1
PERAN JAMAAH YASINAN SEBAGAI PUSAT PEMBERDAYAAN DAN PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT Mulyono *
Abstract Yasinan initially represent activity of religious ritual which is generally conducted by moslem society which is organizate to NU, but later with era appearance of santrinisasi in Indonesia at decade 1985-an, role of Yasinan mount to become religious social activity, so that born Jamaah Yasinan. When this Yasinan become jamaah, hence mostly have been formed [by] official member, there is fee, administration, place innings even have nonscheduled other religious social programs of weekly Routine Yasinan. In so many matter, Jamaah Yasinan have effectiveness as conveyor of activity of mission, and other social activity. Hence pursuant to growth of Jamaah Yasinan during the time precisely if role of Jamaah Yasinan developed and improved to become Center Enableness of Society without getting out of activity initialy as activity of religious ritual, religious social and at the same time Center Education Base on Society at Autonomous era of Area and global era in this time Keywords: Jamaah Yasinan, enableness, education, being based on society 1. Pendahuluan Bergesernya paradigma pemerintahan di era Otonomi Daerah saat ini telah memberikan peluang yang sangat besar kepada pihak-pihak/lembaga di luar pemerintahan, antara lain organisasi kemasyarakatan, LSM, pengusaha maupun perguruan tinggi untuk ikut berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat. Mengingat hingga saat ini, permasalahan yang muncul adalah respon masyarakat menyambut era otonomi daerah belum begitu tampak. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat yang belum terbiasa dengan berinisiatif dalam mengidentifikasi kebutuhan hidup bersamanya. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh pelaksanaan pembangunan selama orde baru, yang mana
* Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
2
masyarakat tidak banyak dilibatkan secara aktif, sebab masyarakat cenderung sebagai penerima program. Akibat kurang partisipasi dan inisiatif masyarakat dalam pembangunan ini maka diperlukan peningkatan peran serta masyarakat dalam melaksanakan pembangunan dan mengidentifikasi potensi dan keanekaragaman sumberdaya lokal melalui partisipasi masyarakat dengan mengembangkan potensi wilayah. Partisipasi masyarakat yang menurun karena selama ini tidak dibudayakan keterlibatannya dalam perencanaan dan pengerjaan pembangunan akan semakin menurun jika tidak mendapatkan bimbingan rutin dan terus-menerus dari pihak lain yang mampu dan pemerintah serta didampingi oleh wadah/organisasi, bantuan sarana dan prasarana atau bahan sebagai stimulan untuk melaksanakan program yang disusun oleh masyarakat. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara lahir batin melalui upaya pemberdayaan (empowering) (Pulung, 2006:77). Dengan
pendekatan
tribina
sebagai
model
pendekatan
dalam
pemberdayaan dan pembangunan masyarakat lokal (tingkat RT/RW, dusun, dan kampung) di wilayah desa/kelurahan, yaitu meliputi bina sosial keagamaan (pendidikan, kesehatan, etika, akhlak, dan amalan ibadah), ekonomi dan fisik lingkungan. Dengan mengembangkan azas dan prinsip yang dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat yaitu melalui pembangunan partisipatif. Pembangunan partisipatif mengupayakan pembangunan kesadaran suatu komunitas/masyarakat dan sekaligus menata kembali tatanan sosial yang ada di sekitarnya. Pembangunan kesadaran ini harus secara langsung melibatkan semua pihak yang terkait dalam
3
proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang langsung menyangkut hidup mereka sesuai kebutuhan dasar lingkungan bersama. Pembangunan partisipatif ini merupakan model pembangunan yang melibatkan komunitas masyarakat sebagai pemanfaat dan pelaku utama yang secara aktif mengambil langkah penting yang dibutuhkan untuk memperbaiki hidupnya. Pembangunan partisipatif menggabungkan dua pendekatan top down dan bottom up yang mempertemukan gagasan makro yang bersifat top down dan gagasan mikro yang kontekstual dan bersifat bottom up, sehingga model pembangunan yang demikian ini akan menghasilkan pembangunan mikro yang tidak lepas dari konteks makro. (Parwoto, 2000). Dilihat dari akar perkembangannya, Yasinan pada awalnya merupakan kegiatan ritual keagamaan dan dilakukan oleh kalangan yang terbatas yaitu kalangan santri maupun umat Islam yang beraviliasi kepada organisasi ke-Islaman Nahdlatul Ulama (NU) pada saat ada acara-acara tertentu seperti kematian. Kemudian pada era munculnya santrinisasi di Indonesia pada dekade 1985-an, peran Yasinan meningkat menjadi kegiatan sosial keagamaan, sehingga lahir Jamaah Yasinan. Dalam artikel singkat ini penulis ingin membahas peran Jamaah Yasinan sebagai pusat pemberdayaan dan pendidikan berbasis masyarakat.
2. Eksistensi Surat Yasin dalam Al-Qur’an Dalam al-Qur’an, Surat Yasin menempati posisi atau urutan ke 36 dari 114 Surat yang ada dalam al-Qur’an dan berada pada juz akhir 22 dan juz awal 23, terdiri atas 83 ayat. Dalam perspektif turunnya surat atau ayat, Surat Yasin termasuk dalam kategori surat-surat Makiyah (surat yang diturunkan di Kota
4
Mekkah atau surat yang diturunkan pada periode Makkah, sebelum Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah) (Depag, 2000:705). Surat Yasin secara kronologis histories diturunkan sesudah surat Jin, meskipun dalam sistematika urutan dalam Al-Qur’an, menempati posisi ke 36 berada di antara Surat Fathir (Q:S:35) dan Surat As-Shaffat (Q.S:37). Adapun penamaan Surat “Yasin”, disebabkan secara spesifik surat ini diawali dengan huruf “Yaa dan Siin”. Sebagaimana halnya arti huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan beberapa surat al-Qur’an, maka demikian pula “Yaa Siin” yaitu Allah mengisyaratkan bahwa sesudah huruf tersebut akan dikemukakan hal–hal yang penting antara lain: Allah bersumpah dengan alQur’an bahwa Muhammad saw. benar-benar seorang Rasul yang diutus kepada kaum yang belum pernah diutus kepada mereka rasul-rasul. (Depag, 2000:705). Dalam tinjauan misi atau isi (kandungan utama) dari Surat Yasin dapat dijumpai beberapa kandungan utama yang terdapat dalam Surat tersebut. Pertama, keimanan, berisi antara bukti-bukti adanya hari kebangkitan, al-Qur’an bukanlah syair, ilmu kekuasaan dan rahmat Allah, surga dan sifat-sifatnya yang disediakan bagi orang-orang mukmin, mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, anggota badan manusia menjadi saksi pada hari kiamat atas segala perbuatannya di dunia. Kedua, kisah, yang menceritakan tentang utusan-utusan Nabi Isa as, dengan penduduk Antakiyah (Syam). Ketiga, peringatan bagi orangorang musyrik dan keterangan tentang kekuasaan Allah dalam menciptakan makhluk berpasang-pasangan, termasuk peredaran tatasurya dan dukungan moral
5
bagi Rasulullah saw. terhadap sikap kaum musyrikin yang menyakitkan hati. (Depag, 2000:705). Surat Yasin mempunyai hubungan perbandingan dengan surat as-Shaffat (surat setelah surat Yasin/ QS.:37), dalam beberapa hal, antara lain, pertama, dalam surat Yasin disebut secara umum tentang umat-umat yang telah dihancurkan Allah karena ingkar kepada-Nya, sedangkan dalam surat as-Shaffat menjelaskan dengan menyebut kisah-kisah Nuh as., Ibrahim as., Isa as. dengan kaumnya. Kedua, pada akhir surat Yasin disebut secara umum keadaan orang mukmin dan orang-orang kafir di hari kiamat, sedang surat as-Shaffat menjelaskannya. Ketiga, pada surat Yasin disebut secara umum tentang kekuasaan Allah membangkitkan manusia dan menghidupkannya kembali, karena Dialah yang menciptakan mereka, sedangkan surat as-Shaffat menjelaskan lebih luas dengan mengemukakan contoh-contohnya. (Depag, 2000:705). Untuk sebagian umat Islam, mereka menyakini bahwa ada sebagian ayat atau surat tertentu yang tampaknya dipercayai sebagai ayat atau surat “unggulan”. Tak ubahnya kehidupan manusia, dari jutaan manusia ada sebagian yang dilebihkan oleh Allah Swt. dengan beberapa kelebihan dan derajat, demikian juga dari sejumlah bangsa, ada beberapa bangsa yang memiliki keunggulan dibanding dengan bangsa lain. Sebagaimana yang dijelaskan Tobibatussaadah (2006:224), keyakinan terhadap ayat-ayat maupun surat-surat yang demikian itu bukan kepercayaan yang tidak beralasan atau tanpa dasar hukum yang pasti baik secara syar’i maupun secara aqli (akal). Dari sejumlah surat dan ayat al-Qur’an yang memiliki
6
keutamaan lebih dibanding yang lain, Surat Yasin tampaknya mendapat perhatian lebih oleh sebagian umat Islam, dan banyak dibaca. Terlepas dari sudut pandang apakah hal itu merupakan bagian tradisi atau memang ada dasar yang menjadi pijakan sehingga seakan menjadi suatu kewajiban yang banyak dilakukan oleh sebagian umat Islam tersebut. Dalam konteks ini pula kemudian muncul beberapa kelompok masyarakat yang membuat Jamaah Yasinan yang cukup berkembang dan lestrai dari dulu hingga sekarang ini.
3. Perkembangan Jamaah Yasinan Tidak jelas mulai kapan tradisi “Yasinan” tersebut mulai ada dan siapa tokoh dibalik tradisi tersebut. Yang jelas tradisi Yasinan menjadi sebuah acara yang sangat terkenal di berbagai lapisan sosial yang beragam, dan hampir dapat dijumpai di beberapa wilayah negeri yang berpenduduk muslim. Khusus di Indonesia misalnya tradisi Yasinan seakan sudah membudaya dan dapat ditemui di seluruh pelosok Nusantara (terutama di Jawa dan Madura, Sumatera dan Kalimantan). Biasanya pembacaan surat Yasin dilanjutkan dengan pembacaan tahlilan pada saat ada acara peringatan wafatnya seseorang (hari meninggal, tiga, tujuh, empatpuluh, seratus, seribu hari, hingga haul), ada acara slametan atau tasyakuran serta acara ritual lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, Yasinan tidak sekedar merupakan acara ritual keagamaan tetapi Yasinan sudah merupakan acara rutin masyarakat muslim yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya malam Jum’at atau Minggu malam/malam Senin. Umumnya dalam acara tersebut jamaah selain membaca Surat Yasin sekaligus membaca tahlil. Sehingga kegiatan ini sering disebut
7
sebagai Jamaah Yasinan ataupun Jamaah Tahlilan. Untuk memudahkan pemahaman dan menyeragamkan sebutan, maka dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan istilah Jamaah Yasinan saja. Ada hal unik yang terjadi dalam Jamaah Yasinan, yaitu seseorang yang belum dapat melaksanakan perintah agama dengan baik seperti sholat lima waktu, maka orang tersebut merasa enjoy saja untuk hadir bahkan menjadi anggota Jamaah. Berbeda dengan majelis taklim lainnya apalagi tempatnya di masjid, boleh jadi yang datang jelas orang-orang yang tergolong baik, artinya sudah melaksanakan perintah agama walaupun belum sempurna. Dengan demikian Jamaah Yasinan dapat dijadikan sarana pembinaan mental dan agama bagi seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang sosial keagamaannya. Dengan kondisi ini, seringkali Jamaah Yasinan yang berkembang bukan di wilayahwilayah basis santri/masyarakat yang kuat agamanya (meminjam istilah Cliffort Geerzt), tetapi berkembang pesat di lingkungan yang sebelumnya bukan basis agama seperti lingkungan masyarakat abangan atau nasionalis.
4. Jamaah Yasinan sebagai Pusat Pemberdayaan Masyarakat Selain memiliki banyak potensi yang perlu dikembangkan, Jamaah Yasinan juga memiliki beberapa kendala. Hasil penelitian yang dilakukan Tobibatussaadah (2006: 231-232) pada kegiatan Jamaah Yasinan di masyarakat Kota Metro Lampung, ditemukan beberapa kendala Pertama, kesulitan mempertahankan jumlah anggota. Dalam arti terdapat beberapa anggota yang kurang rajin bahkan menjadi absen sama sekali dalam kegiatan yasinan. Meskipun pada awalnya sebagian kelompok ini semangat, tetapi lama-kelamaan mulai jenuh
8
dan kurang antusias. Menghadapi masalah ini terkadang pimpinan jamaah harus mendekati dan mengajak untuk aktif. Kedua, adanya anggapan dari sekompok masyarakat yang kurang setuju, karena mereka menganggap tidak ada dasar hukumnya dalam Islam. Selain itu, mereka mempertanyakan mengapa harus Surat Yasin yang dibaca. Padahal Al-Qur’an terdiri atas 114 surat yang kesemuanya penting untuk dibaca. Ketiga, sebagian anggota menganggap bahwa kegiatan yasinan sudah cukup dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga ada sebagian dari mereka yang lebih mementingkan yasinan, dan tidak melakukan salat fardu lima waktu, puasa Ramadhan dan salat Jum’at. Hal ini dikarenakan menurut hemat mereka sudah beribadah dengan cara yasinan. Fenomena seperti ini disebabkan pemahaman mereka tentang ajaran Islam sangat minim. Keempat, dalam tingkat tertentu yasinan belum cukup efektif menghilangkan kebiasaan buruk masyarakat, seperti kebiasaan berjudi atau minum-minuman keras. Meskipun masalah ketiga dan keempat ini sangat sedikit frekwensinya sangat bersifat kasuistik, sehingga tidak dapat digeneralisasikan begitu saja, walaupun realitas itu memang ada. Namun, terlepas dari semua kelemahan dan kendala tersebut, secara umum kegiatan yasinan mempunyai dampak positif yang sangat besar dalam menyiarkan ajaran Islam secara persuasive dan gradual. Di samping itu, juga merupakan sarana pembinaan moral dan mental serta keagamaan masyarakat muslim. Sebab dalam konteks kehidupan beragama tampaknya kesadaran akan pentingnya memahami Islam cukup besar di kalangan warga masyarakat yang kompleks dari latar belakang sosial keagamaannya sekaligus cukup kompleks pula permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat di era global ini.
9
Untuk Jamaah Yasinan yang ada dan sudah berkembang selama ini, harus ada upaya-upaya pemberdayaan baik dari pihak luar maupun dari Jamaah sendiri. Agar Jamaah Yasinan yang sudah terbukti memiliki daya hidup tersebut menjadi pusat pendidikan berbasis masyarakat. Jamaah Yasinan bersifat lokal sebab berada di tingkat RT, RW, dan kampung. Jarang ada yang bersifat desa/kelurahan atau lebih luas lagi wilayahnya. Berbeda dengan majelis taklim yang lain, seperti Dikr Al-Ghofilin/Simaan AlQur’an yang dirintis oleh KH. Gus Mik dari Pondok Ploso Kediri pada era 1987an berlevel kabupaten/kota, Jamaah Dikr yang dipimpin oleh Ustadz Haryono dari Pasuruan bersifat wilayah Jawa Timur (di JTV) bahkan sekarang sudah menasional sering ditayangkan di TPI. Seandainya ada kegiatan Yasinan pada tingkat kelurahan/desa atau lebih luas lagi umumnya bersifat eksidental. Setiap Jamaah Yasinan yang bersifat lokal memiliki pengurus, keadministrasian maupun jadwal kegiatan rutin yang berbeda dengan yang lain. 5. Jamaah Yasinan sebagai Pusat Pendidikan Berbasis Masyarakat Tobibatussaadah (2006:233) yang meneliti tentang tradisi Yasinan masyarakat Metro Lampung tinjauan sosio religius ditemukan bahwa: (1) Jamaah Yasinan mempunyai peran strategis dalam pembinaan ukuwah Islamiyah, dan peningkatan dakwah Islam. (2) Secara sosio-historis sebenarnya yasinan merupakan bentuk tradisi keagamaan dan mempunyai dasar hukum dalam perspektif ajaran Islam. Surat Yasinan yang dibaca dalam setiap acara pertemuan yasinan, menurut anggota jamaah yasinan merupakan keniscayaan sebagai produk ijtihad dan kreasi peninggalan ulama, yang didasarkan pada beberapa keterangan
10
yang terdapat dalam beberapa hadits. (3) Secara faktual kontribusi Yasinan dalam pembinaan tingkat keberagamaan warga masyarakat yang majemuk cukup besar, seperti peningkatan pemahaman ajaran Islam, termasuk sebagai media yang efektif untuk mengadakan berbagai sosialisasi program pembangunan. Karena secara objektif kelompok Yasinan tidak hanya dimonopoli oleh kaum lelaki tetapi juga kaum perempuan. Untuk dapat memahami dan menerapkan Jamaah Yasinan sebagai proses pemberdayaan terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, antara lain: (1) Pemberdayaan berhubungan dengan upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk memegang kontrol. Berdasarkan konsepsi itu perlu dilakukan upaya yang memperhatikan prinsip-prinsip: (a) melakukan pembangunan yang bersifat lokal, (b) mengutamakan dan merupakan aksi sosial, (c) menggunakan pendekatan organisasi kemasyarakatan setempat. (2) Adanya kesamaan dan kesepadanan kedudukan dalam hubungan kerja. Berdasarkan konsepsi itu perlu dilakukan upaya yang memperhatikan prinsip-prinsip: (a) manajemen yang swakekola oleh para pengurus, (b) kepemilikian oleh masyarakat (tumbuhnya rasa memiliki pada masyarakat terhadap program organisasi/Jamaah), (c) pemantauan langsung oleh pejabat terkait, (d) tumbuhnya rasa kebersamaan (collectives), (e) bekerja secara kolaborasi antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan organisasi/jamaah, baik dari pihak anggota, pengurus, masyarakat, pemerintah, lembaga lainnya maupun pihak-pihak lain yang terkait. (3) Menggunakan pendekatan partisipatif. Berdasarkan konsepsi tersebut beberapa prinsip yang perlu diaktualisasikan adalah: (a) merumuskan tujuan bersama, (b) menyikapi
11
pemberdayaan masyarakat melalui Jamaah Yasinan sehingga menjadi pusat pendidikan berbasis masyarakat, (c) melakukan pembangunan sendiri. (4) Pendidikan untuk keadilan. Berdasarkan konsepsi itu beberapa prinsip yang perlu diimplementasikan
adalah:
(a)
mengembangkan
kesadaran
kritis;
(b)
menggunakan metode diskusi dalam kelompok kecil; (c) menggunakan stimulus berupa masalah-masalah; (d) menggunakan sarana, seperti permainan, sebagai alat untuk membantu masyarakat melihat kembali dan membuat refleksi tentang realitas yang dihadapi; (e) memusatkan sistem sosial daripada individu-individu; (f) mengutamakan penyelesaian konflik secara menang-menang (win-win solution); (g) menjalin hubungan antarmanusia yang bersifat non-hierarkhis, termasuk melalui dialog dan pembagian kepemimpinan; dan (h) menggunakan fasilitator yang komit terhadap pembebasan. .(Mulyasa, 2003:33-34). Keempat hal tersebut merupakan ciri proses pemberdayaan, yang meliputi: (a) community organization; (b) self-management and collaboration; (c) participatory approaches, dan (d) education for justice. Ciri-ciri inilah yang merupakan tahapan dasar memberdayakan Jamaah Yasinan menjadi media pendidikan berbasis masyarakat. Apabila mengkaji konsep-konsep pemberdayaan masayarakat dari para pakar di atas kemudian disesuaikan dengan keberadaan dan peran penting Jamaah Yasinan selama ini, maka semakin jelaslah bahwa Jamaah Yasinan memiliki potensi besar untuk diberdayakan sebagai wahana pendidikan berbasis masyarakat sekaligus pemberdayaan masyarakat lokal di era otonomi daerah maupun era global saat ini.
12
Adapun
azas
pemberdayaan
masyarakat
meliputi:
(1)
Keadilan,
memberikan manfaat yang merata pada seluruh strata sosial kehidupan masyarakat tanpa membedakan suku, ras, dan agama. (2) Kejujuran, membuka hati nurani seluruh unsur manusia yang terlibat langsung atau tidak langsung untuk mengangkat nilai-nilai positif dalam masyarakat. (3) Kemitraan, menjalin kerjasama dari seluruh komponen masyarakat yang menunjang pemberdayaan masyarakat melalui berbagai bidang kegiatan. (4) Kesederhanaan, proses kegiatan yang diselenggarakan untuk masyarakat hendaknya didasarkan pada prosedur dan langkah-langkah yang sederhana, mudah dipahami dalam hal ketentuan dan aturan baik secara administratif maupun teknis. (5) Kesetaraan, kaum laki-laki dan perempuan (gender), semua laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. (Pulung, 2006:78). Sedangkan prinsip yang dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat meliputi: (1) Demokrasi, partisipasi menyeluruh dibangun atas persamaan hak dan kewajiban, berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, dan berpegang teguh bahwa musyawarah sebagai forum pengambil keputusan tertinggi. (2) Partisipasi, seluruh anggota masyarakat berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh kegiatan. (3) Transparansi, semua kegiatan dari awal (perencanaan), pelaksanaan, pengawasan dari seluruh kegiatan dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan. Dan seluruh proses pemberdayaan dan informasinya dapat diakses oleh para stakeholder, serta informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. (4) Akuntabilitas, seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara
13
teknis maupun administratif. (5) Desentralisasi, memberikan kepercayaan kepada masyarakat dalam pengelolaan pembangunan wilayahnya melalui institusi lokal. (6)
Keberlanjutan,
hasil-hasil
kegiatan
dapat
dilestarikan
dan
ditumbuhkembangkan oleh masyarakat sendiri melalui wadah institusi masyarakat setempat yang mandiri dan profesional. (Pulung, 2006:78). Sebagaimana yang ditemukan Kasiram (1991:56) bahwa mempercayakan pembinaan kehidupan beragama kepada masyarakat sendiri (lewat kader yang disiapkan dengan baik), akan dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada masyarakat. Di samping itu proyek-proyek kecil yang ditangani sendiri oleh masyarakat
merupakan
sarana
ampuh
untuk
membangkitkan
semangat
berswadaya, berswakarya dan berswasembada masyarakat.
6. Simpulan Yasinan pada awalnya merupakan kegiatan ritual keagamaan yang umumnya dilakukan masyarakat muslim yang berafilasi ke NU, namun kemudian dengan munculnya era santrinisasi di Indonesia pada dekade 1985-an, peran Yasinan meningkat menjadi kegiatan sosial keagamaan, sehingga lahir Jamaah Yasinan. Ketika Yasinan ini menjadi jamaah, maka sebagian besar sudah terbentuk pengurus, ada arisan/iuran, ada administrasi, ada pergiliran tempat bahkan memiliki program-program sosial keagamaan lain di luar acara Yasinan rutin mingguan. Dalam berbagai hal, Jamaah Yasinan memiliki efektivitas sebagai penyampai kegiatan dakwah, dan kegiatan sosial lainnya. Maka berdasarkan perkembangan Jamaah Yasinan selama ini tepatlah apabila peran Jamaah Yasinan dikembangkan dan ditingkatkan menjadi Pusat Pemberdayaan Masyarakat dengan
14
tidak lepas dari kegiatan semula sebagai kegiatan ritual keagamaan, sosial keagamaan dan sekaligus Pusat Pendidikan Berbasis Masyarakat pada era Otonomi Daerah dan era global saat ini. Apabila mengkaji konsep-konsep pemberdayaan masayarakat dari para pakar kemudian disesuaikan dengan keberadaan dan peran penting Jamaah Yasinan selama ini, maka semakin jelaslah bahwa Jamaah Yasinan memiliki potensi besar untuk diberdayakan sebagai wahana pendidikan berbasis masyarakat sekaligus pemberdayaan masyarakat lokal di era otonomi daerah maupun era global saat ini.
15
Daftar Rujukan Cook & Macaulay. 1997. Perfect Empowerment (Terjemahan). Jakarta: Gramedia. Departemen Agama. 2000. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Karya Utama. Kasiram, HM. 1991. “Temuan PAR (Participatory Action Research)” Malang: Majalah Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, Nomor 24 Th. IX September-Desember 1991. Mulyasa, E. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah-Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cetakan ke 3. Parwoto. 2000. “Pengorganisasian Masyarakat”. Modul Pelatihan UPK-FaskelBKM: Satuan Wilayah Kerja IX Jawa Timur, Jember, 2000. Pulung, Rahmad, dan Sudibyo. 2006. “Partisipasi Masyarakat Sub Urban dalam Pembangunan Kota Malang”. Humanity, Jurnal Penelitian Social, Volume 1, Nomer 2, Maret 2006. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006. Tabibatussaadah. 2006. “Tradisi Yasinan pada Masyarakat Metro Tinjauan Sosio Religius”. Tapis Jurnal Penelitian Ilmiah, Vol. 06 No. 02 Juli 2006. Lampung: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STAIB Jurai Siwo Metro, 2006.