ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
PERAN N-ASETIL SISTEIN DALAM MENGHAMBAT KERUSAKAN LENSA MATA DIABETIK PENELITIAN EKSPERIMENTAL PADA LENSA MATA TIKUS DIABETES INDUKSI STREPTOZOTOSIN ARTI LUKITASARI Promotor : Prof. Wisnujono Soewono dr. Sp.M (K) DIABETES; ACETAMINOPHEA KKA KK Dis K 11 / 09 Luk p Copyright : @ 2006 by Airlangga University Library RINGKASAN
Katarak adalah keadaan kekeruhan lensa mata. Katarak dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, misalnya proses penuaan, paparan sinar ultra violet, penyakit sistemik seperti Diabetes Mellitus. Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di dunia, diperkirakan terdapat 50 juta penderita kebutaan di seluruh dunia dan sekitar 20 juta disebabkan oleh katarak. Di Indonesia, katarak juga merupakan penyebab utama kebutaan. Survei DEPKES RI tahun 1996 mendapatkan prevalensi buta karena katarak di Indonesia mencapai 0,75 %. Penderita Diabetes Mellitus mempunyai kecenderungan menderita katarak 25 kali lebih tinggi dibanding yang tidak menderita Diabetes dan 40 % penderita Diabetes Mellitus menderita Katarak Diabetik. Mekanisme toksisitas glukosa pada Diabetes Mellitus yang menyebabkan terjadinya Katarak Diabetik pada dasarnya dapat melalui tiga jalur, pertama : peningkatan aktifitas enzim aldose reduktase (peningkatan alur poliol). Enzim ini mengkatalisis perubahan glukosa menjadi sorbitol (poli alkohol). Sorbitol mempunyai sifat menarik air sehingga kelebihan sorbitol akan menyebabkan masuknya cairan akuos kedalam korteks dan merusak keutuhan sel lensa (stres osmotik). Selain itu pada diabetes melitus perubahan glukosa menjadi sorbitol pada alur poliol yang meningkat banyak memakai NADPH. Jadi pada diabetes melitus NADPH yang tersisa tinggal sedikit sehingga banyak GSSH yang tidak bisa dikembalikan kebentuk GSH lagi (terjadi penurunan aktifitas gluthation redox cycle). Penurunan kadar GSH akan meyebabkan banyak H2O2 tidak dapat dinetralisir sehingga terjadi stes oksidatif. Kondisi stres oksidatif mengakibatkan peningkatan kadar H2O2, radikal hidroksil, lipid peroksida dan malondialdehid yang akan merusak lensa mata (terjadi katarak diabetik). kedua : pada kondisi hiperglikemi, protein ekstra maupun intra seluler mengalami proses glikasi nonenzimatik. Pada proses ini terjadi pengikatan gugus amino materi kristalin oleh molekul gula yang berlangsung tanpa bantuan enzim. Reaksi glikasi nonenzimatik protein kristalin akan menimbulkan cross-link antar dan intra molekul protein sehingga terjadi penambahan high molecular weight protein menyebabkan penurunan tingkat kelarutan protein dan merusak kejernihan lensa serta terjadi katarak.
Disertasi
PERAN N-ASETIL SISTEIN DALAM ...
ARTI LUKITASARI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ketiga : pada kadar glukosa darah yang tinggi glukosa dapat mengalami oksidasi dan membentuk senyawa dikarbonil, yaitu a glucosone dan senyawa oksigen reaktif superoksid (.02-) Selanjutnya senyawa oksigen reaktif superoksid (.02-) dapat menghasilkan hidrogen peroksida (11202) dan radikal hidroksil (OH). H2O2 kemudian bereaksi dengan molekul superoksid yang lain dan membentuk radikal hidroksil. Jadi oksidasi non enzimatik dari glukosa dapat menghasilkan senyawa dikarbonil yang reaktif dan senyawa oksigen reaktif seperti radikal super oksid (.02-), hidrogen peroksida (H202), dan radikal hidroksil (.OH). Radikal superoxide akan bereaksi dengan membran sel membentuk Malondialdehid (MDA). Kondisi stres oksidatif ini juga mengaktivasi intra celluler stress signals, dan menyebabkan terjadinya apoptosis. Apoptosis merupakan kematian sel yang diprogram (programmed cell death), Jalur intrinsik apoptosis adalah melalui mitokondria. Sebagai respon dari stimulus apoptotic / signal awal apoptotosis, beberapa protein yang berasal dari ruang antar membran pada mitokondria akan dikeluarkan ke sitoplasma, protein ini antara lain Cytochrome C. Cytochrome C akan berikatan dengan protein Apaf 1 dan terjadilah aktivasi protein Apaf 1 di sitoplasma. Aktivasi protein Apaf 1 di sitoplasma menyebabkan protein Apaf 1 membentuk suatu kompleks oligomer yang disebut apoptosome. Apoptosome akan mengaktivasi inisiator Caspase yaitu Caspase-9, selanjutnya Caspase-9 yang telah aktif akan berikatan dan mengaktifkan holoenzymes. Ikatan Caspase-9 dengan holoenzymes akan mengaktifkan efektor Caspase yaitu Caspase-3 dan Caspase-7. Aktivasi efektor Caspase ini akan menyebabkan terjadinya pembelahan substrat intra molekuler yang pada akhirnya menuju ke kematian sel (apoptosis). Mekanisme pertahanan terhadap senyawa oksigen reaktif dilakukan oleh sistem enzim dan sistem non enzim. Pada lensa mata mekanisme pertahanan enzimatis terhadap senyawa oksigen reaktif bergantung pada 3 sistem, yaitu glutation redox cycle, enzim superoxida dismutase, dan katalase. Sistem glutation (glutation redox cycle) merupakan mekanisme pertahanan yang utama terhadap senyawa oksigen reaktif. Glutation ( y - L — glutamil — L — sisteinil glisin) adalah suatu senyawa tripeptida yang mengandung gugusan thiol ( sulfhidril = -SH) dan mempunyai berat molekul rendah. Glutation terdiri dari 3 asam amino yaitu glisin, sistein dan asam glutamat. Glutation merupakan proteksi utama terhadap senyawa oksigen reaktif dan radikal bebas pada seluruh sel tubuh termasuk lensa mata. Pada lensa mata Glutation terdapat dalam jumlah yang berlimpah, konsentrasi Glutation tertinggi didapatkan pada epitel lensa. Sebagian besar glutation bebas terdapat dalam bentuk glutation tereduksi (GSH) dan hanya sekitar 2% - 5% terdapat dalam bentuk glutation teroksidasi (GSSG). Pada Diabetes Mellitus dimana terjadi kondisi hiperglikemia, mekanisme pertahanan utama terhadap radikal bebas pada lensa mata (sistem glutation) akan berusaha meredam dengan jalan mengikat H202 yang semakin banyak terdapat dalam cairan akueous. H202 akan dirubah menjadi air (1420) dan 02 dengan bantuan enzim glutation peroksidase dan katalase. Kerja enzim glutation peroksidase memerlukan ko-substrat yaitu GSH yang merupakan tripeptida asam amino : glutamine, sistein dan glisin. Sistein inilah yang mengandung gugus —SH sehingga GSH mampu sebagai donor atom hidrogen pada reaksi dengan radikal bebas
Disertasi
PERAN N-ASETIL SISTEIN DALAM ...
ARTI LUKITASARI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dan membentuk glutation teroksidasi (GSSG), reaksi ini berjalan reversibel. GSSG kemudian akan dikembalikan lagi ke bentuk aktifnya yaitu GSH oleh enzim glutation reduktase. Pada reaksi ini diperukan NADPH sebagai donor hidrogen. Jadi ada dua fungsi utama Glutation yaitu ditoksifikasi hidrogen peroksida dan sebagai anti oksidan yang bertugas didalam sel untuk menetralisir oksidan melalui gluthation redox cycle N- acetyl-L-Cysteine (NAC) adalah thiol grup dengan berat molekul rendah yaitu 163,2 g/mol. NAC adalah suatu bentuk acetilized dari asam amino L-sistein, NAC termasuk thiol grup (C-SH) karena mempunyai gugus aktif –SH. NAC mempunyai rumus kimia C5H9NO3S Awalnya N-asetil sistein dikenal sebagai mukolitik dan banyak digunakan sebagai terapi pada kasus penyakit pare, keracunaft parasetamol, HIV dan sebagainya. Namun saat ini mulai menjadi pusat perhatian banyak peneliti karena juga berfungsi sebagai anti oksidan. NAC diperkirakan dapat digunakan sebagai terapi kondisi yang disebabkan oleh penurunan kadar glutation pada sires oksidatif. Pemberian NAC per oral akan diserap dengan cepat dan mengalami metabolisme di liver dan usus. NAC didalam darah mengalami deasetilasi menjadi sistein yang larut didalam air. Sistein dapat ditemukan intra maupun ekstra seluler. Sistein masuk kedalam sel dengan cara melawan gradien konsentrasi bersamaan dengan pengambilan Na+. Selanjutnya sistein akan bergabung dengan glutamat dan mulai memasuki jalur rangkaian sintesa glutation. Sistein bergabung dengan glutamat dengan enzim glutamate – Cystein ligase akan menjadi glutamylcystein. Glutamylcystein bergabung dengan glycine dengan enzim GSH sintetase akan membentuk GSH. Strategi efektif meningkatkan gluthation intra seluler adalah dengan meningkatkan kemampuan sistein memasuki sel dan selanjutnya masuk dalam rangkaian sintesa gluthation. NAC selain dikenal sebagai prekursor sintesa GSH juga berfungsi sebagai free radical scavenger (anti oksidan) karena dapat bereaksi dengan radiakal superoxide (02*), hidrogen peroksida (H2O2) dan terutama radikal hidroksil (*OH). Pemberian NAC akan meningkatkan suplai sistein untuk meningkatkan gluthation intra sel oleh karena NAC cepat mengalami deacetylated menjadi sistein (sistein mempunyai kemampuan memasuki sel 10 kali lebih cepat dari pada sistin), sehingga lebih efektif dalam meningkatkan GSH intra sel daripada bentuk sistin. Tersedianya sistein ekstra seluler akan meningkatkan kemampuan sistein memasuki sel. (Halliwell & Gutteride, 1998). Sistein dapat menjadi anti oksidan dengan beberapa cara : Pertama : sebagai anti oksidan pencegah. NAC termasuk thiol grup sama seperti GSH, NAC dapat dirubah menjadi sistein, yang merupakan protein sulfhidril groups. Adanya gugusan sulfhidril ini menyebabakan sistein dapat menjadi elektron aseptor bagi oksidan terutama radikal hidroksil dan terhidrolisa menjadi sistein. (sistein membentuk ikatan disulfida menjadi sistin). Sis-SH + OH –> Sis-S* + H2O 2 Sis * --+Sis – S – S –Sis Sistein dapat bereaksi langsung dengan radikal hidroksil sehingga mencegah timbunan radikal hidroksil dengan cara mengkatalisisnya menjadi H2O. Radikal hidroksil merupakan radikal yang paling berbahaya karena paling reaktif dan mampu menyerang semua molekul biologi antara lain lemak, protein dan DNA.
Disertasi
PERAN N-ASETIL SISTEIN DALAM ...
ARTI LUKITASARI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kedua : NAC dapat sebagai anti oksidan pemecah rantai karena sistein bersifat hidrofilik dan berperan dalam sitosol serta cairan ekstra sel. Pada cairan ekstra sel NAC berperan menurunkan kadar sistin dan merubahnya menjadi sistein, dimana bentuk sistein lebih cepat memasuki sel sehingga akan lebih efektif dalam meningkatkan GSH intra seluler. Ketiga : NAC meningkatkan kadar GSH karena sistein dapat memasuki jalur metabolisme glutation dan merupakan prekursor sisntesa GSH, (Tjokroprawiro, 1993; Halliwell, 1998; Suryohudoyo, 2000). Gissen (1994) menuliskan bahwa dosis NAC sebagai antioksidan adalah 250 mg sampai 1200 mg perhari. Odetti (2003) dalam penelitiannya melaporkan bahwa pemberian NAC dosis 300mg/kg BB/ hari yang diberikan selama 6 bulan pada tikus diabetes, terbukti dapat berfungsi sebagai dosis anti oksidan dengan meningkatkan kadar gluthation intra seluler pada glomerolus ginjal sehingga mengurangi kerusakan glomerolus ginjal. Peneliti ingin mengetahui apakah pemberian NAC dosis 300 mg/kg BB/hari selama 4 minggu pada tikus diabetes induksi STZ tetap dapat berfungsi sebagai dosis anti oksidan yang dapat mengurangi kerusakan lensa diabetik. Peneliti juga memberikan NAC dosis 150 mg dan 100 mg untuk mengetahui dosis NAC yang paling efektif dengan pemberian selama 4 minggu. Pada penelitian ini digunakan hewan coba tikus diabetes induksi STZ (50 mg/kh BB/iv-dosis tunggal) sebagai model. STZ mempunyai efek diabetogenik karena menginduksi kerusakan DNA sel J3 pankreas yang masif. Penelitian dilakukan dengan mengukur kadar H2O2, GSH, MDA, ekspresi Caspase 3 sel epitel lensa, serta melakukan elektroforesa protein lensa untuk mengetahui karakteristik berat molekul protein lensa pada tikus diabetes yang diberi antioksidan NAC dosis 150mg, 300mg dan 600mg /kg BB/hari selama 4 minggu. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan tikus diabetes dengan pemberian STZ dosis 50 mg/kg BB/dosis tunggal intravena tikus. (pada kelompok 2, 3, 4 dan 5). Setelah satu minggu penyuntikan dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Hasil pemeriksaan (tabel 5.1) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar gula darah (>300 mg/dl) yang bermakna pada kelompok tikus yang diinjeksi STZ. Data ini membuktikan bahwa induksi STZ dosis 50 mg/kgBB/ dosis tunggal iv dapat menimbulkan kerusakan seluler pada sel R pankreas sehingga gula darah meningkat secara bermakna dan tikus menjadi diabetes. Peningkatan kadar gula darah pada diabetes Mellitus akan meningkatkan kadar 11202 lensa mata. Peningkatan kadar H2O2 lensa mata diabetik akan menurunkan kadar GSH dan meningkatkan kadar MDA lensa mata. Peningkatan H2O2 akan meningkatkan kondisi stres oksidatif. Kondisi stres oksidatif akan meningkatkan glikasi protein dan gluko oksidasi sehingga menyebabkan pembentukan High Molecular Weight Protein. Jadi kondisi hiperglikemia lensa mata diabetik akan meningkatkan terbentuknya High Molecular Weight Protein sehingga terjadi kerusakan arsitektur lensa. Kondisi stres oksidatif pada lensa mata diabetik juga meningkatkan indeks apoptosis sel epitel lensa. Pemberian NAC dosis 150 mg/kgBB/hari selama 4 minggu pada tikus diabetes induksi STZ akan meningkatkan kadar GSH tetapi tidak bermakna, menurunkan kadar H2O2, MDA dan indeks Caspase 3 tidak bermakna dan menurunkan pembentukan protein berat molekul 212kD, 66,4 kD serta menigkatkan protein berat molekul 55,6 kD.
Disertasi
PERAN N-ASETIL SISTEIN DALAM ...
ARTI LUKITASARI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pemberian NAC dosis 300 mg/kgBB/hari selama 4 minggu pada tikus diabetes induksi STZ akan meningkatkan kadar GSH secara bermakna, menurunkan kadar H2O2, MDA dan indeks Caspase 3 bermakna dan menurunkan pembentukan protein berat molekul 212kD, 66,4 kD, 1 55,6 kD. Pemberian NAC dosis 600 mg/kgBB/hariselma 4 minggu pada tikus diabetes induksi STZ akan meningkatkan kadar GSH tetapi tidak bermakna, menurunkan kadar H2O2, dan indeks Caspase 3 tidak bermakna, menurunkan kadar MDA secara bermakna dan menurunkan pembentukan protein berat molekul 212kD, 66,4 kD serta menigkatkan protein berat molekul 55,6 kD. Sebagai kesimpulan dari penelitian ini dapat diamati bahwa jalur utama mekanisme toksisitas glukosa pada diabetes melitus yang mengakibatkan terjadinya katarak diabetik adalah kondisi hiperglikemia pada diabetes melitus mengakibatkan terjadinya glukosa auto oksidasi yang menyebabkan terjadinya kondisi stres oksidatif (peningkatan kadar H2O2 dan penurunan kadar GSH). Kondisi stres oksidatif ini akan memicu terbentuknya senyawa oksigen reaktif dan radikal bebas terutama radikal hidroksil. Radikal hidroksil akan menyebabkan terjadinya reaksi peroksidasi lemak sehingga terjadi kerusakan membran sel. Kerusakan ini mengakibatkan peningkatan kadar MDA. Kondisi stres oksidatif juga akan menyebabkan terjadinya ikatan silang membentuk protein berat molekul tinggi (melalui gluko oksidasi dan glikasi protein). Kondisi stres oksidatif juga merangsang aktifasi Caspase-3 sehingga terjadi peningkatan apoptosis sel epitel lensa Penambahan pembentukan protein berat molekul tinggi akan merusak homogenitas lensa. Sebagaimana kita ketahui bahwa perubahan struktur homogenitas lensa akan menyebabkan dispersi sinar sehingga transparasi sinar pada lensa mata menjadi berkurang. Lensa mata terdiri dari protein globuler lensa yang fungsional. Kondisi hiperglikemia pada lensa akan menyebabkan terjadinya kondisi stres oksidatif sehingga terjadi Cross link antar dan intra molekul protein kristalin lensa. Cross link protein kristalin ini akan menyebabkan gangguan fungsional protein kristalin (terjadi penurunan fungsional protein kristalin) karena terjadi perubahan struktur homogenitas lensa yang menyebabkan terjadinya dispersi sinar. Kondisi ini akan menyebabkan trasparasi sinar pada lensa mata menjadi berkurang. Dari ketiga dosis NAC yang diberikan pada penelitian ini dapat kita ketahui bahwa pemberian NAC dosis 300 mg/kgBB/hari selama 4 minggu pada tikus diabetes induksi STZ merupakan dosis anti oksidan yang paling efektif karena dapat meningkatkan kadar GSH secara bermakna, menurunkan kadar H2O2 secara bermakna, menurunkan kadar MDA secara bermakna, mencegah terjadinya Cross link dan agregasi protein sehingga menghambat pembentukan protein berat molekul tinggi (menurunkan prosentase protein BM 212 kD, 66.4kD dan 55.6kD secara bermakna) dan menurunkan apoptosis (menurunkan indeks Caspase-3) sel epitel lensa secara bermakna. Jadi pemberian NAC dosis 300 mg/kgBB/hari selama 4 minggu pada tikus diabetes induksi STZ dapat menghambat kerusakan lensa mata diabetik
Disertasi
PERAN N-ASETIL SISTEIN DALAM ...
ARTI LUKITASARI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABTRACT N-ACETYL CYSTEIN INCREASED GSH AVAILABILITY THE DEVELOPMENT OF DIABETIC CATARACT
TO
RETARD
Arti lukitasari Cataract is any opacity of the lens. The basis for lens transparency is the structural integrity of lens fibers and short range, ordered packing of the structural crystalline. The crystalline in the lens fiber must exist in homogenous phase. Cataract is one of the complications that diabetic patients are at higher risk of developing. Glutathione (y-L-Glutamyl-L-Cysteinyl glycine) is the most abundant low molecular weight thiol in the cells of all aerobic organisms. In the lens, most of the free glutathione is maintaned in the reduced form (GSH). The major function of glutathione in the lens is to protect against oxidative damage. Reduced glutathione (GSH) was found to be depleted in diabetic lens. There is strong evidence to show that diabetic was associated with increased oxidative stress. The aim of this experiment was to explore the effect of oral administration NAC 300mg/kg body weight/day in the long term of 4 weeks as a potential anti oxidant that can retard the development of Diabetic Cataract. Rats (3-4 months, 150-200 gram) were made diabetic by streptozotocin injection single dose (intra vena at tail vein) of 50 mg / kg body weight. STZ solution was prepared immediately before injection by dissolving the powder in 0,1 M citrate buffer Ph 4 - 4,5. Blood glucose level taken from a tail vein lower than 300 mg/dl were excluded from the experiment. Oral administration of N-acetylcisteine (150, 300, 600 mg/ kg body weight / day) were give in the long term of four weeks. H2O2, MDA and GSH level measured using spectrophotometric were associated with oxidative stress. SDS-PAGE protein profile were used to indicate chemicals modification and degradation of protein. Hematoxyllin eosin and caspase-3 staining of lens epithelium were use to detect apoptosis of lens epithelium. Result of the study showed that oral administration of NAC 300 mg / kg body weight for 4 weeks can incresed significantly GSH level and decreased significantly H202 and MDA level. Change also can be seen in the protein profiles. Protein bands with higher molecular weight indicating cross linking of native protein were decreased. Caspase-3 staining of lens epithelium detect apoptosis of lens epithelium were decreased. In conclusion oral administration of N-acetylcysteine 300 mg / kg body weight / day that given in the long term of 4 weeks increased GSH level and availability in the lens to retard the development of diabetic cataract. Key words: diabetic cataract, GSH, NAC Promotor Prof.Wisnujono Soewono,dr.Sp.M. (K )
Disertasi
PERAN N-ASETIL SISTEIN DALAM ...
ARTI LUKITASARI