PERAN AGAMA DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL Musa Maliki Abstract This article argues that the role of religion in international relations and world politics is very important, but unfortunately it has been marginalized by interstate system of Westphalia that introduced a new world order i.e. modernity. The role of religion has been silenced as a result of Thirty Years’ War which separated religion from politics. This article also argues that the foundation of modernity is rationality per se and therefore leaves religion belief (Christian) behind. Hence, secularism is the sole ideology which has served the tradition of International Theory. As has been argued by Steve Smith, this marginalization should be discontinued in order to achieve plurality of traditions in International Relations. The plurality in International Relations will place religion as one of the traditions in the study of International Relations and the object of analysis as well. It will also liberate the discipline of International Relations from dogmatism, stagnation and orthodoxy of science. Moreover, if we trace the foundation of the traditions of International Relations theory, referring to Martin Wight’s argument, religions -should it be Islam, Hindu, and Christian- give significant contribution to International Relations theory. Especially after 9/11 tragedy of terrorism attack, analysis which is based on religion is crucially needed and cannot be ignored anymore. Thus, the emphasis of this article is the importance of religion that is not only as a tradition on the study of International Relations, but also as an object of analysis. In other word, religion, as a part of culture, civilizations and identity, should be appropriately addressed in the study of International Relations. Keywords: Religion, Political Religion, Tradisi Hubungan Internasional Sekuler, Modernitas, Rasionalitas, Sekulerisme, Self-Image, Tradisi Kristen, Tradisi Islam
Pendahuluan Artikel ini berargumen bahwa tradisi agama merupakan pemikiran yang signifikan untuk merayakan pluralisme THI (Tradisi Hubungan Internasional). Selama ini agama telah dipinggirkan oleh THI mainstream sekuler yaitu positivisme (realism, liberalism, Marxism, neo-neo) dan THI marginal sekuler yaitu post-positivisme ([constructivism]1, critical theory, English schools, Copenhagen, postmodernism/post-structuralism, feminism, green thought, post-colonial). Dibandingkan dengan positivisme dan postpositivisme, tradisi Hubungan Internasional (HI) Islam memberikan pijakan yang lebih radikal bagi Studi Hubungan internasional (SHI) di wilayah 1
Konstruktivisme mempunyai posisi relatif beragama. Misalnya Wendt yang kuat unsur positivismenya dan Maja Zehfuss yang lebih dekat dengan post-strukturalisme. Ada ilmuwan HI yang mengatakan postpositivisme adalah konstruktivisme ada pula ilmuwan HI yang mengatakan bahwa konstruktivisme adalah jembatan antara positivisme dan post-positivisme.
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 2, Juli 2009: 141-155
epistemologi, ontologi dan aksiologi. Kebangkitan tradisi agama juga memberikan pencerahan dalam menyikapi konteks hubungan internasional, politik dunia, politik internasional dan refleksi mendalam tentang perkembangan keilmuan HI yang selama tahun 2000-an tengah stagnan atau hanya berputar-putar dalam tradisi Barat sekuler Eropa, Amerika dan wilayah pengaruhnya. Artikel ini dikategorikan sebagai kajian HI yang tidak bersifat (tidak masuk ke dalam area) studi kasus, melainkan kajian etika dan filsafat keilmuan HI.2 Dengan kata lain, artikel ini belum memasuki wilayah observasi atau tataran studi kasus, aplikasi teori, metode, perspektif, paradigma ke dalam fenomena HI tertentu. Apabila terdapat ketersinggungan, maka hal tersebut berlangsung secara sekilas dan hanya kasus tertentu yang relevan saja. Konsekuensi dari penjelasan etika dan filsafat keilmuan HI ini mengarah pada sejarah perdebatan teoretis, konseptual, dan analisis meta-teori, yaitu membahas teori dengan teori, meneliti muatan teori, guna teori dalam konteks nyata ke-HI-an, dan permasalahan masa kini yang masih saja belum terselesaikan. Oleh sebab itu, hal yang perlu diperhatikan dalam pemaparan ini adalah pengujian kebenaran secara heuristic, interpretatif, kualitatif, dan relatif. Tujuan akhirnya adalah untuk memberikan pemahaman mendalam pada permasalahan SHI yang kompleks (tidak hitam-putih) dan refleksi mendalam agar SHI ‘memperbolehkan’ analisa fenomena Hubungan Internasional yang berpijak pada tradisi agama. Tulisan ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, argumentasi mengenai masih adanya dominasi THI Barat sekuler dalam SHI dari awal abad ke-20 sampai dengan dekade pertama abad ke-21. Kedua, penjelasan tentang keterpinggiran tradisi agama dalam kajian HI dari awal abad ke-20 sampai dengan dekade pertama abad ke-21. Ketiga, merenungkan refleksi SHI sebagai wadah dari keberagaman tradisi yang melampaui THI Barat sekuler.
Tradisi Hubungan Internasional Sekuler Tradisi Hubungan Internasional sekuler didefinisikan sebagai pola, tatanan, dan kemapanan disiplin (studi) Hubungan Internasional yang memisahkan agama dengan urusan duniawi di wilayah epistemologi, ontologi dan aksiologi. THI sekuler merupakan studi HI yang selalu bersumber pada rujukan ilmiah dalam fenomena duniawi dan untuk tujuan duniawi. Dalam pemahaman kaum Barat sekuler Eropa, THI dilahirkan dalam dunia sekuler dari sejak awal berdirinya di Eropa untuk menyelesaikan berbagai macam problem duniawi. Dengan demikian, THI tak terlepas dari zaman modern yang lahir sejak pencerahan Eropa. Hal ini dapat dikatakan bahwa substansi HI berisi perkembangan mekanisme 2
Scott Burchill, Richard Devetak, et.al, Theories of International Relations, 2nd Edition, (Hampshire: Palgrave, 2001), bagian Pengantar.
142
Musa Maliki Peran Agama dalam Studi Hubungan Internasional
zaman modern, yakni mekanisme state-system dan capitalism system. Untuk memahami lebih lanjut tentang THI sekuler, maka kita harus merujuk pada modernitas yang mengandung substansi THI Barat sekuler. Kemunculan modernitas sebagai sifat zaman modern merupakan fondasi bagi segala aspek kehidupan. Istilah modern dilacak oleh Brinton3, dan penemuannya menjelaskan bahwa modern berasal dari bahasa latin yang berarti “kekinian”. Sedangkan istilah ini dalam kamus bahasa Inggris dikontraskan dengan istilah “kuno”. Kedua pengertian ini ditopang oleh kesadaran akan kekinian yang terbangun melalui proses berpikir (rasionalitas) manusia untuk melihat “kebaruan”. Kebaruan adalah perubahan kekinian yang terjadi dalam momen kesadaran yang bersumber pada kepercayaan akan rasionalitas. Dengan kata lain, pola pikir nalar (rasionalitas) merupakan kesadaran untuk membentuk keberadaan negara (state-system) dan kapitalisme (capitalism system). Jadi kelahiran keduanya pun bersumber dari mekanisme otak manusia yang sadar akan kekuatan pikir.4 “Beranilah untuk berpikir!”5 adalah kata-kata Immanuel Kant yang mempercayai rasionalitas dan mengembangkan metodologi rasionalitas dalam bentuk sintesanya, yaitu positivisme untuk menggerakkan roda institusi negara-bangsa dan kapitalisme serta seluruh aspek kehidupan. Positivisme adalah mekanisme berpikir umat manusia (rasionalitas) yang standar di sebagian besar dunia yang percaya dan dipercayai akan nilai dan zaman serta keberlangsungan modernitas. Dengan kata lain, penggunaan dan kepercayaan rasionalitas mendorong manusia hanya berpijak pada sumber pengetahuan yang tunggal dan totalistik. Kepercayaan terhadap rasionalitas (modernitas) memunculkan peta pergeseran kekuasaan zaman abad pertengahan ke modern yaitu, dari agama (Kristen) ke sekuler, dari kitab suci/Tuhan ke ilmu pengetahuan/rasionalitas.6 Berawal sejak dipisahkannya kitab suci/agama dengan politik dan aspek duniawi lainnya setelah Perang Agama 30 tahun, historisasi THI Barat sekuler di zaman modern berlanjut dengan munculnya perdebatan teoretis THI yang dinamai “Debat Besar” mencakup Debat Besar Pertama, Kedua, Ketiga yang seluruhnya bersumber hanya pada rasionalitas serta kemunculan Debat Besar ‘Keempat’7 yang meruncing pada gugatan terhadap rasionalitas.
3
Crane Brinton, The Shaping of the Modern Mind (USA: the New American Library of World Literature Inc, 1956), hlm.19-20. 4 Musa Maliki, Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern dan Alternatif Pascakolonialisme (Tesis Universitas Indonesia: tidak diterbitkan, 2006), hlm. 144-145. 5 Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj. (Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm. 395. 6 Ibid. 7 Tanda petik ini menjelaskan bahwa memang terjadi Debat Keempat, tetapi tidak secara eksplisit diungkapkan. Debat ini hanya kondisi yang semakin ekstrim dari perdebatan sebelumnya. Dalam debat ini, muncul juga tradisi non-Western yang akan karya-karyanya disinggung di bawah seperti dari Cina dan Amerika Latin.
143
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 2, Juli 2009: 141-155
Dimulai pada Debat Besar Ketiga, post-positivisme muncul sebagai wujud dari krisis rasionalitas dan modernitas. Post-positivisme menggugat positivisme dan variannya (sintesa rasionalitas-empirisme) sebagai sumber dari pengetahuan. Gugatan ini bervariasi mulai dari kubu yang berusaha menangani krisis dengan tetap percaya dengan proyek modernitas dan perbaikan rasionalitas hingga yang berusaha merobohkan bangunan modernitas dan fondasi rasionalitas dan tidak percaya lagi akan rasionalitas. Gugatan tersebut memunculkan beragam alternatif sumber pengetahuan di antaranya promosi tradisi non-Western termasuk tradisi agama yang direkonstruksi ulang. Rekonstruksi agama, khususnya Islam, akan dibahas lebih mendalam di bawah sebagai fokus dari artikel ini. Mengulas sedikit tentang sejarah Debat Besar HI, historisasi bermula pada perdebatan ontologi antara idealisme/liberalisme dengan realisme sejak berdirinya studi baru di Aberystwyth, Inggris, pada tahun 1919 sampai dengan titik paling intensif sekitar tahun 1940-an. Setelah Perang Dunia II meletus, pihak realis masih mendominasi SHI sampai dengan munculnya debat epistemologi/metodologi antara kaum behavioralis yang saintifik dari Universitas Chicago pada tahun 1960-an yang mengkritik kubu tradisionalis dari Eropa dan kemunculan debat ontologi neo-neo pada tahun 1970-an antara neorealisme, neoliberalisme dan neoMarxisme dalam payung positivisme. Selanjutnya, Debat Besar Ketiga dimulai pada akhir tahun 1980-an yang merupakan perseteruan kompleks dimana terjadi begitu banyak perubahan secara radikal dan perdebatan sampai batas yang ekstrem dalam wilayah epistemologi, metodologi, ontologi, dan juga aksiologi. Pada titik yang paling ekstrem tahun 1990-an, terdapat saling menafikan antara kubu rasionalis yang mengutamakan rasio/nalar dalam memahami konstelasi internasional dengan kubu refleksionis, yang digerakkan oleh kaum post-modernis/post-strukturalis8, yang tidak menganggap rasio/nalar sebagai yang utama.9 Perdebatan ini diiringi oleh kemunculan THI baru sebagai suatu pengembangan tradisi sebelumnya yaitu English School (international society), critical theory (world society), dan Copenhagen School yang dikembangkan oleh Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde10. Selain dialektika dan perkembangan teoretis di atas, isu HI pun semakin berkembang pesat. Pada awalnya HI hanya membahas kajiankajian antara lain perang-damai, pengkajian strategi, power politics, keamanan internasional, kebijakan politik luar negeri dan diplomasi, konflik dan kerjasama internasional, kekuatan militer, organisasi internasional, 8
Post-modernis dan post-strukturalis walaupun berbeda, dalam artikel ini akan dijadikan satu pemahaman. Narasi tentang perdebatan hubungan internasional banyak dikaji oleh beberapa ilmuwan Hubungan Internasional seperti Steve Smith, Lapid, Jim George, Kahler, Waever dan Neufeld dan yang lainnya. Lebih detailnya lihat Aryani Kristanti&Musa Maliki, “Debat Ketiga: Memikirkan Kembali Keilmuan Hubungan Internasional,” Jurnal Politik Internasional: Global, Vol. 9, No. 2, Desember 2007-Mei 2008. 10 Konsep securitization merupakan istilah baru yang melebarkan wilayah tradisional (militer) ke wilayah lain (food security, politics security, human security, health security, ecology security, dll). Lihat Barry Buzan, Ole Waever, Jaap de Wilde, Security: a New Framework for Analysis (London: Lynne Rienner Publishers, 1998). 9
144
Musa Maliki Peran Agama dalam Studi Hubungan Internasional
ekonomi-politik internasional, integrasi, lingkungan global-populasi, gap antara Utara-Selatan, dan pembangunan internasional.11 Selanjutnya, HI berkembang melebar ke aras keadilan global, pemanasan global, etika global, pemikiran/filsafat, modernitas/anti modernitas, dan globalisasi dan peradaban (Islam, Timur, Barat).12 Isu-isu tersebut tergantung pada aras perspektif atau epistemologi teori Hubungan Internasional dalam menentukan tema kajiannya. Kehadiran dialektika dalam HI terus memperkaya keilmuan HI yang secara relatif masih sangat muda dibandingkan sejarah, politik, arkeologi, sosiologi, dan antropologi. Dalam perkembangan berikutnya, dirasakan bahwa HI masih terus berusaha mengembangkan dirinya. Hal ini sejalan dengan harapan Steve Smith yang sangat peduli dengan perkembangan tradisi keilmuan Hubungan internasional dalam konsepnya yang dikenal dengan “self -image”.13 Secara sederhana, self-image adalah konsepsi diri tentang kajian HI yang sedang berefleksi di depan cermin. Self-image ini mendorong tumbuhnya pluralisme tradisi teori HI yang mengakibatkan dominasi kubu mainstream berangsur-angsur ‘melemah’ secara politis keilmuan. Dengan demikian, self-image memberikan peluang bagi tradisi di luar mainstream.14 Namun, konsep self-image oleh Steve Smith ini perlu ditelaah lebih lanjut. Hal ini perlu dilakukan mengingat sebuah tradisi yang sudah mencapai tahap teori kritis atau refleksionis dan post-modernis/post-strukturalis pun ternyata masih tetap dalam tradisi pengetahuan para orientalis atau struktur pengetahuan Barat per se.15 Berkaca pada pengamatan ini, maka diperlukan juga suatu self-image yang melebar keluar dari struktur pengetahuan Barat, misalnya post-colonialism dan tradisi Islam. Keilmuan bersifat dinamis, terus berubah, berkembang, bergolak, saling menghancurkan, menggali pencerahan dan emansipasi, namun bisa 11 Lihat karya-karya kajian Hubungan Internasional sebelum tahun 1980-an yang didominasi oleh tema dari kubu Realis, Idealis/Liberalis dan strukturalis bersama modifikasi dan anakan teorinya. Tema-tema tersebut tidak akan surut atau termarginalisasikan oleh perspektif pasca tahun 1980-an. Karya yang termasuk barubaru ini terbit sebagai pemanasan perkuliahan HI dan tetap konsisten mengusung kajian HI mainstream, di antaranya karya Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse, International Relations: 2006-2007 (USA: Person Longman, 2007). 12 Misalnya dapat terlihat dalam artikel Robert Cox, “Civilizations and the twenty-first century: some theoretical considerations,” dalam Globalization and Civilizations, diedit oleh Mehdi Mozaffari (London: Routledge, 2002), hlm. 1-23. Cox memfokuskan pada pemaparan definisi peradaban, penjelasan muncul dan berkembangnya kesadaran peradaban Barat sehingga menjadi hegemoni (dominan) peradaban. 13 Steve Smith, “The Self-Images of a Discipline: A Genealogy of International Relations Theory,” International Relations Theory Today (Pennsylvania, The Pennsylvania State University Press, 1995), hlm. 137. 14 Pada kesempatan yang berbeda, Stanley Hoffmann dalam Jurnal Daedalus (1977) menulis tentang tradisi Hubungan Internasional Amerika sedangkan Steve Smith dalam Jurnal British Hubungan Internasional (1990) yang mempertanyakan apakah tradisi Hubungan Internasional masih didominasi oleh ilmuwan Amerika? Dalam selang beberapa tahun kemudian, Crowford dan Jervis (2001) menulis kembali pertanyaan Smith tentang dominasi tradisi Hubungan Internasional Amerika. 15 Musa Maliki, “Wacana Hubungan Internasional Modern dan Alternatif Post-Kolonial dalam Ilmu Hubungan Internasional,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Parahyangan Center for International Studies, Vol. 2, No. 6, September 2006.
145
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 2, Juli 2009: 141-155
terjadi sebaliknya yaitu stagnan dan terjebak pada ortodoksi, dogma atau doktrin kubu tertentu yang menjadikannya ideologi yang tertutup.16 Terkait dengan hal tersebut, totalitas terhadap rasionalitas dan modernitas dalam HI pun telah dianggap oleh kaum post-positivis/post-strukturalis/postmodernis berujung pada krisis legitimasi dan ketidakpercayaan pada bangunan ilmu pengetahuan (rasionalitas). Ketidakpercayaan tersebut dikarenakan tidak semua permasalahan manusia dapat dipecahkan hanya dengan menggunakan rasionalitas. Selain itu, legitimasi dan kepercayaan tersebut muncul dari dirinya sendiri, bukan dari pihak lain. Oleh sebab itu, pada pasca Perang Dingin (momen ‘Debat Keempat’) tradisi teori HI berkembang semakin beragam dengan diciptakannya karya yang berusaha menggali THI non-western, misalnya karya Stephanie G. Neuman, International Relations Theory and Third World (1998), yang berusaha menjelaskan perkembangan teori HI di/dari Dunia Ketiga sebagai suatu embrio THI non-western, walaupun hanya berbentuk sintesa.17 Selain itu, terdapat pula perkembangan tradisi Cina, yang antara lain dapat dilihat dalam karya Gerald Chan, China Perspectives on International Relations (1999). Di belahan benua lain, THI Afrika yang ditulis oleh Kavin C. Dunn dan Timothy A. Shaw (2001) dan THI Amerika Latin dalam karya Arlene B. Tickner (2002) juga meramaikan perdebatan teoretis HI. Dengan demikian, perdebatan HI Barat sekuler mainstream dimeriahkan dengan tumbuh suburnya tradisi dari kebudayaan atau peradaban non-Barat seperti India, Cina, Afrika dan Amerika Latin ke dalam kajian HI, maka pluralisme dalam kajian HI pun melebar ke luar dari Debat Besar HI selama ini.18 Jadi Debat Besar western mainstream (positivism vs post-positivisme) dilampaui dengan munculnya tradisi nonwestern yang secara ‘bergerilya’ bersaing dengan kubu mainstream.
Tradisi Agama dalam Studi Hubungan Internasional Penulis berargumen bahwa pluralisme HI merupakan prasyarat bagi perkembangan HI di masa depan, khususnya pasca tragedi 9/11. Pengandaian ini membangkitkan di antaranya tidak hanya tradisi nonWestern dalam HI, tetapi agama pun termasuk bagian dari kajian HI. Agama yang dimaksud diantaranya agama Semitisme (Yahudi-KristenIslam), Hindu, Budha, Konfusianisme, dan beberapa yang lebih sedikit pengikutnya di dunia seperti Sikhisme, Jainisme, Taoisme, Shinto yang 16
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: pertautan pengetahuan dan kepentingan (Yogyakarta: Kanisius, cet. ke-2, 1993). Stephanie G. Neuman, “International Relations Theory and Third World : an oxymoron”, dalam International Relations Theory and Third World diedit oleh Stephanie G. Neuman (London: MacMillan, 1998). Karya ini merupakan sintesa antara tradisi Timur misalnya konsep subaltern dari India yang berusaha dikawinkan dengan tradisi realisme Barat: subaltern realism. Istilah ini yang dimunculkan oleh Muhammad Ayoob. 18 Yale Ferguson and Richard W. Mansbach, “Between Celeberation and Dispair: constructive for suggestion for future international theory,” International Studies Quarterly, Vol. 35, No. 4, December 1991. 17
146
Musa Maliki Peran Agama dalam Studi Hubungan Internasional
dianut 77% populasi dunia.19 Kasus pengeboman WTC pada tahun 2001 (9/11 Tragedy) membuat para ahli Hubungan Internasional, peneliti dan pengamat politik kembali mempertautkan budaya dan agama dalam analisis dan pemahaman mereka atas fenomena tersebut. Pameo pasca 9/11: War Against Terrorism” yang dilontarkan oleh AS tampaknya membuka kembali sejarah tragis peperangan atas nama agama atau Tuhan yang sudah tersimpan lama dalam ‘kotak pandora’ khususnya lontaran teks oleh George W. Bush tentang “Crusade” (Perang Salib). Selain itu, di dalam kotak tersebut terdapat pula perang antara Katolik dan Protestan di Perancis (1550-1650) dan Perang 30 Tahun (1618-1648). Hal ini terjadi ketika agama menjadi pengaruh atau daya dorong dari gerakan politik atau kondisi perang yang biasa dinamai “political theology” atau “political religion.” Jadi, dalam konteks ini, agama bukan sesuatu yang pribadi, tetapi bersifat publik, duniawi (sekuler). Khususnya dikarenakan oleh perang antara Katolik dan Protestan dan Perang 30 Tahun yang merupakan peristiwa kelam dalam sejarah Eropa, sekulerisme dijadikan sebagai benteng bagi intervensi agama dalam kehidupan publik agar tidak terjadi konflik atau peperangan.20 Sekulerisme juga melahirkan negara (state-system) dan kapitalisme (capitalism system) di awal zaman modern dan masih dipercaya sampai sekarang (2009). Sekulerisme merupakan salah satu ideologi zaman modern dengan dasar rasionalitas di Eropa. Dalam konteks sejarah, sekulerisme berusaha memisahkan agama dengan kehidupan politik. Sekulerisme adalah pemisahan yang sakral dengan yang duniawi (profound). Sekulerisme secara filosofis dan teoretis didukung dan diperjuangkan oleh para filsuf pencerahan dan ilmuwan sosial modern seperti Rene Descartes, Immanuel Kant, Hegel, Marxisme, Adam Smith, Max Weber, Durkheim, dan Parson. Sekulerisme merupakan jembatan antara nilai-nilai agama Eropa, Kristen yang berjaya di abad pertengahan dengan modernitas. Oleh sebab itu, antara agama dan modernitas tidak bisa dipertentangkan sebagai dua entitas yang tidak bisa bertemu. Jembatan ini merupakan produk sejarah yang dipraktekkan secara diskursif, yakni proses pertukaran dan pertarungan ide, gagasan, konsep, teori dan pengetahuan, sehingga modernitas tetap berspirit agama Kristen, khususnya Protestan. Hal ini dipaparkan dalam “Etika Protestan” Weber. Selain itu, dalam sosiologi agama karya lain, Robert N. Bellah dalam “Beyond Belief” memaparkan peran agama Islam dan juga Shinto di Jepang. THI Barat sekuler pun tidak luput dari peran atau sumber dari nilai-nilai Kristen, misalnya, THI sekuler liberalisme lahir dari pemikiran seorang filsuf Kristen yang taat dan dipengaruhi oleh Agustinus, Immanuel Kant. Bersumber dari perenungan nilai-nilai Kristen, maka Kant 19 Scott T. Thomas, the Global Resurgence of Religion and the Transformation of International Relations (New York: Palgrave, 2005), hlm. 21-22. 20 Ibid, hlm. 22-23,
147
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 2, Juli 2009: 141-155
melahirkan kata kunci “perdamaian abadi” yang berfondasi pada “nilai liberalisme”. Proses lahir THI Barat sekuler ternyata tidak hanya dari ‘ibu’ yakni modernitas, tetapi dimetaforkan juga lahir bersama ‘bapak’ yakni agama Kristen. Selain Kant, melalui filsuf modern (pencerahan), Hegel, THI Barat sekuler terlahir dari proses penurunan wahyu Tuhan (agama Kristen) yang kemudian ‘merasuk’ ke dalam akal budi manusia. Dalam konteks ini, akal budi manusia merupakan representasi dari wahyu Tuhan. Akal budi ini dinamai rasionalitas di zaman modern sebagai wahyu Tuhan yang diduniawikan (dibumikan).21 Ajaran filsuf semacam ini dikenal sebagai “humanisme” (Barat) yang mendukung nilai-nilai Kristen merasuk (menitis) dalam teoretisasi ilmu sosial, khususnya THI sekuler dalam SHI. Sedangkan dalam ajaran Islam, aliran yang mirip dengan ajaran Hegel ini dikenal sebagai aliran Mu’tazilah. Hal ini menandakan bahwa dalam sejarah, peran agama sangat menentukan pula kehidupan umat manusia di dunia (sekuler). Pluralisme dalam HI membawa peluang, kesempatan, dan kemudahan tidak hanya bagi banyak ajaran, tradisi, filsafat, tetapi juga pada peran agama dalam dimensi yang lebih tegas yaitu “political religion” untuk tampil kembali mewarnai SHI setelah surut dan tenggelam. Dengan kata lain, political religion memberikan kejelasan dan transparansi bahwa rasionalitas terkait dengan dimensi agama. Oleh sebab itu, agama tidak perlu disembunyikan atau dijauhkan dari THI. Pentingnya pengakuan peran agama baik dalam cara memandang (teori) maupun fenomena world political religion terkait dengan anjuran Smith tentang pluralisme terhadap para dosen (staf pengajar) HI dan para peneliti teori HI agar tak perlu menolak peran agama ke dalam SHI sebagai wujud dari pluralisme. Walaupun pesan Smith dalam konteks ini masih dalam ruang struktur pengetahuan Barat sekuler untuk plural, tetapi spiritnya memberi peluang agama untuk masuk ke dalam kajian HI. Agar agama diakui kedaulatannya dalam SHI, perlu dianggap serius dan direnungkan secara mendalam terlebih dahulu langkah awal para pengkaji HI (SHI) untuk lepas dari ortodoksi atau dogmatisme buta THI tertentu misalnya (neo) realisme: Such diversity in the discipline of IR is far preferable to the alternative in which intellectual inquiry is constrained by an elusive quest for cumulative knowledge. We should remain deaf to those who want to privilege the settled assumptions of quasi-realist orthodoxy while silencing dissenting perspectives. Moreover, IR teachers and researchers should not fear the on-going pluralisation of the field. We 21
Menurut Hegel, pengejawantahan Tuhan (Kristen) adalah roh rasio. Tuhan tidak menghendaki kepala hampa pada para putra-Nya. Saatnya harus tiba untuk mengetahui hasil yang kaya akan rasio aktif, yang ditawarkan kepada kita oleh sejarah dunia. Kebijaksanaan Tuhan adalah roh (rasio aktif) yang harus disadari oleh kaum intelektual. Untuk mewujudkan kebijaksanaan ini, rasio dipraktekkan dalam bentuknya yang lebih konkret, yakni negara. Hakekat dari kehendak Tuhan adalah ide yang berisi kebebasan. Sarananya ada pembentuk negara universal di dunia. Lihat G.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya (Yogyakarya: Pustaka Pelajar, cet. Ke-2, 2002), bagian pendahuluan. 148
Musa Maliki Peran Agama dalam Studi Hubungan Internasional
hope readers of International Relations Theories agree with the editors (Steve Smith) that, on balance, more is better.22 Relasi antara Agama dan Hubungan Internasional sebagai suatu pertautan yang secara konstitutif dan endogenous dalam sejarah yang seharusnya sudah ada sejak awal THI. Peran agama secara umum menentukan THI Barat sekuler dalam dimensi norma, etika politik, norma, moral, dan hukum internasional, sehingga Kristen, Yahudi, Islam dan Hindu (Gandhi) sebagai agama pun tak mungkin lepas dari dinamika teoretisasi THI. Wight menjelaskan secara artikulatif tentang peradaban Islam, Kristen, dan Yahudi serta Hindu (Gandhi) sebagai bagian dari tradisi yang cukup berperan dalam SHI. Ungkapan Wight ini kemungkinan dipengaruhi oleh prinsip pluralisme dalam THI Barat sekuler English School. Wight yang sangat dipengaruhi nilai-nilai Kristen mengakui Islam sebagai tradisi HI yang hampir terkubur atau terpinggirkan oleh imperialisme THI Barat sekuler (mainstream).23 Berkaitan dengan keyakinan Kristennya, Wight yang Anglican dan pengaruhnya terhadap sosiologi sejarah THI English School menurut Scott M. Thomas berusaha mengangkat fenomena (peran) agama yang terpinggirkan dan tersisih agar mempunyai perannya kembali dalam SHI. Thomas memaparkan komitmen Wight terhadap signifikansi budaya, agama, dan identitas dalam SHI. Agama tidak mungkin terpisah dari sejarah kajian SHI, karena Wight percaya bahwa doktrin agama, budaya dan peradaban dalam momen sejarah mempunyai peran dalam sistem internasional dan masyarakat internasional. Hal ini merupakan suatu pertarungan gagasan tentang penting atau tidaknya peran agama bangkit kembali di era pasca tragedi 9/11. Thomas memaparkan lebih jelas tentang argumen bahwa Wight berkomitmen terhadap peran agama yang berbedabeda, baik dalam teoritisasi HI maupun dalam objek analisisnya (isu):24 Because of Wight’s influence … the approach of the English school was from the beginning concerned about the role of different religions, cultures and civilizations in international society. Unfortunately, Wight’s main contribution to the English school, i.e. his willingness to take religious doctrines, cultures and civilizations seriously by focusing on their role in different historic states-systems, has been marginalized in the English school’s research programmed even as his comparative approach to states-systems in world history has been widely adopted. One of the most recent, ambitious, and in many ways path-breaking studies of international systems, has accepted the kind of naturalistic and evolutionary approach to religion. Wight deplored 22
Steve Smith, “Debating Schmidt: Theoretical Pluralism in IR,” Journal of International Studies: Millennium, 36, 2008. 23 Martin Wight, International theory: three traditions (USA: Hollmes & Meier, 1991), hlm. 84. 24 Scott M. Thomas, “Faith, history and Martin Wight: the role of religion in the historical sociology of the English school of International Relations,” International Affairs 77, No. 4, 2001, hlm. 906-907. 149
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 2, Juli 2009: 141-155
because it examined religion as an epiphenomenon of other social, technological and economic forces in world history. This is unfortunate because even though there is a renewed interest in the English school’s approach to culture and identity, it is increasingly apparent it is the kind of questions Wight asked about religion, culture and identity that have become some of the most important ones in the study of international relations.
Komitmen Wight terhadap peran ragam agama bersumber pada pengetahuannya bahwa agama adalah fenomena sosial dalam sejarah dunia. Kegelisahannya tentang kurang adanya peran agama membuat Wight menganggap agama, budaya dan identitas menjadi salah satu hal yang penting dalam SHI. Kehidupan keseharian Wight pasti memberi warna tersendiri dalam THI English School yang terus dikembangkan oleh anak didiknya yaitu Bull, Watson, dan Vincent. Sejarah Hubungan Internasional dalam hal ini tidak lagi menutup mata terhadap agama sebagai bagian dari wilayah kajian dan perspektifnya. Sebelum 9/11 karya Samuel Huntington, the Clash of Civilizations (1998), menggemparkan Islam dan Barat sebagai karya yang mempertautkan dan mempertentangkan banyak entitas seperti agama, budaya, identitas, peradaban, THI realisme dalam konteks politik dunia (politik internasional). Kebangkitan agama pasca 9/11 memunculkan ragam karya lainnya antara lain Eric O. Hanson, Religion and Politics in the International System Today (2006), kumpulan artikel yang diedit oleh Pavlos Hatzopoulos dan Fabio Petito, Religion in International Relations: the Return from Exile (2003), Scott M. Thomas, the Global Resurgence of Religion and the Transformation of International Relations (2005), Fawaz A. Gerges, the Far Enemy: Why Jihad Went Global? (2005), Doris Buss dan Didi Herman, Globalizing Family Values: the Right Christian in International Politics (2003) dan beberapa karya yang lainnya yang memang tidak cukup disebutkan dalam artikel ini. Selain peran agama Kristen yang sangat berpengaruh dalam THI English School/rationalism (Grotian), agama Islam pun mempunyai peran yang signifikan dalam konstelasi politik dunia. Dalam agama Islam, prinsip yang dipegang adalah keadilan, amar ma’ruf nahi munkar dan kehendak (kebenaran) Allah yang bersumber dari wahyu Allah (Al-Quran dan Sunnah) dan sistem pemikiran (rasionalitas). Sistem pemikiran dan nilai ini sangat berpengaruh pada karya dan cara pandangan ilmuwan HI Islam dalam menjelaskan dunia internasional, khususnya politik dunia dewasa ini. Dalam konteks ini, rasionalitas dijadikan sebagai bawahan dari wahyu Allah. Islam tidak mengenal ideologi sekulerisme yang lahir di Eropa sebagai suatu konsekwensi Perang 30 Tahun. Walaupun dalam Islam terjadi konflik antar tradisi di dalamnya, tetapi perang besar yang mengarah pada sekulerisme tidak muncul. Jika Islam berusaha menafsirkan sekulerisme dalam kerangkanya, maka Islam hanya sampai tahap sekuler, yakni suatu 150
Musa Maliki Peran Agama dalam Studi Hubungan Internasional
ajaran yang diperuntukkan dan diturun di duniawi. Pemahaman ini menjadikan Islam sebagai agama sekuler bukan agama ‘langitan’ yang hanya mengurusi yang sakral dan suci. Islam dipahami sebagai suatu kepasrahan terhadap Tuhan. Ajaran monoteisme ini diturunkan ke bumi untuk keselamatan umat manusia. Islam diwujudkan dalam artefak nyata berupa al Quran dan hadist sebagai jalan menuju keselamatan di dunia dan akherat. Jadi Islam tidak hanya diperuntukkan hanya untuk tujuan dan kepentingan akherat saja, tetapi duniawi juga. Problematika politik dunia seharusnya mengambil peran Islam agar penyelesaiannya tidak partikular dari sudut pandang non-Islam. Islam sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia secara substansi memberikan nilai positif dan kebaikan bagi semuanya, walaupun karena pengambilannya setengah-setengah, maka tidak luput dengan adanya ketimpangan, yakni rasionalitas yang seharusnya merupakan media untuk berserah diri dan bersyukur kepada Tuhan, justru menjadi pagan bagi manusia modern. Uzza dan Latta modern adalah rasionalitas dalam konsepsi Islam. Oleh sebab itu, signifikansi rasionalitas diletakkan pada ruang yang proposional, yaitu metodologi. Dengan demikian, iman dan sumber dari segala sumber pengetahuan yang dimiliki sesungguhnya dari Tuhan. Dalam sejarah pemikiran Islam telah banyak memberikan kontribusi dalam politik, khususnya dalam ragam perspektif, silang budaya (peradaban) Barat-Islam, memunculkan konsep-konsep Islam yang cukup penting dipelajari sebagai bagian dari kajian HI di antaranya etika perang, keamanan, tauhid, ummah, jihad, Dar al-Harb, Dar al-‘Ahd, Dar al-Islam, adl (keadian), akhlak, dan syariah.25 Inilah saatnya tradisi pemikiran Islam memberikan lebih banyak kontribusi dalam politik dunia dan kajian HI. Karya-karya THI yang bernuansa Islam dan mendeklarasikan sebagai suatu kontribusi penting dalam SHI sebenarnya sudah muncul misalnya karya AbdulHamid ‘A. Abu Sulayman, the Islamic Theory of Internasional Relations: New Directions for Islamic Methodology and Thought (1989); Bassam Tibi, Islam between Culture and Politics (2001); Bassam Tibi, Political Islam, World Politics and Europe: Democratic Peace and EuroIslam versus Global Jihad (2008). Karya Huntington memunculkan retorika yang konfrontatif antara Barat dan Islam bahwa Barat harus mempertahankan nilai-nilai sekulerismenya dari ancaman Islam negara seperti Iran, Pakistan, Turki maupun Islam transnasional seperti Hizbut Tahrir, al-Qaeda, dan gerakan yang lainnya. Tibi yang pernah kerjasama dengan Katzenstein di Cornel berargumen bahwa Islam dan Barat (Eropa) dapat didamaikan dengan konsep Euro-Islam. Konsep ini adalah jembatan antara Islam dan Barat untuk mencapai perdamain abadi. Tibi memang melakukan sintesa antara nilai-nilai Islam dengan konsepsi liberal Kantian, sehingga politik dunia
25
Antony Black, Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abdullah dan Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006). 151
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 2, Juli 2009: 141-155
memang seharusnya mengarah pada kosmopolitanisme.26 Tibi yang sejak umur 18 (1962) sudah memulai mempelajari tradisi Eropa seperti Sosiologi, Weberian, Liberalisme, Marxisme, Critical Theory, Post-modernisme justru menolaknya. Memang Tibi merasa berhutang, khususnya critical theory yang sudah mengajari Tibi berpikir reflektif, tetapi tradisi tersebut stagnan ketika berbicara pertautan antara budaya modern dan Islam, baik di Eropa maupun di dunia. Euro-Islam adalah komitmen Tibi yang sama persis dengan Arkoun tentang “Rethinking Islam” untuk mencapai pluralisme THI. Karya Tibi ini merupakan karya THI Islam yang cukup monumental diakui akademisi HI, baik di Eropa maupun di AS.27 Jadi, sesuai dengan tujuan artikel ini, agama dan THI mempunyai pertautan yang sangat erat, sehingga walaupun agama masih marginal sebagaimana dipaparkan oleh Wight dan Tibi, tetapi peran agama tetap mempunyai kedaulatannya sendiri: lakum dinakum wa liya din (kepercayaanmu adalah milikmu sedangkan kepercayaanku adalah milikku). Pemahaman inilah yang diajarkan Islam sebagai pluralisme. Jadi THI yang plural atau bagi pendukung pluralisme THI dalam SHI pasti selaras dengan ajaran Islam.
Refleksi HI: Apa HI sebagai wadah agama atau sebagai Sebuah Pemikiran Sekuler? Selama ini HI dipandang oleh para pengkajinya sebagai atau lebih jelasnya diklaim oleh para ilmuwannya sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat kuat keilmiahannya, otentik, tunggal, dan standar pemikirannya bersumber dari awal zaman modern yang mempunyai prinsip sekulerisme dan rasionalisme. Prinsip ini menempatkan agama pada posisi sakral dan sempit –tidak masuk ke dalam dimensi sosial, politik dan budaya sehingga ditinggalkan sejak perjanjian Westphalia (1648). Selain dari prinsip tersebut, semua teori dan metodologi diclaim bukan-HI (‘murtad’ terhadap HI). Namun asal usul pemikiran otentik HI ternyata bersumber dari ragam disiplin ilmu dan ragam etika, nilai, norma agama dari abad-abad sebelumnya. Disiplin ilmu yang selama ini sudah memberikan inspirasi bagi THI antara lain, sejarah, hukum, filsafat, sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Selain itu, sumber nilai, norma, etika agama dari Yahudi, Kristen di abad pertengahan, Islam, Hindu, dan yang lainnya. THI Barat dan THI non-Barat merupakan teori yang dipenuhi oleh nilai, etika dan norma agama-agama dunia. THI Barat (modern-postmodern) tidak lepas dari nilai, etika, dan norma Kristen yang secara spesifik sangat mempengaruhi teori idealisme, liberalisme, English school-Martin Wight, critical theory, dan lain-lain. Demikian juga arah gugatan teori HI postmodern yang jatuh pada dua hal: nihilisme dan kembali kepada rekonstruksi agama Kristen. Dari penelusuran analisis di atas ditarik 26
Bassam Tibi, Political Islam, World Politics and Europe: Democratic Peace and Euro-Isam versus Global Jihad (London: Routledge, 2008). 27 Ibid. 152
Musa Maliki Peran Agama dalam Studi Hubungan Internasional
kesimpuan bahwa THI Barat seolah-olah memutus hubungan dengan tradisi agama Kristen, tetapi keterputusan itu menjadi suatu kenaifan (dan arogansi), karena etika, nilai dan norma keagamaan tersebut selalu akan menjadi roh dalam THI modern dan suatu awal solusi bagi kenihilan (kegamangan) THI postmodern. Sedangkan THI di non-Barat yang berasal dari Asia dan Timurtengah secara tegas, mereka mengakui bahwa teori mereka bersumber dari keyakinan atau agama yang mereka percayai sebagai mata analisis dalam memahami fenomena keduniawian, khususnya kajian HI seperti PerangDamai, etika dan keadilan internasional, teror, internasionalisasi demokrasi, peradaban dan globalisasi, hubungan antar bangsa, dan lainlain. Misalnya, THI yang Islami (THI Islam) membahas tentang hukum perang, konsep jihad ofensif dan jihad defensif, strategi perang, diplomasi Islam, dan lain-lain; teori strategi perang Sun Tzu yang dipengaruh oleh nilai-nilai Konfusianisme di Cina; teori diplomasi Kautilya yang dipengaruhi nilai-nilai Hindu. Oleh sebab itu, agama sebenarnya tidak hanya diperuntukkan untuk urusan sakral dan suci saja sebagaimana selama ini THI Barat yakini. Agama mempunyai sifat sakral dan juga sekuler, karena agama diturunkan di dunia dari sesuatu yang suci (Tuhan) ke dunia yang perlu disucikan. Misalnya, Islam yang sakral dan suci di sisi lain Islam mempunyai sifat sekuler, yaitu tradisi yang diperuntukkan untuk mengatasi problematika keduniawian seperti kekuasaan dan hubungan antar aktor internasional melalui petunjuk al-Quran dan Hadist serta ijtihad agar selamat di dunia dan akherat (Islam). Hal ini yang diajarkan oleh agama Islam dan nabinabinya selama di dunia. Tuhan yang dipercaya oleh para penganut agama, khususnya Islam menurunkan kitab suci (Al-Quran) bukan untuk umat manusia ‘langitan’ yang sudah meninggalkan proses duniawi, tetapi tradisi Islam diperuntukkan untuk yang masih hidup di dunia dan berusaha memperjuangkan hidupnya dalam konteks sosio-historisnya masing-masing. Hal ini terbukti bahwa sebagian besar kitab Al Quran justru membahas berbagai macam urusan duniawi yang sangat kontekstual dibandingkan urusan pribadi (sekali) antara manusia dengan Tuhan (suci dan sakral). Hanya saja persembahan dari hidup di dunia (duniawi) ini diperuntukkan untuk Tuhan yang mereka percayai menciptakan mereka. Jadi hal yang perlu ditegaskan dalam penutupan ini adalah tradisi agama seperti Kristen dan Islam sangat signifikan dan perlu secara tegas ditampilkan dalam kajian HI sebagai alternatif krisis legitimasi rasional, sekuler dan modernitas (krisis epistemologi) yang menjadi prinsip THI modern dan nihilisme postmodern.
153
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 2, Juli 2009: 141-155
Daftar Pustaka Black, Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abdullah dan Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi. Brinton, Crane. 1956. The Shaping of the Modern Mind. USA: the New American Library of World Literature Inc. Burchill, Scott, Devetak, Richard, et.al. 2001. Theories of International Relations, 2nd Edition. Hampshire: Palgrave. Buzan, Barry, Waever, Ole, de Wilde, Jaap. 1998. Security: a New Framework fAnalysis. London: Lynne Rienner Publishers. Cox, Robert. 2002. “Civilizations and the twenty-first century: some theoretical considerations,” dalam Globalization and Civilizations, diedit oleh Mehdi Mozaffari. London: Routledge. Ferguson, Yale and Richard W. Mansbach. 1991. “Between Celeberation and Dispair: constructive for suggestion for future international theory”, International Studies Quarterly, Vol. 35, No. 4, hlm. 363-386. Goldstein, Joshua S. dan Pevehouse, Jon C. 2007. International Relations: 20062007. USA: Person Longman. Hardiman, F. Budi. 1993. Kritik Ideologi: pertautan pengetahuan dan kepentingan, cet. ke-2. Yogyakarta: Kanisius. Hegel, G.W.F. 2002. Filsafat Sejarah, cet. ke-2, diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarya: Pustaka Pelajar. Kristanti, Aryani dan Maliki, Musa Maliki. 2007, “Debat Ketiga: Memikirkan Kembali Keilmuan Hubungan Internasional”, Jurnal Politik Internasional: Global, Vol. 9, No. 2, hlm. 187-207. Maliki, Musa. 2006. “Wacana Hubungan Internasional Modern dan Alternatif PostKolonial dalam Ilmu Hubungan Internasional”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Maliki, Musa. 2006. Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern dan Alternatif Pascakolonialisme. Tesis Universitas Indonesia: tidak diterbitkan. Neuman, Stephanie G. 1998. “International Relations Theory and Third World : an oxymoron” dalam International Relations Theory and Third World, diedit oleh Stephanie G. Neuman. London: MacMillan. Parahyangan Center for International Studies, Vol. 2, No. 6, September 2006, hlm. 550-571. Smith, Steve. 2008. “Debating Schmidt: Theoretical Pluralism in IR,” Journal of International Studies: Millennium, 36, hlm. 154
Musa Maliki Peran Agama dalam Studi Hubungan Internasional
Smith, Steve. “The Self-Images of a Discipline: A Genealogy of International Relations Theory,” dalam International Relations Theory Today. Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press. Solomon, Robert C. dan Higgins, Kathleen M. 2000. Sejarah Filsafat, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu. Yogyakarta: Bentang. Thomas, Scott M. 2001. “Faith, history and Martin Wight: the role of religion in the historical sociology of the English school of International Relations,” International Affairs 77, No. 4, hlm. 905-929. Thomas, Scott T. 2005. The Global Resurgence of Religion and the Transformation of International Relations. New York: Palgrave. Tibi, Bassam. 2008. Political Islam, World Politics and Europe: Democratic Peace and Euro-Isam versus Global Jihad. London: Routledge. Wight, Martin. 1991. International theory: three traditions. USA: Hollmes & Meier.
155