Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda Kab. Aceh Tengah, Provinsi D.I. Aceh
Kesenian Didong
Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Setjen, Kemendikbud
Daftar Isi 1. 2. 3. 4. 5.
Pendahuluan Sejarah tentang Kesenian Didong Event Kesenian Didong Alat Musik dan kostum Kesenian Didong Profil Sanggar Didong ‘Lakiki Bujang”
Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda Kab. Aceh Tengah, Provinsi D.I. Aceh Latar Belakang dan Tujuan 1. 2.
Membangun satu Master Referensi Nilai Budaya Tak Benda. Membangun Informasi mengenai Warisan Budaya Tak Benda yang ada di Indonesia
Batasan Verifikasi Validasi 1.
Verval 1 sanggar Kesenian Didong di Kab. Aceh Tengah
Waktu Pelaksanaan: Tgl 2 s/d 5 Agustus 2016 Yang Terlibat 1. 2.
Tim Pusat a. Yas Ahmad Andriansyah (PDSPK – Kemendikbud) b. Syahrur Riza (PDSPK – Kemendikbud) Tim Dinas Kebudayaan Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kab. Aceh Tengah (7 Orang)
Sejarah Secara sejarah, didong yang berkembang di tanah gayo memiliki banyak versi cerita kemunculannya. Secara pasti belum ada keterangan yang mampur mengungkapkan, ada juga yang mengatakan bahwa umur kesenian ini sama tua nya dengan adanya orang Gayo itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah. Jadi didong dimaksud untuk dakwah agama melalui kearifan lokal yang ada didaerah Gayo. Terlepas dari pengertian makna didong, pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair pada saat Reje Linge XIII berkuasa, sekitar tahun 1511 atau abad 16 M. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong terdapat nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius akan tetapi juga harus bisa bersyair dan memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam, karena didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar agama islam.
Sejarah (lanjutan) Kesenian Didong merupakan salah satu jenis sastra yang berkembang dalam masyarakat Gayo di Aceh tengah, disamping beberapa bentuk seni sastra yang lain seperti Sa’er (syair/puisi islami), Kekitiken (teka-teki), Kekeberen (prosa lisan), Melengkan (pidato adat), Sebuku(puisi bertema sedih), dan Guru didong. Sejarah didong mengalami masa jaya dan masa stagnasi, dari periode ke periode. Seiring waktu, didong mengalami perubahan dan penambahan kreasi yang masuk kedalam kesenian ini, meski sebelumnya atau aslinya tidak ada. Contohnya, penggunaan bantal untuk tepukan. Awalnya didong hanya mengandalkan kekuatan tepukan tangan, tanpa alat bantu. Tapi kemudian tepukan bantal yang kini dipakai dalam didong, dimulai oleh Ceh To’et tahun 1964 di Bintang, dalam sebuah didong jalu. Toet, seniman yang cukup popular dan menasional kaya akan lirik didong dan inovatif. Toet-lah yang memulai penggunaan bantal untuk tepukan pada didong. Sepanjang sejarah didong, kesenian ini ikut mewarnai sejarah kehidupan orang Gayo sendiri. Awalnya didong digelar dibawah rumah-rumah panggung warga warga Gayo yang di periode awal memang tinggi. Didong memang selalu menampilkan dua kelop dalam sebuah penampilan. Kedua kelop ini saling mengadu ketangkasan kata. Seperti berbalas pantun dalam budaya Melayu. Hanya saja, didong menggunakan bahasa asli Gayo dalam didong jalu. Meski saling menyerang dengan kata-kata, di periode awal didong, kata-kata yang digunakan menyerang lawan dalam perang kata-kata, menggunakan bahasa istilah yang dalam dan kaya makna. Tapi kemudian, dalam didong jalu, perang kata-kata vulgar dan tanpa istilah peribahasa kemudian juga berkembang seiring komersialisasi didong. Kalau kata-katanya tidak kasar dan saling menghina dan menghujat, penonton merasa kurang seru. Mulailah didong saling menghujat dan membuka aib.
Event Kesenian Didong Acara penyambutan tamu daerah Festival adat budaya Takengon Kompetisi Kesenian didong antar desa atau antar sanggar yang ada di Takengon Mengisi acara di setiap instansi pemerintahan Pernikahan Hari besar Nasional Catatan : Kesenian didong lebih sering di pentaskan pada bulan Agustus pada setiap tahunnya dan waktu penyelenggaraannya dimalam hari sampai pukul 04.00 pagi waktu setempat.
Alat Musik dan Kostum Kesenian Didong Alat musik yang digunakan dalam kesenian ini cukup sederhana, pada mulanya peralatan yang digunakan hanya bantal (tepukan bantal) dan tangan (tepukan tangan dari para pemainnya), dalam perkembangannya ada yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya.
Kostum atau seragam dalam kesenian didong sendiri awalnya berwarna hitam, seragam ini sering disebut dengan baju – kelop. Dulunya Seragam didong ini dibedakan melalui warna dan memiliki arti yang berbedabeda, warna Kuning berarti “Raja”, warna hitam “Rakyat”, warna merah “Petuah”, dan warna putih “Imam”, untuk saat ini seluruh warna yang digunakan seragam didong sudah mulai membaur dan bisa digunakan untuk setiap pentas atau acara didong, sedangkan biasanya para pemain didong memakai atribut tambahan berupa syal yang dililitkan di leher, dan ada yang memakai kopiah.
Profil Sanggar Didong “Lakiki Bujang” “Lakiki Bujang” ialah salah satu nama sanggar yang ikut membantu melestarikan kesenian didong ditanah gayo, sanggar ini terbentuk mulai dari tahun 1980an yang sudah turun temurun melestarikan didong dimulai dari generasi ke generasi. Kata “Lakiki” sendiri ialah julukan untuk “Ceh Muhammad”, beliau dulu terkenal sebagai pencipta lagu – lagu untuk kesenian didong. Ketua Sanggar Jumlah Anggota Peralatan
: Bapak Samidi Beliau sudah memimpin sanggar ini sejak tahun 1980an, sampai sekarang beliau masih aktif sebagai ketua sanggar maupun sebagai “Ceh” dari tim didong Lakiki Bujang : 25 Anggota, tidak ada batasan umur untuk bergabung di sanggar ini, remaja atau dewasa dapat bergabung dan ikut melestarikan kesenian didong. : peralatan yang digunakan bantal (tepukan bantal) dan tepukan tangan dari para pemain untuk mengeluarkan irama melodi.
Dalam berlatih didong sanggar ini biasanya memilih tempat yang cenderung jauh dari pemukiman warga, dan dalam berlatih sanggar ini bisa sampai pukul 12 malam. Untuk bisa menjadi “Ceh” disanggar ini harus dari keturunan ceh sebelumnya, dan bisa membawakan lagulagu dalam irama atau nada musik gayo,
Profil Sanggar Didong “Lakiki Bujang”
Arah Integrasi Informasi Berbasis Spasial Yang Terintegrasi Sudah ada di Data Warehouse Kemendikbud Kantor Pendidikan
Overlay dengan Google Maps
Sekolah Cagar Budaya
Rumah Museum
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Tempat-tempat Umum
Kawasan Cagar Budaya
BIG
Badan Informasi Geospasial (Kebijakan Satu Peta) Pusat Belajar (Bahasa, Kebudayaan, Ketrampilan, dll)
10
Kesimpulan dan Koreksi Kegiatan Kesimpulan Kegiatan Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda berjalan dengan baik dan lancer, didukung oleh tim Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kab. Aceh Tengah.
Hasil 1. Verval 1 Sanggar Kesenian Didong sudah selesai 2. 4 Cagar budaya di Kab. Aceh Tengah sudah diambil citra serta data spasialnya.
Terima Kasih
Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Setjen, Kemendikbud