans pankreas. Pada organ pankreas pengamatan dilakukan terhadap distribusi pulau Langerhans, penghitungan luas area positif insulin dan penghitungan jumlah sel-β. Banyaknya pulau Langerhans setiap lapangan pandang didapatkan dengan menghitung jumlahnya menggunakan asumsi perhitungan besaran pulau Langerhans dengan ukuran kecil (jumlah sel kurang dari 25 sel), sedang (jumlah sel antara 25 sampai 50 sel) dan besar (jumlah selnya lebih besar dari 50 sel) dan dihitung jumlahnya. Penghitungan sel-β pada pulau Langerhans pada sediaan yang diwarnai dengan IHK dilakukan pada pulau Langerhans berukuran sedang karena jumlahnya paling banyak menggunakan software Adobe® Photoshop® CS4. Jumlah sel-β yang imunoreaktif dihitung dengan kriteria adanya butir-butir berwarna coklat pada sitoplasma, baik ditemukan inti maupun tidak. Penghitungan luas area positif insulin dilakukan dengan menghitung persentase intensitas warna yang ditimbulkan oleh reaksi antigen-antibodi dari insulin pada pulau Langerhans menggunakan software MBF_ImageJ (Rasband 2006). Pada organ hati diamati susunan sel hati (hepatosit), sinusoid dan jaringan lemak sekitar sel hati. Perubahan pada organ hati yang diamati antara lain meliputi perubahan pada parenkim hati berupa ada tidaknya degenerasi hidropis (timbunan air dalam sel), degenerasi lemak (timbunan lemak yang abnormal dalam sel yang sakit), regenerasi sel (pembelahan sel ditandai dengan inti ganda) dan nekrose atau kematian sel (inti sel lisis, piknotis, sitoplasma eosinofilik). Kerusakan ringan ditandai dengan adanya kerusakan dibawah 30%, kerusakan sedang bila dijumpai kerusakan lebih dari atau sama dengan 30% dan lebih kecil 30
dari 60%, dan kerusakan parah bila dijumpai adanya kerusakan parenkim lebih dari 60%. Hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dengan bantuan software MBF_ImageJ dihitung masing-masing perubahan pada parenkim. Semua hasil pengamatan pada organ pankreas dan hati selanjutnya dipotret dengan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan alat fotografi (Nikon Eclipse E-600W). 5. Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan splitplot in time dengan waktu sebagai faktor (sub plot) dengan pengulangan dan membandingkan dua kelompok perlakuan digunakan Uji-t dengan taraf pegujian 95% (=0,05). Untuk peubah glukosa darah dan insulin serta jumlah pulau Langerhans, sel-β dan area positif, sedangkan analisis deskriptif untuk peubah gambaran histopatologi organ pankreas dan hati. Model rancangan yang digunakan adalah: Yijk = µ + i + ik + j + ij + ijk Dimana: Yijk = respon pada perlakuan ke-i, waktu ke-j, ulangan ke-k µ = rataan umum i = pengaruh perlakuan ke-i ik = komponen acak perlakuan j = komponen waktu ke-j ij = komponen interaksi perlakuan ke-i waktu ke-j ijk = galat dari interaksi waktu dan perlakuan Untuk pengujian dengan Uji-t dengan hipotesis: Ho : µB = µC H1 : µB µC Statistik uji : Dimana
(
) (
)
√
2
S2gab = (nB-1)S
B
+ (nC-1)S2C
nB + nC – 2 Kriteria Uji : tolak Ho jika :
| t hit| > t/2
31
PEMBAHASAN UMUM Obesitas merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan penumpukan lemak tubuh secara berlebih sehingga menyebabkan berat badan jauh melebihi normal. Penelitian menggunakan nikotin per oral dengan dosis rendah 0.75 mg/kg bobot badan digunakan untuk penelitian obesitas pada monyet ekor panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan nikotin dosis rendah menyebabkan terjadinya penurunan kadar glukosa darah yang bermakna pada monyet preobes (28.37%) dan obes (33.72%) seiring lama waktu pemberian. Pengaruh rasa pahit pada pemberian nikotin mengakibatkan penurunan palatabilitas sehingga energi yang dikonsumsi menurun. Akan tetapi menurut hasil penelitian Zakariah (2010), pada kelompok monyet yang diberikan nikotin menunjukkan peningkatan aktivitas dengan menggunakan glukosa sebagai energi dan akibatnya terjadi penurunan glukosa darah. Namun demikian, kadar glukosa darah pada keduanya masih dalam kisaran normal, yaitu 48-69 mg/dl (Fortman 2002). Penurunan glukosa pada kisaran normal dalam darah diduga oleh adanya pemanfaatan glukosa yang meningkat akibat sel-sel yang aktif dengan keberadaan nikotin tersebut. Secara fisiologis penurunan kadar glukosa darah diatur oleh suatu hormon yang dihasilkan oleh organ pankreas, yaitu insulin. Insulin disekresi terutama sebagai respons dari kenaikan konsentrasi glukosa dalam darah. Insulin bekerja sebagai fasilitator masuknya glukosa ke dalam sel yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai energi atau disimpan dalam bentuk glikogen dalam otot dan hati serta lemak dalam jaringan adiposa (Cunningham & Klein 2007; Rastogi 2007). Pada akhir periode penelitian dilakukan monitoring profil insulin pada semua kelompok preobes dan obes. Hasil penelitian menunjukkan kadar insulin pada kelompok preobes dan obes dengan nikotin lebih rendah dibandingkan kelompok preobes dan obes tanpa nikotin. Menurut Howard et al. (2011), kadar insulin pada monyet ekor panjang yang diberikan pakan monkeychow sekitar 21.24+13.6 µIU/ml dan akan bergeser sebagai respons glukosa darah dan jenis pakan yang diberikan. Pada penelitian ini semua kelompok preobes dan obes dengan nikotin manunjukkan kadar insulin yang normal (12.34 µIU/ml dan 13.41
48
µIU/ml) seiring dengan kadar glukosa darah yang masih dalam kisaran normal, sedangkan pada kelompok tanpa nikotin kondisi obes menunjukkan kadar insulin yang sangat tinggi meskipun kadar glukosa darahnya normal. Hal ini hanya dijumpai pada kondisi adanya kompensasi terhadap produksi insulin yang terjadi pada monyet obes alamiah. Ada dugaan lain bahwa insulin yang diproduksi berlebihan pada monyet obes ini sebagai respons insenitifitas. Hasil penelitian Harishankar et al. (2011) pada tikus WNIN/ob menunjukkan hal yang sama. Pembuktian lain penelitian didapatkan pada pemeriksaan histopatologi organ pankreas dengan pewarnaan imunohistokimia. Hasil pengamatan pada pulau Langerhans pankreas diperoleh gambaran luasan area positif insulin dan jumlah sel-β yang ada dalam pulau sebagai sel penghasil insulin.
Luas area positif pada kelompok preobes dan obes yang
diberikan nikotin lebih besar dibanding kelompok tanpa nikotin. Demikian pula pada penghitungan jumlah sel-β didapatkan jumlah yang lebih banyak pada kelompok dengan nikotin (203.2 sel dan 266.9 sel) dibandingkan kelompok tanpa nikotin (180 sel dan 101.6 sel). Hal ini mengindikasikan potensi produksi insulin yang lebih besar pada kelompok dengan nikotin meskipun jumlah sel-β yang banyak belum tentu mengekspresikan jumlah insulin yang dirilis dalam darah. Hal ini disebabkan adanya mekanisme insulin yang terperangkap dalam sel-β karena pH linkungan yang kurang mendukung dan hasil ini sejalan dengan pendapat Borowitz & Isom (2008). Menurut Borowitz & Isom (2008), nikotin bekerja tidak memerlukan reseptor permukaan pada sel-β karena nikotin cukup larut dalam lemak sehingga dengan mudah melakukan penetrasi ke dalam sel.
Sebagai alkaloid nikotin
cenderung terkumpul dalam lingkungan asam. Organel intraseluler seperti retikulum endoplasmik atau granul sekretori dalam sel-β memiliki pH 4 (asam), sehingga nikotin yang masuk dalam sel akan terkonsentrasi dalam bagian ini. Dengan demikian adanya jumlah sel-β yang banyak dalam pulau Langerhans belum tentu dapat memproduksi insulin dan dilepas dalam aliran darah dengan jumlah berlebih karena dihambat pelepasannya oleh nikotin yang terkumpul dalam lingkungan yang asam. Hal ini dapat diketahui pada kelompok monyet preobes dan obes yang diberikan nikotin menunjukkan kadar insulin yang tidak
49
setinggi (12.34 μIU/ml dan 13.41 μIU/ml) pada kelompok preobes dan obes tanpa nikotin (37.04 μIU/ml dan 112.9 μIU/ml). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemberian nikotin dosis rendah ini dapat mengendalikan atau mempertahankan jumlah insulin sesuai kadar glukosa darah perifer. Secara umum, gambaran histopatologi hati pada semua kelompok perlakuan mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa hepatosit dengan berbagai tingkat keparahan. Pada degenerasi hidropis biasanya dimulai dari degenerasi berbutir, sitoplasma hepatosit berbutir atau bergranul dan tampak membengkak, umumnya dijumpai di sekitar vena sentralis. Pada degenerasi hidropis dimulai pada tepi lobulus kemudian berjalan ke daerah tengah hingga ke sekeliling vena sentralis.
Hepatosit yang tidak tahan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi akan berlanjut pada kematian sel (nekrosa). Hepatosit yang mati ditandai dengan inti sel yang mengecil dan memadat serta sitoplasma yang buram (cloudy) dan berwarna lebih merah (eosinofilik) pada pewarnaan HE. Biasanya nekrosa sel dijumpai di daerah sekitar vena sentralis atau di daerah segitiga Kiernan yang mengelilingi vena porta. Degenerasi hidropis merupakan respon awal dari sel terhadap keadaan yang menunjukkan masuknya bahan toksik ringan sampai dengan hipoksia. Pada kondisi ini pompa ion pada membran sel dengan cepat memindahkan ion dan air keluar sitosol dan terakumulasi dalam retikulum endoplasmik. Akibatnya sitoplasma membesar, pucat, adanya ruang-ruang kosong dengan sisa sitoplasma dengan inti masih di tengah. Degenerasi lemak merupakan keadaan akumulasi lemak dalam sel hati berupa vakuola-vakuola kecil sampai vakuola besar. Kejadian ini biasanya dijumpai pada gangguan metabolisme lemak akibat malnutrisi protein, obesitas, diabetes melitus dan hipoksia. Pada degenerasi lemak tampak sitoplasma dengan ruang-ruang kosong yang jernih biasanya berisi trigliserida. Keadaan ini sering dijumpai pada hewan yang mengalami obesitas. Pada saat glukosa darah turun glukagon memberi sinyal pada jaringan adiposa untuk mengaktifkan hormon lipase dan mengkonversi trigliserida ke dalam asam lemak. Asam lemak bebas akan diikat oleh protein serum (albumin) untuk meningkatkan kelarutannya dalam darah selanjutnya diangkut ke dalam organ, seperti otot dan hati untuk dioksidasi
50
sebagai cadangan energi (Zehner et al. 2005). Keadaan yang berlangsung lama menyebabkan akumulasi lemak dalam hati yang divisualisasi dimulai dari vakuola kecil sampai besar dalam sel hepatosit hati sehingga mendesak inti ke tepi membran membentuk signet ring yang banyak dijumpai pada degenerasi lemak. Selain degenerasi, dijumpai pula sel-sel yang mengalami kematian atau nekrosa dan regenerasi sel hepatosit. Kematian sel biasanya diakibatkan oleh penurunan pH, peningkatan konsentrasi Ca2+ dan penurunan ATP serta peningkatan aktivitas enzim-enzim pelisis seperti protease, fosfolipase dan endonuklease. Pada umumnya nekrosa sel yang ditemui dalam bentuk nekrosa koagulasi yang ditandai oleh sitoplasma yang suram, eosinofilik dan inti piknotis atau memadat. Regenerasi sel hepatosit juga ditemukan sebagai respon terhadap kematian sel ditandai dengan adanya inti sel ganda yang merupakan aktivitas pembelahan mitosis pada hepatosit (Cheville 1999). Berdasarkan uraian di atas, hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan pada preobes dan obes yang diberikan nikotin dan tanpa nikotin memberikan gambaran yang serupa dengan derajat berbeda-beda. Dosis nikotin 0.75 mg belum dapat menyebabkan perubahan perubahan di hati secara bermakna. Perubahan yang dijumpai tidak dapat diketahui secara pasti apakah disebabkan oleh pengaruh pemberian nikotin dosis rendah atau karena keadaan alamiah pada hewan obes yang mengalami gangguan metabolik sehingga pada kelompok tanpa nikotinpun mengalami hal yang serupa. Gambaran terhadap dijumpainya degenerasi lemak mirip dengan kejadian perlemakan hati, suatu akumulasi dari lemak akibat retensi lemak dalam sel hati (steatosis). Kondisi ini ada hubungannya dengan gangguan metabolisme lemak pada obesitas yang diikuti dengan atau tanpa resistensi insulin (Reddy & Rao 2006). Gangguan metabolisme asam lemak disebabkan oleh ketidakseimbangan konsumsi energi dan pemanfaatannya sehingga mengakibatkan terjadinya penyimpanan lemak. Resistensi insulin juga memberikan konsekwensi yang sama karena terjadi peningkatan transpor asam lemak dari jaringan adiposa ke jaringan hati sehingga terjadi kelebihan energi yang tidak dimetabolisme (Medina et al. 2004). Ada dugaan bahwa pemberian pakan dengan tinggi energi pada kelompok hewan model penelitian ini memberikan dampak serupa dengan gambaran perlemakan
51
hati, sehingga diperlukan analisis khusus terhadap metabolisme dan keberadaan enzim yang bertanggung terhadap oksidasi dan sisntesis asam lemak di dalam hati. Keadaan ini akan dapat kembali normal pada beberapa kasus apabila penyebabnya dihilangkan atau diturunkan. Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat dikatakan bahwa penggunaan nikotin cair dosis rendah 0.75 mg memberikan dampak yang positif sebagai alternatif dalam memperbaiki metabolisme terutama untuk menjaga kadar glukosa darah. Pengaruhnya pada organ pankreas cukup nyata memperbaiki sel-β pankreas dan dapat mengendalikan pelepasan insulin.
Pada pemberian dosis
rendah terukur ini masih memberikan dampak kerusakan sel hepatosit akan tetapi masih memberikan harapan terhadap perbaikan kerusakan sel hati dengan mekanisme regenerasi sel. Berkaitan dengan hasil penelitian ini, nikotin masih memberikan manfaat positip sebagai bahan alternatif dalam mengatasi salah satu gangguan metabolisme
pada
masyarakat
yang mengalami
obesitas
dengan
tetap
memperhatikan dosis pemakaian yang aman. Tembakau masih merupakan komoditas agribisnis yang masih dapat diandalkan oleh masyarakat sebagai sumber ekonomi yang baik.
Produksi nikotin murni dari tanman tembakau
(Nicotiana tabacum) untuk dimanfaatkan sebagai bahan herbal alternatif merupakan komoditas yang menjanjikan. Kebijakan pemerintah dengan memberikan perhatian dan menfasilitasinya dalam memanfaatkan tembakau sebagai produk alternatif akan memberikan nilai tambah bila suatu saat pemerintah memberlakukan larangan produksi rokok asal tembakau yang merupakan komoditas andalan masyarakat Indonesia.
52
HASIL DAN PEMBAHASAN Glukosa Darah Berdasarkan hasil analisis glukosa darah MEP sebelum dan selama pemberian nikotin menunjukkan adanya pengaruh pemberian nikotin terhadap penurunan kadar glukosa darah pada kedua kelompok monyet preobes (pOb+) dan obes (Ob+), seperti ditunjukkan pada Gambar 11.
Glukosa (mg/dl)
80
60
40
20
0 Bulan ke pOb+ Ob+
0
1
2
1
51,60
51,60
52,20b1
51,20
52,60
71,20
a
3 51,00a2 34,60b2
Gambar 11 Rerata kadar glukosa darah monyet ekor panjang preobes dan obes dengan intervensi nikotin cair dosis rendah. Analisis ragam berdasarkan Gambar 11 menunjukkan bahwa kadar glukosa darah berbeda nyata dipengaruhi oleh waktu pemberian nikotin (P<0.05). Kelompok hewan preobes (pOb+) mengalami penurunan kadar glukosa darah yang bermakna sesudah pemberian nikotin mulai bulan ke-0 sampai bulan ke-3, yaitu sebesar 20.2 mg/dl (28.37%) dari 71.20 mg/dl menjadi 51.00 mg/dl. Demikian pula, kadar glukosa pada kelompok obes (Ob+) sesudah pemberian nikotin pada bulan ke-0 sampai bulan ke-3, mengalami penurunan sebesar 17.60 mg/dl (33.72%) dari 52.20 mg/dl menjadi 34.60 mg/dl. Sebagai pembanding, kadar glukosa darah pada kelompok kontrol preobes (pOb-) dan obes (Ob-) tanpa nikotin masing-masing 58.60 mg/dl dan 52.80 mg/dl. Penurunan kadar glukosa darah terjadi pada masing-masing kelompok perlakuan dengan nikotin (pOb+ dan
32
Ob+). Meskipun rerata kadar glukosa darah masing-masing kelompok berbeda pada bulan ke-0 (awal perlakuan), akan tetapi kadar glukosa darah pada akhir perlakuan pemberian nikotin, secara rerata masih dalam kisaran normal pada MEP, yaitu 48-69 mg/dl (Fortman et al. 2002). Hal ini disebabkan oleh status masing-masing kelompok berbeda berdasarkan indeks massa tubuhnya.
Pada
bulan pertama, terlihat respon yang serupa terhadap perlakuan pemberian nikotin yang ditunjukkan dengan penurunan kadar masing-masing glukosa. Penurunan yang nyata (P<0.05) terjadi pada bulan ke-tiga akhir penelitian. Kadar Insulin Darah Hasil analisis terhadap insulin pada bulan terakhir penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (P<0.05) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (Gambar 12). Hewan pada kelompok (pOb+) dan (Ob+) menunjukkan kadar rerata insulin masing-masing 12.34 μIU/ml dan 13.41 μIU/ml, lebih rendah dibandingkan dengan kelompok p(Ob-) dan (Ob-), yaitu 37.04 μIU/ml dan 112.9 μIU/ml. Menurut Wagner et al. (1996), nilai insulin yang melebihi normal hanya terjadi pada hewan obes tanpa intervensi nikotin yang menunjukkan kondisi hipersekresi insulin. Berdasarkan hasil analisis glukosa darah menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan pada semua kelompok. Secara teoritis penurunan glukosa darah perifer ini diakibatkan oleh kerja hormon insulin yang menurunkan glukosa darah dengan cara mengikat molekul glukosa dengan reseptor permukaan insulin sehingga dapat memasukkannya ke dalam sel untuk disimpan dalam bentuk glikogen di otot dan hati serta lemak pada jaringan adiposa. Dengan demikian pada kondisi normal kadar glukosa akan tetap terjaga dalam kisaran normal selama kerja insulin masih dalam kondisi optimal dan sensitif terhadap keberadaan glukosa dalam tubuh.
33
120 100
Insulin (μIU/ml)
80 60 40 20 0
Insulin
pOb+
pOb-
Ob+
Ob-
12,34
37,04
13,41
112,9
Gambar 12 Grafik rerata kadar insulin monyet ekor panjang preobes dan obes dengan nikotin (pOb+/Ob+) dan tanpa nikotin (pOb-/Ob-). Dalam keadaan normal glukosa diangkut melalui darah diserap oleh jaringan yang membutuhkan glukosa. Setelah makan, sekitar 80% dari gula darah diserap oleh sel otot, akan tetapi selama puasa, lebih dari 50% glukosa diserap oleh otak. Ketidakseimbangan ini dimungkinkan karena satu-satunya sumber energi bagi otak adalah glukosa dan dibutuhkan tubuh untuk menjaga pasokan glukosa otak. Pada keadaan tingkat glukosa darah menurun terlalu rendah (hipoglikemia) akan terjadi malfungsi otak, menyebabkan gejala seperti kurang konsentrasi, pusing sampai pingsan dan pada kasus yang berat menunjukkan gejala konvulsi, koma dan kematian (Dugi 2006). Hipersekresi insulin seperti pada kelompok obes alamiah (Ob-) dengan kadar glukosa darah normal menunjukkan kemungkinan terjadinya insensitivitas (tidak sensitifnya) insulin terhadap kadar glukosa. Untuk menjaga kadar glukosa normal dalam darah diperlukan jumlah insulin yang lebih besar dibandingkan keadaan normal, hal ini terjadi pada kelompok obes alamiah tanpa nikotin dengan kadar insulin yang lebih tinggi meskipun kadar glukosa darahnya masih dalam kisaran normal. Artinya pada obes alamiah untuk mempertahankan kadar glukosa normal memerlukan jumlah insulin lebih banyak dibandingkan hewan obes yang diberikan nikotin.
34
Histopatologi Berdasarkan hasil analisa kimia darah terhadap glukosa pada penelitian ini diperlukan konfirmasi gambaran histopatologi organ yang sangat terkait dengan metabolisme karbohidrat dan lemak. Keberadaan gambaran histopatologi jaringan dari organ terkait yang melibatkan pankreas dan hati pasca pemberian perlakuan nikotin dapat dikonfirmasi terhadap perubahan-perubahan jaringan terutama pada sel-sel penghasil hormon (endokrin) pankreas dan parenkim hati. Distribusi pulau Langerhans Pankreas Pengamatan terhadap distribusi pulau Langerhans pankreas MEP preobes dan obes dilakukan dengan menghitung keberadaan pulau Langerhans pada masing-masing bagian pankreas (kaput, korpus dan kauda) dengan mikroskop pembesaran rendah. Distribusi pulau Langerhans pankreas dapat dilihat pada Gambar 13. 80 70 60
unit pulau
50 40 30 20 10 0
∑ Pulau
pOb+
pOb-
Ob+
Ob-
37,2
72
38
37
Gambar 13 Grafik rerata distribusi pulau Langerhans pankreas MEP preobes dan obes kelompok nikotin (pOb+/Ob+) dan kelompok tanpa nikotin (pOb-/Ob-).
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan mengamati 10 lapang pandang menunjukkan bahwa pulau Langerhans terdistribusi hampir merata pada semua bagian kaput, korpus dan kauda pankreas, masing-masing dengan ukuran yang bervariasi mulai dari ukuran kecil, sedang dan besar. Secara rerata keseluruhan jumlah pulau pada sediaan pankreas kelompok preobes alamiah
35
tanpa nikotin (pOb-) memiliki jumlah yang lebih tinggi (72 unit) dibandingkan preobes dengan nikotin (pOb+) (37 unit). Adapun pada kelompok obes baik yang diintervensi nikotin (Ob+) maupun tanpa nikotin (Ob-) tidak menunjukkan perbedaan yang berarti (P>0.05). Area Positif Insulin Area positif insulin merupakan suatu luasan yang menggambarkan afinitas warna butir-butir sitoplasma pada pewarnaan imunohistokimia akibat ikatan komplek antigen-antibodi yang dikonjugasi dan memberikan warna coklat terhadap substrat diamino bensidin (DAB) dalam pulau Langerhans. Berdasarkan pengamatan area positif insulin pada sel- pulau Langerhans, pada sitoplasmanya dapat diamati butir-butir berwarna coklat dengan intensitas yang lemah sampai kuat. Intensitas yang kuat memberikan warna gelap pada sel, mengindikasikan kandungan insulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel yang berwarna terang. Intensitas warna dalam sitoplasma sel-β ini dapat diukur dengan perangkat lunak (software) Mac Biophotonic ImageJ yang dapat mengkonversi warna gelap pada hasil sediaan IHK dengan warna standar dari program. Dengan prosedur yang diterapkan pada perangkat lunak ini, area yang memberikan hasil positif pada pewarnaan dapat dihitung dengan membandingkan luas pulau Langerhans dengan bagian sitoplasma sel-β yang berwarna kecoklatan. Luas area positif dengan intensitas warnanya dapat dilihat pada gambar 14.
60
50
persentase (%)
40 30 20 10 0
Area pos
pOb+
pOb-
Ob+
Ob-
45,47
39,86
50,95
33,63
Gambar 14 Grafik rerata area positif insulin pankreas MEP preobes dan obes kelompok nikotin (pOb+/Ob+) dan kelompok tanpa nikotin (pOb-/Ob-).
36
Area positif insulin pada kelompok (pOb+) dan (Ob+) memberikan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok (pOb-) dan (Ob-). Dengan uji-t, hewan yang memperoleh nikotin dan tidak memperoleh nikotin, baik yang obes maupun pre-obes menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap persentase rerata luas area positif. Masing-masing persentase luas area antara kelompok (pOb+) dan p(Ob-), yaitu 45.47 % dan 39.87%, sedangkan antara kelompok (Ob+) dan (Ob-), yaitu 50.95% dan 33.63%. Luas area positif merupakan representasi dari luas warna coklat butir sitoplasma sel-β dibandingkan luas pulau Langerhans dengan membandingkan warna ambang yang telah diatur dalam program software yang digunakan.
A
B
C
D
Gambar 15 Sel-sel imunoreaktif terhadap insulin pada pulau Langerhans pankreas MEP preobes (pOb+) dan obes (Ob+) dengan pemberian nikotin (AC) dan preobes (pOb-) dan obes (Ob-) tanpa nikotin (B-D). Pulau Langerhans dengan ukuran sedang dan intensitas warna lebih gelap terutama diamati pada kelompok tanpa nikotin (B-D), namun jumlah sel-β (anak panah) lebih banyak pada kelompok dengan nikotin (A-C). (Bar= 50 µm)
37
Pada gambaran fotomikrograf pulau Langerhans pankreas kelompok preobes dengan nikotin (pOb+), tampak afinitas warna coklat terang dalam area positif yang menunjukkan sitoplasma dari sel-β dengan granula yang reaktif terhadap peawarnaan imunohistokimia (Gambar 15A). Warna ini menunjukkan konsentrasi insulin dalam sel-β. Jaringan di luar pulau adalah sel-sel asinar pankreas dan kelanjar eksokrin yang tidak terwarnai secara spesifik.
Pada
kelompok preobes tanpa nikotin (pOb-), tampak afinitas warna coklat yang lebih gelap pada pulau Langerhans dengan jumlah sel-sel endokrin (sel-β) yang lebih sedikit (Gambar 15B) dibandingkan pada kelompok (pOb+) (Gambar 15A). Demikian pula gambaran pulau Langerhans pada kelompok obes dengan nikotin (Ob+) menunjukkan gambaran yang sama dengan kelompok (pOb+), yakni afinitas warna coklat yang lebih terang dan jumlah sel-β yang lebih banyak dibandingkan kelompok (Ob-) (Gambar 15C & D). Kelompok obes tanpa nikotin (Ob-) memperlihatkan afinitas warna yang paling tinggi dan jumlah sel-β paling sedikit dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini diduga akibat adanya kompensasi dari sel-β untuk menghasilkan insulin guna menjaga kadar gula darah tetap normal. Gambaran ini sejalan dengan hasil perhitungan kadar insulin darah (Gambar 12) dan luasan area positif pada pulau Langerhans (Gambar 14). Jumlah sel-β pankreas Perhitungan sel-β pankreas pada pewarnaan IHK dilakukan pada sel yang imunoreaktif
yang
ditandai
dengan
adanya
granula
kecoklatan
pada
sitoplasmanya. Granula ini berisi insulin dengan kadar berbeda-beda yang diperlihatkan oleh afinitasnya mulai dari sedang sampai tinggi. Afinitas yang tinggi ditandai dengan intensitas warna yang lebih gelap menunjukkan kandungan insulin yang juga tinggi. Berdasarkan pola penyebaran sel-sel yang imunoreaktif dalam pulau Langerhans, tampak pola distribusi yang merata dari sel-β diantara sel endokrin lain yang mencirikan pola distribusi sel-β pada primata. Konfirmasi perhitungan jumlah sel-β pada area positif dalam pulau Langerhans ditunjukkan pada Gambar 16.
38
300 250
unit sel
200 150 100 50 0 ∑ Sel β
pOb+
pOb-
Ob+
Ob-
203,2
180
266,9
101,6
Gambar 16 Grafik rerata jumlah sel-β pankreas MEP preobes dan obes kelompok nikotin (pOb+/Ob+) dan kelompok tanpa nikotin (pOb-/Ob-). Berdasarkan perhitungan jumlah sel-β pada pulau Langerhans dengan program Adobe® Photoshop® CS4, didapatkan bahwa jumlah sel-β pada kelompok (pOb+) dan (Ob+), yaitu berturut-turut 203.2 sel dan 266.9 sel menunjukkan jumlah yang berbeda nyata secara statistik (P<0.05) dibandingkan kelompok (pOb-) maupun (Ob-), yaitu 180 sel dan 101.6 sel (Gambar 16). Kelompok dengan intervensi nikotin memiliki jumlah sel lebih banyak dibandingkan kontrol.
Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sel-β, tampak
adanya pengaruh yang nyata akibat pemberian nikotin terhadap peningkatan jumlah sel-β pada masing masing kelompok. Malferteiner & Schutte (2006), menyatakan bahwa nikotin diduga dapat berperan sebagai faktor yang menginduksi terjadinya inflamasi dan kanker pada pankreas, namun mekanisme yang tepat belum diketahui pasti. Penelitian tentang pemaparan nikotin yang menyebabkan sel-sel asiner pankreas terstimulasi telah dilaporkan pada tikus (Chowdhury et al. 1989; Chowdhury et al. 1990). Keberadaan nikotin yang berperan sebagai mitogen dalam menstimulasi proliferasi sel asiner pankreas telah diketahui. Diduga adanya kemungkinan mekanisme yang serupa terjadi pada sel-β dalam pulau Langerhans. Oleh karena itu terjadinya proliferasi sel-β dalam penelitian ini diduga merupakan pengaruh dari intervensi nikotin, yang diperlihatkan oleh kepadatan sel-β yang lebih tinggi pada kelompok preobes dan
39
obes dengan nikotin (pOb+ dan Ob+) dibandingkan kelompok tanpa nikotin (pObdan Ob-). Kondisi ini telah memberikan gambaran terjaganya keseimbangan kadar glukosa darah tetap berada dalam kisaran normal selama penelitian (Gambar 11). Hasil pengamatan IHK pada kelompok preobes maupun obes dengan nikotin (pOb+ dan Ob+) memperlihatkan peningkatan jumlah sel-β, namun memiliki intensitas warna lemah sampai sedang (Gambar 15). Hal ini memberikan dugaan bahwa sel-β tidak perlu meningkatkan produksi insulin untuk mengantisipasi banyaknya gula darah yang beredar dalam tubuh selama proses metabolisme, karena jumlah sel-β yang memproduksi insulin banyak. Sebaliknya pada kelompok preobes dan obes alamiah tanpa nikotin (pOb- dan Ob-), intensitas warna yang kuat ternyata tidak disertai dengan peningkatan jumlah sel-β rerata per satuan luas pulau Langerhans. Kondisi ini mengakibatkan tubuh melakukan kompensasi dengan cara memproduksi insulin dalam jumlah tinggi, yang mirip dengan keadaan hipersekresi insulin, untuk mengatasi kebutuhan tubuh akan insulin. Hal ini sejalan dengan penelitian Harishankar et al. (2011) yang dilakukan pada tikus mutan WNIN/Ob kurus dan obes yang menggambarkan terjadinya hiperplasia sel-β dan densitas sel-β pada pulau Langerhans yang lebih tinggi pada tikus obes dibandingkan tikus yang kurus. Demikian pula secara imunohistokimia memperlihatkan gambaran pulau Langerhans yang lebih besar dan tidak beraturan dengan area positif insulin lebih tinggi pada tikus obes, sedangkan pada tikus yang kurus bentuk pulau Langerhans lebih teratur dan normal. Hipersekresi
insulin
bila
berjalan
kronis
akan
mengakibatkan
hiperinsulinemia, yaitu suatu kondisi gangguan endokrin yang ditandai dengan adanya kelebihan insulin dalam sirkulasi darah yang menyebabkan malfungsi sistem kontrol glukosa darah. Hipersekresi insulin seringkali disebabkan oleh resistensi insulin, yaitu suatu kondisi tubuh yang resisten terhadap efek insulin sehingga pankreas mengkompensasi dengan memproduksi insulin lebih banyak. Pankreas yang tidak lagi dapat memproduksi insulin secara cukup menyebabkan pengaturan glukosa darah akan terganggu dan biasanya dijumpai pada kejadian obesitas dengan indikasi mengarah pada diabetes melitus tipe 2 (Collazo-Clavell 2011).
40
Hati Pengamatan
pada
kelompok
preobes
dengan
nikotin
(pOB+)
memperlihatkan adanya tanda-tanda degenerasi hidropis (41.96%) dan degenerasi lemak (26.50%) pada sel hepatosit. Disamping itu juga didapatkan adanya sel hepatosit yang berregenerasi (6.74%) dan sebagian besar mengalami kematian sel (nekrosa) (33.93%) terutama pada daerah sekitar vena sentralis. Pada kelompok preobes tanpa nikotin (pOb-), hal serupa juga ditemukan, yaitu degenerasi hidropis (38%), dan degenerasi lemak (17.62%), sedangkan pengamatan terhadap adanya regenerasi sel hepatosit pada kelompok ini didapatkan 13.11% dan dijumpai pula kondisi kematian sel sebesar 41.39% (Gambar 17 dan 18).
pOb-
Pob+
H VS
VS N N H *
A
B
*
*
Gambar 17 Histopatologi hati monyet ekor panjang preobes. A. kelompok nikotin (pOb+) dan B. tanpa nikotin (pOb-). Degenerasi hidropis (H), degenerasi lemak (*), inti sel ganda (panah) dan nekrosa (N). (Bar = 50 µm)
41
45 40 35
Lesio (%)
Lesio (%)
30
40 35 30 25 20
DH DH
15
DL DL
15
10
RegRS
10
5
ApoKS
25 20
5
0 0 kelompok
pOb+ pOb+
pObpOb-
Kelompok DH:degenerasi hidropis; DL:degenerasi lemak; Regenerasi; Apo:apoptosis DH Degenersi hidropis, DL Degenerasi lemak, RS Regeneraso sel, KS Kematian sel
Gambar 18 Grafik persentase lesio pada parenkim hati MEP preobes dengan nikotin (pOb+) dan tanpa nikotin (pOb-). Hasil pengamatan yang dilakukan pada kelompok preobes berdasarkan kondisi degenerasi sel didapatkan bahwa pada kelompok preobes dengan nikotin (pOb+) lebih tinggi tingkat kerusakannya dibandingkan preobes tanpa nikotin (pOb-). Hal ini memberikan kesan bahwa perubahan sel hepatosit sebagai respon terhadap nikotin mengakibatkan terjadinya degenerasi hidropis dan degenerasi lemak yang sedang terutama pada daerah sekitar vena sentralis. Regenerasi sel hepatosit pada kelompok preobes tanpa nikotin lebih tinggi dibandingkan kelompok preobes dengan nikotin sehingga memberi dugaan adanya mekanisme yang menghambat aktivitas sel hepatosit untuk berregenerasi. Akan tetapi, pada pengamatan terhadap terjadinya kematian sel pada kelompok preobes tanpa nikotin lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa nikotin meskipun masih dalam tingkat sedang. Namun demikian hasil analisis statistik dengan uji-t menunjukkan perubahan yang tidak bermakna (P>0.05). Pengamatan pada kelompok obes terhadap adanya degenerasi hidropis, degenerasi lemak, regenerasi dan nekrosa pada hepatosit dilakukan pada kelompok obes dengan nikotin (Ob+) dan tanpa nikotin (Ob-). Pada kelompok obes dengan nikotin (Ob+) dijumpai adanya degenerasi hidropis sebesar 30.15% dan degenerasi lemak 30.74%. Adanya regenerasi hepatosit pada kelompok ini didapati 6.36% dan keadaan nekrosa didapati 31.78%. Degenerasi hidropis pada
42
kelompok (Ob-) dijumpai sebesar 49.69%, sedangkan degenerasi lemak 20.37%. Regenerasi sel hepatosit pada kelompok tanpa nikotin hanya dijumpai 3.61%, sedangkan keadaan kematian sel pada kelompok ini mencapai 25.78% dari jumlah sel yang teramati (Gambar 19 dan 20).
Ob+
Ob-
N
N VS * *
N
VS
N
N *
H
N *
*
B
A
Gambar 19 Histopatologi hati monyet ekor panjang obes. A, Kelompok nikotin (Ob+) dan B. tanpa nikotin (Ob-). Degenerasi hidropis (H) dan degenerasi lemak (*), inti sel ganda (panah) dan nekrosis (N). (Bar = 50 µm)
60
50
Lesio (%)
40 DH
30
DL
20
RS KS
10 0
Ob+
Kelompok
Ob-
DH Degenersi hidropis, DL Degenerasi lemak, RS Regeneraso sel, KS Kematian sel
Gambar 20 Grafik persentasi lesio pada parenkim hati MEP obes dengan nikotin (Ob+) dan tanpa nikotin (Ob-).
43
Berdasarkan presentase tingkat kerusakan sel (degenerasi) hidropis pada kelompok obes dengan nikotin (Ob+) menunjukkan persentase yang lebih rendah dibandingkan kelompok tanpa nikotin (Ob-), akan tetapi gambaran degenerasi lemak menunjukkan persentasi lebih tinggi pada (Ob+) yang diperlihatkan oleh adanya globula lemak yang lebih banyak tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan kelompok (Ob-). Selain itu pada (Ob+) ditemukan adanya inti ganda pada beberapa hepatosit yang memperlihatkan regenerasi sel yang lebih tinggi diandingkan kelompok (Ob-). Akan tetapi, pada kelompok (Ob+) terjadi kondisi yang diduga adanya kematian sel yang lebih banyak pada hepatosit di sekitar vena sentralis, sejalan dengan banyaknya degenerasi lemak yang dijumpai pada kelompok (Ob+) (Gambar 18 dan 20).
Perubahan yang terjadi pada
kelompok perlakuan berdasarkan hasil pengamatan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap kelompok dengan bikotin maupun tanpa nikotin sehingga pengaruh nikotin dosis rendah yang diberikan perlu dikaji lebih lanjut berkenaan dosis nikotin yang diberikan untuk mendapatkan gambaran yang nyata. Pemanfaatan nikotin sebagai alternatif terapi telah dilakukan pada manusia yang telah mengalami ketergantungan terhadap nikotin, meskipun penelitian nikotin menunjukkan pengaruh yang bifasik, pada dosis tertentu memberikan pengaruh negatif, namun pada dosis rendah terukur memberikan pengaruh yang positif. Meskipun demikian pemanfaatan nikotin yang merupakan alkaloid saat ini dapat dijumpai dalam berbagai formula mulai dari permen karet (gum), plester topikal dan semprot hidung. Menurut Valenca et al. (2008), kerja nikotin telah diteliti secara luas, baik pada manusia maupun hewan pada berbagai tingkat seluler. Pengaruh nikotin secara dominan telah diketahui antara lain meningkatkan denyut dan kontraksi jantung, meningkatkan tekanan darah, mereduksi temperatur kulit dan memobilisasi glukosa dalam darah. Studi lain secara in vitro menunjukkan terjadinya peningkatan sintesis dan pelepasan hormon, aktivasi reseptor kinase ekstrasel (ERK), transkripsi faktor-faktor inti (faktor peradangan), produksi protein shock, induksi stres oksidatif, apoptosis dan penyimpangan kromosom. Metabolisme nikotin cukup kompleks, masuknya nikotin dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh pH mukosa. Semakin basa pH mukosa, maka nikotin
44
akan semakin cepat diserap. Nikotin yang masuk dalam tubuh akan ditranspor secara cepat dalam darah untuk segera dikonversi dalam hati dan dipecah menjadi produk kecil yang dinamakan kotinin (Targher 2005). Nikotin masuk dalam tubuh memiliki waktu paruh yang relatif pendek, yaitu sekitar dua jam. Setelah dimetabolisme menjadi kotinin dalam hati dengan waktu paruh 20 jam akan berada dalam darah selama 48 jam, sehingga dapat dijadikan indikator bagi individu yang telah terkena paparan nikotin (Targher 2005). Nikotin merupakan alkaloid yang dalam dosis tertentu dapat bersifat toksik. Masuknya nikotin dalam tubuh akan langsung masuk aliran darah portal di hati untuk dimetabolisme (detoksifikasi), sehingga berikatan dengan jaringan parenkim hati. Keberadaan nikotin dan produk metabolitnya dalam hati dapat menyebabkan kerusakan secara langsung dari sel–sel hati terutama disekitar vena porta dan vena sentralis yang dimulai dari degenerasi hidropis, berbutir dan degenerasi lemak yang diakibatkan oleh stres oksidatif (Valenca et al. 2008). Hasil penelitian terhadap gambaran sel hepatosit kelompok preobes maupun obes yang diberikan nikotin menunjukkan terjadinya degenerasi hidropis. Ini memberikan arti bahwa pemberian nikotin dosis rendah ini sudah dapat memberikan efek kerusakan pada mitokondria dan endoplasmik retikulum. Selain itu pemberian nikotin dosis rendah ini pula memberikan dampak yang serius pada kelompok obes dibandingkan kelompok preobes. Pemberian nikotin memberikan dampak pada kejadian degenerasi lemak yang lebih tinggi baik pada kelompok preobes mapun obes dibandingkan yang tidak diberikan nikotin. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa nikotin memberikan dampak terhadap gangguan metabolisme lemak yang cukup berarti. Kerusakan sel bisa terjadi akibat adanya stres oksidatif dan kerusakan DNA pada organ utama tubuh yang mengalami kerusakan (Valenca et al. 2008), seperti pada paru-paru (Gamieldien & Maritz 2004), sistem kardiovaskuler (Benowits et al. 2002), sistem syaraf pusat (Miksys et al. 2000), hati (Liu et al. 2003), testis dan esofagus (Gonzales et al. 2004). Degenerasi lemak yang terjadi pada kelompok nikotin diduga diakibatkan oleh efek toksik dari nikotin yang memberi dampak pada organ hati. Penumpukan lemak pada organ hati bervariasi tergantung derajat toksisitas bahan yang dimetabolisme. Biasanya penumpukan terjadi dimulai pada daerah yang paling
45
dekat dengan suplai darah antara lain pada vena sentralis dan sinusoid. Menurut Valenca et al. (2008), penumpukan globula lemak pada hewan yang diberikan nikotin bisa terjadi karena adanya kenaikan kadar kolesterol. Kandungan lemak dalam hepatosit diatur oleh aktivitas integrasi antara enzim seluler yang mengkatalis uptake lemak, sintesis, oksidasi dan pengeluaran lemak. Suatu keadaan yang menunjukkan asupan lemak dalam sistem, baik oleh peningkatan asam lemak, uptake lemak oleh hati maupun lemak hasil sintesis melebihi asam lemak oksidasi atau pengeluaran, maka akan terjadi perlemakan hati (steatosis). Menurut Adedayo et al. (2011), dalam penelitian yang dilakukan pada tikus Sprague-Dawley diperoleh gambaran perubahan pada parenkim hati berupa vakuolisasi, kematian hepatosit secara gradual, penurunan populasi sel Kupffer pada sinusoid dan degenerasi sel yang mengitari saluran empedu. Keadaan ini menjadikan integritas fungsional dari hati terganggu karena hepatosit memiliki peranan penting dalam memelihara fungsi hati. Hepatosit menyimpan glikogen yang sangat bermanfaat dalam menjaga kadar glukosa darah, yang merupakan salah satu sumber energi yang digunakan oleh tubuh. Nikotin, salah satu dari beberapa alkaloid cair alami yang memberikan sejumlah efek fisiologis yang melibatkan sistem saraf pusat dan perifer, sistem kardiovaskular, dan sistem endokrin. Pada spesies mamalia besar, nikotin dengan cepat dan ekstensif dimetabolisir, terutama di hati (Kyerematen & Vesell 1991). Jalur metabolik utama dari nikotin pada mamalia adalah C-oksidasi dan Noksidasi, yaitu masing-masing berupa kotinin dan formasi nikotin-1'-N-oksida, Metabolisme pada manusia, 70-80% dari nikotin diubah menjadi kotinin. Kotinin secara ekstensif dimetabolisir, dan hanya sekitar 10-15% dari kotinin diekskresikan tidak berubah dalam urin. Sekitar 4% dari nikotin diubah menjadi nikotin-1'-N-oksida, yang sebagian besar diekskresikan dalam urin tanpa mengalami metabolisme lebih lanjut (Jacob et al. 1997). Pada tikus, sekitar 10% nikotin diekskresikan sebagai kotinin dan nikotin-1'-N-oksida (Kyerematen et al. 1988). Pada mamalia, dilaporkan bahwa CYP dan FMO masing-masing mengkatalisis pembentukan kotinin dan nikotin-1'-N-oksida dari nikotin (Cashman et al. 1992). Oleh karena itu, kadar kotinin dan nikotin-1'-N-oksida dalam urin dapat digunakan sebagai indikator keberadaan nikotin dan sekaligus
46
untuk memperkirakan perubahan CYP dan FMO pada hati yang mengalami peradangan (hepatitis). Pada penelitian ini belum diketahui dengan pasti konsentrasi CYP dalam hati, akan tetapi gambaran histopatologi sel hati tidak menunjukkan kerusakan yang parah atau terjadi peradangan. Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya produk-produk peradangan, seperti adanya runtuhan sel ataupun infiltrasi sel radang ke dalam jaringan yang nekrosa. Dengan demikian, dapat diduga bahwa terjadinya gangguan parenkim pada histopatologi hati merupakan respon dari sel hati dalam menjalankan fungsinya untuk mendetoksifikasi bahan toksik dan mengubahnya menjadi senyawa non toksik (kotinin) yang akan dikeluarkan dari tubuh melalui ekskreta.
47
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pemberian nikotin dosis rendah (0.50 – 0.75 mg/kgbb) selama tiga bulan pada model monyet ekor panjang obes dapat menyebabkan penurunan kadar glukosa darah perifer, dan mempertahankan jumlah sel-β sehingga produksi insulin oleh masing-masing selβ cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran normal tanpa melakukan kompensasi. Kondisi tersebut dapat mengoreksi kadar insulin dan menghambat terjadinya hiperglikemia. Adapun perubahan pada organ hati akibat pemberian nikotin dosis rendah, memperlihatkan adanya kerusakan pada parenkim hati berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan kematian sel namun masih memungkinkan terjadinya regenerasi sel.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengeksplorasi gambaran selsel endokrin penghasil glukagon dan sel-sel eksokrin yang menghasilkan enzimenzim yang dipengaruhi akibat intervensi nikotin oral dosis rendah dengan waktu yang lebih lama karena adanya kecenderungan (tren) penurunan yang belum optimal. Selain itu perlu dikaji pengaruhnya secara molekuler mekanisme yang mendasari peran nikotin terhadap sel endokrin lain untuk mendapatkan dosis yang tepat dan waktu henti optimum untuk memperoleh manfaat positif lain dari nikotin sebagai bahan terapi herbal masa mendatang.
53
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA Adam JMF. 2006. Obesitas, Pengertian dan Kriteria Diagnosis. Di dalam: Adam JMF, editor. Obesitas dan Sindroma Metabolik. Bandung: Penerbit ALFABETA. Adriansjah H dan Adam JMF. 2006. Sindroma Metabolik: Pengertian, epidemiologi dan kriteria diagnosis. Di dalam: Adam JMF, editor. Obesitas dan Sindroma Metabolik. Bandung: Penerbit ALFABETA. Adedayo AD, Tijani AA, Musa AA, and Adeniyi TD. 2011. Histological study of smoke extract of Tobacco nicotiana on the heart, liver, lungs, kidney, and testes of male Sprague-Dawley rats. Niger Med J 52(4): 217–222. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Arendash GW, Sanberg PR, Sengstock GJ. 1995. Nicotine enhances the learning and memory of aged rats. Pharmacol Biochem Behav 52: 517-523. Balfour D, Benowitz N, Fagerstrom K, Kunze M, and Keil U. 2000. Diagnosis and treatment of nicotine dependence with emphasis on nicotine replacement therapy. A status report. Eur Heart J 21: 438-445 Bennet BT, Abee CR, Henrickson R. 1995. Nonhuman Primates in Biomedical Research. Academic Press. Benowitz NL, Jacob P 3rd, Jones RT, and Rosenberg J. 1982. Interindividual variability in the metabolism and cardiovascular effects of nicotine in man. J Pharmacol Exp Ther 221:368–372. Benowitz NL. 1986. Clinical pharmacology of nicotine. Annu Rev Med 37: 21-32. Benowitz NL 1990 Clinical pharmacology of inhaled drugs of abuse: implications in understanding nicotine dependence. NIDA Res Monogr 99:12–29. Benowitz NL, Jacob P 3rd, Denaro C, and Jenkins R. 1991. Stable isotope studies of nicotine kinetics and bioavailability. Clin Pharmacol Ther 49:270–277. Benowitz NL and Jacob P 3rd. 1994. Metabolism of nicotine to cotinine studied by a dual stable isotope method. Clin Pharmacol Ther 56:483–493. Benowitz NL. 1996. Cotinine as a biomarker of environmental tobacco smoke exposure. Epidemiol Rev 18:188–204. Benowitz NL, Hansson A and Jacob P III. 2002.Cardiovascular effects of nasal and transdermal nicotine and cigarette smoking. Hypertension 39:1107-12
54
Borowitz JL and Isom JE. 2008. Toxicologica l Highlight: Nicotine and tipe 2 diabetes. Toxicol Sci 103(2):225-227 Brandange S and Lindblom L. 1979. Synthesis, structure and stability of nicotine 1(5) iminium ion, an intermediary metabolite of nicotine. Acta Chem Scand B 33:187–191 Cashman JR, Park SB, Yang ZC, Wrighton SA, Jacob P III, and Benowitz NL. 1992. Metabolism of nicotine by human liver microsomes: stereoselective formation of trans-nicotine N-oxide. Chem Res Toxicol 5:639–646. Chen Y, Ohtoh H, Yoshida T. 2000. Middle Age Onset of Obesity in Laboratoryreared Female Cynomolgus Monkey. J Growth 39:53-58. Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Edisi 2. Iowa: Iowa State University Press. Chowdhury P, Hosotani R, Chang L, Rayford PL. 1989. Inhibition of CCK or carbachol stimulted amylase release by nicotine. Life Sci 45:2163-2168. Chowdhury P, Hosotani R, Chang L, Rayford PL. 1990. Metabolic and pathologic effects of nicotine on gastrointestinal tractand pancreas of rats. Pancreas 5:222-229. Chowdhury P, Udupa KB. 2006. Nicotine as mitogenic stimulus for pancreatic acinar cell proliferation. World J Gastroenterol 12(46):7428-7432. Collazo-Clavell M. 2011. Question: Is hiperinsulinemia a form of diabetes? http://www.mayoclinic.com/diabetes [terhubung berkala][28 Mei 2012]
Colville T, and Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Mosby Inc., Missouri.USA Cuming JL. 2003. Reversible dementia. JAMA 234: 2434-2459. Cunningham JG and Klein BG. 2007. Texbook of Veterinary Physiology. 4thEd. St. Louis, Missouri: Saunders-Elsevier. Dempsey D, Tutka P, Jacob P 3rd, Allen F, Schoedel K, Tyndale RF, and Benowitz NL. 2004. Nicotine metabolite ratio as an index of cytochrome P450 2A6 metabolic activity. Clin Pharmacol Ther 76:64–72. Dhurandhar NV. 2001. Infectobesity: Obesity of Infectious Origin. J Nutr 131: 2794S–2797S. Dhurandhar NV, Whigham LD, Abbott DH, Schultz-darken NJ, Israel BA, Bradley SM, Kemnitz JW, Allison DB. 2002. Human Adenovirus Ad36 Promotes Weight Gain in Male Rhesus and Marmoset Monkeys. J Nutr 132 (10): 3155–3160
55
Dugi K. 2006. Diabetes mellitus. http://www.scienceinschool.org/ [3 Juli 2012] Dyce KM, Sack WO and Wensing CJG. 1996. Texbook of Veterinary Anatomy. 2nd ed. Philadelphia:WB Sounders Company.pp. 99-150. Fant RV, Owen LL, Henningfield JE. 1999. Nicotine Replacement Therapy. Prim Care. 26(3):633-52. Fenster CP, Rains MF, Noerager B, Quick MW and Lester RAJ. 1997 Influence of subunit composition on desensitization of neuronal acetylcholine receptors at low concentrations of nicotine. J Neurosci 17: 5747 5759. Frandson RD. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta: Gajah Mada University Pr. Fortman DJ, Hewett TA, Bennet BT. 2002. The Laboratory Nonhuman Primate. Florida: CRCPr. Gamieldien K and Maritz GS. 2004. Postnatal expression of cytochrome P450 1A1, 2A3, and 2B1 mRNA in neonatal rat lung: influence of maternal nicotine exposure. Exp Lung Res 30:121-33 Gonzalez AA, Farre R and Clave P. 2004. Different responsiveness of excitatory and inhibitory enteric motor neurons in the human esophagus to electrical field stimulation and to nicotine. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 287:299-306 Gorrod JW and Hibberd AR. 1982. The metabolism of nicotine-delta 1(5)iminium ion, in vivo and in vitro. Eur J Drug Metab Pharmacokinet 7:293–298. Grunberg NE, Bowen DJ, Morse DE. 1984. Effects of nicotine on body weight and food consumption in rats. Psychopharmacology 83: 93–98. Guyton AC. 1996. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Andrianto P, Penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Human physiology and Mechanism of Disease. Hamaguchi K, Utsunomiya N, Takaki R, Yoshimatsu H, Sakata T. 2003. Cellular interaction between mouse pancreatic alpha-cell and beta-cell lines: possible contact-dependent inhibition of insulin secretion. Exp Biol Med 228: 1227-1233. Hancock AS, Du A, Liu J, Miller M, May CL. 2010. Glucagon deficiency reduces hepatic glucose production and improves glucose tolerance in adult mice. Mol Endocrinol 24(8):1605-14 Harishankar N, Kumar PU, Sesikeran B, Giridharan N. 2011. Obesity Associated patophysiological & histologcal changes in WNIN obese mutant rats. Indian J Med Res 134: 330-340.
56
Hossein A. 2011. The effect of nicotine on the serum level of insulin in adult male Wistar rats. J Cell Anim Biol 5(10):215-218 Howard TD, Shuk-Mei H, Li Z, Jing C, Wei C, Slager R, Gray S, Hawkin GA, Medvedovic M and Wagner JD. 2011. Epigenetic changes with dietary soy in cynomolgus monkey. Plos One 6(10):e26791 Hsu, SM, Raine, L and Fanger, H. 1981. The use of avidin-biotin peroxidase complex (ABC) in immunoperoxidase techniques: a comparison between ABC and unlabelled antibody (PAP) procedures. J Histochem Cytochem 29: 577-580. Hukkanen M C, Jacob P, Benowitz N L. 2005. Metabolism and disposition kinetics of nicotine. Pharmacol Rev 57:79-115. Iguchi A, Gotoh M, Matsunaga H, Yatomi A, Honmura A, Yanase M, Sakamoto N. 1986. Mechanism of central hyperglycemic effect of cholinergic agonists in fasted rats. Am J Physiol 251: 1-7. Imei J, Ayoshimoto O and Hideki K. 2009. Indentification of a Novel Mechanism Regulating β-cell Mass: Neuronal relay from the liver to pancreas β-cells. Islet 1 (1):75-77. [IPCS INCHEM] International Program for Chemical Safety INCHM. 1991. http://www.inchem.org/documents/pims/chemical/nicotine.htm [Journal online], access:3 February 2009 Jacob P III, Ulgen M, and Gorrod JW. 1997. Metabolism of (-)-(S)-nicotine by guinea pig and rat brain: identification of cotinine. Eur J Drug Metab Pharmacokinet 22:391–394. Karlsson S, Ahrén B. 1998. Insulin and glucagon secretion by ganglionic nicotinic activation in adrenalectomized mice. Eur J Pharmacol 342: 291-295. Kavanagh K, Fairbanks LA, Bailey, JN, Jorgensen MJ, Wilson M, Zhang L, Rudel LL, Wagner JD. 2007. Characterization and heritability of obesity and associated risk factors in vervet monkeys. Obesity (15): 1666-1674. Kaufman D, Banerji MA, Shorman I, Smith ELP, Coplan JD, Rosenblum LA, Kral JG. 2007. Early-Life Stress and the Development of Obesity and Insulin Resistance in Juvenie Bonnet Macaques. J. Diabetes. 56:13821386. Kyerematen GA, Owens GF, Chattopadhyay B, deBethizy JD, Vesell ES.1988. Sexual dimorphism of nicotine metabolism and distribution in the rat: studies in vivo and in vitro. Drug Metab Dispos 16:823–828. Kyerematen GA, Vesell ES. 1991. Metabolism of nicotine. Drug Metab Rev 23:3–41. 57
Liu, RH, Mizuta, M and Matsukura S. 2003. Long-term oral nicotine administration reduces insulin resistance in obese rats. Eur J Pharmacol. 458:227-34 Maes HH, Neale MC, Eaves LJ. 1977. Genetic and environmental factors in relative body weight and human adiposity. Behav Genet 27:325–351. Mahajoeno E. 2000. Toksisitas Ekstrak Tembakau Sisa Pabrik Rokok terhadap Lalat Rumah (Musca domestica, L). BioSmart 2(2):1-7. Malfertheiner P, Schutte K. Smoking-a trigger for chronic. 2006. Inflammation and cancer development in the pancreas. Am J Gastroenterol 2006; 101: 160-162 Medina J, Fernández-Salazar LI, García-Buey L, Moreno-Otero R. 2004. Approach to the pathogenesis and treatment of nonalcoholic steatohepatitis. Diabetes Care 27 (8): 2057–66. Miksys S, Hoffmann E and Tyndale R F. 2000. Regional and cellular induction of nicotine-metabolizing CYP2B1 in rat brain by chronic nicotine treatment. Biochem Pharmacol 59:1501-11 Mitrou P, Raptis SA, Dimitriadis G. 2010. Insulin action in hyperthyroidism: a focus on muscle and adipose tissue. Endocr Rev. 31(5):663-79. Morgan TM, Crawford L, Stoller A, Toth D, Yeo KT, Baron JA. 2004. Acute effects of nicotine on serum glucose insulin growth hormone and cortisol in healthy smokers. Metabolism 53: 578-582. Murphy PJ. 1973. Enzymatic oxidation of nicotine to nicotine 1(5) iminium ion. A newly discovered intermediate in the metabolism of nicotine. J Biol Chem 248:2796–2800. Napier JR and Napier PH. 1985. The Natural History of the Primate. CambridgeMassachussets: The MIT Press. Peterson LA, Trevor A, and Castagnoli N Jr. 1987. Stereochemical studies on thecytochrome P-450 catalyzed oxidation of (S)-nicotine to the (S)nicotine delta 1(5)-iminium species. J Med Chem 30:249–254. Pribadi AG. 2008. Mencit dan Tikus sebagai Hewan Model Penelitian Nikotin. [Skripsi].Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Racette SB, Deusinger SS, Deusinger RH. 2003. Obesity : overview of prevalence, ethiology, and treatment. Phys Ther 83 : 276-288.
58
Rachmat M, Nuryanti S. 2009. Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia. Forum Penelti Agroindustri. 27(2):73-91 Rasband W. 2006. ImageJ for microscopy. Research Services Branch, National Institute of Mental Health, Bethesda, Maryland, USA. http://rsb.info.nih.gov/ij/ [20 Mei 2012] Rastogi SC. 2007. Essential Animal Physiology. 4th Ed. New Delhi: New Age International (P) Ltd, Pub. Reaven GM. 2006. The Metabolic Syndrome: Is this diagnosis necessary? Am J Clin Nutr 83:1237-1247. Reddy JK and Rao MS. 2006. Lipid metabolism and liver inflammation. II. Fatty liver disease and fatty acid oxidation. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 290 (5): G852–8. Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. East Hampton, New York: Pongonias Press. Roth GS, Mattison JA, Ottinger MA, Chachich ME, Lane MA, Ingram DK. 2004. Aging in rhesus monkeys: relevance to human health intervention. Science 305:1423-1426. Sajuthi D, Lelana RPA, Iskandriati D, Joeniman B. 1993. Karakteristik Satwa Primata sebagai Hewan Model untuk Penelitian Biomedis. Bogor: Makalah Seminar Sehari Satwa Primata Sebagai Hewan Model dalam Bidang Kedokteran dan Farmasi. Schoedel KA, Sellers EM, Palmour R, and Tyndale RF. 2003. Down-regulation of hepatic nicotine metabolism and a CYP2A6-like enzyme in African green monkeys after long-term nicotine administration. Mol Pharmacol 63:96– 104. Seaton M, Kyerematen GA, Morgan M, Jeszenka EV, and Vesell ES. 1991. Nicotine metabolism in stumptailed macaques, Macaca arctoides. Drug Metab Dispos 19:946–954. Sukanto U, Soegondo S, Oemardi M. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Targher G. 2005. How does smoking affect insulin sensitivity?. Diabetes Voice. Special Issue. 50:23-25. Telford IR and Bridgman CF. 1995. Introduction to Functional Histology 2nd ed. New York: Harper Collins College Publishers. Pp. 309-354. Urakawa N, Nagata T, Kudo K, Kimura K, and Imamura T. 1994. Simultaneous determination of nicotine and cotinine in various human tissues using capillary gas chromatography/mass spectrometry. Int J Legal Med 106:232–236 59
Valenca SS, Gouveia L, Pimenta W A and Porto L C. 2008. Effect of Oral Nicotine on Rat Liver Stereology. Int J Morphol 26(4):1013-1022. Wagner JD, Carlson CS, O’Brien TD. 1996. Diabetes mellitus in nonhuman primates: recent research advances on curent husbandry practice. J Med Primatol 19:609-625. [WHO] The World Health Organization. 2000. Obesity: Preventing and managing the global epidemic. Report of a WHO consultation. Geneva. Di dalam: Adam JMF, editor. Obesitas dan Sindroma Metabolik. Bandung: Penerbit ALFABETA. [WHO] The World Health Organization. 2006. Prevelence of Obesity. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/index.html. [10 Sep 2007]. [WHO] The World Health Organization. 2007. Diabetes. http://www.google.com/gwt/n?u=http%3A%2F%2Fwww.who.int%2F [4 Feb2008] Woods S C, Seeley R J. 2002. Understanding the Physiology of Obesity: review of recent developments in obesity research. Int J Obes Relat Metab Discord 26, Suppl 4: S8-S10. Yano JK, Mei-Hui Hsu , Keith JG , David S C and Eric FJ. 2005. Structures of human microsomal cytochrome P450 2A6 complexed with coumarin and methoxsalen. Nature Structural & Molecular Biology 12:822 - 823 Yildiz D. 2004. Nicotine, its metabolism and an overview of its biological effects. Toxicon 43 (2004) 619-632. Yoshikawa H, Hellström-Lindahl E, Grill V. 2005. Evidence for functional nicotinic receptors on pancreatic beta cells. Metabolism 54: 247-254. Zakariah LMS. 2010. Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Zechner R, Strauss JG, Haemmerle G, Lass A, Zimmermann R. 2005. Lipolysis: pathway under construction. Curr OpinLipidol 16, 333-340. Zimmet P, Alberti KG, Shaw J. 2001. Global and societal implications of the diabetes epidemic. 414: 782-787. Zins BJ, Sandborn WJ, Mays DC, Lawson GM, McKinney JA, Tremaine WJ, Mahoney DW, Zinsmeister AR, Hurt RD, Offord KP, and Lipsky JJ. 1997. Pharmacokinetics of nicotine tartrate after single-dose liquid enema, oral and intravenous administration. J Clin Pharmacol 37:426–436.
60
61
Lampiran 1 Lembar Persetujuan ACUC
61
Lampiran 2 Tabel hasil uji-t kadar glukosa pada kelompok Ob- dan pObGlukosa Ob- dan pObt-test for Equality of Means Galat Beda baku Rerata beda Ob- dan dua nilai-p pObrerata 0,262 5,800 4,806
Waktu 1
t 1,207
df
2
1,207
8
0,262
5,800
3
1,207
8
0,262
4
1,207
8
0,262
8
Selang Kepercayaan 95 %
Upper -5,283
Lower 16,883
4,806
-5,283
16,883
5,800
4,806
-5,283
16,883
5,800
4,806
-5,283
16,883
Lampiran 3 Tabel hasil uji-t kadar glukosa pada kelompok Ob+ dan pOb+ Glukosa Ob+ dan pOb+
df
t-test for Equality of Means Galat Beda baku Rerata beda Ob+ dan dua nilai-p pOb+ rerata 0,200 -19,000 13,612
Waktu 1
t -1,396
2
-0,068
8
0,947
-0,400
3
0,144
8
0,889
4
-2,591
8
0,032
8
Selang Kepercayaan 95 %
Upper -50,389
Lower 12,389
5,848
-13,886
13,086
1,000
6,922
-14,963
16,963
-16,400
6,329
-30,995
-1,805
Lampiran 4 Tabel Rataan Jumlah Pulau Langerhans, Area Positif (%) dan Kadar Insulin (µIU/ml) MEP Akhir Penelitian Peubah Jml P Langhans Area pos (%) Insulin (µIU/ml)
62
Kelompok pOb+ 37,2 45,47 12,34
Ob+ 38 50,95 13,41
pOb 28,8 39,86 37,04
Ob24,2 33,63 112,9
Lampiran 5 Tabel hasil Anova pulau Langerhans pankreas MEP ANOVA Dependent Variable: P Langerhans Type III Sum of Squares 670,550 10.986,400 32.201,000
Source grup Error Total
df 3 16 20
Mean Square 223,517 686,650
F 0,326
Sig. 0,807
F 18,606
Sig. 0,002
a. R Squared = ,058 (Adjusted R Squared = -,119)
Lampiran 6 Tabel hasil Anova kadar insulin MEP ANOVA Dependent Variable: Insulin Type III Sum of Squares 14.050,826 1.510,357 32.026,923
Source Grupi Error Total
df 3 6 10
Mean Square 4.683,609 251,726
a. R Squared = ,903 (Adjusted R Squared = ,854)
Lampiran 7
Tabel hasil uji LSD pada kadar insulin kelompok Ob-/Ob+ dan pOb- dan pOb+ MEP selama penelitian Multiple Comparisons
Dependent Variable: Insulin
LSD
(I) Grupi Obneg
Obpos
Mean Difference (I-J) 86,9767(*)
Std. Error 14,48350
Sig. 0,001
95% Confidence Interval Upper Lower Bound Bound 51,5368 122,4165
pObneg
75,8600(*)
15,86588
0,003
37,0376
114,6824
pObpos
103,5233(*)
14,48350
0,000
68,0835
138,9632
obneg
-86,9767(*)
14,48350
0,001
-122,4165
-51,5368
-11,1167
14,48350
0,472
-46,5565
24,3232
(J) Grupi obpos
pObneg pObpos pObneg
16,5467
12,95444
0,249
-15,1517
48,2450
obneg
-75,8600(*)
15,86588
0,003
-114,6824
-37,0376
obpos
11,1167
14,48350
0,472
-24,3232
46,5565
pObpos pObpos
27,6633
14,48350
0,105
-7,7765
63,1032
obneg
-103,5233(*)
14,48350
0,000
-138,9632
-68,0835
obpos
-16,5467
12,95444
0,249
-48,2450
15,1517
pObneg
-27,6633
14,48350
0,105
-63,1032
7,7765
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the ,05 level.
63