JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
31
PERAN CORPORATE GOVERNANCE DALAM PENGUNGKAPAN IMPLIMENTASI CSR DAN DAMPAK POLITIKNYA* Anton Wuisan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta
[email protected]
Abstrak Corporate Social Responsibility atau CSR adalah bentuk tanggung jawab sebuah perusahaan dalam kerangka penggunaan sumber dayanya untuk keterlibatan sosial. Kesediaan perusahaan untuk mengimplementasikan tanggung jawab sosial memiliki dampak yang sangat berarti bagi masyarakat, karena perusahaan adalah entitas sosial. Di satu sisi publik menuntut transparansi perusahaan sesuai prinsip corporate governance dan di satu sisi perusahaan harus mampu merespon keinginan publik sebagai salah satu implikasi politik tanggung jawabnya. Maka di sini pentingnya kajian kontribusi corporate governance terhadap pengungkapan implementasi CSR. Kata kunci: CSR, corporate governance, tanggung jawab sosial
1. Pendahuluan Keterlibatan bisnis dalam masyarakat sudah menjadi bahan kajian sejak pertengahan abad lalu (Turker, 2009). Sekurang-kurangnya peran bisnis dalam masyarakat ini menjadi bahan telaah di bidang bisnis, akuntansi dan etika (Reynolds and Yuthas, 2008). Di wilayah bisnis, CSR dibicarakan dalam kaitannya dengan pemasaran, citra perusahaan (Bansal, 2013) sampai kontribusinya untuk daya saing nasional (Bouloutta and Pitelis, 2014). Sementara itu di bidang akuntansi, CSR dikaitkan dengan firm value (Jo and Harjoto, 2011). Dalam wilayah etika, CSR dikaitkan dengan argumentasi-argumentasi moral dalam implementasinya (Ketola, 2008).
*
Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi HIDESI ke-XXIV, tanggal 15 - 16 Agustus 2014, dan telah disesuaikan untuk keperluan Jurnal Etika.
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
32
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
Pelbagai stakeholders baik dalam komunitas lokal (nasional) maupun internasional dewasa ini mengharapkan bisnis semakin bertanggung jawab dalam penggunaan sumber daya yang dimiliki untuk ikut turut serta dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat juga (Bouloutta and Pitelis, 2014). Secara popular, tanggung jawab tersebut dirumuskan dalam istilah tanggung jawab perusahaan (Corporate Social Responsibility – CSR) yang menyediakan kerangka untuk mengembangkan penggunaan sumber-sumber daya perusahaan dalam rangka keterlibatan sosialnya. Semakin meningkatnya tuntutan bagi perusahaan untuk mengimplementasikan CSR meningkatkan arti penting CSR sebagai bagian penting dalam dinamika bisnis atau perusahaan sebagai satu entitas bisnis. Implementasi CSR oleh perusahaan semakin dapat dengan mudah ditemukan dalam sejumlah laporan, survey, maupun komponen dalam assessment perusahaan. Survei yang dilakukan oleh KPMG pada tahun 2008 menyingkapkan bahwa 80% dari 250 perusahaan yang termasuk dalam Fortune Global menerbitkan informasi tentang tanggung jawab perusahaan yang dilakukan baik dalam laporan yang berdiri sendiri maupun laporan yang terintegrasi dengan laporan keuangan perusahaan. Sementara itu survei yang dilakukan majalah Ethical Corporation pada tahun 2010 menemukan bahwa 67% dari 116 perusahaan yang disurvei ternyata memiliki kerangka pengukuran terkait dengan dampak ekonomik dari bisnis mereka terhadap komunitas di mana mereka menjalankan aktivitas bisnisnya. Lebih jauh lagi, Wall Street Journal dan Financial Times memasukkan CSR – di samping keuangan, pemasaran, akunting dan operasional – dalam assessment mereka terhadap sekolah-sekolah bisnis unggulan (Attig, et al. 2013). Ada sejumlah faktor yang berperan dalam implementasi CSR oleh perusahaan. Ukuran perusahaan, misalnya saja, menjadi salah satu faktor yang dipakai untuk mengadopsi CSR atau tidak (Udayasankar, 2008). Sementara di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, implementasi CSR merupakan kegiatan yang wajib dilakukan karena diamanatkan oleh undangundang (Waagstein, 2011). Dari sudut pandang pendekatan stakeholders, perusahaan melakukan kegiatan CSR karena tuntutan dari stakeholders-nya (Martin, 2002), sementara dari pendekatan institusional, ternyata faktorfaktor sosial secara khusus memainkan peranan penting dalam implementasi CSR oleh perusahaan. Dalam konteks Indonesia, implementasi CSR diperlihatkan dalam pelbagai kegiatan yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, yakni Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kepatuhan terhadap perundangan dilakukan karena ancaman sanksi bagi yang tidak melakukannya; meskipun demikian perusahaan-perusahaan di Indonesia harus melakukannya dengan taruhan biaya perusahaan yang tinggi dan ancaman terhadap keunggulan bersaingnya (Waagstein, 2011). Implementasi CSR dalam model ini
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
33
menggunakan strategi defensif yang bertujuan untuk mengamankan posisi perusahaan (Carroll & Buchholtz, 2000). Sementara kepatuhan terhadap hukum sebenarnya juga merupakan praktik CSR seperti yang secara klasik dirumuskan oleh Carroll (1991). Kajian lebih lanjut atas CSR mengalami perkembangan tidak hanya terkait dengan faktor-faktor yang berperan dalam implementasi CSR oleh perusahaan, tetapi juga sejumlah faktor yang berperan dalam CSR disclosure atau publikasi CSR oleh perusahaan. Pengungkapan implementasi CSR ini sama pentingnya dengan implementasinya sendiri. Relevansi pengungkapan implementasi CSR ini terutama berhubungan dengan informasi tentang reputasi perusahaan yang dibutuhkan oleh stakeholders. Mengikuti Margolish dan Walsh (2003) yang mengkaji 127 hasil penelitian empirik sampai dengan tahun 2003, atribut-atribut yang ada pada reputasi perusahaan tersebut adalah kualitas manajerial, kesehatan kondisi keuangan perusahaan, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Tuntutan untuk mendapatkan informasi ini sebenarnya sesuai dengan prinsip penting corporate governance (GCG), yakni prinsip transparansi. Kesediaan perusahaan untuk mengungkapkan implementasi tanggung jawab sosialnya memiliki dampak yang berarti mengingat perusahaan adalah sebuah entitas sosial yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Hal ini berarti bahwa publik dalam keragaman atribut yang dimiliki memiliki kepentingan terhadap perusahaan, dan kemampuan perusahaan untuk merespon kepentingan publik ini dapat dilihat sebagai implikasi politik dari tangung jawab sosial perusahaan (Weyzig, 2009). Paper ini dikembangkan untuk mengkaji kontribusi corporate governance terhadap pengungkapan implementasi CSR oleh perusahaan dan dampaknya terhadap masyarakat. Secara garis besar, paper ini akan terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama akan dibahas apa yang fokus dari kajian, yakni tentang CSR. Berturut-turut kemudian akan dibicarakan tentang corporate governance dan implementasi CSR, corporate governance dan CSR Disclosure. 2. Pendefinisian CSR Pendefinisian CSR mengalami perkembangan yang sangat beragam sehingga sulit untuk menggunakan satu definisi CSR secara baku. Pasalnya, pendefinisian tersebut tidak hanya terkait dengan operasionalisasi yang bersifat teknis tentang apa yang harus dilakukan oleh perusahaan, tetapi juga terkait dengan dimensi normatif: pada hal apakah perusahaan harus bertanggung jawab. Di luar definisi yang menekankan pentingnya tanggungjawab yang harus dilakukan oleh bisnis, ada juga definisi yang menekankan tujuan CSR di tingkat makro. Misalnya definisi yang dibuat
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
34
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yang merumuskan CSR sebagai: “komitment berkesinambungan dari bisnis untuk bertindak secara etis dan memberi kontribusi terhadap perkembangan ekonomik sementara di saat yang bersamaan juga meningkatkan kualitas hidup komunitas lokal dan masyarakat secara umum (Holme & Watts, 2000). Di atas fakta banyaknya definisi CSR yang berkembang sampai dengan saat ini, ada satu upaya yang mencoba memberi kerangka konseptual atas teori-teori yang menghasilkan definisi-definisi tersebut (Okoye, 2009). Sekurang-kurangnya ada empat tipe teori CSR yakni: instrumental theories, political theories, integrative theories, dan ethical theories. Teori instrumental secara tradisional diterima sebagai teori-teori tentang CSR yang membicarakan peran korporasi sebagai instrument untuk menciptakan kesejahteraan. Teori ini secara khusus membicarakan CSR dalam kaitannya dengan benefit yang didapatkan oleh perusahaan. CSR pertama-tama dilakukan untuk meningkatkan shareholders value. Milton Friedman mengatakan bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan itu adalah making profits yang dapat meningkatkan kesejahteraan shareholders. Aktivitas sosial lainnya yang dilakukan oleh perusahaan hanya dapat dibenarkan sejauh aktivitas tersebut memberi kontribusi dalam jangka panjang terhadap kesejahteraan shareholders. (Jensen, 2002). Teori ini juga mencakup gagasan bahwa CSR ini menjadi instrumen untuk membangun reputasi dan merek yang memberi kontribusi bagi pertumbuhan laba perusahaan. Tipe teori yang kedua, teori politik, melihat CSR sebagai peran dan kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan untuk ikut memberi kontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dalam konteks ini, perusahaan dilihat sebagai warga negara (corporate citisenship) yang memiliki peran yang sama dengan warga negara lain. Implementasi program-program CSR dilakukan sebagai tanggung jawab perusahaan sebagai warga negara yang memiliki kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya (Jeurissen, 2004). Bisa saja hal ini dilakukan dalam sikap self-interested corporate social activity, tetapi bisa juga dilakukan dalam bentuk keterlibatan yang bersifat karitatif dan sukarela (Carroll, 2008) Teori integratif melihat CSR sebagai upaya perusahaan untuk mengintegrasikan tuntutan sosial ke dalam operasional bisnis. Teori ini juga mengintegrasikan manajemen stakeholder dan corporate social performance (Post et al, 2002). Manajemen stakeholder menawarkan satu pendekatan di mana manajemen harus mempertimbangkan para pemangku kepentingan atau pihak-pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
35
kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik perusahaan. Sementara itu kinerja sosial perusahaan memadukan antara prinsip-prinsip tanggung jawab sosial, proses kepekaan sosial (social responsiveness) perusahaan dan hasil-hasil yang dapat diamati dari relasi antara perusahaan dan masyarakat. Tipe teori keempat, teori etis, berfokus pada etika dan dalam konteks ini etika berarti melakukan apa yang benar untuk kebaikan masyarakat. Makna “benar” dan “baik” ini sangat kualitatif dan terbuka untuk diperdebatkan sehingga memiliki banyak interpretasi. Dalam tipe teori keempat ini, ada stakeholder theory, konsep hak-hak universal yang didasarkan pada HAM, dan juga konsep sustainable development (Garriga dan Mele, 2004). Berdasarkan teori keempat ini kita juga dapat memahami bahwa implementasi CSR itu tidak melulu berorientasi ke luar perusahaan, tetapi juga ke dalam perusahaan. Di sini kita menemukan konsep bahwa termasuk dalam praktik CSR adalah perhatian terhadap hak-hak karyawan. 2.1. Konsep Carroll Pada tahun 1979, Archie B. Carroll merumuskan four-part definition CSR yang berkaitan dengan kinerja sosial perusahaan. Menurutnya, ada empat aspek CSR yang kesemuanya harus diimplementasikan jika perusahaan ingin memiliki kinerja sosial yang positif. Keempat aspek CSR tersebut adalah: economic responsibily, legal responsibility, ethical responsibility dan voluntary responsibility (Jamali dan Mirshak, 2007). Tanggung jawab sosial perusahaan yang pertama adalah tanggung jawab ekonomik. Bisnis adalah sebuah entitas ekonomik dan oleh karenanya memiliki tanggung jawab ekonomik dalam bentuk mendapatkan return atas investasi yang telah ditanamkan; menciptakan lapangan pekerjaan dan memberi upah yang adil terhadap para pekerja; menemukan sumber-sumber daya baru; menciptakan produk (barang dan jasa) baru. Profit dibenarkan karena dengan profit inilah bisnis tetap dapat menjalankan fungsinya. Tanggung jawab sosial berikutnya adalah tanggung jawab legal yang diperlihatkan dalam kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam perspektif ini, masyarakat mengharapkan bisnis untuk merealisasikan semua misi ekonomiknya dalam kerangka perundangan yang berlaku. Profit tidak dapat dicapai dengan melanggar peraturan yang ditetapkan terkait dengan praktik bisnis. Peraturan memberi kerangka tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bisnis dalam mendapatkan keuntungan. Tetapi hukum pada hakekatnya bersifat reaktif dan baru dirumuskan ketika ada masalah yang muncul. Hal ini menyebabkan ada ruang yang tersisa bagi perusahaan untuk tetap bersikap proaktif ketika tidak ada atau belum ada peraturan untuk menyelesaikan satu masalah tertentu.
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
36
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
Tanggung jawab etis, sebagai tanggung jawab sosial yang ketiga, mengatasi keterbatasan yang ada pada tuntutan hukum. Tanggung jawab etis mencakup aktivitas-aktivitas bisnis yang belum tercantum dalam hukum/ perundangan tetapi pada saat yang sama aktivitas-aktivitas tersebut diharapkan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh perusahaan. Termasuk dalam cakupan tanggung jawab etis ini adalah penghormatan pada manusia, menghindari hal-hal yang membahayakan masyarakat, dan mencegah terjadinya dampak negatif terhadap masyarakat. Lantos (2001) menyebut tanggung jawab etis ini berakar terutama pada kayakinan religius, prinsip-prinsip insane, dan komitmen terhadap hak-hak asasi manusia. Tanggung jawab terakhir dalam konsep Carroll adalah voluntary responsibility. Secara konkret, tanggung jawab ini diimplementasikan dalam bentuk aktivitas-aktivitas perusahaan di luar pertimbangan keuntungan untuk membantu masyarakat meningkatkan kualitas hidupnya. Jika tanggung etis menuntun perusahaan untuk preventing harm on society karena praktik-praktik perusahaan, maka tanggung jawab voluntary ini menuntun perusahaan untuk improving the welfare of society. Tanggung jawab ini muncul dalam bentuk tindakan positif/aktif perusahaan untuk ikut meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 2.2. Triple Bottom Line dan Business Sustainability Konsep penting lainnya yang cukup terkenal mengaitkan implementasi CSR dengan apa yang disebut sebagai triple bottom line (TBL) yang terdiri dari social equity, economics dan environmental factors. Keberlangsungan perusahaan dapat diwujudkan ketika mengimplementasi CSR yang berorientasi pada tiga hal tersebut, yakni people, profits dan planet (Zwetsloot, 2003). Konsep ini pertama kali dirumuskan oleh John Elkington pada tahun 1994 dan dijadikan judul oleh Shell dalam Sustainibility Reportnya. TBL Company menerapkan tanggung jawab sosialnya dengan memperhatikan people yang ada di dalam perusahaan maupun yang ada di komunitas eksternal. Dalam praktik bisnisnya, perusahaan-perusahaan TBL menghindarkan diri untuk mengeksploitasi tenaga kerja dan masyarakat di sekitarnya. Ke dalam, perusahaan TBL memberi upah yang adil kepada pekerjanya, menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat dan memberlakukan jam kerja yang manusiawi. Sedangkan ke luar, perusahaan TBL memberi kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam kaitannya dengan kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Dengan menerapkan bottom line ini, perusahaan memberikan dampak sosial yang positif terhadap masyarakat.
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
37
Selain memperhatikan aspek manusiawi, aspek lain yang juga menjadi fokus dari perusahaan TBL adalah planet atau lingkungan. Bisnis mengalami keberlangsungannya apabila dalam praktiknya tidak hanya tidak merusak lingkungan, tetapi lebih jauh ikut melestarikan lingkungan. Praktik-praktik yang merusak lingkungan dihindari oleh perusahaanperusahaan TBL. Pengukuran dampak bisnis terhadap lingkungan ini dapat lebih konkret dibandingkan dengan dampak sosialnya. Sejumlah kajian akademik memperlihatkan bahwa kelestarian lingkungan membuat bisnis bisa menikmati profit dalam jangka panjang. Aspek terakhir yang menjadi orientasi dari perusahaan-perusahaan TBL adalah profit. Yang dimaksud di sini adalah profit bukan dalam pengertian akuntansi, tetapi profit dalam pengertian ekonomik. Dalam perspektif ekonomik, profit mencakup juga semua social benefit yang dialami oleh mereka yang ada dalam lingkungan ekonomi baik di dalam maupun di luar perusahaan. 2.3. Strategi CSR Sejumlah kajian terhadap implementasi CSR menemukan bahwa sekurang-kurangnya ada empat strategi yang mendasari implementasi CSR, yakni: obstructionist, defensive, accommodative, dan proactive (Carroll dan Buchholtz, 2000; Fisher, 2004; Sauser, 2005). Perusahaan yang menjalankan strategi obstructionist sepenuhpenuhnya menolak bentuk tanggung jawab sosial atau tanggung jawab etik apa pun yang tidak berhubungan dengan kepentingan ekonomi. Oleh karenanya, perusahaan-perusahaan yang menggunakan strategi ini seringkali menentang atau mengabaikan tuntutan sosial agar perusahaan memperlihatkan tanggung jawab yang lebih besar lagi. Dalam strategi ini implementasi program CSR hanya dijalankan sejauh memiliki dampak ekonomik di sisi perusahaan. Menggunakan strategi defensive, perusahaan juga memperlihatkan penolakan terhadap tanggung jawab etik yang luas dari perusahaan. Meskipun demikian, berbeda dengan strategi obstructionist bisa saja mengimplementasikan program-program CSR untuk melindungi kepentingan perusahaan. Implementasi program CSR dilakukan dengan cecara pasif mematuhi tuntutan-tuntutan legal dan dengan demikian perusahaanperusahaan itu tetap mendapatkan legitimasinya secara legal. Perusahaan-perusahaan yang menggunakan strategi akomodatif dapat menyetujui tanggung jawab etikal – khususnya terhadap para pengampu kepentingan yang terkait dengan perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahaan ini patuh terhadap tuntutan legal dan berusaha memberi perhatian pada umpan balik yang diberikan oleh stakeholders
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
38
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
mereka. Meskipun demikian, mereka hanya memenuhi harapan-harapan stakeholders secara minimalis dan pasif. Jarang ada inisiatif untuk melakukan kebaikan sosial yang lebih besar. Berbeda dengan ketiga strategi sebelumnya, strategi terakhir, proactive strategy, adalah strategi yang digunakan oleh perusahaanperusahaan yang sepenuhnya mengakui tuntutan tanggung jawab sosial yang dimiliki oleh bisnis. Lebih jauh lagi, perusahaan-perusahaan dengan strategi proaktif ini juga secara aktif terlibat dalam masyarakat untuk meminimalkan dampak negatif operasionalisasi bisnis mereka dan meningkatkan kesejahteraan dari stakeholders mereka. 3. Corporate Governance dan Implementasi CSR Corporate Governance (CG) merupakan salah satu faktor yang berperan dalam implementasi CSR oleh perusahaan. Ada sangat banyak penelitian yang mengaitkan tuntutan CG dengan keterlibatan perusahaan dalam aktivitas yang memperlihatkan tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat. Berdasarkan teori agensi, Barnea dan Rubin (2010) menelaah bahwa keterlibatan perusahaan dalam CSR merupakan relasi principalagent antara manajer dan pemegang saham. Ia mengajukan argumentasi bahwa pihak-pihak di dalam perusahaan (manajer) memiliki kepentingan untuk berinvestasi pada aktivitas CSR untuk mendapatkan keuntungan akibat terbangunnya reputasi sebagai warga negara yang baik (padahal biayanya menggunakan biaya pemegang saham). Meningkatnya reputasi akan menyebabkan manajmen puncak mendapatkan peluang karir yang lebih baik dan daya tawar yang lebih tinggi. Dalam kajian yang dilakukan oleh Jo dan Harjoto (2011), ditemukan bahwa implementasi CSR tidak berpengaruh pada nilai perusahaan (firm value) karena benefit yang didapatkan dari implementasi tersebut hanya membentuk reputasi manajerial dan bukan reputasi perusahaan secara keseluruhan yang tercermin dalam harga saham di pasar sekuritas. Implikasinya adalah bahwa apabila CG dilihat dalam latar belakang teori agensi, maka sebenarnya implementasi CSR tetap tinggal problematik. Prinsip transparansi tidak dapat diterapkan karena ada masalah informasi yang asimetrik yang memungkinkan terpeliharanya konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajemen. Teori agensi menyatakan bahwa tekanan dari para investor memaksa manajer untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan bukannya tujuan-tujuan manajerial (Allen et al, 2001). Dalam perkembangannya, konsep corporate governance tidak lagi secara konvensional didasarkan pada teori agensi yang berfokus pada kepentingan shareholder atau pemegang saham saja. Ada sejumlah definisi baru yang dikembangkan untuk mengatasi masalah konflik kepentingan
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
39
yang tersisa dari teori agensi. Salah satu definisi yang relevan dengan topik paper ini adalah definisi yang dikembangkan oleh Solomon (2009) yang melihat corporate governance sebagai: “checks and balances, both internal and external to companies, whics ensures that companies discharge their accountability to all of their stakeholders and act in a socially responsible way in all areas of their business activity”.
Berdasarkan perluasan konsep CG tersebut, maka kontribusi CG terhadap implementasi CSR lebih dapat dipahami. Dasar teorinya begeser dari teori agensi menjadi teori stakeholder dan/atau teori institusional. Dalam banyak kajian tentang praktik CSR, terutama di wilayah welfare state, ditemukan bahwa institusi memberi pengaruh penting terhadap perilaku ekonomik dan sosial perusahaan (Lee, 2011). Institusi dibedakan menjadi dua kategori, yakni institusi formal dan institusi informal. Institusi formal secara konseptual berkembang dalam kajian ekonomik dan menunjuk pada perundangan negara serta peraturan pemerintah yang dalam praktiknya menjadi pedoman perilaku perusahaan dalam aktivitas ekonomiknya (North, 1991). Institusi informal, sebaliknya, dikembangkan oleh para pemikir dari domain sosiologi yang mencakup norma-norma, konvensi dan keyakinan bersama (shared beliefs) yang juga memainkan pengaruh penting seperti institusi formal. Melalui studinya, Lee (2011) menyatakan bahwa sebenarnya institusi itu sejajar dengan stakeholder, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku perusahaan dipengaruhi baik oleh institusi (institutional approach, institutional theory) maupun stakeholder (stakeholders approach, stakeholders theory). Meskipun kedua pendekatan tersebut dikembangkan sendiri-sendiri, tetapi keduanya memperlihatkan kesamaan bahwa institusi dan stakeholders pada kenyataannya memaksa perusahaan untuk bertindak sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial dengan cara-cara yang mirip. Secara berbeda, tetapi masih dengan isi konsep yang sama, Muthuri dan Gilbert (2011) merumuskan tiga determinan institusional dalam implementasi CSR, yakni: regulative (legal) elements, normative (social) elements, dan cognitive (cultural) elements. Elemen regulatif terdiri dari aturan-aturan, sanksi, dan perundangan yang dalam praktiknya digunakan untuk mengodifikasi perilaku korporat yang dapat diterima secara sosial. Elemen normatif terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma sosial yang menetapkan aturan main sehingga perusahaan mendapat informasi mengenai apa yang benar untuk dilakukan. Sedangkan elemen kognitif mencakup nilai-nilai budaya ideologi dan identitas. Elemen ini merangkum keyakinan-keyakinan bersama tentang apa pentingnya perusahaan berperilaku secara bertanggung jawab.
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
40
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
4. Corporate Governance dan CSR Disclosure Di samping terkait dengan prinsip transparansi dalam corporate governance, pengungkapan implementasi CSR juga terkait dengan prinsip akuntabilias. Kedua prinsip good corporate governance ini baik dalam latar belakang teori agensi maupun teori stakeholders dan institusional menjadi faktor penentu dari pelaporan atau pengungkapan CSR ke ranah publik (Chan et al., 2013). Baik pemegang saham, secara khusus, sebagai primary stakeholder maupun semua stakeholder lainnya berharap bahwa perusahaan dikelola secara baik dan benar. Latar belakang inilah, pengungkapan CSR (CSR Disclosure – CSRD) mendapatkan relevansinya dalam kaitan dengan corporate governance. Sekurang-kurangnya ada dua utama yang mendasari CSRD dalam kaitannya dengan corporate governance, yakni teori legitimasi (legitimacy theory) dan teori stakeholder (stakeholder theory). 4.1. Teori Legitimasi Sejumlah kajian tentang CSRD menggunakan teori legitimasi. Inti teori legitimasi adalah gagasan tentang kontrak sosial. Bisnis menjalankan kegiatannya dalam bentuk kontrak yang legitim. Sebagai satu organisasi, bisnis hanya eksis dan dapat menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada dalam komunitas ketika masyarakat melihat bahwa bisnis itu legitim (Holder-Webb et al, 2009). Jika masyarakat melihat bahwa bisnis tidak bekerja secara legitim, maka ia akan bereaksi dengan membahayakan kontrak organisasi itu dengan cara, misalnya saja: konsumen memboikot produk dari bisnis tersebut, pasar tenaga kerja tidak memasok sumber daya manusia dan pasar modal tidak menggelontorkan modal untuk operasionalisasi perusahaan. Sementara itu stakeholders lain dapat saja melobi pemerinta untuk meningkatkan pajak, denda, atau mendesak diterbitkannya peraturan yang melarang kegiatan bisnis yang nyata-nyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Teori legitimasi didasarkan pada asumsi bahwa para manajer akan menggunakan strategi untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa organisasi bisnis itu berusaha untuk memenuhi atau mematuhi harapanharapan masyarakat. Ketika terjadi perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat, organisasi juga diharapkan untuk tetap memerlihatkan bahwa kegiatan mereka juga legitim dan bahwa mereka benar-benar menjadi good corporate citizen. Tuntutan untuk mempublikasikan kegiatan CSR ini menjadi lebih besar lagi ketika para manajer memandang bahwa kegiatan organisasi mereka itu tidak sesuai dengan kontrak sosial. Jika kondisi ini terjadi maka, menurut teori legitimasi, harus dilakukan tindakan perbaikan. Karena teori ini didasarkan pada persepsi, maka tindakan ini harus dipublikasikan agar berdampak bagi pihak-pihak eksternal. Artinya, informasi yang diberikan memiliki peranan penting untuk membentuk
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
41
persepsi (Deegan, 2002; Adams dan Zutshi, 2004). Jika tindakan perbaikan ini tidak dipublikasikan, maka tidak ada perubahan persepsi pada masyarakat tentang apa yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian SCRD memiliki arti penting yang bersifat stratejik. Pelaporan CSR dapat memastikan keberlangsungan bisnis lebih lama akan dalam laporan tersebut diinformasikan kesesuaian antara apa yang dilakukan bisnis dengan harapan-harapan masyarakat secara keseluruhan. Teori ini memberi kerangka teoritik untuk mengevaluasi hubungan antara perusahaan dengan pengungkapan kegiatan-kegiatan CSR. 4.2. Teori Stakeholders Bisnis menyandarkan kegiatan-kegiatannya pada pasokan yang didapatkan dari pihak-pihak eksternal. External stakeholders ini pada gilirannya menuntut tindakan tertentu dari bisnis. Tanpa dukungan dari stakeholder primer ini sulit bagi bisnis untuk tetap bertahan. Oleh karenanya, stakeholder ini memang harus terus menerus dipelihara melalui manajemen stakeholders. Manajemen stakeholder stratejik mengajarkan bahwa organisasi-organisasi yang efektif pasti akan memberi perhatian pada semua relasi dengan stakeholder yang dapat mempengaruhi, atau dapat dipengaruhi oleh, pencapaian sasaran organisasi (Freeman dalam Chan, 2013). Manajemen stakeholder ini baik dalam konsep maupun aplikasinya bersifat pragmatik. Dengan manajemen ini, perusahaan yang efektif akan mengelola semua relasi dengan stakeholder yang penting. Dalam konteks ini perusahaan akan memperhatikan harapan dan tuntutan dari stakeholders-nya apabila sumber daya yang ada di bawah kendali mereka merupakan sumber daya yang dibutuhkan untuk kelangsungan perusahaan. Dengan latar belakang teori ini, perusahaan perlu membuat sebuah rencana stratejik untuk mengelola relasi dengan stakeholders-nya yang melibatkan pembentukan reputasi perusahaan melalui implementasi CSR dan pelaporannya. 4.3. Global Reporting Initiative (GRI) Tuntutan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada intinya berorientasi pada kesediaan perusahaan untuk mempublikasikan apa yang perlu diketahui oleh stakeholders-nya bermuara pada pengungkapan informasi perusahaan dalam pelbagai bentuknya. Terutama terkait dengan perusahaan-perusahaan terbuka, pengungkapan informasi tersebut sudah diakomodasi dalam Laporan Tahunan Perusahaan yang berfokus pada financial report yang menempatkan shareholders sebagai audiens utamanya. Dalam perkembangannya, dengan dasar pendekatan stakeholders, bisnis juga diharapkan membuka informasi tentang apa yang sudah dilakukan kepada masyarakat secara umum (Nikolaeva dan Bicho, 2011).
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
42
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
Hal ini berarti bisnis juga diharapkan mengomunikasikan aktivitas-aktivitas yang memperlihatkan tanggung jawab sosialnya. Terkait dengan pelaporan keuangan, sudah sejak lama tersedia standar pelaporan keuangan, baik yang berlaku secara global mengacu pada International Financial Reporting Standards (IFRS) atau yang ditetapkan oleh otoritas keuangan di masing-masing negara semisal Standar Akuntansi Keuangan (SAK) di Indonesia (Purba, 2009). Tetapi terkait dengan pelaporan CSR tidak terdapat standar baku untuk CSR disclosure. Baru pada tahun 1999 Global Reporting Initiative (GRI) membuat sebuah standar pelaporan CSR mengacu pada sistem pelaporan keuangan Amerika Serikat (Brown dalam Nikolaeva dan Bicho, 2011). Sejak saat itu, GRI dikenal dan digunakan sebagai bentuk pelaporan CSR secara global. Du et al (2010) menyatakan bahwa CSRD dengan menggunakan standar pelaporan GRI meningkatkan kredibilitas perusahaan meskipun pelaporan tersebut dilakukan secara sukarela (bukan mandatoris). Lebih jauh dikatakan bahwa motif pelaporan tersebut ditentukan oleh lingkungan institusional perusahaan dan alat untuk memperkuat reputasi manajemen yang digunakan oleh para komunikator perusahaan. Meskipun model pelaporan ini mengamodasi kebutuhan komunikasi pemasaran perusahaan dan pembentukan imej manajemen perusahaan yang memiliki reputasi, tetapi pengungkapan CSR tersebut juga menjawab tuntutan dari pelbagai stakeholders perusahaan (Sweeney dan Coughlan, 2008) sesuai dengan tuntutan prinsip corporate governance. Dalam perjalanan waktu, GRI mengalami perkembangan dari yang semula merupakan standar pelaporan lingkungan yang bersifat ekslusif menjadi standar pelaporan “triple bottom line” yang menginformasikan kinerja perusahaan dalam bidang sosial (dengan indikator antara lain kondisi ketenagakerjaan dan hak asasi manusia), bidang ekonomi (dampak ekonomi terhadap konsumen, pemasok, karyawan, pemodal dan sektor publik), dan juga bidang lingkungan (penggunaan sumber daya, manajemen limbah dan manajemen risiko kesehatan untuk generasi masa kini serta generasi yang akan datang). GRI dapat dilihat sebagai satu respon yang sukses menjawab tuntutan atas informasi tentang apa yang sudah dilakukan perusahaan bagi masyarakat. Dengan mengadopsi GRI untuk mengungkapkan aktivitas CSR yang dilakukan oleh perusahaan ada peningkatan legitimasi perusahaan. King dan Whetten (2008) menyatakan bahwa keterkaitan antara legitimasi perusahaan dan identitas sosialnya (dalam perspektif hubungan kontraktual dengan masyarakat) didasarkan pada standar-standar akuntabilitas yang merupakan kerangka norma perilaku yang tepat dan kinerja yang sesuai. Satu perusahan dapat “membuktikan” keanggotaannya pada satu kategori sosial tertentu dengan cara memperlihatkan kesesuaiannya
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
43
dengan standar akuntabilitas. Dalam konteks ini, GRI memang dipertimbangkan sebagai standar pelaporan CSR yang memuat standar-standar akuntabilitas. 5. Simpulan Ada sangat banyak bisnis yang lahir dan tumbuh –dan khusus menyangkut MNC harus berada dan beroperasi– di negara-negara di mana pemerintahan lokalnya tidak mampu atau tidak mau membuat dan menegakkan kerangka peraturan perundangan dan dengan demikian membuka peluang untuk terjadinya ketidakadilan sosial (social injustice). Dalam konteks ini, bisnis seringkali harus berhadapan dengan tantangan untuk melegitimasi perilaku korporat mereka baik di negara mereka sendiri maupun di negara lain di mana mereka bekerja dalam kaitannya dengan memberi perhatian pada masalah ketidakadilan sosial yang sebelumnya menjadi urusan pemerintah. Pada praktiknya kemudian tak terhindarkan bawa bisnis harus dipertimbangkan sebagai aktor ekonomik yang memiliki pengaruh politik (Rotter et al, 2010). Bisnis secara regular membaut keputusan-keputusan untuk pelbagai stakeholder, baik internal maupun eksternal, misalnya dalam kaitannya dengan penggunaan sumber-sumber daya, pengembangan teknologi dan produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bisnis mulai mengandaikan peran seperti negara yang mengisyaratkan peralihan dari satu institusi privat ke institusi publik. Dengan latar belakang di atas, Scherer dan Palazzo (2011) mengembangkan “Political CSR” dengan lima dimensinya, yakni: governance model, regulation, responsibility, legitimacy, dan societal foundations of CSR. “Political CSR” ini didasarkan pada perluasan tanggung jawab dan peran bisnis sebagai warga negara yang harus meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab etisnya dalam jejaring industri serta masyarakat secara luas (Rotter et al, 2013). Menurut Scherer dan Palazzo (2011), “Political CSR” memuat perluasan model governance di mana bisnis berkontribusi untuk membuat regulasi global dan menyediakan kebaikan publik. Political dalam konteks ini berarti keterlibatan masyarakat madani dan stakeholders dalam pengambilan keputusan korporat. Menggunakan perspektif “Political CSR” ini, CSR mengalami perkembangan dari yang semula bersifat instrumental atau transaksional, menjadi transformasional atau politik. Gagasan tentang bisnis sebagai “corporate citizenship” mengisyaratkan representasi dan partisipasi bisnis dalam pengambilan keputusan publik yang menghasilkan kebaikan sosial. Dengan demikian, ketika korporat mengimplementasi kegiatan CSR yang bermuara pada kebaikan sosial, maka sebenarnya bisnis mengekspresikan peran politiknya.
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
44
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
Dalam konteks ini, dapat dipahami praktik implementasi CSR yang memiliki dampak luas, baik pada level industri (Youguang Xu, 2014; Bansal, 2013) maupun di tingkat makro, terkait dengan social welfare, kelestarian lingkungan, maupun economic profit dari negara di mana perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi. Praktik CSR, misalnya saja, dipertimbangkan dampaknya terhadap national competitiveness (Boulota dan Pitelis, 2014). Penelitian Jamali dan Mirshak (2007) memperlihatkan praktik CSR dari perusahaan-perusahaan di Lebanon yang memiliki dampak sangat luas bagi kehidupan sosial. Di Indonesia, juga ada sangat banyak kajian dari praktik CSR dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Dari laporan-laporan pelbagai kajian tersebut ada sejumlah karakteristik dari praktik CSR yang dilakukan oleh kebanyakan perusahaan di Indonesia, terlepas bahwa praktik CSR itu berdampak pada masyarakat penerima manfaat (beneficiaries) meskipun dalam skala kecil. Karakteristik praktik CSR itu adalah sebagai berikut: Pertama, kegiatan-kegiatan sosial yang sangat kecil bahkan di wilayah hilir sudah diklaim sebagai CSR. Dampak kegiatan ini sangat sesaat, misalnya bantuan atau sumbangan dalam pelbagai bentuk untuk korban bencana. Skala kegiatan ini sangat lokal, temporer dan spontan. Aspek karitatifnya menjadi sangat kuat dibandingkan dengan fakta bahwa hal tersebut memang menjadi value dari perusahaan tersebut. Kedua, kegiatan-kegiatan sosial yang kecil dan temporer diklaim sebagai pelaksanaan CSR secara implisit dipertimbangkan sebagai kegiatan yang akan meningkatkan reputasi atau citra baik perusahaan. Peningkatan reputasi dengan demikian menjadi dampak dari kegiatan-kegiatan “CSR”. Jadi bukan sebaliknya bahwa faktor reputasi perusahaan menjadi motif dilakukannya kegiatan-kegiatan CSR (Nikolaeva dan Bicho, 2011). Menjadi lebih problematik lagi jika pembiayaan dari kegiatan-kegiatan tersebut dimasukkan ke dalam marketing expense yang akan mempengaruhi harga jual produk. Jika demikian, kegiatan-kegiatan ini sebenarnya berdampak negatif terhadap masyarakat karena masyarakat harus membayar harga produk dengan lebih tinggi. Ketiga, kegiatan-kegiatan sosial yang diklaim sebagai implementasi CSR dilakukan lebih untuk melindungi asset di mana perusahaanperusahaan tersebut beroperasi. Masyarakat lokal diberi sedikit benefit dengan program tertentu jangka pendek agar tidak membahayakan keberadaan dan operasionalisasi perusahaan di lokal tersebut. Keempat, banyak perusahaan melakukan kegiatan-kegiatan yang diklaim sebagai kegiatan CSR tetapi bentuk kegiatan tersebut agak berbeda dengan core business dari perusahaan tersebut. Padahal idealnya reputasi
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
45
perusahaan dalam industri atau bisnis intinya bisa dimanfaatkan untuk membantu masyarakat secara lebih produktif lagi. Kelima, perusahaan melakukan kegiatan-kegiatan yang diklaim sebagai kegiatan CSR sebagai compliance terhadap peraturan yang berlaku, sebab jika tidak dilaksanakan akan terkena sanksi hukum. Orientasi dan motif kegiatan seperti ini kemudian terkesan self-centered, terfokus pada kepentingan perusahaan, dan tidak berorientasi pada masyarakat penerima manfaat.
Daftar Pustaka Adams, Carol, and Zutshi, Ambika. “Corporate Social Responsibility: Why Business Should Act Responsibly and be Accountable”, dalam Australian Accounting Review. Vol. 14, Issue 34, November (2004): 31-39. Allen, Franklin, Antonio E. Bernardo and Ivo Welch. “A Theory of Dividends Based on Tax Clientele”, dalam Journal of Finance. Vol. 55, No.6, Desember (2000): 2499-2536. Attig, Najah, El Ghoul, Sadok, Guedhami, Omrane Suh, Jungwon. “Corporate Social Responsibility and Credit Rattings”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 117, Issue 4, November (2013): 679-694. Bansal, Anand. “Implications of Corporate Social Responsibility: Towards a Sustainable Business”, dalam International Journal of Management Research and Review. Vol. 3, Issue 9, September (2013): 35243535. Barnea, Amir and Amir Rubbin. “Corporate Social Responsibility as A Conflict Beetween Shareholders”, dalam Journal of Business Ethics. Vol. 97, Issue 1, November (2010): 71-86. Boulouta, Ioanna & Pitelis, Christos N. “Who Needs CSR? The Impact of Corporate Social Responsibility on National Competitiveness”, dalam Journal of Business Ethics. Vol. 119, Issue 3, Februari (2014): 349-364. Carroll, Archie B. “The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders”, dalam Business Horizons Vol. 34, Issue 4 (1991): 39-48.
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
46
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
Carroll, Archie B. and A. K. Buchholtz. Business and Society: Ethics and Stakeholder Management. 4th Edition. Cincinnati: South-Western College Publishing. 2000. Carroll, Archie. B. “A History of Corporate Social Responsibility: Concepts and Practices” dalam A. Crane et al (eds.), The Oxford Handbook of Corporate Social Responsibility. New York: Oxford University Press. 2008. Chan, MuiChing Carina, John Watson, David Woodliff. “Corporate Governance Quality and CSR Disclosure”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 125, Issue 1, November (2014): 59-73. Deegan, Craig. “Introduction: The legitimizing Effect of Social and Environmental Disclosure – A Theoritical Foundation”, dalam Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 15, Issue 3, (2002): 282-311. Du, Shuili. Bhattacharya, C. B., and Sen. “Maximizing Business Returns to Corporate Social Responsibility (CSR): The Role of CSR Communication”, dalam International Journal of Management Reviews, Vol. 12, Issue 1, Maret (2010): 8-19. Fisher, Josie. “Social Responsibility and Ethics: Clarifying the Concepts“, dalam Journal of Business Ethics”, Vol. 52, Issue 4, Juli (2004): 381-390. Garriga, Elisabet and Domènec Melé. “Corporate Social Responsibility Theories: Mapping the Territory”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 53, Issue 1-2, Agustus (2004): 51-57. Holder-Webb, L., Cohen, J. R., Nath, L, and Wood, D. “The Suply of Corporate Social Responsibility Disclosure among U.S. Firms”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 84 Issue 4, Februari (2009): 497-527. Holme, R. and Watts, P. Corporate Social Responsibility: Making Good Business Sense. Geneva: World Business Council for Sustainable Development. 2000. Jamali, Dima and Rames Mirshak. “Corporate Social Responsibility (CSR): Theory and Practice in a Developing Country Context”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 72, Issue 3, Mei (2007): 243-262. Jensen, Michael C. “Value Maximation, Stakeholder Theory and the Corporate Objective Function”, dalam Business Ethics Quaterly, Vol. 12, Issue 2, April (2002): 235-256.
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
47
Jeurissen, Ronald. “Institutional Conditions of Corporate Citizenship”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 53, Issue 1-2, Agustus (2004): 87-96. Jo, Hoje and Maretno A. Harjoto. “Corporate Governance and Firm Value: The Impact of Corporate Social Responsibiity”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 103, Issue 3. Oktober (2011): 351-383. Ketola, Tarja. “A Holistic Corporate Social Responsibility Model: Integrating Values, Discourses and Actions”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 80, Issue 3, Juli (2008): 419-435. King, Brayden G. and David A Whetten. “Rethinking the Relationship between Reputation and Legitimacy: A Social Actor Conceptualization”, dalam Corporate Reputation Review, Vol. 11, Issue 3, September (2008): 192-207. Lantos, Geoffrey P. “The Boundaries of Strategic Corporate Social Responsibilities” dalam Journal of Consumer Marketing, Vol. 18, Issue 7, (2001): 595-630. Lee, Min-Dong Paul. “Configuration of External Influences: The Combined Effects of Institutions and Stakeholder on Corporate Social Responsibility Strategies”. Journal of Business Ethics, Vol. 102, Issue 2, Agustus (2011): 281-298. Margolis, Joshua D. dan James P. Walsh. “Misery Loves Companies: Rethinking Social Inivtiatives by Business”, dalam Administrative Science Quaterly, Vol. 48, No. 2, Juni (2003): 268-305. Martin, Roger. “The Virtue Matrix: Calculating the Return on Corporate Responsibility”, dalam Harvard Business Review, Vol. 80, Issue 3, Maret (2002). Muthuri, Judy, N. and Gilbert, Victoria. “An Institutional Analysis of Corporate Social Responsibility in Kenya”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 98, Issue 3, Februari (2011): 467-483. Nikolaeva, Ralitza dan Marta Bicho. “The Role of Institutional and Reputational Factors in the Voluntary Adoption of Corporate Social Responsibility Standards”, dalam Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 39, Issue 1, Februari (2011): 136-157. Okoye, Adaeze. “Theorising Corporate Social Responsibility as an Essentially Contested Concept: Is a Definition Necessary?”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 89, Issue 4, November (2009): 613627.
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya
48
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 31 - 48
Post, James E.; Lee E. Preston and Sybille Sachs. Redefining the Corporation: Stakeholder Management and Organizational Wealth. Stanford: Stanford University Press. 2002. Purba, Marisi P. Asumsi Going Concern. Suatu Tinjauan terhadap Dampak Krisis Keuangan atas Opini Audit dan Laporan Keuangan. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009. Reynolds, MaryAnn dan Kristi Yuthas. “Moral Discourse and Corporate Social Responsibility Reporting”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 78, Issue 1-2, Maret (2008): 47-62. Rotter, Julia Patrizia; Peppi-Emilia Airike dan Cecilia Mark-Herbert. “Exploring Political Corporate Social Responsibility in Global Supply Chains“, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 125, Issue 4, Oktober (2013): 581-599. Sauser Jr, William I. “Ethics in Business: Answering the Call”, dalam Journal of Business Ethics, Vol. 58, Issue 4, Juni (2005): 345-357. Scherer, Andreas Georg dan Guido Palazzo. “The New Political Role of Business in Globalized World: A Review of a New Perspective on CSR and its Implications for the Firm, Governance and Democracy, dalam Journal of Management Studies, Vol. 48, Issue 4, Juni (2011): 899-931. Solomon, Jill. Corporate Governance and Accountability. 3rd Edition. Hoboken: Wiley and Sons. 2009.
Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Implemantasi CSR dan Dampak Politiknya