As of February 13, 2016
MISTERI PERAN AGAMA DALAM KAJIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL (Achmad Djatmiko) Sejak lahirnya teori Hubungan Internasional (HI) sebagai disiplin ilmu tersendiri di dunia Barat, agama sebagai objek kajian memang telah dikesampingkan, diasingkan, bahkan ‘dibuang” (banished) dari ranah terori HI Barat. Hal ini bisa ditelusuri dengan melihat asal-usul HI modern yang berlandaskan pada sistem Westphalia. Kajian hubungan internasional muncul setelah berakhirnya perang di Eropa, yang kemudian menginspirasi lahirnya system negaran-banga (nation-state) dengan menempatkan kedaulatan nasional (national sovereignty) sebagai barang sakral dan tanapa keberadaan agama di dalamnhya. Agama tidak diberi tempat ataupun peluang sebagai fator yang penting bagi masyarakat bangsa ataupun Negara, apalagi dalam hubungan internasional. Dengan demikian, teori HI ini, yang kajiannya berfokus pada negara (state-centric) merupakan suatu sistem hubungan internasional yang tidak memandang adanya peran agama dalam setiap kasus ataupun fenomena apapun dalam hubungan internasional. Namun dalam beberapa dasawarsa belakangan ini telah terjadi kecenderungan global mengenai kebangkitan kembali (resurgence) peran agama dan menguatnya arus desekularisasi. Para pakar HI umumnya beranggapan bahwa kecenderungan ini terjadi utamanya pasca tragedy serangan teroris “11 September”. Kecenderungan ini telah mengubah pandangan dunia mengenai peran agama maupun isu-isu internasional dalam banyak hal. Bahkan banyak yang mengistilahkan bahwa agama telah kembali dari “Pengasingan Westphalia”, menuju ke panggung utamanya di arena global. Kini agama dilihat tidak hanya sebagai “kelanjutan dari politik dengan cara lain” (a continuation of politics by other means) bahkan sebagai sumber kompetisi semua pihak yang berada di panggung internasional. (Hallinan, 2007: November 9; Jelen & Wilcox, 2002: 1-3)
1
As of February 13, 2016
Kembalinya ke Pangkuan HI Dalam pandangan beberapa pakar HI, tantangan dari kebangkitan global peran agama dalam teori HI adalah sejalan dengan dampak berakhirnya Perang Dingin dan munculnya globalisasi (Hurd, 2007: 647). Menurut Scott M. Thomas, fenomena kebangkitan global peran agama ini merupakan bukti meningkatnya keunggulan dan daya tarik agama yang terlihat antara lain dari fenomena semakin dirasakan pentingnya keimanan, pelaksanaan peribadatan, dan wacana keagamaan baik dalam kehidupan pribadi maupun publik, serta semakin meningkatnya peran para tokoh keagamaan, pihak-pihak swasta, partai politik, komunitas masyarakat, maupun organisasiorganisasi politik dalam negeri, yang semuanya memberi dampak besar terhadap perubahan politik internasional.“ (Thomas, 2005: 26). Sejak berakhirnya Perang Dingin, kebangkitan global agama telah merubah wajah dan posisi agama di dunia dan bahkan hubungan antar negara di berbagai bidang. Selain itu, kebangkitan agama juga telah mengakibatkan semakin terkikisnya struktur hubungan internasional yang berlangsung saat ini dan juga persepsi masyarakat awam/dunia tentang agama. Hal ini bisa dilihat dari 5 pendekatan sebagai berikut. A. Menumbangkan Teori Sekularisasi. Telah lama diyakini bahwa keberadaan agama melemah dan perannya terus berkurang akibat tergerus oleh arus pembangunan ekonomi dan modernisasi. Kenyataannya yang terjadi justeru sebaliknya. Keberadaan dan peran agama tidak melemah di bawah pengaruh pembangunan ekonomi dan modernisasi, namun justeru meningkat. Kebangkitan agama dalam skala besar terutama terjadi pada umat Kristiani (khususnya pengikut Pantekosta) dan Islam, serta beberapa agama tradisional. Namun yang paling menonjol dan disertai terjadinya kebangkitan politik adalah pada umat kristiani dan Islam. Sebagai sebuah fenomena, jika hal ini terus berlanjut, maka diperkirakan komposisi penduduk dunia di tahun 2020 akan terdiri dari umat Kristiani (54.2%) dan Muslim (37.76%). (Dark, 2000: 73). 2
As of February 13, 2016
Kemudian berbagai wacana tematik baru mulai bermunculan, mulai dari bangkitnya kembali pesona dunia (re-enchantment of the world), mengenai agama lintas bangsa dan lenyapnya negara (transnational religions and the fading states), nasionalisme keagamaan berhadapan dengan negara sekuler (religious nationalism against the secular state) bahkan Perang Dingin versi baru yang lebih diwarnai oleh konflik agama daripada ideologis. Demikian pula, beragam wacana dan isu-isu lainnya pun bermunculan seperti bara tersiram bensin, kemudian membanjiri pemberitaan media massa dan publikasi akademis di seluruh penjuru dunia. Semua itu hampir menggantikan jargon dan wacana yang muncul lima puluh tahun lalu sebagai tema di pentas dunia, seperti : “Masa Akhir kaum Kristiani (The end of Christendom’), Tuhan telah mati: (God is dead)’ dan telah menjadi istilah baru di era saat ini. Berbagai terori telah mulai berkembang, dan mulai menjadi paradigm baru dalam kajiaan akademis agama di hampir semua negara. Teori-teori terebut antara lain mengenai faham ‘non Sekuler’, ‘de-sekularisasi’, ‘pasca-sekuer’ dan teori sakralisasi. Kebangkitan global peran agama adalah menyangkut aspek sosiologis agama terhadap hubungan internasional, yang bukan lagi aspek ideologis, yang dibarengi dengan ‘perdebatan kebijakan luar negeri menyangkut diplomasi, keamanan nasional, pemajuan demokrasi dan bantuan pembangunan’ (Thomas, 2007: 21). Beragam pandangan yang pro sekularisasi, antara lain dengan jargonnya “globalisasi Tuhan”, nampaknya tidak demikian saja punah, tetapi telah kembali lagi ke pentas HI dengan versi baru, seprti ‘neo-sekularisasi’, ‘sekularisasi elit’, ‘sekularisasi jangka panjang’ dan ‘sekularisasi negara-negara kaya’. Seiring dengan menguatnya faham non-sekuler, faham ini juga muncul untuk meraih dukungan publik melalui baik berbagai survey pendapat maupun riset empiris. (Xu, 2004: 6-11). Misalnya, Pippa Norris dan Ronald Inglehart, keduanya adalah sosiolog agama, menegakan bahwa kecenderungan sekularisasi diantara para pakar global terlihat justeru berbanding terbalik dengan semakin meningkatnya sikap kebanyakan masyarakat yang pro-agama. 3
As of February 13, 2016
Selain itu, kesenjangan antara si ‘kaya’ (masyarakat sekuler) dan Negara-negara ‘miskin’ (masyarakat non-sekuler) ternyata tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga di bidang keagamaan dan ketuhanan. Kedua sosiolog tersebut berpandangan bahwa berdasarkan surevey di 76 negara atau kurang lebih mewakilli 80% penduduk dunia, didapatkan bahwa pengalaman hidup masyarakat di negara-negara belum maju (‘miskin’, lemah dan tidak aman) dibandingkan dengan masyarkat di negara maju (sejahtera dan aman) memang berbeda. Pentingnya nilai-nilai agama semakin meningkat di negara-negara yang belum maju, dan semakin menurun di Negara-negara maju, khsusnya Eropa. (Norris & Inglehart, 2004; Thomas, 2007: 21-45; Bellin, 2008: 331-334). Namun demikian, terdapat pandangn lain mmengenai dua alliran ini, yaitu antara sekuler dan non-sekuler. Perbedaan antara keduanya dalam kenyataan tidaklah mutlak. Hal ini diungkapkan oleh kelompok sosiolog agama lainnya, yaitu N.J. Demerath III and Rhys H. Williams yang menoba memposisikan diri lebih empathy dalam dinamika social. Menurut mereka, terdapat hubungandialektis diantara keduanya yang bahkan cenderung kea rah saling ketergantungan (interdependent), bukan saling bersikap eksklusif satu terhadap yang lain (mutually exclusive). Ketika melakukan kajian empiris di Springfield, wilayah New England in the Amerika Serikat, terindikasi bahwa pola sekuler yang dianut masyarakat terlalu menekankan pada perbedaan dan pertentangan antara sekuler dan non-sekuler (sacral). Padahal dalam keseharian sebenarnya baik sikap sekuler maupun sacral selalu ada dan terlibat bersama-sama di empat aspek kehidupan, yaitu aspek individu (individuals), kelembagaan (Institutions), kemasyarakatan (communities) dan kebudayaan (culture) Tetapi, menurut keduanya, tren sekularisasi justeru terlihat lebih menonjol dari pada sakralisasi, sehingga bisa dianggap bahwa ‘kebangkitan kemballi agama’ sebenarnya semata hanya sebagai reaksi jangka pendek di dalam konteks keenderungan sekularisasi jangka panjang, seperti yang sedang dialami oleh masyarakat AS dan Barat. (Demerath, 1992; 225-301).
4
As of February 13, 2016
B.
Menumbangkan Sistem Wesphalia
Hubungan internasional modern didasarkan pada apa yang dikenal sebagai ‘asumsi Wesphalia’. Dalam hal tertentu, kebangkitan global peran agama sebenarnya telah menumbangkan kaidah ‘tidak tertulis’ (unspoken rules) dalam HI bahwa agama tidak memberikan andil apapun dalam hubungan internasional. Sebagai akibat dari Perang selama tiga puluh tahun di Eropa (1648), Perdamaian Westphalia (the Peace of Westphalia) dan Penyelesaian Westphalia (Westphalian Settlement) akhirnya disepakati untuk menggantikan supremasi teokrasi lengkap dengan supremasi kedaulatannya. Perdamaian Westphalia memperkenalkan pengakuan dan pembentukan prinsip kewenangan Negara, menggantikan kewenangan agama yang lintas bangsa. Selain itu, agama tidak lagi diakui sebagai sumber keabsahan (legitimacy) dalam kebijakan luar negeri maupun konflik-konflik antar Negara. Inti dari system internasional modern yang didasarkan pada Perdamaian Westphalia, adalah untuk melindungi prinsip kedaulatan Negara (national sovereignty) dengan menciptakan seperangkat tata aturan internasional, dan menolak ideology lintas-bangsa yang bertentangan negan kedaulatan nasional khususnya terkait loyalitas politik warganya. Memang terkesan ironis, bahwa dala Perdamaian Westphalia, meskipun tatanan hukum dam politik telah dibentuk dalam rangka melakukan ‘swastanisasi’ terhadap agama danmembatasi perannya dalam tata hubungan global, perjanjiannya sendiri sebenarnya telah melakukan “nasionalisasi agama sebagai dasar dalam mengatur Negara-negara modern” (Thomas, 2010: 97-98).
5